faktor risiko dispepsia pada mahasiswa institut pertanian ... filegastritis, tukak peptik, gangguan...
TRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
Dispepsia
Berdasarkan konsensus Roma tahun 1999, dispepsia diartikan sebagai
rasa sakit atau ketidaknyamanan yang berpusat pada perut bagian atas (Chang
2006). Ketidaknyamanan tersebut dapat berkaitan dengan masalah organik pada
saluran cerna bagian atas, seperti gastroesophageal reflux disease (GERD),
gastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu (kolesistitis), atau patologi
teridentifikasi lainnya. Dispepsia fungsional atau dispepsia nonulkus (nonulcer
dyspepsia) merupakan ketidaknyamanan perut bagian atas, yang menetap atau
kambuhan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya secara organik atau tidak
disertai dengan gangguan pada organ pencernaan atas. Mekanisme dasar pada
dispepsia nonulkus mungkin berhubungan dengan hipersensitivitas visceral
terhadap asam atau dilatasi lambung, gangguan akomodasi lambung, gangguan
pada bagian otak yang berkaitan dengan pencernaan, dan motilitas atau
pengosongan lambung yang abnormal. Diet, stres, dan faktor gaya hidup lainnya
dapat berkontribusi terhadap munculnya gejala dispepsia (Beyer 2004). Remaja
rentan mengalami dispepsia karena pola makan yang tidak teratur dan gaya
hidup yang cenderung mudah terbawa arus (mengkonsumsi makanan cepat saji,
dan makanan instan, gaya hidup menjadi lebih sedentary menginginkan segala
sesuatu yang mudah, serta rentan stres).
Prevalensi dispepsia secara global bervariasi antara 7-45%. Prevalensi
dispepsia di Amerika Serikat 23,0-25,8%, di India 30,4%, Hongkong 18,4%,
Australia 24,4-38,2%, dan China sebesar 23,3%. Penelitian Reshetnikov et al.
(2001) menemukan 27% remaja putri dan 16% remaja putra mengalami
dispepsia. Penelitian mengenai dispepsia di Indonesia lebih banyak dilakukan di
rumah sakit (hospital based). Depkes (2006) menunjukkan bahwa dispepsia
menempati urutan ke-15 dari daftar 50 penyakit dengan pasien rawat inap
terbanyak. ). Laporan rawat jalan di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta menjelaskan
bahwa pasien yang datang dengan keluhan dispepsia mencapai 40% kasus per
tahun (Dwijayanti, Ratnasari, dan Susetyowati 2008).
Gejala dispepsia meliputi rasa nyeri pada epigastrum (ulu hati), panas
seperti terbakar di dada, kembung, perut penuh atau cepat kenyang, mual,
muntah, dan sering bersendawa (Wibawa 2006). Menurut konsensus Roma
tahun 1999, klasifikasi klinis praktis dispepsia didasarkan pada keluhan yang
dominan. Pada kriteria tersebut, dinyatakan bahwa dispepsia ditandai dengan
satu atau lebih gejala yang diperkirakan berasal dari daerah gastroduodenal.
Salah satu subtipe dispepsia adalah dispepsia dengan gejala-gejala menyerupai
ulkus atau tukak peptik. Keluhan yang menonjol pada subtipe tersebut antara lain
nyeri epigastrum episodik yang terlokalisasi, nyeri tersebut hilang setelah
pemberian antasida (Chang 2006). Gangguan lambung berupa gastritis dan
tukak peptik menimbulkan gejala-gejala dispepsia yang mengganggu
penderitanya.
Gangguan Lambung
Lambung merupakan bagian dari saluran pencernaan yang berbentuk
seperti kantung, dapat berdilatasi, dan berfungsi mencerna makanan dibantu
oleh asam klorida (HCl) dan enzim-enzim seperti pepsin, renin, dan lipase.
Lambung memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi pencernaan dan fungsi motorik.
Fungsi pencernaan dan sekresi lambung berkaitan dengan pencernaan protein,
sintesis dan sekresi enzim-enzim pencernaan. Fungsi motorik lambung terdiri
atas penyimpanan makanan sampai makanan dapat diproses dalam duodenum,
pencampuran makanan dengan asam lambung, hingga membentuk suatu kimus,
dan pengosongan makanan dari lambung ke dalam usus dengan kecepatan
yang sesuai untuk pencernaan dan absorbsi dalam usus halus (Wilson dan
Lester 1994). Secara anatomis lambung terdiri atas empat bagian, yaitu: cardia,
fundus, body atau corpus, dan pylorus. Adapun secara histologis, lambung terdiri
atas beberapa lapisan, yaitu: mukosa, submukosa, muskularis mukosa, dan
serosa (Ganong 2003).
Lambung akan mensekresikan asam klorida (HCl) atau asam lambung
dan enzim untuk mencerna makanan. Lambung memiliki motilitas khusus untuk
gerakan pencampuran makanan yang dicerna dan cairan lambung, untuk
membentuk cairan padat yang dinamakan kimus kemudian dikosongkan ke
duodenum. Sel-sel lambung setiap hari mensekresikan sekitar 2500 ml cairan
lambung yang mengandung berbagai zat, diantaranya adalah HCl dan
pepsinogen. HCl membunuh sebagan besar bakteri yang masuk, membantu
pencernaan protein, menghasilkan pH yang diperlukan pepsin untuk mencerna
protein, serta merangsang empedu dan cairan pankreas. Asam lambung cukup
pekat untuk menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal mukosa
lambung tidak mengalami iritasi atau tercerna karena sebagian cairan lambung
mengandung mukus, yang merupakan faktor perlindungan lambung (Ganong
2003).
Sekresi asam lambung dipengaruhi oleh kerja saraf dan hormon. Sistem
saraf yang bekerja yatu saraf pusat dan saraf otonom, yakni saraf simpatis dan
parasimpatis. Adapun hormon yang bekerja antara lain adalah hormon gastrin,
asetilkolin, dan histamine. Terdapat tiga fase yang menyebabkan sekresi asam
lambung. Pertama, fase sefalik, sekresi asam lambung terjadi meskipun
makanan belum masuk lambung, akibat memikirkan atau merasakan makanan.
Kedua, fase gastrik, ketika makanan masuk lambung akan merangsang
mekanisme sekresi asam lambung yang berlangsung selama beberapa jam,
selama makanan masih berada di dalam lambung. Ketiga, fase intestinal, proses
sekresi asam lambung terjadi ketika makanan mengenai mukosa usus. Produksi
asam lambung akan tetap berlangsung meskipun dalam kondisi tidur. Kebiasaan
makan yang teratur sangat penting bagi sekresi asam lambung karena kondisi
tersebut memudahkan lambung mengenali waktu makan sehingga produksi
lambung terkontrol (Ganong 2003).
Gangguan lambung yang umum terjadi adalah gastritis dan tukak peptik
(tukak lambung dan tukak duodenum). Gastritis dan tukak peptik merupakan
penyakit yang erat kaitannya dengan asam lambung dan pepsin. Patofisiologi
dasar dari gastritis dan tukak peptik adalah gangguan keseimbangan faktor
agresif (asam lambung dan pepsin) dan faktor defensif (ketahanan mukosa).
Penggunaan aspirin atau obat anti inflamasi non steroid lainnya, obat-obatan
kortikosteroid, penyalahgunaan alkohol, menelan substansi erosif, merokok, atau
kombinasi dari faktor-faktor tersebut dapat mengancam ketahanan mukosa
lambung. Gastritis dan tukak peptik menimbulkan gejala berupa nyeri, sakit, atau
ketidaknyamanan yang terpusat pada perut bagian atas (dispepsia) (Beyer
2004).
Gastritis
Gastritis adalah peradangan atau inflamasi pada lapisan mukosa dan
submukosa lambung. Bila peradangan terjadi di duodenum, maka disebut
duodenitis. Gejalanya seperti mual, muntah, nyeri epigastrum, nafsu makan
menurun, perut kembung akibat regangan lambung, dan kadang-kadang disertai
kejang perut serta perdarahan. Sekumpulan gejala mual, muntah, nyeri
epigastrum, dan perut kembung disebut sebagai sindrom dispepsia. Pada
endoskopi, gastritis tampak sebagai perubahan warna mukosa lambung,
sedangkan dalam gambaran radiologis gastritis tampak sebagai perubahan relief
dari mukosa (Nurman 1990 diacu dalam Mulyani 2007). Gastritis dapat bersifat
akut dan kronis. Gastritis akut yang tidak diobati akan berkembang menjadi
kronis, disertai dengan borok-borok luka pada dinding yang disebut tukak
lambung. Gastritis memegang peranan penting sebagai faktor penyebab ulkus
atau tukak dan karsinoma. Gastritis kronis dapat menyebabkan fungsi lambung
terganggu. Kondisi ini akan mengurangi asupan makanan ke tubuh sehingga
berat badan turun, penyerapan vitamin B12 ikut terganggu sehingga dapat
menyebabkan anemia (Uripi 2004).
Meningkatnya produksi asam lambung dan berkurangnya daya tahan
dinding lambung terhadap pengaruh dari luar akan menimbulkan gastritis.
Terdapat beberapa faktor yang dapat memicu penyakit ini, antara lain faktor
makanan, obat-obatan atau zat kimia, dan faktor psikologis (Uripi 2004). Faktor
makanan seperti penyimpangan cara makan, jenis makanan, dan jeda waktu
makan dapat menyebabkan gastritis. Meningkatnya cairan lambung disebabkan
oleh makanan dan minuman seperti cuka, cabe, kopi, alkohol, dan makanan lain
yang bersifat merangsang (Uripi 2004). Kebiasaan makan tidak teratur akan
membuat lambung sulit untuk beradaptasi untuk mengeluarkan asam lambung.
Jika hal ini berlangsung lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga
dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung.
Penyebab gastritis yang paling umum sebenarnya adalah infeksi bakteri
Helicobacter pylori (H. pylori). Bakteri H. pylori adalah bakteri gram negatif yang
bergerak dengan flagela. Infeksi bakteri ini termasuk infeksi yang umum terjadi
pada manusia (Beyer 2004). Prevalensi H. pylori di negara berkembang
dilaporkan lebih tinggi dibanding negara maju. Di negara berkembang, prevalensi
H. pylori berkisar antara 30-80% sedangkan di negara maju diperkirakan
sebesar 10% (Fardah, Ganuh dan Subijanto 2006). Bakteri H. pylori hidup secara
berkoloni di bawah lapisan selaput lendir (mukosa) dinding bagian dalam
lambung dan menghasilkan urea sehingga mampu bertahan dalam suasana
asam. Fungsi selaput lendir pada lambung adalah untuk melindungi dinding
lambung dari kerusakan akibat asam yang diproduksi lambung.
Tukak Peptik (Ulkus Peptikum)
Tukak peptik atau ulkus peptikum didefinisikan sebagai kerusakan atau
hilangnya mukosa, submukosa sampai lapisan otot dari saluran cerna bagian
atas yang berkaitan dengan asam dan pepsin dalam patogenesisnya. Kerusakan
mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi, walaupun
sering disebut juga sebagai tukak. Tukak peptik dapat ditemukan pada bagian
saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu distal oesofagus,
lambung, duodenum, dan jejunum (Wilson dan Lester 1994).
Keluhan yang sering diutarakan penderita adalah nyeri di daerah
epigastrum (ulu hati) berupa nyeri yang tajam dan menyayat, atau terasa
tertekan, penuh atau terasa perih seperti pada seseorang yang lapar. Nyeri pada
bagian kanan atau kiri epigastrum terjadi 30 menit setelah makan dan dapat
menjalar ke punggung. Nyeri akan terasa berkurang setelah makan atau minum
antasida. Dispepsia juga dialami oleh penderita tukak peptik. Rasa nyeri pada
perut bagian atas merupakan gejala khas tukak, rasa nyeri diakibatkan oleh
asam lambung asam lambung dan pepsin yang merangsang serabut syaraf di
dasar tukak. Selain itu, motilitas otot-otot dapat menambah rasa nyerinya. Gejala
lain seperti rasa asam di mulut, mual, muntah, kembung, bersendawa, dan
berkurangnya nafsu makan (Hadi 2002 dalam Harahap 2009). Luka yang timbul
pada tukak peptik dapat mengakibatkan perdarahan. Bila jumlahnya sedikit,
darah tersebut akan keluar bersama feses. Feses akan berubah warna menjadi
kehitaman, keadaan ini disebut melena. Bila jumlahnya sangat banyak, darah
akan dimuntahkan, keadaan ini disebut hematemesis (Uripi 2004).
Prevalensi tukak peptik di Indonesia pada beberapa penelitian ditemukan
antara 6-15% terutama pada usia 20-50 tahun (Suyono 2001). Wilson dan Lester
(1994) menyatakan bahwa tukak duodenum menyusun 80% dari keseluruhan
tukak peptik dan menyerang sekitar 10-12% populasi. Tukak duodenum
umumnya menyerang pada kelompok umur yang lebih muda. Terjadinya tukak
duodenum pada umumnya disebabkan oleh hipersekresi asam lambung.
Penyebab kenaikan asam lambung diantaranya: jumlah sel parietal lebih banyak,
sel parietal lebih sensitif terhadap rangsangan, sekresi gastrin yang berlebihan,
dan hiperfungsi kelenjar. Kelainan lain yang ditemukan pada tukak duodenum
adalah pengosongan asam lambung terlalu cepat sehingga beban asam
lambung pada mukosa duodenum tinggi. Pada tukak lambung, sering ditemukan
kelainan berupa keterlambatan pengosongan lambung. Diperkirakan bahwa
regurgitasi isi duodenum yang mengandung empedu dapat mencetuskan trauma
mukosa lambung yang kemudian berlanjut dengan ulserasi lambung (Wilson dan
Lester 1994).
Faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi dan tukak peptik adalah
perimbangan antara faktor agresif (asam lambung dan pepsin) dan faktor
pertahanan (defensif) dari mukosa. Normalnya, mukosa lambung dan duodenum
terlindung dari asam lambung dan pepsin melalui sekresi mukus, produksi
bikarbonat, pembersihan kelebihan asam lambung (difusi ion hidrogen) melalui
aliran darah, dan regenerasi sel epitelial. Produksi mukus distimulasi oleh
prostaglandin (Beyer 2004). Selain faktor agresif dan defensif, terdapat
beberapa hal yang menjadi faktor kontibusi untuk terjadinya tukak peptik antara
lain jenis kelamin, faktor stres, herediter, merokok, obat-obatan, dan infeksi
bakteri (Julius 1992). Beyer (2002) menyatakan bahwa penyebab primer tukak
peptik adalah infeksi H. pylori, gastritis, penggunaan aspirin dan obat
antiinflamasi non steroid, kortikosteroid, dan stres. Konsumsi alkohol berlebihan
dapat merusak mukosa lambung, memperburuk gejala tukak peptik, dan
mengganggu penyembuhan tukak peptik. Merokok dapat mengganggu faktor
defensif lambung (menurunkan sekresi bikarbonat dan aliran darah di mukosa),
memperburuk peradangan, dan berkaitan erat dengan komplikasi tambahan
karena infeksi H. pylori. Patofisiologi tukak peptik dipaparkan dalam gambar 1.
Gambar 1 Etiologi, patogenesis, dan manajemen tukak peptik atau peptic ulcer
(Beyer 2004)
Gastritis
Manajemen Gizi
Status gizi yang baik (normal)
membantu menurunkan risiko infeksi bakteri dan
penyakit degeneratif
Aspirin & OAINS
lainnya
Infeksi
H. pylori Stres
TUKAK PEPTIK
ETIOLOGI
Erosi lapisan mukosa, submukosa, atau lapisan otot dinding saluran cerna atas
Manajemen Medis Manajemen Perilaku
Meningkatkan intik asam lemak rantai pendek dan rantai
sedang (MCT) yang memiliki efek perlindungan
PATOGENESIS
* OAINS : Obat Anti Inflamasi Non Steroid
Mengurangi atau menghindari OAINS
Menggunakan antibiotik, antasida
Menekan asam lambung dengan: Proton pump inhibitor atau blok reseptor H2
Menghindari rokok
Mengurangi konsumsi alkohol,
bumbu tajam, kopi dan kafein
Kebiasaan Merokok
Rokok adalah silinder kertas yang berisi daun tembakau cacah. Dalam
sebatang rokok, terkandung berbagai zat-zat kimia berbahaya yang berperan
seperti racun. Dalam asap rokok yang disulut, terdapat kandungan zat-zat kimia
berbahaya seperti gas karbon monoksida, nitrogen oksida, amonia, benzene,
methanol, perylene, hidrogen sianida, akrolein, asetilen, bensaldehid, arsen,
benzopyrene, urethane, coumarine, ortocresol, n-nitrosamin, nikotin, tar, dan lain-
lain. Selain nikotin, peningkatan paparan hidrokarbon, oksigen radikal, dan
substansi racun lainnya turut bertanggung jawab pada berbagai dampak rokok
terhadap kesehatan.
Efek rokok pada saluran gastrointestinal antara lain melemahkan katup
esofagus dan pilorus, meningkatkan refluks, mengubah kondisi alami dalam
lambung, menghambat sekresi bikarbonat pankreas, mempercepat pengosongan
cairan lambung, dan menurunkan pH duodenum. Sekresi asam lambung
meningkat sebagai respon atas sekresi gastrin atau asetilkolin (Beyer 2008).
Selain itu, rokok juga mempengaruhi kemampuan cimetidine (obat penghambat
asam lambung) dan obat-obatan lainnya dalam menurunkan asam lambung
pada malam hari, dimana hal tersebut memegang peranan penting dalam proses
ulcerogenesis (timbulnya tukak). Rokok dapat mengganggu faktor defensif
lambung (menurunkan sekresi bikarbonat dan aliran darah di mukosa),
memperburuk peradangan, dan berkaitan erat dengan komplikasi tambahan
karena infeksi H. pylori (Beyer 2004). Merokok juga dapat menghambat
penyembuhan spontan dan meningkatkan risiko kekambuhan tukak peptik.
Pengukuran konsumsi rokok dapat dilakukan dengan menggunakan
ukuran kuantitatif seperti frekuensi merokok (rokok/hari), durasi (berapa tahun
merokok), dan umur ketika awal merokok (Musbyarini 2009). Ukuran-ukuran
kuantitatif tersebut dapat dihubungkan dengan dampak kesehatan yang
ditimbulkan rokok terhadap penggunanya.
Konsumsi Minuman Beralkohol
Alkohol sangat berperangaruh terhadap makhluk hidup, terutama dengan
kemampuannya sebagai pelarut lipida. Kemampuannya melarutkan lipida yang
terdapat dalam membran sel memungkinkannya cepat masuk ke dalam sel-sel
dan menghancurkan struktur sel tersebut. Oleh karena itu alkohol dianggap
toksik atau racun. Alkohol yang terdapat dalam minuman seperti bir, anggur, dan
minuman keras lainnya terdapat dalam bentuk etil alkohol atau etanol (Almatsier
2002).
Metabolisme alkohol melibatkan enzim alkohol dehidrogenase yang
terdapat dalam lambung dan hati. Di dalam lambung, sebagian alkohol akan
mengalami pemecahan sehingga mengurangi jumlah alkohol yang diserap ke
dalam aliran darah hingga 20%. Alkohol yang diabsorbsi kemudian dibawa
melalui pembuluh darah ke hati, yang mampu memecah alkohol dalam jumlah
besar. Jumlah alkohol yang dapat ditangani oleh hati sekaligus rata-rata
sebanyak 15 gram etanol per jam, bergantung pada ukuran tubuh, kondisi
kesehatan, jarak waktu makan atau kondisi lambung dan usus, kebiasaan umum,
berat badan, jenis kelamin,dan lain-lain. Bila melebihi jumlah yang dapat
dioksidasi oleh hati, alkohol akan dikeluarkan dan masuk sirkulasi darah dan
dibawa ke bagian-bagian tubuh yang lain (Almatsier 2002).
Organ tubuh yang berperan besar dalam metabolisme alkohol adalah
lambung dan hati, oleh karena itu efek dari kebiasaan mengkonsumsi alkohol
dalam jangka panjang tidak hanya berupa kerusakan hati atau sirosis, tetapi juga
kerusakan lambung. Dalam jumlah sedikit, alkohol merangsang produksi asam
lambung berlebih, nafsu makan berkurang, dan mual, sedangkan dalam jumlah
banyak, alkohol dapat mengiritasi mukosa lambung dan duodenum (Harahap
2009). Konsumsi alkohol berlebihan dapat merusak mukosa lambung,
memperburuk gejala tukak peptik, dan mengganggu penyembuhan tukak peptik
(Beyer 2004). Alkohol mengakibatkan menurunnya kesanggupan mencerna dan
menyerap makanan karena ketidakcukupan enzim pankreas dan perubahan
morfologi serta fisiologi mukosa gastrointestinal (Beyer 2008).
Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik adalah semua aktivitas selama bekerja, aktivitas pada waktu
senggang, termasuk pada waktu berolahraga. Aktivitas fisik adalah gerakan yang
dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas
fisik, otot membutuhkan energi di luar metabolisme untuk bergerak, sedangkan
jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-
zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari
tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan bergantung banyaknya otot yang
bergerak, berapa lama, dan berapa berat pekerjaan yang dilakukan (Almatsier
2002).
Aktivitas fisik erat kaitannya dengan kesehatan tubuh secara
keseluruhan. Tubuh yang sehat akan mampu melakukan aktivitas fisik secara
optimal dan sebaliknya, aktivitas fisik yang dilakukan secara rutin dalam porsi
cukup akan membawa dampak positif terhadap kesehatan tubuh. Orang yang
aktif bergerak memiliki tekanan darah yang lebih baik, pola tidur yang lebih baik,
stres yang lebih sedikit, dan umumnya memiliki umur harapan hidup yang lebih
panjang dibandingkan dengan orang yang kurang gerak (Byrd-Bredbenner et al.
2009).
Pengaruh diet dan olahraga pada status kesehatan berhubungan dekat
satu sama lain. Olahraga dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit dan
kematian dini. Sebaliknya, kebiasaan dan aktivitas fisik sedentary dapat
meningkatkan risiko berbagai masalah kesehatan. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa aktivitas fisik secara teratur menurunkan risiko berbagai
dampak-dampak gaya hidup yang negatif bagi kesehatan; melakukan aktivitas
ringan lebih baik daripada tidak sama sekali; untuk dampak kesehatan yang
besar, tambahan manfaat bergantung pada intensitas olahraga yang lebih tinggi,
frekuensi yang lebih sering dan/atau durasi yang lebih lama; sebagian besar
manfaat kesehatan diperoleh dengan aktivitas fisik moderat minimal 150 menit
per minggu; olahraga aerobik dan peregangan otot adalah olahraga yang sama-
sama bermanfaat; manfaat olahraga dapat terjadi pada anak-anak dan remaja,
orang dewasa dan paruh baya, lansia, dan di setiap penelitian berdasarkan ras
atau etnis (USDHHS 2008).
Olahraga yang teratur membantu menguatkan jantung, meningkatkan
peristaltik saluran gastrointestinal, menurunkan stres, dan mengontrol berat
badan (Byrd-Bredbenner et al. 2009). Menurut Beyer (2008), olahraga dapat
membantu melancarkan pergerakan makanan pada saliran gastrointestinal dan
mneingkatkan rasa nyaman pada pencernaan. Peranan olahraga yang terbesar
adalah menurunkan risiko terjangkit penyakit dan kematian dini. Kebiasaan dan
aktivitas fisik yang sedentary dapat meningkatkan risiko beberapa masalah
kesehatan. Olahraga secara efektif dapat membantu proses pengaturan berat
badan. Rajin olahraga akan membantu memanajemen stres dan akan
menurunkan risiko terjadinya dispepsia. Manajemen stres akan membantu
mengontrol produksi asam lambung. Olahraga atau aktifitas fisik dikatakan dapat
mempengaruhi risiko gastritis dan tukak peptik melalui beberapa mekanisme,
yaitu: meningkatkan sistem imun sehingga menetralisisr efek H. pylori,
meningkatkan kemampuan seseorang untuk bertahan terhadap stres, dan
mereduksi rangsangan sekresi asam lambung. Beberapa fakta menyatakan
bahwa olahraga secara signifikan dapat mengurangi risiko tukak duodenum dan
perdarahan gastrointestinal pada penderita gastritis atau tukak duodenum
(Cheng et al. 2000).
Kebiasaan Makan
Kebiasaan makan adalah cara individu atau kelompok individu memilih
pangan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologi,
psikologi, dan sosial budaya. Lebih lanjut dikatakan bahwa kebiasaan makan
bukanlah bawaan sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Kebiasaan makan
atau pola makan adalah suatu perilaku yang berhubungan dengan makan dan
makanan seperti tata krama, frekuensi makan seseorang, pola makanan yang
dimakan, pantangan, distribusi makanan dalam anggota keluarga, preferensi
terhadap makanan, dan cara pemilihan bahan pangan (Suhardjo 1989).
Kebiasaan makan yang berubah dapat disebabkan oleh pendidikan gizi dan
kesehatan, serta aktivitas pemasaran atau distribusi pangan. Kebiasaan makan
dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, seperti lingkungan budaya,
lingkungan alam, serta populasi.
Khumaidi (1994) menyatakan bahwa pada dasarnya terdapat dua faktor
utama yang mempengaruhi kebiasaan makan manusia, yaitu faktor intrinsik
(berasal dari dalam diri manusia) dan faktor ekstrinsik (berasal dari luar
manusia). Faktor intrinsik yang mempengaruhi kebiasaan makan antara lain
asosiasi emosional, keadaan jasmani, keadaan kejiwaan, dan penilaian terhadap
makanan, sedangkan faktor ekstrinsik antara lain lingkungan sosial, alam,
budaya, agama, dan ekonomi.
Dari segi gizi, kebiasaan makan ada yang baik dan yang buruk.
Kebiasaan makan yang baik adalah yang dapat menunjang terpenuhinya
kecukupan gizi, sedangkan kebiasaan yang buruk adalah kebiasaan yang dapat
menghambat terpenuhinya kecukupan gizi, seperti adanya pantangan atau tabu
yang berlawanan degan konsep gizi.
Elizabeth dan Sanjur (1981) dalam Suhardjo (1989) menyatakan bahwa
terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi konsumsi pangan. Pertama,
karakter individu, seperti: umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan,
pengetahuan gizi, dan kesehatan. Kedua, karakter makanan, seperti: rasa, rupa,
tekstur, harga, tipe makanan, bentuk, dan kombinasi makanan. Ketiga, karakter
lingkungan seperti musim, pekerjaan, mobilitas, dan tingkat sosial masyarakat.
Pola makan sehat mengandung dua makna, yaitu jenis makanan yang
sehat dan pola makannya. Makanan yang sehat yaitu makanan yang di
dalamnya terkandung zat-zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Adapun pola
makan yang sehat adalah kebiasaan yang baik, yaitu sesuai jumlahnya dengan
yang dibutuhkan tubuh, beragam jenisnya sehingga mencukupi kebutuhan zat
gizi esensial tubuh, dan jadwal makan yang teratur (Khomsan 2002).
Kaitan Kebiasaan Makan dengan Gangguan Pencernaan
Faktor yang berperan pada kejadian gastritis dan tukak lambung dengan
gejala khas dispepsia diantaranya adalah pola makan atau kebiasaan makan
dan sekresi asam lambung (Djojoningrat 2001). Selain jenis-jenis makanan yang
dikonsumsi, ketidakteraturan makan seperti kebiasaan makan buruk, tergesa-
gesa, dan jadwal yang tidak teratur dapat menyebabkan dispepsia (Eschleman
1984, diacu dalam Annisa 2009). Berdasarkan penelitian tentang gejala
gastrointestinal yang dilakukan oleh Reshetnikov et al. (2007) kepada 1562
orang dewasa, jeda jadwal makan yang lama dan ketidakteraturan makan
berkaitan dengan gejala dispepsia.
Kebiasaan makan sangat berkaitan dengan produksi asam lambung.
Asam lambung berfungsi untuk mencerna makanan yang masuk ke dalam
lambung dengan jadwal yang teratur. Produksi asam lambung akan tetap
berlangsung meskipun dalam kondisi tidur. Kebiasaan makan yang teratur
sangat penting bagi sekresi asam lambung karena kondisi tersebut memudahkan
lambung mengenali waktu makan sehingga produksi asam lambung terkontrol.
Kebiasaan makan tidak teratur akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi.
Jika hal ini berlangsung lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga
dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung sehingga timbul gastritis dan
dapat berlanjut menjadi tukak peptik. Hal tersebut dapat menyebabkan rasa perih
dan mual. Gejala tersebut bisa naik ke kerongkongan yang menimbulkan rasa
panas terbakar (Nadesul 2005). Produksi asam lambung diantaranya
dipengaruhi oleh pengaturan sefalik, yaitu pengaturan oleh otak. Adanya
makanan dalam mulut secara refleks akan merangsang sekresi asam lambung.
Pada manusia, melihat dan memikirkan makanan dapat merangsang sekresi
asam lambung (Ganong 2003).
Jenis-jenis makanan tertentu juga berperan dalam timbulnya sindrom
dispepsia. Terlalu sering mengkonsumsi makanan yang berminyak dan berlemak
membuat makanan tinggal di lambung lebih lama. Makanan tersebut lambat
dicerna dan menimbulkan peningkatan tekanan di lambung yang pada akhirnya
membuat katup antara lambung dengan kerongkongan (lower esophageal
sphincter/LES) melemah sehingga asam lambung dan gas akan naik ke
kerongkongan. Lamanya pengosongan lambung berhubungan dengan tukak
lambung. Sebaliknya, konsumsi lemak dalam jumlah yang cukup dapat menekan
sekresi asam lambung dengan cara memperlambat pengosongan lambung dan
menstimulasi aliran getah pankreas serta empedu. Dengan demikian lemak turut
memfasilitasi proses pencernaan agar berlangsung lebih optimal (Ettinger 2000).
Minum kopi, teh, atau minuman lain yang mengandung kafein juga dapat
mengendurkan LES. Menurut Shinya (2007), teh mengandung tanin yang mudah
teroksidasi menjadi asam tanat. Asam tanat memiliki efek negatif pada mukosa
lambung sehingga menyebabkan masalah pada lambung misalnya tukak
lambung. Minum teh dalam kondisi perut kosong dapat menimbulkan tekanan
berlebih pada lambung. Diet tinggi garam dapat mengakibatkan terjadinya
peningkatan proliferasi epitel lambung sehingga menyebabkan gastritis.
Konsumsi NaCl dalam jumlah berlebihan akan meningkatkan kolonisasi
Helicobacter pylori. Infeksi Helicobacter pylori yang predominan di antrum dapat
meningkatkan kadar gastrin sehingga meningkatkan sekresi asam lambung dan
menyebabkan tukak lambung (Dwijayanti, Ratnasari, dan Susetyowati 2008).
Makanan pedas dan berbumbu tajam dapat merangsang sekresi asam
lambung berlebih sehingga muncul gejala-gejala sindrom dispepsia. Makanan
yang terasa asam, sayuran dan buah-buahan bergas seperti kol, sawi, durian,
nangka, dan lainnya dapat menimbulkan gejala sindrom dispepsia. Kebanyakan
agen yang merangsang sekresi asam lambung juga akan meningkatkan sekresi
pepsinogen. Peningkatan sekresi asam lambung yang melalmpaui batas akan
mengiritasi mukosa lambung sehingga timbul gastritis dan tukak.
Karotenoid (bahan pembentuk vitamin A) berinteraksi dengan vitamin C,
vitamin E, dan Selenium sebagai zat anti oksidan yang melawan efek radikal
bebas. Karoten berperan dalam meningkatkan sistem immunitas tubuh melalui
efek anti oksidan. Vitamin A dikenal sebagai zat gizi esensial yang berperan
penting dalam penglihatan. Di luar perannya dalam penglihatan, vitamin A juga
berperan dalam berbagai fungsi sistemik, meliputi peran dalam diferensiasi sel
dan fungsi membran sel (cell recognition), pertumbuhan dan perkembangan,
fungsi kekebalan, dan reproduksi (Mahan & Escott-Stump 2000). Diferensiasi sel
terjadi apabila sel tubuh mengalami perubahan dalam sifat atau fungsi awalnya.
Sel-sel yang paling nyata mengalami diferensiasi adalah sel-sel epitel khusus,
terutama sel goblet, yaitu sel kelenjar yang mensintesis dan mengeluarkan
mukus atau lendir. Jaringan epitel yang melapisi organ dalam tubuh dinamakan
membran mukosa. Mukus melindungi sel-sel epitel dari mikroorganisme dan
partikel lain yang berbahaya. Mukosa lambung juga melindungi sel epitel
lambung dari sifat korosif asam lambung dan pepsin. Kekurangan vitamin A
menghambat fungsi sel-sel goblet mengeluarkan mukus (Almatsier 2002).
Konsumsi Makanan
Sebagaimana diketahui, kebiasaan makan atau pola makan adalah suatu
perilaku yang berhubungan dengan makan dan makanan salah satunya adalah
pola makanan yang dimakan sehari-hari atau konsumsi makanan. Konsumsi
makanan berkaitan erat dengan masalah gizi dan kesehatan serta perencanaan
produksi pangan. Konsumsi makanan merupakan informasi tentang jenis dan
jumlah makanan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang
pada waktu tertentu. Definisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat
ditinjau dari aspek jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Dalam menghitung
jumlah zat gizi yang dikonsumsi, kedua informasi tersebut (jenis dan jumlah
makanan) merupakan hal yang penting.
Terdapat dua pengertian tentang penilaian konsumsi pangan, yaitu: (1)
penilaian terhadap kandungan zat gizi dari makanan, dan (2) membandingkan
kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang
dengan angka kecukupannya. Untuk mengetahui tingkat konsumsi zat gizi
seseorang atau kelompok orang digunakan pengertian yang kedua. Pada
prinsipnya, penilaian jumlah konsumsi zat gizi menggunakan tiga jenis data, yaitu
data konsumsi pangan, data kandungan zat gizi bahan makanan, dan data
kecukupan gizi (Hardinsyah dan Briawan 1994).
Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dalam menilai
konsumsi pangan, baik tingkat individu, keluarga, maupun masyarakat. Survei
konsumsi tingkat individu dapat menggunakan metode penimbangan (food
weighing), metode mengingat-ingat (food recall), riwayat makan (dietary history),
frekuensi pangan (food frequency), dan metode kombinasi. Pemilihan metode
dapat didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu: tujuan survei, ketelitian
yang diinginkan, ketersediaan dana dan waktu, serta tingkat kemahiran/keahlian
tenaga pengumpul data (Kusharto dan Sa’adiyyah 2008).
Salah satu metode survei konsumsi pangan individu adalah metode
recall. Penggunaan metode ini bertujuan untuk memperoleh data konsumsi
pangan secara kuantitatif. Pada metode ini dicatat mengenai jumlah dan jenis
pangan yang dikonsumsi pada waktu yang lalu (retrospektif). Pengukuran
konsumsi diawali dengan menanyakan jumlah pangan dalam URT (ukuran
rumah tangga) yang kemudian dikonversikan dalam satuan berat. Metode recall
memiliki beberapa keuntungan, diantaranya biaya yang murah dan tidak
memakan waktu lama. Namun, kelemahan metode ini adalah data yang
dihasilkan mungkin kurang akurat karena mengandalkan keterbatasan daya ingat
seseorang (Kusharto dan Sa’adiyyah 2008).
Tidak ada metode yang terbaik untuk semua tujuan studi karena setiap
metode memiliki kelebihan dan kelemahan. Untuk menyesuaikan dengan subjek
penelitian dan meminimalisir kelemahan suatu metode, dapat dilakukan
kombinasi atau modifikasi seperlunya (Kusharto dan Sa’adiyyah 2008). Dalam
penelitian ini, metode recall dimodifikasi menyerupai anamnesa diet atau
kebiasaan makan. Recall tidak dilakukan berdasarkan konsumsi 24 jam
responden, melainkan berdasarkan kebiasaan makan sehari-hari responden. Hal
ini dimaksudkan untuk memudahkan responden dalam mengisi form konsumsi.
Kondisi responden yang berada dalam satu lingkungan asrama dengan
konsumsi mayoritas berasal dari kantin asrama menjadi pertimbangan peneliti
untuk memodifikasi metode recall.
Status Gizi
Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau
sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorpsi) dan
penggunaan (utilisasi) zat gizi makanan. Dengan menilai status gizi seseorang
atau sekelompok orang maka dapat diketahui apakah seseorang atau
sekelompok orang tersebut status gizinya baik atau tidak baik. Ada berbagai cara
yang digunakan untuk menilai status gizi, yaitu melalui konsumsi makanan,
antropometri, biokimia, dan klinis (Nasoetion & Riyadi 1995).
Menurut Supariasa et al. (2001) kekurangan dan kelebihan gizi pada
orang dewasa adalah masalah penting kerena akan menimbulkan risiko-risiko
penyakit tertentu. Berat badan yang sangat kurang (underweight) mempunyai
risiko terhadap penyakit infeksi, sementara berat badan yang melebihi batas
normal (overweight) mempunyai risiko tinggi terhadap penyakit degeneratif.
Laporan FAO/WHO/UNU diacu dalam Supariasa et al. (2001) menyatakan
bahwa batasan berat badan normal ditentukan berdasarkan Indeks Massa Tubuh
(IMT). Berikut ini merupakan rumus perhitungan IMT.
Untuk menganalisis status gizi anak dan remaja (usia 5-19 tahun), salah
satu referensi yang dapat digunakan adalah referensi WHO 2007. Referensi
WHO 2007 adalah rekonstruksi dari National Center for Health Statistic (NCHS)
atau WHO. Referensi WHO 2007 menggunakan kumpulan data NCHS yang
disuplementasi dengan data dari standar pertumbuhan WHO untuk anak balita.
Indikator yang digunakan dalam referensi WHO 2007 adalah IMT terhadap umur
(IMT/U), berat badan terhadap umur (BB/U), dan tinggi badan terhadap umur
(TB/U). Klasifikasi dan cut off point status gizi berdasarkan IMT dijelaskan dalam
tabel berikut ini.
Tabel 1 Klasifikasi IMT/U untuk anak dan remaja (WHO 2007)
Klasifikasi Cut off point
Sangat kurus (severe thinnes) < -3 SD Kurus (thinnes) < -2 s.d. -3 SD Normal -2 SD s.d. +1 SD Overweight > +1 s.d. +2 SD Obesitas (obese) > +2 SD
Keterangan: SD = standar deviasi; s.d.= sampai dengan
Konsumsi Obat-Obatan
Obat-obatan yang Memicu Terjadinya Gangguan Lambung
Gastritis dan tukak peptik dapat disebabkan karena memakan obat-obat
tertentu. Obat anti nyeri (aspirin, neuralgin, piroxicam, parasetamol), obat anti
inflamasi non steroid (OAINS), antibiotik, kortikosteroid (hormon), tablet besi,
suplemen kalium, dan obat kemoterapi adalah beberapa jenis obat yang memiliki
efek menyebabkan gastritis. Selain itu, menelan racun atau zat kimia tertentu pun
berpotensi menyebabkan gastritis, seperti menelan asam korosif, alkohol, benda
asing seperti klip, stapler, dan lainnya (Santoso 2008).
Obat anti inflamasi biasanya diindikasikan untuk mengurangi gejala-gejala
pada kondisi artritis reumatoid, osteosrtritis, gout akut, dismenorea, sakit kepala
dan migren, nyeri pasca operasi, nyeri derajat ringan sampai sedang akibat
cedera jaringan, pireksia (demam), ileus, kolik ginjal, dan lainnya. Di Indonesia,
obat-obatan banyak yang dijual secara bebas. Obat-obatan daftar G (obat yang
IMT (kg/ m2) = Berat Badan (kg)
Tinggi Badan2 (m2)
perlu resep dokter) dapat dengan mudah dibeli tanpa menggunakan resep.
Pemakaian obat-obatan yang luas ini meyebabkan kejadian efek samping obat
meningkat. Beberapa obat menimbulkan efek samping yang berhubungan
dengan saluran cerna. Sekitar 10-20% pasien yang menggunakan aspirin dan
OAINS mengalami dispepsia. Terdapat dua mekanisme kerja obat-obatan ini
yang dapat menyebabkan iritasi secara langsung maupun tidak langsung pada
saluran cerna. Molekul-molekul obat yang bersifat asam akan langsung
mengiritasi mukosa lambung dan inhibisi atau hambatan pengeluaran kadar
prostaglandin yang bersifat protektif terhadap mukosa lambung. Prostaglandin
dihambat karena dianggap bertanggungjawab terhadap munculnya inflamasi dan
rasa nyeri (Santoso 2008).
Obat-obatan untuk Mengatasi Gangguan Lambung
Obat yang lazim digunakan untuk mengatasi gejala gastritis dan tukak
peptik adalah obat-obatan untuk menghambat sekresi asam lambung. Obat-
obatan ini diantaranya adalah penghambat histamin (H2 blocker) seperti
cimetidine dan ranitidine, inhibitor pompa proton seperti omeprazole, maupun
obat untuk menetralisir asam lambung (antasida) seperti mylanta, sanmag,
promag, dan lainnya. Bila diketahui gastritis atau tukak peptik yang terjadi
disebabkan oleh H. pylori, maka antibiotik akan diberikan pada penderita.
Antasida merupakan obat yang paling umum digunakan untuk mengatasi
gejala gastritis atau tukak peptik. Obat jenis ini termasuk obat yang dijual bebas,
(OTC, Over the counter). Obat-obatan lainnya (penghambat histamin, inhibitor
pompa proton, antibiotik) merupakan obat daftar G yang seharusnya memerlukan
resep dokter.
Antasida diberikan secara oral untuk mengurangi rasa perih akibat
suasana lambung yang terlalu asam dengan cara menetralkan asam lambung.
Umumnya antasida merupakan basa lemah, terdiri dari zat aktif yang
mengandung alumunium hidroksida dan magnesium hidroksida. Terkadang
antasida juga dikombinasikan dengan simetikon untuk mengurangi kelebihan
gas. Efek samping yang utama pada antasida dengan zat aktif alumunium
hidroksida adalah konstipasi (sembelit). Sedangkan antasida dengan zat aktif
magnesium hidroksida dapat menyebabkan diare, sehingga kedua zat aktif ini
sering dikombinasikan agar efek samping dapat diminimalisir.
Antasida dapat berinteraksi dengan senyawa logam lain yang terkandung
pada makanan atau obat tertentu, misalnya penisilin dan vitamin B12. Antasida
mengandung mineral magnesium atau alumunium. Mineral yang yang memiliki
berat molekul dan jumlah muatan (valensi) sama akan bersaing satu sama lain
untuk diabsorbsi. Magnesium (Mg), kalsium (Ca), besi (Fe), dan tembaga (Cu)
sama-sama memiliki valensi +2 sehingga jika dikonsumsi bersamaan akan saling
menghambat absorbsi (Almatsier 2002). Sering mengkonsumsi antasida akan
menimbulkan risiko defisiensi vitamin dan mineral tertentu. Jika defisiensi besi
dan vitamin B12 yang terjadi, maka dapat berdampak pada anemia.
Stres
Secara umum, stres dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres fisik dan
stres psikologis. Stres fisik terjadi, misalnya karena luka bakar, infeksi yang
sampai masuk ke pembuluh darah atau sepsis, adanya trauma, sedang dalam
perawatan setelah pembedahan, adanya henti napas, gagal ginjal, dan
kerusakan saraf. Semua keadaan di atas menimbulkan stres fisik yang cukup
serius sehingga secara tidak langsung dapat menyebabkan iritasi pada lambung.
Adapun stres psikologis lebih bersifat ketegangan atau tekanan mental yang
dirasakan internal di dalam diri (Tarigan 2003).
Faktor stres erat kaitannya dengan berbagai rangkaian reaksi tubuh yang
merugikan kesehatan. Gangguan psikis atau konflik emosi yang menimbulkan
gangguan psikosomatik ternyata diikuti oleh perubahan fisiologis dan biokemis
seseorang. Perubahan fisiologis ini berkaitan dengan adanya gangguan pada
sistem saraf otonom vegetatif, sistem endokrin, dan sistem imun. Ada beberapa
mekanisme yang sudah dibuktikan dan beberapa diantaranya terkait dengan
sistem hormonal, dimana stres akan menyebabkan otak mengaktifkan sistem
hormon untuk memicu sekresinya. Stres paling banyak memicu sekresi hormon
kortisol, dimana hormon ini selanjutnya akan berkerja mengkoordinasi seluruh
sistem dalam tubuh termasuk jantung, paru-paru, peredaran darah, metabolisme,
dan sistem imunitas tubuh dalam reaksi yang ditimbulkannya. Sekresi hormon ini
menjelaskan mengapa ketika menghadapi stres, tekanan darah dan denyut
jantung meningkat secara cepat, paru-paru bekerja ekstra untuk mengambil
oksigen lebih banyak sehingga meningkatkan juga peredaran darah di seluruh
tubuh mulai dari otot hingga otak, peningkatan tersebut bisa berkali-kali lipat
melebihi batas normal. Bukan hanya jantung saja yang terasa berdebar, namun
keseluruhan sistem tubuh termasuk pengeluaran keringat juga akan meningkat
dengan cepat (Harahap 2007).
Selain hormon kortisol, ada hormon lain yang turut berperan dalam
mekanisme ini, diantaranya hormon katekolamin yang terdiri dari zat aktif
dopamin, norepinefrin, dan epinefrin yang lebih dikenal dengan adrenalin.
Hormon ini akan mengaktifkan suatu sistem ingatan jangka panjang yang akan
mengingat stressor yang sama pada peristiwa selanjutnya serta menekan bagian
otak yang berperan dalam ingatan jangka pendek. Penekanan ingatan jangka
pendek inilah yang dinilai para ahli sebagai faktor utama yang menyebabkan
orang tidak lagi berpikir secara rasional ketika mereka dilanda stres. Proses ini
juga memicu terjadinya penyakit psikosomatik dengan gejala dispepsia, seperti
mual dan muntah, diare, pusing, sakit otot, juga sendi. Berbagai mekanisme
hormonal (penurunan serotonin, peningkatan asetilkolin, penurunan katekolamin,
dll.) akan menimbulkan hipersimpatotonik sistem gastrointestinal yang akan
menimbulkan peningkatan peristaltik dan sekresi asam lambung yang
menyebabkan hiperasiditas lambung, kolik, vomitus, dan sebagian besar gejala
gastritis dan ulkus peptik (Tarigan 2003).
Faktor Herediter dan Golongan Darah
Hampir semua penyakit yang terjadi pada manusia memiliki unsur
genetik. Faktor genetik pada setiap orang dapat mempengaruhi struktur dan
fungsi tubuh dalam kondisi normal dan ketika sakit. Setiap penyakit, satu atau
lebih faktor genetik menentukan karakter, gejala, dan tingkat keparahan penyakit.
Pada penyakit tukak peptik, gastritis, dan kanker lambung, faktor genetik
berkontribusi pada kerentanan dan konsekuensi infeksi (Riccardi dan Rotter
2004).
Faktor genetik berkaitan erat dengan herediter atau keturunan. Gen
tertentu akan diwariskan pada keturunan. Beberapa studi menunjukkan bahwa
kedekatan keluarga, kembar, golongan darah yang sejenis, dan abnormalitas
fisiologis (misalnya: level serum pepsinogen berlebih) berkaitan dengan tukak
peptik, gastritis, dan kanker lambung (Riccardi dan Rotter 2004). Penyakit tukak
peptik (ulkus) terjadi 2-3 kali lebih sering pada keluarga yang terdapat riwayat
tukak peptik dibanding populasi normal. Pada keluarga dengan ibu yang memiliki
riwayat gangguan lambung, cenderung lebih banyak menurunkan penyakit yang
sama pada anaknya. Diduga masa kehamilan dan menyusui turut berpengaruh
pada kejadian beberapa penyakit yang dialami oleh anak atau imunitas anak.
Diet sehari-hari ibu pada saat hamil dan menyusui menyebabkan ekspresi gen
yang berbeda pada anak (Tridjaja dan Marzuki 2009). Selain faktor genetis,
faktor psikososial yang berkaitan dengan ibu juga berpengaruh pada munculnya
gangguan lambung. Kebiasaan makan anak dibentuk di keluarga. Ibu adalah
pihak yang berperan penting dalam membentuk kebiasaan anak sejak dini.
Kebiasaan baik yang ditanamkan oleh ibu sejak masa kanak-kanak biasanya
akan terinternalisasi dan terbawa hingga anak beranjak remaja. Kebiasaan
makan dan gaya hidup yang sehat akan mempengaruhi status kesehatan
seseorang.
Hasil penelitian mengindikasikan bahwa golongan darah berhubungan
dengan risiko penyakit. Golongan darah mempengaruhi sistem metabolisme dan
daya tahan tubuh serta keadaan mental. Hal ini dikarenakan adanya hubungan
secara genetik antara gen pada golongan darah dengan gen lain yang
berpengaruh terhadap kesehatan dan sistem metabolisme secara keseluruhan
(D’Adamo 2002). Pada golongan darah O didapatkan 30-40% lebih sering
mengalami tukak peptik dibandingkan golongan darah lainnya (Julius 1992).
Golongan darah O memiliki kecenderungan untuk terkena insiden penyakit
pencernaan, yaitu gastritis, duodenitis, dan tukak peptik (ulkus) lebih tinggi
dibandingkan dengan golongan darah lainnya karena produksi asam
lambungnya lebih banyak dibandingkan golongan darah yang lain. Penelitian
Mulyani (2007) pada mahasiswa TPB IPB menunjukkan bahwa golongan darah
O mempunyai risiko sebesar 1,96 kali lebih besar untuk mengalami penyakit
peptik dibandingkan golongan darah yang lain (A, B, dan AB).
Lingkungan (Sosial-Ekonomi)
Menurut Riccardi dan Rotter (2004), banyak penyakit terjadi karena
adanya hubungan saling mempengaruhi antara faktor genetik dan lingkungan.
Hampir semua penyakit manusia memiliki unsur genetik, dan setiap kejadian
dimana unsur genetik berperan, satu atau lebih unsur lingkungan akan
berkontribusi untuk menajamkan proses terjadinya penyakit. Secara kasar,
unsur lingkungan dapat dibedakan menjadi dua tipe. Pertama, lingkungan yang
terbentuk karena aktivitas manusia, misalnya: budaya, sosial, dan faktor perilaku.
Kedua, lingkungan yang mengacu pada background, yang meliputi pengaruh
secara fisik (misal: sinar matahari, iklim) maupun biologis (misal: parasit, infeksi).
Pada penyakit tukak peptik, gastritis, dan kanker lambung, faktor
lingkungan berkaitan erat dengan infeksi bakteri H. pylori. Kondisi geografis,
sosial-ekonomi, dan budaya juga berperan sebagai faktor penyebab (multiple
causative factors). Bytzer et al. (2000) menyebutkan bahwa sosio-ekonomi yang
rendah merupakan salah satu faktor resiko terjadinya gejala gangguan saluran
cerna bagian atas dan bawah. Hal ini mungkin terkait dengan faktor kebersihan.
Faktor kebersihan yang buruk membuat infeksi bakteri H. pylori menjadi lebih
sering terjadi. Penyebaran dispepsia, gastritis, dan tukak peptik berkaitan dengan
H. pylori umumnya terjadi pada lingkungan yang padat penduduknya, sosio-
ekonomi yang rendah, dan lebih banyak terjadi di negara berkembang
dibandingkan di negara maju. Beberapa penelitian menyimpulkan adanya
hubungan yang signifikan antara rendahnya pendapatan rumah tangga dan
besarnya jumlah anggota keluarga dengan peningkatan kejadian penyakit
gastrointestinal, termasuk dispepsia yang merupakan predisposisi gastritis dan
tukak peptik. Ketidaknyamanan dengan pendapatan finansial berhubungan
dengan stres yang juga dapat menimbulkan gastritis dan tukak peptik. Menurut
Sultan (2009), ras, jenis kelamin, merupakan faktor yang berkontribusi pada
tukak peptik.
Remaja
Monks (1999) menyebutkan bahwa remaja adalah individu yang berusia
antara 12-21 tahun, yang sedang mengalami masa peralihan dari anak-anak ke
masa dewasa. Usia 12-15 tahun disebut sebagai remaja awal, 15-18 tahun
disebut masa remaja pertengahan atau madya, dan 18-21 tahun dinamakan
remaja akhir. Di Indonesia, populasi remaja berjumlah 21% dari total penduduk,
dengan jumlah ±44 juta jiwa.
Remaja merupakan periode penting pertumbuhan dan kematangan pada
manusia. Pertumbuhan yang pesat, perubahan psikologis yang dramatis, serta
peningkatan aktivitas yang menjadi karakteristik masa remaja, menyebabkan
peningkatan kebutuhan zat gizi, dan terpenuhi atau tidak terpenuhinya
kebutuhan ini akan mempengaruhi status gizi remaja. Saat mencapai puncak
kecepatan pertumbuhan (growth spurt), biasanya remaja mengkonsumsi
makanan lebih sering dan lebih banyak. Sesudah masa growth spurt biasanya
mereka akan lebih memperhatikan penampilan dirinya, terutama remaja putri.
Mereka sering kali terlalu ketat dalam pengaturan pola makan dalam menjaga
penampilannya sehingga dapat mengakibatkan kekurangan gizi (Sayogo 2006).
Masa remaja adalah fase terakhir dari proses pertumbuhan dan
perkembangan manusia, serta masa dimana sedang mencari identitas diri
(Hurlock 1991). Masa remaja ditandai oleh perubahan yang besar, diantaranya
kebutuhan untuk beradaptasi dengan perubahan fisik dan psikologis, pencarian
identitas, dan membentuk hubungan baru termasuk perasaan seksual (Santrock
1998). Hall (1989) dalam Papalia dan Olds (1998) menyebut masa ini sebagai
periode “storm and stress”, yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi
meningkat sebagai akibat perubahan fisik dan kelenjar.
Pada remaja awal, konsep diri remaja ditandai dengan adanya
peningkatan kesadaran diri secara eksponen dalam tanggapannya terhadap
transformasi somatis pubertas. Kesadaran pada usia ini cenderung untuk
berpusat pada karakteristik luar yang berbeda dengan introspeksi pada remaja
akhir. Bagi remaja awal, adalah hal yang normal bila memperhatikan dengan teliti
penampilannya dan merasakan bahwa orang lain juga berlaku demikian.
Gangguan citra tubuh tingkat ringan pada usia ini bersifat universal. Gangguan
citra tubuh yang serius seperti anoreksia nervosa juga cenderung muncul pada
usia ini (Nelson 2000 dalam Annisa 2009).
Di Indonesia, populasi remaja berjumlah 21% dari total penduduk, dengan jumlah
±44 juta jiwa. Periode remaja merupakan periode kritis dimana terjadi perubahan
fisik, biokimia, dan emosional yang cepat. Adanya pertumbuhan dan
perkembangan pesat yang terjadi pada tubuhnya dan kesadaran untuk menjaga
penampilan diri dapat membuat remaja mempunyai gambaran tentang diri (body
image) yang salah. Body image adalah gambaran seseorang mengenai bentuk
dan ukuran tubuhnya sendiri, gambaran ini dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran
tubuh serta harapan terhadap bentuk dan ukuran tubuh yang diinginkan. Apabila
harapan tersebut tidak sesuai dengan kondisi tubuh aktualnya maka, ini
dianggap sebagai body image yang negatif (Heinberg dan Thompson 1999).
Remaja pada umumnya merasa tidak nyaman dengan perubahan yang
pesat pada bentuk tubuh mereka. Pada waktu yang bersamaan, mereka sangat
dipengaruhi oleh dunia luar, seperti kesempurnaan yang dimiliki teman sebaya
atau idola mereka. Remaja bisa menginginkan suatu bagian tubuh lebih kecil
atau lebih besar, tumbuh lebih cepat atau lebih lambat. Perasaan seperti ini
dapat mengarahkan remaja pada percobaan untuk mengubah bentuk tubuh
dengan memanipulasi pola makan mereka (Robert 2000). Pola makan yang tidak
teratur dan gaya hidup yang cenderung mudah terbawa arus modernisasi
umumnya menjadi masalah yang timbul pada remaja. Masalah gizi remaja perlu
mendapat perhatian khusus karena berpengaruh besar terhadap pertumbuhan
dan perkembangan tubuh serta dampaknya pada masalah gizi dan kesehatan
pada masa dewasa.