faktor risiko dispepsia pada mahasiswa institut pertanian ... filegastritis, tukak peptik, gangguan...

21
TINJAUAN PUSTAKA Dispepsia Berdasarkan konsensus Roma tahun 1999, dispepsia diartikan sebagai rasa sakit atau ketidaknyamanan yang berpusat pada perut bagian atas (Chang 2006). Ketidaknyamanan tersebut dapat berkaitan dengan masalah organik pada saluran cerna bagian atas, seperti gastroesophageal reflux disease (GERD), gastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu (kolesistitis), atau patologi teridentifikasi lainnya. Dispepsia fungsional atau dispepsia nonulkus (nonulcer dyspepsia) merupakan ketidaknyamanan perut bagian atas, yang menetap atau kambuhan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya secara organik atau tidak disertai dengan gangguan pada organ pencernaan atas. Mekanisme dasar pada dispepsia nonulkus mungkin berhubungan dengan hipersensitivitas visceral terhadap asam atau dilatasi lambung, gangguan akomodasi lambung, gangguan pada bagian otak yang berkaitan dengan pencernaan, dan motilitas atau pengosongan lambung yang abnormal. Diet, stres, dan faktor gaya hidup lainnya dapat berkontribusi terhadap munculnya gejala dispepsia (Beyer 2004). Remaja rentan mengalami dispepsia karena pola makan yang tidak teratur dan gaya hidup yang cenderung mudah terbawa arus (mengkonsumsi makanan cepat saji, dan makanan instan, gaya hidup menjadi lebih sedentary menginginkan segala sesuatu yang mudah, serta rentan stres). Prevalensi dispepsia secara global bervariasi antara 7-45%. Prevalensi dispepsia di Amerika Serikat 23,0-25,8%, di India 30,4%, Hongkong 18,4%, Australia 24,4-38,2%, dan China sebesar 23,3%. Penelitian Reshetnikov et al. (2001) menemukan 27% remaja putri dan 16% remaja putra mengalami dispepsia. Penelitian mengenai dispepsia di Indonesia lebih banyak dilakukan di rumah sakit (hospital based). Depkes (2006) menunjukkan bahwa dispepsia menempati urutan ke-15 dari daftar 50 penyakit dengan pasien rawat inap terbanyak. ). Laporan rawat jalan di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta menjelaskan bahwa pasien yang datang dengan keluhan dispepsia mencapai 40% kasus per tahun (Dwijayanti, Ratnasari, dan Susetyowati 2008). Gejala dispepsia meliputi rasa nyeri pada epigastrum (ulu hati), panas seperti terbakar di dada, kembung, perut penuh atau cepat kenyang, mual, muntah, dan sering bersendawa (Wibawa 2006). Menurut konsensus Roma tahun 1999, klasifikasi klinis praktis dispepsia didasarkan pada keluhan yang dominan. Pada kriteria tersebut, dinyatakan bahwa dispepsia ditandai dengan

Upload: vukiet

Post on 23-Mar-2019

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Faktor risiko dispepsia pada mahasiswa Institut Pertanian ... filegastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu (kolesistitis), atau patologi teridentifikasi lainnya. Dispepsia

TINJAUAN PUSTAKA

Dispepsia

Berdasarkan konsensus Roma tahun 1999, dispepsia diartikan sebagai

rasa sakit atau ketidaknyamanan yang berpusat pada perut bagian atas (Chang

2006). Ketidaknyamanan tersebut dapat berkaitan dengan masalah organik pada

saluran cerna bagian atas, seperti gastroesophageal reflux disease (GERD),

gastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu (kolesistitis), atau patologi

teridentifikasi lainnya. Dispepsia fungsional atau dispepsia nonulkus (nonulcer

dyspepsia) merupakan ketidaknyamanan perut bagian atas, yang menetap atau

kambuhan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya secara organik atau tidak

disertai dengan gangguan pada organ pencernaan atas. Mekanisme dasar pada

dispepsia nonulkus mungkin berhubungan dengan hipersensitivitas visceral

terhadap asam atau dilatasi lambung, gangguan akomodasi lambung, gangguan

pada bagian otak yang berkaitan dengan pencernaan, dan motilitas atau

pengosongan lambung yang abnormal. Diet, stres, dan faktor gaya hidup lainnya

dapat berkontribusi terhadap munculnya gejala dispepsia (Beyer 2004). Remaja

rentan mengalami dispepsia karena pola makan yang tidak teratur dan gaya

hidup yang cenderung mudah terbawa arus (mengkonsumsi makanan cepat saji,

dan makanan instan, gaya hidup menjadi lebih sedentary menginginkan segala

sesuatu yang mudah, serta rentan stres).

Prevalensi dispepsia secara global bervariasi antara 7-45%. Prevalensi

dispepsia di Amerika Serikat 23,0-25,8%, di India 30,4%, Hongkong 18,4%,

Australia 24,4-38,2%, dan China sebesar 23,3%. Penelitian Reshetnikov et al.

(2001) menemukan 27% remaja putri dan 16% remaja putra mengalami

dispepsia. Penelitian mengenai dispepsia di Indonesia lebih banyak dilakukan di

rumah sakit (hospital based). Depkes (2006) menunjukkan bahwa dispepsia

menempati urutan ke-15 dari daftar 50 penyakit dengan pasien rawat inap

terbanyak. ). Laporan rawat jalan di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta menjelaskan

bahwa pasien yang datang dengan keluhan dispepsia mencapai 40% kasus per

tahun (Dwijayanti, Ratnasari, dan Susetyowati 2008).

Gejala dispepsia meliputi rasa nyeri pada epigastrum (ulu hati), panas

seperti terbakar di dada, kembung, perut penuh atau cepat kenyang, mual,

muntah, dan sering bersendawa (Wibawa 2006). Menurut konsensus Roma

tahun 1999, klasifikasi klinis praktis dispepsia didasarkan pada keluhan yang

dominan. Pada kriteria tersebut, dinyatakan bahwa dispepsia ditandai dengan

Page 2: Faktor risiko dispepsia pada mahasiswa Institut Pertanian ... filegastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu (kolesistitis), atau patologi teridentifikasi lainnya. Dispepsia

satu atau lebih gejala yang diperkirakan berasal dari daerah gastroduodenal.

Salah satu subtipe dispepsia adalah dispepsia dengan gejala-gejala menyerupai

ulkus atau tukak peptik. Keluhan yang menonjol pada subtipe tersebut antara lain

nyeri epigastrum episodik yang terlokalisasi, nyeri tersebut hilang setelah

pemberian antasida (Chang 2006). Gangguan lambung berupa gastritis dan

tukak peptik menimbulkan gejala-gejala dispepsia yang mengganggu

penderitanya.

Gangguan Lambung

Lambung merupakan bagian dari saluran pencernaan yang berbentuk

seperti kantung, dapat berdilatasi, dan berfungsi mencerna makanan dibantu

oleh asam klorida (HCl) dan enzim-enzim seperti pepsin, renin, dan lipase.

Lambung memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi pencernaan dan fungsi motorik.

Fungsi pencernaan dan sekresi lambung berkaitan dengan pencernaan protein,

sintesis dan sekresi enzim-enzim pencernaan. Fungsi motorik lambung terdiri

atas penyimpanan makanan sampai makanan dapat diproses dalam duodenum,

pencampuran makanan dengan asam lambung, hingga membentuk suatu kimus,

dan pengosongan makanan dari lambung ke dalam usus dengan kecepatan

yang sesuai untuk pencernaan dan absorbsi dalam usus halus (Wilson dan

Lester 1994). Secara anatomis lambung terdiri atas empat bagian, yaitu: cardia,

fundus, body atau corpus, dan pylorus. Adapun secara histologis, lambung terdiri

atas beberapa lapisan, yaitu: mukosa, submukosa, muskularis mukosa, dan

serosa (Ganong 2003).

Lambung akan mensekresikan asam klorida (HCl) atau asam lambung

dan enzim untuk mencerna makanan. Lambung memiliki motilitas khusus untuk

gerakan pencampuran makanan yang dicerna dan cairan lambung, untuk

membentuk cairan padat yang dinamakan kimus kemudian dikosongkan ke

duodenum. Sel-sel lambung setiap hari mensekresikan sekitar 2500 ml cairan

lambung yang mengandung berbagai zat, diantaranya adalah HCl dan

pepsinogen. HCl membunuh sebagan besar bakteri yang masuk, membantu

pencernaan protein, menghasilkan pH yang diperlukan pepsin untuk mencerna

protein, serta merangsang empedu dan cairan pankreas. Asam lambung cukup

pekat untuk menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal mukosa

lambung tidak mengalami iritasi atau tercerna karena sebagian cairan lambung

mengandung mukus, yang merupakan faktor perlindungan lambung (Ganong

2003).

Page 3: Faktor risiko dispepsia pada mahasiswa Institut Pertanian ... filegastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu (kolesistitis), atau patologi teridentifikasi lainnya. Dispepsia

Sekresi asam lambung dipengaruhi oleh kerja saraf dan hormon. Sistem

saraf yang bekerja yatu saraf pusat dan saraf otonom, yakni saraf simpatis dan

parasimpatis. Adapun hormon yang bekerja antara lain adalah hormon gastrin,

asetilkolin, dan histamine. Terdapat tiga fase yang menyebabkan sekresi asam

lambung. Pertama, fase sefalik, sekresi asam lambung terjadi meskipun

makanan belum masuk lambung, akibat memikirkan atau merasakan makanan.

Kedua, fase gastrik, ketika makanan masuk lambung akan merangsang

mekanisme sekresi asam lambung yang berlangsung selama beberapa jam,

selama makanan masih berada di dalam lambung. Ketiga, fase intestinal, proses

sekresi asam lambung terjadi ketika makanan mengenai mukosa usus. Produksi

asam lambung akan tetap berlangsung meskipun dalam kondisi tidur. Kebiasaan

makan yang teratur sangat penting bagi sekresi asam lambung karena kondisi

tersebut memudahkan lambung mengenali waktu makan sehingga produksi

lambung terkontrol (Ganong 2003).

Gangguan lambung yang umum terjadi adalah gastritis dan tukak peptik

(tukak lambung dan tukak duodenum). Gastritis dan tukak peptik merupakan

penyakit yang erat kaitannya dengan asam lambung dan pepsin. Patofisiologi

dasar dari gastritis dan tukak peptik adalah gangguan keseimbangan faktor

agresif (asam lambung dan pepsin) dan faktor defensif (ketahanan mukosa).

Penggunaan aspirin atau obat anti inflamasi non steroid lainnya, obat-obatan

kortikosteroid, penyalahgunaan alkohol, menelan substansi erosif, merokok, atau

kombinasi dari faktor-faktor tersebut dapat mengancam ketahanan mukosa

lambung. Gastritis dan tukak peptik menimbulkan gejala berupa nyeri, sakit, atau

ketidaknyamanan yang terpusat pada perut bagian atas (dispepsia) (Beyer

2004).

Gastritis

Gastritis adalah peradangan atau inflamasi pada lapisan mukosa dan

submukosa lambung. Bila peradangan terjadi di duodenum, maka disebut

duodenitis. Gejalanya seperti mual, muntah, nyeri epigastrum, nafsu makan

menurun, perut kembung akibat regangan lambung, dan kadang-kadang disertai

kejang perut serta perdarahan. Sekumpulan gejala mual, muntah, nyeri

epigastrum, dan perut kembung disebut sebagai sindrom dispepsia. Pada

endoskopi, gastritis tampak sebagai perubahan warna mukosa lambung,

sedangkan dalam gambaran radiologis gastritis tampak sebagai perubahan relief

dari mukosa (Nurman 1990 diacu dalam Mulyani 2007). Gastritis dapat bersifat

Page 4: Faktor risiko dispepsia pada mahasiswa Institut Pertanian ... filegastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu (kolesistitis), atau patologi teridentifikasi lainnya. Dispepsia

akut dan kronis. Gastritis akut yang tidak diobati akan berkembang menjadi

kronis, disertai dengan borok-borok luka pada dinding yang disebut tukak

lambung. Gastritis memegang peranan penting sebagai faktor penyebab ulkus

atau tukak dan karsinoma. Gastritis kronis dapat menyebabkan fungsi lambung

terganggu. Kondisi ini akan mengurangi asupan makanan ke tubuh sehingga

berat badan turun, penyerapan vitamin B12 ikut terganggu sehingga dapat

menyebabkan anemia (Uripi 2004).

Meningkatnya produksi asam lambung dan berkurangnya daya tahan

dinding lambung terhadap pengaruh dari luar akan menimbulkan gastritis.

Terdapat beberapa faktor yang dapat memicu penyakit ini, antara lain faktor

makanan, obat-obatan atau zat kimia, dan faktor psikologis (Uripi 2004). Faktor

makanan seperti penyimpangan cara makan, jenis makanan, dan jeda waktu

makan dapat menyebabkan gastritis. Meningkatnya cairan lambung disebabkan

oleh makanan dan minuman seperti cuka, cabe, kopi, alkohol, dan makanan lain

yang bersifat merangsang (Uripi 2004). Kebiasaan makan tidak teratur akan

membuat lambung sulit untuk beradaptasi untuk mengeluarkan asam lambung.

Jika hal ini berlangsung lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga

dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung.

Penyebab gastritis yang paling umum sebenarnya adalah infeksi bakteri

Helicobacter pylori (H. pylori). Bakteri H. pylori adalah bakteri gram negatif yang

bergerak dengan flagela. Infeksi bakteri ini termasuk infeksi yang umum terjadi

pada manusia (Beyer 2004). Prevalensi H. pylori di negara berkembang

dilaporkan lebih tinggi dibanding negara maju. Di negara berkembang, prevalensi

H. pylori berkisar antara 30-80% sedangkan di negara maju diperkirakan

sebesar 10% (Fardah, Ganuh dan Subijanto 2006). Bakteri H. pylori hidup secara

berkoloni di bawah lapisan selaput lendir (mukosa) dinding bagian dalam

lambung dan menghasilkan urea sehingga mampu bertahan dalam suasana

asam. Fungsi selaput lendir pada lambung adalah untuk melindungi dinding

lambung dari kerusakan akibat asam yang diproduksi lambung.

Tukak Peptik (Ulkus Peptikum)

Tukak peptik atau ulkus peptikum didefinisikan sebagai kerusakan atau

hilangnya mukosa, submukosa sampai lapisan otot dari saluran cerna bagian

atas yang berkaitan dengan asam dan pepsin dalam patogenesisnya. Kerusakan

mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi, walaupun

sering disebut juga sebagai tukak. Tukak peptik dapat ditemukan pada bagian

Page 5: Faktor risiko dispepsia pada mahasiswa Institut Pertanian ... filegastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu (kolesistitis), atau patologi teridentifikasi lainnya. Dispepsia

saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu distal oesofagus,

lambung, duodenum, dan jejunum (Wilson dan Lester 1994).

Keluhan yang sering diutarakan penderita adalah nyeri di daerah

epigastrum (ulu hati) berupa nyeri yang tajam dan menyayat, atau terasa

tertekan, penuh atau terasa perih seperti pada seseorang yang lapar. Nyeri pada

bagian kanan atau kiri epigastrum terjadi 30 menit setelah makan dan dapat

menjalar ke punggung. Nyeri akan terasa berkurang setelah makan atau minum

antasida. Dispepsia juga dialami oleh penderita tukak peptik. Rasa nyeri pada

perut bagian atas merupakan gejala khas tukak, rasa nyeri diakibatkan oleh

asam lambung asam lambung dan pepsin yang merangsang serabut syaraf di

dasar tukak. Selain itu, motilitas otot-otot dapat menambah rasa nyerinya. Gejala

lain seperti rasa asam di mulut, mual, muntah, kembung, bersendawa, dan

berkurangnya nafsu makan (Hadi 2002 dalam Harahap 2009). Luka yang timbul

pada tukak peptik dapat mengakibatkan perdarahan. Bila jumlahnya sedikit,

darah tersebut akan keluar bersama feses. Feses akan berubah warna menjadi

kehitaman, keadaan ini disebut melena. Bila jumlahnya sangat banyak, darah

akan dimuntahkan, keadaan ini disebut hematemesis (Uripi 2004).

Prevalensi tukak peptik di Indonesia pada beberapa penelitian ditemukan

antara 6-15% terutama pada usia 20-50 tahun (Suyono 2001). Wilson dan Lester

(1994) menyatakan bahwa tukak duodenum menyusun 80% dari keseluruhan

tukak peptik dan menyerang sekitar 10-12% populasi. Tukak duodenum

umumnya menyerang pada kelompok umur yang lebih muda. Terjadinya tukak

duodenum pada umumnya disebabkan oleh hipersekresi asam lambung.

Penyebab kenaikan asam lambung diantaranya: jumlah sel parietal lebih banyak,

sel parietal lebih sensitif terhadap rangsangan, sekresi gastrin yang berlebihan,

dan hiperfungsi kelenjar. Kelainan lain yang ditemukan pada tukak duodenum

adalah pengosongan asam lambung terlalu cepat sehingga beban asam

lambung pada mukosa duodenum tinggi. Pada tukak lambung, sering ditemukan

kelainan berupa keterlambatan pengosongan lambung. Diperkirakan bahwa

regurgitasi isi duodenum yang mengandung empedu dapat mencetuskan trauma

mukosa lambung yang kemudian berlanjut dengan ulserasi lambung (Wilson dan

Lester 1994).

Faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi dan tukak peptik adalah

perimbangan antara faktor agresif (asam lambung dan pepsin) dan faktor

pertahanan (defensif) dari mukosa. Normalnya, mukosa lambung dan duodenum

Page 6: Faktor risiko dispepsia pada mahasiswa Institut Pertanian ... filegastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu (kolesistitis), atau patologi teridentifikasi lainnya. Dispepsia

terlindung dari asam lambung dan pepsin melalui sekresi mukus, produksi

bikarbonat, pembersihan kelebihan asam lambung (difusi ion hidrogen) melalui

aliran darah, dan regenerasi sel epitelial. Produksi mukus distimulasi oleh

prostaglandin (Beyer 2004). Selain faktor agresif dan defensif, terdapat

beberapa hal yang menjadi faktor kontibusi untuk terjadinya tukak peptik antara

lain jenis kelamin, faktor stres, herediter, merokok, obat-obatan, dan infeksi

bakteri (Julius 1992). Beyer (2002) menyatakan bahwa penyebab primer tukak

peptik adalah infeksi H. pylori, gastritis, penggunaan aspirin dan obat

antiinflamasi non steroid, kortikosteroid, dan stres. Konsumsi alkohol berlebihan

dapat merusak mukosa lambung, memperburuk gejala tukak peptik, dan

mengganggu penyembuhan tukak peptik. Merokok dapat mengganggu faktor

defensif lambung (menurunkan sekresi bikarbonat dan aliran darah di mukosa),

memperburuk peradangan, dan berkaitan erat dengan komplikasi tambahan

karena infeksi H. pylori. Patofisiologi tukak peptik dipaparkan dalam gambar 1.

Gambar 1 Etiologi, patogenesis, dan manajemen tukak peptik atau peptic ulcer

(Beyer 2004)

Gastritis

Manajemen Gizi

Status gizi yang baik (normal)

membantu menurunkan risiko infeksi bakteri dan

penyakit degeneratif

Aspirin & OAINS

lainnya

Infeksi

H. pylori Stres

TUKAK PEPTIK

ETIOLOGI

Erosi lapisan mukosa, submukosa, atau lapisan otot dinding saluran cerna atas

Manajemen Medis Manajemen Perilaku

Meningkatkan intik asam lemak rantai pendek dan rantai

sedang (MCT) yang memiliki efek perlindungan

PATOGENESIS

* OAINS : Obat Anti Inflamasi Non Steroid

Mengurangi atau menghindari OAINS

Menggunakan antibiotik, antasida

Menekan asam lambung dengan: Proton pump inhibitor atau blok reseptor H2

Menghindari rokok

Mengurangi konsumsi alkohol,

bumbu tajam, kopi dan kafein

Page 7: Faktor risiko dispepsia pada mahasiswa Institut Pertanian ... filegastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu (kolesistitis), atau patologi teridentifikasi lainnya. Dispepsia

Kebiasaan Merokok

Rokok adalah silinder kertas yang berisi daun tembakau cacah. Dalam

sebatang rokok, terkandung berbagai zat-zat kimia berbahaya yang berperan

seperti racun. Dalam asap rokok yang disulut, terdapat kandungan zat-zat kimia

berbahaya seperti gas karbon monoksida, nitrogen oksida, amonia, benzene,

methanol, perylene, hidrogen sianida, akrolein, asetilen, bensaldehid, arsen,

benzopyrene, urethane, coumarine, ortocresol, n-nitrosamin, nikotin, tar, dan lain-

lain. Selain nikotin, peningkatan paparan hidrokarbon, oksigen radikal, dan

substansi racun lainnya turut bertanggung jawab pada berbagai dampak rokok

terhadap kesehatan.

Efek rokok pada saluran gastrointestinal antara lain melemahkan katup

esofagus dan pilorus, meningkatkan refluks, mengubah kondisi alami dalam

lambung, menghambat sekresi bikarbonat pankreas, mempercepat pengosongan

cairan lambung, dan menurunkan pH duodenum. Sekresi asam lambung

meningkat sebagai respon atas sekresi gastrin atau asetilkolin (Beyer 2008).

Selain itu, rokok juga mempengaruhi kemampuan cimetidine (obat penghambat

asam lambung) dan obat-obatan lainnya dalam menurunkan asam lambung

pada malam hari, dimana hal tersebut memegang peranan penting dalam proses

ulcerogenesis (timbulnya tukak). Rokok dapat mengganggu faktor defensif

lambung (menurunkan sekresi bikarbonat dan aliran darah di mukosa),

memperburuk peradangan, dan berkaitan erat dengan komplikasi tambahan

karena infeksi H. pylori (Beyer 2004). Merokok juga dapat menghambat

penyembuhan spontan dan meningkatkan risiko kekambuhan tukak peptik.

Pengukuran konsumsi rokok dapat dilakukan dengan menggunakan

ukuran kuantitatif seperti frekuensi merokok (rokok/hari), durasi (berapa tahun

merokok), dan umur ketika awal merokok (Musbyarini 2009). Ukuran-ukuran

kuantitatif tersebut dapat dihubungkan dengan dampak kesehatan yang

ditimbulkan rokok terhadap penggunanya.

Konsumsi Minuman Beralkohol

Alkohol sangat berperangaruh terhadap makhluk hidup, terutama dengan

kemampuannya sebagai pelarut lipida. Kemampuannya melarutkan lipida yang

terdapat dalam membran sel memungkinkannya cepat masuk ke dalam sel-sel

dan menghancurkan struktur sel tersebut. Oleh karena itu alkohol dianggap

toksik atau racun. Alkohol yang terdapat dalam minuman seperti bir, anggur, dan

Page 8: Faktor risiko dispepsia pada mahasiswa Institut Pertanian ... filegastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu (kolesistitis), atau patologi teridentifikasi lainnya. Dispepsia

minuman keras lainnya terdapat dalam bentuk etil alkohol atau etanol (Almatsier

2002).

Metabolisme alkohol melibatkan enzim alkohol dehidrogenase yang

terdapat dalam lambung dan hati. Di dalam lambung, sebagian alkohol akan

mengalami pemecahan sehingga mengurangi jumlah alkohol yang diserap ke

dalam aliran darah hingga 20%. Alkohol yang diabsorbsi kemudian dibawa

melalui pembuluh darah ke hati, yang mampu memecah alkohol dalam jumlah

besar. Jumlah alkohol yang dapat ditangani oleh hati sekaligus rata-rata

sebanyak 15 gram etanol per jam, bergantung pada ukuran tubuh, kondisi

kesehatan, jarak waktu makan atau kondisi lambung dan usus, kebiasaan umum,

berat badan, jenis kelamin,dan lain-lain. Bila melebihi jumlah yang dapat

dioksidasi oleh hati, alkohol akan dikeluarkan dan masuk sirkulasi darah dan

dibawa ke bagian-bagian tubuh yang lain (Almatsier 2002).

Organ tubuh yang berperan besar dalam metabolisme alkohol adalah

lambung dan hati, oleh karena itu efek dari kebiasaan mengkonsumsi alkohol

dalam jangka panjang tidak hanya berupa kerusakan hati atau sirosis, tetapi juga

kerusakan lambung. Dalam jumlah sedikit, alkohol merangsang produksi asam

lambung berlebih, nafsu makan berkurang, dan mual, sedangkan dalam jumlah

banyak, alkohol dapat mengiritasi mukosa lambung dan duodenum (Harahap

2009). Konsumsi alkohol berlebihan dapat merusak mukosa lambung,

memperburuk gejala tukak peptik, dan mengganggu penyembuhan tukak peptik

(Beyer 2004). Alkohol mengakibatkan menurunnya kesanggupan mencerna dan

menyerap makanan karena ketidakcukupan enzim pankreas dan perubahan

morfologi serta fisiologi mukosa gastrointestinal (Beyer 2008).

Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik adalah semua aktivitas selama bekerja, aktivitas pada waktu

senggang, termasuk pada waktu berolahraga. Aktivitas fisik adalah gerakan yang

dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas

fisik, otot membutuhkan energi di luar metabolisme untuk bergerak, sedangkan

jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-

zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari

tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan bergantung banyaknya otot yang

bergerak, berapa lama, dan berapa berat pekerjaan yang dilakukan (Almatsier

2002).

Page 9: Faktor risiko dispepsia pada mahasiswa Institut Pertanian ... filegastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu (kolesistitis), atau patologi teridentifikasi lainnya. Dispepsia

Aktivitas fisik erat kaitannya dengan kesehatan tubuh secara

keseluruhan. Tubuh yang sehat akan mampu melakukan aktivitas fisik secara

optimal dan sebaliknya, aktivitas fisik yang dilakukan secara rutin dalam porsi

cukup akan membawa dampak positif terhadap kesehatan tubuh. Orang yang

aktif bergerak memiliki tekanan darah yang lebih baik, pola tidur yang lebih baik,

stres yang lebih sedikit, dan umumnya memiliki umur harapan hidup yang lebih

panjang dibandingkan dengan orang yang kurang gerak (Byrd-Bredbenner et al.

2009).

Pengaruh diet dan olahraga pada status kesehatan berhubungan dekat

satu sama lain. Olahraga dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit dan

kematian dini. Sebaliknya, kebiasaan dan aktivitas fisik sedentary dapat

meningkatkan risiko berbagai masalah kesehatan. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa aktivitas fisik secara teratur menurunkan risiko berbagai

dampak-dampak gaya hidup yang negatif bagi kesehatan; melakukan aktivitas

ringan lebih baik daripada tidak sama sekali; untuk dampak kesehatan yang

besar, tambahan manfaat bergantung pada intensitas olahraga yang lebih tinggi,

frekuensi yang lebih sering dan/atau durasi yang lebih lama; sebagian besar

manfaat kesehatan diperoleh dengan aktivitas fisik moderat minimal 150 menit

per minggu; olahraga aerobik dan peregangan otot adalah olahraga yang sama-

sama bermanfaat; manfaat olahraga dapat terjadi pada anak-anak dan remaja,

orang dewasa dan paruh baya, lansia, dan di setiap penelitian berdasarkan ras

atau etnis (USDHHS 2008).

Olahraga yang teratur membantu menguatkan jantung, meningkatkan

peristaltik saluran gastrointestinal, menurunkan stres, dan mengontrol berat

badan (Byrd-Bredbenner et al. 2009). Menurut Beyer (2008), olahraga dapat

membantu melancarkan pergerakan makanan pada saliran gastrointestinal dan

mneingkatkan rasa nyaman pada pencernaan. Peranan olahraga yang terbesar

adalah menurunkan risiko terjangkit penyakit dan kematian dini. Kebiasaan dan

aktivitas fisik yang sedentary dapat meningkatkan risiko beberapa masalah

kesehatan. Olahraga secara efektif dapat membantu proses pengaturan berat

badan. Rajin olahraga akan membantu memanajemen stres dan akan

menurunkan risiko terjadinya dispepsia. Manajemen stres akan membantu

mengontrol produksi asam lambung. Olahraga atau aktifitas fisik dikatakan dapat

mempengaruhi risiko gastritis dan tukak peptik melalui beberapa mekanisme,

yaitu: meningkatkan sistem imun sehingga menetralisisr efek H. pylori,

Page 10: Faktor risiko dispepsia pada mahasiswa Institut Pertanian ... filegastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu (kolesistitis), atau patologi teridentifikasi lainnya. Dispepsia

meningkatkan kemampuan seseorang untuk bertahan terhadap stres, dan

mereduksi rangsangan sekresi asam lambung. Beberapa fakta menyatakan

bahwa olahraga secara signifikan dapat mengurangi risiko tukak duodenum dan

perdarahan gastrointestinal pada penderita gastritis atau tukak duodenum

(Cheng et al. 2000).

Kebiasaan Makan

Kebiasaan makan adalah cara individu atau kelompok individu memilih

pangan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologi,

psikologi, dan sosial budaya. Lebih lanjut dikatakan bahwa kebiasaan makan

bukanlah bawaan sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Kebiasaan makan

atau pola makan adalah suatu perilaku yang berhubungan dengan makan dan

makanan seperti tata krama, frekuensi makan seseorang, pola makanan yang

dimakan, pantangan, distribusi makanan dalam anggota keluarga, preferensi

terhadap makanan, dan cara pemilihan bahan pangan (Suhardjo 1989).

Kebiasaan makan yang berubah dapat disebabkan oleh pendidikan gizi dan

kesehatan, serta aktivitas pemasaran atau distribusi pangan. Kebiasaan makan

dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, seperti lingkungan budaya,

lingkungan alam, serta populasi.

Khumaidi (1994) menyatakan bahwa pada dasarnya terdapat dua faktor

utama yang mempengaruhi kebiasaan makan manusia, yaitu faktor intrinsik

(berasal dari dalam diri manusia) dan faktor ekstrinsik (berasal dari luar

manusia). Faktor intrinsik yang mempengaruhi kebiasaan makan antara lain

asosiasi emosional, keadaan jasmani, keadaan kejiwaan, dan penilaian terhadap

makanan, sedangkan faktor ekstrinsik antara lain lingkungan sosial, alam,

budaya, agama, dan ekonomi.

Dari segi gizi, kebiasaan makan ada yang baik dan yang buruk.

Kebiasaan makan yang baik adalah yang dapat menunjang terpenuhinya

kecukupan gizi, sedangkan kebiasaan yang buruk adalah kebiasaan yang dapat

menghambat terpenuhinya kecukupan gizi, seperti adanya pantangan atau tabu

yang berlawanan degan konsep gizi.

Elizabeth dan Sanjur (1981) dalam Suhardjo (1989) menyatakan bahwa

terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi konsumsi pangan. Pertama,

karakter individu, seperti: umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan,

pengetahuan gizi, dan kesehatan. Kedua, karakter makanan, seperti: rasa, rupa,

Page 11: Faktor risiko dispepsia pada mahasiswa Institut Pertanian ... filegastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu (kolesistitis), atau patologi teridentifikasi lainnya. Dispepsia

tekstur, harga, tipe makanan, bentuk, dan kombinasi makanan. Ketiga, karakter

lingkungan seperti musim, pekerjaan, mobilitas, dan tingkat sosial masyarakat.

Pola makan sehat mengandung dua makna, yaitu jenis makanan yang

sehat dan pola makannya. Makanan yang sehat yaitu makanan yang di

dalamnya terkandung zat-zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Adapun pola

makan yang sehat adalah kebiasaan yang baik, yaitu sesuai jumlahnya dengan

yang dibutuhkan tubuh, beragam jenisnya sehingga mencukupi kebutuhan zat

gizi esensial tubuh, dan jadwal makan yang teratur (Khomsan 2002).

Kaitan Kebiasaan Makan dengan Gangguan Pencernaan

Faktor yang berperan pada kejadian gastritis dan tukak lambung dengan

gejala khas dispepsia diantaranya adalah pola makan atau kebiasaan makan

dan sekresi asam lambung (Djojoningrat 2001). Selain jenis-jenis makanan yang

dikonsumsi, ketidakteraturan makan seperti kebiasaan makan buruk, tergesa-

gesa, dan jadwal yang tidak teratur dapat menyebabkan dispepsia (Eschleman

1984, diacu dalam Annisa 2009). Berdasarkan penelitian tentang gejala

gastrointestinal yang dilakukan oleh Reshetnikov et al. (2007) kepada 1562

orang dewasa, jeda jadwal makan yang lama dan ketidakteraturan makan

berkaitan dengan gejala dispepsia.

Kebiasaan makan sangat berkaitan dengan produksi asam lambung.

Asam lambung berfungsi untuk mencerna makanan yang masuk ke dalam

lambung dengan jadwal yang teratur. Produksi asam lambung akan tetap

berlangsung meskipun dalam kondisi tidur. Kebiasaan makan yang teratur

sangat penting bagi sekresi asam lambung karena kondisi tersebut memudahkan

lambung mengenali waktu makan sehingga produksi asam lambung terkontrol.

Kebiasaan makan tidak teratur akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi.

Jika hal ini berlangsung lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga

dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung sehingga timbul gastritis dan

dapat berlanjut menjadi tukak peptik. Hal tersebut dapat menyebabkan rasa perih

dan mual. Gejala tersebut bisa naik ke kerongkongan yang menimbulkan rasa

panas terbakar (Nadesul 2005). Produksi asam lambung diantaranya

dipengaruhi oleh pengaturan sefalik, yaitu pengaturan oleh otak. Adanya

makanan dalam mulut secara refleks akan merangsang sekresi asam lambung.

Pada manusia, melihat dan memikirkan makanan dapat merangsang sekresi

asam lambung (Ganong 2003).

Page 12: Faktor risiko dispepsia pada mahasiswa Institut Pertanian ... filegastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu (kolesistitis), atau patologi teridentifikasi lainnya. Dispepsia

Jenis-jenis makanan tertentu juga berperan dalam timbulnya sindrom

dispepsia. Terlalu sering mengkonsumsi makanan yang berminyak dan berlemak

membuat makanan tinggal di lambung lebih lama. Makanan tersebut lambat

dicerna dan menimbulkan peningkatan tekanan di lambung yang pada akhirnya

membuat katup antara lambung dengan kerongkongan (lower esophageal

sphincter/LES) melemah sehingga asam lambung dan gas akan naik ke

kerongkongan. Lamanya pengosongan lambung berhubungan dengan tukak

lambung. Sebaliknya, konsumsi lemak dalam jumlah yang cukup dapat menekan

sekresi asam lambung dengan cara memperlambat pengosongan lambung dan

menstimulasi aliran getah pankreas serta empedu. Dengan demikian lemak turut

memfasilitasi proses pencernaan agar berlangsung lebih optimal (Ettinger 2000).

Minum kopi, teh, atau minuman lain yang mengandung kafein juga dapat

mengendurkan LES. Menurut Shinya (2007), teh mengandung tanin yang mudah

teroksidasi menjadi asam tanat. Asam tanat memiliki efek negatif pada mukosa

lambung sehingga menyebabkan masalah pada lambung misalnya tukak

lambung. Minum teh dalam kondisi perut kosong dapat menimbulkan tekanan

berlebih pada lambung. Diet tinggi garam dapat mengakibatkan terjadinya

peningkatan proliferasi epitel lambung sehingga menyebabkan gastritis.

Konsumsi NaCl dalam jumlah berlebihan akan meningkatkan kolonisasi

Helicobacter pylori. Infeksi Helicobacter pylori yang predominan di antrum dapat

meningkatkan kadar gastrin sehingga meningkatkan sekresi asam lambung dan

menyebabkan tukak lambung (Dwijayanti, Ratnasari, dan Susetyowati 2008).

Makanan pedas dan berbumbu tajam dapat merangsang sekresi asam

lambung berlebih sehingga muncul gejala-gejala sindrom dispepsia. Makanan

yang terasa asam, sayuran dan buah-buahan bergas seperti kol, sawi, durian,

nangka, dan lainnya dapat menimbulkan gejala sindrom dispepsia. Kebanyakan

agen yang merangsang sekresi asam lambung juga akan meningkatkan sekresi

pepsinogen. Peningkatan sekresi asam lambung yang melalmpaui batas akan

mengiritasi mukosa lambung sehingga timbul gastritis dan tukak.

Karotenoid (bahan pembentuk vitamin A) berinteraksi dengan vitamin C,

vitamin E, dan Selenium sebagai zat anti oksidan yang melawan efek radikal

bebas. Karoten berperan dalam meningkatkan sistem immunitas tubuh melalui

efek anti oksidan. Vitamin A dikenal sebagai zat gizi esensial yang berperan

penting dalam penglihatan. Di luar perannya dalam penglihatan, vitamin A juga

berperan dalam berbagai fungsi sistemik, meliputi peran dalam diferensiasi sel

Page 13: Faktor risiko dispepsia pada mahasiswa Institut Pertanian ... filegastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu (kolesistitis), atau patologi teridentifikasi lainnya. Dispepsia

dan fungsi membran sel (cell recognition), pertumbuhan dan perkembangan,

fungsi kekebalan, dan reproduksi (Mahan & Escott-Stump 2000). Diferensiasi sel

terjadi apabila sel tubuh mengalami perubahan dalam sifat atau fungsi awalnya.

Sel-sel yang paling nyata mengalami diferensiasi adalah sel-sel epitel khusus,

terutama sel goblet, yaitu sel kelenjar yang mensintesis dan mengeluarkan

mukus atau lendir. Jaringan epitel yang melapisi organ dalam tubuh dinamakan

membran mukosa. Mukus melindungi sel-sel epitel dari mikroorganisme dan

partikel lain yang berbahaya. Mukosa lambung juga melindungi sel epitel

lambung dari sifat korosif asam lambung dan pepsin. Kekurangan vitamin A

menghambat fungsi sel-sel goblet mengeluarkan mukus (Almatsier 2002).

Konsumsi Makanan

Sebagaimana diketahui, kebiasaan makan atau pola makan adalah suatu

perilaku yang berhubungan dengan makan dan makanan salah satunya adalah

pola makanan yang dimakan sehari-hari atau konsumsi makanan. Konsumsi

makanan berkaitan erat dengan masalah gizi dan kesehatan serta perencanaan

produksi pangan. Konsumsi makanan merupakan informasi tentang jenis dan

jumlah makanan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang

pada waktu tertentu. Definisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat

ditinjau dari aspek jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Dalam menghitung

jumlah zat gizi yang dikonsumsi, kedua informasi tersebut (jenis dan jumlah

makanan) merupakan hal yang penting.

Terdapat dua pengertian tentang penilaian konsumsi pangan, yaitu: (1)

penilaian terhadap kandungan zat gizi dari makanan, dan (2) membandingkan

kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang

dengan angka kecukupannya. Untuk mengetahui tingkat konsumsi zat gizi

seseorang atau kelompok orang digunakan pengertian yang kedua. Pada

prinsipnya, penilaian jumlah konsumsi zat gizi menggunakan tiga jenis data, yaitu

data konsumsi pangan, data kandungan zat gizi bahan makanan, dan data

kecukupan gizi (Hardinsyah dan Briawan 1994).

Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dalam menilai

konsumsi pangan, baik tingkat individu, keluarga, maupun masyarakat. Survei

konsumsi tingkat individu dapat menggunakan metode penimbangan (food

weighing), metode mengingat-ingat (food recall), riwayat makan (dietary history),

frekuensi pangan (food frequency), dan metode kombinasi. Pemilihan metode

dapat didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu: tujuan survei, ketelitian

Page 14: Faktor risiko dispepsia pada mahasiswa Institut Pertanian ... filegastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu (kolesistitis), atau patologi teridentifikasi lainnya. Dispepsia

yang diinginkan, ketersediaan dana dan waktu, serta tingkat kemahiran/keahlian

tenaga pengumpul data (Kusharto dan Sa’adiyyah 2008).

Salah satu metode survei konsumsi pangan individu adalah metode

recall. Penggunaan metode ini bertujuan untuk memperoleh data konsumsi

pangan secara kuantitatif. Pada metode ini dicatat mengenai jumlah dan jenis

pangan yang dikonsumsi pada waktu yang lalu (retrospektif). Pengukuran

konsumsi diawali dengan menanyakan jumlah pangan dalam URT (ukuran

rumah tangga) yang kemudian dikonversikan dalam satuan berat. Metode recall

memiliki beberapa keuntungan, diantaranya biaya yang murah dan tidak

memakan waktu lama. Namun, kelemahan metode ini adalah data yang

dihasilkan mungkin kurang akurat karena mengandalkan keterbatasan daya ingat

seseorang (Kusharto dan Sa’adiyyah 2008).

Tidak ada metode yang terbaik untuk semua tujuan studi karena setiap

metode memiliki kelebihan dan kelemahan. Untuk menyesuaikan dengan subjek

penelitian dan meminimalisir kelemahan suatu metode, dapat dilakukan

kombinasi atau modifikasi seperlunya (Kusharto dan Sa’adiyyah 2008). Dalam

penelitian ini, metode recall dimodifikasi menyerupai anamnesa diet atau

kebiasaan makan. Recall tidak dilakukan berdasarkan konsumsi 24 jam

responden, melainkan berdasarkan kebiasaan makan sehari-hari responden. Hal

ini dimaksudkan untuk memudahkan responden dalam mengisi form konsumsi.

Kondisi responden yang berada dalam satu lingkungan asrama dengan

konsumsi mayoritas berasal dari kantin asrama menjadi pertimbangan peneliti

untuk memodifikasi metode recall.

Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau

sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorpsi) dan

penggunaan (utilisasi) zat gizi makanan. Dengan menilai status gizi seseorang

atau sekelompok orang maka dapat diketahui apakah seseorang atau

sekelompok orang tersebut status gizinya baik atau tidak baik. Ada berbagai cara

yang digunakan untuk menilai status gizi, yaitu melalui konsumsi makanan,

antropometri, biokimia, dan klinis (Nasoetion & Riyadi 1995).

Menurut Supariasa et al. (2001) kekurangan dan kelebihan gizi pada

orang dewasa adalah masalah penting kerena akan menimbulkan risiko-risiko

penyakit tertentu. Berat badan yang sangat kurang (underweight) mempunyai

risiko terhadap penyakit infeksi, sementara berat badan yang melebihi batas

Page 15: Faktor risiko dispepsia pada mahasiswa Institut Pertanian ... filegastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu (kolesistitis), atau patologi teridentifikasi lainnya. Dispepsia

normal (overweight) mempunyai risiko tinggi terhadap penyakit degeneratif.

Laporan FAO/WHO/UNU diacu dalam Supariasa et al. (2001) menyatakan

bahwa batasan berat badan normal ditentukan berdasarkan Indeks Massa Tubuh

(IMT). Berikut ini merupakan rumus perhitungan IMT.

Untuk menganalisis status gizi anak dan remaja (usia 5-19 tahun), salah

satu referensi yang dapat digunakan adalah referensi WHO 2007. Referensi

WHO 2007 adalah rekonstruksi dari National Center for Health Statistic (NCHS)

atau WHO. Referensi WHO 2007 menggunakan kumpulan data NCHS yang

disuplementasi dengan data dari standar pertumbuhan WHO untuk anak balita.

Indikator yang digunakan dalam referensi WHO 2007 adalah IMT terhadap umur

(IMT/U), berat badan terhadap umur (BB/U), dan tinggi badan terhadap umur

(TB/U). Klasifikasi dan cut off point status gizi berdasarkan IMT dijelaskan dalam

tabel berikut ini.

Tabel 1 Klasifikasi IMT/U untuk anak dan remaja (WHO 2007)

Klasifikasi Cut off point

Sangat kurus (severe thinnes) < -3 SD Kurus (thinnes) < -2 s.d. -3 SD Normal -2 SD s.d. +1 SD Overweight > +1 s.d. +2 SD Obesitas (obese) > +2 SD

Keterangan: SD = standar deviasi; s.d.= sampai dengan

Konsumsi Obat-Obatan

Obat-obatan yang Memicu Terjadinya Gangguan Lambung

Gastritis dan tukak peptik dapat disebabkan karena memakan obat-obat

tertentu. Obat anti nyeri (aspirin, neuralgin, piroxicam, parasetamol), obat anti

inflamasi non steroid (OAINS), antibiotik, kortikosteroid (hormon), tablet besi,

suplemen kalium, dan obat kemoterapi adalah beberapa jenis obat yang memiliki

efek menyebabkan gastritis. Selain itu, menelan racun atau zat kimia tertentu pun

berpotensi menyebabkan gastritis, seperti menelan asam korosif, alkohol, benda

asing seperti klip, stapler, dan lainnya (Santoso 2008).

Obat anti inflamasi biasanya diindikasikan untuk mengurangi gejala-gejala

pada kondisi artritis reumatoid, osteosrtritis, gout akut, dismenorea, sakit kepala

dan migren, nyeri pasca operasi, nyeri derajat ringan sampai sedang akibat

cedera jaringan, pireksia (demam), ileus, kolik ginjal, dan lainnya. Di Indonesia,

obat-obatan banyak yang dijual secara bebas. Obat-obatan daftar G (obat yang

IMT (kg/ m2) = Berat Badan (kg)

Tinggi Badan2 (m2)

Page 16: Faktor risiko dispepsia pada mahasiswa Institut Pertanian ... filegastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu (kolesistitis), atau patologi teridentifikasi lainnya. Dispepsia

perlu resep dokter) dapat dengan mudah dibeli tanpa menggunakan resep.

Pemakaian obat-obatan yang luas ini meyebabkan kejadian efek samping obat

meningkat. Beberapa obat menimbulkan efek samping yang berhubungan

dengan saluran cerna. Sekitar 10-20% pasien yang menggunakan aspirin dan

OAINS mengalami dispepsia. Terdapat dua mekanisme kerja obat-obatan ini

yang dapat menyebabkan iritasi secara langsung maupun tidak langsung pada

saluran cerna. Molekul-molekul obat yang bersifat asam akan langsung

mengiritasi mukosa lambung dan inhibisi atau hambatan pengeluaran kadar

prostaglandin yang bersifat protektif terhadap mukosa lambung. Prostaglandin

dihambat karena dianggap bertanggungjawab terhadap munculnya inflamasi dan

rasa nyeri (Santoso 2008).

Obat-obatan untuk Mengatasi Gangguan Lambung

Obat yang lazim digunakan untuk mengatasi gejala gastritis dan tukak

peptik adalah obat-obatan untuk menghambat sekresi asam lambung. Obat-

obatan ini diantaranya adalah penghambat histamin (H2 blocker) seperti

cimetidine dan ranitidine, inhibitor pompa proton seperti omeprazole, maupun

obat untuk menetralisir asam lambung (antasida) seperti mylanta, sanmag,

promag, dan lainnya. Bila diketahui gastritis atau tukak peptik yang terjadi

disebabkan oleh H. pylori, maka antibiotik akan diberikan pada penderita.

Antasida merupakan obat yang paling umum digunakan untuk mengatasi

gejala gastritis atau tukak peptik. Obat jenis ini termasuk obat yang dijual bebas,

(OTC, Over the counter). Obat-obatan lainnya (penghambat histamin, inhibitor

pompa proton, antibiotik) merupakan obat daftar G yang seharusnya memerlukan

resep dokter.

Antasida diberikan secara oral untuk mengurangi rasa perih akibat

suasana lambung yang terlalu asam dengan cara menetralkan asam lambung.

Umumnya antasida merupakan basa lemah, terdiri dari zat aktif yang

mengandung alumunium hidroksida dan magnesium hidroksida. Terkadang

antasida juga dikombinasikan dengan simetikon untuk mengurangi kelebihan

gas. Efek samping yang utama pada antasida dengan zat aktif alumunium

hidroksida adalah konstipasi (sembelit). Sedangkan antasida dengan zat aktif

magnesium hidroksida dapat menyebabkan diare, sehingga kedua zat aktif ini

sering dikombinasikan agar efek samping dapat diminimalisir.

Antasida dapat berinteraksi dengan senyawa logam lain yang terkandung

pada makanan atau obat tertentu, misalnya penisilin dan vitamin B12. Antasida

Page 17: Faktor risiko dispepsia pada mahasiswa Institut Pertanian ... filegastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu (kolesistitis), atau patologi teridentifikasi lainnya. Dispepsia

mengandung mineral magnesium atau alumunium. Mineral yang yang memiliki

berat molekul dan jumlah muatan (valensi) sama akan bersaing satu sama lain

untuk diabsorbsi. Magnesium (Mg), kalsium (Ca), besi (Fe), dan tembaga (Cu)

sama-sama memiliki valensi +2 sehingga jika dikonsumsi bersamaan akan saling

menghambat absorbsi (Almatsier 2002). Sering mengkonsumsi antasida akan

menimbulkan risiko defisiensi vitamin dan mineral tertentu. Jika defisiensi besi

dan vitamin B12 yang terjadi, maka dapat berdampak pada anemia.

Stres

Secara umum, stres dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres fisik dan

stres psikologis. Stres fisik terjadi, misalnya karena luka bakar, infeksi yang

sampai masuk ke pembuluh darah atau sepsis, adanya trauma, sedang dalam

perawatan setelah pembedahan, adanya henti napas, gagal ginjal, dan

kerusakan saraf. Semua keadaan di atas menimbulkan stres fisik yang cukup

serius sehingga secara tidak langsung dapat menyebabkan iritasi pada lambung.

Adapun stres psikologis lebih bersifat ketegangan atau tekanan mental yang

dirasakan internal di dalam diri (Tarigan 2003).

Faktor stres erat kaitannya dengan berbagai rangkaian reaksi tubuh yang

merugikan kesehatan. Gangguan psikis atau konflik emosi yang menimbulkan

gangguan psikosomatik ternyata diikuti oleh perubahan fisiologis dan biokemis

seseorang. Perubahan fisiologis ini berkaitan dengan adanya gangguan pada

sistem saraf otonom vegetatif, sistem endokrin, dan sistem imun. Ada beberapa

mekanisme yang sudah dibuktikan dan beberapa diantaranya terkait dengan

sistem hormonal, dimana stres akan menyebabkan otak mengaktifkan sistem

hormon untuk memicu sekresinya. Stres paling banyak memicu sekresi hormon

kortisol, dimana hormon ini selanjutnya akan berkerja mengkoordinasi seluruh

sistem dalam tubuh termasuk jantung, paru-paru, peredaran darah, metabolisme,

dan sistem imunitas tubuh dalam reaksi yang ditimbulkannya. Sekresi hormon ini

menjelaskan mengapa ketika menghadapi stres, tekanan darah dan denyut

jantung meningkat secara cepat, paru-paru bekerja ekstra untuk mengambil

oksigen lebih banyak sehingga meningkatkan juga peredaran darah di seluruh

tubuh mulai dari otot hingga otak, peningkatan tersebut bisa berkali-kali lipat

melebihi batas normal. Bukan hanya jantung saja yang terasa berdebar, namun

keseluruhan sistem tubuh termasuk pengeluaran keringat juga akan meningkat

dengan cepat (Harahap 2007).

Page 18: Faktor risiko dispepsia pada mahasiswa Institut Pertanian ... filegastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu (kolesistitis), atau patologi teridentifikasi lainnya. Dispepsia

Selain hormon kortisol, ada hormon lain yang turut berperan dalam

mekanisme ini, diantaranya hormon katekolamin yang terdiri dari zat aktif

dopamin, norepinefrin, dan epinefrin yang lebih dikenal dengan adrenalin.

Hormon ini akan mengaktifkan suatu sistem ingatan jangka panjang yang akan

mengingat stressor yang sama pada peristiwa selanjutnya serta menekan bagian

otak yang berperan dalam ingatan jangka pendek. Penekanan ingatan jangka

pendek inilah yang dinilai para ahli sebagai faktor utama yang menyebabkan

orang tidak lagi berpikir secara rasional ketika mereka dilanda stres. Proses ini

juga memicu terjadinya penyakit psikosomatik dengan gejala dispepsia, seperti

mual dan muntah, diare, pusing, sakit otot, juga sendi. Berbagai mekanisme

hormonal (penurunan serotonin, peningkatan asetilkolin, penurunan katekolamin,

dll.) akan menimbulkan hipersimpatotonik sistem gastrointestinal yang akan

menimbulkan peningkatan peristaltik dan sekresi asam lambung yang

menyebabkan hiperasiditas lambung, kolik, vomitus, dan sebagian besar gejala

gastritis dan ulkus peptik (Tarigan 2003).

Faktor Herediter dan Golongan Darah

Hampir semua penyakit yang terjadi pada manusia memiliki unsur

genetik. Faktor genetik pada setiap orang dapat mempengaruhi struktur dan

fungsi tubuh dalam kondisi normal dan ketika sakit. Setiap penyakit, satu atau

lebih faktor genetik menentukan karakter, gejala, dan tingkat keparahan penyakit.

Pada penyakit tukak peptik, gastritis, dan kanker lambung, faktor genetik

berkontribusi pada kerentanan dan konsekuensi infeksi (Riccardi dan Rotter

2004).

Faktor genetik berkaitan erat dengan herediter atau keturunan. Gen

tertentu akan diwariskan pada keturunan. Beberapa studi menunjukkan bahwa

kedekatan keluarga, kembar, golongan darah yang sejenis, dan abnormalitas

fisiologis (misalnya: level serum pepsinogen berlebih) berkaitan dengan tukak

peptik, gastritis, dan kanker lambung (Riccardi dan Rotter 2004). Penyakit tukak

peptik (ulkus) terjadi 2-3 kali lebih sering pada keluarga yang terdapat riwayat

tukak peptik dibanding populasi normal. Pada keluarga dengan ibu yang memiliki

riwayat gangguan lambung, cenderung lebih banyak menurunkan penyakit yang

sama pada anaknya. Diduga masa kehamilan dan menyusui turut berpengaruh

pada kejadian beberapa penyakit yang dialami oleh anak atau imunitas anak.

Diet sehari-hari ibu pada saat hamil dan menyusui menyebabkan ekspresi gen

yang berbeda pada anak (Tridjaja dan Marzuki 2009). Selain faktor genetis,

Page 19: Faktor risiko dispepsia pada mahasiswa Institut Pertanian ... filegastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu (kolesistitis), atau patologi teridentifikasi lainnya. Dispepsia

faktor psikososial yang berkaitan dengan ibu juga berpengaruh pada munculnya

gangguan lambung. Kebiasaan makan anak dibentuk di keluarga. Ibu adalah

pihak yang berperan penting dalam membentuk kebiasaan anak sejak dini.

Kebiasaan baik yang ditanamkan oleh ibu sejak masa kanak-kanak biasanya

akan terinternalisasi dan terbawa hingga anak beranjak remaja. Kebiasaan

makan dan gaya hidup yang sehat akan mempengaruhi status kesehatan

seseorang.

Hasil penelitian mengindikasikan bahwa golongan darah berhubungan

dengan risiko penyakit. Golongan darah mempengaruhi sistem metabolisme dan

daya tahan tubuh serta keadaan mental. Hal ini dikarenakan adanya hubungan

secara genetik antara gen pada golongan darah dengan gen lain yang

berpengaruh terhadap kesehatan dan sistem metabolisme secara keseluruhan

(D’Adamo 2002). Pada golongan darah O didapatkan 30-40% lebih sering

mengalami tukak peptik dibandingkan golongan darah lainnya (Julius 1992).

Golongan darah O memiliki kecenderungan untuk terkena insiden penyakit

pencernaan, yaitu gastritis, duodenitis, dan tukak peptik (ulkus) lebih tinggi

dibandingkan dengan golongan darah lainnya karena produksi asam

lambungnya lebih banyak dibandingkan golongan darah yang lain. Penelitian

Mulyani (2007) pada mahasiswa TPB IPB menunjukkan bahwa golongan darah

O mempunyai risiko sebesar 1,96 kali lebih besar untuk mengalami penyakit

peptik dibandingkan golongan darah yang lain (A, B, dan AB).

Lingkungan (Sosial-Ekonomi)

Menurut Riccardi dan Rotter (2004), banyak penyakit terjadi karena

adanya hubungan saling mempengaruhi antara faktor genetik dan lingkungan.

Hampir semua penyakit manusia memiliki unsur genetik, dan setiap kejadian

dimana unsur genetik berperan, satu atau lebih unsur lingkungan akan

berkontribusi untuk menajamkan proses terjadinya penyakit. Secara kasar,

unsur lingkungan dapat dibedakan menjadi dua tipe. Pertama, lingkungan yang

terbentuk karena aktivitas manusia, misalnya: budaya, sosial, dan faktor perilaku.

Kedua, lingkungan yang mengacu pada background, yang meliputi pengaruh

secara fisik (misal: sinar matahari, iklim) maupun biologis (misal: parasit, infeksi).

Pada penyakit tukak peptik, gastritis, dan kanker lambung, faktor

lingkungan berkaitan erat dengan infeksi bakteri H. pylori. Kondisi geografis,

sosial-ekonomi, dan budaya juga berperan sebagai faktor penyebab (multiple

causative factors). Bytzer et al. (2000) menyebutkan bahwa sosio-ekonomi yang

Page 20: Faktor risiko dispepsia pada mahasiswa Institut Pertanian ... filegastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu (kolesistitis), atau patologi teridentifikasi lainnya. Dispepsia

rendah merupakan salah satu faktor resiko terjadinya gejala gangguan saluran

cerna bagian atas dan bawah. Hal ini mungkin terkait dengan faktor kebersihan.

Faktor kebersihan yang buruk membuat infeksi bakteri H. pylori menjadi lebih

sering terjadi. Penyebaran dispepsia, gastritis, dan tukak peptik berkaitan dengan

H. pylori umumnya terjadi pada lingkungan yang padat penduduknya, sosio-

ekonomi yang rendah, dan lebih banyak terjadi di negara berkembang

dibandingkan di negara maju. Beberapa penelitian menyimpulkan adanya

hubungan yang signifikan antara rendahnya pendapatan rumah tangga dan

besarnya jumlah anggota keluarga dengan peningkatan kejadian penyakit

gastrointestinal, termasuk dispepsia yang merupakan predisposisi gastritis dan

tukak peptik. Ketidaknyamanan dengan pendapatan finansial berhubungan

dengan stres yang juga dapat menimbulkan gastritis dan tukak peptik. Menurut

Sultan (2009), ras, jenis kelamin, merupakan faktor yang berkontribusi pada

tukak peptik.

Remaja

Monks (1999) menyebutkan bahwa remaja adalah individu yang berusia

antara 12-21 tahun, yang sedang mengalami masa peralihan dari anak-anak ke

masa dewasa. Usia 12-15 tahun disebut sebagai remaja awal, 15-18 tahun

disebut masa remaja pertengahan atau madya, dan 18-21 tahun dinamakan

remaja akhir. Di Indonesia, populasi remaja berjumlah 21% dari total penduduk,

dengan jumlah ±44 juta jiwa.

Remaja merupakan periode penting pertumbuhan dan kematangan pada

manusia. Pertumbuhan yang pesat, perubahan psikologis yang dramatis, serta

peningkatan aktivitas yang menjadi karakteristik masa remaja, menyebabkan

peningkatan kebutuhan zat gizi, dan terpenuhi atau tidak terpenuhinya

kebutuhan ini akan mempengaruhi status gizi remaja. Saat mencapai puncak

kecepatan pertumbuhan (growth spurt), biasanya remaja mengkonsumsi

makanan lebih sering dan lebih banyak. Sesudah masa growth spurt biasanya

mereka akan lebih memperhatikan penampilan dirinya, terutama remaja putri.

Mereka sering kali terlalu ketat dalam pengaturan pola makan dalam menjaga

penampilannya sehingga dapat mengakibatkan kekurangan gizi (Sayogo 2006).

Masa remaja adalah fase terakhir dari proses pertumbuhan dan

perkembangan manusia, serta masa dimana sedang mencari identitas diri

(Hurlock 1991). Masa remaja ditandai oleh perubahan yang besar, diantaranya

kebutuhan untuk beradaptasi dengan perubahan fisik dan psikologis, pencarian

Page 21: Faktor risiko dispepsia pada mahasiswa Institut Pertanian ... filegastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu (kolesistitis), atau patologi teridentifikasi lainnya. Dispepsia

identitas, dan membentuk hubungan baru termasuk perasaan seksual (Santrock

1998). Hall (1989) dalam Papalia dan Olds (1998) menyebut masa ini sebagai

periode “storm and stress”, yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi

meningkat sebagai akibat perubahan fisik dan kelenjar.

Pada remaja awal, konsep diri remaja ditandai dengan adanya

peningkatan kesadaran diri secara eksponen dalam tanggapannya terhadap

transformasi somatis pubertas. Kesadaran pada usia ini cenderung untuk

berpusat pada karakteristik luar yang berbeda dengan introspeksi pada remaja

akhir. Bagi remaja awal, adalah hal yang normal bila memperhatikan dengan teliti

penampilannya dan merasakan bahwa orang lain juga berlaku demikian.

Gangguan citra tubuh tingkat ringan pada usia ini bersifat universal. Gangguan

citra tubuh yang serius seperti anoreksia nervosa juga cenderung muncul pada

usia ini (Nelson 2000 dalam Annisa 2009).

Di Indonesia, populasi remaja berjumlah 21% dari total penduduk, dengan jumlah

±44 juta jiwa. Periode remaja merupakan periode kritis dimana terjadi perubahan

fisik, biokimia, dan emosional yang cepat. Adanya pertumbuhan dan

perkembangan pesat yang terjadi pada tubuhnya dan kesadaran untuk menjaga

penampilan diri dapat membuat remaja mempunyai gambaran tentang diri (body

image) yang salah. Body image adalah gambaran seseorang mengenai bentuk

dan ukuran tubuhnya sendiri, gambaran ini dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran

tubuh serta harapan terhadap bentuk dan ukuran tubuh yang diinginkan. Apabila

harapan tersebut tidak sesuai dengan kondisi tubuh aktualnya maka, ini

dianggap sebagai body image yang negatif (Heinberg dan Thompson 1999).

Remaja pada umumnya merasa tidak nyaman dengan perubahan yang

pesat pada bentuk tubuh mereka. Pada waktu yang bersamaan, mereka sangat

dipengaruhi oleh dunia luar, seperti kesempurnaan yang dimiliki teman sebaya

atau idola mereka. Remaja bisa menginginkan suatu bagian tubuh lebih kecil

atau lebih besar, tumbuh lebih cepat atau lebih lambat. Perasaan seperti ini

dapat mengarahkan remaja pada percobaan untuk mengubah bentuk tubuh

dengan memanipulasi pola makan mereka (Robert 2000). Pola makan yang tidak

teratur dan gaya hidup yang cenderung mudah terbawa arus modernisasi

umumnya menjadi masalah yang timbul pada remaja. Masalah gizi remaja perlu

mendapat perhatian khusus karena berpengaruh besar terhadap pertumbuhan

dan perkembangan tubuh serta dampaknya pada masalah gizi dan kesehatan

pada masa dewasa.