etnomusikologi nomor 7 tahun 4 maret 2008 issn: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik...

106
Etnomusikologi, Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 DARI PENYUNTING Manusia adalah makhluk yang memerlukan pemusan akan rasa keindahan dalam dirinya. Untuk itulah muncul seni dalam setiap kelompok manusia, apakah itu dalam bentuk keluarga, masyarakat, etnik, atau bangsa. Kesenian dapat berfungsi dan memiliki makna-makna. Kedua aspek seni ini menjadi focus dan tema jurnal Etnomusikologi kali ini. Tiga orang penulis, yang kesemuanya adalah dosen di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan, menyumbangkan pikiran-pikiran mereka sebagai hasil penelitian lapangan, berdasarkan minat mereka. Yang pertama, Prikuten Tarigan menyoroti akulturasi dan fungsi musik dalam kebudayaan Karo. Kemudian Torang Naiborhu melihat dan menguraikan fungsi komunikasi gondang hasapi dalam upacara sipahasada dalam kelompok religi Parmalim di Tanah Toba. Selanjutnya, Fadlin yang selama ini banyak meneliti musik Melayu, melihat dan mengaalisis keberadaan busana pengantin Melayu, makna dan strukturnya. Akhir kata, redaksi mengucapkan, “Selamat menikmati tulisan- tulisan tersebut dan salam kesenian.” Muhammad Takari

Upload: lyxuyen

Post on 25-Mar-2019

250 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Etnomusikologi, Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721

DARI PENYUNTING

Manusia adalah makhluk yang memerlukan pemusan akan rasa keindahan dalam dirinya. Untuk itulah muncul seni dalam setiap kelompok manusia, apakah itu dalam bentuk keluarga, masyarakat, etnik, atau bangsa. Kesenian dapat berfungsi dan memiliki makna-makna. Kedua aspek seni ini menjadi focus dan tema jurnal Etnomusikologi kali ini.

Tiga orang penulis, yang kesemuanya adalah dosen di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan, menyumbangkan pikiran-pikiran mereka sebagai hasil penelitian lapangan, berdasarkan minat mereka. Yang pertama, Prikuten Tarigan menyoroti akulturasi dan fungsi musik dalam kebudayaan Karo. Kemudian Torang Naiborhu melihat dan menguraikan fungsi komunikasi gondang hasapi dalam upacara sipahasada dalam kelompok religi Parmalim di Tanah Toba. Selanjutnya, Fadlin yang selama ini banyak meneliti musik Melayu, melihat dan mengaalisis keberadaan busana pengantin Melayu, makna dan strukturnya. Akhir kata, redaksi mengucapkan, “Selamat menikmati tulisan-tulisan tersebut dan salam kesenian.”

Muhammad Takari

Page 2: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Etnomusikologi, Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721

DAFTAR ISI

Dari Penyunting i Daftar Isi ii

Akulturasi dan Fungsi Musik dalam Budaya Karo Prikuten Tarigan

1-71

Gondang Hasapi sebagai Medium Komunikasi kepada Pencipta: Kajian dalam Konteks Upacara Sipahasada Parmalim Torang Naiborhu

72-86 Busana Pengatin Melayu Sumatera Utara: Struktur dan Maknanya Fadlin

86-136

Page 3: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Etnomusikologi, Nomor 7, Tahun 4, Maret 2008 ISSN: 1858-4721

AKULTURSI DAN FUNGSI MUSIK DALAM BUDAYA KARO

Prikuten Tarigan Dosen Etnomusikologi

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Abstract This paper will be discuss about acculturation and function of North Sumatra Karo ethnic cultural music in their life. The acculturation process in their culture continued their traditional music and adopted some modern music elements, such as use the keyboard instrument, national and international popular music, and so on. The Karonese musical culture use in the some cultural activities, such as in go to the new home, traditional bathng ceremony, supernatural communicated, and so on. In the other hand, their music function as entertainment, religious beleief, social integration, enforced the culture identitiy, communication, and so on.

Latar Belakang Masalah Perkembangan musik-musik tradisional di Indonesia dalam tiga dasawarsa belakangan ini ditandai dengan munculnya musik-musik kolaborasi, yaitu suatu musik yang dihasilkan dari perpaduan alat-alat musik yang berbeda, baik latar belakang budaya maupun gaya musiknya. Secara umum, musik kolaborasi ini menggabungkan dua jenis alat musik yang berbeda tradisi, yang satu adalah alat-alat musik Barat (diatonis) dan yang lainnya adalah alat-alat musik tradisional yang terdapat di Indonesia. Bentuk (hasil) musik kolaborasi itu sendiri banyak ragamnya karena jenis-jenis alat musik dan konsep musik yang digabungkan juga bermacam-macam. Salah satu bentuk musik kolaborasi yang cukup dikenal di dalam kebudayaan musik di Indonesia adalah musik campursari pada kesenian masyarakat Jawa. Efix (Kompas 2001:1) menguraikan bahwa “kalau ada jenis musik yang hidupnya sangat bergairah belakangan ini, pasti salah satunya adalah campursari. Itulah jenis musik yang memadukan kultur musik gamelan dengan tradisi musik Barat.” Musik campursari pada awalnya merupakan gabungan antara alat-alat musik tradisional Jawa dengan alat musik keroncong, antara lain ukulele, seruling, bas betot, serta

Page 4: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

instrumen lain. Sekitar tahun 1993, alat-alat musik keroncong diganti dengan alat-alat musik Barat, seperti gitar bas listrik, gitar melodi listrik, organ dan drum. Gabungan dari alat-alat musik tersebut digunakan untuk, baik itu memainkan lagu-lagu Jawa dan lagu populer Indonesia, maupun mengiringi penyanyi dalam menyanyikan lagu-lagu tersebut, dan itulah yang dinamakan musik campursari. Arti kata ”campursari” sendiri, diambil dari kata ”campur” dan ”sari.” Campur lantaran berbaurnya beberapa alat musik, baik yang tradisional maupun modern, campur aduk jadi satu. Sari berarti eksperimen tadi menghasilkan jenis irama lain dari yang lain, irama yang rancak dan enak dinikmati. Menurut Suparno (Pikiran Rakyat 2003:1) musik campursari ini pada awalnya dicetuskan (dilahirkan) oleh Manthous, seorang pemusik yang mempunyai latar belakang pemain bas keroncong. Sebelum melahirkan musik campursari, Manthous sebenarnya telah berkarya dalam musik pop Indonesia, khususnya dalam mencipta lagu. Lagu-lagu ciptaannya antara lain ”Surga Neraka,” dinyanyikan oleh Hetty Koes Endang, ”Jamilah” dinyanyikan oleh Jamal Mirdad, dan lain-lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Manthous sebenarnya memiliki latar belakang musik Barat, karena musik keroncong berdasarkan sejarahnya dibawa oleh bangsa Portugis ke Indonesia beberapa abad yang lalu. Judith Becker (dalam Bramantyo 2004: 98) menjelaskan bahwa “keroncong adalah istilah umum untuk populer, lagu-lagu sentimentil yang dinyanyikan di seluruh Indonesia dan pada umumnya dipercaya diperkenalkan oleh Portugis pada sekitar abad enam belas.” Walaupun tidak disebutkan sebagai musik kolaborasi, Franki Raden dalam Dieter Mack (2001:23) menuliskan bahwa “sementara itu dari pihak komponis diatonis barat generasi 70-an juga muncul para komponis yang menggarap karyanya dengan memanfaatkan intrumen tradisional dan pendekatan estetika yang justru berangkat dari konsep musik tradisional, antara lain adalah Harry Roesly, Guruh Sukarnoputra...“ Genre musik perpaduan musik Barat dengan musik tradisi di Indonesia masih terus dilakukan oleh berberapa musisi populer di Indonesia yang antara lain dilakukan oleh Dwiki Dermawan dengan Krakatau Band-nya.Lukmanul Hakim (Republika 2004:9) mengatakan bahwa Dwiki meramu musik Krakatau Band dengan memadukan unsur musik etnik Sunda dan musik modern. Mack (2001:42-47) mengatakan bahwa telah banyak komponis Indonesia yang tidak secara langsung berakar pada budaya karawitan menghasilkan karya musik yang disebutnya sebagai musik kontemporer. Dia mengemukakan beberapa komponis musik kontemporer di Indonesia

Page 5: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

seperti Slamet Abdul Sjukur, Paul Gutama Soegijo, Suka Harjana, Ben Pasaribu, Harry Rusli dan lain-lain. Semua komponis kontemporer tersebut menghasilkan gaya musik yang berbeda-beda. Walaupun latar belakang keahlian musik mereka kebanyakan dari musik Barat, beberapa di antaranya memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri. Kayam (dalam Sachari 2002:53) menguraikan pula bahwa musik gambang kromong Jakarta lahir karena bertemunya alat musik antar bangsa di Jakarta, yaitu “rebab Cina”, “bondang Thai”, “kendang Sunda”, “gambang Jawa”, serta “trompet Belanda”, telah bercampur menjadi satu dan melahirkan satu seni musik, yaitu kesenian khas Jakarta yag tak terdapat di daerah lain. Musik dalam bentuk akulturasi juga terdapat di Minangkabau, yaitu suatu genre musik yang dinamakan gamaik, Menurut Yurnaldi (Kompas, 2001: 24) "Instrumen musik gamaik didominasi oleh alat musik Barat, seperti saksofon, gitar, biola, dan akordeon, tetapi vokalnya didominasi oleh musik pribumi Minangkabau. Di sini terjadi akulturasi budaya yang mempesona. Musik gamaik dibentuk oleh aspek musik dan aspek sastra (lagunya dalam bentuk pantun berbahasa Minangkabau),". Lebih jauh lagi Edy Utama (dalam Yurnaldi 2001:12), peneliti seni tradisi Minang dan Ketua DKSB, musik gamaik adalah musik yang terlahir dari akulturasi budaya pribumi dengan budaya Barat. Sejak kemunculannya di awal abad ke-20, sampai sekarang ia tetap hidup dalam masyarakat Minangkabau dan kemudian menjadi musik tradisional Minangkabau Perubahan alat musik yang terjadi dalam kebudayaan musik etnik Karo di Sumatera Utara secara sepintas memperlihatkan gejala yang sama dengan perkembangan musik campursari pada komunitas masyarakat Jawa, maupun gamaik pada musik Minangkabau. Namun jika dicermati lebih dalam ternyata memiliki kekhususan dan kekhasan tersendiri yang menjadikannya berbeda dengan musik campursari dan musik gamaik yang telah disebutkan di atas. Selain itu, jika musik campursari pada komunitas masyarakat Jawa muncul pada sekitar tahun 1993, perubahan alat musik yang terjadi pada musik etnik Karo telah terjadi sebelumnya. Gejala Akulturasi pada Musik Karo Sejak tahun 1991 kebudayaan musik etnik Karo telah memunculkan suatu fenomena baru, yaitu alat musik keyboard mulai digunakan dalam seni pertunjukan tradisional yang bersifat kontekstual. Keyboard yang dimaksud dalam hal ini adalah satu alat musik modern

Page 6: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

(musik populer) yang biasanya dimainkan oleh seorang pemain untuk menghasilkan suatu bunyi musik yang “lengkap” seperti musik sebuah band/combo. Musik keyboard ini sering juga disebut “musik organ tunggal”. Alat musik keyboard biasanya digunakan untuk mengiringi seorang penyanyi dalam membawakan lagu-lagu hiburan, seperti lagu populer Indonesia, lagu-lagu dangdut, dan lagu populer dari Barat. Selain sebagai musik untuk mengiringi penyanyi, keyboard juga dapat menghasilkan musik-musik yang bersifat instrumentalia. Pada awalnya, alat musik keyboard ini dimainkan secara bersama-sama (berkolaborasi) dengan ensambel musik tradisional Karo yang dikenal dengan istilah gendang lima sedalanen. Musik kolaborasi itu dilakukan dalam konteks seni pertunjukan tradisional gendang guro-guro aron. Dengan adanya kolaborasi alat musik tersebut, gendang guro-guro aron menjadi semakin sering dilaksanakan, baik oleh masyarakat Karo yang tinggal di wilayah pedesaan kabupaten Karo, maupun oleh masyarakat Karo yang tinggal di perkotaan, seperti di kota Medan dan di kota-kota lainnya di wilayah propinsi Sumatera Utara. Secara berangsur-angsur, peranan keyboard dalam gabungannya dengan gendang lima sedalanen semakin lama semakin menonjol atau dominan. Jika pada awalnya keyboard hanya dimainkan sebagai alat musik pengiring pada setiap bagian akhir (bergabung dengan gendang lima sedalanen yang mengiringi dari awal sampai akhir) suatu komposisi musik untuk mengiringi tarian, belakangan keyboard mulai digunakan dari awal komposisi, baik sebagai pengiring, maupun sekaligus sebagai pembawa melodi lagu. Dengan demikian peranan sarune—sebagai pembawa melodi dalam gendang lima sedalanen—mulai berkurang karena sebagian sudah digantikan keyboard. Melalui keyboard sebagai pembawa melodi, lagu-lagu di luar daerah Karo (seperti lagu-lagu Melayu, lagu-lagu dangdut Indonesia) mulai dimainkan dalam mengiringi tarian Karo, bahkan tidak jarang sekaligus juga dinyanyikan dengan lirik aslinya. Dalam perkembangan berikutnya, pola-pola ritem/irama gendang karo (“irama musik Karo”) mulai diprogram di dalam keyboard sehingga melalui keyboard dapat dimainkan musik ‘menyerupai’ musik Karo (imitasi musik Karo). Pemain keyboard memanfaatkan/mengedit bunyi-bunyi nada yang terdapat dalam keyboard sehingga menjadi “mirip” dengan karakter bunyi gendang lima sedalanen. Dengan hasil program “musik Karo imitasi”, maka alat musik tersebut sudah dapat mengiringi suatu tarian maupun nyanyian tradisional Karo tanpa disertai gendang lima sedalanen. Penggunaan “musik Karo imitasi” melalui keyboard untuk mengiringi tari-

Page 7: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

tarian dan nyanyian Karo dalam konteks gendang guro-guro aron tanpa disertai dengan gendang lima sedalanen sering disebut orang Karo dengan istilah gendang kibod.

Pada tahap ini pengertian musik kolaborasi sebagai penggabungan antara alat-alat musik tradisional dengan alat musik Barat menjadi berbeda dengan apa yang terjadi pada perubahan alat musik dalam kesenian tradisional Karo, karena genre gendang kibod hanya menggunakan satu alat musik (instrumen) yaitu keyboard tapi pemakaiannya justru dalam seni pertunjukan tradisional yang bersifat kontekstual pada masyarakat Karo.

Dengan adanya genre gendang kibod, instrumen musik Barat tersebut mulai dipergunakan dalam konteks upacara adat Karo yang lain, seperti adat perkawinan Karo, memasuki rumah baru pada masyarakat Karo, bahkan dalam upacara religi (ritual kepercayaan) pun terkadang juga digunakan.

Ternyata pemakaian gendang kibod dalam konteks tersebut disambut dengan antusias oleh mayoritas masyarakat Karo. Untuk saat sekarang ini, setiap mengadakan upacara perkawinan adat Karo, hampir dapat dipastikan selalu menyertakan minimal keyboard dengan genre musik gendang kibod, atau kadang-kadang juga digabungkan dengan gendang lima sedalanen.

Walaupun demikian, proses adaptasi alat musik keyboard ke dalam kesenian tradisional masyarakat Karo, terutama pada awal dipergunakannya alat musik tersebut pada konteks upacara adat, banyak memunculkan sikap yang berbeda di antara kelompok masyarakat Karo sendiri. Reaksi dan komentar dari kalangan pemerhati kesenian Karo sebagian besar menghawatirkan kehadiran keyboard itu dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesenian tradisi dan juga budaya tradisi masyarakat Karo. Pandia (Kompas, 1993: 24) antara lain mengatakan kehadiran alat musik modern seperti keyboard sangat dominan dalam mengubah gerak serta makna dari musik dan tarian itu sendiri. Lebih jauh lagi, Pandia mengatakan bahwa jika pemakaian keyboard dalam musik tradisional Karo tidak dibatasi, dikhawatirkan sekitar sepuluh tahun lagi musik tradisional Karo yang asli akan hilang.

Dalam buletin Tenah (satu buletin khusus yang berisi tentang masyarakat dan kebudayaan Karo, terbit sekali dalam sebulan), juga muncul beberapa artikel tentang gendang kibod. Pada umumnya artikel tersebut menguraikan tentang dampak kehadiran keyboard yang dapat merugikan kebudayaan tradisional Karo. Sembring (1995:27) antara lain mengatakan bahwa perlu waspada terhadap hal-hal yang bersifat negatif yang ditimbulkan oleh perubahan itu, jangan sampai merubah tatanan tradisi yang sudah mapan. Sinuraya (1998:34) mengatakan bahwa di samping memiliki

Page 8: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

faktor positif, kehadiran keyboard juga memiliki faktor negatif, seperti memudarnya nilai etika dan estetika budaya Karo dalam menari dan menyanyi. Sitepu (1998:36) juga mengatakan bahwa kehadiran musik keyboard banyak yang menyimpang dari kebiasaan menari menurut adat Karo, oleh karena itu perlu dipikirkan langkah-langkah yang bersepadan agar kehadiran musik keyboard tidak menghilangkan ciri-ciri seni tradisional Karo yang lama.

Dari sisi pemain musik juga memunculkan fenomena yang menarik. Dengan adanya “musik Karo imitasi”, yakni gendang kibod, ternyata melahirkan banyak pemain atau pemusik keyboard Karo (disebut perkibod) dari kalangan remaja/pemuda Karo, baik dari pedesaan maupun perkotaan. Pertumbuhan pemain/musisi gendang kibod dapat berlangsung dengan cepat, disamping karena sering dibutuhkan oleh masyarakat Karo, secara teknik memainkan juga lebih mudah dan praktis dibandingkan dengan alat-alat musik yang terdapat dalam gendang lima sedalanen. Dengan menekan satu tombol saja, bunyi irama musik Karo imitasi tadi akan segera berbunyi secara terus menerus dari keyboard karena irama tersebut telah diprogram dalam disket keyboard, dan setiap saat dapat dimunculkan dari keyboard. Jadi pemain keyboard hanya perlu belajar memainkan melodi lagu, mengikuti tempo/irama yang telah berjalan secara konstan, dan belajar tentang pergerakan kunci/akord dari setiap lagu yang juga dapat dimainkan dengan teknik “satu jari tangan”. Hal ini sangat berbeda dengan pertumbuhan pemain musik gendang lima sedalanen yang sangat lamban karena, disamping kurang diminati, teknik memainkan alat musik tradisi Karo seperti sarune, juga membutuhkan waktu belajar yang cukup lama. Demikian juga dalam mempelajari gendang singanaki dan gendang singindungi, selain memerlukan teknik-teknik khusus dalam memainkan, sekaligus juga memiliki beberapa pola ritem tertentu yang harus dipelajari secara benar.

Akibat peranan alat musik keyboard yang sudah sangat menonjol di dalam seni pertunjukan tradisional Karo, maka pemakaian gendang lima sedalanen menjadi sangat berkurang. Walaupun demikian, setidaknya sampai saat penelitian ini dilaksanakan, gendang lima sedalanen masih dipergunakan pada ritual tradisional Karo tertentu, seperti pada ritual penguburan jenazah orang Karo. Beberapa seniman tradisional Karo tetap mempertahankan profesinya sebagai pemain gendang lima sedalanen karena mereka juga masih dibutuhkan, khususnya di dalam konteks upacara-upacara adat tertentu.

Page 9: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, tampak bahwa perubahan alat musik dalam kesenian tradisional Karo mengakibatkan peranan musik dalam upacara adat dan hiburan menjadi semakin penting. Sebaliknya, sebagian masyarakat juga merasa khawatir bahwa alat musik keyboard dapat menimbulkan dampak yang negatif bagi kebudayaan Karo pada umumnya, kesenian Karo pada khususnya. Menurut hemat penulis, perubahan alat musik dalam kesenian tradisional Karo merupakan suatu fenomena yang cukup manarik untuk dikaji lebih lanjut, dan atas dasar itu pula penelitian ini dilakukan.

Geografis Kultural Masyarakat Karo

Berdasarkan wilayah geografis, masyarakat Karo menempati daerah Kabupaten Karo berada pada 2˚50’ – 3˚19’ Lintang Utara dan 97˚35’–98˚38’ Bujur Timur. Kabupaten Karo yang merupakan salah satu kabupaten yang terdapat dalam wilayah Sumatera Utara, memiliki luas 2.127,25 km2 atau hanya 2,97% dari luas Provinsi Sumatera Utara. Daerah Kabupaten Karo merupakan daerah beriklim sejuk, di mana suhunya berkisar antara 14-26 derajat celsius

Secara administratif, kabupaten Karo terdiri dari 13 kecamatan, dan 158 desa dengan luas keseluruhan wilayah 2.172,25 km2 (Buku Biro Pusat Statistik Kabupaten Karo 2002:34) Walaupun secara administratif masyarakat Karo menempati wilayah Kabupaten Karo, telah sejak lama (sebelum tahun 1900) orang-orang Karo telah menempati beberapa wilayah kabupaten lain di Provinsi Sumatera Utara. Hal ini juga terlihat dari batas-batas wilayah Kabupaten Karo yang berbatasan langsung dengan 6 (enam) kabupaten yang berbeda: Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Deliserdang. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Toba Samosir. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deliserdang dan Kabupaten Simalungun Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara (Nanggroe Aceh Darusalam). Kabanjahe yang merupakan ibu kota Kabupaten Karo mempunyai jarak sekitar 76 kilometer dari Medan (ibu kota Provinsi Sumatera Utara) dan dapat ditempuh dengan kenderaan/bus selama lebih kurang satu setengah jam perjalanan.

Berdasarkan hasil Kongres Kebudayaan Karo 1995 di Berastagi dapat dijelaskan bahwa selain bertempat tinggal di wilayah kabupaten Karo, banyak pula orang Karo yang telah lama tinggal menetap di beberapa wilayah di luar Kabupaten Karo, seperti Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Deliserdang, Kabupaten Simalungun. Semua kabupaten yang

Page 10: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

tersebut di atas masih dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara. Perbedaan wilayah domisili mengakibatkan munculnya sebutan atau julukan orang Karo atas dasar wilayah komunitasnya, seperti Karo Kenjulu, Karo Singalor Lau, Karo Baluren, Karo Langkat, Karo Timur, dan Karo Dusun

Selain wilayah-wilayah tempat tinggal yang telah dijelaskan di atas, masih ada wilayah yang cukup penting yang menjadi tempat tinggal atau domisili orang Karo, yaitu wilayah kota Medan (ibukota propinsi Sumatera Utara). Orang-orang Karo yang tinggal di kota Medan biasanya tidak memiliki sebutan tertentu Di sepanjang jalan dari Kabanjahe/ Kabupaten Karo menuju kota Medan terdapat beberapa desa dan semi kota (sub-urban) seperti kota Berastagi, desa Bandarbaru, desa Sibolangit, desa Sembahe, dan Pancurbatu (kecuali Berastagi, semua desa tersebut termasuk dalam wilayah Kabupaten Deliserdang). Memasuki wilayah kota Medan, terdapat lagi beberapa wilayah desa, seperti: desa Lau Cih, Kelurahan Simpang Selayang, Simpang Kuala, Padang Bulan yang sebagian besar penduduknya adalah orang Karo. Penduduk di setiap wilayah tersebut, walaupun telah lama tinggal secara menetap namun secara kekerabatan masih mempunyai hubungan dengan masyarakat Karo yang tinggal di wilayah Kabupaten Karo.

Domisili orang Karo di daerah Padang Bulan, Simpang Kuala, Simpang Selayang sudah berlangsung dalam beberapa generasi. Hal ini ditandai dengan telah bedirinya 7 buah jambur adat Karo di wilayah tersebut.

Gambaran Umum Musik Tradisional Karo Rohidi (2000:28) mengatakan bahwa berekspresi estetik merupakan salah satu kebutuhan manusia yang tergolong ke dalam kebutuhan integratif. Kebutuhan integratif ini muncul karena adanya dorongan dalam diri manusia yang secara hakiki senantiasa ingin merefleksikan keberadaannya sebagai mahluk yang bermoral, berakal, dan berperasaan. Berekspresi melalui kesenian merupakan salah satu aktivitas manusia yang sangat umum dalam setiap kelompok masyarakat pada umumnya.. Dengan demikian kesenian merupakan suatu kebutuhan yang penting dalam masyarakat untuk mengekspresikan dirinya sebagai manusia yang memiliki perasaan indah, senang, gembira maupun perasaan sedih. Salah satu jenis mengekspresikan kesenian tersebut adalah melalui musik. Musik tersebut dapat berupa musik instrumentalia, musik vocal, dan gabungan antara keduanya. Masyarakat Karo memiliki beberapa jenis musik yang biasanya digunakan dalam kesenian tradisional. Ada alat musik yang dimainkan

Page 11: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

secara bersama-sama (ensambel), ada pula dimainkan secara tunggal (solo). Selain alat musik, terdapat pula beberapa genre musik vokal (nyanyian), baik yang dinyanyikan secara solo, maupun diiringi alat musik yang telah disebutkan di atas. Untuk membicarakan perubahan alat musik dalam kesenian tradisional tradisional Karo, kiranya penting terlebih dahulu membicarakan musik tradisional Karo secara keseluruhan.

Masing-masing jenis alat musik serta genre musik yang terdapat dalam musik tradisional Karo akan diuraikan secara berurutan berikut ini.

Gendang Lima Sedalanen Gendang lima sedalanen merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan suatu ensambel musik tradisional Karo yang terdiri dari 5 (lima) buah alat musik, yaitu: (1) sarune, (2) gendang singanaki, (3) gendang singindungi, (4) penganak, dan (5) gung. Istilah gendang pada gendang lima sedalanen berarti “alat musik”, lima berarti “lima”, dan sedalanen berarti “sejalan”. Dengan demikian gendang lima sedalanen mengandung pengertian “lima buah alat musik yang dimainkan sejalan atau secara bersama-sama”. Sering pula gendang lima sedalanen disebut dengan istilah gendang sarune. Adanya dua istilah—gendang lima sedalanen dan gendang sarune—untuk penyebutan satu ensambel musik tradisional Karo yang sama terjadi karena perbedaan latar belakang dari orang-orang yang menggunakannya. Di kalangan musisi tradisional Karo lebih sering menggunakan istilah gendang sarune; sementara itu di berbagai tulisan tentang kebudayaan musik Karo lebih banyak menggunakan istilah gendang lima sedalanen. Untuk konsistensi penulisan, dalam tesis ini penulis menggunakan salah satu istilah, yakni gendang lima sedalanen. Ini tidak berarti istilah gendang lima sedalanen lebih mewakili dari pada gendang sarune karena memang kedua istilah tesebut selalu digunakan dalam masyarakat Karo. Masing-masing alat musik dimainkan oleh seorang pemain, kecuali alat musik penganak dan gung dapat dimainkan oleh hanya seorang pemain.

Sarune Sarune merupakan alat musik tiup yang memiliki lidah ganda (double reed aerophone). Tabung alat musik ini berbentuk konis (conical) mirip dengan alat musik obo (oboe). Instrumen ini terdiri dari lima bagian alat yang dapat dipisah-pisahkan serta terbuat dari bahan yang berbeda pula yaitu: (a) anak-anak sarune, (b) tongkeh, (c) ampang-ampang, (d) batang sarune, (e) gundal.

Page 12: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Anak-anak sarune (reeds) terbuat dari dua helai kecil daun kelapa yang telah dikeringkan. Jika hendak dibunyikan, anak-anak sarune terlebih dahulu harus dibasahi dengan air ludah agar menjadi lembek sehingga mudah bergetar jika ditiup.

Tongkeh terbuat dari timah, ampang-ampang yakni sebuah lempengan berbentuk bundar yang terbuat dari kulit binatang baning (tenggiling) diletakkan di tengah tongkeh. Ampang-ampang berfungsi sebagai penahan bibir pemain sarune ketika sedang meniup alat tersebut. Batang sarune terbuat dari kayu selantam atau pohon nangka. Pada batang sarune inilah terdapat lobang-lobang sebanyak delapan buah sebagai penghasil atau pengubah nada ketika sarune ditup. Gundal juga terbuat dari kayu selantam yang berada pada bagian bawah sarune. Gundal ini merupakan corong (bell) pada alat tiup sarune sehingga menghasilkan nada-nada yang lebih panjang serta nyaring atau keras.

Perlu ditambahkan, ampang-ampang, anak-anak sarune, dan tongkeh biasanya dihubungkan satu sama lain dengan tali kecil pengikat agar bagian-bagian tersebut tidak tercecer atau terpisah maupun hilang karena ukurannya kecil-kecil.

Gambar 1: Bagian-bagian Sarune

(Sumber: Dok. Perikuten Tarigan)

Keterangan gambar 1: (1) anak-anak sarune, (2) tongkeh, (2a) ampang-ampang, (3) batang sarune, (4) gundal, (4a) tagan sarune.

Page 13: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Gambar 2: Sarune

(Sumber: Dok. Perikuten Tarigan)

Gendang Singanaki dan Gendang Singindungi Gendang singanaki dan gendang singindungi (double headed conical drums) merupakan dua alat musik pukul yang terbuat dari kayu pohon nangka. Pada kedua sisi alat musik yang berbentuk konis tersebut, masing-masing terdapat membrane yang terbuat dari kulit binatang.. Sisi depan/atas atau bagian yang dipukul disebut babah gendang, sisi belakang/bawah (tidak dipukul) disebut pantil gendang. Kedua alat musik memiliki ukuran yang kecil, panjangnya sekitar 44 cm, diameter babah gendang 5 cm, diameter pantil gendang 4 cm. Kedua alat musik tersebut memiliki kesamaan dari sisi: bahan, bentuk, ukuran, dan cara pembuatannya. Perbedaannya, pada gendang singanaki terdapat lagi (diikatkan) sebuah “gendang mini”, yang disebut gerantung (panjang 11,5 cm) sedangkan pada gendang singindungi tidak ada. Gendang singindungi dapat menghasikan bunyi naik turun melalui teknik permainan tertentu, sedangkan bunyi gendang singanaki tidak bisa naik turun. Pada bagian luar (dari ujung ke ujung) alat musik ini dililitkan tali yang terbuat dari kulit lembu. Tali tersebut berfungsi untuk mengencangkan kulit/membrane gendang. Masing-masing gendang memiliki dua palu-palu gendang atau alat pukul (drum stick) sepanjang 14 cm.

Penganak dan Gung Penganak dan gung (suspended idiophone/gong berpencu) memiliki

persamaan dari segi konstruksi bentuk, yakni sama seperti gong yang umumnya terdapat pada kebudayaan musik nusantara. Perbedaan keduanya

Page 14: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

adalah dari segi ukuran (diameter) kedua alat yang demikian kontras. Gung memiliki ukuran yang besar (diameter 68,5 cm), dan penganak memiliki ukuran yang kecil (diameter 16 cm). Gung dan Penganak terbuat dari kuningan, dan palu-palu (stick) gung dan penganak terbuat dari kayu. Gambar 3: Gendang singanaki Gambar 4: Gendang singindungi

(Sumber: Dok. Perikuten Tarigan) (Sumber: Dok. Perikuten Tarigan) Gambar 5: Gung dan Palu-palu Gambar 6: Penganak dan Palu-palu

(Sumber: Dok. Perikuten Tarigan) (Sumber: Dok. Perikuten Tarigan) Peran Setiap Instrumen dalam Gendang Lima Sedalanen

Gendang lima sedalanen sebagai suatu ensambel musik yang terdiri dari lima alat musik memiliki karakter bunyi dan cara memainkan yang berbeda-beda sesuai dengan bentuk instrumen tersebut.

Sarune dimainkan dengan cara meniup anak-anak sarune (reeds) sementara jari-jari kedua tangan si pemain memegang (membuka dan menutup) lobang nada yang terdapat pada badan (batang) alat musik tersebut. Alat musik Sarune ini dalam Gendang lima sedalanen memiliki peran sebagai pembawa melodi lagu.

Page 15: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Gambar 7: Penarune Sedang Memainkan Sarune

(Sumber: Dok. Perikuten Tarigan)

Sementara itu, gendang singanaki, gendang singindungi dimainkan

dengan cara memukul babah gendang (head membrane) masing dengan dua palu-palu gendang (alat pukul gendang/stick). Gendang singanaki menghasilkan pola ritem berulang-ulang (repetitif). Gendang singindungi membawakan pola ritem yang variabel, berbeda dengan pola ritem yang dimainkan gendang singanaki. Penganak dan gung dimainkan dengan memukul pencu yang terdapat pada bagian tengah penganak dan gung masing-masing dengan satu palu-palu. Kedua alat musik tersebut menghasilkan pola pukulan yang berulang-ulang.

Page 16: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Gambar 8: Penggual Singindungi Gambar 9: Penggual Singanaki

(Sumber: Dok. Perikuten Tarigan) (Sumber: Dok.Perikuten Tarigan)

Posisi pemain gendang lima sedalanen Secara umum pemain Gendang lima sedalanen dalam setiap pertunjukannya bermain dalam keadaan atau posisi duduk. Posisi duduk ini—khsususnya untuk penarune dan penggual—merupakan posisi baku karena dua hal, yaitu: (1) dalam menghasilkan nada-nada tertentu, penarune harus menutupkan ujung Sarune-nya (tonggum) ke bagian betis kakinya sendiri, (2) penggual senantiasa mengaitkan alat musiknya (gendang singanaki dan gendang singindungi) diantara kedua kakinya dalam posisi duduk bersila, sehingga posisi intrumen tersebut menjadi diagonal, dengan babah gendang mengarah ke sebelah kanan penggual. Simalu gung dan simalu penganak juga bermain dalam posisi duduk, sementara itu kedua alat musiknya senantiasa digantung dengan seutas tali pada suatu tempat yang telah disediakan secara khusus.

Page 17: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Gambar 10: Simalu Gung sedang memainkan

penganak dan gung

(Sumber: Dok. Perikuten Tarigan)

Gambar 11: Posisi Pemain Musik Gendang lima sedalanen dalam upacara adat.

(Sumber: Dok. Perikuten Tarigan)

Gendang telu sedalanen Gendang telu sedalanen memiliki pengertian tiga alat musik yang sejalan (dimainkan secara bersama-sama). Ketiga alat musik tersebut adalah (1) kulcapi/balobat, (2) keteng-keteng, dan (3) mangkok. Dalam ensambel ini ada dua istrumen yang dapat digunakan sebagai pembawa melodi yaitu kulcapi atau balobat. Pemakaian kulcapi atau balobat sebagai pembawa

Page 18: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

melodi dilakukan secara terpisah dalam upacara yang berbeda. Keteng-keteng dan mangkok merupakan alat musik pengiring yang menghasilkan pola-pola ritem yang bersifat konstan berulang-ulang (repetisi).

Jika kulcapi digunakan sebagai pembawa melodi, dan keteng-keteng serta mangkok sebagai alat musik pengiring, maka istilah gendang telu sedalanen sering disebut menjadi gendang kulcapi, dan jika balobat sebagai pembawa melodi, maka istilahnya menjadi gendang balobat. Masing-masing alat musik dimainkan oleh seorang pemain.

Gambar 12: Gendang Balobat Gambar 13: Gendang Kulcapi

(Sumber: Dok. Irwansyah Harahap) (Sumber: Dok. Irwansyah Harahap)

Kulcapi Kulcapi adalah alat musik petik berbentuk lute yang terdiri dari dua

buah senar (two-strenged fretted-necked lute). Dahulu kala senarnya terbuat dari akar pohon aren (enau) namun sekarang telah diganti senar metal. Langkup kulcapi (bagian depan resonator kulcapi) tidak terdapat lobang resonator, justru lobang resonator (disebut babah) terdapat pada bagian belakang kulcapi. Dalam memainkan kulcapi, lobang resonator (babah) tersebut juga berfungsi untuk mengubah warna bunyi (efek bunyi) dengan cara tonggum, yakni suatu teknik permainan kulcapi dengan cara mendekapkan seluruh/sebagian babah kulcapi ke badan pemain kulcapi secara berulang dalam waktu tertentu. Efek bunyi kulcapi yang dihasilkan melalui tehnik tonggum ini hampir menyerupai efek bunyi echo pada alat musik elektronik pada umumnya.

Page 19: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Balobat Balobat merupakan alat musik tiup yang tebuat dari bambu (block flute). Instrumen ini mirip dengan alat musik recorder pada alat musik barat. Balobat memiliki enam buah lobang nada. Dilihat dari perannya dalam gendang telu sedalanen, balobat memiliki peran yang sedikit atau kurang berperan penting, karena pada sebagian besar penampilan gendang telu sedalanen biasanya menggunakan kulcapi pembawa melodi.

Keteng-keteng Keteng-keteng merupakan alat musik yang terbuat dari bambu. Bunyi

keteng-keteng dihasilkan dari dua buah “senar” yang diambil dari kulit bambu itu sendiri (bamboo idiochord). Pada ruas bambu tersebut dibuat satu lobang resonator dan tepat di atasnya ditempatkan sebilah potongan bambu dengan cara melekatkan bilahan itu ke salah satu senar keteng-keteng. Bilahan bambu itu disebut gung, karena peran musikal dan warna bunyinya menyerupai gung dalam gendang lima sedalanen. Bunyi musik yang dihasilkan keteng-keteng merupakan gabungan dari alat-alat musik pengiring gendang lima sedalanen (kecuali sarune) karena pola permainan keteng-keteng menghasilkan bunyi pola ritem: gendang singanaki, gendang singindungi, penganak dan gung yang dimainkan oleh hanya seorang pemain keteng-keteng.

Menurut Sempa Sitepu (1982: 192) kemungkinan terciptanya alat musik ini [keteng-keteng] ialah untuk menanggulangi kesulitan memanggil gendang [gendang lima sedalanen] dan untuk acara yang tidak begitu besar seperti ndilo tendi (memanggil roh) atau erpangir ku lau, alat tersebut dapat menggantikannya. Balobat digunakan sebagai pembawa melodi menggantikan sarune dalam gendang lima sedalanen.

Mangkok Mangkok yang dimaksud dalam hal ini adalah semacam cawan (chinese glass-bowl) yang pada dasarnya bukan merupakan alat musik, namun dalam gendang telu sedalanen, mangkok tersebut digunakan sebagai instrumen pembawa ritmis. Selain sebagai alat musik, mangkok juga merupakan perlengkapan penting dari guru sibaso (dukun) dalam sistem kepercayaan tradisional Karo. Mangkok tersebut digunakan sebagai tempat air suci atau air bunga atau juga beras dalam ritual tertentu. Ketika mangkok digunakan atau dipakai sebagai alat musik dalam gendang telu sedalanen

Page 20: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

biasanya diisi air putih biasa, tujuannya agar bunyi yang dihasilkan mangkok tersebut menjadi lebih nyaring.

Peran Setiap Instrumen Gendang Telu Sedalanen. Secara struktur musikal, gendang telu sedalanen mengacu kepada struktur musikal gendang lima sedalanen, dimana peran musikalnya dibagi dalam dua bagian penting, yakni satu alat musik sebagai pembawa melodi, yang lainnya sebagai istrumen musik pengiring. Dalam gendang telu sedalanen, kulcapi (dalam gendang kulcapi) atau balobat (dalam gendang balobat) berperan sebagai alat musik pembawa melodi. Keteng-keteng dan mangkok memiliki peranan sebagai musik pengiring. Namun keteng-keteng sebagai alat musik pengiring memiliki peran yang unik, yakni menghasilkan bunyi imitasi (tiruan) dari bunyi empat alat musik pengiring yang terdapat pada gendang lima sedalanen. Dalam pola permainan alat musik keteng-keteng terdapat sora (“bunyi”) penganak, gung, cak-cak (pola ritem) singanaki dan singindungi. Pola pukulan mangkok merupakan pukulan konstan berulang-ulang mengikuti pola permainan penganak atau gung dalam gendang lima sedalanen. Alat musik tradisional Karo Non-Ensambel Selain alat-alat musik yang termasuk dalam kedua ensambel yang telah diuraikan di atas, masih terdapat lagi beberapa alat musik tradisional Karo yang dimainkan secara sendiri (solo) tanpa disertai atau diiringi dengan alat musik yang lain (non-ensembel). Alat musik solo tersebut adalah kulcapi, balobat, surdam, embal-embal, empi-empi, murdad, genggong, dan tambur Musik Vokal Musik vokal yang dimaksud dalam dalam tulisan ini adalah bunyi musikal yang dihasilkan dari suara manusia melalui kegiatan bernyanyi. Tidak ditemukan suatu istilah atau kata dalam bahasa Karo yang berarti musik vokal, namun orang bernyanyi disebut rende, penyanyi berarti perende-ende. Jika seorang perende-ende, sekaligus juga pandai menari (landek) sudah biasa bernyanyi sekaligus menari dalam suatu pesta gendang guro-guro aron, maka sebutannya menjadi perkolong-kolong. Perkolong-kolong, yakni penyanyi tradisional Karo biasanya memiliki kemampuan menyanyikan berbagai lagu yang terdapat dalam kebudayaan musik Karo. Kemampuan ini tidak terbatas hanya pada kemampuan menyanyikan lagu-lagu Karo yang bertemakan percintaan atau muda mudi, namun juga mampu

Page 21: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

untuk menyanyikan lagu-lagu yang bertemakan pemasu-masun (nasihat-nasihat) yang secara teks atau liriknya sangat bergantung kepada konteks suatu upacara. Artinya melodi lagu pemasu-masun memang telah diketahui atau dihapal, namun lirik dari melodi tersebut harus dibuat (dinyanyikan) oleh perkolong-kolong pada saat bernyanyi sesuai dengan konteks upacara/seremonial yang sedang berlangsung pada saat itu. Genre musik vocal/nyanyian perkolong-kolong yang terdapat dalam konteks gendang guro-guro aron cukup dikenal dan berkembang sampai saat ini. Istilah perkolong-kolong pada awalnya berasal dari sebuah lagu yang cukup terkenal pada masa dulu, yaitu kolong-kolong. Jadi orang yang menyanyikan lagu tersebut disebut perkolong-kolong. Menurut M.Bukit (1994: 157), sebelum tahun 1928 orang mengenal penyanyi (perende-ende) dengan menyanyi-kan ceritera, sesudah itu timbullah lagu tertih pong. Pada masa ini perende-ende belum diiringi gendang lima sedalanen. Pada masa Mentas Pelawi dan Kinahun Milala terjadilah nyanyian mangga-mangga yang mulai menggunakan iringan gendang lima sedalanen. Penyanyinya disebut permangga-mangga. Selanjutnya, pada masa Tipan br. Sembiring lahirlah lagu kolong-kolong yang sangat terkenal pada masyarakat Karo. Oleh karena terkenalnya lagu tersebut maka masyarakat Karo menyebut penyanyinya dengan sebutan perkolong-kolong. Lebih spesifik lagi, istilah perkolong-kolong pada awalnya lebih ditujukan pada perende-ende wanita, sementara perende-ende pria disebut dengan istilah tukang lawak (“pembuat lucu”) walaupun sebenarnya keduanya (wanita dan pria) sama-sama menari dan menyanyi. Memang pada saat menari dan bernyanyi berdua dalam adu perkolong-kolong pada waktu dulu (dan juga pada saat sekarang ini), perende-ende pria sering memunculkan dialog (berbicara) tentang lagu yang sedang dinyanyikan dengan hal-hal yang bersifat lucu agar sindedah (penonton) menjadi tertawa/terhibur. Untuk saat sekarang ini, perende-ende wanita dan pria disebut sebagai perkolong-kolong. Istilah perkolong-kolong—selain sebutan untuk penyanyi tradisional Karo—sering juga diartikan sebagai satu genre nyanyian tradisional Karo yang berbeda dengan musik vocal yang lain. Lagu-lagu yang dinyanyikan perkolong-kolong kebanyakan bertema percintaan muda-mudi. Selain rende dalam aktifitas hiburan, aktifitas rende juga sering ditemukan pada saat seorang ibu menidurkan anaknya. Nyanyian menidurkan anak (lullaby) pada masyarakat Karo disebut didong doah. Istilah didong doah sebagai aktifitas rende juga ditemukan dalam upacara perkawinan adat Karo, dimana seorang ibu mengungkapkan perasaan serta

Page 22: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

nasihatnya kepada keluarga penganten melalui nyanyian. Tangis-tangis merupakan ungkapan tentang kepedihan, penderitaan, maupun nasihat-nasihat terhadap seseorang yang diceritakan melalui aktifitas rende (narrative song). Dalam ritual kepercayaan tradisional Karo juga terdapat beberapa aktifitas rende yaitu: tabas, mang-mang. Tabas adalah mantera-mantera yang dinyanyikan oleh guru sibaso (dukun) dalam pengobatan tradisional. Mang-mang merupakan ungkapan penghormatan seorang dukun terhadap beras pati taneh (penguasa tanah) ketika memulai suatu ritual pengobatatan pada masyarakat Karo. Perlu digarisbawahi bahwa aktifitas guru sibaso dalam tabas dan mang-mang ini tidak selalu dilakukan dengan rende (bernyanyi) namun kadang-kadang hanya berupa ucapan-ucapan tertentu semacam mantera, dan isi ucapan itupun biasanya hanya guru sibaso bersangkutan yang mengerti (sacred knowledge). Seniman tradisional Karo Tidak terdapat satu kosa kata atau istilah untuk menyatakan orang-orang yang berprofesi di bidang musik tradisional Karo secara umum. Seseorang yang memiliki keahlian dan berprofesi sebagai seniman tradisional memiliki sebutan atau julukan berdasarkan bidang keahliannya. Berikut ini adalah sebutan untuk seniman tradisional Karo berdasarkan bidang yang dikuasainya.

Tabel 1: Nama alat musik dan sebutan terhadap pemainnya

No Pemain/Bidang Keahliannya Sebutan/julukan 1 Sarune Penarune/Panarune 2 Gendang Sinaganaki Penggual/ /Singanaki 3 Gendang singindungi Penggual/ Singindunngi 4 Penganak Simalu Penganak 5 Gung Simalu Gung 6 Kulcapi Perkulcapi 7 Keteng-keteng Simalu Keteng-keteng 8 Balobat Perbalobat 9 Surdam Penurdam 10 Kibod (keyboard) Perkibod 11 Rende/Perende-ende Perkolong-kolong

Page 23: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Sebutan atau julukan tersebut berlaku sepanjang mereka masih menekuni pekerjaan tersebut, atau dengan kata lain, mereka siap dipanggil untuk bermain jika ada yang membutuhkan berdasarkan keahlian mereka. Ketika mereka melakukan aktifitas musik dalam upacara atau seremonial adat, panggilan atau sebutan kepada mereka menjadi satu (secara group atau kumpulan) yaitu sierjabaten.

Sierjabaten Sierjabaten berasal dari dua kata, yaitu: si berarti “orang yang…” (menyatakan kata ganti orang) dan erjabaten berarti “mempunyai jabatan” atau “mempunyai kedudukan”. Dengan demikian, sierjabaten memeiliki pengertian “orang yang berjabatan” atau “orang yang memiliki kedudukan”. Jabatan atau kedudukan yang dimaksud dalam hal ini adalah sebagai pendukung upacara dalam hal memainkan musik tradisional. Hal ini kemungkinan besar terkait dengan peranan dari setiap orang yang datang kedalam upacara tradisioal Karo telah memiliki kedudukan secara adat, seperti: anak beru, kalimbubu, sukut, teman meriah, dan sebagainya. Oleh karena itu para musisi pun kemudian memiliki nama status dalam kapasitasnya sebagai pemusik yaitu sierjabaten, karena mereka juga secara sengaja diundang untuk mendukung suatu upacara adat. Kata sierjabaten diartikan sebagai orang yang mempunyai jabatan atau orang yang mempunyai kedudukan dalam suatu upacara adat karo memang tergambar dari perlakuan pelaksana upacara (diwakili oleh pihak anak beru) terhadap mereka, seperti: ketika pihak yang mengundang mereka menyediakan tempat duduk (tempat mereka bermain) senantiasa akan mengatakan “ingan kundul sierjabaten” (tempat duduk sierjabaten) atau “isap sierjabaten” (rokok sierjabaten), “nakan sierjabaten” (makanan sierjabaten). Hal ini dianggap sebagai perlakuan khusus (dari arti kata sierjabaten tersebut) karena para seniman yang mendukung suatu upacara adat tersebut akan mendapat upah (bayaran atau honor) berdasarkan kesepakatan yang telah merka buat sebelumnya dengan pangundang.

Dengan perlakuan khusus seperti yang telah disebutkan diatas, kedudukan seniman tradisional Karo dalam upacara adat tidak dapat murni dianggap sebagai pekerja seni profesional pada umumnya, walaupun sebenarnya dilihat dari jumlah upah yang diterima sierjabaten sekarang ini cukup memuaskan sebagai sebuah profesi. Sierjabaten berdasarkan keahliannya terdiri dari dua jenis, yaitu: pemain musik dan penyanyi (perkolong-kolong), namun untuk saat sekarang ini, istilah sierjabaten lebih

Page 24: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

sering ditujukan kepada pemain musik, sedangkan untuk penyanyi tradisional Karo lebih sering menggunakan istilah perkolong-kolong dari pada kata seirjabaten itu sendiri.

Gendang Lima Sedalanen dalam Upacara Adat Karo Secara umum, musik tradisional sebagai bagian dari kebudayaan tradisional pada setiap masyarakat berhubungan erat dengan aktivitas sosial masyarakatnya. M. Dove (1985: xv) mengatakan bahwa …kebudayaan tradisional terkait erat dengan, dan secara langsung menunjang, proses sosial, ekonomis, dan ekologis masyarakat secara mendasar. Dengan demikian merupakan suatu yang lumrah bahwa musik hadir dalam berbagai aktifitas suatu masyarakat. Musik hadir dalam upacara adat, seremonial hiburan maupun upacara religi. Demikian pula halnya dengan musik tradisional Karo—dalam kasus ini adalah salah satu ensambel musiknya yaitu gendang lima sedalanen—memiliki keterkaitan atau hubungan yang penting dengan aktivitas masyarakat pendukungnya. Hubungan gendang lima sedalanen dengan aktivitas masyarakat pendukungnya disebut penting karena hampir semua kegiatan gendang lima sedalanen sangat berhubungan dengan upacara adat pada masyarakat pendukungnya., demikian pula sebaliknya, berbagai aktivitas masyarakat Karo biasanya melibatkan gendang lima sedalanen dalam pelaksanaan upacaranya. Namun, perlu pula ditegaskan bahwa tidak setiap upacara atau seremonial pada masyarakat Karo wajib menyertakan musik tradisional, karena kehadiran gendang lima sedalanen dalam beberapa upacara tradisional memiliki keterkaian dengan tingkat dan bentuk suatu upacara yang mengharuskan kehadiran gendang lima sedalanen. Upacara adat dalam tingkat yang sederhana biasanya tidak menyertakan musik tradisional, sebaliknya upacara yang besar dan melibatkan banyak peserta biasanya mengharuskan kehadiran gendang lima sedalanen. Selain itu, ada satu upacara atau seremonial tradisional Karo yang dalam pelaksanaannya musik tradisional sebagai bagian utama dari upacara tersebut, yakni gendang guro-guro aron Sampai saat ini gendang guro-guro aron merupakan suatu kesenian tradisional yang digemari oleh segala lapisan masayarakat Karo. Disamping itu, secara tradisional masih terdapat beberapa beberapa upacara yang tidak terpisahkan dari kehadiran musik tradisional, seperti muncang, perumah begu, namun, ritual tersebut jarang dilaksanakan berhubungan erat dengan kepercayaan lama tradisional masyarakat Karo (pemena/perbegu).

Page 25: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Di antara berbagai upacara adat yang ada pada masyarakat Karo, setidaknya ada 5 (lima) macam upacara adat yang biasanya menyertakan gendang lima sedalanen dalam pelaksanaan upacaranya, yaitu: kerja perjabun, kerja erpangir ku lau, kerja mengket rumah mbaru, kerja nurun-nurun, dan gendang guro-guro aron. Kerja Perjabun Istilah kerja dalam bahasa Karo mengandung pengertian pesta/upacara/seremonial yang berkaitan dengan adat Karo. Kata kerja biasanya dirangkaikan dengan jenis ritual/upacara atau seremonial tertentu yang berkaitan dengan aktivitas adat istiadat masyarakat Karo. Contohnya: kerja tahun, adalah seremonial adat yang dilakukan berkaitan dengan aktivitas pertanian pada masyarakat Karo dalam kurun sekali setahun. Sedangkan untuk menyebutkan upacara adat atau seremonial adat secara umum (tanpa menjelaskan jenis upacara, disebut kerja-kerja. Selain istilah kerja atau kerja-kerja, sebagian masyarakat Karo—khususnya Karo Langkat atau Karo Jahe—menggunakan istilah lain, yaitu lakon atau lakon-lakon untuk menyebutkan pesta atau upacara adat di daerahnya. Makna dari kedua kata tersebut—kerja/kerja-kerja dan lakon/lakon-lakon adalah sama-sama menyatakan pesta/upacara/ seremonial adat di daerah masing-masing.

Perjabun berasal dari kata jabu yang artinya “tempat tinggal (satu keluarga)”, erjabu artinya “berumah tangga”, dan perjabun artinya “perkawinan”. Perkawinan dalam masyarakat Karo, seperti juga dalam suku batak lainnya, merupakan suatu upacara yang sangat penting, yang melibatkan hubunganan kekeluargaan kedua belah pihak, keluarga penganten laki-laki dan keluarga penganten perempuan.

Dalam upacara perkawinan Karo dikenal ada tiga tingkatan upacara, yaitu: kerja singuda, kerja sintengah dan kerja sintua. Kerja sintua merupakan upacara paling besar baik dari sisi kerabat yang diundang maupun jenis makanan yang disajikan dalam kerja perjabun itu sendiri. Kerja sintengah (upacara menengah) tidak boleh memotong hewan jenis kerbau tapi lembu, bahkan secara adat bisa juga tidak dengan memotong langsung tapi erbante (memesan daging lembu ke tempat pemotongan hewan dengan jumlah tertentu yang disepakati). Kerja singuda (upacara yang muda) merupakan upacara paling sederhana. Kekerabatan yang turut diundang pun yang terdekat saja, yaitu kuh sangkep nggeluh (“lengkap” senina, kalimbubu dan anak beru). Pengertian kuh (“lengkap”) dalam hal ini adalah harus ada setiap unsur rakut si telu yang hadir, walaupun jumlahnya

Page 26: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

terbatas. Jenis makanan yang disajikan adalah babi atau beberapa ekor ayam.

Dari ketiga jenis tingkatan kerja (upacara) tersebut hanya tingkat kerja sintua yang wajib menyertakan gendang lima sedalanen dalam pelaksanaan upacaranya adatnya. Dalam kerja sintengah memang dapat juga disertakan gendang lima sedalanen tetapi tidak merupakan suatu keharusan (wajib), sementara itu dalam kerja singuda secara adat tidak dibenarkan menyertakan gendang lima sedalanen. Gendang lima sedalanen disertakan pada dua bagian dari satu kerja perjabun, pertama pada acara nganting manok dan kedua pada kerja adat perjabun itu sendiri.Nganting manok merupakan acara kilas balik atas segala perencanaan yang telah disepakati bersama dalam upacara maba belo selambar serta sekaligus membicarakan segala materi acara yang akan dilaksanakan pada keesokan harinya dalam kerja perjabun. Selain itu, pada saat nganting manok, pihak anak beru sebagai kelompok pekerja (mempersiapkan segala urusan makanan para peserta upacara adat besoknya) akan tinggal dan bekerja semalam suntuk dalam jambur tersebut. Anak beru sebagai pekerja pada malam tersebut biasanya dibantu oleh singuda-nguda anak perana, yang merupakan teman atau rekan-rekan dari orang yang akan menikah secara adat besoknya. Oleh karena bekerja sampai dini hari, anak beru dan singuda-nguda anak perana biasanya mengadakan acara landek dan rende dengan iringan gendang lima sedalanen. Acara tersebut dinamakan gendang serayaan, yang artinya merupakan musik untuk para pekerja yang ada pada jambur tersebut. Gendang serayaan hanya akan ada jika gendang lima sedalanen digunakan pada keesokan harinya dalam upacara adat. Jika kerja tersebut tidak menggunakan gendang lima sedalanen pada pelaksanaan upacara adatnya, maka gendang serayaan tidak akan ada, karena yang menjadi sierjabaten pada gendang serayaan adalah musisi yang akan mendukung pelaksanaan kerja perjabun esok harinya. Pada gendang serayaan, anak beru serta singuda-nguda anak perana akan bergantian landek secara berkelompok. Jika ada diantara mereka yang memiliki bakat rende (menyanyi), gendang serayaan adalah semacam tempat berlatih (uji coba) resmi karena selain anak beru dan singuda-nguda anak perana, gendang serayaan tersebut juga biasanya ditonton oleh pihak sukut, kalimbubu, senina dan beberapa kerabat yang telah datang pada acara nganting manok tersebut. Kerja adat perjabun merupakan upacara inti dari perayaan perkawinan orang Karo. Gendang lima sedalanen pada acara ini berperan

Page 27: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

dalam mengiringi peserta upacara menari (landek) dan juga sambil berbicara secara adat (ngerana). Yang pertama menari adalah sierjabu (kedua penganten) Sierjabu menari merupakan suatu simbol bahwa mereka telah sah secara adat mereka menikah. Kedua penganten menari bersama diiringi gendang lima sedalanen. Judul komposisi yang ditampilkan tidak ada suatu ketentuan. Seluruh peserta upacara berdiri bersama menyaksikan kedua pengantin menunjukkan kepandaiannya dalam landek.

Setelah kedua penganten selesai landek landek (menari), acara dilanjutkan dengan gendang adat sambil mere telah-telah (memberikan kata nasehat atau bimbingan secara adat Karo kepada kedua penganten) atau sering juga disebut ngerana. Landek dan mbere telah-telah dilakukan pada waktu yang bersamaan dengan diiringi gendang lima sedalanen. Gendang adat adalah acara menari bersama yang dilakukan dalam dua kelompok secara berhadap-hadapan. Kelompok yang satu adalah sukut, pelaksana utama upacara dan yang lain adalah pihak kekerabatan sukut. Salah satu kelompok akan ngerana (“berbicara”) atau mbere telah-telah (memberikan kata nasehat) kepada kedua pengantin. Judul komposisi yang ditampilkan dalam setiap acara landek adat adalah gendang simalungen rayat. Dengan demikian gendang simalungen rayat akan senantiasa diulang-ulang pada setiap kelompok kerabat yang landek. Secara lengkap urutan kerabat yang landek beserta kelompok yang dihadapannya disebut si ngalo-ngalo (yang menyambut) serta tema ngerana yang dilakukan pada setiap acara landek adat pada perkawinan adat Karo akan diuraikan di bawah ini:

1. Landek Sukut, anak beru si ngalo-ngalo. Tema ngerana: Ucapan selamat datang serta permohonan maaf atas segala kekurangan penyambutan. Komposisi musik: Perang-perang dan Gendang simalungen rayat (GSR)

2. Landek Senina, sukut si ngalo-ngalo. Tema ngerana: bimbingan dan nasehat terhadap kedua pengantin. Komposisi musik GSR

3. Landek Senina Siparibanen dan Senina Sipemeren, sukut si ngalo-ngalo. Tema ngerana: bimbingan dan nasehat terhadap kedua pengantin. Komposisi musik GSR

4. Landek Kalimbubu, sukut si ngalo-ngalo. Tema ngerana: bimbingan dan nasehat terhadap kedua pengantin. Komposisi musik GSR

5. Landek Pengulu, sukut si ngalo-ngalo. Tema ngerana: bimbingan dan nasehat terhadap kedua pengantin. Komposisi musik GSR

Page 28: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

6. Landek Kalimbubu taneh, sukut si ngalo-ngalo. Tema ngerana: bimbingan dan nasehat terhadap kedua pengantin. Komposisi musik GSR

7. Landek kalimbubu simupus, sukut si ngalo-ngalo. Tema ngerana: bimbingan dan nasehat terhadap kedua pengantin. Komposisi musik GSR

8. Landek Kalimbubu sierkimbang, sukut si ngalo-ngalo. Tema ngerana: bimbingan dan nasehat terhadap kedua pengantin. Komposisi musik GSR

9. Landek Puang Kalimbubu, sukut si ngalo-ngalo. Tema ngerana: bimbingan dan nasehat terhadap kedua pengantin. Komposisi musik GSR

10. Landek Kalimbubu siempat merga, sukut si ngalo-ngalo. Tema ngerana: bimbingan dan nasehat terhadap kedua pengantin. Komposisi musik GSR

11. Landek teman meriah (sahabat karib kedua penganten) sukut si ngalo-ngalo. Tema ngerana: bimbingan dan nasehat terhadap kedua pengantin. Komposisi musik GSR

12. Landek Anak beru, sukut si ngalo-ngalo. Tema ngerana: bimbingan dan nasehat terhadap kedua pengantin. Komposisi musik GSR.

Setelah kelompok sukut si empo beserta unsur kekerabatannya selesai

landek dan ngerana seperti yang diuraikan di atas, maka acara adat dilanjutkan dengan sukut si nereh juga melakukan landek dan ngerana dengan urutan dan komposisi musik yang sama.

Oleh karena kerja perjabun disertai dengan makan siang bersama seluruh perserta upacara, maka seandainya belum selesai acara gendang adat, maka acara tersebut akan dilanjutkan setelah selesai makan siang. Mengingat durasi waktu setiap kelompok yang landek dan ngerana tidak dibatasi maka sering terjadi upacara menjadi berakhir pada waktu sore hari, walaupun sebenarnya kerja perjabun dianggap selesai setelah makan siang. Untuk menghindari terjadinya kemunduran waktu yang demikian panjang maka beberapa dari kelompok yang landek dan ngerana disatukan dalam sekali landek, seperti kelompok kalimbubu singalo bere-bere dan kalimbubu simupus serta kalimbubu sierkimbang digabungkan dalam landek serta ngerana dalam satu kali GSR dimainkan, demikian pula dengan kelompok senina, senina siparibanen, senina sipemeren digabungkan dalam sekali landek. Walaupun kelompok tersebut digabungkan, setiap kelompok tetap

Page 29: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

mendapat kesempatan masing-masing ngerana. Dengan demikian acara gendang adat dapat dilakukan dengan enam kali penampilan gendang simalungen rayat untuk kelompok sukut si empo dan juga enam kali untuk sukut si nereh.

Setelah seluruh acara landek selesai maka selesailah kerja perjabun tersebut. Sebelum sierjabaten pulang kerumah masing-masing atau kedesanya masing-masing, ada syarat yang harus dipenuhi oleh sukut si empo sebagai penghormatan kepada sierjabaten yaitu: pemulih sierjabaten (memberangkatkan musisi) yang dikenal dengan upah sierjabaten. Upah sierjabaten ini diserahkan oleh anak beru dari sukut si empo. Gendang Lima Sedalanen dalam Kerja Mengket Rumah Mbaru Mengket rumah mbaru berasal dari kata mengket, artinya “memasuki”, rumah, artinya rumah, dan mbaru artinya “baru.” Jadi mengket rumah mbaru berarti upacara memasuki rumah baru. Rumah dalam tradisi masyarakat Karo adalah sebuah tempat tinggal yang terdiri dari beberapa jabu (rumah tangga). Rumah tersebut secara umum terdiri dari 8 (delapan) jabu, namun ada juga yang terdiri dari 4 (empat) atau 6 (enam) jabu, bahkan (walaupun jarang) ada pula yang terdiri dari 12 (dua belas) jabu. Rumah-rumah tersebut dinamakan rumah adat Karo. Selain di rumah adat Karo, banyak pula orang Karo yang tinggal di rumah biasa seperti rumah pada umumnya yang dihuni oleh satu keluarga. Untuk setiap rumah (rumah adat dan rumah biasa) yang telah selesai dibangun, biasanya diadakan suatu upacara sebelum rumah tersebut ditempati. Upacara tersebut dinamakan kerja mengket rumah mbaru (upacara memasuki rumah baru). Kerja mengket rumah adat merupakan suatu upacara yang sangat besar karena melibatkan beberapa jabu (keluarga) bersama dengan kekerabatannya dilakukan secara serentak Oleh karena itu kehadiran gendang lima sedalanen merupakan suatu kewajiban, bahkan kerja ini membutuhkan waktu lebih dari satu hari. Lebih dari 40 tahun yang lalu (mulai dari tahun 1960 sampai saat ini) tidak pernah lagi ada pembuatan rumah adat yang mbaru, sehingga ritual mengket rumah adat Karo tidak pernah lagi dilaksanakan. Berdasarkan kenyataan tersebut, dalam penelitian kali ini, mengket rumah mbaru yang dimaksud atau yang diteliti adalah rumah biasa yang dihuni oleh satu keluarga orang Karo.

Ada tiga jenis tingkatan dalam hal mengket rumah mbaru, pertama mengket dapur (“peresmian dapur”), yaitu upacara memasuki rumah baru paling sederhana, oleh karena itu disebut peresmian dapur. Kedua, mengket rumah mbaru (“peresmian rumah baru”) yang merupakan tingkatan

Page 30: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

menengah secara adat. Ketiga, mengket rumah mbaru erkata gendang yang berarti“peresmian rumah baru disertai musik tradisional”. Dengan tiga istilah ini dapat diketahui bahwa hanya pada tingkat ketiga yang disertai gendang lima sedalanen. Kerja mengket rumah mbaru biasanya dilaksanakan di halaman/dalam rumah yang akan diupacarakan, namun terkadang kondisi halaman yang ada tidak memungkinkan untuk menampung para kerabat yang diundang maka dapat pula dilakukan di jambur. Penampilan gendang lima sedalanen dalam kerja mengket rumah mbaru hampir sama dengan penampilan pada kerja perjabun, yaitu mengiringi landek dan ngerana ayang disebut sebagai gendang adat. Komposisi musik yang dimainkan gendang lima sedalanen juga sama, yaitu gendang simalungen rayat. Upacara ini dilakukan dengan makan siang bersama, dan setelah selesai seluruh kelompok kekerabatan landek dan ngerana maka selesai pula ritual mengket rumah baru tersebut. Sierjabaten juga akn mendapat upah, seperti dalam kerja perjabun. Gendang Lima Sedalanen dalam Kerja Nurun-nurun Nurun-nurun adalah ritual penguburan jenazah pada masyarakat Karo. Setiap orang Karo yang meninggal dunia, tidak langsung dikuburkan, tetapi akan dilakukan suatu upacara penguburan jenazah yang dikenal dengan istilah nurun-nurun.

Upacara nurun-nurun yang disertai dengan gendang lima sedalanen terdiri dari 3 (tiga) tingkatan atau kategori yaitu gendang mentas, erkata gendang, dan nangkih gendang. Gendang mentas merupakan ritual penguburan jenazah paling sederhana, yakni gendang lima sedalanen hanya ditampilkan pada acara gendang adat di tempat upacara. Ketika mengantarkan jenazah ke penguburan, gendang lima sedalanen tidak lagi diikutsertakan. Erkata gendang, tidak jauh perbedaannya dengan gendang mentas, hanya pada saat mengantarkan jenazah serta proses penguburannya, gendang lima sedalanen masih disertakan. Nangkih gendang merupakan penyertaan gendang lima sedalanen lebih lama yakni dimulai pada malam hari dan disambung keesokan harinya seperti erkata gendang. Gendang mentas dan erkata gendang boleh ditampilkan dalam setiap penguburan jenazah orang Karo, sedangkan nangkih gendang, secara adat hanya dilakukan dalam upacara penguburan jenazah orang-orang Karo tertentu saja yaitu: cawir metua (kematian orang yang telah berusia lanjut, atau semua anaknya telah berumah tangga), pande rumah adat (orang yang ahli membangun rumah adat Karo), dan guru mbelin (dukun terkenal).

Page 31: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Pada saat sekarang ini hanya ritual cawir metua yang masih dilaksanakan dengan menyertakan gendang lima sedalanen. Pelaksanaan musiknya juga lebih banyak hanya menampilkan gendang adat. Pada hal gendang cawir metua secara adat memiliki beberapa komposisi serta acara khsusus selain gendang adat pada umumnya. Gendang cawir metua dimulai pada waktu malam hari (setelah makan malam), yaitu gendang lima sedalanen memainkan komposisi Perang-perang empat kali diulang-ulang tanpa ada yang landek. Kemudian dilanjutkan dengan gendang adat (perang-perang dan simalungen rayat sebanyak lima kali. Yang menari adalah: sukut, senina, anak beru, senina sipemeren dan senina siparinanen, dan kalimbubu. Pada gendang adat ini tidak ada yang ngerana, namun hanya landek. Setiap kelompok kekerabatan yang landek, secara pelan-pelan akan bergerak mendekati jenazah. Setelah selesai gendang adat, acara kemudian diserahkan kepada anak beru beserta singuda-nguda anak perana (pemuda dan pemudi). Acara ini hanyalah acara hiburan bagi anak beru dan muda-mudi yang bekerja di dapur agar tidak mengantuk. Kalau ada perende-ende (orang yang pintar menyanyi) di desa itu, dia akan dipanggil untuk menyanyi sambil menari. Biasanya keluarga yang berkemalangan juga ikut menonton dalam beberapa penampilan. Di sini mungkin timbul suatu pertanyaan bahwa mengapa justru timbul acara yang bersifat “hiburan” di dalam upacara kemalangan. Menurut orang-orang tua, upacara cawir metua adalah juga merupakan upacara kegembiraan karena orang diupacarakan, meninggal dalam usia yang lanjut dan semua anak-anaknya telah dewasa. Esoknya, setelah semua keluarga selesai ngukati (sarapan pagi), upacara dimulai dari rumah tempat jenazah itu. Gendang lima sedalanen mulai memainkan komposisi gendang pengangkat. Gendang pengangkat mengandung pengertian sebagai komposisi untuk membawa jenazah dari rumah menuju ke jambur, tempat upacara. Yang membawa jenazah adalah anak beru yang diikuti oleh sukut, dan di belakang mereka sierjabaten memainkan gendang lima sedalanen sambil berdiri/berjalan. Sesampainya di jambur, gendang lima sedalanen berhenti sejenak, anak beru mengatur tempat duduk seluruh pendukung upacara termasuk tempat duduk sierjabaten.

Setelah semua kekerabatan lengkap berkumpul di jambur, dimulailah acara dengan menampilkan “semacam hiburan” lagi, yakni anak beru singerana memanggil cucu-cucu laki-laki dari yang meninggal tersebut untuk disuruh menari bersama impal-nya. Cucu-cucu yang menari tidak dibatasi umurnya, tidak hanya cucu yang telah anak perana (perjaka)

Page 32: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

namun jika belum ada, cucu yang masih dalam usia sekolah dasar juga disuruh. Komposisi yang ditampilkan juga biasanya terdiri dari beberapa judul, diawali dengan gendang odak-odak. Jika ada cucu atau pasangannya yang menyanyi, maka sukut dan beberapa kerabat lainnya akan memberikan cokong-cokong (sumbangan) dalam bentuk uang. Acara menari ini menarik perhatian dari seluruh peserta upacara sehingga seolah-olah upacara kemalangan sejenak terlupakan.

Selanjutnya akan dilaksanakan gendang adat Pada gendang adat inilah, setiap kelompok kekerabatan yang landek akan ngerana, mengungkapkan isi hatinya berkaitan dengan kematian orang tersebut. Ada yang mengisahkan kebaikan orang tersebut, ada yang memberikan kata-kata penghiburan kepada keluaga yang ditinggalkan. Kebanyakan yang ngerana tersebut berbicara sambil menangis, sehingga sukut sebagai kelompok singalo-ngalo biasanya akan ikut juga menangis.

Setelah upacara di jambur selesai dilakukan maka jenazah dibawa ke tempat penguburan. Gendang Pengangkat kembali dimainkan gendang lima sedalanen untuk mengiringi jenezah dibawa ke kuburan. Di kuburan, gendang lima sedalanen memainkan gendang pendungi, yang merupakan bagian terakhir dari penguburan jenazah tersebut.

Setelah makan malam, gendang lima sedalanen kembali memainkan gendang simalungen rayat sebanyak empat kali. Esoknya, yang merupakan acara terakhir dari gendang cawir metua ini adalah gendang pendudu tendi (menenangkan jiwa) terhadap seluruh keluarga, Seluruh keluarga menari bersama, tanpa ada lagi yang ngerana, atau menangis. Makna dari gendang pendudu tendi ini adalah agar seluruh keluarga damai sejahtera, walaupun seorang dari keluarga telah tiada.

Gendang Lima Sedalanen dalam Kerja Erpangir Ku Lau

Kerja erpangir ku lau merupakan satu ritual pembersihan diri yang didalam ritualnya terdapat aktivitas “berkeramas atau mandi bunga ke sungai’ (erpangir ku lau). Ritual erpangir ku lau sampai saat ini masih sering dilakukan terutama oleh kelompok guru sibaso pada waktu-waktu tertentu. Setiap guru sibaso akan melaksanakan erpangir ku lau secara rutin, dalam sebulan sekali atau setahun sekali sebagai penghormatan kepada jinujung (kekuatan supranatural menyertainya dalam melakukan kegiatan sebagai guru sibaso). Sebagian musisi tradisional yang mempercayai silengguri (kekuatan supranatural yang menyertainya dalam profesi sebagai seniman tradisional Karo juga akan melakukan erpangir ku lau pada waktu tertentu.

Page 33: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Selain diiringi dengan gendang lima sedalanen, erpangir ku lau juga dapat menggunakan gendang telu sedalanen. Malah, berdasarkan kuantitas, erpangir ku lau—khususnya yang dilaksanakan guru sibaso—lebih sering menggunakan gendang telu sedalanen dari pada gendang lima sedalanen.

Gendang lima sedalanen dalam kerja erpangir ku lau juga memiliki beberapa komposisi yang khusus dimainkan selain gendang adat. Komposisi tersebut antara lain adalah: gendang perang belin, gendang jumpa malem, katoneng-katoneng, gendang kelayaren, dan gendang peselukken. Pada bagian gendang peselukken, guru sibaso mulai kesurupan (trance). Komposisi gendang peselukken dapat berlangsung sekitar sepuluh menit atau lebih, tergantung kapan guru sibaso berada dalam keadaan seluk (dalam keadaan kesurupan). Jika guru sibaso belum dalam kesurupan, gendang peselukken dapat berlangsung sekitar setengah jam. Jika guru sibaso telah kesurupan, gendang lima sedalanen akan mengakhiri gendang peselukken, Ritual ini kemudian dilanjutkan dengan makan bersama, dan kemudian dilanjutkan dengan landek gendang adat (gendang simalungen rayat) dengan konsep urutan kekerabatan yang landek yang sama dengan gendang adat pada upacara lainnya yang telalah dijelaskan sebelumnya. Kerja erpangir ku lau yang diiringi gendang telu sedalanen biasanya ikut langsung pada acara erpangir di sungai atau mata air yang telah ditentukan. Gendang telu sedalanen mulai dimainkan ketika yang mengadakan upacara telah selesai erpangir di tempat tersebut. Komposisi gendang telu sedalanen yang dimainkan secara bersambung (medley) adalah gendang mari-mari, gendang odak-odak, gendang patam-patam, dan gendang kelayaren. Seluruh keluarga yang mengadakan upacara mengikuti repertoar tersebut dengan landek. Pada saat gendang kelayaren dimainkan, guru sibaso atau salah seorang atau beberapa dari peserta upacara mulai memperlihatkan gerakan-gerakan tari yang cukup atraktif, artinya orang tersebut mulai menampakkan gejala kesurupan (trance). Untuk menuju keadaan kesurupan, gendang telu sedalanen kadang-kadang dimainkan dengan cukup lama (lebih dari satu jam), demikian pula kadang-kadang tidak tercapai keadaan kesurupan sehingga gendang telu sedalanen harus dimainkan secara berulang-ulang sesuai dengan permintaan guru sibaso. Setelah tercapai kondisi kesurupan (trance), gendang telu sedalanen berhenti dimainkan dan aktifitas guru sibaso dengan peserta upacara adalah berkomunikasi dengan roh-roh yang masuk melalui orang yang kesurupan tersebut sebagai medium. Jika semua hal telah “dibicarakan”, maka seluruh peserta pulang ke rumah yang melaksanakan upacara untuk melakukan

Page 34: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

makan bersama dengan kerabat yang juga telah menunggu kedatangan mereka di rumah. Setelah selesai makan bersama, acara selanjutnya adalah landek gendang adat dengan unsur-unsur kekerabatan yang diundang. Paling tidak akan ada tiga unsur yang mempunyai kesempatan untuk menari, sukut, kalimbubu, dan anak beru. Gendang adat ini biasanya hanya dilakukan dengan landek tanpa ada yang ngerana. Ritual erpangir ku lau selesai setelah semua unsur kekerabatan yang turut diundang telah landek bersama dengan pihak sukut (keluarga yang mengadakan upacara). Gendang Lima Sedalanen dalam Gendang Guro-guro Aron Gendang guro-guro aron adalah satu seni pertunjukan tradisional yang dilaksanakan oleh anak perana singuda-nguda (pemuda dan pemudi). Pemuda dan pemudi yang dimaksud di sini adalah orang yang belum menikah (belum berumah tangga). Anak perana dan singuda-nguda yang melaksanakan gendang guro-guro aron tersebut disebut dengan aron. Anak perana disebut aron sidilaki, singuda-nguda disebut aron sidiberu atau keduanya disebut juga dengan aron simatek.

Secara tradisi gendang guro-guro aron dilaksanakan pada saat kerja tahun atau merdang merdem di suatu desa. Kerja tahun biasanya dilaksanakan setelah selesai musim panen, merdang merdem dilaksanakan sebelum mengawali masa musim tanam dalam suatu desa atau kecamatan. Untuk saat sekarang ini, waktu pelaksanaan kerja tahun bagi sebagian besar desa telah memiliki bulan tertentu dalam satu tahun, sementara itu tanggal pelaksanaannya ditentukan sekitar sebulan atau dua bulan menjelang bulan tersebut.

Namun, masyarakat Karo yang berada di kota Medan juga sering melaksanakan gendang guro-guro aron dalam komunitas tertentu. Saat pelaksanaannya tidak memiliki keterkaiatan dengan kerja tahun, karena masyarakat Karo di kota Medan tidak memiliki suatu tradisi kerja tahun. Tujuan pelaksanaannya biasanya untuk mempererat hubungan antara sesama orang Karo. Komunitas pelaksana gendang guro-guro aron di kota Medan biasanya dilakukan oleh orang Karo atas dasar persamaan tertentu, seperti: berasal desa/kecamatan yang sama, kuliah dalam satu universitas yang sama, profesi atau pekerjaan yang sama, dan sebagainya.

Gendang guro-guro aron merupakan suatu seni pertunjukan tradisional yang cukup disenangi oleh segala lapisan masyarakat Karo, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Materi utama seni pertunjukan ini adalah aktivitas landek (menari) dan rende (menyanyi) yang diiringi dengan gendang lima sedalanen. Landek dilakukan secara berpasangan dan

Page 35: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

berhadap-hadapan antara beberapa laki-laki dan beberapa wanita. Rende dilakukan oleh sepasang (pria dan wanita) perkolong-kolong yang sengaja diundang dalam konteks seni pertunjukan tersebut. Walaupun perkolong-kolong adalah penyanyi yang sengaja dibayar dalam seni pertunjukan tersebut, aron simantek juga memiliki kesempatan untuk menyanyi.

Sebagai seni pertunjukan tradisi, perencanaan dan pelaksanaan suatu gendang guro-guro aron melibatkan seluruh unsur masyarakat di satu desa atau komunitas tertentu. Pembiayaan biasanya ditanggung secara bersama oleh masyarakat desa atau komunitas tertentu yang mengadakannya karena seni pertunjukan ini bersifat terbuka, dalam arti tidak dikenakan bayaran bagi siapa saja yang ingin menyaksikannya. Dalam pelaksanaannya pun, seluruh unsur pendukung seni pertunjukan tersebut memiliki kesempatan untuk menari. Kelompok orang tua berdasarkan merga silima memiliki kesempatan menari sebanyak lima kali. Acara menari merga silima ini juga disebut sebagai acara gendang adat, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa komposisi yang dimainkan bukan gendang simalungen rayat seperti layaknya konteks upacara adat. Setiap kelompok merga yang menari bebas menentukan lagu pilihannya sendiri. Donatur-donatur juga mempunyai kesempatan yang sama.

Durasi waktu pelaksanaan gendang guro-guro aron minimal dilakukan dalam satu kali sangket (sekitar 8 jam), dan sangat umum terjadi dalam dua kali sangket. Pelaksanaan pertama biasanya mulai pada malam hari sekitar jam 20.00 WIB dan berakhir pada dini hari sekitar jam 04.00 WIB. Selama waktu tersebut dianggap satu kali sangket. Jika dalam perencanaan awal telah disepakati dua kali sangket, seluruh pendukung seni pertunjukan tersebut akan beristirahat dalam beberapa jam, untuk dilanjutkan kembali pada siang dan sore harinya dalam durasi waktu yang hampir sama dengan sebelumnya. Sesuai dengan konteksnya, yaitu konteks hiburan maka komposisi atau lagu yang dimainkan adalah lagu-lagu yang bertemakan muda mudi atau percintaan. Judul lagu yang akan dimainkan oleh musisi gendang lima sedalanen juga ditentukan oleh kelompok aron yang akan landek. Setiap aron yang menari senantiasa disertai oleh salah satu atau kedua-dua perkolong-kolong. Aron sidilaki dan aron sidiberu menari berhadap-hadapan secara berpasangan, dengan jarak lebh kurang lima meter. Di tengah-tengahnya, perkolong-kolong akan menari dengan posisi perkolong-kolong pria menghadap kepada aron sidiberu, perkolong-kolong wanita menghadap ke aron sidilaki.

Page 36: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Biasanya landek akan diawali oleh perkolong-kolong dan akan diikuti oleh semua aron. Ketika sedang menari, masing-masing Perkolong-kolong akan berjalan perlahan-lahan mendekati setiap aron lawan jenisnya. Setelah sarune selesai memainkan melodi lagu, salah satu perkolong-kolong berhenti menari untuk kemudian mulai menyanyi berdasarkan judul lagu yang dimainkan. Pada saat perkolong-kolong menyanyi, sarune tidak lagi dimainkan (istirahat). Setelah perkolong-kolong selesai menyanyi, ada dua hal yang dapat terjadi. Pertama, musik dan tari selesai (berakhir), aron dan perkolong-kolong kembali ketempat duduknya semula. Kedua, gendang lima sedalanen menyambung komposisi berikutnya tanpa berhenti. Aron yang landek tadi akan berhenti sejenak menari, untuk kemudian menari kembali, sementara itu perkolong-kolong mengundurkan diri dari posisinya semula sebagai penari dan penyanyi untuk kembali duduk.

Apabila musik berubah (tidak berhenti) setelah perkolong-kolong selesai menyanyi, inilah yang disebut dengan gendang salih. Kata salih dalam pengertian sehari-hari bahasa Karo adalah “berubah”. Pengertian berubah dalam hal ini adalah berubah wujud, berubah warna, berubah bentuk dan lain sebagainya. Dalam konsep musik tradisional Karo, kata salih mengandung pengertian perubahan judul komposisi sekaligus tempo dari suatu lagu. Kata salih biasanya akan diucapkan protokol atau si landek atau perkolong-kolong ketika satu komposisi lagu sedang berlangsung. Ucapan kata salih ditujukan kepada sierjabaten agar segera merubah atau mengganti komposisi yang sedang dimainkan pada saat itu. Walaupun begiitu, tidak selamanya sierjabaten menunggu perintah kata salih tersebut, karena siserjabaten senantiasa mengamati aron dan perkolong-kolong yang sedang menari dan bernyanyi. Pengamatan tersebut merupakan hasil pengalaman lama dan berulang-ulang, sehingga sierjabaten mengerti kapan dilakukan salih.

Komposisi awal dari gendang salih adalah gendang odak-odak, dan dilanjutkan gendang patam-patam. Dalam gendang odak-odak, seluruh aron yang landek mulai melakukan gerakan secara bersama berputar kekiri dan kekanan di tempat masing-masing. Durasi waktu untuk gendang odak-odak tidak begitu lama, biasanya sekitar satu sampai dua menit dan langsung berubah menjadi gendang patam-patam.

Gendang patam-patam adalah satu repertoar yang diperuntuk-kan bagi para penari untuk menunjukkan kebolehannya dalam menari secara berpasang-pasangan (pria dan wanita). Pada gendang patam-patam ini, aron sidilaki mulai bergerak mendekati aron sidiberu untuk menari secara lebih

Page 37: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

dekat secara berpasangan. Pergerakan ini dapat dilakukan secara bersama, namun ada kalanya masing-masing aron mengambil inisiatif sendiri-sendiri, sehingga konfigurasi tarian yang sebelumnya sejajar dan berhadap-hadapan menjadi berubah. Dalam tahap selanjutnya, setiap pasang aron yang lanek berusaha menunjukkan kemahirannya dalam menari. Durasi waktu gendang patam-patam dapat berlangsung sekitar tiga sampai tujuh menit, atau tergantung juga pada kondisi para penari.

Perubahan judul dan tempo (kecepatan) gendang salih merupakan salah satu ciri khas, dimana pada bagian awal (lagu mengiringi tarian pertama dan yang dinyanyikan perkolong-kolong) memiliki tempo sekitar 76 per beat, pada gendang odak-odak tempo lagu berubah semakin cepat menjadi sekitar 92 per beat, dan pada gendang patam-patam semakin cepat lagi menjadi sekitar 100 per beat. Pada gendang patam-patam inilah biasanya dimunculkan beberapa judul lagu Karo yang lain melalui sarune sebagai pembawa melodinya. Perpindahan dari satu lagu ke lagu yang lainnya dilakukan secara langsung (tanpa berhenti). Hal ini bisa terjadi karena alat musik pengiring (gendang singidungi, gendang singanaki, penganak, dan gung) tetap memainkan pola ritem yang sama, yaitu gendang patam-patam. Oleh karena seringnya gendang patam-patam dimainkan (dalam pengertian iramanya dapat digunakan untuk mengiringi berbagai jenis lagu) maka sering pula gendang patam-patam ini disebut sebagai cak-cak patam-patam. Bagian lain dari seni pertunjukan gendang guro-guro aron yang sangat disenangi masyarakat Karo adalah adu perkolong-kolong. Adu perkolong-kolong merupakan aktivitas menari dan menyanyi yang dilakukan secara khusus oleh kedua perkolong-kolong yang sengaja diundang tersebut. Komposisi yang dimainkan gendang lima sedalanen dalam adu perkolong-kolong ini juga terdiri dari beberapa judul lagu yang dilakukan secara berurutan tanpa berhenti (medley). Keduanya akan menunjukkan kebolehannya dalam menari dan menyanyi. Menyanyi dilakukan secara bergantian, dimana perkolong-kolong yang sedang menari akan berhenti menari, semantara pasangannya terus menari. Kadang-kadang sambil menyanyi juga muncul lawakan dalam bentuk dialog singkat sehingga (sindedah) menjadi tertawa. Dalam satu kali sangket seni pertunjukan gendang guro-guro aron biasanya hanya terjadi satu kali adu perkolong-kolong. Pelaksanaan adu perkolong-kolong biasanya dilakukan pada akhir acara gendang guro-guro aron.

Page 38: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Fungsi Soedarsono (1985: 18-21) mengatakan bahwa seni pertunjukan mengemban fungsi sebagai: (1) sarana upacara, (2) sarana hiburan pribadi, serta (3) tontonan. Sebagai sarana upacara merupakan fungsi seni tertua. Sementara itu, fungsi seni sebagai sarana hiburan pribadi merupakan bagian dari ekspressi si pemain untuk kepuasaan pribadinya sendiri. Fungsi seni sebagai tontonan merupakan bagian perkembangan dari seni itu sendiri, di mana suatu seni dipertunjukkan untuk ditonton oleh orang banyak. Seni sebagai suatu yang terus berkembang dapat pula mengalami pergeseran atau perubahan fungsi seperti yang dikemukakan di atas. Dalam tulisannya yang lain, Soedarsono (1999: 49-50) seni pertunjukan yang menitikberatkan fungsi ritual atau agama di antaranya disebutkan pada seni drama bertopeng pada masyarakat Trunyan, Kintamani (Bali); pertunjukan tari bedhaya di Istana Surakarta (Jawa Tengah); dan nyanyian ma’badong di Toraja (Sulawesi Selatan). Fungsi seni pertunjukan sebagai hiburan pribadi sering juga disebutkan sebagai seni partisipasi, yang mana sifat kenikmatan diperoleh dengan melakukannya sendiri. Seni partisipasi (art of participation) biasanya tidak memerlukan penonton karena penonton hanya diharapkan berperan sebagai peserta. Berkaitan dengan konteks gendang guro-guro aron sebagai suatu seni pertunjukan tradisional pada masyarakat Karo, maka seni pertunjukan tersebut juga dapat digolongkan dalam seni partisipasi. Seni pertunjukan gendang guro-guro aron melibatkan sekitar lima puluh sampai seratus lebih penari (aron simantek) dari kalangan pemuda dan pemudi dalam satu komunitas atau satu desa. Secara otomatis seluruh keluarga peserta yang menari (aron simantek) pasti hadir sebagai penonton (sindedah). Selain sebagai penonton, kelompok orang tua juga memiliki kesempatan untuk menari dalam acara gendang adat. Dalam menari, masing-masing orang tua dikelompokkan berdasarkan merga/beru, sehingga akan ada paling tidak 10 kali menari dalam gendang adat. Unsur-unsur lain dalam satu desa, seperti: kepala desa, pedagang (perbinaga), pemilik warung kopi (perkede kopi), pengusaha angkutan umum di desa (permotor) juga memiliki bagian khusus dalam acara menari (acara perlandek). Selain itu, panitia gendang guro-guro aron biasanya juga mengundang pemuda-pemudi dari desa lain di sekitar wilayahnya untuk datang menonton. Setiap kelompok yang diundang juga memiliki waktu khusus untuk menari. Pada saat-saat tertentu (waktu tengah malam) juga terdapat kesempatan menari bagi orang-orang yang berminat dengan cara memohon kepada panitia.

Page 39: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh penonton memiliki kesempatan untuk menari dalam gendang guro-guro aron, oleh karena itu, penonton (sindedah) juga dapat disebut sebagai partisipan karena semuanya memiliki kesempatan sebagai peserta untuk menari, walaupun porsi (bagian) mereka dalam menari masing-masing hanya sekali. Atas dasar tersebut maka seni pertunjukan gendang guro-guro aron dapat dikategorikan sebagai seni pertunjukan partisipasi.

Pada konteks upacara perkawinan (perjabun), memasuki rumah baru (mengket rumah mbaru), ritual kematian (nurun-nurun), dan ritual pembersihan diri (erpangir ku lau) fungsi seni pertunjukan dapat disimpulkan sebagai seni partisipasi karena keseluruhan orang yang hadir dalam upacara tersebut adalah peserta atau pendukung upacara yang terlibat secara kekerabatan dengan orang atau keluarga yang mengadakan upacara. Masing-masing peserta upacara memiliki kesempatan menari berdasarkan hubungan kekerabatan (tutur siwaluh) dengan keluarga yang melaksanakan upacara (sukut). Dalam kenyataannya sampai sekarang—kalaupun ada—sangat sedikit orang yang datang murni sebagai penonton dalam upacara-upacara adat Karo. Semua yang hadir senantiasa memiliki peran dalam upacara tersebut. Dengan demikian, adanya pemakaian musik tradisional dalam tiap-tiap pelaksanaan upacara adat adalah dapat disimpulkan sebagai seni partisipasi. Dalam kehidupan sehari-hari, kata penggunaan dan fungsi suatu aspek kebudayaan kadang-kadang dianggap sama, akan tetapi dalam hal penelitian musik dan budaya, kata penggunaan dan kata fungsi memiliki makna yang berbeda. Merriam (1964: 219-222) mengatakan bahwa penggunaan (uses) dan fungsi (function) mempunyai perbedaan berkaitan dengan kehadiran musik dalam suatu aktifitas masyarakat. Penggunaan menunjukkan kepada situasi bagaimanakah musik itu dipergunakan dalam tindakan manusia, fungsi menunjukkan perhatian terhadap alasan dari penggunaan musik serta tujuan penggunaan yang bagaimanakah musik itu dapat melayani kebutuhan manusia itu. Penggunaan (use) musik dapat dilihat langsung pada saat berlangsungnya suatu upacara adat atau seremonial. Sedangkan fungsi (function) musik terhadap upacara atau pendukung upacara mempunyai dampak yang lebih jauh dan dalam. Misalnya suatu musik berguna (digunakan) sebagai sarana perkenalan dan pacaran, maka fungsinya mungkin untuk kebutuhan biologis dan kelanjutan keturunan, dan pada akhirnya sebagai sarana integritas pada masyarakatnya. Merriam menawarkan sepuluh fungsi musik, yaitu: musik berfungsi sebagai pengungkapan emosional, fungsi hiburan, fungsi estetis, fungsi alat

Page 40: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

komunikasi, fungsi sebagai perlambang, fungsi sebagai reaksi jasmani, fungsi berkaitan dengan norma-norma, fungsi pengesahan lembaga-lembaga sosial, fungsi kesinambungan kebudayaan, dan fungsi pengintegrasian masyarakat, namun ia tidak membatasinya secara pasti karena bisa saja fungsi musik dalam suatu masyarakat lebih atau kurang dari sepuluh, seperti yang ditawarkannya. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa penggunaan musik berkaitan dengan dalam situasi bagaimana musik itu digunakan oleh suatu masyarakat. Sedangkan fungsi musik menitikberatkan perhatiannya kepada alasan penggunaan, terutama maksud dan tujuan lebih luas, yaitu sejauh mana musik dapat melayani kebutuhan manusia itu sendiri. Fungsi Penghayatan Estetis Penghayatan estetis yang dimaksud di sini adalah bagaimana masyarakat Karo menempatkan dirinya ketika berada dalam suasana suatu seremonial atau upacara adat yang disertai musik tradisional. Menari sebagai bagian dari ritual adat atau keagamaan tidak hanya dipandang sebagai suatu aturan atau kebiasaan yang telah dilakukan secara turun-temurun, namun dalam menari juga sekaligus tergambar nilai-nilai estetika (keindahan). Nilai-nilai estetik tersebut tidak hanya dapat dirasakan oleh para pelaku (penari), namun sekaligus juga dapat dimengerti oleh penonton (sindedah) pada umumnya. Menari dalam upacara adat tidak hanya dianggap sebagai bagian dari kebiasaan atau adat yang telah berlaku secara turun temurun dalam masyarakat Karo, namun ketika peran tersebut dilakukan, setiap penari melakukannya dengan serius sesuai dengan irama musik yang mengiringinya. Sikap serius tersebut berhubungan erat dengan penghayatan estetis si penari terhadap musik yang mengiringinya. Hubungan di antara bunyi musik dalam mengiringi tarian dan gerakan-gerakan tari yang dilakukan akan menampakkan nilai-nilai estetik, baik bagi penari, maupun bagi penonton yang terlibat. Selain itu, menari secara serius dan sungguh-sungguh dalam suatu upacara adat sekaligus juga merupakan cerminan dari rasa hormat serta sikap tulus terhadap semua pihak yang terlibat dalam upacara adat tersebut. Sikap serius dalam menari timbul atas dasar penghayatan bunyi musik yang mengiringinya. Menari dalam seni pertunjukan tradisional gendang guro-guro aron juga merupakan salah satu penghayatan nilai-nilai estetik yang ada pada kesenian tradisional Karo. Setiap aron yang menari dalam gendang guro-guro aron senantiasa menjadi perhatian penonton pada umumnya, orang tua

Page 41: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

penari pada khususnya. Bagi si penari sendiri, kesempatan menari merupakan suatu arena menunjukkan kemampuannya dalam menari. Jika seseorang terlihat bagus dalam menari, maka hal itu akan menjadi perbincangan di antara sesama penonton, bahkan tidak jarang di antara penonton memberikan pujian berupa tepuk tangan sambil bersorak. Sebaliknya, jika seseorang terlihat tidak mampu atau kaku dalam menari, maka bukan saja suara sorak (bersifat mengejek) dari penonton yang akan muncul, tetapi orang tua yang bersangkutan akan turut merasa malu. Gendang salih merupakan salah satu repertoar musik yang sangat gemari dalam genre gendang kibod. Setiap orang yang menari dalam gendang kibod hampir dapat dipastikan akan menampilkan gendang salih. Pada repertoar gendang salih setiap pasang penari akan bebas menari sambil bergerak, seperti: setiap pasang penari saling maju mundur, setiap pasang penari melakukan tarian sambil jongkok, setiap pasang penari dalam waktu-wakut tertentu akan memutar badannya masing-masing sehingga dalam waktu beberapa detik akan saling membelakangi, dan sebagainya. Kelompok penari lak-laki akan mengawali gerakan maju secara serentak mendatangi pasangan masing-masing (kelompok penari wanita). Setelah setiap pasang penari (pria dan wanita) menari dalam posisi berdekatan, masing-masing pasangan akan melakukan gerakan secara bebas berdasarkan keinginannya masing-masing. Artinya masing-masing kelompok tidak lagi terikat atas keseragaman dalam hal gerak maupun posisi sejajar.

Fungsi Komunikasi Menurut Merriam (1964: 220) manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya senantiasa berkomunikasi dengan sesamanya. Komunikasi sebagai proses penyampaian sesuatu kepada yang dituju dapat berupa lisan dan tulisan, maupun isyarat. Penyampaian semua bentuk komunikasi tersebut dapat dilaksanakan dengan baik jika mempunyai sarana-sarana tertentu. Salah satu sarana komunikasi tersebut adalah melalui musik. Fungsi musik sebagai alat komunikasi dapat dilihat ketika gendang kibod mulai dimainkan dalam suatu upacara adat maupun pada seni pertunjukan gendang guro-guro aron. Upacara adat atau seni pertunjukan tradisional Karo yang menyertakan gendang kibod senantiasa akan mengawali musik gendang kibod dengan memainkan suatu komposisi lagu. Dalam mengawali gendang guro-guro aron, biasanya dilakukan adu perkolong-kolong. Tujuannya adalah agar seluruh penonton hadir di tempat yang telah ditentukan. Dengan demikian, ketika mendengar bunyi gendang

Page 42: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

kibod dimainkan, orang-orang yang mendengarnya mengetahui bahwa suatu upacara adat telah dimulai. Bagi seluruh pendukung upacara yang terlibat, dengan mendengar gendang kibod dimainkan maka hal itu telah dimengerti sebagai suatu tanda atau komunikasi bahwa upacara adat telah dimulai. Sementara, bagi orang yang tidak ada hubungan dengan upacara adat yang akan dilaksanakan, ketika mendengar gendang kibod berbunyi secara otomatis mengerti bahwa bunyi tersebut merupakan tanda adanya satu upacara adat. Dengan demikian gendang kibod berfungsi sebagai alat komunikasi pada masyarakat Karo. Fungsi yang Berkaitan dengan Norma-norma Sosial Perubahan alat musik dalam kesenian tradisional Karo mengakibatkan aktivitas musik menjadi semakin sering dilakukan. Dalam kesenian tradisional Karo, adanya aktivitas musik berarti ada pula aktivitas menari. Dengan demikian, semakin sering terjadi aktivitas musik maka secara otomatis semakin sering pula terjadi aktivitas menari (landek). Menari, baik yang diringi gendang lima sedalanen maupun gendang kibod merupakan suatu aktifitas yang memiliki norma-norma sosial tertentu yang secara sadar atau tidak sadar dipahami oleh masyarakat Karo. Oleh karena itu, ketika berlangsung acara menari, norma-norma sosial juga berlaku dalam waktu yang bersamaan. Dalam posisi menari adat, walaupun terkadang jarak antara satu penari dengan penari lain sempit (rapat) karena pesertanya banyak, masing-masing orang akan melakukannya dengan serius, tidak berbicara satu dengan yang lain karena hal itu tidak sesuai dengan norma-norma sosial yang berlaku. Anak beru—ketika sedang menari—senantiasa akan lebih menundukkan badan dihadapan sukut atau kalimbubu-nya yang menari bersama. Demikian pula, pihak sukut akan menari lebih menunduk dihadapan kalimbubu-nya karena menundukkan badan dalam menari merupakan ungkapan penghormatan terhadap pihak yang secara adat dihormati. Dengan demikian, musik juga berfungsi dalam mengatur norma-norma sosial. Menari dalam seni pertunjukan gendang guro-guro aron juga sangat berkaitan dengan norma-norma sosial yang berlaku dalam adat istiadat Karo. Walaupun setiap laki-laki bebas memilih pasangannya dalam menari, namun tidak akan pernah dapat menari berpaangan dengan seorang wanita yang memiliki beru yang sama dengan merga yang dimilikinya. Pantang bagi seorang Karo manari berpasangan dengan merga/beru yang sama. Misalnya merga Tarigan menari dengan beru Tarigan tidak dibenarkan secara adat.

Page 43: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Menari dengan berpasangan juga harus dilakukan secara serius dalam arti tidak boleh main-main. Jika menari dilakukan dengan tidak serius bukan saja pasangannya akan merasa tersinggung, tetapi orang tua—khususnya orang tua yang yang bersangkutan—sekaligus akan tersinggung. Setiap peserta penari (aron si mantek) harus memakai sarung (kampoh) dalam gendang guro-guro aron, khususnya dalam menari. Peserta wanita (aron sidiberu) memang telah berpakaian dengan menggunakan sarung, namun peserta laki-laki (aron sidilaki) harus membawa sarung masing-masing dan akan digunakan ketika menari. Demikian pula halnya dengan orang-orang yang akan menari (di luar aron simatek) dalam gendang guro-guro aron harus memakai sarung dengan cara memakai sarung tersebut ke badannya mulai dari pinggang sampai lutut. Pada bagian pinggang sarung tersebut harus dililitkan/digulung sehingga dapat melekat pada badan (tidak jatuh) ketika menari. Dengan demikian setiap laki-laki harus tahu cara memakai sarung. Sarung-sarung tersebut biasanya telah disediakan oleh panitia gendang guro-guro aron untuk setiap penari dari luar perserta. Bagi kalangan wanita (di luar aron si mantek), sarung merupakan perlengkapan penting jika menghadiri suatu upacara adat atau seni pertunjukan guro-guro aron. Mereka biasanya membawa sarung masing-masing dari rumah. Selain digunakan ketika menari, sarung tersebut juga digunakan ketika duduk bersama sebagai penonton. Hal ini menandakan bahwa memakai sarung dalam menari, baik yang diiringi gendang lima sedalanen, maupun gendang kibod adalah merupakan suatu kebiasaan atau adat bagi masyarakat Karo. Berbagai ketentuan atau kebiasaan orang Karo dalam aktivitas menari menunjukkan bahwa perubahan pemakaian alat musik dalam kesenian tradisional memiliki fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial. Semakin seringnya aktivitas menari (dengan berbagai aturan yang masih dipatuhi) akibat perubahan alat musik tersebut, maka perubahan alat musik yang terjadi dalam kesenian tradisional Karo semakin berfungsi dalam kaitannya dengan perwujudan dan pewarisan norma-norma sosial masyarakat Karo. Merriam (1964:225) menjelaskan bahwa musik juga merupakan suatu perwujudan dan aktivitas yang bertujuan untuk mengekspresikan nilai-nilai. Dengan demikian, fungsi musik tersebut menjadi bagian dari beragam pengetahuan manusia lainnya seperti sejarah, mitos, dan legenda. Dengan demikian musik berfungsi bagi kesinambungan kebudayaan yang diperoleh melalui transmisi pendidikan, kontrol terhadap perilaku yang

Page 44: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

salah, menekankan kepada kebenaran, dan pada akhirnya menyumbangkan kepada stabilitas (kesinambungan) kebudayaan Gendang kibod merupakan salah satu pendukung pelaksanaan berbagai upacara adat pada masyarakat Karo. Disebutkan sebagai upacara adat karena memiliki aturan-aturan tertentu dan dilaksanakan secara turun-temurun. Dengan masih disertakannya gendang kibod dalam ritual adat, maka kesinambungan kebudayaan etnik Karo masih berlangsung sampai saat ini. Dalam konteks gendang guro-guro aron, menari sebagai satu bagian dari budaya Karo terus menjadi suatu aktivitas yang digemari oleh masyarakat Karo pada umumnya. Dengan demikian, perubahan alat musik sekaligus juga berfungsi sebagai kesinambungan kebudayaan daerah Karo. Fungsi Pengintegrasian Masyarakat Menurut Merriam (1964: 227) salah satu fungsi musik adalah sebagai wadah atau sarana untuk berkumpul bagi masyarakatnya. Demikian juga halnya dengan konteks upacara adat masyarakat Karo merupakan wadah atau sarana bagi pihak sukut dengan seluruh unsur kekerabatannya untuk berkumpul, berinteraksi, dan mempererat hubungan yang terjalin di antara mereka semuanya. Adanya gendang kibod sebagai hasil dari perubahan alat musik mengakibatkan waktu berkumpul serta berinteraksi semakin lama terjadi dalam upacara adat. Tanpa kehadiran gendang kibod dalam satu acara gendang serayaan (bagian dari upacara perkawinan Karo) maka setelah acara nganting manok seluruh peserta akan kembali ketempatnya masing-masing. Gendang kibod yang ditampilkan dalam gendang serayaan akan mengakibatkan seluruh peserta upacara berinteraksi/berkumpul semakin lama. Demikian halnya pada memasuki rumah baru, gendang kibod akan mengakibatkan seluruh peserta upacara semakin lama berinteraksi. Selain menonton dan juga menari, seluruh peserta upacara juga akan memiliki waktu yang lebih lama untuk berinteraksi, bercakap-cakap bersama. Jika pada waktu dahulu, konteks upacara adat merupakan bagian dari aktivitas kalangan orang tua, maka sejak gendang kibod dipergunakan dalam kegiatan upacara adat, kalangan anak perana dan singuda-nguda juga semakin banyak terlibat dalam upacara adat, khsususnya dalam gendang serayaan. Adanya adu pengantin dalam gendang serayaan menjadikan kalangan anak perana singuda-nguda juga berkeinginan untuk hadir menyaksikan acara tersebut. Selain itu, kesempatan anak perana dan singuda-nguda (khususnya dari kerabat kedua penganten) untuk menari juga disediakan dalam gendang serayaan tersebut.

Page 45: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Interaksi di antara sesama orang Karo yang belum saling mengenal dalam suatu upacara adat atau seni pertunjukan biasanya akan segera terjadi ketika mereka telah mengetahui berasal dari etnik yang sama. Pengetahuan atas dasar etnik yang sama tersebut didapat—ketika saling mendengar berbicara—dalam bahasa yang digunakan, yaitu bahasa Karo. Percakapan akan diawali dengan menanyakan/ menjawab merga/beru dan bere-bere. Selanjutnya, akan saling bertanya tentang asal kampung (kuta) Dari perkenalan ini, dibuatlah tutur (hubungan kekerabatan menurut adat Karo). Kapan dan dimanapun mereka kembali bertemu pada suatu kesempatan yang lain, tutur tersebut senantiasa tetap berlaku sebelum munculnya hubungan kekerabatan yang lebih dekat atas dasar perkawinan di antara keluarga dekat mereka. Gendang guro-guro aron sebagai suatu seni pertunjukan yang bersifat terbuka (tidak pernah dikutip bayaran untuk menonton) sangat berperan sebagai salah satu pengintegrasian masyarakat Karo. Seni pertunjukan ini disenangi dari segala lapisan masyarakat, mulai dari kalangan anak-anak, remaja, pemuda, hingga para orang tua. Bertemunya orang-orang Karo di dalam seni pertunjukan gendang guro-guro aron tidak hanya dalam rangka menonton atau mengamati pertunjunkan yang sedang berlangsung. Dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang memiliki akivitas lain, seperti: bertemu dengan teman, saudara, kerabat dekat, teman lama dan lain-lain. Sambil menonton, mereka juga dapat berbincang-bincang tentang berbagai hal. Para ibu yang duduk berkelompok dalam satu bagian jambur biasanya menonton sambil makan sirih bersama, juga bercerita tentang apa saja yang dianggap menarik. Para bapak (ayah) dalam kelompok yang lain akan melakukan hal yang sama, yakni menonton sambil bercerita. Sebagai seni pertunjukan muda-mudi, gendang guro-guro aron akan ditonton oleh sebagian besar pemuda dan pemudi. Mereka bebas bercakap-cakap, berkenalan satu dengan yang lain. Oleh karena durasi waktu sekali sangket dalam gendang guro-guro aron termasuk lama (lebih kurang delapan jam) maka sudah menjadi hal yang lumrah para penonton dapat meninggalkan seni pertunjukan tersebut kapan saja dan kembali lagi ketika ingin menonton kembali. Jika seseorang merasa lelah, jenuh atau ada satu keperluan maka secara bebas dapat meninggalkan jambur dan dapat kembali lagi apabila berkeinginan menontonnya kembali. Dalam hal hubungan antara singuda-nguda dan anak perana, seni pertunjukan gendang guro-guro aron merupakan suatu sarana pertemuan (wadah) yang sangat efektif dalam menjalin hubungan pertemanan,

Page 46: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

persahabatan, bahkan hubungan percintaan. Seni pertunjukan tersebut yang berlangsung semalam suntuk (pada malam hari paling cepat berakhir jam 04.00 WIB) biasanya akan mengakibatkan percakapan di antara mereka berlangsung lama. Perkenalan yang dimulai pada sebuah konteks seni pertunjukan gendang guro-guro aron—tidak jarang—akan berlanjut menjadi suatu persahabatan yang akrab atau serius. Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa perubahan alat musik dalam kesenian tradisional Karo berfungsi sebagai sarana pengintegrasian masyarakat.

Fungsi Perubahan Musik Terjadinya perubahan pemakaian alat musik dalam kesenian tradisinal Karo mengakibatkan seni pertunjukan tradisional menjadi semakin sering dilaksanakan, baik pada wilayah masyarakat pedesaan di wilayah kabupaten Karo, maupun di wilayah perkotaan di kota Medan, ibukota propinsi sumatera utara. Beberapa aktivitas upacara adat yang sebelumnya tidak lagi menggunakan musik tradisional gendang kibod justru kembali menyertakan aktivitas musik akibat terjadinya perubahan alat musik tersebut. Contoh paling sederhana dapat dilihat pada kerja perjabun, yang mana hampir pada setiap upacara perkawinan adat Karo—khususnya dalam bagian acara nganting manok—senantiasa menampilkan gendang kibod. Demikian pula halnya dalam peresmian atau memasuki rumah baru pada masyarakat Karo pada umumnya akan menyertakan gendang kibod. Menari dengan iringan gendang kibod dalam upacara adat tersebut di atas merupakan suatu aktivitas yang disenangi bagi sebagian masyarakat Karo. Dengan demikian peranan musik dalam masyarakat Karo menjadi semakin penting. Salah satu faktor penting dalam terjadinya perubahan alat musik tersebut terletak pada kreativitas dan keberanian para seniman melakukan inovasi dan eksperimen terhadap kesenian tradisional tersebut. Inovasi tersebut dilakukan sesuai dengan pola pikir wawasan seniman yang semakin berkembang dan juga disesuaikan dengan kondisi masyarakat lingkungannya yang semakin berkembang pula. Jasa Tarigan sebagai perintis yang mengkolaborasikan alat musik tradisional Karo dengan keyboard adalah seorang seniman tradisional Karo yang pernah menjadi mahasiswa dan sekaligus juga sebagai pengajar praktek musik tradisional Karo pada jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara di Medan. Selama masa kuliah tersebut—walaupun akhirnya tidak sempat menyelesaikan studi strata

Page 47: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

sarjana—Jasa Tarigan banyak berinteraksi dengan kalangan seniman, baik seniman tradisional dari daerah lain, maupun dari kalangan seniman musik populer (musik Barat). Sebagai seniman tradisional yang cukup dikenal, Jasa Tarigan telah berulang kali melakukan rekaman musik dalam studio rekaman musik modern. Demikian pula sebagai seniman tradisional, Jasa Tarigan telah berkali-kali ikut dalam rombongan (tim) kesenian Sumatera Utara untuk mengadakan pertunjukan di beberapa kota besar, baik di Indonesia, maupun di luar Indonesia. Sedikit banyaknya, kondisi tersebut di atas akan mempengaruhi pola pikir Jasa Tarigan sehingga pada akhirnya melakukan inovasi dalam bidang yang digelutinya, yaitu kesenian tradisional Karo. Munculnya sikap terbuka dalam menerima perubahan alat musik dalam masyarakat Karo juga dipengaruhi oleh berbagai faktor perubahan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat tersebut, seperti: sebagian besar para pemuda pindah ke wilayah perkotaan melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, teknologi informasi media (televisi) semakin memasyarakat di wilayah pedesaan kabupaten Karo, dan komunitas masyarakat Karo yang tinggal di wilayah kota Medan telah banyak mengenal musik-musik populer pada umumnya. Berdasarkan pengamatan serta analisis yang dilakukan terhadap pemakaian gendang kibod dalam seni pertunjukan tradisional Karo, maka beberapa fungsi musik tradisional (gendang kibod) yang telah dikemukakan sebelumnya ternyata masih tampak atau tergambar dalam fungsi gendang kibod pada masyarakat Karo sekarang ini. Fungsi perubahan alat musik lebih menampakkan terjadinya pergeseran atau penekanan suatu fungsi maupun pergeseran konteks fungsi musik itu sendiri. Suatu ritual dengan iringan gendang lima sedalanen yang dulunya sarat dengan tata krama adat dan secara kasat mata tidak tampak berfungsi sebagai hiburan, maka dalam perubahan alat musiknya menjadi gendang kibod justru memunculkan fungsi hiburan tersebut. Sebaliknya, ada pula konteks upacara adat yang secara tradisional tidak lagi menggunakan gendang lima sedalanen, namun dengan lahirnya perubahan alat musik tersebut, gendang kibod kembali diikutsertakan dalam mengiringi upacara tersebut. Gendang kibod dalam upacara tersebut diikutsertakan sebagaimana gendang lima sedalanen pada waktu sebelumnya mendukung upacara tersebut. Adanya gendang kibod dalam suatu upacara adat mengakibatkan aktivitas menari menjadi timbul kembali. Perubahan yang terjadi yaitu perubahan pemakaian alat musik adalah sesuatu yang wajar sepanjang alat tersebut secara fungsional

Page 48: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

bermanfaat bagi kebudayaan yang bersangkutan. Perubahan lain yang terjadi, yakni penggunaan lagu-lagu di luar lagu Karo, adalah merupakan dampak perkembangan masyarakat Karo yang semakin maju. Dalam kehidupan kesehariaannya, masyarakat Karo telah lama mengenal musik-musik jenis lain, seperti musik-musik dangdut Indonesia, musik-musik India, baik melalui media radio, kaset rekaman, maupun melalui media televisi dan film rekaman lagu India. Dipergunakannya lagu-lagu populer di luar lagu daerah Karo dalam seni pertunjukan tradisional Karo menggambarkan bahwa perubahan alat musik yang terjadi dalam kesenian tradisional Karo memiliki fungsi perubahan musik dalam masyarakat Karo itu sendiri. Fungsi Adat dan Hiburan Seperti yang telah dijelaskan Merriam (1964:225) bahwa tidak semua unsur kebudayaan memberikan tempat untuk mengekspresikan emosi, hiburan, komunikasi, dan sebagainya. Musik adalah suatu perwujudan dan aktivitas yang bertujuan untuk mengekspresikan nilai-nilai. Musik tradisional Karo lebih banyak dihubungkan dengan akativitas adat serta keagamaan sehingga unsur hiburan pada khususnya menjadi samar-samar (tidak muncul secara langsung). Kehadiran keyboard dalam kebudayaan musik tradisional Karo menunjukkan bahwa ketika menjalankan seremonial adat istiadat Karo, unsur-unsur emosi serta hiburan sekaligus juga terekspresikan. Aktivitas landek dalam upacara adat menjadi sebuah bagian yang menarik bagi sebagian besar masyarakat Karo. Dengan demikian gendang kibod tidak hanya berfungsi dalam mendukung pelaksanaan adat-istiadat tetapi sekaligus juga dapat mengeks-presikan unsur emosi serta hiburan bagi masyarakat pendukungnya. Apabila kegiatan adat istiadat yang disertai dengan gendang kibod telah mengandung unsur hiburan yang bermanfaat bagi masyarakat Karo maka kehadiran alat musik keyboard tersebut serta kehadiran masyarakat pendukung kebudayaan tersebut dalam suatu ritual adat menjadi semakin terbuka. Musik dalam kegiatan adat istiadat tidak lagi berfungsi sebagai mengiringi upacara adat, tetapi telah menyatu menjadi kebutuhan akan penayaluran emosi serta hiburan bagi peserta upacara adat tersebut. Masyarakat tradisional Karo semakin sering berinteraksi, berkomunikasi dalam aktivitas gendang kibod karena kehadiran gendang kibod tersebut memberikan fungsi hiburan bagi mereka. Dengan demikian, perubahan yang terjadi dalam pemakaian alat musik dalam kebudayaan daerah Karo

Page 49: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

memiliki fungsi mengiringi upacara adat, sekaligus juga berfungsi sebagai hiburan bagi peserta upacara adat tersebut. Fungsi Hiburan Malinowski (dalam Koentjaraningrat 1987:71) menguraikan bahwa semua aktivitas kebudayaan sebenarnya bermaksud untuk memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan manusia. Dihubungkan dengan kesenian sebagai aktivitas kebudayaan dalam suatu masyarakat maka keberadaan suatu bentuk kesenian tidak semata-mata ditentukan oleh seniman sebagai pelaku kesenian, namun yang lebih penting lagi adalah terletak pada penerimaan masyarakat sebagai penikmat dan sekaligus apresiator terhadap suatu bentuk kesenian. Dengan perkataan lain, sekuat apapun seorang seniman mempertahankan atau melestarikan satu bentuk kesenian, kesenian tersebut akan ditinggalkan masyarakatnya jika masyarakat menganggap sudah tidak memadai lagi fungsinya dalam melayani kebutuhan masyarakat tersebut. Sebaliknya, secanggih apapun seorang seniman melakukan inovasi atau perubahan, hal tersebut tidak akan berarti apa-apa sepanjang masyarakat pemilik kesenian tersebut tidak mendukung ide perubahan tersebut.

Hal tersebut di atas sesuai dengan yang terjadi dalam perubahan alat musik yang terjadi pada masyarakat Karo. Perubahan alat musik dapat diterima oleh masyarakat Karo karena masyarakat pendukungnya merasakan terdapat fungsi-fungsi yang sesuai dengan kebutuhannya.

Secara tradisional, fungsi musik sebagai hiburan dalam arti terlibat langsung sebagai pelaku bagi orang Karo yang telah berumah tangga (telah menikah) menjadi berkurang. Gendang guro-guro aron sebagai salah satu seni pertunjukan tradisional Karo yang memiliki fungsi hiburan merupakan aktivitas pemuda-pemudi yang belum berumahtangga (anak perana singuda-nguda). Seorang laki-laki atau perempuan Karo yang telah menikah maka secara otomatis tidak bisa lagi berperan menjadi aron simantek dalam sebuah gendang guro-guro aron. Memang, kelompok orang tua juga memiliki peluang untuk menari, bahkan menyanyi dalam suatu gendang guro-guro aron, namun kesempatan tersebut cukup terbatas dari sisi waktu karena pada dasarnya konteks seni pertunjukan tersebut adalah seni pertunjukan muda-mudi.. Dengan terbatasnya waktu, tidak mungkin semua kelompok orang tua mendapat kesempatan untuk menari dan menyanyi. Oleh karena itu, peran orang tua dalam gendang guro-guro aron pada umumnya adalah sebagai penonton (sindedah). Sedikitnya peluang para

Page 50: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

orang tua untuk menari sebagai bagian dari fungsi hiburan mengakibatkan rasa estetika yang ada dalam dirinya menjadi terkekang (tidak tersalurkan).

Ketika gendang kibod telah sering dipergunakan dalam gendang guro-guro aron, muncullah gagasan untuk menggunakannya dalam kegiatan yang berbentuk adat (kerja). Gagasan ini dapat dipastikan muncul dari pihak orang tua karena unsur-unsur yang terlibat dalam suatu upacara adat Karo adalah para orang Karo yang telah menikah. Secara adat, orang Karo yang belum menikah—berapapun umurnya—tidak memiliki peranan atau pun kewajiban dalam suatu upacara adat.

Kerja perjabun sebagai suatu seremonial yang bersifat gembira merupakan konteks awal masuknya gendang kibod. Awal pemakaian gendang kibod pada upacara perkawinan Karo adalah pada acara gendang serayaan. Gendang serayaan merupakan kegiatan hiburan dalam bentuk menari dan menyanyi diiringi musik pada upacara perkawinan adat Karo. Secara tradisional, gendang serayaan (yang diiringi gendang lima sedalanen) diperuntukkan bagi kelompok anak beru serta kelompok anak perana singuda-nguda pada malam hari ketika mempersiapkan makanan untuk keperluan upacara besoknya. Kalaupun ada kesempatan gendang adat, waktu yang disediakan biasanya hanya sedikit karena pada dasarnya memang ditujukan pada anak beru dan anak perana singuda-nguda yang berkerja di dapur.

Masuknya gendang kibod dalam gendang serayaan mengakibatkan peserta yang terlibat menjadi berkembang, tidak hanya ditujukan kepada anak beru dan anak perana singuda-nguda. Dalam kesempatan ini, seluruh kelompok peserta upacara mendapat kesempatan menari. Pasangan suami istri akan menari seperti anak perana singuda-nguda menari dalam gendang guro-guro aron. Mereka datang dalam suatu upacara berdasarkan perannya sebagai salah satu unsur kekerabatan dari orang yang mengadakan upacara adat. Beberapa di antara pasangan suami istri yang menari tersebut sekaligus juga bernyanyi, seperti perkolong-kolong beryanyi dalam gendang guro-guro aron. Dalam upacara memasuki rumah baru juga tidak jauh berbeda kondisinya. Setiap pasangan suami-istri memiliki kesempatan untuk menari bersama. Dengan demikian, perubahan alat musik dalam kesenian tradisional Karo memiliki fungsi hiburan yang lebih menyeluruh bagi semua kalangan, tidak hanya kalangan pemuda dan pemudi, tetapi juga kalangan orang tua pada umumnya. Kelompok orang tua memiliki berbagai kesempatan menari sebagai bagian dari fungsi hiburan.

Perubahan alat musik dalam kesenian tradisional Karo juga melahirkan kebiasaan baru, yaitu: adu pengantin, yaitu kedua penganten (yang akan

Page 51: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

diresmikan secara adat besok harinya) menari bersama sekaligus bernyanyi secara bergantian. Kebiasaan ini juga juga berfungsi sebagai hiburan bagi seluruh peserta upacara. Fungsi Ekonomi Munculnya gendang kibod ternyata membawa perubahan yang cukup signifikan terhadap kalangan seniman tradisional Karo saat ini, khususnya perkolong-kolong. Dengan semakin seringnya dilaksanakan seni pertunjukan gendang guro-guro aron pada masyarakat Karo, maka perkolong-kolong sebagai salah satu unsur yang tidak terpisahkan dari seremonial tersebut semakin sering mendapat panggilan untuk bernyanyi. Berdasarkan sistem dan standard imbalan (upah) yang diterima perkolong-kolong saat ini maka profesi sebagai perkolong-kolong saat ini merupakan suatu pekerjaan yang cukup dihargai secara ekonomis. Dalam satu malam penampilan perkolong-kolong saat ini, masing-masing akan mendapatkan bayaran sekitar Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah) sampai dengan Rp. 900.000,-(sembilan ratus ribu rupiah). Selain itu, munculnya banyak pemain keybaord Karo (perkibod) dari kalangan usia yang muda (umur 20an tahun sampai 30an tahun) cukup menggambarkan bahwa profesi perkibod memiliki fungsi secara ekonomis. Walaupun tidak semua perkibod mendapat bayaran yang sama besarnya dengan yang diperoleh perkolong-kolong, namun beberapa di antaranya telah memiliki standar bayaran tertentu yang tidak jauh berbeda dengan perkolong-kolong. Dengan demikian, perubahan alat musik memiliki fungsi secara ekonomis bagi kalangan seniman tradisional Karo. Perubahan alat musik dalam arti terjadinya pergantian pemakaian alat musik dalam kesenian tradisional Karo ternyata tidak dapat sepenuhnya menghilangkan peran musik tradisional gendang lima sedalanen dalam masyarakat Karo. Sampai saat ini masih terdapat beberapa kelompok musik tradisional gendang lima sedalanen yang setiap saat dapat dipanggil untuk mendukung suatu upacara adat. Kelompok tersebut tidak hanya tinggal di daerah pedesaat di wilayah kabupaten Karo, melainkan juga terdapat di wilayah perkotaan seperti di kota Medan. Menurut Ismail Bangun (penarune/penggual) terdapat 6 (enam) kelompok sierjabaten di kota Medan. Kelompok tersebut tidak hanya bermain di sekitar kota Medan, tetapi juga sering dipanggil untuk mendukung suatu upacara adat di wilayah kabupaten Karo. Hal ini juga tidak berarti bahwa di wilayah kabupaten Karo tidak terdapat kelompok sierjabaten karena di Kabanjahe juga terdapat beberapa sierjabaten musik tradisional Karo yang bersedia dipanggil setiap

Page 52: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

saat. Di Kabanjahe juga terdapat satu warung kopi yang dinamakan kede kopi penggual (warung kopi musisi tradisonal Karo). Masyarakat Karo juga telah mengerti akan keberadaan warung tersebut, sehingga ketika membutuhkan sierjabaten, biasanya akan mencari ke warung kopi tersebut. Gendang lima sedalanen masih memiliki peluang untuk tampil di beberapa upacara adat, seperti ritual kematian. Walaupun belum didapat data-data konkrit tentang kaitan antara perubahan alat musik tersebut, pada saat sekarang ini imbalan (upah) yang diterima sierjabaten gendang lima sedalanen berkisar antara Rp. 500.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000,- dalam satu kali sangket. Perbedaan ini jumlah bayaran yang diperoleh tersebut berkaitan dengan kepopuleran sebuah kelompok sierjabaten dan jauh dekatnya wilayah tempat mengadakan pertunjukan. Total imbalan terhadap sierjabaten tersebut akan dibagi kepada 4 (empat) orang dalam satu kelompok sierjabaten. Menurut pengakuan beberapa orang seniman Karo, seperti: Kebun Tarigan (penarune), Ismail Bangun (penarune dan penggual), imbalan (upah) yang diterima seorang sierjabaten dalam mendukung suatu upacara tradisional Karo saat ini telah cukup memuaskan. Dengan demikian, perubahan alat musik dalam kesenian tradisional Karo bukan hanya berfungsi secara ekonomis bagi para pelaku kesenian di dalam genre gendang kibod, tetapi, baik secara langsung, maupun secara tidak langsung, perubahan alat musik tersebut juga berfungsi secara ekonomis bagi para pelaku gendang lima sedalanen (sebagai musik yang sebagian besar telah kehilangan perannya dalam kebudayaan Karo).

Fungsi Imitasi dan Individu Perubahan alat musik yang diawali dengan pengabungan (kolaborasi)

antara gendang lima sedalanen dengan keyboard berkembang menjadi usaha-usaha peniruan pola-pola bunyi musik tradisional Karo melalui fasilitas program irama musik yang terdapat pada keyboard. Peniruan pola bunyi musik Karo di dalam program keyboard tersebut pertama sekali menghasilkan irama gendang patam-patam. Irama gendang patam-patam dipergunakan untuk mengiringi tari yang sering disebut gendang salih. Selanjutnya, program peniruan pola irama musik Karo juga dilakukan terhadap irama musik yang biasa untuk mengiringi tari dan sekaligus mengiringi nyanyian perkolong-kolong. Kedua program imitasi tersebut selanjutnya dikembangkan dengan beberapa variasi, namun pola dasarnya tetap mengacu kepada irama musik Karo dalam mengiringi tari hiburan. Dengan adanya dua jenis program imitasi irama musik Karo tersebut,

Page 53: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

keyboard telah dapat mengiringi tarian sekaligus nyanyian perkolong-perkolong tanpa disertai gendang lima sedalanen.

Kreativitas seniman tradisional Karo terus berkembang dalam usaha peniruan pola irama musik Karo dan akhirnya telah dapat memprogram irama musik Karo yang biasa digunakan untuk mengiringi tarian adat, yaitu gendang simalungen rayat. Dengan adanya program imitasi gendang simalungen rayat maka alat musik keyboard telah dapat digunakan untuk mengiringi tarian adat pada masyarakat Karo. Genre musik inilah yang disebut gendang kibod. Gendang kibod merupakan program imitasi irama musik ensambel musik tradisional Karo gendang lima sedalanen yang dihasilkan melalui alat musik keyboard.

Genre gendang kibod mengakibatkan konsep sierjabaten dalam kesenian tradisional Karo menjadi berubah. Sierjabaten pada ensambel gendang lima sedalanen terdiri dari 4 (empat) atau 5 (lima) orang pemain musik. Setiap pemusik memainkan satu alat musik. Sedangkan genre gendang kibod hanya membutuhkan 1 (satu) orang pemain musik, yaitu pemain keyboard (perkibod). Dengan demikian, perubahan alat musik mengakibatkan terjadinya pengurangan jumlah pemusik dalam seni pertunjukan kesenian tradisional Karo. Pemusik yang sebelumnya berjumlah minimal 4 (empat) orang dalam ensambel gendang lima sedalanen, berubah menjadi hanya 1 (satu) orang pemusik dalam genre gendang kibod. Pemusik tradisional Karo yang sebelumnya berperan secara kolektif dalam gendang lima sedalanen berubah menjadi pemusik yang berperan secara tunggal (individu) dalam genre gendang kibod.

Dengan demikian, perubahan alat musik yang terjadi dalam kesenian tradisional Karo, selain memiliki fungsi imitasi dalam menghasilkan musik, sekaligus juga memiliki fungsi individualis dalam peranan pemusik.

Maka Peruahan Alat Musik

Umar Kayam (dalam Sachari 2002:52) mengatakan bahwa terdapat 4 (empat) ciri-ciri khas nilai-nilai estetik tradisional dalam kebudayaan masyarakat agraris yang memiliki sifat-sifat khas masyarakat petani tradisional. Pertama, nilai-nilai estetik memiliki jangkauan yang terbatas pada lingkungan kultur yang menunjangnya. Kedua, nilai-nilai estetik yang merupakan pencerminan satu kultur yang berkembang secara perlahan, karena dinamika yang menunjangnya. Ketiga, nilai-nilai estetik yang merupakan bagian dari satu “kosmos” kehidupan yang bulat yang tidak terbagi-bagi dalam pengkotakan spesialisasi. Keempat, nilai-nilai estetik

Page 54: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

yang bukan merupakan kreativitas individu, tetapi tercipta secara anonim bersama dengan sifat kolektifitas masyarakat yang menunjangnya. Nilai-nilai estetik tradisional yang dikemukakan di atas sesuai dengan nilai estetika yang terdapat dalam musik tradisional gendang lima sedalanen pada masyarakat Karo. Musik tradisional Karo merupakan bagian dari satu kultur terbatas, yaitu kebudayaan etnik Karo. Gendang guro-guro aron dipergunakan berkaitan dengan ritual sistem pertanian tradisional masyarakat Karo di pedesaan kabupaten Karo. Spesialisasi memang telah muncul secara perlahan, seperti: penarune, penggual, namun dalam kesehariannya orang-orang yang memiliki kemampuan memainkan alat musik tersebut juga adalah seorang petani. Artinya, untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, seorang pemain musik tidak dapat mengandalkan pekerjaannya dari bermain musik karena imbalan (upah) yang diterima dari bermain musik tidak mencukupi; bahkan lebih jauh lagi “penghormatan” (upah) yang diterima sebenarnya lebih ditujukan kepada alat musiknya. Komposisi-komposisi musik tradisional yang biasa dimainkan gendang lima sedalanen, seperti: gendang simalungen rayat, gendang odak-odak, gendang patam-patam dan lainnya juga tercipta secara anonim (tidak diketahui siapa penciptanya). Demikian pula bentuk-bentuk tari, seperti: tari lima serangke, telu serangke juga merupakan hasil kolektivitas masyarakat Karo karena tidak diketahui siapa penciptanya. Terjadinya perubahan alat musik dalam kesenian Karo mengakibatkan nilai-nilai yang terkandung dalam estetika musik menjadi berubah pula. Berikut ini akan ditelusuri sejauh mana makna perubahan alat musik bagi masyarakat Karo.

Simpulan Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut. Berdasarkan bentuk, perubahan alat musik yang terjadi dalam kesenian tradisional Karo Sumatera Utara memiliki beberapa tahapan (proses) sampai pada akhirnya melahirkan satu genre musik, yaitu gendang kibod. Pertama, alat musik kulcapi digabungkan dengan ensambel gendang lima sedalanen mengakibatkan gendang guro-guro aron menjadi sebuah seni pertunjukan yang digemari pada masyarakat Karo. Kedua, alat musik keyboard digabungkan dengan gendang lima sedalanen plus kulcapi dalam konteks seni pertunjukan yang sama. Penggabungan ini mengakibatkan gendang guro-guro aron menjadi semakin sering dilaksanakan, baik di lingkungan

Page 55: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

pedesaan kabupaten Karo, maupun di lingkungan perkotaan komunitas orang Karo seperti di Medan, ibu kota propinsi Sumatera Utara. Ketiga, melalui keyboard mulai dibuat program irama musik menyerupai irama musik gendang lima sedalanen sehingga melahirkan genre gendang kibod. Keempat, lahirnya gendang kibod mengakibatkan alat musik keyboard sudah dapat dipergunakan untuk mendukung (mengiringi) gendang guro-guro aron secara tunggal, tanpa disertai gendang lima sedalanen. Kelima, dengan adanya genre gendang kibod, alat musik keyboard juga dipergunakan untuk mengiringi upacara adat Karo, seperti: kerja perjabun, kerja mengket rumah mbaru, kerja erpangir ku lau. Dari sisi pemakaian musik dalam upacara adat, perubahan alat musik mengakibatkan keyboard semakin sering diikutsertakan dalam pelaksanaannya. Dari segi musik sebagai pengiring tari, penggunaan gendang kibod sangat dominan dalam mengiringi tari, baik tari adat, maupun tari hiburan. Dari sisi jenis komposisi, perubahan alat musik mengakibatkan berbagai lagu populer, baik lagu populer daerah Karo, maupun lagu populer Indonesia, dan lagu-lagu dangdut, serta beberapa lagu populer Barat dapat dipergunakan dalam mengiringi tarian dalam konteks seni pertunjukan tradisional Karo. Dari sisi gerakan tari, tarian adat semakin dinamis dengan mengarah kepada tari hiburan. Selanjutnya muncul pula kebiasaan baru dalam upacara perkawinan Karo, yaitu kedua penganten menari bersama dan sekaligus bernyanyi secara bergantian. Kebiasaan bernyanyi ini juga muncul dari kalangan orang tua dalam upacara perkawinan dan upacara memasuki rumah baru. Ketika penganten bernyanyi lahir pula kebiasaan pemberian dukungan berupa uang (cokong-cokong) yang diatur secara adat Karo. Pemberian dukungan uang tersebut juga muncul pada setiap orang yang bernyanyi dalam upacara adat, walaupun tidak diatur secara adat. Dari sisi tempat pertunjukan, masih mempertahankan tempat yang lama, yaitu jambur. Dari sisi konteks pertunjukan masih dilaksanakan dalam konteks upacara tradisional Karo, yaitu: konteks gendang guro-guro aron, konteks kerja perjabun, konteks mengket rumah mbaru, konteks erpangir ku lau, dan sebagian kecil ritual penguburan jenazah. Dari sisi pakaian (kostum), setiap penari (khususnya laki-laki) masih mengacu pada perlengkapan menari secara tradisional, yaitu menggunakan sarung (kampoh). Berdasarkan teori akulturasi, perubahan alat musik tersebut melahirkan bentuk-bentuk baru dalam kebiasaan menari dan menyanyi, oleh karena itu masih relevan dengan teori akulturasi. Berdasarkan teori Velben dan Ogburn, perubahan alat musik mengkibatkan seni pertunjukan tradisional Karo memiliki ketergantungan secara teknologi.

Page 56: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Dari sisi fungsi, perubahan alat musik yang terjadi pada masyarakat Karo memiliki berbagai fungsi, yakni: fungsi penghayatan estetis, fungsi komunikasi, fungsi yang berkaitan dengan norma-noram sosial, fungsi pengintegrasian masyarakat, fungsi perubahan musik, fungsi dan hiburan, fungsi hiburan, dan fungsi ekonomi. Daftar Pustaka Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis. Kritik Penerapan dan Implikasinya.

Yogyakarta: Kreasi Wacana, terj. Nurhadi. Anonim. 2002. Kabupaten Karo Dalam Angka. 2002. Badan Pusat Statistik

Kabupaten Karo. Anonim. 2002. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Surabaya:Bina

Pustaka Tama. Anonim. 2003. Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Tesis dan Disertasi.

Denpasar: Program Pascasarjana Univertas. Astra, I Gde Semadi. 2003, Guratan Budaya dalam Pesepektif Multikultural.

Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana. Bachtiar, Harsya W. 1991. Pengamatan Sebagai Suatu Metode Penelitian dalam

Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Koentjaraningrat, red). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Bandem, I Made. 1985. Etnologi Tari. Denpasar: Proyek Pengembangan Institut Kesenian Indonesia Sub/bagian Proyek Peningkatan dan Pengembangan Akademi Seni Tari Indonesia, Denpasar.

Bandem, I Made dan Sal Murgianto. 1996. Teater Daerah Indonesia. Denpasar: STSI Denpasar.

Bangun, Payung. 1985. Kebudayaan Batak dalam Manusia dan Kebudayaan Indonesia (Koentjaraningrat, red) Jakarta: PT Jambatan

Bangun, Roberto. 1989. Mengenal Orang Karo, Jakarta: Yayasan Merga Silima Bangun, Tridah. 1986. Manusia Batak Karo, Jakarta: Inti Idayu Press Barker, Chris. 2004. Cultural Studies Teori & Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana,

terj. Nurhadi Bramantyo, Tryiono. 2004. Disseminasi Musik Barat Di Timur. Yogyakarta:

Yayasan Untuk Indonesia Bukit, M. 1994. Sejarah Kerajaan dan Adat Istiadat Karo, Hasil Kongres 1965,

Kabanjahe: Toko Bukit. Djelantik, A.A. 1999. Estetika: Sebuah Pengantar: Bandung: Masyarakat Seni

Pertunjukan Indonesia Haviland, William A. 1988. Antropologi. Jakarta: Erlangga, terj. R.G. Soekadijo Ihromi, T.O. (ed). 1996. Pokok Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia. Kaplan, David, dan Albert A. Manners. 1999. Teori Budaya. Jogjakarta: Pustaka

Pelajar

Page 57: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Kartomi, Margaret J. 1981. “The Processes and Results of Musical Cultural Contact: A Discussion of Terminology and Concept” in Ethnomusicology No. XXV-2:B. Bloomington: Indiana University Press

Koentjaraningrat. 1991. “Metode Wawancara” dalam Metode-metode Penelitian Masyarakat (Koentjaraningrat, red). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

-------------------. 1994 Kebudayaan Mentaliteit dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Lauer, Robert. H. 2001, Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: PT Rineka Cipta, terj. Alimandan

Lindsay, Jennifer. 1991. Klasik Kitsch Kontemporer, Sebuah Studi Tentang Seni Pertunjukan Jawa, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Mack, Dieter. 2004. Musik Kontemporer & Persoalan Interkultural. Jakarta: Arti Mardimin, Johannes (ed). 1994. Jangan Tangisi Tradisi. Transformasi Budaya

Menuju Masyarakat Indonesia Modern, Yogyakarta: Kanisius Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan.

Yogyakarta: LkiS. Merriam, Alan P. 1964. The Anhropology of Music. Chicago: North Western

University Prees. -------------------. 1992. Metode dan teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.

Surakarta: MSPI, terj. Santosa dan Rizaldi Siagian Muhadjir, Noeng. 2002, Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Penerbit Rake

Sarasin Nawawi, Hadari dan Martini Hadari. 1994. Instrumen Penelitian Sosial.

Yogyakarta: Gajah Mada University Perss Nettl, Burno. 1964. Theory and Method in Ethnomusikilogi. New York: The Free

Perss Pelly, Usman & Asih Menanti. 1994. Teori-teori Ilmu Sosial Budaya.

Jakarta:Dirjen Dikti. Depdikbud. Pelto, Pertty J. Dan Gretel H. Pelto. 1978. Anthropological Recearch: The Structure

of Inguiry. Second Edition London: Cambridge University Perss. Piliang, Yasraf Amir. 1998. Sebuah Dunia Yang Dilipat: Realitas Kebudayaan

Menjelang Millenium Ketiga dan Matinya Postmodernisme. Bandung: Mizan.

----------------------. Hiper-Realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LkiS Prinst, Darwan & Darwin Prinst. 1985. Sejarah dan Kebudayaan Karo. Jakarta: cv.

GRAMA. Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern, Yogyakarta: Juxtapse research and

publication studi club bekerjasama dengan KREASI WACANA. Rohendi, Tjetjep. 2000. Ekspresi Seni Orang Miskin, Adatptasi Simbolik Terhadap

Kemiskinan, Bandung: Penerbit Nuansa Yayasan Nuansa Cendikia. Sachari, Agus & Yan yan Sunarya. 2001. Wacana Transformasi Budaya, Bandung:

ITB Bandung. Sachari, Agus. 2002. Estetika Makna, Simbol dan Daya, Bandung: ITB Bandung.

Page 58: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Sedyawati, Edy. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan Sitepu, Sempa. 1982. Pilar Budaya Karo, Medan: “Bali” Scan. Soedarsono, R.M. 1985. “Peranan Seni Budaya dalam Sejarah Kebudayaan

Manusia Kontinuitas dan Perubahannya”. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 9 Oktober 1985.

----------------------. 1999. Metode Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Soekanto, Soerjono. 1995. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Perss. Strinati, Dominic. Popular Culture, Pengantar Menuju Teori Budaya Populer.

Yogyakarta: Bentang Budaya, terj. Abdul Mukhi Storey, John. 2004. Teori Budaya dan Budaya Pop. Memetakan Lanskap

Konseptual Cultural Studies, Yogyakarta: Qalam, terj.:Elli El Fajri Suparlan, Parsudi. 1987. “Perubahan Sosial Dalam Masyarakat” dalam Bulletin

Antropologi. Yogyakarta: Perpustakaan Jur. Antropologi UG Susanto SJ, Budi. 2004. Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia Yogyakarta:

Kanisius. Sztompka, Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada, terj.

Alimandan. Tentang Penulis Prikuten Tarigan, dengan gelar akademik doktorandus (Drs.) dan magister sains (M.Si.), adalah seorang dosen tetap di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumaera Utara, Medan. Ia menjalani pendidikannya dalam strata sau di bidang etnomusikologi di FS USU. Kmudian melanjutkan studi strata dua di Universitas Udayana, Denpasar Bali, dalam bidang ilmu kajian budaya. Kini edang melakukan studi strata tiga di Universiti Sains Malaysia (USM), Pulaupinang. Ia banyak menulis mengenai budaya dan musik Karo, yang diterbitkan di berbagai jurnal. Kini beliau juga sebagai Ketua Lembaga Kesenian Universitas Sumatera Utara.

Page 59: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Etnomusikologi, Nomor 7, Tahun 4, Maret 2008 ISSN: 1858-4721

GONDANG HASAPI SEBAGAI MEDIUM KOMUNIKASI KEPADA PENCIPTA:

KAJIAN DALAM KONTEKS UPACARA SIPAHASADA PARMALIM

Torang Naiborhu Dosen Etnomusikologi

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Abstract Througout this paper I will be described abot one Toba Batak musical ensemble which called gondang hasapi in the context of communicate to the God, especially in Sipahasada Parmalim ceremony. Gondang hasapi is one from the two musical ensamble in Toba Batak society. This ensambel shaped by two short neck lute instruments (hasapi), side blown flute (sulim), wooden xylophone (garantung), little shwam (sarune etek), and “cymbal” (hesek). Parmalim is one Toba Batak traditional religion beside Christian and Islam. This ensamble very functional in the Parmalim ceremony, specially in sipahasada ceremony.

Pengantar Ugamo Malim berasal dari kata ugamo dan malim. Ugamo ialah segala

sesuatu yang berhubungan dengan ngolu partondion (alam spritual), yaitu tatacara hubungan manusia dengan alam roh, sedangkan malim artinya ialah suci. Dengan demikian, Ugamo Malim ialah pengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan ngolu partondion (alam spritual) yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip kesucian yang bersumber dari Debata Mula Jadi Na Bolon (Maha pencipta). Adapun penganut kepercayaan ini disebut parmalim, yaitu kumpulan orang-orang yang melakukan aktifitas tertentu secara bersama-sama (par), dan malim yaitu suci. Jadi parmalim ialah kumpulan orang-orang yang menjalankan aktifitas kehidupan dengan prinsip-prinsip kesucian (hamalimon) yaitu ugamo malim.

Page 60: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Pada saat ini, Ugamo Malim diartikan sebagai aliran kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa.1 Juga sebagai wadah atau tempat untuk menjalankan prinsip-prinsip hamalimon (kesucian) yang bersendikan kepada Si sia-sia Ni Habatahon yang terdiri dari: Mar-Debata (mempunyai Tuhan Yang Maha Esa), Mar-Adat (mempunyai adat kebiasaan yang berisi nilai-bnilai luhur), Mar-Patik (mempunyai kitab penuntun kehidupan yang disebut Pustaha Habonaron yang berfungsi sebagai pengatur tatalaku manusia dalam berhubungan dengan tuhan, alam, dan sesama), Mar-Uhum (memiliki hukum kebenaran penegak keadilan dan kesucian hidup), serta Mar-Harajaon, yaitu sebagai wujud implementasi kepatuhan umat parmalim terhadap raja atau pemimpinnya.

Dalam peribadatannya, Ugamo Malim percaya kepada Mula Jadi Na Bolon dan kuasa-kuasa lainnya. Mula Jadi Na Bolon adalah dewa pencipta segala sesuatu yang ada Tuhan Yang Maha Esa, dengan demikian kehidupan dan kematian adalah atas kuasanya. Akibat ke-Esaan Mula Jadi Na Bolon ini maka umat Parmalim selalu mengadakan hubungan dengannya, memohon kebahagiaan hidup jasmaniah di dunia (ngolu pardagingon) serta kehidupan rohaniah dan spritual (ngolu partondion) di akhirat (habangsa panjadian) nantinya.

Salah satu upacara terpenting Ugamo Malim menyangkut tujuan kehidupan di atas ialah Sipahasada.2 Upacara ini dilaksanakan setiap awal tahun pada bulan pertama (bulan sipahasada) menurut kalender Batak (parhalaan). Tujuan dilaksanakannya upacara ini adalah sebagai ucapan syukur atas kelahiran Tuhan Simarimbulu Bosi ke tengah-tengah umat parmalim untuk menebus segala dosa dan kesalahan sehingga mereka disucikan dan pada saatnya nanti akan memperoleh kehidupan yang kekal (ngolu partondion) di tempat yang maha suci (habangsa panjadian) di banua ginjang, benua atas. Sedangkan makna dari upacara ini adalah merupakan kemenangan iman umat parmalim dalam melawan kuasa iblis (sibolis) kegelapan.

Dalam pelaksanaan upacara sipahasada, untuk berkomunikasi memohon berkat dari Debata Mula Jadi Na Bolon dan penguasa alam roh

1Ugamo Malim sebagai aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa

terdaftar pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor I.136/F.3/N.1.1/1980 yang berpusat di Hutatinggi Laguboti, Toba Samosir.

2Sipahasada berasal dari kata sipaha yaitu sebutan untuk bulan, sedangkan sada artinya ialah satu. Jadi sipahasada ialah upacara ritual parmalim yang dilaksanakan pada bulan pertama setiap tahunnya (antara blan Maret dan April)

Page 61: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

lainnya, parmalim menyampaikannya melalui tonggo-tonggo (do’a ritus) yang disampaikan oleh Ihutan sebagai imam pemimpin upacara. Akan tetapi, sebagaimana sabda Mula Jadi Na Bolon (tona ni Debata) yang mengatakan bahwa apabila manusia ingin berhubungan dengan parbanua ginjang (penghuni benua atas) haruslah ada sesaji (pelean) sebagai alas tangan (lapik ni tangan), dan sesaji itu haruslah bersih (ias) dan suci (malim). Demikian pula manusia yang menyajikannya harus pula bersih dan suci. Tona (sabda) inilah yang selanjutnya dipedomani umat parmalim dalam melaksanakan setiap peribadatannya dari dahulu hingga sekarang. Artinya, dimana ada upacara keagamaan parmalim maka di sana akan hadir sesajian.

Namun dalam pelaksanaannya, praktek mamele (bersaji) dan martonggo (berdoa) di atas belumlah sempurna tanpa kehadiran parhinaloan atau gondang hasapi.3 Seluruh rangkaian permohonan melalui tonggo-tonggo dan pelean (sesajian) baru memperoleh kesempurnaan apabila gondang hasapi dipakai untuk mansahaphon (mensahkan) dan meghantarkan permohonan tersebut ke tujuannya masing-masing.

Selain itu, kehadiran ensambel gondang hasapi pada upacara ini juga memberi nuansa tersendiri untuk menggiring umat parmalim ke suasana khusyuk serta sebagai pengiring tortor (tarian ritus) yang merupakan bagian dari ritual ini.

Fungsi Gondang Hasapi Alan P. Merriam mengatakan bahwa fungsi suatu musik adalah merupakan masalah yang sangat penting dalam etnomusikologi, karena hal ini menyangkut pada makna dan tujuan pemakaian musik dalam pandangan yang luas, artinya mengapa suatu musik tersebut digunakan demikian.4

3Gondang hasapi ialah ensambel musik Batak Toba yang terdiri dari: hasapi anak dan hasapi ina (fretless short necked lute two strings), 1 buah garantung (xylofon) yang terdiri dari lima bilah kayu bernada, 1 buah sarune etek (oboe), dan 1 buah hesek (concassion idiophone).

4Berkenaan dengan fungsi musik, menurut Alan P. Merriam terdapat sekurang-kurangnya sepuluh fungsi musik, yaitu: (1) fungsi pengungkapan emosional, (2) fungsi penghayatan estetika, (3) fungsi hiburan, (4) fungsi komunikasi, (5) fungsi perlambangan, (6) fungsi reaksi jasmani, (7) fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan, (8) fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial, (9) fungsi kesinambungan kebudayaan, dan (10) fungsi pengintegrasian masyarakat. Lihat, Alan P. Merriam, The Anthropologi of Music (Evaston Ill: North Western University Press, 1964), 219-226.

Page 62: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Berkenaan dengan fungsi gondang hasapi dalam kaitannya dengan sepuluh fungsi yang ditawarkan oleh Merriam di atas, terdapat dua fungsi utama pada pelaksanaan upacara sipahasada ini, yaitu fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan, serta fungsi komunikasi. Akan halnya dengan fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan, Ihutan Parmalim sebagai pemimpin tertinggi Ugamo Malim menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan upacara sipahasada haruslah memakai gondang hasapi. Artinya, antara upacara sipahasada dan gondang hasapi terdapat ikatan yang sangat erat, karena upacara ini baru dianggap sah hanya apabila gondang hasapi dihadirkan sebagai pengiring rangkaian acara. Oleh karena keterikatan tersebut, sejak dini, ihutan telah melakukan pengkaderan (regenerasi) terhadap musisi-musisi muda untuk belajar kepada yang lebih tua (yaitu mereka-mereka yang pada saat itu bertugas sebagai pemain gondang hasapi atau pande untuk mengiringi upacara). Hal ini dilakukan agar kelak pada saatnya nanti setelah para pemusik yang terdahulu sudah tak mampu lagi memainkan alat musik karena faktor ketuaan ataupun kesehatan, maka musisi muda inilah yang akan secara langsung menggantikannya.

Selanjutnya fungsi komunikasi jelas dapat dilihat pada peran vital gondang hasapi sebagai media penyampai tonggo-tonggo (doa-doa ritus) kepada kuasa roh yang diseru dalam doa-doa ritus tersebut, sebagai berikut.

1). Tonggo-tonggo tu Ompung Mula Jadi Na Bolon (Doa Permohonan kepada Mula Jadi Na Bolon):

…Mauliate ma hudok hami tu Ho Ompung Mula Jadi Na Bolon marhite parhinaloan on. Hot ma hami di bona ni patik dohot isi ni patikmi. (Kami mengucapkan terima kasih kepadamu ya Ompung Mula Jadi Na Bolon melalui musik bunyi-bunyian ini. Biarlah kami tetap taat pada sabda dan ajaranmu).

2). Tonggo-tonggo tu Ompung Debata Natolu (Doa Permohonan kepada Trinitas keilahian):

: …ajar ni amanami Raja Nasiakbagi ido huingot hami ale Tuhan, mandok mauliate marsomba tu hasangapon mi marhite pelean puji-pujian nami: indahan na las, dengke ni laean, pira ni ambalungan, manuk lahi bini, hambing puti, hasahatanna marhite parhinaloan somba puji-pujian nami. dst…

Page 63: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

(…ajaran bapak kami Raja Nasiakbagi itulah yang kami ingat ya Tuhan, mengucapkan terima kasih bersembah sujud pada keagunganmu melalui sesajian puji-pujian kami, yaitu: nasi hangat,, ikan, telur, ayam jantan dan betina, kambing putih, yang kami sampaikan dengan iringan musik sebagai sembah dan pujian kami kepadamu. dst…).

3). Tonggo-tonggo tu Siboru Deak Parujar (Doa Permohonan kepada Ibu Deak Parujar): Mauliate ma hudok hami tu sahala ama, tu sahala ina, tu sahala ni ina nami Siboru Deakparujar. Marsomba mardaulat hami tu ho ale inong na sangap na badia, marhite timpul ni daupa dohot pangurason on, marhite indahan na las, dengke na nilaean, pira ni ambalungan, manuk panggangan, dohot hambing puti, na hualu-aluhon hami marhite parhinaloan on. dst… (Terimakasih kami sampaikan kepada tuah leluhur bapa kami, tuah leluhur ibu kami, dan kepada tuah ibu kami Siboru Deakparujar. Kami bersembah sujud kepadamu ibu yang agung, dengan perantaraan dupa dan air suci ini, dengan nasi yang hangat, ikan, telur, ayam, dan kambing putih, yang kami persembahkan melalui musik puji-pujian ini. dst…) 4). Tonggo-tonggo tu Raja Naga Padoha (Doa Permohonan kepada Naga Padoha [penguasa benua bawah):

Bahenma gondang sombanta tu Raja Naga Padoha Ni Aji ni tano on. Nungnga sahat nangkin bagianna, mudar ni manuk lahi bini, mudar ni manuk jarum bosi, mudar ni manuk mira polin, mudar ni manuk panggangan, dohot mudar ni hambing puti. dst… (Buatlah gondang persembahan kita kepada Raja Naga Padoha yang berkuasa atas bumi ini. Sesajian berupa darah ayam jantan dan betina, darah ayam jarum bosi, darah ayam mira polim, darah ayam panggangan, dan darah kambing putih. dst…) 5). Tonggo-tonggo tu Boru Saniangnaga (Doa Permohonan kepada Putri Saniangnaga):

Page 64: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Bahen ma gondang sombanta tu namborunta boru Saniangnaga. Ompung ni mual si tio-tio. Sai tio ma asi ni roha ni ompunta Debata pasu-pasuon na di hita. Pangidohon ma tu Ompung Mula Jadi Na Bolon asa dipasu-pasu uras na badia mangurasi parngoluon, mangurasi parbadanon, dao sahit ni parbadanon, dao nang sahit ni tondinta. (Suarakanlah musik persembahan kita kepada namboru Boru Saniangnaga penguasa air yang suci. Kiranya kita disucikan oleh kasih Ompung Mula Jadi Na Bolon, kehidupan kita diberkati oleh kasih sucinya yang agung mulia, mensucikan kehidupan jasmani, dan dijauhkan dari penyakit jasmani maupun rohani). 6) Tonggo-tonggo tu Patuan Raja Uti (Doa Permohonan kepada Tuan Raja Uti): Sada haroroan do hami manombahon pelean puji-pujian di ari marsangap di ari martua on di Suma Ni Anggara di bulan Sipahasada ima ari hatutubu ni Tuhan Simarimbulu Bosi. Dison ma parningotan nami raja nami, nang dohot di ari hatutubum marhite lapik ni tangan mandok mauliate somba puji-pujian nami tu ho, ima: indahan na las, dengke na ni laean, pira ni ambalungan, manuk jarum bosi, hambing puti, na hu alu-aluhon hami marhite parhinaloan on. dst… (Dengan satu tujuan kami datang mempersembahkan sajian dan doa pada hari yang suci dan penuh tuah ini, yaitu Suma Ni Anggara bulan pertama hari kelahiran Tuhan Simarimbulu Bosi. Pada hari inilah kami peringati kelahiranmu, melalui sesajian persembahan kami mengucapkan terima kasih dan pujian kepadamu, berupa; nasi hangat, ikan yang enak, telur, ayam jarum bosi, kambing putih, yang kami sampaikan melalui bunyi-bunyian gondang ini. dst…) 7). Tonggo-tonggo tu Tuhan Simarimbulu Bosi (Doa Permohonan kepada Tuhan Simarimbulu Bosi):

…Tuhan, jangkon ma pelean puji-pujian nami di ari hatutubum on,

marhite indahan na las, dengke na nilaean, manuk jarum bosi, hambing puti. Nungnga hupaojak hami puji-pujian nami tu ho ale Tuhan marningot di hatutubum, ima pangurason bahen paridianmu, hain puti bahen sabi-sabinmu, jubah na so pipot bahen tapal-tapalmu, pardaupaan bahen salananmu, dohot parhinaloan

Page 65: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

solon ni rohami ale tuhan, husombahon hami marhite ngolu nami dohot tondi nami. dst…

(…Tuhan, terimalah sajian pujian kami pada hari kelahiranmu ini, nasi hangat, ikan, ayam jarum bosi, dan kambing putih. Telah kami sampaikan pujian kami kepadamu tuhan dalam memperingati hari kelahiranmu, yaitu air pentahiran untuk mensucikanmu, kain putih buat pembersih badanmu, jubah yang indah buat selendangmu, dupa buat wewangianmu, serta musik kegemaranmu ya tuhan yang kami persembahkan dengan segenap jiwa raga kami. dst…)

8). Tonggo-tonggo tu Raja Na-44 (Doa Permohonan kepada Raja 44):

…marsomba hami tu ho mandok mauliate marhite lapik ni tangan nami, marhite: indahan na las, dengke na ni laean, pira ni ambalungan, manuk mira polin, hambing puti, na husombahon hami marhite parhinaloan on. dst… (kami bersembah sujud kepadamu mengucapkan terimakasih beralaskan sesajian berupa: nasi yang hangat, ikan yang enak, telur, ayam mira polin, kambing putih, yang kami sampaikan melalui perantaraan bunyi-bunyian gondang ini. dst…)

9). Tonggo-tonggo tu Raja Sisingamangaraja (Doa Permohonan kepada Raja Sisingamangaraja):

…mandok mauliate hami tu ho ale Ompung Sisingamangaraja, tona ni amanami Raja Nasiakbagi ido na huingot hami, marningot ma hami nang di ari hatutubum, di ari marsangap di ari martua on, mandok mauliate hami marhite lapik ni tangan nami marsomba tu ho, ima: indahan na las, dengke na nilaean, pira ni ambalungan, manuk mira polin, hambing puti, na hualu-aluhon marhite parhinaloan on. dst…

(…terimakasih kepadamu ya Ompung Sisingamangaraja, pesan bapa Raja Nasiakbagi itulah yang kami ingat, memperingati kelahiranmu, pada hari yang suci dan penuh tuah ini, mengucapkan terimakasih beralaskan sesajian kami datang bersembah sujud, dengan persembahan: nasi yang hangat, ikan, telur, ayam mira

Page 66: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

polin, kambing putih, yang kami sampaikan melalui musik bunyi-bunyian ini. dst…).

10). Tonggo tu Raja Nasiak Bagi (Doa Permohonan kepada Raja Nasiak Bagi): …

among, tona mi ma na huingot hami di ari marsangap di ari martua on, marningot ma hami di ari hatutubum, dison ma somba puji-pujian nami tu ho aamong, naung husombahon hami marhite parbinotoan, husombahon hami marhite ngolu nami, husombahon hami marhite haporseaon nami, naung marsiraraisan di hatam na badia i, ima lapit ni tangan nami, marsomba ma hami dohot indahan na las, dengke na nilaean, pira ni ambalungan, manuk mira polin, hambing puti, na hu alu-aluhon hami marhite parhinaloan on. dst…

(…Bapa, firman mu itulah yang kami ingat pada hari yang mulia, penuh tuah pada hari kelahiranmu ini. Inilah sembah sujud pujian kami padamu Bapa yang kami persembahkan dengan segenap kemampuan dan hidup kami. Kami mempersembahkannya atas dasar kepercayaan yang telah engkau nubuatkan melalui firmanmu yang suci itu beserta sesajian berupa nasi hangat, ikan, telur, ayam mira polin, dan kambing putih dengan dihantarkan oleh suara musik pujian kami. dst…)

Dari kutipan yang dicuplik dari seluruh tonggo-tonggo (doa ritus)

yang disampaikan pada upacara ritual sipahasada ini, jelas bahwa gondang hasapi yang dalam hal ini disebut dengan parhinaloan, selain sebagai pelean (sesajian) juga berperan sebagai sarana komunikasi yang utama dalam penyampaian setiap permohonan kepada kuasa roh yang dituju. Dalam hal ini, gondang yang dimainkan bukanlah bunyi musik semata, akan tetapi lebih dari itu adalah berupa kata-kata permohonan kepada kuasa roh yang dituju yang dirangkai melalui nada dan ritmik gondang tersebut.

Fungsi-fungsi lain yang juga cukup penting berkenaan dengan gondang hasapi ialah fungsi penghormatan. Maksudnya, bahwa ensambel gondang hasapi juga dipergunakan untuk mengungkapkan rasa hormat kepada kuasa roh yang diseru dalam tonggo-tonggo. Dibuktikan melalui gerakan manatea (mempertemukan kedua telapak tangan di depan dada dengan jari mengarah ke depan, seperti gerakan menyembah) dari seluruh umat parmalim.

Page 67: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Selain itu, terdapat juga beberapa fungsi lainnya, seperti fungsi pengungkapan emosional, fungsi perlambangan, fungsi reaksi jasmani, fungsi hiburan, fungsi kesinambungan kebudayaan, dan fungsi pengintegrasian masyarakat.

Fungsi pengungkapan emosional. Fungsi ini dapat dilihat pada saat jemaat sedang manortor (tarian ritus), terutama pada saat repertoar gondang panghophopon ni Tuhan (gondang pengampunan Tuhan) disajikan. Para umat parmalim banyak yang menangis menyesali perbuatannya hingga mengakibatkan penderitaan tuhan Simarimbulu Bosi dan Raja Nasiakbagi yang mengalami kematian sampai tiga kali hanya untuk menebus dosa dan kesalahan umatnya. Penderitaan ini mereka rumuskan menurut perasaan masing-masing dengan diiringi bunyi gondang hingga memancing emosi, menangis mengeluarkan air mata, dan mengharapkan agar perbuatan umatnya mendapat pengampunan.

Fungsi perlambangan. Tujuan dari upacara ritual sipahasada seba-gaimana disebutkan pada bagian terdahulu adalah untuk memperingati hari kelahiran tuhan Simarimbulu Bosi ke tengah-tengah umat manusia serta sebagai wujud pernyataan kemenangan iman para umatnya. Sebagai wujud kegembiraan akan kedua hal tersebut di atas, maka dalam pelaksanaan upacara ini digunakanlah gondang hasapi. Berangkat dari hal ini dapat dikatakan bahwa kehadiran gondang hasapi adalah sebagai perlambang dari wujud kegembiraan dan kemenangan iman tersebut. Demikian pula para pargonci (pemusik) adalah orang-orang yang dianggap cakap (pande) yang kecakapan dan kemampuannya dianggap setara dengan dewa Batara Guru. Oleh karena itulah, para pemusik ini diseru dan dilambangkan sebagai Batara Guru.

Fungsi reaksi jasmani. Yang dimaksud oleh Merriam dengan fungsi reaksi jasmani ialah musik yang berfungsi sebagai perangsang biologis manusia. Kaitan fungsi ini dengan upacara sipahasada dapat dilihat pada saat parmalim sedang manortor dan manatea. Artinya, pada saat gondang hasapi dibunyikan, alunan melodi yang dihasilkannya secara spontan merangsang perasaan umat yang mendengarnya, dan dengan rasa itu kemudian menggerakkan jasmani mereka melakukan gerakan-gerakan (gesture) tortor dan manatea sebagai rasa hormat dan persembahannya kepada kuasa roh yang dituju.

Fungsi hiburan. Sebagaimana halnya musik berfungsi sebagai alat komunikasi dan pengungkapan emosional, dimana melalui kedua fungsi ini umat parmalim mengadakan hubungan dengan kuasa roh yang disembah untuk memohon pengampunan dosa, maka sebagai hasil permohonan

Page 68: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

tersebut akhirnya para umat berkeyakinan bahwa dosa dan kesalahan mereka telah diampuni oleh kuasa roh yang dituju melalui kasihnya yang tiada bertara itu (parholong roha na so halompoan). Dengan demikian, melalui kepercayaan yang mereka anut diyakini bahwa semua kesalahan yang pernah diperbuat telah diampuni. Melalui kemenangan iman itulah mereka yakin telah memperoleh hidup yang baru (ngolu na imbaru) yang membuat mereka merasa terhibur, tenteram, dan gembira.

Fungsi kesinambungan kebudayaan. Ensambel gondang hasapi adalah merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Batak Toba. Pema-kaian gondang hasapi di setiap upacara sipahasada adalah sebagai jaminan akan kelangsungan tradisi ini untuk masa-masa yaang akan datang.

Fungsi pengintegrasian masyarakat. Rasa kebersamaan umat parmalim secara jelas dapat dilihat dari rangkaian penyajian gondang hasapi, terutama pada saat dimainkannya repertoar gondang elek-elek (bujukan) sebagai pernyataan akan dimulainya upacara. Bunyi gondang ini secara otomatis menggugah umat parmalim untuk segera berkumpul bersama-sama di Bale Pasogit Partonggoan (Gedung peribadatan) untuk memulai peribadatan. Artinya, segala aktifitas yang dilakukan sebelumnya akan segera dihentikan dan selanjutnya bergerak memasuki tempat upacara.

Demikian pula pada saat diperdengarkannya gondang somba tu Ompung Mula Jadi Na Bolon, secara spontan akan menggerakkan umat parmalim untuk mengangkat tangan, manatea berdoa kepada roh kuasa yang diseru. Hal ini dilakukan secara serentak ketika instrumen tiup sarune (oboe) sudah berbunyi dan selanjutnya berakhir setelah satu siklus atau lebih repertoar gondang tersebut dimainkan.

Dengan demikian secara jelas dapat dikatakan bahwa musik dalam hal ini gondang hasapi mempunyai fungsi yang esensial dalam pelaksanaan upacara ritual parmalim sipahasada.

Penutup

Parmalim adalah pengikut atau penghayat ajaran Patuan Raja Malim, sedangkan Ugamo Malim ialah semua ajaran Patuan Raja Malim, Raja Nasiakbagi, Raja Sisingamangaraja untuk mencapai kesempurnaan hidup di dunia (ngolu ni pardagingon) dan akhirat (ngolu ni partondion) berdasarkan prinsip-prinsip hamalimon (kesucian).

Sebagai dasar ajaran, Ugamo Malim mengajarkan bahwa segala sesuatu yang ada di jagad ini adalah ciptaan Ompung Mula Jadi Na Bolon, yang kemudian memberikan empat sabda sebagai dasar kepercayaan dan tuntunan hidup Parmalim, yang terdiri dari: 1) Hata ni Debata (Firman

Page 69: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Tuhan), 2) Tona Ni Debata (Perintah Tuhan), 3) Patik Ni Debata (Titah dan aturan-aturan Tuhan), dan 4) Uhum Ni Debata (Hukum-hukum Tuhan). Keempat dasar kepercayaan ini selanjutnya dijadikan sebagai penuntun umat parmalim dalam mengadakan hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, maupun alam.

Dalam melakukan hubungan dengan Tuhan, umat parmalim mengenal beberapa jenis upacara ritual, salah satu di antaranya ialah sipahasada. Upacara ini secara rutin dilaksanakan setiap awal tahun yaitu hari Suma (hari kedua) dan Anggara (hari ketiga) pada bulan Sipahasada (bulan pertama). Tujuan upacara ini ialah sebagai ucapan syukur atas lahirnya Tuhan Simarimbulu Bosi untuk menebus dosa-dosa umat manusia, sedangkan hakekatnya adalah sebagai hari kemenangan iman dan agar tetap marsolam diri dan marsolam ngolu, yaitu marroha hamalimon (berpikiran jernih), marngolu hamalimon (berkehidupan dan berperilaku teladan), dan martondi hamalimon (patuh dan taat berdasarkan iman kepercayaan).

Seluruh rangkaian upacara sipahasada ini, dalam peribadatannya selalu menggunakan daupa (dupa), aek pangurason (air suci pentahiran), pelean (sesajian), serta parhinaloan gondang hasapi (musik bunyi-bunyian gondang hasapi) sebagai medium perantara manusia untuk berhubungan dengan roh kuasa yang disembah, dan yang terutama gondang hasapi berfungsi sebagai alat untuk mansahaphon (mengesahkan) seluruh permohonan yang disampaikan melalui rangkaian tonggo-tonggo (doa ritus) kepada kuasa roh yang disembah dengan dipimpin oleh Raja Ihutan sebagai imam upacara. Kepustakaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Cetakan ke-3. Jakarta: Gramedia. Hutasoit, M., 1976. “Gondang Dohot Tortor Batak. Tarutung. Ihromi, T.O., 1981. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia. Malm, William P., 1977. Music Cultures of the Pacific, The Near East and Asia.

Englewood Cliffs: Prentice Hall. Marbun, M.A., dan I.M.T. Hutapea,1987. Kamus Budaya Batak. Jakarta: Balai

Pustaka. Merriam, Alan P., 1964. The Anthropology of Music. Evaston Ill: North Western

University Press. Napitupulu, O.L., 1971. Perang Batak. Jilid I. Jakarta: Yayasan Pahlawan Nasional

Sisingamangaraja. Pedersen, Paul B.,1975. Darah Batak dan Jiwa Protestan. Terj. Ny. Maria Th.

Sidjabat dan W.B. Sidjabat. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Page 70: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Pardede, Boho Parulian., 1995. “Studi Deskriptif dan Musikologis Gondang Sabangunan Dalam Upacara Ritual parmali9m Sipahalima. Skripsi S-1 Fakultas Sastra USU Medan.

Sidjabat, W.B.,1983. Ahu Sisingamangaraja. Jakarta: Sinar Harapan. Situmorang, Sitor., 1993. Guru Somalaing dan Modigliani Utusan Raja Rom.

Jakarta: Grafindo Mukti. Suradi, H.P., 1992/1993. Pengkajian Nilai-nilai Luhur Budaya Spritual Bangsa

Propinsi Sumatera Utara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Vergowen, J.C., 1986. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Jakarta: Pustaka

Azet. Tentang Penulis Torang Naiborhu, sarjana Etnomusikologi dari Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan, dan magister dalam bidang Pengkajian Seni Pertunjukan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Aktif menjadi peneliti bidang-bidang musik etnis, khususnya Pakpak-Dairi dan Batak Toba di Lembaga Penelitian USU, dan telah menghasilkan sedikitnya 7 penelitian yang didanai oleh OPF USU dan 2 penelitian dari Berbagai Bidang Ilmu (BBI) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Departemen Pendidikan Nasional. Sejak 1991 sampai dengan saat ini aktif sebagai staff pengajar di Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Medan.

Page 71: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Etnomusikologi, Nomor 7, Tahun 4, Maret 2008 ISSN: 1858-4721

BUSANA PENGANTIN MELAYU SUMATERA UTARA:

STRUKTUR DAN MAKNANYA

Fadlin Dosen Etnomusikologi

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Abstract This paper will be describe about Malay North Sumatran traditional ceremony marriage clothes. This writing concern and focus in structures and meaning the marriage clothes. The woman clothes shaped by kebaya or baju kurung, selendang, kain, make-up, and so on based on songket. In other side, the man clothes shaped by songkok (peci) or destar, baju, kain sesamping, seluar, and based on the songket cotton. The meaning of this clothes are transmitted the Malay North Sumatran way of life.

Pendahuluan

Dalam aktivitas sehari-hari, baik di rumah, di kantor, di tempat bekerja, manusia memakai busana. Fungsi utama pakaian adalah menutup aurat, yang dipandu oleh nilai-nilai kebudayaan, adat, dan agama. Jenis-jenis busana yang dipakai manusia ini juga disesuaikan dengan konteks kegiatan yang dilakukan manusia. Dalam kegiatan wisata di pantai untuk tujuan berenang, ia memakai pakaian renang. Dalam aktivitas bekerja di kantor, ia memakai pakaian resmi pekerjaan, seperti memakai pakaian kemeja, celana dalam, kaus, jas, dasi, celana panjang, tali pinggang, dan sepatu. Begitu pula dalam konteks upacara perkawinan, seorang tetamu lelaki misalnya memakai pakaian adat Melayu yaitu terdiri dari peci, pakaian dalam, seluar dalam, baju gunting China, seluar, tali pinggang, kain samping, sepatu, butang, dan lainnya. Manakala perempuan pula memakai pakaian baju kebaya, pakaian dalam, sarung, sandal (alas kaki), ditambah perhiasan-perhiasan seperti gelang, subang, anting-anting, kalung, cincin, dan sebagainya. Di sisi lain, dalam pesta perkawinan ini, dua mempelai sebagai “raja dan ratu sehari) pastilah memakai pakaian pengantin yang sifatnya lebih gah, indah, dan harga relatif mahal, serta penuh dengan muatan-muatan nilai budaya yang dianut. Pakaian pengantin ini bukanlah pakaian sehari-hari, tetapi ianya lebih khas bersifat untuk sebuah hari kebesaran

Page 72: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

yang tak akan dilupakan selama hidupnya. Dalam konteks upacara perkawinan Melayu misalnya, pakaian dan make-up pengantin perempuan terdiri dari sanggul, bunga sanggul, bedak, gincu, gelang, cincin, sirih genggam, kolar, subang atau anting-anting, rantai emas, tali pinggang, pakaian dalam pakaian luar dalam bentuk kebaya yang terbuat dari songket, kain songket, alas kaki, dan sebagainya, yang dirancang dengan seindah-indahnya dan sebaik-baiknya. Sementara pakaian pengantin ellaki terdiri dari destar atau tengkuluk, pakaian dalam, baju dan seluar yang terbuat dari bahan songket, kain samping, sirih genggam, alak kaki, dan lainnya.

Apa yang dapat dilihat dari kegiatan manusia seperti itu? Bahwa manusia dalam kehidupannya, secara naluri menutup aurat dalam berbagai aktivitasnya. Dalam rangka demikian, nilai-nilai kesopanan (etika) dan estetika juga diterapkannya dalam berbusana. Berbusana itu sendiri mencerminkan kedudukan sosial si pemakainya. Bahwa setiap manusia ingi menarik dan kemas dalam penampilan agar dilihat orang lain dengan tafsiran elok, indah, bagus, sopan, bermoral dan seterusnya. Semua ini tak lepas dari kebudayaan yang menghasilkan busana tersebut.

Manusia hidup di dunia ini dianugerahi Allah sebuah kebudayaan. Ada aspek-aspek yang sifatnya universal namun ada pula yang sifatnya lokal, dalam sebuah kebudayaan. Kebudayaan melingkupi semua hal yang berkaitan dengan hidup manusia, seperti agama, bahasa, organisasi sosial, pendidikan, teknologi, ekonomi, dan kesenian. Kebudayaan pun biasanya diwujudkan dalam tiga bentuk, yaitu gagasan, aktivitas, dan artifak.

Busana pengantin Melayu adalah satu artiak yang di dalamnya mengandung gagasan-gagasan kebudayaan dan dilakukan dalam aktivitas upacara perkawinan adat. Busana pengantin Melayu ini, memiliki hubungan dengan unsur-unsur kebudayaan, seperti agama Islam, teknologi, seni, jurai sosial orang Melayu, ekonomi, pendidikan, dan bahasa. Busana pengantin sebagai satu artifak pastilah mencerminkan kebudayaan Melayu secara umum.

Dunia Melayu atau Alam Melayu secara faktual dan historis telah menunjukkan eksistensinya yang begitu matang menjadi tamadun terdepan di Nusantara. Dunia Melayu ini merangkumi kawasan-kawasan induknya di Asia Tenggara, yang kini terdiri dari negara-negera: Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunai Darussalam, Filipina, dan juga sebilangan masyarakat Melayu di Kamboja (Kampuchea), Myanmar, Laos, dan lainnya. Di lain sisi, masyarakat Dunia Melayu juga menyebar ke seluruh dunia, yang secara antropologis dikenal dengan sebutan diaspora Melayu, yang meliputi pelbagai kawasan separti di Afrika Selatan, Sri Langka,

Page 73: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Bangladesh, dan Suriname. Sementara itu, secara kultural dan rasial kawasan-kawasan Pasifik (Oseania) selalu pula digolongkan sebagai kesatuan dengan Dunia Melayu-Polinesia atau Melayu-Austronesia.

Secara mikrokosmos, Dunia Melayu itu juga terdiri dari kawasan-kawasan kecil yang menopang Dunia Melayu yang lebih besar. Di Indonesia saja misalnya mereka terpolarisasi dalam segmental-segmental regional kecil di bawah provinsi atau bekas wilayah kesultanan Melayu. Setiap bagian regional ini diperkenankan menampilkan jati diri budaya Melayunya, yang umumnya terorganisasi dalam kumpulan-kumpuan adat dan budaya Melayu. Di Sumatera Utara ada Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia (MABMI) yang kini dipimpin oleh Syamsul Arifin, S.E. (yang juga gubernur Provinsi Sumatera Utara), kemudian ada pula Majlis Adat Budaya Melayu Baru Indonesia (MABIN), sementara di tataran generasi muda ada Gerakan Angkatan Melayu Muda Indonesia (GAMMI) dan Angkatan Melayu Muda Indonesia (AMMI), dan lain-lainnya. Di Riau ada Majlis Adat Budaya Melayu Riau, di Kalimantan Barat ada Majlis Adat Budaya Melayu Kalimantan Barat, dan masih banyak organisasi sosial yang mewadahi kebudayaan Melayu. Selain itu, setiap bagian regional Melayu biasanya memiliki kekhasan-kekhasan kebudayaannya. Misalnya di Sumatera Utara (masa penjajahan Belanda terintegrasi dalam Sumatera Timur/Oostkust van Sumatra), Langkat memiliki kebudayaan yang kuat mengekspresikan sufisme di Sumatera, Deli begitu kuat mengekspresikan akulturasi budaya Dunia, Serdang kuat menampilkan seni-seni Melayu yang dipandang sebagai seni “garda depan” misalnya saja rongggeng Melayu, teater makyong dan mendu. Yang paling fenomenal adalah tari dan musik serampang dua belas. Sementara Asahan dan Labuhanbatu kuat mengekspresikan budaya maritim dan kesenian sinandongnya.

Kawasan Melayu Sumatera Utara, secara umum adalah dipandang sebagai satu kesatuan wilayah budaya, yang terdiri dari Langkat, Deli, Serdang, Asahan, Batubara, dan Labuhanbatu. Namun di antara kawasan ini terdapat pula varian-varian budaya Melayu yang menjadi identiotas lokal dan memperkaya kebudayaan Melayu Sumatera Utara secara umum. Demikian pula dengan busana pengantin di kawasan ini.

Melalui tulisan ini, penulis akan mendeskripsikan keberadaan busana pengantin Melayu Sumatera Utara, dalam konteks upacara adat perkawinan Melayu. Adapun deskripsi ini akan menggunakan disiplin ilmu antropologi, sosiologi, teknologi, estetika, etika dan lain-lainnya.

Sebelum menguraikan busana pengantin Melayu Sumatera Utara, terlebih dahulu diuraikan tentang etnografi penduduk di Provinsi Sumatera

Page 74: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Utara yang heterogen, namun terintegrasi dalam satu kesatuan kawasan. Etnografi ini berkait rapat dengan keberadaan busana pengantin Melayu Sumatera Utara, yang memiliki hubungan dengan berbagai unsur budaya etnik tempatan dan etnik pendatang, khusunya dalam rangkaian upacara adat perkawinan. Misalnya pada masa sekarang ini, sebahagian besar umat Islam di Sumatera Utara, dalam melaksanakan adat perkawinan selalu menggunakan satu unsur penting dalam budaya Melayu yaitu tepung tawar. Begitu juga dengan marhaban dan barjanzi, sebagai kesenian Islam yang ditransmisikan dari kebudayaan Melayu.

Etnografi Penduduk Sumatera Utara

Sumatera Utara adalah sebuah provinsi yang secara budaya dan etnik adalah multikultural. Di Sumatera tara terdapat berbagai kelompok etnik setempat dan pendatang baik dari Nusantara maupun mancanegara. Provinsi Sumatera Utara kini adalah gabungan dari Afdeling Sumatera Timur dan Tapanuli di zaman Belanda.

Etnik Melayu adalah salah satu etnik setempat Sumatera Utara yang daerah budayanya mencakup wilayah pesisir timur dan barat provinsi Sumatera Utara, yaitu terbentang dari Langkat, Deliserdang, Serdangbedagai, Asahan, Labuhanbatu, serta Tapanuli Tengah dan Sibolga (dua yang terakhir ini kadang menyebut identitasnya dengan orang Pesisir saja).

Sumatera Utara adalah salah satu provinsi di Indonesia, yang penduduknya dari berbagai kelompok etnik, yang secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu: (a) etnik setempat, yang terdiri dari dari delapan kelompok etnik: Melayu, Karo, Pakpak-Dairi, Batak Toba, Simalungun, Mandailing-Angkola, Pesisir Tapanuli tengah, dan Nias, ditambah etnik Lubu dan Siladang; (b) etnik pendatang Nusantara, separti: Aceh, Minangkabau, Jawa Sunda, Banjar, Makassar, Bugis, dan lainnya. Juga pendatang Dunia separti: Tamil, Benggali, Tionghoa, dan Eropa. Pada masa sekarang ini penduduk Sumatera Utara berjumlah sekitar 12,8 juta, termasuk salah satu provinsi yang padat penduduknya di Indonesia.

Masyarakat Melayu memiliki berbagai kesenian, separti seni musik, tari, dan teater tradisional. Yang menarik adalah dalam proses negara Indonesia, etnik Melayu Sumatera Utara ini menyumbangkan salah satu budaya tari yang menjadi tarian nasional, yang terkenal yaitu serampang dua belas yang berasal dari tradisi ronggeng Melayu. Tarian ini dinasionalisasi oleh Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Sukarno tahun 1960-an, dan dipraktikkan secara meluas di seluruh kepulauan Indonesia.

Page 75: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Tak tanggung-tanggung ibu negara Fatmawati dan isteri wakil presiden Rahmi Hatta gencar mempraktikkan dan menyebarkan tari serampang dua belas ini sebagai tari nasional. Saat itu, aliran politik Indonesia meskipun bebas aktif tetapi membenci negara-negara Barat, yang disebut oleh Sukarno sebagai neokolonilaisme dan neoimperialisme. Saat itu pula Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diangapnya tak adil dan hanya membela kepentingan Barat saja.

Berdasarkan letak geografis, kebudayaan Melayu itu meliputi berbagai-bagai negara yang terbentang di kawasan Asia Tenggara, yaitu: Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand (khususnya daerah Pattani), dan Brunai Darussalam. Di Indonesia sendiri, etnik Melayu mendiami daerah budaya: Pesisir Timur Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Pesisir Kalimantan. Etnik Melayu pesisir Timur Sumatera Utara, berdasarkan ciri khusus kebudayaannya, dapat dikelompokkan lagi ke dalam daerah: Langkat, Deli, Serdang, Asahan, dan Labuhan Batu.

Pada masa Kesultanan Melayu di kawasan ini, wilayah mereka lebih lazim disebut dengan Sumatera Timur, dan kemudian setelah masa kemerdekaan disebut Sumatera Utara (yang termasuk di dalamnya wilayah kebudayaan masyarakat Batak dan Nias).

Etnik Melayu ini dalam konteks kebijakannya menghadapi kontinuitas dan perubahan kebudayaan, menggunakan empat klasifikasi adat: (1) adat yang sebenarnya adat, yaitu hukum alam yang secara tabi’i harus terjadi menurut waktu dan ruang--jika dikurangi merusak, jika dilebihi mubazir. Selanjutnya (2) adat yang diadatkan, yaitu adat yang berasal dari musyawarah dan mufakat masyarakatnya, yang dipercayakan kepada pemimpinnya. Kemudian (3) adat yang teradat, yaitu kebiasaan-kebiasaan yang lama kelamaan atau tiba-tiba menjadi adat. Yang terakhir (4) adat istiadat, yaitu adat yang merupakan kumpulan dari berbagai-bagai kebiasaan, dan cenderung diartikan sebagai upacara-upacara khusus.

Kelompok etnik Batak yang lebih luas, biasanya dibagi pada lima komunitas utama, yaitu: Pakpak-Dairi, Batak Toba, Angkola-Sipirok, Mandailing, Karo, dan Simalungun. Keenam komunitas utama ini mempunyai organisasi sosial yang sama, yaitu berdasar pada sistem patrilineal dan klen yang eksogamus. Mereka mempunyai sistem sosial, religi, dan linguistik yang berbeda. Perbedaan linguistik paling jelas adalah antara kelompok Karo dan Pakpak-Dairi di utara dan barat--dengan kelompok Toba, Mandailing, Angkola, dan Sipirok di Selatan. Simalungun berada di antara dua sistem linguistik ini.

Page 76: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Di Indonesia, etnik Melayu mendiami daerah Tamiang di Daerah Istimewa Aceh, Pesisir Timur Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Jambi, dan Sumatera Selatan. Sumatera adalah salah satu pulau besar di Indonesia yang terdiri dari sekitar 3.000 pulau-pulau. Pulau Sumatera ini mencakup wilayah sebesar 473.606 km.

Pulau ini mempunyai panjang lebih dari 1.920 km yang membentang dari barat laut ke tenggara, dan mempunyai lebar maksimum sebesar 384 km. Sumatera adalah pulau di sebelah barat Indonesia, yang terentang dari 6° LU sampai 6° LS secara latitudinal dan 95° sampai 110° BT secara longitudinal.

Sumatera juga dikelilingi oleh pulau-pulau di sekitarnya, baik yang berdekatan dengan pantai barat ataupun timurnya. Pulau-pulau ini secara administratif ikut ke dalam pemerintahan daerah di Sumatera. Struktur geologis Pulau Sumatera didominasi oleh rangkaian Pegunungan Bukit Barisan. Rangkaian pegunungan ini sampai ke wilayah Selat Sunda. Sumatera dibagi menjadi lima Provinsi atau Daerah Tingkat I. Sumatera adalah kawasan yang sangat cocok untuk bidang pertanian dan perikanan. Sebahagian besar penduduk Sumatera tergolong ke dalam ras proto-Mongoloid, dan berbahasa sama dengan kelompok bahasa Austronesia atau Melayu-Polinesia.

Pada masa lampau, beberapa sistem klasifikasi regional dipergunakan untuk membagi wilayah secara etnik. Provinsi Sumatera Utara misalnya pada zaman Belanda terdiri dari dua wilayah yaitu Sumatera Timur dan Tapanuli. Namun Sumatera Timur mencakup daerah Aceh Timur (Whitington 1990:203). Daerah budaya Melayu Sumatera Utara yang menjadi fokus studi ini, berkaitan dengan daerah Sumatera Timur. Dalam konteks perdagangan dunia, Sumatera Timur sangat terkenal, mempunyai pertumbuhan ekonomi yang pesat. Sumatera Timur mempunyai beberapa perkebunan, menghasilkan minyak bumi, dan menjadi daerah sumber devisa yang penting di Indonesia. Perdagangan dan perikanan menjadi bidang ekonomi yang sangat penting di Pesisir Timur Sumatera Utara ini Daerah Sumatera Timur ini awalnya dihuni oleh tiga etnik setempat, yaitu: Melayu, Karo, dan Simalungun.

Sumatera sendiri dihuni oleh beberapa kelompok etnik setempat, yaitu: Aceh, Alas dan Gayo, Batak, Melayu, Minangkabau, Rejang, Lampung, Kubu, Nias, Mentawai, dan Enggano. Di Pesisir Timur Sumatera Utara, yang pada masa kesultanan lazim disebut Sumatera Timur, etnik Melayu mendiami wilayah yang meliputi enam Kabupaten, yaitu: Kabupaten Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Asahan,

Page 77: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Batubara, dan Labuhan Batu. Pada masa-masa pemerintahan sistem kesultanan, etnik Melayu di Sumatera Timur ini berada dalam tiga kesultanan besar, yaitu: Langkat, Deli, dan Serdang, dan ditambah sultan-sultan yang secara geografis dan politis lebih kecil, yaitu: Asahan, Bilah, Kotapinang, dan Kualuh.

Peta 1. Sumatera Timur Dasawarsa 1940-an

Sumber: Langenberg (1982:2)

Wilayah Sumatera Timur terbentang dari perbatasan Aceh sampai kerajaan Siak mempunyai batas-batas geografis sebagai berikut: (1) sebelah utara dan barat berbatasan dengan wilayah Aceh; (2) sebelah timur berbatasan dengan Selat Melaka; (3) sebelah selatan dan tenggara berbatasan dengan daerah Riau; dan (4) sebelah barat berbatasan dengan daerah Tapanuli. Luasnya 94.583 km² atau sekitar 20 % dari luas pulau

Page 78: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Sumatera (Pelzer 1985:71). Di antara daerah Aceh di utara serta Riau di selatan dan tenggara inilah terletak kesultanan-kesultanan Melayu Sumatera Timur.

Sejarah kebudayaan di Sumatera Timur, erat kaitannya dengan saling berinteraksinya antara penduduk setempat dengan pendatang. Dengan keberadaan budaya yang heterogen ini, sampai sekarang, Sumatera Utara tidak memiliki budaya dominan. Mereka berada antara hidup segregatif di satu sisi dan integrasi di sisi lainnya. Para pendatang ini melakukan pola migrasi. Migrasi dapat didefinisikan sebagai gerakan pindah penduduk dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan maksud mencari nafkah atau menetap. Migrasi tersebut ada yang terjadi karena didatangkan oleh seseorang atau suatu lembaga, ada juga yang terjadi berdasarkan kemauan sendiri. Pola migrasi di Sumatera Utara umumnya bermotif ekonomi, yang didukung oleh faktor sosial, separti: berbedanya tingkat kemakmuran antara desa dengan kota, tingkat konsumsi dan produksi rata-rata per kapita di pededesaan lebih rendah dibandingkan di perkotaan, pertumbuhan ekonomi di pedesaan lebih lambat dibandingkan di perkotaan.

Sumatera Utara adalah termasuk ke dalam salah satu daerah tujuan migrasi yang terkenal di Indonesia bahkan kawasan Asia, karena didukung oleh perkembangan ekonominya yang pesat. Daerah ini membutuhkan jumlah tenaga kerja yang relatif banyak, dan membutuhkan pekerja-pekerja yang terampil dan berkemauan keras untuk maju di dalam bidangnya. Para migran pun sadar akan harapan-harapan yang realistik yang dijanjikan di daerah ini. Faktor lain tingginya migrasi ke Sumatera Utara disebabkan oleh faktor budaya majemuk. Orang yang bermigrasi ke wilayah ini dapat langsung membaur dengan kelompok etniknya--tidak harus melebur dalam budaya lain. Latar belakang orang bermigrasi ke Sumatera Utara juga beraneka ragam antara lain, yaitu: mencari kesempatan kerja, pindah kerja, ditugaskan oleh kantor, tertarik dengan kehidupan kota, bosan tinggal di desa, ingin mandiri dari orang tua, ikut orang tua, sekolah, dan sebagainya. Sejak zaman Belanda hingga sekarang imigrasi ke Sumatera Utara terus berlangsung. Sumatera Utara yang heterogen secara etnik, namun jika dikaji secara rasial mereka termasuk ke dalam ras Melayu Tua dan Muda.

Page 79: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Struktur Kekerabatan Etnik Melayu Sumatera Utara Sistem kekerabatan orang Melayu Sumatera Utara, didasarkan kepada

sistem penarikan garis keturunan dari pihak ayah dan ibu sekali gus, yang dalam istilah antropologi disebut dengan bilateral atau parental5. Masing-masing anak wanita atau pria mendapat hak hukum adat yang sama.

Dalam sistem tersebut pembahagian harta pusaka berdasarkan kepada syarak, yang terlebih dahulu mengatur pembagian yang adil terhadap hak syarikat, yaitu harta yang diperoleh bersama dalam pernikahan suami-isteri. Hak syarikat ini tidak mengenal harta bawaan daripada masing-masing pihak.

Selain itu, masyarakat Melayu Sumatera Utara memiliki struktur kekerabatan yang paling khas, yaitu adanya pihak penerima wanita yang disebut dengan anak beru. Struktur ini berkaita erat dengan hubungan perkawinan, yang juga terdapat dalam masyarakat Batak. Dalam masyarakat Karo dikenal dengan rakut sitelu yang terdiri dari: teman satu merga (klen) yang disebut senina, pihak pemberi isteri yang disebut kalimbubu, dan pihak penerima isteri yang disebut anak beru. Dalam masyarakat Batak Toba, pihak keluarga satu marga disebut dongan sabutuha, pihak pemberi isteri disebut hula-hula, dan pihak penerima isteri disebut anak boru. Dalam masyarakat Pakpak-Dairi teman satu merga disebut dengan sibeltek, pihak pemberi isteri disebut puang dan pihak penerima isteri disebut berru. Dalam masyarakat Simalungun teman satu marga disebut sanina, pihak pemberi isteri disebut tondong, dan pihak penerima isteri disebut boru. Dalam masyarakat Mandailing-Angkola pihak satu marga disebut dengan kahanggi, pihak pemberi isteri disebut mora, dan pihak penerima isteri disebut anak boru.

Selain itu ciri khas struktur sosial masyarakat Melayu Sumatera Utara adalah membagi identitas masyarakatnya dalam tiga kategori, yaitu: (a) Melayu asli yang artinya adalah mereka yang nenek moyangnya adalah orang Melayu baik dari Sumatera Utara, Sumatera lainnya seperi Riau,

5Ada sistem lain dalam kebudayaan manusia di dunia ini dalam menarik

garis keturunan. Jika mereka menarik garis keturunan dari pihak ayah saja, maka sistem ini disebut dengan patrilineal atau patriachart. Contohnya adalah masyarakat Nias, Mandailing, Angkola, Batak Toba, Simalungun, Dairi, Karo, Tionghoa, India, dan seterusnya. Sebaliknya jia sebuah masyarakat menarik garis keturunannya dari nasab emak, maka sistem ini disebutd engan matrilineal atau matriachart. Di Nusantara ini, sistem matrilineal yang terkenal terdapat dalam masyarakat Minangkabau di Sumatera, termasuk diasporanya di Negeri Sembilan.

Page 80: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, kalimantan, Semenanjung Malaysia, dan lainnya. (b) Melayu semenda, yaitu mereka yang bukan disebut orang Melayu namun kemudian kawin dengan orang Melayu asli dan menjadi Melayu. (c) Melayu seresam, yaitu rumpun Melayu yang terdiri dari berbagai kelompok etnik seperti Aceh Rayeuk, Pidie, Siemelue, Minangkabau, Banjar, Jawa, Sunda, Batak (Mandainging-Angkola, Pakpak-Dairi, Toba, Simalungun, Karo) yang hidup di kawasan budaya Melayu dan memakai kebudayaan Melayu.

Adapun sistem kekerabatan masyarakat Melayu di Sumatera Utara, berdasarkan kepada hirarki vertikal adalah dimulai dari sebutan yang tertua sampai yang muda:

(1) nini, (2) datu, (3) oyang (moyang), (4) atok (datuk), (5) ayah (bapak, entu), (6) ego (seseorang) (7) anak, (8) cucu, (9) cicit, (10) piut, dan (11) entah-entah.

Kemudian ditarik dalam hirarki horizontal adalah:

(1) saudara satu emak dan ayah, lelaki dan wanita; (2) saudara sekandung, yaitu saudara seibu, laki-laki atau wanita,

lain ayah (ayah tiri); (3) saudara seayah, yaitu saudara laki-laki atau wanita daripada satu

ayah lain ibu (emak tiri); (4) saudara sewali, yaitu ayahnya saling bersaudara; (5) saudara berimpal, yaitu anak daripada makcik, saudara perempuan

ayah; (6) saudara dua kali wali, maksudnya atoknya saling bersaudara; (7) saudara dua kali impal, maksudnya atok lelaki dengan atok

perempuan bersaudara, (8) saudara tiga kali wali, maksudnya moyang laki-lakinya

bersaudara; (9) saudara tiga kali impal, maksudnya moyang laki-laki sama

moyang perempuan bersaudara. Demikian seterusnya empat kali

Page 81: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

wali, lima kali wali, empat kali impal, dan lima kali impal. Sampai tiga kali impal atau tiga wali dihitung alur kerabat yang belum jauh hubungannya.

Dalam sistem kekerabatan etnik Melayu Sumatera Utara dikenal tiga jenis impal, yang menjadi ciri khas orang Melayu di sini. Impal ini juga terdapat dalam masrakat Karo. Adapun impal itu adalah sebagai berikut:

(1) impal larangan, yaitu anak-anak gadis daripada makcik kandung, saudara perempuan ayah. Anak gadis makcik ini tidak boleh kahwin dengan pihak lain tanpa persetujuan daripada impal larangannya. Kalau terjadi, dan impal larangan mengadu kepada raja, maka orang tua si gadis didenda 10 tail atau 16 ringgit. Sebaliknya jika si gadis itu cacat atau buruk sekali rupanya, impal larangan wajib mengahwininya untuk menutup malu si gadis yang tak laku;

(2) impal biasa, yaitu anak laki-laki dari makcik; dan (3) impal langgisan, yaitu anak-anak daripada emak dengan emak yang

bersaudara. Peristilahan-peristilahan kekerabatan lainnya untuk saling menyapa

adalah sebagai berikut: (1) ayah, (2) mak (emak, asal katanya mbai); (3) abang (abah); (4) akak (kakak); (5) uwak, dari kata tua, yaitu saudara ayah atau mak yang lebih tua

umurnya; (6) uda, dari kata muda, yaitu saudara ayah atau mak yang lebih muda

umurnya; (7) uwak ulung, uwak sulung, saudara ayah atau mak yang pertama

baik laki-laki atau perempuan; (8) uwak ngah, uwak tengah, saudara ayah atau emak yang kedua

baik laki-laki atau perempuan; (9) uwak alang atau uwak galang (benteng), saudara ayah atau mak

yang ketiga baik laki-laki atau perempuan; (10) uwak utih, uwak putih, saudara ayah atau mak yang keempat

baik laki-laki atau perempuan; (11) uwak andak, wak pandak, saudara ayah atau mak yang kelima

baik laki-laki atau perempuan; (12) uwak uda, wak muda, saudara ayah atau mak yang keenam baik

laki-laki atau perempuan;

Page 82: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

(13) uwak ucu, wak bungsu, saudara ayah atau mak yang ketujuh baik laki-laki atau perempuan;

(14) wak ulung cik, saudara ayah atau mak yang kelapan baik laki-laki atau perempuan; dilanjutkan ke uwak ngah cik, uwak alang cik, dan seterusnya

Peristilahan kekerabatan lainnya adalah seperti berikut. (1) mentua atau mertua, kedua orang tua isteri; (2) bisan (besan) sebutan antara orang tua isteri terhadap orang tua

sendiri atau sebaliknya; (3) menantu, panggilan kepada suami atau isterinya anak; (4) ipar, suami saudara perempuan atau isteri saudara laki-laki,

demikian juga panggilan pada saudara-saudara mereka; (5) biras, suami atau isteri saudara isteri sendiri. Misalnya Ahmad

berbiras dengan Hamid, karena isteri Ahmad adalah kakak kandung isteri Hamid. Kedua saudara itu dalam keadaan bersaudara kandung. Dapat juga sebaliknya. (6) semerayan (semberayan), yaitu menantu saudara perempuan daripada mertua perempuan;

(6) kemun atau anak kemun, yaitu anak laki-laki atau perempuan daripada saudara-saudar kita;

(7) bundai, yaitu panggilan aluran ibu yang bukan orang bangsawan;

(8) bapak, kata asalnya pak, yang bererti ayah atau entu (ertinya suci), dapat juga dipanggil abah;

(9) emak, berasal daripada kata mak, yang bererti ibu atau bunda, yang melahirkan kita (embai);

(10) abang, yang berasal daripada kata bak atau bah yang ertinya saudara tua laki-laki;

(11) kakak, berasal daripada kata kak, yang berarsaudara tua perempuan;

(12) adik, yang berasal daripada kata dik, ertinya saudara lelaki atau perempuan yang lebih muda;

(13) empuan, ertinya sama dengan isteri, tempat asal anak; (15) laki, yaitu suami.

Dalam kebudayaan Melayu, tingkatan golongan bangsawan itu adalah sebagai berikut: (1) Tengku adalah pemimpin atau guru, baik dalam agama, akhlak, maupun adat-istiadat. Istilah Tengku pada budaya Melayu Sumatera Timur, secara resmi diambil daripada Kerajaan Siak pada tahun 1857.

Page 83: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

(2) Raja, yaitu gelar kebangsawanan yang dibawa dari Inderagiri (Siak), ataupun anak bangsawan daripada daerah Labuhan Batu: Bilah, Panai dan Kota Pinang. Pengertian raja di daerah Melayu tersebut adalah sebagai gelar yang diturunkan secara genealogi, bukan seperti yang diberikan oleh Belanda. Oleh pihak penjajah Belanda, gelar raja itu diberikan baik mereka yang mempunyai wilayah pemerintahan hukum yang luas ataupun hanya mengepalai sebuah kampung kecil saja. Pengertian raja yang diberikan Belanda ini adalah kepala atau ketua.

(3) Wan. Jika seorang wanita Melayu bergelar Tengku kahwin dengan seorang yang bukan Tengku, dengan seseorang daripada golongan bangsawan lain atau masyarakat awam, maka anak-anaknya berhak memakai gelar wan. Anak lelaki keturunan mereka seterusnya dapat memakai gelar ini, sedangkan yang wanita tergantung dengan siapa dia bernikah. Jika martabat suaminya lebih rendah daripada wan, maka gelar ini berubah untuk anaknya, mengikuti gelar suaminya--dan hilang jika kahwin dengan orang kebanyakan.

(4) Datuk. Istilah kebangsawanan datuk ini, awalnya berasal daripada Kesultanan Aceh, baik langsung ataupun melalui perantaraan Wakil Sultan Aceh di Deli. Gelar ini diberikan kepada seseorang yang mempunyai kekuasaan daerah pemerintahan autonomi yang dibatasi oleh dua aliran sungai. Batas-batas ini disebut dengan kedatuan atau kejeruan. Anak-anak lelaki dari datuk dapat menyandang gelar datuk pula. Sultan atau raja dapat pula memberikan gelar datuk kepada seseorang yang dianggap berjasa untuk kerajaan dan bangsanya.

(5) Kaja. Gelar ini dipergunakan oleh anak-anak wanita seorang datuk. Sesuai dengan peralihan zaman, maka penggolongan

kebangsawanan ini tidak lagi dominan dan memberi pengaruh yang luas dalam konteks sosial budaya etnik Melayu di Sumatera Utara, walaupun biasanya golongan bangsawan tetap mempergunakan gelarnya. Kini yang menjadi orientasi kehidupan sebahagian besar etnik Melayu adalah menyerap ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan didasari oleh adat-istiadat Melayu. Struktur sosial inilah yang hedak dipelihara oleh institusi perkahwinan dalam kebdayaan Melayu. Selanjutnya bagaimana proses perkahwinan adat Melayu itu, dihuraikan dalam tulisan berikut ini.\

Tahapan Upacara Perkawinan Melayu Sumatera Utara

Sebelum diuraikan mengenai busana pengantin Melayu, elok pula diuraikan dahulu bagaimana tahapan atau proses-proses perkawinan adat Melayu Sumatera Utara, secara garis besar saja.

Page 84: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Berdasarkan pengamatan lapangan, maka tahapan-tahapan proses perkawinan adat Melayu Sumatera Utara adalah sebagai berikut:

a. Merisik b. Jamu sukut c. Meminang d. Ikat janji e. Menghantar bunga sireh f. Akad Nikah secara agama g. Berinai (terdiri dari iani curi, iani tengah, dan inai besar) h. Berandam atau mandi berhias i. Bersanding di pelaminan j. Makan nasi hadap-hadapan k. Mandi bedimbar l. Mandi selamat, dan m. Meminjam pengantin Demikian sekilas tahapan upacara perkawinan adat Melayu Sumatera

Utara. Lebih rinci lagi keterangan mengenai tahapan-tahapan tersebut di atas, lihat Tengku Lah Husni (1986), Tengku Luckman Sinar (2001), dan Linda Asmita (1995). Yang paling penting dalam konteks penulisan makalah ini, busana pengantin dikenakan pada saat bersanding di pelaminan dan ketika meminjam pengantin di rumah orang tua pengantin lelaki. Busana dalam Kebudayaan Melayu

Pada hikayat-hikayat Melayu lama terdapat deskripsi mengenai pakaian tradisi. Bahwa sejak permulaan Kesultanan Melayu Melaka dan Kesultanan Melayu lainnya, dirasakan tidak lengkap jika seseorang yang memakai baju kebesaran kebangsaan, tidak menggunakan penutup kepala untuk menghadiri sesuatu upacara resmi, misalnya menghadap pembesar negeri ataupun daerah. Bentuk penutup kepala umumnya tidak ditetapkan, tetapi sangat terikat dengan jenis kain sebagai bahan dasar untuk pakaian. Menurut cerita lisan dan rekaman-rekaman lama, sejak zaman kegemilangan Kesultanan Melayu Melaka, rakyat biasa, tanpa mengira bangsa dan agama, diharuskan berpakaian adat untuk dapat menghadap sultan.

Rekaman tentang pakaian dan tekstil Melayu juga dapat dirujuk dari bahan pengembaraan Margaret Brooke dalam buku yang bertajuk My Life in Sarawak (1986); juga Ambrose B. Rathboe (1984); dan Johan Nieuhoff dalam bukunya Voyages & Travels to the East Indies 1653-1670, yang diterbitkan tahun 1876. Penjelasan dari pengembara China juga memberitahu bagaimana orang-orang Melayu berpakaian. Seperti dalam

Page 85: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Kronik Dinasti Ming, menerusi buku yang bertajuk Tong Si Yang Gao jilid 4--dalam buku ini disebutkan, orang-orang Melayu berkain Melayu yang nipis/raja berbaju hijau/wanita berbaju pendek/sapu tangan berwarna-warni (Obaidellah 1986:7). Tradisi pemeliharaan ulat sutera yang begitu bermakna dalam menghasilkan bahan tekstil tenunan bermula daripada Nusantara, seperti yang dijelaskan oleh Chou K’u-fue ketika menulis tentang Kerajaan Kediri di Jawa (1042-1222) dalam kitabnya yang bertajuk Ling-wai-tai-ta (1178), seperti yang dikutip oleh Soekmono: “... rumahnya sangat rapi dan bersih, lantainya dari ubin berwarna hijau dan kuning ... pemeliharaan ulat sutera ... Raja berpakaian sutera (Soekmono 1973:59 seperti juga yang dikutip Siti Zainon Ismail 1997:11-12).

Menurut Siti Zainon Ismail (1997:12) melalui teks sastra sejarah dan hikayat pemerian mengenai tekstil dan busana selalu dihubungkan dengan jenis kain seperti serasah, ainulbanat, bersulam suji, cindai, atau pelangi. Penelasan ini bukan saja penting ditinjau dari aspek penulisan sastra, tetapi dapat dirujuk sebagai sumber etnografi yang telah lama wujud dalam budaya tradisional Melayu.

Menurut Tenas Effendi (2004:3) masyarakat Melayu dikenal sebagai masyarakat yang kaya akan khazanah kebudayaan. Salah satu unsur kebudayaan Melayu adalah tenunan, yang telah berkembang dengan pesat sejalan dengan keperluan masyarakat ramai akan pakaian dan pelbagai keperluan hidup lainnya. Pelbagai motif dan corak (ragi) tenunan dikembangkan seiring dengan aneka fungsi pakaian. Dalam masyarakat Melayu, pakaian tidak semata-mata berfungsi untuk melindungi tubuh daripada panas dan dingin. Lebih dari itu, pakaian berfungsi untuk menutup malu, menjemput budi, menjunjung adat, menolak bala, dan menjunjung bangsa. Selaras dengan fungsi tersebut, pakaian menjadi tak hanya bernilai pragmatik, tetapi lebih-lebih bernilai religius, adat, kultural, etika, dan estetika. Itulah sebabnya dalam budaya Melayu dikenal ungkapan: pantang memakai memandai-mandai. Pakaian Melayu haruslah memiliki kualitas kecantikan seri gunung dan seri pantai, seperti yang terdapat di dalam Hikayat Dewa Mendu. Ini berarti bahwa pakaian haruslah indah dilihat dari jauh dan cantik pula dipandang dari dekat. Selain itu, pakaian haruslah indah dilihat oleh indra mata dan elok dilihat oleh mata batin.

Orang Melayu Melaka telah menggunakan kebijaksanaan mereka untuk mengubah dan mendisai kain empat segi untuk dipakai sebagai penutup kepala. Kini pakaian tengkuluk sering digunakan oleh pengantin lelaki pada saat bertandang dan bersanding di atas pelamin pada hari pertama istiadat perkahwinan dilangsungkan. Semasa bersanding di atas pelaminan mereka

Page 86: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

dianggap sebagai raja (sehari) karena mereka berpakaian lengkap seperti seorang raja yang duduk di atas takhta. Tengkuluk yang dipakai oleh pengantin lelaki pada masa sekarang dihiasi dengan perhiasan untuk menambah gagah penampilannya.

Secara naluriah, manusia senang berlomba-lomba untuk menjaga wajah yang cantik dan jelita terutama sekali kaum wanita. Mereka selalu menghabiskan masa yang panjang menghadap cermin tanpa mengira waktu, baik pagi ataupun sore, sambil berkata-kata di dalam hati, apa lagi yang kurang padaku untuk menarik perhatian jejaka idaman, bagaimana supaya aku senantiasa kelihatan manis dan berseri. Sambil tersenyum, jari-jari mereka mencoba memadankan beberapa pasang perhiasan telinga yang dikenali dengan berbagai nama dan sebutan.

Di sini eloklah kita kaji satu persatu barang-barang hiasan berkenaan dan memperkenalkannya secara dekat kepada mereka yang tidak mempunyai peluang untuk menatap bahan-bahan tinggalan nenek moyang kita. Barang-barang hiasanin berkaitan erat dengan busana pengantin Melayu.

Apabila mendengar perkataan subang kita terus membayangkan bahwa ia adalah perhiasan badan yang ditempatkan di kedua cuping telinga sebagai hiasan. Sebelum seseorang dapat memakai subang, gelinya, atau kerabu, terlebih dahulu mereka menindik lubang di cuping telinga, sebagai tempat untuk mencucukkan hiasan tersebut ke cuping telinga, dan penahannya dikenakan di sebalik cuping. Penahan ini adakalanya mempunyai skru, berpalang-sengkang atau hanya dicangkuk untuk mengelakkannya agar tidak terjatuh waktu dipakai. Proses bertindik dilakukan oleh orang yang arif dan mahir mengenai cara menyucuk jarum di cuping telinga. Pada zaman lampau, pekerjaan ini menggunakan sebatang jarum yang telah dibakar dan dicucukkan ke telinga. Benang kira-kira seinci panjangnya kemudian dimasukkan ke bekas cucukan atau tindikan melalui lubang yang dibuat, dan kedua-dua ujungnya disimpulkan supaya tidak tercabut keluar. Sedikit minyak kelapa muda bercampur kunyit dilangirkan kepada benang tadi supaya tidak melekat pada daging telinga dan supaya lubang tindikan cepat kering dan tidak tertutup.

Selepas kering benang yang diselitkan ke lubang tindikan tadi digunting dan ditanam ke dalam tanah. Setelah benang ditarik keluar, sepasang gelinya bulat dicucukkan ke lubang tersebut sehingga seseorang itu mampu untuk membeli gelinya yang lebih mahal dan yang lebih cantik. Bertindik seperti ini biasanya dilakukan kepada kanak-kanak perempuan yang baru berumur enam tahun. Walau bagaimanapun ada juga yang

Page 87: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

bertindik ketika usianya lebih muda atau lebih lanjut daripada ini. Pada masa ini proses bertindik dapat dilaksanakan di toko-toko emas dengan sebentar saja. Mereka menggunakan alat seperti pistol kecil dan ditembakkan terus pada cuping telinga beserta dengan subangnya sekali tanpa pantang larang atau tanpa risau ia akan melekat, berkudis dan sebagainya.

Disain dan anekacorak bahan hiasan telinga tidak mempunyai batasan. Ia dibuat dengan menggunakan berbagai logam dan batu permata yang berkilauan. Kini bahan-bahan seperti ini terus menjadi idaman setiap wanita Melayu. Tukang emas di pantai timur Malaysia khususnya, telah coba mendisain subang atau anting-anting menurut bentuk lama karena banyak gadis sekarang yang sering mencari-cari bahan dari bentuk lama yang dianggap mempunyai keistimewaan yang tersendiri. Jika dahulu seseorang mempunyai sepasang dua gelinya saja tetapi wanita modern masa kini dapat membeli berpuluh-puluh pasang subang mengikuti mode yang digayakannya setiap hari.

Banyak di antara kita pada masa sekarang tidak mengetahui bagaimana tali pinggang mula diperkenalkan. Manusia pada zaman lampau telah menggunakan akar kayu, rotan dan jerami untuk mengikat cawat, seluar dan kain di pinggang. Lama-kelamaan ia disesuiakan menurut keadaan terkini sehingga bertemu bahan lain sebagai gantinya. Pada zaman kesultanan Melayu Melaka, pokok terap menjadi pokok yang teragung sekali karena kulitnya dapat dibuat menjadi berbagai keperluan busana seperti cawat, tali pinggang, tali busur, tali jerat, pengikat, dan sebagainya. Sebaik saja kain kasa diperkenalkan kepada wanita Melayu, Nyonya, dan India, maka mereka menggunakannya sebagai kain bengkung atau sembelit. Orang Melayu kemudiannya menambahkan kain bengkung ini dengan kepala tali pinggang yang disebut pending. Sebaik saja pending mendapat sambutan masyarakat umum dan peranannya dirasakan, pencipta pending telah memperbaiki sembelit dan bengkung kepada apa yang dipanggil sekarang tali pinggang. Pada mulanya tali pinggang terdiri dari jalinan logam, besi, tembaga, perak dan juga emas yang berantai-rantai dengan disain yang leper dan lebar.

Para ahli disain juga menggunakan duit-duit syiling perak yang dirangkaikan di antara satu sama lain sehingga cukup panjangnya mengelilingi ukuran perut pemakainya. Tali pinggang duit merupakan yang paling istimewa sekali pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Malah ia tetap disukai ramai sehingga sekarang, terutama bagi penduduk di Sabah dan di Sarawak. Wanita Sarawak dan Sabah menggunakan tali pinggang seperti ini

Page 88: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

untuk dipadankan dengan pakaian kebangsaan mereka. Manakala di Semenanjung pula tali pinggang duit hanya popular di Kelantan, Terengganu dan Melaka. Tali pinggang jenis ini masih boleh didapati sekarang tetapi bilangannya sedikit karena kesulitan mendapatkan duit perak.

Ada juga tali pinggang yang ditempah khas dengan menggunakan suasa dan emas; ini bolehlah dikatakan terganggu dan penggunaannya tertumpu di kalangan pembesar negeri yang mampu sahaja. Setakat ini hanya ada beberapa contoh yang dapat diketahui pemiliknya. Sehubungan dengan itu, tali pinggang sekarang telah didisain dengan menggunakan berbagai ragam hias yang menarik dan mampu dibeli oleh orang awam. Tali pinggang juga telah didisain dengan menggunakan berbagai bahan seperti jerami yang disusun dan dianyam indah, kulit binatang yang lembut dan sebagainya. Tali pinggang tradisional kini telah menjadli rebutan para hartawan untuk dijadikan sebagai bahan yang disifatkan sebagai himpunan harta karena tali pinggang perak dan emas mahal harganya dan boleh digunakan sebagai cagaran. Demikin sekilas busana dalam konteks tradisi Melayu.

Mengikut Tenas Effendi (2004:5-6) sejarah perkembangan tenunan Melayu Riau berjalan seiring dengan kebesaran dan kejayaan kerajaan Melayu pada masa lampau. Semasa kerajaan Melayu masih bernama Kerajaan Johor-Riau dan Riau-Johor, sebagai kelanjutan daripada Kerajaan Melayu Melaka yang jatuh ke dalam kekuasaan Portugis tahun 1511, budaya bertenun di kawasan ini sudah tumbuh dengan suburnya. Nama kerajaan Melayu berubah-ubah selaras dengan berpindah-pindahnya pusat kerajaan. Pada masa kerajaan Melayu dipusatkan di Johor, nama yang dipakai adalah Kerajaan Melayu Johor-Riau. Begitu pusat kerajaan dipindah ke Riau Bintan, kerajaan ini disebut dengan Kerajaan Melayu Riau-Johor. Masa Kerajaan Melayu Johor-Riau atau Riau-Johor adalah antara 1511-1787. Tahun 1787 Sultan Mahmud Syah III memindahkan pusat kerajaan Melayu ke Daik, Lingga. Sejak itu kerajaan Melayu berubah nama menjadi Kerajaan Melayu Lingga-Riau atau Kerajaan Riau-Lingga (1824-1913). Perubahan-perubahan nama dan pemindahan pusat kerajaan Melayu di Riau, tidak banyak mempengaruhi tradisi bertenun dalam masyarakatnya. Namun kain tenunan songket dan busana yang berteras kepada budaya Melayu menjadi bahagian penting dalam adat-istiadat kerajaan.

Lebih jauh menurut Tenas Effendy (2004:6) di daratan pulau Sumatera, aktivitas bertenun berkembang sejalan dengan kebesaran kerajaan-kerajaan Melayu daratan seperti Kerajaan Pelalawan (1530-1879), Kerajaan

Page 89: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Inderagiri (1658-1838) dan Kerajaan Siak Sri Inderapura (1723-1858). Pada masa-masa ini kegiatan bertenun dalam masyarakat Melayu berlangsung dengan semarak. Selain bukti-bukti tertulis yang tertuang dalam buku-buku sejarah dan karya sastera, artifak berupa kain lama masih dijumpai sampai kini. Di Daik Lingga sahaja, dalam simpanan Said Abdul Kain tertua dalam koleksi pribadi masyarakat adalah kain bercual kepala dua benang emas, yang dibuat pada abad ke-17, semasa Kerajaan Melayu Johor-Riau. Selain itu ditemukan juga tenunan lama di Daik Lingga seperti:

(b) kain telepuk yang dibuat tahun 1700; (c) tenunan kain tengarun dibuat tahun 1850; (d) kain asam kelayang dibuat tahun 1850; (e) kain sutera merah yang dibuat tahun 1857; (f) kain empat dibuat tahun 1900; (g) tenunan kain batik lasam dibuat tahun 1900; (h) kain berantai yang tak diketahui tahun pembuatannya; (i) kain Bugis dibuat tahun 1900.

Selain itu ditemukan juga kain sarng di Daik Lingga: (j) kain tudung dibuat tahun 1755; (k) tenunan baju jubah pengantin, dibuat tahun 1790; (l) tampuk songkok kaligrafi dibuat tahun 1857; (m) tampuk bantal seraga dibuat tahun 1879; (n) tenunan baju gransut; (o) tenunan kain tudung untuk berkhatam; (p) kain tutup keranda; (q) seluar dalam perempuan.

Sampai saat ini tenunan Melayu Riau yang masih bertahan adalah tenunan Siak. Sesuai dengan namanya, tenunan Siak berasal dari Siak Sri Inderapura. Kerajinan tenunan Siak mulai dikenal orang pada tahun 1800 Masehi. Pada masa itu Kerajaan Siak Sri Inderapura berada di bawah kepimpinan Sultan Saidis Syarief Ali Abdul Jalin Syaifuddin. Perintis kerajinan tenun Siak waktu itu Encik Siti binti E. Wan Karim yang berasal dari Terengganu.

Songket adalah salah satu daripada unsur busana Melayu tradisional. Secara sosiobudaya songket ini dipergunakan dalam berbagai keperluan orang Melayu. Secara lebih dalam pula, songket memiliki fungsi-fungsi sosial.

Page 90: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Songket sebagai Busana Pengantin

Busana pengantin adalah sesuatu masalah yang penting pada upacara perkawinan. Busana pengantin tradisional Melayu Sumatera Timur (termasuk Batubara), umumnya sama dengan busana pengantin Melayu di berbagai tempat. Yang membedakannya hanyalah dalam ciri-ciri khas. Bagi mempelai wanita busana yang dipakai adalah: baju kebaya atau baju kurung dan kainnya, sanggul, kasut, songket, dan perhiasan-perhiasan seperti rantai, gelang, kolar dan tali pinggang.

Baju kebaya dipakai oleh pengantin wanita Melayu. Ada dua pendapat yang mengemukakan tentang asal-usul baju kebaya. Pertama yang mengatakan bahwa kebaya itu berasal dari perkataan Arab habaya yang bermaksud pakaian labuh yang berbelah di hadapan. Kedua yang mengatakan bahwa pakaian seperti ini dibawa oleh Portugis ke Melaka. Oleh sebab itulah kebaya telah lama dipakai di Melaka dan Dunia Melayu; bukan saja oleh wanita Melayu tetapi juga oleh wanita China Peranakan (Baba) dengan sedikit perbedaan dalam potongan dan gaya memakainya (laman web Muzium Negeri Melaka, disimpan 2006).

Baju kebaya awalnya didisain sampai ke paras lutut ataupun lebih ke bawah lagi. Tangannya panjang dan lebar. Bahagian badannya mengikut potongan badan dan melebar ke bawah bermula dari bahagian punggung. Bagian hadapannya berbelah dan berkolar sampai ke kaki baju. Bahagian yang berbelah ini disemat dengan tiga kerongsang berasingan atau yang berangkai dengan rantai halus. Kerongsang ini dikenal sebagai ibu dan anak kerongsang. Kerongsang yang besar dan di atas sekali dipanggil ibu dan dua lagi yang kecil dan dipakai bawah kerongsang ibu disebut anak (laman web Muzium Negeri Melaka, disimpan 2006).

Dalam Dunia Melayu kebaya memiliki berbagai gaya. Contohnya di Selangor, kebayanya tidak berkolar. Di Perak pula lengan kebayanya sangat lebar berbanding dengan kebaya di negeri-negeri yang lain. Di Pahang baju kebayanya yang dikenali sebagai baju Riau Pahang mempunyai leher berkolar dan berkancing seperti baju kurung cekak musang tetapi bahagian hadapannya juga berbelah seperti baju kebaya yang lain; malah turut dipasangkan kerongsang di bawah kancingnya yang berbutang itu.

Baju kebaya sesuai untuk pakaian harian dan juga pakaian pengantin. Bagi pakaian harian, baju kebaya sesuai diperbuat daripada kain kapas dan baldu atau sutera (bagi yang berada) dan dipadankan dengan kain sarung. Selendang hanya dikenakan apabila keluar rumah. Bagi pengantin pula, baju

Page 91: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

kebayanya diperbuat daripada songket dan sepasang dengan kain sarungnya. Selendangnya juga dibuat dari songket.

Selain itu kadangkala juga pengantin perempuan memakai baju kurung. Baju kurung cekak musang adalah sama dengan baju kurung teluk belanga kecuali pada bahagian lehernya. Leher baju kurung cekak musang ada kolar. Kolar tersebut hanya selebar satu jari dan kedudukannya menegak. Pada bahagian hadapan kolar ada bukaan panjang yang berkancing. Biasanya ada satu kancing pada kolar dan dua atau tiga lagi kancing pada bukaannya. Butang emas atau emas berbatu permata digunakan sebagai pengancingnya. Kancing yang paling terkenal ialah kancing emas yang dipanggil garam sebuku dan kancing berbatu permata yang dikenali sebagai kunang-kunang sekebun.

Baju kurung cekak musang wanita boleh dipakai dengan seluar atau kain sarung. Seluar yang selalu digunakan ialah kain seluar panjang, seluar panjang dan seluar bambu. Jika mahu, samping dan selendang juga boleh dipakai bersama. Baju kurung cekak musang lelaki pula dipakai dengan seluar dan bersamping (kain samping). Lebih baik lagi apabila bertanjak atau bersongkok.

Sementara itu pakaian pengantin laki-laki terdiri dari baju gunting China dengan celana longgar. Ditambah destar, yaitu kain yang dilapisi kain keras dan dihiasi manik-manik, dengan berbagai bentuk diikat di kepala. Ditambah sesamping atau kain samping terbuat dari songket atau pelekat yang diikatkan di pinggang dengan lipatan berbagai macam bentuk pula. Panjangnya sampai ke atas lutut, tidak sampai mata kaki.

Konsep-konsep, aktiviti, dan artifak budaya tersebut menjadi bagian dari budaya tenunan songket, termasuk di Batubara. Berikutnya kita kaji budaya tenunan songket Batubara. Selain digunakan untuk busana pengantin Melayu, di Sumatera Utara songket juga digunakan untuk pakaian pengantin etnik Karo, Batak Toba, Simalungun, Mandailing-Angkola, dan lainnya. Dalam kebudayaan Karo menurut penjelasan dari Perikuten Tarigan (wawancara 11 Januari 2008), terdiri dari pakaian pengantin perempuan dan pakaian pengantin laki-laki.

Page 92: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Gambar 1: Pakaian Pengantin Melayu Sumatera Timur Menggunakan Bahan Songket Batubara

Page 93: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Gambar 2. Pengantin Duduk Memegang Sirih Genggam

Gambar 3: Contoh Busana Pengantin Adat Melayu Deli

Page 94: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Gambar 4: Contoh Busana Pengantin Adat Melayu Batubara

Gambar 5: Pakaian Adat Melayu untuk Jemputan Perkawinan

Page 95: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Gambar 6: Pakaian Adat Melayu Kesultanan Deli

Norma Berbusana Pengantin Melayu Sumatera Utara

Untuk membahas bahagian ini, penulis menggunakan konsep etnosains dari empat narasumber, yaitu (a) Tengku Syahdan bin Tengku Abdul Aziz, seorang ketua penghulu telangkai Sumatera Utara yang cukup berpengalaman; (b) Ibrahim bin Ahmad, seorang pelaku budaya, sebagai penyanyi, disainer busana, dan seniman Melayu Sumatera Utara, (c) Ibu Hajjah Kartni (suku Jawa), sebagai bidang pengantin semua etnik seperti Jawa, melayu, Minangkabau, Mandailing, Toba, dan lain-lainnya. Ia adalah seorang Jawa kelahiran Tanah Deli yang lazim disebut dengan Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera). (d) Tengku Luckman Sinar, khususnya melalui tulisannya yang bertajuk Adat Perkawinan dan Tatarias Pengantin Melayu (2001). Ia cukup dikenal luas dalam Dunia Melayu sebagai tokoh adat, sultan Serdang, penulis budaya, budayawan, seniman dan lainnya.

Menurut Tengku Syahdan dalam wawancara 22 Mei 2009 lalu, pakaian adat Melayu terdiri dari untuk laki-laki adalah teluk belanga atau gunting China, seluar, kain samping, alas kaki (boleh selop atau sepatu), tutup kepala dengan berabagai jenis seperti tengkuluk dan peci. Khas untuk upacara perkawinan biasanya adalah selain menggunakan tengkuluk juga menggunakan destar (detar) khas Sumatera Utara.

Page 96: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Gambar 8: Tengku Syahdan bin Abdul Aziz, Informan

Gambar 8: Ibrahim bin Ahmad, Informan

Yang penting menurutnya dalam memaki pakaian adat Melayu termasuk pakaian pengantin adalah sesuai dengan ajaran adat di kawasan ini.

Menyepak bola yang bulat, Jangan terlalu keras sangat,

Page 97: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Kita memang memakai adat, Tetapi adat yang tidak ketat. Berdendang anak di padang rebah, Suaranya sampai membelah angkasa,

Sekali datangnya air bah, Sekali pula tepian berubah. Anak China jadi sahabat, Akhirnya ia menjadi kerabat, Hidup di dunia selalu sehat, Bekal untuk menuju hari akhirat (Sumber lisan: Tengku Syahdan bin Abdul Aziz, 2009) Dari ajaran adat tersebut, menurutnya agak sedikit berbeda dengan cara

berbusana di dalam kebudayaan Melayu Riau, bahwa cara berbusana di Sumatera Utara menurutnya lebih bebas dari aturan-aturan adat. Misalnya kepala kain lelaki atau perempuan boleh di belakang. Perempuan pula selalu memakai kain dengan kepala kain di depan, tetapi tidaklah menunjukkan ia gadis, anak dara, atau isteri suaminya, seperti yang diacu di Riau. Begitu pula dengan memakai kain samping kalau telah berkeluarga mesti sekian jari di bawah lutut, jika masih lajang sekian jari di atas lutut. Mengikut penjelasannya, adab kesopanan Melayu Sumatera Utara yidak mengatur secara rinci mengenai hal itu. Yang penting adalah sekitar wilayah lutut, tak labuh benar, dan tak ke atas paha benar, yang penting sopan dalam pandangan umum saja.

Lebih lanjut menurutnya pakaian adat Melayu Sumatera Utara terbuat dari bahan songket. Biasanya songket Batubara atau Palembang. Songket ini digunakan untuk tengkuluk, baju, kain samping, dan seluar, untuk pengantin ellaki. Sementara untuk wanita digunakan untuk baju dan kain.

Warna pakaian adat Melayu yang digunakan, masa kesultanan dulu adalah sultan memakai warna kuning, anak sultan memakai warna hitam, hulubalang dan kaum adat menggunakan warna hijau, dan para alim ulama menggunakan warna putih. Rajyat awam menggunakan warna selain warna dimaksud.

Perkara pengantin lelaki dijulang atau berjalan biasa, itu adalah tergantung dari keinginan pengantin lelaki dan keluarganya. Kalau dijulang (ditandu) itu menunjukkan bahwa ia adalah raja di hari itu, memiliki kekuasaan dan memiliki orang yang siap memberinya kehormatan. Di

Page 98: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

samping itu, sebagai pengantin ia diharapkan tidak akan terpijak tanah yang kotor. Yang penting ada orang yang siap menjulang dan kuat untuk menjulangnya.

Lipatan kain sesamping juga bermacam-macam, sesuai keahlian dan selera estetika penggunanya. Namun yang lazim di sini, bunga lipatan adalah di sebelah kanan. Namun masa sekarang ini, banyak juga lipatan dan bunga yang disimpul di sebelah kiri. Ini juga tak menyalahi adat, hanya faktor kebiasaan saja.

Mengapa masyarakat Melayu Sumatera Utara lebih bebas memakai busana adat dan pengantin dibandingkan dengan di Riau, menurut penulis tak terlepas juga dari struktur sosial masyarakat Melayu Sumatera itu sendiri. Sejah 1946 ketika terjadi revolusi sosial, maka institusi kerajaan telah hilang, sehingga ini mengakibatkan kurangnya daya paksa adat oleh kerajaan atau oleh lembaga adat. Kedua, komposisi orangMelayu sendiri juga campuran antara puak Melayu di kawasan ini, yang masih baru masuk Melayu tentu saja kurang memahami adat istiadat secara rinci termasuk berbusana. Mungkin demikian menurut pendapat penulis.

Menurut penjelasan informan penulis Ibrahim bin Ahmad (61 tahun) dalam wawancara tanggal 22 Mei yang baru lalu, busana yang dikenakan pengantin Melayu berkaitan erat dengan adat yang digunakan dan sejarah yang diharunginya. Menurutnya busana pengantin Melayu zaman dahulu, bahannya disesuaikan dengan perkembangan masa itu iaitu terbuat dari benang kapas, ditenun secara tradisional, dan warnanya juga terbatas. Selepas ditemukan teknologi benang emas dan perak yang diimpor dari China, India, dan Jepang maka orang Melayu menggunakannya untuk pakaian pengantin.

Menurut penjelasan beliau pula, pada masa kesultanan-kesultanan di Sumatera Timur, warna kuning hanya diperkenankan dipakai oleh sultan, maka selepas revolusi sosial 1946, pengantin pun berhak memakai warna kuning untuk busananya. Dengan alasan tak ada lagi intitusi kesultanan, dan pengantin pun dipandang sebagai raja dan ratu sehari, artinya hanya dikenakan pada saat ebrsanding di pelaminan. Sementara warna-warna lain bebas memakainya.

Ketika penulis tanyakan tentang apa bedanya antara penggunaan tengkuluk dan destar atau detar, maka jawabannya adalah kalau pengantin pria memakai tengkuluk maka ia hanya diiringi oleh perarakan yang terdiri dari anggota keluarga dan orang-orang bawaannya. Jika memakai destar, maka ia secara adat wajib dijulang atau ditandu di atas kursi tandu, oleh orang-orang yang secara kerabat berada di bawahnya bukan di atasnya.

Page 99: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Misalnya adik lelakinya, kemenakannya, temannya, dan sejenisnya. Setelah acara tepung tawar usai, biasanya destar ini diganti dengan tengkuluk. Demikian mengikut adat Melayu.

Pelaminan Melayu pula menurut penjelasan beliau biasanya dalam posisi di atas lantai dengan jumlah anak tangga 3, 5, 7 dan seterusnya, disesuaikan dengan peringkat kebangsawanan. Pelaminan ini adalah lambang dari rumah tangga yang akan dibina. Pelamin juga adalah bagian dari alam makro dan mikro dalam budaya Melayu.

Menurut penjelasannya pula penjahit-penjahit busana pengantin di Medan ini tak begitu banyak lagi. Yang tetap terus berkativitas hingga hari ini adalh Penjahit Mama di Kota Medan yang cukup ternama di kalangan orang Melayu dalam menjahit busana adat dan pengantin Melayu.

Cara pakai kain samping agak sedikit berbeda dengan di Riau. Kalau di Riau seorang lelaki yang telah berumah tangga, mengenakan kain samping mestilah lima jari di bawah lutut. Kalu di Sumatera Utara pemakaian seperti ini menandakan ia adalah rakyat kebanyakan. Sedang kalau memakai kain samping satu atau dua jari di atas lutut menurutnya adalah keturunan bangsawan (tengku, datuk, orang kaya, raja, dan lainnya). Kepala kain untuk lelaki mestilah di belakang dan untuk perempuan di depan. Tidak seperti di Riau jika kepala kain di sisi terentu menandakan ia anak dara, isteri orang, atau janda (balu), maka kalau di Sumatera Utara, tanda ini terdapat dari pemakain bunga kenanga di sanggul.

Pakaian Melayu Sumatera Utara, memang lazimnya terbuat dari bahan songket. Songket ini biasanya dibeli dari Batubara, Palembang, Terengganu atau lain-lain tempat di kawasan budaya Melayu. Songket dipandang memiliki nilai-nilai budaya dan ritual, terutama ketika dipakai sebagai busana pengantin.

Sebelum pengantin bersanding, ada upacara yang disebut malam berinai, yaitu memberikan iani di kuku-kuku jari tangan dan kaki calon mempelai pria dan wanita di rumahnya masing-masing. Menurut penjelasan Ibrahim bin Ahmad, zaman dahulu para mak andam (bidan pengantin) Melayu selalu membaca doa tertentu agar pada saat bersanding kedua-duanya menyerikan kecantikan dan kegagahannya sebagai pengantin. Orang ramai pun terkesima melihat keduanya yang elok, cantik, manis, gagah, tampan, dan seterusnya dengan seizin Allah. Doa ini adalah dalam bahasa Arab dan Melayu. Namun ketika penulis kejar pertanyaan, bagaimana doa itu, ia menjawab tidak begitu tahu, namun ada mak andam yang lebih tahu.

Menurut penjelasan beliau lebih lanjut, zaman dahulu make-up memakai bahan-bahan natural. Misalnya untuk memerahkan bibir pengantin

Page 100: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

wanita digunakan sirih. Sekarang sudah memakai kosmetik modern. Untuk menambah serinya pengantin, maka bulu-bulu kecil di wajah dicukur dengan pisau cukur.

Adapun dalam aktivitasnya, baju pengantin Melayu juga haruslah mengikuti aturan-aturan yang diterapkan oleh adat Melayu. Aturan itu adalah tidak tipis, tidak ketat, dan menutupi aurat. Yang penting juga diperhatikan adalah keindahan dalam memakainya.

Menurut Hajjah Kartini, sebagai bidan pengantin yang berpengalaman, ia mendapatkan ilmu tentang busana adat dan pengantin Melayu ini melalui kursus yang diselenggarakan oleh pemerintah. Mereka para bidan pengantin ini memiliki orgnisasi yang disebut dengan HARTI (Himpunan Ahli Rias dan Pengantin Indonesia) Melati. Ia tinggal di alan Sidodadi, Krakatau, Kota Medan. Sebagai orang Jawa Sumatera Utara, ia diajarkan oleh orang tuanya untuk hidup menyatu dengan kebudayaan Sumatera ini. Untuk itu ia pun mempelajari tatacara dan budaya busana adat dan pengantin Melayu juga. Kini organisasi bidan pengantin tersebut memecah diri menjadi KATELIA.

Dalam organisasi tersebut saat kursus, mereka dipandu untuk menggunakan busana Melayu dengan menggunakan kain songket Batubara, dan terutama yang berwarna kuning saja. Pakaian pengantin lelaki umumnya menggunakan tengkuluk, meskipun ereka juga faham adanya destar. Selama ini ia menggunakan tengkuluk untuk para pengantin yang menyewa jasa mereka. Sanggul juga menggunakan sanggul biasa atau sanggul tegang, namun disisipkan pada sanggul pengantin wanita itu bunga ros biasanya berwarna merah. Pelaminan miliknya bisa didisain untuk tiga, lima, sampai tujuh anak tangga. Biasanya keluarga raja lah yang menggunakan tujuh tangga. Lima untuk kelas wan, datuk, orang kaya, dan sederajatnya. Orang awam biasanya menggunakan tiga anak tangga pelaminan.

Hajjah Kartini juga memahami norma-norma berpakaian Melayu dari membaca dan berkenalan dengan sesama mak bidan pengantin orang-orang Melayu. Ia terus menimba ilmu dari semua etnik yang ada di Sumatera Utara. Norma-norma berpakian itu termasuk cara melipat, cara merias wajah, cara mencukur bulu-bulu halus di wajah, membuat sanggul tegang, dan lain-lainnya.

Dengan demikian di antara tig informan itu diperoleh kesimpulan bahwa, secara umum busana adat dan pengantin Melayu Sumatera Utara adalah emncerminkan adat bersendikan syarak—sayarak bersendikan kitabullah. Banyak makna-makna falsafah terkandung di dalamnya. Namun

Page 101: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

agak berbeda dengan di kawasan Riau, cara memakai pakaian ini agak lebih “lentur.”

Informan lainnya, yaitu Tengku Luckman Sinar mengemukakan bahwa aturan busana pengantin Melayu Sumatera Utara adalah seperti berikut: (a) Bahan dasar busana terbuat dari songket (Batubara, Palembang,

Terengganu atau yang lainnya. (b) Bahan dasar busana disesuaikan dengan selera dan citarasa pengantin,

baik warna, bahan dasar (benang satu, dua, dan tiga). (c) Warna songket bebas (boleh warna kuning juga) dipilih. (d) Kepala kain untuk kain samping lelaki di belakang, wanita di depan. (e) Warna baju lelaki dan wanita disesuaikan atau disamakan dengan warna

kain. (f) Baju kebaya harus labuh di bawah lutut pengantin perempuan. (g) Kasut depan tertutup, sehingga jari-jari kaki tak nampak, dan warnanya

diselaraskan dengan busana bahagian atas. Asesori atau perhiasan tambahan untuk busana pengantin perempuan Melayu Sumatera Utara adalah sebagai berikut: (h) Rantai mastura dari berlian dipasangkan di leher, (i) Rantai serati panjang setengah dada, (j) Rantai panjang sekitar dua puluh sentimeter dari pinggang, (k) Anting-anting di telinga, panjang beruntai dari berlian, (l) Gelang berlian di kiri dan kanan, (m) Gelang kaki bermotif khas budaya Melayu, (n) Cincin berlian di jari manis kiri, (o) Kecak tangan, dan sebagainya (Luckman Sinar 2001:34).

Selain busana, perlengkapan lain dalam upacara perkawinan adat Melayu Sumatera Utara terdiri dari tepak sirih, ramuan tepung tawar, balai, dan ramuan. Tepak sirih yang digunakan untuk merisik terdiri dari sirih, kacu atau gambir, pinang yang dibelah, kapur, dan tembakau. Ini adalah perlengkapan adat yang mesti ada dalam upacara merisik dan meminang.

Page 102: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Gambar 6: Persandingan di Pelaminan antara Tengku Mahmud (Pangeran Bedagai)

dengan Tengku Chairul Bariah binti Sultan Husinsyah Asahan tahun 1911

Sumber: Luckman Sinar (2001:30)

Gambar 7: Destar atau Detar Tutup Kepala Pengantin Lelaki

Sumber: Luckman Sinar (2001:33)

Perlengakapan Lain

Perlengkapan lain dalam upacara perkawinan Melayu Sumatera Utara adalah ramuan tepung tawar yang berfungsi untuk memberikan semangat

Page 103: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

dan kekuatan spiritual kepada kedua mempelai. Adapun perlengkapan tepung tawar terdiri dari kelompok ramuan penabur yaitu berupa: beras putih, beras kuning, bertih, bunga rampai, dan tepung yang terbuat dari beras. Biasnya diletakkan di atas pahar atau dulang. Makna falsafah yang terkadung di dalamnya adalah beras putih melambangkan kesuburan, beras kuning melambangkan masa depan yang lebih baik, bunga rampai pula melambangkan keharuman nama yang mendapat tepung tawar, dan tepung beras adalah melambangkan kebersihan hati, menjaga hubungan sosial, dan tak mencelakai orang lain. Kelompok kedua adalah ramuan perinjis, yang terdiri dari semangkuk air putih dan dicampur dengan satu jeruk (limau) purut yang diiris-iris. Ramuan ini dicampur dengan tujuh dedaunan, yaitu: (1) daun kalinjuhang atau silinjuhang, yang dipandang memiliki kekuatan ghaib, (2) daun pepulut, melambangkan sifatnya yang mudah melekat; (3) daun ganda rusa yang melambangkan perisai penangkal gangguan-gangguan alam ghaib; (4) daun jejerun yang melambangkan kesinambungan hidup; (6) daun sepenuh yang melambangkan rezeki yang melimpah; (7) daun sedingin yang melambangankesejukan, ketenangan, dan kesehatan); dan (8) pohon sembau beserta akarnya sebagai lambang pertahanan karena akarnya susah dicabut. Perlengkapan lain dalam tepung tawar ini adalah perdupaan, yang terdiri dari kemenyan atau setanggi yang dibakar.

Balai atau pulut balai adalah ketan yang telah dimasaj, bertingkat tiga sampai tujuh. Setiap tingkat isinya pulut kuning sebagai lambang kesuburan dan kemuliaan, di tingkat paling atas diletakkan seekor ayam panggang yang memiliki nilai falsafah pengorbanan. Di setiap tingkatannya dicucukkan bunga telur. Bunga telur ini selesai upacara tepung tawar dibagi-bagikan kepada pengunjung terutama yang menepungtawari atau anggota bnarzanji dan marhaban. Kesimpulan

Setelah diuraiakn secara panjang lebar busana pengantin dan adat Melayu dalam konteks masyarakat, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. Bahwa busana pengantin Melayu Sumatera Utara adalah cerminan kebudayaan secara umum. Selain itu busan ini juga mencerminkan berbagai faktor sosial, seperti struktur kekerabatan, kemasyarakatan, makna, hubungan darah, varian budaya dan seterusnya. Busana pengantin Melayu Sumatera Utara memiliki nilai-nilai dan norma-norma budaya yang dipelihara terus menerus oleh masyarakatnya. Sebagai pakaian resmi dalam upacara, maka busana pengantin biasanya diciptakan dengan bahan-bahan terbaik dan gaya yang estetik dengan mengacu kepada sistem adat bersendi

Page 104: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

syarak, syarak bersendi kitabullah. Di dalamnya mengandung banyak makna yang boleh ditafsirkan sesuai dengan landasan peradaban.

Busana pengantin sendiri dikenakan hanya pada masa persandingan pada upacara peresmian pernikahan dan ketika meminjam pengantin di rumah pihak pengantin lelaki. Adapun tahapan upacara perkawinan Melayu secara garis besar adalah sebagai berikut: merisik, jamu sukut, meminang, ikat janji, menghantar bunga sireh, akad nikah secara agama, berinai, berandam atau mandi berhias, bersanding di pelaminan, makan nasi hadap-hadapan, mandi bedimbar, mandi selamat, dan meminjam pengantin.

Busana memiliki peran dan fungsi sosial. Ia adalah perwujudan sistem nilai, yang diraspi dan dihayati oleh orang Melayu. Dalam busana pengantin terkandung falsafah yang bermakna dalam. Dengan demikian busana memainkan peranan utama dalam upacara perkawinan. Semoga busana pengantin Melayu tetap lestari dan dicintai semua generasi, terutama generai muda. Wassalam. Daftar Pustaka Blagden, C.O., 1899. "The Name Melayu", Journal of the Straits Branch of the

Royal Asiatic Society. Borhan, Zainal Abidin, 2004. “Pandangan dan Visi Pertubuhan Bukan Kerajaan

terhadap Permasalahan Bangsa dan Kebudayaan Melayu Mutakhir, 10-13 September, sempena Kongres Kebudayaan Melayu di Johor Bahru.

Hall, D.G.E., 1968. A History of South-East Asia. St. Martin Press, New York. Hill, A.H., 1968. "The Coming of Islam to North Sumatra," Journal of Southeast

Asian History, 4(1). Kadir, Wan Abdul, 1988. Budaya Popular dalam Masyarakat Melayu Bandaran.

Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Narrol,R., 1965. "Ethnic Unit Classification," Current Anthropology, volume 5,

No. 4. Sheppard, Mubin, 1972. Taman Indera: Malay Decorative Arts and Pastimes.

London: Oxford University Press. Sinar, Tengku Luckman, 1971. Sari Sejarah Serdang. Medan: t.p. Sinar, Tengku Luckman, 1990. Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Melayu.

Medan: Perwira. Sinar, Tengku Luckman, 1994. Jatidiri Melayu. Medan: Majlis Adat Budaya

Melayu Indonesia. Sinar, Tengku, 2001. Adat Perkawinan dan Tatarias Pengantin Melayu. Medan:

MABMI. Swettenham, F.A., 1895. Malay Sketches. London: t.p. Wilkinson, R.J., 1959. A Malay-English Dictioary (Romanised). London:

Macmillan.

Page 105: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

Yoshiyuki, Tsurumi, 1981. Malaka Monogatari: Sebuah Kisah di Melaka. Tokyo: Jiji Tsuushinsa.

Daftar Informan 1. Nama : Hajjah Ratna binti Abdul Thalib Umur : 49 tahun Pekerjaan : Ketua pengrajin tenun songket Yusra Alamat rumah : Desa Padang Genting, Kecamatan Talawi, Batubara. 2. Nama : Zuraidah binti Abdullah Umur : 42 tahun Pekerjaan : Ketua pengrajin tenun songket Alamat rumah : Desa Padang Genting, Dusun IV, Kecamatan Talawi, Batubara. 3. Nama : Asmah binti Aiyub Umur : 47 tahun Pekerjaan : Ketua pengrajin tenun songket Alamat rumah : Desa Padang Genting, Kecamatan Talawi, Batubara. 4. Nama : Wan Sahib bin Wan Adnan Umur : 52 tahun Pekerjaan : Ketua pengrajin tenun songket Alamat rumah : Desa Padang Genting, Kecamatan Talawi, Batubara. 5. Nama : Suhaimi bin Tajuddin Umur : 38 tahun Pekerjaan : Sekretaris Desa Padang Genting Alamat rumah : Desa Padang Genting, Kecamatan Talawi, Batubara. 6. Nama : H. Yusufuddin bin Noer Umur : 51 tahun Pekerjaan : Polis Pengaman Laut Indonesia Alamat rumah : Desa Padang Genting, Kecamatan Talawi, Batubara. 7. Nama : Tengku Syahdan bin Tengku Abdul Aziz Umur : 74 tahun Pekerjaan : Ketua Telangkai Sumatera Utara Alamat rumah : Jalan Yos Sudarso, Medan Glugur

Page 106: Etnomusikologi Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721 ... · memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri

8. Nama : Encik Tairani binti Suhaimi Umur : 71 tahun Pekerjaan : bidan pengantin Alamat rumah : Desa Batang Kuis Pekan, Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang. 9. Nama : Ibrahim bin Ahmad Umur : 61 tahun Pekerjaan : pelaku budaya Melayu(penyanyi, ahli disain pakaian, dll.) Alamat rumah : Medan 10. Nama : Hajjah Kartini Umur : 63 tahun Pekerjaan : Bidan Pengantin Alamat rumah : Jalan Sidodadi, Krakatau, Medan, Provinsi Sumatera Utara,Indonesia. Tentang Penulis

Fadlin atau nama lengkapnya Fadlin bin Muhammad Dja’far, adalah seorang dosen di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Dilahirkan di Medan tanggal 20 Februari 1961. Menamatkan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas di Kota Tebingtinggi. Tahun 1980 masuk menjadi mahasiswa Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara dan menamatkannya tahun 1988. Setelah itu ia diangkat menjadi dosen di Jurusan Etnomusikologi FS USU, dan kemudian menjabat sekretaris Jurusan tahun 1990 sampai 1999. Ia juga menjadi ketua Lembaga Kesenian USU, dan aktif melakukan kajian dan pertunjukan kesenian. Kini sedang mengikuti pendidikan master di Akademi Pengajian Melayu Jabatan Sosiobudaya Melayu, University Malaya Kuala Lumpur Malaysia sedang menulis tesis dengan tema songket Batubara, e-mail: fadlindjafar@ yahoo.com.