estetika gadis pantai.docx

33
KATA PENGANTAR Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan analisis pendekatan estetika novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer ini tepat pada waktunya. Analisis ini mengarah pada analisis struktural dan feminis. Dalam penyusunan analisis ini, saya berharap karya-karya sastra Indonesia dapat lebih dipahami dan dapat lebih diminati di kalangan luas karena novel ini beraliran realisme yang berisi kejadian nyata dan kejadian-kejadian sehari-hari. Saya berharap tugas ini dapat diterima. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian. Bogor, 30 Oktober 2013 Penulis 2

Upload: diamond101190

Post on 25-Oct-2015

206 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

inten

TRANSCRIPT

Page 1: ESTETIKA GADIS PANTAI.docx

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat

limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan analisis pendekatan

estetika novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer ini tepat pada waktunya. Analisis

ini mengarah pada analisis struktural dan feminis.

Dalam penyusunan analisis ini, saya berharap karya-karya sastra Indonesia dapat

lebih dipahami dan dapat lebih diminati di kalangan luas karena novel ini beraliran realisme

yang berisi kejadian nyata dan kejadian-kejadian sehari-hari.

Saya berharap tugas ini dapat diterima. Akhir kata semoga makalah ini dapat

memberikan manfaat kepada kita sekalian.

Bogor, 30 Oktober 2013

Penulis

2

Page 2: ESTETIKA GADIS PANTAI.docx

DAFTAR ISI

Halaman Judul............................................................................................................1

Kata Pengantar ......................................................................................................2

Daftar Isi....................................................................................................................3

Bab I. Pendahuluan .............................................................................................4

1.1. Latar Belakang ...........................................................................................4

Bab II. Landasan Teori .......................................................................................6

2.1 Feminisme ....................................................................................................6

2.2 Teori Strukturalisme ....................................................................................6

Bab III.Pembahasan……………………………………………………………….7

3.1 Feminisme .....................................................................................................7

3.2 Analisis Menggunakan Pendekatan Struktural ...........................................13

3.2.1 Tokoh dan Penokohan..............................................................................13

3.2.2 Tema.........................................................................................................18

3.2.3 Latar.........................................................................................................18

3.2.4 Alur atau Plot...........................................................................................20

3.2.5 Amanat.....................................................................................................21

3.2.6 Sudut Pandang..........................................................................................21

Bab IV. Penutup.......................................................................................................22

4.1 Kesimpulan.................................................................................................22

Daftar Pustaka..........................................................................................................23

3

Page 3: ESTETIKA GADIS PANTAI.docx

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra merupakan ekspresi kreatif untuk menuangkan ide, gagasan,ataupun

perasaan seseorang dari apa yang dialaminya dimana ekspresi kreatif tersebut akan 

senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Pada satu sisi, karya sastra

merupakan bentuk refleksi sikap seseorang terhadap gejala yang muncul dari lingkungan

sekitar, termasuk bagaimana hubungan interaksi sesama manusia, nilai dan norma yang

berkembang dan mengikat di lingkungan sekitar, tradisi masyarakat, serta kebudayaan yang

telah mengakar di suatu daerah yang mempengaruhi kehidupan antarmanusia. Singkat kata,

karya sastra dapat menggambarkan sekaligus merefleksikan realitas sosial yang berkembang

di suatu lingkungan.

Begitu pun dengan salah satu karya sastra yang berbentuk novel. Novel sebagai karya

sastra merupakan penggambaran atas realitas sosial dan budaya yang direperesentasikan

melalui cerita yang di dalamnya dimuat bagaimana interaksi masyarakat, tradisi, nilai dan

norma, tatan sosial, serta kebudayaan yang berkembang. Sastra dan realitas sosial tidak bisa

dipisahkan. Realitas sosial yang kita temukan pada karya sastra, termasuk novel, merupakan

suatu cara pandang penulis dalam meluruskan realitas sosial yang melingkupi kehidupannya.

Dengan demikian, sastra merupakan potret sosial yang menyajikan kembali realitas

masyarakat yang pernah terjadi dengan cara yang khas sesuai dengan gaya penulis masing-

masing.

Nilai estetika dalam novel yang menggambarkan realitas sosial pun menjadi unsur

yang mempegaruhi nyawa dari cerita tersebut. Pembaca dapat melihat bagaimana tatan sosial

yang digambarkan tidak hanya diceritakan secara naratif seperti layaknya membaca sejarah,

tetapi dapat menikmati unsur-unsur estetika di dalamnya. Estetika sastra yang diekspresikan

sastrawan dari tatan sosial bagaimanapun mempunyai akar budaya penciptaan, yang memberi

warna lain bagi teks sastra itu. Dalam bidang novel, kita menemukan para sastrawan yang

kembali pada akar tradisi masyarakatnya. Novel-novel Ahmad Tohari, Umar Kayam,

Kuntowijoyo, Y.B. Mangunwijaya, dan Pramoedya Ananta Toer, kearifan lokal telah

memberi warna pada struktur narasi: latar, penokohan, dan konflik cerita. Di samping itu,

berkembang kekhasan para penulis yang menandai ekplorasi nilai estetisnya sendiri. Lahirlah

novel-novel yang mengandung nilai realisme sosialis seperti karya Pramoedya Ananta Toer.

4

Page 4: ESTETIKA GADIS PANTAI.docx

Salah satu contohnya, yaitu dalam novel-novel Pramoedya Ananta Toer yang sering

mengangkat tema tentang kehidupan masyarakat lapisan bawah dan perbandingan pada

masyarakat priyayi yang disajikan dengan gaya bahasa, yang mampu menghidupkan suasana

cerita dan mudah dipahami pembaca. Pram, begitu ia biasa dipanggil, bisa melahirkan karya

yang mengangkat kesukaran hidup kaum bawah karena pengalaman hidup yang sangat

berkesan, terutama yang mengangkat tentang kemelaratan, penindasan, kebodohan, serta

ketidak berdayaan mereka keberpihakan Pram terhadap wong cilik seakan menjadi obsesinya

yang tidak pernah berujung. Pram memang terkenal sebagai seorang penulis yang secara

realistis memotret kehidupan masyarakat pribumi dalam karya-karyanya. Tema-tema

karyanya yang humanis, memperjuangkan persamaan derajat manusia, dan menentang keras

sistem feodalisme

Salah satu novel karya Pramoedya Ananta Toer yang akan dibahas di sini ialah

novelnya yang berjudul Gadis Pantai. Roman Gadis Pantai ini adalah salah satu karya Pram

yang menggambarkan tatanan sosial kemasyarakatan Jawa yang masih terbelenggu sistem

feodalisme. Cerita yang dibawakan dalam novel ini merupakan gambaran dari sebuah

kehidupan yang terjadi secara nyata di dalam kehidupan keluarga almarhum sendiri. Gadis

pantai yang digambarkan oleh almarhum disini tidak lain adalah neneknya sendiri. Novel ini

menggambarkan kehidupan nenek almarhum yang pernah dijadikan sebagai istri percobaan

oleh seorang kaya pada masanya. Dengan gaya penulisannya, almarhum membawa pembaca

ke dalam suatu jaman feodal di tanah Jawa. Dalam pembahasan akan dibahas nilai-nilai

estetika yang terkandung dalam novel Gadis Pantai ini dengan menggunakan sejumlah

pendekatan estetika.

5

Page 5: ESTETIKA GADIS PANTAI.docx

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Feminisme

Secara etimologis kata feminisme berasal dari bahasa Latin, yaitu femina yang dalam

bahasa Inggris diterjemahkan menjadifeminine, artinya memiliki sifat-sifat sebagai

perempuan. Kemudian kata itu ditambah “ism” menjadi feminism, yang berarti hal ihwal

tentang perempuan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), feminisme diartikan

sebagai gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan

pria.

Dalam pengertian yang lebih luas, feminisme sekurang-kurangnya mencakup tiga

pengertian pokok.Pertama, feminisme merupakan pengalaman hidup, sebab ia tidak terlepas

dari sejarah munculnya, yaitu dari masyarakat patriarkhi. Dari sejarah hidup inilah kemudian

lahirlah kaum perempuan yang mempunyai kesadaran feminis. Kedua, feminisme sebagai

alat perjuangan politik bagi kebebasan manusia. Berangkat dari kesadaran feminisme inilah,

perempuan ingin melepaskan diri dari penindasan dan ketidakadilan yang selama ini

dialaminya. Perjuangannya itu diletakkan dalam bentuk persamaan hukum (legal status) hak

memilih dan kesetaraan dengan laki-laki.

2.2 Teori Strukturalisme

Teori strukturalisme sastra merupakan sebuah teori pendekatan terhadap teks-teks

sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks. Strukturalisme

sebagai suatu paham menitikberatkan pada struktur. Prinsip struktural memandang bahwa

karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri atas unsur-unsur yang berjalinan erat.

Unsur tersebut tidaklah terpisah-pisah maupun berdiri sendiri, melainkan merupakan

hubungan antarunsur dalam keseluruhannya.

6

Page 6: ESTETIKA GADIS PANTAI.docx

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Feminisme

Penelitian sastra feminis merupakan salah satu unsur dalam bidang interdispliner

kajian perempuan dan sastra. feminisme dapat dipahami sebagai suatu aliran pemikiran yang

menghendaki kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam pandangan kaum feminis,

masyarakat pada umumnya memperlakukan perempuan sebagai makhluk yang lebih rendah

daripada laki-laki. Dalam novel Gadis Pantai struktur dari sistem feminisme sangat terlihat

melalui iterpretasi tokoh utamanya “Gadis Pantai” disini terlihat bahwa kesetaraan gender

pada umumnya menyangkut tentang hak-hak perempuan, hak perlindungan untuk wanita

pekerja dan hak untuk menyetarakan derajat suami maupun istri ketika sudah berumah

tangga, namun dalam konteks yang di ceritakan dalam novel tersebut hal ini masih saja di

dominasi oleh kultur patriarki.

Hubungan antara Gadis Pantai yang sudah menjadi Mas Nganten dengan suaminya yang

Bendoro Bupati, bukanlah selayaknya hubungan antara suami dan isteri, melainkan hubungan

antara pelayan dengan tuannya. Gadis Pantai sudah diberi tahu beberapa aturan dan perkataan

yang harus ia ucapkan ketika berbicara dengan suaminya.

            “Sahaya Bendoro” kata inilah yang sering diulanginya untuk menjawab pertanyaan

Bendoro.

            Pernyataan ini pula yang sering dikatakan oleh mBok kepadanya. Jadi hubungan

antara suami isteri ini tak berjalan normal. Gadis Pantai dengan keluguannya hanya bisa

protes dan meluapkan berbagai pertanyaan pada mBok dan tak bisa ia utarakan pada

Bendoro.

            Gadis Pantai sadar bahwa dirinya telah berubah, bahkan kehilangan kebebasan.

            “Gadis Pantai tersadar sekarang betapa takutnya ia pada kesunyian, pada keadaan tak

boleh bergerak. Ia tersedan-sedan seorang diri. Dan tak ada seorang pun peduli

padanya. (2011: 35)

            Daerah asal Gadis Pantai dianggap begitu rendah oleh Bendoro.

            “… Aku tahu kampung-kampung sepanjang pantai ini. Sama saja. Sepuluh tahun

yang baru lalu aku juga pernah datang ke kampungmu. Kotor, miskin, orangnya tak pernah

beribadah. Kotor itu tercela, tidak dibenarkan oleh orang yang tahu agama. Di mana banyak

7

Page 7: ESTETIKA GADIS PANTAI.docx

terdapat kotoran, orang-orang di situ kena murka Tuhan, rezeki mereka tidak lancar, mereka

miskin.” (2011: 41)

            Mendengar ini, Gadis Pantai ingin berontak, namun ia tak berani mengatakan apapun.

Dalam narasi terdapat penjelasan yang digumamkan mBok dalam hati tentang kedudukan

Gadis Pantai sebenarnya.

            Nampak bujang itu merasa kasihan kepada Gadis Pantai. Pengalaman selama ini

membuat ia banyak tahu tentang perbedaan antara kehidupan orang kebanyakan dengan

kaum Bendoro di daerah pantai. Seorang Bendoro dengan istri orang kebanyakan tidaklah

dianggap sudah beristri, sekalipun telah beranak selusin. Perkawinan demikian hanyalah satu

latihan buat perkawinan sesungguhnya: dengan wanita dari karat kebangsawanan yang

setingkat. Perkawinan dengan orang kebanyakan tidak mungkin bisa menerima tamu dengan

istri dari karat kebangsawanan yang tinggi, karena dengan istri asal orang kebanyakan, itu

penghinaan bila menerimanya. (2010: 80)

Dari narasi mBok pada halaman lain, dapat kita lihat kelas sosial antara Gadis Pantai

dengan Bendoro Bupati. Ingin sekali wanita tua itu peringatkan Gadis Pantai, tapi ia tak

berani. Ia tahu benar, dalam sehari wanita utama bisa berganti 25 kali tanpa sedikitpun

mengurangi perbawa Bendoro. Ia tahu besok atau lusa paling lama setelah Gadis Pantai

melahirkan anak pertama, wanita muda tak berdosa ini pun mungkin akan langkahi dan lalui

jalan hidupnya sendiri tanpa ragu-ragu lagi: jalan hidup sebagai sahaya. Dan ibu muda ini

lebih menderita daripadanya karena ia punya anak tapi harus pergi dari anaknya. Ia tak boleh

bertemu. Dan bila bertemu anak, maka itu bukan anaknya, tapi Bendoronya, orang yang

harus disembah dan dilayaninya. Ditindasnya perasaannya sendiri, dan dengan lemah-lembut

dicobanya juga memperingatkan Gadis Pantai akan nasibnya yang akan datang. (2010: 98)

Dengan kedudukan yang dirasa lebih rendah, Gadis Pantai tidak memiliki kebebasan

berbicara pada siapapun. Namun, akhirnya ia sadar tentang posisinya yang sekarang.

            Begitulah lama-lama ia mengerti, di sini ia menjadi seorang ratu yang memerintah

segala. Hanya ada seorang saja yang berhak memerintahnya: Bendoro, tuannya,

suaminya. (2010: 82)

            Gadis Pantai juga menggugat hubungan antara suami-istri yang berbeda antara orang

kota dan kampung.

            “Apakah di kota suami-istri tidak pernah bicara?”

8

Page 8: ESTETIKA GADIS PANTAI.docx

            “Ah, Mas Nganten, di kota, barangkali di semua kota -- dunia kepunyaan lelaki.

Barangkali di kampung nelayan tidak. Di kota perempuan berada dalam dunia yang dipunyai

lelaki, Mas Nganten.(2010: 87)

            Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan antara Gadis Pantai dan

Bendoro bukanlah hubungan suami-istri yang normal. Melainkan hanyalah hubungan antara

majikan dan pelayan. Kelas Bendoro yang lebih tinggi membuat Gadis Pantai yang kelasnya

lebih rendah hanya sebagai pemuas seksualnya saja. Meskipun dalam ikatan pernikahan yang

syah, Gadis Pantai tetaplah seorang sahaya: istri percobaan yang bisa berganti kapan saja

Bendoro inginkan.

           

Perbedaan Kelas Sosial antara Bendoro Bupati dengan mBok   

            Narasi deskripsi fisik Bendoro Bupati dari sudut pandang Gadis Pantai ini

menunjukkan kelas sosial antara Bendoro dengan mBok.

            Nampak seorang pria bertubuh tinggi kuning langsat berwajah agak tipis dan

berhidung mancung. Ia berkopiah haji dan berbaju teluk belanga dari sutera putih dan

bersarung bugis hitam dengan beberapa genggang putih tipis-tipis. Ia lihat orang itu

membangunkan bujang dengan kakinya. Dan bujang itu bangun, cepat-cepat menggulung

tikar dengan bantal di dalamnya, merangkak mundur kemudian berdiri membungkuk, keluar

dari pintu lenyap dari pandangan. (GP 2003: 31)

            Bendoro Bupati membagunkan bujang dengan kakinya. Narasi ini menunjukkan

betapa rendah kelas sosial seorang bujang di mata tuannya, bahkan untuk membangunkan

saja, tangannya tak sudi menjamah tubuh bujang itu, justru dengan kakinya. Seolah kaki

majikan ini sama rendahnya dengan harga diri pelayannya. Kaki menjadi simbol yang

menunjukkan bahwa kelas sosial pelayan lebih rendah daripada majikan.

Perbedaan Kelas Sosial antara Gadis Pantai dan mBok

            Status sosial Gadis Pantai berubah setela ia dinikahkan oleh Bendoro Bupati. Tampak

perbedaan kelas sosial antara Gadis Pantai yang sekarang dipanggil Mas Nganten atau

Bendoro Puteri dengan wanita utama yang menjadi pelayannya.

Gadis Pantai berdiri dari kursi. Bujang itu membungkuk padanya, begitu rendah. Mengapa ia

membungkuk? Sebentar tadi ia masih sesamanya. Mengapa ia begitu merendahkan dirinya

sekarang? Gadis Pantai jadi bimbang, takut, curiga. Apakah semua ini? (2011: 26)

9

Page 9: ESTETIKA GADIS PANTAI.docx

            Seperti kata Emaknya, derajat hidup atau status sosial Gadis Pantai berubah atau

semakin meningkat karena ia telah menjadi Nyonya Bendoro Bupati. Sehingga hal ini

menimbulkan kesenjangan dalam hubungan antara Gadis Pantai dan mBok. Gadis Pantai

sudah berubah status menjadi Bendoro Putri dan mBok adalah sahayanya.

            “Mengapa mBok tidur di bawah? Mengapa tak mau di sampingku sini?”

            “Sahaya adalah sahaya. Dosa pada Bendoro, pada Allah, seperti sahaya begini

menempatkan diri lebih tinggi dari lutut Bendoronya.”(GP 2003: 64)

            Beginilah perbedaan kelas sosial antara isteri majikan dan pelayan. Perlakuan

istimewa yang ditunjukkan pelayan merupakan bentuk pengabdian. Meskipun Gadis Pantai

memiliki kedudukan lebih mulia sebagai istri majikan, namun ia sebenarnya tidak

menginginkan adanya kesenjangan. Ia membutuhkan seorang teman, ketika suaminya --

Bendoro Bupati pergi. Perbedaan kelas sosial tak memungkinkan hal itu terjadi.       

           

Perbedaan Kelas Sosial antara dua Perempuan (Gadis Pantai dan Mardinah)

            Setelah mBok diusir, datanglah seorang perempuan muda bernama Mardinah untuk

menggantikan tugas mBok melayani wanita utama. Namun, sikap Mardinah berbeda dari

patutnya sikap seorang pelayan. Mardinah justru tidak menghormati Gadis Pantai sebagai

wanita utama, ia merasa dirinya lebih mulia karena berasal dari kota yang pandai membaca

dan menulis, sehingga ia melakukan apapun yang diinginkannya. Medapati sikap yang

demikian, Gadis Pantai tidak tinggal diam.

            “Orang kota, bangun! Menurut ukuran orang kampung tidaklah sopan tidur di tempat

orang lain tanpa ijin.” (GP 2003: 127)

            Ada satu bagian cerita ketika Gadis Pantai kembali ke kampungnya ditemani oleh

Mardinah. Mardinah masih sama dengan sifatnya sebagai orang kota yang memandang orang

kampung sebagai kelas rendah. Namun, Gadis Pantai sadar akan posisi superioritasnya yang

sekarang. Ia menyuruh Mardinah pulang ke kota.

            “Kau dengar, Mardinah? Di sini, di tempat Bendoro suamiku tak ada, akulah

Bendoromu. Aku yang perintahkan kau balik ke kota, kalau kau tak suka, ya apa boleh buat,

kau mesti menginap. Suka atau tidak tanggunglah sendiri.” (GP 2003: 161)

Konflik antara Gadis Pantai dan Mardinah terus berlangsung hingga akhirnya

terungkap kedok Mardinah yang mempunyai maksud jahat pada Gadis Pantai. Mardinah

ingin merebut posisi Gadis Pantai sebagai wanita utama, ia juga berencana akan membunuh

Gadis Pantai. Mengetahui rencana busuk ini, penduduk kampung memberikan hukuman pada

Mardinah dengan cara menikahkannya dengan pemuda kampung yang sama-sama dicurigai

10

Page 10: ESTETIKA GADIS PANTAI.docx

berkhianat pada kampungnya sendiri. Di sinilah kelas sosial menjadi berbalik. Jika Gadis

Pantai menikah dengan Bendoro Bupati untuk mendapatkan derajat yang lebih tinggi serta

kehormatan dalam kelas bangsawan. Sementara Mardinah justru harus menerima

konsekuensi atas perbuatan jahatnya itu dan akhirnya menikah dengan pemuda kampung

yang status sosialnya lebih rendah.

           

Perbedaan Kelas Sosial antara Gadis Pantai (yang menjadi wanita utama) dengan Emak dan

Bapak kandungnya.

            Perbedaan kelas ini terjadi ketika pertengkaran antara Gadis Pantai dan

Bapaknya.  Gadis Pantai mengeluh karena tidak betah dan ingin pulang ke kampungnya.

Kemudian, wanita tua yang menjadi pelayan Gadis Pantai memberi penjelasan tentang

kedudukan Mas Nganten sekarang yang telah berubah, berbeda dengan bapak dan emaknya.

            “Kalau wanita utama suka,” bujang itu meneruskan, “Mas Nganten bisa usir bapak

dari kamar.”

            Gadis Pantai meronta dari pelukannya di dada emak. Ia terisak-isak. Sekarang ia

berlutut merangkul kaki bapak. “Ampuni aku bapak, pukullah anakmu ini.” (GP 2003: 45)

            Dari penjelasan mBok tentang perubahan kedudukan Gadis Pantai yang sekarang

yang dulu, membuat hubungan antara anak dan orang tua menjadi berubah. Perlakuan orang

tua terhadap anak juga berubah karena status sosial yang berbeda. Hal ini menunjukkan

bahwa kelas sosial lebih jauh dapat meleburkan hubungan sedarah. Kelas sosial telah

mengubah hubungan sedarah antara orang tua dan anak kandungnya.

            Gadis Pantai tidak hanya dimuliakan oleh kedua orang tua kandungnya, tetapi ia juga

dibanggakan penduduk kampungnya.

            Setiap orang merasa bangga, seorang gadis dari kampung mereka telah jadi orang

kota, jadi bangsawan, jadi Bendoro. (GP 2003: 170)

            Namun, ternyata kemuliaan ini tak bertahan lama. Gadis Pantai diusir dari rumah

Bendoro Bupati setelah melahirkan anak perempuan. Karena pengusiran dan perceraiannya

dengan Bendoro Bupati, Gadis Pantai kembali ke status awal yang disandangnya. Gadis

Pantai menjadi sahaya, seperti orang kebanyakan. Dan ingatan tentang masa lalu, saat para

penduduk menghormatinya ini membuat Gadis Pantai tak kembali ke kampungnya bersama

Bapaknya. Gadis Pantai lebih memilih untuk mencari wanita tua yang melayaninya selama di

gedung. Sebelum pergi, wanita tua itu pernah bercerita bahwa mungkin saja ia pergi ke

Blora.   

           

11

Page 11: ESTETIKA GADIS PANTAI.docx

Kesadaran Perempuan (Gadis Pantai) terhadap Opresi

            Opresi (Opression) secara sederhana diartikan sebagai penindasan. Bell Hooks

mendefinisikan feminisme sebagai perjuangan mengakhiri penindasan yang bersifat seksis.

(Gamble, 2010: 374). Adapun analisis Marxis mengenai kelas telah menyediakan bagi para

feminis beberapa alat konseptual yang diperlukan untuk memahami opresi terhadap

perempuan. (2010: 146). Dengan demikian, opresi bisa diartikan sebagai tekanan atau

ketimpangan yang dihadapi perempuan. Dalam beberapa hal, Gadis Pantai sebagai

perempuan sadar akan dirinya yang telah teropresi oleh aturan, oleh Bendoro Bupati, dan

oleh posisinya sekarang yang telah menjadi Bendoro Putri.

            Ia rasai bagaimana dirinya seperti seekor ayam direnggut dari rumpunnya. Harus

hidup seorang diri, di tengah orang yang begitu banyak. Tak boleh punya sahabat, Cuma

boleh memerintahkan. (GP 2003: 46)

            Gadis Pantai juga sadar akan tubuhnya yang telah berubah. Dirinya telah menjadi

seperti yang bukan dirinya lagi, tapi dirinya yang lain yang telah terkonstruksi oleh aturan di

gedung itu.

            Pada cermin Gadis Pantai melihat wajahnya sendiri: itu bukan diriku! Pekiknya dalam

hati. Wajah itu memang bukan wajahnya yang kemarin dulu. Wajah itu seperti boneka, taka

da tanda-tanda kebocahannya lagi yang kemarin dulu. (GP 2003: 49)

Apabila kita kembali merujuk pada pendekatan Feminisme Marxis, ada yang disebut

sebagai alienasi, salah satunya adalah alienasi dalam pengasuhan anak, yaitu adanya doktrin

yang diciptakan oleh sistem yang patriarkal. Gadis Pantai merasakan alienasi ini yaitu setelah

ia melahirkan seorang anak perempuan. Ia dipisahkan dengan anaknya. Kuasa Bendoro

Bupati teramat kuat, dan Gadis Pantai telah diceraikan dan diusir dari rumah gedung itu.

Dengan berat hati, ia tinggalkan anaknya.

“Aku pikir, barangkali ini memang sebaiknya, biar begini berat rasanya. Biarlah ia tak perlu

tahu emaknya. Dia akan jadi seperti bapaknya. Ia akan memerintah. Dia akan tinggal di

gedung -- tak perlu melihat laut. Ah, bapak, aku harus berikan semua itu. Aku harus

berikan.”(GP 2003: 267)

Gadis Pantai dan bapaknya pulang ke kampung, namun dalam perjalanan pikiran

Gadis Pantai berubah. Ia tak ingin pulang ke kampungnya, ia ingin mencari wanita tua yang

pernah melayaninya di gedung. Seingatnya wanita tua itu pergi ke Blora. Gadis Pantai tak

sanggup kembali ke kampungnya, ia pun berpisah dengan bapaknya.

12

Page 12: ESTETIKA GADIS PANTAI.docx

3.2 Analisis Menggunakan Pendekatan Struktural

3.2.1 Tokoh dan Penokohan

Mayoritas dalam sebuah cerita biasanya seorang penulis cerita memberikan nama

pada tokoh yang menjalankan cerita tersebut. Tetapi dalam novel Gadis Pantai karya

Pramoedya Ananta Toer tokoh – tokohnya tidak diberikan nama. Sehingga para pembaca bisa

berimajinasi dengan tokoh – tokoh yang ada dalam di novel ini.

Istilah penokohan atau perwatakan adalah mencangkup masalah pelukisan tokoh

cerita, baik keadaan lahir maupun batinnya termasuk keyakinannya, pandangan hidupnya,

adat-istiadat, dan sebagainya.Yang diangkat pengarang dalam karyanya adalah manusia dan

kehidupannya. Adapun tokoh sentral dalam novel Gadis Pantai yaitu Gadis Pantai dan

Bendoro. Tak hanya tokoh sentral, adapun tokoh pendukung yaitu Emak, Bapak, mBok, dan

Mardinah.

A. Gadis Pantai

Gadis Pantai merupakan wanita muda dengan usia yang belum menginjak masa

dewasa. Ia berkulit kuning langsat, tubuh kecil mungil, mata sipit, dan hidung ala kadarnya

yang menjdikan dia seorang kembang desa di perkampungan nelayan. Dalam gambaran

hidupnya Gadis Pantai tidak pernah hidup neko – neko, penuh dengan kesederhanaan, dan tak

pernah terpintas ia hidup berkelimang harta dan kemewahan.

Dalam usianya yang sedang beranjak remaja, Gadis Pantai dipersunting oleh seorang

priyayi yang kehidupannya 180 derajat berbeda dengannya. Sejak menikah dengan priyayi

tersebut kehidupan Gadis Pantai berubah dan ia menjadi wanita utama dengan sebutan Mas

Nganten yang dapat dilihat dari kutipan berikut ini.

“Mas Nganten? Siapa itu Mas Nganten?”

Bujang itu tertawa terkekeh ditekan. Dipandanginya majikannya yang baru dan

terlampau muda itu, dibelainya dagunya yang licin seperti ikan lele. Dan akhirnya dengan

empu jari ia menuding ke dada orang yang dilawannya bicara.

“Sahaya?”

Kembali bujang itu tertawa terkekeh ditahan. Membenarkan. “Pada aku ini Mas

Nganten tak boleh sebut diri sahaya. Itu kata hina bagi penyebut di hadapan dan untuk Mas

Nganten.”

Hari – hari yang dilalui di gedung mewah itu membuat ia kesepian. Setiap hari ia

selalu ditemani oleh bujangnya yang senantiasa menemani. Meskipun Gadis Pantai dianggap

13

Page 13: ESTETIKA GADIS PANTAI.docx

majikan oleh bujang yang mengurusnya, Gadis Pantai tidaklah sombong dan tinggi hati. Ia

malah ingin sekali membagi kebahagiaan dan harta yang telah dimilikinya kepada mBok

yang mengurusinya.

“mBok sayang padaku, mBok?”

“Bukan sayang lagi, Mas Nganten.”

“Ambillah gelang itu! Atau kalung.”

“Jangan ulangi lagi, Mas Nganten. Kalau sahaya diusir dari sini, ke mana lagi sahaya mesti

pergi? Dunia memang luas, Mas Nganten, tapi mau kemana? Susah.”

Semakin lama setelah mBok diusir pergi oleh Bendoro suaminya, di rumah tersebut ia

merasa sendirian. Tak ada yang memperhatikannya begitu pula suaminya sendiri. Suaminya

jarang sekali mengunjunginya biarpun Gadis Pantai senantiasa beruusaha memjadi istri yang

berbakti pada suaminya. Di pernikahannya yang menginjak usia kedua, Gadis Pantai

mengandung. Tetapi suaminya masih saja acuh tak acuh terhadapnya.

Akhirnya Gadis Pantai melahirkan anak pertamanya dengan jenis kelamin perempuan.

Semenjak kelahiran anak yang dikandung adalah perempuan, Bendoro suami Gadis Pantai

semakin tak peduli dengan keadaannya. Lebih dari itu, setelah usia anak perempuannya

beranjak tiga setengah bulan Gadis Pantai di ceraikan dan diusir tak memperbolehkan

membawa bayinya. Pada saat yang benar – benar menyakitkan Gadis Pantai berusaha tegar

dan masih memikirkan keadaan Bapak dan Emaknya.

“Jangan jala dulu, man!”

“Mengapa kau nak?”

“Tidak, bapak, aku tak kembali ke kampung. Aku mau pergi jauh!”

“Nak.”

Gadis Pantai bersimpuh mencium kaki bapak. Kainnya bergelimangan pasir basah.

“Ampuni aku, bapak. Aku tak dapat tentang mata emak, para tetangga, dan semuanya.

Ampuni aku, bapak. Aku akan pergi bawa diriku sendiri.”

“Kau sudah janji takkan balik ke kota, nak?”

“Aku akan balik ke kota, bapak, tapi tidak menetap. Besok aku pergi ke selatan.”

“Kau mau ke mana?”

“Ke Blora, bapak.”

“Kau mau ikut siapa?”

“Dulu aku punya pelayan. Dia sudah diusir. Mungkin ke sana dia pergi, bapak.”

14

Page 14: ESTETIKA GADIS PANTAI.docx

B. Bendoro

Tokoh sentral lainnya adalah Bendoro. Laki-laki bertubuh tinggi kuning langsat

berwajah agak tipis dan berhidung mancung hidup dengan keadaan tanpa kekurangan sedikit

pun, rumah mewah, barang – barang berharga, santri yang menurut orang lain alim,

berpendidikan, tekun, taat beribadah, dan sudah dua kali naik haji. Ia adalah anak seorang

priyayi Jawa yang disegani oleh kebanyakan orang.

“Bendoro sudah bangun,” Kepala kampung memperingatkan.

Semua tegang menegakkan tubuh. Pendengaran tertuju pada sepasang selop yang berbunyi

berat sayup terseret – seret di lantai. Bunyi kian mendekat dan akhirnya nyata terdengar.

Tidak hanya itu, semua perintah yang diperintahkan oleh Bendoro pun harus

dilaksanakan tanpa alasan. Disini akan terlihat jelas siapakah sebenarnya Bendoro terdapat

pada kutipan

“Mulai hari ini nak,” emaknya tak sanggup meneruskan, kemudian mengubah

pembicaraan: “Beruntung kau menjadi istri orang alim, dua kali naik haji, entah berapa kali

khatam Quran. Perempuan nak, kalai sudah kawin jeleknya laki jeleknya kita, baiknya laki

baiknya kita. Apa yang kurang baik pada dia?”

Hari – hari Bendoro sangat sibuk dengan pekerjaannya dan tak ada yang berani

menanyai apa kesibukan yang ia lakukan. Sampai – sampai ia jarang sekali di rumah dan

meninggalkan Gadis Pantai berhari – hari tanpanya. Pada awal pernikahan Bendoro bersifat

baik, perhatian, berwibawa, penuh kasih sayang terhadap Gadis Pantai. Dapat terlihat dalam

kutipan ini.

“Ah, kau bukan sahayaku. Kau temanku. Mari, nak, mari nak berdiri.” Tapi Gadis

Pantai tetap berjongkok di atas lantai. Bendoro mengusap – ngusap rambutnya, turun dari

ranjang, mengangkatnya dari bawah kedua belah ketiaknya. Dan bangunlah Gadis Pantai.

“Mari, nak, mari.”

“Sahaya, Bandoro.”

“Aku terlalu lelah, Mas Nganten. Buatlah aku bermimpi tanpa tidur.”

“Inilah sahaya Bendoro.”

“Naiklah ke ranjang, Mas Nganten.”

“Sahaya, Bendoro.” Dan naiklah Gadis Pantai ke atas kasur.

15

Page 15: ESTETIKA GADIS PANTAI.docx

Seiring berjalannya waktu, sifat asli Bendoro mulai terlihat. Dengan kedudukan yang

ia meliki, Bendoro semena – mena mengusir orang tanpa ada alasan yang jelas. Itu pun

terjadi pada Gadis Pantai. Ketika pernikahannya masuk tahun ke dua Bendoro mulai dingin

dengan Gadis Pantai. Terlebih ketika mengetahui bahwa Gadis Pantai sedang mengandung

anak dari Bendoro dan anak tersebut adalah anak perempuan.

Dan malam itu waktu tamu yang diharapkan datang, ia tergeletak tanpa daya di dalam

kamar. Kepalanya dirasainya sangat berat seakan tak mau diangkat lagi buat selama –

lamanya. Dan waktu Bendoro masuk ke dalam kamarnya untuk menegurnya, ia hanya

menutup wajahnya dengan bantal. Bendoro mengangkat bantal itu dan meraba keningnya.

“Kau mengandung,” bisiknya kemudian dan segera meninggalkan kamar.

C. Emak dan Bapak

Emak dan bapak adalah orang tua dari Gadis Pantai yang ingin sekali melihat

kehidupan anaknya lebih layak dari kehidupannya. Dan dia selalu meyakinkan bahwa Gadis

Pantai akan baik – baik saja dan hidup bahagia.

“Ssst. Jangan nangis. Jangan nangis. Hari ini kau jadi istri pembesar.”

Ia tak tahu apa yang di hadapinya. Ia hanya tahu ia kehilangan seluruh hidupnya.

Kadang dalam ketakutan ia bertanya: mengapa tak boleh tinggal dimana ia suka, di antara

orang – orang yang tersayang dan dicinta, di bmi dengan pantai dan ombaknya yang amis.

“Ssst. Jangan nangis. Mulai hari ini kau tinggal di gedung besar, nak. Tidak lagi di

gubuk. Kau tak lagi buang air di pantai. Kau tak lagi menjahit layar dan jala, tetapi sutera

nak:Sst, sst. Jangan nangis.”

.........”Bapakmu benar, nak. Mana ada orangtua mau lemparkan anaknya pada singa?

Dia ingin kau senang seumur hidup, nak. Lihat aku, nak, dari kecil sampai setua ini, tidak

pernah punya kain seperti yang kau pakai.”

D. mBok

mBok adalah seorang bujang wanita yang sudah tua. Dalam cerita ini dia pendamping

Gadis Pantai. Sejak kedatangan awal Gadis Pantai mBok selalu memberikan yang terbaik

bagi Gadis Pantai. mBok mendongengkan cerita kehidupan pada masa itu, mendongengkan

kisahnya sewaktu masa kompeni penjajahan Belanda, hingga mengajarkan Gadis Pantai

menjadi wanita besar. Disini mBok menyayanyi Gadis Pantai bagai putrinya sendiri.

Terdapat pada kutipan berikut ini.

16

Page 16: ESTETIKA GADIS PANTAI.docx

“Sekarang Mas Nganten seorang wanita utaman tinggal di gedung sebesar ini. Tak

ada orang berani gangu bapak, sekali pun bapak tinggal di kampung nelayan di tepi pantai.

Bendoro – bendoro priyayi tak berani ganggu, kompeni juga tak berani ganggu. Bapak tak

perlu lagi lari dengan perahu, tinggal di pulau – pulau karang anak – beranak. Tidak. Bapak

sekarang jadi orang terpandang di kampung. Setiap orang bakal dengar katanya. Senang –

senangkan hati Mas Nganten.”

“Bagaimana bisa tahu semua itu, Mbok?”

“Sahaya banyak tahu, Mas Nganten. Terlalu banyak Bendoro sendiri kadang –

kadang tanya pada sahaya.”

“mBok sayang padaku, mBok?”

“bukan sayang lagi, Mas Nganten.”

E. Mardinah

Mardinah adalah perempuan yang hadir ditengah – tengah gelisahnya Gadis Pantai

ditinggal orang yang dekat sekali dengannya yaitu mBok. Sebut saja Mardinah yaitu

perempuan yang dikirimnya untuk menjadi pelayan Mas Nganten yang dikirimkan dari

Bendoro Putri Demak. Sifat dan sikapnya berbanding terbalik dengan mBok. Dia berani dan

tidak memiliki sopan santun kepada Gadis Pantai.

“Lantas siapa Bendoromu?”

“Bendoro sahaya, ya, Bendoro sendiri.”

“Dan aku?”

“Ah, Mas Nganteng. Mas Nganten kan orang kampung?”

Jantung Gadis Pantai terguncang. Dengan sendirinya ia bangkit dan duduk,

menantang wajah Mardinah. Tapi ternyata Mardinah membalas tatapan matanya tanpa

sedikit pun ragu – ragu. Melihat mata yang berapi – api, Gadis Pantai menjadi takut,

menyesal diri.

“Benar aku orang kampung, dan aku tidak menyesal bersal dari kampung. Siapa kau

sebenarnya?”

“Yang jelas, sahaya bukan berasal dari kampung.”

“Apa hinanya orang kampung?”

“Setidak – tidaknya dia sebangsa kuli.”

Tidak hanya tak memiliki sopan santun tetapi Mardinah termasuk perempuan yang

sombong. Dia menganggap dirinya bukan berasal dari kampung.

17

Page 17: ESTETIKA GADIS PANTAI.docx

“Buat apa kau dekat aku?”

“Takut.”

“Kau! Cuma aku tak kau takuti.”

“Sahaya benci pada kampung. Kampung mana saja.”

“Pergi, cepat!”

3.2.2 Tema

Novel Gadis Pantai sempat dicekal pada zaman orde baru tak hanya dicekal tetapi

mendapatkan kritikan pedas karena alur ceritanya. novel ini mengangkat tema tentang

penindasan akibat kesenjangan sosial yang terjadi pada masa itu.

3.2.3 Latar

Setiap karya sastra secara umum pasti ada unsur latar. Baik novel maupun cerpen

dituntut untuk memuat penceritaan yang dipusatkan pada sebuah tokoh, alur yang sistematik

dan menarik serta adanya latar yang mendukung setiap kejadian. Latar adalah sebagai

landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial

tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Adapun unsur – unsur latar itu ada tiga yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.

Ketiga unsur tersebut memiliki permasalahan yang berbeda – beda. Akan tetapi ketiganya

saling berkaitan satu sama lain dan saling mempengaruhi dalam alur cerita. Di dalam novel

Gadis Pantai telah tergambar bahwa terdapat tiga latar.

A. Latar Tempat

Ada beberapa latar tempat yang ada dalam cerita novel Gadis Pantai. Yang pertama

terdapat di derah kampung nelayan dimana terdapat di daerah Jepara Rembang. Di tempat

itulah seorang kembang desa dengan sebutan Gadis Pantai oleh si penulis dilahirkan.

Dan jadilah ia bunga kampung nelayan sepenggal pantai keresidenan Jepara

Rembang. Hari demi hari batinnya diisi derai ombak dan pandangnya oleh perahu – perahu

yang berangkat di subuh hari pulang di siang atau sore hari, berlabuh di muara, menurunkan

ikan tangkapan dan menunggu besok sampai kantor lelang buka.

Si penulis pun menggambarkan kehidupan dan keadaan di desa Gadis Pantai dengan

tersurat. Gambaran tersebut terlihat dari kutipan di dalam novel.

“Tak perlu kalau tak suka. Aku tahu kampung – kampung sepanjang pantai ini. Sama

saja. Sepuluh tahun yang lalu aku juga pernah datang ke kampungmu. Kotor miskin,

18

Page 18: ESTETIKA GADIS PANTAI.docx

orangnya tak pernah beribadah. Kotor itu tercela, tidak dibenarkan oleh orang yang tahu

agama. Dimana banyak terdapat kotoran, orang – orang di situ kena murka Tuhan, rezeki

mereka tidak lancar, mereka miskin.”

Kehidupan Gadis Pantai berubah semenjak ia dipersunting oleh seorang priyayi Jawa.

Ia mengenal kota dan dia memulai hidup di dengan kenyamanan di sebuah rumah yang

mewah. Kehidupan kota dan kehidupan baru di gedung-gedung mewah dan gagah itu dapat

kita lihat dalam kutipan.

Dokar mulai memasuki halaman dengan deretan toko orang Tionghoa. Semua itu

pernah dilihatnya dua tahun yang lalu, waktu dengan orang – orang sekampung datang

beramai ke kota, nonton pasar mala. Ia masih ingat buaya yang dipajang di atas pintu toko

sepatu. Ia masih ingat toko pabrik tegel dengan bunga – bunganya yang berwarna – warna. Ia

masih ingat gedung – gedung besar dengan tiang – tiang yang tak dapat dipeluknya, putih,

tinggi, bulat.

Bujang itu pergi masuk ke dalam pntu yang menganga dari pagar tembok agar rendah.

Barang kemana mata ditunjukkan, bila tak ke atas, yang nampak hanya warna putih kapur

tembok. Sedang di samping kanan iringan pengantin, di gedung utama, membubung lantai

setinggi pinggang, kemudian sebuah pendopo dengan tiga baris tiang putih. Gadis Pantai

takkan bisa memeluknya, bapak pun barangkali tidak. Tiang – tiang itu lebih besar dari

pelukan tangan manusia. Setiap baris terdiri dari enam tiang.

Dari cerita tersebut kehidupan orang kota dengan kehidupan orang desa sangat berbeda.

Kehidupan orang kota adalah kehidupan orang – orang kaya yang hidupanya penuh dengan

kemewahan dan acuh tak acuh terhadap orang lain. Dan orang desa dinilai orang yang kotor

dan orang miskin.

B. Latar Waktu

Latar waktu yang terjadi dalam novel Gadis Pantai adalah pada memasuki abad

duapuluh. Disini dapat kita lihat dari kutipan yang terdapat pada halaman pertama.

Empat belas tahun umurnya waktu itu. Kuning langsat....... Ia telah tinggalkan abad

sembilan belas dan memasuki abad duapuluh. Angin yang bersuling di puncak pohon –

pohon cemara tidak membuat pertumbuhannya lebih baik.

Dalam novel Gadis Pantai ini sempat sekilas diceritakannya pada masa Raden Ajeng

Kartini yaitu sosok perempuan dari golongan priyayi yang ingin membebaskan perempuan –

perempuan dari golongan masyarakat kecil untuk dapat mendapatkan ilmu seperti yang ia

selalu dapatkan. Dan tak hanya sekilas tentang kehidupan sewaktu jaman RA Kartini saja

19

Page 19: ESTETIKA GADIS PANTAI.docx

yang diceritakan tetapi sewaktu jaman kompeni yang keji yang tak mengenal gender disini

pun sempat dicerikan.

“Ya Mas Nganten. Begitulah cerita orang kebanyakan seperti sahay ini. Sahaya

kawin, dan karena udah kawin lantas dianggap dewasa oleh lurah. Lantas saya dikirim ke

Jepara sana buat kerja rodi, tanam coklat. Suami sahaya ikut. Empat bulan lamanya, Mas

Nganten. Anak sahaya gugur sebelum dapat menghirup udara, Mas Nganten. Perut sahaya

disepak mandor. Ya, apa mau dikata. Waktu itu kepala sahaya pening, duduk berteduh di

bawah pohon. Dia datang. Tiba – tiba datang pembesar Belanda dengan beberapa kompeni.

Mandor menarik – narik tangan sahaya supaya kerja lagi. Tapi sahaya sudah lemas. Dia sepak

perut sahaya. Pemandangan sahaya berputar – putar. Tapi masih sahaya dengar laki sahaya

datang berlari – larian, memekik sahaya seperti orang gila. Lantas sahaya tak sadarkan diri.”

Perubahan – perubahan yang positif sebetulnya baru menyentuh terhadap golongan

masyarakat terpelajar, priyayi, dan masyarakat menengah keatas. Perubahan tersebut belum

menyentuh pada masyarakat menengah kebawah seperti Gadis Pantai yang diceritakan dalam

novel Pram. Dengan latar waktu abad 20an telah tergambar bagaimana kondisi budaya pada

jaman itu. Sangat jelas sekali ada dua golongan yang terpampang yaitu golongan priyayi

dengan golongan masyarakat kebanyakan atau wong cilik. Golongan priyayi memiliki

kekuasaan besar yang bertindak semena – mena dan golongan wong cilik tidak boleh

mengelak apa yang diperintahkan oleh golongan priyayi tersebut

C. Latar Sosial dan Budaya

Latar sosial dalam novel Gadis Pantai disini yaitu terdapat pada perbedaan dua

golongan yaitu golongan priyayi dengan golongan orang – orang bawahan atau bisa disebut

dengan wong cilik. Golongan priyayi disini digambarkan sebagai pemegang kekuasaan atas

segala hal dan ia dapat memerintah sesuka hatinya kepada wong cilik dan tak boleh ada yang

membantahnya. Mereka merasa pemegang kekuasaan karena ia merasa dirinya memiliki

kekayaan, dan ilmu yang dapat mengangkat derajatnya. Novel Gadis Pantai ini terlihat jelas

ada sistem feodalisme Jawa.

3.2.4 Alur atau Plot

Alur cerita yang digunakan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya yang

berjudul Gadis Pantai adalah alur maju. Dengan memiliki alur maju, lebih mudah untuk

menganalisis menggunakan pendekatan struktural yang sesuai dengan kaidahnya.

20

Page 20: ESTETIKA GADIS PANTAI.docx

Cerita dimulai dari suatu desa yang berada di pesisir utara tepatnya di kampung

nelayan hidup seorang remaja Gadis Pantai yang akan dinikahi oleh seorang priyayi tanpa

adanya pertemuan dan cinta yang mereka jalin terlebih dahulu. Kemudian si gadis dibawa

oleh bujang – bujang untuk tinggal di Kota yang 180 derajat berbeda dengan kehidupan

Gadis Pantai. Disana lah kehidupan baru dimulai. Dibagian kedua Gadis Pantai telah

memasuki tahun kedua dalam pernikahannya. Dia mulai terbiasa bagaimana kehidupan para

petinggi priyayi. Disana ia mulai mengenal agama, keterampilan, dan etika sebagai wanita

utama. Dan tak hanya itu secara psikologi Gadis Pantai semakin dewasa dan mengerti

bagaimana mengurus suami yang baik. Dibagian yang ketiga, muncul konflik-konflik dimana

kerabat Bendoro ingiin menyingkirkan Gadis Pantai dengan wanita sederajatnya. Pada tahun

kedua pernikahan ternyata Gadis Pantai mengandung anak dari pertama dari Bendoro tetapi

diluar dugaan setelah anak Gadis Pantai berusia tiga bulan, Bendoro tega mengusir Gadis

Pantai tanpa membawa anaknya. Dan pada akhirnya karena Gadis Pantai tidak ingin

membuat orang tuanya malu dia pergi ke Blora dan memulai kehidupan baru disana.

3.2.5 Amanat

Amanat merupakan pesan dalam dongeng yang disampaikan oleh para pengarang kepada

pembacanya. Setelah kita membaca novel ini penulis ingin menyampaikan amanatnya yaitu

kebudayaan ditanah Jawa merupakan kebudayaan yang diturunkan hasil dari penjajahan

Belanda yang sebagian besar ada unsur feodalisme dimana kalangan pribumi selalu

dirugikan.

3.2.6 Sudut Pandang

Berdasarkan alur ceritanya novel Gadis Pantai ini menggunakan sudut pandang orang ketiga

maha tahu yang dapat kita liat melalui cara pendeskripsiannya.

21

Page 21: ESTETIKA GADIS PANTAI.docx

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Objek analisis struktural dan feminisme ini adalah novel ‘’Gadis Pantai’’ karya

Pramoedya Ananta Toer . Novel ini banyak membongkar realita kehidupan priyai Jawa pada

abad ke sembilan belas dan awal abad kedua puluh. Pramoedya Ananta Toer bercerita dalam

novel Gadis Pantai ini menggunakan alur maju atau lurus. Kisah pernikahan percobaan Gadis

Pantai ini tidak lebih merupakan praktik poligami. Poligami disini merupakan sebuah dunia

yang diciptakan dan dimainkan oleh laki-laki. Selain itu dominasi antara laki-laki dan

perempuan juga jelas terlihat.

22

Page 22: ESTETIKA GADIS PANTAI.docx

DAFTAR PUSTAKA

Ananta Toer, Pramoedya. 2003. Gadis Pantai. Jakarta: Lentera Dipantara.

http://fauziannor.files.wordpress.com/2013/03/novel-gadis-pantai-karya-pramoedya-ananta-toer-analisis-struktural-levi-strauss-siminto.pdf

http://www.atradista.com/e-book-novel-gadis-pantai-pramoedya-ananta-toer/

23