efektivitas kelembagaan ptsp (marsono )
DESCRIPTION
Abstrak Misi utama birokrasi pemerintah adalah memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat termasuk dalam hal ini adalah kepada dunia usaha. Terkait dengan perijinan usaha, upaya mendorong tumbuh dan berkembangnya dunia usaha sangat terkait dengan peran pemerintah dalam memberikan pelayanan yang mudah, cepat, tepat, murah dan transparan. Oleh karena itu, peran dan tanggung jawab pemerintah sebagai regulator, fasilitator dan katalisator menjadi penting dalam memberikan kemudahan bagi dunia usaha melalui berbagai macam pelayanan sejak investor mulai membuka usahanya sampai dengan jika terjadi sengketa arbitrase. Untuk dapat memujudkan pelayanan sebagaimana tersebut di atas, perlu didukung dengan kelembagaan pelayanan yang tidak birokratis dan berbelit-belit. Upaya tersebut adalah dengan pembentukan kelembagaan pelayanan dalam bentuk Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang saat ini telah dimiliki sebagian besar unit pelayanan baik di pusat maupun di daerah. Upaya pembentukan kelembagaan PTSP dari berbagai unit penyelenggara pelayanan publik tersebut perlu mendapat apresiasi agar komitmen mereka dalam peningkatan kualitas pelayanan publik senantiasa dapat terus meningkat. Namun demikian, pembentukan kelembagaan pelayanan PTSP yang bertujuan untuk mempermudah bagi masyarakat dalam memperoleh pelayanan tersebut, perlu dievaluasi kinerjanya termasuk efektivitasnya terhadap peningkatan perijinan usaha dan pertumbuhan investasi.TRANSCRIPT
1
EFEKTIVITAS PELAYANAN PTSP: DARI PERSPEKTIF PERIJINAN USAHA DAN INVESTASI
Marsono
Pusat Inovasi Pelayanan Publik Deputi Bidang Inovasi Administrasi Negara
Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran 10, Jakarta 10110, Indonesia
Phone. (62-21) 3848217,
Abstrak Misi utama birokrasi pemerintah adalah memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat termasuk dalam hal ini adalah kepada dunia usaha. Terkait dengan perijinan usaha, upaya mendorong tumbuh dan berkembangnya dunia usaha sangat terkait dengan peran pemerintah dalam memberikan pelayanan yang mudah, cepat, tepat, murah dan transparan. Oleh karena itu, peran dan tanggung jawab pemerintah sebagai regulator, fasilitator dan katalisator menjadi penting dalam memberikan kemudahan bagi dunia usaha melalui berbagai macam pelayanan sejak investor mulai membuka usahanya sampai dengan jika terjadi sengketa arbitrase. Untuk dapat memujudkan pelayanan sebagaimana tersebut di atas, perlu didukung dengan kelembagaan pelayanan yang tidak birokratis dan berbelit-belit. Upaya tersebut adalah dengan pembentukan kelembagaan pelayanan dalam bentuk Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang saat ini telah dimiliki sebagian besar unit pelayanan baik di pusat maupun di daerah. Upaya pembentukan kelembagaan PTSP dari berbagai unit penyelenggara pelayanan publik tersebut perlu mendapat apresiasi agar komitmen mereka dalam peningkatan kualitas pelayanan publik senantiasa dapat terus meningkat. Namun demikian, pembentukan kelembagaan pelayanan PTSP yang bertujuan untuk mempermudah bagi masyarakat dalam memperoleh pelayanan tersebut, perlu dievaluasi kinerjanya termasuk efektivitasnya terhadap peningkatan perijinan usaha dan pertumbuhan investasi. Kata Kunci: Kelembagaan Pelayanan, Efektivits dan dunia usaha.
Pendahuluan Salah satu area perubahan program reformasi birokrasi yang telah dan sedang berjalan
saat ini adalah bidang pelayanan publik, dimana hasil akhir yang diharapkan adalah
2
pelayanan prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat. Untuk dapat
mewujudkan target reformasi pelayanan publik tersebut, sudah barang tentu
diperlukan adanya kerja keras pemerintah dan pemerintah daerah serta seluruh aparatur
pelayanan publik. Salah satu upaya pemerintah dalam mendukung terwujudnya
pelayanan prima khususnya di bidang investasi dan dunia usaha, adalah dengan
mengeluarkan kebijakan pembentukan kelembagaan pelayanan publik yang tidak
birokratis dan berbelit-belit. Upaya tersebut adalah dengan pembentukan kelembagaan
pelayanan dalam bentuk Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang saat ini telah
dimiliki sebagian besar unit pelayanan baik di pusat maupun di daerah. Upaya
pembentukan kelembagaan PTSP dari berbagai unit penyelenggara pelayanan publik
tersebut perlu mendapat apresiasi agar komitmen mereka dalam peningkatan kualitas
pelayanan publik senantiasa dapat terus meningkat.
Namun demikian, walaupun kelembagaan PTSP telah dibentuk oleh sebagian besar unit
penyelenggara pelayanan baik pusat maupun daerah, ternyata belum mampu
meningkatkan kualitas pelayanan publik secara signifikan. Hal tersebut terlihat masih
besarnya tantangan Indonesia dalam upaya mengembangkan dunia usaha. Tantangan
tersebut diantaranya adalah kurangnya tenaga kerja terdidik, infrastruktur yang buruk dan
kerangka kebijakan yang berbelit-belit. (World Bank, 2012). Disamping itu, selama ini
perusahaan-perusahaan di Indonesia menghadapi berbagai hambatan, salah satunya
adalah tingginya tingkat informalitas yang diakibatkan oleh beratnya beban yang
ditanggung oleh perusahaan akibat kebijakan-kebijakan yang berlaku sehingga banyak
perusahaan yang memulai kegiatan usahanya tanpa mendaftarkan diri secara formal
(Enterprise Surveys, World Bank). Hal ini dikarenakan banyaknya “birokrasi” yang harus
dilewati untuk memulai kegiatan usaha sehingga memakan waktu dan biaya yang banyak.
Tingginya informalitas tersebut juga tidak terlepas dari permasalahan yang ada dalam
pelayanan perizinan dunia usaha, diantaranya yaitu masih tingginya tingkat KKN sehingga
pengurusan izin memerlukan waktu lama dan biaya yang tinggi, jumlah izin yang wajib
diurus yang jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan negara lain, serta persyaratan
perizinan yang tumpang tindih dan tidak konsisten.
3
Berbagai survey juga memperlihatkan bahwa salah satu kendala utama daya saing nasional
adalah rendahnya kinerja pelayanan publik khususnya yang terkait dengan kepentingan
dunia usaha. Berdasarkan Doing Business Survey 2013 memperlihatkan bahwa Indonesia
berada pada ranking 128, naik 1 peringkat dari ranking 129 Doing Business Survey 2012.
Peringkat tersebut jauh dari Singapura (ranking 1), Malaysia (17), Thailand (20), Brunei
Darussalam (83) maupun Vietnam (98). Selanjutnya berdasarkan survey Doing Business
Survey 2013 tersebut, untuk masing-masing item penilaian “starting a business”, prosedur
yang diterapkan di Indonesia antara lain jumlah prosedur yang diterapkan sebanyak 8
prosedur dengan total hari penyelesaian sebanyak 45 hari, besar biaya yang dikeluarkan
sebesar 17,9% dari Pendapatan Per Kapita, dan minimal awal sebelum pendaftaran
sebesar 46,6% dari Pendapatan Per Kapita. Bandingkan dengan Singapura yang
membutuhkan waktu 3 hari dan jumlah prosedur sebanyak 3 prosedur, ataupun Malaysia
yang hanya perlu 6 hari dan 4 macam prosedur.
Penurunan daya saing Indonesia di tingkat dunia juga terlihat dari hasil survey yang
dilakukan oleh World Economic Forum (WEF). Global Competitiveness Report 2012-2013
menunjukkan bahwa posisi Indonesia berada di peringkat 50 turun dari peringkat 46 di
tahun sebelumnya. Turunnya peringkat Indonesia dipengaruhi oleh kinerja beberapa
indikator yang melemah, terutama terkait dengan variabel “institusi”, yakni birokrasi, suap,
korupsi, etika perilaku perusahaan, kejahatan. Selain itu, infrastruktur juga masih belum
menunjukkan perbaikan yang berarti. Inefisiensi birokrasi merupakan permasalahan
utama dalam dunia bisnis, yang ditandai dengan panjangnya rantai birokrasi, peraturan
yang tumpang tindih, korupsi, pungutan liar, dan tidak transparannya pengadaaan. Semua
hal tersebut bermuara pada “ekonomi biaya tinggi” yang pada akhirnya akan menghambat
laju investasi (WEF, 2013). Disampan itu, hasil survey KPPOD tahun 2009 juga
menunjukkan bahwa masih ditemukan beberapa permasalahan klasik dalam pelayanan
perizinan yaitu terkait dengan waktu, biaya, prosedur dan persyaratan yang sulit. Baik dari
aspek waktu maupun biaya untuk mendapatkan perizinan, ditemukan lebih dari 20%
4
pelaku usaha menyatakan bahwa waktu dan biaya lebih besar dibandingkan dengan yang
dijanjikan oleh Pemda (KPPOD, 2009).
Melalui tulisan ini penulis ingin menyampaikan beberapa hal terkait dengan upaya
peningkatan kualitas pelayanan publik khususnya pelayanan perijinan investasi yang
mencakup deregulasi kebijakannya, desain kelembagaan yang tidak birokratis,
mengurangi jumlah prosedur, biaya dan persyaratan serta melihat efektivitas
pelayanan PTSP dalam peningkatan jumlah perijinan investasi di beberapa daerah.
Deregulasi Perijinan Bidang Usaha dan Investasi
Upaya pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi salah satunya dilakukan dengan
mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan
Iklim Investasi. Perbaikan iklim investasi yang diamanatkan inpres tersebut menekankan
perlunya: (a) memperkuat kelembagaan pelayanan investasi; (b) Sinkronisasi Peraturan
Pusat dan Peraturan Daerah (Perda); (c) kejelasan ketentuan mengenai kewajiban analisa
mengenai dampak lingkungan (AMDAL); (d) debirokratisasi di bidang cukai; serta (e)
melaksanakan sistem “self assesment” secara konsisten. Pelaksanaan paket kebijakan
selama kurun waktu tahun 2006 diharapkan dapat mendorong pertumbuhan investasi di
Indonesia.
Selanjutnya dalam rangka menarik investor asing dan investor dalam negeri untuk
berinvestasi di Indonesia, serta untuk memberikan kepastian hukum kepada calon investor
tersebut, pada tahun 2007 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 25 tahun
2007 tentang Penanaman Modal. Sebagai implementasi dari Undang-Undang tersebut
BKPM membuat beberapa Peraturan Pemerintah, diantaranya adalah PP Nomor 77 Tahun
2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan di
5
bidang penanaman modal sebagaimana yang telah direvisi dengan PP Nomor 111 Tahun
2007 dan kembali disempurnakan melalui PP Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang penanaman modal dan Peraturan Kepala BKPM
Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal di
Indonesia.
Kebijakan Kelembagaan PTSP
Perbaikan kelembagaan pelayanan publik sebagai upaya mendorong peningkatan kualitas
perijinan usaha dan investasi telah dilakukan melalui beberapa kebijakan antara lain
Keputusan Presiden Nomor 29 tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal
Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui
Sistem Pelayanan Satu Atap, disebutkan bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas
dalam menarik investor untuk melakukan investasi di Indonesia, memandang perlu untuk
menyederhanakan sistem pelayanan penyelenggaraan penanaman modal dengan metode
pelayanan satu atap. Dalam Perpres ini juga ditekankan bahwa Sistem pelayanan satu atap
dilaksanakan oleh BKPM sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1981
tentang Badan Kooordinasi Penanaman Modal Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah,
Terakhir Dengan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2004. Pada Diktum selanjutnya
disebutkan Gubernur/Bupafi/Walikota sesuai dengan kewenangannya dapat
melimpahkan kewenangan pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman
modal kepada BKPM melalui sistem pelayanan satu atap.
Selanjutnya Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan
Iklim Investasi, yang salah satunya mengamanatkan perlunya memperkuat kelembagaan
pelayanan investasi. Sebagai implementasi Inpres No. 3 Tahun 2006 tersebut, Kementerian
Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006
tentang Pedoman Penyelenggaran Pelayanan Terpadu Satu Pintu, yang antara lain
menginstruksikan kepada pemerintah daerah melakukan: (1) penyederhanaan sistem dan
prosedur perizinan usaha; (2) pembentukan lembaga pelayanan perizinan terpadu satu
pintu di daerah; (3) pemangkasan waktu dan biaya perizinan; (4) perbaikan sistem
6
pelayanan; (5) perbaikan sistem informasi; (6) pelaksanaan monitoring dan evaluasi
proses penyelenggaraan.
Dalam rangka lebih memperkuat landasan kebijakan kelembagaan PTSP di daerah, lebih
lanjut Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Permendagri Nomor 20 Tahun 2008
tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Terpadu di Daerah. Dimana
dalam peraturan ini terdapat ketentuan menyangkut nomenklatur unit pelayanan,
dimana disebutkan bahwa Unit pelayanan perijinan terpadu adalah bagian perangkat
daerah berbentuk Badan dan/atau Kantor pelayanan perijinan terpadu, merupakan
gabungan dari unsur-unsur perangkat daerah yang mempunyai kewenangan di bidang
pelayanan perijinan. Selanjutnya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
penyederhanaan pelayanan adalah upaya penyingkatan terhadap waktu, prosedur, dan
biaya pemberian perijinan dan non perijinan. Disamping itu, diatur tentang tugas Badan
dan/atau Kantor mempunyai tugas melaksanakan koordinasi dan menyelenggarakan
pelayanan administrasi dibidang perijinan secara terpadu dengan prinsip koordinasi,
integrasi, sinkronisasi, simplifikasi, keamanan dan kepastian.
Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 27 tahun
2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal. Dimana dalam
Perpres tersebut disebutkan bahwa Pelayanan Terpadu Satu Pintu adalah kegiatan
penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau
limpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan
nonperizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan
tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat. Disamping itu, Perpres ini
juga mengatur mengenai mutu pelayanan, yaitu bahwa Pelaksanaan PTSP di bidang
Penanaman Modal harus menghasilkan mutu pelayanan prima yang diukur dengan
indikator kecepatan, ketepatan, kesederhanaan, transparan, dan kepastian hukum.
Sebagai tindaklanjut Perpres Nomor 27 Tahun 2009 tersebut, pemerintah mengeluarkan
Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri PANRB, dan Kepala BKPM sejak
bulan September 2010 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan Pelayanan Penanaman Modal di
7
Daerah, yang meminta para Gubernur, Bupati dan Walikota untuk segera melimpahkan
kewenangannya di bidang perijinan dan non perijinan kepada kepala PTSP. Selanjutnya
berdasarkan data empiris bahwa hingga saat ini daerah yang telah membentuk PTSP
berjumlah sebanyak 467 atau sebesar 88% dari total seluruh jumlah daerah, dengan
rincian Provinsi 26, Kabupaten 345, Kota 96. Dengan bentuk kelembagaan yang juga
cukup bervariasim yaitu dalam bentuk Badan 130, Dinas 10, dan Kantor 298. Data
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1 sebagaimana di bawah ini.
Tabel 1
Sumber : Kementerian PAN & RB 2013
Berdasarkan Tabel 1 tersebut di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar
Pemerintah Daerah atau sebesar 88% telah membentuk lembaga PTSP. Adapun
Pemerintah Daerah yang belum membentuk lembaga PTSP sebanyak 12% dari total
seluruh Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Efektivitas Pelayanan PTSP
Efektifitas pelayanan perijinan investasi dan dunia usaha oleh PTSP lebih difokuskan
pada ada tidaknya atau besar kecilnya perubahan jumlah perijinan investasi dan dunia
usaha secara signifikan setelah Pemerintah Daerah membentuk lembaga PTSP. Data
empiris peningkatan perijinan investasi dan dunia usaha lebih difokuskan pada tiga daerah
yang dianggap berhasil dalam penerapan PTSP. Ketiga daerah tersebut adalah
Pemerintah Kota Surabaya melalui lembaga pelayanan perijinan Unit Pelayanan Terpadu
8
Satu Atap (UPTSA), Pemerintah Kota Palembang dengan lembaga PTSP yang berbentuk
Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu (KPPT), dan Pemerintah Kota Bandung dengan
lembaga PTSP Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT). Dampak dari pembentukan
lembaga pelayanan perijinan PTSP di tiga daerah tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut:
Kota Surabaya, sebagai kota modern yang menghargai waktu dan kinerja para pelaku
ekonomi, memberikan fasilitas dan kemudahan dalam perijinan investasi baik dari dalam
maupun luar negeri. Pemerintah Kota Surabaya memberikan kebijakan berupa
pemangkasan jalur birokrasi dan mendirikan pelayanan dalam satu tempat atau biasa
disebut sebagai Unit Pelayanan Satu Atap (UPTSA). Pemberian kemudahan perijinan
investasi tersebut telah berdampak positif pada pencapaian investasi sebanyak 73 PMA
(Penanam Modal Asing) dengan nilai Rp 298.301.583.900 dan $ 93.516.647 dan 10 PMDN
(Penanam Modal Dalam Negeri) dengan nilai investasi Rp 1.796.505.846.000 dari 364
PMA 375 PMDN pada tahun 2010, sehingga total penambahan PMA dan PMDN pada tahun
2010 sebanyak 83 perusahaan atau meningkat sebesar 11,23%. Dibandingkan dengan
target yang telah ditetapkan sebesar 5%, maka capaian kinerjanya persentase penambahan
jumlah mencapai 224,63%.
Pencapaian jumlah investasi di Kota Surabaya tersebut, telah memberikan dampak pada
pertumbuhan ekonomi Surabaya tahun 2010 sebesar 5,11 persen. Sedangkan pada 2011,
mengalami peningkatan menjadi 7,35 persen. Tak berhenti sampai di situ, sepanjang tahun
2012 Kota Surabaya tercatat mampu membukukan angka pertumbuhan ekonomi hingga
7,64 persen. Tren positif inilah yang diharapkan Wali Kota Surbaya bisa dimanfaatkan
sebagai peluang oleh masyarakat. Disamping itu, pencapaian pemberdayaan Ekonomi
Kerakyatan mencapai angka yang cukup signifikan, rata-rata melampaui target yang
ditetapkan seperti Jumlah UKM Tangguh modal antara 25-200 juta terbentuk 10.861 UKM,
meningat 283,95% dari targetnya 3.825 UKM Tangguh, Jumlah Usaha Mikro Binaan modal
di bawah 25 juta terbentuk 1.673 unit, meningkat 105,55% dari targetnya 1.585 unit,
Jumlah Koperasi Skor Baik (koperasi yang bisa bersaing dengan lembaga lain) mencapai
9
1.130 unit sesuai targetnya. Sedangkan upaya untuk meningkatkan kemitraan antara
UMKM dengan pengusaha besar, lembaga perbankan dan lembaga keuangan terjalin 1
kemitraan seperti targetnya selama satu tahun 1 kemitraan. Kecuali Jumlah UKM Mandiri
modal lebih dari 200 juta hanya terbentuk 1.243 UKM atau 85,14% dari targetnya 1.460
UKM Tidak lupa pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) terus saja dilakukan,jumlah PKL
yang telah dibina pada tahun 2010 sebanyak 1.935 PKL, sehingga sampai dengan tahun
2010 jumlah PKL binaan bertambah menjadi sebanyak 16,677 PKL. Secara akumulatif
capaian kinerja program penataan dan pemberdayaan PKL selama lima tahun sebesar
91,14%.
Sedangkan Kota Palembang, yang telah membentuk lembaga PTSP berupa Kantor
Pelayanan Perijinan Terpadu (KPPT), juga telah menyebabkan meningkatnya realisasi
penerimaan retribusi dari sebelumnya tahun 2010 untuk perijinan umum yang dikelola
dinas tata kota sebesar Rp. 4.740.548.320 menjadi Rp 51.259.792.950 setelah dilakukan
oleh KPPT tahun 2011. Sedangkan untuk bidang penanaman modal yang sebelumnya
diberikan oleh BKPMD semula di tahun 2010 sebesar Rp 3.761.711.753 mengalami
peningkatan di tahun 2011 menjadi Rp 6.961.669.252. Sedangkan untuk realisasi
penerbitan surat ijin sebelum dan sesudah dibentuk KPPT, dapat dilihat dalam grafik 1
sebagai berikut:
Grafik 1
Sumber: KPPT Palembang
10
Adapun untuk Kota Bandung setelah membentuk Badan Pelayanan Perizinan Terpadu
(BPPT) Kota Bandung selama periode Februari—September 2010 telah menerbitkan
sebanyak 13.070 izin usaha, dengan porsi terbesar untuk sektor perdagangan dan jasa.
BPPT rata-rata menangani sekitar 1.000 lebih permohonan izin setiap bulannya. Selama
Februari-September yang paling banyak mengajukan permohonan izin berasal dari sektor
jasa dan perdagangan yaitu sebanyak 8.552 pemohon atau sekitar 61% dari total jumlah
perizinan yang ada. Jumlah permohonan perizinan itu bersifat fluktuatif atau naik turun.
Sebagai contoh, jumlah pengajuan izin yang masuk pada Juni mencapai 2.008 permohonan,
yang merupakan jumlah tertinggi dibandingkan dengan bulan lainnya. BPPT tidak hanya
mengelola perizinan yang berasal dari pemohon baru saja, tetapi juga berlaku bagi para
pelaku usaha yang ingin memperpanjang izin usahanya. Perizinan usaha yang dikeluarkan
oleh BPPT pada umumnya berlaku selama 3 tahun. Oleh karena itu, para pelaku usaha
wajib meng-update izin usahanya setiap periode tiga tahun. Beberapa jenis ijin usaha yang
ditangani BPPT terdiri dari 8 jenis antara lain SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan), TDP
(Tanda Daftar Perusahaan), TDG (Transportasi Dalam Gedung), TDI (Tanda Daftar
industri), IUI (Izin Usaha Industri), HO (izin gangguan), SIUK (Surat Izin Usaha
Kepariwisataan), dan SIUJK (Surat Izin Usaha Jasa Kontruksi).
Tercapainya target penerbitan ijin usaha tersebut, menurut Kepala BPPT adalah karena
telah memberikan kemudahan kepada seluruh masyarakat Kota Bandung untuk membuka
usaha, mengingat persyaratan dan rekomendasinya tidak terlalu rumit. Sehingga sebagian
besar pemohon izin usaha, mampu melengkapi semua persayaratan yang diajukan. Dengan
demikian, BPPT telah menyetujui sekitar 99% pemohon jenis izin usaha ini dalam waktu
relatif singkat, yaitu di bawah 10 hari.
Berdasarkan data empiris terkait dengan meningkatnya jumlah perijinan investasi
setelah dibentuknya lembaga perijinan PTSP, menunjukkan bahwa pelayanan perijinan
investasi dan dunia usaha oleh PTSP selama ini telah berjalan efektif. Disamping itu,
dampak perijinan investasi yang diberikan PTSP di tiga daerah tersebut di atas juga
telah membawa dampak membaiknya iklmim investasi dan meningkatnya perekonomian
di wilayah masing-masing serta meningkatnya UMKM secara signifikan. Data empiris
11
sebagaimana tersebut di atas, menunjukkan bahwa pembentukan lembaga PTSP telah
dapat memberikan pelayanan perijinan investasi bagi dunia usaha secara efektif.
Penutup
Upaya pemerintah untuk memberikan kemudahan bagi para investor untuk
menanamkan modalnya di beberapa daerah di Indonesia, telah didukung dengan
diregulasi kebijakan bidang investasi dan penanaman modal baik berupa UU, PP, Inpres,
Kepres, Perpres, Permen, serta Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri
PANRB, dan Kepala BKPM sejak bulan September 2010 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan
Pelayanan Penanaman Modal di Daerah, yang meminta para Gubernur, Bupati dan
Walikota untuk segera melimpahkan kewenangannya di bidang perijinan kepada kepala
PTSP. Upaya pemerintah tersebut cukup membuahkan hasil jika dilihat dari perspektif
efektivitas pelayanan perijinan investasi yang dilakukan oleh PTSP selama ini. Beberapa
bukti nyata dari cukup efektifnya pelayanan perijinan investasi oleh PTSP tersebut telah
terdeskripsikan pada peningkatan perijinan investasi yang berdampak pada pertumbuhan
perekonomian sebagaimana telah diuraikan sebagaimana tersebut di atas.
Daftar Pustaka
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Keputusan Presiden Nomor 29 tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap.
Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim
Investasi.
Instruksi Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.
Peraturan Kepala BKPM Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman Tata Cara Permohonan Penanaman Modal
Permendagri No. 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Permendagri No. 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah
Unit Perijinan Terpadu Satu Atap (UPTSA) Kota Surabaya, Tahun 2013.
12
Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu (KPPT) Kota Palembang, Tahun 2013.
Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) Kota Bandung, Tahun 2013.