efek pemberian natrium siklamat secara oral terhadap

7
BioSMART ISSN: 1411-321X Volume 5, Nomor 2 Oktober 2003 Halaman: 124-130 © 2003 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Efek Pemberian Natrium Siklamat secara Oral terhadap Karakteristik Hematologis Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) The effects of giving natrium cyclamate orally on rat’s (Rattus norvegicus L.) hematological characteristics RIANDINI AISYAH, SHANTI LISTYAWATI, TETRI WIDIYANI Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126 Diterima: 17 Mei 2003. Disetujui: 31 Agustus 2003. ABSTRACT The aims of this research were to study the effects of giving natrium cyclamate orally on rat’s (Rattus norvegicus L.) hematocryte value, Hb, erythrocyte and leukocyte number, Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC), and the erythrocyte and leukocyte morphology. For these purposes, natrium cyclamate was treated orally to rats (Rattus norvegicus L.) within 30 days. The framework of this research is that natrium cyclamate, which is given orally to rats, will enter the digestorial tract, goes into the circulatorial system and influences hematological characteristics. In this research, Complete Random Design with 5 experimental categories i.e.: 2 ml akuades/200 g body weight as the control, 4,5 mg natrium cyclamate/200 g body weight; 9,5 mg natrium cyclamate/200 g body weight; 14,5 mg natrium cyclamate/200 g body weight and 19,5 mg natrium cyclamate/200 g body weight was used in this experiment. The observations included in the hematocryte value, Hb, erythrocyte and leukocyte number, MCV, MCH and MCHC. The data resulted were analyzed by Analysis of Variance and DMRT. Morphology of erythrocyte and leukocyte was analyzed qualitatively. The result showed that the treatment of natrium cyclamate in 19,5 mg/200 body weight’s dosage decreased hematocryte value; 4,5 mg natrium cyclamate/200 body weight, 9,5 mg natrium cyclamate/200 body weight and 14,5 mg natrium cyclamate/200 body weight’s dosages decreased Hb; 9,5 mg natrium cyclamate/200 g body weight 14,5 mg natrium cyclamate/200 body weight and 19,5 mg natrium cyclamate/200 body weight's dosages reduced erythrocyte number and increased leukocyte number. It can be concluded that the treatment of various dosages of natrium cyclamate could change the erythrocyte and leukocyte morphology. Key words: natrium cyclamate, rat (Rattus noregicus L.), hematological characteristics. PENDAHULUAN Pemanis buatan adalah bahan tambahan makanan (BTM) yang berasa manis, tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi, dan tidak mengandung kalori. Penggunaan pemanis buatan cenderung tinggi karena lemahnya pengawasan serta adanya masyarakat yang belum atau tidak tahu bahayanya, sehingga produsen mengambil keuntungan dari kondisi ini. Pemanis buatan yang banyak digunakan di Indonesia adalah siklamat dan sakarin. Siklamat berupa kristal atau bubuk kristal yang berwarna putih, tidak berbau, mudah larut dalam air dan pada bentuk larutan memiliki tingkat kemanisan sebanyak 30 kali rasa manis sukrosa (Murdiati dkk., 1988). Siklamat yang biasanya dipakai adalah natrium siklamat (Sally, 1998; Murdiati dkk., 1988), namun senyawa ini dapat menimbulkan kanker atau mutasi genetik pada manusia, karena adanya sikloheksilamin (Lindsay, 1985). Siklamat juga memicu terbentuknya radikal bebas peroksida, suatu katalisator kuat reaksi oksidasi lebih lanjut (Tranggono, 1988). Di Indonesia penggunaan siklamat masih diijinkan, namun telah dibatasi dalam SK Menteri Kesehatan RI No. 235 tahun 1979 dan SK Menteri Kesehatan RI No. 208 tahun 1985 (Murdiati dkk., 1988; Sally, 1996). Penggunaan siklamat yang dianggap aman untuk manusia (acceptable daily intake; ADI) menurut ketentuan FAO/WHO adalah 11 mg/kg berat badan/hari (0,2 mg/kg bb/hari untuk tikus putih), sedangkan batas maksimal penggunaan (BMP) berdasarkan SK Menteri Kesehatan RI No. 208 tahun 1985 untuk manusia adalah 3 g/kg bb/hari (54 mg/kg bb/hari untuk tikus putih) (Murdiati dkk., 1988). Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa siklamat dapat menyebabkan terjadinya anemia yang ditandai dengan menurunnya kadar hemoglobin (Hb) serta rusaknya sel-sel darah merah. Hal ini merupakan akibat penimbunan sel darah putih (leukosit) secara abnormal (Hoffbrand dan Pettit, 1987), dimana jumlah leukosit dapat mencapai lebih dari 10x10 4 tiap mm 3 (Mattingly dan Seward, 1993). Penelitian tentang unsur darah penting untuk kesehatan karena morfologi, jumlah dan perbandingan berbagai macam jenis sel darah merupakan indikator dari berbagai perubahan patologis dalam tubuh (Leeson dkk., 1996). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik hematologis tikus putih (Rattus norvegicus L.) yang diperlakukan dengan natrium siklamat secara oral selama 30 hari, meliputi: nilai hematokrit (PCV), kadar hemoglobin, jumlah eritrosit, jumlah leukosit, MCV, MCH dan MCHC, serta morfologi eritrosit dan leukosit.

Upload: others

Post on 31-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Efek Pemberian Natrium Siklamat secara Oral terhadap

B i o S M A R T ISSN: 1411-321X Volume 5, Nomor 2 Oktober 2003 Halaman: 124-130

© 2003 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Efek Pemberian Natrium Siklamat secara Oral terhadap Karakteristik Hematologis Tikus Putih (Rattus norvegicus L.)

The effects of giving natrium cyclamate orally on rat’s (Rattus norvegicus L.) hematological

characteristics

RIANDINI AISYAH, SHANTI LISTYAWATI, TETRI WIDIYANI Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126

Diterima: 17 Mei 2003. Disetujui: 31 Agustus 2003.

ABSTRACT The aims of this research were to study the effects of giving natrium cyclamate orally on rat’s (Rattus norvegicus L.) hematocryte value, Hb, erythrocyte and leukocyte number, Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC), and the erythrocyte and leukocyte morphology. For these purposes, natrium cyclamate was treated orally to rats (Rattus norvegicus L.) within 30 days. The framework of this research is that natrium cyclamate, which is given orally to rats, will enter the digestorial tract, goes into the circulatorial system and influences hematological characteristics. In this research, Complete Random Design with 5 experimental categories i.e.: 2 ml akuades/200 g body weight as the control, 4,5 mg natrium cyclamate/200 g body weight; 9,5 mg natrium cyclamate/200 g body weight; 14,5 mg natrium cyclamate/200 g body weight and 19,5 mg natrium cyclamate/200 g body weight was used in this experiment. The observations included in the hematocryte value, Hb, erythrocyte and leukocyte number, MCV, MCH and MCHC. The data resulted were analyzed by Analysis of Variance and DMRT. Morphology of erythrocyte and leukocyte was analyzed qualitatively. The result showed that the treatment of natrium cyclamate in 19,5 mg/200 body weight’s dosage decreased hematocryte value; 4,5 mg natrium cyclamate/200 body weight, 9,5 mg natrium cyclamate/200 body weight and 14,5 mg natrium cyclamate/200 body weight’s dosages decreased Hb; 9,5 mg natrium cyclamate/200 g body weight 14,5 mg natrium cyclamate/200 body weight and 19,5 mg natrium cyclamate/200 body weight's dosages reduced erythrocyte number and increased leukocyte number. It can be concluded that the treatment of various dosages of natrium cyclamate could change the erythrocyte and leukocyte morphology. Key words: natrium cyclamate, rat (Rattus noregicus L.), hematological characteristics.

PENDAHULUAN

Pemanis buatan adalah bahan tambahan makanan (BTM)

yang berasa manis, tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi, dan tidak mengandung kalori. Penggunaan pemanis buatan cenderung tinggi karena lemahnya pengawasan serta adanya masyarakat yang belum atau tidak tahu bahayanya, sehingga produsen mengambil keuntungan dari kondisi ini. Pemanis buatan yang banyak digunakan di Indonesia adalah siklamat dan sakarin. Siklamat berupa kristal atau bubuk kristal yang berwarna putih, tidak berbau, mudah larut dalam air dan pada bentuk larutan memiliki tingkat kemanisan sebanyak 30 kali rasa manis sukrosa (Murdiati dkk., 1988). Siklamat yang biasanya dipakai adalah natrium siklamat (Sally, 1998; Murdiati dkk., 1988), namun senyawa ini dapat menimbulkan kanker atau mutasi genetik pada manusia, karena adanya sikloheksilamin (Lindsay, 1985). Siklamat juga memicu terbentuknya radikal bebas peroksida, suatu katalisator kuat reaksi oksidasi lebih lanjut (Tranggono, 1988). Di Indonesia penggunaan siklamat masih diijinkan, namun telah dibatasi dalam SK Menteri Kesehatan RI No. 235 tahun 1979 dan SK Menteri Kesehatan RI No. 208 tahun 1985 (Murdiati dkk., 1988; Sally, 1996).

Penggunaan siklamat yang dianggap aman untuk manusia (acceptable daily intake; ADI) menurut ketentuan FAO/WHO adalah 11 mg/kg berat badan/hari (0,2 mg/kg bb/hari untuk tikus putih), sedangkan batas maksimal penggunaan (BMP) berdasarkan SK Menteri Kesehatan RI No. 208 tahun 1985 untuk manusia adalah 3 g/kg bb/hari (54 mg/kg bb/hari untuk tikus putih) (Murdiati dkk., 1988).

Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa siklamat dapat menyebabkan terjadinya anemia yang ditandai dengan menurunnya kadar hemoglobin (Hb) serta rusaknya sel-sel darah merah. Hal ini merupakan akibat penimbunan sel darah putih (leukosit) secara abnormal (Hoffbrand dan Pettit, 1987), dimana jumlah leukosit dapat mencapai lebih dari 10x104 tiap mm3 (Mattingly dan Seward, 1993). Penelitian tentang unsur darah penting untuk kesehatan karena morfologi, jumlah dan perbandingan berbagai macam jenis sel darah merupakan indikator dari berbagai perubahan patologis dalam tubuh (Leeson dkk., 1996).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik hematologis tikus putih (Rattus norvegicus L.) yang diperlakukan dengan natrium siklamat secara oral selama 30 hari, meliputi: nilai hematokrit (PCV), kadar hemoglobin, jumlah eritrosit, jumlah leukosit, MCV, MCH dan MCHC, serta morfologi eritrosit dan leukosit.

Page 2: Efek Pemberian Natrium Siklamat secara Oral terhadap

AISYAH, dkk. – Efek Na-siklamat terhadap darah Rattus norvegicus

125

BAHAN DAN METODE

Waktu dan tempat penelitian Percobaan ini dilaksanakan pada bulan September-

Oktober 2002. Pemeliharaan hewan uji dan pemberian perlakuan dilaksanakan di Unit Pengembangan Hewan Percobaan (UPHP) UGM Yogyakarta. Pembuatan preparat apus untuk pemeriksaan morfologi darah, pengukuran nilai hematokrit (PCV), kadar Hb, perhitungan jumlah eritrosit dan leukosit, MCV, MCH dan MCHC dilakukan di Laboratorium Pusat MIPA UNS Surakarta.

Alat dan bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: kandang pemeliharaan tikus putih, spuit 3 ml dan kanul, tempat air minum, sentrifus, sealing putty, mikrohema-tokrit, spektrofotometer UV-1601 merk Shimadzu, tabung reaksi, kuvet, mikropipet, pipet volume, hemasitometer tipe double improve neubauer, mikroskop, pipet pengencer eritrosit, pipet pengencer leukosit, mikroskop, gelas benda, pipet tetes, kertas tissue, dan alat fotomikrografi.

Bahan yang digunakan meliputi tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan umur 2,5 bulan dengan berat badan rata-rata 200 gram, Par G pellet sebagai pakan sehari-hari, air ledeng, natrium siklamat, EDTA, larutan Hayem, larutan Turk, metanol, zat warna Giemsa dan air mengalir.

Cara kerja Rancangan percobaan

Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 macam perlakuan, setiap perlakuan dengan 5 ulangan. Tikus putih berumur 2,5 bulan dengan berat badan rata-rata 200 gram dipelihara di kandang, masing-masing kandang perlakuan berisi 5 ekor tikus putih (total 5 perlakuan = 25 ekor). Sebelum dipergunakan tikus putih diaklimatisasi 1 minggu. Tikus uji diberi pakan dan minum secara et libitum serta diberi larutan natrium siklamat secara oral selama 30 hari, dengan dosis per hari untuk masing-masing kelompok sebagai berikut: I : 2 ml akuades (sebagai kontrol)/200 g bb II : 4,5 mg natrium siklamat dalam 2 ml akuades/200 g bb III: 9,5 mg natrium siklamat dalam 2 ml akuades/200 g bb IV: 14,5 mg natrium siklamat dalam 2 ml akuades/200 g bb V : 19,5 mg natrium siklamat dalam 2 ml akuades/200 g bb

Teknik pengambilan data

Pengambilan sampel darah. Darah diambil dari sinus orbitalis tikus putih menggunakan mikrohematokrit (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Pengambilan darah dilakukan 10 hari sekali sebanyak 1 ml.

Pengukuran kadar hematokrit dan hemoglobin. Kadar hematokrit (packed cell volume; PCV) diukur dengan tabung mikrohematokrit yang sudah dilapisi antikoagulan EDTA. Darah dihisap dari sinus orbitalis dengan pipa hematokrit, hingga ¾ bagian pipa, kemudian dipusingkan dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit. Pengukuran dilakukan dengan membandingkan bagian darah yang mengendap dengan seluruh bagian darah yang ada dalam tabung mikrohematokrit (Benyamin, 1961). Adapun kadar hemoglobin diukur dengan metode sianmethemoglobin. Dalam hal ini eritrosit dihancurkan

agar hemoglobin lepas dan dapat diubah menjadi bentuk yang stabil dengan larutan Drabkin, sehingga semua hemoglobin, oksihemoglobin, methemoglobin, dan karboksilhemoglobin menjadi sianmethemoglobin. Kadar hemoglobin ditentukan dengan spektrofotometer, dimana 5 ml larutan Drabkin dimasukkan dalam tabung reaksi, ditambah 0,02 ml darah, dicampur, dan dibiarkan 3 menit, lalu dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 540 nm Kadar Hb dapat diketahui dengan menggunakan kurva kalibrasi atau langsung dihitung dengan konsentrasi Hb = absorbansi x nilai yang tertera di kalibrasi larutan Drabkin (Tahono dkk., 2000).

Perhitungan jumlah eritrosit. Perhitungan eritrosit dilakukan dengan hemasitometer. Darah dihisap ke dalam pipet pengencer eritrosit sampai tanda 0,5 dan larutan Hayem sampai tanda 101. Jumlah eritrosit per mm3 darah = jumlah eritrosit terhitung x 10.000 (Gandasoebrata, 1992).

Perhitungan jumlah leukosit. Perhitungan dilakukan dengan cara mengencerkan darah dengan menggunakan larutan Turk. Darah dihisap ke dalam pipet pengencer leukosit sampai tanda 0,5 dan larutan Turk sampai tanda 11. Perhitungan leukosit dilakukan dengan menggunakan hemasitometer. Jumlah leukosit per mm3 darah = jumlah leukosit terhitung x 50 (Gandasoebrata, 1992).

Perhitungan nilai MCV, MCH, dan MCHC. • Mean Corpuscular Volume (MCV) adalah

perbandingan hematokrit dengan jumlah eritrosit atau volume rata-rata eritrosit dari sampel darah.

MCV = )(juta/mmeritrosit Jumlah

PCVx103

fl

fl = femtoliter =10 –15 liter • Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) adalah jumlah

rata-rata hemoglobin dalam eritrosit.

MCH = pg )(juta/mmeritrosit Jumlah

10 x (Hb) Hemoglobin3

pg = picogram =10-12 gram • Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration

(MCHC) adalah jumlah hemoglobin per unit eritrosit.

MCHC = % PCV

100 x (Hb) Hemoglobin

Morfologi sel darah. Pengamatan morfologi sel darah

dilakukan dengan pembuatan preparat apus darah (smear preparation). Sediaan apus darah difiksasi dengan metanol selama 5 menit, kemudian dikeringanginkan selanjutnya direndam dalam larutan pewarna Giemsa 3% dalam metanol selama 20 menit, dicuci dan dikeringkan. Pengamatan eritrosit dan leukosit dilakukan dengan membandingkan sel-sel yang terdapat pada sediaan apus.

Analisis data

Data dianalisis dengan Analisis Varian (Anava) untuk mengetahui pengaruh natrium siklamat terhadap nilai hematokrit (PCV), kadar Hb, jumlah eritrosit, nilai MCV, MCH, MCHC, dan jumlah leukosit tikus putih, kemudian dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf signifikansi 5%. Morfologi eritrosit dan leukosit dianalisis secara kualitatif.

Page 3: Efek Pemberian Natrium Siklamat secara Oral terhadap

B i o S M A R T Vol. 5, No. 2, Oktober 2003, hal. 124-130 126

HASIL DAN PEMBAHASAN Bahan kimia dinyatakan toksik apabila memiliki efek

berbahaya bagi makhluk hidup (Koeman, 1987). Sifat toksik zat kimia dapat teramati dari adanya perubahan fungsional, struktural, atau biokimiawi. Faktor penting yang mempengaruhi potensi aman atau tidaknya suatu zat kimia adalah hubungan antara dosis (kadar zat) dengan efek yang ditimbulkannya (Loomis, 1978).

Perubahan hematologis Nilai hematokrit (PCV)

Hematokrit adalah perbandingan sel-sel darah merah dalam suatu volume darah tertentu. Hematokrit menunjuk-kan persentase eritrosit dalam darah (Wulangi, 1993).

Tabel 1. Rata-rata nilai hematokrit pada tikus putih setelah pemberian natrium siklamat dengan dosis yang bervariasi.

Nilai hematokrit (%) Kel. 10 hari ke-1 10 hari ke-2 10 hari ke-3 I 45,60±0,67 Ba 45,80±0,47 Ba 45,40±0,84 Ca II 44,80±0,50 bb 43,40±0,27 Aab 42,80±0,42 Ba III 44,40±0,44 Ba 43,40±0,57 Aa 43,40±0,67 Ba IV 44,20±0,55 Ba 44,40±0,44 ABa 43,80±0,65 Ba V 42,60±0,91 Ab 43,00±0,61 Ab 41,00±1,06 Aa

Dalam penelitian ini, secara keseluruhan terjadi

penurunan nilai hematokrit pada akhir perlakuan (Tabel 1.) Pada pemberian natrium siklamat dengan dosis paling tinggi yakni 19,5 mg/200 g bb terjadi penurunan nilai hematokrit secara nyata, hal ini menunjukkan adanya kecenderungan tikus untuk mengalami anemia yang ditandai dengan menurunnya konsentrasi sel-sel darah merah. Menurut Benjamin (1961), nilai hematokrit merupakan cara sederhana untuk mengetahui abnormalitas pada darah. Nilai ini umumnya dianggap sama manfaatnya dengan jumlah sel darah merah total. Dari hasil uji Anava, terlihat bahwa pengaruh natrium siklamat yang paling signifikan adalah faktor dosis dan waktu (F hitung>0,05), sedangkan untuk faktor interaksi antara dosis dan waktu tidak berpengaruh nyata (F hitung<0,05).

Pada 10 hari ke-3, nilai hematokrit semakin menurun di bawah kisaran normal diikuti dengan menurunnya jumlah eritrosit (Tabel 3), sebaliknya kadar hemoglobin meningkat dibandingkan pada 10 hari ke-2 (Tabel 2). Penurunan nilai hematokrit yang berarti terlihat pada dosis 19,5 mg/200 g bb. Hal ini terjadi karena adanya hemolisis karena rapuhnya membran eritrosit. Membran yang rapuh ini disebabkan oleh adanya radikal bebas dari natrium siklamat yang berinteraksi dengan oksigen membentuk radikal peroksida sehingga membran menjadi lemah.

Kadar hemoglobin

Hemoglobin adalah komponen eritrosit dan merupakan protein konjugasi dalam transport oksigen dan karbondioksida. Penetapan kadar Hb sering dilakukan untuk mengetahui adanya anemia (Tahono dkk., 2000). Dalam penelitian ini, rata-rata kadar Hb meningkat pada 10 hari ke-3 dibandingkan dengan 10 hari ke-2, namun menunjukkan penurunan dibandingkan 10 hari ke-1 (Tabel

2.). Peningkatan kadar Hb pada 10 hari ke-3 secara keseluruhan terjadi seiring dengan peningkatan pemberian dosis, tetapi setelah diuji dengan Anava, faktor dosis ternyata tidak menunjukkan adanya beda nyata. Dari hasil uji Anava, terlihat bahwa faktor yang signifikan dari pengaruh pemberian natrium siklamat terhadap kadar Hb darah tikus adalah faktor waktu (F hitung>0,05), sedangkan faktor dosis maupun interaksi antara dosis dan waktu tidak signifikan (F hitung<0,05). Tabel 2. Rata-rata kadar Hb (g/dL) pada tikus putih setelah pemberian natrium siklamat dengan dosis yang bervariasi.

Kadar Hb (g/dl) Kel. 10 hari ke-1 10 hari ke-2 10 hari ke-3 I 16,84±0,30 bb 10,98±0,26 Aa 12,24±1,32 Aa II 13,28±0,84 Aa 10,62±1,34 Aa 12,46±4,43 Aa III 13,06±1,36 Aa 11,50±1,83 Aa 12,84±1,26 Aa IV 14,16±1,42 ABa 12,12±0,20 Aa 13,66±1,20 Aa V 13,20±1,17 Aa 11,64±0,44 Aa 13,22±1,27 Aa

Kadar Hb tikus percobaan setelah 30 hari diperlakukan

umumnya lebih rendah dari pada hari-hari awal diperlakukan. Secara keseluruhan penurunan kadar Hb terjadi pada 10 hari ke-3 pada semua tikus dibandingkan dengan 10 hari ke-1 namun penurunan ini justru tidak terjadi pada tikus yang diberi dosis tinggi dan pada tikus yang diberi dosis rendahpun penurunan yang terjadi sangat kecil. Hal ini terjadi dimungkinkan karena tikus dengan pemberian natrium siklamat dosis tinggi (19,5 mg/200g bb) melakukan reaksi imunitas. Secara keseluruhan pada 10 hari ke-3, tikus putih mempunyai kadar Hb yang lebih rendah dari tikus normal, hal ini menunjukkan adanya kecenderungan tikus untuk anemia.

Jumlah eritrosit

Jumlah eritrosit merupakan salah satu parameter penting untuk menilai kesehatan, mengingat perannya yang sangat besar dalam mengangkut O2 ke seluruh tubuh. Sirkulasi darah menggambarkan mekanisme dasar distribusi zat kimia ke seluruh tubuh (Loomis, 1978). Hasil uji Anava menunjukkan pengaruh yang signifikan dari pemberian natrium siklamat terhadap jumlah eritrosit adalah faktor dosis dan waktu (F hitung>0,05), sedangkan faktor interaksi antara dosis dan waktu tidak berpengaruh nyata (F hitung<0,05).

Tabel 3. Rata-rata jumlah eritrosit pada tikus putih setelah pemberian narium siklamat dengan dosis yang bervariasi.

Jumlah eritrosit (106/mm3darah) Kel. 10 hari ke-1 10 hari ke-2 10 hari ke-3 I 9,80±0,63 bb 9,47±0,82 Ba 9,12±0,82 Ca II 9,38±0,91 ABa 8,00±0,81 ABa 7,49±0,53 Ba III 9,09±0,39 Abb 7,90±0,36 Aab 6,02±0,59 ABa IV 8,70±0,68 Abb 7,65±0,46 Ab 5,92±0,20 Aa V 8,26±0,40 Ab 7,58±0,38 Ab 5,98±0,40 Aba

Penurunan jumlah eritrosit ini mempengaruhi terben-

tuknya eritropoietin dan merangsang terjadinya eritropoi-esis, tetapi karena eritrosit yang ada baru terbentuk, maka

Page 4: Efek Pemberian Natrium Siklamat secara Oral terhadap

AISYAH, dkk. – Efek Na-siklamat terhadap darah Rattus norvegicus

127

Hb yang ada pada eritrosit belum mencapai kadar optimal. Jumlah Hb yang belum stabil ini menyebabkan kemampuan Hb untuk mengikat oksigen belum optimal. Menurut Wulangi (1993), jumlah oksigen yang menurun akan mengakibatkan hati melepaskan lebih banyak globulin dan ginjal memproduksi lebih banyak fak-tor eritropoietik ginjal. Di dalam darah, globulin dan faktor eritropoietik ginjal akan mengadakan interaksi membentuk eritropoietik yang akan merangsang terjadinya eritropoiesis.

Kecepatan eritropoiesis diatur sedemikian rupa sehing-ga jumlah eritrosit yang terdapat dalam peredaran darah kurang lebih konstan. Setiap kali jumlah oksigen yang ditransport ke jaringan berkurang biasanya akan mening-katkan kecepatan pembentukan eritrosit. Pada 10 hari ke-3, dosis 14,5 mg/200 g bb dan 19,5 mg/200 g bb tikus cenderung mengalami anemia karena jumlah eritrositnya di bawah kisaran normal, hal ini diatasi dengan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang. Oleh karena itu, bukan kon-sentrasi yang mengatur kecepatan pembentukann eritrosit, tetapi kemampuan fungsional sel untuk mentransport oksigen ke jaringan (Philips dan Murray, 1995).

Dari dua puluh tikus yang diberi perlakuan natrium siklamat, 15 diantaranya menunjukkan jumlah eritrosit yang lebih rendah dari jumlah normal (7,2-9,6x106/mm3

darah). Tikus uji mempunyai jumlah eritrosit lebih rendah dari pada tikus kontrol. Menurut Hanim (1997), natrium siklamat dapat merusak sel-sel darah merah, sehingga menurunkan jumlah eritrosit dalam sirkulasi dan cenderung menyebabkan anemia.

Jumlah leukosit

Leukosit merupakan bagian penting dari pertahanan tubuh terhadap invasi asing. Pada umumnya semua leukosit melakukan fungsinya dalam jaringan, dan darah hanya digunakan sebagai alat transport dari tempat pembentukan, penimbunan dan aktivitas (Burkitt dkk., 1995).

Tabel 4. Rata-rata jumlah leukosit pada tikus putih setelah pemberian natrium siklamat dengan dosis yang bervariasi.

Jumlah leukosit (10 3/mm3 darah) Kel. 10 hari ke-1 10 hari ke-2 10 hari ke-3 I 12,80±0,40 Aa 12,80±0,80 Aa 12,16±0,33 Aa II 13,92±0,45 Aa 12,80±1,20 Aa 13,12±0,73 Aa III 15,04±1,18 Aa 14,40±0,68 Aa 23,04±1,07 bb IV 26,40±1,62 Ba 28,00±0,56 Ba 27,36±2,06 Ca V 28,80±2,06 Ba 28,80±0,49 Ba 34,08±2,42 Db

Setelah 30 hari diberi perlakuan, tikus uji mengalami

peningkatan jumlah leukosit terutama pada dosis 19,5 mg/200g bb. Peningkatan jumlah leukosit ini sebagian adalah leukosit-leukosit abnormal, meskipun belum terlihat kecenderungan tikus untuk mengalami leukemia (jumlah leukosit lebih dari 10x104/mm3 darah), tidak menutup kemungkinan hal ini dapat terjadi apabila pemberian natrium siklamat dosis tinggi diberikan secara terus-nenerus untuk jangka waktu yang panjang sehingga terjadi akumulasi dan toksisitas bahan pemanis tersebut. Dari hasil uji Anava, terlihat bahwa faktor dosis, waktu, maupun interaksi antara dosis dan waktu berpengaruh sangat signifikan (F hitung>0,05) (Tabel 4.).

Nilai MCV, MCH, dan MCHC Selain pemeriksaan kadar Hb dan jumlah eritrosit,

pemeriksaan anemia anemia sering pula dilengkapi dengan pemeriksaan volume rata-rata eritrosit (MCV), jumlah rata-rata Hb eritrosit (MCH) dan jumlah Hb per unit eritrosit (MCHC).

Tabel 5. Rata-rata nilai MCV pada tikus putih setelah pemberian natrium siklamat dengan dosis yang bervariasi.

MCV (fl) Kel. 10 hari ke-1 10 hari ke-2 10 hari ke-3 I 47,20±3,10 Aa 49,68±4,86 Aa 51,04±4,33 Aa II 59,36±5,18 Ba 55,98±5,47 Aa 58,04±4,13 Aa III 49,34±2,00 ABa 55,76±2,78 Aab 65,78±7,57 bb IV 51,88±4,35 ABa 58,68±3,47 Aa 74,22±2,45 bb V 51,88±2,01 ABa 57,26±3,20 Aa 69,18±3,22 bb

Tabel 6. Rata-rata nilai MCH pada tikus putih setelah pemberian natrium siklamat dengan dosis yang bervariasi.

MCH (picogram) Kel. 10 hari ke-1 10 hari ke-2 10 hari ke-3 I 17,38±1,02 Ab 12,04±1,11 Aa 13,42±1,15 Aa II 14,44±1,15 Aa 13,74±2,44 Aa 16,78±2,01 Aab III 14,42±1,33 Aa 14,66±1,22 Aa 22,46±3,87 bb IV 16,76±2,68 Aa 15,98±0,85 Aa 23,20±2,35 bb V 16,12±1,56 Aa 15,44±0,83 Aa 22,40±2,49 bb

Tabel 7. Rata-rata nilai MCHC pada tikus putih setelah pemberian natrium siklamat dengan dosis yang bervariasi.

MCHC (%) Kel. 10 hari ke-1 10 hari ke-2 10 hari ke-3 I 36,92±0,52 bb 23,84±0,61 Aa 27,02±3,07 Ba II 29,72±2,00 Aa 24,52±3,24 Aa 29,18±3,56 Aa III 29,40±3,02 Aa 26,50±1,89 Aa 29,50±2,53 Aa IV 32,46±3,56 ABa 27,28±0,39 Aa 31,16±2,49 ABa V 31,06±2,83 Aba 27,06±0,83 Aa 32,30±3,19 ABa

Keterangan Tabel 1-7: Angka yang diikuti huruf kapital yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak beda nyata antar dosis perlakuan. Angka yang diikuti huruf kecil yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak beda nyata antar waktu. I : 2 ml akuades/200 g bb tikus II : 4,5 mg natrium siklamat dalam 2 ml akuades/200 g bb tikus III : 9,5 mg natrium siklamat dalam 2 ml akuades/200 g bb tikus IV : 14,5 mg natrium siklamat dalam 2 ml akuades/200 g bb tikus V : 19,5 mg natrium siklamat dalam 2 ml akuades/200 g bb tikus

Data pada Tabel 1, 2, dan 3, menunjukkan bahwa nilai

MCV dan MCH mengalami sedikit peningkatan pada kelompok perlakuan III (9,5 mg/200g bb), IV (14,5 m g/200g bb) dan V (19,5 mg/200g bb), sedangkan nilai MCHC stabil untuk semua kelompok perlakuan. Nilai MCV menyatakan perbandingan hematokrit terhadap jumlah eritrosit (femtoliter), nilai MCH menyatakan jumlah rata-rata Hb dalam eritrosit (picogram) dan nilai MCHC menyatakan jumlah Hb per unit eritrosit (%). Belum ada standar yang pasti untuk nilai MCV, MCH dan MCHC pada tikus putih yang menyatakan keadaan anemia.

Page 5: Efek Pemberian Natrium Siklamat secara Oral terhadap

B i o S M A R T Vol. 5, No. 2, Oktober 2003, hal. 124-130 128

Dari hasil uji Anava, terlihat bahwa faktor yang berpengaruh signifikan terhadap nilai MCV dan MCH adalah faktor dosis dan waktu (F hitung>0,05), sedangkan faktor interaksi antara dosis dan waktu tidak berpengaruh nyata (F hitung<0,05). Sementara untuk nilai MCHC faktor waktu yang berpengaruh nyata (F hitung>0,05) sedangkan faktor dosis dan interaksi antara waktu dan dosis tidak signifikan (F hitung<0,05).

Nilai MCV pada 10 hari ke-1, 2 dan 3 mengalami peningkatan, sedangkan nilai MCH pada 10 hari ke-1 dan 2 mengalami penurunan dibanding kontrol dan meningkat pada 10 hari ke-3. Nilai MCHC meningkat pada 10 hari ke-1, menurun pada 10 hari ke-2 dan meningkat lagi pada 10 hari ke-3. Nilai MCV selalu berhubungan dengan nilai hematokrit dan jumlah eritrosit. Apabila MCV meningkat namun nilai hematokrit dan jumlah eritrosit menurun berarti peningkatan volume eritrosit tidak mampu tidak diikuti kemampuan untuk mempertahankan keberadaannya dalam darah, serta kerja enzimatis dari eritrosit oleh enzim katalase dan anhidrase karbonat belum mampu mempertahankan keadaan stabil dari proses eritropoiesis. Selain itu, sistem antioksidasi yang terdapat pada membran eritrosit hanya bertahan sementara, keadaan membran yang terus menerus berhubungan dengan oksigen dengan adanya pengaruh radikal bebas dari natrium siklamat menyebabkan eritrosit yang stabil dalam darah hanya sebagian kecil saja, hal ini ditandai dengan volume eritrosit (MCV) yang besar namun jumlah eritrosit menurun.

Pada 10 hari ke-3, MCH meningkat, tetapi jumlah eritrosit menurun. Hal ini berhubungan dengan mekanisme umpan balik yang terjadi pada proses eritropoiesis. Meka-nisme ini berfungsi untuk menyeimbangkan kebutuhan oksigen sehingga fluktuasi (naik turunnya) kadar Hb berhubungan dengan mekanisme tersebut. Kadar Hb yang meningkat pada akhir perlakuan bila dibandingkan dengan saat pertengahan perlakuan akan menyebabkan pengangkutan oksigen dalam darah berjalan dengan baik untuk mengimbangi jumlah eritrosit yang menurun.

Perubahan morfologi eritrosit dan leukosit

Setelah 30 hari perlakuan dengan natrium siklamat, terjadi perubahan struktur morfologi eritrosit, antara lain terdapat eritrosit bentuk paku payung, topi dan adanya poikilositosis (bentuk bervariasi) (Gambar 2 dan 3). Perubahan struktur eritrosit merupakan indikasi terjadinya kerusakan hati. Menurut Hanim (1997), radikal bebas dari pemanis buatan dapat merusak lobulus sel hati karena pembendungan pembuluh darah khususnya di vena sentralis akibat akumulasi dan toksisitas bahan pemanis. Menurut Ressang (1988, dalam Hanim, 1997), akibat pembendungan pembuluh darah terbentuk lintasan melalui sinusoid yang meluas sehingga daerah segitiga Kiernand ikut meluas, selanjutnya aliran darah menjadi tidak lancar.

Perubahan morfologi pada eritrosit tersebut disebabkan hemolisis membran eritrosit. Hemolisis ini terjadi karena membran eritrosit merupakan membran yang berhubungan dengan oksigen. Membran sel seperti membran eritrosit yang berhubungan dengan oksigen, sering mengalami proses oksidasi. Radikal bebas dari natrium siklamat bergabung dengan oksigen yang diikat hemoglobin atau oksigen yang sudah dilepaskan hemoglobin ketika hemoglobin akan berikatan dengan CO2, membentuk ikatan radikal peroksida. Radikal ini menyerang membran eritrosit sehingga struktur membran berubah dan tidak stabil, yang akhirnya berpengaruh pada kehidupan eritrosit. Pada kelompok kontrol tidak terjadi perubahan morfologi, karena massa sel dapat melaksanakan fungsinya secara normal tanpa gangguan dari luar.

Setiap eritrosit dibatasi oleh membran plasma yang merupakan suatu kompleks lipoprotein. Pada bagian bawah membran plasma terdapat kerangka sel (sitoskelet) yang terdiri dari dua lapisan yaitu jala granular vertikal dan filamen horizontal, jala-jala ini terutama tersusun oleh protein kontraktil yang disebut spektrin. Protein ini mampu memelihara bentuk bikonkaf dan memungkinkan pengaliran oksigen dan karbonmonoksida secara efisien di dalamnya. Dalam keadaan normal, sitoplasma berada dalam keseimbangan osmotik dengan plasma. Terjadinya perubahan tekanan osmolaritas antara plasma dan cairan dalam sel akibat adanya larutan natrium siklamat akan

Gambar 1. Bentuk eritrosit tikus kontrol pada 10 hari ke-3.

Gambar 2. Eritrosit bentuk topi setelah pemberian natrium siklamat dosis 9,5 mg/200 g bb 10 hari ke-3.

Page 6: Efek Pemberian Natrium Siklamat secara Oral terhadap

AISYAH, dkk. – Efek Na-siklamat terhadap darah Rattus norvegicus

129

menyebabkan krenasi sel darah. Ini sebagai akibat keluarnya air dari sel-sel sehingga mengkerut dan menghasilkan bentuk sel seolah berduri atau disebut dengan eritrosit bentuk paku payung seperti tampak pada Gambar 3 (Leeson dkk., 1996).

Selain perubahan morfologi yang terjadi pada eritrosit, leukosit juga mengalami perubahan struktural. Pada pemberian natrium siklamat dosis tinggi (19,5 mg/200g bb), terjadi peningkatan jumlah leukosit abnormal. Kelainan yang terjadi berupa adanya hipersegmentasi lobus neutrofil (Gambar 5) pada pemberian dosis 14,5 mg/200 g bb, pada pemberian dosis 19,5 mg/200 g bb menunjukkan kecenderungan terjadinya leukositosis (jumlah leukosit yang terlalu banyak) (Gambar 6). Menurut Hoffbrand dan Pettit (1987), kegagalan sumsum tulang dalam membentuk sel-sel darah menyababkan terbentuknya sel-sel abnormal,

jumlah leukosit dalam sirkulasi meningkat dan menginfiltrasi organ lain. Kerusakan yang terjadi karena radikal bebas dari natrium siklamat dapat merusak sel-sel darah putih.

KESIMPULAN Pemberian natrium siklamat pada tikus putih (Rattus

norvegicus L.) pada dosis 19,5 mg/200g bb tikus menyebabkan terjadinya penurunan nilai hematokrit; pada dosis 4,5 mg/200 gbb, dosis 9,5 mg/200g bb dan dosis 14,5 mg/200 g bb menyebabkan penurunan kadar Hb, dan pada dosis 9,5 mg/200g bb, dosis 14,5 mg/200 g bb dan dosis 19,5 mg/200g menyebabkan penurunan jumlah eritrosit dan meningkatkan jumlah leukosit.

Gambar 3. Eritrosit bentuk (a) paku payung dan (b) poikilositosis setelah pemberian natrium siklamat dosis 19,5 mg/200 g bb pada 10 hari ke-3.

Gambar 5. Bentuk leukosit yang memperlihatkan kerusakan lobus neutrofil setelah pemberian natrium siklamat dosis14,5 mg/200 g bb pada 10 hari ke-3.

Gambar 4. Bentuk leukosit kontrol pada 10 hari ke-3. Gambar 6. Leukosit yang mengalami leukositosis setelah pemberian natrium siklamat dosis 19,5 mg/200 g bb 10 hari ke-3.

a

ab

b

Page 7: Efek Pemberian Natrium Siklamat secara Oral terhadap

B i o S M A R T Vol. 5, No. 2, Oktober 2003, hal. 124-130 130

Hasil pengamatan terhadap morfologi eritrosit dan leukosit tikus putih yang diberi perlakuan dengan natrium siklamat menunjukkan terjadinya eritrosit bentuk paku payung, bentuk topi dan terjadinya poikilositosis (bentuk eritrosit yang bervariasi). Pada leukosit terjadi kerusakan lobus neutrofil dan kecenderungan terjadinya leukositosis (jumlah leukosit yang terlalu banyak).

DAFTAR PUSTAKA

Benyamin, M.M. 1961. Outline of Veterinary Clinical Pathology. 3rd edition. Ames-Iowa: The IOWA State University Press.

Burkitt, H.G., B. Young, dan J.W. Heath. 1995. Histologi Fungsional. Edisi 3. Penerjemah: Tambajong, J. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran.

Gandasoebrata, R. 1992. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta: P.T Dian Rakyat.

Hanim, D. 1997. Pengaruh Vitamin E terhadap Organ Hati dan Uterus Yikus Putih (Rattus norvegicus) Betina yang Diberi Perlakuan Natrium Sakarin dan Natrium Siklamat (Studi Awal: Endometriosis pada Wanita Hamil). [Thesis]. Surakarta: Bagian Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran UNS.

Hoffbrand, A.V dan J.E. Pettit. 1987. Kapita Selekta Haematologi. Edisi 2. Penerjemah: Darmawan, I. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran.

Koeman, J.H.1987. Pengantar Umum Toksikologi. Penerjemah: Yudono, R.H. Yogyakarta: UGM Press.

Leeson, T.S, C.R. Leeson, dan A.A. Paparo. 1996. Buku Ajar Histologi. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedoteran.

Lindsay, R.C. 1985. Food Chemistry. 2nd edition. Penyunting: Fennema, O.R. New York: Marcell Dekker Inc.

Loomis, T.A. 1978. Toksikologi Dasar. edisi 3. Penerjemah: Donatus, I.A.. Semarang: IKIP Press.

Mattingly, D dan C. Seward. 1993. Bedside Diagnosis. edisi 13. Penerjemah: Hartono, A. Yogyakarta: UGM Press.

Murdiati, A., Supriyanto, dan P, Triwitono. 1988. Uji Toksisitas Bahan Pemanis Buatan pada Tikus. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi UGM.

Phillips, J. and P. Murray. 1995. The Biology of Desease. Oxford: Bleckwell Science Ltd.

Sally, T.S. 1996. Pemanis buatan dalam makanan dan minuman. Majalah Ilmiah Fakultas Kedokteran Usakti 15 (2): -

Sally, T.S. 1998. Pemanis buatan dalam beberapa merek madu produksi Indonesia. Majalah Ilmiah Fakultas Kedokteran Usakti 17 (2): -

Smith, J.B dan S. Mangkoewidjaja.1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: UI Press.

Tahono, Hadiwidodo, Yuwono dan Wuryaningsih. 2000. Patologi Klinik I Pengantar Analisa Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran. Surakarta: UNS Press.

Tranggono. 1988. Kimia dan Biokimia Lipid, Kumpulan Hand Out Magang dalam Negeri Kimia dan Biokimia Pangan. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi UGM.

Wulangi, K.S. 1993. Prinsip-prinsip Fisiologi Hewan. Jakarta: Depdikbud Dirjen Pendidikan Tinggi Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan.