dwi rohman.pdf

21
MITOS DAN RITUS LABUH SESAJI DI TELAGA SARANGAN KECAMATAN PLAOSAN KABUPATEN MAGETAN (TELAAH STRUKTUR, MAKNA, DAN NILAI EDUKATIF) Dwi Rohman Soleh ABSTRACT This study aims to understand: (1) the strucuture of Labuh Sesaji myth at Sarangan lake, (2) the meaning Labuh Sesaji myth at Sarangan Lake, (3) the mechanism of Labuh Sesaji myth at Sarangan Lake, (4) the correlation between myth and mechanism of Labuh Sesaji at Sarangan Lake, (5) educational value within the myth and mechanism of Labuh sesaji at Sarangan lake. The study of myth and mechanism of Labuh sesaji at Sarangan lake at Plaosan subdistric, Magetan distric (the analysis of structure, meaning, and educational value of labuh sesaji) was categorized as qualitative sereach, due to the fact that: (1) it had descriptive characteristics, (2) the data that was collected dirrectly by observation, interview, and recorded data, (3) the researcher worked as the instrument as well as the data collector. The study described (1) the structure of Labuh sesaji myth that included: (a) plot, it has beginning, middle, and the ending plot, (b) character, it included the main and secondary character, (c) background. It included place, time and condition background, and (d) and the meaning. It had moral value that should be learned and applied by the society. The value stated that the disaster that hit the society surrounding Sarangan lake was considered as the realization of Kyai Pasir and Nyai Pasir’s anger as the owners of Sarangan Lake. Thus, the society held the Larung sesaji. (2) The meaning of Larung sesaji myth at Sarangan Lake. it showed that Kyai and Nyai Pasir was considered the doer of each disaster at Sarangan Lake. Thus, the disaster should be prevented by Larung Sesaji. (3). The mechanism in Labuh sesaji at Sarangan Lake included salutation ceremony and salamatan ceremony. The salutation ceremony aimed to respect Murcane Kyai and Nyai Pasir at Telaga Sarangan. The salamatan ceremony was aimed to prevent Sarangan society from the disaster that was caused by the anger of Kyai and Nyai Pasir. All of the needs of Labuh Sesaji must be prepared well. It included material, offering, goods, the doer, and the other requirements needed. (4). The meaning of Labuh sesaji at Sarangan Lake vertically meant to get safety, gift to god and ancestry (Kyai and Nyai Pasir) at Sarangan Lake. Yet, horizontally, it supported the interaction between people and government. (5) Educationally, it had historical, moral, and traditional values. Key word: myth, mechanism (ritus), Labuh sesaji mechanism. PENDAHULUAN Dalam sistem budaya masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang majemuk yang terdiri beraneka ragam suku bangsa, ritus/upacara, merupakan salah satu unsur budaya yang mempunyai eksistensi fungsional. Upacara yang kita amati sebagai wujud tradisi masa kini sebenarnya berakar pada sejarah yang terjadi di masa lampau. Suwardi Endraswara (2003:194), menggambarkan bagaimana mitos mewarnai kehidupan orang Jawa, kehidupan orang Jawa banyak dipengaruhi mitos, hal ini tampaknya berkaitan

Upload: lovely-jefry

Post on 21-Nov-2015

299 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • MITOS DAN RITUS LABUH SESAJI DI TELAGA SARANGAN KECAMATAN

    PLAOSAN KABUPATEN MAGETAN

    (TELAAH STRUKTUR, MAKNA, DAN NILAI EDUKATIF)

    Dwi Rohman Soleh

    ABSTRACT

    This study aims to understand: (1) the strucuture of Labuh Sesaji myth at Sarangan

    lake, (2) the meaning Labuh Sesaji myth at Sarangan Lake, (3) the mechanism of Labuh

    Sesaji myth at Sarangan Lake, (4) the correlation between myth and mechanism of Labuh

    Sesaji at Sarangan Lake, (5) educational value within the myth and mechanism of Labuh

    sesaji at Sarangan lake.

    The study of myth and mechanism of Labuh sesaji at Sarangan lake at Plaosan

    subdistric, Magetan distric (the analysis of structure, meaning, and educational value of labuh

    sesaji) was categorized as qualitative sereach, due to the fact that: (1) it had descriptive

    characteristics, (2) the data that was collected dirrectly by observation, interview, and

    recorded data, (3) the researcher worked as the instrument as well as the data collector.

    The study described (1) the structure of Labuh sesaji myth that included: (a) plot, it

    has beginning, middle, and the ending plot, (b) character, it included the main and secondary

    character, (c) background. It included place, time and condition background, and (d) and the

    meaning. It had moral value that should be learned and applied by the society. The value

    stated that the disaster that hit the society surrounding Sarangan lake was considered as the

    realization of Kyai Pasir and Nyai Pasirs anger as the owners of Sarangan Lake. Thus, the society held the Larung sesaji. (2) The meaning of Larung sesaji myth at Sarangan Lake. it

    showed that Kyai and Nyai Pasir was considered the doer of each disaster at Sarangan Lake.

    Thus, the disaster should be prevented by Larung Sesaji. (3). The mechanism in Labuh sesaji

    at Sarangan Lake included salutation ceremony and salamatan ceremony. The salutation

    ceremony aimed to respect Murcane Kyai and Nyai Pasir at Telaga Sarangan. The salamatan

    ceremony was aimed to prevent Sarangan society from the disaster that was caused by the

    anger of Kyai and Nyai Pasir. All of the needs of Labuh Sesaji must be prepared well. It

    included material, offering, goods, the doer, and the other requirements needed. (4). The

    meaning of Labuh sesaji at Sarangan Lake vertically meant to get safety, gift to god and

    ancestry (Kyai and Nyai Pasir) at Sarangan Lake. Yet, horizontally, it supported the

    interaction between people and government. (5) Educationally, it had historical, moral, and

    traditional values.

    Key word: myth, mechanism (ritus), Labuh sesaji mechanism.

    PENDAHULUAN

    Dalam sistem budaya masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang majemuk yang

    terdiri beraneka ragam suku bangsa, ritus/upacara, merupakan salah satu unsur budaya yang

    mempunyai eksistensi fungsional. Upacara yang kita amati sebagai wujud tradisi masa kini

    sebenarnya berakar pada sejarah yang terjadi di masa lampau.

    Suwardi Endraswara (2003:194), menggambarkan bagaimana mitos mewarnai kehidupan

    orang Jawa, kehidupan orang Jawa banyak dipengaruhi mitos, hal ini tampaknya berkaitan

  • dengan paham kejawen yang mereka anut. Mitos di Jawa erat kaitannya dengan keyakinan atau

    kepercayaan. Menurut sejarahnya, mitos mengikuti dan berkaitan erat dengan ritual. Mitos

    adalah bagian ritual yang diucapkan, cerita yang diperagakan oleh ritual. Ritus merupakan

    fenomena budaya yang kaya akan lambang-lambang. Dalam ritus, mengendap nilai-nilai,

    norma-norma, aturan-aturan sebagai aspek ideal. Lambanglah yang telah mengubah gagasan

    manusia menjadi wujud riel kebudayaan. Kebudayaan pada hakekatnya merupakan perangkat

    lambang yang bermakna (Geertz, 1989:52).

    Ritus sebagai fenomena budaya yang kaya akan lambang pada hakekatnya bermakna

    ganda. Di satu sisi merupakan kegiatan yang berfungsi religius dan disisi lain mempunyai

    fungsi sosial. Dikatakan bermakna religius karena berkaiatan dengan aspek supranatural dan

    dikatakan bermakna sosial karena kegiatan ritus tersebut melibatkan masyarakat pendukung

    kebudayaan. Ritus labuh sesaji di Telaga Sarangan sebagai salah satu tradisi masyarakat

    Sarangan yang dilaksanakan setahun sekali tepatnya pada hari Jumat Pon bulan Ruwah. Labuh

    sesaji ini dilakukan untuk memohon agar penunggu Telaga Sarangan tidak marah sebab, bila

    tidak dilakukan labuh sesaji, diyakini oleh masyarakat bahwa penunggu Telaga Sarangan akan

    marah sehingga membuat bencana alam di Sarangan khususnya.

    Fungsi mitos menurut Mulyono (1989:28) ada tiga yaitu:

    1. Fungsi Religius

    Sebagai fungsi religius, mitos dianggap dapat memberikan kesadaran kepada manusia

    bahwa dalam alam semesta itu ada kekuatan gaib, dalam hal itu manusia ikut

    berpartisipasi dan ikut menghayati kekuatan gaib tersebut.

    2. Fungsi Sosial

    Dalam lingkup kehidupan sosial, manusia hidup sebagai mahluk sosial tidak bisa terlepas

    dari keterhubungan dan keterkaitan atau ketergantungan dengan orang lain, mitos

    berusaha membuat seolah-olah menghadirkan kembali peristiwa-peristiwa yang dahulu

    pernah terjadi sedemikian rupa, sehingga peristiwa-peristiwa dari cerita yang dihadirkan

    itu berfungsi sebagai pelajaran atau cerminan bagi kehidupan sosial, bisa memberikan

    jaminan dan perlindungan bagi kepentingan-kepentingan kehidupan di masa kini.

    3. Fungsi Filosofis

    Mitos berusaha menjelaskan tentang alam semesta, kosmologi, kosmogoni, yang

    biasanya terangkai dalam cerita-cerita asal-usul dan sifat terjadinya bumi dan langit.

    Menurut Asep Yudha Wirajaya (2009), pada dasarnya mitos adalah sebuah proses

    komunikasi lintas generasi dalam tataran simbolis yang tertata apik dan rapi untuk mengatasi

  • atau memecahkan berbagai kontradiksi empiris yang tidak terpahami oleh nalar manusia

    (deep structure) suatu masyarakat (http://asepyudha. staff.uns.ac.id/2009/05/27/pelapisan-

    sosial-dan-kekuasaan-dalam-mitoswatugunung-sebuah-telaah-ringkas-struktural-

    antropologis-levi-strauss/).

    Ritus adalah tata cara dalam upacara keagamaan (Dep.P dan K, 1988:75). Sedangkan

    menurut Preusz (dalam Koentjaraningrat, 1985:32) menyatakan bahwa ritus atau upacara

    religi bersifat kosong tak bermakna, apabila tingkah laku manusia di dalamnya di dasarkan

    pada akal rasional dan logika, tetapi secara naluri manusia memiliki suatu emosi mistikal

    yang mendorongnya untuk berbakti kepada kekuatan tinggi yang anehnya tampak kongkret di

    sekitarnya dalam kaitan dengan alam.

    Menurut Roberston (dalam Koentjaraningrat, 1985:32), ada tiga gagasan penting untuk

    menambah pengertian ritus, yaitu mengenai asas-asas dari religi dan agama pada umumnya.

    Pertama, bahwa di samping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara juga penting.

    Dalam agama upacaranya itu tetap, walaupun latar belakang, keyakinan, maksud, dan

    doktrinnya berubah. Kedua, bahwa upacara religi atau ritus biasanya dilakukan oleh banyak

    warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama, maupun

    fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritaskan masyarakat. Ketiga, fungsi ritus yaitu

    pada dasarnya sebagai suatu aktifitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan apa yang

    diyakini (Smith dalam Koentjaraningrat,1985:24).

    Wujud dari ritus biasanya berbentuk aktifitas sebagai wujud adanya emosi keagamaan,

    seperti pendapat Koentjaraningrat (1985:44) bahwa sistem ritus dan upacara dalam suatu

    religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap

    Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, mahkluk halus, dan dalam usahanya untuk

    berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni gaib lainnya. Ritus atau upacara religi biasanya

    berlangsung berulang-ulang, baik setiap hari, setiap musim, atau kadang-kadang saja. Jadi

    dapat disimpulkan ritus adalah perilaku dan sikap yang bisa berwujud upacara, pemujaan,

    ziarah, doktrin, larangan, pantangan, bersujud, berkorban, dan sebagainya dengan tujuan

    untuk memperoleh atau mendapatkan sesuatu yang diharapkan dan menghindari sesuatu yang

    tidak diinginkan dengan berdasarkan pada kepercayaan atau keyakinan yang ada. Ritus

    memiliki sifat turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya.

    Strukturalisme berasal dari konsep yang dikemukakan oleh antropologi Claude Levi-

    Strauuss (dalam Shri Ahimsa-Putra, 2001:67) memiliki sejumlah asumsi dasar. Pertama,

    dalam strukturalisme ada anggapan bahwa aktivitas sosial dan hasil, seperti dongeng,

    upacara-upacara, sistem-sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian,

  • dan sebagainya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa, atau lebih

    tepatnya merupakan perangkat tanda dan simbol yang menyampaikan pesan-pesan tertentu.

    Kedua, para pengamat strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri manusia terdapat

    kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis, sehingga kemampuan ini ada pada semua

    manusia yang normal. Adanya kemampuan ini membuat manusia (seolah-olah) melihat

    struktur di balik berbagai macam gejala. Gejala dipandang memiliki strukturnya sendiri-

    sendiri, yang disebut sebagai surface structure atau struktur permukaan struktur luar. Struktur

    yang ada pada sebuah mitos, suatu sistem kekerabatan, sebuah kostum, sebuah ritual, tata

    cara memasak, dan sebagainya merupakan struktur-struktur permukaan.

    Menurut Shri Ahimsa-Putra (2001-92), analisis struktural Levi-Strauss atas mitos

    sebenarnya juga diilhami oleh teori informasi atau lebih tepat teori komunikasi. Dalam

    perspektif teori ini mitos bukan hanya dongeng pengantar tidur, tetapi merupakan kisah yang

    memuat sejumlah pesan, yang diasumsikan bahwa pengirim pesan adalah orang-orang dari

    generasi terdahulu, para nenek moyang, dan penerimanya adalah generasi sekarang. Jadi di

    situ ada komunikasi anatara dua generasi, tetapi bersifat satu arah.

    Dengan dasar beberapa pandangan di atas, Levi-Strauss (dalam Ahimsa-Putra, 2001:94)

    menetapkan landasan analisis struktural terhadap mitos sebagai berikut. Pertama, bahwa jika

    mitos dipandang sebagai sesuatu yang bermakna, maka makna ini tidaklah terdapat pada

    unsur-unsurnya yang berdiri sendiri, yang terpisah satu dengan yang lain. Cara

    mengkombinasikan unsur-unsur mitos inilah yang menjadi tempat bersemayamnya sang

    makna. Kedua, walaupun mitos termasuk kategori bahasa, namun mitos bukanlah sekedar

    bahasa. Artinya, hanya ciri-ciri tertentu saja dari mitos yang bertemu dengan ciri-ciri bahasa.

    Menurut Ahmadi dan Uhbiyati (1991) bahwa nilai dalam sastra dapat menuntun segala

    kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota

    masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Dalam

    teori di atas, tersirat pengertian bahwa pendidikan merupakan usaha untuk membentuk nilai

    hidup, sikap hidup, kepribadian, dan intelektualitas seseorang. Diyakini bahwa di dalam

    cerita rakyat terkandung nilai-nilai pendidikan yang cukup banyak.

    Metode

    Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian lebih menekankan

    proses dan makna. Dalam penelitian ini informasi yang bersifat kualitatif dideskripsikan

    secara teliti dan analitis. Pendeskripsian meliputi struktur mitos, makna mitos, serta unsur

    ritus, urutan ritus atau deskripsi ritus, makna ritus, dan nilai edukatif.

  • Sebagai penelitian kualitatif, penelitian ini memiliki karakteristik seperti yang dikatakan

    Bogdan Biklen (dalam Aminudin, 1990:14), yaitu (1) natural setting sebagai sumber data

    langsung dan instrumen kuncinya adalah peneliti sendiri, (2) bersifat deskriptif, (3) lebih

    mengutamakan proses daripada hasil, (4) analisis data secara induktif, dan (5) makna atau

    meaning merupakan perhatian utama.

    Sesuai dengan jenis penelitian, yakni penelitian kualitatif, maka penelitian ini

    menggunakan metode deskriptif. Penelitian sastra yang menggunakan metode seperti ini

    tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan

    interpretasi data (Surakhmad, 1982:139).

    Data penelitian ini berupa paparan kebahasaan yang berbentuk informasi verbal lisan

    mengenai cerita asal mula terjadinya telaga Sarangan dan asal mula labuh sesaji. Data

    penelitian yang berupa tuturan lisan ini ditranskripsikan menjadi paparan/tuturan tertulis.

    Data lain berupa hasil observasi dalam bentuk catatan langsung terutama perilaku-perilaku

    ritus yang dijalankan.

    Informan penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah seseorang yang dapat

    memberikan informasi secara lengkap dan akurat, yaitu sesepuh desa Sarangan, kepala desa,

    dan informan dari dinas Pariwisata Kabupaten Magetan.

    Lokasi atau tempat yang ditetapkan dalam penelitian ini cerita Kyai Pasir dan Nyai

    Pasir di Telaga Sarangan. Penelitian ini pengumpulan data dilakukan langsung ke tempat-

    tempat sumber data yang sudah ditentukan.

    Perekaman dilakukan untuk merekam semua pernyataan informan. Hal ini dilakukan

    pada saat wawancara antara informan dan peneliti. Perekaman digunakan untuk menjaring

    data cerita asal mula Labuh Sesaji di Telaga Sarangan dan masyarakat pendukung ritus.

    Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.

    Analisis data merupakan proses mencari dan mengatur secara sistematis transkrip

    wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan dokumentasi untuk tujuan pemahaman bahan-

    bahan tersebut, sehingga memungkinkan dapat dilaporkan hasil penelitian ini pada pihak lain.

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    1. Struktur Mitos

    Struktur mitos Telaga Sarangan ini akan diuraikan, yaitu tentang alur, tokoh, latar,

    dan amanatnya. Adapun keterangannya diuraikan sebagai berikut :

    a. Alur Mitos Telaga Sarangan

    Dalam penelitian ini alur dibagi menjadi alur awal, tengah, dan akhir.

  • 1) Alur Awal

    Pada cerita legenda Telaga Sarangan ditemukan alur awal yaitu pada bagian

    cerita bahwa, hidup sepasang suami istri yang tidak diketahui dari mana asalnya dan

    membangun sebuah pondok di lereng timur Gunung Lawu, tepatnya di Ngelo, yaitu

    sebelah utara lingkungan Sarangan sekarang. Bertahun-tahun mereka hidup

    berdampingan tidak dikaruniai anak, akhirnya mereka bersemedi meminta kepada

    Hyang Widhi agar dikaruniai anak dan akhirnya dikaruniai anak laki-laki.

    2) Alur Tengah

    Cerita selanjutnya ditemukan alur tengah yaitu pada bagian cerita berikut;

    Pasangan suami istri yang menyebutkan diri, Kyai dan Kyai Pasir. Kemudian

    Kyai Pasir pergi bertapa di tempat yang sepi. Dalam semedinya, Kyai Pasir

    mendapat wangsit bahwa cita-citanya akan terwujud bila dapat menemukan dan

    memakan telur di dekat ladangnya. Dengan senangnya sebutir telur yang dicari dan

    didapatkan tersebut dibawa pulang. Sesampainya di rumah lalu diberitahukan

    kepada istrinya, lalu direbus oleh Nyai Pasir. Setelah telur masak kemudian dibagi

    menjadi dua, separuh dimakan Kyai Pasir dan separuhnya lagi dimakan Nyai Pasir.

    3) Alur Akhir

    Di akhir cerita bahwa ditemukan data sebagai berikut;

    Melihat niat jahat kedua orang tuanya itu, semedi Djoko Lilung semakin kuat

    dengan maksud agar niat jahat Kyai dan Nyai Pasir tidak diteruskan. Semedi

    Djaililung diterima dan cekungan yang dibuat Kyai dan Nyai Pasir belum dalam,

    sudah timbul kesadarannya/insyaf bahwa niatnya itu buruk, maka diurungkannya niat

    jahat tersebut. Mereka berdua akan kembali ke Sarangan malu dan akhirnya murco

    (menghilang) di cekungan yang baru tadi.

    b. Tokoh Mitos Labuh Sesaji

    Dalam mitos labuh sesaji ini digolongkan menjadi dua yaitu tokoh utama dan tokoh

    bawahan.

    1) Tokoh Utama

    Dalam cerita mitos di Telaga Sarangan, tokoh utamanya Kyai Pasir dan Nyai

    Pasir.

    2) Tokoh Bawahan

    Dalam mitos di Telaga Sarangan, tokoh bawahannya adalah Djoko Lilung

    anak dari Kyai dan Nyai Pasir.

    c. Latar Mitos Labuh Sesaji

    Dalam cerita ini latar yang pertama adalah latar tempat, ini dikuatkan dengan

    kutipan cerita berikut.

  • Dalam semedinya, Kyai Pasir mendapat wangsit bahwa cita-citanya akan terwujud

    bila dapat menemukan dan memakan telur di dekat ladangnya.

    d. Amanat Labuh Sesaji

    Dalam cerita mitos Telaga Sarangan tersebut kita dapat menemukan pada cerita

    bahwa seorang anak yang mau mendoakan orang tuanya yang mempunyai niat jahat

    untuk tidak meneruskan niat jahatnya. Seorang anak dengan tekadnya yang kuat akan

    kepercayaan untuk memohon kepada Sang Pencipta agar orang tuanya diberikan

    kesadaran akan tindakannya yang salah.

    2. Struktur Ritus

    a. Alur Labuh Sesaji di Telaga Sarangan

    Dalam penelitian ini alur dibagi menjadi alur awal, tengah, dan akhir.

    1) Alur Awal

    Labuh sesaji dimulai dengan mempersiapkan semua yang diperlukan dalam

    labuh sesaji yaitu berupa penyediaan bahan, alat, pakaian atau busana, dan panitia

    (pelaku) baik panitia yang membuat sesaji maupun panitia pada waktu pelaksanaan.

    2) Alur Tengah

    Pada bagian ini labuh sesaji pada kegiatan pelaksanaan atau prosesi. Setelah

    semua sesaji siap, lalu dikumpulkan menjadi satu di balai desa kemudian dibawa ke

    punden. Sesampainya di punden, sesaji dibacakan doa oleh sesepuh desa yaitu Mbah

    Parto Sentono.

    3) Alur Akhir

    Setelah sesaji dibacakan doa oleh sesepuh desa maka, semua sesaji dibawa ke

    tengah telaga dengan perahu untuk dilarungkan.

    b. Tokoh Labuh Sesaji di Telaga Sarangan

    1) Tokoh Utama

    Dalam labuh sesaji di Telaga Sarangan, Kepala Desa digambarkan sebagai

    seseorang yang tinggal di sekitar Telaga Sarangan. Mereka tinggal disana dengan

    berbagai kesibukan dalam mengatur rumah tangganya sendiri-sendiri maupun rumah

    tangga pemerintahan.

    2) Tokoh Bawahan

    Dalam labuh sesaji Telaga Sarangan, tokoh prajurit, pengapit sesepuh, dan

    pembawa penarung adalah sekelompok orang yang mempunyai tugas membantu

    kepala desa untuk mengadakan upacara labuh sesaji.

  • c. Latar Labuh Sesaji di Telaga Sarangan

    Latar labuh sesaji di Telaga Sarangan diklasifikasikan menjadi tiga macam,

    yaitu (1) latar ruang (tempat), (2) latar waktu, dan (3) latar suasana.

    d. Amanat Labuh Sesaji di Telaga Sarangan

    Amanat yang terdapat di labuh sesaji, yakni masyarakat Sarangan

    beranggapan bahwa bencana alam yang menimpa masyarakat Sarangan diakibatkan

    oleh penghuni Telaga Sarangan yang marah (Kyai Pasir dan Nyai Pasir), sehingga

    kejadian semacam itu tidak boleh dibiarkan saja, maka perlu ditindak-lanjuti dengan

    wujud memberi sesaji yang dilarungkan ke Telaga Sarangan.

    2. Makna Mitos Labuh Sesaji di Telaga Sarangan

    Setiap terjadi bencana alam di Sarangan yang berupa angin topan, hujan lebat,

    kabut tebal yang datang secara tiba-tiba dan berlangsung berhari-lari, sesepuh Desa

    Sarangan pada malam hari melihat cahaya terang dari pohon rindang di tepi telaga

    tempat naga menghilang itu. Bencana alam baru dapat reda apabila cahaya terang itu

    sudah menghilang. Oleh sebab itu, sesepuh Desa Sarangan menyarankan untuk

    membuat penolak balaknya yaitu dengan membuat sesaji.

    3. Ritus Labuh Sesaji di Telaga Sarangan

    Dari peristiwa-peristiwa yang melanda keluarga Kyai dan Nyai Pasir, akhirnya

    masyarakat sekitar menyakralkan peristiwa tersebut dengan cara membuat sesaji yang

    diletakkan di punden yang letaknya di pinggir telaga. Ini dilakukan setiap selapan hari

    (35 hari) sekali tepatnya hari Kamis Pahing malam Jumat Pon dan juga dilarungkan ke

    Telaga Sarangan.

    1. Deskripsi Pelaksanaan Labuh Sesaji di Telaga Sarangan

    a. Sesaji dan Perlengkapan Lainnya

    a) Sesaji yang dipersembahkan

    1) Cok Bakal

    Cok bakal terdiri dari :

    (a) Sirih yang dilipat/digulung kemudian diikat dengan benang, (b) Jenang

    merah, (c) Jenang putih, (d) Uang gobog, (e) Cabai merah 1 buah, (f) Telur

    ayam mentah 1 butir, (g) Takir dari daun pisang.

    2) Kemenyan madu gondo arum

    Kemenyan madu gondo arum Yaitu kemenyan yang harum baunya.

    3) Sekar telon gondo wangi

  • Sekar telon gondo wangi terdiri dari tiga macam bunga yaitu:

    (a) bunga melati, (b) bunga kanthil, (c) bunga kenanga

    4) Panggang ayam tulak rojo muko/panggang tumpeng Panggang tumpeng

    terdiri dan: (a) panggang ayam 1 buah, (b) nasi tumpeng dengan lauk-pauk

    dan sayur-mayur

    5) Pisang ayu apupus cindhe

    Pisang ayu apupus cindhe terdiri dari 2 macam pisang yaitu:

    (a) pisang rojo

    (b) pisang ambon hijau

    6) Jenang sapto warno

    Sesuai dengan namanya jenang ini terdiri dari 7 macam jenis warna yaitu :

    (a) jenang merah, (b) jenang putih, (c) jenang kuning, (d) jenang hitam,

    (e) jenang merah yang bagian tengahnya diberi sedikit jenang warna kuning,

    (f) jenang putih yang bagian tengahnya dan beri sedikit jenang warna

    hitam, (g) jenang putih yang bagian tengahnya diberi sedikit jenang warna

    merah.

    7) Arang-arang kambang

    Arang-arang kambang berupa dawet ketan yang dilengkapi dengan juruh.

    8) Asahan bekti pertiwi

    Asahan bekti pertiwi terdiri dari senampan nasi dengan bermacam-macam

    lauk pauk.

    9) Golong hangesti tunggal

    Golong hangesti tunggal berupa nasi golong yang dibuat bulat-bulat, yang

    jumlahnya sembilan.

    10) Pudak ripih widodari

    Pudak ripih widodari terdiri dari 17 macam makanan yaitu;

    (a) panggang ayam, (b)u dari minyak tanah (lampu ublek) 2 buah, (c) pisang

    godog, (d) pisang yang sudah masak, (e) kelapa tua 2 buah yang sudah

    dikupas kulitnya, (f) mayang 2 buah ditaruh diatas piring, (g)jajanan, (h) mie

    goreng, (i) kupat-lepet 2 piring, (j) kendi (tempat air dari tanah liat yang

    kecil) 2 buah, (k)botok tawon, (1) botok tempe, (m) botok asren, (n) nasi 2

    piring, (o) wawa 2 bongkeh yang ditaruh di atas layah, (p) ngantenan (orang-

    orangan yang dibuat dari jenang merah), (q) gorengan

    11) Rojo tetukulan

  • Rojo tetukulan ini semua hasil pertanian yang ada di Desa Sarangan. Semua

    sesaji tersebut di atas dijadikan satu, dinamakan Sesaji Agung.

    b) Prosesi

    Prosesi dimulai dari dari Balai Kelurahan Sarangan. Dari tempat ini prosesi

    diawali dengan barisan yang diatur sesuai dengan formasi yang telah dijelaskan di

    atas. Prosesi ini dilakukan dengan berjalan kaki kecuali pasukan berkuda yang

    berjumlah empat orang naik kuda dengan jarak kurang lebih 0,5 km dan berhenti

    di punden sebelah timur telaga.

    b. Pakaian / Busana

    Dalam acara Labuh Sesaji di Telaga Sarangan, untuk pakaian tidak ada ketentuan

    khusus pakaian yang harus dikenakan pada setiap rangkaian kegiatan sejak mulai

    persiapan, maupun pelaksanaan. Artinya, bahwa tidak ada keharusan untuk memakai

    pakaian tertentu dalam pelaksanaan ritus tersebut. Walaupun demikian, dari tradisi

    pelaksanaan ritus yang sudah berjalan dari tahun ke tahun nampaknya memunculkan

    kebiasaan mengenai jenis pakaian yang sering digunakan dalam pelaksanaan Ritus

    Labuh Sesaji di Telaga Sarangan. Berikut ini diuraikan jenis pakaian yang biasa

    dikenakan dalam penyelenggaraan kegiatan tesebut.

    a) Sesepuh Desa

    Untuk sesepuh desa memakai pakaian Jawa lengkap dengan blangkon, memakai

    keris. Pakaian atas berwarna gelap atau hitam sedangkan pakaian bawah

    mengenakan jarik.

    b) Prajurit Berkuda

    Untuk prajurit berkuda dengan jumlah empat orang mengenakan ala penganten

    Jawa laki-laki pakai kuluk.

    c) Subo Manggolo (Cucuk Laku)

    Pakaian Subo Manggolo mengenakan pakaian Jawa lengkap dengan blangkon,

    memakai keris, dan berkalungkan bunga melati putih.

    d) Pembawa Penarung

    Pembawa penarung mengenakan pakaian Jawa lengkap.

    e) Pengapit Sesepuh Desa

    Pakaian pengapit sesepuh desa mengenakan pakaian Jawa lengkap dengan

    blangkon

    f) Kepala Kelurahan

    Bapak Lurah dan istri mengenakan pakaian ala pengantin Jawa.

  • g) Pengapit Kepala Kelurahan

    Pakaian pengapit kepala kelurahan mengenakan pakaian Jawa lengkap

    h) Pembawa Sosong Agung

    Untuk pembawa sosong agung dilakukan oleh seorang wanita yang cantik dengan

    pakaian basahan.

    i) Domas Putra dan Putri

    Untuk putra dengan jumlah sepuluh orang dengan mengenakan pakaian Jawa

    lengkap.Sedangkan domas putrinya berjumlah empat belas dengan perincian

    sepuluh mengenakan pakaian kebaya ala Jawa.

    j) Pembawa Tumpeng Agung

    Pembawa tumpeng agung memakai pakaian hitam-hitam, memakai udeng kepala.

    k) Pembawa Sesaji Hasil Pertanian

    Para pembawa sesaji hasil pertanian mengenakan pakaian hitam-hitam dan

    memakai udeng kepala.

    1) Unit Kejawen

    Sesuai dengan namanya unit kejawen ini mengenakan pakaian Jawa lengkap

    pakai blangkon, memakai keris.

    m) Unit Kesenian

    Untuk pakaian unit kesenian disesuaikan dengan kesenian yang didatangkan oleh

    panitia.

    n) Unit Perangkat/RT dan RW

    Untuk para perangkat mengenakan pakaian Jawa lengkap.

    c. Penetapan Waktu

    Waktu pelaksanaan ritus labuh sesaji ditentukan menurut penanggalan Jawa yang

    jatuh pada hari Jumat Pon bulan Ruwah, tetapi penanggalan ini tidak bisa dipastikan

    karena kadang-kadang bulan Ruwah tidak ada hari Jumat Pon-nya. Kemudian panitia

    labuh sesaji mengambil kebijaksanaan dengan mempertimbangkan pendapat sesepuh

    desa yaitu dengan mengajukan pada bulan Rejeb.

    d.Personalia

    Personalia pelaksana Ritus Labuh Sesaji di Telaga Sarangan sangat tergantung pada

    perekrutan kepanitiaan, kendatipun demikian di dalamnya tetap mencerminkan

    berbagai unsur perwakilan. Unsur perwakilan yang dimaksud antara lain; a) unsur

    masyarakat (sesepuh desa),b) unsur aparat desa dan kecamatan, c) unsur dari Pemda.

  • e. Syarat khusus yang harus dipenuhi

    Dalam Ritus Labuh Sesaji di Telaga Sarangan ini tidak ada pantangan atau sesuatu

    yang harus dijauhi. Menurut Mbah Parto (Sesepuh Desa) bahwa yang harus dipenuhi

    adalah tentang kelengkapan sesaji. Kalau sesaji yang telah ditetapkan sudah

    terpenuhi atau lengkap maka sudah cukup dan labuh sesaji bisa dilaksanakan.

    f. Prosesi

    a) Awal prosesi

    Pemberangkatan dimulai dari Ba1ai Kelurahan Sarangan, kurang lebih 500 meter

    dari Telaga Sarangan. Dalam perjalanan dari Balai Kelurahan Sarangan, peserta

    yang membawa sesaji dilakukan dengan berjalan kaki kecuali, empat pasukan

    berkuda dengan naik kuda.

    b) Upacara

    Upacara Labuh Sesaji dipusatkan di punden desa tepatnya sebelah timur telaga, di

    tempat inilah para pejabat Kabupaten, Muspika, para perangkat desa, sesepuh, dan

    tokoh masyarakat serta para warga masyarakat berkumpul untuk mengadakan

    sesaji. Setelah semua sesaji diterima oleh sesepuh desa, maka Mbah Parto

    membakar menyan serta membaca doa. Setelah pembacaan doa selesai sesaji

    dibawa ke telaga untuk dilarungkan kecuali, sesaji yang berisi nasi tumpeng yang

    berukuran kecil, panggang, cok bakal, dan setakir bunga telon ditinggal di bawah

    pohon beringin yang ada di punden desa.

    c) Pelarungan Sesaji Agung Labuh Tumpeng Gono Bahu

    Pelarungan dilakukan setelah sesaji Agung Labuh Tumpeng Gono Bahu

    dikumpulkan menjadi satu di punden dan dibacakan doa oleh sesepuh Desa

    Sarangan.

    B. Pembahasan

    1. Struktur Mitos

    Struktur mitos dalam labuh sesaji di Telaga Sarangan ini akan diuraikan, yaitu

    tentang alur, tokoh, latar, dan amanatnya. Adapun keterangannya diuraikan sebagai

    berikut :

    a. Alur Labuh Sesaji di Telaga Sarangan

    Dalam penelitian ini alur dibagi menjadi alur awal, tengah, dan akhir.

    1) Alur Awal

    Labuh sesaji dimulai dengan mempersiapkan semua yang diperlukan dalam labuh sesaji

  • yaitu berupa penyediaan bahan, alat, pakaian atau busana, dan panitia (pelaku) baik

    panitia yang membuat sesaji maupun panitia pada waktu pelaksanaan. Untuk penentuan

    waktu pelaksanaan sudah ditentukan yaitu pada hari Jumat Pon bulan Ruwah.

    2) Alur Tengah

    Pada bagian ini labuh sesaji pada kegiatan pelaksanaan atau prosesi. Setelah semua

    sesaji siap, lalu dikumpulkan menjadi satu di balai desa kemudian dibawa ke punden.

    Sesampainya di punden, sesaji dibacakan doa oleh sesepuh desa yaitu Mbah Parto

    Sentono.

    3) Alur Akhir

    Setelah sesaji dibacakan doa oleh sesepuh desa maka, semua sesaji dibawa ke tengah

    telaga dengan perahu untuk dilarungkan. Mereka meyakini bahwa dengan melarungkan

    di tengah telaga semua sesaji akan dimakan Kyai dan Nyai Pasir yang berada di dasar

    telaga.

    b. Tokoh Labuh Sesaji

    1) Tokoh Utama

    Dalam labuh sesaji di Telaga Sarangan, Kepala Desa digambarkan sebagai seseorang

    yang tinggal di sekitar Telaga Sarangan. Mereka tinggal disana dengan berbagai

    kesibukan dalam mengatur rumah tangganya sendiri-sendiri maupun rumah tangga

    pemerintahan. Jadi dapat disimpulkan bahwa tokoh tersebut merupakan tokoh utama

    karena tokoh kepala desa banyak berperan dan banyak mengambil tindakan dalam

    peristiwa labuh sesaji.

    2) Tokoh Bawahan

    Dalam labuh sesaji Telaga Sarangan, tokoh prajurit, pengapit sesepuh, dan pembawa

    penarung adalah sekelompok orang yang mempunyai tugas membantu kepala desa

    untuk mengadakan upacara labuh sesaji.

    c. Latar Labuh Sesaji di Telaga Sarangan

    Seperti sudah dijelaskan dalam kajian pustaka, latar cerita adalah tempat, waktu,

    peristiwa, dan benda-benda tertentu yang berfungsi melogiskan peristiwa. Mengacu pada

    pengertian tersebut, latar labuh sesaji di Telaga Sarangan dapat diklasifikasikan menjadi tiga

    macam, yaitu (1) latar ruang (tempat), (2) latar waktu, dan (3) latar suasana.

    1) Latar ruang (tempat)

    Latar ruang (tempat) merupakan keterangan tentang ruang (tempat) terjadinya peristiwa

    Telaga Sarangan yang kemudian untuk memperingati peristiwa tersebut diadakannya

    labuh sesaji. Pada labuh sesaji di Telaga Sarangan yang paling dominan adalah ruang

  • alam bebas yakni Telaga Sarangan itu sendiri (tempat menghilangnya Kyai dan Nyai

    Pasir).Dari pernyataan di atas, dapat kita simpulkan bahwa gambaran ruang (tempat)

    labuh sesaji di Telaga Sarangan terdiri atas tempat nyata.

    2) Latar Waktu

    Dalam labuh sesaji di Telaga Sarangan, latar waktu labuh sesaji tampak jelas, yakni

    dieksplisitkan sama (tidak berubah) dengan labuh sesaji pada waktu dulu yang dilakukan

    setiap selapan hari (35 hari), hari Kamis Pahing malam Jumat Pon.

    3) Latar Suasana

    Latar suasana merupakan keterangan tentang suasana berlangsungnya peristiwa labuh

    sesaji di Telaga Sarangan. Adapun latar suasana dalam labuh sesaji di Telaga Sarangan

    dapat diuraikan sebagai berikut :

    1) Suasana cemas, tergambar pada saat prosesi upacara dilaksanakan, karena sesepuh

    desa merasa cemas dan takut apabila sesaji yang dipersembahkan kepada Kyai Pasir

    dan Nyai Pasir (diyakini penguasa Telaga Sarangan ) tidak diterima.

    2) Suasana sakral, tergambar pada saat upacara berlangsung di punden yang diiringi

    dengan pembacaan doa yang ditujukan kepada-Nya dan pelarungan sesaji tengah

    telaga, agar warga Sarangan diberi rezeki dan keselamatan dari berbagai bencana

    alam yang disebabkan oleh penghuni Telaga Sarangan yang marah.

    d. Amanat Labuh Sesaji di Telaga Sarangan

    Amanat labuh sesaji di Telaga Sarangan, yang mengandung ajaran budi pekerti

    yang patut dicontoh dan dikerjakan, juga mengandung falsafah hidup yang patut

    direnungkan dan dilaksanakan.

    2. Makna Mitos Labuh Sesaji di Telaga Sarangan

    Setiap terjadi bencana alam di Sarangan yang berupa angin topan, hujan lebat, kabut tebal

    yang datang secara tiba-tiba dan berlangsung berhari-hari. Kejadian yang mengerikan ini

    tidak lain adalah ulah Kyai dan Nyai Pasir yang sedang marah. Oleh sebab itu, sesepuh

    desa Sarangan membuat penolak balaknya yaitu dengan membuat sesaji.

    3. Ritus Labuh Sesaji di Telaga Sarangan

    Dari peristiwa-peristiwa yang melanda keluarga Kyai dan Nyai Pasir, akhirnya masyarakat

    sekitar menyakralkan peristiwa tersebut dengan cara membuat sesaji yang diletakkan di

    punden yang letaknya di pinggir telaga. Ini dilakukan setiap selapan hari (35 hari) sekali

    tepatnya hari Kamis Pahing malam Jumat Pon dan juga dilarungkan ke Telaga Sarangan.

    Hal ini biasanya dilakukan setahun sekali, tepatnya hari Jumat Pon bulan Ruwah.

    Seperti lambang dalam wujud upacara, yang besar sekali pengaruhnya terhadap tata

  • kehidupan masyarakat dan akan selalu diingat sampai akhir hayatnya.

    1. Cok Bakal

    Cok Bakal yaitu yang terdiri dari sirih yang diikat dengan benang, jenang merah,

    jenang putih, uang gobog/kuno, cabal merah, telur ayam mentah 1 buah. Semua ditata

    dan dimasukkan ke dalam kotak (takir: bahasa Jawa) yang dibuat dari daun pisang.

    Perlengkapan itu semua mempunyai arti sebagai berikut :

    a) Sirih

    Sirih berguna untuk menebus atau dalam bahasa Jawa dikenal istilah tebusan apa

    yang menjadi maksud atau tujuannya.

    b) Jenang merah

    Jenang merah melambangkan darah bapak.

    c) Jenang putih

    Jenang putih melambangkan darah ibu

    d) Uang gobog/kuno

    Uang gobog/kuno merupakan pelengkap tebusan pada sirih yang diikat diatas.

    e) Cabai merah

    Cabai merah menggambarkan sikap manusia dilambangkan dengan rasa pedas

    dengan arti sikap manusia yang berani

    f) Telur ayam mentah 1 butir

    Telur ayam mentah dimaksudkan untuk dipersembahkan pada danyang yang

    menguasai suatu tempat.

    2. Kemenyan madu gondo arum

    Kemenyan madu gondo arum yaitu kemenyan yang harum baunya. Kemenyan

    merupakan sarana permohonan pada waktu orang mengucapkan permintaan berupa doa

    atau mantra.

    3. Sekar telon gondo wangi

    Sekar telon gondo wangi berupa tiga macam bunga yaitu bunga melati, kanthil dan

    kenanga. Sekar telon gondo wangi melambangkan asal manusia yaitu dari tri tunggal

    yang maksudnya bersatunya (manunggaling) Tuhan-bapak-ibu. Juga melambangkan

    kehidupan manusia, berkenaan dengan sifat hidup dan kodrat menghidupi, yang

    membuat hidup. Adapun kodrat manusia terdiri dari tiga yaitu lahir, berkembang biak

    dan mati.

    4. Panggang tumpeng

    Panggang tumpeng yaitu perpaduan antara ayam yang dipanggang dengan tumpeng.

  • a) Panggang yaitu ayam yang dipanggang

    Panggang atau juga disebut dengan ingkung mempunyai makna atau arti suatu

    pengorbanan secara tulus yang diperuntukkan kepada Tuhan maupun kepada leluhur

    yang telah memberikan keselamatan dan perlindungan selama ini. Oleh karena itu,

    ada suatu kewajiban manusia untuk berterima kasih kepada Tuhan maupun kepada

    leluhurnya.

    b) Tumpeng yaitu nasi putih yang dibentuk kerucut dan tanpa lauk pauk. Tumpeng

    dibentuk seperti gunung mempunyai arti atau makna sebagai tempat tinggal para dewa

    yang dihormati atau dipuja oleh masyarakat pendukungnya dan mempunyai maksud

    bahwa segala permohonan ditujukan kepada Tuhan, dengan harapan agar apa yang

    dimohon atau diharapkan oleh umatnya dapat dikabulkan oleh Tuhannya.

    5. Pisang apupus cindhe

    Pisang apupus cindhe yaitu berupa pisang raja dan pisang ambon hijau. Sesaji ini

    mempunyai makna persembahan untuk Suryo Condro yaitu matahari dan rembulan

    yang menyinari bumi siang dan malam.

    6. Jenang sapto warna

    Jenang sapta warna ini sesuai dengan namanya, jenang ini terdiri dan 7 jenis warna

    yaitu:

    a) Jenang merah

    Jenang merah melambangkan darah bapak.

    b) Jenang putih

    Jenang putih melambangkan darah ibu.

    c) Jenang kuning

    Jenang kuning melambangkan kelemahan manusia.

    d) Jenang hitam

    Jenang hitam melambangkan sifat manusia yang angkara murka.

    e) Jenang merah yang bagian tengahnya diberi sedikit jenang warna kuning. Jenang

    ini melambangkan warna merah mempunyai makna sikap manusia yang berani dan

    warna kuning menunjukkan sikap manusia yang temah dan suci.

    t) Jenang putih yang bagian tengahnya diberi sedikit jenang warna hitam

    Jenang ini disebut juga jenang sengkala maksudnya agar terhindar dari godaan

    syetan.

    g) Jenang putih yang bagian tengahnya diberi sedikit jenang warna merah

    7. Arang-arang kambang

  • Arang-arang kambang berupa dawet ketan dilengkapi dengan juruh. Arang-arang

    kambang ini disebut juga `jenang sewu' mempunyai maksud untuk persembahan

    saudara manusia yang seribu yang berada dimana-mana.

    8. Asahan bekti pertiwi

    Asahan bekti pertiwi ini terdiri dari senampan nasi dengan bermacam-macam lauk

    pauk. Sesaji ini diperuntukkan kepada saudara atau nenek moyang yang menjadi cikal

    bukal sudah meninggal.

    9. Golong hangesti tunggal

    Golong hangesti tunggal berupa nasi yang dibuat bulat-bulat yang jumlahnya 9 dengan

    maksud nasi yang dibuat bulat-bulat, ini mempunyai makna agar orang itu mempunyai

    tekad yang bulat, maka segala cita-citanya akan lekas tercapai.

    10. Pudhak ripih widodaren

    Pudhak ripih widodaren yaitu berupa bermacam-macam ubarampe sebagaimana

    pudhak ripih pada acara temanten.

    11. Rojo tetukulan

    Rojo tetekulan merupakan hasil pertanian yang ada di desa Sarangan. Ini merupakan

    perwujudan syukur pada Tuhan yang telah memberikan pada semua masyarakat

    Sarangan dan sekitarnya.

    4. Hubungan antara Mitos dan Ritus Labuh Sesaji di Telaga Sarangan

    Bagi masyarakat Desa Sarangan kegiatan bersih desa merupakan suatu tradisi turun-

    temurun yang memiliki nilai-nilai sakral yang tinggi. Mereka yakin bahwa tidak

    melakukan bersih desa atau lebih dikenal dengan labuh sesaji, akan membawa akibat

    buruk bagi nasib mereka, yaitu bencana alam atau membuat Kyai Pasir dan Nyai Pasir

    marah. Bersih desa atau labuh sesaji merupakan sesuatu yang harus dilakukan, masyarakat

    juga harus memperhatikan betul kelengkapan sesaji.

    Untuk lebih mempermudah mengetahui makna ritus labuh sesaji dibedakan menjadi tiga

    yaitu :

    a. Makna Secara Vertikal

    Secara vertikal makna labuh sesaji yaitu selain memperingati murcane (hilangnya)

    Kyai dan Nyai Pasir yang berwujud ular naga, mengandung maksud untuk mohon

    berkah, ngalap berkah, memohon rezeki, dijauhkan dari malapetaka, meminta

    keselamatan di dunia dan akhirat, yang lebih utama adalah usaha untuk meningkatkan

    Manunggaling Kawulo Gusti yaitu sebuah konsep religi yang berpusat pada

    pemahaman tentang hubungan kesatuan dan keesaan antara Al Khalik dan makhluk-

  • Nya.

    b. Makna Secara Horisontal

    Dengan mengacu pendapat Santoso (dalam Moertjipto dkk, 1997:101) fungsi

    upacara tradisional pada masyarakat pendukungnya, mempunyai 4 tujuan yaitu sebagai

    : (1) norma sosial, (2) pengendali sosial, (3) media sosial, (4) pengelompokan sosial.

    Seperti diketahui bahwa dalam upacara tradisional terdapat simbol-simbol yang

    bermakna positif dan mengandung nilai-nilai atau norma-norma sosial.

    Ditinjau dari segi horisontal, labuh sesaji di Telaga Sarangan lebih bermakna untuk

    membangun solidaritas sosial antara sesama masyarakat Sarangan dan dengan para

    pejabat pemerintah. Dalam kondisi seperti ini stratifikasi sosial bukan lagi hal yang

    ditonjolkan, maka ini merupakan kesempatan yang baik untuk memupuk semangat

    persatuan, menumbuhkan jiwa gotong-royong serta tenggang rasa antara sesama warga

    masyarakat.

    5. Nilai Edukatif dalam Mitos dan Ritus Labuh Sesaji di Telaga Sarangan

    a. Nilai Moral

    Dalam mitos dan ritus labuh sesaji ini, ditemukan nilai moral pada cerita Djoko

    Lelung melihat bahwa kedua orang tuanya berubah menjadi ular dan ingin membuat

    genangan air sebanyak-banyaknya untuk menenggelamkan gunung Lawu.

    Mengetahui niat jahat kedua orang tuanya itu, Djoko Lelung bersemedi agar orang

    tuanya tidak meneruskan niat jahatnya untuk menenggelamkan gunung Lawu. Di

    situlah letak bahwa sikap seorang anak mengingatkan dan mendoakan orang tuanya

    yang menyimpang dan berniat jahat akan merugikan orang banyak dan orang tuanya

    pun insyaf bahwa niatnya itu buruk.

    b. Nilai Adat (Tradisi)

    Nilai adat (tradisi) yang terdapat dalam mitos dan ritus labuh sesaji ini adalah

    fungsi upacara tradisional pada masyarakat pendukungnya, mempunyai empat

    tujuan yaitu sebagai : (1) norma sosial, (2) pengendali sosial, (3) media sosial, (4)

    pengelompokan sosial. Ritus labuh sesaji di Telaga Sarangan lebih bermakna untuk

    membangun solidaritas sosial antara sesama masyarakat Sarangan dan dengan para

    pejabat pemerintah. Dalam kondisi seperti ini stratifikasi sosial bukan lagi hal yang

    ditonjolkan, maka ini merupakan kesempatan yang baik untuk memupuk semangat

    persatuan, menumbuhkan jiwa gotong-royong serta tenggang rasa antara sesama

    warga masyarakat Sarangan khususnya.

  • c. Nilai Sejarah (Historis)

    Sebagaimana diketahui bersama bahwa ritual labuh sesaji sangat mungkin

    bermuatan kisah masa silam. Oleh karena itu, kisah masa silam dalam ritual labuh

    sesaji merupakan rekaman fakta sejarah yang sesungguhnya. Pada dasarnya ritual

    labuh sesaji merefleksikan kehidupan masyarakat. Kejadian-kejadian atau peristiwa-

    peristiwa pada masa lampau pada mitos dan ritus labuh sesaji dapat ditelusuri

    kembali melalui tradisi memberikan sesaji setiap hari Jumat Pon di Telaga Sarangan

    tepatnya sekarang menjadi punden desa, yang tempat tersebut dipercayai penunggu

    Telaga Sarangan itu berada. Melalui cerita mitos dan ritus labuh sesaji setidaknya

    dapat dirunut kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi masa

    lampau. Masyarakat mempercayai bahwa dengan memberikan sesaji pada penunggu

    telaga Sarangan, masyarakat tidak akan mendapatkan bencana yang ditimbulkan

    oleh penunggu Sarangan.

    Simpulan

    Berdasarkan pemaparan data di atas maka, dapat ditarik simpulan:

    1. Struktur mitos labuh sesaji di Telaga Sarangan

    Alur labuh sesaji di Telaga Sarangan adalah (a) alur awal yang dimulai dimulai

    dengan mempersiapkan semua bahan, alat, sesaji, pakaian, dan personalia yang

    diperlukan dalam labuh sesaji, (b) alur tengah ini pada pelaksanaan atau prosesi, (c) alur

    akhir yaitu saat sesaji dibawa ke tengah telaga untuk dilarungkan.

    Tokoh-tokoh labuh sesaji di Telaga Sarangan terdiri dari tokoh utama dan tokoh

    bawahan. Tokoh utamanya yaitu Kepala Desa dan sesepuh desa. Sedangkan tokoh

    bawahannya adalah prajurit, pembawa penarung, subo manggolo, pengapit sesepuh desa,

    pembawa sosong agung, domas putra putri, pembawa tumpeng agung, pembawa sesaji

    dan masyarakat sekitarnya.

    Latar labuh sesaji yaitu latar ruang (tempat), latar waktu, dan latar suasana. (1)

    Latar ruangnya (tempat) adalah ruang alam bebas yakni telaga Sarangan itu sendiri

    (tempat menghilangnya Kyai dan Nyai Pasir). (2) Latar waktu labuh sesaji dieksplisitkan

    sama labuh sesaji pada waktu dulu yang dilakukan setiap "selapan hari" (35 hari), hari

    Kamis Pahing malam Jum'at Pon. (3) Latar suasana dalam labuh sesaji di Telaga

    Sarangan. Pertama, suasana cemas yakni pada saat prosesi upacara dilaksanakan. Kedua,

    suasana sakral yakni tergambar pada saat upacara berlangsung di punden yang diiringi

    dengan pembacaan doa yang dilakukan oleh sesepuh adat. Amanat dalam labuh sesaji di

    Telaga Sarangan mengandung ajaran budi pekerti yang patut dicontoh dan dikerjakan,

  • juga mengandung falsafah hidup.

    2. Makna mitos labuh sesaji di Telaga Sarangan

    Setiap terjadi bencana alam di Sarangan, maka penduduk Sarangan menganggap bahwa

    yang melakukan adalah Kyai dan Nyai Pasir. Oleh sebab itu, para orang dulu berpikiran

    bahwa kejadian semacam ini perlu ditangkal, dengan wujud sesaji yang tujukan kepada

    Kyai dan Nyai Pasir agar tidak mengganggu dan diyakini dapat melancarkan rezeki

    warga Sarangan.

    3. Ritus labuh sesaji di Telaga Sarangan

    Ritus yang sampai ini saat ini dilaksanakan oleh masyarakat Sarangan dan sekitarnya

    berupa upacara penghormatan dan upacara selamatan. Dalam ritus labuh sesaji di Telaga

    Sarangan perlu dipersiapkan segala sesuatunya baik yang menyangkut bahan, sesaji,

    peralatan, personalia maupun waktu penyelenggaraan dan syarat-syarat yang harus

    dipenuhi. Dalam ritus labuh sesaji di Telaga Sarangan ini sesaji merupakan unsur pokok

    yang harus dipenuhi dibuat lengkap.

    4. Hubungan mitos dan ritus labuh sesaji di Telaga Sarangan

    Secara vertikal makna ritus labuh sesaji di Telaga Sarangan mengandung maksud untuk

    memohon keselamatan, memohon rezeki kepada Tuhan dan para leluhur (Kyai dan Nyai

    Pasir) di Sarangan. Secara horisontal labuh sesaji di Telaga Sarangan mempunyai makna

    sebagai suatu wadah interaksi sosial yang dapat membina solidaritas sosial antara sesama

    masyarakat Sarangan dan dengan pejabat pemerintah tanpa menonjolkan stratifikasi

    sosial masing-masing.

    5. Nilai Edukatif

    a. Nilai Moral

    Seorang anak mengingatkan dan mendoakan orang tuanya yang menyimpang dan

    berniat jahat akan merugikan orang banyak dan orang tuanya pun insyaf bahwa

    niatnya itu buruk.

    b. Nilai Adat (Tradisi)

    Nilai adat (tradisi) yang terdapat dalam mitos dan ritus labuh sesaji ini adalah fungsi

    upacara tradisional pada masyarakat pendukungnya, yaitu sebagai : (1) norma sosial,

    (2) pengendali sosial, (3) media sosial, (4) pengelompokan sosial.

    c. Nilai Sejarah (Historis)

    Ritus labuh sesaji sangat bermuatan cerita masa silam. Oleh karena itu, kisah masa

    silam dalam ritus labuh sesaji merupakan rekaman fakta sejarah yang sesungguhnya.

    Peristiwa-peristiwa pada masa lampau pada mitos dan ritus labuh sesaji dapat

  • ditelusuri kembali melalui tradisi memberikan sesaji setiap hari Jumat Pon di Telaga

    Sarangan tepatnya tempat yang dipercayai penunggu Telaga Sarangan itu berada.

    Melalui cerita mitos dan ritus labuh sesaji setidaknya dapat dirunut kejadian-kejadian

    atau peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi masa lampau

    Saran

    1. Saran untuk penelitian selanjutnya

    Penelitian terhadap folklor di masyarakat hendaknya menjadi perhatian yang serius dan

    penelitian folklor di Indonesia masih relatif sedikit jumlahnya. Oleh sebab itu penelitian

    folklor perlu ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya.

    2. Saran untuk Departemen Pendidikan Nasional

    Departemen Pendidikan Nasional sebagai lembaga pemerintah yang menangani

    pendidikan di Indonesia, sudah waktunya untuk memanfaatkan cerita-cerita legenda di

    daerah sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah. Hal ini bertujuan agar para siswa lebih

    mengenal, memahami budaya sendiri, sehingga tidak mudah kena pengaruh budaya asing

    yang bersifat negatif.

    DAFTAR PUSTAKA

    Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra.

    Yogyakarta: Galang Press.

    Ardianto, Deny Tri, dan Asep Yudha Wirajaya. 2006. Ritus-Mitos Dhukutan sebagai Aset

    Pengembangan Pariwisata di Daerah Lawu, Karanganyar. Surakarta: Laporan

    Penelitian - Univeristas Sebelas Maret.

    Asep Yudha Wirajaya. 2003. Penggalian Potensi Folklor sebagai Aset Pengembangan

    Pariwisata Budaya di Daerah Lawu. Surakarta: Laporan Penelitian - Univeristas

    Sebelas Maret.

    Clifford Geertz. 1989. Work and Lives: the antropologist as author. Stanford, California:

    Stanford University Press.

    Depdikbud.1985-1986. Upacara Tradisional Daerah Jawa Timur. Surabaya: Direktorat

    Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan

    Daerah.

    Koentjaraningrat. 1985. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

    Moertjipto dkk. 1996. Wujud Arti dan Fungsi Puncak puncak Kebudayaan lama dan asli

    bagi Masyarakat Pendukungnya. Semarang: Depdikbud

    Suwardi Endraswara. 2003. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala