draft proposal santy
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hipertensi adalah tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di
atas 140 mmHg dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg. Pada populasi usia lanjut,
hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik
90 mmHg (Bruner & Suddart, 2002). Hipertensi merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang terjadi di negara maju maupun berkembang.
Hipertensi merupakan penyebab kematian ketiga di Indonesia untuk semua umur
(6,8%), setelah stroke (15,4%) dan tuberculosis (7,5%). Berdasarkan data
RISKESDAS 2007, prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 31,7% (Depkes,
2008).
Penderita yang penyebab hipertensinya tidak diketahui disebut penderita
hipertensi esensial. Umumnya peningkatan tekanan darah disebabkan oleh
peningkatan tahanan (resistensi) pengaliran darah melalui arteriol-arteriol secara
menyeluruh, sedangkan curah jantung, biasanya normal. Penelitian yang seksama
terhadap fungsi sistem saraf otonom, refleks baroreseptor, sistem renin-
angiotensin-aldosteron, dan ginjal belum mampu mengidentifikasi suatu kelainan
primer penyebab meningkatnya resistensi pembuluh darah tepi pada hipertensi
esensial (Katzung, 2001)
Jumlah penduduk berusia lebih dari 60 tahun di Indonesia pada tahun 2010
mengalami kenaikan sebesar 400 %, sehingga jumlahnya lebih banyak dari Bawah
Lima Tahun (Balita). Usia lanjut membawa konsekuensi meningkatnya
1
morbiditas dan mortalitas berbagai penyakit kardiovaskular, diantaranya
hipertensi (Bakri S, 2001).
Sebagian besar usia lanjut yang didiagnosis hipertensi pada akhirnya
menjalani terapi dengan menggunakan obat antihipertensi. Pengobatan hipertensi
pada usia lanjut secara farmakologi sedikit berbeda dengan usia muda karena
adanya perubahan-perubahan fisiologis akibat proses menua. Perubahan fisiologis
yang terjadi pada usia lanjut menyebabkan konsentrasi obat menjadi lebih besar,
waktu eliminasi obat menjadi lebih panjang, terjadi penurunan fungsi dan respon
dari organ, adanya berbagai penyakit lain, adanya obat-obat untuk penyakit
penyerta yang sementara dikonsumsi harus diperhitungkan dalam pemberian obat
antihipertensi (Ikawati, 2008).
Penelitian ini dikhususkan pada pasien geriatri didasari oleh kenyataan
bahwa proses penuaan akan mengakibatkan terjadinya beberapa perubahan
fisiologi, anatomi, psikologi dan sosiologi dan meningkatnya potensi terkena
beberapa penyakit degeneratif seperti penyakit kardiovaskular dan diabetes.
Penyakit-penyakit tersebut biasanya ditangani dengan penggunaan terapi obat
yang sifatnya polifarmasi yang akan memunculkan risiko efek samping obat
sembilan kali dibanding jika mengkonsumsi satu obat. Polifarmasi juga akan
memunculkan masalah interaksi obat, meskipun tidak semua interaksi obat
bermakna secara klinis (Ekowati.H, 2006).
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti ingin melakukan evaluasi
penggunaan obat pada pasien geriatri penderita hipertensi esensial. Evaluasi
penggunaan obat dilihat dari tepat indikasi, tepat dosis, tepat obat dibandingkan
2
dengan Standar Terapi Penyakit Hipertensi RSUP Dr. M. Djamil Padang,
interaksi obat-obat yang terjadi selama penggunaan obat, perubahan tekanan darah
setelah diberikan obat antihipertensi.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah golongan dan jenis obat antihipertensi yang diberikan pada geriatri
penderita hipertensi esensial di Poli Khusus Penyakit Dalam RSUP Dr. M.
Djamil Padang sesuai dengan Standar Terapi Penyakit Hipertensi RSUP Dr.
M.Djamil Padang ?
2. Apakah target terapi hipertensi menurut JNC 7 yaitu tekanan darah <140/90
mmHg tercapai dengan penggunaan obat antihipertensi yang terpilih ?
3. Adakah interaksi obat antihipertensi dengan obat lainnya yang diberikan dan
berapa persentase kejadiannya ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui ketepatan penggunaan obat antihipertensi pada pasien geriatri
penderita hipertensi esensial di Poli Khusus Penyakit Dalam RSUP
Dr.M.Djamil Padang.
2. Mengetahui obat-obat yang sering berinteraksi pada pasien geriatri penderita
hipertensi esensial di Poli Khusus Penyakit Dalam RSUP Dr.M.Djamil
Padang dan berapa persentase kejadiaannya.
3
3. Mengetahui keberhasilan terapi obat antihipertensi pada pasien geriatri
penderita hipertensi esensial di Poli Khusus Penyakit Dalam RSUP Dr.
M.Djamil Padang.
1.3 Manfaat Penelitian
Dengan melakukan evaluasi penggunaan obat antihipertensi pada geriatri
penderita hipertensi esensial di Poli Khusus Penyakit Dalam RSUP Dr.M.Djamil
Padang diharapkan :
1. Mengetahui Pola Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien Geriatri
Penderita Hipertensi esensial di Poli Khusus Penyakit Dalam RSUP DR. M.
Djamil Padang.
2. Membantu memberikan data kepada rumah sakit sebagai bahan masukan
untuk menetapkan kebijakan dalam upaya pengobatan hipertensi esensial
pada geriatri di Poli Khusus Penyakit Dalam di RSUP DR. M.Djamil
Padang.
3. Sebagai bahan acuan bagi peneliti selanjutnya.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hipertensi
2.1.1. Definisi Hipertensi
Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah arterial
abnormal yang berlangsung terus-menerus (Brashers, 2003). Hipertensi
merupakan peningkatan tekanan darah ≥140/90 mmHg (Bakri, 2001). Menurut
The Sevent Report of Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7), klasifikasi tekanan
darah pada orang dewasa terbagi seperti tabel dibawah ini (Chobanian, 2003).
Tabel 2.1.1 Klasifikasi Tekanan Darah
Klasifikasi Tekanan Darah
Tekanan Sistolik (mmHg)
Tekanan Diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi Stage 1 140-159 90-99
Hipertensi Stage 2 ≥ 160 ≥ 100
The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and
Treatment of High Blood Pressure dari Amerika Serikat dan WHO dengan
Internationa Society of Hypertention membuat definisi hipertensi yaitu apabila
5
tekanan darah sistolik seseorang 140 mmHg atau lebih atau tekanan diastoliknya
90 mmHg atau lebih atau sedang memakai obat antihipertensi (Bakri, 2001).
2.1.3 Etiologi Hipertensi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu :
Hipertensi esensial/primer/idiopatik dan hipertensi sekunder.
1) Hipertensi Esensial
Hipertensi esensial merupakan 95% dari kasus-kasus hipertensi. Tekanan
darah merupakan hasil curah jantung dan resistensi vaskular, sehingga tekanan
darah meningkat jika curah jantung meningkat, resistensi vaskular perifer
bertambah, atau keduanya. Pada hipertensi yang baru mulai curah jantung
biasanya normal atau sedikit meningkat dan resistensi perifer normal. Pada tahap
hipertensi lanjut, curah jantung cenderung menurun dan resistensi perifer
meningkat. Adanya hipertensi juga menyebabkan penebalan dinding arteri dan
arteriol, mungkin sebagian diperantarai oleh faktor yang dikenal sebagai pemicu
hipertrofi vaskular dan vasokonstriksi (Insulin, katekolamin, angiotensin, hormon
pertumbuhan) sehingga menjadi alasan sekunder mengapa terjadi kenaikan
tekanan darah.
Peningkatan tekanan darah biasanya disebabkan oleh kombinasi pelbagai
kelainan (multifaktorial). Bukti-bukti epidemiologik menunjukkan adanya faktor
keturunan (genetik, ketegangan jiwa, dan faktor lingkungan dan makanan (banyak
asupan garam dan kurang asupan kalium atau kalsium) mungkin sebagai
kontributor berkembangnya hipertensi. Tekanan darah tidak meningkat pada
6
orang-orang berumur dengan menu harian berkadar garam rendah (Katzung,
2001)
Faktor keturunan pada hipertensi esensial diperkirakan berperan sebanyak
30%. Mutasi pada beberapa gen telah dihubungkan dengan penyebab-penyebab
hipertensi yang jarang ditemukan. Sejumlah variasi pada fungsi gen-gen untuk
enzim pengubah angiotensin (ACE), adrenoreseptor β2, dan α adducin (suatu
protein sitoskeletal) nampaknya berkontribusi pada beberapa kasus hipertensi
esensial (Katzung, 2001).
2). Hipertensi Sekunder
Sekitar 5% kasus hipertensi telah diketahui penyebabnya, antara lain
penyakit parenkim ginjal (3%), penyakit renovaskular (1%), endokrin (1%),
sindrom cushing, hiperplasia adrenal kongenital, feokromositoma, Koarktasio
aorta, kaitan dengan kehamilan, dan akibat obat (Gray, 2005).
2.1.4 Patofisiologi
Hipertensi esensial melibatkan interaksi yang sangat rumit antara faktor
genetik dan lingkungan yang dihubungkan oleh agen mediator neuro-hormonal.
Secara umum disebabkan oleh peningkatan tahanan perifer dan atau peningkatan
volume darah (Brashers, 2007). Beberapa faktor yang pernah dikemukakan
relevan terhadap mekanisme penyebab hipertensi adalah sebagai berikut :
Genetik. Dibanding orang kulit putih, orang kulit hitam di negara barat
lebih banyak menderita hipertensi, lebih tinggi tingkat hipertensinya, dan lebih
besar tingkat morbiditas maupun mortalitasnya, sehingga diperkirakan ada kaitan
7
hipertensi dengan perbedaan genetik. Beberapa peneliti mengatakan terdapat
kelainan pada gen angiotensinogen tetapi mekanismenya mungkin bersifat
poligenik.
Geografi dan lingkungan. Terdapat perbedaan tekanan darah yang nyata
antara populasi kelompok daerah kurang makmur dengan daerah maju, seperti
bangsa Indian Amerika Selatan yang tekanan darahnya rendah dan tidak banyak
meningkat sesuai dengan pertambahan usia dibanding masyarakat barat.
Janin. Faktor ini dapat memberikan pengaruh karena berat lahir rendah
tampaknya merupakan predisposisi hipertensi di kemudian hari, barangkali karena
lebih sedikitnya jumlah nefron dan lebih rendahnya kemampuan mengeluarkan
natrium pada bayi dengan berat lahir rendah.
Jenis Kelamin. Hipertensi lebih jarang ditemukan pada perempuan pra-
menopause dibanding pria, yang menunjukkan adanya pengaruh hormon.
Natrium. Banyak bukti yang mendukung peran natrium dalam terjadinya
hipertensi, karena ketidakmampuan mengeluarkan natrium secara efisien.
Berdasarkan studi populasi, seperti studi INTERSALT (1988) diperoleh korelasi
antara asupan natrium rerata dengan tekanan darah, dan penurunan tekanan darah
dapat diperoleh dengan mengurangi konsumsi garam.
Sistem renin-angiotensin. Renin memicu produksi angiotensin dan
aldosteron (yang memacu natrium dan terjadinya retensi air sebagai akibat).
Beberapa studi telah menunjukkan sebagian pasien hipertensi primer mempunyai
kadar renin yang meningkat, tetapi sebagian besar normal atau rendah, disebabkan
8
efek homeostatik dan mekanisme umpan balik karena kelebihan beban volume
dan peningkatan tekanan darah dimana keduanya diharapkan akan menekan
produksi renin.
Hiperaktivitas simpatis. Dapat terlihat pada hipertensi usia muda.
Katekolamin akan memacu produksi renin, menyebabkan konstriksi arteriol dan
vena dan meningkatkan curah jantung.
Resistensi insulin/hiperinsulinemia. Kaitan hipertensi primer dengan
resisitensi insulin telah diketahui sejak beberapa tahun silam, terutama pada
pasien dengan kelebihan berat badan. Insulin merupakan zat penekan karena
meningkatkan kadar katekolamin dan reabsorpsi natrium.
Disfungsi sel endotel. Penderita hipertensi mengalami penurunan respon
vasodilatasi terhadap nitrat oksida, dan endotel mengandung vasodilator seperti
endotelin-I. Kerusakan sel endotel akan mencetus reaksi imun dan peradangan
sehingga akhirnya terjadi pengendapan trombosit-trombosit, makrofag dan
jaringan fibrosa. Sel-sel otot polos berproliferasi. Penebalan dinding arteri
menyebabkan hipertensi yang semakin merusak sel-sel endotel (Corwin, 2000).
2.1.5 Gejala Klinis
Biasanya tak bergejala pada stadium awal; bila tekanan darah meningkat
secara akut, pasien dapat mengalami epistaksis, sakit kepala, penglihatan kabur,
tinitus, pusing, defisit neurologis transien, atau angina; bila perkembangan gejala
lebih lambat, pasien dapat datang dengan gejala yang berhubungan dengan
9
kerusakan organ akhir, seperti gagal jantung kongestif, stroke, gagal ginjal, atau
retinopati (Brashers, 2007)
2.1.6 Hipertensi pada Usia Lanjut
Jumlah penduduk berusia lebih dari 60 tahun di Indonesia pada tahun 2010
mengalami kenaikan sebesar 400%, sehingga jumlahnya lebih banyak dari Bawah
Lima Tahun (Balita). Usia lanjut membawa konsekuensi meningkatnya
morbiditas dan mortalitas berbagai penyakit kardiovaskular.
TDS (Tekanan Darah Sistolik) meningkat sesuai dengan peningkatan usia,
akan tetapi TDD (Tekanan Darah Diastolik) meningkat seiring dengan TDS
sampai sekitar usia 55 tahun, yang kemudian menurun oleh karena terjadinya
proses kekakuan arteri akibat aterosklerosis (Sudoyo, 2004). 50% dari mereka
yang berusia di atas 60 tahun akan menderita hipertensi sistolik terisolasi (TDS ≥
140 mmHg dan TDD < 90 mmHg). Keadaan ini diakibatkan oleh kehilangan
elastisitas arteri karena proses menua. Kekakuan aorta akan meningkatkan TDS
dan pengurangan volume aorta, yang akhirnya menurunkan TDD. Semakin besar
perbedaan TDS dan TDD atau tekanan nadi, semakin besar risiko komplikasi
kardiovaskular. Tekanan nadi yang meningkat pada usia lanjut dengan hipertensi
sistolik terisolasi berkaitan dengan besarnya kerusakan yang terjadi pada organ
target yaitu jantung, otak dan ginjal (Bakri, 2001).
2.1.7. Komplikasi Hipertensi
10
Hipertensi yang tidak mendapat perawatan dan sudah berlangsung dalam
waktu yang lama akan menyebabkan komplikasi. Berikut ini komplikasi dari
hipertensi :
a. Stroke
Stroke dapat terjadi karena perdarahan di otak, atau akibat embolus yang
terlepas dari pembuluh darah non-otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat
terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak
mengalami hipertrofi dan penebalan, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang
diperdarahinya berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami aterosklerosis dapat
melemah dan kehilangan elastisitas sehingga meningkatkan kemungkinan
terbentuknya aneurisma.
b. Infark Miokardium
Infark miokardium dapat terjadi jika arteri koroner yang aterosklerotik
tidak dapat menyuplai darah yang cukup oksigen ke miokardium atau apabila
terbentuk trombus yang menghambat aliran darah nyang menuju arteri koroner.
Karena hipertensi kronik dan hipertrofi ventrikel, maka kebutuhan oksigen
miokardium mungkin tidak dapat dipenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang
menyebabkan infark. Hipertrofi ventrikel dapat menimbulkan perubahan-
perubahan waktu hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi disritmia,
hipoksia jantung dan peningkatan pembentukan pembekuan darah.
c. Gagal Ginjal
11
Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan yang
tinggi pada kapiler-kapiler ginjal, yaitu glomerulus. Dengan rusaknya glomerulus,
darah akan mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan
dapat berlanjut menjadi hipoksik dan kematian. Dengan rusaknya membran
glomerulus, protein akan keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid
plasma berkurang menyebabkan edema yang sering dijumpai pada hipertensi
kronik.
d. Ensefalopati
Ensefalopati dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang
meningkat cepat). Tekanan yang sangat tinggi pada kelainan ini dapat
menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan kedalam ruang
interstitium di seluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron disekitarnya kolaps
dan terjadi koma serta kematian (Corwin, 2000).
2.1.8. Terapi Hipertensi
1) Tujuan Terapi
Secara keseluruhan tujuan penanganan hipertensi adalah mengurangi
morbiditas dan kematian. Target nilai tekanan darahnya adalah kurang dari
140/90 mmHg untuk hipertensi tidak komplikasi dan kurang dari 130/80 mmhg
untuk penderita diabetes melitus serta ginjal kronik. Tekanan darah sistolik
merupakan indikasi yang baik untuk resiko kardiovaskular daripada tekanan darah
diastole dan seharusnya dijadikan tanda klinik primer dalam mengontrol
hipertensi.
2) Terapi Non-farmakologi
12
Penderita prehipertensi dan hipertensi sebaiknya dianjurkan untuk
memodifikasi gaya hidup, termasuk penurunan berat badan jika kelebihan berat
badan, melakukan diet makanan yang diambil DASH (Dietary Approaches to
Stop Hypertension), mengurangi asupan natrium hingga lebih kecil sama dengan
2,4 g/hari (6 g/hari NaCl), melakukan aktivitas fisik seperti aerobik, mengurangi
konsumsi alkohol dan menghentikan kebiasaan merokok.
Penderita yang didiagnosis hipertensi stage 1 atau 2 sebaiknya
ditempatkan pada terapi modifikasi gaya hidup dan terapi obat secara bersamaan.
3) Terapi Farmakologi
a. Diuretik
Semua diuretik akan menurunkan tekanan darah secara akut dengan
pengeluaran garam dan air, tetapi setelah 4-6 minggu keseimbangan kembali dan
tekanan darah kembali ke nilai asal (Kusnandar, 2009). Ada tiga faktor utama
yang mempengaruhi respon diuretik ini. Pertama, tempat kerja diuretik di ginjal.
Diuretik yang bekerja pada daerah mereabsorpsi sedikit sodium akan memberi
efek yang lebih kecil bila dibandingkan dengan diuretik yang bekerja pada daerah
yang mereabsorpsi banyak sodium. Kedua, status fisiologi organ akan
memberikan respons yang berbeda terhadap diuretik. Misalnya dekompensasi
jantung, sirosis hati, dan gagal ginjal. Ketiga, interaksi antara obat dengan
reseptor. Berdasarkan cara bekerja, ada beberapa jenis diuretik yang diketahui
pada saat ini.
- Thiazide
13
Mekanisme kerjanya menghambat reabsorpsi sodium dan penurunan volume
plasma yang disebabkan refleks peningkatan sekresi renin dan aldosteron. Contoh
diuretik thiazide antara lain hidroklorotiazid, klortalidon, klorotiazid,
bendroflumetiazid.
- Loop Diuretik
Loop diuretik lebih kuat dibandingkan dengan golongan thiazide tetapi
memiliki risiko terjadinya hipokalemia yang lebih besar. Penggunaan dosis tinggi
furosemid dapat menyebabkan gangguan pendengaran pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal (Syamsudin, 2011)
- Diuretik Hemat Kalium
Diuretik hemat kalium merupakan antihipertensi yang lemah jika
digunakan tunggal. Diuretik hemat kalium dapat menyebabkan hiperkalemia
terutama pada penyakit ginjal kronik atau diabetes dan penderita yang diberikan
inhibitor ACE, ARB, AINS atau suplemen kalium secara bersamaan. Contoh
diuretik hemat kalium antara lain amilorid, spironolakton.
b. Inhibitor Angiotensin-Converting Enzyme (ACE).
Inhibitor ACE memiliki efek dalam penurunan tekanan darah melalui
penurunan resistansi perifer tanpa disertai dengan perubahan curah jantung,
denyut jantung, maupun laju filtrasi glomerulus. Penurunan tekanan darah
melalui penghambatan sistem renin-angiotensin-aldosteron (Syamsudin, 2011)
Inhibitor ACE seperti captopril, enalopril, dan lisinopril memblokade
konversi angiotensin I menjadi angiotensin II. Hal ini mengurangi resistensi
14
perifer total karena angitensin II menstimulasi sistem simpatis secara sentral,
memacu pelepasan norepinefrin dari saraf simpatis, dan menyebabkan
vasokonstriksi secara langsung. Penurunan angiotensin II plasma, dan akibatnya
penurunan aldosteron, juga memacu diuresis/natriuresis, karena kedua hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh ginjal. Inhibitor ACE juga
memetabolisme vasodilator bradikinin, dan sebagian aksi menguntungkan dari
inhibitor ACE mungkin disebabkan oleh peningkatan kadar bradikinin
(Kusnandar, 2009)
c. Penghambat Reseptor Angiotensin II (ARB)
ARB menduduki reseptor angiotensin II yang terdapat dimana-mana
dalam tubuh, antara lain di myocard, dinding pembuluh, susunan saraf pusat,
ginjal, anak ginjal dan hati. Zat-zat ini lebih efektif daripada penghambat ACE,
karena jalur kedua melalui enzim chymase juga dirintangi. Kombinasi dari kedua
jenis obat kini mulai digunakan agar lebih efektif menurunkan tensi (efek aditif
ringan). Kelompok ARB antara lain losartan, valsartan, ibesartan, candesartan,
dan eprosartan (Kusnandar, 2009)
d. Penghambat Adrenergik
Obat-obat ini dapat bekerja sentral pada pusat vasomotor di batang otak, di
perifer pada pelepasan katekolamin neuron, atau menyekat reseptor α atau
reseptor β, atau keduanya. Penyekat β digunakan secara luas sebagai
antihipertensi (Gray,2005).
15
Zat-zat ini memiliki sifat kimia yang sangat mirip dengan zat β-adrenergik
isoprenalin. Khasiat utamanya adalah anti adrenergik dengan jalan menempati
secara bersaing reseptor β-adrenergik. Blokade reseptor ini mengakibatkan
peniadaan atau penurunan kuat aktivitas adrenalin dan noradrenalin (NA).
Reseptor β terdapat dalam 2 jenis, yaitu β1 dan β2.
Reseptor β1 di jantung (juga di SSP dan ginjal). Blokade reseptor ini
mengakibatkan melemahnya daya kontraksi (efek inotrop negatif), penurunan
frekuensi jantung (efek kronotrop negatif, bradikardia), dan penurunan volume-
menitnya. Juga perlambatan penyaluran impuls di jantung (simpul AV). Efek ini
hanya lemah pada pindolol.
Reseptor β2 di bronchia (juga di dinding pembuluh dan usus). Blokade
reseptor ini menimbulkan penciutan bronchia dan vasokonstriksi perifer agak
ringan yang bersifat sementara (beberapa minggu), juga mengganggu mekanisme
homeostatik untuk memelihara kadar glukosa dalam darah (efek hipoglikemis).
Obat-obat yang termasuk penyekat β antara lain atenolol, bisoprolol, metoprolol,
propanolol.
Penyekat α memblokade reseptor alfa adrenergik yang terdapat di otot
polos pembuluh, khususnya di pembuluh kulit dan mukosa. Dapat dibedakan 2
jenis reseptor yaitu α1 dan α2, yang berada di post synaptis, α2 juga di pre-
sinaptis. Bila reseptor tersebut diduduki (diaktivasi) oleh (nor) adrenalin, otot
polos akan menciut. Alfa blockers melawan antara lain vasokonstriksi tersebut
akibat aktivasi dan dapat dibagi dalam 3 kelompok yaitu: Alfa blockers tak selektif
: fentolamin, yang hanya digunakan i.v. Pada krisis hipertensi tertentu. Alfa-1-
16
blockers selektif: memblokade hanya reseptor alfa-1 adrenergik secara selektif,
antara lain prazosin, doxazosin, terazosin. Alfa-2-blockers selektif: yohimbin.
Penghambat adrenergik pada pusat vasomotor di batang otak contohnya
metil dopa dan klonidin. Contoh penghambat adrenergik di perifer pada
pelepasan katekolamin neuron adalah reserpin, guanetidin, Betanidin, Debrisokuin
(Gray, 2005).
e. Antagonis Kalsium (Calsium Chanel Blocker)
Antagonis Ca menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos dengan
menghambat saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan (voltage sensitive),
sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel. Relaksasi
otot polos vaskular menyebabkan vasodilatasi dan berhubungan dengan reduksi
tekanan darah. Antagonis Ca dihidropiridin dapat menyebabkan aktivasi refleks
simpatik dan semua golongan ini (kecuali amlodipin) memberikan efek inotropik
negatif (Kusnandar, 2009).
Berdasarkan efek tersebut diatas, antagonis Ca kini terutama digunakan
pada hipertensi, apabila diuretika dan atau beta blocker kurang efektif. Sebaiknya
zat ini dikombinasi dengan suatu beta blocker.
17
Antagonis Ca secara kimiawi dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu
derivat dihidropiridin dan obat-obat lain. Derivat dihidropiridin memiliki efek
vasodilatasi yang amat kuat, maka terutama digunakan sebagai obat hipertensi.
Kini tersedia antara lain nifedipin, nisoldipin, amlodipin,felodipin, nicardipin,
nimodipin.Kelompok obat-obat lain terdiri dari verapamil, diltiazem dan bepridil
(Gray, 2005).
f. Vasodilator langsung
Obat ini menurunkan tekanan darah dengan mengurangi resistensi
vaskular perifer.
Contoh kelompok obat ini adalah obat oral hidralazin, prazosin, dan
minoksidil, dan obat intra vena diazoksid dan nitroprusid.
2.2. ASPEK KIMIA OBAT
2.2.1. Monografi
2.2.1.1. Hidroklortiazida
Hidroklortiazida adalah salah satu contoh diuretik tiazida.
Pemerian : Serbuk hablur, putih atau praktis putih; praktis tidak berbau
Kelarutan: Sukar larut dalam air; mudah larut dalam natrium hidroksida, dalam
n-butilamina, dan dalam dimetilformamida; agak sukar larut dalam
metanol; tidak larut dalam eter, dalam kloroform dan dalam asam
mineral encer.
2.2.1.2. Captopril
18
Captopril termasuk dalam kelompok Inhibitor angiotensin Converting
Enzyme. Derivat prolin ini adalah inhibitor ACE pertama yang digunakan (1979)
Pemerian: Serbuk hablur putih atau hampir putih; bau khas seperti sulfida.
Melebur pada suhu 1040 sampai 1100
Kelarutan: Mudah larut dalam air, dalam metanol, dalam etanol, dan dalam
kloroform.
2.2.1.3 Propanolol
Propanolol adalah penghambat adrenergik yang termasuk dalam
kelompok penyekat β (beta blockers).
Pemerian: Serbuk hablur, putih atau hampir putih; tidak berbau; rasa pahit.
Kelarutan: Larut dalam air dan dalam etanol; sukar larut dalam kloroform;
praktis tidak larut dalam eter.
2.2.1.4. Nifedipin
Nifedipin adalah zat pertama (1975) dari kelompok dihidropiridin dengan
gugus fenil pada posisi para. Nifedipin termasuk dalam antihipertensi golongan
antagonis kalsium.
Pemerian: Serbuk kuning, terurai oleh cahaya langsung.
Kelarutan: Praktis tidak larut dalam air; mudah larut dalam aseton.
2.2.1.5. Hidralazin
Hidralazin adalah contoh kelompok obat vasodilator langsung.Derivat
hidrazin ini adalah salah satu obat hipertensi pertama (1952).
Pemerian : Serbuk hablur putih hingga hampir putih; tidak berbau. Melebur pada
suhu lebih kurang 2750 disertai peruraian.
19
Kelarutan : Larut dalam air; sukar larut dalam etanol; sangat sukar larut dalam
eter.
2.2.2. Identifikasi
Salah-satu contoh identifikasi obat antihipertensi adalah identifikasi
hidroklortiazid, sebagai berikut :
Identifikasi :
A. Spektrum serapan inframerah zat yang telah didispersikan dalam kalium
bromida P, menggunakan campuran hidroklorotiazida-kalium bromida yang telah
dipanaskan pada suhu 105o selama 2 jam, menunjukkan maksimum hanya pada
panjang yang sama seperti pada Hidroklorotiazida BPFI.
B. Spektrum serapan ultraviolet larutan (1 dalam 100.000) dalam metanol P
menunjukkan maksimum dan minimum pada panjang gelombang yang sama
seperti pada Hidroklorotiazida BPFI.
2.2.3 Penetapan Kadar
Berikut adalah salah-satu penetapan kadar obat antihipertensi golongan
diuretika, hidroklortiazida.
Penetapan Kadar: Lakukan penetapan dengan cara kromatografi cair kinerja
tinggi seperti yang tertera pada Kromatografi <931>.
Fase gerak. Buat campuran natrium fosfat monobase 0,1 M asetonitril P (9:1),
atur pH hingga 3,0 ± 0,1 dengan asam fosfat P, saring dan awaudarakan. Jika
perlu lakukan penyesuaian menurut kesesuaian sistem seperti yang tertera pada
Kromatografi <931>.
20
Larutan kesesuaian sistem. Timbang seksama sejumlah Hidroklorotiazida BPFI
dan klorotiazida, larutkan dalam fase gerak hingga kadar masing-masing lebih
kurang 0,15 mg per ml.
Larutan Baku. Timbang seksama sejumlah Hidroklorotiazida BPFI, larutkan
dalam fase gerak hingga kadar lebih kurang 0,15 mg per ml.
Larutan uji. Timbang seksama lebih kurang 30 mg, masukkan ke dalam labu
tentukur 200 ml, larutkan dalam sejumlah kecil asetonitril P, tidak lebih 10% dari
volume total larutan, encerkan dengan fase gerak sampai tanda.
Sistem kromatografi. Lakukan seperti yang tertera pada kromatografi < 931>.
Kromatografi cair kinerja tinggi dilengkapi dengan detektor 254 nm dan kolom
4,6 mm x 25 cm berisi bahan pengisi L1. Laju aliran lebih kurang 2,0 ml per
menit. Lakukan kromatografi terhadap Larutan kesesuaian sistem, dan rekam
respons puncak seperti yang tertera pada Prosedur; simpangan baku relatif tidak
lebih dari 1,5%; waktu retensi relatif klortiazida dan hidroklortiazida berturut-
turut adalah 0,8 dan 1,0. Resolusi, R, antara klorotiazida dan hidroklortiazida
tidak kurang dari 2,0.
Prosedur. Suntikkan secara terpisah sejumlah volume sama (lebih kurang 20 μl)
Larutan baku dan Larutan uji ke dalam kromatograf, ukur respons puncak utama.
Hitung jumlah dalam mg, C7H8ClN3O4S2, dengan rumus
200 C ( γ u ) γs
C adalah kadar hidroklorotiazida BPFI dalam mg per ml Larutan baku; γu dan γs
berturut-turut adalah respons puncak larutan uji dan larutan baku (Depkes, 1995).
21
2.2.4 Sintesa
Obat antihipetensi yang termasuk golongan diuretika diantaranya adalah
hidroklortiazid dan furosemid. Pembuatan hidroklortiazid dimulai dari 3-
kloranilin, yang melalui pemanasan dengan asam klorsulfonat, tanpa melindungi
gugus amino, kemudian diikuti reaksi dengan amonia akan menjadi
kloraminofenamid. Dari senyawa ini melalui kondensasi dengan larutan
paraformaldehida atau larutan formaldehida akan diperoleh hidroklortiazid.
Sintesis furosemid dimulai dari asam 2,4-diklorobenzoat, yang dengan
cara yang analog diubah menjadi turunan 5-sulfamoil. Substitusi nukleofiliklor
selanjutnya dengan furfurilamin akan berlangsung secara regiospesifik pada posisi
ortho terhadap gugus karboksil (Schunack, 1990).
2.3. Aspek Farmasetika
Secara farmasetika obat antihipertensi dibuat dalam berbagai bentuk
sediaan, diantaranya adalah :
2.3.1 Bentuk Tablet
Tablet menurut FI edisi IV adalah sediaan padat mengandung bahan obat
dengan atau tanpa bahan pengisi.
Tablet adalah bentuk sediaan farmasi yang paling banyak dibuat atau
diproduksi karena memiliki banyak kelebihan dibandingkan dari bentuk sediaan
lainnya, diantaranya :
Takaran obat cukup teliti dan serba sama untuk setiap tablet
Pembebasan obat dapat diatur sesuai dengan efek terapi yang diinginkan
Rasa dan bau yang tidak menyenangkan dapat ditutupi dengan penyalutan
22
Bahan obat yang dapat rusak oleh cairan atau enzim dalam saluran
pencernaan dapat diatasi dengan penyalutan.
Bentuk tablet dapat menjamin kestabilan sifat fisik dan kimia bahan obat,
karena tablet merupakan sediaan kering.
Mudah dalam pengemasan, pengepakan, transportasi dan penggunaannya.
Biaya produksi relatif murah dibandingkan dengan bentuk sediaan lain
(Syamsuni, 2006).
Contoh obat hipertensi bentuk tablet : Captopril tablet, hidroklortiazide
tablet, reserpin tablet, amlodipin tablet, nifedipin tablet dll
2.3.2 Bentuk Injeksi
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi atau serbuk
yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan,
yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit
atau selaput lendir (Syamsuni, 2006). Contoh obat antihipertensi dalam bentuk
injeksi : furosemide injeksi.
23
BAB III
PELAKSANAAN PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan kurang lebih tiga bulan di RSUP DR. M. Djamil
Padang.
3.2 Alat dan Bahan
Bahan penelitian berupa rekam medik pasien geriatri dengan diagnosa
hipertensi esensial selama kurun waktu 1 juli 2013 – 30 September 2013.
Alat dalam penelitian ini berupa formulir penelitian terstruktur untuk
mencatat data rekam medik penderita hipertensi esensial. Data yang dikumpulkan
dalam formulir penelitian meliputi identitas pasien, riwayat penyakit pasien,
diagnosis, tanda-tanda vital, pemakaian obat antihipertensi, pemakaian obat lain,
tekanan darah. Alat penelitian lain berupa standar terapi penyakit hipertensi
RSUD DR. M.Djamil Padang.24
3.3 Metodologi Penelitian
3.3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pengambilan data
secara prospektif.
3.3.2 Sumber Data
Data didapat dari rekam medik pasien dengan diagnosa hipertensi esensial
dari tanggal 1 juli 2013-30 september 2013.
3.3.3 Populasi
Subyek dalam penelitian ini adalah seluruh pasien geriatri penderita
hipertensi esensial di Poli Khusus Penyakit Dalam RSUD DR. M.Djamil Padang
periode 1 Juli – 30 September 2013. Subyek yang dipilih harus memenuhi
kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.
Kriteria inklusi adalah :
1. Rekam medik pasien Poli Khusus Penyakit Dalam RSUD DR. M.Djamil
Padang periode 1 juli – 30 September 2013.
2. Usia ≥ 60 tahun.
3. Pasien dengan diagnosa hipertensi esensial.
4. Kategori semua gender.
Kriteria eksklusi adalah :
1. Rekam medik pasien Poli Khusus Penyakit Dalam RSUD DR. M. Djamil
Padang diluar periode 1 juli – 30 september 2013.
2. Rekam medis yang tidak lengkap (tidak memuat informasi dasar yang
dibutuhkan dalam penelitian).
3.3.4 Sampel
25
Penetapan sampel dilakukan dengan metoda sensus.
3.4 Pengumpulan Data.
Data yang diambil adalah data dari rekam medik pasien Poli Khusus
Penyakit Dalam RSUP DR. M.Djamil Padang yang memenuhi kriteria inklusi.
Adapun data yang dikumpulkan mencakup kelengkapan data pasien ( No.MR,
nama pasien, jenis kelamin, umur), riwayat penyakit, diagnosa, pemakaian obat
antihipertensi, pemakaian obat lain, tekanan darah. Lalu dilakukan seleksi data
berdasarkan ada tidaknya interaksi obat yang terjadi sesuai literatur. Data tersebut
dicatat dalam formulir penelitian.
3.5 Analisa Data.
Data dianalisa secara deskriptif dalam bentuk narasi, bentuk tabel atau
grafik.Adapun analisa data yang akan diperoleh antara lain demografi pasien yang
meliputi jenis kelamin dan klasifikasi pasien berdasarkan stadium hipertensi,
frekuensi penggunaan antihipertensi berdasarkan golongan obat, persentase
penggunaan antihipertensi tunggal dan kombinasi, pencapaian target tekanan
darah pada pasien geriatri, penggunaan obat lain (selain antihipertensi), interaksi
obat yang potensial terjadi pada geriatri.
26
DAFTAR PUSTAKA
Aulia Sani, 1994. Hipertensi dan Merokok dalam Jurnal kardiologi Indonesia
Vol.XVII No.2, April – Juni 1994.
Bakri S, Suhardjono, J Djafar, 2001. Hipertensi pada Keadaan-Keadaan Khusus,
dalam S. Sujono, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi ke 3, Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Bruner & Suddart, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8,
Jakarta: EGC.
Brashers, Valentina L. Aplikasi klinis patofisiologi : Pemerikasaan &
Manajemen, Edisi 2, Jakarta: EGC.
Chobanian AV, JL Bakris, HR Black, WC Cushman, LA Green, JL Izzo Jr, DW
Jones, et al., 2003. The 7th Report of The Joint National Comittee on
Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure.
27
Http://hyper.aha-journals.org/cgi/content/full/42/6/1206, diakses Januari
2013.
Corwin, 2000. Buku Saku Patofisiologi, Jakarta : EGC
Depkes RI, 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV, Jakarta.
Depkes RI, 2008. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007 dalam Laporan
Nasional 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Ekowati H, 2006. Pengaruh Visitasi Farmasis terhadap Potensi Interaksi Obat
pada Pasien Lanjut Usia Rawat Inap di Bangsal Dahlia RSUD. Prof.Dr.
Margono Soekarjo, Majalah Farmasi Indonesia, Vol. 17, 2006.
Gray, Huon. 2005. Kardiologi Edisi IV, Jakarta: Erlangga.
Gunawan et al, Editor, 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5, Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
Ikawati Z, 2008. Kajian Keamanan Pemakaian Obat Antihipertensi di Poliklinik
Usia Lanjut Instalasi Rawat Jalan RS Dr. Sardjito, Yogyakarta.
Katzung, 2001. Farmakologi Dasar dan Klinis, Edisi I, Jakarta: Salemba Medika.
Kusnandar et al,2008. ISO Farmakoterapi, Jakarta : ISFI
Syamsuni, 2006. Ilmu Resep, Jakarta : EGC.
W. Schunack, K. Mayer, M.Haake, 1990. Senyawa Obat, Buku Pelajaran Kimia
Farmasi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Yogiantoro M, 2006. Hipertensi Esensial dalam Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I,
Edisi IV. Depok: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
28
29