Transcript

DAFTAR ISI

Pendahuluan 2 Tinjauan Pustaka ..... 3 Anatomi Hidung .. 5 Fisiologi Hidung ... 14 Etiologi Rhinitis Atrofi . 17 Patologi Rhinitis Atropi 19 Gejala Klinis Rhinitis Atropi 21 Diagnosis Rhinitis Atropi ..... 23 Penatalaksanaan Rhinitis Atrofi 25 Komplikasi Rhinitis Atropi ... 29 Daftar Pustaka ... 30

1

PENDAHULUANRinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga rhinitis chronica atrophicanscum foetida, ozaena, atau rinitis krustosa. Disebut rhinitis chronica atrophicanscum foetida sebab ada rhinitis chronica atrophican non foetida. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menolong, dilakukan operasi. Menurut pengalaman, untuk kepentingan klinis perlu ditetapkan derajat ozaena sebelum diobati, yaitu ringan, sedang atau berat, oleh karena ini sangat menentukan terapi dan prognosisnya. Biasanya diagnosis ozaena secara klinis tidak sulit. Biasanya discharge berbau, bilateral, terdapat crustae kuning kehijau-hijauan. Keluhan subjektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia). Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1. Penyakit ini lebih sering mengenai wanita, usia 1-35 tahun terutama pada usia pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan di lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang.

2

TINJAUAN PUSTAKABatasan Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga rhinitis chronica atrophicanscum foetida, sebab ada rhinitis chronica atrophican non foetida.

Karakteristiknya ialah adanya atropi mukosa dan jaringan pengikat submukosa struktur fossa nasalis, disertai adanya crustae yang berbau khas. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Penyakit ini lebih banyak menyerang wanita daripada pria, terutama pada umur sekitar pubertas.1,2,6

Kekerapan Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai wanita, terutama pada usia pubertas. Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5 pria, dan Jiang dkk mendapatkan 15 wanita dan 12 pria. Samiadi mendapatkan 4 penderita wanita dan 3 pria. Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1. Tetapi dari segi umur, beberapa penulis mendapatkan hasil yang berbeda. Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50 tahun, Jiang dkk berkisar 13-68 tahun, Samiadi mendapatkan umur antara 1549 tahun. Penyakit ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang. Di RS H. Adam Malik dari Januari 1999 sampai Desember 2000 ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2 pria, umur berkisar dari 10-37 tahun.1,2

3

Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan tajam dalam insidens ozaena.5

4

ANATOMI HIDUNGNASUS EXTERNUS (HIDUNG LUAR) Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1. Pangkal hidung (bridge). 2. Dorsum nasi 3. Puncak hidung 4. Ala nasi 5. Kolumela 6. Lubang hidung (nares anterior)

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil

5

Kerangka tulang terdiri dari : o Sepasang os nasalis o procesus frontalis os maxillaris o procesus nasalis os frontalis

Kerangka tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung terdiri dari : o Sepasang kartilago nasalis lateralis superior. o Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor). o Beberapa pasang kartilago alar minor. o Tepi anterior kartilago septum nasi.

Otot-otot ala nasi terdiri dari dua kelompok yaitu : 1. Kelompok dilator : a. b. c. m.dilator nares (anterior dan posterior). m.proserus. caput angulare m. quadratus labii superior.

6

2. Kelompok konstriktor : a. b. m. nasalis m.depresor septi Kerja otot otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan menyempit.

HIDUNG DALAM (CAVUM NASI)

Struktur ini membentang dari os internum di sebelah anterior hingga choanae di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi merupakan struktur tulang di garis tengah, secara anatomi membagi organ menjadi dua bagian. Setiap belahan hidung mempunyai dasar, atap, dinding lateral dan dinding medial.

Dasar : Dasar dibentuk oleh processus palatinus maxillae dan lamina horizontalis ossis palatini, yaitu permukaan atas palatum durum.

7

Atap : Bagian atap sempit dan dibentuk dari belakang ke depan oleh corpus ossis sphenoidalis, lamina cribrosa ossis ethmoidalis, os frontale, os nasale, dan cartilagines nasi.

Dinding lateral : Dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os etmoid, konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid. Terdapat 4 konka yaitu konka nasalis suprema, superior, media, dan inferior. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Area dibawah setiap concha disebut meatus. Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan di atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang berhubungan dengan sinus sfenoid. Kadang kadang konka nasalis suprema dan meatus nasi suprema terletak di bagian ini. Meatus nasi media terletak di bawah dan lateral concha media. Pada dinding lateralnya terdapat prominentia bulat, bulla ethmoidalis, yang disebabkan oleh penonjolan sinus ethmoidales medii yang terletak di bawahnya. Sinus ini bermuara pada pinggir atas meatus. Sebuah celah melengkung, disebut hiatus semilunaris, terletak tepat di bawah bulla. Ujung anterior hiatus masuk kedalam saluran yang berbentuk corong disebut infundibulum. Sinus maxilaris bermuara pada meatus nasi media melalui hiatus semilunaris. Sinus frontalis bermuara dan dilanjutkan oleh infundibulum. Sinus ethmoidales anteriores juga bermuara pada infundibulum.

8

Meatus nasi media dilanjutkan ke depan oleh sebuah lekukan disebut atrium. Atrium ini dibatasi di atas oleh sebuah rigi, disebut agger nasi. Dibawah dan depan atrium, dan sedikit di dalam naris, terdapat vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang telah bermodifikasi dan mempunyai rambut-rambut melengkung dan pendek, atau vibrissae. Meatus nasi inferior terletak dibawah dan lateral concha inferior dan padanya terdapat muara ductus nasolacrimalis. Sebuah lipatan membrana mucoasa membentuk katup yang tidak sempurna, yang melindungi muara ductus.

Dinding medial : Dinding medial atau septum nasi adalah sekat os teocartilago yang ditutupi membrana mucosa. Bagian atas dibentuk oleh lamina perpendicularis ossis ethmoidalis dan bagian posteriornya dibentuk oleh os vomer. Bagian anterior dibentuk oleh cartilago septi. Septum ini jarang sekali terletak pada bidang median. Membrana mucasa melapisi cavum nasi, kecuali vestibulum, yang dilapisi oleh kulit yang telah mengalami modifikasi. Terdapat dua jenis membrana mucosa, yaitu mucosa olfactorius dan respiratorius. Membrana mucosa olfactorius melapisi permukaan atas concha nasalis superior dan recessus sphenoethmoidalis; juga melapisi daerah septum nasi yang berdekatan dan atap. Fungsinya adalah menerima rangsang penghidu dan untuk fungsi ini mucosa memiliki selsel penghidu khusus. Akson sel-sel ini (serabut n. olfactorius) berjalan melalui lubanglubang pada lamina cribrosa ossis ethmoidalis dan berakhir pada bulbus olfactorius. Permukaan membrana mucosa tetap basah oleh sekret kelenjar serosa yang berjumlah banyak.

9

Membrana mucosa respiratorius melapisi bagian bawah cavum nasi. Fungsinya adalah menghangatkan, melembabkan, dan membersihkan udara inspirasi. Proses penghangatkan terjadi oleh adanya plexus venosus di dalam jaringan submucosa. Proses melembabkan berasal dari banyaknya mucus yang diproduksi olek kelenjar-kelenjar dan sel-sel goblet. Pertikel debu yang terinspirasi akan menempel pada permukaan mucosa yang basah dan lengket. Mukus yang tercemar ini terus menerus di dorong ke belakang oleh kerja silia dari sel-sel silindris bercilia yang meliputi permukaan. Sesampainya di pharynx mucus ini ditelan.

Persarafan cavum nasi : N. olfactorius berasal dari sel-sel olfactorius khusus yang terdapat pada membran mucosa yang telah dibicarakan sebelumnya. Saraf ini naik keatas melalui lamina cribrosa dan mencapai bulbus olfactorius. Saraf-saraf sensasi umum berasal dari divisi ophthalmica dan maxillaris n. trigeminus. Persarafan bagian anterior cavum nasi berasal dari n. ethmoidalis anterior. Persarafan bagian posterior cavum nasi berasal dari ramus nasalis, ramus nasopalatinus, dan ramus palatinus ganglion ptrerygopalatinus.

Aliran limfe cavum nasi : Pembuluh limfe mengalirkan limfe dari vestibulum ke nodi submandibulares. Bagian lain dari cavum nasi mengalirkan limfenya ke nodi cervicales profundi superior.

10

SUPLAI DARAH HIDUNG : Bagian atas rongga hidung mendapatkan pendarahan dari : a. carotis interna a. Oftalmika a. Etmoid anterior dan posterior Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. a. maksilaris interna a. palatina mayor a. sfenopalatina Bagian depan hidung mendapatkan pendarahan dari cabang-cabang a. facialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatine mayor yang dinamakan plexsus kiesselbach. Plexsus kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung) terutama pada anak. a. facialis a. sfenopalatina a. etmoid anterior a. labialis superior a. palatine mayor.

11

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung ermuara ke vena oftalmica yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan factor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intracranial.

MUKOSA HIDUNG Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet.

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat obatan.

12

Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.

13

FISIOLOGI HIDUNGHidung memiliki beberapa fungsi yaitu : 1. Sebagai jalan nafas Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.

2.

Pengatur kondisi udara (air conditioning) Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara : a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.

14

3. Sebagai penyaring dan pelindung Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakukan oleh : a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi b. Silia c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.

4. Indra penghirup Hidung juga bekerja sebagai indra penghirup dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.

5. Resonansi suara Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.

6. Proses bicara Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara.

15

7. Refleks nasal Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

16

ETIOLOGI RHINITIS ATROPIPenyebab rinitis atrofi (Ozaena) belum diketahui sampai sekarang. Terdapat berbagai teori mengenai penyebab rinitis atrofik dan penyakit degeneratif sejenis. Beberapa penulis menekankan faktor herediter. Namun ada beberapa keadaan yang dianggap berhubungan dengan terjadinya rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : a. Infeksi setempat/ kronik spesifik. Paling banyak disebabkan oleh Klebsiella Ozaena. Kuman ini menghentikan aktifitas sillia normal pada mukosa hidung manusia. Selain golongan Klebsiella, kuman spesifik penyebab lainnya antara lain Stafilokokus, Streptokokus, Pseudomonas aeuruginosa, Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli, Cocobacillus foetidus ozaena. b. Defisiensi. Defisiensi Fe dan vitamin A c. Infeksi sekunder. Sinusitis kronis. d. Kelainan hormon. Ketidakseimbangan hormon estrogen. e. Penyakit kolagen. Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun. f. Teori mekanik dari Zaufal. g. Ketidakseimbangan otonom. Terjadi perubahan neurovaskular seperti deteriorisasi pembuluh darah akibat gangguan sistem saraf otonom. h. Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS). i. Herediter. j. Supurasi di hidung dan sinus paranasal. k. Golongan darah.

17

Selain faktor-faktor di atas, rinitis atrofi juga bisa digolongkan atas : rinitis atrofi primer yang penyebabnya tidak diketahui dan rinitis atrofi sekunder akibat trauma hidung (operasi besar pada hidung atau radioterapi) dan infeksi hidung kronik yang disebabkan oleh sifilis, lepra, midline granuloma, rinoskleroma dan tbc. Radiasi pada hidung umumnya segera merusak pembuluh darah dan kelenjar penghasil mukus dan hampir selalu menyebabkan rinitis atrofik. Berbagai infeksi seperti eksantema akut, scarlet fever, difteri dan infeksi kronik telah diimplikasikan sebagai penyebab cedera pembuluh darah submukosa. Penyebab dari lingkungan juga telah diajukan karena angka insiden yang lebih tinggi pada masyarakat sosio ekonomi rendah

18

PATOLOGI RHINITIS ATROPIBeberapa penulis menyatakan adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi epitel skuamous atau atrofik, dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat pengurangan kelenjar alveolar baik dalam jumlah dan ukuran dan adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal. Oleh karena itu secara patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua : a. Tipe I : adanya end-arteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat infeksi kronik; membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen. b. Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi estrogen. Sebagian besar kasus merupakan tipe I. End-arteritis di arteriole akan menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa. Taylor dan Young mendapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun; Dobbie mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi mucus clearance dan mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.

19

Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : - Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis. - Silia hidung. Silia akan menghilang. - Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis. - Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil), atau jumlahnya berkurang.

GEJALA KLINIS

20

Keluhan penderita rinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa hidung tersumbat, gangguan penciuman (anosmi), ingus kental berwarna hijau, adanya krusta (kerak) berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung terasa kering. Keluhan subjektif lain yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia) jadi penderita sendiri (-), orang lain (+) penciumannya. Pasien mengeluh kehilangan indra pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan napas jelas menjadi semakin lebar, pasien merasakan sumbatan yang makin progresif saat bernapas lewat hidung, terutama karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan hidung dan menghantarkan impuls sensorik dari mukosa hidung ke sistem saraf pusat telah bergerak semakin jauh dari gambaran. Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat : a. Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta sedikit. b. Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas. c. Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas. Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini mempunyai awitan yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya pertama mengenai mukosa hidung tampak beberapa daerah metaplasia yang kering dan tipis dimana epitel pernapasan telah

21

kehilangan silia, dan terbentuk krusta kecil serta sekret yang kental. Dapat terjadi ulserasi ringan dan pendarahan.

Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih besar namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara perlahan memperbesar rongga hidung ke segala jurusan dengan semakin tipisnya epitel. Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang, sementara fibrosis jaringan subepitel perlahan-lahan menyeluruh. Jaringan disekitar mukosa hidung juga ikut terlibat, termasuk kartilago, otot, dan kerangka tulang hidung. Akhirnya kekeringan, pembentukan krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel nasofaring, hipofaring dan laring. Keadaan ini dapat mempengaruhi patensi tuba Eustachius, berakibat efusi telinga tengah kronik dan dapat menimbulkan perubahan yang tidak diharapkan pada apartus lakrimalis termasuk keratitis sicca.

22

DIAGNOSISDiagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

ANAMNESIS : Keluhan utama yang bisa muncul pada pasien ini adalah hidung tersumbat, napas berbau, gangguan penghidu, dan sakit kepala.

PEMERIKSAAN FISIK : Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior ditemukan: - penimbunan secret dan krusta yang berwarna hijau yang memenuhi rongga nasi - konka mengalami atrofi dan berwarna pucat - rongga hidung sangat lapang - nasofaring dapat terlihat dengan mudah - mukosa hidung tipis dan kering. - Bisa juga ditemui ulat/ telur larva (karena bau busuk yang timbul).

PEMERIKSAAN PENUNJANG : Pemeriksaan penunjang pada kasus rinitis atrofi (ozaena) yang dapat dilakukan antara lain :

Transiluminasi. Pemeriksaan mikroorganisme. Pemeriksaan radiologi

23

Pada foto polos didapatkan pembengkokan lateral dinding nasi, kehilangan atau penipisan konka nasi atau hipoplasi sinus maksilaris. Pada CT scan didapatkan : - penebalan mukoperisteal sinus paranasalis - kehilangan kompleks osteometal sekunder terhadap resoprsi bulla ethmoid - Hipoplasi sinus maksilaris - Pembesaran rongga nasi dengan erosi dan pembengkokan dinding lateral nasi - Resoprsi tulang dan atrofi mukosa konka nasi medial dan inferior

Uji resistensi kuman. Pemeriksaan darah tepi. Pemeriksaan Fe serum. Pemeriksaan histopatologi. Dari pemeriksaan histopatologi terlihat mukosa hidung menjadi tipis, silia hilang, metaplasia torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng berlapis, kelenjar berdegenerasi atau atrofi, jumlahnya berkurang dan bentuknya mengecil.

Pemeriksaan serologi darah.

Diagnosis BandingDiagnosis rinitis atrofi (ozaena) antara lain : 1. Rinitis kronik TBC 2. rinitis kronik lepra 3. rinitis kronik sifilis 4. rinitis sika

24

PENATALAKSANAANHingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofik hanya bersifat paliatif. Termasuk dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik dan lokal dengan endokrin, steroid dan antibiotik, vasodilator, pemakaian iritan jaringan lokal ringan seperti alkohol, dan salep pelumas. Penekanan terapi utama adalah pembedahan, yaitu usaha-usaha langsung mengecilkan rongga hidung, dan dengan demikian juga memperbaiki suplai darah mukosa hidung.

Tujuan pengobatan adalah menghilangkan faktor etiologi/ penyebab dan menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan operasi.

Konservatif Pengobatan konservatif ozaena meliputi pemberian antibiotik, obat cuci hidung, dan simptomatik. 1) Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada pengobatan dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu. 2) Obat cuci hidung untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan menghilangkan bau, antara lain : a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau b. Campuran : NaCl

25

NH4Cl NaHCO3 aaa 9 Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat. c. Larutan garam dapur d. Campuran : Na bikarbonat 28,4 g Na diborat 28,4 g NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali sehari. Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi (Ozaena) biasanya dengan pemberian preparat Fe. 3) Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25% dalam gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U / ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan tiga kali sehari masing-masing tiga tetes. 4) Vitamin A 3x10.000 IU selama 2 minggu. 5) Preparat Fe. 6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan Rjvanski melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80% perbaikan dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan 93,3% perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini membantu regenerasi epitel dan jaringan kelenjar. Samiadi dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2 tablet sehari selama 2

26

minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl fisiologis 3 x sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali untuk melihat efek samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil yang memuaskan pada 6 dari 7 penderita.

Operasi Tujuan operasi pada rhinitis atrofi (ozaena) antara lain :

menyempitkan rongga hidung yang lapang mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta. mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi.

Teknik bedah dibedakan menjadi dua kategori utama : 1) Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal 2) Operasi seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang hidung ke arah dalam.

Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain : 1. Young's operation Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha melaporkan hasil yang baik dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung bergantian masing-masing selama periode tiga tahun. 2. Modified Young's operation Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.

27

3) Lautenschlager operation Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian dipindahkan ke lubang hidung. 4) Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti Teflon, campuran Triosite dan Fibrin Glue. 5) Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's operation) dengan tujuan membasahi mukosa hidung. Mewengkang N melaporkan operasi penutupan koana menggunakan flap faring pada penderita ozaena anak berhasil dengan memuaskan.

Bila pengobatan konsevatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan perbaikan, pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung. Prinsipnya mengistirahatkan mukosa hidung pada nares anterior atau koana sehingga menjadi normal kembali selama 2 tahun. Atau dapat dilakukan implantasi untuk menyempitkan rongga hidung.

KOMPLIKASI

28

Komplikasi rinitis atrofi (ozaena) dapat berupa : 1. Perforasi septum Perforasi septum adalah suatu keadaan dimana pada septum (pembatas antara lubang hidung kanan dan kiri) ditemukan lubang-lubang dan luka terbuka (ulkus). 2. Faringitis Faringitis yang timbul pada rhinitis atrofi biasanya adalah faringitis kronik atrofi. Faringitis ini timbul karena pada rhinitis atropi udara pernafasan tidak diatur suhu dan kelembabannya sehingga mengakibatkan rangsangan dan infeksi pada faring 3. Sinusitis 4. Miasis hidung Miasis hidung ialah terdapatnya investasi larva (belatung=ulat) dari lalat pada hidung manusia. 5. Hidung pelana (saddle nose)

DAFTAR PUSTAKA29

Sherwood, Lauralee, 2001. Fisiologi Manusia Ed 2. EGC. Jakarta Soepardi, E A,dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Ed 6. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Boies, adam. 1997. Buku Ajar Penyakit THT Ed 6. EGC. Jakarta http://library.usu.ac.id http://keperawatan0609.blogspot.com Asnir, A. R. 2004. Rinitis Atrofi. Available from : http://www.kalbe.co.id. Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004.

http://tht-fkunram.blogspot.com http://health.detik.com www.dexa-medica.com

30


Top Related