-
[1]
Sejarah Pendidikan di Samarinda Era Kolonial Belanda
(1900 1942)
Oleh:
Muhammad Sarip*
Komunitas Samarinda Bahari
2015
-
Muhammad Sarip | Sejarah Pendidikan di Samarinda Era Kolonial Belanda
[2]
PENDAHULUAN
Historiografi atau penulisan sejarah bertema pendidikan di kota Samarinda
zaman bahari (lampau) ini sesungguhnya merupakan sebuah subbab dalam
buku Samarinda Bahari; Sejarah 7 Zaman Daerah Samarinda karya penulis
sendiri yang diterbitkan pada November 2015. Artikel ini juga telah dimuat di
tabloid Jepen (Jendela Pendidikan), media cetak Dinas Pendidikan Kota
Samarinda, edisi Oktober 2015.
Penulis menyatakan dengan sebenarnya bahwa artikel ini bukan plagiat,
melainkan hasil riset literatur/kepustakaan secara intensif. Jika sekadar
melakukan copy paste atau menyalin ulang tanpa analisis komprehensif maka
terdapat informasi yang kontradiktif dan ketidaksesuaian fakta akibat perbedaan
data antara satu referensi dengan rujukan lainnya.
Pendeskripsian sejarah ini penulis implementasikan dengan metode populer
supaya lebih menarik dibaca serta mudah dipahami semua kalangan. Akan
tetapi, metode populer ini dengan tetap melakukan metode ilmiah dalam
tahapannya, mulai pencarian/pengumpulan sumber (heuristik), pengolahan sumber dan data, hingga penulisan yang memperhatikan kaidah tata bahasa
yang baik dan benar.
-
Muhammad Sarip | Sejarah Pendidikan di Samarinda Era Kolonial Belanda
[3]
A. Pelajaran Baca-Tulis Sebelum Era Sekolah Belanda
Sebelum abad 20 (di bawah tahun 1900) di Vierkante-Paal Samarinda tidak
ada pendidikan formal konvensional, walaupun sekadar sekolah tingkat
dasar. Sekolah formal hanya diselenggarakan di Pulau Jawa. Segelintir
orang Samarinda yang bisa melakukan korespondensi (surat-menyurat) atau
dokumentasi kebanyakannya menggunakan aksara Arab-Melayu, bukan
aksara Latin. Yang dimaksud aksara Arab-Melayu ialah tulisan berbahasa
Melayu yang menggunakan huruf Arab plus beberapa mofifikasi, yang
disebut dengan Abjad Jawi.
Pengetahuan dan keterampilan mempergunakan abjad Jawi oleh penduduk
pribumi diperoleh secara informal melalui guru-guru agama yang juga
mendapatkan ilmunya dari perantau Arab, keturunan Arab atau tokoh
masyarakat yang pernah berhaji sekaligus belajar ke Arab Saudi. Di
kalangan penduduk muslim memang menjadi tradisi setiap keluarga untuk
mengharuskan anggota keluarganya sejak kecil bisa mengeja huruf Arab
sampai lancar membaca kitab suci Alquran.
Orang Samarinda sejak bahari sampai masa kini mengenal proses belajar-
mengajar kitab Alquran tingkat pemula dengan istilah mengaji. Sementar
itu, pengajaran aksara Arab selain pelajaran bahasa Arab dengan tingkat
pemahaman yang lebih dalam diistilahkan dengan mengaji kitab kuning.
Satu di antara manuskrip (naskah) Arab-Melayu yang diketahui merupakan
karya tulis di pertengahan abad 19 adalah Salasilah Raja dalam Negeri Kutai
Kartanegara. Tulisan panjang yang menghikayatkan awal berdirinya
Kerajaan Kutai Kartanegara di Negeri Jahitan Layar Kutai Lama sampai
masa pemerintahan sebelum ditaklukkan Belanda itu dibuat oleh Khatib
Muhammad Tahir pada tanggal 24 Februari 1849 M dengan huruf Arab,
namun dengan bahasa Melayu.
-
Muhammad Sarip | Sejarah Pendidikan di Samarinda Era Kolonial Belanda
[4]
B. Sekolah Pribumi Volkschool dan Inlandsche School
Pelajaran membaca dan menulis dengan aksara Latin bagi penduduk
pribumi di Samarinda baru mulai dikenal setelah Pemerintah Hindia Belanda
menerapkan Politik Etis. Politik Etis adalah politik balas budi dari Kerajaan
Belanda, yang dinyatakan oleh Ratu Wilhelmina ketika berpidato dalam
penobatannya sebagai ratu Belanda pada 17 September 1901, dengan
substansi tiga hal: irigrasi, emigrasi, dan edukasi. Dengan berlakunya Politik
Etis, terbuka kesempatan bagi rakyat untuk berserikat dan berkumpul atau
berorganisasi yang di antaranya bergerak dalam bidang pendidikan.
Pada tahun 1907 Belanda mendirikan sekolah rendah untuk pribumi dengan
nama Volksschool alias sekolah desa, yang pertama kali di Pulau Jawa. Guru-guru Volksschool direkrut dari dari kalangan pribumi. Di Volksschool
diajarkan pelajaran membaca, menulis, dan berhitung serta kerajinan
tangan.
Penyelenggaraan sekolah rendah ini tidak murni untuk kemajuan warga
Samarinda melainkan misi Pemerintah Belanda yang berkepentingan
dengan tenaga kerja lokal bagian administrasi sederhana di perusahaan
tambang batu bara, perminyakan, dan perusahaan lainnya. Realitas masa itu
di Samarinda dan sekitarnya terdapat perusahaan minyak BPM dan
tambang batu bara OBM.
Menurut Oemar Dachlan dkk (2004), Volksschool di Samarinda awalnya
berjumlah 3 unit sekolah yang terdapat di Sungai Pinang, Karang Asam, dan
Sungai Keledang. Pada tahun 1936 sekolah desa bertambah lagi dengan
berubahnya Inlandsche School di Permandian Straat menjadi Volksschool
pada tahun 1936 dengan durasi belajar selama 3 tahun.
Sekolah pribumi dengan istilah Inlandsche School di Samarinda pertama kali didirikan di Boom Straat (sekarang Jalan Pelabuhan) pada tahun 1900-
an. Kemudian pada tahun 1918 Inlandsche School unit ke-2 didirikan di
Kampung Pasar Pagi, yang bertahan sampai tahun 1930 di sana, lalu
dipindahkan ke Permandian Straat.
-
Muhammad Sarip | Sejarah Pendidikan di Samarinda Era Kolonial Belanda
[5]
Inlandsche School adalah sekolah rendah berbahasa pengantar bahasa
daerah atau Melayu. Tujuan pendirian sekolah ini selain guna mendapatkan
pekerja pribumi yang bisa diandalkan dalam bidang administrasi di
perusahaan tambang minyak dan batu bara, juga memberdayakan pegawai
pribumi di kantor pemerintahan Afdeeling Oost Borneo.
C. Sekolah Swasta Schakel School
Dilatarbelakangi kondisi penduduk pribumi yang terbelakang dalam
pendidikan dan menyadari akan pentingnya pendidikan bagi bangsa yang
terjajah, pada tahun 1923 Masdar, seorang guru lulusan Oud Kweekschool dan beberapa pemuka masyarakat Samarinda memimpin pendirian Schakel School. Status sekolah ini di Samarinda adalah sekolah partikelir/swasta tingkat dasar.
Schakel School adalah sekolah peralihan dari Volksschool untuk persamaan
dengan murid yang berasal dari Tweede Inlandsche School. Masa
pendidikannya selama 5 tahun, sehingga lulusannya dipersamakan dengan
alumni HIS.
D. Sekolah Belanda Europese Lagere School (ELS)
Di samarinda pada tahun 1916 berdiri ELS (Europese Lagere School) untuk mendidik anak-anak Eropa termasuk Belanda yang menjalankan
otoritas pemerintahan di Assistant Resident Oost Borneo. Pemerintah
Belanda mengizinkan anak-anak pribumi bersekolah di ELS namun dengan
syarat orang tuanya berpenghasilan minimal F 100 (seratus Gulden).
Selanjutnya ketentuan penghasilan minimal ini tidak berlaku lagi dan
Belanda mempersyaratkan hanya anak dari golongan ningrat/bangsawan
saja yang boleh bersekolah di ELS.
-
Muhammad Sarip | Sejarah Pendidikan di Samarinda Era Kolonial Belanda
[6]
E. Hollandsch Inlandshe School (HIS)
Selanjutnya pada tahun 1926, para tokoh masyarakat seperti Maharadja Sayuti Lubis (tokoh Syarikat Islam dan pemimpin redaksi sebuah majalah pertama di Samarinda), Anang Atjil Kasuma Wira Negara (tokoh pers, pensiunan jaksa), Kamaluddin (pengurus Syarikat Islam Samarinda), dan M. Sidik (pengurus Muhammadiyah Samarinda) berpemikiran yang sama, bahwa terdapat ketimpangan sosial atau diskriminasi dalam pendidikan
karena ELS dikhususkan hanya bagi anak Belanda dan golongan ningrat.
Mereka kemudian mengadakan Openbare Vergadering, yaitu rapat umum
dengan menyampaikan pernyataan tuntutan kepada Pemerintah Hindia
Belanda supaya sesegera mungkin mendirikan Gouvernement HIS (sekolah pribumi negeri) di Oost Borneo.
Menindaklanjuti tuntutan tersebut, pada tahun 1928 HISsingkatan dari Hollandsch Inlandshe Schooldidirikan di Tokopandjang Straat, Kampung Sungai Pinang Samarinda. HIS adalah sekolah tingkat dasar yang dikelola
pemerintah Belanda untuk golongan penduduk keturunan Indonesia asli yang pada umumnya anak-anak dari golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka,
atau pegawai negeri. Pendidikan berdurasi tujuh tahun ini diselenggarakan
Belanda sebagai bagian dari Politik Etis dan guna memenuhi tenaga
kepegawaian pada kantor administrasi Belanda. Bahasa pengantar
(Voertaal) yang digunakan adalah bahasa Belanda, sehingga orang
Samarinda tempo dulu pandai berbahasa Belanda.
Guru-guru HIS dari kalangan pribumi di Samarinda ada yang bersikap
radikal atau terlibat pergerakan nasional. R. Abdul Mohni misalnya, tercatat sebagai satu di antara kepala sekolah HIS di Samarinda yang menanamkan
rasa nasionalisme kepada para muridnya.
Menurut kebiasaan, dalam pelajaran sejarah (geschiedenis) di HIS, kata
ons land diartikan sebagai Negeri Belanda. Namun, ketika mengajarkan
pelajaran sejarah, Abdul Mohni berulang kali mengucapkan, Ons land, ons
-
Muhammad Sarip | Sejarah Pendidikan di Samarinda Era Kolonial Belanda
[7]
land of liever gezegd Indonesie, yang menyadarkan para murid bahwa ons
land (negeri kita/kami) itu adalah (sebenarnya) Indonesia.
Sejarah juga mencatat Kasirun Djojohadiwardjojo sebagai guru di HIS yang diam-diam sering menghadiri rapat-rapat malam yang diadakan
Parindra (Partai Indonesia Raya) di gedung sekolah Neutrale School. A.
Moeis Hassan (mantan Gubernur Kalimantan Timur periode 1962-1966)
sebagai satu di antara muridnya mengungkapkan, bersama teman-teman
sekolahnya di sore hari pernah mendapatkan pelajaran menyanyi lagu
Indonesia Raya versi lama, yaitu lirik refrain pada bait Indonesia Raya,
merdeka, merdeka diganti Indones, Indones, mulia, mulia.
Aktivitas Kasirun yang nasionalis akhirnya diketahui pemerintah Belanda.
Akibatnya, pada tahun 1937 Kasirun dipecat sebagai guru HIS. Pada acara
perpisahan dengan Kasirun, Abdul Mohni menyampaikan rasa prihatin
karena tidak dapat membela teman sejawatnya.
Setelah Indonesia merdeka, HIS berubah menjadi Sekolah Rendah Negeri
(SRN) yang kemudian sekarang di lokasi tersebut berdiri SDN (Sekolah
Dasar Negeri) 006 Jalan Imam Bonjol.
F. Sekolah Tionghoa THHK dan HCS
Pada tahun 1900 di Indonesia berdiri perkumpulan Tionghoa, Tsung Hua Hwee
Kwan (THHK) yang mula-mula mendirikan gedung pertemuan untuk
menyebarkan tradisi dan moral Tionghoa menurut ajaran Kong Fu Tse.
Perhatian mereka tertuju pada pendidikan dengan mendirikan sekolah.
Pengurus Chung Hua Chung Hui Samarinda juga mendirikan sekolah Tsung Hua Hwee Kwan (THHK) di Tokopandjang Straat. Di kemudian hari, bangunan sekolah ini turut musnah saat kota Samarinda dilanda musibah
kebakaran pada 4 April 1957. Lokasinya sekarang di area pembangunan
sebuah hotel di Jl. Niaga Timur, bekas komplek pertokoan Pinang Babaris.
-
Muhammad Sarip | Sejarah Pendidikan di Samarinda Era Kolonial Belanda
[8]
Sekolah khusus untuk kalangan Tionghoa lainnya adalah Balai Belajar
Tionghoa di Bloom Straat. Ketika sekolah itu diresmikan tanggal 23 Agustus
1906, dihadiri petinggi pemerintah Belanda dan sejumlah pejabat berjubah
khas kekaisaran Dinasti Qing. Di kemudian hari, lokasi tempat balai belajar
itu kini menjadi markas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di
Jalan Mulawarman. Informasi ini berdasarkan riset Dragono Halim.
Di samping itu, pemerintah Belanda juga mendirikan HCS (Hollands Chinese School) bagi penduduk dari negeri tirai bambu. Kala itu, diskriminasi rasial diterapkan Belanda sebagai bagian dari taktik devide et
impera, sehingga golongan Tionghoa tidak bersekolah di HIS dan golongan
pribumi juga tidak mungkin menjadi murid HCS, serta sulit pula diterima di
ELS maupun HIS.
G. Meisje School dan Aminah Syukur
Pada tahun 1928 Aminah Syukur (ejaan lama: Aminah Sjoekoer), seorang perempuan keturunan Belanda bersama suaminya, Mohammad Jacob
mendirikan Meisje School di Samarinda. Perempuan bernama asli Atje Voorstad itu bersama M. Jacob (saudara dari seorang aktivis Syarikat Islam,
Mohammad Hassan) mendidik murid-murid dari kalangan pribumi, dengan
prioritas dari kaum perempuan, mengingat keterbelakangan perempuan
pada masa itu. Walaupun demikian, anak lak-laki juga ada yang bersekolah
di Meisje School seperti A. Moeis Hassan yang mengakui sebagai satu di
antara murid sekolah itu ketika berusia 5 tahun pada 1929.
Meisje School juga dikenal sebagai sekolah keputrian dengan tersohornya
nama Aminah Syukur sebagai satu di antara tokoh perintis pendidikan
Samarinda. Atas jasanya dalam bidang pendidikan formal maupun informal,
Pemerintah Daerah Samarinda memberikan tempat peristirahatan
terakhirnya di Taman Makam Pahlawan Kesuma Bangsa. Sebuah
penghormatan juga dilakukan pemerintah dengan memberi nama Jalan
Aminah Syukur di kota Samarinda.
-
Muhammad Sarip | Sejarah Pendidikan di Samarinda Era Kolonial Belanda
[9]
H. Sekolah Islam Musyawaratut Thalibin
Selain sekolah pemerintah dan swasta umum, terdapat pula sekolah rakyat
yang didiirikan warga pribumi yang bercorak Islam. Syarikat Islam sebagai
organisasi pergerakan nasional pertama yang membuka cabang di
Samarinda, mendirikan Madrasah Musyawaratut Thalibin (MTH) pada tahun 1931.
Penggagas sekolah ini adalah dua mubalig dari Banjar Kalimantan Selatan
bernama Madjedi Effendi dan Ridwan Syahrani dengan didukung oleh H.
Muhammad Saleh dan H. Muhammad Seman Saad. MTH berperan
signifikan memajukan pendidikan kaum muslimin Samarinda saat itu. Para
alumni MTH berjasa mengembangkan ajaran Islam sebagai kepercayaan
mayoritas masyarakat Samarinda yang membentuk tatanan moral dan
peradaban masyarakat.
Semula, bangunan lembaga pendidikan yang juga dikenal dengan Sekolah
Arab itu menempati sebuah rumah sewaan di Missigit Straat (Jalan Masjid,
sekarang Jalan K.H. A. Khalid). Kemudian, karena muridnya bertambah
banyak hingga berjumlah ratusan sedangkan rumah sewaan itu kurang
kapasitasnya, sekolah dipindahkan ke rumah milik Mohammad Hassan,
pada posisi bagian depan di Stamboel Straat (sekarang Jl. Panglima Batur).
Selanjutnya, SI membangun gedung di lokasi yang berdekatan dengan
rumah Mohammad Hassan, yang sebagian ruangannya dipergunakan untuk
sekolahan.
Selain MTH, sekolah Islam lainnya adalah Madrasah Asy Syafiiyah dan
Achloessoennah School. Madrasah Asy Syafiiyah yang berlokasi di Boom
Straat didirikan oleh H. Abdullah Marisi, Muhammad Nasher, dan Muchlis.
Achloessoennah School didirikan oleh K.H. Abul Hasan pada tahun 1926
dengan dibantu oleh H. Djebar Khalid, Djapri, dan para guru lainnya.
-
Muhammad Sarip | Sejarah Pendidikan di Samarinda Era Kolonial Belanda
[10]
I. Neutrale School dan BPPR
Selain Syarikat Islam, organisasi pergerakan nasional yang mendirikan
sekolah untuk rakyat adalah Parindra (Partai Indonesia Raya). Pada Juli
1937, tokoh Kampung HBS (Handel Maatschappij Borneo Samarinda)
bernama H.A. Badrun Arieph dan para pengurus Parindra lainnya
mendirikan Neutrale School dengan kepala sekolah yang pertama, Margono. Selanjutnya, Kasirun Djojohadiwardjojo yang sebelumnya dipecat
dari HIS karena aktivitas bersama Parindra, menjadi menjadi kepala sekolah
Neutrale School. Guru-gurunya selain Kasirun antara lain: Suwito, Ny.
Suwito, Katidjan, Mudjio, Martin Rumondor, dan Masdar.
Ketika itu pemerintah Belanda menganggap Neutrale School sebagai
sekolah yang berbahaya sehingga banyak pegawai pemerintah yang tidak
berani menyekolahkan anaknya di sana, kecuali seorang pegawai bea dan
cukai yang berputra M. Asnawie Arbain (mantan walikota Balikpapan periode
1977-1981).
Pada awal pendudukan Jepang, aktivitas belajar-mengajar di Neutrale
School mengalami kevakuman. Kemudian atas prakarsa sekretaris Neutrale
Schoolvereniging A. Moeis Hassan, pada Mei 1942 A.M. Sangaji mengambil
alih kepengurusan Neutrale School. Sangaji yang merupakan tokoh panutan
dan orator kebangsaan yang ulung itu lalu mengubah nama Neutrale School
menjadi Balai Pengajaran dan Pendidikan Rakyat, disingkat BPPR. Dua di
antara guru baru yang diangkat BPPR adalah I.A. Moeis dan M. Asjari
Arbain yang diberi gaji Rp 8,- per bulan. Sebagian guru yang berhenti
mengajar di Neutrale School mendirikan Particuliere School met HIS-leerplan.
Hingga akhir masa kolonial Belanda setelah serdadu Jepang mengalahkan
pasukan Belanda di Samarinda pada 3 Februari 1942, tidak ada pendidikan
tingkat lanjutan atau menengah selain tingkat dasar, kecuali sebuah kursus
mendidik calon guru bernama Ceer Volks Onderwijzer (CVO). Kursus ini diadakan untuk keperluan tenaga pengajar di sekolah desa Volksschool.
-
Muhammad Sarip | Sejarah Pendidikan di Samarinda Era Kolonial Belanda
[11]
Anak-anak yang ingin meneruskan ke sekolah lanjutan, mesti ke
Tenggarong atau Banjarmasin. Di Tenggarong terdapat sekolah guru CVO
(Cursus Voor Onderwijers). Di Banjarmasin ada sekolah menengah MULO
(Meer Uitgebreid Lager Onderwijs).
*) Penulis adalah pendiri dan admin grup media sosial Facebook Samarinda Bahari, penulis buku
Samarinda Bahari, Sejarah 7 Zaman Daerah Samarinda.
-
Muhammad Sarip | Sejarah Pendidikan di Samarinda Era Kolonial Belanda
[12]
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2013. Atje Voorstad: Drama Hidup & Dedikasi untuk Pendidikan di Samarinda. http://samarindaku.tumblr.com/post/56317102711/atje-voorstad-drama-hidup-dedikasi-untuk. Diakses pada tanggal 11 Maret 2015.
Hardjasaputra, A. Sobana. 2013. Metode Penulisan Sejarah. http://sobhar.blogspot.co.id/2013/06/metode-penulisan-sejarah.html. Diakses pada tanggal 31 Desember 2014.
Hassan, A. Moeis. 1994. Ikut Mengukir Sejarah. Jakarta: Yayasan Bina Ruhui Rahayu.
Halim, Dragono. 2015. Perantau Tiongkok dan Kontribusinya Membangun Kota Samarinda. http://undas.co/2015/05/taulah-pian-bubuhan-cina-di-samarinda/. Diakses pada tanggal 15 Mei 2015.
Hamdani. 2005. Kampoeng HBS Kampung Pejuang dan Saudagar. Samarinda: Pemerintah Kota Samarinda.
Mees, Constantinus Alting. 1935. De Kroniek van Koetai. Belanda: Universitas Leiden.
Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.
Sanusie, M. Djunaid, dkk. 1984. Secercah Perjuangan BPRI Bn. VIII Brig. S Div. VI (NAROTAMA) di Samarinda. Samarinda: Pemda Kalimantan Timur.
Tim Penyusun. 1970. Buku Petundjuk Kotamadya Samarinda. Samarinda: Pemerintah Kotamadya Samarinda.
Tim Penyusun. 2004. Merajut Kembali Sejarah Kota Samarinda. Samarinda: Pemerintah Kota Samarinda.
Tim Penyusun. 1986. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalimantan Timur, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
Tim Penyusun. 1992. Sejarah Pemerintahan di Kalimantan Timur dari Masa ke Masa. Samarinda: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Timur.
-
Muhammad Sarip | Sejarah Pendidikan di Samarinda Era Kolonial Belanda
[13]
Para murid ELS (Europese Lagere School) di Samarinda tahun 1922,
tampak wajah Eropa dan pribumi. Sumber foto: Galeri Samarinda Bahari, kolektor: Hj. Salmah binti H.M. Saleh via Ellie Hasan.
Sekolah Islam Madrasah Musyawaratut Thalibin (MTH) yang berdiri tahun 1931. Sumber: Sejarah Pemerintahan di Kalimantan Timur dari Masa ke Masa, 1992.
-
Muhammad Sarip | Sejarah Pendidikan di Samarinda Era Kolonial Belanda
[14]
Balai Pengajaran dan Pendidikan Rakyat yang didirikan oleh
A.M. Sangaji di Samarinda sebagai reinkarnasi dari Neutrale School. Sumber foto: Blog BubuhanBanjar
Peresmian Balai Belajar Tionghoa tanggal 23 Agustus 1906, dihadiri petinggi pemerintah
Belanda dan sejumlah pejabat berjubah khas kekaisaran Dinasti Qing. Sumber: Undas.co; Foto: repro Dragono Halim.