Transcript
Page 1: Refreat Gbs Stase Saraf

REFERAT

Tatalaksana

Guillain-Barre Syndrome

Disusun Oleh:

ANGGIA FITRI WIDYANI

1102010023

Pembimbing :

dr. Mukhdiyar Kasim, Sp.S

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

KEPANITERAAN BAGIAN ILMU SARAF RSUD CILEGON

1

Page 2: Refreat Gbs Stase Saraf

MEI 2014

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang

telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, penyusun

menampilkan referat yang berjudul “Tatalaksana Guillain Barre Syndrome”.

Adapun referat ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian

kepanitraan klinik di bagian syaraf RSUD Cilegon.

Terwujudnya referat ini merupakan berkat bantuan dan dorongan dari

berbagai pihak. Penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada dr. Mukhdiyar Kasim, Sp.S selaku konsulen pembimbing referat, yang

telah meluangkan waktu dalam membimbing dan memberi masukan-masukan

kepada penyusun dan juga kepada seluruh dokter lainnya yang turut membantu

membimbing penyusun serta kepada seluruh koass lainnya selama kepaniteraan

di bagian Saraf. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang sebesar-besarnya

atas bantuan yang diberikan selama ini.

Penyusun menyadari referat ini masih jauh dari kata sempurna, oleh

karena itu penyusun mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun

sehingga penyusunan referat ini dapat menjadi lebih baik dan sesuai dengan

hasil yang diharapkan.

Akhir kata dengan mengucapkan Alhamdulillah, semoga Allah SWT selalu

meridhoi kita dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Cilegon, 8 April 2014

2

Page 3: Refreat Gbs Stase Saraf

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………2

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………….3

BAB I. PENDAHULUAN …………………………………………………………………..4

BAB II. PEMBAHASAN ……………………………………………………………………5

2.1 DEFINISI …………………………………………………………………………5

2.1 KLASIFIKASI ……………………………………………………………………6

2.3 GEJALA KLINIS ………………………………………………………………..7

2.4 DIAGNOSIS …………………………………………………………………….8

2.5. TATALAKSANA ……………………………………………………………..13

2.6 KOMPLIKASI ………………………………………………………………….19

2.7 PROGNOSIS …………………………………………………………………..19

BAB III. KESIMPULAN …………………………………………………………………….20

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………21

3

Page 4: Refreat Gbs Stase Saraf

BAB I

PENDAHULUAN

Guillain-Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit ‘demyelinating’ saraf

dan merupakan salah satu polineuropati, karena hingga sekarang belum dapat

dipastikan penyebabnya. Kebanyakan kasus GBS terjadi sesudah proses infeksi, diduga

karena sistem kekebalan tubuh yang tidak berfungsi. Gejalanya adalah kelemahan otot

(parese hingga plegia), biasanya perlahan, mulai dari bawah ke atas. Jadi gejala awalnya

tidak bisa berjalan, atau gangguan berjalan. Sebaliknya penyembuhannya diawali dari

bagian atas tubuh ke bawah, sehingga bila ada gejala sisa biasanya gangguan berjalan.

Guillain-Barre Syndrome (GBS) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup

sering dijumpai pada usia dewasa muda. GBS ini seringkali mencemaskan penderita dan

keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat

menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik.

Beberapa nama lain untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute

Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome,

Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.

Penyakit ini disebabkan oleh autoimun dan muncul akibat dipicu oleh infeksi

sebelumnya (antecedent infections). Dalam dua pertiga dari kasus, penyebab yang paling

sering disebabkan oleh infeksi pernapasan dan infeksi saluran pencernaan (Pieter et al.,

2008). Semua kelompok usia dapat terkena penyakit ini, namun paling sering terjadi

pada dewasa muda dan usia lanjut. Laki-laki cenderung lebih mudah terkena yaitu

sebesar 1,5 : 1 dibanding wanita (Burns, 2008). Insidensi kasus Sindrom Guillain Barre

yang berkaitan dengan infeksi akut non spesifik sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai

4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau

infeksi gastrointestinal. Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian, pada 3 %

pasien, yang disebabkan oleh gagal napas dan aritmia. Sekitar 30 % penderita memiliki

gejala sisa kelemahan setelah 3 tahun. Tiga persen pasien dengan SGB dapat mengalami

relaps yang lebih ringan beberapa tahun setelah onset pertama. Bila terjadi

kekambuhan atau tidak ada perbaikan pada akhir minggu IV maka termasuk Chronic

4

Page 5: Refreat Gbs Stase Saraf

Inflammantory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP). Pengobatan secara

simtomatis dan perawatan yang baik dapat memperbaiki prognosisnya.

BAB II

PEMBAHASAN

I. DEFINISI

Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan

tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri

dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang

sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris,

otonom,maupun susunan saraf pusat. GBS merupakan Polineuropati akut,

bersifat simetris dan ascenden, yang biasanya terjadi 1 – 3 minggu dan kadang

sampai 8 minggu setelah suatu infeksi akut.

Guillain Barre syndrome ( GBS ) merupakan Polineuropati pasca infeksi

yang menyebabkan terjadinya demielinisasi saraf motorik kadang juga mengenai

saraf sensorik. Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah polineuropati yang

menyeluruh, dapat berlangsung akut atau subakut, mungkin terjadi spontan atau

sesudah suatu infeksi.

Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita dan bukan merupakan penyakit yang menular juga tidak diturunkan secara herediter. Penyakit ini merupakan proses autoimun. Tetapi sekitar setengah dari seluruh kasus terjadi setelah penyakit infeksi virus atau bakteri seperti dibawah ini :

Infeksi virus : Citomegalovirus (CMV), Ebstein Barr Virus (EBV), enterovirus, Human Immunodefficiency Virus (HIV).

Infeksi bakteri : Campilobacter Jejuni, Mycoplasma Pneumonie. Pasca pembedahan dan Vaksinasi. 50% dari seluruh kasus terjadi sekitar 1-3 minggu setelah terjadi penyakit

Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dan Infeksi Saluran Pencernaan.Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang

mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi melalui mekanisme imunologi.8

5

Page 6: Refreat Gbs Stase Saraf

II. KLASIFIKASI

1. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)

Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan yang

lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi saluran

cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut

saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikir demielinisasi.

2. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)

Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody gangliosid

meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala klinis

motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan asending dan

paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi elektrodiagnostik dimana

didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsy menunjukkan degenerasi

‘wallerian like’ tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang

dialami penderita selama lebih kurang 1 tahun.

3. Miller Fisher Syndrome

Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus SGB.

Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat

pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas.

Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan

minggu atau bulan

4. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)

CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala

neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih

dominant dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal.

5. Acute pandysautonomia

Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi. Disfungsi

dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan terjadinya

hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis,

penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.

6

Page 7: Refreat Gbs Stase Saraf

III. GEJALA KLINIS

Guillain-Barre Syndrome (GBS) ditandai dengan timbulnya suatu

kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului

parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi

sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer. Ciri-ciri klinis

GBS ialah:

1.Kelumpuhan

Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe

lower motor neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari

kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan,

anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat

anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf

kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau

arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat

dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat

dari bagian proksimal.1,4

2.Gangguan Sensibilitas

Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga

bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya

minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan.

Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif.

Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik. 1,4

3.Saraf Kranialis

Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot

muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa

ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan

N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena

7

Page 8: Refreat Gbs Stase Saraf

akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang

berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus 4.

4.Gangguan Fungsi Otonom

Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita GBS4. Gangguan

tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi

merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya

keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin

jarang dijumpai 1,4. Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu

atau dua minggu.

5.Kegagalan Pernafasan

Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat

fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh

paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada

10-33 persen penderita 1,4.

6.Papiledema

Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan

pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang

menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak

berkurang 4.

IV. DIAGNOSIS

Pemeriksaan Fisik

Kerusakan myelin pada GBS menyebabkan adanya gangguan

fungsi saraf perifer, yakni motorik, sensorik, dan otonom. Manifestasi

klinis yang utama adalah kelemahan motorik yang bervariasi, dimulai dari

ataksia sampai paralisis motorik total yang melibatkan otot-otot

pernafasan sehingga menimbulkan kematian. Awalnya pasien menyadari

adanya kelemahan pada tungkainya, seperti halnya ‘kaki karet’, yakni kaki

8

Page 9: Refreat Gbs Stase Saraf

yang cenderung tertekuk (buckle), dengan atau tanpa disestesia

(kesemutan atau kebas).5

Pola simetris sering dijumpai, namun tidak absolut. Kelemahan

otot bulbar menyebabkan disfagia orofaringeal, yakni kesulitan menelan

dengan disertai oleh drooling dan/atau terbukanya jalan nafas, serta

kesulitan bernafas. Kelemahan otot wajah juga sering terjadi pada GBS,

baik unilateral ataupun bilateral; sedangkan abnormalitas gerak mata

jarang.

Gangguan sensorik merupakan gejala yang cukup penting dan

bervariasi pada GBS. Hilangnya sensibilitas dalam atau proprioseptif

(raba-tekan-getar) lebih berat daripada sensibilitas superfisial (raba nyeri

dan suhu). Sensasi nyeri merupakan gejala yang sering muncul pada GBS,

yakni rasa nyeri tusuk dalam (deep aching pain) pada otot-otot yang

lemah, namun nyeri ini terbatas dan harus segera diatasi dengan

analgesik standar dan arefleksia. Hilangnya sensasi nyeri dan suhu

umumnya ringan. Bahkan Disfungsi kandung kencing dapat terjadi pada

kasus berat, namun sifatnya transien. Bila gejalanya berat, harus dicurigai

adanya penyakit medulla spinalis. Tidak dijumpai demam pada GBS; jika

ada, perlu dicurigai penyebab lainnya. Pada kasus berat, didapati

hilangnya fungsi otonom, dengan manifestasi fluktuasi tekanan darah,

hipotensi ortostatik, dan aritmia jantung.5

Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot

yang bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau

bahkan menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan

adanya kelemahan pada otot otot intercostal. Tanda rangsang meningeal

seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks

patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan.

Pemeriksaan Penunjang

9

Page 10: Refreat Gbs Stase Saraf

Cairan serebrospinal (CSS) Yang paling khas adalah adanya

disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein (100-1000

mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada

kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal;

setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih kanjut di

saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi

sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat penyakit

tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis

umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm.

Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi

(EMG) Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat

demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal

(menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon

gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar

saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah

terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal.5

EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat

pula dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu

setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari

normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan

tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien

GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar

10% penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan

periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta

berkurangnya KHS dan denervasi EMG.

Pemeriksaan darah Pada darah tepi, didapati leukositosis

polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur,

limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada

fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju

10

Page 11: Refreat Gbs Stase Saraf

endap darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia

bukanlah salah satu gejala.5

Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat,

dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat

demyelinasi saraf pada kultur jaringan. Abnormalitas fungsi hati terdapat

pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis viral yang

akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis itu

sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.4

Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan adanya perubahan

gelombang Tserta sinus takikardia. Gelombang T akan mendatar

atau inverted pada leadlateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai,

namun tidak sering.

Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru) akan

menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan

(impending).

Pemeriksaan patologi anatomi, adanya infiltrat limfositik

mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut,

infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan

demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat

Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga

ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila

terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat

sel-sel radang (limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga didapati pada

pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.

Diagnosis GBS umumnya ditentukan oleh adanya kriteria klinis dan beberapa temuan klinis yang didukung oleh pemeriksaan elektrofisiologis dan cairan serebrospinal (CSS). Kriteria Diagnostik untuk Sindroma Guillain-Barre, ialah :

Temuan yang dibutuhkan untuk diagnosis

11

Page 12: Refreat Gbs Stase Saraf

o Kelemahan progresif kedua anggota gerak atau lebiho Arefleksia

Temuan klinis yang mendukung diagnosis o Gejala atau tanda sensorik ringano Keterlibatan saraf kranialis (bifacial palsies) atau saraf

kranial lainnyao Penyembuhan dimulai 2-4 minggu setelah progresivitas

berhentio Disfungsi otonomo Tidak adanya demam saat onseto Progresivitas dalam beberapa hari hingga 4 mingguo Adanya tanda yang relatif simetris

Temuan laboratorium yang mendukung diagnosiso Protein dalam CSS dengan jumlah sel <10 sel/μl

Temuan elektrofisiologis mengenai adanya demyelinasi: melambatnya atau terbloknya hantaran saraf

Diagnosis Banding

GBS harus dibedakan dengan beberapa kelainan susunan saraf pusat seperti myelopathy, dan poliomyelitis. Pada myelopathy ditemukan adanya spinal cord syndrome dan pada poliomyelitis kelumpuhan yang terjadi biasanya asimetris, dan disertai demam.

GBS juga harus dibedakan dengan neuropati akut lainnya seperti porphyria, diphteria, dan neuropati toxic yang disebabkan karena keracunan thallium, arsen, dan plumbum.

Kelainan neuromuscular junction seperti botulism dan myasthenia gravis juga harus dibedakan dengan GBS. Pada botulism terdapat keterlibatan otot otot extraoccular dan terjadi konstipasi. Sedangkan pada myasthenia gravis terjadi ophtalmoplegia.

Myositis juga memberikan gejala yang mirip dengan GBS, namun kelumpuhan yang terjadi sifatnya paroxismal. Pemeriksaan CPK menunjukkan peningkatan sedangkan LCS normal.2

12

Page 13: Refreat Gbs Stase Saraf

V. TATALAKSANA

Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan

terutama secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah

mengurangi gejala, mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan

memperbaiki prognosisnya. Penderita pada stadium awal perlu dirawat di rumah

sakit untuk terus dilakukan observasi tanda-tanda vital. Penderita dengan gejala

berat harus segera di rawat di rumah sakit untuk mendapatkan bantuan

pernafasan, pengobatan dan fisioterapi. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan

adalah :

1. Perawatan umum

Perawatan yang baik sangat penting dan terutama ditujukan pada

perawatan kulit dengan mencegah luka baring pada posisi tidur, perawatan

saluran pencernaan, mulut, faring dan trakhea. Perawatan Infeksi paru dan

saluran kencing harus segera diobati. Bila nyeri otot dapat diberikan analgetik.

Respirasi diawasi secara ketat, terhadap perubahan kapasitas vital dan gas darah

yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan. Pada kasus kelumpuhan

bifasial, diberikan air mata buatan dan taping kelopak mata untuk mencegah

iritasi kornea.

2. Perawatan Sistem pernapasan

Gagal nafas merupakan penyebab utama kematian pada penderita GBS.

Pengobatan lebih ditujukan pada tindakan suportif dan fisioterapi. Bila perlu

dilakukan tindakan trakeostomi, penggunaan alat Bantu pernapasan (ventilator)

bila vital capacity turun dibawah 50%. Jika pernafasan buatan diperlukan untuk

waktu yang lama maka trakheotomi harus dikerjakan.

Trakeostomi dilakukan bila diperkirakan bantuan nafas lebih dari 10 hari.

Keputusan untuk menghentikan alat bantu nafas dan melepaskan selang

13

Page 14: Refreat Gbs Stase Saraf

endotrakeal atau trakeostomi didasarkan pada derajat penyembuhan fungsi

respirasi. Proses weaning umumnya dimulai saat kapasitas vital mencapai kurang

lebih 10 ml/kg dan dapat dipertahankan selama beberapa jam.

Kegagalan pernapasan neuromuskular yang memerlukan ventilasi

mekanis terjadi pada 20% - 30% pasien SGB. Ahli saraf harus memantau tanda-

tanda klinis dari kegagalan pernafasan yang akan terjadi, termasuk takipnea,

penggunaan otot pernapasan tambahan, gerakan tidak sinkron antara dada

dan perut, dan takikardia. Kapasitas vital di bawah 20mL/kg,

tekanan inspirasi maksimal (PImax) < 30cm H2O, atau tekanan

ekspirasi maksimal (PEmax) < 40cm H2O memprediksi serangan

pernapasan akut.Dalam waktu kurang dari 1 minggu,

kelemahan wajah, ketidakmampuan untuk batuk, ketidakmampuan untuk

mengangkat kepala dari bantal, dan atelektasis pada rontgen dada adalah faktor

lain yang berhubungan dengan kegagalan pernapasan dan kebutuhan

mekanik ventilation. Durasi rata-rata ventilasi mekanis untuk SGB adalah 2-6

minggu.6

Kebutuhan dan indikasi trakeostomi harus didasarkan pada status

individu terkait trakeostomi pada awalnya meningkatkan kenyamanan pasien

dan keselamatan jalan napas, namun trakeostomi juga dapat

mengakibatkan cacat permanen dan telah dikaitkan dengan komplikasi

seperti perdarahan dan infeksi. Keputusan untuk

melakukan trakeostomi dapat menunggu 2 minggu setelah intubasi, tetapi

jika pada 2 minggu pasien tidak menunjukkan perbaikan fungsi paru dan

kekuatan pernapasan yang signifikan, maka trakeostomi dapat menjadi pilihan.

3. Perawatan gangguan system saraf otonom

Disfungsi otonom akut berkembang di sebagian besar pasien dengan SGB

dan merupakan penyebab terbesar kematian pada pasien. Gangguan jantung

dan hemodinamik adalah komplikasi yang paling serius dan sering, seperti

hipertensi, hipotensi postural, takikardia dapat timbul dan terjadi pada sebagian

14

Page 15: Refreat Gbs Stase Saraf

besar pasien SGB, pemantauan tekanan darah dan denyut jantung sangat

dianjurkan.

Selain itu pasien SGB juga sering mengalami dysautonomia fungsi usus dan

kandung kemih. Retensi urin dapat terjadi pada sepertiga pasien SGB. Disfungsi

kandung kemih sangat umum pada pasien SGB yang merupakan gejala klinis

sekunder untuk disfungsi saraf parasimpatis sakral dan saraf motorik pudenda.

Penanganan tersebut dapat dikelola oleh sistem drainase kemih steril tertutup.

Gangguan motilitas gastrointestinal terjadi pada 15% penderita SGB, pada

pasien pada ileus proksimal, manifestasi yang paling sering adalah

distensi perut, nyeri dan kram sedangkan pada

ileus distal gastrointestinal bermanifestasi sebagai sembelit. Gangguan motilitas

tersebut bersifat sementara namun terkadang dapat terjadi selama berhari-

hari hingga berminggu-minggu. Pemeriksaan abdomen termasuk auskultasi,

pengukuran lingkar perut, dan poto polos abdomen merupakan standar untuk

pasien SGB, terutama dengan dysautonomia. Dismotilitas biasanya

dapat dikelola secara efektif oleh suspensi makanan

enteral,pengisapan nasogastrik, dan eritromisin atau neostigmine.

Nutrisi parenteralmungkin diperlukan jika gangguan bertahan lebih

dari beberapa hari. Bila mungkin, menghindari narkotika juga sangat

membantu dalam mengurangi dismotilitas.4

4. profilaksis terhadap DVT (deep vein thrombosis)

Imobilisasi yang disebabkan oleh SGB merupakan faktor risiko pencetus

terjadinya Deep Vein Trombosis (DVT) dan emboli paru. Pemberian heparin sub

kutan dan difraksinasi atau stoking merupakan penanganan yang

direkomendasikan untuk pasien SGB non-ambulatory sampai mereka bisa

berjalan secara mandiri. Rekomendasi ini didasarkan pada bukti bahwa heparin

subkutan (5000 U/12 jam) atau enoxaparin (40mg setiap hari) mengurangi

insiden DVT pada pasien ortopedi dan pasien bedah urologis.6

5. Analgesik

15

Page 16: Refreat Gbs Stase Saraf

Analgesik ringan atau OAINS mungkin dapat digunakan untuk meringankan

nyeri ringan, namun tidak untuk nyeri yang sangat,penelitian random control

trial mendukung penggunaan gabapentin atau carbamazepine pada ruang ICU

pada perawatan SGB fase akut. Analgesic narkotik dapat digunakan untuk nyeri

dalam, namun harus melakukan monitor secara hati-hati kepada efek samping

denervasi otonomik.terapi ajuvan dengan tricyclic antidepressant , tramadol,

gabapentin, carbamazepine, atau mexilitene dapat ditambahkan untuk

penatalaksanaan nyeri neuropatik jangka panjang. Jenis nyeri paling umum

adalah rasa sakit yang mendalam, sakit punggung dan nyeri ekstremitas bawah

dan dysesthetic ekstremitas. Intensitas nyeri berkorelasi buruk dengan tingkat

kecacatan. Dalam sebuah penelitian, 75% pasien SGB membutuhkan analgesik

opioid oral atau parenteral dan 30% dirawat dengan infus morfin intravena (1-7

mg/jam). Gabapentin (15mg/kg/hari) dan carbamazepine (300mg setiap hari)

yang dilaporkan efektif untuk mengurangi rasa sakit pada pasien dengan SGB.

Ajuvan terapi lain (misalnya, mexiletine, tramadol, obat-obatan antidepresan

trisiklik) juga dapat membantu dalam pengelolaan jangka pendek dan jangka

panjang nyeri neuropatik. Acetaminophen atau obat anti-inflammatory juga bisa

dicoba sebagai pengobatan lini pertama tetapi sering tidak terlalu efektif.6

6. Fisioterapi

Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan

kolaps paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi.

Segera setelah penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif

dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.

Gerakan pasti pada kaki yang lumpuh mencegah deep vein thrombosis,

spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak yang

lumpuh, dan kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif.

Segera setelah penyembuhan mulai maka fisioterapi aktif dimulai untuk

melatih dan meningkatkan kekuatan otot. Disfungsi otonom harus dicari dengan

16

Page 17: Refreat Gbs Stase Saraf

pengawasan teratur dari irama jantung dan tekanan darah. Bila ada nyeri otot

dapat dapat diberikan analgetik.

7. Imunoterapi

Tujuan pengobatan SGB ini untuk mengurangi beratnya penyakit dan

mempercepat kesembuhan ditunjukan melalui system imunitas.

7.1. Plasma exchange therapy (PE)

Pertukaran plasma atau Plasma Exchange (PE) dan IVIG merupakan

immunotherapies yang efektif untuk pasien dewasa dan anak dengan SGB jika

diberikan selama beberapa minggu pertama dalam perjalanan penyakit. Untuk

pasien dengan SGB, PE biasanya diberikan sebagai satu volume plasma, 50 mL/kg

pada lima kesempatan terpisah selama 1 sampai 2 minggu.4

Plasmapheresis dianjurkan untuk pasien dengan kelemahan sedang hingga

berat. Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan

faktor autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB

memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat,

penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih

pendek. Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu

setelah munculnya gejala. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah

40-50 ml/kg dalam waktu 7-10 hari dilakukan empat sampai lima kali exchange.

Digunakan larutan saline dan albumin sebagai cairan pengganti plasma. Manfaat

terapi paling jelas apabila terapi dimulai 2 minggu setelah onset.

Efek samping PE meliputi hipotensi, septikemia, pneumonia, pembekuan

darah, komplikasi dari akses vena sentral, dan hipokalsemia. Sitrat

diinfuskan untuk antikoagulasi atau sebagai bagian dari fresh frozen plasma

dapat menyebabkan hipokalsemia atau asidosis metabolik. Gejala hipokalsemia

termasuk parestesia, kram otot, aritmia jantung, ketidakstabilan hemodinamik

berat, status kardiovaskuler tidak stabil,septicemia, perdarahan aktif, dan

kehamilan merupakan kontraindikasi dalam penggunaan PE.10

7.2. Imunoglobulin IV

17

Page 18: Refreat Gbs Stase Saraf

Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi

autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut.

Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih menguntungkan

dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan.

Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan dosis

0,4 g / kgBB /hari selama 5 hari. IVIG mungkin dipertimbangkan pada pasien

dengan masalah akses vena, sepsis, instabilitas kardiovaskuler, ataupun

penderita yang gagal setelah diterapi dengan plasmapheresis. Tidak ada interaksi

dengan obat ini dan sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan. Efek samping

IVIG adalah gagal ginjal, infark miokard, muntah dan meningismus. Secara

umum, reaksi negatif terhadap IVIG biasanya ringan dan terjadi pada kurang dari

10% pasien. IVIG meningkatkan viskositas darah, sehingga dapat meningkatkan

risiko kejadian tromboembolik. IVIG dikontraindikasikan untuk pasien dengan

hipersensitivitas terhadap regimen ini, defisiensi IgA, antibody anti IgE/IgG.,

hipertrigliserida, atau hypergammaglobulinemia.

7.3. Obat sitotoksik

Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah 6 merkaptopurin (6-MP),

azathioprine, cyclophosphamide. Efek samping dari obat-obat ini adalah

alopecia, muntah, mual, dan sakit kepala.

7.4. Kortikosteroid

Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid

tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB. Dilaporkan 3 dari 5

penderita memberi respon dengan methyl prednisolone sodium succinate

intravenous dan diulang tiap 6 jam diikuti pemberian prednisone oral 30 mg

setiap 6 jam setelah 48 jam pengobatan intravenous. Efek samping dari obat-

obatan ini adalah alopecia, muantah, mual dan sakit kepala. Dalam kombinasi

dengan IVIG, metilprednisolon intravena (500 mg per hari selama 5 hari,

diberikan dalam waktu 48 jam dari dosis pertama IVIG) dapat mempercepat

pemulihan tapi tidak secara signifikan mempengaruhi hasil pengobatan. Terapi

18

Page 19: Refreat Gbs Stase Saraf

kortikosteroid merupakan alternatif untuk PE yang tidak menggunakan transfusi

darah sebagai pengganti cairan, sehingga mengurangi risiko infeksi atau reaksi

alergi.

VI. KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau

cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi,

trombosis vena dalam, paralisis permanen pada bagian tubuh tertentu, dan

kontraktur pada sendi

VII. PROGNOSIS

Prognosis dari SGB masih bervariasi, namun terdapat beberapa faktor

yang dapat mempengaruhi prognosi penyakit tersebut. Pada usia

lanjut umumnya menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Tingkat

keparahan SGB ditentukan dalam tahap awal perjalanan penyakit.9

Pasien dengan GBS 95% dapat bertahan hidup dengan 75 % diantaranya

sembuh total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot dan postural

tremor masih mungkin terjadi pada sebagian pasien. GBS juga dapat

menyebabkan kematian, pada 5 % pasien, yang disebabkan oleh gagal napas dan

aritmia.

Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama

kali timbul. Dari 3 % pasien dengan GBS dapat mengalami relaps yang lebih

ringan beberapa tahun setelah onset pertama.

BAB III

19

Page 20: Refreat Gbs Stase Saraf

KESIMPULAN

Sindrom Guillain-Barré, ditandai oleh kelemahan motorik yang progresif

dan areflexia. Penyakit ini berhubungan dengan saraf sensorik, otonom, dan

kelainan batang otak yang bersifat umum. Gejala-gejala biasanya mirip seperti

penyakit yang disebabkan karena virus.

Tingkat kematian keseluruhan adalah 5 sampai 10%. Kematian biasanya

disebabkan oleh kegagalan pada jantung atau kegagalan yang berhubungan

dengan pernapasan, apalagi jika disertai dengan dysautonomia.

Sindrom Guillain-Barré merupakan penyakit autoimun, bisa juga

disebabkan oleh virus, bakteri dan faktor-faktor lain. Lumbal pungsi, studi

Elektrodiagnostik, MRI dan pemeriksaan mikroskopik merupakan pemeriksaan

pendukung pada diagnosis ini.

Penatalaksanaan bisa diberikan IVIG atau plasmapharesis. Tujuan

pemberian farmakoterapi dipakai untuk mengurangi morbiditas dan mencegah

komplikasi.

DAFTAR PUSTAKA

20

Page 21: Refreat Gbs Stase Saraf

1. Hadinoto, S, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Simposium Gangguan

Gerak, hal 173-179, Badan Penerbit FK UNDIP, Semarang.

2. Harsono, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Neurologi Klinis, edisi I :

hal 307-310, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

3. Mardjono M, 1989, Patofisiologi Susunan Neuromuskular, dalam :

Neurologi Klinis Dasar, edisi V : hal 41-43, PT Dian Rakyat, Jakarta.

4. Pieter A van Doorn, Liselotte Ruts, Bart C Jacobs Clinical features,

pathogenesis, and treatment of Guillain-Barré syndrome. Lancet

Neurol 2008; 7: 939–50. Department of Neurology, Gravendijkwal 230,

3015CE Rotterdam, Netherlands.

5. Sidharta, P, 1992, Lesu-Letih-Lemah, dalam : Neurologi Klinis dalam

praktek Umum : ha; 160-162, PT Dian Rakyat, Jakarta.

6. Ted M. Burns, M.D.1 Guillain-Barre´ Syndrome. Semin Neurol 2008

April;28(2):152-167. by Thieme Medical Publishers, Inc., 333 Seventh

Avenue, New York, NY 10001, USA.

7. Victor Maurice, Ropper Allan H. Adams and Victor’s Principles of

neurology. 7th edition. USA: the McGraw-Hill Companies; 2001. p.1380-

87.

8. Japardi. I, 2005. Guillain Barre Syndrome. Fakultas Kedokteran. Bagian

Ilmu Bedah. Universitas Sumatera Utara

9. Van Koningsveld R, Schmitz PI, Ang CW, et al. Infections and course of

disease in mild forms of Guillain-Barre

syndrome. Neurology2002; 58: 610–14.

10. Lehmann HC, Hartung HP, Hetzel GR, Stuve O, Kieseier BC. Plasma

exchange in neuroimmunological disorders: part 2. Treatment of

neuromuscular disorders. Arch Neurol 2006;63:1066–1071

21


Top Related