Download - Refkas Dr.puji Sindrom Nefrotik
REFLEKSI KASUS
SINDROMA NEFROTIK
Diajukan untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang
Pembimbing:
dr. Hj. Pujiati Abbas Sp. A
Oleh :
Emirza Nur Wicaksono
01.210.6145
KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari
proteinuria massif (≥40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada
urine sewaktu >2 mg/mg atau dipstick ≥2+), hipoalbuminemia (≤2,5 gr/dL),
edema, dan dapat disertai hiperkolestrerolemia (250 mg/uL).
Angka kejadian sindrom nefrotik di Amerika dan Inggris berkisar antara
2-7 per 100.000 anak berusia dibawah 18 tahun per tahun, sedangkan di
Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 anak per tahun, sedangkan
perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. Di Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta, sindrom nefrotik merupakan
penyebab kunjungan sebagian besar pasien di Poliklinik Khusus Nefrologi,
dan merupakan penyebab tersering gagal ginjal anak yang dirawat antara
tahun 1995-2000. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.
Etiologi sindrom nefrotik secara garis besar dapat dibagi 3 yaitu
kongenital, glomerulopati primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti
penyakit sistemik seperti pada purpura Henoch-Schonlein dan lupus
eritematosus sistemik. Sindrom nefrotik pada tahun pertama kehidupan,
terlebih pada bayi berusia kurang dari 6 bulan, merupakan kelainan
kongenital (umumnya herediter) dan mempunyai prognosis buruk. Pada
tulisan ini akan dibicarakan aplikasi klinis dari sindrom nefrotik idiopatik
pada pasien anak yang dirawat di RSI Sultan Agung.
BAB II
CATATAN MEDIK ORIENTASI MASALAH
A. IDENTITAS PASIEN
Nama penderita : An. R.G
Umur/tgl lahir : 9 tahun 3 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Pendidikan : SD kelas 3
Alamat : Banget Ayu Wetan, Genuk Semarang
Nama ayah : Tn M.
Umur : 44 th
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh Bangunan
Nama ibu : Ny. S.
Umur : 44 th
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh Pabrik
Masuk RS : 29 Agustus 2015
Ruang Perawatan : Bangsal Anak ITH Lantai III (Baitunnisa 1)
B. DATA DASAR
Anamnesis ( Alloanamnesis dan Autoanamnesis)
Autonamnesis dengan pasien dan Alloanamnesis dengan ibu penderita
yang mengetahui riwayat penyakit pasien, dilakukan pada tanggal 29
Agustus 2015 pukul 10.40 WIB di ruang Poliklinik Anak.
Keluhan utama : Bengkak di seluruh tubuh
a) Riwayat Penyakit Sekarang :
Bengkak pada seluruh tubuh sejak 7 hari yang lalu sebelum masuk rumah
sakit. Bengkak diawali pada daerah kelopak mata dan muka sektar 15 hari
yang lalu, terutama pada pagi hari saat bangun tidur, dan bengkak
berkurang saat siang dan sore hari. Bengkak semakin bertambah,
menyebar ke daerah muka, perut, dan kedua tungkai. Selama bengkak, ibu
penderita mengeluh BAK berwarna kuning keruh, tidak ada kemerahan.
Ibu penderita mengaku frekuensi BAK 2 kali dalam sehari. Anak buang
air besar setiap hari sebanyak 1-2 kali. Keluhan Riwayat nyeri
pinggang, nyeri saat berkemih, atau nyeri perut hebat disangkal. Riwayat
sering terbangun pada malam hari untuk BAK juga disangkal. Keluhan
bengkak ini tidak disertai sesak napas saat tidur dan anak masih bisa tidur
dengan satu bantal. Anak sebelumnya tidak batuk, muntah-muntah,
demam, dan kejang. Selama bengkak anak tidak pernah tampak pucat,
lemah, lesu atau kehilangan nafsu makan. Anak masih bisa beraktivitas
ringan.
b) Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien belum pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya
Riwayat lain:
Faringitis : Disangkal Entiritis : Disangkal
Bronkitis : Disangkal Disentri basiliar : Disangkal
Pnemonia : Disangkal Disentri anaeba : Disangkal
Morbili : Disangkal Thyp.Abdaminalis : Disangkal
Pertusis : Disangkal Cacingan : Disangkal
Varicella : Disangkal Operasi : Disangkal
Difteri : Disangkal Trauma : Disangkal
Malaria : Disangkal Reaksi Obat/alergi : Disangkal
Polio : Disangkal
c) Riwayat Penyakit Keluarga :
Keluarga tidak ada yang sakit seperti ini sebelumnya.
d) Riwayat Sosial Ekonomi :
Ayah & Ibu pasien bekerja sebagai buruh. Ayah, ibu, dan pasien tinggal
serumah. Biaya pengobatan menggunakan BPJS Non PBI.
Kesan sosial ekonomi : Cukup
C. DATA KHUSUS
Riwayat Perinatal :
Anak laki-laki lahir dari ibu P1 A0 hamil 37 minggu, antenatal care
teratur, penyakit kehamilan tidak ada, masa gestasi cukup bulan, lahir
secara spontan di bidan, anak lahir langsung menangis, berat badan lahir
3000 gram.
Riwayat Makan-Minum
Anak tidaak diberikan ASI sama sekali dengan alasan tidak keluar
sehingga diberikn susu formula. Umur 4 bulan selain susu formula,
mendapat makanan pendamping berupa bubur susu, umur 6 bulan
mendapat makanan pendamping berupa nasi tim dan sayur. Umur 1 tahun
hingga sekarang mulai mendapat makanan orang dewasa (nasi, lauk, sayur
dan buah). Anak makan 3-4 kali sehari.
Kesan : Kualitas dan kuantitas diit kurang
Riwayat Imunisasi Dasar
No Jenis Imunisasi Jumlah Dasar
1. BCG 1x 1 bulan
2. Polio 1x 0 bulan
3. Hepatitis B 1x 0 bulan
4. DPT 0x
5. Campak 1x 9 bulan
Kesan : Imunisasi dasar tidak lengkap
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
- Tersenyum : 2 bulan
- Miring dan tengkurap : 3 bulan
- Duduk tanpa berpegangan : 7 bulan
- Berdiri berpegangan : 9 bulan
- Berjalan : 1 tahun
Kesan : Pertumbuhan dan Perkembangan sesuai dengan umur
Pemeriksaan status gizi ( Z score ) :
Anak laki-laki, umur 9 tahun 3 bulan
BB = 22,5 kg
TB = 122 cm
BMI = 15,11
WAZ = BB – median = -1,64 SD (Gizi Normal)
SD
HAZ = TB – median = -1.54 SD (Normal)
SD
WHZ = BB – median = -0.26 SD (Normal)
SD
Kesan : Gizi Normal
BSA= √(22,5x122)/3600
= 0.87
1. Pemeriksaan Fisik
Tanggal 29 Agustus 2015 jam 10.40
Kesan umum : Tampak lemah, kurang aktif, kesadaran composmentis
Tanda vital
- Tekanan Darah : 110/70 mmHg
- Nadi : 100 x/ menit, isi dan tegangan cukup
- Laju nafas : 21 x/ menit
- Suhu : 37,2° C ( axilla )
Status Internus
Kepala : mesocephale
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
Kulit : petekie ( - ), sianosis ( - ) turgor kembali cepat
Mata : edem palpebra ( +/+ ) konjungtiva anemis ( -/- )
Hidung : epistaksis ( -/- ), nafas cuping hidung ( -/- )
Telinga : discharge ( -/- )
Mulut : bibir kering ( - ), bibir sianosis ( - ), gusi berdarah ( - )
Leher : simetris, pembesaran kelenjar limfe ( - )
Tenggorok: faring hiperemis ( - )
THORAX :
Paru-paru :
Inspeksi : Bentuk normal, hemithorax dextra dan sinistra
simetris, retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan = Stem fremitus kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler, suara tambahan (-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Perkusi : Batas kiri atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Batas pinggang : ICS III linea mid clavicula sinistra
Batas kanan bawah : ICS V linea parasternalis dextra
Batas kiri bawah : ICS V 2 cm medial linea mid
clavicula sinistra
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Auskultasi
Irama : Reguler
Bunyi Jantung : BJ I dan BJ II normal reguler
Bising : (-)
ABDOMEN :
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Perkusi : Redup, Pekak sisi (+), Pekak Alih (+)
Palpasi : Nyeri tekan (-), supel, Hepar & Lien tidak teraba
EKSTREMITAS
Superior Inferior
Akral dingin
Akral sianosis
Reflek Patologis
Piting edema
Capillary refill
-/-
+/+
-/-
-/-
< 2 detik/< 2detik
-/-
+/+
-/-
+/+
< 2 detik/< 2detik
Alat kelamin : laki-laki, dalam batas normal
HASIL LABORATORIUM
Hematologi rutin
Hemoglobin 15 11,5-15,5 g/dL
Hematokrit 44.5 32-42%
Leukosit 6.7 4,5-10,5 103/ul
Trombosit 444 150-450 103/ul
Kolesterol total 421 < 200 mg/dl
Protein total 4,5 6,7-7,8 g/dl
Albumin 2, 34 3,5-5,0 g/dl
Globulin 1,96 1,5-3,0 g/dl
Urine rutin
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Keruh Jernih
Protein urin 300mg/dl <30 mg/dL
Glukosa (reduksi) Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Urobilinogen Normal Normal
Bilirubin Negatif <1 mg/dL
pH 6.0 4.8 – 7.5 mg/dL
Benda keton Negatif Negarif
Berat Jenis 1.025 1.015-1.025
MAKROSKOPIS
Epitel 8-10 8-15 /LPB
Eritrosit 0-1 0-1 /LPB
Epitel 4-6 5-15/LPK
Silinder 6-8 (hialin)
1-3 (granula)
0-1 (hialin)
Kristal Amorf (+) -
Lain-lain - -
ASSESMENT : (Diagnosis Kerja)
Sindroma Nefrotik
Status Gizi Baik
Assesment : Sindroma Nefrotik
DD :
Glomerulonefritis Akut
Ip..Dx :
S :
O : Foto thorax, USG Abomen
Ip.Tx :
Infus 2A ½ N 23 tpm
BB = 20 Kg
20 Kg 20 x 100 = 2000
2.5 Kg 2 x 50 = 250 +
2250 cc
22 5 0 x 15 x 4 = 23,3 = 23 tpm
24x60
Furosemid 1-2mg/KgBB/kali 2 x 20 mg
Colsansentrin 3 x 500 mg
Prednison 60mg/m2/hari (dihitung berdasarkan LPT)
60*0.87 = 52.3 mg/hari 4-4-3 tablet (per tablet 5 mg)
Vitamin C 1 x 50 mg
Vipalbumin 3 x 2 capsul
Ip.Mx
Keadaaan Umum
Tanda-Tanda vital
Urin Tampung
Balance cairan
Berat badan
Lingkar perut
Ip.Ex
– Membatasi asupan Na dengan menghindari makanan yang asin
– Minum obat teratur
Assestment : Gizi Baik
DD :
– Gizi Buruk
– Gizi Kurang
IPDx: S: -
O: -
IP Tx : Kebutuhan kalori BB: 22 kg, t: 36,5oC
(22.5x22.6)+495 = 1006.75 kkal/hari
Karbohidrat = 60% x 1006.75 = 604,05 kkal
Lemak = 35% x 1006.75 = 352,36 kkal
Protein =5% x 1006.75 = 50.33 kkal
IP Mx : Keadaan umum pasien, penimbangan berat badan dan tinggi
badan secara teratur
IP Ex : Makan teratur dengan gizi seimbang
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari
proteinuria massif (≥40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada
urine sewaktu >2 mg/mg atau dipstick ≥2+), hipoalbuminemia (≤2,5 gr/dL),
edema, dan dapat disertai hiperkolestrerolemia (250 mg/uL).
Terdapat beberapa definisi/batasan yang dipakai pada Sindrom Nefrotik,
antara lain :
1. Remisi, yaitu proteinuria negatif atau trace (proteinuria <4 mg/m2
LBP/jam) selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
2. Relaps, yaitu proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥40 mg/m2 LBP/jam)
selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
3. Relaps jarang, yaitu relaps yang terjadi kurang dari 2 kali dalam 6
bulan pertama setelah respon awal, atau kurang dari 4 kali per tahun
pengamatan.
4. Relaps sering (frequent relapse), yaitu relaps terjadi ≥2 kali dalam 6
bulan pertama atau ≥ 4 kali dalam periode satu tahun.
5. Dependen steroid, yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis
steroid diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan
dihentikan, dalam hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.
6. Resisten steroid, yaitu suatu keadaan tidak terjadinya remisi pada
pengobatan prednisone dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari
selama 4 minggu.
3.2 Epidemiologi
Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita (2:1)
dan kebanyakan terjadi pada umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi
paling muda pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa dewasa.
SNKM terjadi pada 85-90% pasien dibawah umur 6 tahun dan di Indonesia
dilaporkan 6 kasus per 100.000 anak per tahun. Pada penelitian di Jakarta
(Wila Wirya) menemukan hanya 44,2% tipe kelainan minimal dari 364
anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan ISKDC
melaporkan penelitiannya diantara 521 pasien, 76,4% merupakan tipe
kelainan minimal.
Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak dibawah usia 18 tahun
diperkirakan berkisar 2-7 kasus per 100.000 anak per tahun, dengan onset
tertinggi pada usia 2-3 tahun. Hampir 50% penderita mulai sakit saat
berusia 1-4 tahun, 75% mempunyai onset sebelum berusia 10 tahun.
3.3 Etiologi
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Sindrom nefrotik primer (idiopatik)
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini
secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa
ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak.
Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik
kongenital, salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak
itu lahir atau usia dibawah 1 tahun.
Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom
nefrotik idiopatik. Sindrom nefrotik idiopatik terdiri dari 3 tipe secara
histologis :sindrom nefrotik kelainan minimal, glomerulonephritis
proliferative (mesangial proliferation), dan glomerulosklerosis fokal
segmental. Ketiga gangguan ini dapat mewakili 3 penyakit berbeda
dengan manifestasi klinis yang serupa; dengan kata lain, ketiga
gangguan ini mewakili suatu spektrum dari satu penyakit tunggal.
Klasifikasi
Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)
Pada 85% dari kasus sindrom nefrotik pada anak, glomerulus terlihat
normal atau memperlihatkan peningkatan minimal pada sel mesangial
dan matriksnya. Penemuan pada mikroskop immunofluorescence
biasanya negatif, dan mikroskop elektron hanya memperlihatkan
hilangnya epithelial cell foot processes (podosit) pada glomerulus.
Lebih dari 95% anak dengan SNKM berespon dengan terapi
kortikosteroid.
Glomerulonephritis proliferative (Mesangial proliferation)
Pada 5% dari total kasus sindrom nefrotik ditandai dengan adanya
peningkatan sel mesangial yang difus dan matriks pada pemeriksaan
mikroskop biasa. Mikroskop immunofluorescence dapat
memperlihatkan jejak 1+ IgM mesangial dan/atau IgA. Mikroskop
elektron memperlihatkan peningkatan dari sel mesangial dan matriks
diikuti dengan menghilangnya sel podosit. Sekitar 50% pasien dengan
lesi histologis ini berespon dengan terapi kortikosteroid.
Glomerulosklerosis fokal segmental (Focal segmental
glomerulosclerosis/FSGS)
Pada kasus 10% dari kasus sindrom nefrotik, glomerulus
memperlihatkan proliferasi mesangial dan jaringan parut segmental
pada pemeriksaan dengan mikroskop biasa. Mikroskop
immunofluorescence menunjukkan adanya IgM dan C3 pada area
yang mengalami sklerosis. Pada pemeriksaan dengan mikroskop
elektron, dapat dilihat jaringan parut segmental pada glomerular tuft
disertai dengan kerusakan pada lumen kapiler glomerulus. Lesi serupa
dapat terlihat pula pada infeksi HIC, refluks vesicoureteral, dan
penyalahgunaan heroin intravena. Hanya 20% pasien dengan FSGS
yang berespon dengan terapi prednisone. Penyakit ini biasanya
bersifat progresif, pada akhirnya dapat melibatkan semua glomeruli,
dan menyebabkan penyakit ginjal stadium akhir (end stage renal
disease) pada kebanyakan pasien.
Glomerulonefritis membrano proliferative (GNMP)
Ditandai dengan penebalan membrane basalis dan proliferasi seluler
(hiperselularitas), serta infiltrasi sel PMN. Dengan mikroskop cahaya,
MBG menebal dan terdapat proliferasi difus sel-sel mesangial dan
suatu penambahan matriks mesangial. Perluasan mesangium berlanjut
ke dalam kumparan kapiler perifer, menyebabkan reduplikasi
membrane basalis (“jejak-trem” atau kontur lengkap). Kelainan ini
sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang
progresif dan pada sindrom nefrotik. Ada MPGN tipe I dan tipe II.
Glomerulopati membranosa (GM)
Penyakit progresif lambat pada dewasa dan usia pertengahan secara
morfologi khas oleh kelainan berbatas jelas pada MBG. Jarang
ditemukan pada anak-anak. Mengenai beberapa lobus glomerulus,
sedangkan yang lain masih normal. Perubahan histologik terutama
adalah penebalan membrane basalis yang terlihat baik dengan
mikroskop cahaya maupun elektron.
2. Sindrom nefrotik sekunder
Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai
akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping
obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah :
Penyakit metabolic atau kongenital : diabetes mellitus,
amiloidosis, sindrom Alport, miksedema
Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS
Toksin dan allergen : logam berat (Hg), penisillamin, probenesid,
racun serangga, bisa ular
Penyakit sistemik imunologik : lupus eritematosus sistemik,
purpura Henoch-Schinlein, sarkoidosis
Neoplasma : tumor paru, penyakit hodgin, tumor gastrointestinal
3.4 Patofisiologi
Protenuria
Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar
berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya
sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuri tubular).
Perubahan integritas membrana basalis glomerulus terhadap protein
plasma dan protein utama yang dieksresikan dalam urin adalah albumin.
Dalam keadaan normal membran basal glomerulus (MBG) mempunyai
mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme
penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang
kedua berdasarkan muatan listrik (change barrier). Pada SN kedua
mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain konfigurasi
molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG.
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan
ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif
apabila yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin.
Sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul
besar seperti immunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh
keutuhan struktur MBG.
Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemi disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan
peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati
biasanya meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan
albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun.
Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan
overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan
faktor kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan
penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari
intravaskular ke jaringan intestitium dan terjadi edema. Akibat
penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi
hipovolemia dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan
retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki
volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya
hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal
utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler
meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus
akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema
akibat teraktivasinya sistem Renin-angiotensin-aldosteron terutama
kenaikan konsentrasi hormone aldosteron yang akan mempengaruhi sel-
sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion
natrium (natriuresis) menurun. Selain itu juga terjadi kenaikan aktivasi
saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin yang menyebabkan
tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat, hal ini
mengakibatkan penurunan LFG dan kenaikan desakan Starling kapiler
peritubuler sehingga terjadi penurunan ekskresi natrium.
Hiperlipidemia
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density
lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal, atau menurun. Hal ini
disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan
katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL,
kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan
sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan
penurunan tekanan onkotik.
3.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah edema yang
menyeluruh dan terdistribusi mengikuti gaya gravitasi bumi. Edema sering
ditemukan dimulai dari daerah wajah dan kelopak mata pada pagi hari,
yang kemudian menghilang, digantikan oleh edema di daerah pretibial pada
sore hari.
Anak biasanya dating dengan keluhan edema ringan, dimana awalnya
terjadi di sekitar mata dan ekstremitas bawah. Sindrom nefrotik pada
mulanya diduga sebagai gangguan alergi karena pembengkakan periorbital
yang menurun dari hari ke hari. Seiring waktu, edema semakin meluas,
dengan pembentukan asites, efusi pleura, dan edema genital. Anoreksia,
iritabilitas, nyeri perut, dan diare sering terjadi. Hipertensi dan hematuria
jarang ditemukan. Differensial diagnosis untuk anak dengan edema adalah
penyakit hati, penyakit jantung kongenital, glomerulonefritis akut atau
kronis, dan malnutrisi protein.
Asites sering ditemukan tanpa odem anasarka, terutama pada anak kecil
dan bayi yang jaringannya lebih resisten terhadap pembentukan edema
interstisial dibandingkan anak yang lebih besar. Efusi transudat lain sering
ditemukan, seperti efusi pleura. Bila tidak diobati edema dapat menjadi
anasarka, sampai ke skrotum atau daerah vulva.
Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi
badan, lingkar perut, dan tekanan darah. Tekanan darah umunya normal
atau rendah, namun 21% pasien mempunyai tekanan darah tinggi yang
sifatnya sementara, terutama pada pasien yang pernah mengalami deplesi
volume intravaskuler berat. Keadaan ini disebabkan oleh sekresi rennin
berlebihan, sekresi aldosteron, dan vasokonstriktor lainnnya, sebagai respon
tubuh terhadap hipovolemia. Pada sindrom nefrotik kelainan minimal
(SNKM) dan glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) jarang ditemukan
hipertensi yang menetap. Dalam laporan ISKDC (Internasional Study of
Kidney Disease in Children), pada SNKM ditemukan 22% disertai
hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan
peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat bersementara.
Pasien sindrom nefrotik perlu diwaspadai sebagai gejala syok dikarenakan
kekurangan perfusi ke daerah splanchnik atau akibat peritonitis.
Diagnosis banding antara lain Diabetic Nephropathy, Light Chain-
Associated Renal Disorders, Focal Segmental Glomerulosclerosis,
Glomerulonephritis akut/kronis, HIV Nephropathy, IgA Nephropathy.
3.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain :
Urinalisis dan bila perlu biakan urin
Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/
kreatinin pada urin pertama pagi hari
Pemeriksaan darah antara lain
o Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis,
trombosit, hematokrit, LED)
o Kadar albumin dan kolesterol plasma
o Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara
klasik atau dengan rumus Schwartz
o Titer ASTO
o Kadar komplemen C3 bila dicurigai Lupus Eritematosus
Sistemik, pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA
(Ana nuclear antibody) dan anti ds-DNA
Indikasi biopsi ginjal :
- Sindrom Nefrotik dengan hematuri nyata, hipertensi, kadar kreatinin dan
ureum plasma meninggi, atau kadar komplemen serum menurun
- Sindrom Nefrotik resisten steroid
- Sindrom Nefrotik dependen steroid
3.7 Penatalaksanaan
Pada kasus sindrom nefrotik yang diketahui untuk pertama kalinya,
sebaiknya penderita di rawat di rumah sakit dengan tujuan untuk
mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet, penanggulangan
edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi bagi orang tua. Sebelum
pengobatan steroid dimulai, dilakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif
diberikan profilaksis INH bersama steroid, dan bila ditemukan tuberculosis
(OAT). Perawatan pada sindrom nefrotik relaps dilakukan bila disertai
edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat,
gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas
disesuaikan dengan kemampuan pasien.
Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan. Bahkan sekarang
dianggap kontra indikasi, karena akan menambah beban glomerolus untuk
mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltasi) dan menyebabkan
terjadinya sklerosis glomerolus. Sehingga cukup diberikan diet protein
normal sesuai dengan RDA (Recommended Daily Allowances) yaitu
2gram/kgBB/hari. Diet rendah protein akan menyebabkan malnutrisi energy
protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan anak. Diet rendah garam (1-
2gram/hari) hanya diperlukan jika anak menderita edema.
a. Pengobatan Inisial
Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney
Diseases in Children) pengobatan inisial pada sindrom nefrotik
dimulai dengan pemberian prednisone dosis penuh (full dose) 60
mg/m2 LPB/hari (maksimal 80mg/hari), dibagi dalam 3 dosis, untuk
menginduksi remisi. Dosis prednisone dihitung berdasarkan berat
badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednisone dalam
dosis penuh inisial diberikan selama 4 minggu. Setelah pemberian
steroid dalam 2 minggu pertama, remisi telah terjadi pada 80%
kasus, dan remisi mencapai 94% setelah pengobatan steroid 4
minggu. Bila terjadi remisi pada remisi pada 4 minggu pertama,
maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan
dosis 40mg/m2 LPB/hari (2/3 dosis awal) secara alternating (selang
sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu
pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien
dinyatakan sebagai resisten steroid. (Gambar 1)
b. Pengobatan Relaps
Meskipun pada pengobatan inisial terjadi remisi total pada 94%
pasien, tetapi pada sebagian besar akan mengalami relaps (60-70%)
dan 50% diantaranya mengalami relaps sering. Skema pengobatan
relaps dapat dilihat di gambar 2, yaitu diberikan prednisone dosis
penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan
prednisone dosis alternating selama 4 minggu. Pada sindrom
nefrotik yang mengalami proteinuria ≥ 2+ kembali tetapi tanpa
edema, sebelum dimulai pemberian prednisone, terlebih dahulu
dicari pemicunya, biasanya infeksi saluran napas atas. Bila ada
infeksi, diberikan antibiotic 5-7 hari dan bila setelah pemberian
antibiotic kemudian proteinuria menghilang, tidak perlu diberikan
pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ 2+
disertai edema, maka didiagnosis sebagai relaps, dan diberi
pengobatan relaps.
Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan
inisial, sangat penting, karen dapat meramalkan perjalanan penyakit
selanjutnya. Berdasarkan relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama
pasca pengobatan steroid inisial, pasien dapat dibagi dalam
beberapa penggolongan, yaitu :
1. Tidak ada relaps sama sekali (30%)
2. Relaps jarang : jumlah relaps < 2 kali (10-20%)
3. Relaps sering : jumlah relaps ≥ 2 kali (40-50%)
4. Dependen steroid : yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat
dosis steroid diturunkan atau dalam 14 hari setelah
pengobatan dihentikan, dalam hal ini terjadi 2 kali berturut-
turut.
c. Pengobatan Sindrom Nefrotik relaps sering atau dependen steroid
Pengobatan Sindrom Nefrotik relaps sering atau dependen steroid
ada 4 pilihan, yaitu :
1. Pemberian steroid jangka panjang
2. Pemberian Levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin (pilihan terakhir)
Selain itu perlu dicari focus infeksi, seperti tuberculosis, infeksi
di gigi atau cacingan. Bila telah dinyatakan sebagai sindrom nefrotik
relaps sering/dependen steroid, setelah mencapai remisi dengan
prednisone dosis penuh, diteruskan dengan steroid alternating
dengan dosis yang diturunkan perlahan/ bertahap 0,2mg/kgBB
sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara
0,1-0,5mg/kgBB alternating. Dosis ini disebut threshold dan dapat
diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan.
Umumnya anak usia sekolah dapat mentolerir prednisone
0,5mg/kgBB dan anak usia pra sekolah sampai 1mg/kgBB secara
alternating.
Keterangan : prednisone dosis penuh setiap hari sampai remisi
(maksimal 4 minggu), dialnjutkan dengan prednisone alternating 40
mg/m2 LPB/hari dan imunosupresan/sitostatik oral (siklofosfamid 2-
3 mg/kgBB/hari) dosis tunggal selama 8 minggu
Keterangan : prednisone dosis penuh setiap hari sampai remisi
(maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan
dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan melalui infuse 1x sebulan
selama 6 bulan berturut-turut dan prednisone alternating 40 mg/m2
LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednisone di-tapering-off
dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan
0,5mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama tapering-off 2 bulan).
Atau
prednisone dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu) dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgBB/hari
dosis tunggal selama 12 minggu dan prednisone alternating 40
mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednisone di-
tapering-off dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan,
dilanjutkan dengan 0,5mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama
tapering-off 2 bulan).
d. Pengobatan Sindrom Neftrotik Resisten Steroid
1. Siklofosfamid
Sebagai alkylating agent, siklofosfamid bersifat sitotoksik dan
imunosupresif. Siklofosfamid menunjukan kemampuan
memperpanjang masa remisi dan mencegah kambuh sering.
Indikasi penggunaan siklofosfamid yaitu bila terjadi kegagalan
mempertahankan remisi dengan menggunakan terapi prednisone
tanpa menyebabkan keracunan steroid. Siklofosfamid diberikan
3 mg/kgBB/hari sebagai dosis tunggal selama 12 minggu. Terapi
prednisone selang sehari tetap diberikan selama penggunaan
siklofosfamid ini.
Selama pemberian siklofosfamid perlu diperhatikan efek
samping yang mungkin terjadi antara lain : leucopenia,
gangguan gastrointestinal, infeksi varicella disseminate, sistisis
hemoragik, alopesia, keganasan, azoospermia, dan infertilitas.
Selama terapi dengan siklofosfamid, kadar leukosit perlu
diperiksa setiap minggu, dan pengobatan perlu dihentikan
dahulu bila kadar leukosit menjadi ≤ 5000/mm3.
2. Klorambusil
Klorambusil efektif bila dikombinasikan dengan terapi steroid
dalam menginduksi remisi pada penderita ketergantungan
steroid dan kambuh sering. Dosis yang umumnya digunakan
adalah 0,2 mg/kgBB/hari selama 8-12 minggu.
3. Levamisol
Levamisol sebenarnya merupakan obat antihelmentik. Obat ini
juga mempengaruhi fungsi sel T seperti imunosupresan lainnya,
tetapi sifatnya memberikan stimulasi terhadap sel T. Dosis
levamisol 2,5 mg/kgBB diberikan selang sehari selama 4-12
bulan.
4. Siklosporin
Pemberian siklosporin (CyA) dilakukan sesudah remisi dicapai
dengan steroid. Umumnya terapi ini digunakan bila
siklofosfamid kurang efektif. Dosis awal yang digunakan yaitu 5
mg/kgBB/hari.
Dalam penggunaannya, kadar dalam darah perlu dikontrol
karena memberikan efek nefrotoksik. Siklosporin dapat
menyebabkan kelainan histologist bahkan pada penderita yang
ginjalnya normal sekalipun. Efek samping lain yang sering
ditemukan yaitu hipertrikosis, hyperplasia gusi, gejala
gastrointestinal, dan hipertensi.
e. Penderita lama (pengobatan relaps)
Relaps tidak frekuen : prednisone 2mg/kgBB/hari dibagi 3
dosis, diberikan 3 hari sampai ada remisi. Dilanjutkan dosis
intermitten dibagi dalam 3 dosis selama 4 minggu.
Relaps frekuen : berikan prednisone dosis penuh sampai
remisi, kemudian dilanjutkan sitostatika atau imunosupresen,
siklofosfamid atau klorampusil bersama-sama dengan
prednisone dosis intermiten selama 8 minggu.
f. Penderita rawat jalan
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menimbang berat
badan, mengukur tinggi badan, tekanan darah, dan
pemeriksaan tanda-tanda lainnya
Pemeriksaan penunjang yang harus dievaluasi adalah urin
rutin, darah tepi, kadar urin serta kreatinin darah 3-6 bulan
sekali tergantung pada situasi
Terapi yang dilakukan pada penderita rawat jalan antara lain
remisi total (tanpa terapi), remisi parsial/rest protein 1+ tanpa obat,
proteinuria +/++ tanpa edema dan disertai gejala infeksi, berikan
antibiotika (ampisillin atau amoksisillin) 3-5 hari. Bila tetap ada
proteinuria maka dianggap sebagai relaps.
g. Pengobatan tambahan
Mengatasi edema anasarka dengan memberikan diuretik,
furosemid 1-2mg/kgBB/kali, 2 kali sehari peroral
Edema menetap, berikan albumin (IVFD) 0,5-1g/kgBB atau
plasma 10-20 ml/kgBB/hari, dilanjutkan dengan furosemid
i.v. 1 mg/kgBB/kali
Mengatasi renjatan yang diduga karena hipoalbuminemia
(1,5g/dL) berikan albumin atau plasma darah
3.8 Komplikasi
1. Infeksi
Pada sindrom nefrotik mudah terjadi infeksi dan paling sering
adalah selulitis dan peritonitis. Hal ini disebabkan karena terjadi
kebocoran IgG dan komplemen faktor B dan D di urin. Bila terjadi
penyulit infeksi bacterial (pneumonia pneumokokal atau peritonitis,
selulitis, sepsis, ISK) diberikan antibiotic yang sesuai dan dapat
disertai pemberian immunoglobulin G intravena. Untuk mencegah
infeksi digunakan vaksin pneumokokus. Pemakaian imunosupresan
menambah resiko terjadinya infeksi virus seperti campak, herpes.
Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman
gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu sefalosporin
generasi ketiga yaitu sefataksim atau seftriakson, selama 10-14 hari.
2. Hiperlipidemia
Pada sindrom nefrotik relaps atau resisten steroid terjadi
peningkatan kadar kolesterol LDL dan VLDL, trigliserida, dan
lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL menurun atau
normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik. Pada
sindrom nefrotik sensitive steroid, karena peningkatan zat-zat
tersebut sementara, cukup dengan pengurangan diit lemak.
3. Hipokalsemia
Terjadi hipokalsemia karena :
Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan
osteoporosis dan osteopenia
Kebocoran metabolit vitamin D
Oleh karena itu pada sindrom nefrotik relaps sering dan sindrom
nefrotik resisten steroid dianjurkan pemberian suplementasi kalsium
500mg/hari dan vitamin D. Bila telah terjadi tetani, diobati dengan
kalsium glukonas 50mg/kgBB intravena.
4. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan sindrom
nefrotik relaps dapat mengakibatkan hipovolemia dengan gejala
hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin dan sering disertai sakit
perut.
Penyulit lain yang dapat terjadi diantaranya hipertensi, syok
hipovolemik, gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik (setelah 5-15
tahun). Penanganan sama dengan penanganan keadaan ini pada
umumnya. Bila terjadi gagal ginjal kronik, selain hemodialisis, dapat
dilakukan transplantasi ginjal.
3.9 Prognosis
Prognosis baik bila penderita sindrom nefrotik memberikan respons yang
baik terhadap pengobatan kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Prognosis
jangka panjang sindrom nefrotik kelainan minimal selama pengamatan 20
tahun menunjukan hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan
pada glomerulosklerosis, 25% menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun,
dan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal.