Transcript

BAB I

PAGE

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar belakang

Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya infiltrasi seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler. Proses peradangan ini terjadi karena adanya proses imunologis, atau karena suatu infeksi. Trauma lokal juga dapat mencetuskan proses peradangan tersebut. Skleritis sering berasosiasi dengan suatu infeksi sistemik ada suatu penyakit autoimun.1

Skleritis merupakan penyakit yang jarang ditemui. Insidensi di Amerika Serikat diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi penduduk. Dari kasus skleritis yang ditemukan, sekitar 94 % merupakan skleritis anterior dan sisanya ialah skleritis posterior.11 Skleritis lebih sering dijumpai pada wanita, pada umumnya sekitar umur 20-60 tahun. Hampir separuh dari kasus skleritis terjadi secara bilateral.2 Adapun gejala-gejala umum yang biasa terjadi pada skleritis yaitu rasa nyeri berat yang dapat menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Rasa nyeri ini terkadang dapat membangunkan dari tidur akibat sakitnya yang sering kambuh. Pergerakan bola mata dan penekanan pada bulbus okuli juga dapat memperparah rasa nyeri tersebut. Rasa nyeri yang berat pada skleritis dapat dibedakan dari rasa nyeri ringan yang terjadi pada episkleritis yang lebih sering dideskripsikan pasien sebagai sensasi benda asing di dalam mata.3 Selain itu terdapat pula mata merah berair, fotofobia, dan penurunan tajam penglihatan.

Terapi inisial untuk skleritis adalah dengan pemberian NSAIDs. Bisa diberikan Indometasin 75 mg setiap hari atau Ibuprofen 600 mg setiap hari. Kebanyakan kasus menunjukkan penurunan rasa sakit yang bermakna dengan pemberian NSAIDs ini. Apabila terapi ini tidak menunjukkan respon yang baik selama 1-2 minggu, dapat diberikan Prednison oral 0,5-1,5 mg/kg/hari. Pada kasus yang berat terkadang diperlukan Metilprednisolon 1 gram intravena. Apabila mikroorganisme penyebab telah teridentifikasi, maka sebaiknya diberikan antibiotik spesifik.

Dalam referat ini akan dibahas secara menyeluruh mengenai skleritis. Adapun referat ini dibuat sebagai syarat kelulusan dalam kepaniteraan klinik ilmu penyakit mata Rumah Sakit Bhayangkara tingkat I Raden Said Sukanto. 1.2 Rumusan Masalah Adapun permasalahan yang diangkat dalam referat ini adalah bagaimana definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, klasifikasi, penegakan diagnosa dan penatalaksanaan Skleritis.

1.3 Tujuan Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, klasifikasi, penegakan diagnosa dan penatalaksanaan Skleritis.

1.4 Manfaat

Penulisan referat ini diharapkan dapat menambah wawasan mengenai penyakit mata khususnya tentang Skleritis dan sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit mataBAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.I. Anatomi dan Fisiologi Sklera Sklera, yang lebih dikenal sebagai bagian putih dari mata, adalah jaringan terkeras dari mata. Sklera bersambung pada bagian depan dengan sebuah jendela membran yang bening, yaitu kornea. Pada sklera juga terdapat konjungtiva untuk menjaga kelembapan mata. Sklera terdiri dari jaringan fibrosa dengan ketebalan 10 14 mikron, dan kaya akan serat elastik serta mengandung otot halus.9 Sklera berfungsi untuk melindungi struktur bola mata yang halus dan tempat melekatnya otot bola mata.3

Gambar 1. Anatomi Bola Mata Sklera yang juga dikenal sebagai bagian putih bola mata, merupakan kelanjutan dari kornea. Sklera berwarna putih buram dan tidak tembus cahaya, kecuali di bagian depan bersifat transparan yang disebut kornea. Sklera merupakan dinding bola mata yang paling keras dengan jaringan pengikat yang tebal, yang tersusun oleh serat kolagen, jaringan fibrosa dan proteoglikan dengan berbagai ukuran. Pada anak-anak, sklera lebih tipis dan menunjukkan sejumlah pigmen, yang tampak sebagai warna biru. Sedangkan pada dewasa karena terdapatnya deposit lemak, sklera tampak sebagai garis kuning.3,5 Sklera dimulai dari limbus, dimana berlanjut dengan kornea da berakhir pada kanalis optikus yang berlanjut dengan dura. Enam otot ekstraokular disisipkan ke dalam sklera. Jaringan sklera menerima rangsangan sensoris dari nervus siliaris posterior. Sklera merupakan organ tanpa vaskularisasi, menerima rangsangan tersebut dari jaringan pembuluh darah yang berdekatan. Pleksus koroidalis terdapat di bawah sklera dan pleksus episkleral di atasnya. Episklera mempunyai dua cabang, yang pertama pada permukaan dimana pembuluh darah tersusun melingkar, dan yang satunya lagi yang lebih di dalam, terdapat pembuluh darah yang melekat pada sklera.3,5 Sklera membentuk 5/6 bagian dari pembungkus jaringan pengikat pada bola mata posterior. Sklera kemudian dilanjutkan oleh duramater dan kornea, untuk menentukan bentuk bola mata, penahan terhadap tekanan dari luar dan menyediakan kebutuhan bagi penempatan otot-otot ekstra okular. Sklera ditembus oleh banyak saraf dan pembuluh darah yang melewati foramen skleralis posterior. Pada cakram optikus, 2/3 bagian sklera berlanjut menjadi sarung dural, sedangkan 1/3 lainnya berlanjut dengan beberapa jaringan koroidalis yang membentuk suatu penampang yakni lamina kribrosa yang melewati nervus optikus yang keluar melalui serat optikus atau fasikulus. Kedalaman sklera bervariasi mulai dari 1 mm pada kutub posterior hingga 0,3 mm pada penyisipan muskulus rektus atau akuator.3,5Sklera mempunyai 2 lubang utama yaitu:5 Foramen sklerasis anterior, yang berdekatan dengan kornea dan merupakan tempat meletaknya kornea pada sklera.

Foramen sklerasis posterior atau kanalis sklerasis, merupakan pintu keluar nervus optikus. Pada foramen ini terdapat lamina kribosa yang terdiri dari sejumlah membran seperti saringan yang tersusun transversal melintas foramen sklerasis posterior. Serabut saraf optikus lewat lubang ini untuk menuju ke otak. Sklera tertipis terletak pada insersio dari otot rektus, yaitu 0.3 mm. Pada garis ekuator ketebalan sklera sekitar 0.4 0.5 mm dan pada bagian posterior mencapai 1 mm. Perbedaan ketebalan sklera ini relevan terhadap daerah yang rentan tersobek karena trauma. Trauma tumpul cenderung merobek mata pada bagian tertipisnya, yaitu di belakang insersio otot rektus.3 Saraf optik tertempel pada sklera di bagian belakang mata. Sklera membentuk lengkungan untuk membuat jalan untuk saraf optik, yang disebut sebagai lamina kribosa. Selain itu ada juga beberapa jalur lain yang desebut sebagai emissaria. Pada sekitar saraf optik terdapat jalur yang dilewati oleh arteri dan saraf siliar posterior. Sekitar 4 mm posterior dari ekuator terdapat jalan untuk vena vorteks. Pada bagian anterior terdapat jalan untuk pembuluh darah siliaris anterior yang memperdarahi otot rektus.3 Sklera berfungsi untuk menyediakan perlindungan terhadap komponen intra okular. Pembungkus okular yang bersifat viskoelastis ini memungkinkan pergerakan bola mata tanpa menimbulkan deformitas otot-otot penggeraknya. Pendukung dasar dari sklera adalah adanya aktifitas sklera yang rendah dan vaskularisasi yang baik pada sklera dan koroid. Hidrasi yang terlalu tinggi pada sclera menyebabkan kekeruhan pada jaringan sklera. Jaringan kolagen sklera dan jaringan pendukungnya berperan seperti cairan sinovial yang memungkinkan 5 perbandingan yang normal sehingga terjadi hubungan antara bola mata dan socket. Perbandingan ini sering terganggu sehingga menyebabkan beberapa penyakit yang mengenai struktur artikular sampai pembungkus sklera dan episklera.3,4

Gambar 2. Sklera

2.2 Definisi

Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang ditandai oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya vaskulitis.32.3 Epidemiologi

Skleritis adalah penyakit yang jarang dijumpai. Di Amerika Serikat insidensi kejadian diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi. Dari pasien-pasien yang ditemukan, didapatkan 94% adalah skleritis anterior, sedangkan 6%nya adalah skleritis posterior. Di Indonesia belum ada penelitian mengenai penyakit ini. Penyakit ini dapat terjadi unilateral atau bilateral, dengan onset perlahan atau mendadak, dan dapat berlangsung sekali atau kambuh-kambuhan.3,4 Peningkatan insiden skleritis tidak bergantung pada geografi maupun ras. Wanita lebih banyak terkena daripada pria dengan perbandingan 1,6 : 1. Insiden skleritis terutama terjadi antara 11-87 tahun, dengan usia rata-rata 52 tahun.3,42.4 Etiologi Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai oleh proses imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan tipe III (kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus, mungkin terjadi invasi mikroba langsung, dan pada sejumlah kasus proses imunologisnya tampaknya dicetuskan oleh proses-proses lokal, misalnya bedah katarak.3 Skleritis dapat merupakan insiden tersendiri (43%) atau berkaitan dengan penyakit sistemik lainnya (57%). Adapun beberapa etiologi dari skleritis ialah:

I. Autoimun (48%)

Penyakit jaringan ikat dan kondisi peradangan lainnya, antara lain: Rheumatoid arthritis Systemic lupus erythematosus Ankylosing spondylitis Reactive arthritis Psoriatic arthritis Gouty arthritis Inflammatory bowel diseases Relapsing polychondritis Polymyositis Sjgren syndrome Mixed connective tissue disease Progressive systemic sclerosis Penyakit vaskulitik, antara lain: Polyarteritis nodosa Allergic angiitis of Churg-Strauss syndrome Wegeners granulomatosis

Behet disease Giant cell arteritis Cogan syndrome

II. Infeksi dan Granulomatosa (7%) Tuberkulosis Sifilis Sarkoidosis Toksoplasmosis Herpes simpleks Herpes zoster Infeksi Pseudomonas Infeksi Streptokokus Infeksi Stafilokokus Aspergilosis LeprosiIII. Lain-lain (2%) Atopi Sekunder dikarenakan benda asing, trauma kimia, atau obat - obatan (pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic acid, ibandronate).IV. Idiopatik2.5. Patofisiologi

Gambar 3. Skleritis Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang meliputi sel T dan makrofag pada sklera memegang peranan penting terjadinya skleritis. Inflamasi dari sklera bisa berkembang menjadi iskemia dan nekrosis yang akan menyebabkan penipisan pada sklera dan perforasi dari bola mata.5,6 Inflamasi yang mempengaruhi sklera berhubungan erat dengan penyakit imun sistemik dan penyakit kolagen pada vaskular. Disregulasi pada penyakit auto imun secara umum merupakan faktor predisposisi dari skleritis. Proses inflamasi bisa disebabkan oleh kompleks imun yang berhubungan dengan kerusakan vaskular (reaksi hipersensitivitas tipe III dan respon kronik granulomatous (reaksi hipersensitivitas tipe IV). Interaksi tersebut adalah bagian dari sistem imun aktif dimana dapat menyebabkan kerusakan sklera akibat deposisi kompleks imun pada pembuluh di episklera dan sklera yang menyebabkan perforasi kapiler dan venula post kapiler dan respon imun sel perantara.3,5,6 Skleritis adalah peradangan primer pada sklera, yang biasanya (sekitar 50 persen kasus) berhubungan dengan penyakit sistemik. Penyakit tersering yang menyebabkan skleritis antara lain adalah rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis, systemic lupus erythematosus, polyarteritis nodosa, Wegener's granulomatosis, herpes zoster virus, gout dan sifilis.6 Karena sklera terdiri dari jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis adalah gejala utama dari gangguan vaskular kolagen pada 15% dari kasus. Gangguan regulasi autoimun pada pasien yang memiliki predisposisi genetik dapat menjadi penyebab terjadinya skleritis. Faktor pencetus dapat berupa organisme menular, bahan endogen, atau trauma. Proses peradangan dapat disebabkan oleh kompleks imun yang mengakibatkan kerusakan vaskular (hipersensitivitas tipe III) ataupun respon granulomatosa kronik (hipersensitivitas tipe IV).7 Hipersensitivitas tipe III dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari antibody IgG dengan antigen. Hipersensitivitas tipe III terbagi menjadi reaksi lokal (reaksi Arthus) dan reaksi sistemik. Reaksi lokal dapat diperagakan dengan menginjeksi secara subkutan larutan antigen kepada penjamu yang memiliki titer IgG yang signifikan. Karena FcgammaRIII adalah reseptor dengan daya ikat rendah dan juga karena ambang batas aktivasi melalui reseptor ini lebih tinggi dari pada untuk reseptor IgE, reaksi hipersensitivitas lebih lama dibandingkan dengan tipe I, secara umum memakan waktu maksimal 4 8 jam dan bersifat lebih menyeluruh. Reaksi sistemik terjadi dengan adanya antigen dalam sirkulasi yang mengakibatkan pembentukan kompleks antigen antibodi yang dapat larut dalam sirkulasi. Patologi utama dikarenakan deposisi kompleks yang ditingkatkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pengaktivasian dari sel mast melalui FcgammaRIII. Kompleks imun yang terdeposisi menyebabkan netrofil mengeluarkan isi granul dan membuat kerusakan pada endotelium dan membran basement sekitarnya. Kompleks tersebut dapat terdisposisi pada bermacam macam lokasi seperti kulit, ginjal, atau sendi. Contoh paling sering dari hipersensitivitas tipe III adalah komplikasi post infeksi seperti arthritis dan glomerulonefritis.3,4 Hipersensitivitas tipe IV adalah satu satunya reaksi hipersensitivitas yang disebabkan oleh sel T spesifik antigen. Tipe hipersensitivitas ini disebut juga hipersensitivitas tipe lambat. Hipersensitivitas tipe lambat terjadi saat sel jaringan dendritik telah mengangkat antigen lalu memprosesnya dan menunjukkan pecahan peptida yang sesuai berikatan dengan MHC kelas II, kemudian mengalami kontak dengan sell TH1 yang berada dalam jaringan. Aktivasi dari sel T tersebut, membuatnya memproduksi sitokin seperti kemokin untuk makrofag, sel T lainnya, dan juga kepada netrofil. Konsekuensi dari hal ini adalah adanya infiltrasi seluler yang mana sel mononuklear (sel T dan makrofag) cenderung mendominasi. Reaksi maksimal memakan waktu 48 72 jam. Contoh klasik dari hipersensitivitas tipe lambat adalah tuberkulosis. Contoh yang paling sering adalah hipersensitivitas kontak yang diakibatkan dari pemaparan seorang individu dengan garam metal atau bahan kimia reaktif.3,4 Jaringan imun yang terbentuk dapat mengakibatkan kerusakan sklera, yaitu deposisi kompleks imun di kapiler episklera, sklera dan venul poskapiler (peradangan mikroangiopati). Tidak seperti episkleritis, peradangan pada skleritis dapat menyebar pada bagian anterior atau bagian posterior mata.3,4 2.6. Klasifikasi Skleritis dapat diklasifikasikan menjadi anterior atau posterior. Empat tipe dari skleritis anterior adalah:51. Diffuse anterior scleritis. Ditandai dengan peradangan yang meluas pada seluruh permukaan sklera. Merupakan skleritis yang paling umum terjadi.

2. Nodular anterior scleritis. Ditandai dengan adanya satu atau lebih nodul radang yang eritem, tidak dapat digerakkan, dan nyeri pada sklera anterior. Sekitar 20% kasus berkembang menjadi skleritis nekrosis.

3. Necrotizing anterior scleritis with inflammation. Biasa mengikuti penyakit sistemik seperti rheumatoid arthtitis. Nyeri sangat berat dan kerusakan pada sklera terlihat jelas. Apabila disertai dengan inflamasi kornea, dikenal sebagai sklerokeratitis.

4. Necrotizing anterior scleritis without inflammation. Biasa terjadi pada pasien yang sudah lama menderita rheumatoid arthritis. Diakibatkan oleh pembentukan nodul rematoid dan absennya gejala. Juga dikenal sebagai skleromalasia perforans.

Gambar 4. Diffuse Anterior Scleritis

Gambar 5. a) Nodular Anterior Scleritis. b) Penipisan dari sklera setelah resolusi dari nodul

Gambar 6. Skleromalasia perforans

Di samping skleritis anterior, ada pula skleritis posterior. Skleritis posterior ini jarang terjadi dan ditandai dengan adanya nyeri tekan bulbus okuli dan proptosis. Terdapat perataan dari bagian posterior bola mata, penebalan lapisan posterior mata (koroid dan sklera), dan edema retrobulbar. Pada skleritis posterior dapat dijumpai penglepasan retina eksudatif, edema makular, dan papiledema.5Skleritis posterior Sebanyak 43% kasus skleritis posterior didiagnosis bersama dengan skleritis anterior. Biasanya skleritis posterior ditandai dengan rasa nyeri dan penurunan kemampuan melihat. Dari pemeriksaan objektif didapatkan adanya perubahan fundus, adanya perlengketan massa eksudat di sebagian retina, perlengketan cincin koroid, massa di retina, udem nervus optikus dan udem makular. Inflamasi skleritis posterior yang lanjut dapat menyebabkan ruang okuli anterior dangkal, proptosis, pergerakan ekstra ocular yang terbatas dan retraksi kelopak mata bawah.8

Gambar 7. Skleritis Posterior2.7. Diagnosis2.7.1 Anamnesis Keluhan pasien akan bervariasi, tergantung dari tipe skleritis yang dialami pasien. Pasien dengan necrotizing anterior scleritis with inflammation akan mengeluhkan rasa nyeri yang hebat disertai tajam penglihatan yang menurun, bahkan dapat terjadi kebutaan. Tajam penglihatan pasien dengan non-necrotizing scleritis biasanya tidak akan terganggu, kecuali bila terjadi komplikasi seperti uveitis. Rasa nyeri yang dirasakan pasien akan memburuk dengan pergerakan bola mata dan dapat menyebar ke arah alis mata, dahi, dan dagu. Rasa nyeri juga dapat memburuk pada malam hari, bahkan dapat membangunkan pasien dari tidurnya.3,72.7.2 Pemeriksaan Fisik dan Oftalmologi

Seperti semua keluhan pada mata, pemeriksaan diawali dengan pemeriksaan tajam penglihatan.

Visus dapat berada dalam keadaan normal atau menurun.

Gangguan visus lebih jelas pada skleritis posterior. Pemeriksaan umum pada kulit, sendi, jantung dan paru paru dapat dilakukan apabila dicurigai adanya penyakit sistemik. Pemeriksaan Sklera

Sklera tampak difus, merah kebiru biruan dan setelah beberapa peradangan, akan terlihat daerah penipisan sklera dan menimbulkan uvea gelap.

Area berwarna hitam, abu abu, atau coklat yang dikelilingi oleh peradangan aktif menandakan proses nekrosis. Apabila proses berlanjut, maka area tersebut akan menjadi avaskular dan menghasilkan sequestrum berwarna putih di tengah, dan di kelilingi oleh lingkaran berwarna hitam atau coklat gelap. Pemeriksaan slit lamp

Untuk menentukan adanya keterlibatan secara menyeluruh atau segmental. Injeksi yang meluas adalah ciri khas dari diffuse anterior scleritis. Pada skleritis, kongesti maksimum terdapat dalam jaringan episkleral bagian dalam dan beberapa pada jaringan episkleral superfisial. Sudut posterior dan anterior dari sinar slit lamp terdorong maju karena adanya edema pada sklera dan episklera.

Pemberian topikal 2.5% atau 10% phenylephrine hanya akan menandai jaringan episklera superfisial, tidak sampai bagian dalam dari jaringan episklera. Penggunaan lampu hijau dapat membantu mengidentifikasi area avaskular pada sklera. Perubahan kornea juga terjadi pada 50% kasus.

Pemeriksaan kelopak mata untuk kemungkinan blefaritis atau konjungtivitis juga dapat dilakukan.

Pemeriksaan skleritis posterior

Dapat ditemukan tahanan gerakan mata, sensitivitas pada palpasi dan proptosis.

Dilatasi fundus dapat berguna dalam mengenali skleritis posterior. Skleritis posterior dapat menimbulkan amelanotik koroidal.

Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukan papiledema, lipatan koroid, dan perdarahan atau ablasio retina.

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi dari skleritis. Beberapa pemeriksaan laboratorium dan radiologi yang dapat dilakukan yaitu:11. Pemeriksaan darah lengkap dan laju endap darah

2. Faktor rheumatoid dalam serum

3. Antibodi antinuklear serum (ANA)

4. Serum antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA)

5. PPD (Purified protein derivative/mantoux test), rontgen toraks

6. Serum FTA-ABS, VDRL

7. Serum asam urat

8. B-Scan Ultrasonography dapat membantu mendeteksi adanya skleritis posterior.3,7

Gambar 8. B-Scan Ultrasonography pada skleritis posterior menunjukkan adanya akumulasi cairan pada kapsul tenon

2.8. Diagnosa BandingBerikut ini adalah beberapa diagnosis banding dari skleritis:

Konjunctivitis alergika

Episkleritis

Gout

Herpes zoster

Rosasea okular

Karsinoma sel skuamosa pada konjunctiva

Karsinoma sel skuamosa pada palpebra

Uveitis anterior nongranulomatosa 9,10 Episkleritis

Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak antara konjungtiva dan permukaan sklera. Episkleritis dapat merupakan suatu reaksi toksik, alergik, bagian dari infeksi, serta dapat juga terjadi secara spontan dan idiopatik. Episkleritis umumnya mengenai satu mata, terutama pada wanita usia pertengahan dengan riwayat penyakit reumatik. Episkleritis sering tampak seperti skleritis. Namun, pada episkleritis proses peradangan dan eritema hanya terjadi pada episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan konjungtiva. Episkleritis mempunyai onset yang lebih akut dan gejala yang lebih ringan dibandingkan dengan skleritis. Selain itu episkleritis tidak menimbulkan turunnya tajam penglihatan.3

Gambar 9. Episkleritis

Keluhan pasien episkleritis berupa mata kering, rasa nyeri ringan, dan rasa mengganjal. Terdapat pula konjungtiva yang kemotik. Bentuk radang pada episkleritis mempunyai gambaran benjolan setempat dengan batas tegas dan warna merah ungu di bawah konjungtiva. Bila benjolan ini ditekan dengan kapas atau ditekan pada kelopak di atas benjolan, maka akan timbul rasa sakit yang dapat menjalar ke sekitar mata. Terlihat mata merah satu sektor yang disebabkan melebarnya pembuluh darah di bawah konjungtiva. Pembuluh darah episklera ini dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5% topikal. Sedangkan pada skleritis, melebarnya pembuluh darah sklera tidak dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5% topikal.3

Gambar 10. Pelebaran pembuluh darah sklera yang tidak mengecil dengan pemberian fenilefrin 2,5% topikal.

Gambar 11. Pelebaran pembuluh darah episklera yang mengecil dengan pemberian fenilefrin 2,5% topikal.

2.9. Penatalaksanaan

Pengobatan pada skleritis membutuhkan pengobatan secara sistemik. Pasien yang terdiagnosa dengan penyakit penyerta akan memerlukan pengobatan yang spesifik juga. Penatalaksanaan skleritis dibagi menjadi pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius, pengobatan pada skleritis yang infeksius, serta konsultasi kepada bagian terkait apabila dicurigai ada penyakit sistemik yang menyertai.3,5,11,121. Pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius. NSAIDs, kortikosteroid, atau obat imunomodulator dapat digunakan. Pengobatan secara topikal saja tidak mencukupi. Pengobatan tergantung pada keparahan skleritis, respon pengobatan, efek samping, dan penyakit penyerta lainnya.

Diffuse scleritis atau nodular scleritis Pengobatan awal menggunakan NSAIDs. Jika gagal dapat menggunakan 2 jenis NSAIDs yang berbeda. Untuk pasien resiko tinggi, berikan juga misoprostol atau omeprazole untuk perlindungan gastrointestinal.

Jika NSAIDs tidak efektif, gunakan kortikosteroid oral. Jika terjadi remisi, dipertahankan menggunakan NSAIDs.

Jika oral kortikosteroid gagal, obat obatan imunosupresif dapat digunakan. Methotrexate adalah obat pilihan pertama, tapi dapat juga digunakan azathioprine, mycophenolate, mofetil, cyclophosphamide, atau cyclosporine. Untuk pasien dengan Wegeners granulomatosis atau polyarteritis nodosa, cyclophosphamide adalah pilihan utama.

Jika masih gagal, dapat diberikan obat obatan imunomodulator seperti infliximab atau adalimumab yang diharapkan dapat efektif.

Necrotizing scleritis Obat obatan imunosupresif ditambahkan dengan kortikosteroid pada bulan pertama, kemudian jika mungkin dikurangi perlahan lahan.

Jika gagal, pengobatan imunomodulator dapat digunakan.

Injeksi steroid periokular tidak boleh dilakukan karena dapat memperparah proses nekrosis yang terjadi. 2. Pengobatan untuk skleritis yang infeksius. Pengobatan sistemik dengan atau tanpa antimikrobial topikal dapat digunakan. Sementara kortikosteroid dan imunosupresif tidak boleh digunakan.

3. Konsultasi. Dapat dilakukan kepada ahli penyakit dalam untuk penyakit penyerta, dan konsultasi dengan spesialis hematologi atau onkologi untuk pengawasan terapi imunosupresif.

Adapun jenis obat-obatan yang dapat dipakai sebagai medikamentosa dalam penyakit skleritis ialah 3,5A. NSAIDs (Non-steroid Anti Inflammatory Drugs)Obat ini digunakan untuk menurunkan rasa nyeri dan peradangan. NSAIDs bekerja dengan cara menghambat sintesis prostaglandin, menghalangi perjalanan dari lekosit, dan menghambat fosfodiesterase.

Pemberian:

Minum pada waktu yang bersamaan dengan makanan atau dengan air untuk menghindari gangguan pada saluran pencernaan.

1. Indometasin (Indocin)

Sering dianggap sebagai obat pilihan pertama. Indometasin dapat dengan cepat diserap. Metabolisme terjadi di hati dengan demetilasi, deasetilasi, dan konjugasi glukuronid.

Dosis: 75-150 mg PO/hari or dibagi 2 kali sehari; tidak melampaui 150 mg/hari

Pemberian pada lansia harus diawasi fungsi ginjal, Penurunan fungsi ginjal lebih mungkin terjadi usia lanjut. Dosis/frekuensi terendah disarankan.

2. Diflunisal (Dolobid)

Turunan asam salisilat nonsteroid yang bekerja secara perifer sebagai analgesik. Memiliki efek antipiretik dan anti radang; tetapi, berbeda secara kimia dengan aspirin dan tidak dimetabolisme menjadi asam salisilat. Obat ini adalah sebuah penghambat prostaglandin sintase.

Dosis: 250-1000 mg PO setiap hari dibagi setiap 12 jam.

Dosis maksimum: 1500 mg/hari.

3. Naproxen (Naprelan, Anaprox, Aleve, Naprosyn)

Digunakan untuk meredakan nyeri ringan sampai sedang. Menghambat reaksi peradangan dan nyeri dengan menurunkan aktifitas enzim siklooksigenase, menghasilkan penurunan dari sintesis prostaglandin.

Naproxen diserap dengan cepat dan memiliki paruh waktu sekitar 12 15 jam.

Dosis: 250-500 mg PO 2 kali sehari. Tidak lebih dari 1500 mg/hari.

4. Ibuprofen (Motrin, Ibuprin, Advil)

Biasanya merupakan obat pilihan untuk pengobatan nyeri ringan sampai sedang, jika tidak ada kontraindikasi. Menghambat reaksi peradangan dan nyeri, kemungkinan dengan menurunkan aktifitas enzim siklooksigenase, yang menghasilkan sintesis prostaglandin.

Obat yang berikatan kuat dengan protein dan siap diserap secara oral. Memiliki paruh waktu yang singkat (1.8-2.6 jam).

Dosis: 300-800 mg PO 4 kali sehari

400-800 mg IV selama 30 menit setiap 6 jam kalau diperlukan. Tidak melebihi 3200 mg/hari

5. Sulindac (Clinoril)Menurunkan aktifitas siklooksigenase dan, dengan begitu, menghambat sintesis prostaglandin. Menghasilkan penurunan pembentukan mediator peradangan.

Dosis: 150-200 mg PO 2 kali sehari. Tidak melebihi 400 mg/hari.

Gunakan dosis terendah yang paling efektif untuk jangka waktu terpendek.

6. Piroxicam (Feldene)Secara struktur kimia berbeda dengan NSAID. Berikatan dengan protein plasma. Menurunkan aktifitas siklooksigenase dan dengan begitu, menghambat sintesis prostaglandin. Efek ini menurunkan pembentukan mediator radang.

Dosis: 20 mg PO setiap harinya atau dibagi 2 kali sehari; tidak melebihi 30-40 mg/hariB. Agen Imunosupresan

Digunakan untuk skleritis berat (Necrotizing scleritis) dan yang resisten terhadap NSAIDs.

1. Methotrexate (Folex, Rheumatex)

Mekanisme kerjanya dalam pengobatan reaksi peradangan kurang diketahui. Dapat mempengaruhi fungsi imun dan biasanya menghilangkan gejala peradangan (nyeri, bengkak, kaku).

Dosis tunggal PO sebanyak 7.5 mg setiap minggu. Dosis dibagi PO sebanyak 2.5 mg setiap 12 jam untuk 3 dosis, sebagai pengganti sekali seminggu

Peningkatan sampai respon optimum; tidak melebihi dosis tunggal dari 20 mg (meningkatkan resiko supresi sum sum tulang). Kurangi sampai serendah mungkin. Kurangi sampai dosis efektif terendah dengan waktu istirahat terpanjang

Awasi : fungsi ginjal, keracunan hematopoietik, fungsi paru, fungsi hati

2. Cyclophosphamide (Cytoxan, Neosar)

Secara struktur kimia berhubungan dengan mustards nitrogen. Sebagai alkylating agent, mekanisme kerjanya sebagai metabolit aktif mungkin melibatkan penyambungan silang DNA, yang dapat mengganggu pertumbuhan sel normal dan neoplastik.

Pemberian IV:

Dosis tunggal: 40-50 mg/kg dibagi selama 2-5 hari; dapat diulangi dalam interval 2-4 minggu

Dosis setiap hari: 1-2.5 mg/kg/hari

Pemberian oral:

Dosis : 400-1000 mg/sq.meter dibagi selama 4-5 hari sebagai terapi intermiten

Terapi berulang: 50-100 mg/sq.meter/hari

Pemberian:

Berikan dosis pertama sepagi mungkin

Minum banyak cairan bersamaan dengan dosis per oral

Pasien harus buang air untuk mencegah sistitis hemoragik.

Awasi: Hitung sel darah (Sel darah putih dapat menurun sampai 2000-3000/cu.mm tanpa resiko serius terkena infeksi)3. Azathioprine (Imuran)

Menghambat mitosis dan metabolisme seluler dengan mengganggu metabolisme purin dan sintesis DNA, RNA, dan protein.

Dosis awal: 1 mg/kg IV/PO setap hari atau dipisah 2 kali sehari, dapat ditingkatkan seperti berikut:

Sebesar 0.5 mg/kg/hari setelah 6-8 minggu, kemudian sebesar 0.5 mg/kg/hari setiap 4 minggu, tidak melebihi 2.5 mg/kg/hari.

Pengawasan: Kurangi dosis sebanyak 0.5 mg/kg setiap 4 minggu sampai dosis efektif terendah tercapai

4. Cyclosporine (Neoral)

Siklik polipeptida yang menekan beberapa imun humoral dan reaksi imun yang dilakukan sel, seperti hipersensitifitas tipe lambat dan penolakan cangkok.

Dosis: 2.5 mg/kg/hari dibagi 2 kali sehari PO kurang lebih 8 minggu, Dapat ditambah menjadi tidak lebih dari 4 mg/kg/hari

Awasi: fungsi ginjal

C. Glukokortikoid

Memiliki sifat anti peradangan dan mengakibatkan bermacam efek metabolik. Kortikosteroid mempengaruhi respon imun tubuh dan berguna dalam pengobatan skleritis yang berulang.

1. Methylprednisolone (Depo-Medrol, Solu-Medrol, Medrol)

Pemberian IM atau IV. Biasanya digunakan sebagai tambahan agen imunosupresif lainnya.

Dosis: 2-60 mg/hari dibagi sekali sehari atau 2 kali sehari PO

Metilprednisolon asetat: 10-80 mg IM setiap 1-2 mingguJika diberikan sebagai pengganti sementara untuk pemberian oral, berikan dosis IM setiap harinya sama dengan dosis oral.

Untuk efek jangka panjang, berikan dosis oral 7 kali setiap harinya IM setiap minggu.

Hanya metilprednisolon sodium sukinat dapat diberikan secara IV

Dosis: 1 g IV selama 1 jam selama 3 hari

2. Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred)

Digunakan untuk mengobati reaksi peradangan dan alergi. Bekerja dengan cara meningkatkan permeabilitas kapiler dan menekan kerja PMN, serta dapat menurunkan peradangan.

Dosis: 5-60 mg/hari PO setiap hari atau dibagi 2 kali sehari sampai 4 kali sehari. Terapi skleritis disesuaikan dengan penyebabnya. Terapi awal skleritis adalah obat anti inflamasi non-steroid sistemik. Obat pilihan adalah indometasin 100 mg perhari atau ibuprofen 300 mg perhari. Pada sebagian besar kasus, nyeri cepat mereda diikuti oleh pengurangan peradangan. Apabila tidak timbul respon dalam 1-2 minggu atau segera setelah tampak penyumbatan vaskular harus segera dimulai terapi steroid sistemik dosis tinggi. Steroid ini biasanya diberikan peroral yaitu prednison 80 mg perhari yang ditirunkan dengan cepat dalam 2 minggu sampai dosis pemeliharaan sekitar 10 mg perhari. Kadangkala, penyakit yang berat mengharuskan terapi intravena berdenyut dengan metil prednisolon 1 g setiap minggu.13,14,15 Obat-obat imunosupresif lain juga dapat digunakan. 2 Siklofosfamid sangat bermanfaat apabila terdapat banyak kompleks imun dalam darah. Tetapi steroid topikal saja tidak bermanfaat tetapi dapat dapat menjadi terapi tambahan untuk terapi sistemik. Apabila dapat diidentifikasi adanya infeksi, harus diberikan terapi spesifik. Peran terapi steroid sistemik kemudian akan ditentukan oleh sifat proses penyakitnya, yakni apakah penyakitnya merupakan suatu respon hipersensitif atau efek dari invasi langsung mikroba. 13,14,15 Tindakan bedah jarang dilakukan kecuali untuk memperbaiki perforasi sklera atau kornea. Tindakan ini kemungkinan besar diperlukan apabila terjadi kerusakan hebat akibat invasi langsung mikroba, atau pada granulomatosis Wegener atau poliarteritis nodosa yang disertai penyulit perforasi kornea. Penipisan sklera pada skleritis yang semata-mata akibat peradangan jarang menimbulkan perforasi kecuali apabila juga terdapat galukoma atau terjadi trauma langsung terutama pada usaha mengambil sediaan biopsi. Tandur sklera pernah digunakan sebagai tindakan profilaktik dalam terapi skleritis, tetapi tandur semacam itu tidak jarang mencair kecuali apabila juga disertai pemberia kemoterapi.3,4 Skleromalasia perforans tidak terpengaruh oleh terapi kecuali apabila terapi diberikan pada stadium paling dini penyakit. Karena pada stadium ini jarang timbul gejala, sebagian besar kasus tidak diobati sampai timbul penyulit.3,52.10. Komplikasi

Penyulit sleritis adalah keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina, ablasio retina eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Keratitis bermanifestasi sebagai pembentukan alur perifer, vaskularisasi perifer, atau vaskularisasi dalam dengan atau tanpa pengaruh kornea. Uveitis adalah tanda buruk karena sering tidak berespon terhadap terapi. Kelainan ini sering disertai oleh penurunan penglihatan akibat edema makula. Dapat terjadi galukoma sudut terbuka dan tertutup. Juga dapat terjadi glaukom akibat steroid.3,5,7 Skleritis dapat mengakibatkan terjadinya beberapa komplikasi. Makular edema dapat terjadi karena perluasan peradangan di sklera bagian posterior sampai koroid, retina, dan saraf optik. Makular edema dapat mengakibatkan penurunan penglihatan. Komplikasi lainnya yaitu perforasi dari sklera yang mengakibatkan hilangnya kemampuan mata untuk melihat. Skleromalasia juga dapat terjadi, terutama pada skleritis dengan rheumatoid arthritis. Obat kortikosteroid juga dapat memicu terjadinya perforasi serta meningkatkan tekanan intraokular sehingga beresiko merusak saraf optik akibat glaukoma. Tanpa pengobatan segera dapat terjadi kondisi seperti katarak, ablasio retina, keratitis, uveitis, atau atrofi optik. Uveitis anterior terjadi pada sekitar 30% kasus skleritis. Sedangkan uveitis posterior terjadi pada hampir seluruh kasus skleritis posterior, namun tak jarang juga dijumpai pada kasus skleritis anterior. Skleritis dapat berulang dan berpindah ke posisi sklera yang berbeda.3,5,72.11. Prognosis

Prognosis skleritis tergantung pada penyakit penyebabnya. Skleritis pada spondiloartropati atau pada SLE biasanya relatif jinak dan sembuh sendiri dimana termasuk tipe skleritis difus atau skleritis nodular tanpa komplikasi pada mata Skleritis pada penyakit Wagener adalah penyakit berat yang dapat menyebabkan buta permanen dimana termasuk tipe skleritis nekrotik dengan komplikasi pada mata.3 Skleritis pada rematoid artritis atau polikondritis adalah tipe skleritis difus, nodular atau nekrotik dengan atau tanpa komplikasi pada mata. Skleritis pada penyakit sistemik selalu lebih jinak daripada skleritis dengan penyakit infeksi atau autoimun. Pada kasus skleritis idiopatik dapat ringan, durasi yang pendek, dan lebih respon terhadap tetes mata steroid. Skleritis tipe nekrotik merupakan tipe yang paling destruktif dan skleritis dengan penipisan sklera yang luas atau yang telah mengalami perforasi mempunyai prognosis yang lebih buruk.3 Individu dengan skleritis ringan biasanya tidak akan mengalami kerusakan penglihatan yang permanen. Hasil akhir cenderung tergantung pada penyakit penyerta yang mengakibatkan skleritis. Necrotizing scleritis umumnya mengakibatkan hilangnya penglihatan dan memiliki 21% kemungkinan meninggal dalam 8 tahun.3Quo ad vitam

: dubia ad bonamQuo ad functionam: dubia ad malamQuo ad sanationam: dubia ad malam BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya infiltrasi seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler. Skleritis merupakan penyakit yang jarang terjadi. Skleritis biasanya terjadi bersama dengan penyakit sistemik, yaitu penyakit autoimun dan infeksi, namun bisa juga terjadi secara idiopatik. Adapun gejala-gejala umum yang biasa terjadi pada skleritis yaitu rasa nyeri berat yang dapat menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Selain itu terdapat pula mata merah berair, fotofobia, dan penurunan tajam penglihatan.3,5 Skleritis dapat digolongkan menjadi skleritis anterior dan skleritis posterior. Sekitar 94% kasus skleritis merupakan skleritis anterior dan sisanya adalah skleritis posterior. Skleritis anterior sendiri dapat dibagi lagi menjadi 4 macam yaitu diffuse anterior scleritis, nodular anterior scleritis, necrotizing scleritis with inflammation, dan necrotizing scleritis without inflammation (scleromalacia perforans). Untuk mendiagnosa skleritis diperlukan adanya anamnesis, pemeriksaan fisik dan oftalmologi, serta pemeriksaan penunjang.3 Skleritis dapat didiagnosa banding dengan episkleritis. Namun kedua penyakit ini dapat dibedakan melalui lokasi terjadinya peradangan. Pada episkleritis, proses peradangan hanya terlokalisir di daerah episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan konjungtiva. Sedangkan pada skleritis proses peradangan dapat meluas ke seluruh bagian sklera. Selain itu, rasa nyeri yang berat pada skleritis dapat dibedakan dari rasa nyeri ringan yang terjadi pada episkleritis yang lebih sering dideskripsikan pasien sebagai sensasi benda asing di dalam mata.3 Tatalaksana skleritis membutuhkan pengobatan sistemik. Obat-obatan yang biasa dipakai yaitu NSAIDs, kortikosteroid, agen imunosupresan, dan imunomodulator. Apabila terdapat penyakit penyerta, harus dikonsultasikan ke bagian terkait. Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit skleritis yaitu edema makular, perforasi sklera, glaukoma, uveitis, katarak, dan keratitis. Prognosis skleritis seringkali tergantung pada penyakit sistemik yang menyertainya. Necrotizing scleritis dapat menyebabkan hilangnya penglihatan secara permanen.3,5Daftar Pustaka

1. Chern KC. Iridociclitis and traumatic iritis. In : Emergency Opthalmology Boston, Massachusetts: Mc Graw-Hill. Medical publishing Division 2002.2. Easty, DL, G.Smolin. External Eye Disease. England; Butterworths; 1985.3. Eva PR. Sklera. Dalam:Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, Suyono J,Editor. Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta: EGC, 2000.169-73

4. E.Smith, Morton. External Disease and Cornea. San Francisco: American Academy of Ophthalmology; 1985.

5. Foulks GN, Langston DP. Cornea and External Disease. In: Manual of Ocular Diagnosis and Therapy. Second Edition. United States of America: Library of Congress Catalog. 1988; 111-6

6. French DD, Margo CE. Postmarketing surveillance rates of uveitis and scleritis with bisphosphonates among a national veteran cohort. Retina. 2008.

7. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2010.8. Kinski JJ. Disorders of the cornea and sclera. In : Clinical Opthalmology. Third Edition. Wallingston. Surrey : Great britain by butler and tanner Ltd, Frome and London. 1994. 146-99. Newel FW The Sclera In : Opthalmology Principles and concepts. Fifth Edition. St.Louis Toronto London : The CV Mosby company. 1982. 220-110. Patel, Sayjal J, Diane C Lundy. Ocular Manifestations of Autoimmune Disease. Journal of American Family Physician. 2002 Sep 15;66(6):991-998.

11. Riordan-Eva, Paul, John P.Whitcher. Vaughan & Asburys General Ophthalmology. USA: Mc.GrawHill; 2008.12. Rootman J. Disease of the Orbit. Second Edition. East washington sayare Philadelpia : library of congress cataloging in publication data. 1988:37313. Sainz de la Maza M, Foster CS, Jabbur NS. Scleritis associated with rheumatoid arthritis and with other systemic immune-mediated diseases. Ophthalmology. 1994.

14. Sainz de la Maza M, Foster CS, Jabbur NS. Scleritis associated with systemic vasculitic diseases. Ophthalmology. 1995. 15. Smolin, Gilbert et al. Smolin and Thofts The Cornea : Scientific Foundations and Clinical Practice. Edisi ke 4. Philadelphia: LIPPINCOTT WILLIAMS & WILKIN; 2005.

16. Thill M, Richard G. Giant pigment epithelial tear and retinal detachment in a patient with scleritis. Retina. Jul-Aug 2005;25(5):667-8. [Medline].

PAGE


Top Related