Download - Pterigium Final

Transcript
Page 1: Pterigium Final

REFERAT ILMU KESEHATAN MATA

PTERYGIUM

Oleh :

PEMBIMBING :

SMF ILMU KESEHATAN MATA

2011

Page 2: Pterigium Final

HALAMAN PENGESAHAN

TUGAS BACA

ILMU KESEHATAN MATA

PTERYGIUM

Disetujui dan diterima sebagai salah satu tugas Kepaniteraan Muda

di

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA

Surabaya, Maret 2011

Mengetahui Dosen Pembimbing,

i

Page 3: Pterigium Final

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ………………………………………………………………. i

Kata Pengantar …………………………………………………………………..... ii

Daftar Isi ………………………………………………………………………….. iii

BAB I Pendahuluan ……………………………………………………….…….. 1

I.1. Umum………………………………………………………………….. 1

BAB II Pembahasan ……………………………………………………….…….. 2

II.1. Anatomi ……………………………………………………….………. 2

II.1.1 Anatomi Konjungtiva …………………………………………... 2

II.1.2 Anatomi Kornea ………………………………………………... 3

II.2. Pterigium ……………………………………………………………… 5

II.2.1 Definisi …………………………………………………………. 5

II.2.2 Epidemiologi …………………………………………………… 6

II.2.3Mortalitas/morbiditas …………………………………………… 6

II.2.4 Etiologi …………………………………………………………. 6

II.2.5 Patofisiologi .……………………………………………………. 7

II.2.6 Gejala klinis …………………………………………….………. 8

II.2.7 Pemeriksaan fisik ………………………………………….……. 9

II.2.8 Diagnosa …………………………………………………….….. 9

II.2.9 Diagnosa Banding ……………………………………………… 10

II.2.10 Terapi …………………………………………………………. 10

II.2.10.1 Konservatif …………………………………………...…….. 10

II.2.10.2 Bedah ………………………………………………...….….. 11

A. Indikasi Operasi ……………………………………………….. 11

B. Teknik Bedah ………………………………………………….. 11

C. Terapi Tambahan …………………………………………….… 12

ii

Page 4: Pterigium Final

II.2.11 Komplikasi ………………………………………………….. 14

II.2.12 Pencegahan …………………………………………….……. 14

II.2.13 Prognosa …………………………………………………….. 15

BAB III Kesimpulan ……………………………………………………………. 16

BAB IV Penutup ………………………………………………………………... 17

Daftar Pustaka …………………………………………………….…………….. 18

iii

Page 5: Pterigium Final

BAB I

Pendahuluan

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif

dan invasif. Seperti daging berbentuk segitiga, dan umumnya bilateral di sisi nasal. Keadaan ini

diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, daerah yang kering dan

lingkungan yang banyak angin, karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya

berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu atau berpasir. Temuan

patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik.7

Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi harus diangkat secara

bedah bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah perluasannya. Kombinasi

autograft konjungtiva dan eksisi lesi terbukti mengurangi resiko kekambuhan.7

1

Page 6: Pterigium Final

BAB II

Pembahasan

II.1 Anatomi

II.1.1 Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak mata bagian

belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva. Konjungtiva ini

mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet. 2

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :

- Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar digerakkan dari

tarsus.

- Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera dibawahnya.

- Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva

bulbi 2

Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya

sehingga bola mata mudah bergerak 2

2

Page 7: Pterigium Final

II.1.2 Anatomi kornea

Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan

lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. 2

Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :

1. Epitel

- Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; satu

lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.

- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel

sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal

di sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini

menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.

-epitel berasal dari ektoderm permukaan. 2

2. Membran Bowman

-Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak

teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.

- Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi. 2

3. Stroma

- Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada

permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang;

terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-kadang sampai 15

bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat

kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam

perkembangan embrio atau sesudah trauma. 2

3

Page 8: Pterigium Final

4. membrane descement

- merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan sel

endotel dan merupakan membran basalnya.

- bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40µm.2

5. Endotel

- berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40µm. endotel melekat

pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden. 2

Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf

nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea,

menembus membrane bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi

sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin

ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi

dalam waktu 3 bulan. 2

Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system pompa endotel

terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai

daya regenarasi.2

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah depan.

Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar

masuk kornea dilakukan oleh kornea. 2

4

Page 9: Pterigium Final

II.2 Pterigium

II.2.1 Definisi  

Pterigium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk segitiga, mirip

daging yang menjalar ke kornea 6, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat

degeneratif dan invasif 2.

5

Page 10: Pterigium Final

II.2.2 EPIDEMIOLOGI

Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi

geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah di

atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sebuah hubungan

terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi

di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan

peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.3

II.2.3 Mortalitas/Morbiditas

Pterygium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi visual atau

penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi sehingga menyebabkan iritasi

okuler dan mata merah. 3

Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :

1. Jenis Kelamin

Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan

wanita. 3

2. Umur

Jarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20 tahun. Untuk pasien umurnya

diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40

tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterygium yang paling tinggi.3

II.2.4 Etiologi

Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan udara panas.

Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu neoplasma, radang, dan

degenerasi. 2

6

Page 11: Pterigium Final

II.2.5 Patofisiologi

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan ultraviolet,

debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang

menjalar ke kornea 6

Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama

untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva

akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi

inferior. 6

Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak

dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak langsung, bagian

nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari

hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium

dibandingkan dengan bagian temporal. 6

Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi

fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi kolagen abnormal

pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin.

Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan elastic

yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.3

Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi subepitel yang

basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H & E . Berbentuk ulat atau degenerasi

elastotic dengan penampilan seperti cacing bergelombang dari jaringan yang degenerasi.

Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya

normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering

menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.9

7

Page 12: Pterigium Final

II.2.6 Gejala Klinis

Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan

sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain:

mata sering berair dan tampak merah

merasa seperti ada benda asing

timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium tersebut, biasanya

astigmatisme with the ruleataupun astigmatisme irreguler sehingga mengganggu

penglihatan

pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis visual

sehingga tajam penglihatan menurun.10

II.2.7 Pemeriksaan Fisik

8

Page 13: Pterigium Final

Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata (sclera) pada limbus,

berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan kornea. Sclera dan selaput lendir luar

mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari iritasi dan peradangan.11

Berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala (head) yang mengarah ke kornea dan badan.

Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup oleh

pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis menurut  Youngson ):

Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea

Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm

melewati kornea

Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiran

pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)

Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu

penglihatan.10

II.2.8 Diagnosa

Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau kedua

mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini mungkin telah ada selama

bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada akhirnya menyebabkan

penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan dan iritasi. Sensasi benda asing dapat

dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih kering dari biasanya. penderita juga dapat

melaporkan sejarah paparan berlebihan terhadap sinar matahari atau partikel debu.11

Test: Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visi terpengaruh. Dengan

menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan pterygium tersebut.11 Dengan

menggunakan sonde di bagian limbus, pada pterigium tidak dapat dilalui oleh sonde seperti pada

pseudopterigium.10

II.2.9 Diagnosa Banding

9

Page 14: Pterigium Final

1.Pinguekula

penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang berwarna kekuningan.6

2.Pseudopterigium

Merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea. Pada pengecekan dengan

sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan kornea.6

II.2.10 Terapi

II.2.10.1 Konservatif

Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami

inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari

selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada

penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.10

II.2.10.2 Bedah

10

Page 15: Pterigium Final

Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat

mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi

dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk menurunkan

angka kekambuhan.  Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baik

secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka kekambuhan yang

rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren,

mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.10

A. Indikasi Operasi

1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus

2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil

3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena

astigmatismus

4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.6

B. Teknik Pembedahan

Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan

dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah

digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan

yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama

untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari

kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan

parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.1

1. Teknik Bare Sclera

Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan sclera

untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah

didokumentasikan dalam berbagai laporan.1

2. Teknik Autograft Konjungtiva

11

Page 16: Pterigium Final

memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40 persen

pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya

dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah di eksisi

pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal ditekankan

pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan

penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. Lawrence

W. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk

eksisi pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik

ini.1

  

3. Cangkok Membran Amnion

Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan

pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion ini belum

teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran

amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan

epithelialisai.Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada,

diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen untuk

kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva

adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas

sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke

bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk

membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya. Lem

fibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.1

C. Terapi Tambahan

 Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah, dan terapi

medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygia. Studi

telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini,

namun ada komplikasi dari terapi tersebut.1

 

MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya untuk

12

Page 17: Pterigium Final

menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang

aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi

intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat tetes

mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan

MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.1 

Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena menghambat

mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari

angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral ,

endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk tidak

merekomendasikan terhadap penggunaannya.1

Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan pemberian:

1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari, bersamaan

dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off sampai 6

minggu.

2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan

dengan salep mata dexamethasone.

3. Sinar Beta

4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam selama 6

minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik Chloramphenicol, dan steroid

selama 1 minggu.6

II.2.11 Komplikasi

13

Page 18: Pterigium Final

1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:

- Gangguan penglihatan

- Mata kemerahan

- Iritasi

- Gangguan pergerakan bola mata.

- Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea

- Dry Eye sindrom 3

2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:

- Infeksi

- Ulkus kornea

- Graft konjungtiva yang terbuka

- Diplopia

- Adanya jaringan parut di kornea 3

Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan. Eksisi bedah memiliki

angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka ini bisa dikurangi sekitar 5-15% dengan

penggunaan autograft dari konjungtiva atau transplant membran amnion pada saat eksisi 3

II.2.12 Pencegahan

Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani yang

banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai kacamata pelindung sinar

matahari.6

II.2.13 Prognosis

14

Page 19: Pterigium Final

Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik. Kekambuhan

dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata atau beta radiasi.6

Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur yang baik

dapat ditolerir pasien dan disamping itu pada beberapa hari post operasi pasien akan merasa tidak

nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai aktivitasnya. . Pasien

dengan pterygia yang kambuh lagi dapat mengulangi pembedahan eksisi dan grafting

dengan konjungtiva / limbal autografts atau transplantasi membran amnion pada pasien tertentu 3

BAB III

15

Page 20: Pterigium Final

Kesimpulan

Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan

merupakan yang tersering nomor dua di indonesia setelah katarak, hal ini di karenakan

oleh letak geografis indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga banyak terpapar oleh

sinar ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab dari piterigium. Pterigium

banyak diderita oleh laki-laki karena umumnya aktivitas laki-laki lebih banyak di luar

ruangan, serta dialami oleh pasien di atas 40 tahun karena faktor degeneratif.

Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun

(asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi benda

asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari stadiumnnya.

Terapi dari pterigium umumnya tidak perlu diobati, hanya perawatan secara

konservatif seperti memberikan anti inflamasi pada pterigium yang iritatif. Pada

pembedahan akan dilakukan jika piterigium tersebut sudah sangat mengganggu bagi

penderita semisal gangguan visual, dan pembedahan ini pun hasilnya juga kurang

maksimal karena angka kekambuhan yang cukup tinggi mengingat tingginya kuantitas

sinar UV di Indonesia. Walaupun begitu penyakit ini dapat dicegah dengan

menganjurkan untuk memakai kacamata pelindung sinar matahari.

BAB IV

Penutup

16

Page 21: Pterigium Final

Demikian telah dibahas tentang Pterigium, di dalamnya telah dibahas mengenai anatomi, definisi, patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan, diagnose banding, komplikasi, dan penatalaksanaan.

Sekiranya apa yang telah kami bahas dalam referat ini dapat bermanfaat bagi teman-teman yang membacanya agar dapat lebih memahami tentang pterigium dan penatalaksanaannya.

Daftar Pustaka

1. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management of

Pterygium

17

Page 22: Pterigium Final

http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm?

2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007. hal:2-6, 116 –

117

3. Jerome P Fisher, PTERYGIUM. 2009

http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview

4. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach; Edisi 6. Philadelphia:

Butterworth Heinemann Elsevier. 2006 :242-244.

5. Miller SJH. Parson’s Disease of The Eye. 18th ed. London : Churchill Livingstone ;

1996. p.142

6. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III penerbit

Airlangga Surabaya. 2006. hal: 102 – 104

7. Voughan & Asbury. Oftalmologi umum , Paul Riordan-eva, John P. Whitcher edisi 17

Jakarta : EGC, 2009 Hal 119

8. www.en.wikipedia.org/wiki/Pterygium_(conjunctiva)

9. www.eyewiki.aao.org/Pterygium

10. www.inascrs.org/pterygium/

11. www.mdguidelines.com/pterygium

18


Top Related