Download - POLISI HUMANIS

Transcript

Sabtu, 23 Januari 2010MEWUJUDKAN MENTAL POLRI YANG PROFESIONAL, TEGAS, HUMANIS DAN BERMORAL

Oleh :MUSMUALLIM, S.Pd.IDKC Banyumas

A. Latar Belakang Masalah

Beberapa waktu yang lalu, sekitar bulan Januari 2009 tepatnya pukul 21.30 WIB, saya dan kawan saya persisnya didepan pusat pertokoan jalan raya Kebondalem Purwokerto, dihadang oleh petugas polisi Satlantas Polres Banyumas, ditanya SIM, STNK dan macam-macam.Singkatnya, saya terkena Tilang karena roda motor saya tidak standar alias kekecilan. Dengan segala perasaan tidak tentu, saya digiring oleh petugas polisi tersebut ke pos polisi Sri Maya Purwokerto. Melalui proses negosiasi dan tawar menawar yang cukup alot, akhirnya saya membayar dengan sukarela dan ikhlas sejumlah Rp. 15.000,-. Pak polisi bilang, berapapun yang akan diberikan harus ikhlas, sebab kalau tidak ikhlas nanti uangnya tidak enak dimakan.1Pada rasio bulan Mei 2009, motor saya dipinjam oleh kawan saya, sesampai di Karangklesem Purwokerto, dia dihadang oleh Patroli Tilang Satlantas Polres Banyumas. Kawan saya harus menyelesaikan urusannya dikantor, dia minta bantuan polisi kenalannya, namun itu semua tidak mengurangi denda yang harus diberikan, kawan saya harus menyerahkan uang denda sejumlah Rp. 70.000,-. Pelanggaran yang dilakukan diantaranya warna motor yang tidak sesuai dengan STNK, tidak membawa SIM. Padahal harapannya, dengan dibantu oleh petugas polisi kenalannya, akan diringankan jumlah dendanya.2Dua peristiwa diatas merupakan sederetan peristiwa yang sering kita jumpai, bahkan tidak menutupkemungkinan kita pernah mengalaminya. Kejadian diatas memberikan persepsi tersendiri bagi kita, bagaimana seharusnya perilaku seorang petugas polisi yang notabene adalah penegak hukum. Terjadi kontradiksi atas kedua peristiwa diatas, disatu sisi petugas polisi tidak mempunyai bargaining dalam menentukan keputusan hukum atau denda yang diberikan kepada pelanggar pengguna kendaraan bermotor. Negosiasi antara si pelanggar dengan anggota polisi, mencerminkan sebuah kelemahan bagi anggota polisi sebagai penegak hukum. Kalau dianalogikan, ibarat tawar menawar yang terjadi di pasar, antara pembeli dengan penjual. Anggota polisi tidak lebih dari penentu harga (penjual) dan si pelanggar menjadi sang pembeli yang mencoba melakukan penawaran.Disisi lain, polisi memiliki komitmen dan karakter dalam menentukan keputusan hukum atau denda bagi pelanggar. Tindakan ini menunjukkan itikad baik bahwa Polri tidak nepotis, tidak membedakan kelas masyarakat atau tidak pandang bulu dalam memberikan sanksi pelanggaran. Bantuan dari anggota polisi tidak mampu mempengaruhi proses pemberian sanksi hukum. Artinya, polisi tetap tegas dan profesional, sehingga ketegasan seperti ini dapat memberikan citra positif bagi jajaran Polri di tengah masyarakat. Kontradiksi ini mengisyaratkan bahwa dalam tubuh Polri masih memiliki kerapuhan character building, baik secara individu maupun secara kelembagaan. Mentalitas dan karakter yang dimiliki anggota Polri harus dibangun dalam kerangka profesional, tegas, humanis dan bermoral. Karena selanjutnya, nilai humanitas akan memperkokoh bangunan masing-masing individu dalam teamwork yang berujung pada pola hubungan yang humanis dalam tatanan sosial masyarakat. Kemudian nilai moral akan memberikan nuansa etika dan estetika yang berketuhanan dan berkesusilaan. Dua cerita diatas menyadarkan kita pada satu kerangka kesadaran bersama untuk membangun mentalitas dan karakter penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Kesadaran bersama merupakan fondasi membangun cita-cita reformasi Polri, membawa refleksi sejarah atas segala aktivitas yang telah dan akan dilakukan.Kuntowijoyo menyebutkan bahwa peristiwa sejarah akan hilang begitu saja jika tidak ditemukan oleh sejarawan. Sebagai kejadian, perbuatan, pemikiran, perasaan dari masa lampau, suatu actual occurance di tempat dan pada waktu tertentu, peristiwa sejarah mempunyai kedudukan ontologis sebagai thing-in itself yang lepas dari pengetahuan manusia.3 Sebagaimana dua peristiwa tersebut diatas yang memberikan pembelajaran yang kurang bermartabat dan tidak profesional dimata masyarakat. Semakin oknum polisi melakukan kesewenang-wenangan atau penyimpangan tugas, semakin akan memperburuk citra polisi, baik secara individu maupun secara kelembagaan. Sehingga dalam konteks ini, bagaimana Polri mampu melakukan rekonstruksi pembangunan bagi sumber daya manusia yang dapat menjalankan tugasnya degan baik, profesional, tegas, humanis dan bermoral sesuai dengan kondisi riil masyarakat kekinian. Sebagai penegasan atas komitmen kemitraan Polri dengan masyarakat dan cita-cita luhur reformasi Polri untuk dapat diimplementasikan guna mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan berkeadaban.

B. Pencitraan Positif PolriSebelum melakukan perubahan disegala bidang, yang lebih esensial untuk dilakukan rekonstruksi adalah pencitraan diri yang positif dalam tubuh Polri sendiri. Menjaga nama, harkat dan martabat merupakan harga mahal bagi sebuah institusi negara. Pasalnya, masih ada oknum polisi melakukan inkonsistensi dalam bertugas, paling tidak peristiwa diatas memberikan pelajaran berharga bagi citra positif pada Polri. Melalui pencitraan positif, maka hubungan dengan masyarakat dalam kerangka kemitraan Polri akan mudah untuk direalisasikan.Sampai hari ini, polisi masih dianggap pihak yang terkadang justru mempersulit urusan hubungan sosial dalam masyarakat. Kesan yang terang masih menempel bahwa polisi dianggap sosok yang sangar, otoriter, tidak berpihak dengan masyarakat. Terkadang kita merasa malu apabila dijalanan harus berurusan dengan polisi, walaupun kita salah, namun seolah-olah berurusan dengan petugas polisi merupakan perihal yang buruk. Image polisi dimata masyarakat masih dianggap sebelah mata, artinya secara kelembagaan baik, namun tidak bisa kita pungkiri bahwa banyak kasus yang terjadi menyangkut tindakan atau perilaku oknum polisi yang tidak sesuai dengan aturan sosial masyarakat bahkan aturan hukum itu sendiri.Dalam kaitannya dengan kehidupan sosial masyarakat, polisi juga hidup dalam sistem sosial budaya masyarakat. Maka anggota polisi secara individu juga harus mengetahui norma yang berlaku dimasyarakat. Norma tata kelakukan (mores), kebiasaan yang tidak semata-mata merupakan cara bertingkah laku, tetapi merupakan norma yang mengatur, menyuruh atau melarang sesuatu perbuatan dilakukan. Berfungsi untuk memberikan batas-batas tingkah laku seseorang (melarang atau menyuruh), mengidentifikasikan seseorang dengan kelompoknya dan mengikat solidaritas anggota kelompok atau masyarakat.4 Cita-cita untuk merealisasikan kemitraan Polri dengan masyarakat harus diimbangi dengan langkah-langkah yang bersinergi dengan kebutuhan lingkungan masyarakat. Memberikan ruang untuk berdemokrasi bagi masyarakat, membangun hubungan harmonis dengan masyarakat sebagai mitra polisi. Melakukan pencitraan diri (ibda binnafsi) dimata masyarakat dengan berperilaku, bersikap dan memberikan pelayanan dengan sepenuh hati, tidak membedakan kelas dalam masyarakat.

C. Kemitraan Polri; Dari, Oleh dan Untuk Masyarakat

Seiring perkembangan tingkat pendidikan dan partisipasi masyarakat dalam ruang publik, asumsi masyarakat atas sikap polisi yang terkesan sangar dan menakutkan mulai mengikis. Konsep kemitraan Polri dengan masyarakat merupakan wujud humanisasi Polri untuk lebih melibatkan dan merangkul masyarakat dalam aktivitasnya. Menjadikan institusi Polri sebagai sentra pelayanan publik yang lebih mengedepankan kepentingan masyarakat. Bukan kepentingan pemenuhan birokrasi Polri yang bersifat administratif finansil, yang cenderung menyulitkan dan menghambat proses penyelesaian masalah hukum. Maka reformasi di tubuh Polri harus diiringi dengan upaya demokratisasi yang berbasis kerakyatan, yaitu dari, oleh dan untuk masyarakat. Secara praktis, masyarakat dilibatkan dalam upaya penentuan arah kebijakan dan aktivitasnya.Sebagaimana disebutkan dalam tugas pokok Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), sesuai dengan Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 pasal 38, bahwa Kompolnas bertugas membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Kompolnas berwenang untuk mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pemberian saran kepada Presiden yang berkaitan dengan anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengembangan sumber daya manusia Kepolisian Negara Republik Indonesia dan pengembangan sarana dan prasarana Kepolisian Negara Republik Indonesia, memberikan saran dan pertimbangan lain kepada Presiden dalam upaya mewujudkan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang profesional dan mandiri dan menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan menyampaikannya kepada Presiden.5 Setidaknya kehadiran Kompolnas memberikan ruang publik kepada masyarakat untuk bersama-sama memberikan aspirasi, saran dan masukan yang konstruktif. Tinggal bagaimana mengoptimalkan peran dan tugas Kompolnas dalam menjalin komunikasi dengan masyarakat, melibatkan masyarakat dalam menentukan arah kebijakan Polri dalam melakukan tugasnya. Secara independen Kompolnas memiliki ruang tugas yang signifikan dengan ruang demokratis bagi keterlibatan masyarakat. Memberikan kesempatan masyarakat untuk mengadukan segala problematika yang terjadi secara terbuka dan demokratis.Namun ironis, masyarakat kini semakin berani dan kebablasan cerdas, perkembangan masyarakat semakin melaju cepat. Kehidupan sekarang lebih berorientasi pada materi dan instan. Kondisi demikian mengakibatkan sebagian masyarakat lebih berani untuk melanggar tatanan hukum, menggunakan segala cara untuk dapat mencapai tujuannya, bahkan kurang bisa menghargai dan cenderung menyepelekan hukum dan polisi sebagai penegak hukum. Dalam kondisi yang serba instan, polisi harus pandai memilih dan menganalisa realitas, tidak tergerus oleh arus negatif globalisasi, tidak mudah terbawa oleh proses instan emosionalitas masyarakat. Sehingga dalam konteks ini, bagaimana Polri melakukan pendekatan dan menjalin kemitraan dengan masyarakat yang berbasis demokratis yaitu dari, oleh dan untuk masyarakat. Kemitraan dilakukan melalui pendekatan struktural dan kultural masyarakat. Pendekatan struktural tentunya lebih dititikberatkan kepada hubungan komunikasi birokrasi dan kerjasama dengan instansi atau lembaga tertentu, baik pemerintah maupun swasta. Kemudian pendekatan kultural masyarakat dilakukan sebagaimana falsafah hidup orang Jawa yang lebih mengedepankan sikap gotong royong saling membangun rasa asah, asih dan asuh. Demokratisasi Polri melibatkan masyarakat dalam menentukan arah kebijakannya, tentu hal ini harus disinergikan antara program-program Polri dengan tingkat kebutuhan masyarakat, sehingga konsep kemitraan dapat terwujud dan dinamis dengan tatanan kehidupan sosial masyarakat yang merdeka, adil dan beradab sebagaimana disebutkan dalam Pancasila dan UUD 1945.

D. Reformasi Polri : Hapus Budaya KKNDalam menghadapi era modern abad 21 yang penuh dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir, secara internal tantangan Polri kedepan sangat sentral, yaitu menyangkut: Pertama, profesional, dimana anggota Polri mampu melakukan tugas pokoknya, tidak terpengaruh adanya intervensi dari pihak manapun, melaksanakan tugas secara transparan dan akuntabilitas serta menguasai ilmu pengetahuan, terampil dan mahir tentang fungsi teknis Polri. Kedua, bermoral, menjunjung tinggi norma-norma agama sesuai dengan keyakinannya, menjunjung etika dan sopan santun dalam melaksanakan tugas serta bebas dan bersih dari KKN. Ketiga, modern, dapat mengikuti perkembangan situasi dan kondisi tentang globalisasi serta teknologi masa kini serta mampu mengetahui pergeseran nilai, sikap dan mentalitas sesuai dengan tuntunan atau kebutuhan masyarakat. Keempat, kultur perpolisian demokratis dan sipil, menjunjung supremasi hukum dan HAM dalam rekruitmen polisi, dilaksanakan secara transparan dan akuntabilitas publik, proactive policing atau kepedulian dan ketanggapsegeraan, community policing atau perpolisian masyarakat (kemitraan dan kolaborasi untuk pemecahan masalah), setiap tindakan polisi hasilnya wajib diinformasikan kepada masyarakat serta setiap pelanggaran yang dilakukan oleh polisi diterapkan melalui sidang disiplin, kode etik dan peradilan umum.Budaya KKN dalam tubuh Polri akan semakin memberikan angin negatif kepada masyarakat, memberikan pembodohan kepada anggota polisi itu sendiri maupun kepada masyarakat. Pungutan liar yang dilakukan oleh oknum anggota polisi merupakan bentuk nyata pembodohan terhadap masyarakat. Terlebih lagi dengan praktek tawar-menawar denda pelanggaran, seperti transaksi antara penjual dan pembeli. Tipikal seperti ini merupakan penyakit kronis yang sangat mempengaruhi mentalitas anggota polisi sebagai aparat hukum.Melihat tantangan internal diatas, maka menghapus budaya KKN dalam tubuh Polri adalah harga mati, artinya katakan tidak untuk melakukan tindakan korupsi. Transparansi data dan anggaran perlu dibudayakan sebagai budaya penegak hukum, seperti pada saat penerimaan anggota Polri baru, tanpa ada embel-embel siapa membawa siapa, berani bayar berapa. Kemudian proses pembayaran denda Tilang dan lainnya dengan istilah nitip, apakah memang uang tersebut masuk ke negara atau memang hanya kong kali kong yang dimanfaatkan oleh oknum polisi tertentu. Pertanyaan ini masih menjadi perdebatan bagi masyarakat, kemana larinya uang itu dan siapa yang nantinya memanfaatkannya. Terlepas percaya atau tidak, yang jelas transparansi data dan anggaran dalam tubuh Polri harus dibudayakan, agar masyarakat tahu bagaimana mekanisme yang sebenarnya dan sejujurnya.Sebagaimana sejarah Polri bahwa suasana Proklamasi Kemerdekaan RI menjadi catatan sejarah berdirinya Polri, tepatnya pada tanggal 29 September 1945, walaupun memang hari kepolisian diperingati pada tanggal 1 Juli 1946, yang ditetapkan sebagai hari Bhayangkara. Pada masa Republik Indonesia Serikat dan era UUDS 1950, Polri mandiri dibawah Presiden yang bervisi jauh kedepan dan tidak dapat diintervensi oleh kekuatan apapun, bebas korupsi serta tangguh dalam sikapnya bebas dari politik namun harus tahu politik. Momentum reformasi Polri dimaknai dan diimplementasikan sebagai tonggak perubahan secara bertahap dan menyeluruh. Diawali dengan penghapusan KKN seakar-akarnya, yang telah lama menjangkit dalam tubuh Polri. Dengan kondisi Polri yang bersih dari KKN, maka selanjutnya konsep kemitraan, dapat dikolaborasikan menjadi pola hubungan harmonis yang akan tetap terbangun dalam kerangka mutualisme, konektivisme dan kolektivisme antara Polri dengan masyarakat.

E. Membangun Harmonisasi dengan MasyarakatKonflik akibat perbedaan SARA masih mewarnai kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara. Sebagai negara bangsa, tanah air Indonesia masih rawan dengan perpecahan akibat sentimen SARA. Sebenarnya perbedaan SARA, sudah bukan saatnya lagi menjadi penghalang bagi segenap bangsa untuk maju dan berkreativitas. Karena kita tahu bhineka tunggal ika sebagai falsafah hidup bangsa, rakyat diberikan kebebasan untuk memeluk agama, mengemukakan pendapat di ruang publik dan sebagainya sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Namun akhir-akhir ini, bukan lagi isu SARA yang menjadi pemantik terjadinya konflik, tapi lebih kepada karena perbedaan pilihan dalam berpolitik. Kedewasaan berpolitik sebagian masyarakat Indonesia masih dipertanyakan. Hak dan kewajiban yang melekat dalam demokrasi tidak secara alamiah diberikan atau secara universal dipilih; hak dan kewajiban itu memerlukan suatu keputusan atau komitmen terhadap pandangan bahwa dalam komunitas politik seharusnya warganegara yang dewasalah yang menentukan secara bebas syarat-syarat perhimpunan mereka sendiri dan perjalanan pemerintahan mereka.6 Hanya persoalan beda pilihan partai politik dan kepentingan, sampai menyebabkan konflik antar saudara bahkan sekandung, maka kedewasaan dan kearifan dalam berpolitik harus dibudayakan yang diimbangi dengan kewaspadaan atas permainan kepentingan penguasa.Pada konteks ini, sejatinya Polri menjadi pioneer perdamaian atas konflik yang terjadi dibelahan bumi nusantara. Menyatukan perbedaan dan mendamaikan pertikaian dan permusuhan. Konflik berkepanjangan akan mempengaruhi terjadinya disintegrasi bangsa yang akan mengancam nilai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, terlebih sekarang muncul persoalan baru isu konflik berbasis agama yang dibungkus dengan atas nama HAM, tawuran antar suku, perusakan kantor KPU, termasuk konflik ambalat yang belum juga kunjung usai dan sebagainya.Bukan hanya masyarakat saja yang menciptakan suasana harmonis dilingkungannya, Polri secara kelembagaan dan individu juga harus ikut andil dan mempunyai tanggungjawab dalam proses penciptaan harmonisasi dikalangan masyarakat, terutama bagi daerah rawan konflik dan perpecahan. Dengan menggunakan pendekatan humanis, sebagai metode Polri untuk berinteraksi, beradaptasi dan untuk lebih bersahabat dengan masyarakat. Kemudian menggunakan pendekatan dialogis, metode untuk melakukan mediasi dengan masyarakat, sebagai sarana untuk berkomunikasi dan berkoordinasi, karena proses dialog akan memudahkan dalam menemukan solusi alternatif atas persoalan bangsa. Bukan sebaliknya, polisi menggunakan emosionalitas dan egoisitas dalam menyikapi pertikaian antar kelompok masyarakat, namun lebih mengedepankan humanis-dialogis untuk mendamaikan segala potensi perpecahan dan konflik.

F. Mewujudkan Profesionalitas Polri yang Bermoral

Merealisasikan profesionalisme di jajaran Polri, membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Budaya KKN, penyimpangan, pelanggaran anggota Polri masih mewarnai perpolisian kita. Terlebih dengan maraknya anggota polisi yang menggunakan senjata apinya untuk menembak musuh pribadinya, saudaranya bahkan keluarganya sendiri. Penggunaan senjata api yang semaunya sendiri dan tidak pada tempatnya, mengakibatkan nyawa tak berdosa melayang. Potret ini menggambarkan bahwa masih banyak anggota polisi yang lebih mengedepankan egoisitas dan emosionalnya dalam berinteraksi dengan masyarakat. Profesi sebagai polisi harus dipahami sebagai amanat rakyat, pengayom masyarakat, memberikan pelayanan secara intensif dan manusiawi. Profesionalitas yang diharapkan bukan hanya sekedar jargon yang sehari-hari dilontarkan, namun lebih dari itu mental profesional merupakan cara kerja yang sesuai dengan apa yang menjadi tugasnya, proporsional dan konsisten serta konsekuen. Ketegasan seorang anggota polisi diharapkan mampu memberikan pengamanan dan pengayoman terhadap masyarakatnya. Seorang anggota polisi juga memegang peran penting sebagai leader dalam masyarakatnya. Pemimpin harus menjadi teladan sebagaimana diungkapkan dalam serat wedhatama. Artinya, seorang pemimpin harus mampu membawa kepemimpinan intelektual dan moral.7Tentunya masih segar dalam ingatan kita, pada bulan Juni 2009, seorang oknum anggota Polri yang notabene adalah Kepala Kepolisian Sektor Rawalo Polres Banyumas, telah melakukan perbuatan asusila.8 Perbuatan negatif itu mencerminkan sosok penegak hukum yang tidak memiliki moralitas yang baik. Anggota polisi yang seharusnya menghilangkan penyakit masyarakat, yang sejatinya melayani, mengayomi dan memberikan perlindungan kepada masyarakat, justru sebaliknya membuat resah masyarakat, memberikan tauladan yang negatif ditengah upaya reformasi Polri.Bagi masyarakat, ini merupakan aib yang telah menjadi penyakit masyarakat, sebuah tamparan keras bagi loyalitas dan dedikasi yang selama ini dibangun. Namun demikian, kita perlu mengambil hikmah atas peristiwa yang memalukan jajaran Polri ini. Secara internal pimpinan Polri harus mengambil sanksi tegas untuk memberikan efek jera kepada anggota polisi yang melakukan pelanggaran. Selain itu memberikan pembinaan mental dan moral yang intensif kepada jajaran anggota polisi, agar kedepan tidak lagi terjadi perilaku yang menyimpang. Secara eksternal perlu dilakukan pembersihan nama baik, dengan melakukan pendekatan dengan masyarakat.

G. Bersahabat dengan Media MasaAkhir-akhir ini, Polri telah menggunakan sistem keterbukaan dalam proses penerimaan anggota polisi baru. Terbukti dengan melibatkan kawan-kawan dari LSM untuk ikut berpartisipasi aktif dalam rekruitmen anggota polisi. Langkah ini perlu dikembangkan sebagai sarana komunikasi dengan pihak independen yang mengedepankan akuntabilitas dan kemandirian tanpa intervensi dari pihak manapun.Proses sosialisasi di media masa merupakan upaya untuk menjalin komunikasi dengan masyarakat, baik secara lisan maupun tulisan melalui radio, televisi, internet, surat kabar dan sebagainya. Seperti yang kita ketahui melalui siaran live dilayar televisi merupakan upaya Polri dalam memberikan informasi tentang perpolisian kepada masyarakat di seluruh belahan bumi nusantara dan luar negeri.Melibatkan masyarakat, media masa dan LSM dalam aktivitas Polri, merupakan alternatif dalam mengimplementasikan kemitraan Polri dengan masyarakat, terlebih dengan melibatkan LSM yang notabene lebih independen dan transparan. Namun, jangan keliru bahwa terkadang dilapangan masih ditemukan oknum polisi yang masih menggunakan kesewenang-wenangannya kepada pihak pers. Kawan-kawan pers sesekali masih mendapatkan cegatan, larangan, celaan, bahkan tidak menutupkemungkinan mendapat pukulan dari polisi dalam sebuah peliputan. Wartawan dan kawan-kawan pers yang lain merasa dikebiri dan kurang dapat diperlakukan sebagaimana mestinya.Kesewenang-wenangan ini harus segera dievaluasi dan dilakukan pembenahan, bukan saatnya lagi polisi menutup-nutupi bahkan melarang media untuk melakukan tugasnya meliput segala jenis berita. Polisi adalah sahabat dan mitra masyarakat, sudah jelas, sebagai mitra harus saling bekerjasama dengan baik. Bersahabat dengan media masa, merupakan langkah yang harus terus dikembangkan, memberikan informasi kepada masyarakat tentang seputar dunia perpolisian dalam rangka menyesuaikan situasi dan kondisi kebutuhan perkembangan masyarakat dalam memenuhi asas kekinian yaitu modernisasi, melalui keterbukaan dan persahabatan dengan media masa, akan terbentuk opini publik yang konstruktif.

H. 2010; Menuju Masa Keemasan PolriPersoalan yang muncul dikalangan Polri, lebih disebabkan karena persoalan mentalitas dan karakter yang didukung oleh tingkat kesejahteraan yang kurang. Kita sadari bahwa Polri juga bagian yang integral dari masyarakat, berinteraksi dengan realitas sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Anggota polisi juga masuk dalam sistem negara, yang secara administratif dibawah komando Presiden. Untuk itu, perhatian, dukungan dan motivasi sangat dibutuhkan bagi eksistensi, loyalitas dan peningkatan mutu kinerja serta profesionalitas anggota polisi.Saat ini, beredar kabar bahwa tahun 2010 gaji anggota Polri akan dinaikkan, dengan konsekuensi harus memperbaiki kinerja dan profesionalitas dalam menjalankan tugas. Tentunya ini akan disambut baik dan gembira oleh keluarga besar Polri, ditingkat Mabes sampai Polsek. Maka diharapkan tahun 2010 mendatang menjadi tahun emas bagi anggota Polri. Upaya memperbaiki kinerja sebagai konsekuensi menjadi tanggungjawab Polri baik sebagai lembaga maupun sebagai individu anggota polisi. Mereka juga mempunyai keluarga, sanak saudara dan famili layaknya masyarakat lainnya yang memerlukan kebutuhan ekonomi, perhatian dalam interaksi sosial, kebutuhan sandang, pangan, papan dan sebagianya.Ketika kesejahteraan anggota polisi diperhatikan dan direalisasikan, maka idealnya profesionalitas kinerja polisi juga meningkat. Artinya bahwa segala daya dan upaya akan dilakukan oleh Polri demi perbaikan apabila kesejateraan anggota polisi diperhatikan, yaitu dengan dinaikkannya gaji insentif bagi anggota Polri. Guna mewujudkan tahun emas bagi jajaran Polri, seyogyanya mulai dari sekarang langkah alternatif dan taktis harus segera dilakukan, mulai dari pencitraan positif, penghapusan budaya KKN, meningkatkan mental profesional, tegas, humanis dan bermoral serta lain sebagainya.

I. Kesimpulan dan ImplikasiHubungan Polri dengan masyarakat merupakan miniatur kemitraan yang saling bersahabat dan bergotong-royong membangun terciptanya keadilan, keamanan dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Reformasi Polri diejawantahkan pada demokratisasi yang melibatkan masyarakat dalam menentukan arah kebijakan Polri menuju masyarakat yang berkeadaban. Dua peristiwa diatas, menggambarkan bahwa citra positif Polri harus selalu dijaga, dibangun secara kontinue dengan mengacu kepada mental profesional, tegas, humanis dan bermoral serta bersih dari KKN. Berpartisipasi aktif dalam proses harmonisasi masyarakat, memberikan ruang aspirasi kepada masyarakat menuju masa keemasan Polri.Implikasi dari uraian diatas yang dapat direkomendasikan sebagai berikut: 1) Polri menjaga citra nama baik dengan selalu berperilaku profesional dan bermoral, 2) Menggunakan pendekatan humanis-dialogis dalam setiap menghadapi persoalan dimasyarakat, 3) Transparansi dengan masyarakat dan optimalisasi kerjasama dengan institusi lain, baik lembaga pemerintah maupun swasta, termasuk LSM dan media masa menuju kultur masyarakat demokratis.

DAFTAR PUSTAKAAry H Gunawan, Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi Pelbagai Problem Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000.David Held, Demokrasi dan Tatanan Global Dari Negara Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan, Penerjemah: Damanhuri, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.Harian Radar Banyumas, Juni 2009.http://kompolnas.go.id, diakses pada 6 Juli 2009.Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat Edisi Paripurna, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006. Mulyana, Demokrasi dalam Budaya Lokal, Penyunting: Mulyana, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005. Diposkan oleh Pro-Student di 00.41 http://pro-student-for.blogspot.com/2010/01/mewujudkan-mental-polri-yang.html

POLISI YANG SANTUN, TEGAS, HUMANIS DAN DICINTAIMASYARAKATPosted on April 3, 2011 by Ignadion Oleh : AKHMAD SALIMSiswa Akta Mengajar IV Pusdikmin PolriTelah diamanatkan dalam undang-undang No. 02. Tahun 2002 tentang Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa tugas pokok Polri adalah melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat.Mengacu pada tugas pokok Polri tersebut dapat digambarkan bahwa tugas yang diembannya adalah mulia. Dari sinilah dapat dilihat bahwa kemulyaan sebagai polisi yang bisa melindungi, mengayomi dan menjadi pelayan masyarakat, karena masyarakat merupakan centrum pengabdian Polri. Paradigma lama Polri sebagai sosok Polisi yang berkuasa, arogan merupakan wujud kultur Polisi di Era saat itu.Saat ini Polri sedang berbenahdiri untuk mencari jati diri Polri berusaha membangun kepercayaan dari masyarakat (trust building), Bagaimana untuk bisa menjadi Insan Polri yang santun, tegas, humanis dan dicintai masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut tidaklah mudah, seperti kita membalikkan telapak tangan. Untuk itu perlu adanya dorongan atau motivasi untuk merubah perilaku-perilaku Polisi yang dulunya sebagai polisi yang berkuasa, arogansi, dilayani untuk menjadi polisi sipil sosok polisi yang santun, tegas dalam bertindak, humanis dan dicintai masyarakat.Selanjutnya pandangan saya mengenai istilah tersebut sebagai berikut :Polisi yang santun adalah Polisi yang lebih menonjolkan kepada perilaku (skill) dari individu yang berimbang dengan sikap dan pengetahuan. Dengan perilaku yang santun terhadap masyarakat maka dengan sendirinya akan timbul empaty terhadap polisi. Polisi yang tegas adalah polisi dalam melakukan tindakan dilapangan harus proposional, profesional dan tegas serta terukur.Polisi yang humanis adalah polisi dalam tingkah laku serta pergaulannya lebih menunjukkan kepada mudah bergaul dan membaur dengan masyarakat untuk bisa menjadi pioneer ditengah-tengah masyarakat, tauladan, dengan demikian masyarakat akan timbul rasa simpati kepada Polisi. Polisi yang lebih menekankan kebermaknaan baik untuk pribadi maupun lingkungan sekitar.Polisi yang dicintai masyarakat adalah polisi yang menunjukan kesantunannya, kehumanisannya, perilakunya dan kemampuannya dalam wewujudkan sebagai Polisi Pelindung, Pengayom dan Pelayan Masyarakat.Bangsa ini sangat mengharapkan kehadiran Polri yang bisa menjadi penyejuk hati masyarakat, mengharapkan dambaan rasa aman dan nyaman, yaitu aman dari gangguan kamtibmas dan nyaman dalam lingkungan tempat tinggalnya. Keamanan, ketertiban dan kenyamanan akan dapat terwujud apabila Polri sebagai penegak kamtibmas di Republik ini dapat menjabarkan gatranya dalam kehidupan sehari-hari yaitu polisi sebagai Pelindung, Pengayom dan Pelayan Masyarakat.Menjadi Insan Polri yang satun, tegas dalam bertindak, humanis dalam kehidupan masyarakat yang pada akhirnya dapat menjadi figur ditengah masyarakat tidaklah mudah. Kenapa ? Mari kita lihat beberapa pertanyaan yang harus dijawab dan untuk bisa diwujudkan menjadi Impian Polri masa depan.Apakah perilaku dan penampilan Polri sudah sesuai dengan harapan masyarakat.Apakah kesejahteraan Polri saat ini sudah mantap.Apakah profesionalime Polri sudah sesuai dengan harapan masyarakat.Apakah reward dan punishment sudah dijalankan sesuai dengan aturan.Bagaimana halnya dengan recruitment Polri saat ini. Ini juga merupakan tantangan dan permasalahan tersendiri !Inilah sebuah tantangan untuk segera direspon dan diwujudkan kesemuanya itu.

http://police2020.wordpress.com/2011/04/03/%E2%80%9Cpolisi-yang-santun-tegas-humanis-dan-dicintai-masyarakat%E2%80%9D/http://arriwp1997.blogspot.com/2012/12/konsep-polisi-yang-berkemanusiaan-dalam.html

BUDAYA POLRI MASA KINI DAN MASA DEPANI. PENDAHULUANPerkembangan suatu organisasi selalu dipengaruhi oleh lingkungannya, baik pengaruh lokal, nasional, regional, maupun global. Tidak mungkin mengenal suatu organisasi pada waktu tertentu tanpa mengetahui perkembangan masa lalu yang berdampak pada keadaan organisasi itu menjadi demikian. Pepatah mengatakan hari ini adalah akibat perkembangan masa lalu dan apa yang kita lakukan hari ini akan menentukan masa depan .Dunia selalu berubah dan perubahan itu akan berjalan cepat, khususnya ilmu pengetahuan dan teknologi informatika, sehingga membuat dunia seolah-olah tanpa batas. Kerjasama serta persaingan regional dan global menuntut semua negara agar memiliki kemampuan bersaing dalam sistem dan kinerja organisasi-organisasinya. Untuk menghadapi tantangan masa depan, semua organisasi pemerintahan dan non pemerintahan harus menerapkan prinsip-prinsip dan teknik-teknik manajemen modern serta mengembangkan profesionalisme di bidang masing masing. Era reformasi sekarang ini merupakan reaksi dari kekeliruan dan kesalahan masa lalu serta memerlukan usaha perbaikan dan penyempurnaan secara komprehensif integral.Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai sebuah organisasi juga tidak terlepas dari pengaruh lingkungan politik, ekonomi, sosial budaya, dan hukum nasional serta lingkungan regional dan global. Polri harus menyesuaikan diri dengan tuntutan era reformasi dan era globalisasi serta mampu secara tepat memecahkan masalah masalah yang dihadapi, baik masalah kinerja atas tugas pokok yang dipercayakan kepadanya maupun masalah kinerja unsur pendukungnya, seperti unsur pembinaan dan teknologi kepolisian.Tantangan yang dihadapi Polri saat ini adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada Polri. Untuk itu, diperlukan suatu langkah strategis dalam pembenahan di lingkungan institusi Polri, baik aspek struktural, instrumental maupun kultural. Proses pembenahan struktural dan instrumental dapat dilakukan dalam kurun waktu yang relatif cepat. Namun, aspek kultural masih memerlukan proses secara berkesinambungan.Proses pembenahan kultur Polri tidak dapat dilakukan secara tuntas, jika hanya mengandalkan obsesi atau tekad dari para pengambil kebijakan di lingkungan Polri, tanpa peran serta dari seluruh insan Bhayangkara dan elemen masyarakat secara komprehensif integral.Sejalan dengan program prioritas Kapolri yaitu Program Revitalisasi Polri menuju pelayanan prima guna meningkatkan kepercayaan masyarakat, maka diperlukan Insan Bhayangkara yang berkualitas. Demi terwujudnya tujuan tersebut, maka dibutuhkan keseriusan dan kesungguhan dari setiap elemen yang ada dalam institusi Polri, untuk terlibat aktif dalam pembentukan citra Polri yang positif, dengan didasari keinginan dan kemauan untuk mewujudkannya dalam pelaksanaan tugas pokok sesuai bidangnya masing masing, serta dengan dukungan masyarakat.II. KULTUR POLRI SAAT INIPolisi merupakan salah satu pilar dari bangunan kekuasaan negara. Hal ini mengandung makna bahwa kehidupan dalam suatu negara tidak dapat berjalan normal tanpa keberadaan polisi. Eksistensi lembaga kepolisian dalam suatu negara memiliki tanggung jawab untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang keamanan dan ketertiban masyarakat.Tantangan utama bagi Polri dalam pembenahan institusinya adalah reformasi kultur Polri. Fakta sejarah menunjukkan bahwa institusi Polri pernah melekat budaya militeristik dan terpatri dalam doktrin, sehingga proses perubahan itu akan terus berjalan. Proses reformasi kultur Polri belum sepenuhnya berjalan lancar, karena masih menyisakan warisan-warisan kultur yang seharusnya sudah ditinggalkan, antara lain :1. Aspek Perilakua. Perilaku Organisasi PolriPasang surut upaya mewujudkan dan mengembangkan perilaku organisasi Polri yang efektif dipengaruhi faktor faktor :1). Sarana mem filter atau menyaring kadar kepemimpinan semestinya diletakkan dalam kriteria dan ukuran yang pasti serta ditegakkan secara konsisten dan konsekuen dalam Sistem Pembinaan Personel. Hal ini dapat meminimalisasi aplikasi sistem manajemen jendela atau atas dasar selera yang belum tentu menjamin kualitas kepemimpinan yang akurat dan memadai. Jika dibiarkan dapat berakibat sulit berkembangnya perilaku organisasi Polri yang berpengaruh terhadap kualitas pemimpin Polri di semua jenjang kepemimpinan.2). Perekrutan anggota Polri sangat bergantung pada Sistem Pembinaan Personel. Jika input sudah baik, didukung pendidikan dan pelatihan yang baik, diharapkan akan dihasilkan insan Polri yang baik pula. Oleh karena itu, diperlukan ketangguhan moral dari para pelaksana untuk menjalankannya secara baik dengan hati nurani dan tanggung jawab. Pola perekrutan yang masih memberikan celah atau jalan pintas akan berpengaruh pada mentalitas insan Polri, yang pada gilirannya berpengaruh pada kualitas insan Polri tersebut.3). Perekrutan dan pembentukan perwira-perwira Polri sebagai calon pimpinan Polri masa depan, baik yang bersumber pada Akpol, PPSS, dan Secapa idealnya harus benar-benar mempertimbangkan aspek moral sebagai landasan utama. Karena pola perekrutan dengan cara-cara kolusi dan nepotisme hanya akan membentuk perwira-perwira Polri yang tidak profesional.4). Pengawasan internal hendaknya tepat sasaran dan tepat obyek untuk menghindari pengawasan yang kurang efektif meskipun dilaksanakan berulang kali, baik melalui operasi bersih, wasrik, supervisi, maupun bentuk-bentuk pencerahan lainnya. Pengawasan seharusnya dilakukan dengan berpedoman pada mekanisme pengukuran kinerja(performance measurement) untuk menghindari kekurang pahaman hakekat pengawasan oleh para pelaksana.b. Perilaku Personel Polri1). Kesan yang timbul dari perilaku oknum anggota Polri yang masih arogan dan terlibat berbagai kejahatan dengan serta merta menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Hal ini berdampak pada citra negatif pada institusi Polri, meskipun kinerja positif dan prestasi sudah banyak ditorehkan oleh insan Polri. Karena masyarakat menaruh harapan yang besar kepada Polri sebagai figur yang selalu melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat, sehingga ketika terjadi tindakan tidak terpuji oleh segelintir oknum Polri akan menimbulkan kekecewaan dan luka yang mendalam di hati masyarakat.2). Dalam lembaga pendidikan Polri, khususnya pada pendidikan pengembangan dan kejuruan, masih terdapat oknum Polri yang masih mengembangkan budaya plagiat ( dalam arti luas : membeli nilai, mencari hasil akhir, dll ) demi mencari peringkat dengan sasaran penempatan dinas, sehingga keluhuran dan kejujuran civitas akademisi menjadi diragukan eksistensinya. Pemeo Polisi tidak butuh orang pintar, tapi pintar-pintar harus dihilangkan dari mindset setiap anggota Polri. Seharusnya dikembangkan pemikiran bahwa Polri membutuhkan figur yang berwawasan luas, menguasai pengetahuan dan teknologi, memiliki moral yang baik, dan loyalitas pada hukum. Dengan demikian, diharapkan akan terbentuk figur Polri yang mampu menampilkan diri sebagai penegak hukum serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat yang selalu waspada, senantiasa tahu akan tugas dan wewenangnya, tetapi tidak sewenang-wenang. Figur Polri yang berkepribadian lengkap, sebagai pemburu kejahatan yang tangguh, namun tetap etis dalam perilakunya, selalu peka terhadap masalah yang dihadapi dan tidak pernah bersifat arogan.2. Aspek Kinerja1. Kinerja anggota Polri yang belum sepenuhnya meletakkan Hukum sebagai Panglima dan masih berorientasi perintah atasan, bukan karena kebutuhan masyarakat, justru berpotensi menjauhkan Polri dari masyarakat. Akibatnya kinerja Polri dianggap tidak optimal, karena terbentur adanya beberapa kepentingan yang justru mendiskreditkan norma, aturan atau hukum yang seharusnya ditegakkan.2. Masih lemahnya deteksi dini anggota Polri terhadap berbagai gangguan kamtibmas. Kepekaan terhadap lingkungan dan kemampuan deteksi dini polisi cenderung ditinggalkan, karena disibukkan dengan persoalan internal yang sebenarnya tidak terlalu urgen.3. Aspek Pengetahuan1. Keterbatasan pengetahuan di bidang kepolisian dan bidang-bidang lain yang erat kaitannya dengan tugas-tugas kepolisian serta kurang perhatian yang intensif dari beberapa unsur Pimpinan, menjadikan pengetahuan anggota Polri terbatas dan stagnan, tetapi dihadapkan dengan masyarakat yang semakin kritis dan madani.2. Peraturan perundang-undangan yang ditindaklanjuti dengan petunjuk teknis dan taktis kepolisian masih ada yang belum diketahui dan dipahami oleh anggota Polri sampai lini terendah, sehingga berpotensi menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan tugas di lapangan.III. MEREALISASIKAN PERUBAHAN KULTUR POLRISalah satu upaya membangun kultur Polri adalah dengan melakukan pembenahan internal yakni perubahan polisi menjadi polisi civil yang humanis. Kondisi sebagian pejabat Polri yang masih berorientasi kekuasaan, justru mengabaikan faktor humanisme yang merupakan salah satu sendi dasar pelayanan kepada masyarakat.Membangun polisi civil dengan menempatkan polisi yang bertanggung jawab pada otoritas sipil dan melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya tirani polisi. Pemikiran ini didasari keyakinan bahwa masyarakat Indonesia menjamin legitimasi kewenangan polisi dan menghormati intervensi legal kepolisian atas urusan setiap anggota masyarakat. Hal ini didasari oleh beberapa realita, yakni pertama, kecendrungan perlawanan masyarakat terhadap polisi terjadi sebagai reaksi atas sikap penyalahgunaan kewenangan atau kesalahan prosedur dalam tindakan kepolisian. Kedua, budaya paternalistik yang menempatkan polisi sebagai yang berwajib atau yang berwenang dapat dimanfaatkan sebagai pra kondisi yang kondusif bagi polisi untuk memperoleh legitimasi dari masyarakat.Untuk merealisasikan gagasan polisi civil, Polri perlu menekan segala bentuk penyalahgunaan wewenang. Polri tidak perlu merasa inferior dan tidak semestinya berakibat pada keengganan polisi untuk mempertimbangkan penggunaan kekuatan paksa dalam menghadapi aksi massa anarkhis. Polisi harus tetap menyertakan penggunaan kekuatan sebagai salah satu opsi menormalisasi situasi dan menciptakan keteraturan. Tindakan keras polisi memang tidak sepatutnya serta merta dipraktikkan, namun polisi secara legal memiliki legitimasi atas tindakan tersebut, termasuk penggunaan senjata demi keselamatan hidupnya dan orang lain, sepanjang dilakukan secara proporsional dan sesuai prosedur. Penggunaan kekuatan oleh polisi memang akan menjadi sorotan publik, bahkan penggunaan kekuatan oleh polisi yang dinilai masyarakat tidak pada tempatnya, betapapun kecilnya, dapat berefek negatif pada legitimasi polisi.Upaya merealisasikan perubahan kultur Polri dengan membangun polisi civil, dapat dilakukan dengan berbagai langkah, antara lain :1. Pola penempatan personel Polri secara tepat, dengan mempertimbangkan berbagai faktor internal dan eksternal, sehingga tidak ada persaingan dalam memperebutkan tempat-tempat yang potensial, di lain sisi justru kurang peminat pada fungsi-fungsi kepolisian yang kurang populer. Perlu merubah mindset bahwa semua fungsi kepolisian merupakan satu kesatuan organisasi yang saling terkait satu sama lain dan tidak mungkin dapat berjalan secara parsial.2. Tuntutan kepada anggota Polri agar berperilaku bersih dengan kondisi kesejahteraan yang relatif minim, perlu diimbangi dengan memberi kemudahan dalam meniti karier serta mengikuti pendidikan dan pelatihan tanpa melalui birokrasi yang rumit. Kemudahan kenaikan pangkat dan jabatan sesuai eselonisasi akan dapat meningkatkan penghasilan polisi ( take home pay ), sehingga diharapkan anggota polisi tidak akan tergoda untuk melakukan tindakan tercela, seperti menerima suap, backing kejahatan, bisnis ilegal, debt collector, dan sebagainya.3. Mekanisme pengisian jabatan di lingkungan Polri harus dapat diduduki oleh semua anggota Polri yang memenuhi syarat dengan berbagai latar belakang pendidikan dan melalui asseshment.4. Menyusun kriteria dan standar dalam mem filter kadar kepemimpinan Polri melalui pola monitoring dan pembinaan sejak dari lembaga pendidikan pembentukan sampai jenjang karier berikutnya. Sehingga sejak dini dapat dipersiapkan calon-calon pimpinan Polri masa depan yang benar-benar mampu menjadi suri tauladan bagi insan Polri lainnya, mampu mengatasi tantangan zaman, dan siap membawa Polri kearah kemandiriannya.5. Pembinaan moral secara intensif bagi setiap anggota Polri sebagai sendi utama dalam mendukung pelaksanaan tugas pokoknya. Bagaimanapun derasnya godaan dan rintangan yang melanda anggota polisi, jika mentalnya baik dan kuat, berakhlak mulia, berdedikasi dan berintegritas tinggi, maka tidak akan mudah tergoda untuk menerima suap, backing kejahatan, bisnis ilegal, dll.6. Setiap anggota Polri harus mau dan mampu mengembangkan wawasan berpikirnya, agar memiliki ilmu pengetahuan dan penguasaan teknologi informasi yang memadai, sehingga dapat menunjang pelaksanaan tugasnya.7. Dan yang diperlukan di masa depan adalah Polisi yang Pintar . Polisi yang mampu menggerakkan sumber daya setempat untuk melakukan pencegahan terjadinya kejahatan. Pendalaman kepustakaan diarahkan pada kiat-kiat untuk mencegah kejahatan, karena hal ini merupakan tiang pancang kedua bangunan kultur Polri masa depan. Polri secara kultural menjadi ideal, jika sumber daya manusia dan pimpinannya tangguh.IV. PENUTUP1. KesimpulanDari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan :1. Pembenahan kultur Polri tidak dapat ditentukan dengan hanya mengandalkan kebijakan di lingkungan institusi Polri, tetapi dibutuhkan peran serta dari seluruh elemen masyarakat dan stakeholders lainnya.2. Perubahan kultur Polri ke arah polisi civil akan sulit diwujudkan, jika hanya menjadikannya sebagai konsep saja. Oleh sebab itu, diperlukan kesungguhan dan keiklasan setiap insan Polri untuk mewujudkannya dengan memiliki integritas moral dan pengabdian serta tahu akan tugas dan kewenangannya, sehingga diharapkan dapat terbangun insan Polri yang dicintai dan dipercaya masyarakat.2. Saran 1. Citra masyarakat terhadap Polri tidak secara langsung dipengaruhi oleh posisi formal, melainkan oleh sikap dan tindakan sehari-hari anggota Polri di lapangan yang dilihat, dirasakan, dan dicerna oleh masyarakat. Persepsi dan penilaian masyarakat terhadap Polri merupakan refleksi dari kultur pelayanan, kultur perlindungan, dan kultur penegakkan hukum yang dipraktikkan oleh Polri. Untuk itu, perlu dilakukan pembenahan secara berkesinambungan terhadap aspek pelayanan, mekanisme perlindungan, dan transparansi penegakan hukum.2. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat melihat polisi bukan sebagai perseorangan, tetapi sebagai suatu lembaga. Tidak jarang kesalahan oknum polisi digeneralisasi sebagai kesalahan lembaga polisi secara keseluruhan. Oleh karena itu, budaya perseorangan petugas polisi harus dapat dikendalikan dengan budaya organisasi, dengan cara pemetaan terhadap tanggung jawab perseorangan polisi dan tanggung jawab institusi Polri.Januari, 2011http://irvanindarta.wordpress.com/2011/02/10/budaya-polri/

MEWUJUDKAN LEMBAGA PENDIDIKAN POLRI SEBAGAI CENTRE OF EXCELLENCE

1.Pendahuluan

Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 1 UU No 2 tahun 2002 tentang Polri). Yang dimaksud dengan segala hal ihwal adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang fungsi kepolisian yaitu merupakan salah satu fungsi pemerintahan Negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hokum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 2 UU No 2 tahun 2002). Untuk dapat menjalankan semua fungsi tersebut diperlukan suatu komitmen yang tinggi dari setiap anggotanya. Selain komitmen yang tinggi juga perlu diimbangi dengan kemampuan intelektual atau pengetahuan yang mumpuni. Berbagai macam pengetahuan diperlukan untuk dapat mengisi kemampuan intelektualnya. Ilmu kepolisian merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang perlu dipelajari karena ilmu kepolisian akan terus berkembang sesuai dengan situasi kondisi dan tuntutan masyarakat. Hal ini sesuai dengan fungsi kepolisian yang dalam pelaksanaannya memang berhubungan dengan masyarakat. Ilmu kepolisian merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala social yang ada dalam masyarakat dan dari gejala tersebut kemudian dikaji untuk ditemukan bagaimana penyelasaiannya dan bagaimana caranya agar gejala tersebut tidak muncul kembali. Hal ini sesuai dengan pengertian Ilmu Kepolisian menurut Parsudi Suparlan 1999 dalam tulisan Chrysnanda Ilmu Kepolisian, Pemolisian Komuniti dan Implementasinya dalam Penyelenggaraan Tugas Polri yang mendefinisikan: Sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah-masalah social dan isu-isu penting serta pengelolaan keteraturan social dan moral dari masyarakat, mempelajari upaya-upaya penegakkan hokum dan keadilan, dan mempelajari teknik-teknik penyelidikan dan penyidikan berbagai tindak kejahatan serta cara-cara pencegahannya.

Seiring dengan perjalanan waktu, Ilmu Kepolisian terus berkembang. Ilmu kepolisian tidak saja mempelajari bagaimana timbulnya suatu gejala social, bagaimana pemecahannya dan bagaimana pencegahannya. Menurut Anwar dalam tulisan Ilmu Kepolisian membahas juga tentang hakekat Ilmu kepolisian yaitu Ilmu Administrasi Kepolisian yang pengoperasionalannya dalam organisasi polri menunjukan pada spesialisai Ilmu Kepolisian sebagai administrasi kepolisian, hukum kepolisian dan juga manajemen kepolisian. Berbicara manajemen dan administrasi kepolisian cakupannya sangatlah luas meliputi semua kegiatan manajemen yang ada di dalam organisasi kepolisian termasuk manajemen keuangan, manajemen sumber daya manusia, menajemen penganggaran dan lain sebagainya. Salah satu bahasan dalam manajemen sumber daya manusia adalah bagaimana menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas dan profesional. Untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas salah satu yang diperlukan adalah adanya dukungan tentang system pengelolaan sumber daya manusia. Dalam system pengelolaan sumber daya manusia terdapat siklus pembinaan sumber daya manusia yang tidak kalah penting yaitu pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu siklus yang penting karena melalui pendidikan diharapkan akan dapat menghasilkan manusia-manusia yang berkualitas dalam bidangnya. Lembaga kepolisian merupakan salah satu lembaga yang ikut serta dalam mencetak manusia-manusia yang berkualitas dalam bidangnya yaitu bidang kepolisian. Mereka dididik dalam suatu lembaga pendidikan yang tersebar di seluruh wilayah Republik Indonesia dengan pusat pengawasan dan pengendaliannya berada di Lembaga Pendidkan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lemdikpol). Sebagai lembaga yang bertugas mencetak sumber daya-sumber daya yang berkualitas maka Lemdikpol harus mampu menjadi pusat keunggulan (Center of Excellence) yaitu mencetak personel atau sumber daya manusia yang unggul.

2.Sistem Pendidikan Polri

Reformasi Polri yang telah berjalan kurang lebih 10 (sepuluh) tahun telah merubah paradigma Polri untuk menuju polisi sipil (civilian police). Perubahan ini secara langsung juga berkaitan dengan perubahan kedudukan, tugas, peran dan gaya pemolisian yang lebih disesuaikan dengan aspirasi dan harapan masyarakat akan kebutuhan rasa aman dan tetap menjunjung tinggi supremasi hokum serta menghormati dan menjunjung tinggi Hak asasi manusia (HAM).Pendidikan Polri merupakan suatu proses untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta sikap yang dibutuhkan dalam pemenuhan tuntutan tugas-tugas kepolisian. Selain itu pendidikan Polri juga merupakan suatu rangkaian kegiatan dari siklus pembinaan manajemen sumber daya manusia sehingga penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan Polri tetap berpegang pada prinsip keterpaduan dengan tujuan untuk mengakomodir system pendidikan yang diterapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Prinsip keterpaduan ini dapat dilihat dengan adanya ketentuan bahwa semua system dan jenjang kependidikan Polri berada dalam satu institusi/lembaga yaitu Lemdikpol (sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 21 tahun 2010), yang mengarah pada system pendidikan satu pintu.Melalui system pendidikan dan latihan polri ini diharapkan akan dapat melahirkan sosok-sosok Polri yang profesional dan berkualitas. Selain memiliki kemampuan, skill, pengetahuan yang luas juga harus memiliki sikap, mental dan perilaku yang humanis, berwibawa dan cerdas, sesuai dengan filisofi pendidkan Polri yaitu Mahir, Terpuji dan Patuh Hukum. Kondisi semacam ini sangat diperlukan untuk menjawab tantangan Polri masa kini dan yang akan datang terhadap tuntutan-tuntutan masyarakat yang semakin luas, tuntutan akan perubahan yang terjadi agar Polri lebih dapat bermitra dengan masyarakat sehingga akan menumbuhkan keyakinan baru dalam tubuh Polri melalui perubahan kultur/budaya kepolisian dari budaya militeristik menjadi budaya sipil. Perubahan ini diharapkan akan dapat mendorong terciptanya suatu kondisi yang baru di lingkungan kepolisian sehingga lama kelamaan akan muncul suatu hubungan yang harmonis antara polisi dan masyarakat sehingga dapat mempertemukan polisi dan masyarakat dalam wadah kerjasama yang baik dan dalam hubungan kepercayaan yang kokoh dan kuat. Pendidikan Polri diselenggarakan dengan mengintegrasikan aspek pengetahuan yang merupakan penekanan dari segi pendidikan sehingga akan lebih terlihat sempurna yaitu pengetahuan yang ada diaplikasikan dalam tugas-tugas kepolisian. Pendidikan yang diselenggarakan mempunyai tujuan yaitu untuk membentuk sumber daya manusia yang mempunyai keahlian-keahlian tertentu seperti komunikasi, negosiasi sehingga akan berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat dan juga bertujuan untuk melengkapi sumber daya manusia Polri dengan pengetahuan (knowledge), keahlian (skill) dan tingkah laku (attitude) yang dibutuhkan sesuai dengan tuntutan tugas di lapangan. Menurut Benjamin S. Bloom hal ini sesuai dengan Teori Taxonomy Bloom bahwa tujuan pendidikan dibagi ke dalam tiga domain, yaitu:1. Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir. 2. Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri. 3. Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin. Dengan teori tersebut dapat dianalisis bahwa dalam pendidikan Polri, dilihat dari Cognitif Domain diharapkan akan dapat mencetak hasil didik yang mempunyai pengetahuan yang tinggi. Pengetahuan ini tidak hanya terbatas pada pengetahuan tentang kepolisian saja namun juga pengetahuan yang menyangkut ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan bidang kepolisian mengingat ilmu kepolisian ini sangat komplek yang terdiri dari berbagai bidang, seperti yang disampaikan oleh Prof Harsja Bachtiar yang menyatakan bahwa ..masing-masing sesuai dengan kelaziman cabang ilmu pengetahuan sendiri-sendiri. Pengetahuan demikian biasanya dikenal sebagai pengetahuan multidisiplin, pengetahuan yang diperoleh melalui sejumlah pengkajian yang sesungguhnya terpisah satu dari yang lain meskipun memusatkan perhatian pada permasalahan yang sama.(Bachtiar, 1994,15). Dengan pengetahuan kepolisian yang mendalam maka diharapkan hasil didik tersebut akan mampu menjawab tantangan tugas di lapangan yang semakin hari semakin berkembang sehingga akan dapat melatih anggota yang bersangkutan untuk dapat berfikir secara cepat dan tepat dalam menyikapi setiap permasalahan yang ada di masyarakat.Dilihat dari Affective Domain, hasil didik tersebut dalam melaksanakan tugasnya diharapkan akan lebih mempunyai rasa percaya diri karena telah didukung oleh kemampuan secara intelektual (kognitif) dan juga lebih dapat menyesuaikan diri dengan situasi tugas apapun apalagi tugas kepolisian ini berhubungan dengan masyarakat yang notabene masyarakat Indonesia sangatlah komplek dan beragam baik suku, adat, bahasa, budaya, kebiasaan yang tersebar dari sabang sampai merauke. Berkaitan dengan Psychomotor Domain maka hasil didik diharapkan akan mempunyai keterampilan dalam fungsi kepolisian dalam melaksanakan tugasnya seperti keterampilan dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan, keterampilan dalam melakukan pendekatan dengan masyarakat, keterampilan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, sesuai dengan tugas pokok Polri.

3.Komponen Dasar Pendidikan Polri

Pada dasarnya pendidikan merupakan proses pembelajaran bagi peserta didik dengan melibatkan seluruh komponen pendidikan yang ada sehingga keberhasilan pelaksanaan pendidikan ditentukan juga oleh ketersediaan komponen yang ada dan standar komponen pendidikan yang mempunyai standar khusus terhadap pelaksanaan pendidikan Polri sesuai dengan tuntutan kompetensi. Dengan dilaksanakannya pendidikan yang berbasis kompetensi diharapkan akan dapat mencetak hasil didik yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tugasnya.Untuk dapat mencapai proses pendidikan yang berbasis kompetensi diperlukan adanya profil Polri, kerangka kurikulum induk pendidikan Polri, ketersediaan terhadap kurikulum, proses pembelajaran, proses evaluasi dan tentu saja harus didukung dengan adanya tenaga pendidik (Gadik) yang memadai dan mumpuni. Dalam proses pembelajaran pendidikan di lingkungan lembaga pendidikan Polri komponen pendidikan sangat diperlukan, dan sesuai Peraturan Kapolri nomor 20 tahun 2007 tentang Standar Komponen Pendidikan untuk Pendidikan Pembentukan dan Pendidikan Pengembangan di Lingkungan Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri bahwa 10 (sepuluh) standar komponen pendidikan tersebut yaitu:a. Kurikulum yaitu seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dn bahan pelajarab serta cara yang digunakan sebagi pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan di lingkungan Polri.b. Hanjar (bahan ajar) yaitu materi pengetahuan dan atau keterampilan yang dipilih dan disusun untuk pemberian pengalaman belajar dalam rangka pencapaian tujuan kompetensi tertentu. c. Peserta didik yaitu masyarakat yang memenuhi persyaratan dan telah dinyatakan lulus seleksi sebagai calon pegai negeri pada Polri dan pegawai negeri pada Polri yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran, pelatihan dan pengasuhan yang tersedia pada jalur, jenis dan jenjang pendidikan Polri. d. Tenaga pendidik yaitu tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususuannya, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan Polri.e. Tenaga kependidikan yaitu Pegawa Negeri pada Polri dan/atau anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan Polri.f. Metode yaitu cara yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk pemberian pengalaman belajar, baik berupa sikap, tingkah laku, pengetahuan maupun keterampilan dari tenaga pendidik kepda peserta.g. Fasilitas pendidikan yaitu segala sarana dan prasarana untuk menunjang proses pendidikan.h. Alins/alongins; alins yaitu alat atau benda yang digunakan dalam proses pembelajaran, untuk memperlancar pembelajaran agar peserta didik lebih mudah dalam menerima dan memahami materi pelajaran sehinga memiliki kompetensi yang diharapkan; alongins adalah alat atau benda yang digunakan untuk membantu atau menolong penggunaan alins. i. Evaluasij. Anggaran yaitu pernyataan dalam menilai uang dari suatu proyek atau kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.Standar komponen tersebut merupakan acuan bagi Lemdikpol dalam melaksanakan operasional pendidikan. Untuk dapat mencapai hasil sesuai dengan standar komponen maka diperlukan suatu system yang terdiri dari input, proses dan output. Dalam sebuah system pendidikan yang menjadi input adalah siswa sedangkan outputnya adalah hasil didik yang kompeten. Untuk mendapatkan hasil didik yang competen maka diperlukan suatu proses pendidikan. Agar proses pendidikan dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan maka harus memenuhi standar komponen pendidikan tersebut di atas. 4.Lembaga Pendidikan Polri sebagai Centre of Excellence

Sistem pendidikan Polri yang ada harus mampu menciptakan personel Polri atau sumber daya manusia yang memiliki kemampuan yang unggul, mempunyai kebribadian yang baik dan semangat yang tinggi. Untuk dapat mewujudkan personil Polri yang berkualitas tersebut maka harus dibuat terobosan-terobosan baru dalam dunia kependidikan Polri. Salah satunya yaitu menjadikan Lembaga Pendidikan Polri sebagai centre off excellence (pusat keunggulan). Dengan menjadi pusat keunggulan diharapkan Lemdikpol akan dapat menjadi motor penggerak dalam upaya peningkatan kinerja Polri untuk menjadi organisasi yang unggul melalui sumber daya manusianya yang berkualitas. Menurut Bambang Hendarso Danuri seperti yang dikutip dari buku Profil SPN Jambi Menuju Terwujudnya Lembaga Pendidkan Polri sebagai Centre off Excellence:Seluruh lembaga pendidikan Polri juga harus dibenahi, kemudian merencanakan perubahan sesuai prioritas, disesuaikan dengan dinamika perubahan dan kepentingan pelaksanaan tugas. Perlu dipahami bahwa perubahan kultur sesungguhnya berawal dari lembaga pendidikan. Untuk itu, jadikan Lembaga Pendidikan Polri sebagai Centre off Excellence (Pusat Keuangggulan) dalam membentuk anggota Polri yang humanis, berbudaya dan cerdas. (Profil SPN Jambi, 2010, 62)

Dengan demikian lembaga pendidikan sebagai pusat keunggulan berusaha mengupayakan untuk mampu merubah dirinya menjadi suatu pusat keunggulan. Bentuk perwujudan dari pusat keunggulan tersebut bahwa Lemdikpol:a. Harus mampu mencetak personel Polri yang unggul yaitu yang mempunyai kompetensi yang sangat tinggi terhadap pelaksanaan tugasnya.b. Harus mampu menjadi pusat rujukan atau acuan dari berbagai permasalahan yang ada dalam organsisasi yang artinya bahwa Lemdikpol harus mampu menyediakan buku-buku ataupun referensi-referensi yang dapat dijadikan pegangan atau acuan dalam menjalankan organisasi serta mampu mengadakan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan bidangnya agar terus mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang ada dalam masyarakat.c. Harus memiliki standar kinerja yang tinggi dengan mempunyai proses kerja yang unggul misalnya dengan menyususn piranti lunak yang baku dan harus dipatuhi oleh setiap anggota yang berada di dalamnya sebaga standar acuan dalam bekerja. Selain itu juga dengan menggalang kerja sama kelompok yang baik baik juga kerja sama dengan instansi lain yang terkait dengan pengembangan pendidikan Polri. Yang tak kalah pentingnya yaitu dalam setiap pelaksanaan kegiatannya lembaga pendidikan harus mempunyai proses perencanaan, evaluasi dan kontrol yang komprenhensif.d.Harus diawaki oleh personel-personel yang berkualitas. Untuk mewujudkan hal tersebut maka harus dikembangkan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan agar dapat mencapai standar keunggulan di bidangnya. Hal ini dapat dilakukan salah satunya dengan system pembinaan karir yang disesuaikan dengan kualitas atau potensi dari sumber daya manusianya serta dengan memberikan system imbalan yang sesuai. Imbalan di sini tidak mutlak harus berbentuk uang/gaji tetapi dapat diartikan sebagai pemberian kesempatan untuk menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tingi maupun kesempatan untuk mengikuti pelatihan-pelatihan agar lebih meningkatkan lagi kemampuannya.e. Harus memiliki budaya organisasi yang unggul dalam arti tidak banyak muncul keresahan, konflik ataupun hal-hal yang menyebabkan personilnya merasa tidak nyaman dalam bekerja sehingga akan tercipta kondisi yang sehat dan nyaman, dengan demikian setiap personil yang berada di dalamnya akan dapat berfikir secara jernih, tidak memihak, obyektif dalam menilai sesuatu dalam pekerjaannya dan selalu berupaya untuk terus melakukan perbaikan-perbaikan menuju ke arah yang lebih untuk organisasi Polri.Program Grand Strategi Polri 2005-2025 yang menitikberatkan pada akselerasi transformasi Polri melalui program reformasi birokrasi terus dilaksanakan dengan tahapan-tahapan yang sudah tersusun yaitu tahap I 2005-2019, Tahap II 2010-2014 dan Tahap III 2015-2025. Sejalan dengan program tersebut, untuk mewujudkan Lemdikpol sebagai centre off excellence juga mengikuti tahapan-tahapan grand strategi yang mencakup:a. Tahap I 2005-2009 (sudah dilaksanakan) Dalam tahapan ini berbagai upaya telah dilaksanakan untuk menuju terwujudnya centre off excellence yaitu:1) Dengan mengadakan perubahan paradigma yang mengedepankan aspek instrument, structural dan cultural. Dalam melakukan perubahan cultural diperlukan upaya yang cukup keras karena merubah kultur adlah merubah sikap, mental, kepribadian dan perilaku naggota POlri yang sudah melekat dan mendarah aging sejak lama. Peran lembaga pendidikan dalam melakukan perubahan cultural paling tidak akan sangat menentukan. Hal ini karena berkaitan dengan para calon anggota Polri yang berasal dari masyarakat umum yang memiliki berbagai macam karakteristik kepribadian yang berbeda-beda akan dididik menjadi anggota Polri yang pada akhirnya diharapkan memiliki mental spititual, mental idiologi, dan watak pribadi yang senantiasa dilandasi dengan filisofi pendidikan Polri (Mahir, Terpuji dan Patuh Hukum) sehingga akan tercipta personel Polri yang siap untuk mejalankan tugas sebagai pelayan masyarakat secara professional dan humanis. 2) Dengan melakukan peningkatan kualitas tenaga pendidik. Langkah nyata yang telah ditempuh oleh Lemdikpol dalam upaya ini yaitu dengan menyelenggarakan kerjasama dengan IOM yang dibantu oleh tenaga pengajar dari Universitas Negeri Jakarta untuk membentuk master trainer yang selanjutnya ditransformasikan ke pusdik-pusdik dan sekolah-sekolah di lingkungan Polri. Beberapa master trainer yang sudah terbentuk di beberapa pusdik dan sekolah tersebut kemudian melatih tenaga-tenaga pendidik yang belum mendapatkan bekal pengetahuan dan keterampilan tentang materi peningkatan kemampuan tenaga pendidik sehingga diharapkan seluruh tenaga pendidik yang ada di lemabaga pendidikan Polri akan mempunyai kualitas tenaga pendidik yang baik.3) Lemdikpol telah berusaha meningkatkan perbaikan kualitas kurikulum dan bahan ajar dengan mengeluarkan beberapa peraturan Kepala Lemdikpol dan bekerja sama dengan staf ahli kapolri bidang pendidikan serta Universitas Negeri Jakarta dalam rangka menyelaraskan system kurikulum dan hanjar yang sesuai dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) untuk tingkat pendidikan pembentukan, dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk pendidikan pengembangan spesialisasi dan pendidikan pengembangan umum.4) Dengan melakukan perbaikan system dan metode. Perbaikan system dan metode yang dilaksanakan oleh Lemdikpol yaitu dengan dengan terus menyusun dan melakukan perubahan-perubahan terhadap piranti lunak pendidikan yang merupakan pedoman dan panduan dalam mendukung operasional pendidikan sehingga diharapkan akan dapat menghindari/mengurangi resiko kegagalan dalam proses pendidikan karena piranti lunak yang ada telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang terus berubah mengikuti perkembangan pendidikan.5) Dengan melakukan perbaikan komponen pendidikan. Perbaikan komponen pendidikan terus dilakukan antara lian dengan menyusun kurikulum dan bahan ajar yang disesuaikan dengan kondisi yang terus berubah sehingga materi yang ada dalam bahan ajar selalu up to date. Dengan demikian peserta didik kita akan terus dapat mengikuti perkembangan kondisi social yang ada terutama yang berkaitan dengan isu-isu kepolisian yang terkini.6) Penggunaan teknologi dan informasi. Dengan penataan system teknologi dan informasi yang baik maka akan dapat terselenggara system yang terpadu antara lembaga pendidikan yang berfungsi sebagai pengawas dan pengendali dengan lembaga pendidikan yang berada di wilayah (Pusdik, SPN, Sekolah Kepolisisn lainnya). Tentu saja hal ini harus diimbangi dengan tersedianya sumber daya manusia yang dapat mendukung pengoperasionalan system teknologi dan informasi dimaksud.

b. Tahap II (2010-2014)Dalam tahapan ini upaya Lemdikpol untuk dapat mewujudkan sebagai pusat keunggulan yaitu dengan melakukan beberapa perbaikan antara lain:- Pengendalian mutu pendidikan. Pengendalian mutu pendidikan tidak terlepas dari 10 (sepuluh) komponen pendidikan. Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan dapat dilakukan dengan menggunakan system Total Quality manajemen yaitu suatu pendekatan pengelolaan peningkatan mutu secara menyeluruh dengna menggunakan dan memanfaatkan sumber daya manusia yang yang eksis dalam bidang pendidikan.- Perbaikan sarana dan prasarana kerja. Penyediaan sarana dan prasarana dalam memenuhi keperluan dan kebutuhan penyelenggaraan pendidikan Polri harus disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi peserta didik dan pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana juga harus dilakukan secara selektif disesuaikan dengan rancangan pembelajaran, rencana pemanfaatan, pengoperasian dan pemeliharaannya.- Perbaikan kompetensi gadik dan gadikan. Untuk mmperbaiki kompetensi tenaga pendidik perlu dukungan data dan informasi tentang ketersediaan sumber daya tenaga pendidik dan kualifikasi serta kompetensi tenaga pendidik. Hal ini sangat berkaitan karena dengan data dan insformasi yang tepat dan akurat dapat dijadikan sumber dalam menentukan program yangbertujuan untuk meningkatkan kompetensi gadik. Selain dituntut untuk memeliki kompetensi yang tinggi tenaga pendidik juga harus mempunyai kemampuan dan keterampilan dalam bidang bimbingan dan konseling karena tenaga pendidik akan berhadapan langsung dengan peserta didik yang mempunyai latar belakang yang berbeda. Paling tidak jika menghadapi permasalahan yang dialami oleh peserta didik yang dapat mengganggu proses belajar maka tenaga pendidik dapat melakukan langkah awal dengan memberika bimbingan dan arahan-arahan. Perbaikan kompetensi tenaga kependidikan juga perlu dilakukan karena tenaga kependidikan juga turut membantu dalam proses jalannya pengajaran dalam suatu lembaga pendidikan karena tenaga kependidikan juga dituntut untuk dapat memberikan pelayanan dan kemudahan bagi peserta didik serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi semua peserta didik.

c).Tahap terakhir dalam Grand Strategi Polri yaitu dimulai tahun 2015-2025. Dalam tahap ini upaya Lemdikpol untuk menuju lembaga pendidikan sebagai centre off excellence yaitu dengan melakukan pengembangan-pengembangan antara lain:- Pengembangan kepemimpinan- Strategic planning (Rencana Induk Pengembangan)- Pemahaman kebutuhan peserta didik, Stakeholders dan masyarakat. Dalam hal ini Lemdikpol ingin menciptakan hasil didik yang siap pakai yang mempunyai kompetensi yang dapat menjawab tantangan tugas organisasi dan masyarakat.- Proses manajemen.- Hasil Lembaga pendidikan Polri sebagai bagian integral dari organisasi Polri, mempunyai peran dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia Polri. Hasil pemberdayaan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan serta proses manajemen akan mendukung dalam menghasilkan semua komponen pendidikan yang berkaulitas bagi organisasi dan masyarakat. Dengan upaya-upaya yang telah, sedang dan akan dilakukan tersebut diharapkan lembaga pendidikan akan dapat mewujudkan salah satu apa yang menjadi tujuan perubahan terutama dari aspek cultural yaitu merubah mindset anggota Polri yang dididik dalam lingkungan lembaga pendidikan Polri.

5.PenutupKebutuhan dan keberadaan Poisi di tengah masyarakat merupakan kebutuhan yang mutlak dan harus ada. Polri sebagai institusi yang memiliki tugas untuk menjaga keamanan masyarakat memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Kondisi masyarakat yang sangat kompleks dan beragam menjadi peluang munculnya berbagai macam persoalan masyarakat. Untuk dapat menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat polisi tidak serta merta bertindak tanpa dilandasi oleh kemampuan yang baik dan mendukung. Menurut Bayley 1994 dalam tulisan Chrysnanda: Untuk mewujudkan rasa aman mustahil dapat dilakukan dengan cara-cara pemolisian yang konvensional-yang dilibat oleh birokrasi yang rumit, mustahil terwujud melalui perintah-perintah yang terpusat tanpa memperhatikan kondisi setempat yang sangat berbeda dari tempat yang satu dengan tempat yang lain. Dengan kondisi yang demikian maka Polri untuk dapat bekerja secara professional harus mempunyai kemampuan yang handal dalam memecahkan setiap persoalan yang ada. Di tengah kondisi rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri maka Polri harus berusaha keras mencari strategi agar kepercayaan masyarakat terhadap Polri semakin meningkat lagi salah satunya yaitu dengan meningkatkan kemampuan anggota Polri agar lebih professional dan humanis. Peningkatan kemampuan anggota Polri salah satunya dilakukan melalui pendidikan di lembaga kepolisian. Untuk dapat mencetak personel-personel Polri yang berkualitas maka di perlukan adanya sutu lembaga pendidikan yang unggul oleh karena itu dalam menyelaraskan reformasi Polri melalui program Grand Strategy polri Lembaga Pendidikan Polri berusaha untuk mewujudkan suatu lembaga pendidikan sebagai pusat keunggulan (centre off excellence). Melalui pusat unggulan ini diharapkan akan dapat mencetak sumber daya-sumber daya manusia Polri yang unggul, berkualitas dan mempunyai kompetensi tinggi dalam menjalankan tugasnya bagi organisasi dan masyarakat. Dalam rangka mewujudkan centre of excellence tersebut lembaga pendidikan harus segera berbenah dengan kondisi yang ada sekarang ini. Bukan hanya perbaikan pada kompetensi tenaga pendidik saja yang perlu diperhatikan namun dari berbagai aspek komponen pendidikan yang sesuai dengan Peraturan Kapolri No 20 Tahun 2007 merupakan indicator ketercapaian tujuan pendidikan yang ada pada lembaga pendidikan. Perubahan untuk menuju lembaga pendidikan sebagai pusat keunggulan tersebut dilakukan baik dari intern (lemdikpol) maupun perubahan dari luar atau extern. Perubahan dari ekternal ini dapat melalui badan-badan pemerintahan yang turut membantu terciptnya perubahan dari lembaga pendidikan yang di dalamnya terdapat Departemen Pendidikan Nasional dan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Selain itu lembaga pendidikan juga diharapkan mampu menjadi acuan bagi setiap adanya persoalan-persoalan karena lembaga pendidikan merupakan pusat pengetahuan dengan segala komponen pendukungnya baik mengenai tenaga pendidiknya, tenaga kependidikan, sumber informasi tentang pendidikan, maupun tekhnologi dan informasi pendidikannya. Segala hal ihwal yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas operasional di kewilayahan dan permasalahan di kewilayahan mampu dikaji oleh lembaga pendidikan Polri. Hal ini lah yang mewujudkan lembaga pendidikan Polri sebagai centre of excellence.

Jakarta, 6 Desember 2010

TRI SURYANTIDAFTAR PUSTAKA

Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Peraturan Kapolri Nomor 20 tahun 2007 tentang Standar Komponen Pendidikan untuk Pendidikan Pembentukan dan Pendidikan Pengembangan di lingkungan Lembga Pendidikan dan Pelatihan Polri.

Peraturan Kapolri Nomor 21 tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Satuan Organisasi Pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia.Bachtiar, Harsja.W. 1994. Ilmu Kepolisian Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan yang Baru. (Jakarta: Grasindo).Suparlan, Parsudi, Chrysnanda DL, peny. Tt. Prof. Mardjono Reksodiputro SH, MA Pakar, Guru, Kolega dan Sahabat. (Jakarta:YPKIK).Lembaga Manajemen UI bekerjasama dengan kantor Deputi SDP Kapolri dan Partnership for Governance Reform in Indonesia. tt. Reformasi Berkelanjutan Institusi Kepolisian Republik Indonesia Bidang Sober Daya Manusia. (Jakarta).Sunarno, Edy. 2010. Berkualitas, Profesional, Proporsional: Membangun SDM Polri Masa Depan. (Jakarta: Pensil-324).Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri. 2009. Blue Print lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri 2005-2025. (Jakarta: Lemdiklat Polri).SPN Jambi. 2010. Profil SPN Jambi Jago Negeri Bangun Jayo Menuju Terwujudnya Lemdik Polri sebagai Centre of Excellence. (Jambi: SPN Jambi).Gunawan, Budi. 2006. Menciptakan Selapa Polri sebagai Centre of Excellence. Kualita (Vol. 1, No. 1, Desember, hlm 1--10)file:///C:/Documents%20and%20Settings/User/My%20Documents/Taksonomi_Bloom.htm diakses pada tanggal 29 Nopember 2010.

http://momkanya.blogspot.com/2011/02/mewujudkan-lembaga-pendidikan-polri.html

Polri dan PembangunanKemitraanJanuary 20, 2010 in Hankam Tahun 2010 ini merupakan tahun terakhir bagi Polri dalam menjalani Tahap Pertama dalam strategi besar (Grand Strategi) Polri 2005-2025. Tahap pertama ini merupakan upaya Polri dalam membangun kepecayaan (Trust Building) masyarakat sebagai upaya untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat dalam menjalani tugas dan fungsinya secara professional. Tahun ini juga harus dimaknai sebagai evaluasi ke internal Polri bila melihat dinamika opini masyarakat kepada Polri. Sekedar contoh misalnya tahun 2009 lalu adalah tahun terberat bagi Polri, selain menuai keberhasilan dalam berbagai bidang, khususnya pemberantasan terorisme dengan menembak mati gembong teroris paling dicari Noordin M. Top. Polri juga dihadapkan pada dilemma pemberantasan korupsi dan permainan politik tingkat tinggi; kasus pembunuhan Nazrudin Zulkarnaen yang melibatkan Ketua KPK non aktif, Antasari Azhar, konflik dengan KPK serta penyelesaian kasus Bank Century, yang diduga melibatkan lingkaran dekat Istana. Kondisi tersebut setidaknya menjadi cermin bahwa secara umum pembangunan kepercayaan masyarakat selama lima tahun berjalan belum berjalan efektif. Hal ini akan mengganggu pada penahapan berikutnya dalam Strategi Besar, dimana pada tahap kedua; Pembangunan kemitraan (Partnership Building) menjadi agenda berikutnya.Namun demikian, patut diapresiasi oleh publik proses yang dijalani oleh Polri untuk bersiap menjalani tahapan berikut dari strategi besarnya. Meski beberapa program bukan sesuatu yang baru, yakni: Pertama, mengijinkan anggota Polri menjadi ketua RT/RW di lingkungan rumahnya, bandingkan misalnya dengan TNI yang membolehkan anggotanya menjabat berbagai posisi dari mulai tingkat RT hingga tingkat kenegaraan sejak tahun 1966 dengan metode Dwi Fungsi TNI-nya. Kedua, pelayanan kepolisian yang makin dekat dengan masyarakat seperti Layanan SIM Corner, SIM keliling, serta berbagai pendekatan yang memungkinkan pelayanan kepolisian makin efektif. Di samping itu, keberadaan pos-pos kepolisian juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari upaya makin mendekatkan pelayanan kepolisian kepada masyarakat. Ketiga, memperefektif hukuman dan penghargaan kepada anggota. Sekedar catatan, di wilayah Jawa Barat saja pada tahun 2009, ada puluhan anggota Polri yang dipecat dengan tidak hormat karena terlibat berbagai kasus criminal dan asusila, dan ratusan anggota Polri yang mendapatkan hukuman indisipliner. Langkah tersebut salah satunya bagian dari upaya untuk membangun sosok anggota Polri yang humanis dan mengayomi. Keempat, melikuidasi Kepolisian Wilayah (Polwil) yang efektif berjalan pada tahun 2010 ini. Secara bertahap beban Kesatuan Operasional Dasar (KOD) akan sepenuhnya berada di Kepolisian Resort (Polres). Penghapusan Polwil ini juga sejalan dengan kebijakan Mabes Polri untuk memperkuat basis kepolisian yang sejalan dengan administrative pemerintahan. Namun ada sedikit catatan dari kebijakan ini, selain secara administrative juga mengundang permasalahan, juga berbagai kemungkinan ekses negative yang mengikutinya. Sekedar ilustrasi di Polda Jawa Barat ada lima Polwil, bila ada kurang lebih 500 sampai 750 personil Polri, dan puluhan hingga ratusan PNS di tiap Polwil, maka proses mutasi dan perpindahannya sedikit banyak akan menginterupsi proses penyebaran dan mutasi anggota di Polda sebagai Satuan Induk Penuh (SIP), maupun Polres sebagai KOD. Ekses ini harus menjadi bagian yang harus dipikirkan secara serius oleh Mabes Polri, karena akan mengganggu berbagai program Polri secara keseluruhan apabila tidak berjalan sesuai dengan rencana. Sebab bukan tak mungkin penghapusan Polwil ini juga akan menjadi masalah internal yang menghadang program-program Polri ke depan.Kemitraan dan Opini yang Belum BerubahTerlepas masih adanya berbagai masalah terkait dengan kinerja Polri serta masih buruknya pencitraan Polri, terutama setahun terakhir, namun upaya membangun kemitraan harus tetap menjadi agenda Polri secara serius. Pengkondisian awal di tahun 2010 setidaknya akan memberikan landasan yang kokoh bagi pijakan untuk program tahap kedua; Pembangunan Kemitraan. Setidaknya ada tiga agenda penting yang harus menjadi perhatian Polri terkait dengan Pembangunan Kemitraan ini. Pertama, Polri harus secara bertahap memperbaiki kehumasannya, di semua level, dari polsek hingga Mabes Polri. Harus diakui bahwa kegagalan Polri menjaga agar citranya berada di level baik adalah karena kinerja kehumasannya yang tidak mampu membangun pencitraan yang bersifat pembuktian. Justru yang terjadi malah membangun opini balik yang akhirnya memosisikan Polri pada situasi sekarang; pencitraan Polri yang belum baik di mata masyarakat. salah satu kasus yang membuat Polri jadi sasaran empuk kemarahan masyarakat adalah dimunculkannya istilah Cicak versus Buaya, dalam kasus Polri dengan KPK beberapa waktu lalu.Kedua, mengintensifkan program Perpolisian Masyarakat (Polmas). Terlepas bahwa secara kebijakan program Polmas berjalan dengan baik, namun implementasi di lapangan berjalan lamban. Para kepala KOD maupun level ujung tombak di Polsek lebih mendahulukan penyelesaian kasus-kasus dari pada mengimplementasikan program Polmas, karena lebih terukur dan jelas,dari pada program Polmas yang mungkin baru dirasakan beberapa tahun kemudian efeknya. Sehingga tak heran upaya membangun kemitraan lebih menggunakan pendekatan hukum dari pada pendekatan sosiologis masyarakat.Ketiga, mengimplementasikan kebijakan Local Boy for Local Job secara massif, tidak terbatas hanya pada level pertama dan bintara saja, melainkan juga pada jabatan untuk perwira menengah dan tinggi setingkat Kepala Biro ataupun Kapolres/ta dan Polda. Hal ini untuk segera mengintensifkan pendekatan kemasyarakat secara massif pula. Sebab dalam banyak kasus pendekatan yang dibangun selalu dalam mekanisme formal, yang implementasinya tidak berjalan simultan. Dengan tiga agenda penting tersebut di atas, upaya Polri membangun landasan yang kokoh bagi pembangunan kemitraan akan memberikan efek positif. Setidaknya diawali dengan terbangunnya pencitraan Polri yang baik di mata masyarakat. Tanpa hal tersebut, hampir dipastikan Polri akan menghadapi permasalah yang sama, dan terjebak dalam kubang pencitraan yang negative, semoga tidak..

http://muradi.wordpress.com/2010/01/20/polri-dan-pembangunan-kemitraan/

Paradigma Baru Menuju Masa Depan Yang HumanisPosted on March 24, 2011Oleh: ERI DASRUL, SH nosis: 1107211004Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 tahun 2002 telah dengan gamblang menyebutkan peran polri sebagai pemelihara Kamtibmas, penegak hukum, serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Tuntutan mendasarnya adalah setiap kiprah dan tindakan anggota polri haruslah dijiwai semangat dan sifat kepribadian seorang pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.Etika seorang polisi profesional memang sudah saatnya lebih ditegaskan dan digagas secara lebih mendalam, sejalan pergeseran paradigma baru tugas pengabdiannya. Pergeseran paradigma pengabdian yang dimaksud adalah pergeseran dari polri sebagai alat penguasa ke pengabdi kepentingan masyarakat. Pergeseran dari polri sebagai alat penguasa dengan otoritas TUMPAS ke sosok pribadi yang mengemban kepercayaan untuk melindungi dan melayani masyarakat dengan pendekatan moral dan akal budi.Gagasan penting dari Roy R. Roberg dalam bukunya The Changing Police Rolle, New Dimensions and New Issues (California, 1976) dan Das K. Dilip dalam bukunya Police Practices An International Review (London, 1994) adalah perlu dikedepankannya perubahan style (gaya) dalam bertugas. Perubahan penampilan sikap yang kaku ke arah penampilan yang luwes dan fleksibel, perubahan dari perilaku berlagak sangar dan sok penguasa di jalan raya, ke perilaku ramah, murah senyum dan siap sedia melayani.Program pendidikan dan pelatihan memang perlu mendapat perhatian utama, khususnya dalam membentuk mental dan watak Polri sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Lantas tidaklah berlebihan jika masyarakat juga menuntut perlu diagendakannya pendidikan yang berwawasan humaniora dan sosial bagi taruna Akpol seperti filsafat etika, sosiologi, psikologi, dsb dalam agenda pendidikan tersebut. Dengan demikian akan terbentuklah generasi muda Polri yang tidak hanya profesional, tetapi juga sungguh mengetahui tuntutan masyarakat, bermoral dan humanis.Profesionalisme tentu saja erat berkaitan dengan mutu, kualitas dan tidak tanduk si pemegang profesi (polisi). Tidak hanya terampil memainkan pistol dan pentung, tetapi juga terampil bergaul secara harmonis dengan masyarakat. Dengan mengetahui tuntutan masyarakat, dimaksudkan seorang polisi hendaknya memiliki sifat realistis dan kritis sehingga mampu mengetahui dengan sesungguhnya kondisi masyarakat dan tuntutannya. Bermoral berarti mengetahui yang baik dan benar sesuai kacamata hukum, akal budi dan terang hati nurani. Dan sosok polisi yang humanis berarti ia mampu memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik dengan masyarakat berdasarkan asas-asas peri kemanusiaan; pengabdi kepentingan sesama umat manusia.Di sisi lain, tuntutan polisi sipil yang profesional tentu saja perlu diimbangi peran aktif masyarakat dalam mewujudkan tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang aman dan damai. Masyarakat sebagai mitra sejati Polri hendaknya juga berperan aktif menjunjung tinggi Undang- Undang yang berlaku. Di Era reformasi ini, masyarakat dituntut juga untuk bersikap kooperatif dan sadar hukum. Diberlakukannya Undang-Undang tertentu pada dasarnya telah dipertimbangkan dengan seksama dan secara essensial karena memiliki tujuan yang baik. Hanya di lapangan memang ada oknum yang kabur hukum. Hukum diciptakan untuk masyarakat, bukan masyarakat untuk hukum karena masyarakat bukan budak hukum.Diberlakukannya peraturan lalu lintas, tentu saja karena secara essensial peraturan tersebut memiliki tujuan baik untuk setiap pengemudi dan pengendara. Kewajiban mengenakan helm ketika sedang mengendarai sepeda motor tentu saja tidak dimaksudkan untuk gaya-gaya saja, melainkan erat kaitannya dengan kenyamanan dan keselamatan si pengendara manakala terjadi kecelakaan. Kaca spion, lampung reting, lampu depan dan lampu belakang tidak dimaksudkan untuk aksesoris, tetapi erat berkaitan pula dengan kenyamanan dan keselamatan dalam berlalu lintas.Anehnya, sudah ada aturan yang demikian, ada sebagian kecil anggota masyarakat yang malahan tidak berlomba-lomba untuk melengkapi diri, tetapi berpura-pura buta aturan. Sudah tahu resiko tidak melengkapi diri akan ditilang, setelah kena tilang mengeluh. Siapa yang salah? Khan salah sendiri. Kenapa kita tidak berlomba-lomba melengkapi diri dalam berlalu lintas sehingga pak polisi tidak punya alasan untuk menilang kita? Tentu saja ini hal ini perlu dibedakan dengan oknum polisi yang mencari-cari alasan untuk menilang. Dengan kata lain sebenarnya kesadaran sebagian kecil masyarakat terhadap hukum juga masih lemah.Trauma dan ketidakpercayaan masyarakat akan akan sosok polisi karena pengalaman gelap dan suram masa lalu tentu saja bisa disembuhkan dan dipupuk dengan cara membuka diri terhadap nilai-nilai gelombang reformasi dan realita bahwa polri juga mulai berbenah diri. Reformasi diri untuk berkesadaran hukum menjadi penting seiring tuntutan-tuntutan kita akan reformasi etika profesi polri.Masyarakat dan polri sudah tidak saatnya lagi diletakkan pada kutub yang berlawanan. Masyarakat adalah mitra kerja Polri. Membangun etika profesi polisi (polri) dan reformasi diri (masyarakat) untuk sadar hukum adalah elemen dasar yang mendesak perlu segera diwujudkanTelah diamanatkan dalam undang-undang No. 02. Tahun 2002 tentang Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa tugas pokok Polri adalah melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat.Mengacu pada tugas pokok Polri tersebut dapat digambarkan bahwa tugas yang diembannya adalah mulia. Dari sinilah dapat dilihat bahwa kemulyaan sebagai polisi yang bisa melindungi, mengayomi dan menjadi pelayan masyarakat, karena masyarakat merupakan centrum pengabdian Polri. Paradigma lama Polri sebagai sosok Polisi yang berkuasa, arogan merupakan wujud kultur Polisi di Era saat itu.Saat ini Polri sedang berbenahdiri untuk mencari jati diri Polri berusaha membangun kepercayaan dari masyarakat (trust building), Bagaimana untuk bisa menjadi Insan Polri yang santun, tegas, humanis dan dicintai masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut tidaklah mudah, seperti kita membalikkan telapak tangan. Untuk itu perlu adanya dorongan atau motivasi untuk merubah perilaku-perilaku Polisi yang dulunya sebagai polisi yang berkuasa, arogansi, dilayani untuk menjadi polisi sipil sosok polisi yang santun, tegas dalam bertindak, humanis dan dicintai masyarakat. Selanjutnya pandangan smengenai istilah tersebut sebagai berikut :Polisi yang santun adalah Polisi yang lebih menonjolkan kepada perilaku (skill) dari individu yang berimbang dengan sikap dan pengetahuan. Dengan perilaku yang santun terhadap masyarakat maka dengan sendirinya akan timbul empaty terhadap polisi. Polisi yang tegas adalah polisi dalam melakukan tindakan dilapangan harus proposional, profesional dan tegas serta terukur.Polisi yang humanis adalah polisi dalam tingkah laku serta pergaulannya lebih menunjukkan kepada mudah bergaul dan membaur dengan masyarakat untuk bisa menjadi pioneer ditengah-tengah masyarakat, tauladan, dengan demikian masyarakat akan timbul rasa simpati kepada Polisi. Polisi yang lebih menekankan kebermaknaan baik untuk pribadi maupun lingkungan sekitar.Polisi yang dicintai masyarakat adalah polisi yang menunjukan kesantunannya, kehumanisannya, perilakunya dan kemampuannya dalam wewujudkan sebagai Polisi Pelindung, Pengayom dan Pelayan Masyarakat.

Bangsa ini sangat mengharapkan kehadiran Polri yang bisa menjadi penyejuk hati masyarakat, mengharapkan dambaan rasa aman dan nyaman, yaitu aman dari gangguan kamtibmas dan nyaman dalam lingkungan tempat tinggalnya. Keamanan, ketertiban dan kenyamanan akan dapat terwujud apabila Polri sebagai penegak kamtibmas di Republik ini dapat menjabarkan gatranya dalam kehidupan sehari-hari yaitu polisi sebagai Pelindung, Pengayom dan Pelayan Masyarakat.Menjadi Insan Polri yang satun, tegas dalam bertindak, humanis dalam kehidupan masyarakat yang pada akhirnya dapat menjadi figur ditengah masyarakat tidaklah mudah. Kenapa ? Mari kita lihat beberapa pertanyaan yang harus dijawab dan untuk bisa diwujudkan menjadi Impian Polri masa depan.

Apakah perilaku dan penampilan Polri sudah sesuai dengan harapan masyarakat.Apakah kesejahteraan Polri saat ini sudah mantap.Apakah profesionalime Polri sudah sesuai dengan harapan masyarakat.Apakah reward dan punishment sudah dijalankan sesuai dengan aturan.Bagaimana halnya dengan recruitment Polri saat ini. Ini juga merupakan tantangan dan permasalahan tersendiri !

Inilah sebuah tantangan untuk segera direspon dan diwujudkan kesemuanya itu.

http://police2020.wordpress.com/2011/03/24/paradigma-baru-polri-masa-depan/


Top Related