Transcript
Page 1: Petisi Online sebagai Alat Advokasi Kebijakan: Studi Kasus

57

Petisi Online sebagai Alat Advokasi Kebijakan:Studi Kasus Change.Org Indonesia Periode 2015-2016

VolumeVINomor 1

April 2017ISSN 2301-9816

JURNALKomUNIKASIINdoNeSIA

Rahma Simamora

Abstrak/Abstract

Kata kunci/Keywords:

Penelitian ini menganalisis petisi online Change.org Indonesia sebagai alat advokasi kebijakan periode tahun 2015-2016 dengan menggunakan konsep sifat, bentuk, fungsi, aktivitas atau taktik penyampaian pesan, dan juga konsep evaluatif. Analisis petisi on-line mengacu pada aktivitas atau kegiatan advokasi kebijakan lain yang dilakukan secara online maupun offline. Aktivitas advokasi kebijakan juga mencakup upaya dalam meningkatkan kesadaran. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan menga-nalisis petisi online yang dipilih berdasarkan sembilan kategori. data pendukung diperoleh melalui wawancara. dalam penelitian ini diketahui petisi online yang didukung dengan beragam aktivitas advokasi kebijakan, misalnya advokasi media, kampanye secara online dan aksi offline, pengorganisasian, event dan lobi akan dikategorikan sebagai intermediate dimana petisi berhasil menarik perhatian target petisi atau pembuat kebijakan. Petisi online dan aktivitas advokasi kebijakan tersebut akan menghasilkan liputan, membangun dukungan publik, menambah kesadaran publik, berpotensi menghasilkan dukungan dari pembuat kebijakan. Selain itu petisi online akan mencapai kategori ultimate jika petisi berhasil dalam mempengaruhi perubahan kebijakan juga disertai pener-imaan positif dari pembuat kebijakan. Pencapaian tujuan ultimate ini dipengaruhi oleh kemampuan para penggerak petisi melaku-kan beragam aktivitas advokasi kebijakan lain guna menekan dan mendesak pembuat kebijakan dalam mengeskalasi petisi online.

This study analyzes the online petition Change.org Indonesia as a tool of policy advocacy in 2015-2016 period using the concept of nature, form, function, activity or tactic of message delivery as well as the evaluative concept. The online petition analysis in this study refers to other policy advocacy activities conducted online and offline to support online petitions. Policy advocacy activities include efforts to raise awareness through media (media advocacy), campaign, organization (building coalitions), lobbying and events. This research uses a case study method by analyzing selected online petitions based on nine categories of issues: democ-racy, corruption, criminal justice, animal welfare, environment, human rights/disability, tolerance, consumer rights, sports, health. The study finds that online petitions that are supported by various policy advocacy activities like media advocacy, online campaign and offline actions, organization, events and lobby will be classified as intermediate, in which the petitions succeed in winning attention from the petition targets or policymakers. The online petitions and policy advocacy activities will recive media coverage, build public support, enhance people’s awareness and potentially gain support from policymakers. The online petitions will reach the ultimate target if they bring changes to policies or receive positive responses from policymakers. Such achievements depend on the capacity of petition campaigners to arrange various activities of policy advocacy in order to put pressure on policymakers to escalate the online petitions.

Advokasi kebijakan, koalisi, petisi, petisi online, Change.org Indonesia

Policy advocacy, coalition, petition, online petition, Change.org Indonesia

The Habibie Center (THC)Kemang Selatan, Cilandak, Jakarta Selatan

12560

[email protected]

PendahuluanPlatform Change.org dimanfaatkan oleh mas-yarakat sebagai petisi online untuk menyalurkan aspirasi mereka. Platform petisi online memberi-kan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam menciptakan perubahan (Hamid, 2015). Masyarakat dapat mengajukan petisi untuk suatu perubahan dengan menggalang dukungan melalui penandatanganan petisi secara virtual. Setiap tanda tangan pendukung secara otomatis

Page 2: Petisi Online sebagai Alat Advokasi Kebijakan: Studi Kasus

58

Rahma Simamora, Petisi Online sebagai Alat Advokasi Kebijakan: Studi Kasus Change.Org Indonesia Periode 2015-2016

mengirimkan email yang berisi petisi kepada tar-get yang dituju yaitu pembuat kebijakan. Melalui email yang dikirimkan secara otomatis ini, mas-yarakat menjadi lebih terhubung dengan lembaga pemerintah dan korporasi swasta sebagai pem-buat kebijakan (Lindner & Riehm, 2011).

Platform petisi online Change.org menjadi sal-uran penghubung antara masyarakat dengan pembuat kebijakan. Melalui peluang sosial dalam sebuah Platform, masyarakat dapat menyam-paikan protes dan kritik terhadap kinerja pemer-intah dan korporasi. Selain itu, masyarakat juga dapat berpartisipasi dalam urusan publik. Parti-sipasi dan keterlibatan masyarakat dalam uru-san publik ditunjukkan dengan inisiatif mereka untuk memulai dan mendukung petisi online atas isu tertentu. Keterlibatan masyarakat dalam per-masalahan publik lebih difasilitasi dengan adan-ya Platform petisi online. Platform petisi online menyederhanakan bentuk petisi tradisional, se-hingga masyarakat semakin mudah mengajukan petisi untuk menggalang dukungan tanpa perlu menghabiskan banyak tenaga, waktu, dan biaya. Platform petisi online membuat masyarakat se-makin terhubung, sehingga kepedulian mereka atas isu tertentu menjadi lebih mudah dan lebih cepat tersebar, serta dukungan atas kepedulian tersebut menjadi lebih mudah diperoleh (Hamid, 2015).

Pada dasarnya petisi online merupakan bentuk partisipasi politik yang menghubungkan mas-yarakat dengan pemerintah. Namun, bentuk par-tisipasi politik ini juga dapat dimanfaatkan un-tuk kepentingan sosial. Aktivitas Platform petisi online ini diawali oleh penyelenggara petisi yang secara deskriptif menyampaikan keresahan terh-adap masalah publik, menyebarkan petisi terse-but secara online melalui email dan media sosial sebagai ajang kampanye petisi guna menggalang dukungan, kemudian tandatangan pendukung secara otomatis akan mengirimkan email kepada target petisi yang dituju yaitu pembuat kebijakan. Pengaruh petisi online pada suatu permasalahan kebijakan menjadi solusi pada pelaksana advo-kasi kebijakan didalamnya, argumentasi serta saran publik akan tersampaikan secara langsung kepada pembuat kebijakan, guna terciptanya suatu kebijakan baru yang sesuai harapan warga negara demokrasi. Karena pada dasarnya kebija-kan publik akan dilaksanakan oleh masyarakat dan berdampak pada masyarakat pula. (Lindner & Riehm, 2011).

Petisi online menjadi media yang mampu memfasilitasi masyarakat untuk menyampaikan kepedulian mereka terhadap isu-isu sosial seperti isu demokrasi, korupsi dan keadilan pidana, kes-ejahteraan satwa, lingkungan, hak asasi manusia (HAM), toleransi, hak konsumen, olahraga juga kesehatan. Kepedulian masyarakat terhadap isu-isu sosial ini disebarkan melalui petisi online dan ditujukan untuk mencapai tindakan kebijakan tertentu atas isu sosial tersebut. Hal ini menun-

jukkan bahwa petisi online dimanfaatkan sebagai alat advokasi kebijakan. Dalam hal ini kebijakan dilihat sebagai sebuah proses tindakan pemerin-tah untuk mengatur dan mengelola sistem yang berlaku, kemudian kebijakan diartikan dengan suatu hukum yang mengatur dan mengikat mas-yarakat dalam berjalannya suatu sistem dan pen-gendalian keputusan-keputusan yang menyang-kut kepentingan masyarakat luas (Hamid, 2015).

Namun, untuk mempengaruhi atau mengubah kebijakan yang ada, maka akan ada proses-pros-es yang mendukung tercapainya kebijakan publik itu tercapai. Masyarakat semakin menyadari bah-wa partisipasi dapat mempengaruhi keseluruhan proses kebijakan. Aksi demonstrasi, keikutserta-an dalam pemilihan umum, serta penandatanga-nan petisi adalah wujud dari bentuk partisipasi masyarakat dalam bidang politik yang kemudian akan disebut sebagai bentuk partisipasi politik. Melihat konteks tersebut partisipasi politik mer-upakan keterlibatan warga negara dalam segala tahapan kebjakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputuasan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan (Abidin, 2012: 8).

Platform petisi online sebagai wujud pembaha-ruan sarana komunikasi dan informasi, member-ikan kemudahan individu dan kelompok untuk mengadakan petisi secara online. Platform ini menawarkan kepada masyarakat pada jangkau-an akses yang lebih luas dalam periode waktu yang lebih singkat. Melihat penggunaan internet dan media sosial saai ini meningkat berdasarkan data riset nasional yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) di tahun 2016, jumlah pengguna internet mencapai 132,7 juta, orang Indonesia telah terhubung ke in-ternet. Adapun total penduduk Indonesia sendiri sebanyak 256,2 juta orang (APJII, 2016).

Presentase penggunaan internet masyarakat Indonesia menepati angka yang cukup tinggi, sehingga media sosial dapat membantu me-menuhi tujuan advokasi kebijakan untuk mem-bangun jejaring. Dengan penggunaan media sosial memiliki keuntungan diantaranya untuk mem-fasilitasi komunikasi secara lanjut serta mencip-takan situasi yang kolaboratif antara Platform dengan jejaring media sosial sebagai sarana kam-panye suatu petisi oleh masyarakat. Kemudian aktivitas tersebut merupakan gerakan demokrasi digital masyarakat untuk menciptakan perubah-an pada kebijakan tertentu. Gerakan demokrasi digital dalam kehidupan masyarakat mengalami peningkatan lebih dari dua kali lipat dalam wujud partisipasi masyarakat yang beragam wilayah (Kompas.com, 21 Desember 2015).

Platform petisi online Change.org telah berkon-tribusi terhadap perubahan baik dalam skala global maupun dalam skala lokal yaitu di Indo-nesia. Sebagai petisi online, Change.org mem-berikan fasilitas kepada masyarakat dalam men-yampaikan saran, ide, gagasan dan tuntutan

Page 3: Petisi Online sebagai Alat Advokasi Kebijakan: Studi Kasus

59

Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume VI, Nomor 1, April 2017

masyarakat terhadap suatu kebijakan. Peruba-han yang terjadi menunjukkan bahwa Platform petisi online Change.org Indonesia telah berperan dalam mendukung keberhasilan advokasi kebija-kan. Sejumlah petisi telah berhasil membawa pe-rubahan dalam masyarakat (Hamid, 2015).

Tata cara kerja Change.org tidak keluar dari fungsi petisi sebelumnya, Change.org meng-gunakan jejaring media sosial sebagai sarana kampanye petisi untuk mendukung dan menan-datangani petisi karena dengan menggunakan media sosial secara tidak langsung akan memo-bilisasi massa yang memiliki tujuan yang sama. Mekanisme pengadaan dan penandatanganan petisi dilakukan dengan mendaftarkan diri pada platform secara daring (dalam jaringan) dengan menyertakan email yang valid digunakan. Pada tahap ini pendaftar akan resmi sebagai anggo-ta Change.org yang berpartisipasi dalam petisi yang akan atau sedang dilaksanakan. Anggo-ta Change.org yang tercatat website Change.org akan mendapatkan email dari Change.org ketika ada petisi yang baru diadakan untuk memberikan dukungan dan memobilisasi petisi dengan jarin-gan yang dimiliki pendukung. (Hamid, 2015)

Walau petisi online hadir sebagai platform bagi masyarakat untuk menggalang dukungan dalam membuat suatu perubahan, namun pada faktan-ya aktivitas menggalang dukungan saja tidak cukup untuk membuat suatu perubahan. Sejum-lah petisi belum dinyatakan ‘menang’ walaupun telah mendapat respon dari target petisi karena tujuan advokasi kebijakan belum terlaksana den-gan baik. Selain itu, petisi online tidak bisa berdi-ri sendiri untuk mencapai keberhasilan advokasi kebijakan. Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian ini mencoba untuk menganalisis petisi online Change.org Indonesia sebagai alat advoka-si kebijakan.

Advokasi KebijakanAlmog-­‐Bar & Schmid (2014) membatasi akti-

vitas advokasi pada upaya untuk mengubah hu-kum, kebijakan, praktik, dan perilaku dengan cara mendukung dan mempromosikan persoalan atau usulan tertentu. Aktivitas advokasi yang bertujuan untuk memengaruhi atau mengubah kebijakan disebut dengan advokasi kebijakan. Advokasi kebijakan mencakup upaya meningkat-kan kesadaran melalui media, pengorganisasian, kampanye (edukasi dan mobilisasi), lobi, riset dan analisis kebijakan, event, dan penggunaan sistem legal dan litigasi (Casey, 2011; Cohen, et.al 2010; Mayoux, 2003). Upaya meningkatkan kesadaran melalui media mengacu pada aktivitas advoka-si media. Aktivitas ini dilakukan dengan cara menulis surat kepada editor atau mengadakan konferensi pers.

Pengorganisasian mengacu pada aktivi-tas membangun hubungan atau koalisi den-gan kelompok atau komunitas yang memiliki kepedulian atas isu tertentu. Kampanye meliputi upaya edukasi dan mobilisasi yang ditujukan un-

tuk memperoleh dukungan publik, sehingga me-mengaruhi pembuat kebijakan. Lobi dilakukan melalui pertemuan secara langsung dengan pem-buat kebijakan. Riset dan analisis kebijakan bisa dilakukan dengan cara mengevaluasi efektivitas dan outcomes program yang ada (Casey, 2011). Event bisa dilakukan dengan cara mempertemu-kan berbagai stakeholder dan pembuat keputusan untuk­menyoroti­penyebab­dan­mengidentifikasi­solusi atas permasalahan, dengan tindak lanjut yang mencakup tindakan nyata dan segera (Co-hen, et.al, 2010).

Aktivitas advokasi kebijakan dilakukan untuk menghasilkan tindakan kebijakan sebagai tujuan utama. Pencapaian tujuan utama ini didukung oleh outcomes yang dihasilkan oleh aktivitas ad-vokasi kebijakan. Outcomes yang mendukung pencapaian tindakan dan implementasi kebija-kan tersebut antara lain koverasi media, kesada-ran publik, dukungan publik atau public will, dan dukungan pembuat kebijakan atau political will (Coffman, 2003; Cohen et.al, 2010). Koverasi me-dia menunjukkan pemberitaan terkait isu atau permasalahan sosial oleh media massa cetak, elektronik, dan online. Kesadaran publik menga-cu pada kemampuan publik untuk mengetahui bahwa ada isu atau permasalahan sosial dan usu-lan kebijakan atas isu tersebut. Dukungan publik atau public will merujuk pada kesediaan publik untuk bertindak dalam mendukung isu atau usulan kebijakan (Cohen et.al, 2010). Dukungan publik ini dapat dilihat dari aktivitas mereka ter-kait isu atau permasalahan. Dukungan pembuat kebijakan atau political will didefinisikan­sebagai­kesediaan pembuat kebijakan untuk bertindak dalam mendukung isu atau usulan kebijakan (Co-hen et.al, 2010).

Petisi OnlineLindner­ &­ Riehm­ (2011)­ mendefinisikan­ pe-

tisi sebagai permintaan kepada otoritas publik, biasanya institusi pemerintahan atau parlemen. Petisi memiliki tujuan antara lain untuk mengu-bah kebijakan publik atau mendorong tindakan tertentu oleh institusi publik (Lindner & Riehm, 2011). Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi menghasilkan petisi online sebagai ben-tuk baru dari petisi tradisional. Petisi online da-lam penelitian ini digolongkan sebagai e-­‐petitions (electronic petitions).

Petisi biasanya mencakup isu yang luas, mu-lai dari pengaduan individu hingga permintaan untuk mengubah kebijakan publik (Lindner & Riehm, 2011). Petisi online meningkatkan proses demokrasi, menghubungkan warga negara den-gan pemerintah, dan memfasilitasi keterlibatan warga negara (Panagiotopoulos & Al-­‐Debei, 2010). Kemampuan petisi online untuk memfasil-itasi permintaan perubahan kebijakan publik dan menghubungkan masyarakat dengan pembuat kebijakan menunjukkan bahwa petisi online bisa dimanfaatkan sebagai alat advokasi kebijakan.

Berdasarkan kategori aktivitas advokasi yang

Page 4: Petisi Online sebagai Alat Advokasi Kebijakan: Studi Kasus

60

Rahma Simamora, Petisi Online sebagai Alat Advokasi Kebijakan: Studi Kasus Change.Org Indonesia Periode 2015-2016

telah disebutkan, petisi merupakan salah satu bentuk strategi kampanye yang meliputi upaya edukasi dan mobilisasi. Edukasi publik dan mo-bilisasi cenderung mengarah pada bentuk yang menunjukkan dukungan masyarakat atas isu atau persoalan tertentu seperti petisi (Start dan Hovland, 2004). Pernyataan ini juga didukung oleh Casey (2011) yang menyebutkan bahwa men-gorganisasi atau mempromosikan petisi merupa-kan salah satu contoh aktivitas dalam kategori edukasi dan mobilisasi.

Evaluatif Petisi Online Martin & Kracher (2008: 305) menawarkan

kerangka konsep untuk mengevaluasi taktik protes melalui daring/online dengan menggu-nakan 2 (dua) konsep yaitu ultimate dan inter-mediate. Penelitian ini mengadaptasi kerangka konsep tersebut untuk mengukur dan mengeval-uasi petisi online sebagai alat advokasi kebija-kan. Adaptasi kerangka konsep tersebut dilaku-kan karena petisi online merupakan salah satu bentuk dari taktik protes daring/online dan juga karena petisi online bisa dikatakan sebagai salah satu alat dalam advokasi kebijakan yang setara dengan aktivitas protes. Penelitian ini memaknai kerangka evaluatif tersebut tidak hanya bisa di-gunakan untuk menganalisis taktik protes online terhadap bisnis, perusahaan maupun kegiatan melalui daring saja. Namun, juga bisa digunakan untuk menganalisis taktik protes online terhadap pemerintah.

Kerangka evaluatif untuk mengukur taktik protes online terdiri dari dua tingkat yaitu ulti-mate dan intermediate. Ultimate menjelaskan bahwa taktik protes online dapat disebut berha-sil jika mencapai tujuan akhir yaitu mendorong perubahan/change dalam kebijakan atau praktik, sedangkan intermediate menjelaskan bahwa wa-laupun taktik protes online tidak mengubah dan memberikan dampak, taktik protes online dapat disebut berhasil jika mencapai tujuan intermedi-ate yaitu menangkap perhatian/awareness pemi-mpin atau pembuat kebijakan (Martin & Kracher, 2008:305). Jadi ketika aktivitas protes secara on-line belum mampu menghasilkan perubahan ke-bijakan, aktivitas protes online ini tetap bisa dika-takan berhasil jika mampu menangkap perhatian pembuat keputusan atau pemimpin. Misalnya, melalui liputan media yang bisa menarik perha-tian pemimpin. Perhatian pemimpin merupakan langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan akhir dan dapat mendorong dukungan lebih lan-jut terhadap persoalan (Vegh dalam Martin & Kracher, 2008:305). Hal ini menunjukkan bah-wa tujuan intermediate juga menjadi salah satu faktor yang menentukan tujuan akhir dari taktik protes online.

Kerangka konsep evaluatif untuk mengukur taktik protes online juga dapat diaplikasikan un-tuk taktik protes offl­ine­ yang dimobilisasi oleh kelompok kepentingan warga (Martin & Kracher, 2008:305). Berdasarkan pernyataan tersebut,

maka dapat disimpulkan bahwa kerangka kon-sep tersebut tidak hanya dapat digunakan untuk menilai keberhasilan dari aktivitas secara online, namun juga dapat digunakan untuk menilai ke-berhasilan dari aktivitas secara offl­ine. Oleh kare-na itu, evaluasi petisi online yang juga mencakup aktivitas offl­ine­untuk mendukung petisi online sebagai alat advokasi kebijakan dapat dianalisis dengan menggunakan konsep ultimate dan inter-mediate.

Martin & Kracher (2008:305) menyebutkan kriteria utama untuk menentukan intermediate dan ultimate dari taktik protes online antara lain support, public impact, dan disruption. Support merujuk pada dukungan masyarakat terhadap isu. Public impact dikonseptualisasikan dengan tingkat dan jumlah orang yang memperoleh infor-masi tentang penyebab protes, juga bisa mencak-up kesadaran komunitas atau konstituen, atau mencakup perubahan sebenarnya yang dipen-garuhi oleh protes tersebut (Martin & Kracher, 2008:305-306). Public impact menunjukkan peru-bahan pada publik sebagai dampak dari aktivitas protes secara online dan offl­ine. Kriteria ketiga yaitu disruption to the business mengacu pada tingkat permasalahan dan gangguan normal da-lam aktivitas sehari-hari (Martin & Kracher, 2008:306). Tiga kriteria utama tersebut bisa digu-nakan untuk menilai intermediate dan ultimate dari aktivitas yang dilakukan secara online dan offl­ine­ untuk mendukung petisi online sebagai alat advokasi kebijakan.

Kerangka PemikiranAdvokasi­ kebijakan­ didefi­nisikan­ sebagai­ up-

aya atau aktivitas untuk mencapai tindakan ke-bijakan terkait kepentingan kolektif. Konteks advokasi kebijakan dalam penelitian ini adalah aktivitas Change.org Indonesia yang dilakukan secara online dan offl­ine­untuk memperjuangkan kepentingan publik yang dipetisikan guna mem-bantu mencapai keberhasilan atau kemenan-gan petisi online. Aktivitas ini dilakukan untuk mendukung dan menguatkan fungsi petisi online sebagai media perubahan sehingga lebih berpen-garuh. Petisi online­didefi­nisikan­sebagai­bentuk­online dari petisi yang memfasilitasi permintaan publik kepada pembuat kebijakan dengan meng-galang dukungan melalui tanda tangan secara virtual. Petisi online dapat dimanfaatkan se-bagai alat advokasi kebijakan untuk menggalang

Page 5: Petisi Online sebagai Alat Advokasi Kebijakan: Studi Kasus

61

Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume VI, Nomor 1, April 2017

dukungan publik dan memengaruhi tindakan ke-bijakan.

Change.org Indonesia menggerakkan aktivitas advokasi kebijakan lainnya untuk mendukung pe-tisi online. Aktivitas advokasi kebijakan lainnya yang digerakkan oleh Change.org Indonesia an-tara lain upaya meningkatkan kesadaran melalui media, pengorganisasian, lobi, serta event advo-kasi. Aktivitas tersebut dilakukan untuk men-guatkan fungsi petisi online sebagai alat advokasi kebijakan guna mendukung pencapaian outcomes advokasi kebijakan. Outcomes yang dihasilkan menunjukkan pengaruh dan perubahan sebagai dampak dari aktivitas advokasi kebijakan.

Outcomes berbeda dengan output. Outcomes menunjukkan proses terkait perubahan yang terjadi dalam target populasi atau komunitas se-bagai hasil dari advokasi kebijakan, sedangkan output menunjukkan upaya terkait apa dan bera-pa banyak yang dicapai, distribusi, jangkauan ad-vokasi dan output tidak bercerita banyak tentang proses (Coffman, 2002:20-21). Outcomes dalam penelitian ini mulai dari variabel kognitif hingga variabel yang menyusun konteks sosial terkait isu petisi online hingga level konatif yaitu dima-na advokasi kebijakan dilaksanakan (Coffman, 2002:21).

Penelitian ini menggunakan dua konsep untuk menilai dan menganalisis petisi online Change.org Indonesia sebagai alat advokasi kebijakan. Konsep pertama adalah ultimate dimana petisi online Change.org Indonesia dan aktivitas yang dilakukan secara online dan offline­untuk men-dukung petisi online dalam advokasi kebijakan, disebut berhasil apabila mencapai tujuan akhir yaitu mendorong tindakan kebijakan. Tindakan kebijakan bisa berupa pembuatan atau peruba-han kebijakan dan tujuan akhir dari aktivitas advokasi kebijakan juga mencakup implementasi kebijakan baik dalam praktik bisnis maupun pe-merintah.

Perubahan kebijakan tidak hanya dipengaruhi oleh aktivitas petisi online dan aktivitas advokasi kebijakan lain yang mendukung petisi online. Ada banyak faktor lain yang memengaruhi perubah-an kebijakan. Namun, penelitian ini fokus meng-kaji dan menyoroti perubahan kebijakan yang dinilai berhasil dicapai dari aktivitas petisi online dan aktivitas advokasi kebijakan lain yang men-dukung petisi online.

Konsep kedua adalah intermediate dimana wa-laupun petisi online Change.org Indonesia dan aktivitas yang dilakukan secara online dan offline­untuk mendukung petisi online dalam advokasi kebijakan, belum berhasil mencapai tujuan akh-ir, aktivitas petisi online Change.org Indonesia bisa disebut berhasil jika mencapai tujuan in-termediate yaitu menangkap perhatian pembuat kebijakan. Konsep intermediate dianalisis dengan menggunakan tiga kriteria antara lain support, public impact, dan disruption. Penelitian ini ha-nya menggunakan dua kriteria yaitu support dan public impact. Hal ini dikarenakan dua kriteria

tersebut mengacu pada outcomes advokasi kebija-kan yang mencakup kesadaran publik, dukungan publik atau public will, dan dukungan pembuat kebijakan atau political will, sedangkan kriteria disruption bukan merupakan outcomes dalam ad-vokasi kebijakan.

Kriteria support dan public impact menjadi indikator dari pencapaian tujuan intermediate yaitu menangkap perhatian pembuat kebijakan. Tujuan intermediate ini dapat dicapai melalui koverasi media yang juga merupakan outcomes dari aktivitas advokasi kebijakan. Koverasi me-dia ini bisa diperoleh melalui aktivitas advokasi kebijakan yang dilakukan secara online dan of-fline­ untuk mendukung petisi online. Indikator yang digunakan untuk menganalisis petisi online sebagai alat advokasi kebijakan diuraikan dalam Tabel. Indikator yang dipilih dinilai telah cukup mewakili konsep untuk menjelaskan petisi online sebagai alat advokasi kebijakan.

Metode PenelitianDalam penelitian petisi online sebagai alat ad-

vokasi kebijakan yang dianalisa lebih jauh yaitu mengenai proses pada petisi online. Berkaitan dengan pertanyaan penelitian yang dipilih, yai-tu berupa menjawab pertanyaan yang sifatnya eksplanasi mengenai proses petisi online sebagai alat advokasi kebijakan (Kolb, 2008: 230). Kedala-man dan detail penelitian berimplikasi pada pros-es pengambilan data dan untuk mendapat hasil perlu dilakukan wawancara mendalam. Dawson (2002:14) menyatakan bahwa penelitian kualita-tif mengeksplor sikap, perilaku dan pengalaman melalui beberapa metode wawancara.

Dalam berbagai uraian yang dijelaskan para ahli, seperti yang dijelaskan oleh Lincoln & Guba (2000), Eckstein (2002), Yin (2003a, 2009), Lin-coln & Guba (2000), Creswell (2007), dan Van Wynsberghe & Khan (2007), penelitian studi kasus dapat menggunakan teori, sehingga pene-litian ini memandang bahwa realita ada, terkait dan dikendalikan oleh hukum alam, dan terpisah dari diri manusia.Penelitian ini bersifat bebas dari campur tangan penelitinya, sehingga has-ilnya bersifat obyektif dan bebas nilai. Namun, berdasarkan karakteristiknya yang demikian, secara khusus, Van Wynsberghe & Khan (2007) menjelaskan bahwa posisi penelitian studi kasus adalah unik, tidak sekedar metode penelitian, rancangan penelitian atau metodologi.

Penelitian ini menggunakan berbagai sumber bukti untuk menceritakan fenomena kontemporer terkait petisi online Change.org Indonesia. Pene-litian ini juga memaparkan aktivitas lain secara online dan offline­yang dilakukan oleh pengelola dan pengguna petisi online Change.org Indonesia. Aktivitas tersebut merupakan taktik untuk men-dukung petisi online sebagai alat advokasi kebi-jakan. Kasus petisi online Change.org Indonesia dianalisis melalui sejumlah isu yang dipetisikan untuk menemukan petisi online sebagai alat advokasi kebijakan dan akan dilihat berdasar-

Page 6: Petisi Online sebagai Alat Advokasi Kebijakan: Studi Kasus

62

Rahma Simamora, Petisi Online sebagai Alat Advokasi Kebijakan: Studi Kasus Change.Org Indonesia Periode 2015-2016

kan aktivitas-aktivitas advokasi kebijakan yang dilakukan untuk mendukung petisi online.

Studi kasus menurut Stake (1995, dalam Han-cock & Algozzine, 2006:3) terbagi menjadi tiga kategori: intrinsik, instrumental dan kolektif. Penelitian ini termasuk studi kasus instrumental dimana tujuannya adalah memahami sebuah per-tanyaan teoritis atau problem sebagai jawaban dari bagaimana proses yang terjadi dalam peti-si online dapat menjadi alat advokasi kebijakan. Penelitian ini utamanaya menggunakan waw-ancara mendalam yakni metode dimana wawan-cara dilakukan tatap muka secara mendalam dan terus-menerus untuk mengali informasi dari key informan. Dibandingkan jenis yang lain, wawan-cara mendalam memiliki kelebihan untuk men-gungkap data mendalam dan personal/sensitif. Dengan wawancara mendalam, informasi jawa-ban yang didapatkan secara detil tentang perma-salahan penelitian.

Penelitian ini juga menganalisis petisi yang berhasil dan petisi yang belum berhasil dalam si-tus petisi online Change.org Indonesia mulai dari Change.org Indonesia berdiri yaitu pada bulan Januari tahun 2015 hingga bulan Desember ta-hun 2016. Petisi yang dianalisis dipilih berdasar-kan beberapa kriteria antara lain petisi berhasil menangkap perhatian media atau memperoleh koverasi media, petisi melibatkan komunitas atau kelompok masyarakat tertentu, dan petisi berha-sil menggerakkan aktivitas lainnya yang men-dukung outcomes advokasi kebijakan.

Dokumen yang dikumpulkan dan dianalisis berupa data teks, gambar atau foto, audio, dan video terkait petisi online dari situs Change.org Indonesia, media sosial (Facebook, Twitter, dan Youtube), dan situs berita online. Data terkait isu yang dipetisikan juga diperoleh dari Change.org Indonesia berupa dokumentasi pemberitaan me-dia massa cetak dan elektronik.

Untuk mendukung data primer akan meman-faatkan sumber data sekunder. Misalnya untuk informan yang tidak berhasil di wawancara se-cara langsung, akan menggunakan data yang diambil dari sumber lain seperti studi dokument-er melalui tayangan video atau tanggapan dari berbagai sumber terutama yang telah berpartisi-pasi dalam petisi online tersebut. Selain itu pen-elusuran atas literatur-literatur terdahulu mem-bantu dalam mendapatkan konteks penelitian yang memudahkan penulisan.

Hasil Penelitian dan DiskusiPenelitian ini menjelaskan mengenai petisi

online sebagai alat advokasi kebijakan yang juga mencakup sifat, bentuk, fungsi, aktivitas, taktik dan penyampaian pesan juga kerangka evaluasi advokasi kebijakan yang dilakukan untuk men-dukung keberhasilan petisi online. Dalam bagan awal pada kerangka konseptual, peneliti meng-gambarkan konsep awal petisi online sebagai alat advokasi kebijakan berdasarkan kategori-kat-egori yang telah disusun, setelah penelitian ini

dilakukan hasil temuan dalam kategori-kategori tersebut menjadi lebih rinci juga merujuk pada pengumpulan data terkait tema oleh peneliti atau pengelompokkan data yang diperoleh dari berb-agai sumber terkait, Stake (1995) dalam (Thomes, 2012:41-42).

Berikut bagan 5 hasil temuan penelitian ‘Peti-si Online sebagai Alat Advokasi Kebijakan (Studi Kasus Change.org Indonesia Periode Tahun 2015-2016).

1. Sifat PetisiDari hasil penelitian, berdasarkan kategori si-

fat baik formal dan informal ditemukan bahwa pe-tisi online formal yang mendapat perhatian agar dapat diangkat menjadi kebijakan publik. Petisi formal ini ditujukan kepada lembaga publik oleh pengelola setelah mengumpulkan sejumlah tanda

tangan dan petisi online dapat dibedakan menja-di petisi online yang diinisiasi oleh individu atau LSM sebagai bagian dari kampanye politik dan petisi online yang dioperasikan oleh organisasi swasta­ baik­ komersial­ maupun­ nonprofi­t­ juga­memulai petisi online dan mengumpulkan tanda tangan online. Hal ini sejalan pendapat Chad-wick dalam Panagiotopoulos & Al-Debei (2010:3), Change.org Indonesia merupakan Platform pe-tisi online yang dikelola oleh organisasi swasta berbentuk social enterprise atau kewirausahaan sosial. Petisi online merupakan aktivitas online yang menarik volume partisipasi warga negara.

Dalam kategori sifat/tipe petisi ini tidak ditemukan adanya ‘temuan’ baru, karena untuk mengelompokkan petisi formal dan informal men-gacu kepada Mosca dan Santucci (dalam Lindner & Riehm, 2009:3) bahwa petisi formal dioper-asikan oleh lembaga publik, merujuk kepada otor-itas publik baik institusi maupun parlemen atau

Page 7: Petisi Online sebagai Alat Advokasi Kebijakan: Studi Kasus

63

Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume VI, Nomor 1, April 2017

pemerintah, sedangkan untuk petisi informal yai-tu petisi yang disampaikan kepada lembaga pub-lik setelah mengumpulkan tandatangan, merujuk kepada LSM maupun Individu. Sedang dari hasil penelitian beragamnya isu yang diangkat mau-pun ditujukan kepada pemegang kebijakan akan mempengaruhi kebijakan yang diambil.

2. Fungsi PetisiDalam kategori fungsi petisi, ditemukan dua

temuan yaitu pada bagian individu mengenai mobilisasi pendukung dan membantu komuni-tas, juga pada bagian organisasi menjadi ind-ikator politik. Untuk fungsi petisi pada individu, Change.org Indonesia sebagai platform petisi on-line, pelaksanaannya meliputi memfasilitasi pen-gaduan atau keluhan masyarakat kepada pemer-intah atau korporasi, membantu mengupayakan pembuatan atau perubahan kebijakan tertentu, membantu memasukkan isu yang dipetisikan ke dalam agenda target petisi (pembuat kebijakan), temuan yang baru yaitu dalam fungsi individu ini juga turut memobilisasi pendukung dan LSM terkait isu tertentu, serta membantu kelompok kepentingan (komunitas) untuk menghidupkan pendukung dan menarik perhatian media massa.

Melalui petisi online ini rasa nasionalisme tumbuh dari pengalaman yang sama sebagai warga negara sehingga menimbulkan rasa se-nasib seperjuangan sebagai saudara sebangsa. Rasa tersebut yang mendasari tumbuhnya soli-daritas di antara individu-individu yang hampir tidak mengenal satu sama lain tersebut. Dimana sebagai komunitas bersama berimajinasi antara lain mengenai harapan mereka terkait hukuman yang pantas bagi koruptor, serta sosok pemimpin ideal yang dapat membawa Indonesia bebas dari korupsi. Seperti petisi “Pecat Setya Novanto”, fungsi dari individu ini sangat erat.

Segi organisasi atau intermediate yang ditemui adalah melalui petisi online ini siapa saja dapat bergabung menjadi indikator politik, berpotensi memberikan kontribusi kepada parlemen, ser-ta berperan dalam proses penguatan parlemen dalam sistem politik. Hal tersebut dilakukan Change.org sebagai media dimana perantara da-lam mengirim informasi juga berperan dalam moderasi petisi-petisi yang telah ditandatangani. Diperkuat dengan pernyataan Usman Hamid (Executive Director Change.org Indonesia) men-gatakan bahwa kampanye lewat media sosial terbukti dapat menghasilkan perubahan. Media sosial digunakan untuk tempat berkumpul vir-tual dan secara tak langsung dapat memobilisasi massa yang memiliki tujuan sama. Menegaskan bahwa Change.org ini tidak semata karena rakyat melakukan petisi secara online, namun ada kerja keras dan dukungan dari berbagai pihak untuk mendesak pemerintah atau pembuat keputusan agar memenuhi apa yang diinginkan rakyat se-hingga hal ini berpotensi memberikan kontribusi kepada parlemen juga perubahan atas kebijakan yang tidak sesuai.

3. Aktivitas PetisiBentuk advokasi kebijakan secara dapat

dilakukan secara online dan offline. Untuk ad-vokasi secara online penggagas petisi membuat sebuah petisi dan mendaftarkannya secara on-line. Pembuat petisi bersama Change.org Indone-sia juga melakukan aktivitas pengorganisasian membangun koalisi) untuk meningkatkan kekua-tan advokasi kebijakan. Change.org Indonesia membantu memfasilitasi pembuat petisi untuk bisa terhubung dengan pembuat kebijakan se-cara langsung melalui aktivitas lobi. Biasanya perwakilan Change.org Indonesia bersama koalisi yang terdiri dari pembuat petisi dan perwakilan komunitas terkait bertemu secara langsung den-gan pembuat kebijakan untuk melaporkan per-masalahan, menyerahkan petisi secara simbolis, dan mendiskusikan tuntutan atau solusi atas per-masalahan sosial.

Pada bentuk advokasi offline yang dilakukan antara lain meningkatkan kesadaran melalui media (advokasi media), kampanye, pengorgani-sasian, lobi, dan event. Bentuk advokasi ini juga dilakukan dengan mengadakan konferensi pers dan mengirim press release kepada media melalui email. Event secara offline­seperti diskusi terbuka atau diskusi panel juga sering diselenggarakan untuk­ membahas­ dan­ mengidentifikasi­ perma-salahan sosial dan penyelesaian atas permas-alahan tersebut serta mendiskusikan aktivitas advokasi kebijakan lain yang diagendakan selan-jutnya. Platform petisi online merupakan salah satu bentuk aktivitas kampanye dalam advokasi kebijakan.

Pemanfaatan petisi online tidak lepas dari per-an email, media sosial seperti Facebook dan Twit-ter, blog, dan Youtube. Saluran-saluran ini digu-nakan untuk memperluas jangkauan kampanye dan membangun percakapan publik mengenai isu yang dipetisikan. Aktivitas kampanye secara online ini dilakukan untuk mengedukasi publik dan menggalang dukungan publik atau juga bisa dimanfaatkan untuk memobilisasi pendukung. Aktivisme online ini juga didukung dengan aktivi-tas kampanye secara offline­seperti aksi turun ke jalan yang dilakukan guna memperluas dukun-gan dan kepedulian masyarakat.

Didukung dengan aktivitas advokasi kebija-kan seperti advokasi media, kampanye secara online melalui media sosial dan aksi offline, pen-gorganisasian, lobi, dan event dalam petisi online dinilai efektif secara intermediate karena berhasil menarik perhatian pembuat kebijakan atau tar-get petisi. Jika didukung dengan aktivitas lain, petisi online ini akan menghasilkan koverasi me-dia, menumbuhkan kesadaran publik, dan mem-bangun dukungan publik. Koverasi media, kes-adaran, dan dukungan publik ini mampu menarik perhatian pembuat kebijakan yang juga dapat mendorong dukungan dari pembuat kebijakan. Juga akan berhasil dengan tujuan ultimate yai-tu berhasil mencapai perubahan kebijakan ketika

Page 8: Petisi Online sebagai Alat Advokasi Kebijakan: Studi Kasus

64

Rahma Simamora, Petisi Online sebagai Alat Advokasi Kebijakan: Studi Kasus Change.Org Indonesia Periode 2015-2016

disertai penerimaan positif dari pembuat kebija-kan atau target petisi.

4. Taktik/Penyampaian Pesan PetisiPenyampaian pesan petisi memerlukan taktik

dimana terbagi menjadi menjadi dua yaitu tak-tik insider juga outsider. Pengadaan petisi online memerlukan strategi dan teknik kampanye yang tepat, sehingga target dan tujuan suatu tindakan advokasi tercapai secara optimal dan pertemuan yang diadakan oleh penyedia Platform dengan penggagas petisi terkait strategi pelaksanaan petisi dan menggalang dukungan dangat diper-lukan. Tindakan advokasi terhadap suatu kebija-kan publik akan lebih dilihat masyarakat ketika isu kebijakan telah diekspose di media massa, baik online maupun media cetak. Pelaksanaan advokasi dengan wujud petisi online memberi-kan informasi kepada masyarakat melalui media online dengan jangkauan luas. Namun, pelaksa-naan petisi melalui media online hanya dapat di-jangkau oleh masyarakat pengguna internet saja sehingga pelaksaan petisi online perlu diseim-bangkan dengan gerakan lapangan dengan mak-sud memberikan kesempatan yang rata untuk masyarakat dalam berpartisipasi menyuarakan argumentasi pada upaya advokasi RUU Pilkada tidak langsung.

Temuan dalam bagian penyampaian pesan insider yaitu Kata-kata “Kemenangan” juga merupakan taktik insider. Penyampaian pesan ‘Kemenangan Telah Diraih’, ‘Kita Menang’, ‘Ke-menangan untuk rakyat’, fokus pada kemenan-gan kampanye, merupakan model demokrasi partisan. Hal ini yang pada akhirnya membuat petisi yang dianggap “tidak menang” atau “tidak populer” menjadi “tenggelam”, karena dianggap tidak sesuai dengan kepentingan publik. Pada sisi yang lain, mekanisme yang diciptakan oleh Change.org memungkinkan penggunanya untuk menciptakan sendiri narasi mengenai dirinya dan memproduksi wacananya secara mandiri, hal ini menunjukkan bahwa Change.org mampu meng-hasilkan agensi subyek. Pengguna sebagai agen, masih memiliki sebuah kuasa terhadap narasi dari teks-teks yang diproduksinya, dalam artian awal dan akhir dari runtutan kejadian ditentu-kan oleh pengguna, dalam hal ini pembuat petisi dan penandatangan petisi. Narasi tersebut yang selanjutnya memunculkan interaksi antar peng-guna.

Menjalin diskusi dengan pihak penyelenggara petisi tentang kesulitan dalam pengadaan petisi, strategi kampanya dan teknis kampanye akan membuat petisi online akan berimplikasi pada tindakan advokasi kebijakan tertentu, implikasi petisi online terletak pada seberapa intensif ka-mapanye yang dilakukan oleh pihak penggagas petisi. Kegiatan taktik outsider­offline juga dapat dilakukan seperti diadakannya dialog terbuka juga edukasi publik.

4. Kerangka Evaluatif PetisiPencapaian tujuan ultimate ini juga dipen-

garuhi oleh keaktifan penggerak petisi untuk terus mengeskalasi dengan melakukan aktivitas lainnya guna menekan dan mendesak pembuat kebijakan. Sehingga ketika petisi online juga ak-tivitas advokasi kebijakan lain saling melengkapi maka keaktifan penggerak petisi terus diperlu-kan dalam mengawasi implementasi kebijakan yang dihasilkan. Berdasarkan temuan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa petisi online yang didukung dengan aktivitas advokasi kebi-jakan lain akan tercapai secara intermediate dan ultimate ketika disertai penerimaan positif dari target petisi dan keaktifan penggerak petisi da-lam mengeskalasi petisi online.

Aktivitas advokasi kebijakan lain perlu dilaku-kan untuk mendukung capaian koverasi media, menumbuhkan kesadaran dan dukungan publik, serta dukungan pembuat kebijakan. Penerimaan positif target petisi dan keaktifan penggerak pe-tisi dalam mengeskalasi petisi online diperlukan untuk mendorong perubahan kebijakan serta implementasi kebijakan. Realitas yang terjadi di lapangan dinilai sudah sesuai dengan teori dima-na aktivitas advokasi yang dilakukan (advokasi media, kampanye secara online dan offline, dan lobi) akan menghasilkan koverasi media, kesada-ran dan dukungan publik yang dapat mendorong dukungan pembuat kebijakan sehingga memen-garuhi perubahan kebijakan.

5. Petisi Online Change.org sebagai Advokasi Kebijakan

Menurut Usman Hamid ada beberapa faktor yang dapat membuat petisi dapat menjadi alat advokasi­kebijakan­yaitu­tuntutan­yang­spesifik,­target yang tepat, cerita personal, menggalang dukungan, dan aktualitas isi petisi. Senada den-gan Usman Hamid, Presiden Change.org dan COO Jennifer Dulski dalam Isaacson (2014) juga menyarankan agar pembuat petisi memulai pe-tisi dengan cerita personal yang menjelaskan dampak isu bagi pembuat petisi secara person-al. Selain aspek personal story, Jennifer Dulski juga menambahkan enam faktor lainnya untuk membuat petisi online berdampak maksimal. Per-tama, pembuat petisi direkomendasikan untuk mengunggah foto atau video dalam petisi karena ketika petisi menggunakan foto atau video maka petisi tersebut tujuh kali lebih berpeluang berha-sil (Isaacson, 2014). Kedua, pembuat petisi disa-rankan­mencari­target­petisi­yang­spesifik­yaitu­pembuat kebijakan yang berpengaruh dan bisa bertindak atas isu sosial yang dipetisikan.

Ketiga, pembuat petisi direkomendasikan untuk membangun jaringan dengan salah satu upaya yang bisa dilakukan yaitu mengirim pe-tisi kepada teman dan anggota keluarga serta meminta mereka menyebarkan petisi (Isaacson, 2014). Keempat, sama halnya dengan target peti-si­yang­spesifik,­permintaan­dalam­petisi­juga­ha-rus­fokus­dan­spesifik­karena­petisi­ lebih­efektif­

Page 9: Petisi Online sebagai Alat Advokasi Kebijakan: Studi Kasus

65

Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume VI, Nomor 1, April 2017

jika­dibuat­dengan­permintaan­yang­spesifik­dan­actionable atau bisa ditindaklanjuti (Isaacson, 2014). Kelima, pembuat petisi disarankan untuk berpikir lokal karena faktanya banyak petisi den-gan isu kecil dan lokal berhasil (Isaacson, 2014).

Keenam, berbicara kepada media. Petisi online akan lebih berdampak ketika didukung dengan koverasi media massa. Saat ini media menyebut-kan petisi Change.org lebih dari 250 kali sehari di dunia (Isaacson, 2014). Data tersebut menunjuk-kan bahwa media sangat antusias dalam mem-beritakan­ ­ isu-­‐isu­ ­ yang­ ­ dipetisikan­ ­melalui­­Platform Change.org. Oleh karena itu, isu yang diadvokasi melalui petisi akan lebih berpeluang untuk diberitakan atau masuk ke dalam agenda media.

Berdasarkan keterangan Arief Aziz, dua fak-tor lain di luar konten petisi yang bisa memen-garuhi keberhasilan petisi online adalah faktor penerimaan pembuat kebijakan sebagai target petisi dan kemampuan penggerak petisi untuk mengeskalasi petisi melalui aktivitas advokasi kebijakan­­­lainnya.­­­Berdasarkan­­­petisi­‐­petisi­­­yang dianalisis di atas, petisi online yang belum berhasil mencapai tujuan ultimate disebabkan oleh dua faktor. Pertama, kurangnya keaktifan penggerak petisi dalam mengeskalasi petisi on-line melalui aktivitas advokasi kebijakan lain. Kedua, faktor penerimaan dan respon pembuat kebijakan yang kurang positif terhadap tuntut-an dalam petisi. Implementasi kebijakan yang telah dihasilkan juga bisa terkendala oleh respon dan sikap lembaga atau pihak terkait yang tidak patuh, sehingga masih terjadi pelanggaran.

KesimpulanPenelitian ini memberikan pemahaman men-

genai pemanfaatan petisi online dalam advokasi kebijakan. Penelitian ini juga berkontribusi da-lam pengembangan kajian mengenai petisi online sebagai alat advokasi kebijakan yang juga men-cakup sifat, bentuk, fungsi, aktivitas juga kerang-ka evaluasi advokasi kebijakan yang dilakukan secara online dan offline­ untuk mendukung ke-berhasilan petisi online. Aktivitas advokasi kebi-jakan yang dilakukan antara lain meningkatkan kesadaran melalui media (advokasi media), kam-panye, pengorganisasian, lobi, dan event. Aktivi-tas advokasi media dilakukan dengan mengada-kan konferensi pers dan mengirim press release kepada media melalui email. Pembuat petisi ber-sama Change.org Indonesia juga melakukan ak-tivitas pengorganisasian membangun koalisi) un-tuk meningkatkan kekuatan advokasi kebijakan.

Change.org Indonesia membantu memfasilita-si pembuat petisi untuk bisa terhubung dengan pembuat kebijakan secara langsung melalui akti-vitas lobi. Biasanya perwakilan Change.org Indo-nesia bersama koalisi yang terdiri dari pembuat petisi dan perwakilan komunitas terkait bertemu secara langsung dengan pembuat kebijakan un-tuk melaporkan permasalahan, menyerahkan pe-tisi secara simbolis, dan mendiskusikan tuntutan atau solusi atas permasalahan sosial.

Aktivitas event secara offline­ seperti diskusi terbuka atau diskusi panel juga sering diseleng-garakan­untuk­membahas­ dan­mengidentifikasi­permasalahan sosial dan penyelesaian atas per-masalahan tersebut serta mendiskusikan akti-vitas advokasi kebijakan lain yang diagendakan selanjutnya. Platform petisi online merupakan salah satu bentuk aktivitas kampanye dalam ad-vokasi kebijakan.

Pemanfaatan petisi online tidak lepas dari per-an email, media sosial seperti Facebook dan Twit-ter, blog, dan Youtube. Saluran-saluran ini digu-nakan untuk memperluas jangkauan kampanye dan membangun percakapan publik mengenai isu yang dipetisikan. Aktivitas kampanye secara online ini dilakukan untuk mengedukasi publik dan menggalang dukungan publik atau juga bisa dimanfaatkan untuk memobilisasi pendukung. Aktivisme online ini juga didukung dengan aktivi-tas kampanye secara offline­seperti aksi turun ke jalan yang dilakukan guna memperluas dukun-gan dan kepedulian masyarakat.

Petisi online didukung dengan aktivitas ad-vokasi kebijakan lain seperti advokasi media, kampanye secara online melalui media sosial dan aksi offline, pengorganisasian, lobi, dan event dinilai efektif secara intermediate karena berha-sil menarik perhatian pembuat kebijakan atau target petisi juga menghasilkan liputan media, menumbuhkan kesadaran publik, dan memban-gun dukungan publik.

Liputan media, kesadaran, dan dukungan pub-lik ini mampu menarik perhatian pembuat kebi-jakan yang juga dapat mendorong dukungan dari pembuat kebijakan. Petisi online berhasil secara ultimate jika berhasil mencapai perubahan kebi-jakan ketika disertai penerimaan positif dari tar-get petisi atau pembuat kebijakan.

Pencapaian tujuan ultimate ini juga dipen-garuhi oleh keaktifan penggerak petisi untuk terus mengeskalasi dengan melakukan aktivitas lainnya guna menekan dan mendesak pembuat kebijakan. Sehingga ketika petisi online juga ak-tivitas advokasi kebijakan lain saling melengkapi maka keaktifan penggerak petisi terus diperlu-kan dalam mengawasi implementasi kebijakan yang dihasilkan. Berdasarkan temuan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa petisi online yang didukung dengan aktivitas advokasi kebi-jakan lain akan tercapai secara intermediate dan ultimate ketika disertai penerimaan positif dari target petisi dan keaktifan penggerak petisi da-lam mengeskalasi petisi online.

Aktivitas advokasi kebijakan lain perlu dilaku-kan untuk mendukung capaian liputan media, menumbuhkan kesadaran dan dukungan publik, serta dukungan pembuat kebijakan. Penerimaan positif target petisi dan keaktifan penggerak pe-tisi dalam mengeskalasi petisi online diperlukan untuk mendorong perubahan kebijakan serta implementasi kebijakan. Realitas yang terjadi di lapangan dinilai sudah sesuai dengan teori dima-na aktivitas advokasi yang dilakukan (advokasi media, kampanye secara online dan offline, dan

Page 10: Petisi Online sebagai Alat Advokasi Kebijakan: Studi Kasus

66

Rahma Simamora, Petisi Online sebagai Alat Advokasi Kebijakan: Studi Kasus Change.Org Indonesia Periode 2015-2016

lobi) akan menghasilkan liputan media, kesada-ran dan dukungan publik yang dapat mendorong dukungan pembuat kebijakan sehingga memen-garuhi perubahan kebijakan.

ImplikasiImplikasi akademis dari penelitian ini adalah

memperkaya penelitian terkait dengan studi peti-si online serta penelitian terkait dengan advokasi kebijakan sehingga penelitian ini dapat mengem-bangkan kajian studi Ilmu Komunikasi terkait dengan petisi online sebagai alat advokasi kebi-jakan.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat ber-manfaat sebagai gambaran sekaligus panduan bagi individu, lembaga-lembaga yang ingin me-manfaatkan petisi online sebagai salah satu alat mendorong partisipasi publik dan advokasi kebi-jakan. Memberikan wawasan kepada msyarakat dalam pengawasan, pembelaan dan penolakan kebijakan publik. Penelitian ini juga akan mem-berikan gambaran akan output dan outcome da-lam hasil penelitian terkait dengan petisi online. Selain itu, gambaran tentang pemanfaatan petisi online dengan benar dan optimal akan menjadi hasil dari penelitian ini – diharapkan dapat men-jadi rujukan bagi individu maupun lembaga yang mempertimbangkan petisi online sebagai ‘alat’ maupun cara untuk menciptakan partisipasi, kolaborasi, serta perubahan dengan masyarakat untuk mencapai berbagai misi pembangunan juga berharap agar penelitian ini dapat mengembang-kan bentuk komunikasi melalui petisi online se-

bagai alat advokasi kebijakan.Penelitian berimplikasi sosial dengan hasil

penelitian yang menggambarkan tentang kam-panye dan petisi online juga media sosial dimana medium dapat menghasilkan perubahan. Media sosial digunakan untuk tempat berkumpul vir-tual dan secara tak langsung dapat memobilisasi massa yang memiliki tujuan sama. Masyarakat dapat membuat dan mengajukan petisi secara on-line, namun ada kerja keras dan dukungan dari berbagai pihak untuk mendesak pemerintah atau pembuat keputusan agar memenuhi apa yang diinginkan rakyat. Manfaat sosial lainnya juga dapat dari berbagai penggunaan media sosial untuk gerakan sosial ini yaitu dapat melakukan pengerahan massa (mobilisasi massa) dan sum-ber daya gerakan sosial lainnya menjadi sema-kin murah lantaran perkembangan media sosial. Dahulu massa harus dikerahkan ke jalan untuk menunjukkan berapa besar pendukung atau pe-nentang suatu isu, kini hanya cukup dengan tanda tangan pada petisi atau pernyataan ‘like’. Dahulu massa perlu untuk mendapatkan biaya, atau mengeluarkan biaya sendiri, untuk mem-biaya transportasi dan konsumsi dalam unjuk rasa, kini hal seperti itu tak perlu lagi. Dukungan bisa diberikan kapan saja dan di mana saja. Juga dengan kekuatan publik melalui petisi online, ti-dak bisa dihalang-halangi oleh aparat kepolisian, barikade tentara, lemparan gas air mata, atau poporan senjata, karena perubahan tak bisa dil-awan.

Almog-Bar, M., & Schmid, H. (2014). Advocacy Activities of Nonprofit Human Service Organizations. Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, 43, 1, 11-35.

Alston, M., & Bowles, W. (2012). Research for social workers: An intro-duction to methods. London: Routledge.

Barakso, M. (2010). Brand Identity and the Tactical Repertoires of Ad-vocacy Organizations. Advocacy Organizations and Collective Action, 20, 155-176.

Casey, J. 2011. Understanding Advocacy: A Primer on the Policy Mak-ing Role of Nonprofit Organizations, Working Papers Series. Baruch College, diunduh dari http://www.baruch.cuny.edu/spa/researchcenters/nonprofitstrategy/documents/Casey_Under-standingAdvocacyaPrimeronthePolicyMakingRoleofNonoprofit-Organizations.pdf.

Coffman, J., & Harvard University. (2003). Lessons in Evaluating Com-munications Campaigns: Five Case Studies. Cambridge, MA: Harvard Family Research Project.

Cohen, D, Karkara, N.B., Stewart, D. , Rees, N. & Coffman, J. (2010). Advocacy Toolkit: A Guide to Influencing Decisions that Improve Children’s Lives. New York: United Nations Children’s Fund (UNICEF).

Creswell, J. W. (2007). Qualitative Inquiry & Research Design: Choos-ing among Five Approaches. Thousand Oaks, California: Sage Publications.

Daymon, C., & Holloway, I. (2002). Qualitative Research Methods in Public Relations and Marketing Communications. London: Routledge.

Dorfman, L. & Gonzalez, P. (2012). Media Advocacy A Strategy for Helping Communities Change Policy. Dalam Minkler, M. (ed.), Community Organizing and Community Building for Health and Welfare. New Brunswick: Rutgers University Press.

Galer-Unti, R. A. (2010). Advocacy 2.0: Advocating in the Digital Age. Health Promotion Practice, 11 (6), 784-787.

Galer-Unti, R. A., Tappe, M.K. & Lachenmayr, S. (2004). Advocacy 101: Getting Started in Health Education Advocacy. Health Promo-tion Practice, 5 (3), 280-288.

Guba, E. G., & Lincoln, Y. S. (1982). Effective Evaluation. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.

Hamid, U. (2015). Digital Nation Movement: Dinamo. Jakarta: Bentang Pustaka.

Hestres, L. E. (2014). Preaching to the Choir: Internet-Mediated Advoca-cy, Issue Public Mobilization, and Climate Change. New Media and Society, 16, 2, 323-339.

Hillel, S., & Michal, A.B. (2014). Special Issue of Human Service Organi-zations Management, Leadership & Governance. Human Ser-vice Organizations: Management, Leadership & Governance, 38, 3, 310-311.

Isaacson, W. (2014). The innovators: How a Group of Hackers, Geniuses, and Geeks Created the Digital Revolution. New York: Simon & Schuster.

Julia, C. (2002). Public Communication Campaign Evaluation: An Envi-ronmental Scan of Challenges, Criticisms, Practice, and Oppor-tunities. Harvard Family Research Project.

Kolb, B. M. (2008). Marketing Research for Non-profit, Community and Creative Organizations: How to Improve Your Product, Find Cus-tomers and Effectively Promote Your Message. Amsterdam: But-terworth-Heinemann/Elsevier.

Lindner, R. & Riehm, U. (2009). Electronic Petitions and Institutional Modernization International Parliamentary E-Petitions Systems in Comparative Perspective, JeDEM - eJournal of eDemocracy an Open Government, 1 (1), 1-11.

Lindner, R., & Riehm, U. (2011). Broadening Participation Through E-Pe-titions? An Empirical Study of Petitions to the German Parlia-

Daftar Pustaka

Page 11: Petisi Online sebagai Alat Advokasi Kebijakan: Studi Kasus

67

Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume VI, Nomor 1, April 2017

ment. Policy & Internet, 3, 1, 1-23.Macintosh, Ann, Anna Malina, dan Steve Farrell. (2002). Digital De-

mocracy through Electronic Petitioning E-petitioner, diunduh dari http://itc.napier.ac.uk/itc/Documents/Digital_Democracy_through_Electronic_Petitioning.pdf.

MacManus, S. A., Watson, S. A., & Blair, D. C. (1992). Doing Business with Government: Federal, State, Local & Foreign Government Purchasing Practices for Every Business and Public Institution. New York, N.Y: Paragon House.

Macmanus, S. A. (1996). Young v. Old: Generational Combat in the 21st Century. Boulder, CO: Westview Press.

Martin, K. D., & Kracher, B. (2008). A Conceptual Framework for Online Business Protest Tactics and Criteria for Their Effectiveness. Business and Society, 47, 3, 291-311.

Mayoux, L. (2003). Advocacy for Poverty Eradication and Empowerment: Ways Forward for Advocacy Impact Assessment, diunduh dari http://www.sed.manchester.ac.uk/research/iarc/ediais/pdf/Ad-vocacy.pdf

Mosley, J. E. (2006). The Policy Advocacy of Human Service Nonprof-its: How Institutional Processes and Environmental Conditions Shape Advocacy Involvement. Disertasi doctoral pada Univer-sity of California.

Mustika, A. (2013). Advokasi dan Kebijakan Pembangunan di Ibu dan Kesehatan Anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI

Neuman, W. L. (2014). Workbook for Neumann Social Research Meth-ods: Qualitative and Quantitative Approaches. New Jersey: Pearson.

Obar, J. A., Zube, P. & Lampe, C. (2012). Advocacy 2.0: An Analysis of How Advocacy Groups in the United States Perceive and Use Social Media as Tools for Facilitating Civic Engagement and Collective Action. Journal of Information Policy, 2, 1-25.

Panagiotopoulos, P. & Al-Debei, M.M.. (2010). Engaging with Citizens Online: Understanding the Role of ePetitioning in Local Govern-ment Democracy. Makalah dipresentasikan pada the Internet, Politics, Policy 2010: An Impact Assessment. St Anne’s College, University of Oxford.

Panagiotopoulos, P. Sams, S. , Elliman, T & Fitzgerald, G. (2010). Do Social Networking Groups Support Online Petitions? diunduh dari http://bura.brunel.ac.uk/bitstream/2438/4648/3/Fulltext.pdf

Patton, M. Q. (2002). Qualitative Evaluation and Research Methods. Lon-don: Sage Publications.

Prakash, A., & Gugerty, M. K. (2010). Advocacy Organizations and Col-lective Action. Cambridge: Cambridge University Press.

Prakash, A. & Gugerty, M.K (eds). (2010). Advocacy Organizations and Collective Action: An Introduction, dalam Advocacy Organiza-tions, and Collective Action. Cambridge: Cambridge University Press.

Kristono, R. , Soleh, D. , Puspitasari, H., Jannah, R. & Rusdi.M. (2012). Panduan Audit Sosialdan Advokasi Kebijakan Publik yang Ber-basis Kerelawanan. Malang: Malang Corruption Watch.

Rigby, Ben. (2008). Mobilizing Generation 2.0 A Practical Guide to Using Web 2.0 Technologies to Recruit, Organize, and Engage Youth. San Francisco: Jossey-Bass.

Rubin, H.J. & Rubin, I.S. (2008). Community Organizing and Develop-ment. Fourth Edition. Boston: Pearson Education.

Abidin, Z. S. (2012). Kebijakan Publik, Jakarta: Salemba HumanikaSatariano, N.B. & Wong, A. (2012). Creating an Online Strategy to En-

hance Effective Community Building and Organizing. Dalam Minkler,M (ed.), Community Organizing and Community Build-ing for Health and Welfare. New Brunswick: Rutgers University Press.

Schmid, H., & Almog-Bar, M. (2014). Introduction to the Symposium “Nonprofit Advocacy and Engagement in Public Policy Making. Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, 43 (1).

Stake, R. E. (2009). Case Study. Dalam Denzin, N.K & Lincoln, Y.S. (eds), Handbook of Qualitative Research. Penterjemah Dariyat-no. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Start, D. & Hovland, I. (2004). Tools for Policy Impact: A Handbook for Researchers. London: Overseas Development Institute.

Thomes, N.J. (2012). Creating Employable Graduates in Career and Technical Education: Defining the Partnership between Busi-ness and the Community College. Disertasi doktoral pada Iowa State University.

Wallack, L. & Dorfman, L. (2001). Putting Policy Into Health Communica-tion The Role of Media Advocacy. Dalam Rice, R.E. & Atkin,C.K (eds), Public Communication Campaigns. Third Edition. Thou-sand Oaks: Sage Publications.

Weberling, B. (2011). From Awareness to Advocacy: Understanding Communication about Cancer and Nonprofit Support. Disertasi doktoral pada University of North Carolina.

Wimmer, R. D. & Dominick, J.R. (2011). Mass Media Research: An Intro-duction. Ninth Edition. Boston: Wadsworth.

Yin, R. K. (2004). Case Study Research: Design and Methods. Thousand Oaks, California: Sage Publications.


Top Related