PENGAKUAN TAKHTA SUCI (VATIKAN)
TERHADAP PALESTINA SEBAGAI NEGARA
BERDAULAT TAHUN 2015
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
TITO NUGROHO
1111114000019
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
PENGAKUAN TAKHTA SUCI (VATIKAN) TERHADAP
PALESTINA SEBAGAI NEGARA BERDAULAT TAHUN 2015
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata I di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 04 Juli 2018
Tito Nugroho
iii
iv
v
ABSTRAK
Pengakuan menjadi salah satu faktor penting untuk sebuah negara dapat diakui eksistensinya baik
di tingkat kawasan ataupun internasional. Status sebuah negara tersebut akan lebih sempurna apabila juga
mendapatkan sebuah pengakuan secara de facto dari masyarakat internasional. Dalam hal ini negara
Palestina berkeinginan agar mendapatkan pengakuan internasional. Perjuangan Palestina yang diwakili
oleh Palestine Liberation Organization (PLO) dengan pemimpinnya Mahmoud Abbas akhirnya
mendapatkan status sebagai “Non-member Observer State” pada tahun 2012. Pengakuan dari PBB
tersebut menjadi jalan bagi Palestina untuk dapat menjadi negara yang berdaulat. Setelah pengakuan dari
PBB, secara berangsur-angsur Palestina mendapatkan pengakuan, salah satunya berasal dari Takhta Suci
(Vatikan).
Takhta suci mengakui negara Palestina berdasarkan dengan Perjanjian Komprehensif yang telah
ditandatangani oleh perwakilan Vatikan dan Negara Palestina pada tahun 2015. Perjanjian tersebut
berkaitan mengenai aspek-aspek penting yang terjadi pada kehidupan dan aktivitas Gereja Katolik di
Palestina. Dalam penelitian ini, Status Takhta Suci sebagai sebuah Entitas khusus dalam subjek
internasional yang mengakui Palestina sebagai sebuah negara menjadi suatu hal yang menarik untuk
dapat dibahas.
Selain itu, dalam penelitian ini menggunakan konsep pengakuan negara dan teori kebijakan luar
negeri untuk menganalisa pengakuan Takhta Suci terhadap negara Palestina. Dengan teori tersebut dapat
diketahui apa faktor kebijakan Takhta Suci mengakui Palestina sebagai sebuah negara. Kebijakan tersebut
berasal dari faktor internal Takhta Suci yang menginginkan perdamaian di wilayah kota suci dan
melindungi kaum nasrani. Sedangkan, faktor eksternal yang melatarbelakangi adalah adanya opini
masyarakat yang menginginkan perubahan di wilayah tersebut dan pelanggaran hak asasi manusia di
Palestina yang harus segera dihentikan.
Kata kunci: Pengakuan, Takhta Suci, Vatikan, Palestina, Kedaulatan, PBB, PLO, Kebijakan Luar Negeri.
vi
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur dan Hamdallah penulis panjatkan kepada Allah
SWT yang telah memberikan nikmat kesehatan, akal, dan pikiran kepada penulis
hingga tercapainya suatu titik puncak pendidikan yang penulis jalani. Berkat rahmat
dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang dijalani. Tidak lupa pula
Shalawat serta salam tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, atas
pedomannya penulis dapat merasakan nikmat pendidikan yang tak ternilai harganya
hingga saat ini.
Dalam penelitian ini tidak terlepas dari banyaknya bantuan yang diberikan
baik secara moril maupun materi yang tak bisa penulis sampaikan secara rinci. Pihak-
pihak yang sangat membantu penulis dalam menjalani segala kesulitan yang dihadapi
selama penelitian ini berlangsung, yaitu kepada:
1. Penulis ucapkan terima kasih yang terbesar kepada keluarga tercinta yang
dengan sabarnya terus memberi semangat yang tak ternilai dan tergantikan
oleh penulis yaitu kepada mama tercinta (Ibu Nurbetty Bagindo) dan Papa
tersayang (Bpk. Iswantho) dan (Bpk. Sukri Makassar). Sosok-sosok tersebut
sangat berperan penting dalam membantu penulis agar tercapainya penelitian
ini. Dengan penuh kesabaran dan semangat yang tak terhingga, sampai
penelitian ini dapat terselesaikan.
vii
2. Penulis mengucapkan terima kasih pula kepada adik tersayang yang telah
memberikan dukungan secara moril kepada penulis (Tio Suryo Saputro) dan
sahabat penulis (Oriza Qaliqis, Reza Mahendra dan Kenny Oscar) dengan
dukungan mereka penulis dapat semangat dalam menjalani penelitian ini.
Tidak lupa pula penulis berterimakasih kepada sepupu tersayang (Amelia
Merisda, Erick Drachman, Vandro Rizky Aldila) dengan kebaikannya dapat
memberikan semangat bagi penulis melakukan penelitian ini.
3. Bapak Prof. Dr. Zulkifli, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
4. Bapak Ahmad Al Fajri, M. A. selaku Ketua Program Studi Hubungan
Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
5. Ibu Eva Mushoffa, MA selaku Sekertaris Program Studi Hubungan
Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
6. Peneliti berterimakasih juga yang sebesar-besarnya kepada bapak Ahmad
Syaifuddin Zuhri, S. IP., L.M. selaku Dosen Pembimbing penulis yang selalu
memberikan masukan dan dukungan kepada penulis agar dapat
menyelesaikan penelitian ini,
7. Terima kasih terucap untuk semua dosen yang telah memberikan ilmunya
kepada penulis semenjak awal masuk universitas, khususnya Alm. Bpk Budi
Satari. Semua staf baik Universitas maupun Fakultas dan pak Jajang yang
telah menyediakan bantuan yang diperlukan oleh penulis,
viii
8. Terima kasih kepada sahabat dan teman angkatan HI 2011 khususnya IRIC
2011 yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis:
Menajer Selvy Afriyani yang selalu sabar membantu penulis, Aptiani
Nurjannah, Reta Marina P, Niken Aulia F, Desica Anna N, Hary Satria, Fikry
Al Fajr, Rifqi Syahrizal, Hasmar Husein Nasution, Adnan Winataputra, Bayu
Agustian, Alif Auza, Faisal Farras, Andika Asyidik, Maria Ulfah, Masmuhah,
Devi Linda, Zara Sabrina yang telah mengisi hari-hari di masa perkuliahan
dan teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis sebut satu per satu,
9. Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan penulis yang membantu
dalam menyelesaikan penelitian ini (Zahra Shalimah, Febriana Windarati,
Rizkiana yuniarti dan Haifatul Azizah),
10. Terima kasih penulis ucap kepada semua teman-teman SMA 6 Depok dan
SMA Widuri yang telah memberikan dukungan secara moril kepada penulis,
11. Penulis berterimakasih juga kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis
melakukan penelitian yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Akhir kata penulis ucapkan Jazakumullah Khairan Katsirin.
Jakarta, 4 Juli 2018
Tito Nugroho
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ............................................................................................ i
LEMBAR PERNYATAAN…………………………………………………. ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iv
ABSTRAK ........................................................................................................ v
KATA PENGANTAR ...................................................................................... vi
DAFTAR ISI..................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xi
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah ...............................................................1
B. Pertanyaan Penelitian ........................................................... 11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 11
D. Tinjauan Pustaka .................................................................. 12
E. Kerangka Pemikiran............................................................. 17
1. Konsep Pengakuan Negara ............................................ 17
2. Teori Kebijakan Luar Negeri ......................................... 20
F. Metode Penelitian ............................................................... 23
G. Sistematika Penulisan ......................................................... 24
BAB II STATUS PALESTINA SEBAGAI SEBUAH NEGARA
A. Perkembangan Palestina Menjadi Sebuah Negara ................ 26
B. Status Palestina sebelum Diakui Sebagai Sebuah Negara .... 34
C. Upaya Palestina untuk Mendapatkan Pengakuan.................. 37
D. Pengakuan dari Negara-negara terhadap Palestina ............... 44
x
BAB III PENGAKUAN TAKHTA SUCI (VATIKAN)
TERHADAP NEGARA PALESTINA
A. Takhta Suci (Vatikan) Sebagai Subjek Hukum
Internasional ........................................................................ 51
B. Sistem Takhta Suci (Vatikan) dalam Pengambilan
Kebijakan Luar Negeri ......................................................... 58
C. Upaya Hukum Takhta Suci dalam Mengakui
Negara Palestina................................................................... 61
BAB IV ANALISA MENGENAI TAKHTA SUCI (VATIKAN)
MENGAKUI PALESTINA SEBAGAI NEGARA
BERDAULAT TAHUN 2015
A. Konsep Pengakuan dalam Analisis Pengakuan
Terhadap Palestina ............................................................... 65
B. Kebijakan Luar Negeri Takhta Suci Mengakui Palestina
Sebagai Sebuah Negara........................................................ 70
1. Faktor Internal ................................................................ 72
a. Faktor Religius ......................................................... 72
b. Faktor Idiosinkratik .................................................. 73
2. Faktor Internal ................................................................ 75
a. Opini Masyarakat Internasional ............................... 75
b. Masalah Regional di Kawasan ................................. 76
c. Hak Asasi Manusia (HAM) ..................................... 77
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... xiv
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1 Timeline Perkembangan Status Palestina ..................................... 27
Gambar II.2 Negara-negara yang Mengakui Palestina ..................................... 44
Gambar III.1 Peta Hubungan Diplomasi Takhta Suci (Vatikan)
dengan Negara Lain ........................................................................ 56
xii
DAFTAR SINGKATAN
AS Amerika Serikat
DK Dewan Keamanan
FAO Food and Agricultural Organization
GC General Conference
HAM Hak Asasi Manusia
IGO International Governmental Organization
INGO International Non-Governmental Organization
LBB Liga Bangsa Bangsa
MNC Multinational Corporation
OKI Organisasi Kerjasama Islam
OPT Occupied Palestine Territory
PA Palestina Authority
PBB Persatuan Bangsa Bangsa
PLO Palestina Liberation Organization
PNC Palestina National Council
UN Untid Nations
UNDP United Nation Development Programes
xiii
UNESCO United Nation Educational Scientific and Cultural
Organization
UNICEF United Nations Emergency Childrens Fund
WHO World Health Organization
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Skripsi ini akan membahas mengenai pengakuan Vatikan (Takhta Suci)
terhadap Negara Palestina pada tahun 2015. Vatikan adalah sebuah negara yang
dibuat berdasarkan Lateran Treaty yang ditandatangani pada tanggal 11 Februari
1929 antara Takhta Suci dan Italia yang diakui oleh masyarakat internasional,
dipimpin oleh pemerintah berdaulat gerejawi Katolik Roma dengan kepemilikan
penuh dan kekuasaan eksklusif yang disebut dengan Takhta Suci.1
Vatikan mengakui Negara Palestina secara resmi pada 26 Juni 2015.2
Pengakuan tersebut berdasarkan pada Perjanjian Komprehensif yang telah
ditandatangani oleh Vatikan dan Negara Palestina,3 berkaitan mengenai aspek-aspek
1 Lateran Treaty, situs resmi Vatikan diakses dari
http://www.vaticanstate.va/content/dam/vaticanstate/documenti/leggi-e-decreti/Normative-Penali-e-
Amministrative/LateranTreaty.pdf, pada tanggal 5 Februari 2017 2 Holy See Press Office, Joint Statement on the occasion of the Signature of the
Comprehensive Agreement between the Holy See and the State of Palestine, diakses dari
https://press.vatican.va/content/salastampa/it/bollettino/pubblico/2015/06/26/0511/01117.pdf, pada
tanggal 5 Februari 2017 3 Holy See Press Office, Joint Statement on the occasion of the Signature of the
Comprehensive Agreement between the Holy See and the State of Palestine, diakses dari
https://press.vatican.va/content/salastampa/it/bollettino/pubblico/2015/06/26/0511/01117.pdf, pada
tanggal 5 Februari 2017
2
penting yang terjadi pada kehidupan dan aktivitas Gereja Katolik di Palestina.4
Perjanjian tersebut berlaku secara penuh pada tanggal 2 Januari 2016.5 Penelitian ini
selanjutnya akan membahas faktor yang mempengaruhi keputusan Vatikan dalam
mengakui Palestina sebagai sebuah negara.
Palestina adalah sebuah negara yang memiliki lebih dari 4,3 juta penduduk,
berada di kawasan Timur Tengah yang berbatasan langsung dengan Mesir, Yordania
dan Laut Mediterania. 6
Wilayah Palestina atau sering disebut dengan Occupied
Palestinian Territories (wilayah Palestina yang diduduki Israel) secara garis besar
terdiri dari Tepi Barat (West Bank) termasuk Yerusalem Timur dan Jalur Gaza (Gaza
Strip).7 Wilayah tersebut didapatkan setelah Gaza terlepas dari pendudukan Israel.
Pada tahun 2007 Hamas diketahui mengambil alih Jalur Gaza dan saat itu membagi
wilayah Palestina secara politik dengan Fatah yang sebagian besar berkuasa di Tepi
Barat.8 Hingga pada tahun 2014 terdapat kesepakatan antara kedua kelompok untuk
membentuk pemerintahan dan wilayah yang saat ini menjadi negara Palestina.
4 Elisabetta Povoledo, Vatican Formally Recognizes Palestinian State by Signing Treaty,
diakses dari http://www.nytimes.com/2015/06/27/world/middleeast/vatican-palestinian-
state.html?_r=1, pada tanggal 5 Februari 2017 5 Vatican Radio, Holy See, State of Palestine Comprehensive Agreement enters into force,
diakses dari
http://en.radiovaticana.va/news/2016/01/02/holy_see,_state_of_palestine_agreement_enters_into_force
/1198477, pada tanggal 5 Februari 2017 6 William Foxwell Albright, Palestine, diakses dari
http://www.britannica.com/place/Palestine, pada tanggal 6 Desember 2017 7 BBC, “Palestinian territories profile”, diakses dari http://www.bbc.com/news/world-middle-
east-14630174, pada tanggal 10 Desember 2017 8 Fatah dan Hamas adalah dua partai utama politik Palestina. Fatah didirikan pada tahun 1958
dipimpin oleh Mahmoud Abbas dan Hamas didirikan pada tahun 1987 dipimpin oleh Khaled Mashaal.
Keduanya sempat terlibat konflik yang mengakibatkan perpecahan dari Otoritas Palestina pada tahun
2007, tetapi hubungan keduanya membaik pada tahun 2014.
3
Palestina dan Israel memiliki sejarah panjang dan hubungan yang cukup
tegang.9 Konflik Israel-Palestina dapat digambarkan sebagai konflik eksistensial
antara dua bangsa dan dua identitas kelompok yang masing-masing mengklaim
wilayah yang sama untuk menjadi tanah air dan negara pemerintahan.10
Konflik
kedua negara tersebut diawali dari ketegangan antara pemukim Yahudi dan penduduk
lokal Arab, setelah disahkannya Resolusi PBB 181 (1947). 11
Resolusi tersebut
merekomendasikan untuk mengadopsi dan melaksanakan rencana pembagian wilayah
Palestina menjadi negara Arab, negara Yahudi dan Kota Yerusalem.12
Beberapa
bulan setelah itu Pada tanggal 14 Mei 1948, saat Mandat Britania atas Palestina
berakhir, Dewan Rakyat Yahudi berkumpul di Tel Aviv Museum, dan
mendeklarasikan pembentukan Negara Israel. Negara baru tersebut langsung diakui
oleh Negara Amerika Serikat dan disusul oleh Uni Soviet tiga hari kemudian.13
Setelah Negara Israel terbentuk, mereka mencoba untuk mulai memperluas
perbatasannya untuk mencakup sebagian dari wilayah Palestina. Pada tahun 1967
terjadi perang yang disebut The Six-Day War, secara simultan Israel menyerang
9 Aljazeera, Palestine: Country Profile, diakses dari
http://www.aljazeera.com/archive/2004/09/200841013342123720.html, pada tanggal 6 Desember2017 10
Herbert C. Kelman, The Israeli-Palestinian Peace Process and Its Vicissitudes, American
Psychologist Journal va. 62, No.4, 2007, hal. 287-303 11
Israel Ministry of Foreign Affairs, UN Partition Plan - Resolution 181 (1947), diakses dari
http://mfa.gov.il/MFA/AboutIsrael/Maps/Pages/1947%20UN%20Partition%20Plan.aspx, pada tanggal
6 Desember 2017 12
Israel Ministry of Foreign Affairs. UN Partition Plan - Resolution 181 (1947), diakses dari
http://mfa.gov.il/MFA/AboutIsrael/Maps/Pages/1947%20UN%20Partition%20Plan.aspx, pada tanggal
6 Desember 2017 13
Israel Ministry of Foreign Affairs, The Declaration of the Establishment of the State of
Israel, diakses dari
http://www.mfa.gov.il/MFA/ForeignPolicy/Peace/Guide/Pages/Declaration%20of%20Establishment%
20of%20State%20of%20Israel.aspx, pada tanggal 6 Desember 2017
4
Mesir, Yordania dan Suriah.14
perang tersebut membuat Israel dapat merebut
Semenanjung Sinai, setelah menaklukkan seluruh wilayah Yordania barat, Sungai
Yordan (Tepi Barat), menaklukan Yerusalem, dan telah menduduki Dataran Tinggi
Golan.15
Ribuan orang Arab Palestina segera pergi ke wilayah Timur dan Utara.
Perang kembali terjadi pada tahun 1973 yang disebut dengan Yom Kippur War,
dimana negara-negara Arab mencoba mengembalikan wilayah yang dikuasai oleh
Israel. Perang tersebut akhirnya dapat mengembalikan wilayah palestina dan
menghasilkan perjanjian damai.16
Palestine Liberation Organization (PLO)17
yang menjadi Dewan Nasional
Palestina pada tahun 1988, memproklamirkan sebagai Negara Palestina dari markas
besarnya di Aljir, Aljazair. Dengan itu Palestina diizinkan untuk dapat menduduki
Tepi Barat dan Jalur Gaza.18
Menyusul pada tahun 1993 proses perdamaian Israel-
Palestina menyebabkan Kesepakatan Oslo, yang memungkinkan PLO untuk pindah
dari Tunisia dan mengambil tanah di wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza, serta
14
Charles K. Rowley, Jennis Taylor, The Israel and Palestine Land Settlement Problem,
1948-2005: An Analytical History, Public Choice (2006) 128:77–90 15
Charles K. Rowley, Jennis Taylor, The Israel and Palestine Land Settlement Problem,
1948-2005: An Analytical History, Public Choice (2006) 128:77–90 16
Aljazeera, “The War in October”, diakses dari
http://www.aljazeera.com/programmes/specialseries/2013/10/war-october-
2013102172128280627.html, pada tanggal 6 Desember 2017 17
Organisasi politik yang mewakili rakyat Palestina di dunia Arab. Organisasi Ini dibentuk
pada tahun 1964 untuk memusatkan kepemimpinan berbagai kelompok Palestina yang sebelumnya
telah dioperasikan sebagai gerakan perlawanan. 18
Britannica, "Palestine Liberation Organization (PLO)", diakses dari
http://www.britannica.com/topic/Palestine-Liberation-Organization, pada tanggal 6 Desember 2017
5
mendirikan Otoritas Nasional Palestina.19
Melalui perjanjian Oslo 2 (1995)
mengandaikan bahwa Israel dan Palestina tertarik untuk mendapat keuntungan dari
perdagangan, namun pada kenyataannya kerjasama antara kedua negara tersebut tidak
bisa berjalan dengan baik.20
Impian rakyat Palestina untuk mendapatkan pengakuan
tidak berjalan dengan begitu mulus. Butuh waktu yang cukup lama sampai pada
November 2012 Majelis Umum PBB mengumumkan peningkatan status Palestina
menjadi negara peninjau bukan anggota (Non-Member Observer State).21
Negara Palestina saat ini mendapat pengakuan lebih dari 130 negara, banyak
negara yang memberikan pengakuannya terhadap Negara Palestina setelah Deklarasi
Kemerdekaan yang dilakukan oleh Dewan Nasional Palestina pada 15 November
1988.22
Disusul oleh pengakuan negara Swedia yang ada di kawasan Eropa pada
Oktober 2014, hal tersebut menegaskan bahwa Swedia menjadi anggota Uni Eropa
pertama di Eropa Barat yang telah mengakui negara Palestina.23
Setahun berselang,
tepatnya pada 26 juni 2015 diketahui bahwa Takhta Suci Vatikan telah memberikan
pengakuan terhadap Negara Palestina.
19
Charles K. Rowley . Jennis Taylor, The Israel and Palestine Land Settlement Problem,
1948-2005: An Analytical History, Public Choice,2006, hal. 128:77–90 20
Charles K. Rowley . Jennis Taylor, The Israel and Palestine Land Settlement Problem,
1948-2005: An Analytical History, Public Choice,2006, hal. 89 21
United Nation, General Assembly Votes Overwhelmingly to Accord Palestine „Non-
Member Observer State‟ Status in United Nations, diakses dari
http://www.un.org/press/en/2012/ga11317.doc.htm, pada tanggal 6 Desember 2017 22
Kabir Chibber, All the countries Including Sweden That Now Recognize Palestinian
Statehood, diakses dari http://qz.com/276164/all-the-countries-including-sweden-that-now-recognize-
palestinian-statehood/, pada tanggal 7 Desember 2017 23
Robert Rydberg, Sweden Becomes first EU Country to Recognise the Palestinian State,
diakses dari http://www.euronews.com/2014/10/30/sweden-becomes-first-eu-country-to-recognise-the-
palestinian-state/, pada tanggal 7 Desember 2017
6
Pengakuan tersebut didapatkan setelah sebelumnya Vatikan telah mengakui
Palestina secara de facto pada tahun 2012.24
Melalui Perjanjian Komprehensif yang
telah ditandatangani oleh Vatikan dan Negara Palestina,25
mengenai aspek-aspek
penting dari kehidupan dan aktivitas Gereja Katolik di Palestina.26
Hal tersebut
menegaskan bahwa Vatikan mengakui Negara Palestina, karena dalam isi perjanjian
kerjasama tersebut menunujukkan dengan jelas penggunaan istilah “State of
Palestine”, yang secara tidak langsung telah mengakui Palestina sebagai sebuah
negara.27
Perjanjian tersebut ditandatangani Menteri Luar Negeri Vatikan Uskup Agung
Gallagher dan Menteri Luar Negeri Riad al-Malki dari Otoritas Palestina pada
upacara di Vatikan pada 26 Juni 2015.28
Pengakuan Takhta Suci Vatikan juga
diperkuat dengan pernyataan yang diberikan oleh Menteri Luar Negeri Vatikan,
Uskup Agung Paul Gallagher, Uskup Vatikan yang pada dasarnya melayani sebagai
24
Stephen Jewkes, Vatican Accord with Palestine Comes Into Effect, diaskses dari
http://www.reuters.com/article/us-vatican-palestinians-idUSKBN0UG0MA20160102, pada tanggal 5
Desember 2017 25
Stephen Jewkes, Vatican Accord with Palestine Comes Into Effect, diaskses dari
http://www.reuters.com/article/us-vatican-palestinians-idUSKBN0UG0MA20160102, pada tanggal 5
Desember 2017 26
Elisabetta Povoledo, Vatican Formally Recognizes Palestinian State by Signing Treaty,
diakses dari http://www.nytimes.com/2015/06/27/world/middleeast/vatican-palestinian-
state.html?_r=1, pada tanggal 5 Desember 2017 27
Jodi Rudoren and Diaa Hadi, Vatican to Recognize Palestinian State in New Treaty,
diakases dari http://www.nytimes.com/2015/05/14/world/middleeast/vatican-to-recognize-palestinian-
state-in-new-treaty.html, pada tanggal 7 Desember 2017 28
Jodi Rudoren and Diaa Hadi, Vatican to Recognize Palestinian State in New Treaty,
diakases dari http://www.nytimes.com/2015/05/14/world/middleeast/vatican-to-recognize-palestinian-
state-in-new-treaty.html, pada tanggal 7 Desember 2017
7
menteri luar negeri Paus, setelah menandatangani perjanjian komprehensif dan secara
resmi mengakui "Negara Palestina". Uskup Agung Paul Gallagher menyatakan:29
The agreement could be a “stimulus to bringing a definitive end to the
longstanding Israeli-Palestinian conflict, which continues to cause suffering
for both parties” (Elisabetta 2015). (Kesepakatan tersebut bisa menjadi
"stimulus untuk membawa akhir definitif untuk konflik Israel-Palestina yang
berlangsung lama, yang terus menyebabkan penderitaan bagi kedua belah
pihak). (Diterjemahkan oleh penulis)
Juru bicara Vatikan, Pastor Federico Lombardi juga menambahkan:30
“We have recognized the State of Palestine ever since it was given
recognition by the United Nations and it is already listed as the State of
Palestine in our official yearbook” (Herb 2015). (Kami (Vatikan) telah
mengakui Negara Palestina sejak PBB memberikan pengakuan dan itu sudah
terdaftar sebagai Negara Palestina di buku tahunan resmi kami).
(Diterjemahkan oleh penulis)
Sebelum menjalin hubungan dengan Palestina, Vatikan telah terlebih dahulu
menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Penandatanganan Perjanjian
29
Elisabetta Povoledo, Vatican Formally Recognizes Palestinian State by Signing Treaty,
diakses dari http://www.nytimes.com/2015/06/27/world/middleeast/vatican-palestinian-
state.html?_r=1 , pada tanggal 5 Desember 2017 30
Herb Keinon, Israel 'Disappointed' Vatican Reached Agreement Recognizing Palestinian
State, diakses dari http://www.jpost.com/Arab-Israeli-Conflict/Israel-disappointed-Vatican-reached-
agreement-to-recognize-Palestinian-state-402996, pada tanggal 6 Februari 2018
8
Fundamental antara Vatikan dan Negara Israel terjadi pada 30 Desember 1993.31
Kedua negara telah mempertahankan hubungan diplomatik yang cukup dekat.
Mereka menganggap kepentingan kedua belah pihak begitu penting, sehingga
hubungan mereka diperkirakan tetap solid dalam keadaan krisis sekalipun.32
Pada awalnya Hubungan antara Vatikan dan Israel tidak berjalan baik karena
dirusak oleh masalah masa lalu, termasuk polemik doktrinal, pembantaian era Perang
Salib dan pembuangan paksa kaum Yahudi.33
Akan tetapi, Vatikan dan kaum Yahudi
mencoba memperbaiki hubungan hingga pada tanggal 30 Desember 1993 terjadi
penandatanganan Perjanjian Fundamental antara Takhta Suci dan Negara Israel.34
Perjanjian tersebut menormalisasi hubungan antara Takhta Suci dan Negara Israel. Isi
dari Perjanjian membahas tentang kebebasan dalam beragama, hubungan hukum dan
administrasi, ibadah Katolik di tempat-tempat suci, kesejahteraan sosial dan masalah
fiskal.35
Hal tersebut tidak diragukan lagi akan memiliki dampak mendalam yang
positif untuk keduanya.
31
Israel Ministry of Foreign Affairs, Israel-Vatican Diplomatic Relations, diakses dari
http://mfa.gov.il/MFA/ForeignPolicy/Bilateral/Pages/Israel-Vatican_Diplomatic_Relations.aspx, pada
tanggal 7 Desember 2017 32
Israel Ministry of Foreign Affairs, Israel-Vatican Diplomatic Relations, diakses dari
http://mfa.gov.il/MFA/ForeignPolicy/Bilateral/Pages/Israel-Vatican_Diplomatic_Relations.aspx, pada
tanggal 7 Desember 2017 33
Toni Johnson, Vatican-Israel Relations, diakses dari http://www.cfr.org/vatican-
city/vatican-israel-relations/p19344, pada tanggal 6 Februari 2018 34
Toni Johnson, “Vatican-Israel Relations”, diakses dari http://www.cfr.org/vatican-
city/vatican-israel-relations/p19344, pada tanggal 6 Februari 2017 35
Cardinal Achille Silvestrini, The Vatican and Israel, diakses dari
https://www.bc.edu/content/dam/files/research_sites/cjl/texts/center/conferences/Bea_Centre_C-
J_Relations_04-05/Silvestrini.htm, pada tanggal 6 Februari 2018
9
Hubungan kedua negara berjalan cukup baik hingga tahun 2015, terjadi
Pengakuan secara resmi oleh Takhta Suci terhadap Negara Palestina yang membuat
Israel meradang, tindakan tersebut menimbulkan reaksi keras dari Israel.36
Pemerintah Israel mengecam tindakan Vatikan yang telah mengakui kemerdekaan
Palestina, Israel menganggap sikap Vatikan tersebut tidak akan dapat menyelesaikan
permasalahan yang terjadi di Timur Tengah.37
Sikap tersebut berlawanan dengan apa
yang disampaikan Paus Benedict XVI pada tahun 2009, dimana akan mendukung
solusi antara kedua negara.38
Juru bicara kementerian luar negeri Israel Emmanuel
Nahason juga mengatakan:39
This hasty step damages the prospects for advancing a peace agreement, and
harms the international effort to convince the Palestinian Authority to return
to direct negotiations with Israel (Siddhartha 2017). (Langkah tergesa-gesa ini
merusak prospek untuk memajukan kesepakatan damai, dan merugikan upaya
internasional untuk meyakinkan Otoritas Palestina untuk kembali ke
perundingan langsung dengan Israel). (diterjemahkan oleh penulis)
36
Philip Pullella, Vatican signs first treaty with 'State of Palestine', Israel angered, diakses
dari http://www.reuters.com/article/us-vatican-palestinians-idUSKBN0P618120150626, pada tanggal
6 April 2018 37
Philip Pullella, Vatican signs first treaty with 'State of Palestine', Israel angered, diakses
dari http://www.reuters.com/article/us-vatican-palestinians-idUSKBN0P618120150626, pada tanggal
6 Februari 2018 38
Tim Butcher, Pope Benedict XVI calls for two-state solution on visit to Israel, diakses dari
http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/middleeast/israel/5307882/Pope-Benedict-XVI-calls-for-
two-state-solution-on-visit-to-Israel.html, pada tanggal 6 Februari 2018 39
Siddhartha Mahanta, Israel Decidedly Unhappy With Vatican-Palestine Treaty, diakses dari
http://foreignpolicy.com/2015/06/26/pope-francis-israel-palestine-treaty/, pada tanggal 7 Desember
2017
10
Berdasarkan paparan di atas, masalah ini penting untuk diteliti karena Vatikan
sebagai sebuah Entitas khusus dalam subjek internasional mengakui Palestina sebagai
sebuah negara, meskipun terdapat beberapa negara yang menolak dan mengecam
keputusan tersebut. Salah satu negara yang mengecam keputusan tersebut adalah
Israel. Takhta suci juga diketahui berstatus sebagai pengamat di PBB sama seperti
Palestina, dan memiliki perhatian terhadap perdamaian. Hal itu menimbulkan
pertanyaan mengapa Vatikan mengambil keputusan tersebut. Oleh sebab itu dalam
penelitian ini membahas alasan Vatikan mengakui Negara Palestina sesuai dengan
teori dan konsep yang akan dipakai dalam penelitian ini.
11
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, maka
penulis memiliki pertanyaan penelitian “Mengapa Takhta Suci (Vatikan)
mengakui Palestina Sebagai Negara yang Berdaulat pada tahun 2015?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui latar belakang mengapa Vatikan dapat mengakui
Palestina sebagai sebuah negara.
2. Menganalisa tentang hubungan Vatikan dan negara Palestina, setelah
pengakuan terhadap negara Palestina oleh Takhta Suci.
3. Penelitian ini juga dapat membantu untuk menjelaskan tantangan yang
dihadapi Vatikan dalam memberikan pengakuan terhadap negara Palestina.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber rujukan penelitian
selanjutnya yang berhubungan dengan kebijakan atau pengakuan terhadap sebuah
negara yang dianggap baru.
12
D. Tinjauan Pustaka
Terkait dengan pengakuan yang dilakukan oleh Takhta Suci terhadap negara
Palestina, telah terdapat beberapa tulisan yang menjelaskan tentang negara-negara
yang memberikan pengakuan terhadap negara Palestina. Tulisan tersebut antara lain:
Pertama, berdasarkan dari Master Thesis yang yang dibuat oleh Gijs Norden
pada tahun 2015 di Leiden University dengan judul “Recognition of Palestine by
Western European States”. Dalam Thesis ini membahas mengenai konflik yang
terjadi antara Israel dan palestina, membuat beberapa negara di wilayah Eropa Barat
seperti Swedia telah secara resmi mengakui Palestina sebagai sebuah negara. Perancis
dan Inggris telah mengakui secara simbolis Palestina oleh resolusi parlemen.
Sebaliknya Jerman belum membuat langkah resmi terhadap pengakuan Palestina. Hal
tersebut membuat perubahan kebijakan luar negeri kepada negara Eropa. Tentunya
Israel tetap menolak pengakuan resmi negara-negara tersebut terhadap negara
Palestina.
Dalam penelitiannya, Norden memilih pertanyaan, mengapa beberapa negara
Eropa Barat memberikan pengakuan terhadap negara Palestina, dalam periode
September 2014 dan Desember 2014 saat negara lain tidak?. Menurutnya Topik ini
dapat ditempatkan dalam perspektif yang lebih luas dari penelitian dalam analisis
kebijakan luar negeri. Pengakuan negara merupakan topik yang muncul dari
kepentingan. Tetapi studi yang mempelajari tentang pengakuan, lebih fokus pada sisi
13
normatif dari pengakuan atau pada posisi hukum internasional yang sebagian besar
diketahui sudah usang.
Dalam thesis ini Norden berfokus pada sudut pandang negara-negara yang
akan mengakui negara (baru) dan motif mereka untuk melakukannya. Kerangka teori
dari makalah ini terutama didasarkan pada pendekatan dari Bridget Coggins (2011)
dan Beverly Crawford (1995). Pendekatan ini, Coggins mengadopsi pendekatan
tingkat internasional, sementara Crawford berfokus terutama pada tingkat politik
dalam negeri. Dengan menggabungkan pendekatan tersebut memungkinkan untuk
mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang motif negara-negara Eropa Barat
untuk mengakui negara Palestina. Jawaban spekulatif awal adalah bahwa negara-
negara Eropa Barat memilih untuk mengakui Palestina karena preferensi ideologis
mereka, biaya diplomatik rendah dan kemudian tidak ada kelompok kepentingan
yang hadir.
Penelitian diatas berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis.
Penelitian yang dilakukan oleh Norden lebih luas, karena mencangkup negara-negara
yang ada di Eropa Barat. sedangkan penulis lebih berfokus kepada entitas Takhta
Suci dalam meneliti pengakuan terhadap Negara Palestina. Teori dan pendekatan
yang dipakai oleh Norden adalah pendekatan pada tingkat internasional. Sedangkan
konsep dan teori yang di inginkan oleh penulis adalah konsep kebijakan luar negeri
dan teori pengakuan negara, yang akan menjelaskan pemerintah Takhta Suci terhadap
pengakuan yang diberikan ke negara Palestina.
14
Kedua, berdasarkan dari skripsi yang dibuat oleh Revy Marlina, Tahun 2015
di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan judul “Kebijakan
Luar Negeri Swedia Mengakui Negara Palestina Tahun 2014”. Dalam skripsi ini
membahas mengenai negara Swedia yang mengakui secara resmi negara Palestina.
Pengakuan tersebut pertama kali dilakukan oleh Perdana Menteri Swedia yang baru,
yaitu Stevan Lofven dari partai Sosial Demokrat Swedia pada 3 Oktober 2014. Oleh
karena pengakuan tersebut, Swedia telah menjadi negara Uni Eropa pertama yang
mengakui negara Palestina.
Pada penelitian ini Marlina menjelaskan bagaimana konflik yang terjadi
antara Palestina dan Israel, berpengaruh dalam pengakuan Swedia terhadap negara
Palestina. Kedua negara tersebut memiliki sejarah yang cukup panjang, terdapat
berbagai macam konflik yang menghubungkan antara kedua negara tersebut.
Palestina harus melewati jalan panjang dalam memperjuangkan kedaulatannya di
PBB. Sampai pada November 2012 Palestina mendapatkan peningkatan status dari
PBB menjadi negara peninjau bukan anggota. Setelah itu banyak negara seperti
Swedia satu persatu mengakui negara Palestina.
Dalam penelitiannya, Marlina membahas mengenai faktor yang menjadi
pendorong Swedia dalam mengakui negara Palestina dengan menggunakan konsep
dan teori seperti liberalisme dan kebijakan luar negeri. Yang menarik dalam skripsi
ini adalah Swedia menjadi negara Uni Eropa pertama yang mengakui negara
Palestina. Tentu saja hal ini mendapatkan kecaman dari Israel. penelitian Marlina
15
akan berbeda dengan penelitian yang akan dibuat penulis karena Penulis memakai
Vatikan sebagai subjek Internasional bukan negara yang mengakui negara Palestina.
Penulis juga akan menggunakan konsep kebijakan luar negeri dan teori pengakuan
negara.
Ketiga, berdasarkan dari Master Thesis yang dibuat oleh Ronald Patrick
Stake, Tahun 2006 di Naval Postgraduate School California, dengan judul “The
Holy See and the Middle East: The Public Diplomacy of Pope John Paul II”.
Dalam thesis Tesis ini membahas mengenai perubahan dalam diplomasi Takhta Suci
sehubungan dengan Timur Tengah pada periode antara 1990 dan 2003. Kebijakan
yang ditempuh oleh perubahan ini adalah keputusan dari Paus Yohanes Paulus II dan
terlibat (1) membangun penuh hubungan diplomatik antara Takhta Suci dan Negara
Israel; (2) digelarnya Majelis khusus Sinode Para Uskup untuk Lebanon, berakhir di
kunjungan Paus ke Lebanon di Mei 1997; dan (3) menentang US memimpin perang
terhadap Irak pada 1991 dan 2003.
Dalam tesis ini Ronald berpendapat bahwa keadaan baru disebabkan
pemikiran ulang dari kepentingan Takhta Suci dalam terang perkembangan modern
Ajaran sosial Katolik. Dengan kata lain, ide-ide merupakan sebuah kepentingan.
Keyakinan berprinsip dari pribadi manusia dan prinsip solidaritas berbentuk
kepentingan Takhta Suci dan substansi diplomasi Paus. Dalam membuat argumen,
tesis ini menganggap peran Takhta Suci dalam hubungan internasional; dan studi
16
kasus diplomasi Yohanes Paulus II sehubungan dengan Israel, Lebanon, dan perang
dengan Irak.
Dalam tesis ini Ronald menggunakan teori Kebijakan Luar Negeri yang
menentukan tanggapan Takhta Suci di wilayah Tengah Timur, studi kasus
mengungkapkan keterkaitan ajaran sosial Katolik modern untuk memperluas
kepentingan dalam menanggapi perubahan politik. Pada intinya dari tesis ini adalah
pemahaman tentang bagaimana ide-ide (nilai-nilai, keyakinan) merubah bentuk
kebijakan. Dalam bentuk kontemporer, realisme menyingkirkan peran nilai-nilai
dalam hubungan internasional, dengan alasan bahwa kepentingan nasional dan
kemampuan untuk menentukan kebijakan yang lebih mengejar. Tesis tersebut
dinyatakan cukup berbeda dengan apa yang ingin penulis buat, karena terrdapat
perbedaan yang sangat signifikan pada variabel yang ingin diteliti. Penulis lebih
memfokuskan penelitian kepada pengakuan dan hubungan antara Takhta Suci dan
Palestina, penulis juga menggunakan konsep kebijakan luar negeri.
17
E. Kerangka Pemikiran
Teori-teori membantu kita mengetahui fakta mana yang penting dan mana
yang tidak penting, yaitu, mereka menyusun pandangan kita atas dunia. Maka akan
lebih baik menggunakan teori-teori yang sangat tepat dalam keterbukaan dan
kemudian menempatkan mereka dalam penelitian lebih jauh.40
Dalam menjawab
pertanyaan penelitian, maka penelitian ini akan menggunakan konsep pengakuan
negara dan teori Kebijakan luar negeri.
1. Konsep Pengakuan Negara
Secara umum Pengakuan adalah pernyataan dari suatu Negara yang telah
mengakui suatu negara lain sebagai subyek hukum internasional. Sebagai
konsekuensinya, negara tersebut bertanggug jawab terhadap semua wewenang negara
dan dapat melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan hukum internasional
seperti negara lainnya.41
Pengakuan Menurut J.B Moore adalah sebagai suatu jaminan yang diberikan
kepada suatu Negara baru bahwa Negara tersebut telah diterima sebagai anggota
masyarakat internasional.42
Dengan pengakuan ini memungkinkan Negara baru
mengadakan hubungan-hubungan resmi dengan Negara-negara lain.
40
Robert Jackson dan Georg Sorensen, Introduction to International Relation, Oxford
University Press Inc, 1999, hal. 81 41
Lars Buur & Helene Maria Kyed, State Recognition and Democration in Sub-Saharan
Africa, (New York: Palgrave Macmillan), 2007, hal. 11-12. 42
J.B Moore, Digest of international Law, vol. 1, hal. 72.
18
Menurut Huala Adolf pengakuan adalah “Tindakan politis suatu negara untuk
mengakui negara baru sebagai subjek Hukum Internasional yang mengakibatkan
hukum tertentu.” Adapun fungsi dari pengakuan tersebut untuk dapat memberikan
tempat yang seharusnya kepada sebuah negara baru atau pemerintah baru yang telah
menjadi anggota masyarakat internasional.43
Terdapat dua teori pokok dalam pengakuan terhadap sebuah Negara yaitu,
teori konstitutif dan teori deklaratif. 44
Teori konstitutif berasumsi bahwa suatu
Negara dikatakan menjadi subyek hukum internasional hanya bila melalui
pengakuan, jadi hanya dengan pengakuanlah suatu negara baru itu dapat diterima
sebagai anggota masyarakat internasional dan karenanya sebuah negara memperoleh
statusnya sebagai subyek hukum internasional.
Menurut Teori Konstitutif, pengakuan menjadi sangat penting. Sebab dengan
adanya pengakuan menciptakan penerimaan terhadap sebuah negara sebagai
masyarakat internasional. Artinya, pengakuan tersebut merupakan prasyarat yang
wajib bagi ada-tidaknya kepribadian hukum internasional pada suatu negara. Dengan
kata lain, tanpa adanya pengakuan dari negara lain, suatu negara bukan atau belum
dapat dikatakan subjek hukum internasional.45
43
Huala Adolf, SH, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1996, hal. 65 44
Huala Adolf, SH, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional , hlm. 67 45
L. Oppenheim & Lauterpacht, H, “International Law, A Treatise”, (London: 8th
Edition),
1961, hal. 125
19
Berbeda dengan penganut Teori Konstitutif, Teori Deklaratif menjelaskan
pengakuan hanyalah merupakan penerimaan suatu Negara baru oleh Negara-negara
lainnya. Pengakuan tidak dapat menciptakan suatu negara baru, karena pada
hakikatnya sebuah negara lahir sebagai fakta yang murni dan membuat pengakuan
hanya menjadi bentuk penerimaan fakta tersebut.46
Berdasarkan Teori Deklaratif, pengakuan dianggap hanya bersifat sebagai
sebuah pernyataan dari negara lain dan tidak dapat mempengaruhi status dan
kedudukan negara baru dalam masyarakat internasional. Dalam hal ini J.G Starke
berpendapat bahwa teori deklaratif menyatakan bahwa sebuah negara atau kekuasaan
pada pemerintah yang baru sudah ada jauh sebelum terjadinya pengakuan. Pengakuan
hanya merupakan pernyataan yang formil tentang kenyataan tersebut.47
Dalam melihat perilaku sebuah negara terhadap pengakuan akan
mengakibatkan terjadinya pergesekan, antara kepentingan untuk mamatuhi segala
hukum internasional dengan kepentingan yang bertujuan memperjuangkan
kepentingan nasional. Pengakuan sendiri merupakan norma yang mengatur interaksi
formal antara negara-negara yang berdaulat, sementara kepentingan nasional sendiri
merupakan unsur yang tidak dapat dilepaskan dari setiap negara dalam usahanya
untuk memenuhi tuntutan negara. Oleh sebab itu dalam penelitian ini akan
46
Huala Adolf, SH, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1996, hal. 67 47
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, ed. Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 1989,
hal. 66.
20
menggunakan dua jenis teori dasar dalam konsep pengakuan yang akan digunakan
untuk menganalisa pengakuan Takhta Suci Vatikan terhadap Negara Palestina.
2. Teori Kebijakan Luar Negeri
Mengenai definisi kebijakan luar negeri, Rosenau mengemukakan bahwa
kebijakan luar negeri adalah sebuah sikap atau aktivitas suatu negara dalam upaya
mengatasi masalah yang terjadi dengan dirinya dan lingkungan, juga memperoleh
keuntungan dari lingkungan sekitarnya tersebut untuk dapat mempertahankan
kelangsungan hidup negaranya. 48
Menurut Rosenau kebijakan luar negeri digunakan untuk menganalisa dan
mengevakuasi faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kebijakan luar
negeri suatu negara terhadap negara lain. Faktor Internal adalah hal yang dimiliki
oleh suatu negara atau kondisi pada satu negara atau dinamika yang terjadi dalam
negara yang dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri pada negara tersebut. Secara
umum terdapat beberapa faktor seperti; faktor kebudayaan dan sejarah, pembangunan
ekonomi, struktur sosial, dan perubahan opini publik kebudayaan dan sejarah
mencakup nilai, norma, tradisi, pengalaman masa lalu dan idiosinkratik pemimpin.49
Faktor eksternal atau pengaruh lingkungan eksternal adalah hal-hal yang
terjadi diluar negara yang dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara.
48
J N Rosenau, Comparing Foreign Policy: Theories, Findings, and Method, Sage
Publications, 1974, hal. 21-32 49
James N. Rosenau, International Politics and Foreign Policy: A Reader in Research and
Theory, (New York : The Free Press, 1969), hal 167
21
Faktor eksternal tersebut meliputi; struktur hubungan di antara negara besar, pola-
pola aliansi yang terbentuk diantara negara dan faktor situasional eksternal yang
dapat berupa isu area atau krisis kemanusiaan.50
Hampir sama dengan Rosenau, menurut K J Holsti kebijakan luar negeri
merupakan aktivitas yang memiliki tujuan dan tindakan yang dibentuk oleh para
pembuat keputusan untuk dapat mempertahankan atau merubah tujuan dan kondisi
dalam sebuah lingkungan suatu negara. Kebijakan tersebut dibuat untuk mencapai
tujuan yang bersifat domestik, seperti, kesejahteraan, keamanan, otonomi, dan status
dan prestige. Rencana atau strategi tersebut dibentuk oleh para pembuat kebijakan
suatu negara dalam menghadapi negara lain atau subjek internasional lainnya untuk
mencapai tujuan nasional.51
Dalam hal ini penulis melihat bahwa tujuan kebijakan
luar negeri Vatikan terhadap Palestina adalah untuk memperoleh kesejahteraan dan
perdamaian.
Holsti juga berpendapat bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi
kebijakan luar negeri, yaitu; faktor internal (dometik) dan faktor eksternal. Faktor
internal tersebut terdiri dari (1) kebutuhan sosial-ekonomi suatu negara, (2)
karakteristik geografis dan demografis, hal ini yang menentukan lingkungan strategis
sebuah negara (3) Struktur pemerintahan, (4) Atribut Nasional, yang diartikan sebagai
karakter sebuah negara (5) Opini publik, yang diciptakan oleh media menjadi faktor
50
James N. Rosenau, International Politics and Foreign Policy: A Reader in Research and
Theory, hal. 167 51
K J Holsti, International Politics, A Framework for Analysis, New Jersey: Prentive Hall
Inc, 1992, hal. 269
22
yang berpengaruh dan, (6) Birokasi, yang mempengaruhi pembuatan kebijakan suatu
negara. 52
Selain itu faktor eksternal menurut Holsti terdiri dari (1) struktur sistem, yang
terdapat dalam sistem berbagai negara dan akan mempengaruhi pembuatan kebijakan,
(2) Struktur ekonomi dunia yang menunjukan bahwa terdapat perbedaan karakter
ekonomi berbagai negara (3) Tindakan aktor-aktor lain, yang diartikan sebuah negara
dapat merespon atau berinisiatif dalam menjalankan kebijakan luar negeri terkait
dengan kebijakan negara lain, dan (4) masalah regional dan global, apabila terjadi
suatu masalah di negara lain akan berdampak juga ke negara lainnya bahkan ke
kawasan sehingga dapat menjadi masalah bersama, karena saling berhubungan dan
melewati batas-batas nasional.53
Menurut Breuning, Dengan begitu banyak faktor yang mempengaruhi
kebijakan luar negeri, bagaimana mengungkap kontribusi masing-masing dari faktor
tersebut. Meskipun perilaku kebijakan luar negeri jarang disebabkan oleh satu orang
atau satu hal saja, akan lebih baik untuk menyelidiki berbagai faktor secara terpisah
sebelum berpikir tentang interaksi mereka.54
Penelitian ini akan menganalisa faktor yang melatarbelakangi kebijakan luar
negeri Vatikan terhadap Negara Palestina. Oleh karena itu, penelitian ini
52
K J Holsti, International Politics, A Framework for Analysis, hal. 271 53
K J Holsti, International Politics, A Framework for Analysis, hal. 272 54
Marijke Breuning, Foreign Policy Analysis:A Comparative Introduction, Palgrave
Macmillan division of St. Martin’s Press, 2007, hal. 9
23
memfokuskan beberapa faktor internal dan eksternal berdasarkan pemaparan
Rosenau. Faktor internal tersebut adalah ideologi yang dianut suatu negara (religious
thing) dan idiosinkratik. Pada faktor eksternal yaitu kebutuhan keamanan di kawasan,
perdamaian di kawasan dan masalah kemanusiaan (HAM). Melalui faktor-faktor
tersebut penulis akan dapat menjelaskan latar belakang mengapa Vatikan mengambil
kebijakan pengakuan terhadap Palestina sebagai negara berdaulat.
F. Metode Penelitian
Penulis menggunakan metode kualitatif atau dikenal sebagai penelitian yang
menganalisis secara deskriptif.55
Tujuan ini membawa pandangan sistematis, faktual
dan berdasarkan fakta dari variabel.56
Metode kualitatif relevan untuk masalah sosial
yang menjelaskan lebih dalam dan menemukan hipotesis serta teori.57
Penulis akan melakukan pengumpulan data sekunder yang berupa sumber
tidak langsung dari data dokumen, buku, jurnal, majalah, surat kabar dan internet atau
studi pustaka. Pada data sekunder tersebut didapat dari beberapa sumber, antara lain:
Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN), Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial
Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Universitas Indonesia,
Perpustakaan Kementerian Luar Negeri, serta situs internet seperti JSTOR,
International Relations and Security Network (ISN), serta Europe journal yang akan
dipertanggung jawabkan sumber-sumbernya.
55
Sanapiah Faisal, format-format penelitian Sosial, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 20. 56
Ibid, 32. 57
Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1999), 112-
114.
24
Setelah data terkumpul, data akan diverifikasi dan direduksi kembali oleh
penulis. Pada proses tersebut data mulai dipahami, diolah dan dianalisa dengan
konsep kepentingan nasional, kebijakan luar negeri dan konsep keamanan.
Selanjutnya data akan digunakan untuk menjelaskan permasalahan yang diteliti
dengan menggunakan teori yang relevan.
.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian dalam skripsi ini dibagai menjadi lima bab dan pada beberapa bab
mempunyai sub-bab tertentu untuk memperjelas bab sebelumnya.
BAB I Pendahuluan. Bab ini berisikan pernyataan masalah tentang topik yang
dibahas dalam skripsi ini. Kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan penelitian,
kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II Status Palestina Sebagai sebuah Negara. Pada bab ini membahas
tentang bagaimana perkembangan Palestina menjadi sebuah negara. Lalu dilanjutkan
dengan upaya Palestina untuk mendapatkan pengakuan, ditambah dengan pengakuan
yang telah diberikan dari negara-negara internasional.
BAB III Pengakuan Takhta Suci (Vatikan) terhadap Negara Palestina. Bab ini
berisikan status Takhta Suci sebagai sebuah subjek hukum internasional. Terdapat
penjelasan struktur pemerintahan dan sistem dalam pengambilan kebijakan Takhta
suci. Bagaimana upaya yang telah dilakukan Takhta Suci untuk dapat mengakui
Palestina sebagai sebuah Negara juga terdapat dalam bab ini.
25
BAB IV Analisa Mengenai Takhta Suci (Vatikan) mengakui Palestina sebagai
Negara Berdaulat Tahun 2015. Pengakuan yang didapatkan oleh Palestina merupakan
sebuah bentuk dukungan dari PBB dan negara internasional lainnya, bahwa Palestina
berhak untuk dapat menjadi sebuah negara yang berdaulat. pada bab ini terdapat
analisa kebijakan luar negeri Takhta Suci mengakui Palestina dengan menggunakan
faktor internal dan eksternal. Terdapat sub-bab tentang bagaimana pengaruh
pemimpin Takhta Suci dalam memberikan kebijakan dalam faktor internal. Isu yang
membahas mengenai masalah yang terjadi di kawasan dan Hak asasi manusia
menjadi faktor eksternal yang mendukung Takhta Suci mengakui Palestina menjadi
negara berdaulat.
BAB V Kesimpulan. Pada bab ini terdapat kesimpulan dari seluruh
pembahasan yang telah dijelaskan di bab-bab sebelumnya.
26
BAB II
STATUS PALESTINA SEBAGAI SEBUAH NEGARA
A. Perkembangan Palestina Menjadi Sebuah Negara
Setiap negara pasti ingin mendapat pengakuan sebagai negara berdaulat di
mata dunia internasional, tidak terkecuali dengan negara Palestina. Palestina adalah
salah satu negara yang sangat memperjuangkan pengakuan kedaulatan dari dunia
internasional sebagai sebuah negara yang merdeka. Hal tersebut melalui jalan
panjang dengan proses yang lama untuk dapat diakui sebagai sebuah negara berdaulat
yang merdeka, sampai saat ini pun Palestina masih memperjuangkan hak-hak nya
untuk dapat diakui secara penuh.
Palestina adalah negara Timur Tengah yang mencakup 6.220 km2 tanah di
Jalur Gaza dan Tepi Barat, saat ini terdiri dari wilayah yang disebut Pendudukan
Palestina (Occupied Palestine Territory). Palestina berbagi perbatasan dengan Israel,
Yordania, Mesir, Lebanon, dan Suriah. Ibukotanya adalah Yerusalem Timur, dengan
pemerintahan sementara berbasis di Ramallah.56
Populasi Negara Palestina
diperkirakan mencapai 4,55 juta orang, dengan kepadatan penduduk rata-rata 731
56
Embassy of the State of Palestine, Palestine: Country Profile, diakses pada situs
http://www.palestine-australia.com/about-palestine/country-profile/, diakses pada tanggal 3 November
2017
27
orang per km persegi. Kota terpadat adalah Kota Gaza, dengan mayoritas penduduk
Palestina adalah Muslim (93%), kebanyakan penduduknya menganut aliran Sunni.57
Sebelum mendapat pengakuan dari PBB sebagai negara peninjau bukan
anggota (Non-member Observer State) pada tahun 2012, Palestina harus melalui jalan
yang panjang untuk mendapatkan pengakuan tersebut.58
Hal ini bermula saat konflik
yang terjadi dengan bangsa Israel mulai timbul setelah Deklarasi Balfour59
, gejolak
konflik antara keduanya dapat dilihat melalui ilustrasi gambar yang berada di bawah.
Gambar. II. 1 Timeline Perkembangan Status Palestina
Sumber: diolah oleh penulis
57
Aljazeera, Palestine: Country profile, Dipublikasikan pada tanggal 1 September 2004 pada
situs http://www.aljazeera.com/archive/2004/09/200841013342123720.html, diakses pada tanggal 3
November 2017 58
Colum Lynch and Joel Greenberg, “U.N. votes to recognize Palestine as „non-member
observer state”, diakses dari https://www.washingtonpost.com/world/national-security/united-nations-
upgrades-palestines-status/2012/11/29/5ff5ff7e-3a72-11e2-8a97-
363b0f9a0ab3_story.html?utm_term=.9a97060752e7, pada tanggal 3 November 2017 59
Sebuah pernyataan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah Inggris saat Perang Dunia I
yang mengumumkan dukungan untuk "tanah air nasional bagi orang Yahudi" di Palestina, yang saat
itu merupakan sebuah kawasan Utsmaniyah dengan populasi minoritas Yahudi.
28
Dari Ilustrasi di atas dapat dilihat konflik tersebut bermula dari bangsa Yahudi
yang menginginkan untuk mendirikan sebuah negara dengan melakukan diplomasi
pada 2 November 1917. Melalui Deklarasi Balfour tersebut terdapat persetujuan atas
gagasan untuk mendirikan sebuah negara oleh bangsa Yahudi di wilayah palestina.
Deklarasi tersebut menyatakan bahwa pemerintah Inggris telah mendukung keinginan
Israel untuk mendirikan negara bagi kaum yahudi.60
Pada tahun 1947, Inggris yang pada akhirnya membuat keputusan untuk
meninggalkan daerah mandat mereka di wilayah Palestina, setelah tujuan untuk
menghasilkan kemerdekaan kedua negara tidak tercapai. Setahun kemudian, PBB
merumuskan proposal perdamaian untuk bangsa Arab dan Yahudi di wilayah
Palestina, dengan membuat sebuah pembagian wilayah yang bertujuan untuk
memisahkan bangsa Arab dan Yahudi. 61
Proposal tersebut dikenal dengan Resolusi
PBB 181 II atau biasa disebut (United Nations Partition Plan), yang berisi
pembagian wilayah Palestina yg tidak adil sebesar 55% untuk bangsa Yahudi, dan
45% untuk bangsa arab, tentunya membuat bangsa arab tidak terima.62
Israel memproklamirkan sebagai sebuah negara pada tanggal 14 Mei 1948.
Keputusan tersebut membuat bangsa Arab marah dan tidak terima. Kemudian
meletuslah perang pertama yang terjadi antara Israel dengan koalisi negara Arab
60
Encyclopedia Britannica, Balfour Declaration, diakses dari
https://www.britannica.com/event/Balfour-Declaration, pada tanggal 3 November 2017 61
Charles K. Rowley dan Jennis Taylor, The Israel and Palestine Land Settlement Problem,
1948–2005: An analytical history”, Public Choice, 2006, hal. 128:79 62
Charles K. Rowley dan Jennis Taylor, The Israel and Palestine Land Settlement Problem
hal. 79
29
dalam memperebutkan wilayah Palestina. Perang tersebut terjadi dari 15 Mei 1948
hingga 10 Maret 1949 dan Israel berhasil memenangkannya. Israel mampu
memperluas perbatasannya untuk menjangkau 70 persen wilayah Palestina yang
diberikan oleh PBB.63
Konflik yang terjadi berikutnya antara Israel dengan negara-negara Arab
(Mesir, Yordania, Suriah, Lebanon) terjadi pada 5-10 Juni 1967, perang ini dikenal
dengan “Six Days War”. Pada perang Enam Hari itu, Israel dapat memenangkan
perang dan berhasil mendapatkan wilayah penting seperti Tepi Barat, Jalur Gaza,
Semenanjung Sinai, dan Dataran Tinggi Golan.64
Tidak sampai disitu konflik terus
berlanjut Pada tanggal 6 Oktober 1973, Presiden Sadat Mesir dan Presiden Asad dari
Suriah bersama-sama meluncurkan serangan militer yang mengejutkan Israel, perang
ini disebut sebagai perang “Yom Kippur”. Perang yang telah terjadi menyebabkan
banyak korban jiwa yang berjatuhan dari kedua belah pihak.65
Dalam usaha Bangsa Palestina menghadapi pendudukan Israel, mereka mulai
membentuk organisasi perlawanan. Salah satu organisasi yang terbesar yang dibentuk
adalah Palestine Liberation Organization (PLO)66
pada 10 Juni 1964.67
Organisasi ini
63
Eko Marhaendy, Analisis Konflik Israel-Palestina: Sebuah Penjelajahan Dimensi Politik
dan Teologis, Makalah, hal. 11. 64
Manguluang, Pemberian Status “Non-Member Observer State” Kepada Palestina oleh
PBB dalam Upaya Penyelesaian Konflik dengan Israel Ditinjau dari Segi Hukum Internasional”,
Skripsi,” 2013, hal. 5 65
Charles K. Rowley dan Jennis Taylor, The Israel and Palestine Land Settlement Problem,
hal. 81 66
PLO (Palestine Liberation Organization) atau Organisasi Pembebasan Palestina adalah
sebuah lembaga politik resmi bangsa Arab Palestina yang didirikan pada tahun 1964, dan telah
mendapatkan pengakuan dari dunia ianternasional.
30
pertama kali dipimpin oleh Ahmad Shukeir, setelah itu diteruskan oleh Yasser Arafat
yang telah melakukan beberapa langkah penting dengan berhasil memperoleh
pengakuan dari Liga Arab dan dapat memperoleh kesempatan untuk dapat berbicara
di hadapan Majelis sidang umum PBB.68
Upaya PLO untuk dapat mendirikan negara yang merdeka mendapatkan jalan
terang, setelah PLO mendapatkan status sebagai pengamat Non-negara dari PBB
pada 22 November 1974.69
Perjuangan dan upaya bangsa Palestina ini kemudian
mendapatkan simpati masyarakat Internasional. Saat Yasser Arafat berpidato di
Forum Majelis Umum PBB, mengenai hak rakyat Palestina untuk merdeka dan hak
untuk kembali ke rumah mereka.70
Pada akhir tahun delapan puluhan, Palestina kembali menarik perhatian dunia.
Tepatnya pada bulan Desember 1987, peristiwa Intifadah71
pertama bergejolak.
Terjadi pemberontakan spontan rakyat Palestina terhadap kehadiran Israel di Tepi
67
Badri Alzaky, Diplomasi Palestina menjadi Negara Pengamat Non- Anggota di PBB
Tahun 2011-2012, JOM FISIP Vol. 4 No. 1 Februari 2017, hal. 7 68
Badri Alzaky, Diplomasi Palestina menjadi Negara Pengamat Non- Anggota di PBB
Tahun 2011-2012, hal. 8 69
UN General Assembly 3237 (XXIX), Observer Status for the Palestine Liberation
Organization, Dipublikasi pada tanggal 22 November 1974, pada situs
http://www.un.org/en/ga/search/view_doc.asp?symbol=A/RES/3237(XXIX)&Lang=E&Area=RESOL
UTION, diakses pada tanggal 4 November 2017 70
Marcin Szydzisz, The Palestinian international identity after the UN resolution, The
Copernicus Journal of Political Studies nr 1 (3), 2013, hal. 113 71
Intifadah adalah gerakan perlawanan rakyat Palestina untuk merebut kembali tanah
Palestina, hal ini didorong oleh rasa tertindas dan kehilangan yang dirasakan oleh para penduduk
Palestina. Intifadah pertama dimulai pada 1987 dan berakhir pada 1993 dengan ditandatanganinya
Persetujuan Oslo dan pembentukan Otoritas Nasional Palestina.
31
Barat dan Jalur Gaza.72
Hal tersebut membuat Dewan Nasional Palestina (Palestine
National Council / PNC) mendeklarasikan kemerdekaan Palestina pada bulan
November 1988 di Aljir, Aljazair.73
Yang berisi pernyataan berikut: "Dewan
Nasional Palestina dengan ini menyatakan, atas nama Tuhan dan atas nama orang-
orang Arab Palestina, telah berdiri Negara Palestina di tanah Palestina dengan
ibukotanya di Yerusalem”.74
Meskipun Palestina telah memproklamirkan kemerdekaannya, hal tersebut
tidak langsung membuat Palestina menjadi negara yang merdeka dan berdaulat.
Setelah deklarasi negara Palestina, Majelis Umum PBB saat itu mengeluarkan sebuah
resolusi nomor 43/177 yang memutuskan mengganti untuk mengubah nama PLO
menjadi “Palestina” dengan tidak mengurangi statusnya dalam sistem PBB secara
resmi diakui dan diterima dunia.75
Hal tersebut diikuti oleh pengangkatan Yasser
Arafat sebagai presiden negara Palestina pada tahun 1989, membuat Palestina
memiliki pemeritahan yang sah untuk mengatur negara dan rakyatnya.76
Awal tahun 1993 dari sejumlah negosiasi yang telah dilakukan antara PLO
dan Israel terbentuk sebuah kesepakatan yang disebut dengan deklarasi prinsip (Oslo
72
UN, “Intifada (The Uprising) 1987-1993”, diakses dari
http://www.un.org/Depts/dpi/palestine/ch6.pdf, pada tanggal 4 november pukul 09.23 73
UN, “The Question of Palestine and the United Nations”, diakses dari
https://unispal.un.org/pdfs/DPI2499.pdf, pada tanggal 4 November 2017 74
Marcin Szydzisz, “The Palestinian international identity after the UN resolution”, The
Copernicus Journal of Political Studies nr 1 (3), 2013, hal. 116 75
Machnun Husein, “Prospek Perdamaian di Timur Tengah”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995), hal. 5 76
Aljazeera, “President Yasser Arafat”, diakses dari
https://www.aljazeera.com/archive/2004/11/2008410101519774430.html, pada tanggal 15 januari
2018 pukul 22.17
32
Accords) yang pertama.77
Kesepakatan tersebut menciptakan sebuah Badan
Pemeritahan Palestina (PA) yang dapat mengatur secara eksklusif permasalahan-
permasalahan yang ada di wilayah Palestina.78
PA diberikan kontrol sipil dan
keamanan di Area yang sudah ditentukan.
Pada tahun 2005 setelah peristiwa intifadah kedua, Israel menarik secara
sepihak pasukannya dari permukiman di Jalur Gaza. Keputusan tersebut memperluas
kontrol Otoritas Palestina ke seluruh jalur, sementara Israel terus mengontrol titik-
titik persimpangan, wilayah udara dan perairan di lepas pantai.79
Menyusul konflik
yang terjadi antar- Bangsa Palestina pada tahun 2006, Hamas mengambil alih kendali
atas Jalur Gaza dan Fatah mengambil alih Tepi Barat.80
81
Setelah kematian Yasser Arafat, Mahmoud Abbas terpilih sebagai Presiden
Otoritas Palestina (PA) pada tahun 2005.82
Mahmoud Abbas, dalam kapasitasnya
sebagai ketua PLO juga telah mengusahakan Palestina agar segera mendapatkan
77
Rupert Sherman, “The Palestinian Authority and the Misunderstood State in International
Law”, Universitas Otago, Dunedin 2005, hal. 19 78
Rupert Sherman, hal. 19 79
BBC News, "Israel completes Gaza withdrawal", diakses dari
http://news.bbc.co.uk/2/hi/4235768.stm, pada tanggal 10 Februari 2018 80
Hamas dan Fatah adalah dua pihak fraksi utama yang ada di Palestina, ketegangan antara
Hamas dan Fatah terjadi pada 2005 setelah kematian pemimpin lama PLO Yasser Arafat yang
meninggal pada 11 November 2004, dan ketegangan keduanya membuat perang saudara yang terjadi
di Palestina. 81
Aaron D. Pina, “Fatah and Hamas: the New Palestinian Factional Reality”, CRS Report for
Congress. Hal. 5 82
Joel Beinin dan Lisa Hajjar, “Palestine, Israel and the Arab-Israeli Conflict A Primer”,
diakses dari https://www.merip.org/sites/default/files/Primer_on_Palestine-
Israel(MERIP_February2014)final.pdf, pada tanggal 10 Februari 2018
33
pengakuan. Salah satu yang dilakukan yaitu dengan mengajukan petisi kepada PBB
untuk menerima Palestina sebagai negara anggota.83
Pada bulan September 2011 Mahmoud Abbas membuat petisi kepada Dewan
Keamanan PBB dan meminta keanggotaan penuh untuk Palestina.84
Namun, hal
tersebut kembali gagal karena petisi tersebut tidak mendapatkan minimal Sembilan
suara yang dibutuhkan dan Amerika juga sudah bersiap untuk memveto agar petisi
yang diajukan tidak sampai pada Majelis Umum.85
Hingga akhirnya pada tanggal 29 November 2012, melalui voting yang
dilakukan oleh Majelis Umum PBB, telah memutuskan untuk memberikan status
baru bagi Palestina sebagai Negara Pengamat Bukan Anggota (non-member observer
state) di PBB. Palestina mendapatkan dukungan mayoritas pada sidang umum
tersebut dengan jumlah suara 138 setuju, 9 menolak dan 41 abstain.86
Pemberian
status tersebut dapat dikatakan telah mempertegas status Palestina sebagai sebuah
negara di dunia internasional.
83
Joel Beinin dan Lisa Hajjar, hal. 15 84
Aaron Eitan Meyer, “Mahmoud Abbas: Redefining Law and Settlements at the United
Nations”, diakses dari https://thelawfareproject.org/mahmoud-abbas-redefining-law-and-settlements-
at-the-united-nations/, pada tanggal 10 Februari 2018 85
Aaron Eitan Meyer, “Mahmoud Abbas: Redefining Law and Settlements at the United
Nations”, diakses dari https://thelawfareproject.org/mahmoud-abbas-redefining-law-and-settlements-
at-the-united-nations/, pada tanggal 10 Februari 2018 86
Resolusi Sidang Umum PBB no. 67/19
34
B. Status Palestina sebelum Diakui sebagai Sebuah Negara
Kepemilikan status pada sebuah entitas merupakan hal yang penting dalam
hubungannya dengan dunia Internasional. Status yang dimiliki tersebut dapat
membantu sebuah entitas menjadi salah satu subjek hukum internasional, yang
nantinya dapat memiliki hak dan kewajiban untuk bisa berpartisipasi dalam segala
bentuk kegiatan internasional. Oleh sebab itu Palestina berjuang untuk mendapatkan
statusnya dalam beberapa dekade terakhir.
Perkembangan pada status Palestina dimulai ketika Organisasi Pembebasan
Palestina (PLO) terbentuk. PLO sendiri merupakan sebuah badan organisasi
perjuangan rakyat Palestina yang terbentuk tanggal 2 juni 1964 pada sidang Dewan
Nasional Palestina (PNC).87
Tujuan dari didirikannya PLO adalah sebagai organisasi
yang meyatukan semua kelompok gerakan perjuangan untuk dapat membebaskan
rakyat Palestina dari pendudukan Bangsa Israel.
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) tersebut bisa dijadikan sebagai tolak
ukur awal ketika membahas mengenai status Palestina, pada mulanya PLO hanya
dianggap sebagai organisasi perlawanan, namun di kemudian hari memiliki peran
yang penting dalam perkembangan status Palestina. Melalui PLO tersebut rakyat
Palestina secara sedikit demi sedikit dapat diakui eksistensinya sebagai sebuah
87
Abrar, “Dibalik Perubahan Sikap Organisasi Pembebasan Palestina tahun 1988”, Lontar
vol. 8, no. 1, hal. 41
35
bangsa. Usaha yang telah dilakukan oleh PLO mulai terlihat setelah mendapatkan
pengakuan dari Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada tahun 1969.88
Kemudian PLO mendapatkan pengakuan sebagai perwakilan resmi dari
bangsa Palestina oleh Liga Arab pada tahun 1974. Tidak lama setelah itu, pada 22
November 1974, PLO mendapatkan undangan untuk berbicara di depan Sidang
Umum PBB dan mendapatkan pengakuan masyarakat internasional sebagai satu-
satunya wakil resmi dari rakyat Palestina dalam memperjuangkan berdirinya negara
Palestina. Hal tersebut terjadi setelah keluarnya Resolusi Majelis Umum PBB No.
3237 yang isinya memberikan status peninjau kepada PLO.89
Dengan status tersebut
PLO mendapatkan kedudukan untuk berpartisipasi pada sidang dan konferensi yang
dibuat oleh PBB.
Langkah berikutnya yang dicapai oleh PLO adalah menjadi anggota penuh
dalam Liga Arab pada tahun 1976. Dengan adanya dukungan dari negara-negara
Arab, PLO pada akhirnya semakin percaya diri untuk dapat memproklamirkan
berdirinya negara Palestina pada 15 November 1988.90
Hal tersebut mendapat
pengakuan dari banyak negara Arab. Namun, Berdirinya negara Palestina tersebut
88
Ita Mutiara Dewi dkk, “ Gerakan Rakyat Palestina dari Deklarasi Negara Israel sampai
Terbentuknya Negara Palestina”, Laporan penelitian Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas
Negere Yogyakarta, (2008), hal. 18 89
Lazuardhi Utama, “4-2-1969: Organisasi PLO Berdiri”, diakses dari
https://www.viva.co.id/berita/dunia/731612-4-2-1969-organisasi-plo-berdiri, pada tanggal 15 Februari
2018 90
UN, “The Question of Palestine and the United Nations”.
36
tidak langsung dapat mengubah status PLO di PBB yang sebelumnya berstatus hanya
sebagai organisasi peninjau.
Setelah memproklamasikan negara Palestina, PLO menjadi representasi
Palestina untuk menyuarakan aspirasinya dalam forum-forum internasional. Hal
tersebut terjadi karena status Palestina sebagai sebuah negara belum diakui
seluruhnya. Dalam hukum internasional status Palestina terkendala dengan kriteria
yang dirumuskan oleh Konvensi Montevideo tahun 1933, yang di dalamnya sebuah
negara harus memiiki: wilayah tetap; berpenduduk permanen; memiliki
pemerintahan; dan memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan internasional.91
Kriteria yang belum dipenuhi Palestina sebagai syarat berdirinya sebuah
negara adalah memiliki wilayah yang tetap, sebagian besar wilayah palestina masih
diduduki oleh negara Israel. Pemerintahan palestina saat itu juga masih
dilangsungkan di pengasingan. Namun, hal ini tidak bisa menghambat negara-negara
lainnya secara bilateral untuk mengakui Palestina sebagai sebuah negara dan menjalin
hubungan dengannya. Walau pengakuan bilateral telah banyak didapatkan, itu belum
bisa membuat Palestina memiliki status yang setara dengan negara lain pada
umumnya.
Perkembangan berikutnya, PLO mulai mengikuti sejumlah konferensi
perdamaian dengan negara Israel yang mulai disponsori oleh negara-negara besar
91
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar , Hukum Internasional Kontemporer, (Bandung,
Refika Aditama, 2006), “berdasarkan Konvensi Montevideo 1933”, hal.105
37
seperti Amerika Serikat dan Rusia. Selanjutnya terjadi kesepakatan Perjanjian Oslo
pada tahun 1993. Kesepakatan tersebut mengatur perdamaian antara Palestina-Israel
dan penarikan mundur pasukan Israel dari wilayah yang ditetapkan oleh Resolusi
Dewan Keamanan PBB sebelum tahun 1976. lewat Perjanjian ini pula lahirlah
Palestinian National Authority (Otoritas Nasional Palestina) suatu pemerintahan
administratif atas sebagian wilayah Palestina di Jalur Gaza dan Jericho (Tepi Barat).92
Hingga pada tanggal 29 November 2012, melalui voting yang dilakukan
Majelis Umum PBB, memutuskan untuk memberikan status baru bagi bangsa
Palestina sebagai “non-member observer state” di PBB, Pemberian status tersebut
dapat dikatakan sebagai sebuah kemajuan yang mempertegas status Palestina sebagai
sebuah negara dan kedepannya dapat membuka jalan baru bagi Negara Palestina.93
C. Upaya Palestina untuk Mendapatkan Pengakuan
Palestina dalam usahanya untuk mendapatkan sebuah pengakuan melewati
jalan yang berliku dan tidak mudah. Berbagai upaya telah dilakukan untuk dapat
diakui di dunia internasional, khusunya mendapatkan status utama pada Organisasi
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Palestina sangat berupaya untuk mendapatkan
status keanggotaan tersebut, dikarenakan Peran PBB sangat penting dalam
menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada di dunia. Kita ketahui juga PBB
92
Rupert Sherman, “The Palestinian Authority and the Misunderstood State in International
Law”. 93
Resolusi Sidang Umum PBB no. 67/19
38
merupakan organisasi internasional yang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam
hubungan antar negara-negara dunia.
Dalam upayanya mendapatkan status dan pengakuan internasional Palestina
menggunakan berbagai cara setelah menempuh jalan kekerasan, PLO sebagai wakil
resmi dari Palestina mulai melakukan jalan diplomasi. Sebelumnya diketahui
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) diakui sebagai organisasi perwakilan rakyat
Palestina berdasarkan pertemuan Liga Arab yang dibuat kairo pada tahun 1964.94
PLO yang secara resmi menjadi perwakilan satu-satunya bangsa Palestina,
pada tanggal 22 November 1974 mendapatkan pengakuan dari PBB. Majelis Umum
PBB pada saat itu menyetujui untuk membahas masukan mengenai permasalahan
bangsa Palestina. Yasser Arafat yang saat itu menjabat sebagai pemimpin PLO turut
diundang untuk dapat berpartisipasi dalam forum diskusi tersebut. Pada forum
tersebut Yasser Arafat yang diundang mendapatkan kesempatan untuk berpidato dan
menyuarakan politik perdamaian yang akan ditempuh untuk bisa menyelesaikan
masalah Palestina-Israel. Hal tersebut mendapatkan sambutan yang baik dari PBB
dengan memberikan status kepada PLO sebagai “entitas pengamat non-anggota”
melalui Resolusi Sidang Umum No. 3237.95
94
Badri Alzaky, “Diplomasi Palestina menjadi Negara Pengamat Non- Anggota di PBB
Tahun 2011-2012”, hal. 2 95
Riza Sihbudi, “Palestin dalam Pandangan Imam Khomeini”, (Jakarta: Pustaka Zahra,
2004), hal. 21.
39
Pada tanggal 15 November 1988, PLO melalui Dewan Nasional Palestina
(PNC) memproklamirkan kemerdekaan Palestina di Aljir, Aljazair dengan Yasser
Arafat sebagai Presiden pertamanya.96
Peristiwa ini menandakan adanya eksistensi
dari pemerintahan Palestina, hal tersebut juga dinyatakan langsung oleh PBB dengan
Resolusi Sidang Umum no, 43/177.97
Selanjutnya Palestina diberikan hak-hak dan
Previlege tambahan untuk dapat ikut serta dalam forum-forum diskusi pada setiap
sidang umum, hak untuk mengajukan keberatan dan hak untuk menjawab apalagi
dengan hal yang menyangkut permasalahan Palestina yang sudah tercantum dalam
Resolusi Sidang Umum no. 52/250.98
Kemerdekaan yang di deklarasikan oleh Palestina pada 1988, membuat
pemerintah Israel dan Amerika Serikat menunjukan keberatan. Pada saat itu,
Palestina mencoba mencari pengakuan ke dua organisasi internasional yang
berafiliasi dengan PBB. Palestina mencoba mengajukan keanggotaannya ke
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Ekonomi, Sosial dan Budaya
PBB (UNESCO) pada 1989. Namun upaya ini tersendat karena Amerika Serikat
mengancam untuk tidak memberikan dana kepada organisasi tersebut.99
Direktur Jenderal WHO, Hiroshi Nakajima saat itu meminta untuk menunda
status keanggotaan WHO untuk Palestina. Nakajima mengatakan bahwa WHO tidak
96
UN, “The Question of Palestine and the United Nations”, 97
Resolusi Sidang Umum PBB No. 43/177 98
Resolusi Sidang Umum PBB No. 52/250 99
John Quigley, “Palestine Statehood and International Law”, Global Policy Essay, January
2013, hal. 3
40
akan bisa bertahan tanpa adanya kontribusi dari Amerika Serikat. UNESCO juga
mendapatkan boikot dari Amerika dan akan keluar dari organisasi apabila menerima
Palestina menjadi anggota. Dengan adanya ancaman serius yang diberikan oleh
Amerika Serikat tersebut, maka permintaan dari Palestina sementara tidak dapat
diterima.100
Sampai pada saat Presiden Yasser Arafat wafat tahun 2004, upaya untuk
mendapatkan pengakuan yang diimpikan Palestina masih belum dapat terwujud.
Keinginan untuk mendirikan Negara Palestina yang berdaulat juga masih harus
melalui jalan yang panjang. Setelah meninggalnya Yasser Arafat, Mahmoud Abbas
yang juga berasal dari kelompok Fatah101
terpilih menjadi Presiden Palestina pada
januari 2005. Sebagai pemimpin Palestina yang baru, Mahmoud Abbas selaku
pemimpin Palestina juga terus berkomitmen untuk dapat mewujudkan negara
Palestina merdeka melalui jalan diplomasi yang damai.102
Palestina yang masih berstatus entitas pengamat non-anggota di PBB,
menginginkan peningkatan status agar negara Palestina bisa menjadi anggota penuh
PBB. Presiden Mahmoud Abbas sebagai pemimpin Otoritas Palestina Pada 23
100
John Quigley, “Palestine Statehood and International Law”, hal. 4 101
Fatah adalah sebuah organisasi politik dan militer dari Palestina yang didirikan pada tahun
1950 oleh pemimpinnya Yasser Arafat dan Khalil al-Wazir, organisasi ini bertujuan untuk merebut
wilayah Palestina dari cengkraman Israel melalui serangan yang dilakukan secara gerilya. Fatah
menjadi kekuatan yang dominan dalam dunia perpolitikan di Palestina. Pada akhir 1960-an Fatah
bergabung dengan PLO, menjadikan Yasser Arafat menjadi pemimpin dalam PLO dan Fatah. Diakses
dari https://www.bbc.com/news/world-middle-east-13338216, pada tanggal 20 Februari 2018 102
Clemens Verenkotte, Renata Permadi, “Pergantian Generasi di Fatah”, diakses dari
https://www.dw.com/id/pergantian-generasi-di-fatah/a-4557850, pada tanggal 20 Februari 2018
41
September 2011, secara resmi mengajukan permohonan kepada Sekjen PBB Ban Ki-
moon agar Palestina bisa menjadi negara anggota penuh PBB (full member state).103
Presiden Abbas mengajukan proposal yang berjudul, "Proposal untuk
pengakuan Palestina berdasarkan garis batas 4 Juni 1967 dengan Yerusalem sebagai
Ibu Kota Palestina”.104
Dengan ini diharapkan dapat menyerahkan masalah tersebut
ke Dewan Keamanan untuk memutuskan apakah akan merekomendasikan status
keanggotaan Palestina. Namun, upaya Abbas tersebut gagal karena terkendala
persetujuan Dewan Keamanan (DK) PBB. Pasal 4 ayat (2) Piagam PBB
mensyaratkan keanggotaan penuh di PBB harus melalui persetujuan 9 dari 15 negara
anggota DK dengan persetujuan bulat dari 5 anggota tetapnya.105
Melalui rapat Dewan Keamanan PBB yang digelar pada November 2011,
beberapa negara seperti Rusia, India, Lebanon, China, dan Brasil mendukung
Palestina, saat itu negara seperti Inggris, Prancis, dan Kolombia memilih untuk
abstain dalam perkara itu. Sedangkan AS memang menyatakan penolakannya,
sumber kegagalan saat itu terjadi karena negara seperti Gabon, Bosnia dan Nigeria
103
Shohib Masykur, “Dunia Mengakui Kemerdekaan Palestina”, Buletin Diplomasi
Multilateral Vol. II No. 1 Tahun 2013, hal. 13 104
UN, diakeses dari http://www.un.org/News/dh/infocus/middle_east/quartet-
23sep2011.htm, pada tanggal 20 Februari 2018 105
Jim Zanotti dan Marjorie Ann Browne, “Palestinian Initiatives for 2011 at the United
Nations”, CRS Report for Congress, hal. 2
42
tidak jelas menentukan sikapnya. Dengan kondisi ini, AS tidak perlu bersusah payah
menggunakan vetonya untuk dapat menggagalkan usaha Palestina.106
Kegagalan Palestina tersebut tidak menyurutkan usaha untuk dapat memiliki
status sebagai sebuah negara resmi dunia. Tak lama setelah Palestina gagal
mengajukan permohonan untuk masuk ke PBB, Palestina mulai menemui titik terang.
Setelah salah satu badan PBB, yaitu UNESCO (The United Nations Educational,
Scientific and Cultural Organization) menerima permohonan Palestina untuk
mendapatkan status keanggotaan penuh pada sidang General Conference (GC) ke-36
UNESCO pada 31 Oktober 2011. Sebanyak 107 negara dalam proses pemungutan
suara yang diadakan dalam salah satu sesi sidang menyetujui usulan keanggotaan
yang diajukan Palestina.107
Palestina resmi menjadi anggota UNESCO ke-195 setelah meratifikasi
Konstitusi UNESCO pada 23 November 2011. Sembilan negara anggota UNESCO,
yang juga menjadi negara anggota DK PBB memilih opsi mendukung yaitu Perancis,
Brazil, RRT, Rusia, India, Afrika Selatan, Libanon, Gabon dan Nigeria. Sementara
Portugal, Colombia, Bosnia-Herzegovina serta Inggris Raya memilih abstain,
sedangkan Jerman dan AmerikaSerikat (AS) memilih menolak.108
Kali ini UNESCO
106
Badri Alzaky, “Diplomasi Palestina menjadi Negara Pengamat Non- Anggota di PBB
Tahun 2011-2012”, hal. 4 107
Karl Vick, “Palestinian Statehood Gets Recognized by UNESCO: What‟s Next?”, diakses
dari http://world.time.com/2011/10/31/palestinian-statehood-gets-recognized-unescowhats-next, pada
tanggal 20 februari 2018 pukul 15.23 108
Karl Vick, “Palestinian Statehood Gets Recognized by UNESCO: What‟s Next?
43
mengabaikan ancaman dari Amerika Serikat dan mengakui Palestina menjadi
anggotanya.
Setahun berselang tepatnya November 2012, Mahmoud Abbas selaku
Presiden Otoritas Palestina menyampaikan pidatonya melalui Sidang Panel ke 44
pada Sidang ke-67 Majelis Umum PBB. Sidang tersebut membahas topik mengenai
masalah Palestina, Mahmoud Abbas pada pidatonya menegaskan bahwa Palestina
memiliki tekad untuk dapat memiliki status keanggotaan penuh di PBB. Hal tersebut
telah diputuskan setelah Presiden Abbas melakukan konsultasi dengan negara-negara
anggota PBB dan organisasi regional seperti OKI untuk mendapatkan dukungan.109
Diharapkan dengan pemberian status tersebut, berdampak baik bagi Palestina
di masa depan. Pengakuan ini juga dapat menjadi kesempatan Palestina untuk dapat
berpartisipasi dalam berbagai forum dan debat yang dibuat Majelis Umum PBB.
Meningkatkan peluang Palestina untuk bisa bergabung dengan badan-badan di bawah
PBB dan Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Pemberian status Non-member
Observer State ini merupakan sebuah bentuk dukungan dan pengakuan masyarakat
internasional terhadap eksistensi Negara Palestina.
109
Badri Alzaky, “Diplomasi Palestina menjadi Negara Pengamat Non- Anggota di PBB
Tahun 2011-2012”, hal. 11
44
D. Pengakuan dari negara-negara Internasional terhadap Palestina
Dalam upaya Palestina memperoleh pengakuan dari negara lain sebagai salah
satu syarat suatu negara menjadi berdaulat, hal tersebut membutuhkan proses yang
sangat panjang. Dalam proses pengakuan kenegaraan, Palestina berhasil mendapatkan
pengkuan dari organisasi internasional yaitu Perserikatan Bangsa Bangsa atau
PBB.110
Hal ini menjadi pendorong untuk Palestina untuk memperoleh pengakuan
secara resmi dari negara lainnya. Sejak pengakuan palestina pada pertemuan PBB,
beberapa negra mulai memberikan pengakuan resmi terhadap Palestina seperti negara
Irlandia, Perancis, Swedia, Denmark, Vatikan, dan banyak negara lainnya.
Gambar. II.2 Negara yang Mengakui Palestina sebagai Negara
Sumber: Washington Post
110
VOAindonesia.com, PBB Akui Palestina Sebagai Negara Berdaulat, Artikel,
Dipublikasikan pada tanggal 30 November 2012 pada situs https://www.voaindonesia.com/a/pbb-akui-
palestina-sebagai-negara-berdaulat/1555724.html, diakses pada tanggal 1 Juli 2018
45
Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa banyak negara yang telah mengakui
Palestina sebagai sebuah negara dan mayoritas negara tersebut berapa di kawasan
benua Eropa. Dalam setiap pengakuan yang diperoleh dari setiap negara terhadap
Palestina, negara tersebut perlu mengadakan proses pencapaian kesepakatan bersama.
Oleh sebab itu, negara-negara tersebut melakukan perlu diketahui bagaimana negara-
negara tersebut memperoleh kesepakatan untuk mengakui Palestina sebagai negara
secara resmi.
1. Swedia
Setelah PBB memberikan suara dalam mengakui Palestina sebagai negara,
Swedia sebagai negara pertama yang ikut megakui secara resmi status
kenegaraan Palestina. Hal ini telah dikemukakan oleh Margot Wallstrom yaitu
Menteri Luar Negeri Swedia. Pada suatu artikel Wallstrom menyatakan
bahwa Swedia secara resmi mengakui Palestina sebagai negara dan
mengatakan “Pengakuan hari ini merupakan sumbangan bagi masa depan
lebih baik di kawasan yang telah lama diwarnai dengan kemacetan
perundingan, kehancuran dan frustasi”.111
Dari pernyataan tersebut, Swedia
bertujuan membantu Palestina agar mendapatkan jalan penyelesain lebih cepat
terkait dengan konflik antara Palestina dan Israel. Amerika Serikat
memandang bahwa keputusan Swedia terlalu cepat, namun Swedia sendiri
111
BBC, Swedia Resmi Akui Palestina Sebagai Negara Berdaulat, Artikel, Dipublikasikan
pada tanggal 30 Oktober 2014 pada situs
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2014/10/141030_swedia_palestina_pengakuan, diakses pada
Tanggal 1 Juli 2018
46
memandang bahwa jika pengakuan tersebut tidak diberikan maka dinilai takut
telalu terlambat.112
Oleh sebab itu, Swedia berharap tindakanya dalam
memberikan pengakuan kepada Palestina dapat diikuti oleh negara Eropa
lainnya agar dapat mempercepat perubaha status Palestina sebagai negara.
2. Irlandia
Dalam proses pemberian pengakuan, Israel melakukan tekanan kepada setiap
negara yang akan memberikan suaranya kepada Palestina termasuk terhadap
Irlandia. Hal ini diketahui dari adanya kecaman yang diarahkan oleh Israel
kepada Irlandia dan hal ini dianggap sebagai tujuan genosida yang dilakukan
Israel kepada Irlandia dengan tujuan tidak memberikan dukungannya kepada
Palestina.113
Namun, keputusan Irlandia dalam pengakuan ini didukung oleh banyak pihak
di dalam negaranya seperti halnya organisasi yang yang ada di Irlandia.
Organisasi ini melakukan desakan kepada pemerintah Irlandia untuk
memberikan pengakuan kepada Palestina.114
Selain itu, Irlandia pun
112
BBC, Swedia Resmi Akui Palestina Sebagai Negara Berdaulat, Artikel, Dipublikasikan
pada tanggal 30 Oktober 2014 pada situs
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2014/10/141030_swedia_palestina_pengakuan, diakses pada
Tnggal 1 Juli 2018 113
Jurnalislam.com, Lucu, Karena Akui Kedaulatan Negara Palestina, Irlandia Dikecam
Israel, Artikel, Dipublikasikan pada tanggal 15 Desember 2014 pada situs
https://jurnalislam.com/lucu-karena-akui-kedaulatan-negara-palestina-irlandia-dikecam-israel/, diakses
pada tanggal 1 Juli 2018. 114
RZ, Organisasi di Irlandia Desak Negaranya Akui Palestina, Artikel, Dipublikasikan pada
tanggal 28 Februari 2015 pada situs https://www.eramuslim.com/berita/organisasi-di-irlandia-desak-
negaranya-akui-palestina.htm, diakses pada tanggal 1 Juli 2018
47
mengikuti jejak Swedia dalam mendukung Palestina sebagai negara.115
Dengan banyaknya dukungan dari dalam dan luar negara akhir Irlandia
memberikan pengakuannya kepada Palestina.
3. Prancis
Dalam proses pengambilan keputusan dalam memberi pengakuan terhadap
Palestina, Prancis mendapatkan peringatan dari Israel sama seperti negara
Irlandia. Pedana Menteri Israel Benjamin Metanyahu menyatakan bahwa jika
Prancis memberikan pengakuan kepada Palestina, maka Prancis melakukan
kesalah besar.116
Peringatan itu datang muncul setelah parlemen Prancis akan
melakukan voting untuk mengakui negara Palestina pada awal Desember
2014 nanti.117
Namun, walaupun Israel memberikan peringatan kepada
Prancis, negara lain tetap memberikan pengakuannya kepada Palestina dan hal
tersebut menjadi poin tambahan bagi pemerintah Prancis untuk tetap
memberikan pengakuannya kepada Palestina. Dalam keputusan yang
115
Jurnalislam.com, Lucu, Karena Akui Kedaulatan Negara Palestina, Irlandia Dikecam
Israel, Artikel, Dipublikasikan pada tanggal 15 Desember 2014 pada situs
https://jurnalislam.com/lucu-karena-akui-kedaulatan-negara-palestina-irlandia-dikecam-israel/, diakses
pada tanggal 1 Juli 2018. 116
Muhaimin, Israel Peringatkan Prancis Jangan Akui Palestina, Artikel, Dipublikasikan
pada tanggal 24 November 2014 pada situs https://international.sindonews.com/read/928158/43/israel-
peringatkan-prancis-jangan-akui-palestina-1416797121, diakses pada tanggal 1 Juli 2018 117
Muhaimin, Israel Peringatkan Prancis Jangan Akui Palestina, Artikel, Dipublikasikan
pada tanggal 24 November 2014 pada situs https://international.sindonews.com/read/928158/43/israel-
peringatkan-prancis-jangan-akui-palestina-1416797121, diakses pada tanggal 2 Juli 2018
48
dikeluarkan pengakuan dari Parlemen Prancis dengan suara mayoritas tersebut
dapat mewujudkan jalan damai antara Palestina dan Israel.118
4. Inggris
Tujuan pemerintah Inggris dalam pemberian keputusan terhadap kedaulatan
Palestina ialah agar Palestina dan Israel dapat mencapai perdamaian. Seperti
yang dikemukakan oleh Morris salah seorang anggota parlemen Inggris
menyatakan bahwa pengakuan Palestina tidak berarti akan melukai Israel.
Namun sebaliknya, pengakuan ini diberikan untuk kebaikan kedua belah
pihak.119
Dimana Inggris beranggapan dengan memberikan pengakuan kepada
Palestina sama hal memberikan jalan perdamain lebih cepat. Selain itu,
pengakuan terhadap Palestina diberikan karena Israel memberikan pandangan
kurang baik dimata pemerintahan Inggris.
Pada awalnya, anggota parlemen Inggris dari kubu Konservatif, Richard
Ottaway, mengatakan bahwa dia dulu mendukung Israel dan ideologi
Zionisme yang mereka anut.120
Namun, belakangan Israel mulai mendapat
predikat buruk, salah satunya karena pemerintah Tel Aviv dimana hal tersebut
118
BBC.com, Parlemen Prancis Akui Negara Palestina, Artikel, Dipublikasikan pada tanggal
2 Desember 2014 pada situs http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2014/12/141202_prancis_palestina,
diakses pada tanggal 2 Juli 2018 119
Denny Armandhanu, Parlemen Inggris Akui Kedaulatan Palestina,Artikel, Dipublikasikan
pada tanggal 14 Oktober 2014 pada situs
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20141014165913-134-6363/parlemen-inggris-akui-
kedaulatan-palestina, diakses pada tanggal 2 Juli 2018 120
Denny Armandhanu, Parlemen Inggris Akui Kedaulatan Palestina,Artikel, Dipublikasikan
pada tanggal 14 Oktober 2014 pada situs
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20141014165913-134-6363/parlemen-inggris-akui-
kedaulatan-palestina, diakses pada tanggal 2 Juli 2018
49
merupakan salah satu penyebab utama mandeknya perundingan damai yang
dimediasi Amerika Serikat.121
Setelah peristiwa tersebutlah yang
memunculkan dukungan Inggris terhadap Palestina dan akhirnya Inggris
memberikan pengakuannya terhadap Palestina.
5. Vatikan
Vatikan menanmbahkan negaranya sebagai negara yang ikut mengakui
Palestina sebagai negara. Hal tersebut menjadi kekecewaan bagi Israel dan
Amerika Serikat, dimana keduanya menentang pengakuan semacam itu
dengan menyebut pakta mengenai Palestina masih prematur dan
kontraproduktif.122
Namun walau bagaimanapun, Vatikan telah membuat
keputusan untuk memberikan pengakuannya kepada Palestina, bahkan
pengakuan ini telah diberikan secara de facto oleh Vatikan sejak tahun 2012
dan hingga pada tahun 2015 Vatikan dan Palestina telah melakukan langkah
prosedural penandatangan.123
Langkah ini dibuat oleh Vatikan agar dapat mempercepat memiliki peran
yang lebih besar di Timur Tengah, tempat banyak orang Kristen melarikan
121
Denny Armandhanu, Parlemen Inggris Akui Kedaulatan Palestina,Artikel, Dipublikasikan
pada tanggal 14 Oktober 2014 pada situs
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20141014165913-134-6363/parlemen-inggris-akui-
kedaulatan-palestina, diakses pada tanggal 2 Juli 2018 122
Rinaldo, Meski Ditentang Israel, Vatikan Resmi Akui Negara Palestina, Artikel,
Dipublikasikan pada tanggal 3 Januari 2016 pada situs
https://www.liputan6.com/global/read/2403282/meski-ditentang-israel-vatikan-resmi-akui-negara-
palestina, diakses pada tanggal 2 Juli 2018 123
Rinaldo, Meski Ditentang Israel, Vatikan Resmi Akui Negara Palestina, Artikel,
Dipublikasikan pada tanggal 3 Januari 2016 pada situs
https://www.liputan6.com/global/read/2403282/meski-ditentang-israel-vatikan-resmi-akui-negara-
palestina, diakses pada tanggal 2 Juli 2018
50
diri karena konflik di negara-negara seperti Suriah dan Irak.124
Dengan
penambahan jumlah negara Eropa yang mengakui Palestina diharapkan dapat
mempercepat proses perdamaian kedua negara.125
Dengan adanya pengakuan yang diberikan oleh negara lain, dapat menbantu
negara Palestina untuk mendapatkan status kenegaraannya. Selain itu, pengakuan
tersebut diharapkan dapat menjadi alat untuk Palestina terlepas dari konflik yang
masih terus terjadi dengan Israel dan menjadi solusi bagi kedua negara tersebut.
124
Suprapto, Tahta Suci Vatikan Akui Palestina, Kesepakatan Berlaku, Artikel,
Dipublikasikan pada tanggal 4 Januari 2016 pada situs
http://wartakota.tribunnews.com/2016/01/04/tahta-suci-vatikan-akui-palestina-kesepakatan-berlaku,
diakses pada tanggal 2 Juli 2018 125
BBC.com, Vatikan akui Palestina sebagai Negara, Artikel, Dipublikasikan pada tanggal
14 Mei 2015 pada situs
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/05/150513_dunia_vatikan_palestina, diakses pada tanggal
2 Juli 2018
51
BAB III
PENGAKUAN TAKHTA SUCI (VATIKAN) TERHADAP NEGARA
PALESTINA
A. Takhta Suci (Vatikan) sebagai Subjek Hukum Internasional
Pada awalnya negara hanyalah satu-satunya sebagai aktor dan subjek
hukum internasional di dunia. Bersamaan dengan itu hukum internasional yang
dibentuk atau ditetapkan hanya berlaku untuk negara sebagai satu-satunya subjek
hukum internasional. Namun pada perkembangannya terjadi perubahan pada
sistem internasional dengan ditandai kemunculan subjek hukum internasional
melalui konvensi atau perjanjian internasional.126
Cheney Hyde mendefinisikan hukum internasional sebagai peraturan yang
mengatur tindakan aktor internasional dalam sistem internasional. Aktor
interasional terdiri atas negara dan non negara (oraganisasi internasional) meliputi
International Governmental Organization (IGO) dan International Non-
Governmental Organization (INGO)127
. F. Sugeng Istanto menjelaskan bahwa
subjek hukum internasional sebagai suatu aktor internasional dengan hak dan
kewajiban tertentu baik bersifat formal maupun material.128
Secara spesifik I Wayan Parthiana mencirikan subjek hukum internasional
dengan dua bagian, meliputi :
126 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional,
(Bandung: PT. Alumni, 2010). Hal. 97..
127
J. G Starke, Pengantar Hukum Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010). Hal. 77.
128
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Mandar Maju, 2003).
Hal. 3.
52
a. Individu atau perorangan yang disebut sebagia pribadi alam
b. Lembaga atau institusi yang didirikan dengan tujuan tertentu
berdasarkan ciri khusus, seperti sifat atau bentuk lembaga tersebut
yang mampu berkedudukan sebagai subjek hukum
internasional.129
Salah satu subjek hukum internasional adalah Takhta Suci (Vatikan) yang
memiliki wewenang untuk kerohaniaan dan kemanusiaan. Namun Takhta Suci
(Vatikan) bukanlah suatu bentuk negara sehingga tidak memiliki kedaulatan. Di
samping itu, terdapat beberapa subjek hukum internasional, seperti negara, Palang
Merah Internasional (ICRC), organisasi internasional (IGO dan INGO),
Multinational Corporation (MNC), kelompok pemberontakan dengan skala
global, dan individu.130
Dalam prakteknya Takhta Suci (Vatikan) memiliki posisi yang sama atau
sejajar dengan negara. Berdirinya Takhta suci sebagai subjek hukum internasional
berasal dari perjanjian antara Takhta Suci dengan Italia tentang pengembalian
tanah yang memiliki ukuran tertentu di Roma kepada Takhta Suci. Perjanjian
tersebut dilaksanakan pada 11 Februari 1929 atau dikenal dengan Laterant Treaty
yang secara langsung juga terbentuknya negara Vatikan di Roma. Terbukti
129 I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Mandar Maju, 2003).
Hal. 58.
130
Sugeng Istanto, Hukum Internasional, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 2010). Hal. 23.
53
posisisnya yang sejajar dengan negara Takhta Suci (Vatikan) memiliki perwakilan
diplomatik yang tersebar di beberapa negara.131
Laterant Treaty atau The Concordant of the Lateran Pacts of 1929
ditandatangani oleh Kardinal Gasparri dan Benito Mussolini, Presiden Italia pada
Perang Dunia II. Treaty tersebut mengandung beberapa dokumen penting, seperti
treaty of laterant, concordat between the Holy See and Italy, dan financial
convention.132
Kemudian ditegaskan juga bahwa terdapat perbedaan antara
Vatikan dan Takhta Suci. Ini penting mengingat sebagian besar masyarakat dunia
mengira bahwa Vatikan dan Takhta Suci sebagai hal yang sama atau hanya nama
lain.
Perjanjian Laterant merupak faktor utama yang menyebabkan Takhta Suci
(Vatikan) menjadi subjek hukum internasional. Tujuan perjanjian tersebut adalah
untuk mengakui status Vatikan dan cara dalam penyelesaian masalah antara Italia
dengan Takhta Suci (Vatikan). Adapun garis besar dari isi perjanjian ini adalah,
sebagai berikut :
a. Negara Italia memberikan pengakuan kepada Geraja Katolik tentang suatu
kedaulatan dan bagian dari masyarakat internasional yang netral.
Pengakuan ini juga membuat Takhta Suci sebagai negara merdeka di
dalam Roma.
131 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional,
(Bandung: PT. Alumni, 2010). Hal. 100.
132
Agustinus Supriyanto, Diplomasi Takhta Suci sebagai Subjek Hukum Internasional
Sui Generis, Mimbar Hukum, Volume 18, Nomor 2, Oktober 2006. Hal 295.
54
b. Negara Italia mengakuai agama resmi negara adalah Katolik, sebaliknya
Takhta Suci mengakui kemerdekaan Italia di wilayah tersebut.
c. Menghapus berbagai kontrak undang-undang tata usaha yang sebelumnya
sudah disahkan oleh parlemen.
d. Italia mengharuskan memberikan uang kepada pihak Takhta Suci sebagai
bentuk ganti rugi atas masalah klaim hukum tentang Kota Roma dan
Kerajaan Kepausan.
e. Dalam hubungan internasional Takhta Suci akan bertindak netral, tidak
memihak, dan tidak ikut campur dalam pihak yang berkonflik. Namun
akan ikut campur jika Takhta Suci diminta untuk menyelesaikan suatu
masalah.133
Bukti lainnya yang menegaskan Takhta Suci sebagai subjek hukum
internasional berasal dari Konvensi Montevindo 1933 dengan memenuhi beberapa
kritertia tertentu, seperti :
a. Populasi Vatikan sangat permanen sebanyak 800 orang sebagai penduduk
tetap.
b. Terdapat wilayah dengan ukuran tertentu dimana Takhta Suci terletak pada
lahan seluas 44 hektar / 0,44 kilometer di tengah Kota Roma, Italia.
c. Adanya bentuk pemerintahan pada Takhta Suci, yakni Monarki Absolut
dengan Paus sebagai kepala negara yang memiliki kekuasaan absolut atau
tanpa batas terhadap kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
133
Treaty Between The Holy See and Italy, Dipublikasikan pada situs
http://www.vaticanstate.va/content/dam/vaticanstate/documenti/leggi-e-decreti/Normative-Penali-
e-Amministrative/LateranTreaty.pdf, pada 1 juli 2018
55
d. Memiliki kapasitas untuk melakukan hubungan internasional dengan aktor
lainnya. Misalkan Takhta Suci melakukan perjanjian internasional dan
melibatkan diri sebagai anggota dari organisasi internasional di dunia.134
Takhta Suci itu sendiri diambil dari Bahasa Latin, Sancta Sedes atau
Takhta keuskupan sebagai pusat pemerintahan Gereja Katolik. Sederhananya
Vatikan adalah salah satu negara dunia yang terletak di dalam Italia, yakni Kota
Roma. Sedangkana Takhta Suci merupakan bentuk institusi yang didalamnya
terdapat Sekretariat Negara, Dewan Urusan Umum Gereja, dan lembaga gereja
lainnya. Takhta Suci bisa juga dianggap sebagai institusi lembaga gereja yang
tujuannya untuk mengurusi gereja dan umat Katolik di seluruh dunia.135
Secara historis Takhta Suci (Vatikan) merupakan kelanjutan bentuk
sejarah berupa berbagai peninggalan kekuasaan Paus. Dimana posisi Paus di
Gereja sebagai Kepala Gereja Roma dan berkuasa atas dunia juga.136
Selain itu
Vatikan sebagai simbol agama Katolik di dunia yang kebijakan luar negerinya
berfokus pada aspek kemanusiaan dan perdamaian. Dalam kepentinganya tidak
pernah diselipkan dengan kepentingan ekonomi, politik, dan militer. Hak
kemanusian dan perdamaian merupakan bagian dari kampanye yang sering
disuarakan oleh Vatikan.137
134 M. Fauzu Tamam S, Subjek Hukum Internasional Takhta Suci Vatikan, Hukum
Internasional, Universitas Prof. DR. Moestopo, FISIP, 2015. Hal. 18.
135
Konferensi Waligereja Indonesia, Kitab Hukum Kanonik, (Jakarta: Penerbit Obor,
1991). Hal. 123.
136
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional,
(Bandung: PT. Alumni, 2010). Hal. 100.
137
Chao J, The Evolution of Vacation Diplomacy, (Taipei: Institut of Catholic History,
2000). Hal. 4.
56
Takhta Suci (Vatikan) sebagai subjek hukum internasional sudah
melakukan hubungan diplomatik dari 1870 hingga sekarang. Pada 1890
merupakan tahun pesatnya perkembangan Vatikan dengan terbukanya 18
perwakilan tetap. Dilanjutkan dengan penambahan 14 perwakilan pada Perang
Dunia I, 24 perwakilan pada 1921, dan 27 perwakilan diplomatik pada 1929.
Peningkatan perwakilan dan intensitas diplomatik yang dilakukan Vatikan
membuat aktor internasional ini memang layak untuk disebut sebagai salah satu
subjek hukum internasional.138
Hal tersebut dengan indikator banyaknya negara
yang mengakui dan misi Vatikan yang menciptakan perdamaian dunia melalui
kemanusiaan, HAM, dan kesejahteraan.
Gambar 1. Peta Hubungan Diplomasi Takhta Suci (Vatikan)
dengan Negara Lain
Sumber: Foreign and Commonwealth Office, The Holy See.139
138 Robert A. Graham, Vatican Diplomacy: A Study of Chruch and State on The
International Plane. Princenton University Press, 160. Hal. 25. 139
Foreign and Commonwealth Office, The Holy See, Artikel, Dipublikasikan pada 2 Juni
2018 dari web.archive.org/web/20091021064108/http://www.fco.gov.uk/en/travel-and-
living-abroad/travel-advice-by-country/country-profile/europe/holy-see/, diakses pada tanggal 1
Juli 2018
57
Gambar di atas menjelaskan bahwa warna hijau yang terdapat di peta
menandakan wilayah tersebut melakukan hubungan diplomatik dengan Takhta
Suci. Banyaknya negara yang membuka hubungan diplomatik dengan Takhta Suci
(Vatikan) merupakan bukti lain bahwa aktor ini patut dianggap sebagai subjek
hukum internasional yang berpengaruh secara global. Kemudian banyak juga
perwakilan Takhta Suci di negara-negara dunia, khususnya negara di Benua Eropa
dan Amerika. Sedangkan wilayah yang berwarna putih atau abu-abu menandakan
tidak adanya hubungan diplomatik antara Takhta Suci dengan wilayah tersebut.
Terbukti hanya 15 negara di dunia yang tidak memiliki hubungan diplomatik
dengan Takhta Suci, meliputi Afghanistan, Komoro, Brunei, Korea Utara, Arab
Saudi, Somalia, Vietnam, Tuvalu, Maladewa, Laos, Myanmar, Oman, dan negara
Asia lainnya.
Meskipun Vatikan disimbolkan sebagai perwakilan Katolik di dunia,
namun dalam menjalankan tugasnya sebagai subjek hukum internasional berlaku
bagi masyarakat dunia. Kewenangan yang dimiliki Vatikan dilakukan melalui
pembukaan kerjasama dengan organsiasi internasional lainnya, seperti United
Nation Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), United
Nation Emergency Children Fund (UNICEF), Food Agricultural Organization
(FAO), dan lainnya.
Mengingat Vatikan sebagai suatu bentuk negara maka dapat bertindak
seperti negara dalam sistem internasional, seperti mengakui negara lain,
58
memberikan bantuan, dan lainnya.140
Begitupun dengan pengakuan Palestina oleh
Vatikan sebagai bentuk konsistensinya untuk menciptakan perdamaian dan
menegaskan bahwa organisasi ini tidak hanya berbicara pada kepentingan agama
Katolik melainkan kepentingan dunia.
Maka dari itu dapat dinyatakan bahwa Takhta Suci (Vatikan) sebagai
subjek hukum internasional dengan berbagai kewenangan dan kebijakan tertentu.
Dimana aktivitasnya tidak berkaitan dengan masalah politik atau ekonomi
melainkan kemanusiaan, keadilan, dan perdamaian. Selain itu pembentukan
Takhta Suci sebagai subjek hukum internasional bersumber dari perjanjian atau
traktat internasional. Ditambah dengan konsistensinya dalam menciptakan
perdamaian dunia, khususnya pengakuan kedaulatan Palestina sebagai negara
yang merdeka.
B. Sistem Takhta Suci (Vatikan) dalam Pengambilan Kebijakan Luar
Negeri
Takhta Suci yang berada di Vatikan merupakan keuskupan nomor satu
dalam Gereja Katolik sebagai pusat pemerintahan Katolik juga. Selain itu Paus
merupakan Kepala Negara dan kebutuhan sehari-hari diatur oleh seorang
gubernur. Dalam menjalankan sistem Takhta Suci dilakukan oleh seseorang yang
140 Agustinus Supriyanto, Diplomasi Takhta Suci sebagai Subjek Hukum Internasional
Sui Generis, Mimbar Hukum, Volume 18, Nomor 2, Oktober 2006. Hal. 321.
59
berjumlah 2.750 di Kuria Romawi, 333 orang bekerja di luar negeri sebagai
perwakilan misi diplomatik, dan 1.909 orang bekerja untuk negara.141
Paus sebagai Kepala Negara Takhta Suci akan dibantu oleh beberapa
rohaniawan/rohaniawati dan dilindungi oleh pasukan yang disebut sebagai Garda
Swiss. Rohaniawan tersebut tersebar di beberapa bidang yang ada di Takhta Suci
untuk mengurusi berbagai kebutuhan atau masalah yang ada di dunia, khususnya
berkaitan dengan masyarakat Katolik. Selain itu Paus juga disebut sebagai Uskup
Roma, pemimpin spiritual Gereja Katolik, dan Kepala Negara Kota Vatikan.142
Dengan katan Paus memiliki kekuasaan atas Takhta Suci itu sendiri sebagai
Uskup Roma dan Kepala Negara Vatikan sebagai negara kecil dengan wilayah
tertentu.
Takhta Suci sekarang dipegang oleh Paus Fransiskus yang menggantikan
sebelumnya Paus Benediktus XVI yang sudah mengakhirinya masa kepausannya
pada 28 Februari 2013. Takhta Suci bisa dikatakan sebagian pemerintahan pusat
katolik yang bisa mengeluarkan kebijakan luar negeri dalam sistem internasional,
khususnya masalah kemanusiaan dan perdamaian. Sistem pemerintahan Takhta
Suci bersifat monarki absolut atau kebebasan mutlak pada Paus sebagai Uskup
Roma dan Kepala Negara Vatikan.143
Dalam menjalankan pemerintah Gereja Katolik Paus dibantuk oleh Kuria
Romawi. Badan tersebut, yakni Kuria Romawi merupakan sekumpulan orang
141 M. Fauzu Tamam S, Subjek Hukum Internasional Takhta Suci Vatikan, Hukum
Internasional, Universitas Prof. DR. Moestopo, FISIP, 2015. Hal. 13.
142
Anton Pasaribu, 264 Takhta Suci Paus Edisi Ke-2, (Bekasi: Krista Mitra Pustaka,
2004). Hl. 19.
143
Artikel diakses pada 2 Juli 2018 dari m.vatican.va/content/francescomobile/en/html
60
jawatan yang terbagi dalam beberapa bidang, seperti Sekretariat Negara, Sembilan
Kongregasi, Tiga Pengadilan Gereja, Sebelas Dewan Kepausan, dan Sebelas
Komisi Kepausan. Berbagai bidang tersebut diatur oleh Sekretariat negara
dibawah naungan Kardinal Sekretaris Negara. Di dalamnya terdapat Sekretaris
Bagian Hubungan Antar-negara yang bertindak selaku menteri luar negeri.144
Namun lembaga kuria yang memiliki mobilitas dan intensitas tinggi untuk
menopang kinerja Pemerintah Gereja adalah Kongregasi bagi Doktrin Iman.
Tugas lembaga tersebut untuk memberikan indikator dan pengawasan terhadap
berbagai doktrin Gereja-Katolik. Disamping itu ada juga Kongregasi bagi Para
Uskup dengan melakukan dan menentukan para uskup di dunia dan Kongregasi
bagi Penginjilan dengan melakukan pemantauan berbagai misi gereja, termasuk
masyarakat Katolik di Palestina.
Adapun permasalahan sosial di dunia termasuk konflik Israel-palestina
dilakukan oleh Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian. Meskipun Paus
di Gereja Katolik bisa mengambil keputusan sepihak mengingat bersifat Monarki
Absolut tentunya keputusan yang diambil berdasarkan masukan Dewan
Kepausan. Perbedaanya adalah keputusan tetap di tangan Paus sebagai orang yang
memiliki kekuasaan penuh atas Takhta Suci dan Vatikan.
Dalam menjalankan dan mengimplementasikan kebijakan tersebut
tentunya dibutuhkan biaya untuk keberlanjutan institusi dunia tersebut. Lembaga
144 Foreign and Commonwealth Office, The Holy See, Artikel diakses pada 2 Juni 2018
dari web.archive.org/web/20091021064108/http://www.fco.gov.uk/en/travel-and-living-
abroad/travel-advice-by-country/country-profile/europe/holy-see/
61
yang memiliki hak untuk mengaturnya adalah Pengawas Urusan Ekonomi Takhta
Suci. Lembaga keuangan ini didirikan pada 15 Agustus 1967 untuk mengatur dan
mengawasi berbagai masalah keuangan dengan tingkatan otonomi keuangan
tertentu. Laporan keuangan terdiri dari pemasukan dan pengeluaran juga bagian
dari lembaga keuangan ini.
Secara spesifik Takhta Suci terdapat 180 misi diplomatik di berbagai
negara, 74 bersifat non-residensial, dan 106 sebagai misi yang sudah diakreditasi
oleh organisasi internasional lainnya. Kegiatan diplomatik diatur penuh oleh
Sekretariat Negara dengan Kardinal Sekretaris Negara sebagai ketuanya. Dimana
dalam prosesnya akan dibantu juga oleh Bagian Hubungan Negara yang ada di
Pemerintahan Gereja Katolik.
Dengan kata lain kita bisa mengasumsikan bahwa sistem Takhta Suci
dijalankan oleh beberapa bidang tertentu di dalamnya. Dimana aktivitas Gereja
yang mengurusi masalah dunia diatur oleh Sekretarit Negara. Di samping itu
pengambilan kebijakan luar negeri berada sepenuhnya di tangan Paus, yakni Paus
Fransiskus untuk periode sekarang. Namun keputusan tersebut tentunya berasal
dari masukan atau tanggapan Dewan Kepausan yang berkonsentrasi pada berbagai
masalah di dunia, khususnya berkaitan dengan pengakuan Palestina di dunia
internasional.
C. Upaya Hukum Takhta Suci dalam Mengakui Negara Palestina
Palestina adalah suatu negara yang sedang melakukan perjuangannya
untuk mendapatkan pengakuan secara internasional sebagai salah satu syarat
62
menjadi negara merdeka. Dalam Proses perjuangannya Palestina membentuk
Palestine Liberation Organization atau PLO sebagai institusi untuk membuka
hubungan diplomasi dengan negara lain. Terbukti dengan mendapatkan dukungan
dari Takhta Suci (Vatikan) sebagai salah satu subjek hukum internasional.
Vatikan mengakui eksistensi Palestina sebagai negara berdaulat pada Juni
2015. Dasar dari pengakuan Vatikan berasal dari kenyataan banyaknya orang
yang beragama Katolik di Palestina mengungsi ke negara tetangga sebagai
dampak dari konflik Palestina-Israel. Perjanjian Pengakuan Vatikan-Palestina
secara resmi pada 13 Mei 2015 sebagai hukum pertama dan pengakuan
diplomatik. Bersamaan dengan itu Vatikan sudah termasuk dalam 135 negara
yang mendukung kemerdekaan Palestina. Keputusan tersebut sangat disesali dan
dikecam oleh Israel.145
Sebelumnya Vatikan sudah pernah mengakui Palestina atas nama PLO
pada 1984. Yasser Arafat adalah pemimpin PLO pada waktu itu yang sangat keras
melawan Israel. Upaya hukum Vatikan terhadap PLO sebagai representasi
Palestina di dunia internasional dengan membuat suatu badan yang disebut
dengan Bilateral Permanent Working Commission. Komisi tersebut berhasil
menghasilkan beberapa keputusan Vatikan-PLO (Palestina), seperti perdamaian
145 Heru Andriyanto, Resmi Berlaku, Pengakuan Vatikan atas Negara Palestina, Artikel
diakses pada 1 Juli 2018 dari www.beritasatu.com/dunia/337521-resmi-berlaku-pengakuan-
vatikan-atas-negara-palestina.html
63
Israel-Palestina, kesetaraan beragama, hak asasi manusia, pendidikan, dan
lainnya.146
Faktor lainnya selain pembebasan masyarakat Katolik di Palestina juga
Vatikan melihat Palestina merupakan kota suci sebagai tempat kelahiran Yesus di
Betlehem pada 2.000 tahun lalu. Melalui konsistensinya Vatikan untuk
memberikan pengakuan pada Palestina tidak lepas dari kepentingan untuk
menciptakan perdamaian agama di dunia.147
Kepentingan tersebutlah yang membuat Vatikan mendukung Palestina
sebagai negara merdeka. Tentunya pencapaian kepentingan tersebut tidak lepas
dari berbagai upaya hukum Takhta Suci. Hal itu dilakukan karena melihat sebuah
masalah pengakuan suatu negara berkaitan dengan hukum internasional. Upaya
hukum Takhta Suci dilakukan dengan pembuatan Compherensive Agreement
between The Holy See and State of Palestine pada 13 Mei 2015. Dalam perjanjian
tersebut Takhta Suci menyediakan berbagai perlindungan, seperti terjaminnya
HAM, kebebasan beragama, dan bantuan keuangan.148
Jadi upaya hukum Takhta Suci terhadap pengakuan Palestina sudah
dilakukan sebelumnya ketika direpresentasikan oleh PLO sebagai wakil Otoritas
Palestina sebelum tahun 2000-an. Dimana upaya tersebut menghasilkan
146 Basic Agreement Between The Holy See and The Palestine Liberation Organization,
Artikel diakses pada 1 Juli 2018 dari
www.vatican.va/roman_curia/secretariat_state/2000/documents/rc_seg-st_20000215_santa-sede-
olp_en.html
147
Tom Saptaatmaja, Makna Pengakuan Vatikan atas Palestina, Artikel diakses pada 1
Juli 2018 dari http://www.google.co.id/amp/s/kolom.tempo.co/amp/1002437/makna-pengakuan-
vatikan-atas-palestina
148
Leonard Hammer, The 2015 Compherensive Agreement Between The Holy See and
The Palestanians Authority: Discerning the Holy See Approach to International Relations in the
Holy Land, Oxford Journal of Law and Religion, Volume 6, 2017. Hal. 163.
64
kesepakatan untuk membuat komisi tertentu dikenal dengan Bilateral Permanent
Working Commission. Sedangkan pasca 2000-an Takhta Suci (Vatikan) berupaya
melalui hukum untuk mengakui palestina dengan menyetujui Compherensive
Agreement between The Holy See and State of Palestine pada 13 Mei 2015. Kedua
upaya hukum tersebut berisikan tentang perdamaian konflik Israel-Palestina,
pengakuan palestina sebagai negara, dan bantuan keuangan. Adapun kepentingan
Vatikan terhadap pengakuan Palestina adalah banyaknya masyarakat Katolik di
Palestina yang mengungsi ke negara sekitar dan perlindungan terhadap Bethelem
sebagai kota kelahiran Yesus.
65
BAB IV
Analisa Mengenai Takhta Suci (Vatikan) mengakui Palestina sebagai Negara
Berdaulat Tahun 2015
A. Konsep Pengakuan dalam Analisis Pengakuan Terhadap Palestina
Kemunculan atau kelahiran suatu negara di dunia harus melalui dua syarat,
yakni apa yang disebut sebagai de facto dan de jure. De facto itu sendiri berarti
suatu negara harus memiliki wilayah, penduduk, pemerintahan, dan kedaulatan.
Sedangkan de jure berarti adanya pengakuan yang diperoleh dari negara lain di
dunia.149
Dalam konteks ini secara spesifik akan membahas pengakuan negara
atau de jure, khususnya terkait pengakuan terhadap Palestina. Teori pengakuan itu
sendiri terdapat beberapa teori pembentukannya dan aspek tertentu sebagai
konsekuensi berdirinya negara.
Masalah Palestina terletak pada de jure atau pengakuan dari negara lain.
Secara de facto Palestina sudah memenuhinya dengan adanya wilayah dengan
batasan tertentu, kedaulatan, pemerintahan, dan penduduk. Pemerintahan sendiri
dipegang oleh seorang presiden yang dipilih oleh masyarakatnya. Dimana
komposisi masyarakat Palestina terdiri dari Islam, Kristen, dan pemeluk agama
lainnya. Mengacu pada kenyataan ini sebenarnya Palestina masih belum bisa
disebut sebagai negara sebab belum mendapatkan status de jure.
149
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Bandung: P.T Alumni, 2005, hal. 60.
66
Teori pengakuan negara terdiri dari teori konstitutif dan teori deklaratif.
Pertama, teori konstitutif menjelaskan pengakuan sangat diperlukan untuk
kelahiran suatu negara. Kedua, teori deklaratif berbanding terbalik dengan teori
konstitutif bahwa pengakuan dunia internasional tidak bisa dijadikan sebagai
indikator dalam kelahiran suatu negara. Maksudnya bahwa ketika negara itu ada
dan muncul maka negara tersebut bisa langsung berpartisipasi dalam masyarakat
internasional.150
Sesuai dengan teori konstitutif, Palestina yang telah mendapatkan
pengakuan dari organisasi internasional seperti OKI, UNESCO dan khususnya
PBB pada tahun 2012 sudah dapat diakui sebagai sebuah negara yang berdaulat
seperti negara lainnya. Sehingga secara konstitutif negara Palestina dinyatakan
keberadaannya di mata dunia.151
Berdasarkan teori deklaratif yang berbanding terbalik dengan teori
sebelumnya, Palestina juga telah memenuhi syarat sebagai sebuah negara
meskipun dengan ada tidaknya sebuah pengakuan dari dunia internasional. syarat
berdirinya suatu negara dapat dilihat dalam Pasal 1 Konvensi Montevideo, yaitu
kriteria untuk dapat disebut sebagai sebuah negara adalah adanya wilayah,
penduduk yang tetap, pemerintahan yang efektif, dan kemampuan untuk menjalin
hubungan dengan negara lain.
150 Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, hal. 62. 151
United Nation, General Assembly Votes Overwhelmingly to Accord Palestine ‘Non-
Member Observer State’ Status in United Nations,
67
Palestina diketahui memiliki wilayah berada di kawasan Timur Tengah
yang berbatasan langsung dengan Mesir, Yordania dan Laut Mediterania.
Wilayah Palestina atau sering disebut dengan Occupied Palestinian Territories
(wilayah Palestina yang diduduki Israel) secara garis besar terdiri dari Tepi Barat
(West Bank) termasuk Yerusalem Timur dan Jalur Gaza (Gaza Strip).152
Jumlah
penduduk Palestina memiliki lebih dari 4,3 juta jiwa pada tahun 2015.153
Pemerintahan Palestina sudah berdiri sejak terbentuknya Palestine
Liberation Organization (PLO) pada tahun 1964. Organisasi tersebut diakui oleh
PBB pada tahun 1974 sebagai perwakilan resmi bagi rakyat Palestina. Setelah
deklarasikan kemerdekaan Palestina pada tahun 1988, Palestina memiliki sebuah
badan atau otoritas pemerintahan yang dapat mengatur secara eksklusif wilayah
Palestina yang disebut dengan Palestine Authority (PA).154
Syarat terakhir yang menunjukan Palestina sebagai sebuah negara
berdasarkan kepada kemampuan menjalin hubungan dengan organisasi
internasional atau negara lainnya. Hal tersebut sudah dapat di buktikan
berdasarkan pengakuan dari Organisasi Konferensi Islam (OKI), menjadi anggota
penuh dalam Liga Arab pada tahun 1976, pemberian status non-member observer
152
BBC, “Palestinian territories profile”, diakses dari http://www.bbc.com/news/world-
middle-east-14630174 , pada tanggal 10 Desember 2017 153
William Foxwell Albright, Palestine, diakses dari
http://www.britannica.com/place/Palestine, pada tanggal 6 Desember 2017 154
Rupert Sherman, “The Palestinian Authority and the Misunderstood State in
International Law”, Universitas Otago, Dunedin 2005, hal. 19
68
state dari PBB dan salah satunya pengakuan sebagai negara berdaulat oleh Takhta
Suci (Vatikan) pada tahun 2015 berdasarkan comprehensive Agreement.155
Berdasarkan pemaparan di atas dapat diketahui bahwa Palestina telah
memenuhi syarat sebagai sebuah negara yang berdaulat berdasarkan dengan teori
deskriptifnya. Ditambah dengan adanya pengakuan dari negara lain membuat teori
konstitutif yang menuntut adanya sebuah pengakuan dimata internasional juga
sudah terpenuhi.
Negara yang sudah diakui oleh negara lain harus memiliki tiga ciri yang
dinamakan dengan efektivitas, regularitas dan eksklusivitas. Efektivitas
merupakan kekuasaan yang sudah dibentuk mendapatkan pengakuan dari wilayah
sekitarnya. Regularitas menjelaskan roda pemerintahan berasal dari pemilihan
umum dan legal secara konstitusi. Esklusivitas adalah pemerintah yang legal atau
resmi hanya ada satu dan tidak ada pemerintahan tandingan. Bersamaan dengan
itu negara yang sudah mendapatkan pengakuan akan memiliki beberapa
konsekuensi, meliputi :
a. Pemerintah negara dapat melakukan hubungan resmi dengan negara lain
b. Pemerintah dalam melakukan berbagai penuntutan di berbagai peradilan
c. Pemerintah yang mengakui suatu negara dapat melibatkan tanggung
jawab terhadap negara yang diakuinya.
155
Rinaldo, Meski Ditentang Israel, Vatikan Resmi Akui Negara Palestina, Artikel,
Dipublikasikan pada tanggal 3 Januari 2016 pada situs
https://www.liputan6.com/global/read/2403282/meski-ditentang-israel-vatikan-resmi-akui-negara-
palestina, diakses pada tanggal 2 Juli 2018
69
d. Pemerintah yang diakui memiliki wewenang untuk menguasai harta yang
ada pada masa sebelumnya.156
Konsekuensi dari Palestina sebagai negara yang sudah mendapatkan status
pengakuan dari Vatikan akan mampu melakukan berbagai kewenangan. Palestina
dapat berinteraksi dengan aktor internasional lainnya, seperti kerjasama
internasional, memiliki hak untuk menguasai seluruh kekayaan negaranya oleh
pemerintah yang berdaulat, dan menjalankan aktivitas pemerintah secara resmi.
Pengakuan dari Takhta Suci (Vatikan) juga dapat dikatakan sebagai
bentuk pengakuan negara dan pemerintahan. Maksudnya adalah setiap aktor
internasional, termasuk Takhta Suci bisa saja hanya mengakui negara tetapi tidak
mengakui pemerintahannya yang dipimpin oleh seorang presiden. Secara teoritis
pengakuan pemerintah dan negara sangatlah berbeda. Pengakuan negara adalah
memberikan pengakuan kepada entitias baru secara konstitutif dan belum tentu
mengakui pemerintahannya. Sedangkan pengakuan pemerintah mengacu pada
pengakuan terhadap pemerintah yang sah atau legal dari kesepakatan masyarakat
melalui pemilihan umum atau referendum.157
Dengan demikian pengakuan negara atau de jure biasanya dilakukan
setelah de facto. Proses pengakuan tersebut terdapat banyak bentuk, konsekuensi,
dan wewenang tertentu. Selain itu negara yang sudah diakui oleh aktor lain
terdapat dimensi politik dan hukum. Nantinya negara tersebut secara resmi bisa
melakukan interkasi dengan aktor internasional lainnya. Begitupun dengan
156 Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Bandung: P.T Alumni, 2005, hal. 74. 157
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, hal. 70.
70
pengakuan Vatikan kepada Palestina sebagai bentuk pengakuan secara terang-
terangan dengan tujuan menciptakan perdamaian. Bersamaan dengan itu juga
konsekuensi Palestina atas pengakuan Vatikan akan membuat Palestina semakin
dihargai oleh negara lain dan bisa melakukan hubungan dengan aktor
internasional di dunia.
B. Kebijakan Luar Negeri Takhta Suci Mengakui Palestina sebagai Sebuah
Negara
Rosenau mengemukakan bahwa kebijakan luar negeri merupakan sikap
dan aktivitas suatu negara dalam upaya mengatasi dan memperoleh keuntungan
dari lingkungan eksternalnya yang bertujuan untuk mempertahankan
kelangsungan hidup suatu negara. 158
Menurut Rosenau kebijakan luar negeri digunakan untuk menganalisa dan
mengevakuasi faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kebijakan
luar negeri suatu negara terhadap negara lain. Faktor Internal adalah hal yang
dimiliki oleh suatu negara atau kondisi pada satu negara atau dinamika yang
terjadi dalam negara yang dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri pada negara
tersebut. Secara umum terdapat beberapa faktor seperti; faktor kebudayaan dan
sejarah, pembangunan ekonomi, struktur sosial, dan perubahan opini publik
158 J N Rosenau, Comparing Foreign Policy: Theories, Findings, and Method, Sage
Publications, 1974, hal. 21-32
71
kebudayaan dan sejarah mencakup nilai, norma, tradisi, pengalaman masa lalu dan
idiosinkratik pemimpin.159
Faktor eksternal atau pengaruh lingkungan eksternal adalah hal-hal yang
terjadi diluar negara yang dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu
negara. Faktor eksternal tersebut meliputi; struktur hubungan di antara negara
besar, pola-pola aliansi yang terbentuk diantara negara dan faktor situasional
eksternal yang dapat berupa isu area atau krisis kemanusiaan.160
Kemudian pembagian kebijakan luar negeri itu sendiri terdapat beberapa
aspek, seperti keamanan, kesejahteraan, otonomi, dan status. Adapun Takhta Suci
(Vatikan) dalam kebijakan luar negerinya mengandung aspek keamanan dan
kesejahteraan.161
Keamanan yang dimaksud adalah menciptakan kondisi damai
dalam konflik Israel-Palestina dengan memberikan pengakuan kepada Palestina.
Sedangkan kesejahteraan mengarah pada pemberian kesejahteraan bagi
masyarakat Katolik di Palestina yang sedang mengungsi ke negara lain.
Tahta Suci (Vatikan) menilai adanya hubungan menguntungkan dan
positif jika memberikan pengakuan kepada Palestina. Hal tersebut nampak pada
komitmen Palestina menjaga beberapa wilayah atau tempat bersejarah, khususnya
Bethelem sebagai tempat kelahiran Yesus bagi kepercayaan Katolik. Ekspetasi
159
James N. Rosenau, International Politics and Foreign Policy: A Reader in Research
and Theory, (New York : The Free Press, 1969), hal 167 160
James N. Rosenau, International Politics and Foreign Policy: A Reader in Research
and Theory, hal. 167
161
K.J. Holsti, 1992. Politik International: Suatu Kerangka Analisis, Bandung: Bina Cipta,
hal. 84
72
tersebutlah yang membuat Vatikan memutuskan kebijakan luar negerinya
disamping penyelamatan terhadap masyarakat Katolik di Palestina.
Penelitian ini akan membahas dan menganalisa hal yang melatarbelakangi
Takhta Suci (Vatikan) mengakui Palestina sebagai negara yang berdaulat
berdasarkan dengan teori kebijakan luar negeri Rosenau. Hal tersebut dibagi
menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Adapun secara spesifiknya kedua
faktor tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.
1. Faktor Internal
a. Faktor Religius (Religious Thing)
Tidak dapat dipungkiri bahwa Takhta Suci (Vatikan) merupakan
representasi dari masyarakat Katolik di dunia. Dalam aktivitasnya tentu tidak
lepas dari aspek agama sebagai dasar pembentukan Takhta Suci. Dengan kata lain
kebijakan luar negeri Vatikan untuk memberikan pengakuan terhadap Palestina
sebagai salah satu implementasi ajaran Katolik untuk menciptakan perdamaian.
Intinya adalah hal yang diutamakan oleh subjek hukum internasional ini adalah
memberikan perlindungan kepada masyarakat Katolik.
Dalam konteks ini faktor religius berkaitan dengan Takhta Suci sebagai
institusi agama dunia yang mewakili masyarakat Katolik secara global. Ditambah
masyarakat katolik juga sebagai pihak yang dirugikan dalam konflik Israel-
Palestina mengingat di daerah tersebut terdapat penduduk yang beragama katolik.
Sehingga suatu keharusan bagi Takhta Suci untuk menyelesaikan masalah
tersebut dengan memberikan pengakuan terhadap Palestina.
73
b. Faktor Idiosinkratik
Idionsinkratik adalah sifat yang melekat pada pemimpin negara atau
organisasi internasional secara pribadi. Dimana hal tersebut akan mempengaruhi
persepsi dan pola pikir dalam melihat masalah untuk mengambil keputusan
melalui kebijakan tertentu.162
Takhta Suci di Vatikan sebagai subjek hukum
internasional dalam mengeluarkan kebijakannya dipengaruhi kuat oleh Paus
Fransiskus sebagai Uskup Roma dan Kepala Negara Vatikan.
Dengan begitu pengakuan Vatikan terhadap Palestina terkandung unsur
idiosinkratik pada Paus Fransiskus sebab Takhta Suci tersebut bersifat Monarki
Absolut atau keputusan secara penuh ada di pemimpin suatu negara. Selain itu
juga kita bisa menyatakan keputusan Vatikan untuk pengakuan terhadap Palestina
merupakan hasil dari persepsi atau pola pikir Paus Fransiskus sebagai perwakilan
Geraja Katolik di dunia.
Faktor idiosinkratik itu sendiri terbentuk atas dasar beberapa faktor, seperti
pengalaman atau pembelajaran, afiliasi kelompok tertentu, dan produksi
pengetahuan.163
Adapun faktor idiosinkratik pada Paus Fransiskus berasal dari
faktor pembelajaran atau pengalaman. Pertama, pembentukan pengalaman dan
pembelajaran yang sudah terjadi antara Takhta Suci dan Palestina berdasarkan apa
yang di putuskan oleh Paus terdahulu. Pada Oktober 1948, Paus Pius XXI
menerbitkan surat ensiklik mengenai Yerusalem, yang mendukung adanya
162
K. J. Holsti, Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis, Bandung: Bina Cipta,
1992, hal. 42.
163
James N. Rosenau, Gavyn Boyd, dan Kenenth W. Thompson, World Politics: An
Introduction, (New York: The Free Press, 1976). Hal. 19
74
International Character di Yerusalem (wilayah internasional). Hal tersebut
dikarenakan Israel berusaha untuk mengklaim Yerusalem sebagai ibukotanya.164
Berdasarkan dengan afiliasi dan kerja sama yang terjadi antara Takhta
Suci (Vatikan) dan pemerintah Palestina sudah terjadi sejak tahun 2000 sesuai
dengan adanya Basic Agreement antara kedua negara tersebut. Kerjasama
keduanya juga berlanjut dengan adanya comprehensive Agreement yang
ditandatangani pada tahun 2015 berkaitan mengenai aspek-aspek penting yang
terjadi pada kehidupan dan aktivitas Gereja Katolik di Palestina.165
Faktor lain yang berdasarkan produksi pengetahuan dan ajaran yang di
dapatkan sehingga mempengaruhi Paus Fransiskus mengambil kebijakan.
pemberikan pengakuan Palestina dianggap sebagai solusi perdamaian konflik
Israel-Palestina. Meskipun salah satu alasan Paus Fransiskus untuk memberikan
pengakuan kepada Palestina atas dasar kenyataan banyaknya masyarakat Katolik
di daerah tersebut mengungsi ke beberapa negara sekitar. Di samping itu juga
adanya kota suci, Bethelem sebagai tempat penting bagi masyarakat Katolik.
Kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus berkaitan kuat
dengan cara pandang atau pola pikirnya yang dipengaruhi keyakinan Katoliknya
dengan memberikan pengakuan kepada Palestina.
164
Nurul Achyar Fauzi, Sikap Irlandia Pasca Kemerdekaan Israel, Studi Kasus:
Konflik Israel-Palestina, Journal of International Relations, Volume 4, Nomor 2, 2018, hal. 215-
224 165
Vatican Radio, Holy See, State of Palestine Comprehensive Agreement enters into
force, diakses dari
http://en.radiovaticana.va/news/2016/01/02/holy_see,_state_of_palestine_agreement_enters_into_f
orce/1198477, pada tanggal 15 Juli 2018
75
2. Faktor Eksternal
a. Opini Masyarakat Internasional
Opini masyarakat Internasional adalah mayoritas pandangan atau
anggapan dari dunia terhadap masalah yang sedang terjadi di dunia, khususnya
masalah Palestina-Israel. Pengakuan Vatikan terhadap Palestina tidak lepas dari
terbentuknya opini masyarakat internasional, khususnya masyarakat Katolik yang
mendesak Vatikan untuk mengambil peranan dalam konflik Israel-Palestina.
Opini tersebut terbentuk atas dasar kota suci yang terdapat pada Palestina yang
merupakan pusat sejarah dari Islam, Yahudi, dan Kristen.
Kaum Kristen Palestina yang tinggal di dekat Bethlehem mendesak Paus
Fransiskus untuk menolak pembangunan tembok pemisah oleh Israel yang akan
memisah-misahkan masyarakat. Mereka memohon kepada gereja agar menjaga
harapan mereka atas keadilan dan perdamaian. Hal tersebut terjadi setelah Israel
memulai pembangunan tembok di atas tanah curian dari Palestina yang akan
memisahkan Bethlehem serta daerah-daerah lain dari Yerusalem dan tempat-
tempat suci.166
Orang Kristen Palestina bersikeras bahwa faktor-faktor yang memicu
eksodus mereka karena diskriminasi politik, kurangnya pekerjaan, pembatasan
kebebasan yang pada dasarnya merupakan akibat dari konflik Israel-Palestina.
Akses ke tempat-tempat suci menjadi sulit, warga Palestina di Tepi Barat dan
166
John L. Allen Jr., Christians nearly absent in Holy Land, diakses dari
https://www.ncronline.org/news/world/christians-nearly-absent-holy-land, pada tanggal 15 Juli
2018
76
Yerusalem Timur memiliki kartu tempat tinggal yang berbeda memerlukan izin
yang sulit diperoleh. Ditambah dengan adanya kasus di Tanah Cremisan, Beit
Jala. mereka membutuhkan aksi nyata untuk mengakhiri pendudukan Israel
sehingga dapat hidup secara bermartabat di negaranya.167
Selain itu banyaknya situs atau peninggalan sejarah yang dilindungi
UNESCO membuat opini masyarakat internasional untuk memberikan
perlindungan. Takhta Suci juga menjadi bagian dari UNESCO yang secara
khususnya mengkampanyekan untuk melestarikan dan melindungi peninggalan
berupa bangunan sejarah termasuk situs-situs yang berkaitan dengan keyakinan
umat Katolik.
b. Masalah Regional yang terjadi di Kawasan
Konflik yang terjadi di Timur Tengah, khususnya permasalahan Israel-
Palestina bukan hanya sebagai masalah politik atau kedaulatan negara melainkan
konflik horizontal yang bernuansa agama. Konflik Israel-Palestina merupakan
permasalahan dunia yang sulit untuk diselesaikan sampai sekarang. Hal
tersebutlah yang membuat Takhta Suci harus melakukan tindakan untuk
memberikan pengakuan terhadap Palestina. Sebagai upayanya untuk membuat
berbagai keputusan melalui perjanjian dengan Palestina untuk memberikan
167
Sheren Khalel, Palestinians mourn final Cremisan Valley olive harvest, diakses dari
https://www.aljazeera.com/news/2016/10/palestinians-mourn-final-cremisan-valley-olive-harvest-
161031094433899.html, pada 15 Juli 2018
77
pengakuan, seperti Bilateral Permanent Working Commission 1984 dan Bilateral
Permanent Working Commission.168
Vatikan menilai masalah regional yang berada di Palestina-Israel akan
mempengaruhi masyarakat Katolik di daerah tersebut. Salah satu faktor yang
membuat Takhta Suci memberikan pengakuan pada Palestina disebabkan
sebagian besar masyarakat Katolik yang mengungsi ke negara sekitar. Selain itu
Vatikan juga melihat Israel yang membuat sebagian besar masyarakat Katolik
yang berada di wilayah Palestina menjadi pengungsi di negara lainnya.
Ditambah terganggunya kawasan tersebut membuat aktivitas Gereja
menjadi terhambat dan menjadi penurunan sebab tidak kondusifnya suasana
dalam beribadah. Jangka panjangnya Tahta Suci (Vatikan) mengantisipasi konflik
Palestina-Israel akan menjalar ke negara sekitar, seperti Irak, Iran, Suriah, dan
wilayah sekitar lainnya. Di beberapa wilayah yang berdekatan dengan Palestina
terdapat masyarakat Katolik yang tidak menutup kemungkinan akan mendapatkan
kerugian yang sama. Sederhananya pengakuan Palestina yang diberikan oleh
Tahta Suci (Vatikan) untuk membendung Israel agar tidak membunuh atau
mengurangi penduduk Katolik di kawasan Timur Tengah.
c. Hak asasi Manusia (Human Rights)
Salah satu wewenang Tahta Suci adalah menyelesaikan berbagai masalah
kemanusiaan, khususnya HAM. Secara definisi HAM adalah hak mendasar dan
168
Leonard Hammer, The 2015 Compherensive Agreement Between The Holy See and
The Palestanians Authority: Discerning the Holy See Approach to International Relations in the
Holy Land, Oxford Journal of Law and Religion, Volume 6, 2017, hal. 163.
78
penting yang melekat pada setiap manusia sejak lahir hingga kematiannya, seperti
tempat tinggal, makanan, pakaian, dan lainnya. Secara global HAM diakui
sebagai sesuatu yang harus diikuti oleh negara di dunia yang dikenal dengan
Deklarasi Universal HAM. Deklarasi tersebut harus dihormati oleh seluruh aktor
internasional di dunia dan tidak perlu ada proses ratifikasi dalam
implementasinya.169
Dalam konteks ini faktor situasional eksternal yang dapat berupa isu area
atau krisis kemanusiaan sebagian dari faktor eksternal sebuah negara melakukan
kebijakan. Dapat terlihat bahwa Tahta Suci bukan suatu entititas internasional
yang dikhususkan untuk masyarakat katholik melainkan masyarakat dunia secara
keseluruhan. Selain itu Vatikan melihat kemerdekaan melalui pengakuan
termasuk hak setiap negara termasuk HAM di dalamnya.
Peperangan merupakan rutinitas yang terjadi dalam hubungan Israel-
Palestina. Bersamaan dengan itu tentunya terjadi beragam pelanggaran HAM,
seperti pembunuhan, perusakan, dan kelaparan. Tahta Suci sebagai salah satu
aktor internasional yang berkonsentrasi dalam perdamaian dan kerohaniaan
memiliki peranan besar dalam penegakan HAM yang bernuansa agama ini.
Pemberian kerohanian seperti doa, ibadah khusus, dan pembangunan gereja
merupakan bagian dari penegakan HAM bagi masyarakat Katolik di Palestina.
Paus Fransiskus berbicara tentang bagaimana orang-orang imigran yang
telah diusir dari tanah mereka hanya karena pemimpin mereka yang tidak segan-
169
ICJR, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, diakses dari http://icjr.or.id/deklarasi-
universal-hak-asasi-manusia/, pada tanggal 15 Juli 2018
79
segan untuk menumpahkan darah orang-orang tak bersalah. Paus Fransiskus
menebarkan pesan untuk mencari perdamaian bagi Yerusalem dan untuk seluruh
Tanah Suci. Hal tersebut dengan melakukan perdamaian antar kedua negara
tersebut sehingga akan tercipta kerukunan dan keamanan bagi semua umat yang
ada di Palestina.170
Tahta Suci (Vatikan) secara tegas tanpa toleransi akan menerapkan
Deklarasi Universal HAM di dunia, khususnya Palestina. Kebijakan luar negeri
yang diputuskan oleh Tahta Suci bisa dipandang sebagai komitmennya dalam
menegakkan Deklarasi Universal HAM, misalkan memberikan perlindungan
kepada masyarakat Katolik di Palestina berdasarkan Basic Agreement dan
Comprehensive Agreement Takhta Suci dan Palestina.171
Dapat dinyatakan bahwa kebijakan luar negeri Vatikan terhadap
pengakuannya untuk Palestina tidak lepas dari faktor internal dan eksternal.
Dimana kedua faktor tersebut tidak lepas dari peranannya sebagai subjek hukum
internasional untuk menciptakan perdamaian dan kemanusiaan. Namun perlu
ditegaskan bahwa kebijakan luar negeri yang diterapkan Vatikan tidak bisa
dilepas dari masalah perdamaian, kemanusiaan dan kesejahteraan umat manusia.
170
Nathasia, Paus Fransiskus Serukan Perdamaian di Yerusalem Pada Pidato Natal,
diakses dari https://www.idntimes.com/news/world/desy-27/paus-fransiskus-serukan-perdamaian-
di-yerusalem-pada-pidato-natal-c1c2/full, pada tanggal 15 Juli 2018 171
Elisabetta Povoledo, Vatican Formally Recognizes Palestinian State by Signing
Treaty, diakses dari http://www.nytimes.com/2015/06/27/world/middleeast/vatican-palestinian-
state.html?_r=1, pada tanggal 15 Juli 2018
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada penelitian ini, peneliti ingin lebih memahami masalah mengenai
Pengakuan terhadap sebuah negara, dimana dalam masalah tersebut merupakan
masalah yang cukup penting untuk dibahas dan dimiliki oleh setiap negara di dunia.
Sebagaimana telah tercantum dalam Konvensi Montevideo “The Convention on
Rights and Duties of State of 1933”, setiap negara yang sudah memenuhi persyaratan
dapat dianggap sebagai sebuah negara. Namun itu saja belum cukup, diperlukan juga
sebuah pengakuan dari negara lainnya.
Sebagaimana diketahui, Bangsa Palestina selama beberapa dekade telah
direnggut kebebasannya oleh bangsa Israel. hal tersebut bermula Setelah Deklarasi
Balfour pada tahun 1917, yang berisikan mengenai persetujuan atas gagasan
pendirian negara baru oleh bangsa Yahudi di wilayah palestina. Deklarasi tersebut
menyatakan bahwa pemerintah Inggris mendukung rencana Israel untuk mendirikan
tanah air bagi kaum yahudi di wilayah bangsa Arab Palestina.
Konflik yang terjadi antara Bangsa Palestina dan Bangsa Israel tersebut
sampai saat ini masih terus berlanjut. Menyebabkan kesengsaraan dan kesedihan
81
yang terus-menerus kepada Bangsa Palestina. Ketidakadilan tersebut pada akhirnya
memunculkan gerakan-gerakan yang menginginkan Bangsa Palestina untuk dapat
merdeka dari belenggu penjajahan Israel.
Setelah itu muncul organisasi Palestine Liberation Organization (PLO), yang
didirikan dengan tujuan meyatukan semua kelompok gerakan perjuangan untuk dapat
membebaskan rakyat Palestina dari pendudukan Israel. tidak lama kemudian PLO
mendeklarasikan kemerdekaan Negara Palestina, hal tersebut belum cukup untuk
menghentikan penjajahan Israel. namun, sebagai sebuah negara yang berdaulat
dibutuhkan pengakuan dari negara lain.
Upaya panjang yang dilakukan pemerintah Otoritas Palestina membuahkan
hasil, pada tahun 2012 negara Palestina resmi diakui sebagai sebuah negara oleh
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Pengakuan dari PBB tersebut secara berangsur
juga diikuti oleh negara-negara lainnya. Salah satu yang mengakui negara Palestina
adalah Takhta Suci Vatikan. Hal tersebut terjadi pada tahun 2015 ketika Perjanjian
Komprehensif yang telah ditandatangani oleh Vatikan dan Negara Palestina,
berkaitan mengenai aspek-aspek penting dari kehidupan dan aktivitas Gereja Katolik
di Palestina.
Dari pengakuan yang telah diberikan oleh Takhta Suci tersebut dapat
diketahui bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan tersebut.
Aspek agama yaitu kegiatan kaum katolik yang ada di Palestina menjadi faktor
82
internal , sedangkan opini masyarakat dunia dan masalah kemanusiaan yang terjadi
adalah sebuah faktor eksternal yang diketahui telah mempengaruhi Takhta Suci
Vatikan mengakui Palestina menjadi sebuah negara yang berdaulat.
xiv
Daftar Pustaka
A. Buku
- Breuning, Marijke, Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction,
Palgrave Macmillan division of St. Martin‟s Press, 2007
- Burchill, Scoot & Andrew Linklater, Theories of International Relation, ST
Martin‟s Press, New York, 2009.
- Flockhart, Trine Constructivism and Foreign Policy, in, Steve Smith, Amelia
Hadfield & Tim Dunne, Foreign Policy, Theories, Actors, Cases. Oxford, 2012
- Graham, Robert A., Vatican Diplomacy: A Study of Chruch and State on
The International Plane. Princenton University Press
- Griffiths, Martin and Terry O‟Callaghan, International Relations: The Key
Concept, by Routledge, 1961.
- Istanto, Sugeng, Hukum Internasional, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 2010).
- J, Chao, The Evolution of Vacation Diplomacy, (Taipei: Institut of Catholic
History, 2000)
- Jackson, Robert dan George Sorensen, Introduction to International
Relation, Oxford University Press Inc, 1999,
- J N Rosenau, Comparing Foreign Policy: Theories, Findings, and Method,
Sage Publications, 1974
- K J Holsti, International Politics, A Framework for Analysis, New Jersey:
Prentive Hall Inc, 1992
xv
- Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum
Internasional, (Bandung: PT. Alumni, 2010).
- Mauna, Boer, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam
Era Dinamika Global, Bandung: P.T Alumni, 2005
- Mc Dongal, Myres S. dan W. Michael Reisman, International Law in
Contemporary Perspective, New York: The Foundation Press, 1981
- Mintz, Alex & Karl Derouen, Understanding Foreign Policy Decision
Making, Cambridge University Press, New York, 2010,
- Morgenthau, Hans J, Politik Antar Bangsa, Terjemahan S.Maimoen,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1990,
- Nugroho, Ganjar, Constructivism and International Relations Theories,
Global & Strategis, Th. II, No. 1, 2008.
- Parthiana, I Wayan, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Mandar
Maju, 2003).
- Pasaribu, Anton, 264 Takhta Suci Paus Edisi Ke-2, (Bekasi: Krista Mitra
Pustaka, 2004)
- Robert Axelrod dan Robert Keohane, World Politics, America: The Johns
Hopkins University Press, 1985
- Rosenau, James N., Gavyn Boyd, dan Kenenth W. Thompson, World
Politics: An Introduction, (New York: The Free Press, 1976)
-. Rowley, Charles K dan Jennis Taylor, The Israel and Palestine Land
Settlement Problem, 1948-2005: An Analytical History, Public Choice, 2006,
- Sherman, Rupert, “The Palestinian Authority and the Misunderstood State in
International Law”, Universitas Otago, Dunedin 2005
xvi
- Sihbudi, Riza, “Palestin dalam Pandangan Imam Khomeini”, (Jakarta:
Pustaka Zahra, 2004)
- Smith, Steve, dan John Baylis, The Globalization of World Politics, Oxford
University Press Inc. 1997.
- Starke, J. G, Pengantar Hukum Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010).
- Thontowi, Jawahir dan Pranoto Iskandar , Hukum Internasional
Kontemporer, (Bandung, Refika Aditama, 2006), “berdasarkan Konvensi
Montevideo 1933”,
- Uzer, Umut, Identity and Turkish foreign policy: The Kemalist Influence in
Cyprus and the Caucasus, New York: Palgrave Macmillan. 2011.
- Viotti, Paul R. dan Mark V. Kauppi, International Relations Theory, 5th
edition, Pearson Education, 2012.
- Wendt, Alexander, Levels of Analysis vs. Agents and Structures: Part III,
Review of international studies 18. 1992.
- Wendt, Alexander, Collective Identity Formation and the International State,
American Political Science Review 88, 1994.
- Wendt, Alexander, Social Theory of International Politics, Cambridge
University Press, 1997.
B. Jurnal
- Abrar, “Dibalik Perubahan Sikap Organisasi Pembebasan Palestina tahun
1988”, Lontar vol. 8, no. 1
- Agustinus Supriyanto, Diplomasi Takhta Suci sebagai Subjek Hukum
Internasional Sui Generis, Mimbar Hukum, Volume 18, Nomor 2, Oktober
2006
xvii
- Badri Alzaky, Diplomasi Palestina menjadi Negara Pengamat Non-
Anggota di PBB Tahun 2011-2012, JOM FISIP Vol. 4 No. 1
- Herbert C. Kelman, “The Israeli-Palestinian Peace Process and Its
Vicissitudes”, American Psychologist Journal va. 62, No.4. (2007):
- John Quigley, “Palestine Statehood and International Law”, Global
Policy Essay, January 2013
- Leonard Hammer, The 2015 Compherensive Agreement Between The
Holy See and The Palestanians Authority: Discerning the Holy See
Approach to International Relations in the Holy Land, Oxford Journal of
Law and Religion, Volume 6, 2017
- Marcin Szydzisz, The Palestinian international identity after the UN
resolution, The Copernicus Journal of Political Studies nr 1 (3), 2013,
- Shohib Masykur, “Dunia Mengakui Kemerdekaan Palestina”, Buletin
Diplomasi Multilateral Vol. II No. 1 Tahun 2013
- Yuli Fachri, Politik Pengakuan dalam Hukum Internasional, Jurnal Antar
Bangsa, Volume 2, Nomor 2, Juli 2003
C. Skripsi
- Ita Mutiara Dewi dkk, “ Gerakan Rakyat Palestina dari Deklarasi Negara
Israel sampai Terbentuknya Negara Palestina”, Laporan penelitian
Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negere Yogyakarta, (2008)
- M. Fauzu Tamam S, Subjek Hukum Internasional Takhta Suci Vatikan,
Hukum Internasional, Universitas Prof. DR. Moestopo, FISIP, 2015
- Manguluang, Pemberian Status “Non-Member Observer State” Kepada
Palestina oleh PBB dalam Upaya Penyelesaian Konflik dengan Israel
Ditinjau dari Segi Hukum Internasional”, Skripsi,”
xviii
D. Report
- Holly See Press Office, “Joint Statement of the Bilateral Commission of
the Holy See and the State of Palestine at the conclusion of the Plenary
Meeting”.
- Jim Zanotti dan Marjorie Ann Browne, “Palestinian Initiatives for 2011
at the United Nations”, CRS Report for Congress
- UNDP, “Human Development Report 2009/10: occupied Palestinian
territory” (2010) hal. 20
- UN General Assembly 3237 (XXIX), Observer Status for the Palestine
Liberation Organization,
- Aaron D. Pina, “Fatah and Hamas: the New Palestinian Factional
Reality”, CRS Report for Congress
- Resolusi Sidang Umum PBB no. 67/19
- Resolusi Sidang Umum PBB No. 43/177
- Resolusi Sidang Umum PBB No. 52/250
E. Internet
- Aaron Eitan Meyer, “Mahmoud Abbas: Redefining Law and Settlements
at the United Nations”, diakses dari
https://thelawfareproject.org/mahmoud-abbas-redefining-law-and-
settlements-at-the-united-nations/
- Aljazeera, “Palestine: Country profile”, diakses dari
http://www.aljazeera.com/archive/2004/09/200841013342123720.html,
xix
- Aljazeera, “The War in October”, diakses dari
http://www.aljazeera.com/programmes/specialseries/2013/10/war-october-
2013102172128280627.html,
- Aljazeera, “President Yasser Arafat”, diakses dari
https://www.aljazeera.com/archive/2004/11/2008410101519774430.html
- Aljazeera, Palestine: Country profile, Diakses dari
http://www.aljazeera.com/archive/2004/09/200841013342123720.html
- Basic Agreement Between The Holy See and The Palestine Liberation
Organization, Artikel diakses dari
www.vatican.va/roman_curia/secretariat_state/2000/documents/rc_seg-
st_20000215_santa-sede-olp_en.html
- BBC, “Palestinian territories profile”, diakses dari
http://www.bbc.com/news/world-middle-east-14630174,
- BBC News, "Israel completes Gaza withdrawal", diakses dari
http://news.bbc.co.uk/2/hi/4235768.stm
- BBC, Swedia Resmi Akui Palestina Sebagai Negara Berdaulat, Artikel,
Dipublikasikan pada tanggal 30 Oktober 2014 pada situs
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2014/10/141030_swedia_palestina_p
engakuan
- BBC.com, Vatikan akui Palestina sebagai Negara, Artikel,
Dipublikasikan pada tanggal 14 Mei 2015 pada situs
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/05/150513_dunia_vatikan_pale
stina
- BBC.com, Parlemen Prancis Akui Negara Palestina, Artikel,
Dipublikasikan pada tanggal 2 Desember 2014 pada situs
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2014/12/141202_prancis_palestina,
- Bilateral Relations of the Holly See, diakses dari
http://www.vatican.va/roman_curia/secretariat_state/documents/rc_seg-
st_20010123_holy-see-relations_en.html
xx
- Britannica, "Palestine Liberation Organization (PLO)", diakses dari
http://www.britannica.com/topic/Palestine-Liberation-Organization
- Clemens Verenkotte, Renata Permadi, “Pergantian Generasi di Fatah”,
diakses dari https://www.dw.com/id/pergantian-generasi-di-fatah/a-
4557850
- Colum Lynch and Joel Greenberg, “U.N. votes to recognize Palestine as
„non-member observer state”, diakses dari
https://www.washingtonpost.com/world/national-security/united-nations-
upgrades-palestines-status/2012/11/29/5ff5ff7e-3a72-11e2-8a97-
363b0f9a0ab3_story.html?utm_term=.9a97060752e7
- Denny Armandhanu, Parlemen Inggris Akui Kedaulatan Palestina,Artikel,
Dipublikasikan pada tanggal 14 Oktober 2014 pada situs
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20141014165913-134-
6363/parlemen-inggris-akui-kedaulatan-palestina
- Embassy of the State of Palestine, Palestine: Country Profile, diakses pada
situs http://www.palestine-australia.com/about-palestine/country-profile/
- Encyclopedia Britannica, Balfour Declaration, diakses dari
https://www.britannica.com/event/Balfour-Declaration
- Foreign and Commonwealth Office, The Holy See, Artikel, Dipublikasikan
pada 2 Juni 2018 dari
web.archive.org/web/20091021064108/http://www.fco.gov.uk/en/travel-
and-living-abroad/travel-advice-by-country/country-profile/europe/holy-
see/,
- Gavin Jones and Steve Scherer, “Vatican agrees first treaty with State of
Palestine, solidifying relationship”, diakses dari
http://www.reuters.com/article/us-vatican-palestine-treaty-
idUSKBN0NY1Z620150514,
- Gavin Jones and Steve Scherer, “Vatican agrees first treaty with State of
Palestine, solidifying relationship”, diakses dari
xxi
http://www.reuters.com/article/us-vatican-palestine-treaty-
idUSKBN0NY1Z620150514
- Heru Andriyanto, Resmi Berlaku, Pengakuan Vatikan atas Negara
Palestina, Artikel diakses dari www.beritasatu.com/dunia/337521-resmi-
berlaku-pengakuan-vatikan-atas-negara-palestina.html
- Inna Lazareva, “Vatican signs first treaty with 'the State of Palestine'”,
diakses dari
http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/middleeast/palestinianauthori
ty/11702465/Vatican-signs-first-treaty-with-the-State-of-Palestine.html,
- Israel Ministry of Foreign Affairs, “UN Partition Plan - Resolution 181
(1947)”, diakses dari
http://mfa.gov.il/MFA/AboutIsrael/Maps/Pages/1947%20UN%20Partition
%20Plan.aspx,
- Israel Ministry of Foreign Affairs,” The Declaration of the Establishment
of the State of Israel”, diakses dari
http://www.mfa.gov.il/MFA/ForeignPolicy/Peace/Guide/Pages/Declaratio
n%20of%20Establishment%20of%20State%20of%20Israel.aspx
- Israel Ministry of Foreign Affairs, “Israel-Vatican Diplomatic Relations”,
diakses dari http://mfa.gov.il/MFA/ForeignPolicy/Bilateral/Pages/Israel
Vatican_Diplomatic_Relations.aspx
- Jodi Rudoren and Diaa Hadi, “Vatican to Recognize Palestinian State in
New Treaty”, diakases dari
http://www.nytimes.com/2015/05/14/world/middleeast/vatican-to-
recognize-palestinian-state-in-new-treaty.html,
- Joel Beinin dan Lisa Hajjar, “Palestine, Israel and the Arab-Israeli Conflict
A Primer”, diakses dari
https://www.merip.org/sites/default/files/Primer_on_Palestine-
Israel(MERIP_February2014)final.pdf
- Jurnalislam.com, Lucu, Karena Akui Kedaulatan Negara Palestina,
Irlandia Dikecam Israel, Artikel, Dipublikasikan pada tanggal 15
xxii
Desember 2014 pada situs https://jurnalislam.com/lucu-karena-akui-
kedaulatan-negara-palestina-irlandia-dikecam-israel/
- Kabir Chibber, “All the countries—including Sweden—that now
recognize Palestinian statehood”, diakses dari http://qz.com/276164/all-
the-countries-including-sweden-that-now-recognize-palestinian-
statehood/,
- Karl Vick, “Palestinian Statehood Gets Recognized by UNESCO: What‟s
Next?”, diakses dari http://world.time.com/2011/10/31/palestinian-
statehood-gets-recognized-unescowhats-next
- “Lateran Treaty”,
http://www.vaticanstate.va/content/dam/vaticanstate/documenti/leggiedecr
eti/Normative-Penali-e-Amministrative/LateranTreaty.pdf)
- Lazuardhi Utama, “4-2-1969: Organisasi PLO Berdiri”, diakses dari
https://www.viva.co.id/berita/dunia/731612-4-2-1969-organisasi-plo-
berdiri,
- Muhaimin, Israel Peringatkan Prancis Jangan Akui Palestina, Artikel,
Dipublikasikan pada tanggal 24 November 2014 pada situs
https://international.sindonews.com/read/928158/43/israel-peringatkan-
prancis-jangan-akui-palestina-1416797121
- William Foxwell Albright, “Palestine”, diakses dari
http://www.britannica.com/place/Palestine,
- United Nation, “General Assembly Votes Overwhelmingly to Accord
Palestine „Non-Member Observer State‟ Status in United Nations”,
diakses dari http://www.un.org/press/en/2012/ga11317.doc.htm,
- United Nation, “General Assembly Votes Overwhelmingly to Accord
Palestine „Non-Member Observer State‟ Status in United Nations”,
diakses dari http://www.un.org/press/en/2012/ga11317.doc.htm,
xxiii
- Robert Rydberg, “Sweden becomes first EU country to recognise the
Palestinian State”, diakses dari
http://www.euronews.com/2014/10/30/sweden-becomes-first-eu-country-
to-recognise-the-palestinian-state/,
- Rinaldo, Meski Ditentang Israel, Vatikan Resmi Akui Negara Palestina,
Artikel, Dipublikasikan pada tanggal 3 Januari 2016 pada situs
https://www.liputan6.com/global/read/2403282/meski-ditentang-israel-
vatikan-resmi-a
- RZ, Organisasi di Irlandia Desak Negaranya Akui Palestina, Artikel,
Dipublikasikan pada tanggal 28 Februari 2015 pada situs
https://www.eramuslim.com/berita/organisasi-di-irlandia-desak-
negaranya-akui-palestina.htm
- Siddhartha Mahanta, “Israel Decidedly Unhappy With Vatican-Palestine
Treaty”, diakses dari http://foreignpolicy.com/2015/06/26/pope-francis-
israel-palestine-treaty/,
- Stephen Jewkes, “Vatican accord with Palestine comes into effect”,
diaskses dari http://www.reuters.com/article/us-vatican-palestinians-
idUSKBN0UG0MA20160102,
- Suprapto, Tahta Suci Vatikan Akui Palestina, Kesepakatan Berlaku,
Artikel, Dipublikasikan pada tanggal 4 Januari 2016 pada situs
http://wartakota.tribunnews.com/2016/01/04/tahta-suci-vatikan-akui-
palestina-kesepakatan-berlakukui-negara-palestina,
- Tom Saptaatmaja, Makna Pengakuan Vatikan atas Palestina, Artikel
diakses pada 1 Juli 2018 dari
http://www.google.co.id/amp/s/kolom.tempo.co/amp/1002437/makna-
pengakuan-vatikan-atas-palestina
- Treaty Between The Holy See and Italy, Dipublikasikan pada situs
http://www.vaticanstate.va/content/dam/vaticanstate/documenti/leggi-e-
decreti/Normative-Penali-e-Amministrative/LateranTreaty.pdf
xxiv
- UN, “Intifada (The Uprising) 1987-1993”, diakses dari
http://www.un.org/Depts/dpi/palestine/ch6.pdf,
- UN, “The Question of Palestine and the United Nations”, diakses dari
https://unispal.un.org/pdfs/DPI2499.pdf,
- UN, diakeses dari
http://www.un.org/News/dh/infocus/middle_east/quartet-23sep2011.htm,
- Vatican Radio, “Holy See, State of Palestine Comprehensive Agreement
enters into force”, diakses dari
http://en.radiovaticana.va/news/2016/01/02/holy_see,_state_of_palestine_
agreement_enters_into_force/1198477,
- VOAindonesia.com, PBB Akui Palestina Sebagai Negara Berdaulat,
Artikel, Dipublikasikan pada tanggal 30 November 2012 pada situs
https://www.voaindonesia.com/a/pbb-akui-palestina-sebagai-negara-
berdaulat/1555724.html