Transcript

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIKA

PERCOBAAN IX PENENTUAN PERSAMAAN LAJU (KINETIKA KIMIA)

NAMA NIM KELOMPOK ASISTEN

: RIFAATUL MAHMUDAH M : H31108272 : I (SATU) : MUH. MULYADI NAHRUN

HARI/TGL PERC. : SENIN/22 MARET 2010

LABORATORIUM KIMIA FISIKA JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2010 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam ilmu kimia banyak perubahan-perubahan yang terjadi dalam suatu reaksi yang selanjutnya ditelaah dengan ilmu-ilmu yang mengkaji lebih lanjut dan spesifik mengenai perubahan tersebut. Misalnya termodinamika yang membahas tentang arah reaksi kespontanan. Tetapi dengan termodinamika hanya dibahas mengenai perubahan energi dalam suatu reaksi sehingga waktu dan kecepatan atau laju suatu reaksi tidak diketahui. Kinetika kimia merupakan salah satu cabang ilmu kimia fisika yang mempelajari laju reaksi. Laju reaksi berhubungan dengan pembahasan seberapa cepat atau lambar reaksi berlangsung. Merubah konsentrasi dari suatu zat di dalam suatu reaksi biasanya merubah juga laju reaksi. Persamaan laju menggambarkan perubahaan ini secara matematis. Orde reaksi adalah bagian dari persamaan laju. Sebagai contoh seberapa cepat reaksi pemusnahan ozon di atmosfer bumi, seberapa cepat reaksi suatu enzim dalam tubuh berlangsung dan sebagainya. Laju reaksi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu konsentrasi, luas permukaan sentuhan, suhu, dan katalis. Reaksi-reaksi kimia berlangsung dengan laju yang berbeda-beda. Ada reaksi yang berlangsung sangat cepat seperti reaksi penetralan antara larutan asam klorida dan larutan natrium hidroksida, ada pula yang berlangsung sangat lambat seperti pelapukan kimia yang dialami batu karang. Laju suatu reaksi dipengaruhi

oleh beberapa faktor. Suatu reaksi kimia dapat dipercepat atau diperlambat. Dalam industri, reaksi kimia perlu dilangsungkan pada kondisi tertentu agar produknya dapat diperoleh dalam waktu yang sesingkat mungkin. Reaksi dapat dikendalikan dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Berdasarkan teori tersebut maka dilakukanlah percobaan ini. 1.2 Maksud dan Tujuan Percobaan 1 Maksud Percobaan Maksud dari percobaan ini adalah untuk mengetahui dan mempelajari metode penentuan hukum kecepatan reaksi dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya. 1 Tujuan Percobaan Tujuan dari percobaan ini adalah: 1. Menentukan hukum kecepatan reaksi dan persamaan kecepatan reaksi melalui reaksi iodinasi aseton dalam larutan air yang terkatalisis asam. 2. Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi iodinasi aseton dalam larutan air yang terkatalisis asam. 1.3 Prinsip Percobaan Penitaran larutan iod dalam larutan asam dengan larutan Na2S2O3 hingga larutan berubah warna dari biru menjadi tak berwarna dengan selang waktu tertentu sehingga dapat ditentukan jumlah iod yang terikat oleh aseton yang bereaksi dengan larutan Na2S2O3 dengan menggunakan indikator amilum. Selanjutnya penentuan konsentrasi zat penyusun cuplikan berdasarkan volume larutan Na2S2O3 yang digunakan untuk menentukan konstanta reaksi dan orde

reaksi. 1.4 Manfaat Percobaan Setelah melakukan percobaan ini, manfaat yang dapat diperoleh adalah agar kita dapat mengetahui cara menentukan tetapan kecepatan reaksi dan orde reaksi secara praktikum, tidak hanya melalui teori.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kinetika kimia adalah bagian dari kimia fisika yang mempelajari tentang kecepatan reaksi-reaksi kimia dan mekanisme reaksi-reaksi tersebut.

Termodinamika kimia mempelajari hubungan tenaga antara pereaksi dan hasilhasil reaksi, tidak mempelajari bagaimana reaksi-reaksi tersebut berlangsung dan dengan kecepatan berapa kesetimbangan untuk reaksi kimia ini dicapai. Hal terakhir ini dipelajari dalam kinetika kimia, hingga kinetika kimia merupakan pelengkap bagi termodinamika kimia. Tidak semua reaksi kimia dapat dipelajari secara kinetik. Reaksi-reaksi yang berjalan sangat cepat seperti reaksi-reaksi ion atau pembakaran dan reaksi-reaksi yang sangat lambat seperti pengkaratan, tidak dapat dipelajari secara kinetik. Di antara kedua jenis ini, banyak reaksi-reaksi yang kecepatannya dapat diukur (Sukardjo, 1989). Kinetika kimia merupakan pengkajian laju dan mekanisme reaksi kimia. Yang lebih mendasar daripada sekedar laju suatu reaksi adalah bagaimana perubahan kimia itu berlangsung. Tak peduli bagaimana ruwetnya persamaan keseluruhan, umumnya reaksi berlangsung dengan cara bertahap yang sederhana, dengan tiap tahap biasanya melibatkan hanya satu, dua, atau tiga partikel sebagai pereaksi (Keenan dkk., 1992). Faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi yaitu (Dogra dan Dogra, 1990): 1. Keadaan pereaksi dan luas permukaan Pada umumnya, makin kecil partikel pereaksi makin besar permukaan pereaksi yang bersentuhan dalam reaksi, sehingga reaksinya makin cepat.

2. Konsentrasi Makin besar konsentrasi makin cepat laju meskipun tidak selalu demikian. Pereaksi yang berbeda, konsentrasinya dapat mempengaruhi laju reaksi tertentu dengan cara yang berbeda. 3. Suhu Umumnya apabila suhu dinaikkan laju reaksi bertambah. 4. Katalis Katalis dapat mempengaruhi laju reaksi. Biasanya katalis mempercepat laju reaksi, namun ada katalis yang dapat memperlambat laju reaksi. Tahap pertama dalam analisis kinetika tentang reaksi adalah menentukan stoikiometri reaksi dan mengenali setiap reaksi samping. Dengan demikian, data dasar tentang kinetika kimia adalah konsentrasi reaktan dan produk pada waktu yang berbeda-beda setelah reaksi dimulai. Karena laju reaksi kimia pada umumnya peka terhadap temperatur, maka temperatur campuran reaksi harus dijaga supaya konstan selama reaksi berlangsung. Jika tidak, maka laju yang akan diamati akan merupakan laju rata-rata pada temperatur berbeda-beda, yang tak berarti. Syarat ini menyebabkan tuntutan yang keras pada perancangan eksperimen (Atkins, 1997). Laju reaksi didefenisikan sebagai perubahan konsentrasi per satuan waktu. Satuan yang umum digunakan adalah mol dm-3. umumnya laju reaksi meningkat dengan meningkatnya konsentrasi. Konstanta laju didefenisikan sebagai laju reaksi bila konsentrasi dari masing-masing jenis adalah 1. Satuannya tergantung pada orde reaksi. Tiap reaksi yang merupakan proses satu tahap disebut reaksi dasar. Orde dari suatu reaksi menggambarkan bentuk matematik dimana hasil

percobaan dapat ditunjukkan. Orde reaksi hanya dapat dihitung secara eksperimen, dan hanya dapat diramalkan jika suatu mekanisme reaksi diketahui keseluruh orde reaksi yang dapat ditentukan sebagai jumlah dari eksponen untuk masing-masing reaktan, sedangkan harga eksponen untuk masing-masing reaktan dikenal sebagai orde reaksi untuk komponen itu (Dogra dan dogra, 1990). Reaksi antara aseton dan iod dalam larutan air : CH3COCH3 + I2 CH3COCH2I

Berjalan lambat tanpa katalis. Dalam suasana asam reaksi ini berlangsung dengan cepat dan hukum laju reaksinya dapat dinyatakan sebagai : d I2 = k '[aseton ]a [ I 2 ]b [ H + ]C dt

dengan menggunakan aseton dalam asam dalam jumlah berlebih, persamaan diatas dapat diubah menjadi : d I2 = k '[ I 2 ]b dt dengan k = k [aseton]a[H+]C

Reaksi ini dapat dimonitor dengan cara menentukan konsentrasi I2 sebagai fungsi waktu. Dari data ini ditentukan nilai b, yaitu orde reaksi terhadap iod. Orde reaksi terhadap aseton dan terhadap asam dapat ditentukan dengan cara mengubah

konsentrasi awal kedua zat tersebut (Taba dkk., 2010). Orde reaksi terhadap suatu reaksi merupakan pangkat dari konsentrasi komponen itu, dalam hukum laju.contohnya , Reaksi dengan hukum laju dalam persamaan v=k(A)(B) Merupakan orde pertama dalam A dan juga orde pertama dalam B. Orde Keseluruhan reaksi merupakan penjumlahan orde semua komponennya. jadi ,secara keseluruhan hukum laju dan persamaan di atas adalah orde kedua (Atkins, 1997).

Penentuan orde reaksi secara praktek dapat dilakukan dengan metode (Bird, 1993): a. Metode Integrasi Salah satu cara untuk menentukan orde reaksi adalah dengan jalan mencocokkan persamaan laju reaksi. Masalah utama yang terdapat dalam metode ini adalah reaksi samping dan reaksi kebalikan yang dapat mempengaruhi hasil percobaan. Tetapi cara ini merupakan cara penentuan orde reaksi yang paling tepat. b. Metode Laju Reaksi Awal Dengan metode ini, masalah reaksi samping dan reaksi kebalikan yang dapat mempengaruhi hasil percobaan, dapat ditiadakan. Pada metode ini, prosedur yang dilakukan adalah mengukur laju reaksi awal dengan konsentrasi awal reaktan yang berbeda-beda. c. Metode Waktu Paruh Secara umum, untuk suatu reaksi yang berorde n, waktu paruh reaksi sebanding dengan 1/c0 n-1, dimana c0 adalah konsentrasi awal reaktan. Jadi, data hasil percobaan dimasukkan ke dalam persamaan diatas, kemudian dibuat kurva yang berbentuk garis lurus dengan cara yang sama seperti pada metode integrasi, adanya reaksi samping mempengaruhi ketepatan metode ini. Hukum laju mempunyai dua penerapan utama. Penerapan praktisnya: setelah kita mengetahui hukum laju dan konstanta laju, kita dapat meramalkan laju reaksi dari komposisi campuran. Penerapan teoritis hukum laju ini adalah hukum laju merupakan pemandu untuk mekanisme reaksi. Setiap mekanisme yang diajukan, harus konsisten dengan hukum laju yang diamati (Atkins, 1997).

Laju reaksi dapat ditentukan dengan cara mengikuti perubahan sifat selama titrasi dan terjadi reaksi. Dengan menganalisa campuran reaksi selama dalam selang waktu tertentu, maka konsentrasi pereaksi dan produk reaksi dapat dihitung (Achmad, 1992).

BAB III METODE PERCOBAAN

3.1 Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah larutan aseton, larutan asam sulfat (H2SO4) 1 M, natrium asetat (CH3COONa) 10 %, natrium tiosulfat (Na2S2O3) 0,01 M, larutan iodin 0,1 M, indikator amilum 1 %, kertas label, akuades, dan tissue roll. 3.2 Alat Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah erlenmeyer + tutup 250 mL, erlenmeyer biasa 100 mL, pipet volume 5 mL, pipet volume 10 mL, pipet volume 25 mL, buret 50 mL, statif, stopwatch, labu semprot 250 mL, labu ukur 250 mL, gelas ukur 10 mL, pipet tetes 1 mL, gelas kimia 250 mL, bulb, stirrer, dan magnet bar. 3.3 Prosedur Percobaan 3.3.1 Prosedur A Dimasukkan 25 mL aseton dan 10 mL larutan asam sulfat ke dalam labu ukur dan diencerkan dengan akuades hingga 250 mL. Larutan tersebut dipindahkan ke dalam erlenmeyer 250 mL dan dihomogenisasikan dengan magnetik stirer. Kemudian dipipet 25 mL larutan iodin ke dalam larutan tersebut sambil segera stopwatch dijalankan. Kemudian diambil 25 mL larutan dan

dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 10 mL natrium asetat dan amilum 1 mL. Kemudian dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat sampai larutan berubah menjadi bening, dan dihitung volume natrium tiosulfat yang digunakan.Cuplikancuplikan berikutnya diambil dalam selang waktu 4 menit sampai larutan berubah warna.

3.3.2 Prosedur B Dimasukkan 10 mL aseton dan 10 mL larutan asam sulfat ke dalam labu ukur dan diencerkan dengan akuades hingga 250 mL. Larutan tersebut dipindahkan ke dalam erlenmeyer 250 mL dan dihomogenisasikan dengan magnetik stirer. Kemudian dipipet 25 mL larutan iodin ke dalam larutan tersebut sambil segera stopwatch dijalankan. Kemudian diambil 25 mL larutan dan

dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 10 mL natrium asetat dan amilum 1 mL. Kemudian dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat sampai larutan berubah menjadi bening, dan dihitung volume natrium tiosulfat yang digunakan.Cuplikancuplikan berikutnya diambil dalam selang waktu 10 menit sampai larutan berubah warna. 3.3.3 Prosedur C Dimasukkan 25 mL aseton dan 5 mL larutan asam sulfat ke dalam labu ukur dan diencerkan dengan akuades hingga 250 mL. Larutan tersebut dipindahkan ke dalam erlenmeyer 250 mL dan dihomogenisasikan dengan magnetik stirer. Kemudian dipipet 25 mL larutan iodin ke dalam larutan tersebut sambil segera stopwatch dijalankan. Kemudian diambil 25 mL larutan dan

dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 10 mL natrium asetat dan amilum 1 mL. Kemudian dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat sampai larutan berubah menjadi bening, dan dihitung volume natrium tiosulfat yang digunakan.Cuplikancuplikan berikutnya diambil dalam selang waktu 10 menit sampai larutan berubah warna.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengamatan Percobaan Titrasi 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 V Na2S2O3 2,5 mL 1,5 mL 0,8 mL 0,7 mL 2 mL 1,3 mL 1 mL 0,5 mL 1,9 mL 1,3 mL 0,7 mL Waktu (s) 60 detik 240 detik 480 detik 720 detik 60 detik 600 detik 1200 detik 1800 detik 60 detik 600 detik 1200 detik 4.2. Reaksi I2 + 2e2S2O3 I2 + 2S2O3 Reaksi lengkap : 2 Na2S2O3 4.3. Perhitungan 4.1.1 mmol I2 1 mmol I2 2 mmol Na2S2O3 + I2 2IS4O62- + 2e2I- + S4O62Na2S4O6 + 2 NaI

A

B

C

mmol Na2S2O3 = mL Na2S2O3 x M Na2S2O3

1 mmol I2 = 2 x mmol Na2S2O3

1 mmol [I2]0 = 2 x mL Na2S2O3 x M Na2S2O3

Untuk percobaan A 1. mmol [I2]01 mmol [I2]0 = 2 x mL Na2S2O3 x [Na2S2O3]

1 = 2 x 2,5 mL x 0,01 M

= 0,0125 mmol 2. mmol [I2]11 mmol [I2]1 = 2 x mL Na2S2O3 x [Na2S2O3]

1 = 2 x 1,5 mL x 0,01 M

= 0,0075 mmol 3. mmol [I2]21 mmol [I2]2 = 2 x mL Na2S2O3 x [Na2S2O3]

1 = 2 x 0,8 mL x 0,01 M

= 0,004 mmol 4. mmol [I2]3

1 mmol [I2]3 = 2 x mL Na2S2O3 x [Na2S2O3]

1 = 2 x 0,7 mL x 0,01 M

= 0,0035 mmol Untuk percobaan B 1. mmol [I2]01 mmol [I2]0 = 2 x mL Na2S2O3 x [Na2S2O3]

1 = 2 x 2 mL x 0,01 M

= 0,01 mmol 2. mmol [I2]11 mmol [I2]1 = 2 x mL Na2S2O3 x [Na2S2O3]

1 = 2 x 1,3 mL x 0,01 M

= 0,0065 mmol 3. mmol [I2]21 mmol [I2]2 = 2 x mL Na2S2O3 x [Na2S2O3]

1 = 2 x 1 mL x 0,01 M

= 0,005 mmol 4. mmol [I2]3

1 mmol [I2]3 = 2 x mL Na2S2O3 x [Na2S2O3]

1 = 2 x 0,5 mL x 0,01 M

= 0,0025 mmol

Untuk percobaan C 1. mmol [I2]01 mmol [I2]0 = 2 x mL Na2S2O3 x [Na2S2O3]

1 = 2 x 1,9 mL x 0,01 M

= 0,0095 mmol 2. mmol [I2]11 mmol [I2]1 = 2 x mL Na2S2O3 x [Na2S2O3]

1 = 2 x 1,3 mL x 0,01 M

= 0,0065 mmol 3. mmol [I2]21 mmol [I2]2 = 2 x mL Na2S2O3 x [Na2S2O3]

1 = 2 x 0,7 mL x 0,01 M

= 0,0035 mmol

4.3.2 Konsentrasi I2 Volume total = V CH3COONa + V amilum + V cuplikan + V Na2S2O3 = 10 mL + 1 mL + 25 mL + V Na2S2O3 = 36 mL + V Na2S2O3 mmol I2 [I2] = V total

Untuk percobaan A 1. [I2]0 mmol [ I 2 ]0 Vtotal = 0,0125mmol = 36mL + 2,5mL 0,0125mmol 38,5mL = 2. [I2]1 mmol [ I 2 ]1 Vtotal = 0,0075mmol = 36mL + 1,5mL 0,0075mmol 37,5mL = 3. [I2]2

[I2]0

= 3,247x10-4 M

[I2]1

= 2 x 10-4 M

[I2]2

mmol [ I 2 ]2 Vtotal =

0,004mmol = 36mL + 0,8mL 0,004mmol 36,8mL = 4. [I2]3 mmol [ I 2 ]3 Vtotal = 0,0035mmol = 36mL + 0,7 mL 0,0035mmol 36,7 mL = Untuk percobaan B 1. [I2]0 mmol [ I 2 ]0 Vtotal =0,01mmol = 36mL + 2mL0,01mmol 38mL =

= 1,087 x 10-4 M

[I2]3

= 9,54 x 10-5 M

[I2]0

= 2,632 x 10-4 M

2. [I2]1 mmol [ I 2 ]1 Vtotal =

[I2]1

0,0065mmol = 36mL + 1,3mL 0,0065mmol 37,3mL = 3. [I2]2 mmol [ I 2 ] 2 Vtotal =0,005mmol = 36mL + 1mL0,005mmol 37 mL =

= 1,743 x 10-4 M

[I2]2

= 1,351 x 10-4 M

4. [I2]3 mmol [ I 2 ]3 Vtotal = 0,0025mmol = 36mL + 0,5mL 0,0025mmol 36,5mL = Untuk percobaan C 1. [I2]0 mmol [ I 2 ]0 Vtotal = 0,0095mmol = 36mL + 1,9mL

[I2]3

= 6,85 x 10-5 M

[I2]0

0,0095mmol 37,9mL = 2. [I2]1 mmol [ I 2 ]1 Vtotal = 0,0065mmol = 36mL + 1,3mL 0,0065mmol 37,3mL = 3. [I2]2 mmol [ I 2 ] 2 Vtotal = 0,0035mmol = 36mL + 0,7 mL 0,0035mmol 36,7 mL =

= 2,507 x 10-4 M

[I2]1

= 1,743 x 10-4 M

[I2]2

= 9,54 x 10-5 M

4.3.3 Kecepatan Reaksi d [I2] V = dt Untuk percobaan A [I2]1 - [I2]o 1. V1 = t1 - to = t1 - to [I2]1 - [I2]o

(0,0002) (0,0003247) ( 240 0) s = (0,0001247 ) 240 = -

= 5,19 x 10-7 M/s

[I2]2 - [I2]o 2. V2 = t2 - to(0.0001087 0,0003247) (480 0) s = (0,000216 ) 480 = -

= 4,5 x 10-7 M/s

[I2]3 - [I2]o 3. V3 = t3 - to(0,0000954 0,0003247) (720 0) s = (0,0002293) 720 s = -

= 3,18 x 10-7 M/s

Untuk percobaan B [I2]1 - [I2]o 1. V1 = t1 - to(0,0001743 0,0002632) (600 0) s = (0,0000889 ) 600 = -

= 1,48 x 10-7 M/s

[I2]2 - [I2]o 2. V2 = -

t2 - to(0,0001351 0,0002632 ) (1200 0) s = (0,0001281) 1200 = -

= 1,06 x 10-7 M/s

[I2]3 - [I2]o 3. V3 = t3 - to(0,0000685 0,0002632 ) (1800 0) = (0,0001947 ) 1800 = -

= 1,08 x 10-7 M/s

Untuk percobaan C [I2]1 - [I2]o 1. V1 = t1 - to(0,0001743 0,0002507 ) (600 0) = (0,0000764) 600 = -

= 1,27 x 10-7 M/s

[I2]2 - [I2]o 2. V2 = t2 - to(0,0000954 0,0002507) (1200 0) = (0,0001553) 1200 = -

= 1,29 x 10-7 M/s

4.4. Grafik 4.4.1.Grafik Percobaan A [I2] (M) 2 x 10-4 M 1,087 x 10-4 M 9,54 x 10-5 M Log [I2] -3,6989 -3,9638 -4,0205 V (M/s) 5,19 x 10-7 M/s 4,5 x 10-7 M/s 3,18 x 10-7 M/s Log V (M/s) -6,2848 -6,3468 -6,4976

Grafik sebelum dan sesudah regresi

V = k [I2]b Log V = log K + b log [I2] Persamaan : y = 0.528x - 4.319 Maka : y = Log V b = 0.528x Log K = 4,319 K = 4,7973 x10-5 Jadi, V = 4,7973 x10-5 [I2] 0.528

4.4.2.Grafik Percobaan B [I2] (M) 1,743 x 10-4 M 1,351 x 10-4 M 6,85 x 10-5 M Log [I2] -3,7587 -3,8693 -4,1643 V (M/s) 1,48 x 10-7 M/s 1,06 x 10-7 M/s 1,08 x 10-7 M/s Log V (M/s) -6,8297 -6,9747 -6,9666

Grafik sebelum dan sesudah regresi

V = k [I2]b Log V = log K + b log [I2] Persamaan : y = 0.262x - 5.892 Maka : y = Log V b = 0.262x Log K = - 5.892 K = 1,282 x 10-6 Jadi, V = 1,282 x 10-6 [I2] 0.262

4.4.3.Grafik Percobaan C [I2] (M) 1,743 x 10-4 M 9,54 x 10-5 M Log [I2] -3,7587 -4,0204 V (M/s) 1,27 x 10-7 M/s 1,29 x 10-7 M/s Log V (M/s) -6,8962 -6,8894

Grafik sebelum dan sesudah regresi

V = k [I2]b Log V = log K + b log [I2] Persamaan : y = -0.026x - 6.993 Maka : y = Log V Log K = - 6.993 K = 1,01 x 10-7 Jadi, V = 1,01 x 10-7 [I2] -0.026 b = -0.026x

4.5. Pembahasan

Pada percobaan penentuan hukum laju reaksi ini digunakan bahan-bahan seperti larutan iod, natrium asetat, aseton, asam sulfat, natrium tiosulfat, dan amilum. Sebagai cuplikan digunakan larutan aseton dan asam sulfat yang dicampur dengan larutan iod. Aseton berfungsi sebagai larutan yang akan ditentukan laju reaksinya jika bereaksi dengan iod dalam larutan air. Reaksi antara iod dan aseton dalam larutan air berjalan lambat tanpa katalis. Oleh karena itu digunakan larutan asam sulfat 1 M sebagai katalis. Digunakan asam sulfat karena asam sulfat bertindak sebagai katalis yang mempercepat ionisasi aseton dengan memberikan ion H+ ke dalam larutan karena reaksi antara iod dan aseton dalam air berjalan cepat dalam suasana asam. Pada percobaan A, cuplikan yang terdiri dari aseton dan asam sulfat ditampung dalam erlenmeyer dan diaduk dengan magnetik stirrer. Setelah itu dicampur dengan larutan iodin dan menghasilkan larutan yang berwarna merah. Magnetik stirrer digunakan agar iodin dapat bercampur baik dengan aseton. Pada saat campuran asam sulfat dan aseton mulai bercampur dengan iod, stopwatch dijalankan dan cuplikan segera dipipet sebanyak 25 mL kedalam erlenmeyer yang berisi larutan natrium asetat dan amilum sehingga menghasilkan larutan yang berwarna ungu tua. Natrium asetat berfungsi untuk memastikan terjadinya reaksi sedangkan amilum berfungsi sebagai indikator. Cuplikan yang diambil tersebut kemudian dititrasi dengan menggunakan natrium tiosulfat 0,01 M sampai larutan tidak berwarna. Pengambilan cuplikan dilakukan setiap 4 menit sampai cuplikan menjadi tidak berwarna. Dengan mengetahui volume natrium tiosulfat untuk titrasi, maka dapat dihitung konsentrasi iod dalam larutan melalui persamaan reaksi yang terjadi. Untuk penentuan konsentrasi larutan iod, semakin lama

konsentrasinya akan semakin berkurang karena iod terus bereaksi dengan aseton dan pada akhirnya akan habis. Konsentrasi iod yang diperoleh sebagai fungsi terhadap waktu digunakan untuk menentukan hukum laju reaksi dengan variabel tetapan laju (k) dan orde reaksi yang dapat ditentukan. Berdasarkan hasil percobaan A, untuk titrasi 1 jumlah natrium tiosulfat yang dibutuhkan sampai larutan menjadi bening adalah 2,5 mL, titrasi 2 sebanyak 1,5 mL, titrasi 3 sebanyak 0,8 mL, dan titrasi 4 sebanyak 0,7 mL. Semakin lama, semakin sedikit jumlah natrium tiosulfat yang dibutuhkan untuk titrasi karena semakin sedikit jumlah iod bebas dalam larutan. Dari jumlah natrium tiosulfat yang digunakan, maka dapat ditentukan konsetrasi I2 dalam larutan yaitu [I2]o adalah 3,247 x 10-4 M, [I2]1 adalah 2 x 10-4 M, [I2]2 adalah 1,087 x 10-4 M, dan [I2]3 adalah 9,54 x 10-5 M. Dari hasil tersebut, terlihat bahwa semakin lama maka semakin sedikit konsentrasi I2 karena semakin banyak iod yang bereaksi dengan aseton. Selanjutnya untuk percobaan B, dilakukan prosedur yang sama dengan percobaan A, tetapi penambahan natrium asetat diganti dengan penambahan aseton, dan cuplikan diambil tiap selang waktu 10 menit. Hasil yang diperoleh yaitu pada titrasi 1 jumlah natrium tiosulfat yang digunakan adalah 2 mL, titrasi 2 sebanyak 1,3 mL, titrasi 3 sebanyak 1 mL, dan titrasi 4 sebanyak 0,5 mL. Sama seperti percobaan A, semakin lama semakin sedikit jumlah natrium tiosulfat yang digunakan karena semakin sedikit jumlah iod bebas. Kemudian berdasarkan jumlah natrium tiosulfat yang digunakan dapat ditentukan konsentrasi I2 yaitu [I2]o adalah 2,632 x 10-4 M, [I2]1 adalah 1,743 x 10-4 M, [I2]2 adalah 1,351 x 10-4 M dan

[I2]3 adalah 6,85 x 10-5 M. Selanjutnya untuk percobaan C, dilakukan prosedur yang sama dengan percobaan A, tetapi penambahan natrium asetat diganti dengan penambahan asam sulfat, dan cuplikan diambil tiap selang waktu 10 menit. Hasil yang diperoleh yaitu pada titrasi 1 jumlah natrium tiosulfat yang digunakan adalah 1,9 mL, titrasi 2 sebanyak 1,3 mL, dan titrasi 3 sebanyak 0,7 mL. Sama seperti percobaan A, semakin lama semakin sedikit jumlah natrium tiosulfat yang digunakan karena semakin sedikit jumlah iod bebas. Kemudian berdasarkan jumlah natrium tiosulfat yang digunakan dapat ditentukan konsentrasi I2 yaitu [I2]o adalah 2,507 x 10-4 M, [I2]1 adalah 1,743 x 10-4 M, dan [I2]2 adalah 9,54 x 10-5 M. Dari data yang diperoleh, dapat ditentukan laju reaksi pengurangan iod. Untuk percobaan A, V1 = 5,19 x 10-7 M/s, V2 = 4,5 x 10-7 M/s, dan V3 = 3,18 x 107

M/s. Untuk percobaan B, V1 = 1,48 x 10-7 M/s, V2 = 1,06 x 10-7 M/s, dan V3 =

1,08 x 10-7 M/s. Sedangkan untuk percobaan C, V1 = 1,27 x 10-7 M/s, danV2 = 1,29 x 10-7 M/s. Berdasarkan hasil tersebut, tampak bahwa pada pecobaan B laju reaksinya lebih cepat dibandingkan percobaan A, karena pada percobaan B terdapat penambahan aseton. Semakin banyak aseton atau semakin banyak zat peraksi maka akan semakin banyak iod yang terikat pada aseton sehingga laju reaksinya semakin cepat. Jadi, laju reaksi dipengaruhi oleh konsentrasi pereaksi. Pada umumnya kenaikan konsentrasi pereaksi akan meningkatkan laju reaksi. Laju reaksi pada percobaan C lebih besar dibandingkan percobaan A dan B karena terjadi penambahan katalis atau asam sulfat. Katalis mempengaruhi

energi aktivasi. Energi aktivasi adalah energi yang dibutuhkan agar terjadi reaksi antar zat pereaksi. Makin kecil harga energi aktivasi, maka semakin mudah suatu reaksi terjadi dan semakin cepat reaksi berlangsung. Katalis menurunkan energi aktivasi sehingga laju reaksi semakin cepat. Dengan demikian, katalis merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi laju reaksi. Selanjutnya, dapat ditentukan hukum kecepatan reaksi iodinasi aseton dengan membuat kurva log [I2] vs log V. Untuk percobaan A hukum kecepatan reaksinya yaitu V = k [I2]b = 4,7973 x10-5 [I2] 0.528, untuk percobaan B yaitu V = k [I2]b = 1,282 x 10-6 [I2] 0.262, dan untuk percobaan C yaitu V = k [I2]b = 1,01 x 10-7 [I2] -0.026. Hanya saja pada percobaan kali ini, cuplikan yang terdapat didalam erlenmeyer yang diberi magnetik stirrer terlalu cepat mengalami perubahan warna sehingga data yang diperoleh sedikit, hal ini mungkin dikarenakan larutan yang terlalu encer. Selain itu, adapun kemungkinan-kemungkinan yang bisa menyebabkan penyimpangan atau kesalahan pada percobaan kali ini antara lain ; pengukuran yang tidak tepat misalnya pemipetan larutan, penitaran, pengamatan stopwatch, perhitungan, dan lain-lain.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Adapun kesimpulan dari percobaan ini yaitu : 1. Hukum kecepatan reaksi iodinasi aseton untuk percobaan A yaitu V = k [I2]b = 4,7973 x10-5 [I2] 0.528, untuk percobaan B yaitu V = k [I2]b = 1,282 x 10-6 [I2] 0.262, dan untuk percobaan C yaitu V = k [I2]b = 1,01 x 10-7 [I2] -0.026. 2. Laju reaksi antara lain dipengaruhi oleh konsentrasi pereaksi dan katalis. Kenaikan konsentrasi pereaksi akan meningkatkan laju reaksi. Sedangkan katalis akan menurunkan energi aktivasi sehingga laju reaksi semakin cepat. 5.2 Saran Sebaiknya sebelum praktikum berlangsung, alat-alat yang akan digunakan harus dicek terlebih dahulu, agar alat-alat yang rusak ataupun tidak layak untuk digunakan bisa diganti, misalnya saja buret dan bulb. Hal ini setidaknya dapat mengurangi kesalahan kerja dalam laboratorium karena alat yang rusak dapat menghambat kerja praktikan.

DAFTAR PUSTAKA Achmad, H., 1992, Elektrokimia dan Kinetika Kimia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Atkins, P.W., 1997, Kimia Fisika Jilid 2, Erlangga, Jakarta. Bird, T., 1993, Kimia Fisik Untuk Universitas, Gramedia, Jakarta. Dogra, S. K., dan Dogra, S., 1990, Kimia Fisik dan Soal-Soal, Universitas Indonesia, Jakarta. Keenan, C. W., Kleinfelter, D. C., dan Wood, J. H., 1992, Kimia untuk Universitas Edisi Keenam Jilid I, Erlangga, Jakarta. Sukardjo, 1989, Kimia Fisika, PT. Bina Aksara, Jakarta. Taba, P., Zakir, M., dan Fauziah, St., 2007, Penuntun Praktikum Kimia Fisika, Universitas Hasanuddin Makassar.

LEMBAR PENGESAHAN

Makassar, Maret 2010 Asisten Praktikan

( MUH. MULYADI NAHRUN )

( RIFAATUL MAHMUDAH M )

5 mL aseton + 10 mL asam sulfat

Lampiran

-

Dimasukkan dalam labu ukur dan diencerkan hingga 250 mL. Dipindahkan ke dalam labu erlenmeyer dan dibiarkan sampai mencapai suhu kamar.

-

Ditambahkan larutan iodin sambil stopwatch dijalankan. Diambil 25 mL larutan tersebut dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer yang berisi larutan Na-asetat dan amilum dimana amilum sebagai indikator.

Hasil

Dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat 0,01 M. Larutan sisa dipindahkan ke erlenmeyer dan ditutup. Distirrer dengan stirrer magnetik. Cuplikan berikutnya diambil dalam selang waktu 4 menit

NB : - Diulang percobaan A dengan mengambil 10 mL aseton, dan cuplikancuplikan diambil dalam selang waktu 10 menit. - Diulangi lagi percobaan A dengan mengambil 5 mL larutan asam sulfat, dan cuplikan-cuplikan diambil tiap 10 menit.


Top Related