Download - Lapkas Tht Fraktur

Transcript
Page 1: Lapkas Tht Fraktur

LEMBAR PENGESAHAN

CASE

FRAKTUR MAKSILOFASIAL

Oleh :

Okky Nafiriana

030.10.214

Disusun sebagai salah satu syarat kelulusan

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan

Rrumah Sakit Umum Daerah Kardinah Tegal

Periode : 7 Juli – 16 Agustus 2014

Tegal, 5 Agustus 2014

Dokter Pembimbing

1

Page 2: Lapkas Tht Fraktur

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN 1

BAB I PENDAHULUAN 3

BAB II LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN 4

ANAMNESIS 4

PEMERIKSAAN FISIK 5

RESUME 7

PEMERIKSAAN ANJURAN 8

DIAGNOSIS KERJA 8

DIAGNOSIS BANDING 8

TATA LAKSANA 8

PROGNOSIS 8

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1 FRAKTUR MAKSILOFASIAL 9

3.1.1 Definisi 9

3.1.2 Etiologi 9

3.1.3 Epidemiologi 9

3.1.4 Manifestasi klinis 10

3.1.5 Klasifikasi Fraktur Maksilofasial 10

3.1.5.1 Fraktur Nasal 10

3.1.5.2 Fraktur Maksila 16

3.1.5.3 Fraktur tulang orbita 18

3.1.5.4 Fraktur tulang mandibula 18

3.1.5.5 Fraktur tulang zigoma dan arkus zigoma 18

3.1.6 Diagnosis 19

3.1.7 Penatalaksanaan 20

3.1.8 Komplikasi 22

BAB IV KESIMPULAN 23

DAFTAR PUSTAKA 24

2

Page 3: Lapkas Tht Fraktur

BAB I

PENDAHULUAN

Fraktur maksilofasial merupakan fraktur yang sering terjadi sebagai akibat dari faktor

luar seperti kecelakaan lalu lintas (etiologi terbanyak), kecelakaan kerja, kecelakaan akibat

olah raga, kecelakaan akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan.

Fraktur maksilofasial ini terletak didaerah yang anatominya spesifik, sebagaimana yang kita

ketahui bahwa kepala merupakan daerah tempat organ-organ penting seperti otak dan pusat

persyarafan. Sehingga fraktur maksilofasial ini mewakili permasalahan terbesar bagi

pelayanan kesehatan umum diseluruh belahan dunia karena tingginya insidensi dan kerugian

finansial yang ditimbulkan dari fraktur maksilofasial ini.

Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda

motor lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan perempuan dan lebih banyak

dijumpai pada usia produktif (21-30 tahun). Fraktur mandibula merupakan fraktur yang

paling banyak terjadi (57,69%), selanjutnya fraktur kombinasi maksilofasial (21,15%),

fraktur maksila (13,46%), fraktur komplek nasal (3,85%), fraktur maksilofasial yang diikuti

oleh jenis fraktur lainnya (1,92%) dan jenis fraktur maksilofasial yang paling sedikit sekali

terjadi adalah fraktur komplek zigoma (0,96%) dan fraktur dentoalveolar (0,96%).

Prinsip perawatan fraktur yang diberikan bertujuan untuk mengembalikan fragmen-

fragmen tulang pada hubungan anatomi semula (reduksi), mempertahankannya supaya terjadi

proses penyembuhan luka pada tulang (fiksasi) serta lamanya waktu fiksasi (immobilisasi).

Walaupun teknologi bedah memberikan hasil yang baik, pencegahan fraktur maksilofasial

merupakan langkah yang bijak. Dengan keterlibatan berbagai pihak, Insidensi fraktur

maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor yang dapat

mengakibatkan menurunnya kualitas hidup seseorang dapat dicegah dan angka dari insidensi

fraktur akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor ini dapat dikurangi.

3

Page 4: Lapkas Tht Fraktur

BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Sdr. T

Umur : 16 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Belum menikah

Alamat : Jln. Sumbodro

Pekerjaan : Pelajar

Agama : Islam

Suku bangsa : Jawa

No. RM : 745328

II. ANAMNESIS

Anamesis dilakukan secara autoanamesis, pada tanggal 26 Juli 2014

pada pukul 10.00 WIB bertempat di ruang IBS, RSUD Kardinah Tegal.

A. KELUHAN UTAMA

Pendarahan hidung

B. KELUHAN TAMBAHAN

Pendarahan mulut, edema palpebra

C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien mengalami kecelakaan lalu lintas pada Kamis (24 Juli 2014)

malam, beberapa jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien tidak mengenakan

helm saat mengendarai motor bersama temannya dan motor tersebut terjatuh

saat menabrak pohon. Kemudian pasien dibawa ke RSU Kardinah dalam

keadaan sadar dengan pendarahan hidung dan mulut serta mata yang bengkak.

Mual dan muntah disangkal oleh pasien.

D. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Pasien tidak pernah mengalami sakit yang sama seperti sekarang.

Tekanan darah tinggi, diabetes millitus, alergi obat maupun makanan

disangkal oleh pasien

4

Page 5: Lapkas Tht Fraktur

E. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

Tidak ada keluarga yang menderita gejala atau keluhan yang sama

seperti pasien. Riwayaat tekanan darah tinggi, diabetes millitus dan alergi

dalam keluarga disangkal.

F. RIWAYAT KEBIASAAN

Pasien mengaku tidak minum alkohol dan merokok. Pasien jarang

berolahraga.

III. PEMERIKSAAN FISIK

A. STATUS GENERALIS

Kesan sakit : Tampak sakit berat

Kesadaran : Compos metis

Tanda vital

Suhu : 36 oC

Nadi : 104X/ menit

Tekanan darah : 118 / 60 mmHg

Respiration Rate : 26 X / menit

Kepala : Normocephali, tidak terdapat deformitas

Mata : Pupil bulat, isokor, CA -/-, SI -/-, edema palpebra

Mulut : Pendarahan (+)

Leher : Tidak dilakukan

Thorax : Tidak dilakukan

Abdomen : Tidak dilakukan

Ekstremitas : Tidak dilakukan

B. STATUS LOKALIS

1. PEMERIKSAAN TELINGA

KANAN KIRI

Normotia, nyeri tarik (-)

Nyeri tekan tragus (-)

Daun Telinga Normotia, nyeri tarik (-)

Nyeri tekan tragus (-)

5

Page 6: Lapkas Tht Fraktur

Hiperemis(-), fistula(-)

oedem(-), sikatriks (-)

Preaurikuler Hiperemis (-), fistula (-)

oedem (-), sikatriks (-)

Hiperemis (-), fistula (-)

oedem (-), nyeri tekan

mastoid (-) sikatriks (-)

Retroaurikuler Hiperemis (-), fistula (-)

oedem (-), nyeri tekan

mastoid (-) sikatriks (-)

Tidak dilakukan Liang telinga Tidak dilakukan

Tidak dilakukan Membrana timpani Tidak dilakukan

Kesan : telinga kanan dan kiri dalam batas normal

2. PEMERIKSAAN HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

RHINOSKOPI ANTERIOR

Bentuk Tidak simetris

Tanda peradangan diluar +

Daerah sinus frontalis dan maksilaris Nyeri tekan +/+

Nyeri ketuk +/+

Krepitasi +/+

Vestibulum Tampak bulu hidung +/+, nyeri +/+,

pendarahan +/+

Septum nasi Deviasi (+)

Konka inferior kanan dan kiri Tidak dapat dinilai

Konka media kanan dan kiri Tidak dapat dinilai

Meatus nasi medius kanan dan kiri Tidak dapat dinilai

Kesan : hidung bagian anterior mengalami deviasi akibat trauma

3. PEMERIKSAAN TENGGOROK

Trismus +

6

Page 7: Lapkas Tht Fraktur

Arkus faring Tidak dilakukan

Mukosa faring Tidak dilakukan

Dinding faring Tidak dilakukan

Uvula Tidak dilakukan

Tonsil palatina Tidak dilakukan

Gigi geligi Tidak dilakukan

Kesan : pemeriksaan tenggorok tidak dilakukan karena pasien mengalami

trismus dan kesakitan

4. PEMERIKSAAN LEHER

Bentuk: Normal, simetris

Eritema (-), nyeri tekan (-)

5. MAKSILO FASIAl

Tampak deformitas

Paralisis nervus kranialis (-)

Nyeri pada: dahi (+), pipi (+), hidung (+), depan telinga (+)

IV. RESUME

Seorang Laki-laki dibawa ke ICU RSU Kardinah pada Kamis, 24 Juli 2014

malam dengan keluhan hidung mengalami pendarahan aktif. Beberapa jam

sebelumnya, pasien mengalami kecelakaan lalu lintas karena tidak mengenakan helm

saat mengendarai motor bersama temannya dan motor tersebut terjatuh saat

menabrak pohon. Pasien dibawa ke RSU Kardinah dalam keadaan sadar dengan

pendarahan aktif pada hidung dan mulut serta mata yang bengkak.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit berat.

Pada status generalis, didapatkan edema palpebral. Pemeriksaan status lokalis, pada

pemeriksaan rhinoskopi anterior, didapatkan bentuk tidak simetris, deviasi septum,

nyeri tekan maupun ketuk pada daerah sinus frontalis dan maksilaris, serta

7

Page 8: Lapkas Tht Fraktur

pendarahan dan nyeri pada vestibulum. Pada pemeriksaan tenggorok didapatkan

trismus dan kesakitan saat membuka mulut. Pada pemeriksaan maksilofasial, tampak

deformitas dan nyeri pada dahi, pipi, hidung dan depan telinga.

V. DIAGNOSIS KERJA

Fraktur maksilofasial: fraktur nasal dan fraktur maksila le fort III

VI. PEMERIKSAAN TAMBAHAN

A. CT Scan

B. Rontgen kepala

C. Laboratorium darah

VII. PENATALAKSANAAN

A. Medikamentosa

Asam traneksamat

Ceftriaxone

Dexamethasone

Ketorolac

B. Non medikamentosa

Tampon nasal dextra dan sinistra

Oksigen sungkup

VIII. PROGNOSIS

Ad Vitam : Dubia ad bonam

Ad Fungsionam : Dubia ad bonam

Ad Sanationam : Dubia ad bonam

BAB III

8

Page 9: Lapkas Tht Fraktur

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Fraktur Maksilofasial

3.1.1 Definisi

Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan

sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mengenai jaringan lunak dan jaringan

keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi

jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang

wajah yang terdiri dari tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang

maksila, tulang rongga mata, gigi dan tulang alveolus.1,6

3.1.2 Etiologi

Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas,

kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas

adalah penyebab utama trauma maksilofasial yang dapat membawa kematian dan kecacatan

pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya terjadi

pada pria dengan batas usia 21-30 tahun. Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal

menjadi masalah karena harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat

mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72 % kematian oleh

trauma maksilofasial paling banyak disebabkan kecelakaan lalu lintas.6,7

3.1.3 Epidemiologi

Penyebab Persentase (%)

Dewasa

Kecelakaan lalu lintas 40-45

Penganiayaan / berkelahi 10-15

Olahraga 5-10

Jatuh 5

Lain-lain 5-10

Anak – anak

Kecelakaan lalu lintas 10-15

Penganiayaan / berkelahi 5-10

Olahraga (termasuk naik sepeda) 50-65

Jatuh 5-10

9

Page 10: Lapkas Tht Fraktur

Tabel 3.1 Etiologi trauma maksilofasial7

3.1.4 Manifestasi klinis

Pada penderita trauma muka dapat timbul beberapa kelainan seperti kerusakan

jaringan lunak (edema, kontusio, ekskoriasi, laserasi dan avulsi), emfisema subkutis, rasa

nyeri, terdapat deformitas yang dapat dilihat atau diperiksa dengan cara perabaan, epistaksis,

obstruksi hidung yang disebabkan timbulnya hematom pada septum nasi, fraktur septum atau

dislokasi septum, gangguan pada mata, misalnya gangguan penglihatan, diplopia, ekimosis

pada konjungtiva, abrasi kornea, gangguan saraf sensoris berupa anestesia atau hipestesia dari

ketiga cabang nervus cranialis kelima, gangguan saraf motorik, trismus, maloklusi, kebocoran

cairan cerebrospinalis, krepitasi tulang hidung, maksila dan mandibula.10

3.1.5 Klasifikasi Fraktur Maksilofasial

Klasifikasi dari fraktur maksilofasial itu sendiri terdiri atas beberapa fraktur yakni

fraktur nasal, fraktur kompleks zigomatikus - arkus zigomatikus, fraktur orbita, fraktur

mandibula dan fraktur maksila yang terdiri atas fraktur le fort I, II, dan III. 11

3.1.5.1 Fraktur Nasal

Pada trauma muka paling sering terjadi fraktur hidung. Diagnosis fraktur hidung dapat

dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan pemeriksaan hidung bagian dalam dilakukan dengan

rinoskopi anterior, biasanya ditandai oleh adanya pembengkakan mukosa hidung, terdapatnya

bekuan dan kemungkinan ada robekan pada mukosa septum, hematoma septum, dislokasi

atau deviasi septum.8,10

Jika hanya fraktur tulang hidung sederhana dapat dilakukan reposisi fraktur tersebut

dalam analgesia lokal. Fraktur tulang hidung terbuka menyebabkan perubahan tempat dari

tulang hidung tersebut yang juga disertai laserasi pada kulit atau mukoperiosteum rongga

hidung. Kerusakan atau kelainan pada kulit dari hidung diusahakan untuk diperbaiki atau

direkonstruksi.8,10

Tanda yang mendukung terjadinya fraktur tulang hidung dapat berupa :5

a) Depresi atau pergeseran tulang – tulang hidung.

b) Terasa lembut saat menyentuh hidung.

c) Adanya pembengkakan pada hidung atau muka.

10

Page 11: Lapkas Tht Fraktur

d) Memar pada hidung atau di bawah kelopak mata (black eye).

e) Deformitas hidung.

f) Keluarnya darah dari lubang hidung (epistaksis).

g) Saat menyentuh hidung terasa krepitasi.

h) Rasa nyeri dan kesulitan bernapas dari lubang hidung.

Tanda-tanda berikut dimana sebaiknya meminta pertolongan ke unit gawat darurat :

- Perdarahan yang berlangsung lebih dari beberapa menit pada satu atau kedua lubang

hidung

- Keluar cairan berwarna bening dari lubang hidung

- Cedera lain pada tubuh dan muka

- Kehilangan kesadaran

- Sakit kepala yang hebat

- Muntah yang berulang

- Penurunan indra penglihatan

- Nyeri pada leher

- Rasa kebas, baal,atau lemah pada lengan. 5

Diagnosis fraktur tulang hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan

pemeriksaan hidung bagian dalam dilakukan dengan rinoskopi anterior, biasanya ditandai

dengan pembengkakan mukosa hidung terdapatnya bekuan dan kemungkinan ada robekan

pada mukosa septum, hematoma septum, dislokasi atau deviasi pada septum.1

Pemeriksaan penunjang berupa foto os nasal, foto sinusparanasal posisi Water dan

bila perlu dapat dilakukan pemindaian dengan CT scan. CT scan berguna untuk melihat

fraktur hidung dan kemungkinan terdapatnya fraktur penyerta lainnya.1

Pasien harus selalu diperiksa terhadap adanya hematoma septum akibat fraktur,

bilamana tidak terdeteksi. Dan tidak dirawat dapat berlanjut menjadi abses, dimana terjadi

resorpsi kartilago septum dan deformitas hidung pelana ( saddle nose ) yang berat.3

a. Anamnesis

Rentang waktu antara trauma dan konsultasi dengan dokter sangatlah penting untuk

penatalaksanaan pasien. Sangatlah penting untuk menentukan waktu trauma dan menentukan

arah dan besarnya kekuatan dari benturan. Sebagai contoh, trauma dari arah frontal bisa

menekan dorsum nasal, dan menyebabkan fraktur nasal. Pada kebanyakan pasien yang

mengalami trauma akibat olahraga, trauma nasal yang terjadi berulang dan terus menerus,

dan deformitas hidung akan menyebabkan sulit menilai antara trauma lama dan trauma baru

sehingga akan mempengaruhi terapi yang diberikan. Informasi mengenai keluhan hidung

11

Page 12: Lapkas Tht Fraktur

sebelumnya dan bentuk hidung sebelumnya juga sangat berguna. Keluhan utama yang sering

dijumpai adalah epistaksis, deformitas hidung, obstruksi hidung dan anosmia.3,12,13

b. Pemeriksaan fisik

Kebanyakan fraktur nasal adalah pelengkap trauma seperti trauma akibat dihantam atau

terdorong. Sepanjang penilaian awal dokter harus menjamin bahwa jalan napas pasien aman

dan ventilasi terbuka dengan sewajarnya. Fraktur nasal sering dihubungkan dengan trauma

pada kepala dan leher yang bisa mempengaruhi patennya trakea. Fraktur nasal ditandai

dengan laserasi pada hidung, epistaksis akibat robeknya membran mukosa. Jaringan lunak

hidung akan nampak ekimosis dan udem yang terjadi dalam waktu singkat beberapa jam

setelah trauma dan cenderung nampak di bawah tulang hidung dan kemudian menyebar ke

kelopak mata atas dan bawah.3,7,13

Deformitas hidung seperti deviasi septum atau depresi dorsum nasal yang sangat khas,

deformitas yang terjadi sebelum trauma sering menyebabkan kekeliruan pada trauma baru.

Pemeriksaan yang teliti pada septum nasal sangatlah penting untuk menentukan antara

deviasi septum dan hematom septi, yang merupakan indikasi absolut untuk drainase bedah

segera. Sangatlah penting untuk memastikan diagnosa pasien dengan fraktur, terutama yang

meliputi tulang ethmoid. Fraktur tulang ethmoid biasanya terjadi pada pasien dengan fraktur

nasal fragmental berat dengan tulang piramid hidung telah terdorong ke belakang ke dalam

labirin ethmoid, disertai remuk dan melebar, menghasilkan telekantus, sering dengan

rusaknya ligamen kantus medial, apparatus lakrimalis dan lamina kribriformis, yang

menyebabkan rhinorrhea cerebrospinalis. 3,7,13

Pada pemeriksaan fisis dengan palpasi ditemukan krepitasi akibat emfisema subkutan,

teraba lekukan tulang hidung dan tulang menjadi irregular. Pada pasien dengan hematom

septi tampak area berwarna putih mengkilat atau ungu yang nampak berubah-ubah pada satu

atau kedua sisi septum nasal. Keterlambatan dalam mengidentifikasi dan penanganan akan

menyebabkan deformitas bentuk pelana, yang membutuhkan penanganan bedah segera.

Pemeriksaan dalam harus didukung dengan pencahayaan, anestesi, dan semprot hidung

vasokonstriktor. Spekulum hidung dan lampu kepala akan memperluas lapangan pandang.

Pada pemeriksaan dalam akan nampak bekuan darah dan/atau deformitas septum nasal.3,7,12,13

b. Pemeriksaan radiologis

Jika tidak dicurigai adanya fraktur nasal komplikasi, radiografi jarang diindikasikan.

Karena pada kenyataannya kurang sensitif dan spesifik, sehingga hanya diindikasikan jika

ditemukan keraguan dalam mendiagnosa. Radiografi tidak mampu untuk mengidentifikasi

12

Page 13: Lapkas Tht Fraktur

kelainan pada kartilago dan ahli klinis sering salah dalam menginterpretasikan sutura normal

sebagi fraktur yang disertai dengan pemindahan posisi. Bagaimanapun, ketika ditemukan

gejala klinis seperti rhinorrhea cerebrospinalis, gangguan pergerakan ekstraokular atau

maloklusi. CT-scan dapat diindikasikan untuk menilai fraktur wajah atau mandibular. 3,12,17

Adapun tujuan Penangananan Fraktur Hidung, yaitu :

a. Mengembalikan penampilan secara memuaskan

b. Mengembalikan patensi jalan nafas hidung

c. Menempatkan kembali septum pada garis tengah

d. Menjaga keutuhan rongga hidung

e. Mencegah sumbatan setelah operasi, perforasi septum, retraksi kolumela,

perubahan bentuk punggung hidung

f. Mencegah gangguan pertumbuhan hidung 6

- Konservatif

Penatalaksanaan fraktur nasal berdasarkan atas gejala klinis, perubahan fungsional

dan bentuk hidung, oleh karena itu pemeriksaan fisik dengan dekongestan nasal dibutuhkan.

Dekongestan berguna untuk mengurangi pembengkakan mukosa. Pasien dengan perdarahan

hebat, biasanya dikontrol dengan pemberian vasokonstriktor topikal. Jika tidak berhasil bebat

kasa tipis, kateterisasi balon, atau prosedur lain dibutuhkan tetapi ligasi pembuluh darah

jarang dilakukan. Bebat kasa tipis merupakan prosedur untuk mengontrol perdarahan setelah

vasokonstriktor topikal. Biasanya diletakkan dihidung selama 2-5 hari sampai perdarahan

berhenti. Pada kasus akut, pasien harus diberi es pada hidungnya dan kepala sedikit

ditinggikan untuk mengurangi pembengkakan. Antibiotik diberikan untuk mengurangi resiko

infeksi, komplikasi dan kematian. Analgetik berperan simptomatis untuk mengurangi nyeri

dan memberikan rasa nyaman pada pasien. 1,10

Fraktur nasal merupakan fraktur wajah yang tersering dijumpai. Jika dibiarkan tanpa

dikoreksi, akan menyebabkan perubahan struktur hidung dan jaringan lunak sehingga akan

terjadi perubahan bentuk dan fungsi. Karena itu, ketepatan waktu terapi akan menurunkan

resiko kematian pasien dengan fraktur nasal. Terdapat banyak silang pendapat mengenai

kapan seharusnya penatalaksanaan dilakukan. Penatalaksanaan terbaik seharusnya dilakukan

segera setelah fraktur terjadi, sebelum terjadi pembengkakan pada hidung. Sayangnya, jarang

pasien dievaluasi secara cepat. Pembengkakan pada jaringan lunak dapat mengaburkan

apakah patah yang terjadi ringan atau berat dan membuat tindakan reduksi tertutup menjadi

sulit dilakukan. Sebab dari itu pasien dievaluasi setelah 3-4 hari berikutnya. Tindakan reduksi

13

Page 14: Lapkas Tht Fraktur

tertutup dilakukan 7-10 hari setelahnya dapat dilakukan dengan anestesi lokal. Jika tindakan

ditunda setelah 7-10 hari maka akan terjadi kalsifikasi. 3,7

Setelah memastikan bahwa saluran napas dalam kondisi baik, pernapasan optimal dan

keadaan pasien cenderung stabil, dokter baru melakukan penatalaksaan terhadap fraktur.

Penatalaksanaan dimulai dari cedera luar pada jaringan lunak. Jika terjadi luka terbuka dan

kemungkinan kontaminasi dari benda asing, maka irigasi diperlukan. Tindakan pembersihan

(debridement) juga dapat dilakukan. Namun pada tindakan debridement harus diperhatikan

dengan bijak agar tidak terlalu banyak bagian yang dibuang karena lapisan kulit diperlukan

untuk melapisi kartilago yang terbuka.7,12

- Operatif

Untuk fraktur nasal yang tidak disertai dengan perpindahan fragmen tulang,

penanganan bedah tidak dibutuhkan karena akan sembuh dengan spontan. Deformitas akibat

fraktur nasal sering dijumpai dan membutuhkan reduksi dengan fiksasi adekuat untuk

memperbaiki posisi hidung. 4,12

A. Teknik reduksi tertutup

Reduksi tertutup adalah tindakan yang dianjurkan pada fraktur hidung akut yang

sederhana dan unilateral. Teknik ini merupakan satu teknik pengobatan yang digunakan untuk

mengurangi fraktur nasal yang baru terjadi. Namun, pada kasus tertentu tindakan reduksi

terbuka di ruang operasi kadang diperlukan. Penggunaan analgesia lokal yang baik, dapat

memberikan hasil yang sempurna pada tindakan reduksi fraktur tulang hidung. Jika tindakan

reduksi tidak sempurna maka fraktur tulang hidung tetap saja pada posisi yang tidak normal.

Tindakan reduksi ini dikerjakan 1-2 jam sesudah trauma, dimana pada waktu tersebut edema

yang terjadi mungkin sangat sedikit. Namun demikian tindakan reduksi secara lokal masih

dapat dilakukan sampai 14 hari sesudah trauma. Setelah waktu tersebut tindakan reduksi

mungkin sulit dikerjakan karena sudah terbentuk proses kalsifikasi pada tulang hidung

sehingga perlu dilakukan tindakan rinoplasti estetomi.

Deformitas hidung yang minimal akibat fraktur dapat direposisi dengan tindakan yang

sederhana. Reposisi dilakukan dengan cunam Walsham. Pada penggunaan cunam Walsham

ini, satu sisinya dimasukkan ke dalam kavum nasi sedangkan sisi yang lain di luar hidung dia

atas kulit yang diproteksi dengan selang karet. Tindakan manipulasi dilakukan dengan

kontrol palpasi jari. 1

Jika terdapat deviasi piramid hidung karena dislokasi karena dislokasi tulang hidung,

cunam Asch digunakan dengan cara memasukkan masing-masing sisi (blade) ke dalam kedua

rongga hidung sambil menekan septum dengan kedua sisi forsep. Sesudah fraktur

14

Page 15: Lapkas Tht Fraktur

dikembalikan pada posisi semula dilakukan pemasangan tampon di dalam rongga hidung.

Tampon yang dipasang dapat ditambah dengan antibiotika.1

Perdarahan yang timbul selama tindakan akan berhenti, sesudah pemasangan tampon

pada kedua rongga hidung. Fiksasi luar (gips) dilakukan dengan menggunakan beberapa lapis

gips yang dibentuk dari huruf “T” dan dipertahankan hingga 10-14 hari.1

B. Teknik reduksi terbuka

Fraktur nasal reduksi terbuka cenderung tidak memberikan keuntungan. Pada daerah

dimana fraktur berada sangat beresiko mengalami infeksi sampai ke dalam tulang. Masalah

pada hidung menjadi kecil karena hidung mempunyai banyak suplai aliran darah bahkan pada

masa sebelum adanya antibiotik, komplikasi infeksi setelah fraktur nasal dan rhinoplasti

sangat jarang terjadi. 4,13

Teknik reduksi terbuka diindikasikan untuk :

1. Ketika operasi telah ditunda selama lebih dari 3 minggu setelah trauma.

2. Fraktur nasal berat yang meluas sampai ethmoid. Disini, sangat nyata adanya

fragmentasi tulang sering dengan kerusakan ligamentum kantus medial dan apparatus

lakrimalis. Reposisi dan perbaikan hanya mungkin dengan reduksi terbuka, dan

sayangnya hal ini harus segera dilakukan.

3. Reduksi terbuka juga dapat dilakukan pada kasus dimana teknik manipulasi reduksi

tertutup telah dilakukan dan gagal. Pada teknik reduksi terbuka harus dilakukan insisi

pada interkartilago. Gunting Knapp disisipkan di antara insisi interkartilago dan lapisan

kulit beserta jaringan subkutan yang terpisah dari permukaan luar dari kartilago lateral

atas, dengan melalui kombinasi antara gerakan memperluas dan memotong.3

- Komplikasi

A) Hematom septi

Merupakan komplikasi yang sering dan serius dari trauma nasal. Septum hematom

ditandai dengan adanya akumulasi darah pada ruang subperikondrial. Ruangan ini akan

menekan kartilago di bawahnya, dan mengakibatkan nekrosis septum irreversible.

Deformitas bentuk pelana dapat berkembang dari jaringan lunak yang hilang. Prosedur

yang harus dilakukan adalah drainase segera setelah ditemukan disertai dengan

pemberian antibiotik setelah drainase. 3,7,12

Penanganan hematom septum berupa : 3,13

- insisi dan drainase hematoma,

- pemasangan drain sementara,

15

Page 16: Lapkas Tht Fraktur

- pemasangan balutan intranasal untuk menekan mukosa septum

- dan memperkecil kemungkinan terjadinya hematom ulang

- dimulainya terapi antibiotik untuk mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya infeksi.

B) Fraktur dinding orbita

Fraktur pada dinding orbita dan lantai orbita akibat pukulan dapat terjadi. Gejala

klinis yang muncul adalah disfungsi otot ekstraokuler. 3

C) Fraktur septum nasal

Sekitar 70% fraktur nasal dihubungkan dengan fraktur septum nasal. Trauma pada

hidung bagian bawah akan menyebabkan fraktur septum nasal tanpa adanya kerusakan

tulang hidung. Teknik yang dilakukan adalah teknik manipulasi reduksi tertutup dengan

menggunakan forceps Asch.3

D) Fraktur lamina kribriformis

Merupakan predisposisi pengeluaran cairan cerebrospinalis, yang akan

menyebabkan komplikasi berupa meningitis, encephalitis dan abses otak.12,15

- Prognosis

Kebanyakan fraktur nasal tanpa disertai dengan perpindahan posisi akan sembuh

tanpa adanya kelainan kosmetik dan fungsional. Dengan teknik reduksi terbuka dan tertutup

akan mengurangi kelainan kosmetik dan fungsional pada 70 % pasien.6,12

3.1.5.2 Fraktur Maksila

Jika terjadi fraktur maksila maka harus segera dilakukan tindakan untuk mendapatkan

fungsi normal dan efek kosmetik yang baik. Tujuan tindakan penanggulangan ini adalah

untuk memperoleh fungsi normal pada waktu menutup mulut atau oklusi gigi dan

memperoleh kontur muka yang baik. Harus diperhatikan juga jalan napas serta profilaksis

kemungkinan terjadinya infeksi. Edema faring dapat menimbulkan gangguan pada jalan

napas sehingga mungkin dilakukan tindakan trakeostomi. Perdarahan hebat yang berasal dari

arteri maksilaris interna atau arteri ethmoidalis anterior sering terdapat fraktur maksila dan

harus segera diatasi. Jika tidak berhasil dilakukan pengikatan arteri maksilaris interna atau

arteri karotis eksterna atau arteri etmoidalis anterior. Jika kondisi pasien cukup baik sesudah

trauma tersebut, reduksi fraktur maksila biasanya tidak sulit dikerjakan kecuali kerusakan

pada tulang sangat hebat atau terdapatnya infeksi. Reduksi fraktur maksila mengalami

kesulitan jika pasien datang terlambat atau kerusakan sangat hebat yang disertai dengan

fraktur servikal atau terdapatnya kelainan pada kepala yang tidak terdeteksi. Garis fraktur

yang timbul harus diperiksa dan dilakukan fiksasi. 8,10

16

Page 17: Lapkas Tht Fraktur

Klasifikasi fraktur maksilofasial yang keempat adalah fraktur maksila, yang mana

fraktur ini terbagi atas tiga jenis fraktur, yakni ; fraktur Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III. Dari

beberapa hasil penelitian sebelumnya, insidensi dari fraktur maksila ini masing-masing

sebesar 9,2% dan 29,85%.3,19

A. Fraktur Le Fort I

Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau bergabung dengan

fraktur – fraktur Le Fort II dan III.

Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur transverses rahang atas

melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, di atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke

posterior yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini memungkinkan maksila dan palatum

durum bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang terpisah

tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai fraktur transmaksilari.12-15

B. Fraktur Le Fort II

Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip dengan fraktur

hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding sinus, fraktur

piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatimaksilaris dan nasofrontalis merupakan

sutura yang sering terkena.

Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas, bias merupakan

suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan. Derajat gerakan sering tidak lebih besar

dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I.12-15

C. Fraktur Le Fort III

Fraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera yang parah. Bagian tengah wajah

benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis kranii. Fraktur ini biasanya

disertai dengan cedera kranioserebral, yang mana bagian yang terkena trauma dan besarnya

tekanan dari trauma yang bisa mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat untuk

mengakibatkan trauma intrakranial.

17

Page 18: Lapkas Tht Fraktur

Gambar 6. Fraktur Le Fort I , Le Fort II, Le Fort III

3.1.5.3 Fraktur tulang orbita

Fraktur maksila sangat erat hubungannya dengan timbulnya fraktur orbita terutama

pada penderita yang menaiki kendaraan bermotor. Fraktur ini memberikan gejala-gejala

seperti enoftalmus, exoftalmus, diplopia, asimetri pada muka dan gangguan saraf sensoris.10

3.1.5.4 Fraktur tulang mandibula

Fraktur tulang mandibula adalah kedua terbanyak dari fraktur wajah. Penderita

mengeluh maloklusi dan nyeri pada pergerakkan rahang. Selain itu terdapat juga gejala

pembengkakan atau pun laserasi pada kulit yang meliputi mandibula, anestesia dapat terjadi

pada satu sisi bibir bawah, pada gusi atau pada gigi dimana nervus alveolaris inferior menjadi

rusak serta gangguan jalan napas disebabkan kerusakan hebat pada mandibula seperti

terjadinya perubahan posisi, trismus, hematoma dan edema jaringan lunak.9

3.1.5.5 Fraktur tulang zigoma dan arkus zigoma

Tulang zigoma ini dibentuk oleh bagian yang berasal dari tulang temporal, tulang

frontal, tulang sfenoid dan tulang maksila. Gejala fraktur zigoma antara lain adalah pipi

menjadi lebih rata, diplopia, edema periorbita, perdarahan subkonjungtiva, hipestesia atau

anestesia, emfisema subkutis dan epistaksis karena terjadi pada antrum.8

Fraktur arkus zigoma tidak sulit untuk dikenal sebab pada tempat ini timbul rasa nyeri

pada waktu bicara atau mengunyah. Kadang-kadang timbul trismus. Gejala ini timbul karena

terdapatnya perubahan letak dari arkus zigoma terhadap prosesus koronoid dan otot temporal.

Fraktur arkus zigoma yang tertekan atau terdepresi dapat dengan mudah dikenal dengan

palpasi.8

3.1.6 DIAGNOSIS

18

Page 19: Lapkas Tht Fraktur

Sebuah riwayat trauma yang lengkap dibutuhkan, mulai dari kapan kejadian, penyebab

trauma, bagaimana mekanisme kejadiannya, pertolongan pertama yang sudah dilakukan dan

jumlah perdarahan. Sebuah riwayat trauma yang lengkap akan berpengaruh terhadap jenis

dan waktu perawatan terjadi serta hasil akhirnya.1

Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh dan terfokus pada area trauma, dengan

tetap mewaspadai luka-luka atau trauma lain yang berhubungan. Jika perlu dikonsultasikan

ke spesialis lain seperti THT, mata dan bedah saraf.1,8

Nilai lokasi, panjang dan kedalaman dari robekan dari wajah. Robekan, memar, terbakar

berdampak merusak struktur yang lebih dalam. Bila ada hal tersebut, lakukan pemeriksaan

teliti terhadap regio di sekitarnya. Selalu diasumsikan terdapat fraktur di bawah luka robekan

atau memar sampai pemeriksaan klinis dan hasil radiologis membuktikannya.1,11

Pemeriksaan fisik yang akurat dimulai dengan inspeksi bagian wajah simetris atau tidak.

Perbandingan kedua sisi muka amat penting dan dapat digunakan referensi dari foto pasien.

Setelah semua dilakukan inspeksi, dilanjutkan dengan palpasi dengan jari-jari di atas kelopak

mata, hidung, arcus zigomatikus, dan batas-batas mandibula.11

Pada pemeriksaan intraoral lakukan palpasi regio maksila dan mandibula, kemudian

waspadai ada tidaknya pecahan gigi atau kehilangan gigi. Rahang dinilai dari gerakannya ke

lateral atau ke depan belakang. Rasa lunak yang terlokalisasi atau pergerakan yang abnormal

mengindikasikan adanya fraktur. Sensasi di daerah wajah dinilai.12

Pemeriksaan intranasal mengidentifikasi robekan, hematoma dan area obstruksi dari

dalam hidung. Mengalirnya cairan jernih dari hidung menunjukan rhinorrhea dari cairan

cerebrospinal dan penting untuk kemungkinan fraktur di fossa anterior cranium dan dapat

juga mengenai daerah cribiformis. 12

Penggunaan CT Scan dan foto roentgen sangat membantu menegakkan diagnosa,

mengetahui luasnya kerusakan akibat trauma, dan perawatan.4 CT scan pada potongan axial

maupun coronal merupakan gold standard pada pasien dengan kecurigaan fraktur zigoma,

untuk mendapatkan pola fraktur, derajat pergeseran, dan evaluasi jaringan lunak orbital.

Secara spesifik CT scan dapat memperlihatkan keadaan dari midfasial, seperti nasomaxillary,

zygomaticomaxillary, infraorbital, zygomaticofrontal, zygomaticosphenoid, dan

zygomaticotemporal.6 Penilaian radiologis dari foto polos dapat menggunakan foto waters,

caldwel, submentovertek dan lateral. Dari foto waters dapat dilihat pergeseran pada tepi

orbita inferior, maksila, dan zigoma. Foto caldwel dapat menunjukkan region

frontozigomatikus dan arkus zigomatikus. Foto submentovertek menunjukkan arkus

zigomatikus.9

19

Page 20: Lapkas Tht Fraktur

3.1.7 PENATALAKSANAAN

Secara umum penderita dapat dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok perlukaan

maksilofasial pada trauma kecil, misalnya dipukul atau ditendang, dapat diterapi pada

intermediate biasa pada ruang gawat darurat. Kelompok kedua adalah kelompok perlukaan

maksilofasial berat diakibatkan trauma tumpul berat, misalnya penurunan kondisi secara

cepat dari kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian, harus diterapi di tempat perawatan

khusus.11,13

Trauma maksilofasial berat harus dirawat pada tempat khusus diikuti dengan teknik

ATLS. Pasien harus diperhatikan jalan napasnya dan bila terjadi cedera servikal harus

dilakukan imobilisasi tulang leher. Pasien bisa dalam keadaan setengah duduk jika tidak ada

kecurigaan perlukaan spinal. Jika perlu dilakukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi.

Pasien diberikan oksigenasi. Monitor tanda vital harus dilakukan setiap 5 – 10 menit, juga

dipasang ECG serta pulse oksimetri. Pemberian anti tetanus serum diperlukan untuk

mencegah tetanus dan pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi.13

Penanggulangan fraktur muka dilakukan dengan reduksi tertutup atau terbuka. Biasanya

reduksi terbuka dilakukan apabila reduksi tertutup gagal. Pada fraktur maksila sangat

ditekankan agar rahang atas dan rahang bawah dapat menutup. Dilakukan fiksasi

intermaksilar menggunakan kawat baja atau mini-plate sesuai garis fraktur sehingga oklusi

gigi menjadi sempurna. Optimalnya fraktur ditangani sebelum oedem pada jaringan muncul,

tetapi pada praktek di lapangan hal ini sangat sulit. Pada fraktur zigoma, keputusan untuk

penanganan tidak perlu dilakukan terburu-buru karena fraktur zigoma bukan merupakan

keadaan yang darurat. Penundaan dapat dilakukan beberapa hari sampai beberapa minggu

sampai oedem mereda dan penanganan fraktur dapat lebih mudah.13,14

Penatalaksanaan fraktur zigoma tergantung pada derajat pergeseran tulang, segi estetika

dan defisit fungsional. Perawatan fraktur zigoma bervariasi dari tidak ada intervensi dan

observasi meredanya oedem, disfungsi otot ekstraokular dan parestesi hingga reduksi terbuka

dan fiksasi interna. Intervensi tidak selalu diperlukan karena banyak fraktur yang tidak

mengalami pergeseran atau mengalami pergeseran minimal. Penelitian menunjukkan bahwa

antara 9-50% dari fraktur zigoma tidak membutuhkan perawatan operatif. Jika intervensi

diperlukan, perawatan yang tepat harus diberikan seperti fraktur lain yang mengalami

pergeseran yang membutuhkan reduksi dan alat fiksasi.6,13

Pada fraktur mandibula penanggulangan tergantung pada lokasi fraktur, luasnya fraktur,

dan keluhan yang diderita. Di negara maju untuk fraktur mandibula digunakan mini atau

20

Page 21: Lapkas Tht Fraktur

mikroplate yang dipasang dengan menggunakan skrup, keuntungannya lebih stabil, tidak

memberikan reaksi jaringan, dapat dipakai untuk waktu yang lama, mudah dikerjakan.

Kekurangannya sulit didapat dan mahal.13,14

Pada fraktur hidung sederhana dapat dilakukan reposisi dengan analgesia lokal. Akan

tetapi anak-anak atau orang dewasa yang tidak kooperatif memerlukan anestesi umum.

Analgesia lokal dapat dilakukan dengan pemasangan tampon lidocain 1-2% yang dicampur

dengan epineprin 1:1000%. Tampon kapas yang berisi obat analgesia lokal ini dipasang

masing-masing 3 buah, pada setiap lubang hidung. Tampon pertama diletakan pada meatus

superior tepat di bawah tulang hidung, tampon kedua diletakan antara konka media dan

septum dan bagian distal dari tampon tersebut terletak dekat foramen sfenopalatina, tampon

ketiga diletakan antara konka inferior dan septum nasi. Ketiga tampon tersebut dipertahankan

selama 10 menit. Kadang-kadang diperlukan penambahan penyemprotan oxymethaxolin

spray beberapa kali melalui rinoskopi anterior untuk mempermudah efek anestesi dan efek

vasokonstriksi.14

Penggunaan anestesi lokal yang baik dapat memberikan hasil yang sempurna pada

tindakan reduksi fraktur tulang hidung. Tindakan reduksi ini dapat dikerjakan 1-2 jam

sesudah trauma, dimana pada waktu tersebut edema yang terjadi sangat sedikit. Namun

reduksi secara lokal masih dapat dilakukan sampai 14 hari sesudah trauma. Sesudah waktu

tersebut tindakan reduksi mungkin sulit dikerjakan karena sudah terjadi kalsifikasi sehingga

harus dilakukan tindakan rinoplasti estetomi. Alat-alat yang dipakai pada tindakan reduksi

adalah elevator tumpul yang lurus (Boies nasal fracture elevator), cunam Asch, cunam

Walsham, spekulum hidung pendek dan panjang (Killian), pinset bayonet.14

Deformitas hidung minimal akibat fraktur dapat direposisi dengan tindakan sederhana.

Reposisi dapat dilakukan dengan cunam Walsham. Pada penggunaan cunam Walsham ini,

satu sisinya dimasukan ke dalam kavum nasi sedangkan sisi lain di luar hidung di atas kulit

yang diproteksi dengan selang karet. Tindakan manipulasi dikontrol dengan palpasi jari. Jika

terdapat deviasi piramid hidung karena dislokasi tulang hidung, cunam Asch digunakan

dengan cara memasukan masing-masing sisi (blade) ke dalam kedua rongga sambil menekan

septum dengan kedua sisi forsep. Sesudah fraktur hidung dikembalikan pada keadaan semula

dilakukan pemasangan tampon di dalam rongga hidung. Tampon yang dipasang dapat

ditambah dengan antibiotika. Perdarahan yang timbul selama tindakan akan berhenti sesudah

pemasangan tampon pada kedua hidung. Fiksasi luar dengan menggunakan beberapa lapis

gips yang dibentuk seperti huruf T dan dipertahankan hingga 10-14 hari.13,14

21

Page 22: Lapkas Tht Fraktur

3.1.8 KOMPLIKASI

Komplikasi jaringan ikat umumnya pada proses penyembuhan luka, seperti jaringan

parut. Penutupan kulit harus dilakukan dengan penanganan nontraumatic dari tepi luka dan

harus menghasilkan tepi luka yang sedikit membalik keluar serta mengikuti garis kulit. 14

Cedera saraf mungkin telah terjadi sebelum operasi akibat dari trauma awal. Oleh karena

itu, status sensorik dan saraf motorik dari wajah dan dahi harus didokumentasikan sebelum

operasi. Perawatan harus diambil untuk mengidentifikasi dan mempertahankan neurovaskular

supraorbital dan infraorbital. Cedera ke akar gigi dari lubang sekrup salah dapat

mengakibatkan gigi nonviable. Infeksi pasca operasi lebih cenderung terjadi dalam cedera

jaringan lunak yang ekstensif, luka yang terkontaminasi, fraktur terbuka, fraktur berhubungan

dengan ruang intranasal atau intraoral, atau tidak terevakuasi darah di sinus. Jika terapi

antibiotik empiris tidak dapat menghapus infeksi, debridemen dan drainase mungkin

diperlukan. Sinusitis dapat terjadi jika garis fraktur mengganggu drainase sinus. Malunion

dan maloklusi serta deformitas bisa terjadi jika fiksasi tidak tepat atau longgar selama periode

pascaoperasi. Pada fraktur tulang hidung dapat terjadi komplikasi neurologik seperti

robeknya duramater, laserasi otak, sedang komplikasi pada mata dapat terjadi hematoma pada

mata, ptosis, epifora, untuk komplikasi pada hidung dapat terjadi perubahan bentuk hidung,

epistaksis posterior yang hebat dan gangguan penciuman.14,15

BAB IV

KESIMPULAN

22

Page 23: Lapkas Tht Fraktur

Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan

sekitarnya. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas,

kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Klasifikasi dari fraktur

maksilofasial itu sendiri terdiri atas beberapa fraktur yakni fraktur nasal, fraktur kompleks

zigomatikus - arkus zigomatikus, fraktur orbita, fraktur mandibula dan fraktur maksila.

Penggunaan CT Scan dan foto roentgen sangat membantu menegakkan diagnosa,

mengetahui luasnya kerusakan akibat trauma. Pada fraktur os nasal, perlu dipasang tampon

sebagai penanganan awal untuk mengatasi pendarahan aktif hidung. Tujuan dari

penatalaksanaan fraktur os nasal adalah untuk mengembalikan atau memperbaiki fungsi

hidung. Kebanyakan fraktur nasal tanpa disertai dengan perpindahan posisi akan sembuh

tanpa adanya kelainan kosmetik dan fungsional. Dengan teknik reduksi terbuka dan tertutup

akan mengurangi kelainan kosmetik dan fungsional pada 70 % pasien.

DAFTAR PUSTAKA

23

Page 24: Lapkas Tht Fraktur

1. Sofii I, Dachlan I. Correlation between midfacial fractures and intracranial lesion in

mild and moderate head injury patients. Available at:

http://bedahugm.com/Correlation-between-midfacial-fractures-and-intracranial-

lesion-in-mild-and-moderate-head-injury-patients.php. Accesed on August 28, 2010.

2. Berkovitz BK, Moxham BJ. A Textbook of Head & Neck Anatomy. 1st ed. Mosby-

Year Book;1988.

3. Rohen JW, Yokochi C. Color Atlas of Anatomy. Philadelphia: Lippincott Williams

& Wilkins;1988.

4. Bron AJ, Tripathi RC, Tripathi BJ. Wolff's Anatomy of the Eye and Orbit. 8th

ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;1997.

5. Lang J. Clinical Anatomy of the Nose, Nasal Cavity, and Paranasal Sinuses. NY:

Thieme Medical Publishers;1989.

6. Tucker MR, Ochs MW. Management of facial fractures. Dalam : Peterson lj et al.

contemporary oral and maxillofacial surgery. St louis: mosby co. 2003

7. Prasetiyono A. Penanganan fraktur arkus dan kompleks zigomatikus. Indonesian

journal of oral and maxillofacial surgeons. Feb 2005 no 1 tahun IX hal 41-50.

8. Dwidarto D. Affandi M. Pengelolaan deformitas dentofasial pasca fraktur

panfascial (Management of the Dentofacial Defomity Post Panfacial Fracture: Case

Report). Available at: http://www.pdgionline.com/web/index. php?

option=content&task=category&sectionid=4&id=10&Itemid=26. Accesed on

August 28,2010.

9. Bailey JS, Goldwasser MS. Management of Zygomatic Complex Fractures. Dalam :

Miloro M et al. Peterson’s principles of Oral and Maxillofacial Surgery 2nd.

Hamilton, London: BC Decker Inc. 2004

10. Dutton JJ. Atlas of Clinical and Surgical Orbital Anatomy. Philadelphia: WB

Saunders Co;1994.

11. Beaty NB, Le TT. Mandibular thickness measurements in young dentate adults. Arch

Otolaryngol Head Neck Surg . Sep 2009;135(9):920-3.

12. Haribhakti VV. The dentate adult human mandible: an anatomic basis for surgical

decision making. Plast Reconstr Surg . Mar 1996;97(3):536-41; discussion 542-3

24

Page 25: Lapkas Tht Fraktur

13. Miller PJ, Smith S, Shah A. The subzygomatic fossa: a practical landmark in

identifying the zygomaticus major muscle. Archives of Facial Plastic Surgery . Jul-

Aug 2007;9(4):271-4.

14. Zide BM, Swift R. How to block and tackle the face. Plast Reconstr Surg.

Mar 1998;101(3):840-51.

15. Webster RC, Gaunt JM, Hamdan US, et al. Supraorbital and supratrochlear notches

and foramina: anatomical variations and surgical relevance.

Laryngoscope . Mar 1986;96(3):311-5.

25


Top Related