Transcript
Page 1: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

Kisah Hidup Buddha ShakyamuniAlexander Berzin Februari 2005, diperbaiki April 2007

Pendahuluan

Menurut penanggalan tradisional, Buddha Shakyamuni, yang juga dikenal sebagai Buddha Gautama, hidup dari 566 sampai 485 SM di India utara-tengah. Sumber-sumber agama Buddha memuat beragam catatan mengenai kehidupannya, dengan perincian lebih lengkap muncul secara bertahap seiring perjalanan waktu. Karena naskah Buddha pertama ditulis tiga abad setelah kematian Buddha, sulit untuk menentukan ketepatan perincian yang dimuat oleh catatan-catatan itu. Selain itu, hanya karena perincian tertentu dalam bentuk tertulis muncul lebih akhir daripada yang lain, ini bukanlah alasan yang memadai untuk mengurangi keabsahannya. Banyak perincian bisa berlanjut diteruskan turun-temurun dalam bentuk lisan setelah yang lain dituliskan.

Sementara itu, biografi hikayat hidup guru-guru besar Buddha, termasuk Buddha sendiri, biasanya disusun untuk tujuan pendidikan dan bukan untuk menjaga catatan sejarah. Lebih khusus, hikayat hidup para guru besar dibuat dalam cara tertentu untuk mengajar dan mengilhami penganut Buddha supaya mereka mengambil jalan batin menuju pembebasan dan pencerahan. Oleh karena itu, untuk memperoleh manfaat dari kisah hidup Buddha, kita perlu memahaminya dalam latar ini dan mengurai pelajaran-pelajaran yang bisa kita peroleh darinya.

Sumber

Sumber-sumber paling awal untuk kehidupan Buddha terdiri dari, di dalam kitab-kitab Theravada, sejumlah sutta dari Kumpulan Wacana-Wacana dengan Panjang Menengah (Pali: Majjhima Nikaya) dan, dari beragam aliran Hinayana, sejumlah naskah Vinaya berkenaan aturan tata-tertib biara. Masing-masing naskah itu, bagaimanapun, hanya memberikan potongan-potongan mengenai kisah hidup Buddha.

Catatan pertama yang lebih luas muncul dalam karya-karya puisi tentang ajaran Buddha di akhir abad ke-2 SM, seperti Guru-Guru Besar (Skt. Mahavastu) mengenai aliran Mahasanghika Hinayana. Naskah ini, meskipun berada di luar Tiga Kumpulan Mirip Keranjang (Skt. Tripitaka, Tiga keranjang), menambahkan, salah satunya, perincian bahwa Buddha lahir sebagai pangeran dalam keluarga bangsawan. Karya puitis lainnya muncul dalam naskah aliran Sarvastivada Hinayana: Lelakon Panjang Sutra (Skt. Lalitavistara Sutra). Kemudian, versi-versi Mahayana dari naskah ini (rGya-cher rol-pa’i mdo) meminjam dan memerinci berdasarkan versi awal ini, misalnya dengan menjelaskan bahwa Shakyamuni telah tercerahkan berabad-abad lampau dan, kemunculannya sebagai Pangeran Siddharta bertujuan menunjukkan jalan untuk mencapai pencerahan sehingga bisa menuntun orang lain.

Akhirnya, beberapa hikayat hidup tersebut dimasukkan ke dalam Tiga Kumpulan Mirip Keranjang. Yang paling terkenal adalah Perbuatan-Perbuatan Buddha (Skt. Buddhacarita)

Page 2: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

karya pujangga Ashvaghosha, yang ditulis pada abad pertama masehi. Versi-versi lain bahkan muncul lebih akhir di dalam tantra, seperti dalam naskah Chakrasamvara. Di dalamnya, kita menemukan catatan bahwa, meski tampaknya Shakyamuni mengajar Sutra Kesadaran yang Jauh Menjangkau dan Membedakan (Prajnaparamita Sutra, Sutra Penyempurna Kebijaksanaan), Buddha secara terus-menerus muncul sebagai Vajradhara dan mengajarkan tantra.

Dari tiap catatan, kita bisa mempelajari sesuatu dan mendapatkan ilham. Mari kita secara pokok melihat versi-versi yang menggambarkan sosok Buddha di masa lalu.

Kelahiran, Kehidupan Awal, dan Penyerahan

Menurut catatan-catatan paling awal, Shakyamuni lahir dalam keluarga satria yang kaya di kerajaan Shakya, dengan ibukota Kapilawastu, di perbatasan India dan Nepal sekarang. Tidak ada pernyataan bahwa ia lahir sebagai pangeran dalam keluarga bangsawan. Kelahirannya sebagai pangeran dan nama pangerannya, Siddhartha, baru muncul dalam catatan-catatan selanjutnya. Ayahnya bernama Shuddhodana. Dalam versi-versi selanjutnya, nama ibunya, Maya-dewi, juga muncul, seperti halnya catatan tentang dirinya yang mengandung Buddha secara ajaib di dalam mimpinya tentang gajah bergading enam yang memasuki sisi tubuhnya, dan ramalan dari Asita yang bijak bahwa anak itu akan menjadi raja hebat atau orang bijak yang agung. Yang juga muncul selanjutnya adalah gambaran tentang kelahiran murni Buddha, yang terjadi tidak jauh dari Kapilawastu di Hutan Lumbini, dengan Buddha lahir keluar dari sisi tubuh ibunya, berjalan tujuh langkah dan berkata, “Aku telah tiba,” dan ibunya meninggal setelah melahirkan.

Sebagai anak muda, Buddha menjalani kehidupan menyenangkan. Ia menikah dan memiliki anak lelaki, Rahula. Dalam versi-versi selanjutnya, nama istrinya, Yashodhara, muncul. Di usia 29 tahun, Buddha meninggalkan kehidupan keluarga dan warisan bangsawannya, lalu menjadi pencari kehidupan batin yang mengembara dan hidup dari derma (Skt. shramana).

Penting bagi kita untuk melihat penyerahan diri Buddha ini di dalam latar belakang masyarakat dan zamannya. Dengan menjadi pencari kehidupan batin yang mengembara dan hidup dari derma, Buddha tidak meninggalkan istri dan anaknya hidup sendiri dalam kemiskinan. Mereka tentu telah dirawat oleh keluarga besarnya. Selain itu, keanggotaan Buddha sebagai kasta satria berarti ia pasti akan meninggalkan rumahnya suatu hari untuk pergi bertempur. Keluarga satria menerima hal ini sebagai kewajiban si lelaki. Satria di India kuno tidak membawa keluarganya di kemah militer.

Meskipun pertempuran bisa dilakukan terhadap musuh dari luar, pertempuran sejati adalah melawan musuh dari dalam diri, dan ini pertempuran yang didatangi Buddha. Pilihan Buddha untuk meninggalkan keluarganya demi tujuan ini menandakan bahwa pencari jalan batin memiliki tugas untuk mengabdikan seluruh hidupnya bagi tujuan yang sama. Dalam dunia modern kita, bagaimanapun, bila kita meninggalkan keluarga kita untuk menjadi biksu dan terlibat dalam pertempuran di dalam diri ini, kita perlu memastikan bahwa mereka terurus dengan baik. Ini berarti memenuhi kebutuhan bukan hanya mitra pernikahan dan anak kita, tapi juga orangtua kita. Namun, apakah kita meninggalkan keluarga kita atau tidak, pencari jalan

Page 3: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

batin Buddha mengemban tugas untuk mengurangi duka dengan mengatasi kecanduan pada kesenangan, sebagaimana dilakukan Buddha.

Untuk mengatasi duka, Buddha ingin memahami sifat dasar dari kelahiran, sakit, kematian, kelahiran kembali, kesedihan, dan kebingungan. Versi yang lebih panjang tentang ini muncul kemudian dalam bentuk kisah Channa, seorang pengemudi kereta kuda, yang membawa Buddha dalam perjalanan mengelilingi kota. Ketika Buddha melihat orang-orang yang sakit, tua, mati, dan yang menjadi petapa, Channa menjelaskan kepadanya tentang diri mereka. Dalam cara ini, Buddha lalu sungguh mengenali duka sejati yang dialami setiap orang dan jalan keluar yang mungkin darinya.

Kisah ini, yang melibatkan penerimaan pertolongan dalam jalan batin dari seorang pengemudi kereta kuda, setara dengan catatan Bhagavad Gita mengenai Arjuna, yang diceritakan oleh pengemudi kereta kudanya, Krishna, mengenai perlunya menjalankan tugasnya sebagai pejuang dan bertempur melawan keluarganya. Dalam kisah Buddha dan Hindu tersebut, kita bisa melihat arti penting melampaui tembok nyaman kehidupan kita berupa hal-hal yang kita akrabi dan tidak pernah meninggalkan tugas kita untuk menemukan kebenaran. Dalam tiap kasus, kereta kuda mewakili, mungkin, kendaraan cita yang mengarah pada pembebasan, dan kata-kata pengemudi kereta kemudian mewakili kekuatan yang menggerakkan kendaraan ini, yakni kebenaran akan kenyataan.

Kajian dan Pencerahan

Sebagai pencari kehidupan batin yang mengembara dan tidak menikah, Buddha belajar bersama dua guru tentang cara-cara untuk mencapai beragam tingkat kemantapan jiwa (Skt. dhyana) dan penyerapan arupa. Meskipun ia mampu mencapai keadaan-keadaan mendalam berupa konsentrasi sempurna yang di dalamnya ia tidak lagi mengalami duka nestapa atau bahkan kebahagiaan duniawi biasa, ia tidak puas. Keadaan-keadaan tingkat tinggi itu hanya tersedia untuk sementara, bukan kelegaan tetap dari perasaan-perasaan tercemar itu dan tentu tidak menghilangkan duka universal mendalam yang ingin ia atasi. Kemudian, ia berlatih bertapa dengan sangat keras bersama lima teman, tapi ini juga tidak menghapus masalah-masalah lebih mendalam yang terkait dengan kelahiran kembali yang terus berulang tanpa kendali (Skt. samsara). Baru di catatan-catatan lebih lanjut, disebutkan tentang Buddha yang menghentikan puasa enam tahunnya di pinggir Sungai Nairanjana, tempat gadis Sujata memberinya semangkuk air beras.

Bagi kita, contoh Buddha menandakan sikap untuk tidak puas dengan hanya menjadi sepenuhnya tenang atau menjadi “tinggi” saat meditasi, apalagi bila hanya menggunakan sarana buatan seperti obat-obatan. Menarik diri ke dalam keadaan kesurupan mendalam atau menyiksa atau menghukum diri sendiri juga bukanlah jalan keluar. Kita harus berusaha sekuat tenaga dalam menuju pembebasan dan pencerahan serta tidak terpuaskan dengan cara-cara batin yang tidak bisa membawa kita mencapai tujuan itu.

Setelah meninggalkan kehidupan bertapa, Buddha bermeditasi sendiri di dalam hutan, untuk mengatasi ketakutan. Yang mendasari ketakutan adalah sikap memuja diri dan usaha menggenggam keberadaan “aku” yang mustahil, yang lebih kuat daripada hal-hal yang

Page 4: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

mendasari pencarian hebat akan kesenangan dan hiburan. Sehingga, dalam Cakra Senjata-Senjata Tajam, guru India di abad ke-10 M, Dharmarakshita, menggunakan gambaran burung merak yang mengembara di hutan penuh tumbuhan beracun untuk mewakili bodhisattwa yang memakai dan mengubah perasaan beracun seperti hasrat, kemarahan, dan kenaifan untuk mengatasi sikap memuja diri dan usaha menggenggam “aku” yang mustahil.

Setelah banyak bermeditasi, Buddha mencapai pencerahan sempurna di usia 35 tahun. Catatan-catatan selanjutnya memberikan perincian tentang pencapaian ini di bawah pohon bodhi di daerah yang sekarang Bodh Gaya, setelah berhasil mengalahkan serangan Mara. Dewa Mara yang cemburu mencoba mencegah pencerahan Buddha dengan memunculkan hal-hal yang menakutkan dan menggoda untuk mengganggu meditasi Buddha di bawah pohon bodhi.

Dalam catatan-catatan awal, Buddha mencapai pencerahan dengan meraih tiga jenis pengetahuan: pengetahuan lengkap tentang seluruh kehidupan lampaunya, tentang karma dan kelahiran kembali semua orang lain, dan Empat Kebenaran Mulia. Catatan-catatan selanjutnya menerangkan bahwa, dengan pencerahan, ia mencapai kemahatahuan.

Mengajar dan Mendirikan Sebuah Komunitas Wihara

Setelah mencapai pembebasan dan pencerahan, Buddha mengalami keraguan untuk mengajar orang lain cara mencapai hal yang sama. Ia merasa, tak seorang pun akan bisa paham. Namun, dewa India, Brahma dan Indra, memohon kepadanya untuk mengajar. Menurut ajaran-ajaran Brahma yang kemudian berkembang menjadi ajaran Hindu, Brahma adalah pencipta semesta dan Indra adalah Raja para Dewa. Dalam permintaannya, Brahma berkata kepada Buddha, dunia akan menderita tanpa akhir bila ia tidak mengajar, dan paling tidak sebagian orang akan memahami kata-katanya.

Perincian ini mungkin merupakan unsur sindiran yang menandakan kebesaran ajaran Buddha, yang melampaui cara-cara yang ditawarkan aliran-aliran batin India pada masa itu. Bagaimanapun juga, jika dewa-dewa tertinggi sampai mengakui bahwa dunia membutuhkan ajaran Buddha karena mereka tidak memiliki cara untuk mengakhiri duka semua orang secara tetap; kita pengikut biasa jelas lebih membutuhkan ajaran ini. Lebih lanjut, dalam gambaran pengikut Buddha, Brahma mewakili kebanggaan yang sombong. Keyakinannya yang keliru bahwa ia adalah pencipta mahakuasa mewakili contoh sempurna dari keyakinannya yang keliru akan keberadaan diri sebagai “aku” yang mustahil—yakni, sebagai “aku” yang bisa mengendalikan segala sesuatu dalam kehidupan. Keyakinan yang membingungkan seperti itu jelas membawa ketidakpuasan dan duka. Hanya ajaran Buddha tentang cara masing-masing kita berada yang bisa menawarkan jalan menuju penghentian sejati dari duka sejati dan penyebab sejatinya.

Menerima permintaan Brahma dan Indra, Buddha pergi ke Sarnath dan, di Taman Rusa (Skt. Mrgadava) di sana, mengajarkan Empat Kebenaran Mulia kepada lima mantan teman bertapanya. Dalam gambaran pengikut Buddha, rusa mewakili kelembutan dan ini berarti Buddha mengajar dengan cara lembut yang menghindari ujung kehidupan kesenangan belaka atau kehidupan bertapa.

Page 5: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

Tidak lama kemudian, sejumlah lelaki muda di dekat Varanasi bergabung dengan Buddha sebagai pencari kehidupan batin yang mengembara dan hidup dari derma, yang taat hidup tanpa perkawinan. Orangtua mereka menjadi pengikut awam dan mulai mendukung kelompok itu dengan derma. Setelah anggota menjadi cukup terlatih dan cakap, Buddha mengutus mereka untuk mengajar orang lain. Dengan demikian, kelompok pengikut Buddha ini berkembang cepat dan dengan segera mereka menetap dan membentuk komunitas-komunitas “wihara” tunggal di berbagai tempat.

Buddha mengatur komunitas-komunitas wihara ini menurut panduan praktis. Biksu, jika kita bisa menggunakan istilah itu di masa awal ini, dapat mengizinkan calon biksu untuk bergabung dengan komunitasnya, tapi calon ini harus mengikuti batasan-batasan tertentu untuk menghindari benturan dengan penguasa politik. Oleh karena itu, Buddha tidak mengizinkan pelaku kejahatan, orang yang bertugas di pelayanan kerajaan seperti di militer, budak yang belum dibebaskan, dan penderita penyakit menular seperti kusta, untuk bergabung dengan komunitas wihara. Selain itu, tak seorang pun di bawah usia 20 tahun yang bisa diterima. Buddha ingin menghindari masalah apa pun dan ingin mendapatkan penghormatan dari masyarakat untuk komunitasnya dan ajaran Dharma. Ini menunjukkan kepada kita bahwa, sebagai pengikut Buddha, kita harus menghormati adat setempat dan bertindak secara terhormat sehingga orang-orang akan memiliki kesan baik terhadap ajaran Buddha dan kemudian menghormatinya.

Tidak lama kemudian, Buddha kembali ke Magadha, kerajaan tempat Bodh Gaya berada. Ia diundang ke ibu kotanya, Rajagrha—saat ini Rajgir—oleh Raja Bimbisara, yang menjadi mitra dan pengikutnya. Di sana, temannya, Shariputra dan Maudgalyayana juga bergabung dengan kelompok Buddha yang makin berkembang dan menjadi pengikutnya yang paling dekat.

Setelah setahun mengalami pencerahan, Buddha kembali ke kota asalnya Kapilawastu, tempat anaknya, Rahula, mulai bergabung dengan kelompoknya. Saudara tiri Buddha, Nanda yang tampan, telah meninggalkan rumah dan bergabung lebih awal. Ayah Buddha, Raja Shuddhodana, sangat sedih karena garis keturunannya terpotong, sehingga ia meminta Buddha supaya, di masa mendatang, seorang anak laki-laki harus mendapat persetujuan orangtuanya untuk bergabung dengan wihara. Buddha sepenuhnya setuju. Pokok dari catatan ini bukanlah mengenai kejamnya Buddha terhadap ayahnya sendiri, tapi lebih tentang pentingnya tidak membuat keinginan buruk terhadap ajaran Buddha, terutama di dalam keluarga kita sendiri.

Catatan selanjutnya yang muncul tentang pertemuan Buddha dengan keluarganya adalah mengenai Buddha yang menggunakan kekuatan di-atas-raga untuk menuju Surga Tiga Puluh Tiga Dewa, yang menurut beberapa sumber adalah Surga Tushita dan mengajar ibunya, yang telah mengalami kelahiran kembali di sana. Hal ini menandakan pentingnya menghormati dan membalas kebaikan seorang ibu.

Pertumbuhan Kelompok Wihara

Komunitas-komunitas awal biksu Buddha berukuran kecil, berjumlah kurang dari 20 orang. Masing-masing bersifat mandiri dan memiliki seperangkat batasan bagi biksu dalam mengumpulkan derma. Tindakan dan keputusan tiap komunitas diputuskan oleh kesepakatan tiap anggotanya, untuk menghindari pertentangan. Tak seorang pun ditentukan sebagai penguasa

Page 6: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

tunggal. Buddha mengamanatkan mereka supaya menggunakan ajaran Dharma itu sendiri sebagai penguasa. Bahkan aturan wihara itu sendiri juga bisa diubah, jika perlu, tapi perubahan apa pun hanya bisa dibuat berdasarkan kesepakatan dalam komunitas itu secara keseluruhan.

Raja Bimbisara mengusulkan supaya Buddha menggunakan adat kelompok batin lainnya yang juga hidup dari derma, seperti kelompok Jain, yang melaksanakan pertemuan empat kali dalam sebulan. Menurut adat ini, anggota komunitas batin ini bertemu di setiap awal masa bulan seperempat untuk membicarakan ajaran-ajaran Jain. Buddha setuju, yang menunjukkan dirinya terbuka pada usulan-usulan untuk mengikuti adat pada masa yang bersangkutan. Sebenarnya, Buddha menyesuaikan banyak unsur dari komunitas batinnya dan susunan ajarannya dengan kelompok Jain. Mahawira, pendiri ajaran Jain, hidup sekitar setengah abad sebelum Buddha.

Shariputra segera meminta Buddha untuk merumuskan aturan bagi kehidupan wihara. Namun, Buddha memutuskan untuk menunggu sampai masalah tertentu muncul kemudian membuat suatu sumpah untuk menghindari terulangnya peristiwa serupa. Buddha mengikuti kebijakan ini dengan mempertimbangkan tindakan yang bersifat merusak, yang berbahaya bagi siapa pun yang melakukannya, dan tindakan yang secara etis bersifat netral yang terlarang bagi orang tertentu dalam keadaan tertentu dan untuk alasan tertentu. Dengan demikian, aturan tata tertib (Skt. vinaya) bersifat pragmatis dan dirumuskan untuk tujuan tertentu, dengan pertimbangan utama Buddha adalah menghindari masalah dan tidak menyebabkan kerugian.

Berdasarkan aturan tata tertib ini, Buddha menetapkan diadakannya pengulangan sumpah saat pertemuan wihara seperempat bulan sekali, bersamaan dengan biksu mengakui secara terbuka adanya pelanggaran aturan. Sebagian besar pelanggaran aturan yang serius diikuti dengan dikeluarkannya yang bersangkutan dari komunitas, sementara yang lain hanya berupa hukuman percobaan. Di masa-masa berikutnya, pertemuan macam ini hanya dilaksanakan dua bulan sekali.

Adat berikut yang ditetapkan oleh Buddha adalah retret musim hujan selama tiga bulan (Skt. varshaka), yakni saat biksu tinggal di satu tempat dan menghindari perjalanan apa pun. Tujuannya adalah mencegah biksu merusak panen apa pun saat harus berjalan melalui ladang akibat banjir menggenangi jalan. Pelaksanaan retret musim hujan ini mengarah pada pendirian wihara secara tetap. Sekali lagi, perkembangan ini muncul untuk menghindari kerugian bagi komunitas awam dan mendapatkan penghormatan mereka. Pembangunan wihara secara tetap juga dilakukan karena ini bersifat praktis.

Sejak retret musim hujan kedua, Buddha menjalani 25 retret musim hujan di Hutan di luar Sharawasti, ibukota kerajaan Koshala. Di sini, pedagang Anathapindada membangun sebuah wihara untuk Buddha dan biksunya, kemudian Raja Prasenajit mendukung komunitas ini. Wihara di Jetawana adalah tempat terjadinya banyak peristiwa besar dalam kehidupan Buddha. Yang paling terkenal adalah saat Buddha mengalahkan para pemimpin enam aliran besar non-Buddha masa itu dalam sebuah perlombaan kekuatan ajaib.

Saat ini, mungkin tak satu pun dari kita yang mampu menampilkan aksi ajaib. Namun, Buddha yang menggunakan kekuatan ajaib, bukannya nalar, untuk mengalahkan lawannya menandakan bahwa saat cita orang lain tertutup kepada akal sehat, cara terbaik untuk meyakinkan mereka

Page 7: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

akan keabsahan pemahaman kita adalah menunjukkan tingkat perwujudan kita melalui tindakan dan perilaku. Terdapat peribahasa dalam bahasa Inggris, “Tindakan bersuara lebih keras daripada kata-kata.”

Mendirikan Kelompok Wihara untuk Biksuni

Dalam tahap pengajaran selanjutnya, Buddha mendirikan komunitas biksuni di Vaishali, atas permintaan bibinya, Mahaprajapati. Awalnya, ia enggan memulai kelompok semacam itu, tapi ia kemudian memutuskan bahwa hal itu mungkin jika ia menentukan lebih banyak sumpah kepada biksuni daripada kepada biksu. Dalam melakukan ini, Buddha tidak menandakan bahwa perempuan lebih tidak tertib daripada laki-laki dan lebih membutuhkan batasan dengan mengemban lebih banyak sumpah. Namun, ia takut bahwa mendirikan kelompok perempuan akan menimbulkan nama buruk dan akhir yang cepat bagi ajaran-ajarannya. Buddha ingin, lebih dari hal lain, menghindari penolakan dari masyarakat sehingga komunitas biksuni perlu melampaui segala kecurigaan akan perilaku asusila.

Bagaimanapun juga, Buddha enggan merumuskan aturan dan ingin aturan yang lebih sedikit yang nantinya bisa dihapus bila dianggap tidak penting. Kebijakannya menunjukkan gerak dari dua kebenaran―kebenaran terdalam dan kebenaran lazim yang sesuai dengan adat setempat. Meskipun menurut kebenaran terdalam tidak ada masalah dengan adanya kelompok biksuni, tapi untuk menghindari orang lain menganggap rendah ajaran Buddha diperlukan aturan lebih banyak untuk para biksuni. Dalam kebenaran terdalam, tidak menjadi masalah apa yang dikatakan oleh masyarakat, tapi kebenaran lazim penting bagi komunitas Buddha supaya bisa mendapatkan penghormatan dan kepercayaan masyarakat. Sehingga, di masa dan masyarakat modern yang di dalamnya terdapat sikap merendahkan terhadap agama Buddha bila ada prasangka yang ditunjukkan kepada biksuni atau perempuan secara umum atau kelompok minoritas oleh adat Buddha, semangat yang dijunjung Buddha adalah memperbaikinya sesuai dengan norma pada masa itu.

Bagaimanapun juga, tenggang-rasa dan welas asih adalah pokok utama dalam ajaran Buddha. Sebagai contoh, Buddha mendorong pengikut baru yang sebelumnya mendukung komunitas agama lain untuk terus mendukung komunitas tersebut. Di dalam kelompok Buddha, ia juga memerintahkan para anggota untuk menjaga satu sama lain. Jika seorang biksu sakit, misalnya, biksu lain harus merawatnya karena mereka semua adalah anggota keluarga Buddha. Ini adalah prinsip yang juga penting bagi semua pengikut Buddha awam.

Cara Pendidikan Buddha

Buddha mengajar orang lain melalui teladan hidup dan perintah lisan. Untuk yang kedua, ia menggunakan dua cara, bergantung pada apakah ia mengajar suatu kelompok atau perorangan. Di depan kelompok, Buddha menjelaskan ajarannya dalam bentuk wacana, seringkali mengulang masing-masing pokok dengan kata-kata yang berbeda, sehingga khalayak bisa mengingatnya dengan lebih baik. Namun, ketika memberikan perintah perorangan, seringkali setelah makan siang di suatu rumah tangga yang mengundang dirinya dan biksunya, Buddha menggunakan pendekatan berbeda. Ia tidak pernah menentang atau melawan pandangan si pendengar, tapi akan

Page 8: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

mengangkat pandangan orang tersebut dan mengajukan pertanyaan untuk membantunya menjernihkan pemikirannya. Dengan cara ini, Buddha membimbing orang itu memperbaiki pandangannya dan secara bertahap mencapai pemahaman yang lebih dalam akan kenyataan. Salah satu contohnya adalah Buddha membimbing seorang anggota dari kasta pendeta brahmana untuk memahami bahwa keunggulan bukan berasal dari kasta tempat seseorang dilahirkan, tapi dari perkembangan sifat-sifat baik seseorang.

Contoh lainnya, perintah Buddha kepada seorang ibu yang berduka yang membawa bayinya yang telah mati kepadanya dan memohon Buddha untuk menghidupkan kembali anaknya. Buddha berkata kepada si ibu untuk mencari benih tumbuhan dari suatu rumah yang belum pernah dikunjungi oleh kematian, membawa benih itu kepadanya, dan Buddha akan melihat apa yang bisa ia lakukan. Ibu itu pergi dari satu ke rumah ke rumah lain, tapi tiap rumah tangga pernah mengalami anggota keluarga yang meninggal. Pelan-pelan, ia menyadari bahwa setiap orang suatu saat pasti meninggal dan, dengan cara ini, ia pun bisa mengkremasi anaknya dengan cita yang lebih damai.

Cara pengajaran Buddha menunjukkan kepada kita bahwa untuk menolong orang lain di dalam suatu perjumpaan, yang terbaik adalah tidak melakukan perlawanan. Yang paling berdaya guna adalah membantu mereka berpikir untuk diri mereka sendiri. Namun, di dalam kelompok orang-orang yang ingin belajar, kita perlu menjelaskan secara lugas dan jelas.

Rencana Pembunuhan terhadap Buddha dan Perpecahan

Tujuh tahun sebelum Buddha meninggal, sepupunya yang cemburu, Dewadatta, berencana mengambil alih kedudukan Buddha sebagai pemimpin kelompok. Sementara itu, Pangeran Ajatashatru berencana menggantikan ayahnya, Raja Bimbisara, penguasa Magadha. Oleh karena itu, keduanya berkomplot bersama. Ajatashatru melakukan rencana pembunuhan terhadap Bimbisara, dan, akibatnya, sang raja menyerahkan mahkotanya kepada anaknya. Melihat keberhasilan Ajatashatru, Dewadatta memintanya untuk membunuh Buddha, tapi segala usaha untuk membunuh Buddha gagal.

Dewadatta lalu mencoba membujuk para biksu untuk menjauh dari Buddha dengan mengatakan bahwa dirinya “lebih suci” daripada sepupunya itu, dan ia mengusulkan seperangkat aturan yang lebih ketat. Menurut Jalan Pemurnian (Pali: Visuddhimagga) karya Buddhaghosa, guru Theravada pada abad ke-4 M, usulan Dewadatta kepada para biksu adalah sebagai berikut:

mengenakan jubah yang terbuat dari kumpulan potongan kain, hanya mengenakan tiga jubah,

mengumpulkan derma dan tidak pernah menerima undangan untuk makan,

tidak melewatkan satu rumah pun saat mengumpulkan derma,

makan satu jatah makan berapa pun derma yang ia kumpulkan,

makan hanya dari mangkuk dermanya masing-masing,

Page 9: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

menolak makanan lain apa pun,

hidup hanya di hutan,

hidup di bawah pepohonan,

hidup di tempat terbuka, tidak di rumah,

lebih sering tinggal di daratan,

puas dengan tinggal di tempat mana pun yang ditemukannya, dengan terus mengembara dari satu tempat ke tempat lain,

tidur dalam keadaan duduk, tidak pernah tidur berbaring.

Buddha berkata bahwa jika biksunya ingin mengikuti aturan tata-tertib tambahan ini, tidak masalah; tapi tak seorang pun diwajibkan melakukannya. Namun, beberapa biksunya memilih mengikuti Dewadatta sehingga meninggalkan ordo Buddha dan membentuk kelompok sendiri.

Dalam aliran Theravada, aturan tata-tertib tambahan yang ditentukan oleh Dewadatta disebut tiga belas cabang dari praktik yang diikuti (Pali: dhutanga). Tradisi biksu hutan, sebagai contoh, yang masih ditemukan di Thailand masa kini, tampaknya berasal dari praktik ini. Pengikut Buddha, adalah pelaku paling terkenal dari tata-tertib yang lebih ketat ini. Banyak dari bentuk tata-tertib ini juga dilakukan oleh para lelaki suci yang mengembara (Skt. sadhu) dalam tradisi Hindu. Praktik mereka tampaknya merupakan kelanjutan dari tradisi pencari kehidupan batin yang mengembara dan hidup dari derma di masa Buddha.

Aliran-aliran Mahayana memiliki daftar serupa dalam bentuk dua belas sifat dari praktik yang diikuti (Skt. dhutaguna). Daftar ini menghilangkan “tidak melewatkan satu rumah pun saat mengumpulkan derma”, menambahkan “mengenakan jubah yang telah dibuang di tempat sampah”, dan menganggap “mengumpulkan derma” dan “makan hanya dari mangkuk dermanya masing-masing” sebagai satu kesatuan. Sebagian besar tata-tertib ini kemudian diikuti oleh tradisi India berupa praktisi tantra yang telah mumpuni (Skt. mahasiddha), yang bisa ditemukan dalam Buddha Mahayana dan Hindu.

Memisahkan diri dari aliran Buddha dan membentuk kelompok lain―misalnya, dalam istilah modern, mendirikan pusat Dharma yang terpisah―bukanlah sebuah masalah. Melakukan hal ini bukanlah menciptakan “perpecahan dalam komunitas biara”, salah satu dari lima kejahatan kejam. Namun, Dewadatta menciptakan perpecahan dan melaksanakan kejahatan karena kelompok yang keluar dan mengikutinya memelihara niat sangat buruk terhadap komunitas biara Buddha dan mencela mereka. Menurut beberapa catatan, niat buruk dari perpecahan ini bertahan hingga beberapa abad.

Catatan mengenai perpecahan ini menunjukkan bahwa Buddha sangat tenggang-rasa dan bukan seorang fundamentalis. Bila pengikutnya ingin menerapkan tata-tertib yang lebih ketat daripada yang telah ia tentukan, ini tidak masalah; dan bila mereka tidak menginginkannya, ini juga tidak masalah. Tak seorang pun diwajibkan melaksanakan apa yang Buddha ajarkan. Bahkan bila biksu atau biksuni ingin meninggalkan kelompok wihara, ini juga tidak masalah. Namun, hal

Page 10: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

yang paling merusak adalah memecah-belah komunitas Buddha, terutama komunitas wihara, menjadi dua atau lebih kelompok dan satu atau kedua kelompok itu memelihara niat sangat buruk terhadap yang lain dan berusaha merusak nama baik atau menghancurkannya. Bahkan, bergabung dengan salah satu kelompok yang berselisih ini dan ikut serta dalam penyebaran kebenciannya terhadap kelompok lain sangatlah merugikan. Namun, bila salah satu kelompok terlibat dalam tindakan yang merusak atau merugikan atau mengikuti tata-tertib yang merugikan, welas asih menyerukan tentang memperingatkan orang-orang akan bahaya jika bergabung dengan kelompok itu. Tapi, dorongan seseorang untuk melakukan hal ini harus tidak dicampurkan dengan kemarahan, kebencian, atau keinginan untuk balas dendam.

Kematian Buddha

Meskipun, karena telah mencapai pembebasan, Buddha sudah tidak harus lagi mengalami kematian biasa yang tidak terkendali, di usia 38 tahun, Buddha memutuskan bahwa pengikutnya akan mendapatkan pelajaran tentang ketidaktetapan jika ia meninggalkan tubuhnya. Sebelum melakukan ini, ia memberi muridnya Ananda kesempatan untuk memintanya supaya tetap hidup dan mengajar lebih lama, tapi Ananda tidak menangkap tanda itu. Ini menunjukkan bahwa seorang Buddha mengajar hanya bila diminta, dan bila tak ada orang meminta atau tertarik, ia pergi ke tempat lain di mana ia bisa lebih bermanfaat. Kehadiran seorang guru atau ajarannya bergantung pada siswa.

Kemudian, di Kushinagara, di rumah Chunda, Buddha menjadi sakit keras setelah menyantap makanan yang disajikan oleh Chunda kepada dirinya dan kelompoknya. Di tempat tidur, Buddha berpesan kepada biksunya, bila mereka memiliki keraguan atau pertanyaan yang tak dapat dijawab, mereka harus bersandar pada ajaran Dharma-nya dan tata-tertib etika mereka. Mulai dari sekarang, semua itu adalah guru mereka. Dengan demikian, Buddha menandakan bahwa tiap orang harus mencari jalan keluar bagi dirinya sendiri berdasarkan ajaran-ajaran itu. Tidak ada penguasa mutlak yang menyediakan semua jawaban. Lalu, Buddha meninggal.

Chunda sangat bingung, berpikir bahwa dirinya telah meracuni Buddha. Tapi, Ananda menghibur tuan rumah itu, berkata bahwa dirinya sesungguhnya telah membangun kekuatan positif atau ”pahala” dengan memberi Buddha santapan terakhir sebelum ia meninggal dunia.

Buddha lalu dikremasi dan abunya disimpan di sejumlah stupa―wadah suci―terutama di tempat-tempat yang menjadi empat tempat ziarah utama pengikut Buddha:

Lumbini, tempat Buddha dilahirkan, Bodh Gaya, tempat Buddha mencapai pencerahan,

Sarnath, tempat ia memberikan ajaran Dharma pertama,

Kushinagara, tempat ia meninggal dunia.

Kesimpulan

Page 11: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

Beragam tradisi Buddha mengajarkan catatan yang berbeda-beda mengenai kehidupan Buddha. Semua perbedaan ini menandakan cara tiap aliran memahami Buddha dan apa yang bisa kita pelajari dari contohnya.

Versi-versi Hinayana hanya berbicara mengenai kehidupan Buddha Shakyamuni di masa kehidupannya. Dengan menunjukkan bagaimana Buddha bekerja keras untuk mencapai pencerahan, kita belajar untuk berusaha dengan diri kita sendiri.

Menurut versi-versi umum Mahayana, Buddha telah mencapai pencerahan sejak dahulu kala. Dengan menjalani kehidupan melalui dua belas perbuatan tercerahkan, ia mengajar kita bahwa pencerahan mensyaratkan bekerja selamanya untuk kebaikan semuanya.

Dalam catatan-catatan anuttarayoga tantra, Buddha mewujudkan diri secara bersamaan sebagai Shakyamuni yang mengajarkan Sutra Kesadaran yang Jauh Menjangkau dan Membedakan (The Prajnaparamita Sutras) dan sebagai Vajradhara yang mengajarkan tantra. Ini menandakan bahwa praktik tantra didasarkan sepenuhnya pada ajaran-ajaran Madhyamaka mengenai kehampaan.

Dengan demikian, kita bisa belajar banyak hal bermanfaat dari masing-masing versi mengenai kehidupan Buddha dan mencapai ilham di berbagai tingkat.

BorobudurDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari

Untuk artikel tentang kecamatan dengan nama sama, lihat Borobudur, Magelang.

Borobudur

Arca Buddha dan stupa Borobudur

Page 12: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

Lokasi dalam Indonesia

Informasi bangunan

LokasiKecamatan Borobudur, sekitar 3 Km dari Kota Mungkid (ibukota Kabupaten Magelang, Jawa Tengah).

Negara Indonesia

Koordinat7.608°LS 110.204°BT Koordinat :

7.608°LS 110.204°BT

Arsitek Gunadharma

Klien Syailendra

Awal konstruksi sekitar 770 Masehi

Penyelesaian sekitar 825 Masehi

Sistem struktural

piramida berundak dari susunan blok batu andesit yang saling mengunci

Jenis stupa and candi

Ukuranluas dasar 123×123 meter, tinggi kini 35 meter, tinggi asli 42 meter (termasuk chattra)

Candi Borobudur*

Situs Warisan Dunia UNESCO

Page 13: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

Negara Peserta Indonesia

Tipe Budaya

Kriteria i, ii, vi

Referensi 592

Wilayah† Asia Pasifik

Sejarah prasasti

Prasasti resmi 1991 (sesi ke-15)

* Nama resmi dalam Daftar Warisan Dunia.

† Menurut klasifikasi resmi UNESCO.

Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha.[1] Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang didalamnya terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).

Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.[2]

Page 14: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

Para peziarah masuk melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan.

Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam.[3] Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.[4]

Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.[5][6][7]

Daftar isi

1 Nama Borobudur 2 Lingkungan sekitar

o 2.1 Tiga candi serangkai

o 2.2 Danau purba

3 Sejarah

o 3.1 Pembangunan

3.1.1 Tahapan pembangunan Borobudur

o 3.2 Borobudur diterlantarkan

o 3.3 Penemuan kembali

o 3.4 Pemugaran

o 3.5 Peristiwa kontemporer

o 3.6 Rehabilitasi

4 Arsitektur

o 4.1 Konsep rancang bangun

Page 15: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

o 4.2 Struktur bangunan

5 Relief

6 Arca Buddha

7 Ikhtisar waktu proses pemugaran Candi Borobudur

8 Referensi

9 Lihat pula

10 Daftar pustaka

11 Pranala luar

Nama Borobudur

Stupa Borobudur dengan jajaran perbukitan Menoreh. Selama berabad-abad bangunan suci ini sempat terlupakan.

Dalam Bahasa Indonesia, bangunan keagamaan purbakala disebut candi; istilah candi juga digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan purbakala yang berasal dari masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya gerbang, gapura, dan petirtaan (kolam dan pancuran pemandian). Asal mula nama Borobudur tidak jelas,[8] meskipun memang nama asli dari kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui.[8] Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku "Sejarah Pulau Jawa" karya Sir Thomas Raffles.[9] Raffles menulis mengenai monumen bernama borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan nama yang sama persis.[8] Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada Borobudur adalah Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365.[10]

Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro); kebanyakan candi memang seringkali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri. Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam bahasa Jawa

Page 16: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

yang berarti "purba"– maka bermakna, "Boro purba".[8]Akan tetapi arkeolog lain beranggapan bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung.[11]

Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.

Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra. [12] Istilah Kamūlān sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.[13]

Lingkungan sekitar

Borobudur, Pawon, dan Mendut terbujur dalam satu garis lurus yang menunjukan kesatuan perlambang

Terletak sekitar 40 kilometer (25 mil) barat laut dari Kota Yogyakarta, Borobudur terletak di atas bukit pada dataran yang dikeliling dua pasang gunung kembar; Gunung Sundoro-Sumbing di

Page 17: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

sebelah barat laut dan Merbabu-Merapi di sebelah timur laut, di sebelah utaranya terdapat bukit Tidar, lebih dekat di sebelah selatan terdapat jajaran perbukitan Menoreh, serta candi ini terletak dekat pertemuan dua sungai yaitu Sungai Progo dan Sungai Elo di sebelah timur. Menurut legenda Jawa, daerah yang dikenal sebagai dataran Kedu adalah tempat yang dianggap suci dalam kepercayaan Jawa dan disanjung sebagai 'Taman pulau Jawa' karena keindahan alam dan kesuburan tanahnya.[14]

Tiga candi serangkai

Selain Borobudur, terdapat beberapa candi Buddha dan Hindu di kawasan ini. Pada masa penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20 ditemukan candi Buddha lainnya yaitu Candi Mendut dan Candi Pawon yang terbujur membentang dalam satu garis lurus.[15] Awalnya diduga hanya suatu kebetulan, akan tetapi berdasarkan dongeng penduduk setempat, dulu terdapat jalan berlapis batu yang dipagari pagar langkan di kedua sisinya yang menghubungkan ketiga candi ini. Tidak ditemukan bukti fisik adanya jalan raya beralas batu dan berpagar dan mungkin ini hanya dongeng belaka, akan tetapi para pakar menduga memang ada kesatuan perlambang dari ketiga candi ini. Ketiga candi ini (Borobudur-Pawon-Mendut) memiliki kemiripan langgam arsitektur dan ragam hiasnya dan memang berasal dari periode yang sama yang memperkuat dugaan adanya keterkaitan ritual antar ketiga candi ini. Keterkaitan suci pasti ada, akan tetapi bagaimanakah proses ritual keagamaan ziarah dilakukan, belum diketahui secara pasti.[10]

Selain candi Mendut dan Pawon, di sekitar Borobudur juga ditemukan beberapa peninggalan purbakala lainnya, diantaranya berbagai temuan tembikar seperti periuk dan kendi yang menunjukkan bahwa di sekitar Borobudur dulu terdapat beberapa wilayah hunian. Temuan-temuan purbakala di sekitar Borobudur kini disimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur, yang terletak di sebelah utara candi bersebelahan dengan Museum Samudra Raksa. Tidak seberapa jauh di sebelah utara Candi Pawon ditemukan reruntuhan bekas candi Hindu yang disebut Candi Banon. Pada candi ini ditemukan beberapa arca dewa-dewa utama Hindu dalam keadaan cukup baik yaitu Shiwa, Wishnu, Brahma, serta Ganesha. Akan tetapi batu asli Candi Banon amat sedikit ditemukan sehingga tidak mungkin dilakukan rekonstruksi. Pada saat penemuannya arca-arca Banon diangkut ke Batavia (kini Jakarta) dan kini disimpan di Museum Nasional Indonesia.

Danau purba

Borobudur di tengah kehijauan alam dataran Kedu. Diduga dulu kawasan di sekeliling Borobudur adalah danau purba.

Page 18: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

Tidak seperti candi lainnya yang dibangun di atas tanah datar, Borobudur dibangun di atas bukit dengan ketinggian 265 m (870 kaki) dari permukaan laut dan 15 m (49 kaki) di atas dasar danau purba yang telah mengering.[16] Keberadaan danau purba ini menjadi bahan perdebatan yang hangat di kalangan arkeolog pada abad ke-20; dan menimbulkan dugaan bahwa Borobudur dibangun di tepi atau bahkan di tengah danau. Pada 1931, seorang seniman dan pakar arsitektur Hindu Buddha, W.O.J. Nieuwenkamp, mengajukan teori bahwa Dataran Kedu dulunya adalah sebuah danau, dan Borobudur dibangun melambangkan bunga teratai yang mengapung di atas permukaan danau.[11] Bunga teratai baik dalam bentuk padma (teratai merah), utpala (teratai biru), ataupun kumuda (teratai putih) dapat ditemukan dalam semua ikonografi seni keagamaan Buddha; seringkali digenggam oleh Boddhisatwa sebagai laksana (lambang regalia), menjadi alas duduk singgasana Buddha atau sebagai lapik stupa. Bentuk arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga teratai, dan postur Budha di Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang kebanyakan ditemui dalam naskah keagamaan Buddha mahzab Mahayana (aliran Buddha yang kemudian menyebar ke Asia Timur). Tiga pelataran melingkar di puncak Borobudur juga diduga melambangkan kelopak bunga teratai.[16] Akan tetapi teori Nieuwenkamp yang terdengar luar biasa dan fantastis ini banyak menuai bantahan dari para arkeolog; pada daratan di sekitar monumen ini telah ditemukan bukti-bukti arkeologi yang membuktikan bahwa kawasan sekitar Borobudur pada masa pembangunan candi ini adalah daratan kering, bukan dasar danau purba.

Sementara itu pakar geologi justru mendukung pandangan Nieuwenkamp dengan menunjukkan bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat situs ini.[17] Sebuah penelitian stratigrafi, sedimen dan analisis sampel serbuk sari yang dilakukan tahun 2000 mendukung keberadaan danau purba di lingkungan sekitar Borobudur,[16] yang memperkuat gagasan Nieuwenkamp. Ketinggian permukaan danau purba ini naik-turun berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan bukti menunjukkan bahwa dasar bukit dekat Borobudur pernah kembali terendam air dan menjadi tepian danau sekitar abad ke-13 dan ke-14. Aliran sungai dan aktivitas vulkanik diduga memiliki andil turut merubah bentang alam dan topografi lingkungan sekitar Borobudur termasuk danaunya. Salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia adalah Gunung Merapi yang terletak cukup dekat dengan Borobudur dan telah aktif sejak masa Pleistosen.[18]

Sejarah

Pembangunan

Lukisan karya G.B. Hooijer (dibuat kurun 1916—1919) merekonstruksi suasana di Borobudur pada masa jayanya

Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan apa kegunaannya.[19] Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan antara jenis aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800 masehi.[19] Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah,[20] yang kala itu dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya. Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 - 100 tahun lebih dan benar-benar dirampungkan pada masa pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 825.[21][22]

Page 19: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala itu beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut agama Buddha aliran Mahayana yang taat, akan tetapi melalui temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa mereka mungkin awalnya beragama Hindu Siwa.[21] Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai candi Hindu dan Buddha di Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti Canggal, pada tahun 732 M, raja beragama Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6.2 mil) sebelah timur dari Borobudur.[23] Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan candi-candi di Dataran Prambanan, meskipun demikian Borobudur diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, dua puluh lima tahun lebih awal sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan sekitar tahun 850 M.

Pembangunan candi-candi Buddha — termasuk Borobudur — saat itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi.[24] Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi.[24] Petunjuk ini dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya.[25] Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa itu — wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja Siwa — yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di perbukitan Ratu Boko.[26] Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang di Prambanan, candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik wangsa Syailendra,[26] akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi dan kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.[27]

Tahapan pembangunan Borobudur

Para ahli arkeologi menduga bahwa rancangan awal Borobudur adalah stupa tunggal yang sangat besar memahkotai puncaknya. Diduga massa stupa raksasa yang luar biasa besar dan berat ini membahayakan tubuh dan kaki candi sehingga arsitek perancang Borobudur memutuskan untuk membongkar stupa raksasa ini dan diganti menjadi tiga barisan stupa kecil dan satu stupa induk seperti sekarang. Berikut adalah perkiraan tahapan pembangunan Borobudur:

1. Tahap pertama: Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan kurun 750 dan 850 M). Borobudur dibangun di atas bukit alami, bagian atas bukit diratakan dan pelataran datar diperluas. Sesungguhnya Borobudur tidak seluruhnya terbuat dari batu andesit, bagian bukit tanah dipadatkan dan ditutup struktur batu sehingga menyerupai cangkang yang membungkus bukit tanah. Sisa bagian bukit ditutup struktur batu lapis demi lapis. Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup struktur asli piramida berundak.

Page 20: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

2. Tahap kedua: Penambahan dua undakan persegi, pagar langkan dan satu undak melingkar yang diatasnya langsung dibangun stupa tunggal yang sangat besar.

3. Tahap ketiga: Terjadi perubahan rancang bangun, undak atas lingkaran dengan stupa tunggal induk besar dibongkar dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa yang lebih kecil dibangun berbaris melingkar pada pelataran undak-undak ini dengan satu stupa induk yang besar di tengahnya. Karena alasan tertentu pondasi diperlebar, dibangun kaki tambahan yang membungkus kaki asli sekaligus menutup relief Karmawibhangga. Para arkeolog menduga bahwa Borobudur semula dirancang berupa stupa tunggal yang sangat besar memahkotai batur-batur teras bujur sangkar. Akan tetapi stupa besar ini terlalu berat sehingga mendorong struktur bangunan condong bergeser keluar. Patut diingat bahwa inti Borobudur hanyalah bukit tanah sehingga tekanan pada bagian atas akan disebarkan ke sisi luar bagian bawahnya sehingga Borobudur terancam longsor dan runtuh. Karena itulah diputuskan untuk membongkar stupa induk tunggal yang besar dan menggantikannya dengan teras-teras melingkar yang dihiasi deretan stupa kecil berterawang dan hanya satu stupa induk. Untuk menopang agar dinding candi tidak longsor maka ditambahkan struktur kaki tambahan yang membungkus kaki asli. Struktur ini adalah penguat dan berfungsi bagaikan ikat pinggang yang mengikat agar tubuh candi tidak ambrol dan runtuh keluar, sekaligus menyembunyikan relief Karmawibhangga pada bagian Kamadhatu

4. Tahap keempat: Ada perubahan kecil seperti penyempurnaan relief, penambahan pagar langkan terluar, perubahan tangga dan pelengkung atas gawang pintu, serta pelebaran ujung kaki.

Borobudur diterlantarkan

Meletusnya Gunung Merapi diduga sebagai penyebab utama diterlantarkannya Borobudur

Borobudur tersembunyi dan terlantar selama berabad-abad terkubur di bawah lapisan tanah dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan semak belukar sehingga Borobudur kala itu benar-benar menyerupai bukit. Alasan sesungguhnya penyebab Borobudur ditinggalkan hingga kini masih belum diketahui. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan bangunan suci ini tidak lagi menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928 dan 1006, Raja Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timur setelah serangkaian letusan gunung berapi; tidak dapat dipastikan apakah faktor inilah yang menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan tetapi beberapa sumber menduga bahwa sangat mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada periode ini.[3][16] Bangunan suci ini disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu Prapanca dalam naskahnya Nagarakretagama yang ditulis pada masa kerajaan Majapahit. Ia

Page 21: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

menyebutkan adanya "Wihara di Budur". Selain itu Soekmono (1976) juga mengajukan pendapat populer bahwa candi ini mulai benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan kepada Islam pada abad ke-15.[3]

Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng rakyat Borobudur beralih dari sebagai bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan dengan kesialan, kemalangan dan penderitaan. Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18 menyebutkan nasib buruk yang dikaitkan dengan monumen ini. Menurut Babad Tanah Jawi (Sejarah Jawa), monumen ini merupakan faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang yang memberontak kepada Pakubuwono I, raja Kesultanan Mataram pada 1709.[3] Disebutkan bahwa bukit "Redi Borobudur" dikepung dan para pemberontak dikalahkan dan dihukum mati oleh raja. Dalam Babad Mataram (Sejarah Kerajaan Mataram), monumen ini dikaitkan dengan kesialan Pangeran Monconagoro, putra mahkota Kesultanan Yogyakarta yang mengunjungi monumen ini pada 1757.[28] Meskipun terdapat tabu yang melarang orang untuk mengunjungi monumen ini, "Sang Pangeran datang dan mengunjungi satria yang terpenjara di dalam kurungan (arca buddha yang terdapat di dalam stupa berterawang)". Setelah kembali ke keraton, sang Pangeran jatuh sakit dan meninggal dunia sehari kemudian. Dalam kepercayaan Jawa pada masa Mataram Islam, reruntuhan bangunan percandian dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh halus dan dianggap wingit (angker) sehingga dikaitkan dengan kesialan atau kemalangan yang mungkin menimpa siapa saja yang mengunjungi dan mengganggu situs ini. Meskipun secara ilmiah diduga, mungkin setelah situs ini tidak terurus dan ditutupi semak belukar, tempat ini pernah menjadi sarang wabah penyakit seperti demam berdarah atau malaria.

Penemuan kembali

Foto pertama Borobudur oleh Isidore van Kinsbergen (1873) setelah monumen ini dibersihkan dari tanaman yang tumbuh pada tubuh candi. Bendera Belanda tampak pada stupa utama candi.

Teras tertinggi setelah restorasi Van Erp. Stupa utama memiliki menara dengan chattra (payung) susun tiga.

Setelah Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan pulau Jawa, Jawa dibawah pemerintahan Britania (Inggris) pada kurun 1811 hingga 1816. Thomas Stamford Raffles ditunjuk sebagai

Page 22: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

Gubernur Jenderal, dan ia memiliki minat istimewa terhadap sejarah Jawa. Ia mengumpulkan artefak-artefak antik kesenian Jawa kuno dan membuat catatan mengenai sejarah dan kebudayaan Jawa yang dikumpulkannya dari perjumpaannya dengan rakyat setempat dalam perjalanannya keliling Jawa. Pada kunjungan inspeksinya di Semarang tahun 1814, ia dikabari mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di dalam hutan dekat desa Bumisegoro.[28] Karena berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur Jenderal, ia tidak dapat pergi sendiri untuk mencari bangunan itu dan mengutus H.C. Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki keberadaan bangunan besar ini. Dalam dua bulan, Cornelius beserta 200 bawahannya menebang pepohonan dan semak belukar yang tumbuh di bukit Borobudur dan membersihkan lapisan tanah yang mengubur candi ini. Karena ancaman longsor, ia tidak dapat menggali dan membersihkan semua lorong. Ia melaporkan penemuannya kepada Raffles termasuk menyerahkan berbagai gambar sketsa candi Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya menyebutkan beberapa kalimat, Raffles dianggap berjasa atas penemuan kembali monumen ini, serta menarik perhatian dunia atas keberadaan monumen yang pernah hilang ini.[9]

Hartmann, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan Kedu meneruskan kerja Cornelius dan pada 1835 akhirnya seluruh bagian bangunan telah tergali dan terlihat. Minatnya terhadap Borobudur lebih bersifat pribadi daripada tugas kerjanya. Hartmann tidak menulis laporan atas kegiatannya; secara khusus, beredar kabar bahwa ia telah menemukan arca buddha besar di stupa utama.[29] Pada 1842, Hartmann menyelidiki stupa utama meskipun apa yang ia temukan tetap menjadi misteri karena bagian dalam stupa kosong.

Pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat Belanda bidang teknik, ia mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G. Brumund juga ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih terperinci atas monumen ini, yang dirampungkannya pada 1859. Pemerintah berencana menerbitkan artikel berdasarkan penelitian Brumund yang dilengkapi sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak untuk bekerja sama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans, yang mengkompilasi monografi berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen. Pada 1873, monograf pertama dan penelitian lebih detil atas Borobudur diterbitkan, dilanjutkan edisi terjemahannya dalam bahasa Perancis setahun kemudian.[29] Foto pertama monumen ini diambil pada 1873 oleh ahli engrafi Belanda, Isidore van Kinsbergen.[30]

Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan. Untuk waktu yang cukup lama Borobudur telah menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi pencuri, penjarah candi, dan kolektor "pemburu artefak". Kepala arca Buddha adalah bagian yang paling banyak dicuri. Karena mencuri seluruh arca buddha terlalu berat dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan dijatuhkan oleh pencuri agar kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di Borobudur banyak ditemukan arca Buddha tanpa kepala. Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi incaran kolektor benda antik dan museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882, kepala inspektur artefak budaya menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya dipindahkan ke museum akibat kondisi yang tidak stabil, ketidakpastian dan pencurian yang marak di monumen.[30] Akibatnya, pemerintah menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog, untuk menggelar penyelidikan menyeluruh atas situs dan memperhitungkan kondisi aktual kompleks ini; laporannya menyatakan bahwa kekhawatiran ini berlebihan dan menyarankan agar bangunan ini dibiarkan utuh dan tidak dibongkar untuk dipindahkan.

Page 23: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

Bagian candi Borobudur dicuri sebagai benda cinderamata, arca dan ukirannya diburu kolektor benda antik. Tindakan penjarahan situs bersejarah ini bahkan salah satunya direstui Pemerintah Kolonial. Pada tahun 1896, Raja Thailand, Chulalongkorn ketika mengunjungi Jawa di Hindia Belanda (kini Indonesia) menyatakan minatnya untuk memiliki beberapa bagian dari Borobudur. Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan menghadiahkan delapan gerobak penuh arca dan bagian bangunan Borobudur. Artefak yang diboyong ke Thailand antara lain; lima arca Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang, dan arca penjaga dwarapala yang pernah berdiri di Bukit Dagi — beberapa ratus meter di barat laut Borobudur. Beberapa artefak ini, yaitu arca singa dan dwarapala, kini dipamerkan di Museum Nasional di Bangkok.[31]

Pemugaran

Borobudur kembali menarik perhatian pada 1885, ketika Yzerman, Ketua Masyarakat Arkeologi di Yogyakarta, menemukan kaki tersembunyi.[32] Foto-foto yang menampilkan relief pada kaki tersembunyi dibuat pada kurun 1890–1891.[33] Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil langkah menjaga kelestarian monumen ini. Pada 1900, pemerintah membentuk komisi yang terdiri atas tiga pejabat untuk meneliti monumen ini: Brandes, seorang sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur yang juga anggota tentara Belanda, dan Van de Kamer, insinyur ahli konstruksi bangunan dari Departemen Pekerjaan Umum.

Penanaman beton dan pipa PVC untuk memperbaiki sistem drainase Borobudur pada pemugaran tahun 1973

Pada 1902, komisi ini mengajukan proposal tiga langkah rencana pelestarian Borobudur kepada pemerintah. Pertama, bahaya yang mendesak harus segera diatasi dengan mengatur kembali sudut-sudut bangunan, memindahkan batu yang membahayakan batu lain di sebelahnya, memperkuat pagar langkan pertama, dan memugar beberapa relung, gerbang, stupa dan stupa utama. Kedua, memagari halaman candi, memelihara dan memperbaiki sistem drainase dengan memperbaiki lantai dan pancuran. Ketiga, semua batuan lepas dan longgar harus dipindahkan, monumen ini dibersihkan hingga pagar langkan pertama, batu yang rusak dipindahkan dan stupa utama dipugar. Total biaya yang diperlukan pada saat itu ditaksir sekitar 48.800 Gulden.

Page 24: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, menggunakan prinsip anastilosis dan dipimpin Theodor van Erp.[34] Tujuh bulan pertama dihabiskan untuk menggali tanah di sekitar monumen untuk menemukan kepala buddha yang hilang dan panel batu. Van Erp membongkar dan membangun kembali tiga teras melingkar dan stupa di bagian puncak. Dalam prosesnya Van Erp menemukan banyak hal yang dapat diperbaiki; ia mengajukan proposal lain yang disetujui dengan anggaran tambahan sebesar 34.600 gulden. Van Erp melakukan rekonstruksi lebih lanjut, ia bahkan dengan teliti merekonstruksi chattra (payung batu susun tiga) yang memahkotai puncak Borobudur. Pada pandangan pertama, Borobudur telah pulih seperti pada masa kejayaannya. Akan tetapi rekonstruksi chattra hanya menggunakan sedikit batu asli dan hanya rekaan kira-kira. Karena dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan keasliannya, Van Erp membongkar sendiri bagian chattra. Kini mastaka atau kemuncak Borobudur chattra susun tiga tersimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur.

Akibat anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya memusatkan perhatian pada membersihkan patung dan batu, Van Erp tidak memecahkan masalah drainase dan tata air. Dalam 15 tahun, dinding galeri miring dan relief menunjukkan retakan dan kerusakan.[34] Van Erp menggunakan beton yang menyebabkan terbentuknya kristal garam alkali dan kalsium hidroksida yang menyebar ke seluruh bagian bangunan dan merusak batu candi. Hal ini menyebabkan masalah sehingga renovasi lebih lanjut diperlukan.

Pemugaran kecil-kecilan dilakukan sejak itu, tetapi tidak cukup untuk memberikan perlindungan yang utuh. Pada akhir 1960-an, Pemerintah Indonesia telah mengajukan permintaan kepada masyarakat internasional untuk pemugaran besar-besaran demi melindungi monumen ini. Pada 1973, rencana induk untuk memulihkan Borobudur dibuat.[35] Pemerintah Indonesia dan UNESCO mengambil langkah untuk perbaikan menyeluruh monumen ini dalam suatu proyek besar antara tahun 1975 dan 1982.[34] Pondasi diperkokoh dan segenap 1.460 panel relief dibersihkan. Pemugaran ini dilakukan dengan membongkar seluruh lima teras bujur sangkar dan memperbaiki sistem drainase dengan menanamkan saluran air ke dalam monumen. Lapisan saringan dan kedap air ditambahkan. Proyek kolosal ini melibatkan 600 orang untuk memulihkan monumen dan menghabiskan biaya total sebesar 6.901.243 dollar AS.[36] Setelah renovasi, UNESCO memasukkan Borobudur ke dalam daftar Situs Warisan Dunia pada tahun 1991.[4] Borobudur masuk dalam kriteria Budaya (i) "mewakili mahakarya kretivitas manusia yang jenius", (ii) "menampilkan pertukaran penting dalam nilai-nilai manusiawi dalam rentang waktu tertentu di dalam suatu wilayah budaya di dunia, dalam pembangunan arsitektur dan teknologi, seni yang monumental, perencanaan tata kota dan rancangan lansekap", dan (vi) "secara langsung dab jelas dihubungkan dengan suatu peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan gagasan atau dengan kepercayaan, dengan karya seni artistik dan karya sastra yang memiliki makna universal yang luar biasa".[4]

Page 25: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

Peristiwa kontemporer

Biksu peziarah tengah bermeditasi di pelataran puncak

Turis di Borobudur

Setelah pemugaran besar-besaran pada 1973 yang didukung oleh UNESCO,[35] Borobudur kembali menjadi pusat keagamaan dan ziarah agama Buddha. Sekali setahun pada saat bulan purnama sekitar bulan Mei atau Juni, umat Buddha di Indonesia memperingati hari suci Waisak, hari yang memperingati kelahiran, wafat, dan terutama peristiwa pencerahan Siddhartha Gautama yang mencapai tingkat kebijaksanaan tertinggi menjadi Buddha Shakyamuni. Waisak adalah hari libur nasional di Indonesia[37] dan upacara peringatan dipusatkan di tiga candi Buddha utama dengan ritual berjalan dari Candi Mendut menuju Candi Pawon dan prosesi berakhir di Candi Borobudur.[38]

Pada 21 Januari 1985, sembilan stupa rusak parah akibat sembilan bom.[39] Pada 1991 seorang penceramah muslim beraliran ekstrem yang tunanetra, Husein Ali Al Habsyie, dihukum penjara seumur hidup karena berperan sebagai otak serangkaian serangan bom pada pertengahan dekade 1980-an, termasuk serangan atas Candi Borobudur.[40] Dua anggota kelompok ekstrem sayap kanan djatuhi hukuman 20 tahun penjara pada tahun 1986 dan seorang lainnya menerima hukuman 13 tahun penjara.

Page 26: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

Sendratari "Mahakarya Borobudur" digelar di Borobudur

Monumen ini adalah obyek wisata tunggal yang paling banyak dikunjungi di Indonesia. Pada 1974 sebanyak 260.000 wisatawan yang 36.000 diantaranya adalah wisatawan mancanegara telah mengunjungi monumen ini.[6] Angka ini meningkat hingga mencapai 2,5 juta pengunjung setiap tahunnya (80% adalah wisatawan domestik) pada pertengahan 1990-an, sebelum Krisis finansial Asia 1997.[7] Akan tetapi pembangunan pariwisata dikritik tidak melibatkan masyarakat setempat sehingga beberapa konflik lokal kerap terjadi.[6] Pada 2003, penduduk dan wirausaha skala kecil di sekitar Borobudur menggelar pertemuan dan protes dengan pembacaan puisi, menolak rencana pemerintah provinsi yang berencana membangun kompleks mal berlantai tiga yang disebut 'Java World'.[41] Upaya masyarakat setempat untuk mendapatkan penghidupan dari sektor pariwisata Borobudur telah meningkatkan jumlah usaha kecil di sekitar Borobudur. Akan tetapi usaha mereka untuk mencari nafkah seringkali malah mengganggu kenyamanan pengunjung. Misalnya pedagang cenderamata asongan yang mengganggu dengan bersikeras menjual dagangannya; meluasnya lapak-lapak pasar cenderamata sehingga saat hendak keluar kompleks candi, pengunjung malah digiring berjalan jauh memutar memasuki labirin pasar cenderamata. Jika tidak tertata maka semua ini membuat kompleks candi Borobudur semakin semrawut.

Pada 27 Mei 2006, gempa berkekuatan 6,2 skala mengguncang pesisir selatan Jawa Tengah. Bencana alam ini menghancurkan kawasan dengan korban terbanyak di Yogyakarta, akan tetapi Borobudur tetap utuh.[42]

Pada 28 Agustus 2006 simposium bertajuk Trail of Civilizations (jejak peradaban) digelar di Borobudur atas prakarsa Gubernur Jawa Tengah dan Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan, juga hadir perwakilan UNESCO dan negara-negara mayoritas Buddha di Asia Tenggara, seperti Thailand, Myanmar, Laos, Vietnam, dan Kamboja. Puncak acara ini adalah pagelaran sendratari kolosal "Mahakarya Borobudur" di depan Candi Borobudur. Tarian ini diciptakan dengan berdasarkan gaya tari tradisional Jawa, musik gamelan, dan busananya, menceritakan tentang sejarah pembangunan Borobudur. Setelah simposium ini, sendratari Mahakarya Borobudur kembali dipergelarkan beberapa kali, khususnya menjelang peringatan Waisak yang biasanya turut dihadiri Presiden Republik Indonesia.

Page 27: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

Batu peringatan pemugaran candi Borobudur dengan bantuan UNESCO

UNESCO mengidentifikasi tiga permasalahan penting dalam upaya pelestarian Borobudur: (i) vandalisme atau pengrusakan oleh pengunjung; (ii) erosi tanah di bagian tenggara situs; (iii) analisis dan pengembalian bagian-bagian yang hilang.[43] Tanah yang gembur, beberapa kali gempa bumi, dan hujan lebat dapat menggoyahkan struktur bangunan ini. Gempa bumi adalah faktor yang paling parah, karena tidak saja batuan dapat jatuh dan pelengkung ambruk, tanah sendiri bergerak bergelombang yang dapat merusak struktur bangunan.[43] Meningkatnya popularitas stupa menarik banyak pengunjung yang kebanyakan adalah warga Indonesia. Meskipun terdapat banyak papan peringatan untuk tidak menyentuh apapun, pengumandangan peringatan melalui pengeras suara dan adanya penjaga, vandalisme berupa pengrusakan dan pencorat-coretan relief dan arca sering terjadi, hal ini jelas merusak situs ini. Pada 2009, tidak ada sistem untuk membatasi jumlah wisatawan yang boleh berkunjung per hari, atau menerapkan tiap kunjungan harus didampingi pemandu agar pengunjung selalu dalam pengawasan.[43]

Rehabilitasi

Borobudur sangat terdampak letusan Gunung Merapi pada Oktober adan November 2010. Debu vulkanik dari Merapi menutupi kompleks candi yang berjarak 28 kilometer (17 mil) arah barat-baratdaya dari kawah Merapi. Lapisan debu vulkanik mencapai ketebalan 2,5 sentimeter (1 in)[44]

menutupi bangunan candi kala letusan 3–5 November 2010, debu juga mematikan tanaman di sekitar, dan para ahli mengkhawatirkan debu vulkanik yang secara kimia bersifat asam dapat merusak batuan bangunan bersejarah ini. Kompleks candi ditutup 5 sampai 9 November 2010 untuk membersihkan luruhan debu.[45][46]

Mencermati upaya rehabilitasi Borobudur setelah letusan Merapi 2010, UNESCO telah menyumbangkan dana sebesar 3 juta dollar AS untuk mendanai upaya rehabilitasi. Membersihkan candi dari endapan debu vulkanik akan menghabiskan waktu sedikitnya 6 bulan, disusul penghijauan kembali dan penanaman pohon di lingkungan sekitar untuk menstabilkan suhu, dan terakhir menghidupkan kembali kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat.[47] Lebih dari 55.000 blok batu candi harus dibongkar untuk memperbaiki sistem tata air dan drainase yang tersumbat adonan debu vulkanik bercampur air hujan. Restorasi berakhir November 2011, lebih awal dari perkiraan semula.[48]

Arsitektur

Page 29: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

Lorong koridor dengan galeri dinding berukir relief

Konsep rancang bangun

Pada hakikatnya Borobudur adalah sebuah stupa yang bila dilihat dari atas membentuk pola Mandala besar. Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas bujursangkar dan lingkaran konsentris yang melambangkan kosmos atau alam semesta yang lazim ditemukan dalam Buddha aliran Wajrayana-Mahayana. Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana yang secara bersamaan menggambarkan kosmologi yaitu konsep alam semesta, sekaligus tingkatan alam pikiran dalam ajaran Buddha.[49] Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha. Dasar denah bujur sangkar berukuran 123 m (400 kaki) pada tiap sisinya. Bangunan ini memiliki sembilan teras, enam teras terbawah berbentuk bujur sangkar dan tiga teras teratas berbentuk lingkaran.

Pada tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan struktur tersembunyi di kaki Borobudur.[32] Kaki tersembunyi ini terdapat relief yang 160 diantaranya adalah berkisah tentang Karmawibhangga. Pada relief panel ini terdapat ukiran aksara yang merupakan petunjuk bagi pengukir untuk membuat adegan dalam gambar relief.[50] Kaki asli ini tertutup oleh penambahan struktur batu yang membentuk pelataran yang cukup luas, fungsi sesungguhnya masih menjadi misteri. Awalnya diduga bahwa penambahan kaki ini untuk mencegah kelongsoran monumen.[50] Teori lain mengajukan bahwa penambahan kaki ini disebabkan kesalahan perancangan kaki asli, dan tidak sesuai dengan Wastu Sastra, kitab India mengenai arsitektur dan tata kota.[32] Apapun alasan penambahan kaki ini, penambahan dan pembuatan kaki tambahan ini dilakukan dengan teliti dengan mempertimbangkan alasan keagamaan, estetik, dan teknis.

Ketiga tingkatan ranah spiritual dalam kosmologi Buddha adalah:

Kamadhatu

Page 30: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian kaki asli yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 160 panel cerita Karmawibhangga yang kini tersembunyi. Sebagian kecil struktur tambahan di sudut tenggara disisihkan sehingga orang masih dapat melihat beberapa relief pada bagian ini. Struktur batu andesit kaki tambahan yang menutupi kaki asli ini memiliki volume 13.000 meter kubik.[2]

Rupadhatu

Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi galeri relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri dari empat lorong dengan 1.300 gambar relief. Panjang relief seluruhnya 2,5 km dengan 1.212 panel berukir dekoratif. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk atau relung dinding di atas pagar langkan atau selasar. Aslinya terdapat 432 arca Buddha di dalam relung-relung terbuka di sepanjang sisi luar di pagar langkan.[2] Pada pagar langkan terdapat sedikit perbedaan rancangan yang melambangkan peralihan dari ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan paling rendah dimahkotai ratna, sedangkan empat tingkat pagar langkan diatasnya dimahkotai stupika (stupa kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan ukiran relief.

Arupadhatu

Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras terbawah stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak bujur sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar. Rancang bangun ini dengan cerdas menjelaskan konsep peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni arca Buddha itu ada tetapi tak terlihat.

Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga Buddha yang tidak rampung, yang disalahsangkakan sebagai patung 'Adibuddha', padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung di dalam stupa utama, patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. Menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang

Page 31: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak patung seperti ini. Stupa utama yang dibiarkan kosong diduga bermakna kebijaksanaan tertinggi, yaitu kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan sempurna dimana jiwa manusia sudah tidak terikat hasrat, keinginan, dan bentuk serta terbebas dari lingkaran samsara.

Struktur bangunan

Arca singa penjaga gerbang

Ukiran raksasa sebagai kepala pancuran drainase

Page 32: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

Penampang candi Borobudur terdapat rasio perbandingan 4:6:9 antara bagian kaki, tubuh, dan kepala

Tangga Borobudur mendaki melalui serangkaian gapura berukir Kala-Makara

Sekitar 55.000 meter kubik batu andesit diangkut dari tambang batu dan tempat penatahan untuk membangun monumen ini.[51] Batu ini dipotong dalam ukuran tertentu, diangkut menuju situs dan disatukan tanpa menggunakan semen. Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock (saling kunci) yaitu seperti balok-balok lego yang bisa menempel tanpa perekat. Batu-batu ini disatukan dengan tonjolan dan lubang yang tepat dan muat satu sama lain, serta bentuk "ekor merpati" yang mengunci dua blok batu. Relief dibuat di lokasi setelah struktur bangunan dan dinding rampung.

Monumen ini dilengkapi dengan sistem drainase yang cukup baik untuk wilayah dengan curah hujan yang tinggi. Untuk mencegah genangan dan kebanjiran, 100 pancuran dipasang disetiap sudut, masing-masing dengan rancangan yang unik berbentuk kepala raksasa kala atau makara.

Borobudur amat berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi ini tidak dibangun di atas permukaan datar, tetapi di atas bukit alami. Akan tetapi teknik pembangunannya serupa dengan candi-candi lain di Jawa. Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Secara umum rancang bangun Borobudur mirip dengan piramida berundak. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Borobudur mungkin pada awalnya berfungsi lebih sebagai sebuah stupa, daripada kuil atau candi.[51] Stupa memang dimaksudkan sebagai bangunan suci untuk memuliakan Buddha. Terkadang stupa dibangun sebagai lambang penghormatan dan pemuliaan kepada Buddha. Sementara kuil atau candi lebih berfungsi sebagai rumah ibadah. Rancangannya yang rumit dari monumen ini menunjukkan bahwa bangunan ini memang sebuah bangunan tempat peribadatan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur

Page 33: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

teras bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.

Menurut legenda setempat arsitek perancang Borobudur bernama Gunadharma, sedikit yang diketahui tentang arsitek misterius ini.[52] Namanya lebih berdasarkan dongeng dan legenda Jawa dan bukan berdasarkan prasasti bersejarah. Legenda Gunadharma terkait dengan cerita rakyat mengenai perbukitan Menoreh yang bentuknya menyerupai tubuh orang berbaring. Dongeng lokal ini menceritakan bahwa tubuh Gunadharma yang berbaring berubah menjadi jajaran perbukitan Menoreh, tentu saja legenda ini hanya fiksi dan dongeng belaka.

Perancangan Borobudur menggunakan satuan ukur tala, yaitu panjang wajah manusia antara ujung garis rambut di dahi hingga ujung dagu, atau jarak jengkal antara ujung ibu jari dengan ujung jari kelingking ketika telapak tangan dikembangkan sepenuhnya.[53] Tentu saja satuan ini bersifat relatif dan sedikit berbeda antar individu, akan tetapi satuan ini tetap pada monumen ini. Penelitian pada 1977 mengungkapkan rasio perbandingan 4:6:9 yang ditemukan di monumen ini. Arsitek menggunakan formula ini untuk menentukan dimensi yang tepat dari suatu fraktal geometri perulangan swa-serupa dalam rancangan Borobudur.[53][54] Rasio matematis ini juga ditemukan dalam rancang bangun Candi Mendut dan Pawon di dekatnya. Arkeolog yakin bahwa rasio 4:6:9 dan satuan tala memiliki fungsi dan makna penanggalan, astronomi, dan kosmologi. Hal yang sama juga berlaku di candi Angkor Wat di Kamboja.[52]

Struktur bangunan dapat dibagi atas tiga bagian: dasar (kaki), tubuh, dan puncak.[52] Dasar berukuran 123×123 m (403.5 × 403.5 ft) dengan tinggi 4 m (13 kaki).[51] Tubuh candi terdiri atas lima batur teras bujur sangkar yang makin mengecil di atasnya. Teras pertama mundur 7 m (23 kaki) dari ujung dasar teras. Tiap teras berikutnya mundur 2 m (6.6 kaki), menyisakan lorong sempit pada tiap tingkatan. Bagian atas terdiri atas tiga teras melingkar, tiap tingkatan menopang barisan stupa berterawang yang disusun secara konsentris. Terdapat stupa utama yang terbesar di tengah; dengan pucuk mencapai ketinggian 35 m (110 kaki) dari permukaan tanah. Tinggi asli Borobudur termasuk chattra (payung susun tiga) yang kini dilepas adalah 42 m (140 kaki) . Tangga terletak pada bagian tengah keempat sisi mata angin yang membawa pengunjung menuju bagian puncak monumen melalui serangkaian gerbang pelengkung yang dijaga 32 arca singa. Gawang pintu gerbang dihiasi ukiran Kala pada puncak tengah lowong pintu dan ukiran makara yang menonjol di kedua sisinya. Motif Kala-Makara lazim ditemui dalam arsitektur pintu candi di Jawa. Pintu utama terletak di sisi timur, sekaligus titik awal untuk membaca kisah relief. Tangga ini lurus terus tersambung dengan tangga pada lereng bukit yang menghubungkan candi dengan dataran di sekitarnya.

Relief

Page 34: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

Seni pahat Borobudur memiliki kehalusan gaya dan citarasa estetik yang anggun

Letak relief kisah-kisah naskah suci Buddha di dinding Borobudur

Pada dinding candi di setiap tingkatan — kecuali pada teras-teras Arupadhatu — dipahatkan panel-panel bas-relief yang dibuat dengan sangat teliti dan halus.[55] Relief dan pola hias Borobudur bergaya naturalis dengan proporsi yang ideal dan selera estetik yang halus. Relief-relief ini sangat indah, bahkan dianggap sebagai yang paling elegan dan anggun dalam kesenian dunia Buddha.[56] Relief Borobudur juga menerapkan disiplin senirupa India, seperti berbagai sikap tubuh yang memiliki makna atau nilai estetis tertentu. Relief-relief berwujud manusia mulia seperti pertapa, raja dan wanita bangsawan, bidadari atapun makhluk yang mencapai derajat kesucian laksana dewa, seperti tara dan boddhisatwa, seringkali digambarkan dengan posisi tubuh tribhanga. Posisi tubuh ini disebut "lekuk tiga" yaitu melekuk atau sedikit condong pada bagian leher, pinggul, dan pergelangan kaki dengan beban tubuh hanya bertumpu pada satu kaki, sementara kaki yang lainnya dilekuk beristirahat. Posisi tubuh yang luwes ini menyiratkan keanggunan, misalnya figur bidadari Surasundari yang berdiri dengan sikap tubuh tribhanga sambil menggenggam teratai bertangkai panjang.[57]

Page 35: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti sosok manusia baik bangsawan, rakyat jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan hewan, serta menampilkan bentuk bangunan vernakular tradisional Nusantara. Borobudur tak ubahnya bagaikan kitab yang merekam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa kuno. Banyak arkeolog meneliti kehidupan masa lampau di Jawa kuno dan Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan mencermati dan merujuk ukiran relief Borobudur. Bentuk rumah panggung, lumbung, istana dan candi, bentuk perhiasan, busana serta persenjataan, aneka tumbuhan dan margasatwa, serta alat transportasi, dicermati oleh para peneliti. Salah satunya adalah relief terkenal yang menggambarkan Kapal Borobudur.[58] Kapal kayu bercadik khas Nusantara ini menunjukkan kebudayaan bahari purbakala. Replika bahtera yang dibuat berdasarkan relief Borobudur tersimpan di Museum Samudra Raksa yang terletak di sebelah utara Borobudur.[59]

Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sanskerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief cerita jātaka. Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.

Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan pagar langkan candi adalah sebagai berikut.

Bagan Relief

Tingkat Posisi/letak Cerita Relief Jumlah Pigura

Kaki candi asli ----- Karmawibhangga 160

Tingkat I

dindinga. Lalitawistara 120

b. jataka/awadana 120

langkana. jataka/awadana 372

b. jataka/awadana 128

Tingkat IIdinding Gandawyuha 128

langkan jataka/awadana 100

Tingkat IIIdinding Gandawyuha 88

langkan Gandawyuha 88

Tingkat IV dinding Gandawyuha 84

Page 36: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

Bagan Relief

Tingkat Posisi/letak Cerita Relief Jumlah Pigura

langkan Gandawyuha 72

Jumlah 1460

Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut :

Karmawibhangga

Salah satu ukiran Karmawibhangga di dinding candi Borobudur (lantai 0 sudut tenggara)

Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma. Karmawibhangga adalah naskah yang menggambarkan ajaran mengenai karma, yakni sebab-akibat perbuatan baik dan jahat. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai hubungan sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan. Kini hanya bagian tenggara yang terbuka dan dapat dilihat oleh pengujung. Foto lengkap relief Karmawibhangga dapat disaksikan di Museum Karmawibhangga di sisi utara candi Borobudur.

Lalitawistara

Page 37: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

Pangeran Siddhartha Gautama mencukur rambutnya dan menjadi pertapa

Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari surga Tushita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.

Jataka dan Awadana

Jataka adalah berbagai cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan-perbuatan baik, seperti sikap rela berkorban dan suka menolong yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun juga. Beberapa kisah Jataka menampilkan kisah fabel yakni kisah yang melibatkan tokoh satwa yang bersikap dan berpikir seperti manusia. Sesungguhnya, pengumpulan jasa atau perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.

Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur Jataka dan Awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura yang hidup dalam abad ke-4 Masehi.

Gandawyuha

Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha

Page 38: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.

Arca Buddha

Sebuah arca Buddha di dalam stupa berterawang

Selain wujud buddha dalam kosmologi buddhis yang terukir di dinding, di Borobudur terdapat banyak arca buddha duduk bersila dalam posisi teratai serta menampilkan mudra atau sikap tangan simbolis tertentu. Patung buddha dengan tinggi 1,5 meter ini dipahat dari bahan batu andesit.[2]

Patung buddha dalam relung-relung di tingkat Rupadhatu, diatur berdasarkan barisan di sisi luar pagar langkan. Jumlahnya semakin berkurang pada sisi atasnya. Barisan pagar langkan pertama terdiri dari 104 relung, baris kedua 104 relung, baris ketiga 88 relung, baris keempat 72 relung, dan baris kelima 64 relung. Jumlah total terdapat 432 arca Buddha di tingkat Rupadhatu.[1] Pada bagian Arupadhatu (tiga pelataran melingkar), arca Buddha diletakkan di dalam stupa-stupa berterawang (berlubang). Pada pelataran melingkar pertama terdapat 32 stupa, pelataran kedua 24 stupa, dan pelataran ketiga terdapat 16 stupa, semuanya total 72 stupa.[1] Dari jumlah asli sebanyak 504 arca Buddha, lebih dari 300 telah rusak (kebanyakan tanpa kepala) dan 43 hilang (sejak penemuan monumen ini, kepala buddha sering dicuri sebagai barang koleksi, kebanyakan oleh museum luar negeri).[60]

Secara sepintas semua arca buddha ini terlihat serupa, akan tetapi terdapat perbedaan halus diantaranya, yaitu pada mudra atau posisi sikap tangan. Terdapat lima golongan mudra: Utara, Timur, Selatan, Barat, dan Tengah, kesemuanya berdasarkan lima arah utama kompas menurut ajaran Mahayana. Keempat pagar langkan memiliki empat mudra: Utara, Timur, Selatan, dan Barat, dimana masing-masing arca buddha yang menghadap arah tersebut menampilkan mudra yang khas. Arca Buddha pada pagar langkan kelima dan arca buddha di dalam 72 stupa berterawang di pelataran atas menampilkan mudra: Tengah atau Pusat. Masing-masing mudra melambangkan lima Dhyani Buddha; masing-masing dengan makna simbolisnya tersendiri.[61]

Page 39: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

Mengikuti urutan Pradakshina yaitu gerakan mengelilingi searah jarum jam dimulai dari sisi Timur, maka mudra arca-arca buddha di Borobudur adalah:

Arca MudraMelambangk

anDhyani Buddha

Arah Mata Angin

Lokasi Arca

Bhumisparsa mudra

Memanggil bumi sebagai saksi

Aksobhya Timur

Relung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi timur

Wara mudraKedermawanan

Ratnasambhawa

Selatan

Relung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi selatan

Dhyana mudra

Semadi atau meditasi

Amitabha Barat

Relung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi barat

Abhaya mudra

Ketidakgentaran

Amoghasiddhi Utara

Relung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi utara

Page 40: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

Arca MudraMelambangk

anDhyani Buddha

Arah Mata Angin

Lokasi Arca

Witarka mudra

Akal budi WairocanaTengah

Relung di pagar langkan baris kelima (teratas) Rupadhatu semua sisi

Dharmachakra mudra

Pemutaran roda dharma

WairocanaTengah

Di dalam 72 stupa di 3 teras melingkar Arupadhatu

Ikhtisar waktu proses pemugaran Candi Borobudur

1814 - Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa, mendengar adanya penemuan benda purbakala di desa Borobudur. Raffles memerintahkan H.C. Cornelius untuk menyelidiki lokasi penemuan, berupa bukit yang dipenuhi semak belukar.

1873 - monografi pertama tentang candi diterbitkan.

1900 - pemerintahan Hindia Belanda menetapkan sebuah panitia pemugaran dan perawatan candi Borobudur.

1907 - Theodoor van Erp memimpin pemugaran hingga tahun 1911.

1926 - Borobudur dipugar kembali, tapi terhenti pada tahun 1940 akibat krisis malaise dan Perang Dunia II.

1956 - Pemerintah Indonesia meminta bantuan UNESCO. Prof. Dr. C. Coremans datang ke Indonesia dari Belgia untuk meneliti sebab-sebab kerusakan Borobudur.

1963 - Pemerintah Indonesia mengeluarkan surat keputusan untuk memugar Borobudur, tapi berantakan setelah terjadi peristiwa G-30-S.

Page 41: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

1968 - Pada konferensi-15 di Perancis, UNESCO setuju untuk memberi bantuan untuk menyelamatkan Borobudur.

1971 - Pemerintah Indonesia membentuk badan pemugaran Borobudur yang diketuai Prof.Ir.Roosseno.

1972 - International Consultative Committee dibentuk dengan melibatkan berbagai negara dan Roosseno sebagai ketuanya. Komite yang disponsori UNESCO menyediakan 5 juta dolar Amerika Serikat dari biaya pemugaran 7.750 juta dolar Amerika Serikat. Sisanya ditanggung Indonesia.

10 Agustus 1973 - Presiden Soeharto meresmikan dimulainya pemugaran Borobudur; pemugaran selesai pada tahun 1984

21 Januari 1985 - terjadi serangan bom yang merusakkan beberapa stupa pada Candi Borobudur yang kemudian segera diperbaiki kembali. Serangan dilakukan oleh kelompok Islam ekstremis yang dipimpin oleh Husein Ali Al Habsyi.

1991 - Borobudur ditetapkan sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO.

Borobudur Peninggalan Nabi Sulaiman? dikutip oleh : Hasnan Habib

Senin, 27 September 2010 21:13 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Membaca judul diatas, tentu banyak orang yang akan mengernyitkan dahi,

sebagai tanda ketidakpercayaannya. Bahkan, mungkin demikian pula dengan Anda. Sebab, Nabi Sulaiman AS adalah seorang utusan Allah yang diberikan keistimewaan dengan kemampuannya menaklukkan seluruh makhluk ciptaan Allah, termasuk angin yang tunduk di bawah kekuasaannya atas izin Allah. Bahkan, burung dan jin selalu mematuhi perintah Sulaiman.

Menurut Sami bin Abdullah al-Maghluts, dalam bukunya Atlas Sejarah Nabi dan Rasul, Nabi Sulaiman diperkirakan hidup pada abad ke-9 Sebelum Masehi (989-931 SM), atau sekitar 3.000 tahun yang lalu. Sementara itu, Candi Borobudur sebagaimana tertulis dalam berbagai buku sejarah nasional, didirikan oleh Dinasti Syailendra

Page 42: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

pada akhir abad ke-8 Masehi atau sekitar 1.200 tahun yang lalu. Karena itu, wajarlah bila banyak orang yang mungkin tertawa kecut, geli, dan geleng-geleng kepala bila disebutkan bahwa Candi Borobudur didirikan oleh Nabi Sulaiman AS.

Candi Borobudur merupakan candi Budha. Berdekatan dengan Candi Borobudur adalah Candi Pawon dan Candi Mendut. Beberapa kilometer dari Candi Borobudur, terdapat Candi Prambanan, Candi Kalasan, Candi Sari, Candi Plaosan, dan lainnya. Candi-candi di dekat Prambanan ini merupakan candi Buddha yang didirikan sekitar tahun 772 dan 778 Masehi.

Lalu, apa hubungannya dengan Sulaiman? Benarkah Candi Borobudur merupakan peninggalan Nabi Sulaiman yang hebat dan agung itu? Apa bukti-buktinya? Benarkah ada jejak-jejak Islam di candi Buddha terbesar itu? Tentu perlu penelitian yang komprehensif dan melibatkan berbagai pihak untuk membuktikan validitas dan kebenarannya.

Namun, bila pertanyaan di atas diajukan kepada KH Fahmi Basya, ahli matematika Islam itu akan menjawabnya; benar. Borobudur merupakan peninggalan Nabi Sulaiman yang ada di tanah Jawa.

Dalam bukunya, Matematika Islam 3 (Republika, 2009), KH Fahmi Basya menyebutkan beberapa ciri-ciri Candi Borobudur yang menjadi bukti sebagai peninggalan putra Nabi Daud tersebut. Di antaranya, hutan atau negeri Saba, makna Saba, nama Sulaiman, buah maja yang pahit, dipindahkannya istana Ratu Saba ke wilayah kekuasaan Nabi Sulaiman, bangunan yang tidak terselesaikan oleh para jin, tempat berkumpulnya Ratu Saba, dan lainnya.

Dalam Alquran, kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Saba disebutkan dalam surah An-Naml [27]: 15-44, Saba [34]: 12-16, al-Anbiya [21]: 78-81, dan lainnya. Tentu saja, banyak yang tidak percaya bila Borobudur merupakan peninggalan Sulaiman.

(!--more--)Di antara alasannya, karena Sulaiman hidup pada abad ke-10 SM, sedangkan Borobudur dibangun pada abad ke-8 Masehi. Kemudian, menurut banyak pihak, peristiwa dan kisah Sulaiman itu terjadi di wilayah Palestina, dan Saba di Yaman Selatan, sedangkan Borobudur di Indonesia.

Tentu saja hal ini menimbulkan penasaran. Apalagi, KH Fahmi Basya menunjukkan bukti-buktinya berdasarkan keterangan Alquran. Lalu, apa bukti sahih andai Borobudur merupakan peninggalan Sulaiman atau bangunan yang pembuatannya merupakan perintah Sulaiman?

Menurut Fahmi Basya, dan seperti yang penulis lihat melalui relief-relief yang ada, memang terdapat beberapa simbol, yang mengesankan dan identik dengan kisah Sulaiman dan Ratu Saba, sebagaimana keterangan Alquran. Pertama adalah tentang tabut, yaitu sebuah kotak atau peti yang berisi warisan Nabi Daud AS kepada Sulaiman. Konon, di dalamnya terdapat kitab Zabur, Taurat, dan Tingkat Musa, serta memberikan ketenangan. Pada relief yang terdapat di Borobudur, tampak peti atau tabut itu dijaga oleh seseorang.

"Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: 'Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman'." (QS Al-Baqarah [2]: 248).

Kedua, pekerjaan jin yang tidak selesai ketika mengetahui Sulaiman telah wafat. (QS Saba [34]: 14). Saat mengetahui Sulaiman wafat, para jin pun menghentikan pekerjaannya. Di Borobudur, terdapat patung yang belum tuntas diselesaikan. Patung itu disebut dengan Unfinished Solomon.

Ketiga, para jin diperintahkan membangun gedung yang tinggi dan membuat patung-patung. (QS Saba [34]: 13). Seperti diketahui, banyak patung Buddha yang ada di Borobudur. Sedangkan gedung atau bangunan yang tinggi itu adalah Candi Prambanan.

Keempat, Sulaiman berbicara dengan burung-burung dan hewan-hewan. (QS An-Naml [27]: 20-22). Reliefnya juga ada. Bahkan, sejumlah frame relief Borobudur bermotifkan bunga dan burung. Terdapat pula sejumlah relief hewan lain, seperti gajah, kuda, babi, anjing, monyet, dan lainnya.

Page 43: Kisah Hidup Buddha Shakyamuni

Kelima, kisah Ratu Saba dan rakyatnya yang menyembah matahari dan bersujud kepada sesama manusia. (QS An-Naml [27]: 22). Menurut Fahmi Basya, Saba artinya berkumpul atau tempat berkumpul. Ungkapan burung Hud-hud tentang Saba, karena burung tidak mengetahui nama daerah itu. "Jangankan burung, manusia saja ketika berada di atas pesawat, tidak akan tahu nama sebuah kota atau negeri," katanya menjelaskan. Ditambahkan Fahmi Basya, tempat berkumpulnya manusia itu adalah di Candi Ratu Boko yang terletak sekitar 36 kilometer dari Borobudur. Jarak ini juga memungkinkan burung menempuh perjalanan dalam sekali terbang.

Keenam, Saba ada di Indonesia, yakni Wonosobo. Dalam Alquran, wilayah Saba ditumbuhi pohon yang sangat banyak. (QS Saba [34]: 15). Dalam kamus bahasa Jawi Kuno, yang disusun oleh Dr Maharsi, kata 'Wana' bermakna hutan. Jadi, menurut Fahmi, wana saba atau Wonosobo adalah hutan Saba.

Ketujuh, buah 'maja' yang pahit. Ketika banjir besar (Sail al-Arim) menimpa wilayah Saba, pepohonan yang ada di sekitarnya menjadi pahit sebagai azab Allah kepada orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya.  "Tetapi, mereka berpaling maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar[1236] dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr." (QS Saba [34]: 16).

Kedelapan, nama Sulaiman menunjukkan sebagai nama orang Jawa. Awalan kata 'su'merupakan nama-nama Jawa. Dan, Sulaiman adalah satu-satunya nabi dan rasul yang 25 orang, yang namanya berawalan 'Su'. Kesembilan, Sulaiman berkirim surat kepada Ratu Saba melalui burung Hud-hud. "Pergilah kamu dengan membawa suratku ini." (QS An-Naml [27]: 28).  Menurut Fahmi, surat itu ditulis di atas pelat emas sebagai bentuk kekayaan Nabi Sulaiman. Ditambahkannya, surat itu ditemukan di sebuah kolam di Candi Ratu Boko.

Kesepuluh, bangunan yang tinggal sedikit (Sidrin qalil). Lihat surah Saba [34] 16). Bangunan yang tinggal sedikit itu adalah wilayah Candi Ratu Boko. Dan di sana terdapat sejumlah stupa yang tinggal sedikit. "Ini membuktikan bahwa Istana Ratu Boko adalah istana Ratu Saba yang dipindahkan atas perintah Sulaiman," kata Fahmi menegaskan.

Selain bukti-bukti di atas, kata Fahmi, masih banyak lagi bukti lainnya yang menunjukkan bahwa kisah Ratu Saba dan Sulaiman terjadi di Indonesia. Seperti terjadinya angin Muson yang bertiup dari Asia dan Australia (QS Saba [34]: 12), kisah istana yang hilang atau dipindahkan, dialog Ratu Bilqis dengan para pembesarnya ketika menerima surat Sulaiman (QS An-Naml [27]: 32), nama Kabupaten Sleman, Kecamatan Salaman, Desa Salam, dan lainnya. Dengan bukti-bukti di atas, Fahmi Basya meyakini bahwa Borobudur merupakan peninggalan Sulaiman. Bagaimana dengan pembaca? Hanya Allah yang mengetahuinya. Wallahu A'lam.


Top Related