Transcript

6

5

PENDAHULUANLatar BelakangRendahnya nilai renedemen yang dihasilkan oleh pabrik gula di Indonesia merupakan masalah yang salah satu masalah telah lama terjadi dan menjadi momok bagi industri pergulaan Indonesia. Rendemen gula Indonesia pada tahun 200-2005 hanya bernilai 6,92 %. Hal ini berbanding terbalik dengan era kejayaan industri gula Indonesia yang terjadi pada tahun 1930-an. Rendemen yang dihasilkan mencapai 11-13,8 %. Produksi puncak mencapai 3 juta ton dan ekspor gula mencapai 2,4 juta ton. Keberhasilan tersebut didukung oleh kemudahan dalam memperoleh lahan yang subur, prioritas irigasi, dan disiplin dalam penerapan teknologi (Simatupang, et al. 1999). Nilai rendemen yang rendah mengakibatkan rendahnya jumlah gula yang dihasilkan. Sementara, kebutuhan gula masyarakat Indonesia mengalami peningkatan. Hal ini berimplikasi pada kebutuhan akan gula impor. Salah satu upaya perbaikan yang dapat dilakukan yakni dengan memperbaiki teknologi proses produksi gula. Teknologi yang baik akan meningkatkan efisiensi pabrik sehingga rendemen gula pun akan mengalami peningkatan. Selain itu, teknologi proses yang baik pun akan meningkatkan mutu gula yang dihasilkan.Kegiatan praktik lapangan ini akan dilaksanankan di PT PG Rajawali Nasional Indonesia II Unit PG Subang Jawa Barat. Praktik lapangan ini merupakan kegiatan yang dilakukan selama 40 hari kerja untuk menganalisis permasalahan pada di perusahaan sebagai bentuk nyata dalam menyikapi permasalahan nyata secara langsung. Dengan melihat, mempelajari dan melakukan praktik kerja secara langsung, diharapkan dapat memberikan wawasan dan pengalaman yang berharga bagi mahasiswa mengenai kondisi nyata yang terjadi dalam suatu kegiatan industri.

TujuanProgram pelaksanaan praktik lapangan mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian IPB ini, secara umum memiliki 2 tujuan, yaitu tujuan instruksional dan tujuan institusional. Penjelasan dari kedua tujuan tersebut adalah sebagai berikut :1. Tujuan Instruksional Mengetahui faktor yang paling berpengaruh dalam penurunan rendemen di PG Subang.2. Tujuan InstitusionalTujuan institusional program praktik lapangan mahasiswa Fateta IPB ini adalah untuk memeperkenalkan dan mendekatkan IPB khususnya Fakultas Teknologi Pertanian, dengan masyarakat dan mendapatan masukan bagi penyusunan kurikulum dan peningkatan kualiras pendidikan yang sesuai dengan kemajuan Iptek dan kebutuhan masyarakat.Secara khusus, tujuan dari pelaksanaan program praktik lapangan ini adalah sebagai berikut :1. Mempelajari teknologi proses produksi dan pengawasan mutu di PT Rajawali Nasional Indonesia II Unit PG Subang Jawa Barat.2. Mengobservasi, menganalisis serta memberikan solusi atas permasalahan yang ada dalam industri tersebut berdasarkan disiplin ilmu yang telah dipelajari.3. Memperoleh pengalaman, pengetahuan, keterampilan, wawasan serta pengaplikasian ilmu dan teknologi yang diperoleh dari perkuliahan khususnya pada topik yang diangkat pada praktik lapangan.

Waktu dan Tempat PelaksanaanPraktik lapangan ini dilaksanakan di PT PG Rajawali II Unit PG Subang yang berlokasi di Jl. Pasir Bungur Kecamatan Purwadadi Kabupaten Subang. Pelaksanaan praktik lapang dilakukan selama 40 hari kerja efektif antara tanggal 23 Juni 2014 sampai dengan 29 Agustus 2014.

MetodologiDalam pelaksanaan kegiatan praktik lapangan ini, terdapat beberapa metode untuk memperoleh data dan analisa yang tepat. Beberapa metode yang akan dilakukan tersebut adalah : a. Observasi dan SosialisasiObservasi berupa pengamatan langsung di lapangan tentang teknologi proses produksi dan pengawasan mutu di PT Rajawali Nasional Indonesia II Unit PG Subang Jawa Barat. Observasi yang dilakukan termasuk sosialisasi dengan karyawan dan pihak pihak yang terkait dengan hubungannya dengan manajemen pengolahan limbah. Sosialisasi yang dilakukan dapat berupa wawancara langsung utnuk menganalisa permasalah yang mungkin ditemukan dalam praktek pelaksanaan. b. Pengamatan di LapanganPengamatan langsung di lapangan dilakukan dengan mengamati, berpartisispasi aktif secara langsung pada proses produksi dan pengawsan mutu secara umum.c. Aplikasi kerja industriKerja industri dilakukan untuk merasakan secara langsung pada aspek yang sedang dianalisa, yaitu pada teknologi proses produksi dan pengawasan mutu gula tebu di PT Rajawali Nasional Indonesia II Unit PG Subang Jawa Barat. Hal ini dilakukan dengan ikut serta dalam analisa mutu produk pada tiap tahap proses di laboratorium.d. Studi PustakaDilakukan dengan mencari referensi dan literature yang berkaitan dengan kegiatan yang dilakukan dan membandingkan dengan situasi yang terjadi di lapangan.

e. Pengolahan dan Analisa DataDilakukan dengan mengolah data yang didapat dari praktik lapangan dan kemudian dilakukan analisa data serta diskusi dengan pihak PG sehingga diperoleh informasi.

f. Penyusunan LaporanPenyusunan laporan praktik lapangan ini diperoleh dari hasil analisa data dan informasi yang telah diperoleh melalui observasi langsung dilapangan. Selanjutnya data data tersebut akan diolah dan dianalisa dengan jelas dalam bentuk laporan tertulis. Hasilnya berupa saran saran terhadap hasil observasi dilapangan.

TINJAUAN UMUM LOKASI PRAKTIK LAPANGANSejarah PerusahaanPada tahun 1812- 1833, lahan PG Subang merupakan perkebunan karet milik pemerintah asing (Inggris). Kemudian, pada tahun 1834-1957 lahan tersebut berpindah kepemilikan menjadi milik swasta Belanda, dan diberi nama Pamanoekan and Tjiasem Land. Pasca kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1958, lahan tersebut dikuasai oleh pemerintah Indonesia di bawah Perusahaan Perkebunan Negara (PPN). Pemindahan ini dilakukan berdasarkan UU No. 86 tahun 1958 tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda. Pada tahun 1968, PPN berganti nama menjadi Perseroan Terbatas Perkebunan (PTP). Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 1968, lahan PG Subang kemudian dikelola oleh PTP XXX. Pada tahun 1976, Mentri Pertanian mengeluarkan instruksi No.13/INS/6/UM/1976, yang berisi penggantian komoditi karet dengan tebu dan memperhatikan aspek teknis, ekologis, dan sosial ekonomi. Hal ini direalisasikan dengan diadakannya uji coba penanaman tebu di lahan PG Subang bekerja sama dengan PPIG. Uji coba tersebut membuahkan hasil yang baik. Hal ini mendasari dilakukannya penanaman tebu pertama seluas 800 hektar pada tahun 1978. Penanaman dilakukan di kebun Pasirbungur, Pasirmuncang, dan Manyingsal. Tebu yang dihasilkan kemudian digiling di PTP XIV, PG Tersana Baru. Hal ini dilakukan berdasarkan SK Mentan No. 681/ Mentan/ X/1978.Setelah 3 tahun selang pembukaan lahan tebu, pabrik gula mulai didirikan. Pembangunan PG Subang mulai dilaksanakan pada tanggal 11 Agustus 1981 berdasarkan SK Mentri Pertanian No. 667/KPTS/ORG/8/1981. Pembangunan pabrik selesai pada tahun 1984. Pada tahun yang sama, tepatnya tanggal 3 Juli 1984, giling perdana dilaksanakan dengan total tebu 2.135.628 kw. Pada tahun 1989, pengelolaan PTP XIV dialihkan dari Departemen Peratnian ke Departemen Keuangan. Berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan No. C 2-9432.HT.0104/1996, PTP XIV berganti nama menjadi PT PG Rajawali II. Pada tahun 1991, PT PG Rajawali II diangkat menjadi anak perusahaan PT Rajawali Nusantara Indonesia. Pabrik Gula Subang menjadi salah satu unit produksi PT PG Rajawali II.

Visi dan Misi PerusahaanVisi:Menjadi unit usaha agroindustri berbasis tebu yang handal (reliable) di lingkungan PT RNI.Misi :- Menjadi perusahaan yang mampu tumbuh dan berkembang dengan kinerja yang sehat.- Siap menghadapi kompetensi pasar bebas dan mampu memenuhi harapan stakeholder.

Lokasi dan Tata Letak PabrikPT Rajawali II Unit PG Subang terletak di blok Cidangdeur, Desa Pasirbungur, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Pabrik ini berjarak 25 km ke arah barat Kota Subang dan 15 km ke arah Sukamandi (Jalur Pantura). Secara geografis, pabrik terletak diantaranya 107o41o16o BT sampai 107o41o18o BT dan 6o24o46oLS sampai 6o24o48o LS dengan ketinggian 31-33 m di atas permukaan laut. PG Subang memiliki areal perkebunan tebu seluas 5.669 ha, 660 ha dari lahan tersebut merupakan lahan sewa, dan 184 ha dari lahan tersebut merupakan lahan tebu rakyat. Daerah PG Subang memiliki kontur tanah yang datar hingga bergelombang dengan kemiringan 3-10 %.

Ketenagakerjaan PT PG SubangKaryawan yang bekerja di PG Subang secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yakni karyawan tetap dan karyawan tak tetap. Karyawan tetap merupakan karyawan yang bekerja sepanjang tahun di PT PG Subang. Sementara karyawan tak tetap merupakan karyawan yang disewa hanya untuk bekerja pada waktu tertentu. Jumlah karyawan tak tetap di PG Subang lebih banyak dibandingkan karyawan tetap.Karyawan tetap dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yakni karyawan harian dan karyawan bulanan. Karyawan harian mendapat gaji berdasarkan jumlah hari kerja. Sementara karyawan bulanan mendapatkan gaji tiap bulan tanpa melihat jam kerja maupun hari kerja. Karyawan bulanan sendiri terdiri dari dua kategori, yakni pimpinan dan non pimpinan. Karyawan pimpinan terdiri atas beberapa kepala bagian yang terdapat di PG Subang dan bersentuhan langsung dengan pengambilan keputusan. Sementara karyawan non pimpinan merupakan karyawan yang terlibat langsung pada proses prosesproduksi seperti juru tulis, asisten masinis, dan lain sebagainya.Karyawan tak tetap dikelompokkan menjadi dua kategori, yakni musiman dan kampanye. Karyawan kampanye merupakan karyawan yang bersentuhan langsung dengan lini produksi, dan hanya bekerja di waktu giling. Sementara karyawan musiman merupakan karyawan yang bekerja pada musim tertentu. Karyawan musiman dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni musim tebang dan musim giling. Karyawan musim tebang merupakan sebutan untuk para penebang, sementara karyawan musim giling merupakan sebutan bagi karyawan dalam pabrik. Penebang pun dikelompokkan menjadi dua jenis,.yakni penebang lokal dan penebang impor. Penebang lokal merupakan penebang yang berasal dari Kota Subang, sementara penebang impor merupakan penebang yang berasal dari luar Subang dan sebagian besar berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.Jam kerja yang diberlakukan di PG Subang terdiri dari dua jenis, yakni kerja harian dan shift. Jam kerja harian diberlakukan pada karyawan yang bekerja di kantor dan di masa perbaikan dan pemeliharaan, serta karyawan laboratorium di bidang analisa khusus. Sementara jam kerja shift hanya diberlakukan selama masa giling. Terdapat 3 shift kerja selama 24 jam, dan masing-masing shift bekerja selama 8 jam. Shift pagi bekerja pukul 06.00-14.00, shift siang bekerja pukul 14.00-22.00, dan shift malam bekerja pukul 22.00-06.00. Peningkatan kapasitas, kinerja, dan keterampilan karyawan PG Subang dilakukan melalui kerjasama dengan Depnaker (Departemen Tenaga Kerja), Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP), dan Dewan Gula Indonesia (DGI). Bentuk kerjasama yang dilakukan antara lain pelatihan kerja di lokasi pabrik, pelatihan mengenai keselamatan dan keterampilan kerja.

PEMBAHASANProses Pengolahan Tebu1. PemanenanProses panen merupakan proses paling awal dalam produksi gula. Panen dilakukan saat tebu sudah masak. Mochtar (2004) menyatakan bahwa kemasakan tebu secara fisik dapat dilihat dari mengeringnya daun tebu. Sementara kemasakan secara kimia terjadi jika selisih kadar gula di bagian atas dan bawah batang bernilai nol. Kadar gula yang dimaksud yakni gula sukrosa. Terdapat tiga metode panen yang diterapkan di PG Subang dan dibedakan berdasarkan cara tebang dan pemuatan. Proses tersebut antara lain tebang manual, tebang mekanis (TM), dan tebang semi mekanis (TSM). Tebang manual merupakan proses panen yang penebangan, pembersihan batang, dan pemuatannya dilakukan dengan tenaga manusia. Tebang mekanis merupakan proses panen yang penebangan dan pemuatannya dilakukan dengan menggunakan mesin panen (harvester). Sementara proses yang terakhir, yakni tebang semi mekanis merupakan proses panen yang memanfaatkan tenaga manusia dalam proses tebang, dan memanfaatkan mesin mekanis dalam proses pemuatan pada kendaraan pengangkut. Mesin mekanis tersebut dinamakan grab loader. Ilustrasi tebang manual, semi mekanis, dan mekanis ditunjukkan pada gambar 1a, b dan c.Selama pengamatan di masa praktek lapangan, sebagian besar panen dilakukan dengan cara semi mekanis. Sementara panen dengan metode mekanis hanya dilakukan saat jumlah tebu di cane yard tidak memenuhi kapasitas giling. Namun, berdasarkan hasil wawancara dengan pihak pabrik, metode panen yang terbaik yakni panen manual. Metode panen dengan tenaga manual akan menghasilkan batang tebu yang lebih bersih. Proses panen dengan metode semi mekanis banyak dilakukan karena tenaga panen tidak mencukupi untuk melakukan semua proses di lahan. Gambar 1a Tebang Manual Gambar 1b Tebang Semi Manual

Gambar 1c Tebang Mekanis2. Stasiun PersiapanProses persiapan tebu sebelum memasuki tahap penggilingan dilakukan di stasiun persiapan. Proses persiapan tersebut diantaranya penimbangan, pembongkaran, dan pengecilan ukuran tebu sebelum memasuki stasiun penggilingan. Skema stasiun persiapan dapat dilihat pada Gambar 2.

Stasiun PenggilinganSlingTimbanganCane Yard Cane TableTruck TiplerCane TableCane TableHilloCane CutterUnigratorHillo

Gambar 2 Skema Stasiun Persiapana. PenimbanganTebu dari lahan diangkut menuju pabrik dengan beberapa tipe kendaraan seperti dump truck, truk, dan trailer (TL). Kemudian kendaraan yang masih berisi tebu ditimbang dan bobot bruto dicatat. Setelah itu, kendaraan melalui proses pembongkaran dan tebu dipindahkan ke cane yard sehingga kendaraan menjadi kosong. Kendaraan tanpa tebu kemudian ditimbang kembali untuk didapat bobot tarranya. Bobot netto tebu didapat dari pengurangan antara bobot bruto dengan tarra. Tiap supir truk pengangkut tebu akan mendapat kertas Surat Perintah Tebang Angkut (SPTA) yang berisi jumlah ton tebu yang diangkut dan nomor polisi kendaraan. Hal ini dilakukan sebagai bukti data tebu masuk yang disimpan oleh pegawai.

b. PembongkaranPembongkaran tebu dari kendaraan pengangkut menuju cane yard dapat dilakukan dengan tiga cara, yakni tali sling (alat pengait dari kawat), hillo, dan truck tippler. Di sini, posisi tumpukan tebu ditata agar cane yard dapat memuat tebu secara maksimal. Alat untuk mengatur posisi tebu di cane yard dinamakan cane stacker. Sling merupakan tali kawat yang diikatkan pada muatan tebu dalam truk. Kemudian, truk melaju sehingga tebu yang telah terikat dengan sling akan tertarik dan jatuh ke cane yard. Hillo merupakan alat pembongkaran berupa katrol dan hanya diaplikasikan pada truk yang diangkut dengan truk. Ujung tali diikatkan pada tebu dan diangkat dengan katrol kemudian dipindahkan ke cane table. PG Subang memiliki dua unit hillo yakni hilloA dan hilloB. Hillo A digunakan saat pabrik sedang melakukan proses giling dan tebu yang telah dibongkar langsung diletakkan di cane table. Sementara hillo B digunakan saat proses giling sedang berhenti dan tebu diletakkan di cane yard. Gambar Hilo A disajikan pada gambar 3b. Truck tippler merupakan alat pembongkaran dengan memanfaatkan gaya gravitasi. Truk diletakkan di atas tippler, kemudian tippler dimiringkan kurang lebih 45o hingga tebu dalam truk jatuh ke dalam cane table. Gambar tippler disajikan pada gambar 3a.

Gambar 3a Tippler Gambar 3b Hilo A

c. PenyimpananTebu mengalami penyimpanan sementara di satu lapangan besar bernama cane yard dengan luas 2.230 ha. Cane yard terdiri dari 8 petak dan mampu menampung 5.600 ton tebu per hari. Tebu di dalam cane yard dikelompokkan berdasarkan lama tebu di dalam cane yard. Tebu yang baru masuk diberi bendera warna hijau, tebu hari kedua diberi bendera kuning, tebu hari ketiga diberi bendera warna merah, dan tebu yang telah melebihi waktu tiga hari diberi bendera hitam. Sistem yang digunakan dalam pemasukan tebu ke dalam proses penggilingan yakni FIFO (First In First Out). FIFO berarti tebu yang pertama masuk akan digiling pertama. Namun, hal ini tidak diaplikasikan jika ada tebu yang dipanen dengan cara dibakar. Rata-rata waktu tunggu tebu di cane yard PG Subang yakni 2 hari. Tebu bakaran diprioritaskan untuk digiling terlebih dahulu karena kerusakan semakin tinggi jika waktu tunggunya lama. Penggilingan tebu yang dibakar harus dicampur dengan dengan tebu yang tidak dibakar agar penurunan rendemen yang terjadi tidak terlalu tinggi. Pengaturan tata letak tebu dalam cane yard dilakukan dengan menggunakan cane stacker. Gambar cane yard ditunjukkan pada Gambar 4a sementara cane stacker ditunjukkan pada Gambar 4b.

Gambar 4a Cane Yard Gambar 4b Cane Stacker

d. Persiapan menuju penggilinganTebu akan memasuki stasiun penggilingan setelah mengantri di cane yard. Tebu-tebu yang siap giling dipindahkan ke dalam cane teble dan diatur jumlahnya sebelum memasuki penggilingan. Hal ini dilakukan untuk penyesuaian kapasitas dalam mesin giling. Cane table yang berisi tebu ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5 Cane Table

3. Stasiun PenggilinganPenggilingan merupakan proses pemerahan nira dari dalam tebu. Proses pemerahan harus dilakukan secara optimal agar nira dapat terperah secara optimal. Tahapan proses penggilingan tebu yang dilakukan di PG Subang yakni pengecilan ukuran, penumbukan, dan pemerahan nira. Tebu mengalami pengecilan ukuran dan penumbukan hingga berbentuk sabut. Hal ini dilakukan agar pemerahan nira dapat dilakukan dengan lebih mudah. Kemudian sabut-sabut tersebut diperah agar nira keluar dari dalam sabut. Skema stasiunpenggilingan ditunjukkan pada Gambar 6.

Gilingan ISerabut tebuGilingan IIGilingan IIIGilingan IVAmpasImbibisi gilingan IIIImbibisi gilingan IVAir 700CNPPNPLNM

Gambar 6 Skema Stasiun Penggilingan

a. Pengecilan ukuranTebu mengalami pengecilan ukuran di dalam cane cutter. Alat ini berupa pisau yang berputar dan dilewati oleh batang- batang tebu sehingga batang tebu terpotong-potong menjadi ukuran yang lebih kecil.

b. PenumbukanBatang tebu yang telah terpotong akan mengalami proses penumbukan dalam unigrator yang tertutup sehingga bentuknya berubah menjadi serabut tebu. Hal ini dilakukan untuk mempermudah proses pemerahan nira dari dalam batang tebu. Tebu yang telah melalui unigrator akan tampak seperti pada Gambar 7.

Gambar 7 Tebu setelah melalui unigrator

c. PenggilinganPG Subang mempunyai empat unit mesin penggilingan yang digerakkan oleh turbin dengan tekanan dan kecepatan yang berbeda tiap unitnya. Keempat unit mesin penggiling tersebut terhubung secara seri. Tenaga penggerak turbin sendiri berasal dari uap baru yang dihasilkan oleh boiler. Tiap unit penggiling terdiri dari tiga buah roll (atas, depan, belakang). Penggilingan dilakukan hingga empat tahap supaya nira yang diperoleh mencapai maksimal. Berikut merupakan bagan proses penggilingan. Gambar mesin penggilingan di PG Subang ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 8 Mesin Penggiling

Serabut tebu mengalami penambahan kapur sebelum memasuki penggilingan pertama. Penambahan kapur merupakan tahap pre-liming, yakni peningkatan pH dalam jumlah sedikit. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kerusakan nira akibat inversi. Nilai pH yang rendah akan merusak ikatan kimia disakarida pada sukrosa dalam nira menjadi bentuk monosakarida (glukosa dan fruktosa). Gula dalam bentuk monosakarida tidak mampu membentuk kristal sehingga akan menurunkan rendemen akhir dari SHS. Selain penambahan kapur, nira juga ditambahkan dengan bioset, yakni bahan anti bakteri. Hal ini dilakukan untuk mencegah pertumbuhan bakteri penghasil enzim invertase yang akan merusakan ikatan disakarida pada sukrosa. Serabut tebu memasuki penggilingan pertama melalui conveyor. Kemudian nira mengalami proses penggilingan pertama. Nira yang berhasil terperah dialirkan menuju bak penampungan nira. Nira hasil penggilingan pertama dinamakan nira perahan pertama (NPP). Sementara itu, ampasnya diputar menuju gilingan kedua. Pada gilingan kedua, serabut tebu diberi tambahan air imbibisi supaya pemerahan nira lebih optimal. Air imbibisi yang digunakan diatur pada suhu 60-70 oC. Pada penggilingan kedua, air imbibisi berasal dari nira gilingan ketiga. Nira dialirkan menuju bak penampungan nira dan bergabung bersama NPP membentuk nira mentah (NM). Sementara ampashasil gilingan kedua dialirkan menuju penggilingan tiga. Ampas kemudian digiling kembali dengan air imbibisi yang berasal dari proses gilingan keempat. Nira hasil perahan ketiga dialirkan sebagai air imbibisi untuk gilingan dua, sementara ampasnya dialirkan menuju gilingan empat. Proses penggilingan di gilingan empat dilakukan dengan penambahan air imbibisi dari air kondensat. Nira yang dihasilkan akan dialirkan ke dalam gilingan tiga sebagai air imbibisi. Sementara ampas yang sudah tidak bisa dimanfaatkan dibawa menuju boiler sebagai bahan bakar.Standard Operasional Procedure (SOP) yang ditetapkan di stasiun penggilingan adalah sebagai berikut:1. Operasikan gilingan pada kecepatan minimal 120 ton tebu/jam 127 ton tebu/jam (pada sabut 14%)2. Operasikan turbin gilingan dengan kecepatan (HSRG Triveni Turbin 4200-4800 rpm) untuk menghindari stall atau over speed pada penggerak.3. Tekanan steam chest pada 12-14 kg/cm3 saat berbeban.4. Tinggi level cacahan pada elevator maksimal 20-225. Level pada hopper/ donnelly chute pada level 50 - 60 %, fluktuasi beban maksimal sekitar 10 %6. Pada saat mulai giling, tekanan hidrolik dioperasikan pada level 50-60 % tekanan maksimum, kemudian dinaikkan secara bertahap hingga maksimum (175 kg/cm3)7. Hindari memerah cacahan tebu/sabut dalam keadaan kering, harus ada imbibisi.4. Stasiun PemurnianProses pemurnian merupakan proses penghilangan padatan-padatan non gula (kotoran) dari nira. Padatan non gula dapat berupa zat organik maupun anorganik. Sumber padatan non gula dapat berasal dari tanah, daun, ampas tebu, maupun padatan terlarut lainnya. Pemurnian nira yang optimal akan produk akhir yang berkualitas dan memudahkan proses berikutnya. Nira yang telah melalui tahapan pemurnian dinamakan nira encer (NE). Pada prinsipnya, pemurnian dilakukan dengan menarik kotoran keluar dari nira kemudian diendapkan dan dipisahkan dari nira tersebut. PG Subang menerapkan proses defekasi dan sulfitasi dalam memurnikan nira. Defekasi merupakan proses pemurnian dengan menggunakan kapur dengan penambahan sedikit fosfat. Sementara sulfitasi merupakan proses pemurnian menggunakan kapur dan gas belerang (SO2). Rangkaian proses pemurnian yang diterapkan oleh PG Subang terdiri atas pemanasan 1, defekasi, sulfitasi, pemanasan 2, dan pengendapan. Skema stasiun pemurnian ditunjukkan pada Gambar 9.

AsamFosfat

NMRotary Vacuum FilterAmpas/ BlotongKotoranNira KotorGas Belerang (SO2)Juice Heater 2Juice Heater 3,4,5Juice Heater 1PengapuranFlokulanSulfur TowerKapur (Ca(OH)2)Bak PengendapanNE

Gambar 9 Skema Stasiun Pemurnian

a. Pemanasan 1Nira mentah hasil penggilingan ditimbang dan diperiksa kadar asam fosfatnya. Batas minimal kadar fosfat dalam nira mentah yakni 250 ppm. Jika kandungan fosfat di bawah 250 ppm, maka nira harus ditambahkan dengan asam fosfat. Setelah itu, nira akan memasuki juice heater 1. Berdasarkan SOP, nira dipanaskan di juice heater 1 pada suhu 75oC. Sebelum pemanasan dilakukan, kondensat, amoniak, dan gas-gas lain harus dikeluarkan dari juice heater. Hal ini disebabkan tujuan dari pemanasan tidak tercapai dan kualitas nira akan menurun jika zat-zat tersebut ikut dalam proses pemanasan. Selain itu, seluruh baud harus dipastikan dalamkondisi rapat agar tidak ada kebocoran. Pemanasan bertujuan untuk mematikan bakteri yang kemungkinan berhasil lolos dari bioset di stasiun penggilingan dan menurunkan viskositas. Gambar juice heater ditunjukkan pada Gambar 10.

Gambar 10 Juice Heater

b. DefekasiPada proses defekasi, nira mentah ditambahkan dengan kelebihan susu kapur. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pH dan pembentukan endapan. Bahan baku kapur yang digunakan di PG Subang yakni kapur tohor (CaO). Susu kapur terbuat dari kapur yang dilarutkan dalam air hingga mencapai kekentalan 12-15 Baume. Susu kapur ditambahkan pada nira dalam suhu tinggi. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kelarutan kapur dalam nira. Kapur akan menarik kotoran keluar dari nira. Kemudian kapur bereaksi dengan fosfat hingga membentuk endapan kalsium fosfat. Adapun reaksi pembentukan endapan kalsium fosfat adalah sebagai berikut.

Ca2+ + HPO42- CaHPO43Ca2+ + 2PO42- Ca3(PO4)2

Kemudian, nira yang telah bercampur dengan susu kapur dan mengandung endapan dialirkan menuju sulfur tower.

c. SulfitasiDi dalam sulfur tower, nira mentah diberi tambahan kapur tohor (CaOH) dengan kekentalan kurang lebih 30 Baume. Kapur ditambahkan untuk meningkatkan pH hingga 9-12. Setelah itu gas belerang dioksida (SO2)ditambahkan untuk menurunkan pH hingga nira memiliki pH netral (7-7,2). Selain itu, belerang juga berfungsi untuk menetralkan kelebihan susu kapur yang ditambahkan dan menurunkan viskositas nira. Gas belerang dioksida akan bereaksi dengan kapur tohor membentuk endapan kalsium sulfit dengan mengikuti persamaan berikut.

Ca(OH)2 + H2SO3 CaSO3 + 2 H2O

Jika terjadi penambahan gas belerang berlebih, maka endapan kalsium sulfit akan bereaksi dengan kelebihan gas belerang membentuk kalsium bisulfit terlarut dengan persamaan kimia sebagai berikut.

CaSO3 + H2SO3 Ca(HSO3)2

Natrium bisulfit akan terlarut dalam nira. Suhu tinggi akan kembali mengurai natrium bisulfit dan mengendapkan kalsium sulfit serta SO2. Belerang memiliki sifat asam dan merupakan zat pemucat yang kuat. Selain membantu pembentukan endapan, belerang juga berfungsi memucatkan zat-zat pembentuk warna pada nira dan mencegah terjadinya reaksi pembentukan warna pada proses evaporasi dan kristalisasi. Sulfur tower ditunjukkan pada Gambar 11.

Gambar 11 Sulfur Tower

d. Pemanasan 2 Setelah direaksikan dengan kapur dan belerang, nira kembali mengalami pemanasan. Hal ini dilakukan untuk penyesuaian suhu sebelum memasuki proses pengendapan. Pemanasan dilakukan hingga suhunya 105oC. SOP yang diberlakukan sama, yakni juice heater tidak boleh mengandung gas amonia, kondensat, dan gas gas lainnya.

e. PengendapanProses pengendapan dilakukan dalam door clarifier dalam kondisi suhu tinggi. Proses ini dilakukan dengan penambahan flokulan dalam suhutinggi. PG Subang menggunakan flokulan berjenis anion sebagai bahan penggumpal endapan-endapan yang telah terbentuk. Sementara penerapan suhu tinggi dilakukan untuk menurunkan viskositas. Door clarifier merupakan sebuah tangki yang dapat memisahkan endapan dengan nira. Terdapat bermacam-macam jenis clarifier, diantaranya Single Tray Clarifier dan Multi Tray Door Clarifier. PG Subang menerapkan penggunaan Multi Tray dalam proses pengendapan. Setelah terpisah, endapan dialirkan menuju Rotary Vacuum Filter. Sementara nira memasuki juice heater 3.

f. Rotary Vacuum Filter (RVF)Bagian nira yang kotor (bagian bawah door clarifier) ditarik menuju RVF. Endapan akan menempel pada permukaan RVF. Bagian dalam RVF merupakan udara dalam kondisi vakuum sehingga bisa menarik kembali bagian nira dari endapan kotor melalui filter di permukaan RVF. Sementara itu, bagian padatan akan mengering akibat panas pada permukaan dan diambil dengan pisau di bagian bawah RVF. Bagian padat tersebut dinamakan blotong. Bagian blotong kemudian dibuang sementara nira keluaran RVF akan kembali mengalami penyaringan dan dikembalikan ke dalam bak nira mentah untuk kembali dimurnikan. Produk akhir dari proses pemurnian yakni nira encer (NE). Gambar RVF ditunjukkan pada Gambar 12.

Gambar 12 Rotary Vacuum Filter

g. Pemanasan 3Di dalam juice heater, nira kembali dipanaskan hingga suhu 110oC untuk penyesuaian suhu sebelum memasuki evaporator.

5. Stasiun Penguapan (Evaporasi)Proses penguapan dilakukan menggunakan empat badan evaporator dengan memanfaatkan sistem quadrupple effect. Tujuan dari proses evaporasi yakni menghilangkan kadar air dari dalam nira. Sebelum memulai evaporasi, harus dipastikan bahwa tidak ada gas amonia sisa pemanasan dalam tabung. Nira berpindah dari satu badan ke badan yang lain akibat adanya perbedaan tekanan antar badan penguapan. Berdasarkan SOP, pemanasan pertama dilakukan pada tekanan 0,25 kg/cm2 dengan suhu 108oC. Kemudian mengalir menuju badan 2 dengan tekanan 15 cmHg pada suhu 98oC. Kemudian mengalir pada badan berikutnya pada tekanan 35 cmHg dengan suhu 85oC. Kemudian mengalir memasuki badan terakhir pada tekanan 60-62cmHg dengan suhu 60oC. Tekanan diatur menggunakan uap bekas pada proses penggilingan. Tekanan mengalami peningkatan dari badan satu hingga badan emat. Sementara suhu proses evaporasi mengalami penurunan dari badan 1 ke badan 4. Penguapan terjadi jika tekanan nira sama dengan tekanan di sekelilingnya. Proses menyamakan tekanan nira dengan udara di sekeliling dapat dilakukan dengan meningkatkan suhu. Pada badan 1, tekanan yang digunakan rendah sehingga suhu badan harus tinggi. Suhu tinggi ini dimanfaatkan untuk menurunkan tekanan nira sehingga memiliki tekanan yang sama dengan badan evaporator. Sementara pada badan kedua dan seterusnya, tekanan mengalami peningkatan. Oleh karena itu, peningkatan suhu mengalami penurunan karena pada suhu yang lebih rendah, tekanana nira sama dengan tekanan badan evaporator. Nira yang telah melalui proses evaporasi dinamakan nira kental 1 (NK 1).Kemudian, NK I kembali disulfitasi. Pada proses ini, kapur dan belerang kembali ditambahkan untuk memucatkan nira kental 1. Hal ini dilakukan karena adanya warna yang terbentuk setelah mengalami evaporasi. Selain itu, penambahan gas belerang juga akan menurunkan viskositas sehingga mempermudah proses kristalisasi. Reaksi yang terjadi sama dengan sulfitasi sebelumnya. Nira yang telah melalui proses sulfitasi II dinamakan nira kental 2 (NK 2). Evaporator di stasiun evaporasi ditunjukkan pada Gambar 13. Sementara skema stasiun pemurnian ditunjukkan pada Gambar 14.

Gambar 13 Evaporator

Evaporasi IEvaporasi IIEvaporasi IIIEvaporasi IVNK ISulfitasi IINENK IIUap Bekas PenggilinganUap Nira IUap Nira IIUap Nira IIIKondensator Uap AirUap Nira IVAir Kondensat

Gambar 14 Skema Stasiun Evaporasi

6. Stasiun Masakan (Kristalisasi)Memasak merupakan istilah yang digunakan di PG untuk menyebut proses kristalisasi. Pada stasiun ini, nira kental 1 dimasak dengan metode tertentu sehingga kadar gula dalam nira berhasil terperah dengan optimal dan terbentuk kristal-kristal gula SHS yang sesuai dengan SNI. Untuk menghasilkan butir kristal yang baik, proses kristalisasi harus dilakukan secara bertingkat. PG Subang menerapkan sistem A C D dalam tingakatan proses kristalisasi.PG Subang memiliki 8 unit pan masakan (5 pan msakan A, 1 pan masakan C, 2 pan masakan D) dengan dimensi tiap pan sebagai berikut. Pan masak 1 (A) : LP = 300 m2, Isi = 50 m3 Pan masak 2 (A) : - Pan masak 3 (A) : LP = 150 m2, Isi = 25 m3 Pan masak 4 (A) : LP = 240 m2, Isi = 40 m3 Pan masak 5 (A) : LP = 240 m2, Isi = 40 m3 Pan masak 6 (C) : LP = 240 m2, Isi = 40 m3 Pan masak 7 (D) : LP = 240 m2, Isi = 40 m3 Pan masak 8 (D) : LP = 240 m2, Isi = 40 m3Pemasakan nira kental dimulai dari pengaturan badan masakan menjadi vakum, pemasukan bahan masukan ke dalam badan yang telah vakum, penambahan bibit, pembesaran kristal, dan pengeluaran produk masakan menuju stasiun putaran (sentrifuse). Nira kental sendiri mengandung sukrosa sehingga dapat disebut sebagai larutan sukrosa. Selama bahan masakan berada dalam pan masak, nira kental dan bahan masakan lainnya dimasak hingga mencapai tahap lewat jenuh. Pada tahap ini, apabila sukrosa dimasukkan ke dalam larutan, sukrosa tersebut tak mampu lagi larut dalam larutan tersebut. Larutan nira dalam kondisi lewat jenuh akan terjadi 3 fase, antara lain meta mantap, intermediate, dan labil. Pada daerah meta mantap, molekul sukrosa dalam larutan belum bisa membentuk inti kristal. Namun, penambahan inti kristal pada larutan ini akan menyebabkan penempelan sukrosa pada badan inti kristal tersebut. Pada daerah intermediate, penambahan inti kristal ke dalam larutan akan menyebabkan penempelan sukrosa pada badan inti kristal dan juga pertumbuhan inti kristal baru dari molekul sukrosa. Pada daerah labil, molekul sukrosa dalam larutan sudah mampu membentuk inti kristal sendiri tanpa pancingan inti kristal.Proses kristalisasi di PG Subang menggunkan metode full seeding, yakni memasak nira kental dalam pan masak hingga kejenuhan masakan mencapai meta mantap. Setelah itu, penambahan inti kristal dilakukan sehingga molekul-molekul sukrosa dalam nira kental menempel pada inti kristal tersebut. Kemudian, waktu masak dan HK diatur supaya terbentuk ukuran kristal sukrosa yang diinginkan. Inti kristal sendiri terdiri atas empat jenis, yakni FCS, bibit D, bibit C, dan bibit A. FCS merupakan inti kristal yang digunakan untuk memancing terbentuknya inti kristal pada pemasakan bibit D. Bibit D digunakan sebagai bahan masakan pada masakan D untuk memancing pertumbuhan kristal. Bahan masakan untuk bibit D antara lain NK II sebanyak 400 HL, FCS sebanyak 150 ml, stroop A dan klare D sebanyak 400 HL. Stroop A dan klare D dimasukkan secara kontinyu tergantung kerapatan kristal. Bahan-bahan tersebut dimasak pada kondisi pan vakum 64 cmHg dan suhu badan 55-65oC. Bibit D yang dihasilkan memiliki HK senilai 65-68 sejumlah 400 L. Sebanyak 200 HL langsung dimasukkan ke pan masakan D sementara sisanya disimpan sebagai bibit untuk masakan berikutnyaBibit C merupakan inti kristal yang dimasukkan pada masakan C sebagai pancingan untuk terbentuknya inti kristal pada masakan C. Bahan masakan untuk bibit C antara lain magma D2 sebanyak 100 HL, NK II dan stroop A secara diskontinyu. Sementara dengan metode lain yang dinamakan sistem Bombay, bahan masakan dicampur dengan komposisi NK II 200 HL, magma D2 100 HL, NK II dan stroop A sebanyak 400 HL. Bahan-bahan tersebut dimasak dengan kondisi yang sama seperti pemasakan bibit D. Bibit C yang dihasilkan memiliki HK senilai 74-76. Sebanyak 200 HL langsung dimasukkan ke pan masakan D sementara sisanya disimpan sebagai bibit untuk masakan berikutnya.Proses inti dari masakan sendiri terdiri dari pemasakan masakan A, C, dan D. Sebelum mengawali prose pemasakan, pan masakan disiapkan dalam kondisi siap masak. Berdasarkan SOP, proses persiapan pan masakan A, C dan D diatur pada kondisi vakum 64 cmHg dan suhu 55-65oC. Masakan A yang memasuki stasiun putaran akan menghasilkan gula SHS. Bahan masakan A terdiri dari NK 2 atau klare SHS sebanyak sebanyak 400 HL dan bibit yang berasal dari magma C sebanyak 150 HL. Berdasarkan SOP, HK masakan A dikendalikan hingga bernilai >82 dengan brix 92 hingga 94 %. Waktu masak yang optimum untuk kondisi masak yang sesuai standar yakni 2,5 jam. Masakan A menghasilkan stroop A dan magma A. Stroop A merupakan produk masakan A yang masih bisa dikristalkan jika dimasak di pan masakan berikutnya. Oleh karena itu, stroop A dimanfaatkan kembali dalam pan masakan C dan diinput ke dalam pan masak C secara kontinyu. Sementara magma A merupakan produk masakan A yang sudah mulai menunjukkan terbentuknya kristal. Magma kemudian diputar kembali untuk menghasilkan gula SHSMasakan C merupakan masakan dari sisa masakan A yang belum mengkristal. Bahan masakan C terdiri atas stroop A sebanyak 200 HL dan bibit C sebanyak 400 HL. Berdasarkan SOP, HK masakan C yang dikendalikan hingga bernilai 66-70 dengan brix 94-96 jam. Selain itu, lama waktu masaka yang dibutuhkan yakni 4 jam. Nilai HK di bawah range yang ditetapkan akan menyebabkan peningkatan lama waktu masak dan kurang baiknya warna kristal. Sementara nilai HK masakan C yang di atas range menyebabkan sulitnya pengendalian HK masakan D. Masakan C yang diputar menghasilkan stroop C dan magma C. Stroop C merupakan produk masakan C yang masih bisa dikristalkan jika dimasak di pan masakan berikutnya. Oleh karena itu, stroop C dimanfaatkan kembali sebagai bahan masakan D. Sementara magma C merupakan produk masakan C yang sudah mulai menunjukkan terbentuknya kristal. Oleh karena itu, magma C dimanfaatkan sebagai bahan masak bibit A untuk menghasilkan bibit dengan ukuran yang lebih besar.Masakan D merupakan masakan dari sisa masakan C yang belum mengkristal. Berdasarkan SOP, bahan masakan D terdiri atas bibit D sebanyak 200 HL, stroop C dan klare D dengan jumlah yang disesuaikan dengan kerapatan kristal. Input dari stroop C dan klare D dilakukan secara bersamaan dan kontinyu. Penurunan HK pun harus dilakukan pada masakan D. Berdasarkan SOP, HK masakan D diturunkan higga mencapai kisaran 58-60 dengan brix 96-98 %. Lama waktu masak yang dibtuhkan yakni 6 8 jam. Selama proses pemasakan, input bahan masakan D seperti stroop C dan bibit FCS harus diperhatikan agar target nilai HK dapat tercapai. Selain target nilai HK, ukuran kristal pun harus diperhatikan supaya mencapai 0,2-0,3 mm. Nilai HK di atas range akan menyebabkan tingginya kadar gula dalam molases. Sementara nilai HK di atas range akan menghasilkan ukuran kristal (magma D) di atas range normal.Pan masakan di stasiun masakan ditunjukkan pada gambar 15a sementara pan masakan bibit ditunjukkan pada Gambar 15b.

Gambar 15a Pan Masakan Gambar 15b Pan Masakan Bibit

7. Stasiun Putaran (sentrifuse)Sentrifuse merupakan proses pemisahan gula dengan molases (tetes). Molases merupakan produk masakan yang tidak mampu dikristalkan. Proses putaran dilakukan terhadap masing-masing masakan yang telah masak. Masakan A turun menuju putaran dan terpisah antara stroop A dengan magma A. Magma A kembali diputar di putaran SHS sementara stroop A sebagian ditarik menuju masakan C untuk kembali dimasak dan sebagian dimasak menjadi inti kristal A. Magma A diputar sehingga menghasilkan gula SHS dan klare SHS. Klare SHS dikembalikan ke pan masakan A untuk dimasak.Masakan C turun menuju putaran dan terpisah antara stoop C dan magma C. Stroop C sebagian ditarik menuju masakan D dan sebagian dimasak menjadi inti kristal C. Sementara magma C ditarik untuk dimasak menjadi inti kristal A.Masakan D turun menuju putaran D1 dan terpisah antara magma D1 dengan molases. Magma D1 kembali diputar di putaran D2, sementara molases dipisahkan dan menjadi limbah dari produksi gula. Pada putaran D2, magma terpisah menjadi klare D2 dan magma D2. Klare D2 sebagian ditarik menjadi bahan masakan D dan sebagian dimasak untuk menjadi inti kristal D. Sementara magma D2 menjadi bahan masakan inti kristal C. Selain itu, saat HK NK 2 menunjukkan nilai yang kecil, magma kembali dilebur di dalam NK 2.Proses pemutaran secara keseluruhan terdiri dari proses persiapan, pengisian masakan, pemutaran (low, high, spin), pengereman, dan pengkerikan. Masing-masing proses disetting pada waktu tertentu. Kecepatan putar dan lama waktu pengoperasian untuk masing-masing bahan masakan berbeda. Masakan D dan C diputar di putaran low grade centrifugal (LGC). Putaran C ditunjukkan pada Gambar 16a. Sementara masakan A dan magma diputar di putaran high grade centrifugal (HGC). Putaran A ditunjukkan pada gambar 16b. Berikut merupakan daftar inventaris mesin putaran dan SOP waktu putar yang diterapkan PG Subang untuk masing-masing putaran.a. Jumlah sentrifuse : 17 unitb. Low Grade Centrifugal (LGC) : 10 Unit Putaran D1 5 unit Putaran D2 2 unit Putaran C 3 unit. c. High Grade Centrifugal (HGC) : 7 Unit Putaran A 4 unit Putaran SHS 3 unitd. Sugar Driyer : 1 unite. Palung A : 5 unit (yang dipakai hanya 4 unit saja = 45 m3)f. Palung C : 1 unit (45 m3)g. Palung D : 7 unit (40 m3)

SOP Waktu Putar HGC1. Mulai HGC : 10 detik2. Pengisian gula: 15 detik3. Low Speed: 10 detik4. Medium Speed: 20 detik5. High Speed: 30 detik6. Spinning: 65 detik7. Brake (pengereman): 15 detik8. Skrap (pembersihan): 15 detik

Gambar 16a Putaran CGambar 16b Putaran A

8. Stasiun Pengemasan (packing)Produk gula SHS yang telah jadi kemudian dialirkan menuju sugar dryer untuk proses penghilangan kadar air. Hal ini dilakukan agar gula menjadi lebih tahan lama dan tidak lengket saat akan dikemas. Seteleh melalui pengeringan, gula disaring dalam sebuah alat bernama vibrating screen. Hal ini bertujuan untuk memisahkan gula berdasarkan ukurannya. Gula yang berukuran terlalu besar atau kecil tidak akan lolos saring dan kembali dilebur. Hasil leburan akan dikembalikan pada NK 2 jika HK NK 2 terlalu kecil. Gula yang lolos saring kemudian masuk ke dalam ruang pengemasan untuk dikemas dalam dua jenis kemasan, yakni karung berukuran 50 kg dan kemasan retail ukuran 1 kg. Kebersihan dan suhu ruang pengemasan harus dijaga untuk menjaga kualitas gula sebelum memasuki kemasan. Gula terkemas kemudian dipindahkan ke gudang.

Penurunan RendemenRendemen tebu merupakan kadar sukrosa yang terdapat dalam nira tebu dan terolah menjadi kristal-kristal gula. Sukrosa merupakan gula jenis disakarida yang memiliki kemampuan untuk mengkristal setelah melalui beberapa tahap proses pengolahan. Pengukuran rendemen akhir dilakukan dengan membagi bobot kristal gula yang dihasilkan dengan bobot tebu giling dan dikonversi menjadi satuan persen.Penurunan rendemen tebu dapat disebabkan oleh kehilangan bahan baku dan reaksi kimia yang menurunkan kadar sukrosa. Kehilangan bahan baku dapat terjadi saat penebangan, pemuatan tebu, dan transportasi dari kebun ke cane yard. Terjadinya kehilangan bahan baku sangat tergantung pada metode panen yang dilakukan. Pada proses panen dengan metode tebang manual, tebu ditebang secara manual. Penebangan dilakukan hingga bagian dasar batang. Selain itu, seluruh bagian selain batang seperti daun dan serasah dihilangkan dari batang. Seluruh bagian batang dimuat secara manual pada kendaraan. Tidak banyak kehilangan yang terjadi pada tebang manual. Pada proses panen dengan metode tebang semi mekanis, kehilangan banyak terjadi saat proses pemuatan. Tebu yang telah dipanen ditumpuk tanpa diikat di salah satu sisi kebun. Tidak ada proses pembersihan batang yang dilakukan seperti pada metode tebang manual. Hal ini menyebabkan tebu yang dimuat dengan grab loader memilki kondisi fisik yang kurang baik. Tebu dimuat pada kendaraan menggunakan grab loader. Penggunaan grab loader menyisakan sekitar seperdelapan tumpukan tebu di kebun. Tidak ada tindak lanjut terhadap tebu yang gagal dimuat. Pada proses panen dengan metode mekanis, terjadi kehilangan bahan baku tertinggi. Sekitar 5-7 cm bagian bawah batang tidak ikut ditebang. Pemuatan dilakukan dengan menjatuhkan potongan potongan tebu dari elevator pada harvester menuju kendaraan pengangkut. Bagian tebu yang dijayuhkan pada kendaraanPada aplikasinya, banyak potongan tebu yang tidak jatuh tepat ke dalam kendaraan pengangkut dan jatuh ke tanah. Hal ini disebabkan kurang tepatnya posisi antara harvester dengan kendaraan pengangkut. Tidak ada tindak lanjut yang dilakukan terhadap tebu yang terjatuh. Sementara pada proses transportasi, kehilangan bahan baku terjadi akibat pemuatan tebu yang melebihi kapasitas kendaraan pengangkut. Hal ini mengakibatkan terjatuhnya batang-batang tebu dari kendaraan. Proses panen dengan metode manual dan menghasilkan batang tebu yang bersih dan siap muat. Sementara Penurunan rendemen dapat pula diakibatkan oleh menurunnya kadar sukrosa dalam nira. Penurunan ini terjadi akibat adanya reaksi kimia dalam nira. Sukrosa merupakan gula jenis disakarida yang tersusun atas satu molekul glukosa dan satu molekul fruktosa yang bergabung dalam ikatan kimia yang spesifik (Foyer et al, 1997). Ikatan ini dapat terputus dan merusak struktur sukrosa menjadi gula sederhana (invert) komponen penyusunnya, yakni glukosa dan fruktosa (Rachma, 2006). Selain itu, kerusakan susunan sukrosa pun dapat menyebabkan terbentuknya dekstran. Senyawa gula hasil degradasi sukrosa dinamakan gula pereduksi.Proses rusaknya ikatan kimia tersebut dinamakan reaksi inversi. Hal ini dapat terjadi akibat waktu tunggu tebu yang lama sebelum memasuki proses dalam pabrik. Waktu tunggu yang lama diakibatkan oleh rusaknya salah satu mesin di dalam pabrik (down time) yang mempengaruhi seluruh proses produksi, termasuk keterlambatan tebu memasuki stasiun penggilingan. Nira memiliki sifat alami yang asam dengan pH 5 dan mengandung enzim invertase. Degradasi sukrosa dapat disebabkan oleh enzim penghidrolisis sukrosa, baik yang berasal dari kandungan alami nira maupun dihasilkan oleh mikroorganisme (Rachma dkk, 2006). Enzim tersebut antara lain invertase dan dekstranusukrase. Saccharomyces cereviseae merupakan mikroorganisme yang dapat menghasilkan enzim invertase. Degradasi sukrosa juga dapat diakibatkan oleh aktivitas enzim dekstranusukrase yang dihasilkan oleh Leuconostoc mesenteroides. Aktivitas dari enzim akan optimum saat berada pada pH 7 (Rahman et al, 2004 pada Rachma, 2006) dan suhu 60oC. Pada pH di atas 7 dan suhu di atas 60oC, aktivitas enzim mengalami penurunan. Mikroorganisme ini dapat berasal dari kotoran-kotoran yang ikut terbawa bersama tebu seperti tanah dan daun. Kondisi tebu yang kotor selama tebu berada dalam waktu tunggu sebelum memasuki proses pabrikasi akan menyebabkan aktifnya enzim-enzim pendegradasi sukrosa. Selain akibat aktivitas enzim, reaksi degradasi atau dapat disebut juga dengan hidrolisis dapat terjadi akibat kondisi asam. Pada kondisi asam yang ekstrim, ikatan dalam sukrosa dapat rusak meskipun tanpa enzim. Sementara pada kondisi lain, seperti pH saat bernilai tidak jauh di bawah 7, degradasi dapat terjadi akibat aktivitas enzim. Namun, aktivitas enzim tidak dalam kondisi optimum. Proses degradasi sukrosa dapat dihambat dengan menghambat kerja enzim dan lingkungan yang basa. Selain itu, cara lain yang dapat dilakukan yakni peningkatan suhu. Pemanasan pada suhu 55oC dapat melemahkan kinerja bakteri (Honig, 1953 dalam Sumantyo dan Haristuji). Sementara peningkatan suhu hingga di atas 100oC dapat mematikan bakteri. Penghambatan degradasi sukrosa dapat mengurangi terjadinya penurunan rendemen.Efektifitas produksi gula dapat dinilai salah satunya dari rendemen yang dihasilkan. Pengamatan terhadap rendemen yang dihasilkan di PG Subang dilakukan selama dua periode pada musim giling tahun 2014. Periode pengamatan tersebut yakni periode 2 pada tanggal 16 Juni-30 Juni 2014 dan periode 3 pada tanggal 1 Juli-15 Juli 2014. Lama waktu satu periode yakni 15 hari. Pengamatan dilakukan untuk menganalisis penurunan rendemen sejak tebu berada di kebun hingga diolah menjadi kristal gula siap jual.

Penurunan Rendemen Periode 2Total tebu yang dipanen selama periode 2 yakni 28.098 ton. Tebu yang dipanen dengan metode manual yakni sebanyak 11.092,85 ton. Tebu yang dipanen dengan metode semi mekanis yakni sebanyak 11.596,24 ton. Sementara total tebu yang dipanen dengan metode mekanis yakni 5.408,91 ton. Metode panen mulai dari yang paling banyak digunakan berturut-turut adalah metode tebang semi mekanis, tebang manual, dan tebang mekanis dengan prosentase 41,27 %, 39,48 %, dan 19,25 %. Metode tebang merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penurunan rendemen. Berikut merupakan grafik penurunan yang terjadi selama periode 2.

Grafik 1. Penurunan Rendemen Periode 2

Berdasarkan grafik, nilai penurunan rendemen tertinggi terjadi pada saat tebu berada di cane yard hingga diolah menjadi NPP. Proses ini terjadi selama penyimpanan tebu di cane yard. Penurunan yang terjadi mencapai 1, 55. Urutan berikutnya dari yang tinggi hingga rendah yakni penurunan rendemen dari kebun ke cane yard dan NPP menjadi gula. Penurunan yang terjadi sebesar 0,51 dan 0,31. Penurunan rendemen dari kebun ke cane yard pada periode 2 dapat disebabkan oleh loss tebu yang tidak terangkut ke dalam truk. Pada metode TSM, tidak semua tebu ikut termuat ke dalam truk. Pada metode mekanis, batang tebu bagian bawah tidak ikut terpanen. Selain itu, inversi dapat terjadi pada tebu selama diantarkan ke pabrik.Pada periode 2, terjadi off giling pada tanggal 16-18 Juni 2014. Sementara, proses penebangan tetap berjalan seperti biasa. Pada tanggal 15 Juni, jumlah tebu sisa yang tidak ikut digiling sebanyak 3310,8 ton. Tebu sisa tanggal 15 disimpan di cane yard hingga proses penggilingan berikutnya berlangsung. Jumlah tebu yang dipanen dan ditampung di cane yard pada tanggal 16, 17, dan 18 Juni yakni sebanyak 1521.7, 933.4, dan 74.3 ton. Total jumlah tebu di cane yard hingga tanggal 18 Juni yakni 5840,1 ton. Pada tangal 19 Juni, jumlah tebu bertambah sebanyak 13.4 ton dan penggilingan kembali dilaksanakan. Namun, mesin gilingan masih dalam tahap penyesuaian sehingga jumlah tebu yang dapat digiling hanya 383 ton. Berdasarkan data ini, terdapat lebih dari 50 % tebu mengalami waktu tunggu di cane yard mengalami waktu tunggu selama 5 hari akibat down time. Proses penggilingan setelah tanggal 19 Juni relatif lancar. Namun, penumpukan tebu akibat off giling berimbas pada waktu tunggu yang dialami tebu masuk berikutnya. Hal ini disebabkan adanya prioritas terhadap tebu yang berada di cane yard untuk digilingterlebih dahulu. Jumlah tebu sisa hingga tanggal 19 Juni yakni sebanyak 5.470,5 ton. Namun, kapasitas penggilingan maksimum hanya 3.000 ton per hari. Hingga tanggal 21 Juni, waktu tunggu tebu yang terjadi yakni 4 hari. Sementara hingga tanggal 24 Juni, waktu tunggu yang terjadi yakni 3 hari. Waktu tunggu tebu dari tanggal 25 hingga 29 Juni yakni 2 hari.Di awal, telah disebutkan bahwa metode panen tertentu dapat mempengaruhi jumlah rendemen. Panen dengan metode semi mekanis (TSM) menghasilkan tebu yang kotor. Sementara tebu yang dipanen dengan metode mekanis dan manual menghasilkan tebu yang lebih bersih. Kotoran yang terbawa bersama tebu saat dimuat merupakan tempat yang baik untuk pertumbuhan bakteri penginvert sukrosa seperti bakteri Leuconostoc mesenteroides. Bakteri akan bekerja selama proses pengangkutan tebu ke pabrik dan waktu tunggu di cane yard sebelum memasuki penggilingan. Semakin panjang waktu tunggu yang dialami tebu, semakin panjang waktu terjadinya reaksi inversi. Selain akibat keberadaan bakteri, reaksi inversi dapat disebabkan kandungan enzim invertase yang secara alami terkandung dalam nira. Hal ini berakibat pada semakin tingginya penurunan rendemen pada tebu. Pada periode 2, metode tebang yang paling banyak digunakan yakni TSM dengan prosentase 41,27 %. Hal ini menyebabkan banyaknya kotoran sekaligus bakteri yang terbawa dengan tebu. Selain itu, waktu tunggu yang dialami tebu cukup panjang. Pada 3 hari pertama, waktu tunggu tebu mencapai 5 hari. Pada 3 hari kedua, waktu tunggu tebu mencapai 4 hari. Pada 3 hari kedua, waktu tunggu tebu mencapai 3 hari. Kemudian pada hari kesepuluh hingga akhir periode, waktu tunggu tebu yakni 2 hari. Kondisi penyimpanan tebu dan lama waktu tunggu memberikan pengaruh yang amat tinggi terhadap penurunan jumlah rendemen. Tebu yang disimpan dalam kondisi kotor dan jangka waktu lama menyebabkan terjadinya reaksi inversi akibat aktivitas bakteri dalam waktu yang panjang. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan rendemen dalam jumlah tinggi. Proses pengolahan tebu dalam pabrik juga turut memberi dampak penurunan rendemen. Pada tahap awal proses penggilingan, kapur dan biocide ditambahkan pada nira untuk meminimalisir reaksi inversi. Penambahan kapur berfungsi untuk meningkatkan pH nira, sementara penambahan biocide berfungsi untuk mematikan bakteri. Namun, penambahan kapur pada tebu yang akan digiling tidak meningkatkan nilai pH secara signifikan. Kondisi pH nira tetap dalam suasana asam. Berikut grafik pH nira selama proses pengolahan dalam pabrik yang disajikan pada Grafik 2

Grafik 2 Nilai pH Nira dalam Pabrik Periode 2Selama proses pengolahan di dalam pabrik, nilai pH nira selalu berada di bawah angka 7. Hal ini menunjukkan bahwa nira selalu berada dalam suasana asam meskipun tingkat keasamannya berkurang pada tiap tahapan proses. Kondisi asam menyebabkan reaksi inversi pada sukrosa dalam nira. Bakteri tidak lagi menyebabkan reaksi inversi karena telah disterilisasi dengan penambahan biocide pada proses penggilingan. Inversi yang terjadi dapat dianalisis melalui kadar gula pereduksi yang terbentuk. Berikut merupakan grafik kadar gula pereduksi nira selama pengolahan di dalam pabrik yang disajikan pada Grafik 3

Grafik 3 Kadar Gula Pereduksi Periode 2Kadar gula pereduksi mengalami peningkatan pada tiap tahap proses pengolahannya. Di awal telah dijelaskan bahwa gula pereduksi merupakan gula yang terbentuk dari degradasi sukrosa. Peningkatan kadar gula pereduksi menjunjukkan adanya kehilangan jumlah sukrosa. Hal ini berakibat pada turunnya nilai rendemen. Pada proses penggilingan,gula pereduksi mengalami peningkatan dari 13,92 hingga 15,11. Penggilingan dilakukan dengan penambahan kaporit untuk meningkatkan pH. Selain itu, dilakukan pula penambahan air imbibisi pada suhu 60-70oC dan biocide untuk membunuh bakteri. Namun, peningkatan pH yang terjadi tidak signifikan sehingga reaksi inversi masih terjadi. Pada proses pemurnian, pH ditingkatkan dengan penambahan kapur hingga menjadi basa dan diturunkan kembali dengan disemprotkan gas belerang. Penambahan gas belerang menurunkan pH hingga angka 6,67. Hal ini tetap menimbulkan suasana asam sehingga terjadi inversi. Proses berikutnya yakni evaporasi dan sulfitasi II. Suhu yang digunakan pada kedua proses ini sangat tinggi. Selain itu, proses sulfitasi II dilakukan dengan kembali menambahkan gas belerang yang berakibat pada penurunan pH. Suhu tinggi dan suasana asam menyebabkan penurunan rendemen. Penurunan rendemen yang terjadi di dalam proses pabrikasi tidak menunjukkan angka yang tinggi. Hal ini disebabkan adanya pengendalian yang dilakukan pada kondisi pengolahan. Penurunan rendemen di dalam pabrik juga disebabkan adanya ketidakoptimalan dalam proses pemurnian. Pada periode 2, jumlah tebu yang dipanen dengan metode TSM menempati posisi teratas yakni 41,27 %. Di awal telah disebutkan bahwa panen dengan metode TSM menghasilkan tebu yang paling kotor. Saat memasuki prosespenggilingan, kotoran dalam tebu ikut terbawa dan tergiling bersama tebu. Hal ini menyebabkan nira menjadi keruh dan bercampur dengan lumpur. Kondisi nira yang penuh lumpur memperberat kerja yang harus dilakukan oleh door clarifier dan rotary vacuum filter. Kedua alat tersebut belum mampu dioperasikan secara optimal untuk nira yang sangat kotor seperti pada periode 2.Di akhir proses produksi, nira kental mengalami kristalisasi. Pembentukan kristal pada proses kristalisasi dipengaruhi salah satunya oleh kekentalan masakan dan kandungan gula invert. Keberadaan gula invert dalam larutan mengahambat pembentukan kristal (Anonimous, 1999). Gula invert memiliki kemampuan untuk membentuk suatu zat amorf yang melapisi permukaan kristal sukrosa sehingga menghambat sukrosa untuk bergabung dengan inti kristal. Semakin banyak kandungan gula invert dalam produk masakan, pembentukan kristal semakin terhambat. Kristal gula yang terbentuk merupakan produk akhir gula kristal. Semantara larutan yang tidak dapat mengkristal akan terpisah dengan kristal gula pada proses sentrifugasi dan menjadi produk samping berupa molases. Kandungan gula invert dalam molases pada periode 2 ditunjukkan oleh Grafik 4.

Grafik 4 Kadar Gula Invert Molases Periode 2

Berdasarkan data pada grafik, dapat dilihat bahwa kandungan gula invert yang terdapat dalam molases cukup tinggi, yakni kisaran 53,3-74,5 %. Hal ini menunjukkan tingginya reaksi inversi yang telah terjadi pada proses sebelumnya. Reaksi inversi tertinggi terjadi pada akhir periode, yakni 30 Juni 2014 sebesar 74,5 %. Sementara reaksi terendah terjadi pada tanggal 21 Juni 2014 sebesar 53,3 %. Semakin banyak kandungan gula invert dalam molases, semakin banyak pula sukrosa yang terbawa bersama gula invert dan gagal membentuk kristal.

Penurunan Rendemen Periode 3Pada periode 3, total jumlah tebu yang dipanen lebih banyak dibandingkan saat periode 2, yakni 39.611,5 ton. Metode panen yang diterapkan selama periode 3 jika diurutkan mulai dari yang penggunaannya tertinggi hingga terendah yakni tebang manual, tebang semi manual (TSM), dan tebang mekanis. Total tebu yang dipanen dengan metode manual yakni sebanyak 17.805,34 ton dengan prosentase dari total tebu panen 44,95 %. Total tebu yang dipanen dengan metode TSM yakni sebanyak 17.422,85 ton dengan prosentase dari total tebu panen 43,98 %. Total tebu yang dipanen dengan metode mekanis yakni sebanyak 4.383,31 ton dengan prosentase dari total tebu panen 11,06 %. Metode panenmerupakan salah satu faktor yang mempengaruhipenurunan rendemen. Berikut merupakan data penurunan rendemen yang terjadi selama periode 3 yang disajikan pada Grafik 5.

Grafik 5 Penurunan Rendemen Periode 3Penurunan rendemen terjadi dari sejak awal proses panen hingga proses di dalam pabrik. Dari grafik, dapat dilihat bahwa garis dengan penurunan paling tajam terjadi pada proses tebu cane yard menjadi NPP. Hal ini menunjukkan telah terjadi penurunan rendemen tertinggi pada penyimpanan di cane yard. Penurunan yang terjadi mencapai 1,24 %. Penurunan dengan urutan ketajaman yang kedua yakni pada proses tebu di kebun menjadi tebu di cane yard. Hal ini menunjukkan adanya penurunan rendemen tertinggi kedua pada proses pemuatan dan transportasi dengan prosentase 0,39 %. Urutan terakhir dari penurunan rendemen terjadi pada pengolahan NPP menjadi gula kristal dengan prosentase 0,13 %. Berdasarakan data penurunan rendemen, maka proses yang menjadi titik kritis yakni penyimpanan di cane yard.Penurunan rendemen dari kebun ke cane yard pada periode 3 dapat disebabkan oleh kehilangan rendemen pada batang tebu yang tidak ikut terpanen pada panen metode mekanis. Selain itu, dapat pula disebabkan kehilangan rendemen dari batang tebu yang tidak ikut termuat pada TSM. Tebu yang berhasil ikut dipanen dan dimuat dalam truk pun dapat mengalami penurunan rendemen akibat inversi selama masa angkut dari kebun ke cane yard.Pada periode 3, penggilingan berlangsung dengan relatif lancar. Hal ini dilihat dari tidak adanya off giling yang terjadi. Waktu tunggu tebu di cane yard variatif mulai dari 0 hari (langsung giling) hingga 3 hari. Pada tanggal 1-5 Juli, tebu yang memasuki penggilingan yakni campuran antara tebu dengan waktu tunggu selama 2 hari dengan tebu yang baru datang. Pada tanggal 6-9 Juli, tebu yang memasuki penggilingan yakni campuran antara tebu dengan waktu tunggu selama 2 hari, 3 hari, dan tebu yang baru datang. Pada tanggal 10-15 Juli, tebu yang memasuki penggilingan yakni campuran antara tebu dengan waktu tunggu selama 2 hari dengan tebu yang baru datang. Proses pengolahan gula di dalam pabrik turut memberi dampak penurunan rendemen meskipun tidak banyak. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa penurunan rendemen dapat diakibatkan oleh reaksi inversi. Reaksi ini terjadi akibat aktivitas bakteri dalam menghasilkan enzim invertase dan lingkungan asam. Pada penggilingan, hal ini diantisipasi dengan menambahkan kapur dan biocide. Pada proses produksi dalam pabrik, lingkungan nira yang terbentuk yakni asam. Berikut merupakan data pH selama pengolahan tebu dalam pabrik selama periode 3 yang disajikan pada Grafik 5.

Grafik 6 Nilai pH Nira dalam Pabrik Periode 3Grafik di atas menunjukkan tren grafik pH mengalami peningkatan dari 5,44 hingga 6,65. Angka pada pH tetap menunjukkan nilai di bawah 7. Hal ini menunjukkan proses prduksi berada dalam suasana asam. Hal ini menyebabkan inversi pada nira dan menghasilkan gula pereduksi. Berikut merupakan grafik kadar gula pereduksi selama proses pabrikasi periode 3.

Grafik 7 Kadar Gula Pereduksi Periode 3Grafik kadar gula pereduksi pada nira yang dihasilkan tiap tahap proses produksi menunjukkan adanya tren yang meningkat. Kadar gula pereduksi tertinggi terdapat pada nira encer dengan kadar 20,87 %. Peningkatan kadar gula pereduksi terjadi dari NPP hingga NE. Sementara produk NK mengalami penurunan gula pereduksi. Penurunan ini dapat terjadi akibat terbuangnya kadar gula pereduksi pada stasiun evaporasi. Gula pereduksi terbentuk akibat reaksi inversi akibat kondisi asam.Pembentukan kadar gula pereduksi akan mengahambat proses kristalisasi. Detail proses penghambatan telah dijelaskan pada Penurunan Rendemen Periode 2. Di akhir produksi gula, sentrifugasi dilakukan untuk memisahkan kristal gula dengan larutan yang tidak dapat mengkristal, yakni molases. Berikut merupakan kadar gula pereduksi/ invert yang teedapat dalam molases disajikan pada Grafik 8.

Grafik 8 Kadar Gula Invert Molases Periode 3

Berdasarkan data pada grafik, dapat dilihat bahwa kandungan gula invert yang terdapat dalam molases cukup tinggi, yakni kisaran 55,6-79 %. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini menunjukkan tingginya reaksi inversi yang telah terjadi pada proses sebelumnya. Reaksi inversi tertinggi terjadi pada akhir periode, yakni 4 Juli 2014 sebesar 79 %. Sementara reaksi terendah terjadi pada tanggal 3 Juli 2014 sebesar 55,6 %. Semakin banyak kandungan gula invert dalam molases, semakin banyak pula sukrosa yang terbawa bersama gula invert dan gagal membentuk kristal.Penurunan rendemen di dalam pabrik juga disebabkan adanya ketidakoptimalan dalam proses pemurnian. Pada periode 3, jumlah tebu yang dipanen dengan metode TSM cukup banyak yakni 43,98 %. Di awal telah disebutkan bahwa panen dengan metode TSM menghasilkan tebu yang paling kotor. Saat memasuki prosespenggilingan, kotoran dalam tebu ikut terbawa dan tergiling bersama tebu. Hal ini menyebabkan nira menjadi keruh dan bercampur dengan lumpur. Kondisi nira yang penuh lumpur memperberat kerja yang harus dilakukan oleh door clarifier dan rotary vacuum filter. Kedua alat tersebut belum mampu dioperasikan secara optimal untuk nira yang sangat kotor seperti pada periode 3.

Perbandingan Periode 2 dan 3Pada periode 2 dan 3, penurunan rendemen mulai dari yang tertinggi hingga terendah terjadi pada proses penyimpanan tebu di cane yard, penebangan, pemuatan, dan pengangkutan tebu dari kebun ke cane yard, serta proses pengolahan tebu di dalam pabrik. Penurunan yang terjadi pada periode 2 berturut-turut yakni 1,55, 0,51, dan 0,31. Sementara penurunan yang terjadi pada periode 3 berturut-turut yakni 1,24, 0,39, dan 0,13Penurunan rendemen tebu yang terjadi pada periode 2 lebih tinggi dibandingkan periode 3. Metode panen diterapkan pada periode 2 yakni manual sebanyak 39,48 %, TSM sebanyak 41,27 %, dan mekanis sebanyak 19,25 %. Sementara penerapan pada periode 3 yakni manual sebanyak 44,95 %, TSM sebanyak 43,98 %, dan mekanis sebesar 11,06 %. Penurunan rendemen dari kebun ke cane yard pada periode 2 lebih tinggi dibandingkan periode 3. Hal ini disebabkan penerapan panen dengan metode mekanis pada periode 2 lebih banyak diterapkan daripada periode 3. Pada periode 2, waktu tunggu tebu di cane yard lebih lama, yakni sekitar 2-5 hari. Sementara pada periode 3, waktu tunggu berkisar 0-3 hari. Hal ini menyebabkan reaksi inversi pada periode 2 lebih panjang dan penurunan rendemen lebih tinggi. Pengukuran terhadap kandungan molases menunjukkan bahwa kandungan gula invert pada periode 3 lebih tinggi dibandingkan periode 2. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan adanya kandungan sukrosa dalam molases pada periode 3 lebih rendah dibandingkan periode 2. Implikasinya, penurunan rendemen yang terjadi selama proses di dalam pabrik pada periode 3 lebih rendah dibandingkan periode 2.

PENUTUPKesimpulanPada periode 2 dan 3, penurunan rendemen dari yang tertinggi hingga terendah terjadi pada proses penyimpanan dalam cane yard, proses panen dan pemuatan, serta proses pabrik. Nilai dari penurunan tersebut pada periode 2 yakni 1,55 %, 0,51 %, dan 0,39 % sementara periode 3 yakni 1,24 %, 0,33 % , dan 0,13 %. Penurunan rendemen terjadi akibat losses dalam proses panen dan pemuatan serta reaksi inversi. Penurunan tertinggi terjadi akibat inversi pada proses penyimpanan di cane yarddengan waktu tunggu kisaran 2-5 hari dan kondisi tebu yang kotor.

SaranPenjadwalan lebih diatur dengan baik agar tidak terjadi waktu tunggu tebu yang lama. Selain itu, penambahan antimikroba perlu dilakukan di cane yard untuk menurunkan aktivitas mikroba yang menghasilkan enzim invertase. Beberapa antimikroba yang dapat digunakan antara lain ekstrak ekstrak akar kawao dan ekstrak kulit batang manggis

DAFTAR PUSTAKAFoyer, Christine , Smith, Alison K., Pollock, Chris.1997. Sucrose and Invertase, an Uneasy Allaince.Honig, P. 1953. Principle of Sugar Technology. New York: Elsevier Publishing Co. Dalam Sumantyo dan Haristuji, Thersia. Pemakaian Batuan Kapur dan Belerang sebagai Bahan Pembantu proses Pemurnian Nira untuk Meningkatkan Kualitas Gula Produk. Rachma, Annisa. 2006. Kajian Pengaruh Suhu, pH, Waktu, dan Konsentrasi Inhibitor Akar Kawao (Milletia sericea) pada Degradasi Sukrosa oleh Invertase (Skripsi). Bogor: Insitut Pertanian BogorRahman, M., P.K. Sen., F.M. Hasan., S.M.A. Miah, dan H.M. Rahman. 2004. Purification and Characterization of Invertase Enzyme from Sugarcane. Pakistan Journal of Biology and Science, 7(3): 340-345 dalam Rachma, Annisa. 2006. Kajian Pengaruh Suhu, pH, Waktu, dan Konsentrasi Inhibitor Akar Kawao (Milletia sericea) pada Degradasi Sukrosa oleh Invertase (Skripsi). Bogor: Insitut Pertanian BogorSimatupang, P., A. Rachman, dan L. Pelitasari. 1999. Gula dalam Kebijakan Pangan Nasional: Analisis historis, hlm. 481-546 DalamA.H. sawit, P. Suharno, dan A Rachman (Ed.). Ekonomi Gula Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

LAMPIRANLampiran 1. Daftar Tebang Periode 2TanggalBulanTenagaKu Tebu

LokalImporgrab loadermanual

16Juni10956046071,79144,9

17Juni87596935,88397,9

18Juni74,3668,6

19Juni133,6

20Juni1226808236,110930,5

21Juni10556577105,710612,2

22Juni110163711364,29360,7

23Juni6456169132,39693,9

24Juni1104631122679924,4

25Juni110663310377,710469,1

26Juni11805509493,98299,1

27Juni119465314016,311513,5

28Juni116568214517,611098,6

29Juni967682113029302,7

30Juni103464314994,310313,5

Total periode 2130.023129.730

TanggalBulanTenagaKu Tebu

LokalImporgrab loadermanual

1Juli111566913509,613585

2Juli116170412954,511783,6

3Juli12376861464014506,2

4Juli121972112984,213563,4

5Juli12297339478,713477,3

6Juli93474612815,511606,7

7Juli11977731508112457,8

8Juli113169714643,511554,9

9Juli1156028297,47236,6

10Juli12106271303512720,3

11Juli121774713862,313124,9

12Juli120677911158,115329,8

13Juli121678010599,312968,5

14Juli114777811994,715898,5

15Juli111081414639,614956,6

Total Periode 3189.693194.770

Lampiran 2. Daftar Tebang Periode 3


Top Related