Download - ekstrak polifenol

Transcript
Page 1: ekstrak polifenol

SKRIPSI

POTENSI IMUNOMODULATOR

BUBUK KAKAO BEBAS LEMAK SEBAGAI PRODUK SUBSTANDAR

SECARA IN VITRO PADA SEL LIMFOSIT MANUSIA

Oleh

SYARIFAH ZARINA ZAIRISMAN

F24102113

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

Page 2: ekstrak polifenol

2

POTENSI IMUNOMODULATOR

BUBUK KAKAO BEBAS LEMAK SEBAGAI PRODUK SUBSTANDAR

SECARA IN VITRO PADA SEL LIMFOSIT MANUSIA

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Teknologi Pertanian

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

SYARIFAH ZARINA ZAIRISMAN

F24102113

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

Page 3: ekstrak polifenol

3

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

POTENSI IMUNOMODULATOR

BUBUK KAKAO BEBAS LEMAK SEBAGAI PRODUK SUBSTANDAR

SECARA IN VITRO PADA SEL LIMFOSIT MANUSIA

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknologi Pertanian

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

SYARIFAH ZARINA ZAIRISMAN

F24102113

Dilahirkan di Bogor tanggal 18 Desember 1984 Tanggal lulus 29 Juni 2006

Menyetujui,

Bogor, Juli 2006

drh. Bambang Pontjo P., MS, P.hD Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, MSc

Dosen Pembimbing II Dosen Pembimbing I

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, Msi

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Page 4: ekstrak polifenol

4

SYARIFAH ZARINA ZAIRISMAN. F24102113. Potensi Imunomodulator Ekstrak Bubuk Kakao Bebas Lemak sebagai Produk Substandar secara in vitro pada Sel Limfosit Manusia. Dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Fransiska Zakaria, MSc dan drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, P.hD. (2006)

ABSTRAK

Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan tanaman yang banyak

dibudidayakan di Indonesia, namun belum dikaji potensinya secara maksimal. Berdasarkan penelitian terdahulu, kakao diketahui memiliki kandungan polifenol yang tinggi sehingga berpotensi sebagai antioksidan yang baik. Dari fakta ini, diduga terdapat pula potensi bubuk kakao sebagai imunomodulator yang ditandai dengan responnya terhadap proliferasi limfosit pada darah manusia. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari potensi imunomodulator ekstrak bubuk kakao secara in vitro terhadap proliferasi sel limfosit, sehingga dapat diketahui potensi bubuk kakao sebagai pangan yang bermanfaat bagi kesehatan manusia.

Penelitian dilakukan dengan melakukan ekstraksi terhadap 10 jenis bubuk kakao yang dipilih berdasarkan jenis spesies kakao, tingkat kematangan buah kakao, serta kakao yang terkena serangan hama pada beberapa tingkat serangan. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut air pada konsentrasi 0,08 g/ml, untuk kemudian dilakukan pengenceran bertingkat untuk memperoleh tiga tingkatan konsentrasi yang akan diujikan secara in vitro. Ketiga konsentrasi tersebut adalah 1,66 mg/ml (C1), 6,64 mg/ml (C2), dan 13,28 mg/ml (C3). Konsentrasi C1 ditentukan berdasarkan konsumsi normal minuman bubuk kakao sehari-hari bila masuk ke dalam 6 liter darah di tubuh manusia. Sementara itu dua konsentrasi lainnya merupakan peningkatan konsentrasi untuk mengetahui signifikansi peningkatan konsentrasi terhadap respon proliferatif sel limfosit. Dari kesepuluh jenis ekstrak bubuk kakao yang diperoleh dilakukan juga analisis kandungan total polifenol.

Teknik in vitro dilakukan dengan mengisolasi sel limfosit manusia dari darah manusia dewasa yang sehat, kemudian dikultur dengan kesepuluh ekstrak tersebut dan diinkubasi selama 72 jam pada suhu 37oC dengan kondisi atmosfer mengandung CO2 5%, O2 95% dan RH 96%. Untuk kontrol, sumur hanya berisi media dan sel, sedangkan untuk kontrol positif ditambahkan larutan LPS (5µg/ml). Selanjutnya pengujian proliferasi limfosit dilakukan dengan metode MTT dan biru trifan. Metode MTT memberikan hasil pengukuran absorbansi yang linear terhadap jumlah sel hidup di dalam kultur. Penentuan respon proliferatif sel limfosit dilihat dari nilai absorbansi yang dihasilkan akibat penambahan ekstrak bubuk kakao dibandingkan dengan kontrol. Metode biru trifan digunakan untuk menghitung jumlah sel limfosit yang mati menggunakan hemasitometer dengan bantuan mikroskop, sehingga dapat diketahui viabilitas sel.

Hasil analisis metode MTT menunjukkan bahwa penambahan ekstrak bubuk kakao terhadap kultur memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai absorbansi kultur, begitupula dengan peningkatan konsentrasi ekstrak sampel (p<0.05). Secara keseluruhan semua jenis ekstrak bubuk kakao mampu mempertahankan sel limfosit agar tetap hidup selama 72 jam yang dibuktikan

Page 5: ekstrak polifenol

5

dengan nilai absorbansi yang tidak berbeda nyata dengan kontrol negatif. Selain itu penambahan beberapa jenis ekstrak bubuk kakao yaitu sampel bulk masak serta ekstrak buah kakao yang terserang P. palmivora tingkat serangan sedang dan berat, menimbulkan respon proliferatif yang positif karena nilai absorbansinya lebih tinggi dan berbeda nyata dengan kontrol negatif (p<0.05). Jenis sampel bulk masak ini memang memiliki senyawa fenolik yang cukup tinggi yaitu sebesar 35.534 ppm. Meskipun demikian ekstrak buah kakao yang terserang P. Palmivora tingkat serangan sedang dan berat kandungan polifenolnya termasuk rendah. Dari hasil ini diduga kandungan senyawa fenolik bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan respon proliferasi ekstrak. Selain itu komposisi senyawa fenolik di setiap jenis ekstrak bubuk kakao juga diduga mempengaruhi respon imunostimulan maupun imunosuppresifnya.

Hasil analisis dengan metode biru trifan menunjukkan bahwa semua jenis ekstrak bubuk kakao mampu mempertahankan viabilitas sel limfosit di dalam kultur setelah masa inkubasi selama 72 jam. Hal ini dapat dilihat dari jumlah sel limfosit yang mati pada kultur dengan penambahan ekstrak sangatlah kecil jika dibandingkan dengan kontrol. Dari hasil yang didapat dapat disimpulkan bahwa ekstrak bubuk kakao memiliki potensi sebagai imunomodulator dengan mempertahankan sel limfosit agar tetap hidup setelah masa inkubasi. Untuk beberapa jenis ekstrak bubuk kakao yaitu bulk masak serta ekstrak buah kakao yang terserang P. Palmivora tingkat serangan sedang dan berat, potensi ini lebih didukung dengan adanya respon positif terhadap proliferasi sel limfosit pada kultur.

Page 6: ekstrak polifenol

6

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis merupakan anak kedua dari pasangan Zairisman dan Sri

Rachmawati, dilahirkan di Bogor, 18 Desember 1984. Penulis memiliki seorang

kakak laki-laki bernama Ari Rachman dan seorang adik laki-laki bernama Arman

Rafik. Penulis menempuh pendidikan formal di SD Negeri Papandayan 1 Bogor

(1990-1996), SLTP Negeri 1 Kota Bogor (1996-1999), SMU Negeri 1 Kota

Bogor (1999-2002), dan melalui jalur SPMB, penulis melanjutkan jenjang

pendidikannya ke perguruan tinggi di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan –

Institut Pertanian Bogor (2002-2006). Selain pendidikan formal, penulis juga

mengikuti pendidikan non-formal lainnya seperti kursus bahasa inggris di

Lembaga Bahasa - LIA Bogor.

Selama menempuh pendidikan formalnya baik di SD, SLTP, maupun SMU

penulis aktif mengikuti berbagai organisasi seperti Unit Pramuka Wijaya Kusuma

SLTP Negeri 1 Bogor, OSIS SMU Negeri 1 Bogor, termasuk menjadi Pemimpin

Redaksi Majalah Intern SMU Negeri 1 Bogor “Bullet’s”. Selama menempuh

pendidikannya di Institut Pertanian Bogor, penulis juga aktif menjadi pengurus di

Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) IPB dalam

Divisi Informasi dan Komunikasi, serta mengikuti berbagai kepanitiaan seperti

dalam Kompetisi Basket antar Perguruan Tinggi (INVASI 2003), Lomba Cepat

Tepat Ilmu Pangan (LCTIP 2004), dan National Student’s Paper Competition

(NSPC 2005). Untuk menunjang pendidikan formal, penulis juga mengikuti

berbagai seminar serta pelatihan yang diadakan di kampus maupun di luar

kampus.

Pada bulan Juli sampai Agustus 2005 penulis melakukan kegiatan Praktek

Lapang (PL) selama 40 hari di PT. Fajar Taurus, Jakarta. Hasil praktek lapang

tersebut dipublikasikan dalam bentuk laporan Praktek Lapang dengan judul

“Mempelajari Aspek Proses Produksi dan Pengawasan Mutu Produk Susu

Pasteurisasi dan Susu Fermentasi di PT. Fajar Taurus, Jakarta”.

Page 7: ekstrak polifenol

7

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat

dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan baik

serta menyusun karya tulis ini dengan baik pula. Dalam penyusunan karya tulis ini

banyak sekali pihak yang mendukung dan banyak berperan, oleh karena itu

penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, MSc dan drh. Bambang Pontjo

Priosoeryanto, MS, phD selaku dosen pembimbing yang telah memberikan

bimbingan dan pengarahan selama pelaksanaan tugas akhir dan penulisan

karya tulis ini.

2. Ayahanda Zairisman, Ibunda Sri Rachmawati, Uda Ari Rachman dan Adik

Arman Rafik tercinta atas segala limpah kasih sayang, doa, dukungan,

semangat dan kehangatan keluarga yang selalu diberikan pada penulis.

3. Yessica Meiriana, Mba Femi Olivia, Mba Erniati, dan Bapak Sukirno, teman

senasib seperjuangan yang telah banyak bekerjasama dan saling membantu

serta berperan sebagai teamwork terbaik selama pelaksanaan penelitian.

4. Dr. Ir. M. Arpah, MSi sebagai dosen penguji atas saran kritik serta koreksinya

terhadap karya tulis ini sehingga dapat menjadi yang terbaik dan bermanfaat.

5. Dr. Ir. Sri Wahyuni, Ir. Didah Nur Faridah, MSi, Bapak Ibnu Wachid, Bapak

Sobirin, Bapak Abdul Rojak dan para laboran di laboratorium ITP Fateta serta

para petugas perpustakaan Fateta, PAU, dan LSI IPB yang telah banyak

membantu, memfasilitasi, dan memberikan pengetahuan selama melaksanakan

penelitian.

6. Ir. Ria Suryani, my second mother, yang telah banyak mengajari penulis dalam

menjalani hidup dengan ikhlas,”NODIE” (dita, neo, ona, nda, indi) yang telah

mendampingi penulis menjadi sahabat terbaik sepanjang masa.

7. Teman-teman Pubi : Elvina & Dora yang telah menjadi teman terbaik siang

maupun malam selama penelitian, Tissa, Farah, Nuy, Ratry, Fany, dan Inggrid

yang senantiasa mendampingi dalam suka dan duka, mendengarkan keluh

kesah penulis, juga selalu memberikan perhatian, semangat, serta keceriaan.

Thanx God I found you!

Page 8: ekstrak polifenol

8

8. Rekan-rekan TPG 39 terutama Ribka d’hippo yang dalam waktu singkat telah

mampu menjadi sahabat terbaik dengan memberikan semangat, support

mental maupun fisik, termasuk melindungi d’little bug dari penindasan ☺,

thanx also dedicated to Putra, Tono, dan Inal abang-abangku yang telah

banyak memberikan pelajaran hidup serta warna-warni kehidupan selama 4

tahun penulis di TPG, Dadik (thanx udah banyak membantu ’mengangkat

beban’ penulis dengan jasa antar jemputnya serta memberikan keceriaan

setiap saat selama penelitian), Ajeng (thanx untuk penyediaan fasilitas

’penginapan’ dan pengolahan datanya, serta bantuan tanpa pamrihnya selama

ini...), Randy, Woro, Didin, Nanda, Qky, Stut, Aponk, Deddy, Izal, Ulik,

Prasna serta semua anggota JoJoPy (thanx atas hiburan rutinnya setiap bulan,

setiap minggu, bahkan setiap hari selama pelaksanaan tugas akhir), Kelompok

D2 (Nanda, Dian, Beta dan Randy) what a great team work we are!

9. Ka Irfan yang dalam 5 tahun terakhir telah banyak memberikan pengetahuan,

bantuan menentukan pilihan, serta membantu penulis agar selalu dapat

menjadi yang terbaik; rekan-rekan KOMA (kaka nyoi, mas upank, abang

sofyan, kang abul, aa bayu, mas santo, putu, sani, rita, dan vika); panitia

INVASI 2003 (ganjar, fadli, wachyu, tyas, dadot, kiki, ginna, deka, komenk,

idong, dll); serta roommate penulis di asrama putri TPB (renny, mba sus, dan

diah) termasuk para tetangga (vina, pipit, dilla, isti, ayu, nova, dkk) yang telah

menghiasi hari-hari penulis di IPB sehingga menjadi tak terlupakan.

10. Semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, yang telah tulus

ikhlas berperan serta membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan

karya tulis ini baik langsung maupun tidak langsung.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh

karena itu saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan penyusunan

karya-karya selanjutnya sangat diharapkan penulis. Penulis mengharapkan

semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Juni 2006

Penulis

Page 9: ekstrak polifenol

9

DAFTAR ISI

Halaman

RIWAYAT HIDUP PENULIS ................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................ iv

DAFTAR TABEL ........................................................................................ vi

DAFTAR GAMBAR ................................................................................... vii

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ viii

I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang ................................................................................... 1

B. Permasalahan ..................................................................................... 2

C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 3

D. Hipotesis ............................................................................................ 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 4

A. Kakao dan Konsumsi Masyarakat ..................................................... 4

B. Komponen Bioaktif Tanaman Pangan ............................................... 4

C. Imunomodulator Bahan Pangan ........................................................ 6

D. Khasiat Biologis Tanaman Kakao ..................................................... 7

E. Darah ................................................................................................. 7

F. Mekanisme Respon Imun .................................................................. 9

G. Limfosit ............................................................................................. 10

1. Limfosit T (sel T) ......................................................................... 11

2. Limfosit B (sel B)......................................................................... 11

H. Kultur Sel .......................................................................................... 12

I. Uji Penentuan Jumlah sel ………………………………………….. 15

J. Proliferasi Sel Limfosit ……………………………………………. 15

K. Mitogen ……………………………………………………………. 16

Page 10: ekstrak polifenol

10

III. BAHAN DAN METODE ...................................................................... 18

A. Bahan dan Alat .................................................................................. 18

B. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................... 19

C. Metode Penelitian .............................................................................. 19

1. Ekstraksi ...................................................................................... 19

2. Analisis Total Polifenol ............................................................... 20

3. Persiapan Media Kultur Sel ......................................................... 20

4. Pengujian Ekstrak terhadap Proliferasi Sel Limfosit Manusia .... 21

4.1. Isolasi limfosit darah tepi ...................................................... 21

4.2. Pengujian aktivitas proliferasi menggunakan MTT ............. 22

4.3. Pengujian aktivitas proliferasi menggunakan biru trifan ...... 23

D. Rancangan Percobaan ....................................................................... 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 26

A. Ekstraksi ........................................................................................... 26

B. Analisis Total Polifenol .................................................................... 27

C. Aplikasi Kultur Sel ............................................................................ 30

D. Pengujian Aktivitas Proliferasi Sel Limfosit .................................... 32

1. Perhitungan sel dengan metode biru trifan .................................. 32

2. Pengukuran aktivitas proliferasi dengan metode MTT ................ 33

3. Hubungan kadar total polifenol dengan proliferasi yang

ditimbulkan oleh penambahan ekstrak bubuk kakao metode

MTT ............................................................................................. 39

4. Penentuan aktivitas imunomodulator dan mekanismenya ........... 40

V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 43

A. Kesimpulan ........................................................................................ 43

B. Saran .................................................................................................. 44

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 46

LAMPIRAN ................................................................................................. 51

Page 11: ekstrak polifenol

11

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Sel-sel dalam sirkulasi darah ............................................................... 8

Tabel 2. Persentase normal tipe sel darah putih ................................................. 9

Tabel 3. Pengaruh penambahan ekstrak bubuk kakao pada kultur terhadap

proliferasi limfosit yang ditunjukkan oleh nilai absorbansi kultur ...... 35

Tabel 4. Pengaruh konsentrasi terhadap proliferasi limfosit yang ditunjukkan

oleh nilai absorbansi kultur ................................................................. 36

Page 12: ekstrak polifenol

12

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Darah perifer dan Ficoll hypaque sebelum disentrifugasi ............. 21

Gambar 2. Hasil pemisahan leukosit ............................................................... 22

Gambar 3. Kurva standar asam tannat ............................................................. 28

Gambar 4. Diagram kadar total polifenol rata-rata pada ekstrak bubuk

kakao .............................................................................................. 29

Gambar 5. Grafik jumlah sel limfosit mati setelah masa inkubasi 72 jam

yang dihitung dengan metode biru trifan .................................. 32

Gambar 6. Grafik absorbansi kultur dengan penambahan ekstrak bubuk

kakao secara keseluruhan setelah inkubasi selama 72 jam dan

diukur dengan metode MTT .......................................................... 38

Gambar 7. Kemungkinan mekanisme biokimia aktivasi sel T oleh

komponen bioaktif bubuk kakao [Dimodifikasi dari Roitt

(1991)] ........................................................................................... 42

Page 13: ekstrak polifenol

13

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Kandungan medium RPMI-1640 ................................................. 51

Lampiran 2. Contoh perhitungan penentuan konsentrasi ekstrak bubuk kakao .. 52

Lampiran 3. Kadar total polifenol ekstrak bubuk kakao (0.8mg/ml) ................ 53

Lampiran 3. Data jumlah sel limfosit mati yang diberi perlakuan ekstrak

kakao konsentrasi 2x dosis normal (C2 = 6,64 x 10-3 g/ml) ........... 54

Lampiran 4. Data nilai absorbansi hasil pembacaan plat mikro yang

menunjukkan jumlah sel limfosit hidup pada perlakuan

penambahan ekstrak bubuk kakao terhadap suspensi limfosit

dari darah manusia (metode MTT) ................................................ 55

Lampiran 5. Analisis sidik ragam jumlah sel limfosit dengan pengaruh

penambahan ekstrak bubuk kakao (metode MTT)......................... 56

Lampiran 6. Analisis sidik ragam (ANOVA) jumlah sel limfosit yang mati

(metode biru trifan) ....................................................................... 57

Lampiran 7. Hasil uji Duncan rata-rata jumlah limfosit dengan penambahan

ekstrak bubuk kakao (metode MTT).............................................. 58

Lampiran 8. Hasil uji Duncan rata-rata jumlah limfosit yang mati (metode

biru trifan) ...................................................................................... 59

Lampiran 9. Inform of Concern ......................................................................... 60

Page 14: ekstrak polifenol

14

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) banyak tumbuh di perkebunan-

perkebunan di Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara yang

membudidayakan tanaman kakao paling luas di dunia. Indonesia adalah

produsen kakao terbesar ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana dengan

produksi tahunan mencapai 435 ribu ton (Ed dan F. Man, 2004). Luas areal

penanaman kakao di Indonesia pada tahun 2002 telah mencapai 776.900

hektar yang tersebar di seluruh propinsi, kecuali DKI Jakarta (Misnawi, 2005).

Kakao (coklat) merupakan bahan pangan yang jika telah diolah

menjadi produk seperti bubuk kakao memiliki citarasa yang enak sehingga

banyak disukai oleh masyarakat. Lemak kakao merupakan produk yang

banyak diambil dari tanaman ini karena bernilai ekonomis tinggi. Sementara

lemaknya dimanfaatkan, bubuk kakao itu sendiri tertinggal menjadi produk

substandar yang tidak banyak dimanfaatkan atau menjadi produk sisa. Pada

penelitian kali ini, bubuk kakao yang digunakan sebagai sampel adalah bubuk

kakao bebas lemak sebagai produk substandar dari biji kakao. Dengan

diketahuinya potensi imunomodulator bubuk kakao bebas lemak ini,

diharapkan penggunaannya sebagai produk substandar dapat meningkat

karena harganya yang murah dan tentunya sehat karena tidak mengandung

lemak (tidak mengakibatkan kegemukan).

Tanaman kakao banyak diserang oleh berbagai hama termasuk P.

palmivora dan hama penggerak buah kakao. Hal ini banyak pula terjadi di

Indonesia mengingat kondisi iklim tropis Indonesia. Serangan hama ini

tentunya mengakibatkan kerugian usaha perkebunan kakao, sehingga

seringkali biji kakao yang buahnya terserang hama juga masih dimanfaatkan

untuk meminimalisir kerugian. Oleh karena itu diujikan potensi

imunomodulator bubuk kakao yang diperoleh dari buah kakao terserang hama,

sehingga dapat diketahui perubahan kualitasnya terutama dalam hal potensi

kesehatannya.

Page 15: ekstrak polifenol

15

Banyak komponen bioaktif pangan saat ini diketahui mempunyai efek

positif terhadap kesehatan, oleh karena itu penggunaan pangan yang diketahui

mengandung senyawa bioaktif atau pangan fungsional merupakan hal yang

sangat bermanfaat. Pangan yang kita konsumsi sehari-hari pada kenyataannya

mengandung ribuan senyawa bioaktif, banyak diantaranya yang memiliki

cukup potensi untuk meningkatkan kesehatan contohnya adalah kurkumin,

likopen, dan polifenol yang merupakan agen chemopreventive yang telah

terbukti (Elliot dan Ong, 2002).

Saat ini penggunaan pangan fungsional untuk kesehatan telah

berkembang pesat, salah satu faktor pendukungnya adalah keinginan banyak

orang untuk meningkatkan kesehatan dengan cara yang alami. Hal tersebut

dilatarbelakangi oleh berbagai efek samping yang merugikan dari konsumsi

obat-obatan kimiawi yang telah banyak terbukti, sehingga timbul keinginan

untuk menggunakan bahan-bahan dari alam untuk meningkatkan kesehatan.

Selain faktor tersebut, konsumsi makanan yang tidak seimbang juga telah

terbukti menjadi kunci dari faktor eksternal yang berpengaruh pada kejadian

penyakit-penyakit kronis.

Mengingat biji kakao mengandung polifenol yang cukup tinggi dan

pembentukannya telah dimulai sejak awal pembentukan biji, maka peluang

untuk memanfaatkannya sebagai imunomodulator atau meningkatkan sistem

kekebalan tubuh sangat besar. Senyawa fenolik terbentuk pada biji kakao

ketika dilakukan proses pemeraman dan pengeringan. Senyawa ini

mempunyai cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil

(OH), yang cenderung mudah larut dalam pelarut organik atau air.

Produk olahan yang diproduksi dengan bahan baku kakao banyak

ditemui di pasaran, salah satu yang banyak dikenal masyarakat adalah hasil

olahan biji kakao menjadi bentuk bubuk. Produk olahan kakao seperti coklat

dan bubuk kakao banyak disukai oleh masyarakat, meskipun demikian banyak

isu-isu negatif yang beredar di masyarakat mengenai produk ini, padahal

dengan kandungan komponen bioaktif yang terkandung di dalamnya, bukan

tidak mungkin produk ini berpotensi untuk meningkatkan kesehatan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dalam penelitian ini dipelajari

Page 16: ekstrak polifenol

16

potensi imunomodulator terhadap bubuk kakao bebas lemak yang diperoleh

langsung dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember.

B. PERMASALAHAN

Pola makan masyarakat dewasa ini mengarah pada konsumsi pangan

dengan ”food for health” sebagai acuan. Pola hidup sehat yang didukung oleh

konsumsi makanan sehat banyak dilakukan oleh masyarakat dalam rangka

meningkatkan kualitas hidup, mengingat begitu banyak penyakit-penyakit

degeneratif yang timbul akibat konsumsi makanan tidak sehat. Dengan

demikian pangan fungsional sebagai pangan yang tidak hanya memberikan

nilai gizi tetapi juga memberikan efek positif terhadap kesehatan banyak

dipilih oleh masyarakat. Dalam hal ini, bubuk kakao bebas lemak tentunya

dapat menjadi alternatif pangan yang sehat karena sifatnya yang tidak

mengandung lemak sehingga memberikan persepsi positif di mata

masyarakat. Selain itu, jika terbukti potensinya sebagai imunomodulator,

salah satu produk substandar hasil olahan biji kakao ini, dapat berfungsi

sebagai pangan fungsional yang memberikan efek positif bagi kesehatan

tubuh manusia yang mengkonsumsinya.

Berdasarkan hal tersebut, dilihat dari segi potensi ketersediaan bahan

baku kakao di Indonesia serta kandungan total polifenolnya yang tinggi, maka

perlu diteliti lebih lanjut kemampuan imunomodulator dari tanaman kakao,

terutama bubuk kakao sebagai salah satu hasil olahan kakao yang banyak

dikonsumsi oleh masyarakat. Dalam penelitian ini bubuk kakao bebas lemak

diujikan terhadap sel limfosit manusia kemudian dilihat kemampuan

proliferasi selnya dengan metode MTT dan biru trifan.

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari potensi

imunomodulator bubuk kakao bebas lemak secara in vitro pada sel limfosit

manusia, sehingga dapat mengetahui kapasitas imunomodulator bubuk kakao. Dengan demikian dapat diketahui pula potensi bubuk kakao sebagai pangan

yang bermanfaat bagi kesehatan. Hasil yang positif dari penelitian ini juga

Page 17: ekstrak polifenol

17

diharapkan dapat memberikan penilaian lebih terhadap bubuk kakao bebas

lemak sebagai produk substandar hasil olahan tanaman kakao. Dimana produk

ini tidak hanya sehat karena tidak mengandung lemak, murah karena posisinya

sebagai produk substandar, tetapi juga berpotensi memberikan efek positif

bagi kesehatan.

D. HIPOTESIS

1. Ekstrak bubuk kakao berpotensi dalam memicu proliferasi sel limfosit,

yang menunjukkan aktivitas imunomodulator.

2. Potensi ekstrak bubuk kakao sebagai imunomodulator disebabkan oleh

kandungan polifenolnya yang cukup tinggi.

3. Ekstrak dengan pelarut air tidak bersifat toksik terhadap sel dan dapat

mempertahankan viabilitas sel limfosit karena ekstrak tersebut sudah

sering dikonsumsi di masyarakat.

4. Pengaruh ekstrak bubuk kakao terhadap proliferasi sel limfosit tergantung

pada konsentrasi ekstrak dan kondisi limfosit dalam kultur.

5. Bubuk kakao yang diperoleh dari buah kakao yang terserang hama

penggerak buah dan Phytophtora palmivora masih memiliki potensi

imunomodulator karena masih memiliki kandungan polifenol.

6. Bubuk kakao dari buah kakao yang masih muda maupun yang telah masak

mampu memberikan respon proliferatif yang positif terhadap sel limfosit

manusia. Respon ini bergantung pada kandungan polifenolnya.

7. Bubuk kakao bebas lemak sebagai produk substandar dari hasil

pengolahan biji kakao memiliki fungsi kesehatan karena berpotensi

sebagai imunomodulator.

Page 18: ekstrak polifenol

18

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. KAKAO DAN KONSUMSI MASYARAKAT

Tanaman kakao berasal dari lembah Amazon, Amerika Selatan. Kakao

merupakan tanaman yang menumbuhkan bunga dari batang atau cabang.

Daerah utama penanaman kakao adalah hutan hujan tropis di Amerika Tengah

(Siregar et al., 2003). Tanaman kakao ini digolongkan ke dalam kelompok

tanaman caolifloris, termasuk dalam Genus Theobroma, Famili Sterculiaceae,

dan Spesies Theobroma cacao LINN. (Susanto, 1994).

Kakao di Indonesia dikenal dua jenis, yaitu kakao mulia atau edel

kakao (fine/flavour cocoa) berasal dari varietas criollo dengan buah berwarna

merah dan kakao lindak (bulk cocoa) berasal dari varietas forestero dan

trinitario dengan warna buah hijau. Kakao lindak merupakan kakao kualitas

kedua dan digunakan sebagai bahan komplementer (pelengkap) dalam

mengolah kakao mulia. Meskipun termasuk kualitas kedua dan digunakan

sebagai bahan komplementer, kakao lindak mendominasi seluruh perkebunan

kakao di Indonesia.

Seperti yang kita ketahui, coklat merupakan jenis produk pangan yang

banyak disukai di masyarakat dari berbagai kalangan usia. Meskipun

demikian, banyak pula isu-isu negatif mengenai coklat misalnya efeknya

dalam mengakibatkan kegemukan. Sampel bubuk kakao bebas lemak yang

diujikan dalam penelitian ini tentunya dipandang sehat karena tidak

mengandung lemak. Selain itu karena posisinya sebagai produk substandar

hasil pengolahan biji kakao tentu menjadikan harganya murah di pasaran.

Bubuk kakao adalah produk kakao berbentuk bubuk yang diperoleh

dari pasta kakao setelah dihilangkan sebagian lemaknya dengan atau tanpa

perlakuan alkalisasi. Warna bubuk kakao akan semakin terang apabila

kandungan lemak yang ada pada bubuk kakao semakin sedikit.

Konsumsi masyarakat akan produk pangan berbasis kakao sangatlah

tinggi. Bubuk kakao biasanya banyak dikonsumsi sebagai bahan tambahan

kue atau penganan lainnya. Bubuk kakao juga biasa dikonsumsi dalam bentuk

Page 19: ekstrak polifenol

19

minuman dengan cara melarutkan sejumlah bubuk kakao didalam air.

Pendekatan cara ekstraksi inilah yang digunakan pada penelitian kali ini.

B. KOMPONEN BIOAKTIF TANAMAN PANGAN

Banyak di antara jenis senyawa yang bukan merupakan zat gizi namun

dianggap berkhasiat bagi tubuh karena dapat memperbaiki fungsi-fungsi

fisiologis di dalam tubuh jika dikonsumsi, senyawa tersebut sering digunakan

sebagai komponen makanan fungsional.

Pada tahun 1950 dan 1960-an dikenal komponen pangan selain zat gizi

yang disebut secondary plants product atau phytochemicals meliputi senyawa

fenol, alkaloid, turunan isoprene, terpene, steroid, dan zat kimia lainnya (San

Lin, 1994). Dalam beberapa tahun terakhir ini senyawa fitokimia menjadi

topik penelitian yang sangat penting karena di antaranya dapat memberikan

fungsi-fungsi fisiologis yang luar biasa menguntungkan bagi kesehatan

termasuk dalam pencegahan terhadap penyakit degeneratif (Hendrich et al.,

1994). Beberapa fitokimia yang diketahui mempunyai fungsi fisiologis

diantaranya karotenoid, polifenol, asam fitat, dan lain sebagainya. Fungsi

fisiologis yang dipunyai antara lain sebagai antikanker, antimikroba,

antioksidan, antitrombotik, anti-radang, merangsang sistem daya tahan tubuh,

mengatur tekanan darah, mengatur kadar gula darah, dan menurunkan

kolesterol (Watzl, 1996).

Senyawa fenolik meliputi senyawa fenol sederhana, asam fenolat,

turunan asam hidroksinamat dan flavonoid. Senyawa fenol sederhana terdiri

dari monofenol, difenol dan trienol. Turunan asam hidroksinamat berasal dari

p-koumarin, asam kafeat dan ferulat, sedangkan flavonoid terdiri dari katekin,

proantosianidin, antosianidin, flavon, flavonol dan glikosidanya (Ho et al.,

1991).

Senyawa fenol dapat berfungsi sebagai antioksidan primer karena

mampu menghentikan rantai radikal bebas pada oksidasi lipid (Kochhar dan

Rossell, 1990). Radikal bebas yang terbentuk pada reaksi senyawa fenol

dengan radikal lemak selalu distabilkan oleh delokalisasi elektron tidak

berpasangan di sekitar cincin aromatik (Ingold, 1968). Melalui efek induktif,

Page 20: ekstrak polifenol

20

substitusi gugus alkil posisi 2, 4 dan 6 pada senyawa fenol meningkatkan

reaktivitas terhadap radikal lemak (Gordon, 1990).

Flavonoid adalah komponen regular diet yang terdapat pada buah dan

sayur, bersifat nontoksik, ”inert” atau ”semi-essensial” untuk kesehatan.

Penelitian mengenai aktivitas imunosuppresif dari flavonoid telah dilakukan

secara in vitro (Middleton dan Kandaswarni, 1993). Flavonol quercetin dapat

menghambat pertumbuhan limfosit, proses selular terhadap antigen dan

pelepasan histamin dari sel mastosit yang teraktivasi. Diduga bahwa

mekanisme yang terjadi dari pengaruh flavonol tersebut adalah berupa

penghambatan langsung terhadap enzim seperti protein seperti kinase C dan

fosfolipase A2 oleh quercetin dan quercetin glikosida (Watzl and Leitzman,

1995).

Polifenol dalam kakao diantaranya adalah katekin, prosianidin, dan

antosianidin. Kornponen-komponen tersebut merupakan pembentuk rasa kelat.

Dengan menurunnya kadar polifenol berarti rasa kelat berkurang dan rasa gula

meningkat. Produk olahan cokelat yang mengandung katekin hampir 65

persen dari total polifenol, terdiri dari DL-katekin, epikatekin, teogallin,

epigallokatekin dan prosianidin. Katekin ini diyakini dapat meningkatkan

sistem perbaikan DNA, sehingga dapat mencegah timbulnya penyakit kanker.

(Burda dan Oleszek, 2001)

C. IMUNOMODULATOR BAHAN PANGAN

Berbagai bahan pangan telah diteliti mengenai aktivitasnya sebgai

imunostimulan, beberapa diantaranya dipercaya mampu menstimulasi

proliferasi sel limfosit untuk meningkatkan sistem imunitas. Menurut Zakaria

et al. (1997), senyawa fenol glikosida yang diisolasi dari tanaman Cynanchum

Hancockianum diketahui bersifat antitumor dan mempunyai aktivitas

imunomodulator. Selain itu karotenoid juga mempunyai sifat sebagai pemacu

sistem imun yaitu pencegah kanker yang didasarkan pada kemampuannya

meningkatkan distribusi subset limfosit seperti sel T dan sel NK.

Menurut Zakaria et al. (1997) dapat memperbaiki daya tahan tubuh

(menahan masuk angin) dan jahe juga mengandung senyawa antioksidan yang

Page 21: ekstrak polifenol

21

dapat menekan proliferasi sel kanker leukimia (K-562) serta mempunyai

fungsi imunomodulator yang besar. Tanaman sayuran, rempah dan bumbu

telah banyak diketahui berpengaruh terhadap respon imun. Senyawa

flavonoid, triterpen atau alkaloid pada tanaman kumis kucing (Uncaria

guianensis dan U. Tomentosa) bersifat imunostimulan (Rizzi et al., 1993).

Beberapa ekstrak tanaman juga dilaporkan memiliki kemampuan

memperbaiki sistem imun dan bersifat antikanker, antara lain hasil penelitian

dari Konda et al. (1997) yang melaporkan bahwa senyawa fenol glikosida

yang diisolasi dari tanaman Cynanhum hancockianum diketahui bersifat anti

tumor dan mempunyai aktivitas imunomodulator. Ekstrak tanaman Uncaria

tomentosa dilaporkan tidak bersifat toksik (Maria et al., 1997), serta

menginduksi proliferasi limfosit (Wum et al., 1998).

Kakao juga diduga dapat berperan sebagai imunomodulator karena

mengandung senyawa fenolik akibat proses pemeraman dan pengeringan.

Senyawa fenolik mempunyai cincin aromatik yang mengandung satu atau dua

gugus hidroksil (OH), yang cenderung mudah larut dalam pelarut organik atau

air. Polifenol dalam kakao diantaranya adalah katekin, prosianidin, dan

antosianidin (Siregar et al., 2003).

D. KHASIAT BIOLOGIS TANAMAN KAKAO

Produk olahan tanaman kakao sepeti coklat atau bubuk coklat banyak

disukai oleh masyarakat. Dengan demikian banyak pula isu-isu kesehatan

tentang produk ini. Beberapa tahun belakangan, para ilmuwan telah meneliti

bahwa coklat tidak selalu membahayakan kesehatan seperti yang banyak

dibicarakan di kalangan masyarakat. Diantaranya adalah penelitian yang

membuktikan bahwa coklat ataupun bubuk kakao bukanlah penyebab utama

obesitas karena asam lemak utama yang terdapat pada coklat yaitu asam

stearat termasuk asam lemak yang non-aterogenik, jika dibandingkan dengan

banyak lemak jenuh lain. Selain itu ada pula penelitian yang menyebutkan

bahwa tidak ada korelasi yang positif antara konsumsi coklat maupun bubuk

kakao dengan timbulnya jerawat (Van Heerden, 2006).

Page 22: ekstrak polifenol

22

Hasil penelitian lain yang mengejutkan mengenai aspek kesehatan

coklat atau bubuk kakao adalah bahwa coklat mengandung senyawa polifenol

yang dapat melindungi tubuh manusia melawan penyakit jantung. Konsumsi

polifenol yang cukup tinggi dipercaya dapat mengatasi serangan radikal bebas

yang dapat merusak pembuluh darah dan meningkatkan jumlah kolesterol

LDL dalam tubuh. Ada pula penelitian yang mencoba mengetahui bagaimana

komponen polifenol dapat melindungi tubuh dari penyakit jantung serta

mengurangi inflamasi (radang) (Van Heerden, 2006).

Komponen fenolik pada kakao terdiri dari berbagai jenis molekul

seperti katekin, epikatekin, antosianin, proantosianidin, asam fenolik,

condensed tannin, dan flavonoid lainnya (Williamson dan Manach, 2005).

Prosianidin, oligomer katekin yang terikat secara kovalen satu sama lain

banyak ditemui dalam konsentrasi tinggi pada kakao. Flavonoid ini telah

diketahui memiliki efek terhadap sistem vaskuler termasuk aktivitas

antioksidan plasma. Efek pada sistem vaskuler yang timbul akibat perlakuan

penambahan prosianidin pada plasma mengakibatkan peningkatan antioksidan

plasma, penurunan agregasi platelet, dan penurunan konsentrasi LDL

kolesterol dalam plasma (Murphy et al., 2003).

Studi secara epidemologik menunjukkan bahwa konsumsi minuman

dan makanan yang kaya akan komponen fenolik mampu menurunkan resiko

penyakit jantung dengan menurunkan resiko aterosklerosis karena mampu

berperan sebagai antioksidan melawan LDL (Keen et al., 2005). Penelitian

terdahulu juga menunjukkan bahwa flavanol dan prosianidin dari kakao yang

ditambahkan sebagai suplemen selama 28 hari mampu meningkatkan

konsentrasi epikatekin dan katekin di dalam plasma serta secara signifikan

menurunkan fungsi platelet. Selain itu, polifenol pada kakao menghambat

reactive oxygen species dan mengurangi ekspresi IL-2 mRNA pada limfosit

manusia (Sanbongi et al., 1997). Mao et al. (2000) mengatakan bahwa kakao

merupakan imunomodulator yang potensial dan memiliki efek positif terhadap

kesehatan dengan membantu pencegahan penyakit seperti arthritis.

Page 23: ekstrak polifenol

23

E. DARAH

Menurut Williams (1987) darah adalah suspensi yang terdiri dari

elemen-elemen atau sel-sel, dan plasma yaitu larutan yang mengandung

berbagai molekul organik dan anorganik. Volume darah manusia dewasa rata-

rata adalah 12-24 pints (6,816-7,952 liter).

Plasma darah adalah larutan yang berisi molekul organik dan

anorganik. Terdapat tiga jenis sel darah yaitu sel darah merah (eritrosit), sel

darah putih (leukosit), dan keping darah (trombosit). Leukosit berbentuk

seperti bola (spherical), dengan diameter 7-20 μm dan terdapat kurang dari 1

% volume total darah. Sel ini mempunyai struktur internal, termasuk nukleus

dan mitokondria, dan mempunyai fungsi yang berbeda dari sel darah merah

(Williams, 1987). Leukosit atau sel darah putih merupakan salah satu sel

dalam sistem pertahanan tubuh, dan apabila dibandingkan dengan eritrosit,

leukosit memiliki ukuran molekul yang lebih besar (Roitt, 1991).

Darah manusia normal mengandung 4,5 – 5,5 milyar eritrosit/ml,

diameter sel ini + 7,5 μm dan tebalnya + 2 μm. Sel ini dibentuk dalam

sumsum tulang panjang dan umur rata-ratanya dalam sirkulasi adalah 100 –

120 hari. Menurut Chein (1988) darah manusia normal mengandung kira-kira

7 juta leukosit per mililiter, yang hanya sekitar 1/700 dari konsentrasi eritrosit.

Tabel 1. Sel-sel dalam sirkulasi darah *)

Sel Konsentrasi (jumlah/ml darah) Ukuran Normal

Eritrosit 4 – 6 x 109 Bikonkaf 8 μm x 1 – 3 μm

Leukosit Neutrofil Eosinofil Basofil Limfosit Monosit

1,5 – 7,5 x 106

0 – 4 x 105

0 – 2 x 105

1 – 4,5 x 106 0 – 8 x 105

Spherical 7 – 22 μm diameter

Platelets 250 -500 x 106 Bulat atau oval, 2 – 4 μm

*) Williams (1987)

Ada dua macam leukosit, leukosit yang mengandung granula dalam

sitoplasmanya disebut granulosit dan yang tanpa granula disebut agranulosit.

Page 24: ekstrak polifenol

24

Leukosit terdiri dari 75 % sel granulosit dan 25 % sel agranulosit yang

terbentuk dari dalam sumsum tulang belakang (Baratawidjaya, 1994). Yang

termasuk kelompok agranulosit adalah sel limfosit dan monosit, sedangkan

basofil, neutrofil, dan eosinofil termasuk ke dalam kelompok granulosit

(bergranula) (Roitt, 1991).

Tabel 2. Persentase normal tipe sel darah putih *)

Tipe Sel Darah Putih Persentase Neutrofil 62 % Eosinofil 2,3 % Basofil 0,4 %

Limfosit 30 % Monosit 5,3 %

*) Gayton (1987)

F. MEKANISME RESPON IMUN

Tubuh manusia memiliki suatu sistem yang berfungsi melindungi

tubuh dari unsur-unsur patogen yaitu sistem imun. Sistem imun terdiri dari

komponen genetik, molekuler, dan seluler yang berinteraksi secara luas dalam

merespon terhadap antigen endogenus dan eksogenus (Baratawidjaya, 1994).

Salah satu sel yang berfungsi merespon antigen adalah sel darah putih.

Respon imun menjalankan tiga fungsi yaitu pertahanan (defense),

homeostasis dan pengawasan (surveillance). Fungsi pertahanan bertujuan

untuk melawan invasi mikroorganisme dan senyawa asing lainnya. Fungsi

homeostatis untuk menjaga keseimbangan isi tubuh secara normal, meliputi

degenerasi dan fungsi katabolik normal seperti pemusnahan sel-sel yang tidak

berguna atau rusak. Sedangkan fungsi pengawasan bertujuan untuk memonitor

jenis-jenis sel yang abnormal atau sel mutan (Bellanti, 1993). Menurut

Bellanti (1993), respon imun adalah suatu reaksi tubuh terhadap benda asing

yang mencakup interaksi seluler yang dapat dilihat dengan adanya zat-zat

yang disekresikan oleh sel.

Respon imunologik terdiri dari respon imun spesifik dan nonspesifik.

Respon imun nonspesifik merupakan imunitas bawaan, pertahanan terdepan

dalam menghadapi serangan mikroorganisme secara langsung, walaupun

tubuh sebenarnya belum terpapar zat asing tersebut. Sistem tersebut disebut

Page 25: ekstrak polifenol

25

nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu, telah

ada dan siap berfungsi sejak lahir. Komponen-komponen sistem imun

nonspesifik dapat dibagi menjadi pertahanan fisik dan mekanik, serta

pertahanan biokimiawi (Baratawidjaya, 1991).

Respon imun spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen

terlebih dahulu sebelum dapat memberikan responnya. Respon imun spesifik

meliputi respon imun seluler dan humoral. Leukosit khususnya limfosit

berperan penting dalam respon imun spesifik. Respon imun seluler

memberikan pertahanan terhadap mikroorganisme intra dan ekstraseluler

melalui sekresi limfokin seperti interferon dan interleukin, sedangkan respon

imun humoral memberi pertahanan melalui produksi antobodi terhadap

antigen spesifik (Roitt, 1991).

Uji aktivitas sel limfosit dapat dilakukan secara in vitro dan merupakan

indikator kualitas respon imun. Penelitian menggunakan sel imun khususnya

sel limfosit memberikan gambaran pertahanan tubuh. Berbagai jenis bahan

pangan seperti jahe, kunyit, bawang putih, telah diketahui dan diteliti memiliki

aktivitas imunostimulan yang antara lain meningkatkan kemampuan

proliferasi limfosit (Zakaria, 1996).

G. LIMFOSIT

Limfosit adalah sel darah putih yang mampu menghasilkan respon

imun spesifik terhadap berbagai jenis antigen yang berbeda. Limfosit

merupakan sel kunci dalam proses respon imun spesifik, mengenali antigen

melalui reseptor antigen dan mampu membedakannya dari komponen

tubuhnya sendiri (Kuby, 1992).

Menurut Gayton (1987), limfosit manusia berjumlah sekitar 30 % dari

persentase normal sel darah putih. Sel limfosit dibentuk di dalam kelenjar

timus dan sumsum tulang, berupa sel non granulosit berukuran kecil,

berbentuk bulat, dan berdiameter 7 – 15 mm. Sel limfosit selain terdapat pada

darah dapat pula dijumpai pada organ limfoid seperti limpa, kelenjar limfe,

dan timus. Sel limfosit tidak mempunyai kemampuan bergerak seperti amoeba

(Baratawidjaya, 1994).

Page 26: ekstrak polifenol

26

Limfosit merupakan inti dalam proses respon imun spesifik karena sel-

selnya dapat mengenal setiap jenis antigen. Sel limfosit dibentuk di dalam

sumsum tulang belakang dan berproliferasi serta berdiferensiasi menjadi

limfosit T dan B di dalam jaringan bursa fabricus (kelenjar timus) (Bellanti,

1993).

Sel limfosit terdiri atas sel T dan sel B yang keduanya bertanggumg

jawab dalam respon imun spesifik untuk mengenali antigen melalui reseptor

antigen. Sel ini juga mampu membedakan antigen dengan komponen tubuh

sendiri atau berfungsi sebagai pengontrol sistem imun (Bellanti, 1993). Selain

sel B dan sel T adapula sel Natural Killer sebanyak + 10 % dari sel limfosit

dalam darah, yang turut berperan serta dalam sistem imun.

1. LIMFOSIT T (SEL T)

Sel T merupakan 65 – 85 % dari semua limfosit dalam sirkulasi. Di

bawah mikroskop, morfologi sel T tidak dapat dibedakan dengan sel B.

Limfosit T berasal dari sel hematopoetik di sumsum tulang belakang, sel

ini kemudian pindah ke timus dan menjadi dewasa. Di organ timus sel T

sangat cepat membelah diri. Pada proses pendewasaannya sel ini

mengalami diferensiasi menjadi sel Thelper (Th), sel Tsupressor (Ts), dan

sel Tcytotoxic (Tc) (Bellanti, 1993). Sel berproliferasi menjadi sel T

memori dan berbagai sel efektor yang mensekresi berbagai limfokin.

Limfokin ini berpengaruh pada aktivasi sel B, sel Tc, sel NK dan sel lain

yang terlibat dalam respon imun (Roitt, 1991).

Limfosit T berperan penting dalam imunitas seluler dengan cara

merespon benda asing melalui reseptor permukaan secara langsung.

Setelah interaksi antara benda asing dengan sel limfosit T, terjadi suatu

seri peristiwa morfologik, biologik, dan biokimia dimana sel dapat

berfungsi secara langsung atau melalui pelepasan produk limfokin.

2. LIMFOSIT B (SEL B)

Sel B berperan dalam reaksi imun humoral dan bereplikasi apabila

terjadi rangsangan misalnya antigen. Adanya antigen akan merangsang sel

Page 27: ekstrak polifenol

27

B membentuk sel plasma yang dapat mensekresi antibodi, selain itu sel B

juga dapat berdiferensiasi membentuk sel memori (Baratawidjaya, 1994).

Sel B adalah sel yang dapat membentuk immunoglobulin (Ig) dan

merupakan 5 – 15 % dari limfosit dalam sirkulasi darah (Kresno, 1996).

Sel B bisa menjadi satu sel besar dengan metabolisme aktif, menjadi sel

blast atau limfoblast dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat

membentuk antibodi (Bellanti, 1993).

Sel B perawan yang terangsang oleh antigen, dengan bantuan sel

Th (sel T helper), akan mengalami proses perkembangan melalui 2 jalur,

yaitu berdiferensiasi menjadi sel plasma yang membentuk

immunoglobulin dan membelah lalu kembali istirahat sebagai sel B

memori. Bila sel B memori terstimulasi dengan antigen yang sama, maka

akan mengalami proliferasi lebih cepat membentuk sel plasma untuk

membentuk antibodi spesifik (Roitt, 1991).

Satu sel plasma dapat mensekresi beribu-ribu molekul antibodi

setiap detik. Sel B yang teraktivasi di dalam darah mengalami serangkaian

proses pembelahan dan diferensiasi sel setiap 24 jam selama periode 5 hari

(Albert et al., 1994).

H. KULTUR SEL

Kultur sel merupakan teknik yang biasa dipergunakan untuk

mengembangbiakan sel diluar tubuh (in vitro). Keuntungan penggunaan kultur

sel adalah lingkungan tempat hidup sel dapat dikontrol dan diatur, seperti pH,

tekanan osmosis, tekanan CO2 dan O2 sehingga kondisi fisiologis dari kultur

relatif konstan (Freshney, 1994). Beberapa kelemahan dari teknik ini yaitu

kultur sel harus dilakukan dalam kondisi yang steril karena sel hewan tumbuh

lebih lambat daripada kontaminan, selain itu untuk pertumbuhan sel dalam

kultur dibutuhkan lingkungan yang kompleks seperti di dalam tubuh, sel yang

tumbuh pada kultur sel mengalami perubahan sifat karena beberapa sifat dari

sel hilang yaitu hilangnya spesifisitas sel. Hal ini terjadi karena pada

perkembangbiakan sel di dalam tubuh (in vivo) sel bekerja secara terintegritas

dalam satu jaringan sedangkan dalam kultur sel terpisah-pisah, dengan

Page 28: ekstrak polifenol

28

demikian untuk mempertahankannya, kondisi kultur sel harus dibuat semirip

mungkin dengan keadaan lingkungan awal di dalam tubuh (Freshney, 1994).

Menurut Freshney (1994), terdapat beberapa perbedaan karakteristik

sel di dalam kultur dengan sel di dalam tubuh. Interaksi yang spesifik antar sel

pada jaringan secara in vitro hilang karena sel tersebar dan mudah bergerak,

laju pertumbuhan sel meningkat karena ada kemungkinan berproliferasi.

Lingkungan kultur kekurangan beberapa komponen yang mempengaruhi

pengaturan homeostatik tubuh seperti sistem syaraf dan sistem endokrin, tanpa

pengaturan ini, metabolisme selular in vitro menjadi lebih konstan dari in vivo.

Kondisi ini kurang mewakili jaringan tempat sel tersebut berasal sehingga

dibutuhkan penambahan hormon dalam kultur.

Energi yang dibutuhkan dalam metabolisme sel in vitro berasal dari

glikolisis sedangkan metabolisme sel secara in vivo berasal dari glikolisis,

daur krebs dan transpor elektron. Menurut Malole (1990), sel memerlukan

media penumbuh yang dapat membuat sel tersebut bertahan hidup,

berkembang, dan berdiferensiasi. Faktor yang mendukung pertumbuhan sel

dalam kultur adalah media pertumbuhan, serum janin sapi, dan kondisi

lingkungan.

Menurut Freshney (1994), pertumbuhan sel memerlukan pH 7.4.

pengaturan pH media dapat dilakukan dengan kondisi 5 % CO2 pada ruangan

diatas media. Keseimbangan pH dijaga dengan menambahkan NaHCO3

konsentrasi 24 mM sebagai buffer (Cartwright dan Shah, 1994). Suhu kultur

dipertahankan 37 oC dengan konsentrasi CO2 5 % dan O2 95 %. Temperatur

juga mempengaruhi pH melalui peningkatan kelarutan CO2 (Freshney, 1994).

Media pertumbuhan terdiri dari asam amino, vitamin, glukosa, garam,

berbagai suplemen organik seperti protein, peptida, nukleosida, dan lipid serta

hormon dan faktor pertumbuhan (Freshney, 1994). Fungsi utama media kultur

sel adalah untuk mempertahankan pH dan osmolalitas essensial untuk

viabilitas sel serta untuk menyediakan nutrisi dan energi yang dibutuhkan

untuk multiplikasi dan pertumbuhan sel (Cartwright dan Shah, 1994). Media

RPMI-1640 adalah media terbaik untuk menumbuhkan limfosit tikus atau

mencit, dan limfosit manusia untuk jangka pendek (Junge et al., 1970).

Page 29: ekstrak polifenol

29

FBS (Fetal Bovine Serum) ditambahkan sejumlah 5 – 20 % yang

berfungsi sebagai faktor hormonal untuk menstimulasi pertumbuhan dan

aktivitas sel, faktor yang membantu terjadinya pelekatan sel dan penyebaran

sel pada susbstrat (biomatrik), protein pembawa hormon, mineral, lemak, dam

lainnya (Malole, 1990). Menurut Junge et al.(1970), terdapat lima faktor yang

harus diperhitungkan untuk memilih serum sebagai suplemen media, yaitu :

a. Makromolekul yang dapat melindungi atau mendorong pertumbuhan

dalam kondisi yang kurang menguntungkan.

b. Mikromolekul seperti nukleotida, vitamin, hormon, co-enzyme sebagai

nutrisi essensial yang tidak terdapat dalam media.

c. Faktor-faktor yang menetralisir atau berkombinasi dengan stimulan,

termasuk antibodi.

d. Kehadiran antibodi ke sisi antigen dengan reseptor permukaan antigen

pada antibodi. Hal ini bisa bersifat sebagai stimulator atau sitotoksik.

e. Antigen asing. Serum heterolog akan memberikan banyak tenaga untuk

antigen potensial.

Serum merupakan suplemen peningkat pertumbuhan yang efektif

untuk semua jenis sel karena kompleksitas dan banyaknya faktor

pertumbuhan, perlindungan sel dan faktor nutrisi yang dikandungnya.

Kandungan tersebut dapat dibagi dalam beberapa polipeptida spesifik yang

menstimulasi pertumbuhan sel (growth factor), protein pengangkut, agen

pelindung sel, faktor pelekatan, dan nutrisi. Beberapa growth factor bersifat

essensial karena ketidakberadaannya dapat menginisiasi peristiwa apoptosis

(Cartwright dan Shah, 1994).

Menurut Junge, et al.(1970), limfosit tidak dapat bertahan hidup dan

tumbuh pada konsentrasi sel yang rendah (kurang dari 105 sel/ml). Indikator

paling nyata bila media telah habis adalah nilai pH yang rendah dimana hal

tersebut menjadi indikasi laju glikolisis.

Pada media kultur sel juga ditambahkan antibiotik untuk menghindari

terjadinya kontaminasi. Menurut Cartwright dan Shah (1994), faktor utama

untuk memilih jenis antibiotik untuk kultur sel adalah tidak bersifat toksik,

memiliki spektrum antimikroba luas, ekonomis, dan kecenderungan minimum

Page 30: ekstrak polifenol

30

untuk menginduksi pembentukan mikroba yang kebal. Agen antibakteri yang

banyak digunakan adalah campuran penicillin (100 IU/ml) dan streptomycin

(50 μg/ml). Gentamycin 50 μg/ml sering digunakan untuk mencegah

kontaminasi mikroba yang daya tahannya lebih besar. Agen antifungi yang

banyak digunakan adalah amphotericin B (2,5 μg/ml) dan nystatin (25 μg/ml)

(Cartwright dan Shah, 1994).

I. UJI PENENTUAN JUMLAH SEL

Metode yang cukup sederhana untuk penghitungan jumlah sel yang

berproliferasi adalah metode pewarnaan MTT (3-(4,5-dimethyl-2-thyazolyl)-

2,5-diphenyl-2H-tetrazolium bromide). Prinsip metode MTT adalah konversi

MTT menjadi senyawa formazan yang berwarna ungu oleh aktivitas enzim

suksinat dehidrogenase dari mitokondria sel hidup (Kubota, 2003). Jumlah

senyawa formazan yang terbentuk adalah proporsional dengan jumlah sel

limfosit yang hidup. Selain dengan metode MTT, perhitungan sel dapat

dilakukan dengan metode pewarnaan biru trifan, yang hanya dapat mewarnai

jika membran sel telah rusak, sehingga dapat digunakan untuk membedakan

sel hidup dan mati atau rusak. Sel yang hidup tidak akan berwarna (bening)

dan berbentuk bulat, sedangkan sel mati akan berwarna biru dan mengkerut

(Bird dan Forester, 1981).

J. PROLIFERASI SEL LIMFOSIT

Proliferasi merupakan fungsi biologis mendasar pada sel limfosit, yaitu

meliputi proses diferensiasi dan pembelahan sel. Aktivitas proliferasi limfosit

merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengukur status

imunitas karena proses proliferasi menunjukkan kemampuan dasar dari sistem

imun (Roitt dan Delves, 2001). Limfosit merupakan sel tunggal yang bertahan

baik saat dikultur dalam media sintetik lengkap. Respon proliferatif kultur

limfosit dalam media sintetik dapat digunakan untuk menggambarkan fungsi

limfosit dan status imun individu (Tejasari, 2000). Zakaria et al., (1992)

menyatakan bahwa kemampuan limfosit untuk berproliferasi atau membentuk

Page 31: ekstrak polifenol

31

klon menunjukkan secara tidak langsung kemampuan respon imunologik atau

tingkat kekebalan.

Uji proliferasi limfosit dapat dilakukan melalui pengukuran

kemampuan sel limfosit yang ditumbuhkan dalam kultur sel jangka pendek

yang mengalami proliferasi klonal ketika dirangsang secara in vitro oleh

antigen atau mitogen (Valentine dan Lederman, 2000). Bila sel dikultur

dengan senyawa mitogen, maka limfosit akan berproliferasi secara tidak

spesifik. Begitupula bila limfosit dikultur dengan antigen spesifik maka

limfosit akan berproliferasi secara spesifik.

Beberapa senyawa yang telah diketahui mampu meningkatkan

proliferasi sel limfosit adalah vitamin C dan E (Budiharto, 1997), ekstrak

bawang putih (Lastari, 1998), ekstrak jahe (Zakaria et al., 1997), ekstrak

tanaman cincau hijau (Pandoyo, 2000), ekstrak air kayu secang (Caesalpinia

sappan Linn) (Puspaningrum, 2003), teh daun dan serbuk gel cincau hijau

(Setyawati, 2003), bunga kumis kucing (Orthosimphon stmineus benth) dan

bunga knop (Gomphrena globosa L.) (Aquarini, 2005). Senyawa-senyawa

tersebut bekerja melalui mekanisme menginduksi proliferasi sel limfosit.

K. MITOGEN

Mitogen adalah agen yang mampu menginduksi pembelahan sel

limfosit baik sel T maupun sel B dalam persentase yang sangat tinggi.

Mitogen merupakan sumber ligan polipeptida yang dapat berikatan dengan

reseptor yang terdapat pada permukaan sel. Beberapa mitogen merupakan

faktor pertumbuhan yang mengaktivasi tirosin kinase. Aktivitas tersebut

diawali oleh mitogen yang mengakibatkan adanya urut-urutan sinyal yang

berpengaruh terhadap berbagai faktor transkripsi dan berpengaruh terhadap

aktivitas gen di dalam sel (Decker, 2001).

Beberapa molekul pada patogen mampu berikatan dengan molekul

permukaan limfosit yang bukan merupakan reseptor antigen. Jika pengikatan

ini mampu menginduksi limfosit untuk membelah (mitosis), maka molekul

tersebut disebut mitogen. Mitogen menginduksi proliferasi limfosit pada

frekuensi tinggi tanpa memerlukan adanya spesifitas antigen, disebut dengan

Page 32: ekstrak polifenol

32

aktivasi poliklonal. Beberapa mitogen hanya mampu menginduksi proliferasi

sel B, beberapa hanya berpengaruh pada sel T, dan ada juga yang mampu

menginduksi keduanya. Beberapa mitogen disebut antigen T-independen,

karena mampu menginduksi sel B untuk mensekresi antibodi tanpa ada

bantuan dari sel Th (Decker, 2001).

Lektin pada umumnya adalah mitogen yang merupakan protein yang

berikatan dengan senyawa karbohidrat. Concavalin A (Con A) adalah protein

yang berasal dari bibit jack bean (Canavalia ensiformis) yang berikatan

dengan gula yang mengandung α-D-mannose atau α-D-glucose. Con A

mempunyai struktur tetramer dengan setiap monomernya memiliki satu situs

pengikat karbohidrat, sehingga dapat mengikat glikoprotein pada permukaan

sel. Lektin con A adalah mitogen asal legum yang bersifat sebagai

imunomodulator karena dapat merangsang proliferasi limfosit. Menurut

Kresno (1996) sebanyak 50 – 60 % sel limfosit T mampu memberikan respon

terhadap stimulasi dengan mitogen Con A. Con A dapat merangsang

transformasi blast sub populasi sel T (Bellanti, 1993).

Tidak semua mitogen adalah lektin. Lipopolisakarida (LPS) yang

merupakan komponen dari dinding sel bakteri gram negatif juga mampu

berfungsi sebagai mitogen, tetapi pengaruhnya hanya pada sel B. Aktivitas

mitogenik LPS berasal dari bagian lipidnya yang berinteraksi dengan

membran plasma, kemudian menghasilkan aktivasi selular (Kuby, 1992).

Respon terhadap mitogen tersebut dianggap menyerupai respon

limfosit terhadap antigen, sehingga uji transformasi dengan rangsangan

mitogen banyak dipakai untuk menguji fungsi limfosit. Stimulasi limfosit

dengan antigen maupun mitogen mengakibatkan berbagai reaksi biokimia di

dalam sel, diantaranya fosforilasi nukleoprotein, pembentukan DNA dan

RNA, peningkatan metabolisme lemak dan lain-lain. Perubahan yang terjadi

adalah transformasi blast yang ditunjukkan dengan pembesaran limfosit

karena nukleus juga membesar, retikulum endoplasmik menjadi kasar dan

tubulus mikro jelas, serta kecepatan sintesa DNA meningkat menuju mitosis

(Letwin dan Quimby, 1987).

Page 33: ekstrak polifenol

33

III. BAHAN DAN METODE

A. BAHAN DAN ALAT

1. Bahan

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah bubuk biji

kakao bebas lemak yang diperoleh dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao

Indonesia di Jember, yaitu:

A. Kakao Mulia/Edel (A)

1. Edel Muda (Umur 90 s/d 100 hari) (A1)

2. Edel Masak (Umur 150 s/d 160 hari ) (A2)

B. Kakao Lindak/Bulk (B)

1. Bulk Muda (Umur 90 s/d 100 hari) (B1)

2. Bulk Masak (Umur 150 s/d 160 hari ) (B2)

C. Buah Terserang Busuk Buah Phytopthora (C)

1. Tingkat Serangan Ringan (C1)

2. Tingkat Serangan Sedang (C2)

3. Tingkat Serangan Berat (C3)

D. Buah Terserang Penggerak Buah Kakao (D)

1. Tingkat Serangan Ringan (D1)

2. Tingkat Serangan Sedang (D2)

3. Tingkat Serangan Berat (D3)

Bahan-bahan lain yang diperlukan diantaranya beberapa reagen

untuk uji total fenolik, yaitu larutan Folin–dennis, Na2CO3 (60 g/L),

larutan stok standar asam tanat 50 ppm, dan akuades. Selain itu juga

diperlukan bahan-bahan untuk pembuatan kultur sel limfosit diantaranya

media RPMI-1640 (Gibco BRL), glutamin, NaHCO3, antibiotik,

akuabides, Fetal Bovine Serum (FBS) (Sigma Chemical, USA), Phospat

Buffer Saline (PBS) pH 7.4 (Sigma Chemical, USA), Histopaque (Sigma

Chemical, USA), pewarna biru trifan (Wako, Jepang), MTT (3-(4,4-

dimethylthiazole-2-yl)-2,5-diphenyl tetrazolium bromide) (Sigma

Chemical, USA), mitogen Lipopolisakarida (LPS) salmonella typhosa

Page 34: ekstrak polifenol

34

(Sigma Chemical, USA), serta alkohol 70 %. Sel limfosit didapat dan

diisolasi dari darah responden laki-laki dewasa yang sehat.

2. Alat Alat untuk analisis kultur sel dan pengujian kandungan total fenolik

meliputi, laminar flow (lab.gard Class II, Type A/B2, model NU-407-

600), inkubator (C02 water jacketed incubator, model NU-2700E),

sentrifuse jenis swing dengan tipe CR412 dari Jouan, hemasitometer

(Neubauer), I3-counter (Beckman), mikroskop (Zeiss ID03, Germany),

mikropipet, neraca analitik, tabung reaksi, pipet Mohr 2ml dan 10 ml,

corong, vorteks, lampu spiritus, serta spektrofotometer. Pengamatan dari

foto sel menggunakan inverted microscope tipe 1x70 dari Olympus dengan

pembesaran lensa obyektif 100x. Pembacaan absorbansi jumlah sel

menggunakan alat microplate reader (Benchmark, Bio-Rad).

Peralatan habis pakai yaitu lempeng sumur mikrotiter 96 (Nunc),

tabung Falcon 5 ml, tabung 1,5 ml (Eppendorf), tabung vakum

vacutaener 9 ml, syringe dengan jarum butterfly No. 23, membran filter

0,22 μm, mikrotip biru dan kuning, alumunium foil, kertas saring

Whatman no.1.

B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai Mei 2006.

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi

Pangan (ITP), Fakultas Teknologi Pertanian IPB dan Laboratorium Kultur

Jaringan, Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi

(KRP), Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

C. METODE PENELITIAN

1. Ekstraksi

Sebanyak 8 gram bubuk kakao diekstraksi dalam 100 ml pelarut air

(H2O) sehingga konsentrasinya menjadi 0,08 g/ml selama 24 jam pada

suhu kamar. Kemudian disaring sebanyak 2 kali dengan kertas saring dan

dipisahkan antara ampas dan filtratnya. Sebanyak 1,5 ml masing-masing

Page 35: ekstrak polifenol

35

filtrat sampel dijadikan larutan stok dan disterilkan secara aseptis dengan

penyaringan membran 0,22 μm. Kemudian dilakukan pengenceran

bertingkat dalam media RPMI 1640 untuk mendapatkan larutan stok

dengan tingkat konsentrasi masing-masing 1,66 mg/ml (C1), 3,32 mg/ml

(C2) dan 6,64 mg/ml (C3). Tingkatan konsentrasi ini ditentukan

berdasarkan konsumsi normal minuman bubuk kakao murni perhari yang

terserap ke dalam darah manusia, dimana konsentrasi tersebut diatas

berturut-turut merupakan analogi dari 1x, 2x, dan 4x dosis normal per hari.

Contoh perhitungan dapat dilihat pada lampiran 2.

2. Analisis Total Polifenol

Penetapan kandungan total fenol dilakukan secara spektrofotometri

berdasarkan metode Folin-Dennis dengan menggunakan asam tanat

sebagai standar. Dua mililiter filtrat ekstrak bubuk kakao (0,8 mg/ml)

dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ke dalamnya ditambahkan

berturut-turut 1 ml pereaksi Folin yang telah diencerkan 10 kali dengan

akuades dan 1 ml larutan Na2CO3 (60g/L). Kurva standar dibuat dari

sederet larutan standar asam tanat dengan konsentrasi 0 ppm hingga 50

ppm. Masing-masing 2 ml larutan standar dipipet, kemudian diperlakukan

sama seperti contoh di atas. Blanko dibuat dari 2 ml akuades sebagai

pengganti filtrat sampel. Masing-masing campuran sampel, standar

maupun blanko divorteks kemudian dibiarkan selama 30 menit pada suhu

ruang. Selanjutnya diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada

panjang gelombang 760 nm.

3. Persiapan Media Kultur Sel

Media yang digunakan untuk kultur sel adalah RPMI-1640 yang

sudah mengandung glutamin 10 mM. Cara pembuatan larutan RPMI

medium standar adalah dengan melarutkan bubuk RPMI sebanyak 10,42

gram ke dalam akuabides sehingga diperoleh satu liter larutan, kemudian

ditambahkan 2 gram NaHCO3 sebagai buffer dan 1% penicillin

streptomycin sebagai antibiotik untuk mencegah kontaminasi (Junge et al.,

Page 36: ekstrak polifenol

36

1970). Larutan tersebut disterilkan dengan membran steril 0,22 μm. Jika

digunakan sebagai media pertumbuhan, komposisi medium ditambahkan

10% FBS steril (Zakaria, 1997).

4. Pengujian Ekstrak terhadap Proliferasi Sel Limfosit Manusia

4.1. Isolasi Limfosit Darah Tepi

Pengambilan darah perifer dilakukan di Klinik Herba Dr. Effi

Afifah Kampus Darmaga oleh seorang asisten tranfusi darah pada

jam 09.30. Setelah diberi inform of concern (lampiran 9), darah

diambil dari seorang responden pria dewasa sehat secara aseptis

dengan syringe dan jarum butterfly No. 23 sekali pakai. Sampel

darah ditempatkan dalam tabung vakum vacutaener steril.

Limfosit manusia diisolasi dari darah perifer dengan

sentrifugasi berdasarkan perbedaan densitas larutan ficoll-hypaque

sebesar 1,77 ± 0,001 g/ml. Pertama dilakukan pemisahan komponen

seluler dengan sentrifugasi sampel darah pada 1500 rpm selama 5

menit. Bagian darah yang lebih berat (sel darah merah) berada di

bagian bawah, sedangkan plasma darah terpisah di bagian atas.

Lapisan buffy coat yang sebagian besar berisi sel limfosit dan

berada diantara kedua lapisan itu diambil lalu ditambahkan media

RPMI basal hingga 14 ml.

Pada tahap pemisahan selanjutnya suspensi limfosit dalam

media dilewatkan diatas larutan ficoll-hypaque secara perlahan

sehingga terbentuk dua lapisan yang tidak bercampur. Kemudian

disentrifugasi pada 1800-2000 rpm selama 30 menit.

Sel darah putih yang tidak bergranula (agranulosit) seperti

limfosit dan monosit mempunyai densitas lebih rendah dari

larutan ficoll-hypaque sehingga berada sebagai lapisan di atas

permukaan ficoll dan tidak menembus ke bawah. Sedangkan

granulosit dan sel darah merah terpisah di dasar tabung sentrifus

karena berdensitas lebih tinggi. Lapisan atas yang berisi sel

limfosit dicuci 2 kali dengan media basal dan disentrifugasi pada

Page 37: ekstrak polifenol

37

1500 rpm selama 5 menit, sehingga limfosit (dalam presipitat)

terpisah dari platelet, monosit, plasma dan ficoll (dalam

supernatan).

Gambar 1. Darah perifer dan Ficoll hypaque sebelum disentrifugasi

Keterangan : (A) Darah perifer (B) ficoll hypaque

Gambar 2. Hasil pemisahan leukosit

Sel limfosit tersebut dihitung dengan pewarnaan biru trifan

pada hemasitometer. Suspensi limfosit dengan jumlah sel yang hidup di

atas 95 % tersebut disiapkan dan dilakukan pengenceran dengan

media basal yang mengandung serum sebanyak 10 %. Hasil isolasi

sel limfosit dibuat menjadi suspensi dengan konsentrasi 106 sel/ml.

4.2. Pengujian Aktivitas Proliferasi Menggunakan MTT

Sejumlah 80 µl suspensi limfosit dalam media lengkap

dimasukkan secara acak ke dalam sumur lempeng mikro. Lalu

Page 38: ekstrak polifenol

38

ditambahkan berturut-turut ke setiap sumur masing-masing

sejumlah 20 µl ekstrak senyawa polifenol yang telah disiapkan

dengan konsentrasi 1,66 mg/ml (C1), 3,32 mg/ml (C2) dan 6,64

mg/ml (C3). Volume akhir setiap sumur lempeng mikro adalah

100µl. Sebagai kontrol ditambahkan 20 µl medium RPMI-1640

sebagai penganti ekstrak sampel sehingga mencapai volume yang

sama, sedangkan sebagai kontrol positif ditambahkan 20 µl mitogen

LPS dengan konsentrasi dalam kultur sebesar 5 μg/ml sebagai

pengganti ekstrak sampel. Sumur lempeng mikro kemudian

diinkubasi selama 72 jam dalam inkubator suhu 37oC. Sekitar 4-5

jam sebelum masa inkubasi berakhir, pada setiap sumur ditambahkan

MTT (5 mg/ml) sebanyak 10 µl lalu dilanjutkan inkubasi selama 4

jam. Sumur lempeng kemudian dibaca oleh alat microplate reader

setelah sebelumnya ditambahkan HCl-isopropanol 0,04 N sebanyak

100 µl pada setiap sumur untuk menghentikan reaksi. Nilai

absorbansi hasil pembacaan menggunakan microplate reader bersifat

proporsional terhadap jumlah sel yang hidup.

4.3. Pengujian Aktivitas Proliferasi Menggunakan Biru Trifan

Metode isolasi dan pembuatan kultur untuk pengujian

aktivitas proliferasi menggunakan metode biru trifan sama dengan

metode MTT, namun penghitungan jumlah sel dilakukan dengan

bantuan pewarnaan biru trifan menggunakan hemasitometer.

Penghitungan jumlah sel hanya dilakukan terhadap sel mati.

Rumus perhitungan sel limfosit dengan menggunakan

hemasitometer adalah sebagai berikut :

N (sel/ml) = A x FP x 104

Keterangan : N = jumlah sel limfosit per ml

A = jumlah sel rata-rata per bidang pandang

FP = faktor pengenceran (=2), diperoleh dari

pencampuran biru trifan : suspensi sampel = 1: 1

104 = konstanta volume hemasitometer

Page 39: ekstrak polifenol

39

D. RANCANGAN PERCOBAAN

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini untuk

analisis dengan metode MTT adalah rancangan acak lengkap dengan dua

faktor dan tiga ulangan. Model rancangannya adalah sebagai berikut :

Yij = µ + Ai + Bj + (AB)ij + éijk

Dimana :

Yij = variabel respon yang dipengaruhi

µ = nilai rata-rata perlakuan

Ai = pengaruh taraf i faktor A

Bj = pengaruh taraf j faktor B

(Ab)ij = pengaruh interaksi taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B

éij = galat perlakuan akibat tiga kali ulangan

i = jenis konsentrasi

j = jenis ekstrak bubuk kakao

Sementara itu rancangan percobaan yang digunakan untuk analisis

dengan metode biru trifan adalah rancangan acak lengkap dengan satu faktor

dan dua ulangan. Model rancangannya adalah sebagai berikut :

Yij = µ + τi + εij

Dimana :

Yij = variabel respon yang dipengaruhi

µ = nilai rata-rata perlakuan

τi = pengaruh ekstrak bubuk kakao taraf ke-i

i = jenis ekstrak bubuk kakao

εij = galat perlakuan akibat dua kali ulangan

Data yang didapat kemudian dianalisis secara statistik dengan program

komputer statistik untuk analisis sidik ragam (ANOVA), yang dilanjutkan

oleh uji lanjut Duncan (SAS 6.0), dengan kontrol negatif (kultur sel tanpa

ekstrak) dan kontrol positif (LPS) sebagai pembanding.

Page 40: ekstrak polifenol

40

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. BUBUK KAKAO

Pada penelitian ini sampel kakao yang digunakan telah berbentuk

bubuk hasil pengolahan dari bagian biji kopi yang telah melalui proses

pemeraman dan pengeringan. Sebelum dilakukan pengujian secara in vitro,

dilakukan ekstraksi terhadap sampel bubuk kakao dengan tujuan untuk

mengekstrak komponen polifenol yang dipercaya mampu memicu aktitivitas

proliferasi sel tersebut.

Bubuk kakao bebas lemak merupakan produk substandar hasil

pengolahan biji kakao, dengan demikian nilai ekonomisnya relatif rendah jika

dibandingkan dengan cocoa butter atau lemak coklat yang banyak diambil dan

dimanfaatkan dari tanaman kakao. Meskipun demikian, bubuk kakao bebas

lemak ini diketahui tetap memiliki kandungan polifenol yang tinggi. Hal ini

mengakibatkan adanya kemungkinan potensi bubuk kakao tersebut sebagai

imunomodulator. Kedua jenis kakao yaitu edel dan bulk dipilih karena

merupakan dua jenis tanaman kakao yang banyak dibudidayakan di Indonesia.

Kandungan polifenol kedua jenis kakao ini tidak jauh berbeda, namun proses

fermentasi kemungkinan akan mengakibatkan perubahan kimiawi termasuk

kandungan total polifenolnya.

Proses fermentasi mengakibatkan beberapa perubahan kandungan

polifenol kakao, diantaranya terjadi penurunan drastis kandungan polifenol

larut air serta terjadi polimerisasi beberapa jenis konstituen seperti (-)-

epikatekin menjadi komponen fenolik yang lebih besar bobot molekulnya

misalnya prosianidin (Shahidi dan Nacsk, 2003).

Menurut Leniger dan Beverloo (1975) ekstraksi adalah metode

pemisahan dimana komponen-komponen terlarut dari suatu campuran

dipisahkan dari komponen yang tidak larut dengan pelarut yang sesuai.

Metode paling sederhana untuk mengekstraksi padatan adalah dengan

mencampurkan seluruh bahan dengan pelarut, lalu memisahkan larutan

dengan padatan tidak terlarut.

Page 41: ekstrak polifenol

41

Bubuk kakao pada penelitian ini diekstraks dengan akuades atau air

yang dipilih sebagai pendekatan terhadap keadaan nyata konsumsi bubuk

kakao sehari-hari. Masyarakat biasanya membuat minuman kakao ataupun

coklat dengan cara melarutkan bubuk kakao di dalam air untuk kemudian

dikonsumsi. Pemilihan pelarut air ini juga memudahkan pembuatan kultur

karena seperti halnya air, media RPMI-1640 juga bersifat polar sehingga dapat

dengan mudah melarutkan suspensi limfosit dan ekstrak sampel.

Ekstraksi dilakukan selama 24 jam dengan maksud agar komponen

polar termasuk polifenol yang terlarut didalam pelarut air akan lebih optimal.

Selanjutnya dilakukan penyaringan sebanyak 2 kali dengan kertas saring

untuk memisahkan endapan yang terbentuk di dasar wadah, sehingga

diperoleh larutan ekstrak sampel yang homogen. Konsentrasi yang dipilih

ketika melakukan ektraksi adalah sebesar 8 gram per 100 ml akuades.

B. TOTAL POLIFENOL

Polifenol merupakan salah satu senyawa antioksidan yang berasal dari

golongan flavonoid yang sangat bermanfaat bagi kesehatan. Komponen-

komponen fenolik banyak terdapat pada pangan nabati atau sayuran dan buah-

buahan. Senyawa tersebut mempengaruhi kualitas gizi pangan segar dan

olahan. Selain itu senyawa fenol dapat berfungsi sebagai antioksidan primer

karena mampu menghentikan reaksi rantai radikal bebas pada oksidasi lipid

(Kochlar dan Rossell, 1990).

Komponen fenolik yang terdiri dari fenol sederhana, turunan asam

hidroksisinamat dan flavonoid memiliki molekul dasar yang sama yaitu

memiliki minimal satu cincin aromatik dan satu gugus hidroksil sehingga

mudah untuk larut dalam pelarut polar. Komponen fenolik ini telah diketahui

pula memiliki aktivitas antioksidan (Shahidi, 1997). Krinsky (1992)

mendefinisikan antioksidan sebagai senyawa yang melindungi sistem biologis,

melawan efek-efek yang potensial dari proses atau reaksi yang dapat

menyebabkan oksidasi berlebihan.

Menurut Shahidi (1997), senyawa fenolik sering terikat dalam protein,

alkaloid dan terpenoid serta cenderung untuk larut dalam air karena paling

Page 42: ekstrak polifenol

42

sering terdapat bergabung dengan gula glikosida dan biasanya terdapat dalam

rongga sel tumbuhan. Dengan demikian, ekstraksi dengan pelarut air seperti

yang dilakukan pada penelitian ini diduga mampu mengekstrak komponen

polifenol dari sampel bubuk kakao yang kemudian akan memicu proliferasi

sel limfosit.

Penentuan total polifenol dalam penelitian ini dilakukan secara

spektrofotometrik menggunakan standar asam tannat pada konsentrasi 5 ppm

hingga 50 ppm. Hasil reaksi diukur pada panjang gelombang 760 nm.

Hubungan antara konsentrasi polifenol (asam tannat) dan absorbansi hasil

reaksi dapat dilihat pada gambar 3. Hasil analisis total polifenol pada sampel

ekstrak bubuk kakao berdasarkan persamaan kurva tersebut dapat dilihat pada

gambar 4 berikut ini.

y = 0.0176x + 0.0791R2 = 0.9932

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55

konsentrasi (ppm)

abso

rban

si

Gambar 3. Kurva standar asam tannat.

Page 43: ekstrak polifenol

43

37.4

09

20.9

03

4.96

6

35.5

34

9.96

6

12.3

81

4.02

8

39.4

55

29.0

57

21.7

27

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

A1 A2 B1 B2 C1 C2 C3 D1 D2 D3

Jenis sampel

Kon

sent

rasi

(ppm

)

Gambar 4. Diagram kadar total polifenol rata-rata pada bubuk kakao

Keterangan :

A1 = Edel muda A2 = Edel masak B1 = Bulk muda B2 = Bulk masak C1 = Buah Terserang Busuk Buah Phytopthora Tingkat Serangan Ringan C2 = Buah Terserang Busuk Buah Phytopthora Tingkat Serangan Sedang C3 = Buah Terserang Busuk Buah Phytopthora Tingkat Serangan Berat D1 = Buah Terserang Penggerak Buah Kakao Tingkat Serangan Ringan D2 = Buah Terserang Penggerak Buah Kakao Tingkat Serangan Sedang D3 = Buah Terserang Penggerak Buah Kakao Tingkat Serangan Berat

Dari grafik diatas diketahui bahwa adanya serangan busuk buah

mengakibatkan penurunan kandungan polifenol pada bubuk kakao yang

diperoleh dari buah tersebut. Serangan cendawan P. palmivora diduga telah

merusak buah kakao sehingga mempengaruhi kandungan senyawa kimia

dalam bijinya. Serangan hama penggerak buah juga mempengaruhi kadar total

polifenol ekstrak bubuk kakao dimana semakin tinggi tingkat serangannya

semakin rendah kadar polifenol (Misnawi, 2005).

Kandungan total polifenol tertinggi pada sampel yang tidak terserang

hama adalah pada sampel edel muda yaitu sebesar 37,4 ppm dan yang

terendah adalah sampel bulk muda yaitu sebesar 4,9 ppm. Menurut Mao et al.

(2000), komponen fenolik larut air yang terkandung di dalam kakao jenis edel

Page 44: ekstrak polifenol

44

lebih besar jumlahnya daripada jenis bulk. Meskipun demikian hal ini

bergantung pada proses fermentasinya.

Misnawi (2005) mengatakan bahwa semakin masak buah kakao,

semakin tinggi kandungan polifenolnya. Ini dikarenakan pada buah yang

masih muda, pembentukan senyawa polifenol dalam biji kakao masih belum

sempurna. Hasil penelitian yang berbeda ini kemungkinan terjadi karena

sampel yang diujikan total polifenolnya bukan berupa sampel segar dari biji

kakao, melainkan yang telah berbentuk bubuk. Dengan demikian mungkin

terjadi perubahan komposisi kimia termasuk kandungan polifenolnya selama

proses pengeringan menjadi bentuk bubuk tersebut. Hasil penelitian

sebelumnya mendapatkan bahwa kandungan polifenol dalam biji kakao kakao

lindak fermentasi dan tanpa fermentasi berkisar 50 − 180 g/kg (Misnawi et al.,

2002 a,c).

C. APLIKASI KULTUR SEL

Kultur sel secara in vitro memerlukan kondisi lingkungan yang sama

dengan keadaan lingkungan dalam tubuh sehingga proses biologis yang terjadi

dalam kultur sel dapat berlangsung mendekati keadaan sebenarnya dalam

tubuh. Pendekatan terhadap kondisi lingkungan tubuh diperoleh dengan

aplikasi media pertumbuhan, pH, serta fase gas yang sesuai untuk

pertumbuhan sel.

Pada penelitian ini jumlah sel limfosit hidup dalam suspensi yang

digunakan dalam kultur ini adalah sebesar 106 sel/ml. Menurut Freshney

(1994), jumlah sel minimum untuk dapat bertahan hidup di dalam kultur sel

adalah sebanyak 1-2 x 106 sel/ml. Suspensi limfosit yang digunakan untuk

setiap sumur adalah sebanyak 80 µl, sedangkan volume akhir kultur sel per

sumur adalah 100 µl. Dengan jumlah sel limfosit hidup tersebut diharapkan

sel limfosit akan mampu bertahan hidup dan melewati siklus hidupnya dengan

baik dalam waktu inkubasi selama 72 jam.

Penentuan waktu inkubasi selama 72 jam dilakukan untuk mencegah

berkurangnya ketersediaan zat gizi yang dikonsumsi oleh sel limfosit akibat

waktu inkubasi yang lama. Media RPMI akan berfungsi maksimal dalam

Page 45: ekstrak polifenol

45

mengkultur sel limfosit selama 3 hari. Jika inkubasi kultur dilakukan lebih

lama dari jangka waktu tersebut maka perlu dilakukan penyegaran media

termasuk penambahan glutamin (Malole, 1990).

Penentuan ekstrak bubuk kakao yang ditambahkan pada kultur

ditentukan berdasarkan pada perhitungan konsentrasi ekstrak yang akan

berada dalam darah ketika konsumsi normal minuman bubuk kakao. Contoh

perhitungan konsentrasi ini dapat dilihat pada lampiran 2. Konsentrasi ekstrak

berdasarkan konsumsi sehari-hari dilambangkan dengan C1 yaitu sebesar

1,66mg/ml, kemudian dari konsentrasi ini dibuat peningkatan konsentrasi

sebanyak dua kali lipat yaitu sebesar 3,32 mg/ml (C2), dan empat kali lipat

yaitu sebesar 6,64 mg/ml (C3).

Pengujian ekstrak terhadap proliferasi sel limfosit secara in vitro

menggunakan beberapa taraf konsentrasi seperti ini telah banyak dilakukan.

Hal ini dengan maksud untuk mengetahui signifikansi peningkatan dosis

konsumsi dengan efek respon proliferatif sel yang dihasilkannya. Beberapa

penelitian yang telah dilakukan dengan penggunaan beberapa tingkat

konsentrasi ini diantaranya dilakukan pada sampel ekstrak cincau hijau

(Pandoyo, 2000) dan ekstrak jahe (Yuana, 1998).

Analisis dengan metode MTT diujikan dengan menggunakan ketiga

tingkat konsentrasi pada setiap jenis ekstrak bubuk kakao, namun untuk

analisis dengan metode biru trifan hanya digunakan ekstrak bubuk kakao pada

konsentrasi 3,32 x 10-3 g/ml.

Jumlah sel hidup yang terdapat pada kultur setelah masa inkubasi

dilihat dengan metode MTT, dimana pengukuran dilakukan secara

spektrofotometri. Jumlah sel hidup dapat dilihat dari absorbansi yang

ditunjukkan oleh microplate reader. Kemampuan sel limfosit utuk

berproliferasi akibat penambahan ekstrak bubuk kakao ke dalam sampel akan

dilihat dengan membandingkan absorbansi yang dihasilkan oleh kultur dengan

penambahan ekstrak dan kultur tanpa penambahan ekstrak (kontrol). Metode

biru trifan dilakukan untuk mengetahui jumlah sel limfosit yang mati setelah

masa inkubasi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan ekstrak

bubuk kakao untuk mempertahankan viabilitas sel limfosit.

Page 46: ekstrak polifenol

46

Pada metode MTT galat dapat terjadi berupa kesalahan positif jika

terdapat kontaminasi. Kontaminasi menyebabkan kristal formazan yang

terbentuk bukan saja diperoleh dari kerja enzim suksinat dehidrogenase yang

dimiliki oleh sel limfosit hidup, tetapi juga dari sel mikroba kontaminan.

Kedua galat ini tentunya harus dapat dihindari semaksimal mungkin pada

pelaksanaannya secara teknis.

Untuk menghindari kontaminasi, pembuatan kultur sel dilakukan

secara aseptis di dalam laminar flow hood. Selain itu, pada media RPMI yang

digunakan juga ditambahkan antibiotik yaitu penicillin yang efektif

menghambat bakteri gram positif maupun negatif, serta streptomycin yang

efektif menghambat bakteri gram positif dan negatif serta mycoplasma (Junge

et al., 1970)

Beberapa ekstrak bubuk kakao yang ditambahkan pada kultur pada

penelitian ini ternyata mampu menyebabkan sel limfosit bertahan hidup secara

baik dan mengalami proliferasi secara signifikan terhadap kontrol. Hal ini

dapat dilihat dari nilai absorbansi kultur dengan penambahan ekstrak yang

lebih tinggi daripada kontrol. Hal tersebut akan dijelaskan lebih lanjut pada

sub bab berikutnya.

D. PENGUJIAN AKTIVITAS PROLIFERASI SEL LIMFOSIT

1. Perhitungan sel limfosit mati dengan metode biru trifan

Pada metode biru trifan jumlah sel dihitung dengan menggunakan

hemasitometer menggunakan mikroskop. Metode ini cukup sulit dilakukan

mengingat jumlah sampel yang diujikan cukup banyak. Oleh karena itu

pada penelitian ini metode biru trifan digunakan untuk menghitung sel

limfosit yang telah mati setelah masa inkubasi 72 jam. Jumlah sel mati ini

perlu diketahui untuk melihat kemampuan ekstrak mempertahankan sel

limfosit agar tetap hidup setelah 72 jam, sehingga dapat diketahui

viabilitas sel akibat penambahan ekstrak bubuk kakao.

Page 47: ekstrak polifenol

47

112

2428

24

12

28

16 168

168

16

0

20

40

60

80

100

120

kontrol(-)

LPS A1 A2 B1 B2 C1 C2 C3 D1 D2 D3

jenis sampel

jum

lah

sel m

ati (

x10.

000)

Gambar 5. Grafik jumlah sel limfosit mati setelah masa inkubasi 72 jam

yang dihitung dengan metode biru trifan.

Dari hasil yang diperoleh berdasarkan gambar 5 dapat dilihat

bahwa semua jenis ekstrak bubuk kakao yang ditambahkan pada kultur

mampu mempertahankan sel limfosit tetap hidup setelah inkubasi selama

72 jam. Hal ini terbukti dari jumlah sel mati yang terhitung pada kultur

dengan penambahan ekstrak jauh lebih kecil daripada jumlah sel mati pada

kontrol negatif. Berdasarkan uji statistik dengan analisis sidik ragam

seperti tertera pada lampiran 7 juga terlihat bahwa perlakuan penambahan

ekstrak bubuk kakao pada kultur berpengaruh sangat nyata terhadap

jumlah sel limfosit mati dengan nilai p sebesar 0.0003 (p<0.05). Hasil uji

lanjut Duncan pada lampiran 9 juga menunjukkan bahwa semua jenis

ekstrak bubuk kakao memberikan pengaruh yang nyata dibandingkan

dengan kontrol negatif (p<0.05). Hasil ini menunjukkan bahwa

penambahan ekstrak bubuk kakao pada kultur secara in vitro tidak bersifat

toksik bagi sel limfosit.

Jumlah sel limfosit yang mati pada kontrol negatif banyak

jumlahnya, dimana hal ini menandakan bahwa dalam jangka waktu

inkubasi selama 72 jam tersebut, secara normal sel limfosit mampu

berproliferasi tanpa penambahan ekstrak bubuk kakao. Tingginya jumlah

sel limfosit yang mati pada kontrol negatif diduga terjadi akibat proliferasi

Page 48: ekstrak polifenol

48

sel itu sendiri. Dengan terjadinya proliferasi sel maka jumlah sel di dalam

kultur menjadi banyak, sehingga kemungkinan nutrisi yang tersedia dari

media menjadi kurang cukup dan limfosit mengalami kematian. Menurut

Junge et al. (1970), ketersediaan nutrisi di dalam media pada kultur sel

secara in vitro sangat penting untuk mendukung pertumbuhan dan

viabilitas sel.

2. Pengukuran aktivitas proliferasi dengan metode MTT

Nilai absorbansi hasil pengukuran microplate reader menyatakan

ukuran penyerapan sinar oleh kristal formazan yang terbentuk sebagai

hasil konversi MTT dengan adanya kerja enzim suksinat dehidrogenase.

Enzim ini dihasilkan dari mitokondria sel hidup, dengan demikian kristal

formazan hanya dapat terbentuk oleh sel yang hidup (Kubota et al., 2003).

Banyaknya kristal formazan yang terbentuk berarti berkorelasi dengan

banyaknya sel yang hidup. Nilai absorbansi akan linear dengan jumlah sel

hidup, atau dengan kata lain semakin tinggi absorbansi yang dihasilkan

maka semakin tinggi pula jumlah sel hidup yang terdapat di dalam kultur

tersebut.

Pada gambar 6 dapat dilihat perbandingan nilai absorbansi yang

ditimbulkan oleh penambahan ekstrak sampel pada kultur. Dari grafik

tersebut dapat dilihat bahwa nilai rata-rata absorbansi kultur dengan

penambahan ekstrak bubuk kakao sebagian besar lebih tinggi daripada

kontrol. Ada beberapa jenis ekstrak sampel yang nilai rata-rata

absorbansinya lebih rendah dari kontrol, tapi setelah dilakukan uji statistik

ternyata kedua nilai ini tidak berbeda nyata (p>0.05). Dengan demikian

hasil pengukuran absorbansi menunjukkan bahwa secara umum

penambahan ekstrak bubuk kakao pada kultur dapat menimbulkan

proliferasi limfosit yang ditandai dengan tingginya nilai absorbansi

dibanding kontrol.

Dari hasil pengujian statistik dengan analisis sidik ragam

(ANOVA) yang dapat dilihat pada lampiran 6, tampak bahwa perlakuan

penambahan ekstrak bubuk kakao terhadap kultur memberikan pengaruh

Page 49: ekstrak polifenol

49

yang sangat nyata terhadap nilai absorbansi kultur yang menunjukkan

jumlah sel hidup maupun proliferasi sel. Hal ini dapat disimpulkan dari

nilai signifikansi (p value) yang lebih kecil dari 0.05 yaitu sebesar 0.0001.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa ada beberapa sampel

ekstrak bubuk kakao yang menunjukkan perbedaan yang signifikan

dengan kontrol, diantaranya adalah sampel B2 (bulk masak), C2 (Buah

Terserang Busuk Buah Phytopthora Tingkat Serangan Sedang), dan C3

(Buah Terserang Busuk Buah Phytopthora Tingkat Serangan Tinggi). Hal

ini berarti konsumsi ketiga jenis bubuk kakao tersebut dapat meningkatkan

kemampuan tubuh untuk mengaktivasi sel limfosit untuk berproliferasi,

sehingga jenis bubuk kakao tersebut dapat berperan sebagai

imunomodulator. Hasil uji Duncan ini dapat dilihat dengan lebih jelas

pada tabel 3 dan lampiran 8.

Tabel 3. Hasil uji Duncan yang menunjukkan pengaruh penambahan

ekstrak bubuk kakao pada kultur terhadap proliferasi limfosit

Jenis ekstrak bubuk kakao MeanA1 1.12767e

A2 1.24911ecd B1 1.18578ed B2 1.60689ab C1 1.39889bcd C2 1.66878ª C3 1.43778bc D1 1.10756e D2 1.24256ecd D3 1.21578ed

kontrol 1.17833ed LPS 0.86167f

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α = 0.05

LPS = kontrol positif A1 = Edel muda A2 = Edel masak B1 = Bulk muda B2 = Bulk masak C1 = Buah Terserang Busuk Buah Phytopthora Tingkat Serangan Ringan C2 = Buah Terserang Busuk Buah Phytopthora Tingkat Serangan Sedang C3 = Buah Terserang Busuk Buah Phytopthora Tingkat Serangan Berat D1 = Buah Terserang Penggerak Buah Kakao Tingkat Serangan Ringan D2 = Buah Terserang Penggerak Buah Kakao Tingkat Serangan Sedang D3 = Buah Terserang Penggerak Buah Kakao Tingkat Serangan Berat

Page 50: ekstrak polifenol

50

Jumlah sel limfosit pada suspensi awal yang dibuat kultur adalah

sebanyak 106 sel/ml, dimana suspensi ini memberikan nilai absorbansi

sebesar 0,3 – 0,4. Dengan demikian, nilai absorbansi kultur sampel yang

cukup tinggi setelah masa inkubasi, yaitu mencapai 1,6 menunjukkan

jumlah sel limfosit sebanyak 4 – 5 x 106 sel/ml, dimana jumlah ini masih

termasuk di dalam batas jumlah normal sel limfosit di dalam tubuh. Maka

hasil pengujian ini menunjukkan pula bahwa proliferasi sel limfosit yang

ditimbulkan akibat penambahan ekstrak bubuk kakao pada kultur tidak

berlebihan atau masih dalam batas normal sehingga tidak membahayakan.

Sementara itu, tiga tingkat konsentrasi ekstrak bubuk kakao yang

diujikan terhadap kultur menghasilkan nilai p sebesar 0.0230, yang berarti

perlakuan ini memberikan pengaruh yang nyata terhadap absorbansi kultur

maupun proliferasi sel. Seperti tampak pada tabel 5, pada dosis tinggi

yaitu konsentrasi empat kali dosis normal, penambahan ekstrak bubuk

kakao pada kultur memberikan pengaruh yang lebih tinggi dan berbeda

nyata dengan dua konsentrasi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa

peningkatan konsumsi bubuk kakao sampai dengan empat kali dosis

normal dapat meningkatkan kemampuan limfosit untuk berproliferasi.

Dengan kata lain, konsumsi bubuk kakao dalam jumlah yang cukup tinggi

ini dapat lebih meningkatkan sistem imunitas tubuh. Meskipun demikian

ada kemungkinan jika dosis yang dikonsumsi terlalu tinggi akan menjadi

bersifat toksik bagi sel limfosit. Tapi untuk ekstrak bubuk kakao yang

diujikan, sampai dengan konsentrasi empat kali dosis normal (6,64 mg/ml)

ekstrak bubuk kakao tidak bersifat toksik.

Dosis yang terlalu tinggi pada pengujian penambahan ekstrak

sampel secara in vitro bisa jadi berakibat toksik pada sel sehingga

menekan proliferasi limfosit. Menurut Kresno (1991), imunogenitas suatu

substansi ditentukan oleh cara masuknya subsntansi bersangkutan ke

dalam tubuh dan besarnya dosis juga menentukan respon imun yang

dihasilkan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Pandoyo (2000),

penambahan ekstrak cincau hijau pada konsentrasi tinggi mencapai 8 kali

dosis normal justru menekan proliferasi sel limfosit di dalam kultur.

Page 51: ekstrak polifenol

51

Menurut Zakaria (1996), pada suatu konsentrasi tertentu suatu ekstrak

dalam kultur sel bisa bersifat sebagai antioksidan dan bersifat prooksidan

pada konsentrasi lain.

Tabel 4. Pengaruh konsentrasi terhadap proliferasi limfosit yang

ditunjukkan oleh nilai absorbansi kultur

Konsentrasi/dosis Mean

1,66 mg/ml (C1) 1.25861b

3,32 mg/ml (C2) 1.28447b

6,64 mg/ml (C3) 1.38143a

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α = 0.05 C1 = 1x dosis normal C2 = 2x dosis normal C3 = 4x dosis normal

Tidak terjadi interaksi antara kedua faktor perlakuan penambahan

jenis ekstrak dan perlakuan tingkat konsentrasi (dosis). Hal ini tampak dari

nilai p untuk interaksi antara kedua faktor lebih besar daripada 0.05 yaitu

sebesar 0.9959. Dengan demikian tidak dapat dibuat kesimpulan yang

bersifat faktorial atau menggabungkan kedua faktor ini.

Pengaruh yang ditimbulkan dengan penambahan LPS sebagai

kontrol positif pada kultur memberikan nilai absorbansi yang sangat

rendah dan berbeda nyata (p<0.05) baik dengan kontrol negatif maupun

kultur dengan penambahan ekstrak bubuk kakao. Hal ini diduga terjadi

karena dalam masa waktu inkubasi selama 72 jam LPS tidak mampu

mempertahankan sel limfosit agar tetap hidup akibat kualitas LPS yang

digunakan sudah tidak bagus. Ketidakmampuan LPS berperan sebagai

mitogen dalam memicu proliferasi sel pada penelitian kali ini

kemungkinan terjadi karena bagian lipid dari LPS yang akan berinteraksi

dengan membran plasma untuk menghasilkan aktivasi selluler mengalami

kerusakan.

Page 52: ekstrak polifenol

52

1.04

3

1.36

8

1.22

6

1.53

8

1.30

0

1.72

9

1.33

8

1.08

1 1.27

9

1.16

1

1.12

5

1.19

5

1.14

9

1.61

0

1.38

5 1.56

5

1.46

2

1.07

0

1.15

4

1.13

0

1.21

6

1.18

5

1.18

3

1.67

2

1.51

1

1.71

3

1.51

3

1.17

1 1.29

5

1.35

6

1.17

8

0.86

2

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

1.2

1.4

1.6

1.8

2.0

A1 A2 B1 B2 C1 C2 C3 D1 D2 D3 kontrol LPS

jenis sampel

abso

rban

si

1,66 mg/ml (C1)3,32 mg/ml (C2)6,64 mg/ml (C3)kontrolLPS

Gambar 6. Grafik absorbansi kultur dengan penambahan ekstrak bubuk kakao secara keseluruhan setelah inkubasi selama 72 jam dan

diukur dengan metode MTT.

Page 53: ekstrak polifenol

53

3. Hubungan kadar total polifenol dengan proliferasi yang ditimbulkan

oleh penambahan ekstrak bubuk kakao metode MTT

Seperti yang telah dijelaskan di sub bab sebelumnya, ada beberapa

jenis ekstrak bubuk kakao yang mampu menimbulkan proliferasi yang

nilainya berbeda nyata dengan kontrol negatif, yaitu sampel B2, C2, dan

C3. Jika dilihat dari kandungan total polifenolnya, sampel B2 memang

memiliki kandungan senyawa fenolik yang cukup tinggi daripada sampel

lainnya yaitu sebesar 35,534 ppm, sedangkan untuk sampel C2 dan C3

kandungan fenoliknya rendah yaitu berturut-turut hanya sebesar 12,381

ppm dan 4,028 ppm. Menurut Misnawi (2005), biji dari buah kakao yang

terserang busuk buah oleh P. palmivora potensinya memang sudah tinggal

50%.

Pada beberapa jenis sampel lainnya seperti D1, D2, dan D3 yaitu

ekstrak bubuk kakao yang terserang hama penggerek buah kakao dalam

berbagai tingkat serangan, kandungan total polifenolnya cukup tinggi,

namun absorbansi kultur yang dihasilkannya tidak terlalu tinggi tapi tidak

berbeda nyata dengan kontrol negatif (p<0.05). Hal ini menunjukkan

bahwa kandungan senyawa fenol di dalam ekstrak diduga mampu memicu

terjadinya proliferasi limfosit di dalam kultur, tetapi bukan satu-satunya

faktor yang menentukan proliferasi tersebut.

Menurut Pandoyo (2000), komponen fenol dapat berpengaruh

karena sifatnya yang mudah berikatan dengan protein dan akibat sifat

antioksidatif fenol sehingga dapat melindungi limfosit dari oksigen reaktif.

Senyawa fenol itu sendiri beraneka ragam jenisnya. Diduga hanya

beberapa jenis senyawa fenol yang menyebabkan terjadinya proliferasi,

bahkan ada pula beberapa jenis yang justru bersifat antiproliferatif dengan

menghambat sintesis DNA (Xu et al. di dalam Yuana, 1998). Senyawa

fenol yang telah diketahui dapat pula bersifat toksik adalah (-)-

epigallocathecin gallate dalam daun teh (Lin et al., 1996).

Prosianidin merupakan polifenol utama yang terkandung pada

kakao (Jalal dan Collin, 1977, Quesnel, 1968). Efek prosianidin dari kakao

dalam bentuk oligomer yang telah dimurnikan adalah mampu

Page 54: ekstrak polifenol

54

mengakibatkan ekspresi mRNA dan sekresi protein sitokin (IL-1, IL-2,

dan IL-4) (Mao et al., 2000). Dengan dihasilkannya IL-4 mengakibatkan

peningkatan produksi IgE oleh sel B, hematopoiesis dan peningkatan

respon oleh sel T efektor.

Kemungkinan jenis senyawa fenol yang bersifat antiproliferatif

terhadap sel limfosit rendah konsentrasinya di dalam sampel C2 dan C3,

sebaliknya jenis fenol yang dapat memicu proliferasi sel tinggi

konsentrasinya, sehingga meskipun total kandungan polifenolnya sedikit,

absorbansi yang dihasilkan akibat penambahan kedua jenis ekstrak ini

tinggi dan berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini perlu dibuktikan lebih

lanjut pada penelitian selanjutnya, misalnya dengan mengetahui komposisi

polifenol di dalam ekstrak bubuk kakao menggunakan HPLC (High

Performance Liquid Chromatography).

4. Penentuan aktivitas imunomodulator dan mekanismenya

Hasil pengolahan data yang diperoleh dari metode biru trifan

memiliki korelasi yang positif dengan data dari metode MTT. Hal ini

dapat dilihat dimana dari hasil pengolahan data absorbansi secara statistik

tampak bahwa ekstrak bubuk kakao mampu mempertahankan jumlah sel

limfosit yang hidup. Bahkan untuk beberapa ekstrak bubuk kakao seperti

pada ekstrak bulk masak (B2) terjadi proliferasi pada sel limfosit yang

ditunjukkan dengan nilai absorbansi yang berbeda nyata terhadap kontrol

(p<0.05). Hal ini didukung dengan hasil uji metode biru trifan yang

menunjukkan kecenderungan yang sama bahwa jumlah sel limfosit mati

setelah 72 jam tidak banyak seperti halnya pada kontrol. Dengan demikian

berarti ekstrak bubuk kakao secara umum mampu mempertahankan

kualitas sel limfosit agar tetap hidup, namun tidak selalu meningkatkan

proliferasinya.

Secara biokimia aktivitas imunomodulator yang ditimbulkan oleh

ekstrak bubuk kakao mungkin disebabkan oleh kompleks fenol dengan

protein atau masing-masing komponen tersebut yang berperan sebagai

antigen dan mampu dikenal oleh reseptor sel B maupun sel T. Komponen

Page 55: ekstrak polifenol

55

ekstrak bubuk kakao dapat terikat dengan reseptor permukaan sel T (T cell

receptor-TCR) melalui ikatan hidrogen, sedangkan pada sel B dapat

terikat pada reseptor permukaannya (Ig M). Pengikatan antigen pada

reseptor permukaan sel T bersama interleukin 1 (IL-1) dari APC (antigen

presenting cell) dapat mengaktivasi G-protein yang kemudian

memproduksi fosfolipase C. Enzim ini menghidrolisis fosfatidil inositol

bifosfat (PIP2) menjadi produk reaktif diasilgliserol (DAG) dan inositol

trifosfat (IP3). Reaksi tersebut berlangsung dalam membran plasma. IP3

kemudian menstimulasi pelepasan Ca2+ ke dalam sitoplasma sehingga

konsentrasi Ca2+ meningkat. Peningkatan Ca2+ ini berperan penting dalam

menstimulasi kerja enzim protein kinase C dan 5-lipoxygenase. Protein

kinase C menstimulasi produksi interleukin-2 (IL-2) yang kemudian

mengaktivasi sel B maupun sel T untuk berproliferasi (Roitt, 1991).

Pemecahan lanjut DAG menjadi arakhidonat yang melalui jalur 5-

lipoksigenase meningkatkan pembentukan cGMP. Peningkatan cGMP

berakibat pada peningkatan aktivitas cGMP dependent protein kinase yang

berfungsi dalam aktivasi DNA-dependent RNA polymerase, dan dalam

awal sintesa ribosomal (rRNA) dan RNA lainnya. Sintesis RNA dan

protein ini menyebabkan sel limfosit B maupun T memasuki fase

pembelahan (blast). Gambaran umum mekanisme aktivasi sel ini dapat

dilihat pada gambar 7.

Hasil pengujian secara in vitro pada penelitian ini belum tentu

sama dengan kondisi in vivo karena pada kondisi in vivo perlu

dipertimbangkan adanya metabolisme dan peranan absoprsi di dalam

tubuh. Selain itu di dalam tubuh juga terdapat mekanisme pertahanan yang

efisien dari mamalia, sehingga komponen fenolik yang ada dalam kondisi

in vitro bersifat toksik tetapi tidak pada kondisi in vivo (Singleton, 1981).

Meskipun bukan merupakan satu-satunya hal yang menunjukkan respon

imun tubuh, hasil pengujian secara in vitro ini diharapkan dapat

memberikan gambaran mengenai potensi bubuk kakao bebas lemak

sebagai imunomodultor.

Page 56: ekstrak polifenol

56

Gambar 7. (A) Kemungkinan mekanisme biokimia aktivasi sel T oleh komponen

bioaktif bubuk kakao (B) Diferensiasi sel T [Dimodifikasi dari Roitt

(1991)]

A

B

Page 57: ekstrak polifenol

57

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Respon proliferasi sel limfosit umumnya sangat bergantung pada kondisi

kultur. Setiap jenis ekstrak bubuk kakao pada setiap konsentrasi dapat

menimbulkan respon proliferatif yang berbeda. Jenis ekstrak bubuk kakao

yang berbeda akan menghasilkan respon proliferatif yang berbeda pula

karena kandungan komponen bioaktif di dalamnya pun berbeda.

2. Perlakuan penambahan ekstrak bubuk kakao dan peningkatan konsentrasi

ekstrak pada kultur memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai

absorbansi kultur. Dengan demikian penambahan ekstrak bubuk kakao di

dalam kultur mampu memicu proliferasi sel limfosit, yang menunjukkan

potensi imunomodulator.

3. Penambahan ekstrak bubuk kakao jenis B2 (bulk masak), serta C2 dan C3

(buah kakao terserang Phytopthora tingkat serangan sedang dan berat)

memberikan hasil positif terhadap proliferasi sel limfosit (in vitro).

4. Konsentrasi total polifenol yang tinggi pada ekstrak bulk masak diduga

menjadi faktor penyebab timbulnya proliferasi sel, tetapi bukan

merupakan satu-satunya faktor.

5. Peningkatan konsentrasi ekstrak hingga 4 kali dosis normal (6,64 mg/ml)

mampu meningkatkan respon proliferasi sel limfosit secara signifikan. Hal

ini menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak sampel yang

ditambahkan mampu meningkatkan proliferasi sel.

6. Berdasarkan hasil uji metode biru trifan, semua jenis ekstrak bubuk kakao

mampu mempertahankan viabilitas sel limfosit selama 72 jam. Dengan

demikian ekstrak bubuk kakao tidak bersifat toksik terhadap sel.

7. Bubuk kakao yang diperoleh dari buah kakao yang terserang hama

Phytophtora palmivora tingkat serangan sedang dan berat masih memiliki

potensi imunomodulator karena mampu memicu proliferasi sel meskipun

kandungan polifenolnya relatif rendah.

Page 58: ekstrak polifenol

58

8. Bubuk kakao dari buah kakao yang masih muda maupun yang telah masak

mampu memberikan respon proliferatif yang positif terhadap sel limfosit

manusia. Respon ini bergantung pada kandungan polifenolnya.

9. Bubuk kakao bebas lemak sebagai produk substandar dari hasil

pengolahan biji kakao memiliki fungsi kesehatan karena berpotensi

sebagai imunomodulator melihat kemampuannya dalam memicu

proliferasi sel limfosit secara in vitro.

B. SARAN

1. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh ekstrak bubuk kakao

terhadap proliferasi sel limfosit pada kondisi in vivo untuk melihat

pengaruhnya secara langsung di dalam tubuh manusia. Penelitian secara in

vivo ini akan menunjukkan bagaimana ekstrak bubuk kakao berperan di

dalam metabolisme tubuh yang melibatkan darah dengan kondisi tubuh

yang sebenarnya, sehingga dapat lebih membuktikan hasil penelitian ini.

2. Perlu diteliti lebih lanjut mengenai kandungan komponen polifenol

spesifik yang dapat mengakibatkan proliferasi limfosit. Proliferasi limfosit

juga kemungkinan disebabkan oleh kandungan lain di dalam ekstrak

bubuk kakao yang tidak terekstrak oleh air, dengan demikian diperlukan

analisis lain terhadap ekstrak bubuk kakao seperti misalnya analisis

alkaloid dengan HPLC.

3. Perlu juga dikaji lebih lanjut tentang mekanisme aktivasi limfosit oleh

komponen ekstrak bubuk kakao, yang kemudian data-data dan fakta-fakta

tentang bubuk kakao ini disebarluaskan ke masyarakat.

Page 59: ekstrak polifenol

59

DAFTAR PUSTAKA

Albert, B., D. Bray, J. Lewis, M. Raff, K. Roberts and J. D. Watson. 1994. Molecular Biology of the Cell. Garland Pub. Co. New York.

Aquarini, T. H. 2005. Ekstrak Kumis Kucing (Orthosimphon stamineus benth)

dan bunga knop (Gomphrena globosa L.) meningkatkan proliferasi sel limfosit manusia secara in vitro. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Baratawidjaya, K. G. 1991. Imunologi Dasar. Edisi kedua. Fakultas Kedokteran,

Universitas Indonesia, Jakarta. Baratawidjaya. 1994. Imunologi. UGM Press, Yogyakarta. Bellanti, J. A. 1993. Imunologi III. Terjemahan. Gajah Mada University Press,

Yogyakarta. Bird, B. R. dan F. T. Forrester. 1981. Basic Laboratory Techniques in Cell

Culture. US Department of Helath and Human Sciences. Public Health Service. Atlanta.

Budiharto, A. 1997. Pengaruh intervensi vitamin C dan vitamin E dari sayuran

dan buah-buahan tehadap proliferasi sel limfosit T, ersentase CD3+ dan sel T subset CD3+ CD4+ pada populasi buruh industri di Bogor. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

Burda, S., dan Oleszek, W. 2001. Antioxidant and Antiradical Activities of

Flavonoids. J. Agric. Food Chem. 49: 2774-2779. Cartwright, T. dan G. P. Shah. 1994. Culture Media. Di dalam : J. M. Davis (ed.)

Basic Cell Culture, a Practical Approach. Oxford University Press, New York. pp. 57-89.

Chein, S. 1988. White Blood Cell Rheology. Di dalam : Clinical Blood Rheology.

Lowe, G. D. O. (ed.) Vol. I. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida. Decker, J. M. 2001. Introduction to Immunology. Blackwell Science, Inc.

Massachusetts, USA. Ed and F. Man. 2004. Cocoa Report Market No. 371: March 2004. Ed & F Man

Ltd.

Elliot, R. and T. J. Ong. 2002. Science, medicine, and the future. Nutritional genomics. BMJ. 324:1438-1442.

Freshney, R. I. 1994. Culture of Animal Cells, 3rd ed. Willey-Liss Inc., Singapore.

Page 60: ekstrak polifenol

60

Gayton, A. C. 1987. Human Physiology and Mechanism of Disease. 4th ed. W. B. Sounders Co., Philadelphia.

Gordon, M. H. 1990. The mechanism of antioxidant action in vitro. Di dalam:

Hudson, B. J. F. (ed.) Food antioxidant. Elsevier Applied Science. London.

Hendrich, S., K. W. Lee, X. Xu, H. J. Wang, dan P. A. Murphy. 1994. Defining

food components as new nutrients. J. Nutr. 24: 1789S – 1792S. Ho, C. T., C. Y. Lee, and M. T. Huang. 1991. Phenolic Compounds In Food and

Their Effects on Health I. Am. Chem. Soc. Washington. Ingold, K. U. 1968. Inhibition of Autooxidation. Adv. Chem. Ser. 75 : 296-305. Jalal, M. A. F. dan H. A. Collin. 1977. Poliphenols of mature plant, seedling and

tissue cultures of Theobroma cacao. Phytochemistry 16: 1377-1380. Junge, V., J. Hoekstra, L. Wolfe, and F. Deinhardt. 1970. Methods of Culturing

Lymphocide : Growth media. Di dalam: Ling, N. R. and J. E. Kay (ed.) Lymphocyte Stimulation. North-Holland Publishing Company. Amsterdam. pp. 26.

Keen, C. L., R. R. Holt, P. I. Oteiza, C. G. Fraga, dan H. R. Schmitz. 2005. Cocoa

antioxidants and cardiovascular health. Am J. Clin. Nutr 81(suppl):298S-303S.

Kochhar, S. P. dan J. B. Rossell. 1990. Detection, estimation, and evaluation of

antioxidant in food systems. Di dalam: Hudson, B. J. F. (ed.) Food antioxidant. Elsevier Applied Science. London. Pp. 19-64.

Konda, Y. 1997. Syntesis of a new phenol glycoside from Cynanchum

hancockianum. Chem Pham Bull. 45:626-630. Kresno, S. B. 1996. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium (eds.).

Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta. Krinsky, N. I. 1992. Mechanism of action of biological antioxidants. PSEBM.

Vol. 200 : 248-254. Kubota, T. 2003. Cancer chemotherapy chemosensitivity testing is useful in

evaluating the appropriate adjuvant cancer chemotherapy for stages III/IV gastric cancers without peritonial dissemination. Anticancer Res. 23:583-587.

Kuby, J. 1992. Immunology. W. H. Freeman and Company, New York.

Page 61: ekstrak polifenol

61

Lastari, D. S. 1998. Mempelajari pengaruh komponen bioaktif bawang putih terhadap aktivitas sitolitik sel limfosit manusia secara in vitro. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

Leniger, H. H. dan W. A. Beverloo. 1975. Food Processing Egineering. D. Ridel

Publ. Co. Boston. Letwin, B. W. dan F. W. Quimby. 1987. Effects of concavalin A,

phytohemaglutinin, pokeweed mitogen, and lipopolysaccharide on the replication and immunoglobulin synthesis by canine peripheral blood lymphocytes in vitro. Immunol Lett. 14:79-85.

Malole, M. B.M. 1990. Kultur Sel dan Jaringan Hewan. Pusat Antar Universitas,

Insitut Pertanian Bogor, Bogor. Mao, T., J. Van de Water, Carl L. Keen, Harold H. Schmitz dan M. E. Gershwin.

2000. Cocoa procyanidin and human transcription and secretion. J. Nutr 130:2093S-2099S.

Maria, S. et al., 1997. Evaluation of the toxicity od Uncaria tomentosa by

bioassay in vitro. J. Ethnopharmacol. 57:183-187. Middleton, E. dan Kandaswarni, C. 1993. Plant flavonoid modulation of immune

and inflammatory cell functions. Di dalam: Klurfeld, D. M. (ed.). Human Nutrition – A Comprehensive Treatise. Vo. 8 : Nutrition and Immunology. Penum Press. New York. pp 239-266.

Misnawi, Selamat, J, B. Jamilah, dan S. Nazamid. (2002a). Oxidation of

Polyphenols in Unfermented and Partly Fermented Cocoa Beans by Cocoa Polyphenol Oxidase and Tyrosinase. Journal of the Science of Food and Agriculture 82, 559-566.

Misnawi, Selamat, J, B. Jamilah, dan S. Nazamid. (2002c). Effects of Incubation

and Polyphenol Oxsidase Enrichment of Unfermented and Partly Fermented Dried Cocoa Beans on Color, Fermentation Index and (-)-Epicatechin Content. International Journal of Food Science and Technology, 38, 1 – 11.

Misnawi. 2005. Pemanfaatan Biji Kakao sebagai Sumber Antioksidan Alami.

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia.

Murphy, K. J., Andriana K. C., Indu S., Maureen A. F., Helen M., Marilyn J. P.,

Alan H. T., Neil J. M., dan Andrew J. S. 2003. Dietary flavanols and procyanidin oligomers from cocoa (Theobroma cacao) inhibit platelet function. Am J. Clin Nutr 77:1466-1473.

Page 62: ekstrak polifenol

62

Pandoyo, A. S. 2000. Pengaruh aktivitas ekstrak tanaman cincau hijau (Cyclea barbata L. Miers) terhadap proliferasi sel limfosit darah tepi manusia secara in vitro. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

Puspaningrum, R. 2003. Pengaruh ekstrak kayu secang (Caesalpinia sappan Linn)

terhadap proliferasi sel limfosit limfa tikus dan sel kanker K-562 (Chronic Myogenous Leukimia) secara in vitro. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

Quesnel, V. C. 1968. Fractionation and properties of polymeric leucocyanidin of

the seeds of Theobroma cacao. Phytochemistry 7: 1583–1592. Rizzi, R., F. Re and A. Bianchi. 1993. Mutagenic and antimutagenic activities of

Uncaria tomentosa and its extracts. J. Ethnopharmacol. 38:63-77. Roitt, I. M. 1991. Essensial Immunology. Blackwell Scientific Publications.

Oxford, London, Edinburgh, Boston, Melbourne, Paris. Roitt, I. M. dan P. J. Delves. 2001. Essential Immunology. 10th edition. Blackwell

Science Ltd. London. San Lin, R. I. 1994. Phytochemicals and Antioxidant. Di dalam: Goldberg I. (ed.)

Functional Foods. Chapman and Hall. New York. pp. 393-449. Sanbongi, C., Suzuki, N. & Sakane, T. 1997. Polyphenols in chocolate, which

have antioxidant activity, modulate immune functions in humans in vitro. Cell. Immunol. 177: 129–136.

Setyawati, R. 2003. Pengaruh produk daun cincau hijau (Cyclea barbata L. Miers)

dan Premna oblongifolia Merr. terhadap kapasitas antioksidan limfosit mencit C3H bertumor kelenjar susu. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

Shahidi, F. (ed.). 1997. Natural Antioxidant: Chemistry, health effects and

applications. AOAC Press, Illinois. Schindler, R., Clark, B. D. & Dinarello, C. A. 1990. Dissociation between

interleukin-1 beta mRNA and protein synthesis in human peripheral blood mononuclear cells. J. Biol. Chem. 265: 10232–10237.

Singleton, V. L. 1981. Advances in Food Research. 27 : 149-242. Siregar, T. H. S., R. Slamet dan N. Laeli. 2003. Pembudidayaan, Pengolahan dan

Pemasaran Cokelat. Cetakan ke-13. PT. Penebar Swadaya, Jakarta. Susanto, F. X. 1994. Tanaman Kakao Budidaya dan Pengolahan Hasil. Kanisius,

Yogyakarta.

Page 63: ekstrak polifenol

63

Tejasari. 2000. Efek Proteksi Komponen Bioaktif Oleoresin Rimpang Jahe (Zingiber officinale Roscoe) terhadap Fungsi Limfosit Secara In vitro. Disertasi. Program Pascasarjana. IPB, Bogor.

Valentine, F. dan H. Lederman. 2000. Lymphocyte Proliferation Assay. AIDS

Clinical Trials Group. Van Heerden, I.V. 2006. Chocolate update for Easter. http://www.health24.com/

dietnfood/Weight_Centre/15-51-736,21867.asp [25 April 2006] Watzl, B. 1996. Health-promoting effects of phytochemicals. Proceedings of

IUFoST ’96 Reional Symposium on Non-Nutritive Health Factors for Future Foods. Seoul, Korea, October 10-11.

Watzl, B. And Leitzmann, C. 1995. Bioactive Substanzen in Lebensmitteln (engl.:

Bioactive Compounds in Food). Hippokrates. Stuttgart. Williams, D. F. 1987. Blood physiology and biochemistry: Homeostatis and

thrombosis. Di dalam : Blood Compatibility. Vol. I. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida.

Williamson G., dan C. Manach. 2005. Bioavailability and bioefficacy of

polyphenols in humans. II. Review of 93 intervention studies. Am J. Clin. Nutr 81 (suppl): 243S-55S.

Wum, M., et al. 1998. Pentacyclic oxindole alkaloids from Uncaria tomentosa

induce human enditelial cells to release a lymphocyte-proliferation-regulating factor. Planta Med. 64:701-704.

Yuana. 1998. Pengaruh Ekstrak Jahe terhadap Proliferasi Sel Limfosit dan

Beberapa Alur Sel Kanker secara In vitro. Skripsi. Fateta. IPB. Bogor. Zakaria, F. R. Belleville F., Nabet P., Linden G. 1992. Allergenicity of bovine

casein I. Spesific lymphocyte proliferation and histamine accumulation in the mastocyte as result of casein feeding in mice. Food Agric Immunol. 4:51-62.

Zakaria, F. R. 1996. Sintesis Senyawa Radikal dan Elektrofil dalam dan oleh

Komponen Pangan. Di Dalam : Prosiding Seminar Radikal Bebas dan Sistem Pangan, Reaksi Biomolekul, Dampak terhadap Kesehatan, dan Penangkalannya. Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB dengan Kedutaan Besar Perancis, Jakarta. Zakaria (ed.) 4 April 1996, Bogor.

Zakaria, F. R. Alfi Khatib dan Arif Hartoyo. 1997. Bioactive Compounds of Food

and Agriculture Products Having Imunomodulator. Di dalam : Seminar Proceeding Biomolecular Reactions and Industrial Application of Immunology in Food and Agriculture. The Association of French Alumni

Page 64: ekstrak polifenol

64

in Bogor, The Department of Food Technology and Human Nutrition, The Center for Food and Nutrition Study, IPB. 8 November 1997, Bogor.

Page 65: ekstrak polifenol

65

Lampiran 1. Kandungan medium RPMI-1640

Komponen Konsentrasi (mg/ml)

Komponen Konsentrasi (mg/ml)

ASAM AMINO

- Arginin

- Asparagin

- Asam aspartat

- Sistin

- Asam glutamat

- Glutamin

- Glisin

- Histidin

- Hidroksi prolin

- Isoleusin

- Leusin

- Lisin-HCl

- Metinon

- Fenilalanin

- Prolin

- Serin

- Treonin

- Triptofan

- Tirosin

- Valin

200

50

20

50

20

300

10

15

20

50

50

40

15

15

20

30

20

5

20

20

VITAMIN

- Biotin

- Vitamin B-12

- Kalsium Pantotenat

- Kolin klorida

- Asam folat

- I-Inositol

- Nikotinamid

- Asam p-aminobenzoat

- Piridoksin HCl

- Riboflavin

- Tiamin HCl

GARAM ANORGANIK

- NaCl

- KCl

- Na2HPO4.7H2O

- MgSO4.7H2O

- NaHCO3

- Ca(NO3) 2.4H2O

0.2

0.005

0.25

3.0

1.0

35.0

1.0

1.0

1.0

0.2

1.0

6000.0

400.0

1512.0

100.0

2000.0

100.0

Page 66: ekstrak polifenol

66

Lampiran 2. Contoh perhitungan penentuan konsentrasi ekstrak bubuk kakao Konsumsi normal bubuk kakao : 2 gram/hari Konsumsi tersebut masuk ke dalam 6 liter darah (in vivo) sehingga konsentrasinya menjadi :

2 gram = 2 gram = 3,3 x 10-4 g/ml (C) 6 L 6000 ml

Konsentrasi bubuk kakao dalam darah tersebut (C) harus sesuai dengan konsentrasi ekstrak di dalam sumur pada percobaan in vitro, sehingga :

V1 x M1 = V2 x M2

dimana, V1 = volume total sumur M1 = konsentrasi ekstrak dalam sumur (C) V2 = volume ekstrak yang ditambahkan ke dalam sumur M2 = konsentrasi ekstrak yang ditambahkan ke dalam sumur maka, 100 μl x 3,3.10-4 g/ml = 20 μl x M2

M2 = 1,66 x 10-3 g/ml (C1 = dosis normal) Selain itu dibuat beberapa dosis lebih tinggi untuk mengetahui toksisitasnya, sehingga terdapat 3 konsentrasi :

C1 = 1x dosis normal = 1,66 x 10-3 g/ml C2 = 2x dosis normal = 3,32 x 10-3 g/ml C3 = 4x dosis normal = 6,64 x 10-3 g/ml

Stok ekstrak dibuat dengan kosentrasi 8 g/100 ml akuades (0,08 g/ml), jika mau membuat sampel dosis normal dalam 1,5 ml tabung ependorf :

1,5 ml x 3,3.10-4 g/ml = V2 x 0,08 g/ml

V2 = 0,249 ml = 249 μl sehingga dilakukan pengenceran sebagai berikut : 249 μl 750 μl 750 μl

stok 1251 μl RPMI 750 μl RPMI 750 μl RPMI 0,08 g/ml (C3) (C2) (C1) Faktor penyerapan dalam tubuh diasumsikan mendekati faktor penyerapan ekstrak selama proses penyaringan dengan membran filter.

Page 67: ekstrak polifenol

67

Lampiran 3. Kadar total polifenol berbagai jenis ekstrak bubuk kakao (0.8mg/ml).

Sampel Absorbansi Kandungan fenol (ppm)

Kandungan fenol rata-rata

(ppm) 1 2 1 2 A1 0.729 0.746 36.926 37.892 37.409 A2 0.452 0.442 21.188 20.619 20.903 B1 0.170 0.163 5.165 4.767 4.966 B2 0.699 0.710 35.222 35.847 35.534 C1 0.254 0.255 9.938 9.994 9.966 C2 0.298 0.296 12.438 12.324 12.381 C3 0.199 0.101 6.813 1.244 4.028 D1 0.765 0.782 38.972 39.938 39.455 D2 0.587 0.594 28.858 29.256 29.057 D3 0.466 0.457 21.983 21.472 21.727

Keterangan :

A1 = Edel muda A2 = Edel masak B1 = Bulk muda B2 = Bulk masak C1 = Buah Terserang Busuk Buah Phytopthora Tingkat Serangan Ringan C2 = Buah Terserang Busuk Buah Phytopthora Tingkat Serangan Sedang C3 = Buah Terserang Busuk Buah Phytopthora Tingkat Serangan Berat D1 = Buah Terserang Penggerak Buah Kakao Tingkat Serangan Ringan D2 = Buah Terserang Penggerak Buah Kakao Tingkat Serangan Sedang D3 = Buah Terserang Penggerak Buah Kakao Tingkat Serangan Berat

Page 68: ekstrak polifenol

68

Lampiran 4. Data jumlah sel limfosit mati yang diberi perlakuan ekstrak kakao konsentrasi 2x dosis normal (C2 = 6,64 x 10-3 g/ml).

Jenis sampel Ulangan 1 Ulangan 2 Mean Frekuensi

kontrol 28 20 24 ++++

LPS 6 15 10.5* ++

A1 7 13 10* ++

A2 6 5 5.5* +

B1 3 2 2.5* -

B2 7 4 5.5* +

C1 4 4 4* +

C2 4 4 4* +

C3 2 4 3* -

D1 4 4 4* +

D2 2 3 2.5* -

D3 4 4 4* +

(*) berbeda nyata dengan kontrol (p<0.05) Keterangan :

LPS = kontrol positif A1 = Edel muda A2 = Edel masak B1 = Bulk muda B2 = Bulk masak C1 = Buah Terserang Busuk Buah Phytopthora Tingkat Serangan Ringan C2 = Buah Terserang Busuk Buah Phytopthora Tingkat Serangan Sedang C3 = Buah Terserang Busuk Buah Phytopthora Tingkat Serangan Berat D1 = Buah Terserang Penggerak Buah Kakao Tingkat Serangan Ringan D2 = Buah Terserang Penggerak Buah Kakao Tingkat Serangan Sedang D3 = Buah Terserang Penggerak Buah Kakao Tingkat Serangan Berat

Page 69: ekstrak polifenol

69

Lampiran 5. Data nilai absorbansi hasil pembacaan microplate reader yang menunjukkan jumlah sel limfosit hidup pada perlakuan penambahan ekstrak bubuk kakao terhadap suspensi limfosit dari darah manusia (metode MTT).

Perlakuan ul.1 ul.2 ul.3 mean

kontrol 1.130 0.927 1.478 1.178

LPS ** 0.662 0.778 1.145 0.862

Perlakuan C3 (4x dosis normal) C2 (2x dosis normal) C1 (1x dosis normal)

ul.1 ul.2 ul.3 mean ul.1 ul.2 ul.3 mean ul.1 ul.2 ul.3 mean

A1 1.050 1.199 1.398 1.216 1.163 1.089 1.122 1.124 0.877 1.007 1.244 1.043

A2 0.993 1.031 1.531 1.185 1.091 1.146 1.347 1.195 1.774 1.131 1.198 1.368

B1 1.192 1.217 1.139 1.183 1.142 1.100 1.205 1.149 1.109 1.275 1.293 1.226

B2 * 1.790 1.619 1.607 1.672 1.430 1.687 1.714 1.610 1.291 1.564 1.760 1.538

C1 1.577 1.571 1.385 1.511 1.258 1.321 1.577 1.385 1.330 1.495 1.076 1.300

C2 * 1.588 1.777 1.773 1.713 1.772 1.587 1.335 1.565 1.653 1.741 1.793 1.729

C3 * 1.836 1.290 1.414 1.513 1.359 1.443 1.583 1.461 1.204 1.331 1.480 1.338

D1 1.147 1.109 1.257 1.171 0.979 0.971 1.261 1.070 1.014 1.062 1.168 1.081

D2 1.194 1.321 1.371 1.295 1.217 1.168 1.076 1.153 1.424 1.198 1.214 1.279

D3 1.473 1.244 1.350 1.356 1.354 0.754 1.283 1.130 0.877 1.286 1.321 1.161

(*) berbeda nyata dengan kontrol (p<0.05) (**) berbeda nyata dengan kontrol maupun sampel (p<0.05)

Page 70: ekstrak polifenol

70

Lampiran 6. Analisis sidik ragam jumlah sel limfosit dengan pengaruh penambahan ekstrak bubuk kakao (metode MTT). ANALYSIS OF VARIANCE PROCEDURE Class Level Information Class Levels Values COKLAT 12 A1 A2 B1 B2 C1 C2 C3 D1 D2 D3 LPS kontrol DOSIS 3 1 2 4 Number of observations in data set = 108 NOTE: Due to missing values, only 96 observations can be used in this analysis. Dependent Variable: HR0 Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 31 4.23655716 0.13666313 4.13 0.0001 Error 64 2.12019733 0.03312808 Corrected Total 95 6.35675449 R-Square C.V. Root MSE HR0 Mean 0.666465 13.94644 0.18201122 1.30507292 Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F COKLAT 11 3.78367182 0.34397017 10.38 0.0001 DOSIS 2 0.26537910 0.13268955 4.01 0.0230 COKLAT*DOSIS 18 0.18750623 0.01041701 0.31 0.9959

Page 71: ekstrak polifenol

71

Lampiran 7. Analisis sidik ragam (ANOVA) jumlah sel limfosit yang mati (metode tryphan blue).

ANALYSIS OF VARIANCE PROCEDURE Class Level Information Class Levels Values COKLAT 12 A1 A2 B1 B2 C1 C2 C3 D1 D2 D3 LPS kontrol Number of observations in data set = 24 Dependent Variable: HR0 Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 11 811.12500000 73.73863636 8.98 0.0003 Error 12 98.50000000 8.20833333 Corrected Total 23 909.62500000 R-Square C.V. Root MSE HR0 Mean 0.891714 43.24557 2.86501891 6.62500000 Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F COKLAT 11 811.12500000 73.73863636 8.98 0.0003

Page 72: ekstrak polifenol

72

Lampiran 8. Hasil uji Duncan rata-rata jumla h limfosit dengan penambahan ekstrak cincau (metode MTT).

DUNCAN'S MULTIPLE RANGE TEST NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate Alpha= 0.05 df= 64 MSE= 0.033128 WARNING: Cell sizes are not equal. Harmonic Mean of cell sizes= 6.75 Number of Means 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Critical Range .1979 .2082 .2150 .2200 .2238 .2269 .2294 .2315 .2333 .2349 .2362 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N COKLAT A 1.66878 9 C2 A B A 1.60689 9 B2 B B C 1.43778 9 C3 B C B C D 1.39889 9 C1 C D E C D 1.24911 9 A2 E C D E C D 1.24256 9 D2 E D E D 1.21578 9 D3 E D E D 1.18578 9 B1 E D E D 1.17833 3 kontrol E E 1.12767 9 A1 E E 1.10756 9 D1 F 0.86167 3 LPS Number of Means 2 3 Critical Range .09124 .09599 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N DOSIS A 1.38143 30 4 B 1.28447 30 2 B B 1.25861 36 1

Page 73: ekstrak polifenol

73

Lampiran 9. Hasil uji Duncan rata-rata jumlah limfosit yang mati (metode tryphan blue).

DUNCAN'S MULTIPLE RANGE TEST NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate Alpha= 0.05 df= 12 MSE= 8.208333 Number of Means 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Critical Range 6.242 6.534 6.711 6.828 6.909 6.966 7.008 7.037 7.058 7.072 7.081 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N COKLAT A 24.000 2 kontrol B 10.500 2 LPS B C B 10.000 2 A1 C B C B D 5.500 2 A2 C B D C B D 5.500 2 B2 C B D C B D 4.000 2 C1 C B D C B D 4.000 2 C2 C B D C B D 4.000 2 D3 C B D C B D 4.000 2 D1 C D C D 3.000 2 C3 D D 2.500 2 D2 D D 2.500 2 B1

Page 74: ekstrak polifenol

74

Lampiran 10. Inform of concern


Top Related