Transcript

I. PENDAHULUAN

Salah satu penyakit yang paling sering berulang pada bagian tenggorok adalah tonsillitis kronis terutama pada usia muda. Penyakit ini terjadi disebabkan peradangan pada tonsil oleh karena kegagalan atau ketidakesuaian pemberian antibiotik pada penderita Tonsilitis Akut. Ketidaktepatan terapi antibiotik pada penderita Tonsilitis Akut akan merubah mikroflora pada tonsil, merubah struktur pada kripta tonsil, dan adanya infeksi virus menjadi faktor predisposisi bahkan faktor penyebab terjadinya Tonsilitis Kronis.1,2Tonsilitis kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak sering menderita ISPA atau karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau dibiarkan. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut (4,6%) yaitu sebesar 3,8%.3Secara klinis pada tonsilitis kronik didapatkan gejala berupa nyeri tenggorok atau nyeri telan ringan, mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk, nafsu makan menurun, nyeri kepala dan badan terasa meriang. Pada tonsilitis kronik hipertrofi dapat menyebabkan apnea obstruksi saat tidur; gejala yang umum pada anak adalah mendengkur, sering mengantuk, gelisah, perhatian berkurang dan prestasi belajar yang kurang baik.4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. AnatomiTonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas. Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting dari cincin Waldeyer.5.

Gambar 1. Cincin Waldeyer5

Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil Gerlachs). 5

Tonsila PalatinaTonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla ditutupi membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring. Permukaannya tampak berlubang-lubang kecil yang berjalan ke dalam Cryptae Tonsillares yang berjumlah 6-20 kripta. Pada bagian atas permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut Capsula tonsilla palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla lingual.5

Gambar 2. Tonsil Palatina5

Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah :1. Anterior : arcus palatoglossus2. Posterior : arcus palatopharyngeus3. Superior : palatum mole4. Inferior : 1/3 posterior lidah5. Medial : ruang orofaring6. Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior5.

Gambar 3. Anatomi normal Tonsil Palatina5

Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran getah bening. Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian getah bening servikal profunda atau disebut juga deep jugular node. Aliran getah bening selanjutnya menuju ke kelenjar toraks dan pada akhirnya ke duktus torasikus5

B. DefinisiTonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsila palatina yang menetap. Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh penderita mengalami penurunan.6Tonsilitis Kronis adalah peradangan kronis Tonsil setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemis ringan yang mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus.7

C. Etiologi dan PredisposisiEtiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna. Pada pendera Tonsilitis Kronis jenis kuman yang sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA). Selain itu terdapat Streptokokus pyogenes, Streptokokus grup B, C, Adenovirus, Epstein Barr, bahkan virus Herpes. Penelitian Abdulrahman AS, Kholeif LA, dan Beltagy di mesir tahun 2008 mendapatkan kuman patogen terbanyak di tonsil adalah Staphilokokus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A, E.coli dan Klebsiela.1 Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli kultur apusan tenggorok didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering Tonsilofaringitis Kronis yaitu Streptokokus alfa kemudian diikuti Stafilokokus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A, Stafilokokus epidermidis dan kuman gram negatif berupa Enterobakter, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E. coli. Selain itu, yang harus menjadi perhatian adalah factor predisposisi timbulnya tonsillitis kronis adalah rangsangan menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygine mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat.8,9

D. Diagnosis BandingDiagnosis banding dari tonsillitis kronik adalah :91. Penyakit-penyakit yang disertai dengan pembentukan pseudomembran yang menutupi tonsil (tonsillitis membranosa)a. Tonsillitis difteriDisebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Gejalanya terbagi menjadi 3 golongan besar, umum, local dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi lain, yaitu demam subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat dan keluhan nyeri menelan. Gejala local yang tampak berupa tonsi membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan membentuk pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Gejala akibat eksotoksin dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, misalnya pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis, pada saraf cranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot pernafasan serta pada ginjal dapat menimbulkan albuminuria.b. Angina Vincent (Stomatitis ulseromembranosa)Gejala yang timbul adalah demam tinggi (39C), nyeri di mulut, gigi dan kepala, sakit tenggorok, badan lemah, gusi mudah berdarah dan hipersalivasi. Pada pemeriksaan tampak membrane putih keabuan di tonsil, uvula, dinding faring, gusi dan prosesus alveolaris. Mukosa mulut dan faring hiperemis. Mulut berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibula membesar.c. Mononucleosis infeksiosaTerjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membrane semu yang menutup ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan, terdapat pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak dan region inguinal. Gambaran darah khas yaitu terdapat leukosit mononucleosis dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain adalah kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah domba (Reaksi Paul Bunnel).

2. Penyakit Kronik Faring Granulomatusa. Faringitis TuberkulosaMerupakan proses sekunder dari TBC paru. Keadaan umum pasien buruk karena anoreksi dan odinofagi. Pasien mengeluh nyeri hebat di tenggorok, nyeri di telinga (Otalgia) dan pembesaran kelenjar limfa leher.b. Faringitis LuetikaGambaran klinis tergantung dari stadium penyakit primer, sekunder atau tersier. Pada penyakit ini dapat terjadi ulserasi superficial yang sembuh disertai pembentukan jaringan ikat. Sekuele dari gumma bisa mengakibatkan perforasi palatum mole dan pilar tonsil.c. LepraPenyakit ini dapat menimbulkan nodul atau ulserasi pada faring kemudian menyembuh dan disertai dengan kehilangan jaringan yang luas dan timbulnya jaringan ikat.d. Aktinomikosis FaringTerjadi akibat pembengkakan mukosa yang tidak luas, tidak nyeri, bisa mengalami ulserasi dan proses supuratif. Blastomikosis dapat mengakibatkan ulserasi faring yang ireguler, superficial, dengan dasar jaringan granulasi yang lunak.Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan dengan nyeri tenggorok dan kesulitan menelan. Diagnosa pasti berdasarkan pada pemeriksaan serologi, hapusan jaringan atau kultur, X-ray dan biopsy.

E. PatofisiologiAdanya infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan satu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun.8Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsillitis lakunaris. Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran semu (Pseudomembran), sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus, proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlengkapan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfe submandibular.4,10

F. Penegakkan Diagnosis1. AnamnesisPenderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher, Pada anak, tonsil yang hipertrofi dapat terjadi obstruksi saluran nafas atas yang dapat menyebabkan hipoventilasi alveoli yang selanjutnya dapat terjadi hiperkapnia dan dapat menyebabkan kor polmunale. Obstruksi yang berat menyebabkan apnea waktu tidur, gejala yang paling umum adalah mendengkur yang dapat diketahui dalam anamnesis.11 Gejala tonsillitis kronis menurut Mawson, dibagi menjadi : 1.) Gejala local, yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan, 2.) Gejala sistemik, rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam subfebris, nyeri otot dan persendian, 3.) Gejala klinis tonsil dengan debris di kriptenya (tonsillitis folikularis kronis), udema atau hipertrofi tonsil (tonsillitis parenkimatosa kronis), tonsil fibrotic (tonsillitis fibrotic kronis), plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe.12

2. Pemeriksaan FisikTanda klinis pada tonsilitis kronis yang sering muncul adalah kripta yang melebar, pembesaran kelenjar limfe submandibula dan tonsil yang mengalami perlengketan. Tanda klinis tidak harus ada seluruhnya, minimal ada kripta yang melebar dan pembesaran kelenjar limfe submandibula. Disebutkan dalam penelitian lain bahwa adanya keluhan rasa tidak nyaman di tenggorokan, kurangnya nafsu makan, berat badan yang menurun, palpitasi mungkin dapat muncul. Bila keluhan-keluhan ini disertai dengan adanya hiperemi pada plika anterior, pelebaran kripta tonsil dengan atau tanpa debris dan pembesaran kelenjar limfe jugulodigastrik maka diagnosa tonsilitis kronis dapat ditegakkan.8

Gambar. 4. Tonsilitis Kronik8

gambar 1.ukuran tonsil (Kurien 2003 )Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan

Gambar 5. Ukuran Tonsil11Mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :a. TO: Tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkatb. T1: 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

Tabel 1. Perbedaan tonsilitis11Tonsilitis AkutTonsilitis KronisEksaserbasi akutTonsilitis Kronis

Hiperemis dan edemaHiperemis dan edemaMemebesar/ mengecil tapi tidak hiperemis

Kripte tak melebarKripte melebarKripte melebar

Detritus (+ / -)Detritus (+)Detritus (+)

Perlengketan (-)Perlengketan (+)Perlengketan (+)

Antibiotika, analgetika,obat kumurSembuhkan radangnya, Jika perlu lakukan tonsilektomi 2 6 minggusetelah peradangan tenangBila mengganggu lakukanTonsilektomi

3. Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnose tonsilofaringitis akut adalah pemeriksaan laboratorium meliputi :4a. Leukosit b. Hemoglobin c. Usap tonsil untuk pemeriksaan kultur bakteri dan tes sensitifitas.Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan apus tonsil. Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat. Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti Staflokokus aureus. Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan derajat keganasan yang rendah, seperti Streptokokus hemolitikus, Streptokokus viridans, Stafilokokus, atau Pneumokokus.4,8

G. Penatalaksanaan1. MedikamentosaPemberian antibiotika sesuai kultur bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis. Cephaleksin ditambah metronidazole, klindamisin (terutama jika disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam klavulanat (Jika bukan disebabkan mononucleosis).4

2. NonmedikamentosaIndikasi tonsilektomi menurut American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium menetapkan :4a. Serangan tonsillitis lebih dari 3 kali pertahun walaupun telah mendapatkan terapi yang adekuat.b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan pertumbuhan orofacial.c. Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan nafas, sleep apneu, gangguan menelan, gangguan berbicara, dan cor pulmonale.d. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak hilang dengan pengobatan.e. Nafas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.f. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grub A streptokokus beta hemolitikus.g. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.h. Otitis media efusi atau otitis media supuratif.

Indikasi relative:13a. Penderita dengan infeksi tonsil yang kambuh 3 kali atau lebih dalam setahun meskipun dengan terapi yang adekuatb. Bau mulut atau bau nafas yang menetap yang menandakan tonsilitis kronis tidak responsif terhadap terapi mediac. Tonsilitis kronis atau rekuren yang disebabkan kuman streptococus yang resisten terhadap antibiotik betalaktamased. Pembesaran tonsil unilateral yang diperkirakan neoplasmaKontra indikasi :13a. Diskrasia darah kecuali di bawah pengawasan ahli hematologib. Usia di bawah 2 tahun bila tim anestesi dan ahli bedah fasilitasnya tidak mempunyai pengalaman khusus terhadap bayic. Infeksi saluran nafas atas yang berulangd. Perdarahan atau penderita dengan penyakit sistemik yang tidak terkontrol.e. Celah pada palatum

3. PreventifBakteri dan virus penyebab tonsilitis dapat dengan mudah menyebar dari satu penderita ke orang lain. Resiko penularan dapat diturunkan dengan mencegah terpapar dari penderita tonsilitis atau yang memiliki keluhan sakit menelan. Gelas minuman dan perkakas rumah tangga untuk makan tidak dipakai bersama dan sebaiknya dicuci dengan menggunakan air panas yang bersabun sebelum digunakan kembali. Sikat gigi yang telah lama sebaiknya diganti untuk mencegah infeksi berulang. Orang orang yang merupakan karier tonsilitis semestinya sering mencuci tangan mereka untuk mencegah penyebaran infeksi pada orang lain.11

H. PrognosisTonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristirahat dan pengobatan suportif. Menangani gejala gejala yang timbul dapat membuat penderita tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotik diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya. Pada kasus kasus yang jarang, tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia.8,11

BAB IIILAPORAN KASUSI. Identitas Nama:Nn. LMJenis Kelamin :PerempuanUmur : 19 tahunPekerjaan : -Tempat tinggal: WainituAgama : Kristen KatolikRuangan: Poliklinik THT RSUD Dr. M. Haulussy AmbonTanggal Pemeriksaan : 24 Juli 2015II. AnamnesisKeluhan Utama : Nyeri menelanAnamnesis terpimpin Keluhan ini dialami sejak kurang lebih 3 hari yang lalu dan keluhan terus berlanjut sampai sekarang. Keluhan disertai dengan sesak napas, mual, muntah, nyeri tenggorokan dan hanya bias mengkonsumsi makanan lunak. Pasien juga mengeluhkan tidak bias tidur, sakit kepala seperti dipukul-pukul, demam (+) disertai flu/batu (+/-)

RPD : Keluhan seperti ini sudah dirasakan sejak usia 10 tahun .Riwayat keluarga: (+) Riwayat kebiasaan : Sering mengkonsumsi makanan dingin (es) Riwayat pengobatan : Pernah melakukan pemeriksaan di dokter THT kurang lebih 1 tahun yang lalu. III. Pemeriksaan fisik A. Pemeriksaan telinga1. Otoskopi Dekstra SinistraDaun telinga : Nyeri tekan tragus(-) Nyeri tekan tragus(-) Nyeri tarik aurikula (-) Nyeri tarik aurikula (-)Liang telinga : lapang, lapang, serumen (+) sedikit serumen (+) sedikitMembran timpani : hiperemis (-), hiperemis (-) Intak, reflex cahaya + Intak, reflex cahaya +

2. Pemeriksaan pendengaran Rinne : ++Webber :tidak ada lateralisasiSwabach:sesuai pemeriksasesuai pemeriksa

B. Pemeriksaan hidung 1. Inspeksi hidung : udem (-), deformitas (-) Rinoskopi anterior Dekstra SinistraCavum: Lapang, massa (-), sekret (-) Lapang, massa (-), sekret (-)Conca : Hiperemis (-), udem (-) Hiperemis (-), udem (-)Septum: Deviasi (-), Deviasi (-)

2. Rhinoskopi posterior : Tidak dilakukanC. Pemeriksaan Tenggorokan1. Inspeksi

BibirMukosa bibir basah, berwarna merah muda

MulutMukosa mulut basah berwarna merah muda, Trismus (-)

GeligiNormal

LidahUlkus (-)

UvulaHiperemi (+), edema (+), Deviasi (-)

Palatum moleUlkus (-), hiperemi (+)

Tonsila palatineKananKiri

T3T3

Hiperemis (+), kripte melebar (+), detritus (+), permukaan granulerHiperemis (+), kripte melebar (+), detritus (+), permukaan granuler

2. Laringoskopi indirek : Tidak dilakukan

D. Pemeriksaan Leher :Kelenjar Limfe : Terdapat pembesaran pada daerah submandibula Tyroid : tidak terdapat pembesaranNodul : tidak terdapat pembesaran

IV. RESUMEPasien datang dengan keluhan nyeri menelan Keluhan ini dialami sejak kurang lebih 3 hari yang lalu dan keluhan terus berlanjut sampai sekarang. Keluhan disertai dengan sesak napas, mual, muntah, nyeri tenggorokan dan hanya bias mengkonsumsi makanan lunak. Pasien juga mengeluhkan tidak bias tidur, sakit kepala seperti dipukul-pukul, demam (+) disertai flu/batu (+/-). Pada pemeriksaan fisik Tonsila palatine T3/T3, Hiperemis (+), kripte melebar (+), detritus (+) dan permukaan granuler.

V. Anjuran Pemeriksaan: - VI. Diagnosis: Tosilitis kronik eksaserbasi akutVII. Diagnosis banding: Tonsilitis difteri Angina VincentVIII. Terapi : Cefadroxil 2 x 500 mg Patral 3 x 1 Metilperdnisolone 3 x 1 4 mg

IX. Anjuran : Hindari makanan dingin dan berlemak Rutin mengkonsumsi obat hingga tonsil tenang Indikasi tonsilektomi

DAFTAR PUSTAKA

1. Dias EP, Rocha ML, Calvalbo MO, Amorim LM. Detection of Epstein-Barr Virus in Recurrent Tonsilitis. Brazil Journal Otolaryngology. 2009 .75(1); p.30-4.2. Kurien M, Sheelan S, Fine Needle Aspiration In Chronic Tonsillitis ; Realiable and Valid Diagnostic Test Juornal of Laryngology and Otlogy. 2003 Vol 117,pp 973 9753. Suwento R. Epidemiologi Penyakit THT di 7 Propinsi. Kumpulan makalah dan pedoman kesehatan telinga. Lokakarya THT Komunitas. PIT PERHATI-KL, Palembang, 2001: 8-12. 4. Lipton AJ. Obstructive sleep apnea syndrome. 2002. E- medicine5. Adams, GL. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut, Faring, Esofagus, dan Leher. Dalam Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Buku Ajar Penyakit THT Edisi Keenam. Ed 6. Jakarta. EGC, 1997: p. 263-2716. Brodsky L, Poje C. Tonsilitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In: Bailey JB, Johnson JT editors, Head and Neck Surgery Otolaryngology, Lippincott Williams and Wilkins, Philadelpia. 2006 p.1183-98.7. Probst, R, Grever, G, Iro, H. Diseases of the Nasopharynx. Basic Otorhinolaryngology. New York. Thieme, 2006: p. 1198. Saragih, A.R, Harahap, I.S, Rambe, A.Y. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronik di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009. Bagian THT FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan. Medan. USU Digital Library, 2009. Available at : http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/27640 (Accessed : March 27th 2012).9. Dedya, et. Al. Tonsilitis Kronis Hipertrofi dan Obstructive Sleep Apnea (OSA) Pada Anak. Bagian/Smf Ilmu Penyakit Tht Fk Unlam. 2009.10. Rusmarjono dan Soepardi, EA. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid. Dalam Soepardi, Efiaty Arsyad, et al., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. ed 6. Jakarta. FKUI, 2009: p. 217-22511. Nurjanna Z, 2011. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2007-2010. USU Institutonal Repository. 12. Kurien M, Sheelan S, Fine Needle Aspiration In Chronic Tonsillitis ; Realiable and Valid Diagnostic Test Juornal of Laryngology and Otlogy. 2003 Vol 117,pp 973 97513. Amarudin, Tolkha et Anton Christanto. 2005. Kajian Manfaat Tonsilektomi, Cermin Dunia Kedokteran


Top Related