Transcript
Page 1: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF fileBerdasarkan pernyataan yang tertulis dalam buku “Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia” karya Yulianto Sumalyo, ... penjajahan di Indonesia,

Bab II Tinjauan Pustaka

Pada bab ini akan dijelaskan sejarah perkembangan kota Bandung,

perkembangan permukiman di Bandung, arsitektur kolonial Belanda, upaya

pemugaran bangunan-bangunan kolonial Belanda di Bandung, fasade bangunan di

kawasan perumahan Tjitaroem Plein, serta kajian teori karakter kawasan dan

fasade bangunan.

II.1 Sejarah Perkembangan Kota Bandung

Berdasarkan pernyataan yang tertulis pada buku “Ciri Perancangan Kota

Bandung” karya Djefry W. Dana, dinyatakan bahwa awal mula berdirinya kota

Bandung tidak lepas dari jasa Wiranatakusumah II yang menjadi Bupati

Kabupaten Bandung pada tahun 1794 hingga tahun 1829. Pemerintah Hindia

Belanda, yang saat itu menguasai Nusantara, khususnya Jawa, dibawah pimpinan

Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels memiliki rencana membuat Groote

Postweg (Jalan Raya Pos) yang membelah Pulau Jawa sepanjang kira-kira 1000

kilometer. Jalan ini menghubungkan Anyer di ujung barat dan Panarukan di ujung

timur. Hal ini bertujuan untuk mempermudah hubungan antara daerah-daerah

yang berdekatan serta dilalui jalan tersebut. Atas perintah Gubernur Jenderal

Herman Willem Daendels, sejak tanggal 25 Mei 1810 ibukota Kabupaten

Bandung yang semula berada di Krapyak (sekarang Dayeuh Kolot) berpindah

mendekati Jalan Raya Pos. Atas persetujuan sesepuh serta tokoh-tokoh dibawah

pemerintahannya, Bupati Wiranatakusumah II memindahkan ibukota Kabupaten

Bandung dari Krapyak ke daerah yang terletak diantara dua buah sungai, yaitu

Cikapundung dan Cibadak, daerah sekitar alun-alun Bandung sekarang, yang

dekat dengan Groote Postweg (Jalan Raya Pos). Daerah yang tanahnya melandai

ke arah timur laut tersebut dianggap cocok dengan persyaratan kesehatan maupun

kepercayaan yang dianut pada saat itu. Sungai-sungai yang mengapitnya juga

dapat berfungsi sebagai sarana utilitas kota10.

10 Dana, Djefry W. (1990), Ciri Perancangan Kota Bandung, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 13.

13

Page 2: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF fileBerdasarkan pernyataan yang tertulis dalam buku “Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia” karya Yulianto Sumalyo, ... penjajahan di Indonesia,

Berdasarkan pernyataan yang tertulis dalam buku “Bandoeng, Beeld van

een stad” karya Robert P.G.A. Voskuil, masa kekuasaan Verenigne Oostindische

Compagnie (VOC) di Bandung ditandai dengan munculnya budidaya kopi

pertama di Bandung pada tahun 1718 sampai tahun 1725. Kemudian VOC

memonopoli perdagangan dengan seringnya membeli hasil panen kopi dengan

harga yang murah untuk kemudian dijual di Eropa dengan harga yang tinggi.

Masa kekuasaan VOC berakhir pada awal tahun 1796. Pada saat itu VOC berada

dalam pengawasan Pemerintah Belanda. Setelah habisnya hak monopoli yang ada,

akhirnya pada tanggal 31 Desember 1799 VOC dinyatakan bangkrut dan resmi

dibubarkan11.

Berdasarkan pernyataan yang tertulis dalam buku “Bandoeng, Beeld van

een stad” karya Robert P.G.A. Voskuil, masa kekuasaan Bataafsche Republiek

(Republik Batavian / Pemerintah Hindia Belanda) di Bandung tidak lepas dari

kepemimpinan Herman Willem Daendels di Bandung. Pada bulan Januari 1807

Herman Willem Daendels diangkat sebagai Gubernur Jenderal di Asia. Sebelum

berangkat Daendels dianugerahi pangkat “Marsekal Negeri Belanda” oleh Raja

Lodewijk Napoleon. Daendels dilahirkan di Hattem Belanda pada tahun 1762.

Pada tahun 1787 sebagai patriot muda Daendels melarikan diri ke Perancis,

kemudian kembali ke Belanda pada tahun 1795 sebagai jenderal dalam pasukan

Pichegru. Daendels ditugaskan oleh untuk mempertahankan Jawa terhadap

Inggris. Dibawah pimpinan Gubernur Jenderal Daendels, Groote Postweg (jalan

raya Pos) dibuat dengan alasan untuk kepentingan ekonomi dan militer. Jalan ini

menghubungkan Anyer di ujung barat dengan Panarukan di ujung timur, yang

membentang sepanjang kira-kira 1000 kilometer. Atas perintah Daendels, sejak

tanggal 25 Mei 1810 ibukota Kabupaten Bandung yang semula berada di

Karapyak dipindahkan mendekati Jalan Raya Pos. Daendels meninggal dunia

pada bulan Mei 1818 di St.George del Mina, ibukota pantai barat Afrika11.

Menurut Djefry W. Dana, untuk mengatur pembangunan kota Bandung

akibat bertambahnya jumlah penduduk, maka disusun Plan der Negorij Bandoeng

11 Voskuil, Robert P.G.A. (1996), Bandoeng, Beeld van een stad, Asia Maior, Purmerend, 26-32.

14

Page 3: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF fileBerdasarkan pernyataan yang tertulis dalam buku “Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia” karya Yulianto Sumalyo, ... penjajahan di Indonesia,

(Rencana Kota Bandung) dengan tujuan agar pembangunan kota lebih terarah dan

terkendali. Pada tahun 1850 dibangun Masjid Agung dan Pendopo Kabupaten

serta ruang terbuka / alun-alun di pusat kota Bandung sekarang. Pada tahun 1866

dibangun beberapa bangunan sekolah seperti Sekolah Guru / Sekolah Raja

(Kweekschool) di Jalan Merdeka sekarang dan Sekolah Pangereh Praja / Sakola

Menak (OSVIA) di daerah Tegallega. Pada tahun 1867 dibangun Gedung

Karesidenan yang terletak di Jalan Otto Iskandardinata sebagai tempat tinggal

Residen Priangan yang bernama Van der Moore. Sekitar tahun 1890 dibuat

beberapa taman kota serta fasilitas-fasilitas penunjang kota lainnya. Dengan

demikian, Bandung berkembang dari kota kecil menjadi sebuah permukiman kota

dengan segala sarana pelengkapnya12.

Menurut Djefry W. Dana, meskipun Groote Postweg (Jalan Raya Pos)

telah dibuat, keberadaannya tidak cukup kuat untuk melindungi Belanda dari

tentara Inggris yang kemudian datang ke Indonesia pada tahun 1811 dibawah

pimpinan Thomas Stamford Raffles. Selain itu, menurut Robert P.G.A. Voskuil,

masa kekuasaan Inggris di Bandung ditandai dengan diterapkannya Cultuurstelsel

(Undang-undang Tanam Paksa) di Jawa pada tahun 1830 oleh Gubernur Jenderal

Van den Bosch. Tanam Paksa dilakukan hampir sama dengan kerja paksa seperti

pada zaman VOC, tetapi kali ini berdasarkan pajak bumi dari Raffles13.

Menurut Robert P.G.A. Voskuil, masa kolonial modern di Bandung

ditandai dengan adanya het Decentralisatiebesluit (Keputusan Otonomi) pada

tahun 1905 yang secara hukum menciptakan banyak peluang bagi Batavia,

Meester Cornelis dan Buitenzorg menjadi kota-kota di Jawa yang mendapat status

gemeente (Kotapraja). Hal ini diikuti oleh sejumlah kota lain pada tanggal 1 April

1906, termasuk Bandung. Sejak saat itu, kota Bandung mengalami perkembangan

pesat di segala bidang13.

12 Dana, Djefry W. (1990), Ciri Perancangan Kota Bandung, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 13-16. 13 Voskuil, Robert P.G.A. (1996),Bandoeng, Beeld van een stad, Asia Maior, Purmerend, 36-49.

15

Page 4: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF fileBerdasarkan pernyataan yang tertulis dalam buku “Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia” karya Yulianto Sumalyo, ... penjajahan di Indonesia,

Didalam buku tersebut juga dinyatakan bahwa pada tahun 1918 het

Departement van Gouvernementsbedreijven (Departemen Perusahaan Pemerintah)

ditetapkan berkedudukan di Bandung termasuk berbagai dinas yang berada

dibawah kekuasaan pemerintah seperti kereta api, trem, pos telegram telepon dan

pertambangan. Pemindahan tersebut menyebabkan aktivitas membangun

disepanjang batas kota, disebelah Utara Jl.Riau meningkat sejak 1920. Melihat

perkembangan kota yang cepat, maka pada tahun 1917 Kotapraja memiliki

Rencana Pengembangan Bandung Utara yang disusun oleh arsitek F.J.L. Ghysels

dari het Algemene Ingenieurs en Architecten Bureau (AIA) dari Jakarta. Biro ini

dipilih pada tahun 1920 untuk menjadi Departemen Perencanaan yang menangani

semua pembangunan kantor pemerintah di kawasan timur laut. Tetapi pada

kenyataannya, proyek yang terlaksana hanya dua bangunan kantor, sehingga lahan

peruntukannya tidak dibangun hingga bertahun-tahun. Hal ini menyebabkan

kerugian yang cukup besar bagi Kotapraja14. Berikut ini merupakan

perkembangan kota Bandung jika digambarkan dalam bentuk diagram :

U

Tjitaroem Plein

Gambar II.1 Diagram Peta Perkembangan Kota Bandung

Sumber : Siregar, Sandy Aminuddin (1990), Bandung, The Architecture of A City in Development, Departement Architectuur Katholieke Universiteit Leuven

14 Voskuil, Robert P.G.A. (1996),Bandoeng, Beeld van een stad, Asia Maior, Purmerend, 57-63.

16

Page 5: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF fileBerdasarkan pernyataan yang tertulis dalam buku “Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia” karya Yulianto Sumalyo, ... penjajahan di Indonesia,

Berikut ini merupakan perkembangan kota Bandung yang dapat

digambarkan sebagai berikut :

U

Tjitaroem Plein

Gambar II.2 Peta Perkembangan Kota Bandung Tahun 1906

Sumber : Dana, Djefry W. (1990), Ciri Perancangan Kota Bandung, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 17-18

U

Tjitaroem Plein

Gambar II.3 Peta Perkembangan Kota Bandung Tahun 1911

Sumber : Dana, Djefry W. (1990), Ciri Perancangan Kota Bandung, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 17-18

17

Page 6: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF fileBerdasarkan pernyataan yang tertulis dalam buku “Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia” karya Yulianto Sumalyo, ... penjajahan di Indonesia,

U

Tjitaroem Plein

Gambar II.4 Peta Perkembangan Kota Bandung Tahun 1916 Sumber : Dana, Djefry W. (1990), Ciri Perancangan Kota Bandung, P.T. Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, 17-18

U

Tjitaroem Plein

Gambar II.5 Peta Perkembangan Kota Bandung Tahun 1921 Sumber : Dana, Djefry W. (1990), Ciri Perancangan Kota Bandung, P.T. Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, 17-18

18

Page 7: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF fileBerdasarkan pernyataan yang tertulis dalam buku “Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia” karya Yulianto Sumalyo, ... penjajahan di Indonesia,

U

Tjitaroem Plein

Gambar II.6 Peta Perkembangan Kota Bandung Tahun 1931 Sumber : Dana, Djefry W. (1990), Ciri Perancangan Kota Bandung, P.T. Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, 17-18

U

Tjitaroem Plein

Gambar II.7 Peta Perkembangan Kota Bandung Sejak Tahun 1942

Sumber : Dana, Djefry W. (1990), Ciri Perancangan Kota Bandung, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 17-18

19

Page 8: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF fileBerdasarkan pernyataan yang tertulis dalam buku “Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia” karya Yulianto Sumalyo, ... penjajahan di Indonesia,

Berdasarkan gambar peta perkembangan kota Bandung tersebut, maka dapat

disimpulkan bahwa pembangunan perumahan di Bandung (terutama di kawasan

perumahan Tjitaroem Plein) tidak sekaligus dibangun pada satu periode,

melainkan berangsur-angsur, sehingga bentuk dan fasade bangunan-bangunannya

tidak selalu sama.

II.2 Perkembangan Permukiman di Bandung

Pertambahan penduduk yang cepat dalam dekade pertama abad

keduapuluh memerlukan penanganan yang tepat oleh aparat perencana Kotapraja.

Tempat harus disiapkan untuk pembangunan kawasan perumahan dan kantor yang

baru. Menurut Robert P.G.A. Voskuil, Bagian Perumahan Kotapraja adalah

instansi yang pertama kali memenuhi permintaan akan adanya rumah kecil dan

sederhana. Selama Perang Dunia I, penambahan jumlah rumah di Bandung terlalu

sedikit. Sejalan dengan kenaikan sewa, maka berkurang pula minat para warga

yang lemah modal, sehingga banyak yang kemudian terpaksa tinggal di rumah

kampung yang sederhana dengan kondisi rumah yang kurang menyenangkan dan

kesehatan lingkungan yang tidak memadai15.

Didalam buku tersebut juga dinyatakan bahwa pihak swasta kurang

berminat untuk membangun rumah kecil sederhana dengan harga murah.

Akhirnya pada tahun 1919 Dewan Kotapraja membangun perumahan sederhana

tersebut dengan Ir. A. Polderwaart sebagai pelopornya, kemudian diikuti oleh Ir.

Heetjans sebagai Direktur Pekerjaan Kotapraja. Pada awalnya bangunan ini

terbuat dari kayu berdinding bilik atau anyaman bambu. Biaya perawatan yang

cukup tinggi menyebabkan bangunan seperti ini ditinggalkan, kemudian dicoba

menggunakan bahan bangunan tembok. Pada tahun 1920 proyek pertama dicoba

rumah model kampung di daerah Astanaanyar, kemudian pada tahun 1921 di

Cihapit dibangun 127 rumah dan 12 toko. Sampai awal tahun 1930-an, ketika

keadaan krisis ekonomi dunia tidak memungkinkan lagi untuk membangun, telah

berdiri 800 rumah untuk dihuni. Pada tahun 1927, barulah dibuat Kerangka

15 Voskuil, Robert P.G.A. (1996),Bandoeng, Beeld van een stad, Asia Maior, Purmerend, 57-63.

20

Page 9: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF fileBerdasarkan pernyataan yang tertulis dalam buku “Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia” karya Yulianto Sumalyo, ... penjajahan di Indonesia,

Pengembangan Kota bagian Selatan yang akan diperuntukkan bagi penduduk

pribumi16.

Berikut ini merupakan gambar perumahan kecil Kotapraja di Cihapit pada

tahun 1921 :

Gambar II.8 Perumahan Kecil Kotapraja di Cihapit pada Tahun 1921 Sumber : Voskuil, Robert P.G.A. (1996), Bandoeng, Beeld van een stad, Asia Maior, Purmerend,

62

II.3 Arsitektur Kolonial Belanda

Menurut Sandy Aminuddin Siregar dalam disertasinya yang berjudul

“Bandung, The Architecture of A City in Development”, sejarah suatu bangsa

dapat dikategorikan berdasarkan tiga aspek, yaitu : masa religi-politiknya, bentuk

etnisnya dan kolonialnya17. Dalam hal ini, aspek kolonial adalah aspek yang akan

dibahas dalam penelitian ini.

16 Voskuil, Robert P.G.A. (1996),Bandoeng, Beeld van een stad, Asia Maior, Purmerend, 57-63. 17 Siregar, Sandy Aminuddin (1990), Bandung, The Architecture of A City in Development, Departement Architectuur Katholieke Universiteit Leuven, 19-20.

21

Page 10: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF fileBerdasarkan pernyataan yang tertulis dalam buku “Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia” karya Yulianto Sumalyo, ... penjajahan di Indonesia,

II.3.1 Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia

Berdasarkan pernyataan yang tertulis dalam buku “Arsitektur Kolonial

Belanda di Indonesia” karya Yulianto Sumalyo, sejarah dunia memasuki masa

kolonialisasi pada abad XVII. Masa kolonialisasi di Indonesia juga dimulai dari

abad XVII hingga pertengahan abad XX, tepatnya pada tahun 194518. Menurut

Sandy Aminuddin Siregar dalam disertasinya yang berjudul “Bandung, The

Architecture of A City in Development”, berdasarkan sejarahnya, Inggris, Portugis,

Belanda dan Jepang pernah menjajah Indonesia. Hubungan antara penjajah dan

yang dijajah inilah yang menyebabkan adanya perkembangan arsitektur di

Indonesia. Didalam buku tersebut juga dinyatakan bahwa setelah Portugis datang

ke Indonesia pada tahun 1498, pada akhir abad ke-16 barulah Belanda datang ke

Indonesia. Pada awalnya, Belanda memulai penjajahan dengan membangun

benteng di Batavia (Jayakarta). Setelah dua abad kemudian barulah Belanda dapat

menguasai beberapa kota di Indonesia19.

Menurut Djefry W. Dana, tidak semua orang-orang Belanda mendukung

penjajahan di Indonesia, terutama para arsitek Belanda yang tinggal di Indonesia.

Mereka menginginkan bangsa Indonesia maju dalam segala aspek, terutama

perkembangan arsitekturnya. Bentuk arsitektur kolonial Belanda di Indonesia

setelah tahun 1900 merupakan arsitektur modern yang berkembang di Belanda

pada saat yang bersamaan, yang disesuaikan dengan iklim tropis basah di

Indonesia. Beberapa bangunan mengambil elemen-elemen tradisional setempat

untuk diterapkan pada bentuk arsitekturnya. Dengan demikian, maka muncul

langgam arsitektur yang disebut “Indo Europeeschen Architectuur Stijl”, yaitu

langgam arsitektur perpaduan arsitektur Eropa dan tradisional Indonesia, dengan

atap tropis (atap perisai dan pelana) sebagai ciri khasnya. Langgam arsitektur ini

banyak diterapkan pada bangunan-bangunan kolonial di Indonesia20.

18 Sumalyo, Yulianto (1993), Arsitektur Kolonial Belanda Di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 8. 19 Siregar, Sandy Aminuddin (1990), Bandung, The Architecture of A City in Development, Departement Architectuur Katholieke Universiteit Leuven, 19-32. 20 Dana, Djefry W. (1990), Ciri Perancangan Kota Bandung, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 22.

22

Page 11: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF fileBerdasarkan pernyataan yang tertulis dalam buku “Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia” karya Yulianto Sumalyo, ... penjajahan di Indonesia,

II.3.2 Arsitektur Kolonial Belanda di Bandung

Didalam buku “Bandoeng, Beeld van een stad” karya Robert P.G.A.

Voskuil, dinyatakan bahwa tahun 1920 hingga tahun 1930-an adalah periode

ketika keadaan sangat baik untuk pembangunan tempat tinggal dan tempat kerja

ideal untuk para warga Eropa di daerah tropis, termasuk kota Bandung. Berbagai

bangunan Pemerintah dibangun dengan gaya Neoklasik, seperti tempat kediaman

Residen dan Sekolah Guru Pribumi, yang sekarang merupakan tempat kediaman

Gubernur dan Kantor Polisi Kota Jl.Merdeka. Hal tersebut tampaknya diilhami

oleh gaya Yunani dan Romawi Kuno berbentuk fasade yang selama berpuluh-

puluh tahun disukai oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dalam dekade pergantian

abad, arsitektur Eklektik cukup populer, yang ditandai dengan adanya kombinasi

elemen-elemen yang asal dan waktu terciptanya berbeda-beda21.

Salah satu faktor pembentuk fasade bangunan adalah langgam

arsitekturnya. Banyaknya tipe atau jenis bangunan-bangunan rumah tinggal

kolonial Belanda menyebabkan adanya tipologi bangunan rumah tinggal kolonial

Belanda dalam arsitektur. Berbagai literatur selalu menjelaskan arsitektur modern

sebagai langgam Art Nuoveau, International Style, Art and Craft Movement, atau

yang paling dikenal adalah Art Deco. Berdasarkan laporan penelitian yang

dilakukan oleh Indah Widiastuti yang berjudul “Kajian Tipologi Fasade Bangunan

Rumah Tinggal Kolonial di Bandung; Studi Kasus : Kawasan Permukiman

Uitbreidingensplan Bandoeng Noord”, dinyatakan bahwa Hellen Jessup

mendefinisikan 3 langgam bangunan rumah tinggal kolonial (Dutch Indische),

yaitu :

1. Imperial Style (berlandaskan aturan-aturan klasik);

2. Indische Style (perpaduan gaya Eropa dan tradisional);

3. International Style (mengikuti selera modernisme yang anti historis)22.

21 Voskuil, Robert P.G.A. (1996),Bandoeng, Beeld van een stad, Asia Maior, Purmerend, 64-65. 22 Widiastuti, Indah (2001), Kajian Tipologi Fasade Bangunan Rumah Tinggal Kolonial di Bandung; Studi Kasus : Kawasan Permukiman Uitbreidingensplan Bandoeng Noord, Laporan Penelitian Institut Teknologi Bandung, Bandung, 37.

23

Page 12: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF fileBerdasarkan pernyataan yang tertulis dalam buku “Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia” karya Yulianto Sumalyo, ... penjajahan di Indonesia,

Didalam buku “Bandoeng, Beeld van een stad” karya Robert P.G.A.

Voskuil, dinyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan kota Bandung yang

cepat didukung oleh semangat Pemerintah kota yang ingin maju kemudian

membuat para ahli bangunan dan para arsitek tertarik untuk berkarya ke kota

Bandung. Beberapa dari mereka antara lain : Ir. J. Gerber, Ir. Henri E. Maclaine

Pont, A. F. Aalbers dan Prof. Ir. Charles Prosper Wolff Schoemaker. Keempat

arsitek tersebut memiliki ciri khas gaya membangun yang berbeda-beda23.

Ir. J. Gerber memiliki gaya membangun dengan mencoba menggabungkan

gaya barat dan timur. Contoh hasil karyanya yang terkenal adalah Gedung Sate

yang dibangun pada tahun 1924. Ir. Henri E. Maclaine Pont memiliki gaya

membangun dengan gaya Indische atau gaya setempat, baik secara arsitekturnya

maupun penggunaan materialnya, yaitu kayu dan bambu. Contoh hasil karyanya

yang terkenal adalah gedung aula Institut Teknologi Bandung. A. F. Aalbers

memiliki gaya yang sangat berlawanan dengan gaya membangun Ir. Henri E.

Maclaine Pont. Hasil karyanya dapat dinilai sebagai ungkapan representatif dari

bangunan modern tahun 1930-an di Hindia Belanda. Bangunan-bangunan yang

dibuatnya membuat kota memiliki bentuk yang baik, modern dan berskala

internasional, yang sangat kontras dengan lingkungan sekitarnya. Adapun

beberapa contoh hasil karyanya, antara lain : Gedung Denis (1935), Pension de

Driekleur / Gedung Triwarna (1938), Hotel Savoy Homann (1939), dan Societeit

Concordia / Gedung Merdeka (1940). Prof. Ir. Charles Prosper Wolff Schoemaker

memiliki gaya membangun dengan mempertahankan gaya Neo Gothic

tradisionalnya. Jika dilihat dari cara mengatur bangunan dan ornamennya, dapat

dilihat bahwa ia terpengaruh oleh gaya Art Deco. Contoh hasil karyanya yang

terkenal adalah Villa Isola (1933) yang dimiliki oleh Dominique Berretty23.

23 Voskuil, Robert P.G.A. (1996),Bandoeng, Beeld van een stad, Asia Maior, Purmerend, 64-65.

24

Page 13: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF fileBerdasarkan pernyataan yang tertulis dalam buku “Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia” karya Yulianto Sumalyo, ... penjajahan di Indonesia,

Gambar II.9 Villa Isola, Rumah Tinggal Kolonial yang Terkenal di Bandung Sumber : Akihary (1996), Ir. F.J.L. Ghijsels Architect in Indonesia, Seram Press, Netherlands, 109

25

Page 14: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF fileBerdasarkan pernyataan yang tertulis dalam buku “Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia” karya Yulianto Sumalyo, ... penjajahan di Indonesia,

II.4 Upaya Pemugaran Bangunan-bangunan Kolonial Belanda di Bandung

Berdasarkan tata guna lahannya, kawasan perumahan Tjitaroem Plein

merupakan kawasan dengan fungsi hunian24. Meskipun demikian, masih banyak

bangunan yang fungsinya telah berubah seiring dengan berjalannya waktu. Pada

masa sekarang ini bangunan-bangunan kolonial Belanda tersebut dilestarikan

dengan tujuan untuk menambah nilai kesejarahan kota Bandung sekaligus

mengenang kota Bandung tempo dulu. Meskipun demikian, tidak ada peraturan

baku yang mengaturnya.

Didalam buku “Architecture in Context” karya Brent C. Brolin, dinyatakan

bahwa ada beberapa cara untuk mencapai hubungan yang simpatik dengan

lingkungan sekitarnya, yaitu : mengambil motif-motif desain yang sudah ada;

menggunakan bentuk-bentuk dasar yang sama tetapi kemudian

memanipulasikannya sehingga nampak berbeda; mencari bentuk-bentuk baru

yang memiliki efek visual yang serupa atau setidaknya mendekati bentuk

lamanya; dan mengabstraksikan atau mentransformasikan bentuk aslinya25.

Menurut yang tertulis pada Burra Charter atau Piagam Burra pada tanggal

19 Agustus 1979 di Burra, Australia Selatan, perubahan pada bangunan-bangunan

kolonial dapat berupa konservasi, preservasi, restorasi, rekonstruksi dan adaptasi.

Konservasi adalah seluruh proses pemeliharaan sebuah tempat untuk

mempertahankan signifikansi budayanya). Preservasi adalah mempertahankan

bahan sebuah tempat dalam kondisi eksisting dan memperlambat pelapukan.

Restorasi adalah mengembalikan bahan eksisting sebuah tempat pada keadaan

semula sebagaimana yang diketahui dengan menghilangkan tambahan atau

dengan meniru kembali komponen eksisting tanpa menggunakan material baru.

Rekonstruksi adalah mengembalikan sebuah tempat pada keadaan semula

sebagaimana yang diketahui dan dibedakan dari restorasi dengan menggunakan

24 (2001), Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2001-2010, P.T. Surya Anggita Sarana Consultant & Pemerintah Kota Bandung, Bandung. 25 Brolin, Brent C. (1980), Architecture in Context, Van Nostrand Reinhold Company, New York, 140.

26

Page 15: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF fileBerdasarkan pernyataan yang tertulis dalam buku “Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia” karya Yulianto Sumalyo, ... penjajahan di Indonesia,

material baru sebagai bahan. Adaptasi adalah memodifikasi sebuah tempat untuk

disesuaikan dengan pemanfaatan eksisting atau pemanfaatan yang diusulkan.

Dengan demikian, bangunan-bangunan kolonial di Bandung diharapkan agar

dipertahankan dengan tujuan untuk mempertahankan nilai-nilai kesejarahan kota

Bandung.

II.5 Fasade Bangunan di Kawasan Perumahan Tjitaroem Plein

Menurut yang tertulis pada buku “Webster’s Third New International

Dictionary” karya Philip Babcock dan Merriam Webster, yang dimaksud dengan

fasade bangunan adalah bagian muka dari bangunan, wajah eksterior bangunan,

yang secara arsitektural merupakan bagian depan, dan kadang-kadang berbeda

dari bagian depan bangunan lainnya karena detail arsitektural atau ornamennya26.

Didalam buku “Public Places-Urban Spaces : The Dimensions of Urban Design”

karya Matthew Carmona, Tim Heath, Taner Oc. dan Steven Tiesdell, dapat

disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan detail adalah bagian dari fasade

bangunan yang menjadi fokus perhatian mata yang memiliki keteraturan (order).

Didalam buku tersebut juga dinyatakan bahwa keteraturan (order) berkaitan

dengan simetris, keseimbangan, repetisi atau pengulangan, grid atau pola dan lain-

lain. Selain itu, dinyatakan pula dalam buku tersebut beberapa aspek yang perlu

diperhatikan untuk mencapai keharmonisan bangunan yaitu letak bangunan,

massa bangunan, skala, proporsi, irama dan material. Letak bangunan merupakan

posisi bangunan terhadap lingkungan. Massa bangunan merupakan volume atau

bentukan bangunan secara tiga dimensi. Skala merupakan perbandingan bangunan

dengan objek disekitarnya. Proporsi merupakan hubungan antara elemen-elemen

atau bagian-bagian bangunan. Irama merupakan susunan dan ukuran elemen-

elemen atau bagian-bagian penting pada fasade bangunan. Aspek material

meliputi bahan, tekstur dan warna27.

26 Gove, Philip Babcock, Webster, Merriam (1981), Webster’s Third New International Dictionary, G & C Merriam Company Publisher, Springfield. 27 Carmona, Matthew, Heath, Tim, Oc., Taner, Tiesdell, Steven (2003), Public Places-Urban Spaces : The Dimensions of Urban Design, Architectural Press, Oxford, 150-156.

27

Page 16: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF fileBerdasarkan pernyataan yang tertulis dalam buku “Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia” karya Yulianto Sumalyo, ... penjajahan di Indonesia,

Bangunan-bangunan di kawasan perumahan Tjitaroem Plein didominasi

oleh langgam “Indo Europeeschen Architectuur Stijl”, yaitu langgam arsitektur

perpaduan arsitektur Eropa dan tradisional Indonesia, dengan atap tropis (atap

perisai dan pelana) sebagai ciri khasnya. Atap seperti ini merupakan bentuk

adaptasi bangunan dengan iklim tropis basah di Indonesia. Beberapa bangunan

mengambil elemen-elemen tradisional setempat untuk diterapkan pada bentuk

arsitekturnya.

Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya, berdasarkan gambar peta

perkembangan kota Bandung, maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan

perumahan di kawasan perumahan Tjitaroem Plein tidak sekaligus dibangun pada

satu periode, melainkan berangsur-angsur, sehingga bentuk dan fasade bangunan-

bangunannya tidak selalu sama. Meskipun demikian, karakter fasade bangunan

dapat diketahui dengan menggunakan metoda tipologi dan statistika (kuantitas),

lalu ditentukan karakter fasadenya berdasarkan kriteria tertentu.

II.6 Kajian Teori Karakter Kawasan dan Fasade Bangunan

Penelitian ini bertujuan untuk mengatur atau menata fasade bangunan-

bangunan rumah tinggal di kawasan Tjitaroem Plein Bandung. Oleh karena itu,

teori-teori yang digunakan untuk menyelesaikan penelitian ini adalah teori-teori

yang berkaitan dengan karakter kawasan dan fasade bangunan. Kedua teori ini

dipilih karena keterkaitannya satu sama lain.

II.6.1 Kajian Teori Karakter Kawasan

Menurut yang tertulis pada buku “Public Places-Urban Spaces : The

Dimensions of Urban Design” karya Matthew Carmona, Tim Heath, Taner Oc dan

Steven Tiesdell, karakter adalah identitas suatu tempat28. Selain itu, didalam buku

“Genius Loci” karya Christian Norberg-Schulz, dinyatakan bahwa karakter adalah

konsep umum yang bersama-sama dengan tempat menyusun konsep place atau 28 Carmona, Matthew, Heath, Tim, Oc., Taner, Tiesdell, Steven (2003), Public Places-Urban Spaces : The Dimensions of Urban Design, Architectural Press, Oxford, 11.

28

Page 17: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF fileBerdasarkan pernyataan yang tertulis dalam buku “Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia” karya Yulianto Sumalyo, ... penjajahan di Indonesia,

tempat29. Dengan demikian, penelitian ini dilakukan dengan mencari karakter atau

sesuatu yang menjadi identitas / ciri khas kawasan perumahan Tjitaroem Plein.

Salah satu unsur yang dijadikan elemen pembentuk karakter kawasan adalah

fasade bangunan-bangunannya.

Teori karakter kawasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori

Karakter Kawasan yang dikemukakan oleh Matthew Carmona dalam bukunya

“Housing Design Quality, Through Policy, Guidance and Review”. Didalam buku

tersebut dinyatakan bahwa karakter kawasan terbentuk oleh unsur-unsur : garis

sempadan bangunan, massa bangunan, besaran bangunan, skala, proporsi,

roofscape, corner-focalpoint, elemen vertikal dan horizontal30. Unsur-unsur

tersebut bersifat tangible / nyata, sehingga dapat dilihat secara langsung. Oleh

karena itu, teori ini serupa dengan Teori Pendekatan dalam Menelusuri Karakter

Kawasan melalui pengamatan bentuk fisik dan unsur-unsurnya yang bersifat

tangible / nyata (dapat dilihat secara langsung) yang dikemukakan oleh

Yoshinobu Ashihara dalam bukunya “The Aesthetic Townscape”31.

II.6.2 Kajian Teori Karakter Fasade Bangunan

Adapun teori karakter fasade bangunan yang digunakan dalam penelitian

ini adalah Teori Penataan Fasade Bangunan yang dikemukakan oleh Ian Bentley

dalam bukunya yang berjudul “Responsive Environments”. Dalam buku tersebut

dinyatakan bahwa dalam hubungan penataan fasade bangunan, langkah-langkah

yang dapat dilakukan untuk mencapai keserasian visual, yaitu32 :

1. Menggambarkan seluruh permukaan (fasade / tampak bangunan);

2. mencari petunjuk visual yang menyangkut makna tempat tertentu

(kontekstual) dan yang berkaitan dengan penggunaan, sehingga desain fasade

yang direkomendasikan dapat mengakomodasi kebutuhan penggunanya;

29 Norberg-Schulz, Christian (1984), Genius Loci, Rizzoli International Publication Inc., New York, 13. 30 Carmona, Matthew (2001), Housing Design Quality, Through Policy, Guidance and Review, Spon Press, London. 31 Ashihara, Yoshinobu (1983), The Aesthetic Townscape, The MIT Press, Cambridge. 32 Bentley, Ian (1985), Responsive Environments, The Architectural Press, London, 79-87.

29

Page 18: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF fileBerdasarkan pernyataan yang tertulis dalam buku “Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia” karya Yulianto Sumalyo, ... penjajahan di Indonesia,

3. menganalisis karakter visual konteks dalam hubungannya dengan lingkungan

sekitarnya, dalam hal ini perlu diperhatikan elemen (detail dinding, jendela

dan pintu) dan hubungan antar elemen (irama horizontal dan vertikal);

4. menganalisis desain baru yang terpadu dengan bangunan disebelahnya;

5. mensintesa petunjuk yang bersifat kontekstual dengan yang bersifat

penggunaan.

Teori ini dianggap sebagai teori yang pantas untuk dijadikan sebagai

metoda penelitian, dengan pertimbangan :

1. Dengan menggambarkan seluruh permukaan (fasade / tampak bangunan),

maka objek penelitian dapat dengan mudah dianalisa;

2. pencarian petunjuk visual yang menyangkut makna tempat tertentu

(kontekstual) tidak dilakukan karena penelitian ini lebih mengutamakan

petunjuk visual yang berkaitan dengan penggunaan;

3. analisa elemen-elemen fasade bangunan (detail dinding, jendela dan pintu) dan

hubungan antar elemen (irama horizontal dan vertikal) sangat dibutuhkan

untuk menganalisa bangunan lebih spesifik;

4. bangunan-bangunan disebelahnya berperan dalam membentuk karakter /

kekuatan tempat di kawasan perumahan;

5. proses sintesa petunjuk yang bersifat kontekstual dengan yang bersifat

penggunaan tidak dilakukan karena penelitian ini lebih mengutamakan

petunjuk visual yang berkaitan dengan penggunaan.

Salah satu elemen / bagian dari fasade bangunan yang berperan

menentukan karakter fasade bangunan adalah ornamen. Seperti telah dijelaskan

pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa tidak semua ornamen dirancang

untuk tujuan fungsional, tetapi semua ornamen pasti berfungsi sebagai elemen

estetis yang dapat memperindah bangunan. Dengan demikian, ornamen dapat

didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat memperindah (hiasan); dekorasi33.

Menurut Cliff Moughtin, Taner Oc. dan Steven Tiesdell dalam buku “Urban

Design : Ornament and Decoration”, nilai estetis ornamen ditentukan oleh empat 33 Brolin, Brent C., Richard, Jean (1982), Sourcebook of Architectural Ornament, Van Nostrand Reinhold Company, New York, 14.

30

Page 19: Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF fileBerdasarkan pernyataan yang tertulis dalam buku “Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia” karya Yulianto Sumalyo, ... penjajahan di Indonesia,

faktor. Pertama, kualitas ruang dimana ornamen tersebut ditempatkan. Kedua,

bentuk dan pola ornamen tersebut. Ketiga, lingkup area yang dapat menikmati

ornamen tersebut. Keempat, cara agar ornamen tersebut dapat dinikmati oleh

orang lain yang melihatnya”34.

Setelah pada bab ini dijelaskan tentang sejarah perkembangan kota

Bandung, perkembangan permukiman di Bandung, arsitektur kolonial Belanda,

upaya pemugaran bangunan-bangunan kolonial Belanda di Bandung, fasade

bangunan di kawasan perumahan Tjitaroem Plein, serta kajian teori karakter

kawasan dan fasade bangunan, bab selanjutnya menjelaskan tentang analisa

karakter fasade bangunan. Seluruh analisa karakter fasade bangunan dilakukan

berdasarkan kajian teori karakter kawasan dan fasade bangunan. Dengan

demikian, penelitian ini diharapkan dapat mencapai tujuan penelitian, yaitu

memahami karakter fasade bangunan-bangunan rumah tinggal kolonial di

kawasan perumahan Tjitaroem Plein Bandung.

34 Moughtin, Cliff, Oc., Taner, Tiesdell, Steven (1995), Urban Design : Ornament and Decoration, Butterworth-Heinemann Ltd., Oxford, 4.

31


Top Related