Transcript

Peningkatan Resiko Kelainan Kongenital, Neurologis, dan Endokrin serta Hubungannya dengan Autisme pada Anak Usia Pra-Sekolah: Perbedaan Kemampuan

Kognitif

Chu-Yu Chen et al.

Autisme adalah kategori diagnostik yang terdiri dari kelompok manifestasi diantaranya gangguan interaksi sosial, defisit komunikasi verbal atau non-verbal, dan pola kebiasaan atau minat yang sifatnya berulang-ulang. Kebanyakan gejala autisme muncul sebelum usia 3 tahun dengan disertai gangguan kebiasaan berat lainnya dan bersamaan dengan masalah yang ko-eksis (contoh: epilepsi), yang mana akan menjadi beban sepanjang hidup bagi penderita dan keluarganya. Banyak studi menunjukkan bahwa faktor resiko dari kelainan autisme dapat berasal dari berbagai macam kondisi klinis, salah satunya adalah gangguan kognitif.

Selain itu, pengamatan klinis lain menunjukkan bahwa meningkatnya prevalensi abnormalitas kongenital, neurologis, dan endokrin pada penderita autisme telah membawa kepada investigasi lebih lanjut mengenai kemungkinan dari peran sistem neurologis dan autoimunitas sebagai sebab ataupun patologis autisme. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan penjelasan tentang resiko gangguan kongenital, neurologis, dan endokrin diantara anak penderita autisme usia pra-sekolah. Studi ini menjadi penting karena dapat menjelaskan mengenai sebab dan proses patologis, dan yang lebih penting lagi memberikan gambaran indikasi terapi dan manajemen pada autisme.

Metode

Penelitian ini berbasis populasi, dengan studi case-control terhadap anak usia pra-sekolah dengan diagnosis autisme yang ada di Taiwan. Data didapatkan dari tahun 1997 hingga 2004 oleh National Health Insurance Research Database (NHIRD). Dengan berdasarkan kepada International Classification of Diseases, Ninth Revision, Clinical Modification (ICD-9-CM, ICD = 299.0X), didapatkan sebanyak 4330 anak dengan autisme hingga 31 Desember 2004. Subjek kontrol dari penelitian ini adalah anak dengan bebas autisme yang juga dikumpulkan hingga akhir 2004.

Penilaian Kelainan Kongenital dan Gangguan Klinis dalam Masa Kehidupan Awal

Penilaian subjek dilakukan dengan mendata rekam medis subjek penelitian sejak lahir hingga tahun 2004. Dengan berdasarkan kepada ICD-9-CM, didapatkan 3 kategori gangguan klinis yang muncul pada masa kanak-kanak: (1) kelainan kongenital: sistem saraf (740-742), sistem sensoris (743, 744), kelainan kromosom (758), Down’s Syndrome (758.0), gangguan klinis kongenital lain yang tak spesifik (759), dan tuberous sclerosis (759.5); (2) penyakit neurologis: peradangan susunan saraf pusat (320-326), penyakit susunan saraf pusat lain

(330, 331, 333-337), multiple sclerosis (340), penyakit demyelinasi lain (341-342), cerebral palsy infantil, sindrom paralitik (343, 344), epilepsy (345), gangguan sistem saraf perifer (350-357), dan gangguan myoneural dan myopati lain (358, 359); dan (3) penyakit endokrin: goiter (240-242), hypothyroidisme kongenital (243), gangguan kelenjar thyroid (244-246), diabetes mellitus (250), dan gangguan endokrin lain (251-259). Berdasarkan kepada diagnosis retardasi mental (317-319), sebanyak 31,9% dari kasusnya menderita autisme organik.

Penilaian Potensi Perancu

Karakteristik sosiodemografik yang dikumpulkan berisi data mengenai tanggal lahir, jenis kelamin, kategori sosial-ekonomi, daerah geografi, dan tingkat kesejahteraan. Karena kebiasaan dalam mencari pusat kesehatan beragam di Taiwan, maka faktor tersebut juga di masukkan kedalam penelitian ini. Kategori sosial-ekonomi dibagi menjadi 4 subgrup yaitu: I (pegawai negeri, pegawai lain yang bekerja pada pemerintahan, dan sekolah umum), II (pegawai swasta atau institusi lain), III (wirausaha, pegawai lain, dan anggota kelompok tani atau nelayan), dan IV (anggota tentara, keluarga dengan penghasilan rendah, dan pensiunan). Penelitian ini juga mengelompokkan subjek berdasarkan pluralitas kelahiran. Jumlah subjek dengan kelahiran multipel diperkirakan 2,5% dari seluruh subjek (2,37% bayi kembar, 0,12% bayi kembar tiga, dan 0,01% bayi kembar 4).

Hasil

Periode pemantauan berjarak antara 5 hingga 8 tahun sampai akhir 2004. Data perbandingan sosiodemografik subjek disajikan dalam Tabel I. Perbandingan laki-laki dengan wanita adalah 4:1 dalam kelompok kasus dan hampir 1:1 dalam kelompok kontrol. Secara kasar dapat diperhatikan bahwa 1 dari 7 kasus autisme berasal dari kalangan sosial-ekonomi tinggi (subgrup I = 16,1%). Tidak ada perbedaan dan hubungan antara kejadian kelahiran multipel dengan kasus autisme organik (autisme dengan diagnosa retardasi mental). Dengan membandingkan bagaimana pasien mendapatkan diagnosa, pada kelompok autisme tanpa retardasi mental, kebanyakan diagnosa didapatkan dari institusi kesehatan yang tingkatnya tinggi (rumah sakit besar) dan dokter dengan spesialisasi kejiwaan-psikiatri.

Tingkat kejadian kondisi klinis atau gangguan klinis di rangkum dalam Tabel III. Dapat dilihat bahwa kejadian kelainan kondisi medis lebih banyak terjadi pada autisme organik daripada autisme tanpa kelainan organik dimana paling terlihat perbedaannya pada kelainan kongenital dan kelainan neurologis. Contohnya, lebih dari 25% kasus dengan autisme organik menderita cerebral palsy, sedangkan hanya 7% pada kelompok autisme tanpa kelainan organik. Dalam kejadian kasus kelainan endokrin, subjek dengan autisme organik 1,8 kali lebih banyak daripada autisme tanpa kelainan organik dan 7 kali lebih besar daripada populasi umum.

Tabel III menyajikan hasil dari analisa statistik yang menampilkan adjusted Odds Ratio (aOR) yang menghubungkan kondisi medis dengan diagnosis autisme. Secara umum tingkat kejadian kelainan medis pada kelompok autisme organik lebih besar bila dibandingkan dengan autisme non-organik. Sebagai contoh kita ambil kasus epilepsy, aOR untuk autisme organik sebesar 13,4 sedangkan pada autisme non-organik hanya sebesar 4,6. Contoh lainnya dapat diambil dari kasus kelainan endocrine, yaitu genital hypothyroidisme (aOR = 4,9 untuk organik; aOR = 2,7 untuk non-organik). Akan tetapi untuk kasus goiter, aOR untuk autisme non-organik lebih besar yaitu sebesar 3,4 sedangkan pada autisme organik sebesar 1,1.

PEMBAHASAN

Peneletian ini merupakan penelitian berbasis populasi yang menggunakan sampel secara luas dalam sebuah negara. Jumlah sampel yang besar memungkinkan kami untuk mengevaluasi hubungan kondisi atau kelainan klinis pada kasus autisme dan membandingkan antara kasus autisme organik dan autisme non-organik. Periode pemantauan pada penelitian ini juga cukup lama, berkisar antara 5-8 tahun yang memungkinkan untuk melihat kelainan yang muncul yang mungkin terjadi karena faktor post-natal, lingkungan, kematangan fisik dan perkembangan fungsional.

Tingkat kejadian cerebral palsy dan epilepsy dalam kasus autisme lebih banyak ketimbang dengan populasi umum. Hal yang serupa juga ditemukan pada kasus hypothyroidisme, tuberous sclerosis dan diabetes.

Beberapa penjelasan yang dihubungkan dengan kejadian kelainan kongenital, neurologis, dan endokrin serta hubungannya dengan autisme diantaranta: (1) etiologi heterogenitas (lebih dari satu etiologi), (2) epiphenomena (kelainan yang terjadi bersamaan dengan kelainan utama), (3) faktor resiko lain dan (4) interdependency (hubungan dengan keluarga). Sebagai contoh, autisme yang dihubungkan dengan kelainan neurologis dapat terjadi akibat faktor resiko saat masa perkembangan intra uterine, kelainan genetik dalam keluarga, atau kelainan hormonal ibu. Penjelasan lain yang memungkinkan adalah karena munculnya kelainan klinis pada masa kehidupan awal dapat mengganggu perkembangan sistem saraf dan mengganggu fungsi otak. Tentu saja bukan tidak mungkin pula mekanisme lain yang lebih kompleks bisa terjadi dalam hubungan kelainan klinis dan autisme. Contohnya, epilepsy yang terjadi pada masa kanak-kanak dapat manambah gejala autisme yang sudah ada menjadi lebih buruk.

Analisa statistik yang didapatkan dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar kelainan neurologis dan endokrin pada autisme organik memiliki odds ratio yang lebih besar ketimbang autisme non-organik. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor tergantung kepada derajat keparahannya dan fenotip yang beragam. Beberapa penelitian telah meneliti mekanisme spesifik tentang kelainan struktural dan fungsional pada gejala autisme. Hasilnya, meningkatnya resiko kelainan medis yang terjadi mungkin disebabkan oleh beragam disfungsi otak pada anak dengan autisme.

Dalam penelitian ini masih memungkinkan terjadinya bias karena beberapa faktor. Peneliti tidak dapat mendapatkan informasi lengkap mengenai data klinis sampel yang lengkap. Meskipun begitu, diagnosa autisme pada sampel dalam penelitian ini didapatkan langsung dari pusat kesehatan, seperti rumah sakit, psikiater, dokter pediatri, ataupun dokter dengan spesialisasi psikiatri-kejiwaan sehingga data yang didapatkan valid. Selain itu peneliti juga tidak mendapatkan informasi pelayanan kesehatan apa saja yang pernah didapatkan oleh sampel saat masa prenatal ataupun perinatal sehingga tidak mampu melihat paparan apa saja yang terjadi yang memungkinkan memiliki peran dalam timbulnya kelainan kongenital, neurologis atau endokrin yang terjadi (contoh: usia ibu saat hamil, komplikasi saat kelahiran).

Penelitian ini meneliti tentang gangguan kognitif yang berhubungan dengan resiko kelainan kongenital, neurologis, dan endokrin yang berhubungan dengan autisme pada masa awal kehidupan. Beberapa penemuan dari hasil penelitian ini memiliki beberapa implikasi. Pertama, psikiatri dan pediatri harus waspada terhadap tanda-tanda yang berhubungan dengan kelainan neurologis dan endokrin pada anak dengan autisme, sehingga deteksi dini tersebut akan membantu mereka dan kelurganya mendapatkan pelayanan kesehatan yang sesuai dan terhindar dari masalah kesehatan dan perkembangannya. Selain itu, pelayanan kesehatan untuk untuk anak dengan autisme harus difokuskan kepada anak dan disesuaikan dengan kemampuan kognitif dan masalah fisiknya masing-masing. Begitu pula untuk keluarganya, pelayanan medis harus di fokuskan juga kepada keluarganya sehingga keluarga tidak akan sulit ketika ingin menghubungi pelayanan kesehatan atau pelayanan profesional (pediatri atau psikiatri). Pada akhirnya, diharapkan adanya penelitian yang selanjutnya mengenai evaluasi penggunaan terapi obat pada kelainan-kelainan yang terjadi pada anak dengan autisme (contohnya epilepsy, kelainan autoimmunitas).


Top Related