Transcript

49

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN CEDERA KEPALA DAN MEDULA SPINALISUntuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah KMB III

Disusun Oleh:TINGKAT II B

Amalia Dwi MargiyatiP17320312004Retno Novaliana MartonoP17320312059Sherly MelindaP17320312066Tusni SyarifatiP17320312075

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNGPROGRAM STUDI KEPERAWATAN BOGOR4

ii

2014

4

1

Kata Pengantar

BismillahirohmanirohimAssalamualaikum Wr. WbPuji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul Asuhan keperawatan pada klien dengan cedera kepala dan medula spinalis. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah KMB III.Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan tugas makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Maka dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Bu Camelia selaku dosen dan pembimbing Mata kuliah KMB III. Penulis berharap semoga amal baik yang diberikan mendapat balasan yang berlipat. AminPenulis menyadari tugas makalah ini masih jauh dari sempurna dan terdapat kekurangan atau kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran, masukan, dan kritikan yang sifatnya membangun demi kesempurnaan tugas makalah ini untuk perbaikan dimasa yang akan datang.Semoga tugas Makalah ini bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.Wassalamualaikum Wr. Wb

Bogor, Maret 2014

Penulis

DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTARiDAFTAR PUSTAKAiiBAB I1PENDAHULUAN1A.Latar Belakang1B.Rumusan Masalah1C.Tujuan1BAB II3PEMBAHASAN3A.Pengertian Cedera Kepala3B.Jenis Trauma Kepala3C.Tipe Cedera Kepala11D.Gejala Klinis11E.Penatalaksanaan Medis11F.Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Cedera Kepala121.Pengkajian132.Diagnosa keperawatan183.Rencanan Keperawatan184.Implementasi225.Evaluasi23G.Pengertian cedera medula spinalis23H.Etiologi23I.Patofisiologi23J.Klasifikasi Cedera Medula Spinalis24K.Gejala Klinis25L.Penatalaksanaan Medis25M.Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Cedera Medula Spinalis291.Pengkajian292.Diagnosa Keperawatan313.Rencana Keperawatan34BAB III46PENUTUP46A.Kesimpulan46LAMPIRAN47DAFTAR PUSTAKA48

BAB IPENDAHULUANA. Latar BelakangBanyak istilah yang dipakai dalam menyatakan suatu trauma atau cedera pada kepala di Indonesia. Beberapa rumah sakit ada yang memakai istilah cedera kepala dan cedera otak sebagai suatu diagnosis medis untuk suatu trauma pada kepala, walaupun secara harfiah kedua istilah tersebut sama karena memakai gradasi respons Glasgow Coma Scale (GCS) sebagai tingkat gangguan yang terjadi akibat suatu cedera di kepala.Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan akibat trauma yang mencederai kepala, maka perawat perlu mengenal neuroanatomi,neurofisiologi, serta neuropatofisiologi dengan baik agar kelainan dari masalah yang dikeluhkan atau kelainan dari pengkajian fisik yang didapat bisa sekomprehensif mungkin ditanggapi perawat yang melakukan asuhan pada klien dengan cedera kepala.

B. Rumusan Masalah1. Jelaskan pengertian cedera kepala?2. Sebutkan jenis-jenis cedera kepala?3. Sebutkan tipe dari cedera kepala?4. Bagaimanakah penatalaksanaan medis pada cedera kepala?5. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala?6. Jelaskan pengertian dari cedera medula spinalis?7. Jelaskan etiologi cedera medula spinalis?8. Bagaimanakan Patofisiologi cedera medula spinalis?9. Sebutkan klasifikasi dari cedera medula spinalis?10. Sebutkan gejala-gejala klinis dari cedera medula spinalis?11. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien cedera medula spinalis?

C. Tujuan1. Dapat mengetahui pengertian dari cedera kepala.2. Dapat menyebutkan jenis-jenis cedera kepala.3. Dapat menyebutkan tipe dari cedera kepla.4. Dapat menjelaskan penatalaksanaan medis pada cedera kepala.5. Dapat mengerti asuhan keperawtan pada klien dengan cedera kepala.6. Dapat mengetahui pengertian dari cedera medula spinalis.7. Dapat menjelaskan etiologi dari cedera medula spinalis.8. Dapat menjelaskan patofisiologi dari cedera medula spinalis.9. Dapat menyebutkan klasifikasi dari cedera medula spinalis.10. Dapat menyebutkan gejala klinis dari cedera medula spinalis.2

11.Dapat memahmi asuhan keperawatan pada klien cedera medula spinalis.1

BAB IIPEMBAHASAN

A. Pengertian Cedera KepalaTrauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi normalotak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit nrurologis terjadi karena robeknya substansi alba, iskemia, dan pengaruh massa karena hemoragik, srta edema serebral disekitar jaringan otak. Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak. Secara anatomis otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala serta tulang dan tentorium (helm) yang membungkusnya.Tanpa perlindungan ini otak akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapaetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan akibat langsung dari cedera dan banyak lainnya timbul sekunder dari cedera.Pada beberapa literatur terakhir dapat disimpulkan bahwa cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan intrestiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontuinitas otak. Berdasarkan GCS, cedera kepala atau cedera otak dapat dibagi menjadi tiga gradasi, yaitu: 1. Cedera kepala ringan/cedera otak ringan, bila GCS: 13-152. Cedera kepala sedang/cedera otak sedang, bila GCS: 9-123. Cedera kepala berat/cedera otak berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8.Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi trauma oleh benda/serpihan tulang yang menembus jaringan ke otak dan efek percepatan dan perlambatan perlambatan (akselerasi-deselarasi) pada otak.

B. Jenis Trauma Kepala1. Cedera kulit kepalaLuka pada kulit kepala merupakan tempat masuknya kuman yang dapat menyebabkan infeksi intrakranial. Trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi, atau avulasi.2. Fraktur tengkorakFraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorang yag disebabkan oleh trauma. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Adanya fraktur tengkorak dapat menimbulkan dampak yang kuat. Fraktur tengkorak dapat terbuka atau tertutup. Pada fraktur tengkorak terbuka terjadi kerusakna pada dura mater sedangkan pada fraktur terttutup keadaan dura mater tidak rusak.a. Gejala klinisGejala-gejala yang timbul bergantung pada jumlah dan distribusi cedera otak. Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya menunjukkan adanya fraktur. Fraktur kubah kranial menyebabkan bengakak sekitar fraktur, sehingga penegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan foto tengkorak. Fraktur dasar tengkorak cenderung melintas sinus paranasal pada tulang frontal atau lokasi tengah telinga di tulang temporal, perdarahan sering terjadi dari hidung, faring, atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva. Suatu area ekimosis mungkiin terlihat di atas mastoid.Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika cairan serebrospinal (CSS) keluar dari teinga (otore serebrospinal). Keluarnya CSS merupakan masalah serius karena dapat menyebabkan infeksi seperti mningitis. Jika organisme masuk ke dalam basis krani melalui hidung, telinga, atau sinus melalui robekan pada dura mater. Laserasi atau kontusio otak ditunjukan oleh CSS yang mengandung darah. Evaluasi diagnostik dapat dilakukan melalui pengkajian fisik, pengkajian fungsi neurologis, pemeriksaan CT-scan kepala, MRI, dan angiografi serebral.b. Penatalaksanaan medisFraktur tulang impresi pada umumnya tidak memerlukan tindakan pembedahan, tetapi memerlukan observasi yang ketat. Fraktur tulang tanpa impresi memerlukan pembedahan. Fraktur dasar tengkorak merupakan keadaan serius karena biasanya terbuka (dan mengenai sinus paranasal atau telinga bagian tengah) dan dapat menyebabkan bocornya CSS. Tanda halo adalah kombinasi darah yang dikelilingi noda berwarna kekuning-kuningan dan terlihat pada linen tempat tidur dan balutan kepala. Tanda ini merupakan kesan pasti adanya kebocoran CSS. Kebersihan nasofaring dan telinga tengah dapat dipertahankan dengan menempelkan kapas steril pada telinga atau lubang telinga untuk menampung cairan yang keluar. Klien yang sadar harus dianjurkan untuk menahan bersin dan menekan hidung. Tinggikan kepala klien 30 derajat untuk mengurangi tekanan intrakanial dan menahan keluarnya cairan yang bocor secara spontan.3. Cedera otakPertimbangan paling penting pada cedera kepala manapun adalah apakah otak telah atau tidak mengalami cedera. Cedera minor dapat menyebabkan kerusakan otak bermakna. Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat tertentu yang bermakna. Sel-sel otak membutuhkan suplai darah terus-menerus untuk memperoleh nutrisi. Kerusakan otak bersifat irreversible (permanen dan tidak dapat pulih). Sel-sel otak yang mati diakibatkan karena aliran darah berhenti mengalir hanya beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami regenerasi. Cedera otak serius dapat terjadi, dengan/tanpa fraktur tengkorak, setelah pukkulan atau cedera pada kepala yang menimbulkan kontusio, laserasi, dan perdarahan (hemoragik) otak.4. Komosio serebri (cedera kepala ringan)Setelah cedera kepala ringan akan terjadi kehilangan fungsi neurologis sementara dan tanpa kerusakan struktur. Komosio (commotio) umumnya meliputi suatu periode tidak sadar yang berakhir selama beberapa detik sampai beberapa menit. Keadaan komosio ditunjukkan dengan gejala pusing atau berkunang-kunang dan terjadi kehilangan kesadaran penuh sesaat. Jika jaringan otak di lobus frontal terkena maka akan menimbulkan amnesia atau disorientasi.Penatalaksaan meliputi kegiatan mengobservasi terhadap adanya sakit kepala, pusing, peningkatan terhadapa rangsangan, dan cemas, memberikan informasi dan penjelasan, dan dukungan terhadap klien tenang dampak pascakomosio, melakukan perawatan 24 jam sebelum klien dipulangkan, memberitahukan klien/keluarga untuk segera membawa kembali klien ke rumah sakit apabila ditemukan tanda-tanda sukar bangun, sukar bicara, konvulsi (kejang), sakit kepala berat, muntah, dan kelemahan pada salah satu sisi tubuh, menganjurkan klien untuk melakukan kegiatan normal secara perlahan dan bertahap.5. Kontusio serebri (cedera kepala berat)Kontusio serebri (cerebri contusion) merupakan cedera kepala berat, dimana otak mengalami memar dengan memungkinkan adanya daerah yang mengalami perdarahan (hemoragik-hemorrhage). Klien berada pada periode tidak sadarkan diri. Gejala akan timbul dan lebih khas. Klien terbaring kehilangan gerakan, denyut nadi lemah, pernapasan dangkal, kulit dingin dan pucat. Sring terjadi defekasi dan berkemih tanpa disadari. Klien dapat diusahakan bangun tetapi segera masuk kembali ke dalam keaadaan tidak sadar. Tekanan darah dan suhu subnormal dan gambaran sama dengan syok.Umumnya individu yang mengalami cedera luas mengalami fungsi motorik abnormal, gerakan mata abnormal, dan peningkatan TIK yang merypakan prognosis buruk. Sebaliknya klien dapat mengalami pemuliha kesadaran penuh dan mungkin melewati tahap peka rangsangan serebral. Dalam tahap peka rangsangan serebral, klien sadar tetapi sebaliknya mudah terganggu oleh suatu bentuk simulasi suara, cahaya, bunyi-bunyian, dan kadang-kadang menjadi hiperaktif. Denyut nadi, pernapasan, suhu, dan fungsi lainnyaberangsur-angsur kembali normal walaupun pemulihan sering terjadi dan sering terlihat lambat. Sisa sakit kepala dan vertigo biasanya terjadi. Gangguan fungsi mental dan kejang sering terjadi akibat kerusakan serebral yang tidak dapat diperbaiki.6. Hemoragik intrakranialPenggumpalan darah (hematoma) yang terjadi di dalam kubah kranial adalah akibat ang paling serius dari hemoragik cedera kepala. Penimbunan darah pada rongga epidural (epidural hematoma), subdural, atau intraserebral, tergantung pada lokasinya. Deteksi dan penangan hematoma sering kali lambat dilakukan sehingga akhirnya hematoma tersebut cukup besar untuk menyebabkan distorsi dan herniasi otak serta peningkatan TIK.Tanda dan gejala dari iskemia srebral yang diakibatkan oleh kompresi karena hematoma bervariasi dan bergantung pada kecepatan dimana daerah vital pada otak terganggu. Umumnya hematoma kecil yang terbentuk dengan cepat akan menjadi fatal sedangkan hematoma yang terbentuk secara lambat akan memungkin klien untuk beradaptasi.7. Hematoma epidural (hematoma ekstradural atau hemoragik)Setelah cedera kepala, darah berkumpul di ruang epidural (ekstradural) diantara tengkorak dan dura mater. Keadaan ini sring diakibatkan karena terjadi fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningeal tengah putus atau rusak (laserasi) dimana arteri ini berada diantara dura mater dan tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis tulang temporal dan terjadi hemoragik sehingga menyebabkan penekanan pada otak. Epidural hematoma adalah hematoma yang terletak antara dura mater dan tulang, biasanya sumber perdarahannya adalah sobeknya arteri meningica media (paling sering), vena diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria), vena emmisaria, sinus venosus duralis.Secara klinis ditandai dengan penurunan kesadaran yang disertai lateralisasi (ada ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) yang dapat berupa hemiparese/hemiplegia, pupil anisokor, adanya refleks patologis satu sisi, adanya lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukkan lokasi dari EDH. Pupil anisokor/dilatasi jejas pada kepala letaknya satu sisi dengan lokasi EDH sedangkan hemiparese/hemiplegia letaknya kontralateral dengan lokasi EDH. Lucid interval bukan merupakan tanda pasti adanya EDH karena dapat terjadi pada perdarahan intracranial yang lain, tetapi lucid interval dapat dipakai sebagai patokan dari prognosisnya. Semakin panjang lucid interval maka semakin baik prognosis klien EDH (karena otak mempunyai kesempatan untuk melakukan kompensasi). Nyeri kepala yang hebat dan menetap tidak hilang dengan pemberian analgetik.Pada pemeriksaan CT scan didapatkan gambaran area hiperdens dengan bentuk bikonveks di antara 2 sutura, gambaran adanya perdarahan volumenya lebih dari 20 cc atau tebal lebih dari 1 cm atau dengan pergeseran garis tengah (midline shift) lebih dari 5 mm.Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematoma, menghentikan sumber perdarahan sedangkan tulang kepala dapat dikembalikan. Jika saat operasi tidak didapatkan adanya edema serebri sebaliknya tulang tidak dapat dikembalikan jika saat operasi didapatkan dura mater yang tegang dan dapat disimpan subgalea.Pada klien yang dicurigai adanya EDH yang tidak memungkinkan dilakukan diagnosis radiologis CT scan maka dapat dilakukan diagnostik eksplorasi, yaitu Burr Hole Explorations. Burr hole explorations adalah membuat lubang burr untuk mencari EDH biasanya dilakukan pada titik tertentu, yaitu pada tempat jejas/hematoma, garis fraktur, daerah temporal, daerah frontal ( 2 cm di depan sutura coronaria), daerah parietal, dan daerah occipital.Prognosis dari EDH biasanya baik, kecuali dengan GCS pada saat klien datang kurang 8 dan datang lebih dari 6 jam serta umur lebih dari 60 tahun.Gejala klinis yang timbul akibat perluasan hematoma cukup luas. Biasayanya terlihat adanya kehilangan kesadaran sebentar pada saat cedera, diikuti dengan pemulihan yang nyata secara perlahan-lahan (interval yang jelas). Hal ini penting untuk diperhatikan, walaupun interval nyata merupakan karateristik dari hematoma epidural, hal ini tidak terjadi pada kira-kira 5 % dari klien yang mengalami lesi tersebut. Selama interval tertentu, kompensasi terhadap hematoma luas terjadi melalui absorpsi cepat CSS dan penurunan volume intravaskular, yang mempertahankan TIK normal. Ketika mekanisme ini tidak dapat mengompensasi lagi, bahkan peningkatan kecil sekali pun dalam volume bekuan darah menimbulkan peninkatan TIK yang nyata. Kemudian secara tiba-tiba, tanda kompensasi timbul (biasanya penyimpangan kesadaran dan tanda defisit neurologis fokal seperti dilatasi dan fiksasi pupil atau paralisis ekstermitas), dan klien menunjukan penurunan status kesahatan dengan cepat.Penatalaksanaan untuk hematoma epidural dipertimbangkan sebagai keadaan darurat yang ekstresm, dimana defisit neurologis atau berhentinya pernapasan dapat terjadi dalam beberapa menit. Tindakan yang dilakukan terdiri atas membuat lubang pada tengkorak (burr), mengangkat bekuan, dan mengontrol titik perdarahan.8. Hematoma subduralHematoma subdural adalah penggumpalan darah pada ruang diantara dura mater dan dasar otak, yang dalam keadaan normal diisi oleh cairan. Hematoma subdural paling sering disebabkan karena trauma, tetapi dapat jga terjadi karena kencenderungan perdarahan an serius dan aneurisma. Hematoma subdural lebih sering teradi pada vena dan merupakan akibat dari putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural. Subdural hematoma adalah terkumpulnya daerah antara dura mater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronis. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat di antara dura mater, perdarahan lambat dan sedikit. Pengertian lain dari subdural hematoma adalah hematoma yang terletak di bawah lapisan dura mater dengan sumber perdarahan dapat berasal dari Bridging vein (paling sering), A/V cortical, sinus venosus duralis. Berdasarkan waktu terjadinya perdarahan maka subdural hematoma dibagi menjadi tiga meliputi subdural hematoma akut terjadi kurang dari 3 hari dari kejadian, subdural hematoma subakut terjadi antara 3 hari-3 minggu, dan subdural hematoma kronis jika perdarahan terjadi lebih dari 3 minggu.Secara klinis subdural hematoma akut ditandai dengan adanya penurunan kesadaran, disertai adanya lateralisasi yang paling sering berupa hemiparese/hemiplegia dan pemeriksaan CT scan didapatkan gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit (cresent).Gejala dari subdural hematoma meliputi keluhan nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, perubahan proses piker (berpikir lambat), kejang dan adema pupil.Hematoma subdural dapat terjadi akut, subakut, atau kronis, bergantung pada ukuran pembuluh darah yang terkena dan jmlah perdarahan yang terjadi. Hematoma subdural akut yang dihubungkan denan cedera kepala mayor yang meliputi kontusio atau laserasi. Biasanya klien dalam keadaan koma atau mempuntai tanda klins yang sama dengan hematoma epidural, tekanan darah menigkat dengan frekuensi nadi lambat dan pernapasan cepat sesuai dengan peningkatan hematoma yang cepat.Hematoma subdural suakut adalah sekuel dari kontusio sedikit berat dan dicurigai pada klien dengan kegagalan untuk meningkatkan kesadaran setelah trauma kepala. Tanda dan gejala yang timbul sama seperti pada hematoma subdural akut. Angka kematian untuk klien hematoma subdural akut dan subakuut cukup tinggi karena sering dihubungkan dengan kerusakan otak. Juka klien dapat dipindahkan dengan cepat ke rumah sakit, kraniotomi (craniotomy) segera dilakukan untuk membuka dura mater, yang memungkinkan pengangkatan bekuan padat pada subdural. Hasil yang baik bergantung pada kontrol TIK dan pemantauan cepat terhadap fungsi pernapasan. Hematoma subdural kronik tampaknya dapat terjadi karena cedera kepala minor dan terlihat paling sering pada lansia. Lansia cenderung mengalami cedera kepala tipe ini akibat atrofi otak, yang diperkirakan akibat penuaan. Tampaknya cedera minor dapat mengakibatkan dampak yang cukup untuk menggeser isi otak secara abnormal secara sekuela (sequela) negatif. Waktu diantara cedera dan serangan (onset) gejala mungkin lama misalnya dalam beberapa bulan. Sehingga akibat aktual mungkin terlupakan. Gejala dapat tampak beberapa minggu setelah cedera monir.Hematoma subdural kronis menyerupai kondisi lain dan mungkin dianggap sebagai stroke. Perdarahan sedikit menyebar dan menyebabkan kompresi pada isi intrakranial. Darah di dalam otak mengalami perubahan karakter dalam 2-4 hari, menjadi lebih kental dan lebih gelap. Dalam bebrapa minggu bekuan mengalami pemecahan dan memiliki warna serta konsistensi seperti minyak mobil. Akhirnya terjadi klasifikasi atau osifikasi bekuan. Otak beradaptasi pada invasi benda asing ini, tanda dan gejala klinik klien berfluktuasi seperti mungkin terdapat sakit kepala hebat yang cenderung timbul dan hilang, tanda neurologis vokal yang bergantian, perubahan kepribadian, penyimpangan mental, dan kejang fokal. Srng kali klien mungkin dianggap neurosis atau psikosis bila penyebab gejala tidak ditemukan.Tindakan terhadap hematoma subdural kroni terdiri atas bedah pengangkatan bekuan dengan menggunakan penghisap dan pengirigasian area tersebut. proses ini dapat dilakukan melalui lubang (burr) ganda atau kraniotomi yaang dilakukan untuk lesi subdural yang cukup besar yang tidak dapat dilakukan melalui pembuatan lubang (burr).9. Hemoragik intraserebral dan hematomaHemoragi intraserebral adalah perdarahan kedalam substansi otak. Hemoragik ini biasanya terjadi pada cedera kepala dimana tekanan mendesak ke kepla sampai darah kecil (cedera peluru atau luka tembak, cedera tumpul). Hemoragik ini didalam otak mungkin juga diakibatkan oleh hipertensi sistemik yang menyebabkan degenerasi dan ruptur pembuluh darah, ruptur kantong aneurisma, anomali vakuler, tumor intrakanial, penyebab sistemik termasuk gangguan perdarahan seperti leukimia, hemofiia, anemia aplastik, dan trombositopenia, dan komplikasi terapi antikoagulan.Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak biasanya akibat sobekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak.Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai lateralisasi, pemeriksaan CT scan didapatkan adanya daerah hiperdens yang indikasi dilakukan operasi jika single, diameter lebih dari 3 cm, perifer, adanya pergeseran garis tengah, dan secara klinis hematoma tersebut dapat menyebabkan gangguan neurologis/lateralisasi. Operasi yang dilakukan biasanya adalah evakuasi hematoma disertai dekompresi dari tulang kepala.Mungkin ada serangan (onset) defisit neurologis yang diikuti sakit kepala. Terapi medis melalui pemberian cairan dan elektrolit yang cermat, medikasi antihipertensi, kontrol TIK, dan perawtan pendukung. Intervensi pembedahan dengan kraniotomi atau kraniektomi memungkinkan pengangankatan bekuan darah dan kontrol hemoragik tetapi tidak mungkin baik karena lokasi perdarahan yang tidak di akses atau kurang jelasnya batas sel darah yang dapat diangkat. Tetapi fisik biasanya diperlukan untuk rehabilitasi optimal pada klien dengan hemoragik intraserebral dan semua klien cedera kepala.C. Tipe Cedera Kepala1. Trauma Kepala TerbukaKerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk ke dalam jaringan otak dan melukai atau menyobek dura mater menyebabkan CSS merembes, kerusakan saraf otak dan jaringan otak.2. Trauma Kepala TertutupKeadaan trauma kepala tertutup dapat mengakibatkan kondisi komosio, kontusio, epidural hematoma, subdural hematoma, intrakranial hematoma. Komosio/gegar otak, dengan tanda-tanda:a. Cedera kepala ringan.b. Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali.c. Hilang kesadaran sementara, kurang dari 10-20 menit.d. Tanpa kerusakan otak permanen. e. Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah.f. Disorientasi sementara.g. Tidak ada gejala sisa.h. Tidak ada terapi khusus.Kontusio serebri/memar otak, dengan tanda-tanda:1. Ada memar otak.2. Perdarahan kecil lokal/difus dengan gejala adanya gangguan lokal dan adanya perdarahan.3. Gejala: a) gangguan kesadaran lebih lama;b) kelainan neurologis positif;c) refleks patologis positif, lumpuh, konvulsi;d) gejala TIK meningkat;e) amnesia retrograde lebih nyata.

D. Gejala KlinisGejala yang timbul dapat berupa gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, serangan (onset) iba-tiba berupa defisit neurologis, perubahan tanda-tanda vital, gangguan penglihatan, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan, kejang, dan syok akibat cedera multtisistem.

E. Penatalaksanaan MedisPenatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari faktor mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status neurologis (disability, exposure), maka faktor yang harus diperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah.Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intrakranial yang meninggi disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intrakranial ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan PaCO dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan menambah metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO ini yakni dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Tin membuat intermittent iatrogenic paralisis. Intubasi dilakukan sedini mungkin kepada klien-klien yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan intrakranial.Penatalaksanaan konservatif meliputi:1. Bedrest total.2. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).3. Pemberian obat-obatana. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti-edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.c. Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%, atau glukosa 40%, atau gliserol 10%.d. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penicillin) atau infeksi anaerob diberikan metronidasol.4. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat dierikan apa-apa, hanya cairan infuse dextrose 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.5. Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat klien mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5% 8 jam pertama, ringer dextosa 8 jam kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah maka makanan diberikan melalui nasogatric tube (2500-3000 TKTP). Pemberian protein tergantung dari nilai urenitrogennya.

F. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Cedera Kepala1. PengkajianPengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada gangguan sistem persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Pengkajian keperawatan cedera kepala meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostic, dan pengkajian psikososial.a. AnamnesisIdentitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia muda), jenis kelamin (banyak laki-laki, karena sering ngebut-ngebutan dengan motor tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, ras, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register, diagnosis medis.b. Riwayat penyakit sekarangAdanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan trauma langsung ke kepala. Pengkajian yang didapat meliputi tingkat kesadaran menurun (GCS 65th : 160/95 mmHg (Campbell, 1978)Nadi dalam batas normal :Janin : 120-160 x/mntBayi : 80-180 x/mntAnak : 70-140 x/mntRemaja : 50-110 x/mntDewasa : 70-82 x/mnt (Campbell, 1978)

4. AGD dalam batas normal :pH : 7,35-7,45CO2 : 20-26 mEq (bayi)26-28 mEq (dewasa)PO2 (PaO2) : 80-110 mmHgPCO2 (PaCO2) : 35-44 mmHgSaO2 : 95-97%

Istirahatkan klien dalam posisi semifowler

Pertahankan oksigen NRM 8-10/mnt

Observasi tanda vital tiap jam atau sesuai respons klien

Kolaborasi pemeriksaan AGD

Posisi semifowler membantu dalam ekspansi otot otot pernapasan dengan pengaruh gravitasi

Oksigen yang sangat penting untuk reaksi yang memelihara suplai ATP, kekurangan oksigen pada jaringan akan mebentuk asam laktat (asidosis metabolic serta asidosis respiratorik) yang dapat akan mengentikan metabolisme. Regenerasi ATP akan berhenti sehingga tidak ada lagi sumber energy yang terisi dan terjadi kematian. (Roper N, 1996)

Normalnya TD akan sama pada berbagai posisi.

Nadi menandakan tekanan dinding arteri. Denyut nadi > 50 x/mnt menunjukkan penurunan elastiisitis arteri yang akan aliran darah arteri dan kekurangan transport oksigen. Tekanan nadi < 30 x/mnt menandakan insufisiens sirkulasi volume darah, yang mengakibatkan kekurangan oksigen pada ringan.

Suhu aksila normalnya 36,7CSuhu tubuh abnormalnya disebabkan oleh merkanisme pertahanan tubuh yang mendakan tubuh kehilangan daya tahan atau mekanisme pengaturan suhu tubuh yang buruk. (Campbell, 1978)

Sesak napas merupakan suatu bukti bahwa tubuh suatu mekanisme kompensasi sedang bekerja guna mencoba membawa O2 lebih banyak ke jaringan. Sesak napas pada penyakit paru dan jantung mengkhawatirkn karena dapat timbul hipoksia ( Roper N, 1996)

2.Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral yang berhubungan dengan peningkatan intracranial, ditandai dengan :1. Perubahan kesadaran2. Gangguan atau kehilangan memori3. Defisit sensorik4. Perubahan tanda vital5. Perubahan pola istirahat6. Kandung kemih penuh7. Gangguan perkemih8. Nyeri akut atau kronis9. Demam10. Mual11. batukSetelah dilakukan intervensi keperawatan, klien tidak menunjukkan adanya peningkatan TIK, dengan kriteria :1. klien akan mengatakan tidak sakit kepala dan merasa nyaman.

2. mencegah cedera

Ubah posisi klien secara berangsur

Atur posisi klie bedrest

Jaga suasana tenang

Kurangi cahaya yang masuk ruangan

Tinggikan kepala

Hindari rangsangan oral

Angkat kepala dengan hati hati

Awasi kecepatan tetesan cairan infuse

Berikan makanan menggunakan sonde sesuai jadwal

Pasang pagar tempat tidur

Hindari prosedur non-esinsial yang berulang

Klien yang paraplegia risiko terjadi luka tekan (dekubitus). Perubahan posisi setiap 2 jam sesuai respon klien mencegah terjadinya luka tekan akibat tekanan yang lama karena jaringan tersebut akan kekurangan nutrisi dan oksigen yang dibawa oleh darah.

Bedrest bertujuan mengurangi kerja fisik, beban kerja jantung, mengatasi keadaan hing output yang disebakan oleh tiroksin, anemia, beri beri dll. mengatasi keadaan yang menyebabkan demam, takikardia, memperbaiki shunt arterioventrikuler, fistula AV, paten duktus arterioles, dan yang merupakan beban kerja jantung (Soeparman, 1987)

Suasana tenang akan meberikan rasa nyaman pada klien dan mencegah ketegangan.

Cahaya merupakan salah satu rangsangan yang berisiko terhadap penigkatan TIK

Membantu drainase vena untuk mengurangi kongesti serebrovaskular (Carpenito, 1995)

Rangsangan oral beresiko terjadi peningkatan TIK

Tindakan yang kasar beresiko peningkatan TIK

Mencegah resiko ketidakseimbangan volume cairan

Mencegah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dan mempercepat proses penyembuhan

Mencegah risiko cedera jatuh dari tempat tidur akibat tidak sadarMeminimalkan peningkatan TIK

3. GCS dalam batas normal ( E4, V5, M6)

4. Peningkatan pengetahuan pupil membaik

5. Tanda vital dalam batas normal

Pantau tanda dan gejala peningkatan TIK dengan cara : Kaji respon membuka mata4 = spontan3 = dengan perintah2 = dengan yeri1 = tidak berespon Kaji respon verbal5 = bicara normal (orientasi orang, tempat, waktu)4 = kalimat tidak mengandung arti3 = hanya kata kata saja2 = hanya bersuara saja1 = tidak ada suara Kaji respon motorik6 = dapat melakukan semua perintah rangsang nyeri5 = melokalisasi nyeri4 = menhindari nyeri3 = fleksi2 = ekstensi1 = tidak berespon

Kaji respon pupil :Pergerakan mata konjugasi diatur oleh saraf bagian korteks dan batang otak

Periksa pupil dengan senter

Kaji perubahan tanda vital

Catat munta, sakit kepala ( kosntan, letargi ) gelisah, pernapasan yang kuat, gerakan yang tidak bertujuan, dang perubahan fungsi

Kosul dengan dokter untuk pemberian pelunak feses bila diperlukanFungsi kotikal dapat dikaji dengan mengevaluasi pembukaan mata dan respon motorik. Tidak ada respons menunjukkan kerusakan mesenfalon ( Hickey, 1992 cit Carpenito 1996)

Perubahan pupil menunjukkan tekanan pada saraf okulomotorius atau optikus

Saraf cranial VI saraf berhubungan dengan abdusen, mengatur dan berhubungan dengan abduksi mata. Saraf cranial V atau sarf fasialis, juga mengatur pergerakan mataPerubahan tanda vital menandakan peningkata TIK. ( Hickey, 1992 cit Carpenito, 1996)

Perubahan nadi menunjukan tekanan batang otak, pada awalnya melambat kemudian meningkat untuk menopensasi hipoksia.Pola napas beragam sesuai gangguan pada berbagai lokasiPernapasan Cheyne-Stokes ( peningkatan bertahap diikuti penurunan bertahap lalu periode apnea) menunjukkan kerusakan hemisfer serebri, mesenfalon dan pons atas.Pernapasan ataksia ( tidak teratur dengan pernapasan dalam dan dangkal ) menandakan disfungsi medular.Ketidakteraturan pernapasan :Frekuensi (f) dengan pemanjangan periode tekanan darah dan pelebaran tekanan nadi merupakan tanda awal yang menunjukkan hipoksia.

Muntak akibat dari tekanan medulla. Perubahan yang jelas (letargi gelisah, pernapasan yang kuat, gerakan yang tidak bertujuan, dang perubahan fungsi mental)Kompresi pergerakan saraf, peningkatan TIK, peningkatan nyeriPerubahan ini merupakan indikasi awal perubahan TIK merangsang pusat muntah otak dan mengejan, yang mengakibatkan maneuver valsava.

Pelunak feses mencegah konstipasi

3.Gangguan atau kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan gangguan neurovasjular, ditandai denganDS : -DO :1. Kelemahan2. Parestesia3. Paralisis4. Tidak mapu5. Kerusakan koordinasi6. Keterbatasan rentang gerak7. Penurunan kekuatan ototSetelah dilakukan intervensi keperawatan, klien akan memiliki mobilitas fisik yang maksiimal, dengan kriteria:1. Tidak ada kontraktor otot

2. Tidak ada ankilosis pada sendi

3. Tidak terjadi penyusutan otot

4. Efektif pemakaian alat

Kaji fungsi motorik dan sensorik dengan mengobservasi setiap esktermitas secara terpisah terhadap kekuatan dan gerakan normal, respons terhadap rangsangan.

Ubah posisi klien setiap 2 jam

Lakukan latihan secara teratur dan letakkan telapak kaki klien dilantai saat duduk dikursi atau papan penyangga saat tidur di tempat tidur

Topang kaki saat mengubah posisi dengan meletakkan bantal di saru sisi saat membalik klien

Pada saat klien di tempat tidur letakkan bantal di ketiak di antara lengan atas dan dinding dada untuk mencegah abduksi bahu dan letakkan lengan posisi berhubungan dengan abduksi sekitar 60

Jaga lengan dengan posisi sedikit fleksi. Letakkan telapak tangan di atas bantal lainya seperti posisi patung liberty dengan siku di atas bahu dan pergelangan tangan di atas siku.

Letakkan tangan dalam posisi berfungsi dengan jari jari sedikit fleksi dan ibu jari dalam posisi berhubungan dengan abduksi. Gunakan pegangan berbentuk roll. Lakukan latihan pasif, jika jari dan pergelangan spastic, gunakan splint

Lakukan latihan tempat tidur, lakukan latihan kaki sebanyak 5 kali kemudian ditingkatkan secara sebanyak 20 kali setiap kali latihan.

Lakukan latihan berpindah (ROM) 4 x sehari setelah 24 jam seragan stroke jika sudah tidak mendapat terapi.

Bantu klien duduk atau turun dari tempat tidur

Gunakan kursi roda bagi klien hemiplegia

Lobus frontal dan parietal berisi saraf saraf yang mengatur fungsi motorik dan sensorikdan dapat dipengaruhi oleh iskemia atau peningkatan tekanan.

Mencegah terjadinya luka tekanan akibat tidue terlalu lapa pada satu sisi sehingga jaringan yang tertekan akan kekurangan nutrisi yang dibawah darah melalui oksigenJangan gunakan bantal dibawah lutut saat klien posisi terlentang karena risiko terjadinya hiperekstensi pada lutut. Tetapi lentakan gulungan handuk dalam jangka waktu singkat.

Mencegah deformitas dan komplikasi seperti foodrop

Dapat terjadi dislokasi panggul jika meletakkan kaki terkulai dan jatuh dan mencegah fleksi.

Posisi ini mebidangi bahu dalam berputar dan mencegah edema dan akibat fibrosis

Mencegah kontraktur fleksi

Membantu klien hemiplegia latihan di tempat tidur berarti memberikan harapan dan mempersiapkan aktivitas dikemudian hari akan perasaan optimis sembuh

Klien hemiplegia dapat belajar menggunakan kakinya yang mengalami kelumpuhan

Lengan dapat menyebabkan nyeri dan keterbatasan pergerakan berhubungan dengan fibrosis sendi atau sublukasi.

Klien hemiplegia mempunyai ketidak seimbangan sehingga perlu dibantu untuk keselamatan dan keamanan

Klien hemiplegia perlu latihan untuk belajar berpindah tempat dengan cara aman dari kursi, toilet dan kursi roda.

4.Risiko cedera atau trauma yang berhubungan dengan paralisis, ditandai dengan :DS : klien atau keluarga mengatakan mengalami kelumpuhan anggota tubuh.DO :4. Hemiplegia5. Klien dengan bantuan atau alat bantuan6. Berjalan lambanSetelah dilakukan intervensi keperawatan selama 7x24 jam klien tidak akan mengalami trauma dengan kriteria :1. Tidak jatuh

2. Tidak terdapat luka lecet dan tidak terdapat luka bakar

Pasang pagar tempat tidur

Gunakan cahaya yang cukup

Anjurkan klien berjalan perlahan

Anjurkan istirahat yang cukup saat berjalan

Kaji adanya tanda trauma pada kulit

Pagar tempat tidur melinduungi klien hemiplegia terjatuh dari tempat tidur. Klien dengan gangguan sensai risiko trauma.

Gangguan visual meningkatkan risiko kllien hemiplegia trauma.

BAB IIIPENUTUP

A. KesimpulanTrauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi normalotak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit nrurologis terjadi karena robeknya substansi alba, iskemia, dan pengaruh massa karena hemoragik, srta edema serebral disekitar jaringan otak. Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak.Medula Spinalis ( spinal cord ) merupakan bagian susunan saraf pusat yang terletak di dalam kanalis vertebralis dan menjulur dari foramen magnum kebagian atas region lumbalis.N.

LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA

Batticaca Fransisca B. 2008.Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan SistemPersyarafan.Salemba Medika:JakartaMuttaqin Arif.2008.Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan SistemPersyarafan.Salemba Medika:Jakartahttp://buddifarma.blogspot.com/2013/03/askep-cedera-kepala.htmlhttp://nursingbegin.com/askep-cedera-kepala/http://asuhankeperawatancederakepala.blogspot.com/http://triaan.blogspot.com/2009/03/askep-cidera-medulla-spinalis.html


Top Related