Download - ABSES PERITONSILER
1. PENDAHULUAN
Abses leher dalam harus dicurigai bila ada nyeri tenggorok dan demam yang
disertai dengan terbatasnya gerakan leher dan membuka mulut. Abses leher dalam
terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat
penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus
paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan
pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat.1
Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus,
kuman anaerob Bacteriodes atau kuman campuran. Abses leher dalam dapat berupa
abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring, abses submandibula, dan angina
ludovici (Ludwig’s angina). 1
Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun
paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang
terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem imunnya, tapi
infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada
anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki
dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsillitis kronik atau
percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis kronik
eksaserbasi akut merupakan predisposisi pada orang untuk
berkembangnya abses peritonsil. Di Amerika insiden tersebut
kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun,
dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun, data lain
menunjukkan angka 1 dari 6.500 setiap tahunnya. 2,3,4
2. EMBRIOLOGI TONSIL
Tonsil terletak dalam fosa tonsilaris diantara kedua pilar fausium dan berasal dari
invaginasi hipoblast ditempat ini. Selanjutnya cekungan tersebut dibagi menjadi beberapa
bagian, yang akan menjadi kripta yang permanen dan tonsil. Jaringan limpoid terkumpul
1
disekitar kripta, dan akan membentuk massa tonsil. Pada permukaan dalam atau
permukaan yang terpapar, termasuk cekungan pada kripta dilapisi oleh mukosa. 1,6
Bakal tonsil timbul pada awal kehidupan fetus, dapat dilihat pada bulan keempat.
Mula – mula sebagai invaginasi sederhana dari mukosa yang terletak diantara arkus
brakial ke II dan ke III pada kantung brankial ke II. Tonsil lidah dan tonsil faring
berkembang dengan cara yang sama seperti tonsil fausium. Tampak semua tonsil tumbuh
dibelakang membran faring, sehingga semua penonjolan epitel tumbuh ke dalam jaringan
ikat yang sudah ada di sekitar saluran cerna primitif. 6
Gambar 1 perkembangan Tonsil 6
3. ANATOMI DAN FISIOLOGI TONSIL
3.1. Anatomi Tonsil
Tonsila palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fossa
tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior dan pilar posterior .
Tonsil berbentuk oval dengan panjang 20 – 25 mm, dengan lebar 15- 20 mm, dimana
masing – masing tonsil mempunyai 8 – 20 kripta yang terdiri dari connective tissue seperti
jaringan limfoid dan berisi sel limfoid . Tonsila palatina kaya akan pembuluh darah yang
berasal dari cabang arteri karotis eksterna. 1
2
Gambar 2. Anatomi tonsil 3
Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting dari cincin
waldeyer. Palatoglosus mempunyai origo seperti kipas dipermukaan oral palatum mole dan
berakhir pada sisi lateral lidah. Palatofaringeus merupakan otot yang tersusun vertical dan di
atas melekat pada palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak. Otot ini meluas ke
bawah sampai ke dinding atas esophagus. Otot ini lebih penting daripada palatoglosus dan
harus diperhatikan pada operasi tonsil agar tidak melukai otot ini. Kedua pilar bertemu diatas
untuk bergabung dengan palatum mole. Di inferior akan berpisah dan memasuki jaringan pada
dasar lidah dan leteral dinding faring. 1,4
Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsila palatina adalah:7
Anterior : arcus palatoglossus
Posterior : arcus palatopharyngeus
Superior : palatum mole
Inferior : 1/3 posterior lidah
Medial : ruang orofaring
Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior oleh
jaringan areolar longgar. A. carotis interna terletak 2,5 cm di belakang dan
lateral tonsila.
3
Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-
30 kriptus yang meluas kedalam jaringan tonsil. Di dalam kriptus biasanya ditemukan
leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan.1,4
Tonsil tidak mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong di atasnya dikenal
sebagai fossa supratonsilaris. Bagian luar tonsil terikat longgar pada muskulus konstriktor
faring superior, sehingga tertekan setiap kali makan. Permukaan lateral tonsil melekat pada
fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil, sehingga mudah dilakukan diseksi pada
tonsilektomi. 1,4
Walaupun tonsil terletak di orofaring karena perkembangan yang berlebih, tonsil
dapat meluas ke arah nasofaring sehingga dapat menimbulkan insufisiensi velofaring atau
obstruksi hidung walau jarang ditemukan. Arah perkembangan tonsil tersering adalah ke arah
hipofaring, sehingga sering menyebabkan terjaganya anak saat tidur karena gangguan pada
jalan nafas. Secara mikroskopik mengandung 3 unsur utama yaitu :
1) Jaringan ikat/trabekula sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf dan
limfa.
2) Folikel germinativum dan sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda.
3) Jaringan interfolikuler yang terdiri dari jaringan limfoid dalam berbagai
stadium.
Tonsil mendapat darah dari a. palatine minor, a. palatine asendens, cabang tonsil a.
maksila eksterna, a. faring asendens dan a. lingualis dorsal. Tonsil lingual terletak di dasar
lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah
anterior massa ini terdapat foramen sekum apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla
sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan
secara klinik merupakan tempat bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau Krista
duktus tiroglosus.1,4
Arteri karotis interna berada pada kira-kira 2 cm posterolateral dari aspek dalam
tonsil; dengan demikian diperlukan ketelitian agar tetap berada pada bidang
pembedahan/pemotongan yang tepat untuk menghindari luka pada lokasi pembuluh darah.
Aliran utama limfa dari tonsil menuju superior deep cervical and jugular lymph nodes;
Penyakit peradangan pada tonsil merupakan faktor signifikan dalam perkembangan adenitis
4
atau abses servikal pada anak. Inervasi sensoris tonsil berasal dari n. glosofaringeal dan
beberapa cabang-cabang n. palatina melalui ganglion sphenopalatina.7
Inervasi tonsil bagian atas berasal dari serabut saraf v melalui ganglion sphenopalatina
dan bagian bawah dari saraf glossofaringeus (N. IX). Pemotongan pada n. IX menyebabkan
anastesia pada semua bagian tonsil.7
3.2 Fungsi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2 % dari
keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah
50%:50%, sedangkan di darah 55-57%:15-30%. Pada tonsil terdapat system imun kompleks
yang terdiri atas sel M (sel membrane), makrofag, sel dendrite dan APCs (antigen presenting
cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis
immunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa
IgG. 1
Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan mengumpulkan
bahan asing dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi dan sensitisasi sel
limfosit T dengan antigen spesifik. Jika tonsil tidak mampu melindungi tubuh, maka
akan timbul inflamasi dan akhirnya terjadi infeksi yaitu tonsilitis (tonsillolith).
Aktivitas imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 – 10 tahun. 4
4. ABSES PERITONSILER
A. Definisi
Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering
terjadi pada bagian kepala dan leher dalam. Gabungan dari bakteri
aerobik dan anaerobik sering ditemukan di daerah peritonsilar yang
diduga sebagai penyebab abses. Tempat yang bisa berpotensi
terjadinya abses adalah didaerah pillar tonsil anteroposterior, fossa
piriform inferior, dan palatum superior. Abses Peritonsil (PTA)
merupakan kumpulan pus (nanah) yang terlokalisir atau terbatas
pada jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari
suppurative tonsillitis. 1,2
5
Abses peritonsil merupakan infeksi akut atau abses yang
berlokasi di spatium peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat di
antara tonsil dengan m. kontriktor superior biasanya unilateral dan
didahului oleh infeksi tonsilofaringitis akut 5-7 hari sebelumnya.1,3
B. Epidemiologi
Abses peritonsil umumnya terjadi pada umur 10-60 tahun,
namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak
jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya.
Infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada
anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki
dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau
percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis kronik
eksaserbasi akut merupakan predisposisi pada orang untuk
berkembangnya abses peritonsiler. Di Amerika insiden tersebut
kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun,
dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun. 2,3
C. Etiologi
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab
sama dengan penyebab tonsillitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses
peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik
streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae.
Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah
Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium,dan
Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler
6
diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan
anaerobik. 1,3
Tabel 1 Bakteri penyebab abses peritonsilar 3
Merokok juga bisa menjadi faktor predisposisi dari peritonsilar abses, dimana
dalam penelitian orang yang merokok lebih cenderung dan lebih mudah untuk
terinfeksi bakteri khususnya candidiasis. Merokok menyebabkan iritasi pada mukosa
faring dan tonsil. Hal ini akan menyebabkan atrofi mukosa sehingga pertahanan
bakteri menjadi menurun.5
D. Patologi
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar.
Oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati
daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Walaupun sangat jarang,
abses peritonsil dapat terbentuk di bagian inferior. Pada stadium permulaan (stadium
infiltrate), akan tampak pembengkakan tampak permukaannya hiperemis. Bila proses
berlanjut akan terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan
peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral. Peradangan jaringan
di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul
trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru.1,2,3,6
Sebuah penelitian membuktikan bahwa kelenjar weber memiliki peranan yang
penting dalam terjadinya abses peritonsilar. Sekitar 20-25 kelenjar ludah berada di atas
7
tonsil, di dalam palatum mole dan berhubungan dengan permukaan tonsil melalui
duktus. Kelenjar ini berfungsi membantu membantu membersihkan tonsil dari sisa-
sisa makanan sekaligus mencerna makanan tersebut. Apabila terjadi inflamasi pada
daerah ini, selulitis peritonsil bisa terjadi. Jika infeksi terus terjadi, duktus pada
permukaan tonsil akan mengalami obstruksi menyebabkan nekrosis jaringan dan
terbentuk pus. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, abses terutama terjadi di
pallatum mole dan di bagian pole superior tonsil. Hal ini membuktikan bahwa kelenjar
weber memiliki peran dalam terjadinya abses terutama pada pasien yang telah
menjalani tonsilektomi. Hal penting yang menjadi predisposisi lain adalah merokok
dan kelainan pada gigi.3
E. Gejala dan Tanda
Selain gejala dan tanda tonsillitis akut, juga terdapat odinofagi (nyeri menelan)
yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga (otalgia). Gejala
lain yang juga ditemukan adalah muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore),
banyak ludah (hipersalivasi), suara gumam (Hot potato voice) dan kadang-kadang
sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula
ipsilateral dengan nyeri tekan. perubahan suara karena hipersalivasi dan banyak ludah
yang menumpuk di faring, rinolalia aperta karena udem palatum molle (udem dapat
terjadi karena infeksi menjalar ke radix lingua dan epiglottis atau disebut udem
perifokalis). Akibat limfadenopati dan inflamasi otot, pasien sering mengeluhkan nyeri
leher dan terbatasnya gerakan leher (torticolis). Pada pemeriksaan fisik didapatkan
deviasi uvula ke sisi kontralateral, hiperemis, dan edema pada pilar anterior. Tonsil
juga mengalami penekanan ke arah bawah dan ke tengah dari mendorong uvula kea
rah kontralateral.1,3
8
Tabel 2 Gejala klinis abses peritonsilar 3
Gambar 3 Abses peritonsilar 3
Gambar 4 Perbedaan gambaran abses peritonsilar dan selulitis peritonsilar 7
F. Pemeriksaan
Diagnosis abses peritonsilar bisa didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Diagnosis banding biasanya adalah mononukleosis, limfoma, selulitis
9
peritonsilar, dan abses retrofaringeal. Pasien sering datang dengan riwayat selulitis
peritonsilar yang kemudian berkembang menjadi abses peritonsilar.
Pada selulitis peritonsilar, area antara tonsil dan kapsulnya menjadi edema dan
hiperemis, tetapi pus tidak ditemukan. Terkadang sukar memeriksa seluruh faring
karena adanya trismus. Palatum mole tampak membengkak dan menonjol ke depan
dan dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil
bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan dan
bawah. Pemeriksaan aspirasi pus dapat dilakukan untuk mengetahui adanya abses
sekaligus untuk memeriksakan resistensi bakteri serta pemeriksaan radiologis bisa
membantu menegakkan diagnosis. Ultrasonografi transkutaneus atau intraoral bisa
sangat membantu dalam membedakan abses peritonsil dan selulitis peritonsil. Ct-Scan
dapat digunakan untuk mengetahui komplikasi dari abses peritonsiler di bagian leher
dalam lainnya dan komplikasi pada vena jugularis interna yang menyebabkan
trombosis atau jika sudah terjadi erosi abses yang mengenai arteri karotis. 1,3
Gambar 5 CT-Scan kepala terlihat abses peritonsilar kanan 3
Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran
kadar elektrolit, dan kultur darah. Pemeriksaan tersebut diperlukan
karena pasien dengan abses peritonsil seringkali dalam keadaan
10
sepsis dan menunjukkan tingkat dehidrasi yang bervariasi akibat
tidak tercukupinya asupan makanan.3
Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada
pasien dengan tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika
hasilnya positif, penderita memerlukan evaluasi atau penilaian
hepatosplenomegali. Liver function tests perlu dilakukan pada
penderita dengan hepatomegali.3
“Throat culture” atau “throat swab and culture”: diperlukan
untuk identifikasi organisme yang infeksius. Hasil kulutur dapat
digunakan untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif, untuk
mencegah timbulnya resistensi antibiotik. Plain radiographs:
gambaran jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views) dari
nasofarynx dan orofarynx dapat membantu dokter dalam
menyingkirkan diagnosis abses retrofaryngeal. 3
G. Penatalaksanaan
Penanganan abses peritonsiler meliputi hidrasi,
menghilangkan nyeri, dan antibiotik yang efektif mengatasi
Staphylococcus aureus dan bakteri anaerob. Aspirasi abses
merupakan penanganan yang efektif pada 75 % abses peritonsiler
pada anak-anak dan dianjurkan sebagai terapi utama kecuali
terdapat riwayat tonsilitis berulang atau abses peritonsiler
sebelumnya pada anak yang tidak koperatif maka indikasinya
adalah tonsilektomi dengan segera.8
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan
obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan
antiseptik serta kompres dingin pada leher. Antibiotik yang diberikan
adalah golongan penisilin atau klindamisin.1
11
Jurnal lain menyebutkan bahwa pemberian penisilin G
intravena 2 juta unit setiap 6 jam sering digunakan dan terkadang
bisa dikombinasikan dengan metronidazol. Pemberian klindamisin
600 mg intravena setiap 8 jam bisa menjadi alternatif pengobatan.9
Jika terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses,
kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi adalah
daerah paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis
yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir
pada sisi yang sakit.1
Jika pus ditemukan secara kebetulan, metode ini mungkin
cukup untuk drainase dengan diikuti antibiotik. Jika jumlah pus
banyak ditemukan, maka cukup tidak cukup jika hanya dilakukan
insisi. Perlu dilakukan insisi dan drainase. Posisi pasien adalah
Sitting up (duduk).9
Teknik Insisi
Teknik insisi dan drainase membutuhkan anestesi lokal.
Pertama faring disemprot dengan anestesi topikal. Kemudian 2
cc Xilocain dengan adrenalin 1/100,000 disuntikkan. Untuk
pasien anak-anak diperlukan anestesi umum, namun perlu
kehati-hatian dan pengalaman karena akan sulit melakukan
intubasi pada pasien dengan abses peritonsilar.
Jika pasien terlihat sangat tegang, bisa diberikan sedatif
intravena. Midazolam 4 mg bisa membantu dalam
menenangkan pasien. Pasien yang tidak kooperatif akan
mengganggu dalam evakuasi pus dan darah sehingga
pemberian sedatif ini terkadang sangat diperlukan.
Meminta asisten untuk mempersiapkan lampu selain lampu
kepala agar daerah yang diinsisi bisa terlihat dengan bagus.
12
Spatula lidah bisa digunakan untuk menekan lidah agar abses
peritonsilar bisa terlihat
Pisau tonsila no 12 atau no 11 dengan plester untuk
mencegah penetrasi yang dalam. Digunakan untuk membuat
insisi melalui mukosa dan submukosa dekat kutub atas fosa
tonsilaris.
Tempat insisi ialah didaerah paling menonjol dan lunak atau
pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula
dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit. Jangan
melakukan insisi lebih dari 1,5 cm di lateral dan posterior
tonsil karena terdapat arteri karotis interna.
Hemostat tumpul dimasukkan melalui insisi ini dan dengan
lembut direntangkan.
Pengisapan tonsila sebaiknya segera disediakan untuk
mengumpulkan pus yang dikeluarkan. Pada anak yang lebih
tua atau dewasa muda dengan trismus yang berat,
pembedahan drainase untuk abses peritonsiler mungkin
dilakukan setelah aplikasi cairan kokain 4% pada daerah insisi
dan pada ganglion sfenopalatina pada fosa nasalis. Hal ini
kadang-kadang mengurangi nyeri dan trismus. 9
Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi. Bila dilakukan
bersama-sama tindakan drenase abses, disebut tonsilektomi “a’ chaud”. Bila
tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah drenase abses, disebut tonsilektomi “a’tiede”,
dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drenase abses , disebut tonsilektomi
“a’froid”. 1
Setelah melakukan insisi dan drainase, sebaiknya dilakukan observasi pada
pasien untuk beberapa jam (24-48 jam) untuk melihat bagaimana respon pasien
terhadap antibiotik, nyeri, dan untuk mencegah terjadinya dehidrasi karena pasien
belum bisa minum. Observasi juga dilakukan sampai pasien bisa minum obat melalui
13
oral. Selanjutnya antibiotik oral dilanjutkan samapi 10 hari. Beberapa pasien dalam
penelitian bisa langsung rawat jalan, namun hanya sedikit yang bisa membaik (sekitar
14%). 3,8
Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3
minggu sesudah drenase abses. Tonsilektomi merupakan indikasi absolut
pada orang yang menderita abses peritonsilaris berulang atau abses
yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil
mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini
belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses
peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu
kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis,
sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera karena
didapatkan tonsilektomi segera menunjukkan hasil yang lebih baik
jika dibandingkan dengan melakukan insisi dan drainase.3
Gambar 6. Algoritma penatalaksanaan abses peritonsilar 8
H. Komplikasi
14
Komplikasi abses peritonsil dapat berupa edema laring akibat
tertutupnya rima glotis atau edema glotis akibat proses perluasan
radang ke bawah. Keadaan ini membahayakan karena bisa
menyebabkan obstruksi jalan napas. Abses yang pecah secara
spontan terutama waktu tidur dapat mengakibatkan aspirasi
pneumonia dan piemia. Abses yang ruptur spontan biasanya pecah
dari pilar anterior. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah
parafaring, sehingga dapat terjadi abses parafaring. Kemudian dapat
terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis. Bila
terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan
trombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak. Sekuele
poststreptokokus (glomerulonefritis, demam rematik) apabila bakteri
penyebab infeksi adalah streptococcus Grup A. Kematian, walaupun
jarang dapat terjadi akibat perdarahan atau nekrosis septik ke
selubung karotis atau carotid sheath. Dapat juga terjadi peritonsilitis
kronis dengan aliran pus yang berjeda. Komplikasi juga terjadi akibat
tindakan insisi pada abses akibat perdarahan yang terjadi pada
arteri supratonsilar. Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi
jika diagnosis PTA diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari
progresivitas penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan
intervensi sejak dini. 1
I. Prognosis
Abses peritonsiler hampir selalu berulang bila tidak diikuti
dengan tonsilektomi, maka tonsilektomi ditunda sampai 2-3 minggu
berikutnya. Pada saat tersebut peradangan telah mereda, biasanya
terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat operasi. Prognosis
baik jika ditatalaksanai dengan tepat dan cepat.1,3,8
15
5. KESIMPULAN
Abses peritonsil merupakan infeksi akut atau abses yang berlokasi di spatium
peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat di antara tonsil dengan m. kontriktor superior,
biasanya unilateral dan didahului oleh infeksi tonsilofaringitis akut 5-7 hari
sebelumnya. Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling
sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Organisme aerob yang paling sering
menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-
hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae.
Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella,
Porphyromonas, Fusobacterium,dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses
peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan
anaerobic.
Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain panas sub febris, disfagia dan
odinofagia yang menyolok dan spontan, “hot potato voice”, mengunyah terasa sakit
karena m. masseter menekan tonsil yang meradang, nyeri telinga (otalgia) ipsilateral,
foetor ex orae, perubahan suara karena hipersalivasi dan banyak ludah yang
menumpuk di faring, rinolalia aperta karena udem palatum molle (udem dapat terjadi
karena infeksi menjalar ke radix lingua dan epiglotisatau disebut udem perifokalis),
trismus (terbatasnya kemampuan untuk membuka rongga mulut) yang bervariasi,
tergantung derajat keparahan dan progresivitas penyakit, trismus menandakan adanya
inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna, sehingga menimbulkan
spasme muskulus tersebut. Akibat limfadenopati dan inflamasi otot, pasien sering
mengeluhkan nyeri leher dan terbatasnya gerakan leher (torticolis).
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring
sampai dehidrasi dan sepsis. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar
regional. Pada pemeriksaan kavum oral terdapat eritema, asimetri palatum mole,
eksudasi tonsil, dan pergeseran uvula kontralateral.
16
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan
obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan
antiseptik serta kompres dingin pada leher.
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.
Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Antibiotik
yang diberikan ialah penisilin atau klindamisin. Bila telah terbentuk abses, dilakukan
pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah.
6. DAFTAR PUSTAKA
1. Fachruddin, Darnila. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan, Telinga-Hidung-Tenggorokan Edisi V, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta, 2006. Hal. 185
2. Tan AJ. 2010. Peritonsillar Abscess In Emergency Medicine.
Article of E. Medicine.2008.hal.1-3
3. Galioto,Nicholas. Peritonsillar Abcess.American Family
Physician. 2008. Hal.199-202
4. Efendi H: Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam:
Boies, Buku Ajar Penyakit THT Edisi VI, EGC, Jakarta, 1997. Hal
333
5. Marrom , Tal, dkk.2011 Changing Trend of Peritonsillar abcess.
American Journal of Otholaringology.2008.Hal.166
6. Sadler, T.W. Embriologi Kedokteran Langman Edisi 1, EGC, Jkarta,2002,
Hal.374
7. Ballenger, John Jacob. M.S, M.D. Penyakit Telinga Hidung,
Tenggorok Kepala dan Leher Edisi 13. Binarupa Aksara.
Jakarta. Hal : 295-97, 318-23, 346-55
17
8. Campisi, Paolo & Lewfik.Tonsilitis And Its Complication.The
Canadian of Diagnosis.2002.Hal.102-105
9. Raymond, Rabn.2009. Quinsy (Peritonsillar abcess). Society Of
Rural Physicians of Canada.2009. Hal.1-2
18