disfungsi pola urin

39
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembuangan normal urine merupakan suatu fungsi dasar yang sangat penting dalam sistem metabolisme tubuh. Apabila sistem perkemihan tidak dapat berfungsi dengan baik, sebenarnya semua sistem organ pada akhirnya akan terpengaruh. Perubahan eliminasi urin me;iputi inkontinensia urin dan retensi urin yang bisa disebabkan berbagai hal. Inkontinensia tidak harus selalu dikaitkan dengan lansia. Inkontinensia dapat dialami setiap individu pada usia berapa pun, walaupun kondisi ini lebih umum dialami oleh lansia. Diperkirakan bahwa 37% wanita berusia 60 tahun atau lebih mengalami beberapa tingkatan inkontinensia (Brooks, 1993). Retensi urin bisa disebabkan oleh berbagai penyakit Klien yang mengalami perubahan eliminasi urine juga dapat menderita secara emosional akibat perubahan citra tubuhnya. Perawat berusaha memahami dan menunjukkan sikap yang peka terhadap kebutuhan klien, Perawat harus memahami alasan terjadinya masalah dan berupaya mencari penyelesaian yang dapat diterima. B. Rumusan Masalah Bagaimana aplikasi konsep perawatan pada klien dengan perubahan pola eliminasi urin ? C. Tujuan Tujuan umum Menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dengan dengan perubahan pola eliminasi urin. Tujuan khusus 1. Menjelaskan pengertian retensi urine, etiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan dan konsep keperawatannya. 2. Menjelaskan pengertian inkontinensia urine, etilogi, manifestasi klinis, penatalaksanaan dan konsep keperawatannya.

Upload: rizki-nur-amalia

Post on 05-Dec-2014

125 views

Category:

Documents


19 download

DESCRIPTION

urologi

TRANSCRIPT

Page 1: Disfungsi Pola Urin

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembuangan normal urine merupakan suatu fungsi dasar yang sangat penting

dalam sistem metabolisme tubuh. Apabila sistem perkemihan tidak dapat berfungsi

dengan baik, sebenarnya semua sistem organ pada akhirnya akan terpengaruh. Perubahan

eliminasi urin me;iputi inkontinensia urin dan retensi urin yang bisa disebabkan

berbagai hal. Inkontinensia tidak harus selalu dikaitkan dengan lansia. Inkontinensia

dapat dialami setiap individu pada usia berapa pun, walaupun kondisi ini lebih umum

dialami oleh lansia. Diperkirakan bahwa 37% wanita berusia 60 tahun atau lebih

mengalami beberapa tingkatan inkontinensia (Brooks, 1993). Retensi urin bisa disebabkan

oleh berbagai penyakit Klien yang mengalami perubahan eliminasi urine juga dapat

menderita secara emosional akibat perubahan citra tubuhnya. Perawat berusaha memahami

dan menunjukkan sikap yang peka terhadap kebutuhan klien, Perawat harus

memahami alasan terjadinya masalah dan berupaya mencari penyelesaian yang dapat

diterima.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana aplikasi konsep perawatan pada klien dengan perubahan pola eliminasi urin ?

C. Tujuan

Tujuan umum

Menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dengan dengan perubahan pola eliminasi

urin.

Tujuan khusus

1. Menjelaskan pengertian retensi urine, etiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan dan

konsep keperawatannya.

2. Menjelaskan pengertian inkontinensia urine, etilogi, manifestasi klinis, penatalaksanaan

dan konsep keperawatannya.

Page 2: Disfungsi Pola Urin

3. Menjelaskan pengertian neurogenic bledder, etilogi, manifestasi klinis, penatalaksanaan

dan konsep keperawatannya.

4. Mengelola asuhan keperawatan pada klien dengan perubahan pola eliminasi urin.

D. Manfaat Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan aplikasi konsep perawatan pada klien dengan

perubahan pola eliminasi urin sehingga dapat digunakan sebagai referensi asuhan

keperawatan pada klien dengan perubahan pola eliminasi urin.

Page 3: Disfungsi Pola Urin

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Teori

1. Anatomi Bladder dan Uretra

(Gambar : sistem perkemihan)

Buli-buli adalah organ berongga yang terdiri atas tiga lapisan otot detrusor yang

saling beranyaman. Di sebelah dalam adalah otot longitudinal, di tengah merupakan otot

sirkuler, dan paling luar merupakan otot longitudinal. Mukosa buli-buli terdiri atas sel-sel

transisional yang sama seperti pada mukosa pelvis renalis, ureter, dan uretra posterior. Pada

dasar buli-buli kedua muara ureter dan meatus uretra interna membentuk suatu segitiga yang

disebut trigonom buli-buli.

Secara anatomi betuk buli-buli terdiri atas tiga permukaan, yaitu

1. Permukaan posterior yang berbatasan dengan rongga peritonium

Permukaan superior merupakan lokus minoris (daerah terlemah) dinding buli-buli

berfungsi menampung urin dari ureter dan kemudian mengeluarkannya melalui uretra

dalam mekanisme miksi.

2. Dua permukaan inferiolateral

Page 4: Disfungsi Pola Urin

3. Permukaan posterior

Dalam menampung urine, buli-buli mempunyai kapasitas maksimal yang volumenya

untuk orang dewasa kurang lebih 360-450 ml, sedangkan kapasitas buli-buli pada anak

menurut formula dari Kuff adalah

kapasitas buli-buli= {umur (tahun) + 2 } x 30 ml

Kandung kemih merupakan suatu organ cekung yang dapat berdistensi dan

tersusun atas jaringan otot serta merupakan wadah tempat urin dan merupakan organ

ekskresi. Apabila kosong, kandung kemih berada di dalam rongga panggul di belakang

simfisis pubis. Pada pria, kandung kemih terletak pada rektum bagian posterior dan pada

wanita kandung kemih terletak pada dinding anterior uterus dan vagina.

Bentuk kandung kemih berubah saat ia terisi dengan urin. Dinding kandung kemih

dapat mengembang. Tekanan di dalam kandung kemih biasanya rendah, bahkan saat

sebagian kandung kemih penuh, suatu faktor yang melindungi kandung kemih dari infeksi.

Kandung kemih dapat menampung sekitar 600 ml urine, walaupun pengeluaran urine normal

sekitar 300 ml.

Dalam keadaan penuh, kandung kemih membesar dan membentang sampai ke atas

simfisis pubis. Kandung kemih yang mengalami distensi maksimal dapat mencapai

umbilikus. Pada wanita hamil, janin mendorong kandung-kemih, menimbulkan suatu perasaan

penuh dan mengurangi daya tampung kandung kemih. Hal ini dapat terjadi baik pada

trimester pertama ataupun trimester ketiga.

Trigonum (suatu daerah segitiga yang halus pada permukaan bagian dalam kandung

kemih) merupakan dasar kandung kemih. Sebuah lubang terdapat pada setiap sudut segitiga.

Dua lubang untuk ureter serta satu lubang untuk uretra.

Dinding kandung kemih memiliki empat lapisan: lapisan mukosa di dalam, sebuah

lapisan submukosa pada jaringan penyambung, sebuah lapisan otot, dan sebuah lapisan

serosa di bagian luar. Lapisan otot memiliki berkas-berkas serabut otot yang membentuk otot

detrusor. Serabut saraf parasimpatis menstimulasi otot detrusor selama proses perkemihan.

Spingter uretra interna, yang tersusun atas kumpulan otot yang berbentuk seperti cincin,

berada pada dasar kandung kemih tempat sfingter tersebut bergabung dengan uretra. Spingter

Page 5: Disfungsi Pola Urin

mencegah urine keluar dari kandung kemih dan berada di bawah kontrol volunter (kontrol otot

yang disadari).

Anatomi Uretra

Urine keluar dari kandung kemih melalui uretra dan keluar dari tubuh melalui meatus

uretra. Dalam kondisi normal, aliran urine yang mengalami turbulansi membuat urine bebas

dari bakteri. Membran mukosa melapisi uretra, dan kelenjar uretra mensekresi lendir ke dalam

saluran uretra. Lendir dianggap bersifat bakteriostatis dan membentuk plak mukosa untuk

mencegah masuknya bakteri. Lapisan otot polos yang tebal mengelilingi uretra. Pada wanita,

meatus urinarius (lubang) terletak di antara labia minora, di atas vagina dan di bawah klitoris.

Pada pria, meatus terletak pada ujung distal penis.

Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine keluar dari buli-buli melalui proses miksi.

Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra posterior dan uretra anterior.

Pada pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani. Uretra dilengkapi dengan

spinter uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra. Serta spinteruretra

eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior. Spinter uretra interna

terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh sistem simpatik, sehingga pada saat buli-buli

penuh spingter terbuka. Spinter urtra eksterna terdiri atas otot bergaris dipersarafi oleh saraf

somatik yang dapat diperintah sesuai keinginan seseorang. Pada saat kencing spingter ini

terbuka. Dan tetap tertutup saat menahan kencing.

Panjang uretra wanita kurang lebih 3-5 cm, sedangkan uretra pria dewasa kurang

lebih 23-25 cm. Perbedaan panjang ini yang menyebabkan keluhan hambatan pengeluaran

urine lebih sering terjadi pada pria. Ureter posterior pada pria terdiri atas uretra pars

prostatika, yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, uretra pras

membranasea. Dibagian pisterior lumen uretra prostatika, terdapat suatu tonjolan

verumontanum, dan disebelah proksimal distal verummontanum terdapat kristal uretralis.

Bagian akhir dari vas deferens yaitu kedua duktus ejakulatorius terdapat dipinggir kiri dan

kanan verumonyanum. Sedangkan sekresi kelenjar prostat bermuara di dalam duktus

prostatikus yang tersebar uretra prostatikan.

Uretra anterior adalah bagian uretra yang terbungkus korpus spongiosum penis.

Dalam lumen uretra anterior terdapat beberapa muara kelenjar yang berfungsi sebagai proses

reproduksi, yaitu kelenjar cowperi berada di dalam diafragma urogenitalis dan bermuara di

Page 6: Disfungsi Pola Urin

uretra pars bulbosa, serta kelenjar littre yaitu kelenjar parauretralis yang bermuara di uretra

pars pendularis.

Panjang uretra wanita kurang lebih 4 cm dengan diameter 8 mm. Berada di bawah

simfisis pubis dan bermuara di sebelah anterior vagina. Di dalam uretra bermuara kelenjar

periuretra, di antaranya adalah kelenjar skene. Kurang lebih sepertiga medial uretra, terdapat

sfingter uretra eksterna yang terdiri atas otot bergaris. Tonus otot sfingter uretra eksterna dan

tonus otot levator ani berfungsi mempertahankan agar urin tetap berada di dalam buli-buli

pada saat perasaan ingin miksi. Miksi terjadi jika tekanan intravesika melebihi tekanan

intrauretra akibat kontraksi otot detrusor, dan relaksasi sfingter uretra eksterna.

2. Proses Miksi

Fase pengisian

Tekanan vesika (P ves) : < 15 cm H2O

Tekanan uretra posterior (P up) : 60 – 100 cm H2O

Fase ekspulsi :

Isi blader 150-200 ml

Reseptor Strecth

Terasa ingin kencing

Syaraf Otonom Pubosakral (S 2 – 4)

Detrusor berkontraksi

Uretra prostatika membuka, spingter Eksterna masih menutup

Kontraksi detrusor meningkat

Tekanan uretra menurun

Spingter uretra eksterna membuka

Urin keluar

Page 7: Disfungsi Pola Urin

Beberapa struktur otak yang mempengaruhi fungsi kandung kemih meliputi korteks

serebral, thalamus, hipotalamus, dan batang otak. Secara bersama-sama, struktur otak ini

menekan kontraksi otot detrusor kandung kemih sampai individu ingin berkemih atau buang

air. Dua pusat di pons yang mengatur mikturisi atau berkemih, yaitu; pusat M mengaktifkan

refleks otot detrusor dan pusat L mengkoordinasikan tonus otot pada dasar panggul. Pada saat

berkemih, respons yang terjadi ialah kontraksi kandung kemih dan relaksasi otot pada dasar

panggul yang terkoordinasi.

Kandung kemih dalam kondisi normal dapat menampung 600 ml urine. Namun,

keinginan untuk berkemih dapat dirasakan pada saat kandung kemih terisi urine dalam

jumlah yang lebih kecil (150 sampai 200 ml pada orang dewasa dan 50 sampai 200 ml pada

anak kecil). Seiring dengan peningkatan volume urine, dinding kandung kemih meregang,

merangsang saraf aferen untuk mengirim impuls-impuls sensorik ke pusat mikturisi di medulla

spinalis pars sakralis (S2,S4). Impuls saraf parasimpatis dari pusat mikturisi menstimulasi otot

detrusor untuk berkontraksi secara teratur. Sfingter uretra interna juga berelaksasi sehingga

urine dapat masuk ke dalam uretra, walaupun berkemih belum terjadi. Saat kandung kemih

berkontraksi, impuls saraf naik ke medulla spinalis sampai ke pons dan korteks serebral.

Kemudian individu akan menyadari keinginannya untuk berkemih. Remaja dan orang dewasa

dapat berespons terhadap dorongan berkemih ini atau malah mengabaikannya sehingga

berkemih berada di bawah kontrol volunter. Apabila individu memilih untuk tidak berkemih,

sfingter urinarius eksterna dalam keadaan berkontraksi dan refleks mikturisi dihambat.

Namun pada saat individu siap berkemih, sfingter eksterna berelaksasi, refleks mikturisi

menstimulasi otot detrusor untuk berkontraksi sehingga terjadilah pengosongan kandung

kemih yang efisien.

Apabila keinginan untuk berkemih diabaikan berulang kali, daya tampung kandung

kemih dapat menjadi maksimal dan menimbulkan tekanan pada sfingter sehingga dapat

membuat kontrol volunter tidak mungkin lagi dilanjutkan. Kerusakan pada medulla spinalis

di atas daerah sakralis menyebabkan hilangnya kontrol volunter berkemih, tetapi jalur

refleks berkemih dapat tetap utuh sehingga memungkinkan terjadinya berkemih secara

refleks. Kondisi ini disebut refleks kandung kemih.

Page 8: Disfungsi Pola Urin

3. Perubahan dalam Eliminasi Urine

Klien yang memiliki masalah perkemihan paling sering mengalami gangguan dalam

aktivitas berkemihnya. Gangguan ini diakibatkan oleh kerusakan fungsi kandung kemih,

adanya obstruksi pada aliran urine yang mengalir keluar, atau ketidakmampuan mengontrol

berkemih secara volunter. Beberapa klien dapat mengalami perubahan sementara atau

permanen dalam jalur normal ekskresi urine. Klien yang menjalani diversi urine memiliki

masalah khusus karena urine keluar melalui sebuah stoma.

A. RETENSI URINE

1) Definisi

Retensi urine adalah ketidakmampuan seseorang untuk mengeluarkan urin yang

terkumpul di dalam buli-buli hingga kapasitas maksimal buli-buli terlampaui. Proses miksi

terjadi karena adanya koordinasi harmonik antara otot detrusor buli-buli sebagai penampung

dan pemompa urin dengan uretra yang bertindak sebagai pipa untuk menyalurkan urine.

Adanya penyumbatan pada uretra, kontraksi buli-buli yang tidak adekuat, atau tidak adanya

koordinasi antara buli-buli dan uretra dapat menimbulkan terjadinya retensi urine.

2) Etiologi

a) Kelemahan otot detrusor

Kelainan medulla spinal, kelainan saraf perifer.

b) Inkoordinasi antara detrusor-uretra

Cidera kauda ekuina.

c) Hambatan / obstruksi uretra

Gumpalan darah, sklerosis leher buli-buli, hiperplasia prostat, Ca prostat, striktur

uretra, batu uretra, tumor uretra, klep uretra, cidera uretra, fimosis, para fimosis,

stenosis meatus uretra.

d) Kecemasan

e) Efek obat-obatan (preparat antispasmodic-antikolinergik,preparat antidepresan –anti

psikotik,antihistamin,preparat penyekat b-adrenergic.)

Page 9: Disfungsi Pola Urin

3) Patofisiologi

Pada kondisi normal urin mengisi kandung kemih dengan perlahan dan mencegah

aktivasi reseptor regangan sampai distensi kandung kemih meregang pada level tertentu.

Refleks berkemih terjadi dan kandung kemih menjadi kosong. Dalam kondisi retensi urine,

kandung kemih tidak mampu berespons terhadap refleks berkemih sehingga tidak mampu

untuk mengosongkan diri.

Seiring dengan berlanjutnya retensi urine, dapat menyebabkan overflow retensi.

Tekanan dalam kandung kemih meningkat sampai suatu titik di mana spingter uretra

eksterna tidak mampu lagi menahan urine. Sfingter untuk sementara terbuka

memungkinkan sejumlah kecil urine 25 sampai 60 ml keluar. Setelah urine keluar,

tekanan kandung kemih cukup menurun sehingga sfingter memperoleh kembali kontrolnya

dan menutup. Seiring dengan overflow klien mengeluarkan sejumlah kecil urin dua atau tiga

kali sejam tanpa adanya penurunan distensi atau rasa nyaman yang jelas. Perawat harus

mengetahui volume urine dan frekuensi berkemih supaya dapat mengkaji kondisi ini pada

klien. Spasme kandung kemih dapat timbul ketika klien berkemih.

4) Tanda dan Gejala

a. Tidak ada pengeluaran urine selama beberapa jam dan terdapat distensi

kandung kemih. Pada retensi urine yang berat, kandung kemih dapat menahan

2000 sampai 3000 ml urine.

b. Klien yang berada di bawah pengaruh anestesi atau analgesik hanya merasakan

adanya tekanan, tetapi klien yang sadar akan merasakan nyeri hebat karena

distensi kandung kemih melampaui kapasitas normalnya.

5) komplikasi

Urin yang tertahan lama di dalam buli-buli secepatnya harus dikeluarkan karena jika

dibiarkan akan menimbulkan beberapa masalah antara lain :

a. Infeksi saluran kencing

Retensi urin dapat menimbulkan infeksi yang bisa terjadi akibat distensi

kandung kemih yang berlebihan

Page 10: Disfungsi Pola Urin

b. Kerusakan kandung kemih

Terjadi karena gangguan suplai darah pada dinding kandung kemih dan

proliferasi bakteri sehingga kontraksi otot buli menjadi lemah.

c. Gagal Ginjal

Terjadi apabila terjadi obstruksi pada saluran kemih sehingga memperberat

kerja ginjal.( hidroureter dan hidronefrosis )

5) Penatalaksanaan

Urin dapat dikeluarkan dengan cara kateterisasi atau sistostomi. Tindakan penyakit

primer dikerjakan setelah keadaan pasien stabil. Untuk kasus-kasus tertentu mungkin

tidak perlu pemasangan kateter terlebih dahulu melainkan dapat langsung dilakukan

tindakan definitif terhadap penyebab retensi urin, misalnya batu dimiatus uretra

eksternum atau meatal stenosis dilakukan meatotomi, fimosis atau parafimosis

dilakukan sirkumsisi atau dorsumsisi.

B. INKONTINENSIA URINE

1) Definisi

Inkontinensia Urine merupakan kehilangan kontrol berkemih. Inkontinensia dapat

bersifat sementara atau menetap. Klien tidak lagi dapat mengontrol sfingter uretra eksterna.

Merembesnya urin dapat berlangsung terus menerus atau sedikit-sedikit. Lima tipe

inkontinensia adalah inkontinensia fungsional, inkontinensia refleks (overflow), inkontinensia

stres, inkontinensia urgensi, dan inkontinensia total.

2) Patofisiologi

Inkontinensia tidak harus selalu dikaitkan dengan lansia. Inkontinensia dapat

dialami setiap individu pada usia berapa pun, walaupun kondisi ini lebih umum dialami oleh

lansia. Diperkirakan bahwa 37% wanita berusia 60 tahun atau lebih mengalami beberapa

tingkatan inkontinensia (Brooks, 1993). Inkontinensia dapat merusak citra tubuh. Pakaian

yang dapat menjadi basah oleh urine dan bau yang menyertainya dapat menambah rasa malu.

Akibatnya, klien yang mengalami masalah ini sering menghindari aktivitas sosial.

Page 11: Disfungsi Pola Urin

Lansia mungkin mengalami masalah khusus dengan inkontinensia akibat keterbatasan

fisik dan lingkungan tempat tinggalnya. Lansia yang mobilitasnya terbatas mempunyai

peluang lebih besar untuk mengalami inkontinensia karena ketidakmampuan mereka untuk

mencapai toilet pada waktunya. Kursi yang dirancang pendek dan tempat tidur yang

ditinggikan di atas lantai dapat menjadi halangan bagi lansia yang harus bangun untuk

mencapai ke toilet. Lansia yang mengalami kesulitan untuk membuka kancing atau

memanipulasi ritsleting menghadapi masalah yang lain. Lansia sering mengalami kekurangan

energi untuk berjalan yang sangat jauh pada satu waktu. Toilet mungkin terlalu jauh bagi klien

yang mengalami inkontinensia urgensi.

3) Tipe Inkontinensia dan Manifestasi klinis

Ada beberapa macam jenis inkontinensia :

a) Inkontinensia stress

Inkontinensia stress disebabkan oleh peninggian tekanan intra abdomen yang melebihi

tahanan dan tekanan urtra tanpa kontraksi otot dekstrusor misalnya saat batuk, bersin,

angkat barang dan tertawa.

Penanganan

• Penanganan dilakukan oleh ahli ginekologi, bila penderita datang dengan keluhan

utama prolapsus uterus dan inkontinensia.

• Dilakukan pemeriksaan lengkap untuk menjaminkan indikasi operasi yang tepat.

Pengobatan konsevatif pada wanita menopause kadang sediaan estrogen bisa

membantu. Digunakan pula alfa simpatikomimetig.

• Fisioterapi berupa latihan otot panggul mungkin berakhir baik.

• Pengobatan pesarium seperti digunakan pada desensus uterus dapat juga digunakan

untuk inkontinensia strees pada penderita yang tidak dapat dioperasi. Ukurannya

harus cocok betul dan penderita harus diperiksa berulang-ulang untuk mencegah

infeksi dan ulkus vagina.

b) Inkontinensia urgensi

Page 12: Disfungsi Pola Urin

inkontinensia urgensi, keinginan untuk berkemih begitu mendesak berupa bentuk

perintah. Biasanya terjadi kontraksi dekstrusor yang tak dapat ditekan atau diabaikan,

dan tergantung tahanan uretra terjadi inkontinensia.

Penanganan

• Dilakukan latihan kandung kemih

• Terapi bedah, seperti transeksi kandung kemih, blok saraf sakral, atau

neourektomi sakral jarang menghasilkan perubahan atau keadaan yang

memuaskan.

c) Inkontinensia fungsional

Pada pasien inkontinensia fungsional terjadi adanya hambatan tertentu, pasien tidak

mampu untuk menjangkau toilet pada saat keinginan miksi timbul sehingga

kencingnya keluar tanpa dapat ditahan. Hambatan itu dapat berupa gangguan fisik,

gangguan kognitif, maupun pasien yang sedang mengkonsumsi obat-obat tertentu

misalnya diuretikum (bulu-buli cepat terisi), antikolinergik (gangguan kontraksi

detrusor), sedativa/hipnotikum (gangguan kognitif), narkotikum (gangguan kontraksi

detrusor), antagonis adrenergik alfa (menurunkan tonus spingter internus),

penghambat kanal kalsium (menurunkan kontraksi detrusor). Gangguan fisik yang

dapat menimbulkan inkontinensia fungsional antara lain : gangguan mobilisasi akibat

arthritis, stroke, atau ganggguan kognitif akibat suatu delirium maupun demensia.

Pada pasien tua sering kali mengeluh inkontinensia urin sementara (transient), yang

dipacu oleh beberapa keadaan yang disingkat dengan DIAPPERS Delirium, Infection

(infeksi saluran kemih), Atrophic vaginitis uretrhitis, Pharmaceutical, Psycological,

Excess urin output, Restricted mobility, dan Stool impaction.

d) Inkontinensia refleks (overflow)

Iskuria paradoks merupakan retensi urine yang menjadi inkontinensia, artinya betul-

betul bertentangan dengan yang disangka. Karena kandung kemih penuh dan

melampaui kapasitasnya, maka urine yang dihasilkan ginjal langsung keluar dari

kandung kemih yang penuh, sehingga terdapat kesan inkontinensia.

Penanganan

Page 13: Disfungsi Pola Urin

• Kateterisasi kandung kemih untuk megosongkannya dan kemudian harus

diambil tindakan untuk mencegah kekambuhan.

4) Pemeriksaan Diagnostik

Setelah adanya inkontinensia dikenali,anamneses riwayat sakit yang cermat

diperlukan.tindakan ini mencakup uraian yang rinci mengenai masalah tersebut dan

riwayat penggunaan obat-obatan.Riwayat urinasi,catatan eliminasi urin dan hasil tes

bedside(volume urine sisa sesudah urinasi,maneuver stress)dapat diginakan untuk

membantu menentukan tipe inkontinensia urin.Evaluasi diagnostic urodinamik yang lebih

ekstensif dapat dilakukan.

C. NEUROGENIC BLADDER

1) Definisi

Merupakan disfungsi blader (flaksid atau spastik) yang terjadi akibat lesi neurologi dengan

tanda utama inkontinensia reflek.

2) Etiologi

Kondisi yang mempengaruhi bladder dan signal saraf aferent dan eferent menyebabkan

neurogenik bladder, yaitu :

a) CNS (stroke, injury spinal, sklerosis over amiotropik,tumor).

Page 14: Disfungsi Pola Urin

b) Saraf perifer (diabetes, alkoholik, neuropati, defisiensi vitamin B12, kerusakan akibat

pembedahan pelvis, herniasi piringan sendi spinal)

c) Keduanya (syndrome parkinson, sklerosis multiple, siphylis).

3) Tipe neurogenik bladder :

a) Flaksid (hipotonik)

Volume banyak, tekanan rendah, tidak ada kontraksi.

Penyebab :

Kerusakan saraf perifer atau korda spinalis pada S2 sampai S4. Setelah kerusakan

akut korda spinalis segera terjadi flateriditas dan spastisitas yang lama, atau fungsi

bladder membaik setelah berhari-hari, bahkan berbulan-bulan.

b) Spastik

Volume normal dan kecil, terjadi kontraksi involunter.

Penyebab :

Kerusakan otak atau kordaspina di atas T12. Gejalanya bervariasi tergantung lokasi

dan keparahan lesi. Kontraksi bledder dan relaksasi spincter urinary externa tidak

terkoordinasi (disfungsi spincter).

c) Campuran

Penyebab :

Siphylis, diabetes, tumor otak atau spinal cord, stroke, ruptur piringan sendi

intervertebra, kelainan degeneratif, atau demielinasi (sklerosis multple, sklerosis

lateral amiotropik).

5) Tanda dan gejala

• Utama : inkontinensia reflek dengan blader spatik atau flaksid.

• Urin tertumpuk di blader, menetes konstan.

Page 15: Disfungsi Pola Urin

• Disfungsi ereksi

• Pada blader spastik terjadi frekuensi, nokturia, urgensy atau paralysis spastik dengan

defisit sensori.

6) Komplikasi :

• Infeksi saluran kemih berulang dan batu urinarius.

• Bisa terjadi hidronefrosis dengan refluk vesikoureter karena volume urine yang besar

meningkatkan tekanan pada percabangan vesikoureter, menyebabkan disfungsi

dengan refluks, padas kasus yang berat terjadi nefropati.

• Pada lesi korda spinal thorax tinggi atau servikal terjadi disrefleksia otonomik

(syndrome hipertensi maligna yang mengancam jiwa, Bradikardi atau takikardi, nyeri

kepala, keringat berlebihan akibat hiperaktivitas simpatis yang tidak teratur).

Kelaianan ini dipicu distensi bledder akut (retensi urine) atau distensi usus (akibat

konstipasi atau impaksi fekal).

7) Test Diagnostik

1. Volume risidu post miksi.

2. USG renal

Untuk mendeteksi hidronefrosis.

3. Serum kreatinin

Untuk mengkaji fungsi renal.

4. Sistografi

Untuk mengevaluasi kapasitas bladder dan mendeteksi refluks.

5. Sistoskopi

Untuk mengevaluasi durasi dan keparahan retensi (dengan mendeteksi turborkulasi

blader) dan untuk memeriksa obstruksi saluran luar bladder

6. Sistometografi

Page 16: Disfungsi Pola Urin

Menentukan volume dan tekanan bladder jika dilakukan selama fase lekovery pada

bladder yang fraksid sesudah trauma corda spinal, bisa membantu evaluasi kapasitas

fungsional detensor dan memprediksi prospek rehabilitasi.

a. Test urodinamik terhadap pancaran urine rata-rata dengan elektromiografi

spingter bisa menunjukkan apakah kontraksi bladeer dan relaksasi spincter

terkoordinasi.

8) Penatalaksanaan

1. Kateterisasi

Pada blader flaksid terutama jika disebabkan trauma korda spinal, dilakukan

kateterisasi menetap atau intermitten. Kateterisasi intermitten .... dipilih daripada

kateterisasi indwelling, karena kateterisasi indwelling lebih beresiko terjadi infeksi

saluran kemih (ISK) berulang, pada laki-laki beresiko tinggi terjadi ureteritis,

perinetritis, abses prostat, fistula uretra. Kateterisasi supra pubik dipasang jika pasien

tidak bisa melakukan kateterisasi mandiri.

2. Penatalaksanaan umum

• Pengawasan fungsi renal

• Mengontrol ISK

• Asupan cairan adekuat untuk menurunkan ISK dan batu urinarius (meskipun

bisa memperoleh inkontinensia)

• Ambulasi dini

• Penggantian posisi yang sering

• Restruksi diet Ca untuk menghambat pembentukan batu

3. Pada blader spastik, penanganan tergantung pada kemampuan pasien menahan urine.

Pasien yang bisa menahan kencing dengan volume normal bisa menggunakan teknik

merangsang kemih (menekan daerah suprapubik, merentangkan paha) atau diberi

antikolinergik. Bagi pasien yang tidak bisa menahan kencing secara normal,

Page 17: Disfungsi Pola Urin

penangannya sama dengan inkontinensia urgensi terutama obat-obatan dan stimulasi

saraf sakral.

4. Pembedahan

Merupakan pilihan terakhir. Indikasinya jika pasien mengalami kejadian akut yang

parah atau kronis kedua atau jika kondisi sosial, spastisitas atau kuadriplegi tidak

memungkinkan kateterisasi intermitten maupun menetap.

• Spingterotomy (pada laki-laki)

Mengubah blader menjadi saluran drainage terbuka

• Rizotomi sacral (S3 dan S4)

Mengubah blader spastik menjadi flaksid

• Diversi urinarius

Meliputi saluran ileum atau ureterostomy

• Pemasangan spingter urin buatan yang dikontrol secara mekanis dilakukan

pada pasien yang memiliki kapasitas blader adekuat, pengosongan blader yang

baik dan tergolong kelainan kemampuan motorik ekstremitas atas (UMN),

pasien bisa memahami penggunaan obat. Jika pasien tidak mengikuti instruksi

bisa terjadi situasi mengancam jiwa (gagal ginjal, urosepsis).

Page 18: Disfungsi Pola Urin

B. Konsep Keperawatan

1. Pengkajian

Untuk mengidentifikasi masalah eliminasi urine dan mengumpulkan data guna

menyusun suatu rencana kepe-rawatan, perawat melakukan pengkajian riwayat kepe-rawatan,

melakukan pengkajian fisik, mengkaji urine klien, dan meninjau kembali informasi yang

telah diperoleh dari tes dan pemeriksaan diagnostik.

Riwayat Keperawatan

Riwayat keperawatan mencakup tinjauan ulang pola eliminasi dan gejala-gejala

perubahan urinarius, serta mengkaji faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kemampuan

klien untuk berkemih secara normal.

a. Pola Perkemihan

Perawat menanyakan pada klien mengenai pola berkemih hariannya, termasuk

frekuensi dan waktunya, volume normal urine yang dikeluarkan setiap kali berkemih, dan

adanya perubahan yang terjadi baru-baru ini. Frekuensi berkemih bervariasi pada setiap

individu dan sesuai dengan asupan serta jenis-jenis haluaran cairan dari jalur yang lain.

Waktu berkemih yang umum saat bangun tidur, setelah makan, dan sebelum tidur.

Kebanyakan orang berkemih rata-rata sebanyak lima kali atau lebih dalam satu hari. Klien

yang sering berkemih pada malam hari kemungkinan mengalami penyakit ginjal atau

pembesaran prostat. Informasi tentang pola berkemih merupakan dasar yang tidak dapat

dipungkiri untuk membuat suatu perbandingan.

b. Faktor yang Mempengaruhi Perkemihan

Perawat merangkum faktor-faktor dalam riwayat klien, yang dalam kondisi normal

mempengaruhi perkemihannya, seperti usia, faktor-faktor lingkungan, dan riwayat

pengobatan. Pengkajian pada lansia perlu dilakukan dengan teliti. Perubahan normal

dalam proses penuaan memprediposisi timbulnya masalah eliminasi pada lansia. Nama,

jumlah, dan frekuensi obat-obatan yang diresepkan harus dicatat. Obat-obatan yang dijual

bebas dan terpapar dengan larutan pembersih, pestisida, atau obat-obatan lain yang bersifat

nefrotoksik juga merupakan aspek penting pada riwayat klien. Barier lingkungan di rumah

atau di unit perawatan kesehatan juga dievaluasi. Klien mungkin membutuhkan sebuah tempat

Page 19: Disfungsi Pola Urin

duduk toilet yang tinggi, tempat pegangan tangan, atau wadah berkemih yang portabel

(mudah dibawa). Perawat mengobservasi adanya keterbatasan sensorik, misalnya pada klien

yang memiliki masalah penglihatan dan mungkin memiliki kesulitan untuk mencapai

toilet. Apabila klien mengalami kesulitan dalam mengkoordi-nasikan tangannya, perawat

perlu mengkaji jenis pakaian yang dapat klien kenakan dan kemudahan klien dalam

mengajicingkan pakaiannya.

E. PENGKAJIAN FISIK

1) B1 breathing

Pada pasien dengan masalah disfungsi perkemihan biasanya pada sistem pernapasan

tidak ditemukan kelainan.

2) B2 blood

Perawat perlu mengkaji apakah klien merasakan nyeri dada, pusing, kram kaki, sakit

kepala, palpitasi, clubing finger, suara jantung, edema, dan CRT.

3) B3 brain

Kaji tingkat kesadaran klien dengan GCS.

GCS : E= 4 V=5 M= 6 Total nilai: 15

4) B4 blader

- Ginjal

Apabila ginjal terinfeksi atau mengalami peradangan, biasanya akan timbul nyeri

di daerah pinggul. Adanya nyeri tekan di daerah pinggul pada awal penyakit pada

saat memperkusi sudut kostovertebra (sudut yang dibentuk oleh tulang belakang

dan tulang rusuk ke-12). Peradangan ginjal menimbulkan nyeri selama perkusi

dilakukan. Auskultasi juga dilakukan untuk mendeteksi adanya bunyi bruit di arteri

ginjal (bunyi yang dihasilkan dari perputaran aliran darah yang melalui arteri yang

sempit).

Perawat yang memiliki keterampilan tinggi belajar mempalpasi ginjal selama

proses pemeriksaan abdomen. Posisi, bentuk, dan ukuran ginjal dapat

mengungkapkan adanya masalah seperti tumor.

Page 20: Disfungsi Pola Urin

- Kandung Kemih

Pada orang dewasa, kandung kemih terletak di bawah simfisis pubis dan tidak

dapat diperiksa oleh perawat. Saat kandung kemih berdistensi, kandung kemih

terangkat sampai ke atas simfisis pubis pada garis tengah abdomen dan dapat

membentang sampai tepat di bawah umbilikus. Pada inspeksi, perawat dapat

melihat adanya pembeng-kakan atau lekukan konveks pada abdomen bagian bawah.

Perawat dengan perlahan mempalpasi abdomen bagian bawah. Kandung kemih

dalam keadaan normal teraba lunak dan bundar. Saat perawat memberi tekanan

ringan pada kandung kemih, klien mungkin akan merasakan suatu nyeri tekan

atau bahkan sakit. Walaupun kandung kemih tidak terlihat, palpasi dapat

menyebabkan klien merasa ingin berkemih. Perkusi pada kandung kemih yang

penuh menimbulkan bunyi perkusi tumpul.

5) B5 bowel

Perubahan pada bising usus, distensi abdomen. Perubahan pada pola defekasi misal

terdapat darah pada feses, nyeri pada defekasi.

6) B6 bone

Perawat mengkaji kondisi kulit klien. Masalah eliminasi urine sering dikaitkan

dengan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Perawat mengkaji status hidrasi

klien dengan mengkaji turgor kulit dan mukosa mulut. kelemahan/ keletihan,

keterbatasan partisipasi pada latihan.

F. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

a. Urinalisis

Pemeriksaan urinalisis merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan pada kasus urologi.

Pemeriksaannya meliputi :

1. Makroskopik dengan menilai warna, bau, dan berat jenis urine.

2. Kimiawi, meliputi : pemeriksaan derajat keasaman (Ph), protein, dan gula dalam

urine.

Page 21: Disfungsi Pola Urin

3. Mikroskopik mencari kemungkinan adanya sel-sel, cast (silinder) atau bentukan lain

dalam urin.

Urine mempunyai Ph yang bersifat asam yaitu rata-rata 5,5 – 6,5. Jika didapatkan Ph yang

relatif basa kemungkinan terdapat infeksi oleh bakteri pemecah urea,sedangkan jika pH

yang terlalu asam kemungkinan terdapat asidosis pada tubulus ginjal atau ada batu asam

urat.

BAB 3

Page 22: Disfungsi Pola Urin

TINJAUAN KASUS DAN ASKEP

TINJAUAN KASUS

PASIEN DATANG DI UGD RSUD DR SOETOMO DENGAN KELUHAN TIDAK BISA

KENCING SEJAK TADI MALAM,KENCING HANYA MENETES BERWARNA

KEMERAHAN DAN SAKIT,PERUT BAGIAN BAWAH MEMBESAR DAN NYERI

BILA DITEKAN.

A. PENGKAJIAN DATA

Tanggal pengkajian : 19 Maret 2011

Tanggal MRS : 19 Maret 2011

1. IDENTITAS

Nama : Tn.J.

Umur : 63 tahun.

Jenis Kelamin : Laki-laki.

Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia.

Agama : Islam.

Pekerjaan : wiraswasta.

Pendidikan : SLTA

Alamat : Kali Tengah Lamongan

Diagnosa medis: Tumor prostat

2. Keluhan Utama

Pasien mengatakan kencing hanya bisa menetes, tidak dapat tuntas, terasa ada sisa, dan

terasa nyeri.

3. Riwayat Keperawatan (Nursing History)

Page 23: Disfungsi Pola Urin

a. Riwayat Penyakit Sebelumnya:

Klien ada riwayat kencing menetes sejak 6 bulan yang lalu dan ± 2 hari yang lalu klien

merasa diperut bagian bawahnya terasa membesar dan nyeri tekan

b. Riwayat Penyakit Sekarang:

Klien mengatakan kencing hanya bisa menetes, tidak dapat tuntas, terasa ada sisa,

pancaran tidak jauh dan terasa nyeri disertai dengan keluar darah. Klien merasa ada

benjolan pada perut bagian bawah dan masih kecil. Upaya yang telah dilakukan berobat

ke RS Muhammadiyah kemudian dirujuk ke RSU Dr. Soetomo pada tanggal 19 Maret

2011 pukul 12.00 WIB dan telah dilakukan pemasangan kateter dan diberikan irigasi

cairan untuk mengurangi perdarahan.

c. Riwayat Kesehatan Keluarga:

Dalam keluarganya tidak ada yang menderita penyakit seperti yang diderita oleh klien

sekarang ini.

d. Keadaan Kesehatan Lingkungan:

Klien tinggal di perkampungan yang kondisinya sangat sederhana.

e. OBSERVASI DAN PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum: CM, terbaring di tempat tidur, kondisi umum terlihat lemah.

Klien tampak pucat, melakukan aktivitas seperlunya.

Tanda-tanda Vital:

Suhu 36,5oC/axilla, nadi kuat dan teratur, 84x/menit, tensi diukur dengan klien berbaring

pada lengan kiri, hasilnya 130/90 mmHg, pernafasan normal, 20x/menit.

SISTEM TUBUH (BODY SYSTEMS):

Page 24: Disfungsi Pola Urin

a. PERNAFASAN (B1: BREATHING)

Pernafasan vesikuler, tidak ada retraksi intercostals, Rh -/-. Wh -/-/, batuk (-), pilek

(-)

b. CARDIOVASCULAR (B2: BLEEDING)

Nyeri dada (-), Jantung S1S2 tunggal normal HT 130/90 mmHg, Odema

ekstremitas atas dan bawah (-)

c. PERSYARAFAN (B3: BRAIN)

Kesadaran: compos mentis.

GCS : E= 4 V=5 M= 6 Total nilai: 15

Kepala dan wajah: tidak ada kelainan, kesan= pucat.

Mata sklera: tidak icterus, conjunctiva: pucat, pupil : isokor.

Leher: tekanan vena jugularis normal. Klien tidak mengalami cegukan.

d. PERKEMIHAN- ELIMINASI URI (B4: BLADDER)

Produksi urine : dalam 24 jam + 700 ml, keluar melalui dower kateter yang

terpasang sejak tanggal 19 Maret 2011, terpasang irigrasi Nacl

0,9 %

Warna : merah. Bau: agak amis.

Lainnya : teraba massa supra sympisis, diameter 10 x 10 cm, keras,

fixed.

e. PENCERNAAN – ELIMINASI ALVI (B5: BOWEL)

Mulut dan tenggorok : kering, agak merah (iritasi).

Page 25: Disfungsi Pola Urin

Abdomen : supel, distensi (-)

Rectum : tidak ada kelainan.

BAB : 1 kali/ hari.

Konsistensi : keras. Ada konstipasi.

Berat Badan (BB) : sebelum MRS = 70 kg.

Pada waktu pengkajian = 65 kg.

Diet : TKTPRG.

Pelvis :

- Flank mass _/-, flank pain -/-

RT :

- BCR (-), TSA (+), Prostat membesar, Nodul (-)

f. TULANG – OTOT – INTEGUMEN (B6: BONE)

Kemampuan pergerakan sendi: bebas. Tidak ada parese, paralise maupun

hemiparese.

Extremitas:

- Atas : tidak ada kelainan.

- Bawah : tidak terdapat edema pada tungkai kiri.

Tulang Belakang: tidak ada kelainan.

Kulit:

-Warna kulit: pucat.

- Akral : hangat kering.

- Turgor: cukup.

g. SISTEM ENDOKRIN

Terapi hormon: tidak ada.

Page 26: Disfungsi Pola Urin

h. SISTEM HEMATOPOITIK

Diagnosis penyakit hematopoitik yang lalu:

- Anemia.

- Transfusi darah.

- Tipe darah: PRC 2 kolf

i. REPRODUKSI

Laki-laki

Penis : klien telah disirkumsisi.

Scrotum: tidak terdapat edema minimal.

j. PSIKOSOSIAL

Konsep diri:

Identitas

Status klien dalam keluarga: suami dari 1 isteri dan anak satu

Kepuasan klien terhadap status dan posisinya dalam keluarga: puas.

Peran

Tanggapan klien terhadap perannya: senang.

Kemampuan/kesanggupan klien melaksanakan perannya: sanggup.

Kepuasan klien melaksanakan perannya: puas.

Ideal diri/Harapan

Harapan klien terhadap:

- Tugas/pekerjaan: dapat melakukan pekerjaan seperti biasa (sebagai

wirawasta).

- Tempat/lingkungan kerja: dapat kembali bekerja seperti semula.

Harapan klien terhadap penyakit yang sedang dideritanya:

Klien berharap agar segera dilakukan operasi biar cepat sembuh.

Page 27: Disfungsi Pola Urin

Lainnya: klien menganggap apabila tumornya diangkat dengan operasi maka ia

akan sembuh total.

Harga diri

Tanggapan klien terhadap harga dirinya: sedang.

Sosial/Interaksi

Hubungan dengan klien : tidak kenal.

Dukungan keluarga : aktif.

Dukungan kelompok/teman/masyarakat : kurang.

Reaksi saat interaksi : kontak mata.

Konflik yang terjadi terhadap : tidak ada

k. SPIRITUAL

1. Konsep tentang penguasa kehidupan: Allah SWT.

2 Sumber kekuatan/harapan saat sakit: Allah SWT, tenaga dokter dan perawat serta

dukungan keluarga.

3 Ritual agama yg berarti/diharapkan saat ini: dapat melaksanakan sholat dengan baik

(selama dirawat klien sholat di TT).

4 Sarana/peralatan/orang yg diperlukan dlm melaksanakan ritual agama yg diharapkan

saat ini: taa

5 Upaya kesehatan yang bertentangan dgn keyakinan agama: taa

6 Keyakinan/kepercayaan bahwa Tuhan akan menolong dlm menghadapi situasi sakit

saat ini: sangat yakin Tuhan akan membantu kesembuhan.

7 Keyakinan/kepercayaan bahwa penyakit dapat disembuhkan: sangat yakin.

8 Persepsi thd penyebab penyakit: tidak tahu.

IV Pemeriksaan Penunjang

Page 28: Disfungsi Pola Urin

Pemeriksaan laboratorium tanggal 19-03-2011:

- Leukosit : 9,9 x 1000/UL

- Erythrocyt: 3,33 x 1 juta/UL

- Hb : 10,4 g/dl.

- PCV : 30,1%

- MCV : 40,4 FL

- MCH : 31,2

- Trombosit : 310 x 1000/UL

- Albumin : 3,5 g/dl.

- Diff count : 2/-/3/31/14/-

- LED : 98 mm/jam.

Pemeriksaan mikrobiologi

Tanggal 20-03-2011 hasil; tanggal 22-03 -2011

Sediaan mengandung sedikit sel epithel squamosa, sel-sel radang tidak ditemukan

keganansan

IVP : Iregulasitas dinding buli-buli oleh karena obstruksi kronis, keadaan ginjal dan

ureter normal

- USG urologis tanggal 21-03-2011

Ditemukan Bood clot di buli-buli

Terapi:

Infus RL : D5= 2 : 3 20 tetes/menit.

Irigasi PZ

Klanex 3x1 amp

Mobilisasi

Kultur urine, IVP, Endosopi

Page 29: Disfungsi Pola Urin

Gangguan saluran kemih (ISK)

Efek obat (diuretik, antikolinergik)

Produksi urine meningkat (DM, gagal jantung kongestif)

Disfungsi pola berkemih berkemih

Hambatan / obtruksi uretra Inkoordinasi antara detrusor uretra

Kelainan otot detrusor

Kegagalan pengeluaran urine

Kegagalan pengisian

Inkontinensia urine

Distensi VU

ISKKerusakan kandung kemih

Inkontikensia fungsional

Nyeri akut

Retensi urin

Gangguan pola eliminasi urine

Cemas

kronis

Inkontinensia overflow/refleks

Genetalia eksterna basah

Resiko infeksi

Iritasi kulit

Gangguan integritas kulit

Kelainan VU (overaktifitas detrusor, komplians VU ↓)

Kelainan uretra (hipermobilitas uretra, defisiensi spingter intrinstrik)

Inkontinensia urgensi

Frekuensi/nokturia

Gangguan pola tidur

urgensi

ngompol

Gangguan konsep diri : HDR

Inkontinensia stres

Takut minum

Resiko kurang volume cairan

Perubahan pola seksualitas

WOC INKONTINENSI DAN RETENSI URIN

Hidroureter dan hidro

nefrosisi

Page 30: Disfungsi Pola Urin

WOC NEUROGENIC BLADDER

Lesi otak / supraspinal

Kelainan neurologis UMN suprapontin: stroke, tumor otak, Parkinson, hidrosepalus, cerebral palsy, sky-drager syndrome

Lesi korda spinal

Kecelakaan lalu lintas, menyelam, sklerosis multipel

Cidera korda sacral

Tumor korda sacral, herniasi piringan sendi korda sacral, cidera pelvis, laminektomi lumbal, histerektomy radikal, reseksi abdominoperineal

Cidera saraf perifer

DM, AIDS

Hiperrefleksia detrusor / overaktif

Blader spastik

Frekuensi, urgensi, nokturia, inkontinensia urgensi

Perubahan pola eliminasi urin

Disinergi spingter detrusor dengan

hiperefleksia detrusor (DSD-DH)

Blader & spingter eksterna spastik

Detrusor arefleksia

Sensasi penuh pada blader (-)

Kontraksi blader (-)

Neuropati saraf perifer

Inkontinensia overflow

Retensi urin

Saraf blader terkena terkenarusak

Retensi urin kronisGangguan pola tidur

Gangguan citra tubuh

Distensi blader tanpa gejala

Cemas

Page 31: Disfungsi Pola Urin

ANALISA DATA

TANGGAL KELOMPOK DATA KEMUNGKINAN

PENYEBAB

MASALAH DIAGNOSA

KEPERAWATAN29 -03-2009 S: Klien mengatakan kencingnya

masih berwarna merah &

menetes.

O:-Warna kencing merah & berbau

amis.

-Produksi urine dalam 24

jam:500 ml.

S: Klien menanya- kan kapan

opera-sinya dilaksana-kan,

karena biaya selama menunggu

jadwal operasi se-makin menipis.

O: -Operasi belum di lakukan.

-Klien gelisah.

Blood Clothing akibat

tumor prostat.

Situasi krisis & sosio

ekonomi.

Gangguan eli-minasi

urine (retensi)

Cemas

Gangguan eliminasi urine

(retensi) berhubungan dengan

blood clothing sekunder

terhadap adanya tumor.

Cemas berhubungan dengan

situasi krisis dan sosio

ekonomi.

Page 32: Disfungsi Pola Urin

-Klien tampak kelelahan.

-Mata klien tam-pak merah kare-

na kurang tidur.

Page 33: Disfungsi Pola Urin

RENCANA TINDAKAN PERAWATAN

NO DIAGNOSA KEPERAWATAN

& HASIL YANG DIHARAPKAN

RENCANA TINDAKAN RASIONAL

1 Gangguan eliminasi urine (retensi)

berhubungan dengan pembesaran

prostat(tumor).

Tujuan:

- Retensi urine berkurang dalam waktu 1x24

jam.

Kriteria Hasil:

- Klien berkemih volunteer

- Residu urine kurang dari 50 cc.

- Urine tidak lagi berwarna merah &

menetes.

a. Anjurkan klien untuk banyak minum air putih.

b. Kembangkan kembali program latihan Buli-buli

atau pengkondisian kembali.

c. Ajarkan klien meregangkan abdomen &

melakukan manuver varsava jika diindika-sikan.

d. Ajarkan klien manuver crede jika diindikasikan.

e. Ajarkan klien manuver regangan anal jika

diindikasikan.

f. Ukur residu pasca berkemih setelah usaha

g. Mengosongkan Buli-buli jika volume urine lebih

dari 100 cc. Jadwalkan program kateterisasi

intermitten.

h. Observasi pemberian cairan irigasi pada

kandung kencing lewat kateter three way

i. Observasi intake dan output cairan

j. Lakukan perawatan kateter setiap hari

a. Agar tidak sempat terbentuk

bekuan darah.

b. Agar kandung ke-mih dapat

berfungsi kembali secara nor-mal.

c, d, dan e.

Untuk melatih mengosongkan kandung

kemih secara bertahap/sesuai teknik-

teknik tertentu.

f. Untuk mengetahui efektifitas latihan

Buli-buli, bila gagal dapat segera

diambil tindakan dengan kateterisasi.

g.Observasi intake dan output untuk

mengkaji konsistensi, warna dan

Page 34: Disfungsi Pola Urin

2.

Cemas berhubungan dengan situasi krisis

(kanker) & sosio ekonomi.

Tujuan:

a. Klien dapat mengurangi rasa cemasnya.

b. Klien rileks & dapat melihat dirinya

secara objektif.

c. Menunjukkan koping yang efektif.

Kriteria Hasil:

a. Tentukan pengalaman klien sebelumnya terhadap

penyakit yang dideritanya.

b.Berikan informasi tentang prognosis secara akurat.

c. Jelaskan pengobatan, tujuan dan efek samping. Bantu

klien mempersiapkan diri dalam pengobatan.

obstruksi dalam kandung kencing.

h. Intake dan output untuk menentukan

balance cairan.

i. Mencegah infeksi

a. Data-data mengenai pengalaman

klien se-belumnya akan mem berikan

dasar untuk penyuluhan dan

menghindari adanya duplikasi.

b.Pemberian informasi dapat membantu

klien dalam memahami proses

penyakitnya.

c. Membantu klien dalam memahami ke-

butuhan untuk pengobatan dan efek

sampingnya.

Page 35: Disfungsi Pola Urin

a. Klien melaporkan perasaan cemasnya

berkurang.

b. Klien menyatakan pemahamannya

tentang penyakit.

d. Catat koping yang tidak efektif seperti kurang

interaksi sosial.

e. Anjurkan untuk mengembangkan interaksi dengan

support sistem.

f. Berikan lingkungan yang tenang dan nyaman.

d. Mengetahui dan menggali pola

koping klien serta

mengatasinya/memberikan solusi dalam

upaya meningkatkan kekuatan dalam

mengatasi kecemasan.

e. Agar klien memperoleh dukungan

dari orang yang terdekat/keluarga.

f. Memberikan kesempatan pada klien

untuk istirahat.

Page 36: Disfungsi Pola Urin
Page 37: Disfungsi Pola Urin

DAFTAR PUSTAKA

Black, Joyce M & Esther Matassarin-Jacobs. 1997. Medical Surgical Nursing : Clinical

Management for Continuity of Care, Edisi 5, W.B. Saunders Company,

Philadelphia

Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. EGC. Jakarta.

Doenges, Marilyn E, et all. 1993. Nursing Care Plans : Guidelines for Planning and

Documenting Patient Care, Edition 3, F.A. Davis Company, Philadelphia.

Gale, Danielle & Charette, Jane. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi. EGC.

Jakarta.

Long, Barbara C. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Alih Bahasa: Yayasan Ikatan Alumni

Pendidikan Keperawatan Pajajaran Bandung, Edisi 1, Yayasan IAPK Pajajaran,

Bandung.

Purnomo, Basuki. (1999). Dasar-Dasar Urologi Edisi Kedua. Jakarta: Sagung Seto.

Guyton & Hall. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC

Luckman & Sorensen . (1990). Medical Surgical Nursing. Philadelphia: W.B Saunders

Company

Page 38: Disfungsi Pola Urin

MAKALAH KEPERAWATAN PERKEMIHAN

ASUHAN KEPERAWATAN DISFUNGSI POLA BERKEMIH

( RETENSI URINE,INCONTINENSIA URINE,NEUROGENIC BLADDER)

KELOMPOK I :

INDAH NURSANTI M.HARTONO

MARIA D. DARI DEVI HERINA L

YUSI YANUARI MAYA SINDHI

TEGUH HERI K YULIS ROMADHONA

MARGARETHA D

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2011

Page 39: Disfungsi Pola Urin