desertase lengkap ujian tutup - universitas udayana · í ñ %$% ,, .$-,$1 3867$.$ .216(3 /$1'$6$1...

40
15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian mengenai relasi kuasa pada masyarakat, telah banyak ditulis dan dilakukan oleh beberapa peneliti dalam upaya memahami relasi yang terjalin antarkelompok pada masyarakat nelayan. Di antaranya sebagai berikut. Penelitian (Lampe, 2015) merupakan salah satu model penelitian yang sangat relevan dengan penelitian ini. Penelitiannya yang berjudul: Punggawa-Sawi Nelayan Bugis-Makassar dalam Analisis Relasi Internal Dan Eksternal. Munsi Lampe menyimpulkan bahwa kebertahanan dan dinamika Punggawa-Sawi Nelayan Bugis-Makassar dimungkinkan dengan koeksistens dan koneksitas mutualis dengan pasar global sejak ratusan tahun silam dan dengan modernisasi perikanan laut kapitalis yang terjadi kemudian. Analisis relasional tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa kelembagaan tradisional Punggawa-Sawi merupakan sistem terbuka yang dinamis, bukan sistem tertutup penuh keseimbangan sebagaimana diasumsikan para penganut struktural-fungsional, tetapi tidak benar pula dilihat sebagai wadah pemolaan praktik perenggutan. Melalui analisis internal dan eksternal, fenomena kebertahanan dan dinamika Punggawa-Sawi dapat dilacak hingga ratusan tahun ke belakang (backward in time) dan jauh ke luar hingga pusat-pusat pasar ekspor (outward in space). Jadi, pada satu sisi, koeksistens dan koneksitas mutualis Punggawa-Sawi dengan pelaku pasar global dan modernisasi perikanan laut kapitalis (external

Upload: others

Post on 08-Feb-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 15

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

    DAN MODEL PENELITIAN

    2.1 Kajian Pustaka

    Kajian mengenai relasi kuasa pada masyarakat, telah banyak ditulis dan

    dilakukan oleh beberapa peneliti dalam upaya memahami relasi yang terjalin

    antarkelompok pada masyarakat nelayan. Di antaranya sebagai berikut.

    Penelitian (Lampe, 2015) merupakan salah satu model penelitian yang

    sangat relevan dengan penelitian ini. Penelitiannya yang berjudul: Punggawa-Sawi

    Nelayan Bugis-Makassar dalam Analisis Relasi Internal Dan Eksternal. Munsi

    Lampe menyimpulkan bahwa kebertahanan dan dinamika Punggawa-Sawi

    Nelayan Bugis-Makassar dimungkinkan dengan koeksistens dan koneksitas

    mutualis dengan pasar global sejak ratusan tahun silam dan dengan modernisasi

    perikanan laut kapitalis yang terjadi kemudian. Analisis relasional tersebut

    menunjukkan dengan jelas bahwa kelembagaan tradisional Punggawa-Sawi

    merupakan sistem terbuka yang dinamis, bukan sistem tertutup penuh

    keseimbangan sebagaimana diasumsikan para penganut struktural-fungsional,

    tetapi tidak benar pula dilihat sebagai wadah pemolaan praktik perenggutan.

    Melalui analisis internal dan eksternal, fenomena kebertahanan dan

    dinamika Punggawa-Sawi dapat dilacak hingga ratusan tahun ke belakang

    (backward in time) dan jauh ke luar hingga pusat-pusat pasar ekspor (outward in

    space). Jadi, pada satu sisi, koeksistens dan koneksitas mutualis Punggawa-Sawi

    dengan pelaku pasar global dan modernisasi perikanan laut kapitalis (external

  • 16

    relations) justru mendorong proses dinamika struktur/relasi Punggawa-Sawi

    (internal relations) dan pada sisi lain, menjamin terjaganya inti-inti struktur/relasi

    tradisional yang menentukan kekokohannya. Lagi pula para pelaku usaha kapitalis

    dan pasar global justru banyak memanfaatkan dan bergantung pada fungsi tradisi

    sosial-budaya nelayan lokal, khususnya Punggawa-Sawi, karena dianggap sebagai

    pemberi keberuntungan usaha bisnis melalui keberlangsungan transaksi permintaan

    dan penawaran komoditas ekspor hasil laut sejak dahulu.

    Perbedaan penelitian dia atas, selain berbeda tempat, juga dapat dilihat yaitu

    (Lampe, 2015) fokus pada fenomena kebertahanan dan dinamika Punggawa-Sawi,

    sedangkan dalam penelitian ini diteliti relasi kuasa punggawa- sawi dalam

    kehidupan nelayan etnis Bajo di Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara, yang

    meliputi seluruh aspek, mulai aspek bentuk relasi kuasa, idiologi dalam relasi kuasa

    sampai pada implikasi yang terjadi pada masyarakat etnis Bajo. Objek yang dituju

    adalah relasi yang di bangun oleh para punggawa, di luar pengetahuan etnis Bajo

    sawi.

    Selanjutnya (Kusnadi, 2003) melakukan penelitian dengan judul “Bentuk

    Hubungan Kerja Punggawa dan Sawi dalam Kelompok Nelayan Ikan Terbang di

    Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan”. Kusnadi menyimpulkan bahwa sistem

    hubungan kerja membentuk relasi sosial tidak terlepas dari lingkungan yang

    memengaruhi kelompok tersebut. demikian juga pada kelompok nelayan ikan

    terbang di Sulawesi Selatan. Dinamika kelompok masyarakat nelayan di Sulawesi

    Selatan menjadi salah satu penyebab terjadinya kemunduran dalam kemandirian

    masyarakat nelayan di Kabupaten Takalar karena adanya sifat ketergantungan yang

  • 17

    sangat tinggi nelayan buruh (Sawi) terhadap nelayan yang memiliki modal

    (Punggawa). Penyebab tersebut juga menimbulkan terbentuknya kemiskinan yang

    bersifat struktural. Keberlanjutan hidup para Sawi (nelayan buruh) sangat

    bergantung pada bentuk hubungan kerja yang dibangun dengan juragannya dalam

    hal ini Punggawa dan kondisi keuangan.

    Penelitian Kusnadi dengan penelitian ini memiliki persamaan, yakni sama

    sama mengkaji tentang peran punggawa-sawi dengan pendekatan dan jenis

    penelitian, yaitu metode penelitian kualitatif. Di samping itu, teori yang digunakan

    juga memiliki kesamaan, di antaranya dalam penggunaan teori kapital sosial.

    Perbedaan dengan yang dilakukan saat ini adalah Kusnadi mengkaji Bentuk

    Hubungan Kerja Punggawa dan Sawi dalam Kelompok Nelayan Ikan Terbang di

    Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan”. menyimpulkan bahwa sistem hubungan

    kerja membentuk relasi sosial tidak terlepas dari lingkungan yang memengaruhi

    kelompok tersebut. sedangkan dalam penelitian ini dikaji “Relasi punggawa sawi

    dalam kehidupan nelayan etnis Bajo di Tiworo Kepulauan kecamatan Tiworo Utara

    Kabupaten Muna Barat Sulawesi Tenggara”, yang berkaitan dengan bentuk-bentuk

    relasi kuasa. Idiologi dalam relasi kuasa dan implikasi dari relasi kuasa, Objek dan

    lokasi penelitian juga mengambarkan perbedaan yang jauh.

    Penelitian yang dilakukan (Khadijah, 2013) mengangkat judul “Studi

    Hubungan Kerja Masyarakat Nelayan Kelurahan Ponjalae, Kecamatan Wara Timur

    Kota Palopo”. Gambaran penelitian yang dilakukan oleh Khadijah adalah hubungan

    antara nelayan buruh (Sawi) dan juragan (pungawa).Hasil penelitiannya meliputi

    beberapa hal, yakni pertama, Khadijah mengkaji faktor pendorong antara keduanya

  • 18

    yang menyebabkan hubungan kerja antara Sawi (nelayan buruh) dan Punggawa

    (juragan) yang terjadi dalam kelompok nelayan ikan terbang. Kedua, tidak hanya

    ingin melihat sistem bagi hasil yang terjadi dalam bentuk hubungan kerja, tetapi

    hak dan kewajiban dari masing-masing peran antara nelayan buruh dan juragan di

    luar bentuk hubungan kerja yang terbangun. Ketiga, aspek sosiologis lebih

    dikedepankan dengan melihat bentuk hubungan kerja dari sisi fungsi hubungan

    kerja bagi kehidupan masyarakat pesisir, struktur sosial serta modal sosial yang

    terdapat pada kelompok nelayan ikan terbang. Pada penelitian ini juga mengkaji

    bukan hanya peran kerja dan sistem bagi hasil antara juragan dan anak buah tetapi

    juga mengkajih mengenai sistem nilai yang dihasilkan dalam hubungan kerja

    tersebut serta terbentuknya lembaga atau pranata sosial sebagai wadah kehidupan

    dalam kelompok masyarakat pesisir.

    Pada dasarnya penelitian ini mengkaji hubungan kerja nelayan, tetapi fokus

    kajiannya terpusat pada hubungan antara nelayan buruh (Sawi) dan juragan

    (pungawa), tetapi tidak fokus masalah bagaimana relasi yang di bangun oleh

    kelompok nelayan punggawa untuk menguasai kelompok nelayan yang di

    pekerjakan yaitu kelompok nelayan sawi, Oleh karena itu, banyak perbedaan akan

    memperkaya khazanah keilmuan khususnya yang berhubungan dengan kearifan

    lokal masyarakat maritim di Indonesia. Hasil penelitian (Khadijah, 2013)

    digunakan sebagai pembanding dan salah satu kepustakaan untuk mengkaji relasi

    kuasa punggawa-sawi pada masyarkat nelayan etnis Bajo di Tiworo Utara.

    Penelitian lain yang juga mengkaji tentang hubungan patron-klien pada masyarakat

    nelayan adalah (Fargomeli, 2014). Judul penelitiannya adalah “Interaksi Kelompok

  • 19

    Nelayan dalam Meningkatkan Taraf Hidup di Desa Tewil Kecamatan Sangaji

    Kabupaten Maba Halmahera Timur”. Penelitian ini berupaya mengungkapkan pola

    interkasi kehidupan masyarakat nelayan di Desa Tewil Kecamatan Sangaji

    Kabupaten Maba Halmahera Timur dalam upaya mereka untuk meningkatkan taraf

    hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun berbagai upaya telah mereka

    lakukan namun umumnya taraf hidup berupa peningkatan kesejahteraan yang

    diharapkan mereka masih sulit terwujud. Hal tersebut disebabkan oleh karena

    kesulitan yang mereka alami untuk memperoleh modal usaha dari pemerintah

    sehingga pola hidup mereka bersifat subsistence dan sangat bergantung pada pola

    interaksi patron-client antara nelayan dengan para tengkulak selaku pemilik modal.

    Penelitian (Sufirudin, 2016) mengkaji tentang hubungan patron-klien

    dengan judul “Hubungan Patron Klien di antara Masyarakat Nelayan di Desa

    Kangkunawe Kecamatan Maginti Kabupaten Muna Barat Provinsi Sulawesi

    Tenggara. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa: hubungan antara patron-klien

    yang ada di Desa Kangkunawe dapat dilihat pada proposisi kunci yaitu proposisi

    sukses, pro-posisi pendorong, dan proposisi nilai. Pada proposisi-proposisi tersebut

    ditemukan terjalinnya hubungan di antara mereka yaitu karena adanya keuntungan

    yang mereka dapatkan baik bos maupun nelayan, terdapat juga tiga kelompok

    nelayan yaitu : pertama nelayan kelas atas yaitu nelayan yang memiliki modal besar

    dan peralatan tangkap yang modern dengan orientasi untuk mendapatkan

    keuntungan, kedua nelayan kelas menengah adalah nelayan yang memiliki

    peralatan tangkap modern tetapi masih sering bekerja terus-menerus di laut untuk

    menangkap ikan, dan ketiga nelayan kelas bawah adalah nelayan yang tidak

  • 20

    memiliki alat tangkap berupa perahu dan kalau memiliki perahu, hanya berukuran

    kecil dan bermesin kecil pula. terdapat juga Pada proses peminjaman uang oleh

    nelayan kepada bos terkadang membeda-bedakan nominal yang diberikan.

    Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Sufirudin dan penelitian ini, yaitu

    sama-sama meneliti etnis Bajo di Muna Barat. Itu berarti bahwa, Hubungan Patron

    Klien di antara Masyarakat Nelayan tetap dilaksanakan kendatipun di era

    modernisasi perikanan yang terjadi di Kabupaten Muna Barat. Perbedaannya antara

    penelitian yang dilakukan Sufirudin dan penelitian ini adalah meneliti proposisi

    sukses, pro-posisi pendorong, dan proposisi nilai pada hubungan Patron Klien di

    antara Masyarakat Nelayan etnis bajo

    Selanjutnya penelitian yang di lakukan (Zada, 1996) mengkaji konflik orang

    Bajo dengan judul “Nelayan Bajo Lewoleba di Lembata Kabupaten Flores Timur

    Nusa Tenggara Timur (Suatu Tinjauan Antropologi Maritim)”. Hasil penelitian

    menunjukkan bahwa kehadiran nelayan bagan dari Bima di Desa Lembata telah

    menimbulkan konflik perebutan tempat penangkapan ikan dengan nelayan Bajo.

    Namun karena laut adalah milik bersama (open access), dimana setiap orang dapat

    memanfaatkan, sehingga nelayan Bajo tidak mampu bersaing dengan hanya

    mengandalkan padat tenaga kerja (labor intensive). Keterbatasan modal yang

    dimiliki mengakibatkan mereka tetap dalam keadaan miskin dan hanya mampu

    menangkap ikan dalam skala kecil dan terlihatlah adanya konflik dalam

    memperebutkan areal penangkapan ikan antara nelayan Bajo dengan nelayan dari

    Desa Lambata Bima. Dalam konflik tersebut nelayan Bajo tergeser karena

    keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Pada kondisi yang demikian, orang Bajo

  • 21

    melanjutkan pengembaraan untuk mencarai tempat yang aman dan memberikan

    kehidupan. Sedangkan arah pengembaraan bisa menuju lautan dan bisa pula menuju

    daratan kalau kondisi memungkinkan. Karena di daratan sumber kehidupan tidak

    lagi bersifat milik bersama seperti halnya di laut.

    Penelitian (Sopher, 1971) tentang kehidupan orang laut yang hidup

    mengembara di Asia Tenggara dan menyimpulkan bahwa orang laut dicirikan

    dengan kehidupan mengembara di laut. Mereka hidup dalam perahu dan

    mengembara di sekitar pantai. Kebiasaan tersebut berkaitan erat dengan kehidupan

    ekonomi mereka, yaitu mengumpulkan hasil pantai dan berburu di laut. Oleh karena

    itu, mereka cenderung memilih wilayah kepulauan wilayah lepas pantai dan pulau-

    pulau kecil, yang bertujuan menghindari gangguan dan eksploitasi penduduk lain.

    Hasil penelitian Sopher ini, hanya berupa identifikasi ciri-ciri kehidupan orang laut

    yang suka mengembara di laut, baik yang tinggal di atas perahu maupun di sekitar

    pantai. Hal ini terkait dengan sifat ekonomi mereka yang tergantung pada sumber

    daya laut. Di samping itu mereka tetap berusaha untuk mengamankan sumber

    kehidupan mereka di laut dari eksploitasi penduduk darat.

    Penelitian yang dilakukan oleh Nur Isiyana Wianti (2011) adalah

    “Kapitalisme Lokal Suku Bajo (Studi Kasus Nelayan Bajo Mola Dan Mantigola,

    Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara). Penelitian ini berusaha

    mengungkap gambaran mengenai perbedaan orientasi perkembangan kapitalisme

    lokal, baik pada Bajo Mola yang progresif dalam perkembangan kapitalismenya,

    dan Mantigola cenderung lebih lambat menjustifikasi bahwa orang-orang Bajo

    melalui beragam tahap yang berbeda dalam menuju bentuk ekonomi kapitalisme

  • 22

    yang digambarkan melalui enam dimensi kapitalisme lokal yang telah digambarkan

    secara rinci dalam tulisan ini antara lain; (1) Profit maksimisasi, (2) Pola ekspansi

    ekonomi, (3) Individualisme profit properti, dan (4) Hubungan sosial produksi.

    Pemaknaan menunjukkan ciri-ciri lokal yang melekat pada bentuk ekonomi

    baik di Mola maupun Mantigola, yang bukan berarti menyebabkan kegagalan

    dalam berekonomi ekspansif, namun memberikan warna tersendiri terhadap

    kapitalisme yang terbentuk pada orang Bajo Mola dan Mantigola dalam bentuk

    gambaran rasionalitasnya. Ciri lokal dan kaitannya dengan konteks sosial (sphere

    of life) juga tidak dapat ditinggalkan sebagai faktor penting pembentuk kapitalisme

    lokal pada masyarakat Bajo. Semua temuan ini sekaligus juga membuktikan bahwa

    teori Boeke tentang simbol kelambanan lekat pada ekonomi pribumi tidak

    sepenuhnya benar bahwa ekonomi moneter dan kapitalisasi yang secara teori

    semestinya mentransformasikan pedesaan menuju ekonomi modern ternyata

    memberikan suatu gambaran perkembangan yang berbeda, yakni di satu sisi

    progresif, dan di sisi lain mengalami kemandekan ekonomi pribumi.

    Kapitalisme lokal suku Bajo juga berkembang melalui etika, namun etika

    yang dianut oleh masyarakat Bajo Mola yang kapitalis lokal tidak seperti etika yang

    dianut oleh para kapitalis penuh ala masyarakat Barat yang sangat individualisme.

    Maka dengan melihat ranah sejarah tersebut, teori Weber lebih bisa menjelaskan

    sejarah munculnya kapitalisme di aras individu. Sementara bentuk eksploitasi yang

    dilakukan oleh orang-orang Mola bukan seperti eksploitasi yang sangat serakah

    seperti yang diungkapkan oleh Marx, karena masih bercokolnya nilai-nilai tertentu

    yang mengatur kehidupan berekonomi ala suku Bajo.

  • 23

    penelitian yang di lakukan (Nasruddin, 2004) yang mengkaji tentang aspek

    hubungan antara etnis Bajo dan bukan Bajo, dengan berjudul “Perubahan Makna

    Sama dan Bagai pada Masyarakat Bajo di Desa Sulaho Kecamatan Lasusua

    Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

    perubahan makna sama dan bagai pada masyarakat Bajo telah melalui proses yang

    panjang berdasarkan periodisasi kehidupan yang pernah dilaluinya. Proses tersebut

    dimulai dengan periode awal kehidupan masyarakat Bajo, yang berasal dari

    Kampung Ussu, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. dalam mitos Sawerigading,

    banjir menghanyutkannya ke laut, sehingga mereka memulai kehidupannya sebagai

    orang laut, dengan cara hidup mengembara (nomaden). Untuk memenuhi berbagai

    kebutuhannya, mereka tetap berinteraksi dengan orang bagai khususnya orang

    Bugis. Interaksi yang semakin intensif, menyebabkan pola Budaya orang Bugis

    mulai diadaptasi oleh orang Bajo, termasuk pola pemukiman menetap di pinggir

    pantai hingga bermukim di darat.

    Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi perubahan makna sama dan

    bagai pada masyarakat Bajo di antaranya (1) karena adanya ikatan geneologis yaitu

    asal-usul yang sama dengan orang Bugis berdasarkan mitos Sawerigading, (2)

    orientasi ekonomi yaitu ketergantungan orang Bajo terhadap orang Bugis dalam

    memenuhi berbagai kebutuhannya, (3) keunggulan komparatif yaitu keunggulan-

    keunggulan yang dimiliki oleh orang Bugis terhadap orang Bajo, dalam berbagai

    aspek kehidupan sosial ekonomi, (4) upaya meningkatkan status sosialnya, sebagai

    masyarakat terasing yang melekat pada diri orang Bajo selama ini, menyebabkan

    mereka ingin tampil seperti orang Bugis.

  • 24

    Proses perubahan makna samma dan bagai menunjukkan perubahan

    kehidupan masyarakat Bajo dari laut ke darat yang tidak lagi membedakan dirinya

    (sama) dengan orang Bugis (bagai). Perubahan makna ini berimplikasi pada

    perubahan berbagai aspek kehidupan masyarakat Bajo, yang berorientasi pada

    budaya orang Bugis (akulturasi). Perubahan tersebut disebabkan karena adanya

    pelaku perubahan (pendukung kebudayaan) melakukan adaptasi, yang secara

    kasuistik dengan berbagai kebutuhan telah membawa kolektivitas masyarakatnya

    berubah. Dari temuan penelitian tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa

    proposisi berikut ini. (1) perubahan makna simbol identitas budaya dalam

    masyarakat, dapat berimplikasi pada perubahan perilaku. (2) perubahan

    kebudayaan dapat terjadi apabila para pendukung kebudayaan dengan berbagai

    kebutuhan, mampu beradaptasi terhadap perkembangan obyektif dalam kehidupan

    sosialnya.

    Penelitian lain yang juga mengkaji tentang hubungan antara nelayan dan

    juragan pada etnis Bajo dilakukan (Therik, 2008) yang berjudul “Nelayan Dalam

    Bayang Juragan: Potret Kehidupan Nelayan Tradisional Bajo di Tanjung Pasir,

    Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur”. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa

    situasi dalam belenggu utang (debt trap) membuat tingkat ketergantungan nelayan

    buruh terhadap bos sangat tinggi. Kondisi ini membuat nelayan buruh harus bekerja

    keras untuk melunasi utangnya pada bos yang semakin bertumpuk. Perubahan

    cuaca dan kondisi alam yang terkadang kurang bersahabat mengakibatkan nelayan

    buruh mengalami banyak cerita duka dibanding cerita sukanya. Kemiskinan,

    kesenjangan sosial, dan tekanan-tekanan kehidupan (eksploitasi) yang secara

  • 25

    intensif melanda rumah tangga nelayan buruh telah menghabiskan tenaga dan

    pikiran mereka untuk menghadapi atau mengatasinya.

    Penelitian yang dilakukan oleh (Hamzah, 2009) yang berjudul “Respons

    Komunitas Nelayan Terhadap Modernisasi Perikanan: Studi Kasus Nelayan Suku

    Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara”. Hasil

    penelitian tersebut menunjukan bahwa, di Desa Lagasa Modernisasi perikanan pada

    komunitas nelayan membawa dampak pada berbagai segi kehidupan nelayan.

    Misalnya pada penggunaan setiap jenis sarana menimbulkan konsekuensi atau

    dampak yang terjadi yakni pola kerja, struktur sosial serta tingkat kesejahteraan

    nelayan. Pola kerja pada setiap tahap peralihan teknologi dari yang paling

    sederhana yakni koli-koli, ngkuru-ngkuru sampai pada kapal motor gae

    menunjukan peningkatan efektifitas dan efisiensi pekerjaan. Dampak selanjutnya

    adalah berubahnya struktur sosial nelayan yang ditandai oleh timbulnya diferensiasi

    pekerjaan sebagai konsekuensi penggunaan mesin/motor maupun alat tangkap yang

    lebih modern.

    Berbagai posisi kerja menyebabkan nelayan etnis Bajo terstratifikasi dalam

    berbagai jenis lapisan. oleh karena pada beberapa aktivitas penangkapan

    membutuhkan tenaga kerja yang terampil, maka pembagian kerja (diferensiasi)

    mulai berlaku. diferensiasi pekerjaan tersebut menyebabkan pula terjadinya

    diferensiasi sosial. Sementara diferensiasi sosial nelayan menyebabkan perubahan

    struktur sosial dalam kehidupan nelayan. Perubahan tersebut berupa perubahan pola

    hubungan egaliter menjadi hierarkis tetapi tidak bersifat eksplotatif. Pada sistem

    stratifikasi, konteks komunitas, dasar pelapisan berubah dari ascribed dan achieved

  • 26

    status menjadi hanya berdasar achieved status. Hubungan antara Punggawa sebagai

    pemilik sarana produksi serta Sawi sebagai pekerja bukanlah bersifat eksploitatif,

    karena diantara mereka masih berlaku nilai-nilai budaya saling membantu baik

    dalam kelompok kerja maupun kehidupan sehari-hari. Sehingga pola hubungan

    tidak bersifat eksploitatif serta saling membutuhkan dengan kata lain perbedaan

    tersebut tidak menunjukan gejala polarisasi oleh karena masih berlakunya tradisi

    Bajo untuk saling membantu.

    Beberapa kajian di atas sangat bermanfaat bagi penelitian ini karena

    beberapa hasil penelitian tersebut dapat memberikan gambaran dan perbandingan

    yang berarti untuk meneliti dan mengkaji secara mendalam Relasi Kuasa

    Punggawa dan Sawi pada Masyarakat Nelayan Etnis Bajo di Tiworo Kepulauan

    Kecamatan Tiworo Utara, Kabupaten Muna Barat Provinsi Sulawesi Tenggara.

    Disamping itu, mendeskripsikan bentuk-bentuk relasi kuasa, ideologi dalam relasi

    kuasa, dan implikasi dalam relasi kuasa pada etnik Bajo.

    2.2 Konsep

    Ada beberapa konsep perlu dijelaskan yang berkaitan dengan judul

    penelitian “Relasi Kuasa Punggawa-Sawi pada Nelayan Etnis Bajo Di Tiworo

    Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat Provinsi Sulawesi

    Tenggara”. Konsep yang dijelaskan sebagai penunjang dalam penelitian ini adalah

    konsep Punggawa-Sawi, konsep patron-klien, konsep ideologi, konsep hegemoni,

    sebagaimana uraian berikut ini.

    2.2.1 Punggawa-Sawi

  • 27

    Nelayan Bajo yang ada di Kepulauan Tiworo dapat digolongkan sebagai

    nelayan tradisional. Hal tersebut sebagaimana yang dikatakan (Sawit dan Sumiono,

    1998), bahwa nelayan tradisional adalah nelayan skala kecil yang mempunyai ciri-

    ciri (1) kegiatan lebih padat kerja (labour intensive) dengan alat tangkap sederhana,

    (2) teknologi penangkapan atau pengelolaan ikan masih sangat sederhana, (3)

    tingkat pendidikan dan keterampilan relatif rendah dan sederhana.

    Masyarakat pesisir memanfaatkan sumberdaya alam dengan

    mengorganisasikan diri mereka kedalam kelompok-kelompok sosial ekonomi yang

    dikenal dengan ikatan Punggawa-Sawi, (Iskandarsyah, 2005 : 22). Selanjutnya

    menurut (Paeni dkk, 1990 :76) istilah Punggawa dan nelayan Sawi berasal dari

    bahasa Bugis, yakni Punggawa berarti pemimpin atau pemilik modal, sedangkan

    Sawi adalah pengikut atau rakyat yang tidak mempunyai kapital. Masyarakat

    nelayan pada umumnya untuk membedakan sistem pelapisan sosialnya dapat dilihat

    dari kepemilikan modal dan alat-alat produksi dalam usaha penangkapan ikan.

    Seseorang akan memiliki kedudukan penting dalam masyarakat jika memiliki

    modal kapital yang besar. Semakin banyak modal kapital yang dimiliki, maka

    semakin banyak Sawi atau pengikut yang bisa dipimpinnya yang secara otomatis

    pula akan memiliki kedudukan yang penting dimata masyarakat nelayan.

    Hubungan sosial yang menonjol dalam kehidupan masyarakat nelayan yang

    sumber kehidupannya tergantung pada penangkapan ikan dilaut adalah hubungan

    kerja antara pemilik modal dengan pekerjanya atau buruh yang dikenal dengan

    sebutan Punggawa dan Sawi, (Rudi, 2011 : 103). Hubungan ini merupakan

  • 28

    hubungan antara majikan dengan buruhnya dan hubungan ini bersifat sangat akrab

    dan penting, sehingga sawi sulit melepaskan diri dari punggawanya.

    Bagi seorang sawi, tanggungan biaya hidup dan keperluan-keperluan

    merupakan bantuan yang tidak semata berdemensi ekonomis. Bantuan demikian,

    meskipun dalam bentuk hutang merupakan mekanisme mempertahankan

    kehidupan di atas level survive dari pola subsistens. Setiap kali sawi dan

    keluarganya membutuhkan sesuatu secara mendadak, punggawa selalu tampil

    sebagai penolong yang menyelamatkan. Nilai yang harus dibayar oleh sawi bukan

    hanya material dari bantuan tadi, tetapi juga imbalan hutang budi yang

    menyertainya. Biasanya seorang punggawa cenderung mempertahankan

    kelanggengan hubungan, di pihak punggawa semakin lama seorang sawi bekerja

    padanya berarti tercipta saling pengertian, pengalaman sawi atas karakteristik

    ketekunan dan kejujurannya makin terpuji, dan ini bermuara pada orientasi

    aktivitasnya dalam penangkapan ikan di laut, (Rudi, 2011 : 103).

    Pada dimensi sosialnya sawi yang setia, rela berkorban untuk kehormatan

    punggawanya akan memberikan nilai sosial tersendiri bagi punggawa di mata

    masyarakat. Pada hubungan ini pemilik modal atau punggawa dan nelayan yang

    tidak memiliki modal atau sawi telah terjadi suatu proses eksploitasi dalam

    pertukaran sosial, di mana kedudukan sawi sangat berpotensi untuk dieksploitasi.

    Seorang sawi sama sekali tidak punya alternatif bila hubungan terputus, bukan

    hanya dalam konsekuensi jangka panjang atas alternatif pekerjaan lain, tetapi

    konsekuensi jangka pendek pun menjadi ancaman, yakni terancamnya kehidupan

  • 29

    subsistensi yang suatu saat sawi harus kembali bekerja pada punggawa. (Rudi, 2011

    : 106).

    2.2.2 Patron Klien

    Menurut (Khan, 1998) menyebutkan bahwa istilah patron berasal dari

    Bahasa Latin “patrönus” atau “pater”, yang berarti ayah (father). Istilah tersebut

    dikuatkan oleh aplikasi bahwa ia merupakan seorang yang memberikan

    perlindungan dan manfaat serta mendanai dan mendukung kegiatan beberapa

    orang. Klien juga berasal dari istilah Latin “cliĕns” yang berarti pengikut. Dalam

    literatur ilmu sosial patron merupakan konsep hubungan stata sosial dan

    penguasaaan sumber ekonomi. Konsep patron selalu diikuti oleh konsep klien,

    tanpa konsep klien, konsep patron tentu saja tidak ada. Oleh karena itu, kedua

    istilah tersebut membentuk suatu hubungan khusus yang disebut dengan istilah

    clientelism.

    Istilah ini merujuk pada sebuah bentuk organisasi sosial yang dicirikan

    degan hubungan patron-klien, dimana patron yang berkuasa dan kaya memberikan

    pekerjaan, perlindungan, infrastruktur, dan berbagai manfaat lainnya kepada klien

    yang tidak berdaya dan miskin. Sebagai imbalan, klien memberikan berbagai

    bentuk kesetiaan, pelayanan, dan bahkan dukungan politik kepada patron.

    Menurut (Scott, 1972) hubungan patron klien adalah:

    a special case of dyadic (two person) ties involving a largerly instrumental friendship in which an individual of higher socio economic status (patron) uses his own influence and resources to provide protection as benefits for both, for a person of a lower status (client) who for his part reciprocates by

  • 30

    offering general support and assistance, including personal services, to their patron. Hubungan patron-klien bersifat tatap muka, artinya bahwa patron mengenal

    secara pribadi klien karena mereka bertemu tatap muka, saling mengenal

    pribadinya, dan saling mempercayai. Model patron-klien sebagai solidaritas

    vertikal. Ciri-ciri hubungan patron-klien, menurut (Scott, 1972) adalah (1) terdapat

    suatu ketimpangan (inequality) dalam pertukaran; (2) bersifat tatap muka; dan (3)

    bersifat luwes dan meluas.

    Sedangkan menurut (Brewer, 1999: 58) patron merupakan kelas yang

    memiliki kekuasaan politik dan ekonomi, sehingga dapat melakukan ekploitasi

    terhadap klien yang banyak menggunakan alat produksi yang dimiliki. Patron akan

    mengeluarkan modalnya untuk dua hal, yaitu membeli alat-alat produksi dan

    sebagian lagi untuk membeli tenaga kerja (klien). Sementara klien tidak memiliki

    apa-apa kecuali menjual tenaga mereka. Hubungan patron-klien tersebut tidak saja

    terbatas pada eksploitasi tetapi sampai pada tingkat ketergantungan yang tinggi.

    Ketergantungan yang dimulai dari satu aspek sosial umumnya berkembang menjadi

    ketergantungan yang luas dan mencakup beberapa aspek kehidupan sosial lainnya.

    Hal ini sesuai dengan perkataan (Ahimsa Putra, 1988 ; 8) dalam bukunya

    yang berjudul “Minawang:” Hubungan Patron-Klien di Sulawesi Selatan,

    menyatakan bahwa, adanya nilai atau patokan tentang kepatutan suatu pertukaran

    si klien akan melepaskan diri dari hubungannya dengan patron manakala dia merasa

    bahwa apa yang dia berikan tidak dibalas dengan sepantasnya oleh patron tersebut.

    Nilai dalam pola hubungan ini, nelayan buruh mendapatkan otonomi dalam

    memanajemen produksinya. dengan ketekunan dan keuletan tenaga kerja atau

  • 31

    nelayan buruh dapat memiliki bagang sendiri yang akhirnya dapat mengangkat

    statusnya menjadi punggawa (pemilik Bagang atau modal).

    Dari beberapa konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan patron-

    klien merupakan salah satu bentuk hubungan pertukaran khusus. Dua pihak yang

    terlibat dalam hubungan pertukaran mempunyai kepentingan yang hanya berlaku

    dalam konteks hubungan mereka dengan kata lain kedua pihak memasuki hubungan

    patron-klien karena terdapat kepentingan (interest) yang bersifat khusus atau

    pribadi, bukan kepentingan yang bersifat umum. Persekutuan semacam itu

    dilakukan oleh dua pihak yang masing-masing memang merasa perlu untuk

    mempunyai sekutu (encon) yang mempunyai status, kekayaan dan kekuatan lebih

    tinggi (superior) atau lebih rendah (inverior) dari pada dirinya. Persekutuan antara

    patron dan klien merupakan hubungan saling ketergantungan. Dalam kaitan ini,

    aspek ketergantungan yang cukup menarik adalah sisi ketergantungan klien kepada

    patronnya.

    2.2.3 Ideologi

    Manusia pada dasarnya berusaha untuk menemukan diri dan identitasnya

    melalui ide-ide dan gagasannya yang diperoleh dari manusia dan alam sekitarnya.

    Ide-ide atau gagasan yang diperoleh manusia tersebut terkadang menjadi sebuah

    ideologi yang paten. Ideologi sendiri memiliki beragam pengertian, bergantung dari

    sudut pandang dan bagaimana konteks ideologi tersebut digunakan, (Mustaman,

    2015:26). Lebih lanjut Mustaman, mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang

    bisa memberikan suatu definisi ideologi yang memadai, karena ideologi sebagai

  • 32

    sesuatu yang kompleks dan istilah ideologi digunakan dalam arti yang bermacam-

    macam.

    Istilah ideologi adalah kata yang terdiri ideo dan logi. Ideo berasal dari

    bahasa Yunani eidos, dalam bahasa Latin idea, yang berarti pengertian, ide atau

    gagasan. Kata kerja dalam bahasa Yunani oida yang berarti mengetahui, melihat

    dengan budi. Sementara dalam bahasa Jawa kita jumpai kata idep dengan arti tahu,

    melihat. Kata logi berasal dari bahasa Yunani logos, yang berarti gagasan,

    pengertian, kata, dan ilmu. Jadi secara etimologis dapat diterangkan bahwa ideologi

    berarti pengetahuan tentang ide-ide, science of ideas, (Setiardja, 1993: 17).

    Dijk dalam (Helmut,1980:109) menyebutkan bahwa ideologi adalah sebuah

    sistem yang merupakan basis pengetahuan sosio-politik suatu kelompok. Ideologi

    mampu mengorganisasi perilaku kelompok yang terdiri atas opini menyeluruh yang

    tersusun secara skematis seputar isu-isu sosial yang relevan. Lebih lanjut Helmut

    memberikan tiga penjelasan mengenai ideologi. Pertama, ideologi adalah ekspresi

    dari pemikiran yang dogmatis manusia (refleksi atas kenyataan yang telah

    didistorsikan). Kedua, doktrin tentang pandangan dunia (misalnya ideologi

    proletariat, kapitalisme, dan lain-lain). Serta yang ketiga, sebagai ilmu

    pengetahuan, ideologi bertujuan membagun suatu sistem pengetahuan.

    Selain beberapa pengertian di atas, Gramsci (dalam Simon, 2004 : 84)

    memberikan pandangan yang lebih umum. Menurutnya ideologi lebih besar dari

    sekadar sistem ide. Ia membedakan antara sistem yang berubah-ubah (arbitary

    system) yang dikemukakan oleh intelektual dan filosof tertentu dan ideologi

    organik, yakni bersifat historis (historically orgnic ideologies), yaitu ideologi yang

  • 33

    diperlukan dalam kondisi sosial tertentu. Ideologi mempunyai keabsahan yang

    bersifat psikologis, ideologi mengatur manusia dan memberikan tempat bagi

    manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan

    mereka dan sebagainya.

    Definisi lain dari ideologi dijelaskan bahwa ideologi merupakan ide atau

    sistem. dengan kata lain ide yang diperlakukan sebagai mitos kehidupan dan sering

    dipaksakan pada orang lain yang mungkin tidak menerima kebenarannya. Filsuf

    Perancis, Antoine Destutt de Tracy yang pertama kali menciptakan istilah ideologi

    pada tahun 1796, mendefinisikan ideologi sebagai ilmu tentang pikiran manusia

    (sama seperti biologi dan zoologi yang merupakan ilmu tentang spesies) yang

    mampu menunjukkan jalan yang benar menuju masa depan. Tegasnya, ideologi

    merupakan seperangkat nalar berfikir yang mempunyai visi terhadap

    perkembangan suatu peradaban.

    Lebih lanjut, (Thompson, 2003 : 18) mengatakan bahwa ideologi sebagai

    perekat relasi sosial yang merekatkan anggota masyarakat secara bersama-sama

    dengan menerapkan nilai-nilai dengan norma-norma yang disepakati secara

    kolektif. Kekuatan dan relasi dominasi tercermin dari kekuatan kata dan wacana.

    Makna sosial ideologi pun terkonstruksi dalam wacana sehingga solidaritas dan

    soliditas terjaga.

    Fungsi ideologi menurut Althusser (dalam Piliang, 2004: 456), adalah

    mereproduksi hubungan-hubungan produksi, hubungan di antara kelas-kelas, dan

    hubungan manusia dengan dunianya. Ideologi merupakan satu praktik yang

    didalamnya individu-individu dibentuk. Pembentukan tersebut sekaligus

  • 34

    menentukan orientasi-orientasi sosial mereka agar dapat bertindak dalam struktur

    dengan berbagai cara yang selaras dengan ideologi.

    Berdasarkan penjelasan konsep ideologi di atas, maka ideologi di dalam

    penelitian relasi kuasa pungawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo dikaji dan dianalisis

    dengan mengacu kepada beberapa hal, diantaranya pemaknaan bahwa ideologi

    dapat tumbuh dan berkembang pada individu dan kelompok nelayan dalam rangka

    membentuk identitasnya. Ideologi di tengah nelayan etnis Bajo diproduksi untuk

    melahirkan dominasi kelas, profesi hingga kreativitas atau cipta karsa manusia.

    Ideologi digunakan sebagai alat perlawanan dan penguasaan agar ideologi ditengah

    masyarakat nelayan etnis Bajo bisa bertahan dan lestari walaupun disadari ada

    pertarungan serta hegemoni budaya dan ideologi dominan yang berasal dari

    kelompok tertentu. melalui beberapa konsep ideologi di atas, diharapkan dapat

    diungkapkan ideologi relasi kuasa pungawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo dan

    makna-makna ideologi yang terkadung di dalamnya.

    2.2.4 Hegemoni

    Hegemoni berasal dari bahasa yunani kuno yaitu eugemonia (hegemonia),

    yang berarti memimpin. Roger Simon menyatakan, “hegemoni bukanlah hubungan

    dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan

    dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Atau bahasa

    sederhananya, hegemoni adalah sesuatu organisasi consensus” (Simon, 1999 : 19-

    20).

  • 35

    Konsep hegemoni sendiri ditemukan awalnya ketika Gramsci mencari

    sebuah pola dalam kelas sosial baru yang saat itu lebih banyak melihat fenomena

    pada sejarah gereja Roma. Dia terlihat kagum melihat kekuatan ideologi kristen

    gereja Roma yang berhasil menekan Gap yang berlebihan berkembang antara

    agama yang terpelajar dan rakyat sederhana. Gramsci mengatakan bahwa hubungan

    tersebut memang terjadi secara “mekanikal”, namun dia menyadari bahwa gereja

    Roma telah sangat berhasil dalam perjuangan memperebutkan dan menguasai hati

    nurani para pengikutnya, (Afandi, 2011 : 4-5).

    Salah satu penekanan konflik adalah hegemoni kultural kelas penguasa

    sebagai bentuk dominasi. Dari sini dapat dilihat, bahwa konflik lebih mengacu

    kepada sesuatu yang fisikal dan penuh kekerasan, sedangkan hegemoni berbentuk

    sebaliknya, yaitu canggih dan halus karena menyasar kesadaran-kesadaran yang

    menentukan pikiran-pikiran, perkataan-perkataan, dan tindakan-tindakan

    masyarakat. (Kriesberg, 2000)

    Dari pandangan tersebut muncullah sebuah pertanyaan yakni sejauh mana

    kelompok yang terhegemoni memberikan persetujuan dalam proses hegemoni

    tersebut. Namun, Gramsci tidak mempertentangkan antara hegemoni dan paksaan

    atau kekuatan yang disebut dominasi. dalam pandangannya, supremasi kelompok

    atas kelas sosial tampil dalam dua cara yaitu dominasi atau penindasan yang

    biasanya dilakukan oleh aparat pemerintah, dan persetujuan melalui kepemimpinan

    intelektual dan moral terhadap masyarakat sipil dimana yang terakhir disebut

    hegemoni.

  • 36

    Supremasi kelompok sosial memanifestasikan dirinya dalam dua cara,

    yaitu sebagai ‘dominasi’ dan sebagai ‘kepemimpinan intelektual dan moral’.

    Sebuah kelompok sosial mendominasi kelompok antagonis, yang cenderung

    ‘melikuidasi’, atau untuk menundukkan bahkan oleh kekuatan bersenjata, yang

    mengarah pada kelompok kerabat dan sekutu. Sebuah kelompok sosial bisa dan

    memang harus melakukan pelatihan ‘kepemimpinan’ sebelum memenangkan

    kekuasaan pemerintahan (hal ini menjadi salah satu kondisi prinsip untuk

    memenangkan kekuasaan tersebut) yang menjadi dominan ketika menggunakan

    kekuatan, namun bahkan jika dominasi itu sudah memegang kuat dalam

    genggaman, ia harus terus ‘memimpin’ juga.” (Gramsci, 1976: 57-58)

    Antonio Gramsci membangun suatu teori dan konsep yang menekankan bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi terhadap kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan. Media dapat menjadi sarana di mana satu kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Proses bagaimana wacana mengenai gambaran masyarakat bawah bisa buruk di media berlangsung dalam suatu proses yang kompleks. Proses marjinalisasi wacana itu berlangsung secara wajar, apa adanya, dan dikhayati bersama. Khalayak tidak merasa dibodohi atau dimanipulasi oleh media. Konsep hegemoni menolong kita menjelaskan bagaimana proses ini berlangsung. (Gramsci, 1976) Penggunaan konsep hegemoni tersebut, bisa dikatakan bahwa semakin

    setuju pihak-pihak yang dikuasai dengan kekuasaan yang dijalankan, semakin

    berhasil hegemoni yang terjadi. dalam hal ini, ide-ide yang dijalankan dalam

    kekuasaan tampak wajar dan legitimate seolah-olah merupakan inisiatif dari orang

    yang dikuasai dan bukan dari pihak-pihak lain karena terlebih dahulu sudah ada

    internalisasi ideologi, kultur, nilai-nilai, norma-norma, dan segi-segi ekonomi,

    pendidikan dan politik. Dengan kata lain, penggunaan kekerasan dan kekuatan

  • 37

    mencerminkan kekurang berhasilan ideologi yang dijalankan oleh kekuasaan.

    Semakin kohersif kekuasaan berlangsung maka semakin pudar segi-segi

    hegemoniknya.

    Menurut (Piliang, 2004 : 357) konsep aparat negara ideologis memiliki

    pengertian kurang lebih sama dengan konsep alat hegemoni, sedangka konsep alat

    negara ideologis menurut Althusser tampak lebih menekankan sifat pasif dari alat

    tersebut dihadapan kekuasaan dominan (negara, kapitalisme). Sebaliknya, Gramsci

    melihat konsep alat hegemoni (termasuk lembaga pendidikan) dalam kerangka

    suatu medan perang, yang didalamnya terjadi perjuangan aktif (active struggle)

    dalam memperebutkan hegemoni yang tidak ada akhirnya di antara berbagai

    ideologi yang bersaing (misalnya kapitalisme, sosialisme, feodalisme).

    Dalam hal ini Hegemoni dapat disimpulkan sebagai penggiringan ideologi

    masyarakat yang telah terkonsep matang oleh pihak tertentu (kaum kapitalis) yang

    memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai alat

    memperoleh keuntungan. Masyarakat dikonsep agar membutuhkan teknologi

    sebagai ideologi mereka. Secara tidak sadar masyarakat mengalami penindasan

    yang tidak mereka rasakan. Seperti Para punggawa sebagai kelompok yang

    menguasai teknologi dengan kemampuan modal menguasai alat-alat produksi

    teknologi penangkapan terhadap sawi.

    2.3 Landasan Teori

    Sebagai gambaran bahwa apa yang terjadi pada masa yang lalu, yang terjadi

    pada saat sekarang, dan yang akan terjadi pada masa yang akan datang tidak akan

    sama karena adanya perbedaan fenomena dan rentang waktu yang dilewati. Agar

  • 38

    mendapatkan sebuah hasil penelitian yang baik maka perlu digunakan teori yang

    dapat membatu dalam menganalisis setiap permasalahan yang ada. Landasan teori

    yang menjadi dasar dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

    2.3.1 Teori Relasi Kuasa

    Kekuasaan tidak dipahami dalam konteks pemilikan oleh suatu kelompok

    institusional sebagai suatu mekanisme yang memastikan ketundukan warga negara

    terhadap negara. Kekuasaan juga bukan mekanisme dominasi sebagai bentuk

    kekuasaan terhadap yang lain dalam relasi yang mendominasi dengan yang

    didominasi atau yang powerful dengan powerless. Kekuasaan bukan seperti halnya

    bentuk kedaulatan suatu Negara atau institusi hukum yang mengandaikan dominasi

    atau penguasaan secara eksternal terhadap individu atau kelompok

    (Foucault2002),

    Istilah ‘relasi kuasa’(power relation). sebuah istilah penting dalam

    berbagai disiplin ilmu termasuk dan terutama belakangan ini dalam Kajian Budaya.

    Foucault menegaskan bahwa power atau kuasa bersifat ubiquitous atau ada dimana-

    mana, dan semua kuasa mencakup perjuangan untuk memediasi, menciptakan

    makna, dan melakukan kontrol, Foucault (dalam Lewis, 2008: 31).

    Selanjutnya (Lewis, 2008 : 32) mengatakan bahwa proses hadirnya kuasa

    sudah tampak dalam penggunaan bahasa dan tindakan-tindakan fisik yang mungkin

    menyertainya. Para ahli teori budaya dan kaum analis pada umumnya sepakat

    bahwa ada hubungan erat antara proses mediasi kuasa dan penggunaan bahasa.

    kekuasaan menurut (Foucault, 2002) lebih menunjuk pada mekanisme dan

    strategi dalam mengatur hidup bersama. Dalam arti ini kekuasan mengasalkan diri

  • 39

    dari berbagai sumber dan memiliki keterkaitan satu terhadap yang lain. Adanya

    pengakuan struktur-struktur yang menjalankan fungsi tertentu dan dalam struktur

    itulah kekuasaan mengasalkan dirinya, Selanjutnya menurut Foucault bagaimana

    kekuasaan harus dipahami sebagai :

    power must be understood in the first instance as the multiplicity of force relations immanent in the sphere in which they operate and which constitute their own organization; as the process which, through ceaseless struggles and confrontations, transforms, strengthens, or reserves them; as the support which these force relations find in one another, thus forming a chain or a system, or on the contrary, the disjunctions and contradictions which isolate them from one another; and lastly, as the strategy in which they take effect, whose general design or institutional crystalization is embodied in the state apparatus, in the formulation of the law, in the various social hegemony." (Foucault, 1990: 92-93). Dengan demikian, kekuasaan menurut (Foucault, 1990) mesti dipahami

    sebagai bentuk relasi kekuatan yang imanen dalam ruang dimana kekuasaan itu

    beroperasi. Kekuasaan mesti dipahami sebagai sesuatu yang melanggengkan relasi

    kekuatan itu, yang membentuk rantai atau sistem dari relasi itu, atau justru yang

    mengisolasi mereka dari yang lain dari suatu relasi kekuatan. Oleh karena itu,

    kekuasaan merupakan strategi di mana relasi kekuatan adalah efeknya.

    Kuasa itu ada dimana-mana dan muncul dari relasi-relasi antara berbagai

    kekuatan, terjadi secara mutlak dan tidak tergantung dari kesadaran manusia.

    Kekuasaan hanyalah sebuah strategi. Strategi ini berlangsung dimana-mana dan

    disana terdapat sistem, aturan, susunan dan regulasi. Kekuasaan ini tidak datang

    dari luar, melainkan kekuasaan menentukan susunan, aturan dan hubungan-

    hubungan dari dalam dan memungkinkan semuanya terjadi. Mengacu pada

  • 40

    pandangan Foucault bahwa kekuasaan merupakan satu dimensi dari relasi. Dimana

    ada relasi, disana ada kekuasaan. (Foucault, 2000 : 144),

    Selanjutnya (Foucault, 1990 : 94-95) menjelaskan ada lima proposisi

    mengenai apa yang dimaksudnya dengan kekuasaan, yakni:

    1. Kekuasaan bukan sesuatu yang didapat, diraih, digunakan, atau dibagikan

    sebagai sesuatu yang dapat digenggam atau bahkan dapat juga punah; tetapi

    kekuasaan dijalankan dari berbagai tempat dari relasi yang terus bergerak.

    2. Relasi kekuasaan bukanlah relasi struktural hirarkhis yang mengandaikan

    ada yang menguasai dan yang dikuasai.

    3. Kekuasaan itu datang dari bawah yang mengandaikan bahwa tidak ada lagi

    distingsi binary opositions karena kekuasaan itu mencakup dalam

    keduanya.

    4. Relasi kekuasaan itu bersifat intensional dan non-subjektif.

    5. Di mana ada kekuasaan, di situ pula ada anti kekuasaan (resistance). Dan

    resistensi tidak berada di luar relasi kekuasaan itu, setiap orang berada

    dalam kekuasaan, tidak ada satu jalan pun untuk keluar darinya.

    Berdasarkan hal tersebut, Menurut Foucault, bahwa kekuasaan itu bukanlah

    sesuatu yang diwariskan, diperoleh dari seseorang atau sebuah kelompok masyarat

    sebagai sebuah hadiah yang kemudian dapat digunakan atau dibagi-bagi.

    Kekuasaan dapat ditemukan dimana saja karena kekuasaan akan terus beroperasi

    dimana relasi-relasi itu berada. Relasi kuasa yang dimaksud Foucault bukanlah

    relasi kekuasaan yang mengumpamakan adanya sebuah hirarki kekuasaan yang

    kemudian membentuk kelas sosial dengan adanya kelompok yang di kuasai dan

  • 41

    kelompok yang menguasai atau distingsi binary oppositions dengan melakukan

    klasifikasi yang berhubungan secara struktural.

    Selanjutnya beberapa metedologis kekuasaan yang menjadi fokus perhatian

    (Foucault 2002) adalah sebagai berikut :

    1. peran hukum dan aturan-aturan. Foucault mengatakan “kuasa tidak selalu

    bekerja melalui represif dan intimidasi melainkan pertama-tapa bekerja

    melalui aturan-aturan dan normalisasi”. Segala aturan dan hukum pertama

    tidak dilihat sebagai hasil dari ketentuan pemimpin atau institusi tertentu

    tetapi sebagai sintesis dari kekuasaan setiap orang yang lahir karena

    perjanjian. Segala aturan yang lahir karena konsensus bersama memiliki

    kekuatan yang lebih dalam hidup bersama.

    2. tujuan kekuasaaan. Tujuan dari adanya mekanisme kekuasaan ialah

    membentuk setiap individu untuk memiliki dedikasi dan disiplin diri agar

    menjadi pribadi yang produktif. Setiap orang diberi ruang untuk berpikir,

    berkembang dan dengan bebas menyampaikan aspirasinya demi kemajuan

    bersama.

    3. Kekuaaan itu tidak dilokalisasi tetapi terdapat di mana-mana. Kesadaran

    akan kekuatan dari suatu negara dan masyarakat tidak dibatasi hanya dari

    para pemimpin tetapi atas kerjasama setiap pribadi dan lembaga yang

    memiliki orientasi produktif. Misalnya, dengan adanya ruang komunikasi

    antara pemimpin dan warganya, kesatuan tercipta dalam suasana dialogis

    dan mengarah kepada cita-cita bersama.

  • 42

    4. kekuasaan yang mengarah ke atas. Dalam arti ini, kekuasaan setiap orang

    dan lembaga dikomunikasikan sedemikian rupa sehingga membentuk

    konsensus bersama. Atau dengan kata lain hasil dari proses komunikasi

    kekuasaan bersama akan menghasilkan kekuasaan bersama atau dalam

    bahasa, Thomas Kuhn, adanya paradigma bersama.

    5. kombinasi antara kekuasaan dan Ideologi. Setiap anggota dalam

    masyarakat kurang lebih memiliki impian yang sama yaitu adanya

    pengakuan hal setiap orang yang terarah pada kesejahteraan bersama.

    Harapan ini harus berjalan bersama dengan kekuasaan bersama. Segala

    hukum dan aturan diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut.

    Dari kelima point di atas, kita melihat dengan jelas adanya perbedaan

    menyolok antara gagasan Foucault dengan para pemikir abad modern. Misalnya,

    Machiavelli yang melihat kesejahteraan bersama tidak ditentukan oleh konsensus

    bersama tetapi oleh penguasa Negara, bahwa penguasa memiliki kuasa mutlak

    untuk mengatur negara. Tidak ada aturan dan hukun yang muncul sebagai akibat

    perjanjian setiap subyek. Dengan membandingkan kedua gagasan ini, kita dapat

    melihat bahwa arti kekuasaan dan jiwa yang menggerakan hidup bersama memiliki

    titik tolak yang berbeda. Bagi penulis, Foucault menjunjung tinggi pada proses

    kreatif dan kritis setiap orang dalam membangun ideologi bersama. (Santoso, 2002

    : 59)

    Kekuasaan itu tidak dipandang secara negatif tetapi secara positif dan

    produktif. Kekuasaan bukan merupakan sebuah intitusi atau struktur, bukan

    kekuatan yang dimiliki tetapi kekuasaan merupakan istilah untuk menyebut situasi

  • 43

    strategis, kompleks dalam masyarakat. Kekuasaan itu menurut Foucault mesti

    dipandang sebagai relasi-relasi yang beragam dan tersebar seperti jaringan yang

    mempunyai ruang lingkup strategis, Foucault (dalam Kamahi 2017 : 118).

    Kekuasaan bertautan dengan pengetahuan yang berasal dari relasi-relasi

    kekuasaan yang menandai subjek. Foucault menautkan kekuasaan dengan

    pengetahuan sehingga kekuasaan memproduksi pengetahuan dan pengetahuan

    menyediakan kekuasaan, ia mengatakan bahwa kekuasaan tidak selalu bekerja

    melalui penindasan dan represi, melainkan juga normalisasi dan regulasi, (Sutrisno,

    2005 : 154)

    Relasi kuasa (power relation) adalah hubungan antara suatu kelompok

    dengan kelompok lainnya berdasarkan ideologi tertentu. Kekuasaan (power) adalah

    konsep yang kompleks dan abstrak, yang secara nyata mempengaruhi kehidupan

    mereka. Selain itu, kekuasaan juga dapat didefinisikan sebagai kemampuan

    pemangku kepentingan, untuk menentang atau mendukung individu atau kelompok

    lainnya, (Thomas, 2004 : 10).

    Angus Stewart (dalam Agusta, 2008 : 266-267) membagi kekuasaan dalam

    dua bagian, yaitu: Pertama, kekuasaan yang hadir dalam bentuk dominasi, yang

    dikenali sebagai kekuasaan meliputi (power over) sesuatu atau seseorang.

    Kekuasaan jenis ini dipandang sebagai alat strategis untuk mencapai tujuan,

    melalui mobilisasi sumberdaya. Selain itu, kekuasaan juga sejajar dengan otoritas,

    sehingga memiliki keresmian dan legitimasi, untuk mendesakkan keinginan kepada

    orang lain; Kedua, kekuasaan yang hadir dalam bentuk pemberdayaan, yang

    dikenali sebagai kekuasaan terhadap (power to) sesuatu atau seseorang. Kekuasaan

  • 44

    jenis ini dipandang sebagai wujud otonomi masyarakat, melalui proses

    intersubyektif yang mampu menciptakan solidaritas bersama.

    McQuail (dalam Burton, 1999 : 58) menjelaskan bahwa lokasi kekuasaan

    tidaklah disatu tempat tetapi menyebar dan bervariasi dalam institusi, masyarakat,

    individu, dan audiens. secara umum dapat di jelaskan bahwa kuasa atau kekuasaan

    itu tidak terpusat, tidak bergerak dari satu arah ke arah lain, akan tetapi bisa muncul

    dan bergerak dari berbagai arah. kuasa yang biasa diasosiasikan secara tradisional

    dengan politik, pemerintahan, dan pemimpin, sebetulnya merupakan hal yang

    tersebar di berbagai tempat, bersifat cair, dan berkaitan dengan proses atau usaha-

    usaha menciptakan makna, pertengkaran, sengketa dan pencarian jalan ke luar

    (dispute and dissolution).

    Lebih lanjut (Robert A. Dahl, 1957 : 201) mendefinisikan kekuasaan

    (power) merupakan relasi antar orang (manusia), yang dinotasikan dalam simbol

    sederhana. Kekuasaan dapat bersifat konfliktual (conflictual) dan koersif

    (coercive), sehingga perlu dibangun melalui konsensus (consensus) dan legitimasi

    (legitimacy) Kekuasaan bukanlah hal sederhana yang ada dengan sendirinya,

    melainkan sesuatu yang harus dikultivasi (cultivated). Kekuasaan tidak akan

    kehilangan kekuatannya, bila ia digunakan dengan memanfaatkan berbagai taktik

    untuk mempengaruhi berbagai agenda. Selanjutnya, Kekuasaan merupakan wujud

    adanya kewenangan yang legitimate (Moncrieffe, 2004 : 26-27).

    Kuasa atau kekuasaan didefinisikan oleh Van Dijk (dalam Eriyanto, 2005 :

    272) sebagai ‘kepemilikan yang dimiliki’ oleh suatu kelompok atau anggotanya

    untuk mengontrol anggota kelompok dari anggota kelompok lain. Seperti halnya

  • 45

    yang disampaikan oleh Faucault dan Gramsci, kontrol bisa dilakukan secara

    langsung lewat kekuatan fisik, tetapi juga bisa secara tidak langsung atau cara-cara

    persuasif. Kepemilikan akan kekuasaan ditentukan oleh berbagai hal seperti

    sumber-sumber daya, uang, status, dan pengetahuan. Kontrol bisa dilakukan secara

    tidak langsung dengan memengaruhi melalui penyebaran pengetahuan. Siapa

    memiliki modal-modal seperti di atas lebih banyak identik dengan memiliki

    kekuasaan lebih besar, lebih kuat, lebih berpengaruh.

    Sejalan dengan hal tersebut menurut (Martin, 1995 : 98), juga

    menambahkan bahwa penguasa memiliki kemampuan memainkan peranan sosial

    yang penting dalam suatu masyarakat. Terutama pada kelimpahan materi yang tidak

    merata di dalam suatu masyarakat misalnya antara kelompok pemilik modal dan

    kelompok ang membutuhkan modal. Terjadinya pola ketergantungan yang tidak

    seimbang mendatangkan sikap kepatuhan.

    Berdasarkan konsep tersebut, dapat di katakan bahwa Relasi kuasa

    merupakan kondisi yang sangat kompleks ditentukan oleh berbagai kepemilikan

    modal dan situasi sosial politik. Dalam masyarakat sederhana atau kompleks, di

    desa atau di kota, daerah maritim atau daerah pertanian, relasi kuasa pasti terjadi

    dengan hasil dan kondisi yang berbeda-beda bergantung pada kepemilikan modal

    oleh tiap-tiap pilar yang terlibat. kekuasan akan terus beroperasi dalam sebuah

    relasi yang ada di mana-mana, karena kekuasaan adalah satu dimensi dari relasi. Di

    mana ada relasi, di sana ada kekuasaan. Seperti halnya di Tiworo Kepulauan,

    Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat, relasi kuasa pada Punggawa-

    Sawi nelayan etnis Bajo. Teori ini berguna untuk menguraikan lebih jelas strategi

  • 46

    pengoperasian kekuasaan oleh para punggawa dalam hubungan relasi dengan para

    sawi dan pihak-pihak di luar etnis Bajo.

    2.3.2 Teori Kapital

    Untuk menjelaskan analisis teori kapital dalam kerangka pemikiran

    Bourdieu terkait dengan penelitian, pertama-tama perlu terlebih dahulu diuraikan

    lebih jelas tentang bentuk-bentuk sistem disposisi dan posisi kapital, relasi dan

    posisi yang dihargai dalam kapital, serta genesis habitus yang membentuknya.

    Menurut Bourdieu, kapital tidak hanya hal-hal yang bersifat kebendaan (material)

    tetapi juga hal-hal yang immaterial, seperti relasi sosial, power, posisi dan

    sebagainya. Seseorang yang tidak memiliki material, tetapi dia memiliki jaringan

    sosial yang kuat, posisi bagus, pendidikan yang legitimate dan mendapat pengakuan

    dari masyarakat, maka sebenarnya dia memiliki potensi kapital yang baik yang bisa

    pertukarkan oleh agen yang memilikinya. Berbagai kapital immaterial yang

    dimiliki oleh agen dapat mendatangkan keuntungan material melalui proses

    konversi, (Bourdieu, 1986 : 46).

    Modal (Kapital) sebagai modalitas kekuasaan, menurut Bourdieu,

    akumulatif, bisa diwariskan, bisa diatur posisinya, artinya dapat diperoleh dengan

    syarat-syarat tertentu sebagaimana diatur dalam ruang sosial atau kelas sosial

    tempat modal tersebut dihargai, Modal merupakan sesuatu yang dianggap berharga

    dalam arena, digunakan sebagai sumber sekaligus tujuan dari strategi kekuasaan.

    Jika arena adalah tempat habitus menempuh strategi, modal adalah bagian dari

    mekanisme strategi habitus dalam menguasai arena. Strategi relasi kuasa dan

    dominasi didasarkan kepemilikan, komposisi, dan strategi penempatan modal-

  • 47

    modal. Semakin kokoh modal yang dimiliki, semakin kokoh pula posisi agen di

    suatu arena. (Bourdieu, 1986 : 48-49).

    Bourdieu merinci modal dalam bentuk yakni (1) modal ekonomi, yang dapat

    dikonversi menjadi alat tukar seperti uang dalam bentuk hak milik; (2) modal

    budaya, pada kondisi tertentu dapat dikonversi menjadi modal ekonomi dan dapat

    dilembagakan dalam bentuk kualifikasi pendidikan; dan (3) modal sosial, terdiri

    dari kewajiban-kewajiban sosial (‘koneksi-koneksi’), pada kondisi tertentu dapat

    dikonversi menjadi modal ekonomi dan dapat dilembagakan, (Bourdieu, 1986 : 47-

    48).

    Modal budaya, menurut Bourdieu, eksis dalam tiga bentuk. Pertama,

    terintegrasi dalam diri, berbentuk sistem disposisi yang tahan lama dalam tubuh dan

    pikiran, seperti jujur, suka menolong, tampan. Tipologi modal pertama ini, menurut

    Bourdieu, melekat dalam diri agen sampai menjadi habitus. Konsekuensinya, ia

    tidak mudah-pada hal-hal tertentu, bukan berarti tidak bisa dipindah, ditukar,

    diminta, atau dijual-belikan, secara instan, sebagaimana uang, hak milik, atau

    kebangsawanan. (4) modal simbolik, menurut Bourdieu, adalah jenis modal yang

    sebenarnya tidak berbentuk, bahkan bersumber dari kekeliruan pengenalan, tetapi

    diakui, diterima, dan bahkan dapat dikonversi dengan modal-modal lain. Modal

    simbolik mengandaikan pula, kata Bourdieu, adanya mediasi dan intervensi dari

    habitus. Secara sosial, modal simbolik berada dalam kapasitas kognitif karena

    perkaranya adalah ketidakabsahan dalam mengakui dan mengenali modal simbolik

    oleh logika pengetahuan, (Bourdieu, 1986 : 51).

  • 48

    Modal sosial meurut Bourdieu merupakan jumlah sumberdaya aktual dan

    potensial, terkait kepemilikan jaringan relasi jangka panjang, baik sudah atau belum

    terlembagakan, saling mengakui dan mengenal; setiap anggota kelompok tersebut

    bersedia mendukung kepemilikan modal secara kolektif”. Modal sosial eksis dalam

    bentuk praksis, berbentuk material dan simbolik, dan kedua hal terakhir ini bisa

    dipertukarkan untuk saling melanggengkan jumlah kepemilikan. Secara umum,

    modal sosial mengandung unsur kepercayaan, solidaritas, loyalitas, dan koneksi,

    sehingga dapat menjamin penerimaan eksistensi agen dalam ruang-ruang sosial

    yang terikat seperti keluarga, kelas sosial, partai, sekolah, dan ruang-ruang sosial

    lain. Kepemilikan modal sosial dipengaruhi oleh jumlah jaringan relasi-relasi.

    Semakin banyak jumlah jaringan relasi, semakin kuat pula pengaruh agen

    memobilisasi dan mengumpulkan modal-modal atau modal global: ekonomi,

    budaya, simbolik, (Bourdieu, 1986 : 51).

    Kapital dapat pula dimengerti sebagai wujud dari wajah mutakhir

    kepentingan, yakni kapitalisme. Kapitalisme menjadi tujuan dan medium paling

    transparan dalam kepentingan politik, ekonomi, di dalam masyarakat modern.

    Kapital dalam modal ekonomi menempati posisi paling dihargai, diperjuangkan,

    diakumulasi, dan bahkan dipergunakan sebagai amunisi utama dalam mendapatkan

    modal-modal lain. Ia juga melahirkan sistem-sistem disposisi pada agen, yakni

    suatu sistem disposisi berbasis pada persentuhan modal budaya yang dimiliki agen

    dan struktur sosial yang kemudian membentuk dan dibentuk dari kepemilikan

    Kapital, (Yuliantoro, 2016 : 108-109).

  • 49

    Setiap kapital dalam konsep Bourdieu adalah berkaitan, juga bisa

    mengalami perubahan. Setiap individu bisa melampaui batasan-batasan kapitalnya,

    demi menaikkan kelas sosialnya di dunia sosial. Kapital (modal) saling berkaitan

    satu sama lain, juga modal bisa berubah (meningkat) dan kelas sosial yang

    menggambarkan status sosial individu di masyarakat, (Siregar, 2017 : 25).

    Fungsi modal dalam pandangan Bourdieu adalah relasi sosial dari system

    pertukaran yang mempresentasikan dirinya sebagai sesuatu yang langka dan layak

    dicari dalam bentuk sosial tertentu. Beragam jenis modal yang bisa dipertukarkan

    dengan jenis modal-modal lainnya. Penukaran yang paling dramatis adalah

    penukaran dalam bentuk simbolik. Sebab dalam bentuk simbolik inilah bentuk-

    bentuk modal dipresepsi dan dikenali sebagai sesuatu yang menjadi mudah

    dilegitimasi, (Halim, 2014 : 109).

    Apabila dalam ranah terjadi kompetisi antar pemain untuk memenangkan

    pertandingan, maka penggunaan strategi diperlukan. Srategi ini diperlukan untuk

    mempertahankan dan ada pula yang ingin mengubah distribusi modal-modal dalam

    kaitannya dengan hirarki kekuasaan. Menurut Bourdieu strategi yang dipakai oleh

    pelaku tergantung pada jumlah modal yang dimiliki dan struktur modal dalam

    posisinya di ruang sosial. Jika mereka berada dalam posisi dominan maka

    strateginya diarahkan pada usaha melestarikan dan mempertahankan status quo.

    Sedangkan mereka yang didominasi berusaha mengubah distribusi modal, aturan

    main dan posisi-posisnya sehingga terjadi kenaikan jenjang sosial, (Siregar, 2017 :

    25).

  • 50

    Selnajutnya menurut (Bourdieu, 1986 : 156). Salah satu bentuk sarana

    kekuasaan adalah dengan hutang : seseorang bisa berada “dibawah kekuasaannya”

    dengan kewajiban membayar hutang, ada cara yang lebih halus dari sarana hutang

    sebagai bentuk kekuasaan simbolik, yaitu dengan pemberian hadiah. Melalui

    pemberian hadiah, terutama yang tidak bisa dikembalikan dengan kualitas

    seimbang dari si pemberi, maka si penerima akan terikat dalam hubungan hutang

    budi. Bentuk kekerasan simbolik itu ‘lembut’, ‘kekerasan yang tidak terikat’,

    ‘kekerasan yang dibatinkan dalam sikap-sikap kepercayaan, kewajiban, loyalitas

    pribadi, hadiah, utang, kesalehan, yang semua itu merupakan bentuk kebaikan

    dalam etika kehormatan,

    Berangkat dari penjelasan teori diatas, mengungkap keberadaan punggawa

    sebagai pemilik kapital (kapital ekonomi, kapital budaya, kapital simbolik) dalam

    perjuangan mendapatkan pengakuan, otoitas, modal dan akses atas posisi-posisi

    kekuasaan terkait dengan strategi dalam relasi kuasa punggawa-sawi pada

    masyarakat Tiworo Kepulauan di Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat.

    2.4. Model Penelitian

    Model penelitian ini dapat digambarkan seperti berikut ini. Model

    penelitian merupakan abstraksi kerangka berfikir serta sintesa antara teori dengan

    permasalahan penelitian yang digambarkan dalam bentuk gambar atau bagan.

    Model penelitian terkait relasi kuasa dalam kehidupan masyarakat nelayan etnis

    Bajo didasari atas adanya kekuasaan yang membangun relasi kuasa dari pihak

    Punggawa,dengan (pemerintah eksekutif maupun legistif, aparat keamanan dan

  • 51

    pedagang pengumpul hasil laut yang memiliki modal besar) masyarakat etnis Bajo

    Sawi sebagai kelompok kelas pekerja, yang bekerja di bawah arahan punggawanya

    Relasi kuasa ini diekspresikan dalam bentuk-bentuk relasi kuasa, faktor-

    faktor yang menyebabkan terjadinya relasi kuasa, idiologi dan implikasi dalam

    relasi kuasa pada masyarakat nelayan etnis Bajo. Kerangka berpikir terkait relasi

    kuasa pada nelayan etnis Bajo di Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat

    Provinsi Sulawesi Tenggara digambarkan dengan bagan berikut.

  • 52

    2.5. Bagan Pikir

    l

    Keterangan :

    : Garis yang menunjukkan saling memengaruhi : Garis yang memberikan hubungan atau pengaruh secara sepihak : Garis yang memberikan pengaruh tidak langsung secara sepihak

    Etnis Bajo Sawi

    Konsep 1. Punggawa-Sawi 2. Patron klien 3. Ideologi 4. Hegemoni

    Etnis Bajo Punggawa

    Pemerintah Eksekutif Legislatif

    Pengusaha/ Pemodal

    Teori 1. Teori Relasi Kuasa 2. Teori Kapital

    Relasi Kuasa Punggawa-Sawi

    Pada Nelayan Etnis Bajo

    Ideologi yang mempengaruhi Relasi

    Kuasa Punggawa-Sawi Pada nelayan

    Etnis Bajo

    Bentuk-Bentuk Relasi Kuasa

    Punggawa-Sawi Pada nelayan

    Etnis Bajo

    Implikasi yang di timbulkan akibat adanya Relasi

    Kuasa Pada nelayan Etnis Bajo

    1. Kesimpulan 2. Temuan 3. Saran

    Nelayan Etnis Bajo

    Aparat Keamanan

  • 53

    2.6. Keterangan Bagan Penelitian

    Gambar dari model penelitian tersebut dapat dijelaskan bahwa wilayah pesisir

    dan kepulauan yang dihuni oleh nelayan etnis Bajo. Aktifitas perekonomian yang

    dilakukan di kawasan pesisir oleh masyarakat etnis Bajo di Kecamatan Tiworo Utara

    diantaranya adalah kegiatan perikanan tangkap atau nelayan agar bisa menunjang

    kehidupan ekonomi mereka. Dalam aktivitas perekonomian ini ada yang berperan

    sebagai pemilik modal (Punggawa) dan ada yang beperan sebagai kelompok pekerja

    yang berhubungan langsung dengan aktifitas penangkapan ikan atau nelayan Sawi yang

    bekerja untuk Punggawa.

    Hubungan antara punggawa dan sawi dalam masyarakat nelayan etnis Bajo di

    Kecamatan Tiworo Utara kemudian mendorong terbentuknya relasi kuasa antara

    punggawa dan sawi pada nelayan etnis Bajo. Para punggawa dalam menjalankan

    praktek kekuasaan dengan membangun pula jaringan komunikasi dengan para

    pemerintah baik eksekutif maupun legislatif, pemilik modal dan aparat keamanan agar

    bisa menjamin kelancaran dalam usaha perdagangan dan pemasaran hasil-hasil laut

    yang ada di Kecamatan Tiworo Utara.

    Berbagai fenomena dan permasalahan yang timbul sebagai bentuk relasi kuasa

    Punggawa-Sawi yang didalamnya menyangkut sistem patron klien dan ideologi dalam

    kehidupan nelayan etnis Bajo dianalisis dengan menggunakan teori relasi kuasa, dan

    teori kapital, yang diterapkan sesuai dengan kaidah kritis Kajian Budaya.

  • 54

    Teori-teori diatas memudahkan untuk memperoleh gambaran secara detail

    tentang bentuk-bentuk relasi kuasa Punggawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo, ideologi

    yang mempengaruhi relasi kuasa Punggawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo, dan

    implikasi yang timbul akibat dari adanya relasi kuasa sehingga menjadi bahan temuan

    baru dari penelitian dan dipergunakan sebagai pijakan utama dalam memberikan

    rekomendasi/saran baik kepada pemerintah, (eksekutif dan legislatif aparat keamanan

    dan pengusaha dalam pengelolaan hasil-hasil laut yang melibatkan aktivitas nelayan

    etnis Bajo di Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat.