dermatitis atopik- jurding

19
JOURNAL READING : Atopic Dermatitis: Natural History, Diagnosis, and Treatment Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik Departemen Penyakit Kulit dan Kelamin RST dr. Soedjono Tingkat II Magelang Disusun Oleh : Ghina Ninditasari 1410.221.028 Pembimbing : Mayor CKM dr. Susilowati. Sp.KK KEPANITERAAN KLINIK PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

Upload: ghina-ninditasari

Post on 16-Nov-2015

28 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jurnal reading

TRANSCRIPT

JOURNAL READING :Atopic Dermatitis: Natural History, Diagnosis, and Treatment

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu SyaratKepaniteraan Klinik Departemen Penyakit Kulit dan Kelamin RST dr. Soedjono Tingkat II Magelang

Disusun Oleh :Ghina Ninditasari 1410.221.028

Pembimbing :Mayor CKM dr. Susilowati. Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONALVETERAN JAKARTA 2015LEMBAR PENGESAHAN

JOURNAL READING :Atopic Dermatitis: Natural History, Diagnosis, and Treatment

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu SyaratKepaniteraan Klinik Departemen Penyakit Kulit dan Kelamin RST dr. Soedjono Tingkat II Magelang

Disusun Oleh :Ghina Ninditasari 1410.221.028

Telah Disetujui dan Disahkan oleh: Dokter Pembimbing

Mayor CKM dr.Susilowati. Sp.K

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan ka'runia-Nya penulis dapat menyelesaikan salah satu tugas yakni Journal Reading dengan judul Atopic Dermatitis: Natural History, Diagnosis, and Treatment. Jurnal ini dibahas untuk menambah pengetahuan mengenai dermatitis atopik dan merupakan salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di departemen Penyakit Kulit dan Kelamin RST. dr. Soedjono. Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing yakni, Mayor CKM dr. Susilowati, Sp.KK yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan pengarahan dalam menyelesaikan tugas journal reading ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa pembahasan dalam journal reading ini masih banyak terdapat kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritikan yang membangun maupun saran demi perbaikan selanjutnya. Terimakasih.

Magelang, 30 Maret 2015

Penulis

Dermatitis Atopik : Perjalanan Penyakit, Diagnosis, dan Terapi

Simon Francis Thomsen

Dermatitis atopik adalah penyakit inflamasi kulit yang terjadi pada awal onset dan dengan prevalensi sekitar 20% kehidupan. Penyebab dermatitis atopik masih belum diketahui, namun penemuan mengenai adanya mutasi pada filagrin diketahui memegang peranan dalam progresifitas penyakit ini hingga penyakit asma pada anak-anak dikemudian hari. Dermatitis atopik tidak selalu mudah diatasi dan setiap dokter harus mengetahui tentang aspek dasar dalam pengobatan. Jurnal ini memberikan penjelasan mengenai perjalanan penyakit, manifestasi klinis, dan terapi untuk dermatitis atopik.

1. Definisi Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit yang umum, kronik, memiliki kekambuhan, dan merupakan penyakit inflamasi kulit yang utamanya mengenai anak-anak. Penyakit ini didefinisikan sebagai kecenderungan memproduksi antibodi imunoglobulin E (IgE) dalam responnya terhadap protein lingkungan (alergen) seperti serbuk sari, tungau debu, dan makanan. Dermatitis didapat dari bahasa Yunani Derma yakni kulit, itis yang artinya inflamasi. Dermatitis dan eksim biasanya sinonim, meskipun kata eksim biasanya mengarah pada keadaan inflamasi kulit yang akut (dari bahasa Yunani, ekzema: to boil over); namun tidak ada perbedaannya dalam penulisan jurnal ini. Seiring berjalannnya waktu, banyak nama yang diajukan untuk menamai penyakit ini, misalnya prurigo Besnier (gatal Besnier), yang dinamai setelah ahli kulit yang bernama Ernest Besnier (1831-1909) menemukan penyakit ini. Sensitisasi alergen dan peningkatan IgE terjadi hanya pada sebagian pasien dengan DA, oleh karena itu DA bukan merupakan penyakit yang patofisiologinya pasti.

2. EpidemiologiDermatitis atopik mempengaruhi sekitar 1/5 dari individu selama masa kehidupannya, namun prevalensi dari penyakit ini beragam diseluruh dunia. Negara industri biasanya memiliki prevalensi yang meningkat diantara tahun 1950 sampai tahun 2000 yang disebut sebagai epidemik alergi. Namun, indikasi utama untuk gejala eksim telah mengalami penurunan di beberapa negara yang sebelumnya termasuk kedalam negara dengan prevalensi tertinggi, yakni United Kingdom dan Selandia Baru. Hal ini mengindikasikan bahwa penyakit alergi yang epidemik ini tidak lagi meningkat di dunia. Namun, DA masih merupakan hal yang serius, dan di beberapa negara terutama negara berkembang, penyakit ini masih meningkat.

a. Perjalanan PenyakitSebanyak 50% dari DA memiliki gejala pada awal kehidupan mereka, dan sekitar 95% terjadi pada anak-anak dibawah usia 5 tahun. Sekitar 75% onset pada anak-anak mengalami remisi spontan sebelum remaja, meskipun sekitar 25% berlanjut menjadi eksim hingga usia remaja atau mengalami kekambuhan setelah tahun-tahun bebas gejala. Dermatitis atopik yang menyerang pada onset-remaja ataupun kambuh pada usia remaja biasanya memiliki predileksi eksim di tangan sebagai manifestasi utama. Pada beberapa pasien, hal ini menjadi serius karena dapat berefek pada karir mereka. Sekitar 50-75% dari seluruh anak yang memiliki DA onset-dini tersensitisasi oleh 1 atau lebih alergen, seperti makanan, tungau debu, atau binatang peliharaan. Meskipun, makanan ataupun paparan dari alergen yang berada di udara sangat jarang menjadi penyebab eksaserbasi pada DA. Penyakit ini merupakan penyakit yang berat. Anak-anak yang memiliki riwayat penyakit atopik memiliki risiko sekitar 50% untuk mengalami asma dan 75% berisiko mengalami demam (hay fever)

b. Faktor Risiko Faktor risiko terjadinya DA lebih tinggi terjadi pada anggota keluarga yang memiliki riwayat terjangkit DA. Misalnya saja, angka kejadian DA pada anak kembar monozigot sekitar 75%, hal ini menandakan bahwa risiko kejadian DA diantara anak kembar meningkat sekitar 75% jika salah satu anak terjangkit DA. Namun sebaliknya, faktor risiko terjadinya DA pada anak kembar dizigotik hanya sekitar 30%. Hal ini menjelaskan bahwa faktor genetik memiliki peran yang sangat penting dalam perjalanan penyakit DA. Meskipun faktor genetik memiliki peranan yang penting, faktor lingkungan pun tidak kalah penting dalam mempengaruhi perjalanan penyakit DA. Misalnya, DA adalah penyakit genetik yang kompleks yang muncul akibat interaksi antara gen-gen dan gen-lingkungan.

c. GenetikTerdapat banyak gen yang memiliki hubungan dengan penyakit DA, salah satunya adalah gen pengkode protein pembentuk struktur epidermis dan gen pengkode elemen sistem imun. Penemuan terbaru menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara DA dengan mutasi gen fillagrin, yang berada di kromosom 1. Gen ini diketahui merupakan salah satu faktor risiko terbesar terjadinya DA. Sekitar 10% dari populasi di negara barat memiliki gen pembawa (mutasi pada gen fillagrin), meskipun sekitar 50% dari seluruh pasien penderita DA terdapat mutasi pada gen ini. Mutasi pada gen ini akan menyebabkan kelemahan dari protein fillagrin dan akan menyebabkan kerusakan dari pelindung kulit (Skin barrier). Manifestasi dari kelemahan protein fillagrin adalah kulit kering dengan fisura dan memiliki risiko tinggi terjadinya eksim kulit. Tidak semua pasien DA memiliki mutasi pada gen ini dan ada beberapa variasi genetik lainnya yang terjadi pada penyakit ini. Penyakit ini merupakan kombinasi aksi dari beberapa variasi genetik dengan lingkungan dan faktor risiko lainnya yang menyebabkan terjadinya DA.

d. Lingkungan Meskipun banyak hipotesis faktor risiko lingkungan yang berbeda-beda, namun hanya sedikit yang dapat diterima. Sebagai contoh, bahwa gaya hidup masyarakat barat dilaporkan meningkatkan kejadian eksim kulit dalam beberapa tahun yang lalu meskipun masih belum spesifik faktor risiko lingkungan apa yang mempengaruhinya. Bebarapa ahli mengemukakan bahwa hipotesis higienitas meningkatkan prevalensi terjadinya eksim. Hipotesis ini didukung melalui penelitian yang melibatkan kelompok anak-anak dengan faktor risiko yang rendah dan kelompok anak-anak yang tumbuh dan berkembang di lingkungan peternakan dimana mereka lebih sering terpapar oleh mikroflora, misalnya dari susu sapi yang tidak terpasterisasi dan peternakan. Sebaliknya, terbentuknya penyakit ini memiliki hubungan yang kuat dengan durasi menyusui. 3. Patofisiologi Terdapat dua hipotesis utama yang diajukan untuk menjelaska terjadinya lesi inflamasi pada penyakit DA. Hipotesis pertama adalah terjadinya ketidakseimbangan sistem imun yang maladaptif, sedangkan hipotesis yang kedua adalah kerusakan pelindung kulit (skin barrier). Meskipun hanya hipotesis sementara namun hipotesis ini memiliki peranan yang saling melengkapi satu sama lain dalam menjelaskan patofisiologi DA.a. Hipotesis ImunologisTeori imunologikal ini mengungkapkan adanya ketidakseimbangan sel T, terutama sel Thelper 1, 2, 17, dan 22 dan juga sel T regulator. Pada fase DA, terutama saat eksim akut terjadi, terjadi dominasi perubahan dari sel Th2 menjadi sel T CD4+. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan produksi dari interleukin, terutama IL-4, IL-5, dan IL-13, yang menyebabkan peningkatan IgE selanjutnya dan terjadi hambatan diferensiasi dari sel Th1.

b. Hipotesis Pelindung Kulit (Skin Barrier)Teori hipotesis ini berhubungan erat dnegan mutasi gen fillagrin yang meningkatkan kejadian DA. Gen fillagrin ini mengkode protein pembentuk struktur stratum korneum dan stratum granulosum yang membantu mengikat keratinosit bersama-sama. Hal ini menjaga keutuhan dari pelindung kulit dan hidrasi dari stratum korneum. Adanya defek pada gen ini menyebabkan produksi protein fillagrin sedikit diproduksi sehingga menyebabkan disfungsi dari pelindung kulit dan menyebabkan kehilangan hidrasi transepidermal yang selanjutnya menjadi penyebab terjadinya eksim. Terdapat bukti bahwa kelemahan pelindung kulit yang menyebabkan kulit kering menjadi pencetus terjadinya penetrasi alergen kedalam kulit. Hal ini menyebabkan sensitisasi alergik, asma, dan hay fever. Pencegahan kulit kering dan eksim yang aktif sedini mungkin menggunakan emolients memiliki pengaruh yang signifikan sebagai pencegahan primer dari progesifitas eksim kulit menjadi penyakit alergik jalan nafas.

4. HistopatologiBiposi kulit diambil dari lokasi eksim yang akut dan memiliki karakteristik edem interseluler, infiltrasi perivaskuler dari limfosit, dan retensi nukleus dari keratinosit yang terus berlanjut hingga lapisan stratum korneum (parakeratosis). Sedangkan pada eksim yang kronik didapatkan karakteristik berupa penebalan stratum korneum (hiperkeratosis), penebalan stratum spinosum (akantosis), dan infiltasi limfosit yang sedikit. 5. Manifestasi Klinis dan Diagnosa

a. Manifestasi Klinis dan DiagnosaManifestasi klinis DA hampir mirip dengan eksim yang terjadi pada dermatitis kontak. Pada bentuk akut, eksim kulit pada DA memiliki karakteristik sebagai berikut : infiltrat kemerahan disertai edem, vesikel, perembesan, dan krusta. Sedangkan pada keadaan subakut dan kronik didapatkan efloresensi berupa: likenifikasi, ekskoriasi, papul, dan nodul.Manifestasi tipikal yang biasanya muncul pada penderita DA adalah kulit kering (xerosis), pucat karena peningkatan tekanan di kapiler dermis, peningkatan respon kolinergik (menggaruk), rambut menjadi kering dan rapuh, adanya warna kehitaman/hiperpigmentasi pada kantung mata (Dennie-Morgan Fold). Gejala klinis dapat dibagi berdasarkan usia : DA pada bayiLokasi : wajah, kepala, lengan dan kaki bagian ekstensor Efloresnsi : Eritem Vesikel - papul ekskoriasi - krusta

DA pada anak Lokasi : Siku dan lutut bagian fleksor, pergelangan tangan dan ankleEfloresnsi : Eksim lebih kering dan likenifikasi (dengan ekskoriasi papul nodul )

DA pada remaja dan dewasaLokasi : wajah, leher, lipat siku, dan lipat lutut. Efloresnsi : Plak papul eritem berskuama likenifikasi (gatal)Kriteria diagnostik yang digunakan secara umum adalah kriteria diagnostik yang dibuat oleh Hanifin dan Rajka pada tahun 1980 dan telah direvisi oleh Ameican Academy of Dermatology.

b. Diagnosa Banding Beberapa penyakit memiliki manifestasi yang hampir sama dengan DA. Meskipun demikian, evaluasi yang teliti dari morfologi dan lokasi predileksi akan memeberikan gambaran khas yang dapat mengarahkan kepada diagnosis yang tepat. Adapun diagnosa banding untuk DA adalah skabies, dermatitis seboroik, dan dermatitis kontak.

c. Komplikasi Beberapa mikroorganisme seperti bakteri, virus, dan jamur dapat menjadi komplikasi pada eksim (penyebab superinfeksi). Pada umumnya kulit penderita DA memiliki lebih banyak kolonisasi bakteri Staphylococcus aureus, terutama pada eksim yang tidak terkontrol dengan baik. Meskipun demikian, jika kuman ini invasif maka akan membentuk penyakit impetigo yang membutuhkan antibiotik topikal maupun oral. Beberapa ahli mengemukakan bahwa mencuci kulit dengan menggunakan cairan antiseptik misalnya chlorhexidine, dapat menurunkan kolonisasi bakteri pada kulit meskipun antiseptik ini dapat menjadi pencetus sensitisasi sekunder. Selama terjadinya defisiensi produksi protein antimicrobial peptide di kulit, pasien DA memiliki faktor risiko lebih tinggi untuk terkena infeksi virus sekunder (misalnya : molluscum kontagiosum (karena pox virus) dan herpes virus ).

6. Terapi Prevention Mencegah kulit kering moisturizer cream/ emolinet Menurunkan intensitas garukan dan infeksi Hindari mandi dg air hangat dalam waktu lama Treat Krim kortikosteroid Fototerapi Systemic Imunosuppressant drug

a. Pencegahan Pencegahahan pertama yakni mencegah timbulnya kulit kering. Penggunaan pelembab kulit/emollient berguna dalam mencegah iritan spesifik ataupun nonspesifik seperti alergen dan baju yang tidak berkatun. Ketika kondisi kulit kering dikurangi, hasrat untuk menggaruk akan berkuranga dan risiko terjadinya infeksi akan menurun. Pencegahan yang kedua adalah mencegah mandi dengan air panas terlalu lama. Hal ini berguna untuk mencegah kekeringan pada kulit dan disarankan pula setelah mandi menggunakan pelembab/emollient untuk menjaga kelembaban epidermis dan keutuhan pelindung kulit (skin barrier).

b. TerapiTerapi bertujuan untuk mengatasi eksaserbasi pada eksim yakni menurunkan intensitas kemerahan ataupun kondisi inflamasi pada eksaserbasi akut. Obat yang digunakan adalah sebagai berikut:

b.1. Topikal Kortikosteroid

Untuk terapi DA akut dan terapi maintenance Rekomdenasi pemakaian 1 x/hr dg lowest potency selama 1-2 minggu Jika keadaan membaik Tappering off 2-3 kali/minggu selama 1-2 minggu Jika kambuh maintenance 2-3 kali/minggu di fokus lokasi proactive treatment Proactive Treatment : penggunaan kortikosteroid secara intermiten yang direkomendasikan untuk eksim yang aktif. efek samping kortikosteroid topikal : Penipisan kulit Talangiektasis Stretch mark

b.2. Fototerapi Untuk dewasa UVB Eksim yang berat UVA atau kombinasi dengan obat fotosensitisasi (photosensitizing drug) DA yang sulit diobati 1-2 minggu fototerapi 3-5x/minggu + kortikosteroid topikal. Efek samping : Penuaan dini pada kulit Peningkatan risiko kanker kulit dalam jangka waktu lama

b.3. Imunosupresan Sistemik Jangka pendek: Kortikosteroid oral ( Tappering off) Untuk DA akut, DA yang luas dan biasanya dikombinasi dengan kortikosteroid topikal DA berat- kronik berulang Setelah tappering off kortikosteroid oral dilanjutkan dengan obat imunosupresan yang kedua (methotrextate/siklosporin/azathioprine

b.4. Antihistamin oral Sedatif Diberikan pada malam hari ( Chlorpheniramin Maleat) Non-sedatif Diberikan pada siang hari (Loratadine/cetrizin)

b.5. Antibiotik oral Untuk superinfeksi (S.aureus )

References[1] M. I. Asher, S. Montefort, B. Bjorksten et al., Worldwide time trends in the prevalence of symptoms of asthma, allergic rhinoconjunctivitis, and eczema in childhood: ISAAC Phases One and Three repeat multicountry cross-sectional surveys, The Lancet, vol. 368, no. 9537, pp. 733743, 2006.[2] H. C. Williams, Atopic dermatitis, New England Journal of Medicine, vol. 352, no. 22, pp. 23142366, 2005.[3] J. M. Spergel, From atopic dermatitis to asthma: the atopic march, Annals of Allergy, Asthma and Immunology, vol. 105, no. 2, pp. 99106, 2010.[4] A. J. Lowe, J. B. Carlin, C. M. Bennett et al., Do boys do the atopic march while girls dawdle? Journal of Allergy and Clinical Immunology, vol. 121, no. 5, pp. 11901195, 2008.[5] S. F. Thomsen, C. S. Ulrik, K. O. Kyvik et al., Importance of genetic factors in the etiology of atopic dermatitis: a twin study, Allergy and Asthma Proceedings, vol. 28,no. 5, pp. 535539, 2007.[6] C. N. A. Palmer, A. D. Irvine, A. Terron-Kwiatkowski et al.,Common loss-of-function variants of the epidermal barrier protein filaggrin are a major predisposing factor for atopic dermatitis, Nature Genetics, vol. 38, no. 4, pp. 441446, 2006.[7] A. D. Irvine, W. H. I. McLean, and D. Y. M. Leung, Filaggrin mutations associated with skin and allergic diseases, New England Journal ofMedicine, vol. 365, no. 14, pp. 13151327, 2011.[8] J. Douwes and N. Pearce, Asthma and the westernization package, International Journal of Epidemiology, vol. 31, no. 6, pp. 10981102, 2002.[9] D. P. Strachan, Hay fever, hygiene, and household size, British Medical Journal, vol. 299, no. 6710, pp. 12591260, 1989.[10] J.-F. Bach, The effect of infections on susceptibility to autoimmune and allergic diseases, New England Journal of Medicine, vol. 347, no. 12, pp. 911920, 2002.[11] E. von Mutius, Maternal farm exposure/ingestion of unpasteurized cows milk and allergic disease, Current Opinion in Gastroenterology, vol. 28, pp. 570576, 2012.[12] S. Hong, W. J. Choi, H. J. Kwon, Y. H. Cho, H. Y. Yum, and D. K. Son, Effect of prolonged breast-feeding on risk of atopic dermatitis in early childhood, Allergy and Asthma Proceedings, vol. 35, pp. 6670, 2014.[13] L. Hammer-Helmich, A. Linneberg, S. F. Thomsen, and C. Glumer, Association between parental socioeconomic position and prevalence of asthma, atopic eczema and hay fever in children, Scandinavian Journal of Public Health, vol. 42, pp.120127, 2014.[14] K. Eyerich and N. Novak, Immunology of atopic eczema: overcoming the Th1/Th2 paradigm, Allergy, vol. 68, pp. 974982, 2013.[15] A. de Benedetto, A. Kubo, and L. A. Beck, Skin barrier disruption: a requirement for allergen sensitization, Journal of Investigative Dermatology, vol. 132, no. 3, pp. 949963, 2012.[16] J. M. Hanifin, K. D. Cooper, V. C. Ho et al., Guidelines of care for atopic dermatitis, developed in accordance with the American Academy of Dermatology (AAD)/American Academy of Dermatology Association Administrative Regulations for Evidence-Based Clinical Practice Guidelines, Journal of the American Academy of Dermatology, vol. 50, pp. 391404, 2004.[17] H. C. Williams, P. G. J. Burney, R. J. Hay et al., The U.K. Working partys diagnostic criteria for atopic dermatitisI. Derivation of a minimum set of discriminators for atopicdermatitis, British Journal of Dermatology, vol. 131, no. 3, pp.383396, 1994.[18] J. F. Stalder, A. Taieb, D. J. Atherton et al., Severity scoring of atopic dermatitis: the SCORAD index. Consensus report of the European Task Force on Atopic Dermatitis, Dermatology, vol. 186, no. 1, pp. 2331, 1993.[19] J. M. Hanifin, M. Thurston, M. Omoto, R. Cherill, S. J. Tofte, and M. Graeber, The eczema area and severity index (EASI): assessment of reliability in atopic dermatitis, Experimental Dermatology, vol. 10, no. 1, pp. 1118, 2001.[20] F. J. Bath-Hextall, A. J. Birnie, J. C. Ravenscroft, and H. C. Williams, Interventions to reduce Staphylococcus aureus in the management of atopic eczema: an updated Cochrane review, British Journal of Dermatology, vol. 163, no. 1, pp. 1226, 2010.[21] J. Ring, A. Alomar, T. Bieber et al., Guidelines for treatment of atopic eczema (atopic dermatitis)part I, Journal of the European Academy of Dermatology and Venereology, vol. 26, pp.10451060, 2012.[22] E. L. Simpson, Atopic dermatitis: a review of topical treatment options, Current Medical Research and Opinion, vol. 26, no. 3, pp. 633640, 2010.[23] G. Ricci, A. Dondi, and A. Patrizi, Useful tools for the management of atopic dermatitis,American Journal of Clinical Dermatology, vol. 10, no. 5, pp. 287300, 2009.[24] H. C. Williams, Established corticosteroid creams should be applied only once daily in patients with atopic eczema, British Medical Journal, vol. 334, no. 7606, article 1272, 2007.[25] M. M. Y. El-Batawy, M. A.-W. Bosseila, H. M. Mashaly, and V. S. G. A. Hafez, Topical calcineurin inhibitors in atopic dermatitis: a systematic review and meta-analysis, Journal of Dermatological Science, vol. 54, no. 2, pp. 7687, 2009.[26] G.Ricci, A. Dondi, A. Patrizi, andM.Masi, Systemic therapy of atopic dermatitis in children, Drugs, vol. 69, no. 3, pp. 297306, 2009.