debating 2

44
PRAKTEK HUKUMAN MATI DI INDONESIA Paper ini merupakan catatan monitoring Kontras terhadap praktek hukuman mati di Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang masih menerapkan hukuman mati dalam aturan pidananya. Padahal, hingga Juni 2006, lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktek hukuman mati baik secara de jure atau de facto. Di tengah kecenderungan global akan moratorium hukuman mati, praktek ini justru makin lazim diterapkan di Indonesia. Paling tidak selama empat tahun berturut-turut telah dilaksanakan eksekusi mati terhadap para 9 orang narapidana. Pro-kontra penerapan hukuman mati ini semakin menguat, karena tampak tak sejalan dengan komitmen Indonesia untuk tunduk pada kesepakatan internasional yang tertuang dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun, sebagaimana juga dijamin dalam konstitusi RI. Hal ini yang mendasari KontraS untuk terlibat aktif dalam upaya penghapusan hukuman mati di negeri ini, sekaligus sebagai penegasan sikap atas penghormatan hak hidup manusia. Hari Penghapusan Hukuman Mati Intenasional, 10 Oktober 2007 menjadi momentum untuk meluncurkan position paper ini. Di tingkat nasional, KontraS terlibat aktif melakukan kampanye penghapusan hukuman mati bersama dengan Koalisi Hapus Hukuman Mati (HATI). Sementara di tingkat regional KontraS juga merupakan salah satu anggota ADPAN (The Anti-Death Penalty Asia Network) yang menjadi anggota dalam koalisi global gerakan abolisi hukuman mati, World Coalition Against The Death Penalty. Catatan monitoring ini dilakukan sejak tahun 2005, dengan berdasarkan pada data-data primer dan sekunder dalam kerja advokasi yang dilakukan KontraS. Karena ketertutupan informasi mengenai hukuman mati di Indonesia, data-data yang disuguhkan adalah data-data hasil temuan KontraS. Sementara data sesungguhnya tidak dapat ditelusuri secara pasti, apalagi data dan informasi tentang penerapan hukuman mati di masa Orde Baru. Meski belum sempurna, kami berharap catatan ini dapat memberikan informasi tentang penerapan hukuman mati di Indonesia. Kami juga berharap catatan in dapat digunakan dalam melakukan kerja advokasi strategis untuk mendorong penghapusan hukuman mati di negeri ini. 1

Upload: amusahib

Post on 27-Jun-2015

449 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Debating 2

PRAKTEK HUKUMAN MATI DI INDONESIA

Paper ini merupakan catatan monitoring Kontras terhadap praktek hukuman mati di Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang masih menerapkan hukuman mati dalam aturan pidananya. Padahal, hingga Juni 2006, lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktek hukuman mati baik secara de jure atau de facto. Di tengah kecenderungan global akan moratorium hukuman mati, praktek ini justru makin lazim diterapkan di Indonesia. Paling tidak selama empat tahun berturut-turut telah dilaksanakan eksekusi mati terhadap para 9 orang narapidana. Pro-kontra penerapan hukuman mati ini semakin menguat, karena tampak tak sejalan dengan komitmen Indonesia untuk tunduk pada kesepakatan internasional yang tertuang dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun, sebagaimana juga dijamin dalam konstitusi RI. Hal ini yang mendasari KontraS untuk terlibat aktif dalam upaya penghapusan hukuman mati di negeri ini, sekaligus sebagai penegasan sikap atas penghormatan hak hidup manusia. Hari Penghapusan Hukuman Mati Intenasional, 10 Oktober 2007 menjadi momentum untuk meluncurkan position paper ini. Di tingkat nasional, KontraS terlibat aktif melakukan kampanye penghapusan hukuman mati bersama dengan Koalisi Hapus Hukuman Mati (HATI). Sementara di tingkat regional KontraS juga merupakan salah satu anggota ADPAN (The Anti-Death Penalty Asia Network) yang menjadi anggota dalam koalisi global gerakan abolisi hukuman mati, World Coalition Against The Death Penalty. Catatan monitoring ini dilakukan sejak tahun 2005, dengan berdasarkan pada data-data primer dan sekunder dalam kerja advokasi yang dilakukan KontraS. Karena ketertutupan informasi mengenai hukuman mati di Indonesia, data-data yang disuguhkan adalah data-data hasil temuan KontraS. Sementara data sesungguhnya tidak dapat ditelusuri secara pasti, apalagi data dan informasi tentang penerapan hukuman mati di masa Orde Baru. Meski belum sempurna, kami berharap catatan ini dapat memberikan informasi tentang penerapan hukuman mati di Indonesia. Kami juga berharap catatan in dapat digunakan dalam melakukan kerja advokasi strategis untuk mendorong penghapusan hukuman mati di negeri ini.

I. Perkembangan TerkiniIsu hukuman mati selalu menjadi debat yang kontroversial. Pro dan kontra penerapan hukuman mati selalu bertarung di tingkatan masyarakat, maupun para pengambil kebijakan. Kontroversi hukuman mati juga eksis baik itu di panggung internasional maupun nasional. Hukum gantung terhadap Saddam Hussein di Irak memicu debat di fora internasional. Di Indonesia kontroversi ini juga memanas ketika eksekusi Tibo Cs dilakukan dan rencana eksekusi terhadap Amrozi Cs. Di tengah kecenderungan global akan moratorium hukuman mati, di Indonesia justru praktek ini makin lazim diterapkan. Paling tidak selama empat tahun berturut-turut telah dilaksanakan eksekusi mati terhadap 9 orang para narapidana (lihat Lampiran, Tabel I). Momentum pembukanya terjadi pada tahun 2004. Pada tahun 2004 terdapat 3 terpidana mati yang sudah dieksekusi, yaitu: Ayodya Prasad Chaubey (warga India, 65 tahun), dieksekusi di Sumatra Utara pada tanggal 5 Agustus 2004 untuk kasus narkoba, Saelow Prasad (India, 62 tahun) di untuk kasus yang sama Sumatra Utara pada tanggal 1 Oktober 2004, dan Namsong Sirilak (Thailand, 32tahun) di Sumatra Utara pada tanggal 1 Oktober 2004 untuk kasus narkoba. Sementara itu pada tanggal 20 Maret 2005 pukul 01.15 WIB dini hari di suatu tempat rahasia di Jawa Timur, Astini (perempuan berusia 50 tahun) –terpidana hukuman mati karena kasus pembunuhan- dieksekusi dalam posisi duduk oleh 12 anggota regu tembak -6 di antaranya diisi peluru tajam- Brimob Polda Jatim dari jarak 5 meter1. Eksekusi ini mengakhiri masa penantian Astini yang sia-sia setelah

1

Page 2: Debating 2

seluruh proses hukum untuk membatalkan hukuman mati telah tertutup ketika Presiden Megawati menolak memberikan grasi pada tanggal 9 Juli 2004 2 . Astini merupakan orang pertama yang dieksekusi di Indonesia pada tahun 2005. Orang kedua adalah Turmudi bin Kasturi (pria, 32 tahun) di Jambi pada tanggal 13 Mei 20053. Turmudi dihukum mati karena melakukan pembunuhan terhadap 4 orang sekaligus di Jambi pada tanggal 12 Maret 1997. Sama dengan Astini, Turmudi mengakhiri hidupnya di hadapan 12 personel Brimob Polda Jambi. Praktek eksekusi mati terjadi lagi di tahun 2006 dan kali ini efeknya jauh lebih buruk. Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu dieksekusi di Palu, Sulawesi Tengah. Mereka divonis sebagai dalang utama kerusuhan horisontal yang terjadi di Poso 1998-2000. Kasus ini sangat kontroversial4 mengingat proses peradilan terhadap mereka yang bertentangan dengan prinsip fair trial. Eksekusi mereka bisa menjadi pintu masuk kepada 16 tersangka lain yang mungkin ‘lebih dalang’ dari mereka, reaksi publik yang begitu intens (baik itu yang pro maupun kontra), hingga hasil pasca eksekusi yang juga penuh dengan aksi kekerasan. Di tahun 2007 ini juga masih terjadi eksekusi mati terhadap terpidana Ayub Bulubili di Kalimantan Tengah. Praktek eksekusi di atas menegaskan bahwa Indonesia masih bersikap teguh untuk mempertahankan kebijakan hukuman mati. Sementara itu daftar terpidana mati yang terancam dieksekusi masih cukup panjang Selain eksekusi tiga orang di atas, hingga di tahun 2007 ini pula vonis hukuman mati masih diterapkan di pengadilan. Pada kasus penyelundupan narkoba oleh warga negara Australia, yang dikenal sebagai kasus Bali Nine, pada awalnya hanya Andrew Chan dan Myuran Sukumaran yang divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Bali.6 Namun, di tingkat pengadilan yang lebih tinggi, jumlah terpidana mati untuk kasus Bali Nine ini bertambah. Scott Anthony Rush, Tan Duc Tanh Nguyen, Matthew James Norman, dan Si Yi Chen kemudian divonis hukuman mati oleh Mahkamah Agung (MA). 7 Untuk kasus narkoba lainnya, Pengadilan Negeri Tengerang memvonis mati pemilik pabrik narkoba di Serang, Banten, Benny Sudrajat dan Iming Santoso, 6 November 2006.8 Begitu pula dengan kasus pembunuhan berencana yang juga menyumbang vonis mati. Di Batam, Pengadilan Negeri Batam memvonis Yehezkiel Ginting atas suatu kasus pembunuhan berencana terhadap satu keluarga, pada 31 Desember 2005.9 Di Sumatera Utara, Pengadilan Negeri Lubuk Pakam memvonis Ronald Sagala dan Nasib Purba untuk kasus pembunuhan terhadap satu keluarga di Dusun III, Desa Naga Lawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, 8 Mei 2006.10 Pada kasus lain, Pengadilan Negeri Ambon menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Asep Jaja alias Aji atas kejahatan terorisme (UU 15 tahun 2004 tentang Terorisme), dengan melakukan penyerangan terhadap pos Brimob di Desa Loki, Kecamatan Piru, Seram Bagian Barat.11 Di tingkat banding, pada 31 Maret 2006, Pengadilan Tinggi Maluku mengubahnya menjadi hukuman seumur hidup.12 Kasus vonis hukuman mati juga dijatuhkan oleh Mahkamah Militer Tinggi III Surabaya, Jawa Timur terhadap Kolonel (AL) M. Irfan Djumori. Ia dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap mantan istrinya dan seorang hakim Pengadilan Agama pada sidang perceraiannya. Kontrovesi kasus hukuman mati lainnya adalah pada kasus Munir. Problemnya adalah prasyarat normatif dari pemerintah Belanda dalam memberikan bantuan kepada pemerintah RI, baik dalam memberikan hasil laporan forensik maupun penyediaan saksi untuk investigasi kasus Munir. Prasyarat normatif tersebut adalah jaminan dari pemerintah RI untuk tidak melakukan penuntutan hukuman mati terhadap terdakwa pelaku. Namun dalam kasus ini Jaksa Agung, Abdurahman Saleh memberikan jaminan untuk tidak menuntut hukuman mati bagi pelaku pembunuh Munir. Pada saat itu dikhawatirkan hukuman mati bagi pelaku pembunuh Munir justru bisa menutup pengungkapan kasus lebih dalam karena saat itu investigasi baru mengarah pada pelaku lapangan dan belum mengarah pada dalang utamanya14. Selain itu Presiden SBY juga menolak grasi terhadap terpidana mati untuk kasus penyelundupan narkoba, Marco Archer Cardoso Moneira, warga negara Brasil, meskipun ada surat permintaan keringanan hukuman oleh Presiden Brasil Lula da Silva.15 Di

2

Page 3: Debating 2

tingkat kebijakan, Presiden SBY juga menegaskan tidak akan memberikan grasi bagi para terpidana kasus narkoba pada peringatan Hari Anti Narkoba Internasional.Langkah kebijakan yang penting lainnya terlihat dari pernyataan Wapres Jusuf Kalla yang tegas menolak usul Uni Eropa agar Indonesia menghapuskan pidana mati pada rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP yang baru. Usul Uni Eropa tersebut disampaikan oleh Dubes Finlandia, Markku Nilnloja, Dubes Jerman, Joachim Broudre Groger, serta delegasi Komisi Uni Eropa, Ulrich Eckle.17 Sementara itu di tingkatan internasional, eksekusi Saddam Hussein merupakan kasus yang menyedot perhatian besar. Meskipun Saddam Hussein dikenal sebagai seorang tiran yang memiliki rekam jejak sebagai penjahat HAM, pengadilan yang dibentuk atas dirinya tidak memenuhi standar HAM internasional dan sangat jauh dari ukuran prinsip fair trial. Perkembangan lainnya adalah diajukannya uji materil (judicial review) yang dilakukan oleh beberapa terpidana mati untuk UU No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika di Mahkamah Konstitusi. Perkembangan ini penting mengingat lewat mekanisme inilah hukuman mati dinilai apakah bersifat konstitusional atau tidak.

II. Menolak Hukuman MatiKontraS, di berbagai kesempatan selalu menyatakan penolakkan atas hukuman mati sebagaiekspresi hukuman paling kejam dan tidak manusiawi 18 . Hukuman mati merupakan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang paling penting, yaitu hak untuk hidup (right to life). Hakfundamental (non-derogable rights) ini merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila seseorang menjadi narapidana. Indonesia sendiri ikut menandatangani Deklarasi Universal HAM dan Presiden SBY telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil Politik, keduanya secara jelas menyatakan hak atas hidup merupakan hak setiap manusia dalam keadaan apapun dan adalah kewajiban negara untuk menjaminnya. Sayangnya ratifikasi Kovenan Sipil Politik ini tidak diikuti pula dengan ratifikasi Protokal Tambahan Kedua Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik tentang Pengahapusan Hukuman Mati. Hukuman mati memiliki turunan pelanggaran HAM serius lainnya, yaitu pelanggaran dalam bentuk tindak penyiksaan (psikologis), kejam dan tidak manusiawi. Hal ini bisa terjadi karena umumnya rentang antara vonis hukuman mati dengan eksekusinya berlangsung cukup lama. Tragisnya Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan dan mengadopsinya menjadi UU Anti Penyiksaan No.5/1998. Penerapan hukuman mati di Indonesia juga bertentangan dengan perkembangan peradaban bangsa-bangsa di dunia saat ini. Amnesty Internasional, mencatat hingga September 2007 ini, terdapat 142 negara –dengan rata-rata pertambahan 3 negara tiap tahun- yang telah menghapuskan hukuman mati, baik melalui mekanisme hukum maupun praktek konkrit. Bahkan dari jumlah di atas, 24 negara memasukkan penghapusan hukuman mati di dalam konstitusinya. Wilayah yang negaranya paling aktif menghapus praktek hukuman mati adalah Afrika, yang memiliki kultur, sistem politik, dan struktur sosial yang mirip dengan Indonesia. Penghapusan hukuman mati -baik melalui mekanisme hukum atau politik- di Indonesia pasti meninggikan martabat Indonesia di mata komunitas internasional. Selain itu dalam konteks politik hukum di Indonesia, hukuman mati harus ditolak karena:

1. Karakter reformasi hukum positif Indonesia masih belum menunjukkan sistem peradilan yang independen, imparsial, dan aparatusnya yang bersih. Bobroknya sistem peradilan bisa memperbesar peluang hukuman mati lahir dari sebuah proses yang salah. Kasus hukuman mati Sengkon dan Karta pada tahun 1980 lalu di Indonesia bisa menjadi pelajaran pahit buat kita. Hukum sebagai sebuah institusi buatan manusia tentu tidak bisa selalu benar dan selalu bisa salah.

3

Page 4: Debating 2

2. Dari kenyataan sosiologis, tidak ada pembuktian ilmiah hukuman mati akan mengurangi tindak pidana tertentu. 19 Artinya hukuman mati telah gagal menjadi faktor determinan untukmenimbulkan efek jera, dibandingakan dengan jenis hukuman lainnya. Kajian PBB tentang hubungan hukuman mati (capital punishment) dan angka pembunuhan antara 1988-2002 berujung pada kesimpulan hukuman mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan dari hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup. Meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, namun oleh problem struktral lainnya seperti kemiskinan atau aparat hukum/negara yang korup. Di tahun 2005 ini misalnya ditemukan pabrik pil ekstasi berskala internasional di Cikande, Serang, Banten. Pabrik ini dianggap sebagai pabrik ekstasi terbesar ketiga di dunia dengan total produksi 100 kilogram ekstasi per minggu dengan nilai sekitar Rp 100 milyar20. Ternyata operasi ini melibatkan dua perwira aparat kepolisian; Komisaris MP Damanik dan Ajun Komisaris Meningkatnya angka kejahatan narkoba juga diakui oleh Polda Metrojaya. angka kasus narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya (narkoba) tahun 2004 naik hingga 39,36 persen jika dibandingkan dengan angka kasus narkoba tahun 2003. Selama tahun 2004 Polda Metrojaya telah menangani 4.799 kasus narkoba, atau meningkat 1.338 kasus jika dibandingkan kasus narkoba tahun 2003 yang hanya 3.441 kasus22. Bahkan untuk kejahatan terorisme hukuman mati umumnya justru menjadi faktor yang menguatkan berulangnya tindakan di masa depan. Hukuman mati justru menjadi amunisi ideologis untuk meningkatkan radikalisme dan militansi para pelaku. sampai saat ini bahkan kejahatan terorisme masih menjadi momok dan negara sama sekali tidak punya jawaban efektif atas persoalan ini. Terakhir kali pada 1 Oktober 2005 lalu terjadi lagi kasus bom bunuh diri di 1Bali. Satu pernyataan pelaku kasus pemboman di depan Kedubes Australia, Jakarta (9 September 2004), Iwan Dharmawan alias Rois, ketika divonis hukuman mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 13 November 2005:“Saya tidak kaget dengan vonis ini karena saya sudah menyangka sejak awal sayamenjadi terdakwa. Saya menolak vonis ini karena dijatuhkan oleh pengadilan setanyang berdasarkan hukum setan, bukan hukum Allah. Kalaupun saya dihukum mati,berarti saya mati syahid”.23 Sikap ini juga ditunjukkan terdakwa kasus bom lainnya yang umumnya menolak meminta grasi atau pengampunan atas perbuatan yang telah dilakukan24. Penerapan hukuman mati jelas tidak berefek positif untuk kejahatan terorisme semacam ini.3. Praktek hukuman mati di Indonesia selama ini masih bias kelas dan diskriminasi, di manahukuman mati tidak pernah menjangkau pelaku dari kelompok elit yang tindak kejahatannyaumumnya bisa dikategorikan sebagai kejahatan serius/luar biasa. Para pelaku korupsi, pelakupelanggaran berat HAM dengan jumlah korban jauh lebih masih dan merugikan ekonomi orang banyak tidak pernah divonis mati. Padahal janji Presiden SBY hukuman mati diprioritaskan buat kejahatan luar biasa seperti narkoba, korupsi, dan pelanggaran berat HAM.4. Penerapan hukuman mati juga menunjukkan wajah politik hukum Indonesia yang kontradiktif. Salah satu argumen pendukung hukuman mati adalah karena sesuai dengan hukum positif Indonesia. Padahal semenjak era reformasi/transisi politik berjalan telah terjadi berbagai perubahan hukum dan kebijakan negara. Meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional, namun reformasi hukum juga menegaskan pentingnya hak untuk hidup. Pasal 28I ayat (1) UUD ’45 (Amandemen Kedua) menyatakan:hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surutadalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.Sayangnya masih banyak sekali peraturan dan perundang-undangan yang bertentangan dengan

4

Page 5: Debating 2

semangat konstitusi di atas. Tercatat masih terdapat 11 perundang-undangan yang masihmencantumkan hukuman mati.

Perundang-undangan RI yang Memiliki Ancaman Pidana Hukuman MatiIII. Diskursus Hukuman MatiPraktek eksekusi beberapa tahun belakangan ini juga sempat memicu debat akan diskursus soal hukuman mati. Perkembangan ini terutama dipicu oleh berbagai liputan dan tayangan media massa –khususnya televisi- yang menggambarkan kondisi terpidana mati Asti dalam menghadapi sakratul maut. Liputan yang cukup intensif di beberapa hari sebelum eksekusi kemudian mendorong banyak pihak untuk berkomentar. Di sudut paling ekstrim adalah kelompok yang menentang sama sekali praktek hukuman mati. Sementara kelompok ekstrim lainnya tetap mempertahankan hukuman mati. Kelompok pertama terdiri dari sedikit organisasi HAM dan di sudut ekstrim lainnya diisi oleh para pejabat negara –atas nama hukum-, kelompok agama, dan sebagian publik yang melihat mengangap hukuman mati sebagai alternatif penegakkan hukum diIndonesia yang amburadul. Jadi pada kenyataannya ide tentang penghapusan hukuman mati masih merupakan diskursus marginal. Karenanya debat diskursus tidak mengarah pada pertanyaan tentang penghapusan hukuman mati, namun lebih berkutat pada metode hukuman mati yang lebih mengurangi rasa penderitaan bagi si terpidana mati atau yang agak lebih maju soal penerapan hukuman mati di kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan serius atau luar biasa. Berikut ini rangkuman diskursus yang berkembang tentang hukuman mati. 1. kelompok organisasi HAM yang menolak praktek hukuman mati untuk segala bentuk kejahatan. Kelompok ini mendasarkan argumennya pada perspektif HAM yang menyatakan hak atas hidup bersifat abolut, tidak boleh dicabut siapapun –bahkan oleh negara lewat instrumen hukum-, dan terlebih lagi penegakkan hukum dan HAM yang masih buruk di Indonesia; aparat peradilan yang masih korup dan praktek fair trial yang belum terpenuhi. Salah satu yang menyatakan penolakkan/abolisi praktek hukuman mati adalah KontraS25. Kedua, pada prinsipnya diskursus dominan dalam tema hukuman mati adalah tetap mempertahankannya. Mereka disebut kelompok dominan karena terdiri dari para pejabat negara, mulai dari presiden26, Jaksa Agung, pemimpin agama, bahkan hingga anggota Komnas HAM sekalipun. Mereka yang mempertahankan diskursus hukuman mati adalah: 1) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam debat Capres/cawapres yang diselenggarakan oleh KPU di Hotel Borobudur menyatakan hukuman mati kepada pengedar narkoba, koruptor, dan pelanggar berat HAM merupakan keadilan yang harus ditegakkan dan memberikan efek jera bagi para pelakunya27.2) Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menegaskan hukuman mati masih diperlukan supaya upaya memberikan efek jera.28 Jaksa Agung hanya mengusulkan adanya perubahan metode hukuman mati, dari metode eksekusi tembak mati dengan metode lain seperti suntik mati atau digantung.29 Selama ini metode hukuman mati hanya dilakukan lewat tembak mati sesuai dengan UU No.2/PNPS/196430. Ide perubahan metode hukuman mati ini juga didukung oleh Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaluddin 31. Jaksa Agung kemudian meminta masukan dan konsultasi dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk meminta rekomendasi metode hukuman mati lainnya 32. Namun kemudian IDI sendiri menolak merekomendasikan jenis hukuman mati Keseriusan Jaksa Agung untuk mengubah metode hukuman mati juga ditunjukkan dengan membentuk Kelompok Kerja Hukuman Suntik Mati, yang melibatkan Mahkamah Agung, IDI, Departemen Hukum dan HAM, Departemen Kesehatan, dan Polri34. Selain itu Kejaksaan Agung juga meminta fatwa MA untuk batas waktu Pengajuan Kembali/PK dan Grasi dari terpidana mati supaya memiliki kepastian waktu untuk eksekusi35.3) Majelis Ulama Indonesia/MUI juga mengeluarkan fatwa tentang hukuman mati pada acara

5

Page 6: Debating 2

Musyawarah Nasionalnya yang ke-7, 28 Juli 2005 di Jakarta. MUI mendukung hukuman matiuntuk kejahatan tertentu. Fatwa hukuman mati merupakan satu dari sebelas fatwa MUI lainnya seperti mengharamkan perkawinan beda agama, mengharamkan pluralisme, menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran sesat, dan sebagainya36.4) Pernyataan sikap yang lebih maju dikemukakan oleh Ketua MA, Bagir Manan. Menurut Bagir sebaiknya terpidana hukuman mati yang sudah divonis tetapi dalam waktu lima tahun tidak dieksekusi, maka hukumannya diubah menjadi pidana seumur hidup37. Sayangnya debat ini tidak juga bisa mendorong transparasi praktek hukuman mati, sesuatu yang wajib dilakukan Pemerintah RI sebagai Negara Pihak Kovenan Sipil-Politik. Angka-angka yang ditampilkan di tulisan ini (Lampiran Tabel I dan II) tidak bisa menggambarkan keseluruhan data perkembangan hukuman mati di Indonesia. Jaksa Agung sendiri mengeluarkan data hukuman mati versinya 38 . Data terpidana mati secara keseluruhan sampai dengan Desember 2004 39 berjumlah 73 orang dengan perincian sebagai berikut:-Pasal 89:(1) Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10(sepuluh) tahun, jika: (2) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubahmenjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama (dua puluh) tahundengan Keputusan Menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum.(3) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untukdiperbaiki, maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.-Pasal 90:“Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakanselama 10 (sepuluh) tahun bukan karena terpidana melarikan diri, maka pidanatersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden”.Ada beberapa kemajuan dalam RUU ini. Seperti adanya pertimbangan akhir –lewat evaluasi yang cukup lama- untuk mempersulit eksekusi mati bagi seorang terpidana. Namun menjadipertanyaan apakah periode penundaan eksekusi yang berkepanjangan (death row phenomenon) terhadap seorang narapidana sesuai dengan norma HAM kontemporer. Preseden dan pengalaman Komite HAM (ICCPR) atau Komite Anti Penyiksaan (CAT) –yang keduanya sudah diratifikas Pemerintah RI- menunjukan prakek tersebut juga tidak diperkenankan.

IV. Inisiatif Masyarakat SipilIsu hukuman mati yang begitu kontroversial beberapa tahun belakang ini juga mendorongberbagai kelompok penentang hukuman mati untuk mengkonsolidasikan dirinya. Momentumkonsolidasi ini mengambil tanggal 10 Oktober, yaitu Hari Anti Hukuman Mati Sedunia. Kegiatanyang dimotori oleh Aliansi Hapus Hukuman Mati (HATI) ini ditandai oleh kegiatan orasi dari13berbagai tokoh, happening art, distribusi alat-alat kampanye, dan pembacaan surat pribadi ke publik. Peringatan ini dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pada peringatan tersebut juga dibacakan surat dari seorang ayah (Brian K. Deegan) yang anaknya (Joshua Kevin Deegan), menjadi korban peristiwa Bom Bali I, 12 Oktober 2002. Surat itu merupakan permintaan Brian K. Deegan kepada semua pihak yang berkepentingan untuk tidak mengeksekusi para pelaku kasus Bom Bali I, Amrozi cs. Meski ia sendiri sangat membencitindakan para pelaku tersebut, Brian K. Deegan menolak membenarkan eksekusi mati kepad Amrozi cs. Dalam suratnya tersebut ia menyatakan:“Saya menentang hukuman mati di bawah situasi apapun. Joshua, anak saya juga

6

Page 7: Debating 2

menentang hukuman mati. Atas alasan ini Saya meminta hukuman mati tersebut diubahmenjadi hukuman seumur hidup, tanpa kemungkinan ada keringanan”.46Selain advokasi nasional, kelompok-kelompok organisasi HAM di Indonesia juga membangun jaringan regional gerakan anti hukuman mati. Sebagai inisiatif penguat kecenderungan abolisi hukuman mati di dunia, sekelompok NGO regional Asia berkumpul membentuk jaringan gerakan abolisi hukuman mati. Pada Juli 2006 di Hong Kong, berbagai NGO dari India, Singapura, Thailand, Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Hong Kong, Australia, Mongolia, Pakistan, Papua New Guini, dan termasuk Indonesia, yang direpresentasikan oleh KontraS sepakat membentuk jaringan regional gerakan abolisi hukuman mati, ADPAN (The Anti-Death Penalty Asia Network).47 Acara ini juga dihadiri oleh perwakilan dari koalisi global gerakan abolisi hukuman mati, World Coalition Against The Death Penalty. Kegiatan ini bisa berlangsung atas insiatif dan difasilitasi oleh Amnesty International. Latar belakang pembentukan jaringan regional ini karena didasari suatu kenyataan bahwa region Asia merupakan kawasan paling resisten terhadap penghapusan hukuman mati. Ini bisa terlihat dari jumlah negara Asia yang paling sedikit menerapkan praktek abolisi hukuman mati baik secara de jure maupun de facto, bila dibandingkan dengan kawasan lainnya. Tujuan dari pembentukan jaringan ini adalah untuk memperkuat semangat masing-masing dengan membagi cerita pengalaman secara bersama-sama, dan secara bersama-sama merumuskan agenda regional yang memerlukan kerja berjaringan. Beberapa agenda bersama adalah secara serempak di masing-masing negara mengorganisir kegiatan peringatan Hari Anti Hukuman Mati Sedunia pada setiap tanggal 10 Oktober dan memperingati kegiatan Cities for Life pada tanggal 30 November. Kegiatan ini berbentuk aksi simbolik menyalakan lampu terang pada suatu gedung di suatu kota. Di tahun 2006 ini tercatat ada 537 kota di 31 negara yang berpartisipasi dalam kegiatan ini. Kegiatan Cities for Life ini diinisiasi oleh Komunitas Sant’Egidio untuk mengenang tanggal pertama -30 November 1786- terjadinya penghapusan hukuman mati oleh suatu otoritas negara di Eropa, Great Duchy of Tuscany. Momentum ini dianggap sebagai sejarah pertama penghapusan hukuman mati oleh suatu negara modern.

V. Kecenderungan Globalsecara de jure atau de facto, dan eksekusi terhadap terpidana mati hanya dijalankan di sedikitnegara. Kecenderungan ini dianggap merupakan sebuah perkembangan yang mengejutkan dan merupakan salah satu tematik HAM yang paling progresif pasca Perang Dunia II, bahkan bila dilihat dari evolusinya di tataran hukum internasional 48 Beberapa negara juga semakinmemperketat praktek eksekusi dan hukuman mati dalam sistem hukumnya. Namun perkembangan positif ini masih harus menghadapi fenomena hukuman mati di beberapa negara yang masih dilakukan begitu cepat dan mudah. Prinsip-prinsip hukum yang harusnyasangat ketat bagi kasus-kasus hukuman mati tidak juga dipertimbangkan. Selain itu di akhir tahun 2006 –persis di hari Raya Islam Idul Adha- juga ditandai oleh eksekusi mati Saddam Hussein, mantan penguasa Irak, lewat suatu pengadilan yang diragukan independensinya. Meskipun kuat dugaan Saddam Hussein terlibat dalam kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan semasa ia berkuasa, hukuman mati dan eksekusi Saddam tetaplah sesuatu yang negatif. Apalagi bila memperhitungkan kerentanan situasi sosial politik di Irak pasca invasi pimpinan Amerika Serikat.

Praktek Hukuman Mati di Duniakeharusan suatu kasus hukuman mati untuk diputus di tingkat pengadilan tertinggi, Mahkamah Agung. Sebelumnya putusan final hukuman mati bisa ditentukan oleh pengadilan tingkat provinsi. Reformasi ini diperkirakan bisa menurunkan angka eksekusi mati secara drastis karena banyak kritik menyatakan hukuman mati di RRC lahir akibat proses peradilan yang korup dan tidak menyediakan mekanisme supervisi atau kontrol yang ketat. Perubahan

7

Page 8: Debating 2

ini menurut beberapa sumber disebabkan oleh suatu skandal kasus hukuman mati yang mendapat sorotan tajam publik di RRC. Kasus ini mengenai seorang pembunuh yang dieksekusi mati namun di belakangan hari ditemukan fakta bahwa ternyata korbannya masih hidup. Banyak pihak menganggap praktek hukuman mati merupakan hal yang lazim secara universal. Pada kenyataaannya tidak. Meski menghasilkan figur di atas, kecenderungan global menunjukan arah yang positif menuju penghapusan hukuman mati. Hingga di akhir tahun 2006 mayoritasnegara di dunia bergerak ke arah abolisi dengan berbagai cara. Ada yang secara formal legalistik menjamin penghapusan hukuman mati bagi seluruh jenis kejahatan. Ada yang membatasi praktek hukuman mati hanya berlaku untuk masa perang dan ini bisa dianggap sebagai sikap abolisionis. Ada negara yang melakukan praktek moratorium untuk hukuman mati. Kategori moratorium ini ditentukan oleh komitmen politik pejabat negaranya untuk tidak menggunakan hukuman mati meskipun sistem hukumnya masih mengatur penggunaannya, atau meski tidak ada pernyataan politik suatu negara selama 10 tahun tidak menjalankan eksekusi mati. Perkembangan mundur yang terjadi hanyalah dilakukannya eksekusi mati gantung terhadap Saddam Hussein di Irak pada 30 Desember 2006 Kecenderungan ini untuk semakin memperkuat debat panjang tentang hukuman mati ditinjau dari perspektif HAM. Meskipun isu ini masih menjadi kontroversi di tingkatan pengaturan normatif berbagai instrumen HAM, kecenderungan ini semakin memperkuat posisi kubu abolisionis yang punya tujuan akhir menyatakan bahwa hukuman mati secara absolut merupakan pelanggaran HAM, khususnya hak atas hidup. Pada dekade 1950-an –saat Pasal 6 Kovenan Sipil-Politik telah disusun- negara-negara yang menghapus hukuman mati untuk seluruh jenis kejahatan baru berjumlah 14 negara. Negara-negara yang menghapus hukuman mati hanya untuk jenis kejahatan biasa baru berjumlah 19 negara. Sementara itu hingga September 2007 ini, total negara yang sudah melakukan penghapusan (abolisi) hukuman mati dengan berbagai bentuk adalah 142, sementara jumlah negara yang masih menerapkan hukuman mati adalah 55. Dari 55 negara yang mempertahankan hukum mati, eksekusi terpidana mati hanya dilakukan di 25 negara untuk 2004 dan 22 negara untuk 2005. Argumen ini semakin diperkuat bahwa ketentuan hukuman mati –di luar Protokol Tambahan Kedua Kovenan Sipil-Politik- kemudian juga dihapuskan diberbagai mekanisme pengadilan HAM internasional meskipun juridiksinya mencakup kejahatan paling berat dan serius di bawah hukum internasional. Statuta Tribunal HAM Internasional Roma Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute of the International Criminal Court, 1998) yang merupakan Pengadilan HAM Internasional yang permanen.52 Hal ini juga sejalan dengan perkembangan ratifikasi Protokol Tambahan Kedua (Abolisi Hukuman Mati) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang jumlahnya semakin bertambah. Hingga September 2007 tercatat sudah 59 Negara Pihak dari treaty ini dengan Negara Pihak yang baru, yaitu: Andorra, Moldova, Filipina, dan Turki. Dalam mekanisme yang lain terdapat Resolusi Komisi HAM PBB 2005/59 53 yang kembali menegaskan bahwa penghapusan hukuman mati merupakan salah satu tonggak progresif dalam peradaban HAM saat ini, sambil menyerukan ratifikasi terhadap Protokol Tambahan Kedua Kovenan Sipil-Politik. Resolusi ini juga memiliki tujuan yang lebih pragmatis dengan menekankan masalah isu hukuman mati atas anak-anak di bawah 18 tahun, larangan hukuman mati bagi mereka yang dikategorikan gila, pembatasan hukuman mati bagi ‘kejahatan paling serius’ yang tidak boleh mencakup kejahatan ekonomi atau segala kejahatan yang bersifat nonfisik, dan seruan untuk tidak menerapkan hukuman mati sebagai hukuman wajib/mandatory death penalty untuk kejahatan tertentu. Hal yang sama ditampilkan di Laporan Lima Tahunan PBB (UN Quinquennial Report on Capital Punishment) yang ke-7. Laporan PBB yang unik ini berisi monitoring isu hukuman mati baik di tingkatan praktek, legislasi, institusi, maupun politik.54 PBB sendiri merupakan lembaga yang secara tegas menolak praktek hukuman mati kepada semua terpidana, termasuk bagi

8

Page 9: Debating 2

para pelaku kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, atau kejahatan perang. Semuanya merupakan kategori kejahatan di bawah hukum internasional yang paling serius. Saat ini di tingkat internasional sudah terdapat 4 instrumen HAM –satu bersifat internasional dan tiga bersifat regional- yang khusus mengatur penghapusan hukuman mati.55 Sementara itu ada juga instrumen internasional lain yang menyinggung pelarangan praktek hukuman mati. Konvensi Hak-Hak Anak/Convention on the Rights of the Child (1989) Pasal 37 (a) melarangeksekusi mati bagi anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun. Mekanisme pengadilan/tribunal HAM internasional (ICC, ICTY, ICTR) -seperti yang disinggung di atas- yang merupakan instrumen internasional juga semakin menambah deret panjang hukum internasional yang mengatur abolisi hukuman mati. Sementara itu dalam konteks Kovenan Sipol (bagi Negara Pihak yang masih menerapkan praktek hukuman mati), PBB mengeluarkan sebuah panduan berjudul Jaminan Perlindungan bagi mereka yang Menghadapi Hukuman Mati (Resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB 1984/50, tertanggal 25 Mei 1984) atau Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the DeathSipil-Politik –satu-satunya treaty internasional yang ”membolehkan” praktek hukuman mati- terdapat tafsir legal baru dari Komite HAM. Tafsir Komite HAM sendiri atas hukuman mati ada pada Komentar Umum No. 6: Pasal 6 (Hak atas Hidup) (paragraf 6) yang menyatakan bahwa semangat Kovenan ini tetaplah pada arah penghapusan hukuman mati dan penghapusan tersebut merupakan suatu progresivitas implementasi hak atas hidup. Penalty. Ketentuan ini terus diperbaharui, termasuk terakhir oleh Resolusi Komisi HAM 2005/59. Panduan ini memperjelas pembatasan praktek hukuman mati menurut Kovenan Sipol.

Pembatasan praktek hukuman mati tersebut antara lain:1) Di negara yg belum menghapuskan hukuman mati, penerapannya hanya bisa berlaku bagi‘kejahatan yang paling serius yang kategorinya harus sesuai dengan tingkat konsekwensi yang sangat keji.2) Hukuman mati hanya boleh berlaku bila kejahatan tersebut tercantum dalam produk hukum tertulis yang tidak bisa bersifat retroaktif pada saat kejahatan tersebut dilakukan. Dan jika di dalam produk hukum tersebut tersedia hukuman yang lebih ringan, maka yang terakhir ini yang harus diterapkan. Hukuman mati yang bersifat wajib diterapkan (mandatory death penalty) untuk suatu kejahatan juga tidak diperbolehkan.3) Hukuman mati tidak boleh diterapkan pada anak yang berusia 18 tahun pada saat ia melakukan kejahatan tersebut Hukuman mati tidak boleh diterapkan kepada perempuan yang sedang hamil atau ibu yang baru melahirkan. Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan kepada orang yang cacat mental atau gila.4) Hukuman mati hanya boleh diterapkan ketika kesalahan si pelaku sudah tidak menyediakan sedikitpun celah yang meragukan dari suatu fakta atau kejadian.5) Hukuman mati hanya bisa dijatuhkan sesuai dengan keputusan hukum yang final lewat sebuah persidangan yang kompeten yang menjamin seluruh prinsip fair trial, paling tidak sesuai dengan Pasal 14 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, termasuk pada setiap kasus yang diancam hukuman mati, seorang terdakwa harus disediakan pembelaan hukum yang memadai6) Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi dan banding tersebut bersifat imperatif/wajib.7) Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan pengampunan, atauperubahan hukuman. Hal ini harus mencakup semua jenis kejahatan.8) Hukuman mati tidak boleh diberlakukan untuk membatalkan upaya pengajuan pengampunan atau perubahan hukuman.9) Ketika eksekusi mati dijalankan, metodenya harus seminimal mungkin menimbulkan

9

Page 10: Debating 2

penderitaan. Meski demikian masih menjadi perdebatan apakah hukuman mati merupakan jenis hukuman kejam (corporal punishment) sebagaimana yang menjadi subjek isu Pasal 7 Kovenan Sipol dan juga Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia Namun demikian di tingkatan internasional juga masih terdapat praktek kemunduruan. Di penghujung tutup tahun 2006 ini, ditandai sebuah eksekusi mati terhadap seorang tokoh nternasional penting. Saddam Hussein, mantan penguasa Irak, dieksekusi dengan digantung pada sekitar pukul enam pagi waktu Baghdad, 30 Desember 2006, di saat umat Muslim merayakan Idul Adha. Saddam Hussein divonis mati pada tanggal 5 November 2006 setelah pengadilan Irak (the Supreme Iraqi Criminal Tribunal/SICT) menyatakan ia bersalah atas pembunuhan terhadap 148 orang dari desa al-Dujail setelah upaya percobaan pembunuhan yang gagal terhadap dirinya di tahun 1982. Persidangan terhadap Saddam Hussein dimulai pada Oktober 2005, hampir dua tahun setelah ia ditangkap oleh pasukan Amerika Serikat dan persidangan tersebut berakhir pada Juli 2006. Pengadilan Banding/Tinggi Irak kemudian memperkuat putusan pertama pada 26 Desember 2006 dan memerintahkan pelaksanaan eksekusi dalam kurun waktu 30 hari. Dua rekan Saddam Hussein lainnya, Barzan Ibrahim al-Tikriti, saudara tirinya yang pernah menjabat sebagai Kepala Badan Intelejen Irak, dan Awad al Bandar, mantan Hakim Ketua pada Pengadilan Revolusioner Irak. Mereka divonis mati dengan dakwaan yang sama dengan Saddam. Eksekusi mereka belum ditentukan secara pasti, namun tenggangnya tetap 30 hari setelah putusan banding, 26 Desember 2006. Eksekusi Saddam Hussein ini menimbulkan berbagai reaksi keras dari banyak perwakilan negara, khususnya dari komunitas Uni Eropa, beberapa Pelapor Khusus PBB, dan organisasi-organisasi HAM internasional. Eksekusi Saddam tidak hanya melanggar prinsip hak atas hidup yang tidak mentolerir praktek hukuman mati, namun juga eksekusi ini lahir lewat sebuah proses peradilan yang tidak jujur dan mandiri (unfair trial). Pelapor Khusus PBB tentang Kemandirian Pengadilan, Leandro Despouy menilai persidangan Saddam Hussein dan terdakwa lainnya tidak memenuhi standar dan prinsip universal akan pengadilan yang independen/mandiri dan mereka tidak mendapatkan hak-haknya sebagai terdakwa secara memadai64. Beberapa organisasi HAM internasional –seperti Human Rights Watch 65 - yang memantau pengadilan Saddam Hussein menemukan banyak cacat prinsipil dan prosedural. Sejak awal proses persidangan bagi Saddam Hussein yang dituduh bertanggung jawab atas praktek kejahatan terhadap kemanusiaan/crimes against humanity sudah menimbulkan kontroversi yang pekat. Mantan ditaktor Irak ini dituduh bertanggung jawab atas pembunuhan massal 148 orang dari Kota al-Dujail pada tahun 1982 setelah ada upaya percobaan pembunuhan terhadap dirinya. Sejak awal badan-badan PBB sudah menyatakan bahwa invasi pimpinan Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003 merupakan tindakan yang ilegal. Pembentukan SICT juga merupakan tindakan sepihak yang melanggar standar HAM universal. Seharusnya untuk dakwaan seserius yang dituduhkan terhadap Saddam Hussein harus diadili oleh mekanisme Tribunal HAM internasional, sama seperti untuk kasus bekas negara-negara di Yugoslavia (ICTY) dan di Rwanda (ICTR). Penyimpangan lainnya adalah meskipun SICT didisain mirip dengan Tribunal HAM internasional namun SICT menerapkan hukuman mati, sementara ICTY dan ICTR -yang dibentuk atas resolusi Dewan Keamanan PBB 808 (1993) dan 955 (1994)- sudah tidak memperbolehkannya. Sejak awal SICT penuh dengan intervensi dari lawan politk Saddam Hussein dan kepentingan Pemerintahan Bush. Unfair trial dari SICT terlihat dari kegagalannya untuk menunjuk perangkat pengadilan yangimparsial dan independen. Pemerintah AS mendukung pihak penuntut dengan mengeluarkanratusan ribu dollar AS untuk mencari bukti yang memberatkan, sementara tim pembela Saddam Hussein bekerja secara voluntaristik dan sering mendapat tekanan. Kegagalan lainnya adalah ketiadaan perlindungan terhadap saksi dan pembela hukum. Sejak dimulainya persidangan sudah tiga pembela hukum Saddam Hussein yang dibunuh. Monitoring

10

Page 11: Debating 2

organisasi HAM internasional juga menunjukkan bahwa Saddam Hussein tidak mendapat akses penuh terhadap pembela hukumnya pada tahun pertama setelah ia ditangkap. Praktek persidangan yang tidak independen dan jujur ini merupakan preseden yang buruk bagi reformasi institusi peradilan di Irak yang sedang menjalani proses transisi. Eksekusi Saddam Hussein bukan satu-satunya kemunduran dalam gerakan penghapusan hukuman mati. Di bulan Desember 2006, Bahrain melakukan eksekusi untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun terakhir. Di Florida, Amerika Serikat, pada bulan Desember 2006, Angel Diaz dieksekusi dengan suntik racun (lethal injection). Ia mengerang kesakitan setelah mendapat suntikan pertama. Setelah itu suntikan kedua dilakukan dan baru 34 menit kemudian Diaz dinyatakan meninggal. Dua hari kemudian, Gubernur Florida, Jab Bush menunda semua eksekusi sampai bisa dibuktikan metode suntik itu benar-benar ‘manusiawi’. Keterangan: Ada dua terpidana mati yang sudah meninggal dunia sebelum dieksekusi. Siswanto (alias Robot Gedek), yang kasusnya cukup terkenal –dengan kasus pembunuhan sambil melakukan sodomi terhadap anak kecil- meninggal dunia dalam tahanan pada Maret 2007. Syam Ahmad Sanusi, seorang mantan marinir yang kasusnya berhubungan dengan Suud Rusli dan Gunawan Santosa. Melarikan diri dari penjara militer Cimanggis, 5 Mei 2005 dan kemudiantertembak mati dalam pelariannya pada 17 Agustus 2007. Sumber : KontraS, dari berbagai sumber. Informasi mungkin tidak akurat karena data tentang hukuman mati di Indonesia tidak terlalu terbuka.

APAKAH HUKUMN MATI MELANNGAR HAMHukuman mati masih dipraktekkan di Indonesia sampai dengan saat ini, terutama untuk beberapa tindak pidana berat, seperti pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP), peredaran narkotika, dan terorisme. Namun memang akan terjadi kontradiksi jika kemudian kita melihat ketentuan mengenai hak hidup dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUDNRI 1945) dalam Bab XA mengenai Hak Asasi Manusia, khususnya pada Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1).

 UUDNRI merupakan sumber hukum tertinggi di Indonesia. Pasal 28A menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Sedangkan Pasal 28I menyatakan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. Ke dua pasal ini secara eksplisit menegaskan bahwa hak hidup serta hak mempertahankan hidup dan kehidupan merupakan suatu hak yang mendasar. Jika ke dua pasal ini dikaitkan dengan penerapan hukuman mati, maka secara jelas dapat dikatakan bahwa penerapan hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia.

Ketentuan dalam ke dua pasal di atas kembali dipertegas dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 9 ayat (1) menyatakan kembali bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.

 Namun jika kita perluas cakupan masalah kepada keluarga korban kejahatan (misalkan pembunuhan berencana), maka apa yang telah dilakukan oleh terpidana dengan menghilangkan nyawa korban juga berarti telah merampas hak hidup dari si korban. Terpidana telah melanggar HAM korban dengan merampas hak hidupnya.

Dalam pasal 28J ayat (1) UUDNRI 1945 menjelaskan bahwa HAM seseorang itu dibatasi oleh HAM orang lain dan juga peraturan perundang-undangan. Jelaslah bahwa orang-orang

11

Page 12: Debating 2

yang melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman mati, telah melanggar HAM orang lain dan juga peraturan perundang-undangan yang membatasi HAM itu. 

Oleh sebab itu negara berkewajiban untuk memenuhi rasa keadilan korban dan masyarakat dengan menerapkan hukuman yang setimpal atas perbuatan terpidana. Pasal 28I ayat (4) UUDNRI 1945 menegaskan bahwa perlindungan HAM merupakan tanggung jawab negara, khususnya pemerintah. Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi hak asasi manusia tersebut adalah dengan memberikan hukuman yang berat (maksimal) bagi para pelanggar hak asasi manusia, salah satunya adalah hukuman mati.

Kewajiban negara (pemerintah) kembali dipertegas dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 71 menjelaskan mengenai kewajiban dan tangggung jawab negara untuk melindungi HAM, terutama HAM korban. Pasal 72 menjelaskan bahwa salah satu langkah perlindungan HAM tersebut adalah melalui implementasi yang efektif dalam bidang hukum. Yang dimaksud dengan implementasi di bidang hukum di sini ialah bahwa terpidana telah diproses sesuai dengan hukum acara yang berlaku, sehingga tidak ada hak-haknya yang dilanggar. Vonis hukuman mati dijatuhkan setelah melalui proses pengadilan yang objektif, jujur, dan adil sehingga rasa keadilan terpidana dan terutama korban/keluarga korban terpenu

Dalam menjatuhkan hukuman mati, negara tetap harus memberikan kesempatan kepada terpidana untuk mendapatkan keadilannya melalui suatu proses peradilan yang adil dan tidak memihak. UU No. 39 Tahun 1999 memberikan pedoman mengai hal tersebut dalam Pasal 17 yang menjelaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh keadilan, tanpa diskriminasi, dengan mengajukan pengaduan dan gugatan dalam perkara pidana, perdata, atau administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak. Oleh karena itu, selama pemerintah dapat menjamin terlaksananya suatu proses peradilan yang adil, maka penjatuhan vonis hukuman mati sangat dimungkinkan.

Hukuman mati dalam kacamata perlindungan HAM (korban/keluarga korban) adalah sangat dimungkinkan. Dalam penjelasan Pasal 9 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999, bahwa dalam keadaan luar biasa, pidana mati masih dapat diizinkan. Bahkan penjelasan tersebut menyatakan secara eksplisit bahwa perlindungan hak untuk hidup, hanya dapat dibatasi atas dua hal, yaitu aborsi (demi kepentingan ibunya) dan pidana mati.

 Secara sosiologis dan psikologis, hukuman mati diperlukan untuk memberikan rasa tenang dan aman dalam masyarakat, selain untuk memberikan efek jera dan edukasi (contoh). Tindak-tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati merupakan perbuatan-perbuatan yang berbahaya bagi masyarakat serta dapat menimbulkan keresahan dalam masyarakat, seperti pembunuhan berencana dan peredaran narkotika. Kejahatan-kejahatan tersebut dapat juga berupa perbuatan yang dapat menimbulkan korban dalam jumlah besar, seperti peredaran narkotika dan terorisme.

Dalam tindak pidana terorisme, akibat yang ditimbulkan sangat dahsyat. Tindak pidana ini selalu menimbulkan korban nyawa serta kerugian materiil dan immaterial yang besar. Secara psikologis, dampaknya dapat menimbulkan ketakutan dan kepanikan dalam masyarakat, serta membuat keadaan negara menjadi tidak kondusif. Secara sosiologis, akibat dari perbuatan ini ialah dapat menimbulkan perpecahan dalam masyarakat karena timbulnya rasa saling curiga antargolongan atau antarkelompok.

12

Page 13: Debating 2

Dalam tindak pidana psikotropika, akibat yang ditimbulkan juga tidak kalah hebat. Akibat dari peredaran narkotika adalah rusaknya generasi muda sebagai penerus bangsa ini. Bahkan saat ini, peredaran narkotika sudah menghantui institusi-institusi pendidikan. Kita juga dapat melihat bahwa saat ini peredaran narkotika, baik yang masuk dari luar negeri atau hasil produksi dalam negeri, sudah mulai terjadi dalam jumlah besar. Oleh sebab itu, hukuman mati untuk tindak pidana ini bukanlah suatu hal yang asing di dunia internasional karena dampak negatif dari tindak pidana ini yang sangat besar.

Atas dasar prinsip kemanusiaan yang tercantum dalam berbagai hukum/perjanjian   HAM internasional -di mana Indonesia juga menjadi negara pesertanya- hukuman mati harus ditolak dalam hal:

1. Hukuman mati merupakan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang paling penting, yaitu hak untuk hidup ( right to life ). Hak fundamental ( non-derogable rights ) ini merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi   dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila seseorang menjadi narapidana. Indonesia sendiri ikut menandatangani Deklarasi Universal HAM   dan beberapa waktu lalu Presiden SBY telah berkomitmen akan menandatangani Kovenan Internasional Hak Sipil Politik, keduanya secara jelas menyatakan hak atas hidup merupakan hak setiap manusia dalam keadaan apapun dan adalah kewajiban negara untuk menjaminnya.

2. Hukuman mati memiliki turunan pelanggaran HAM serius lainnya, yaitu pelanggaran dalam bentuk tindak penyiksaan (psikologis), kejam dan tidak manusiawi. Hal ini bisa terjadi karena umumnya rentang antara vonis hukuman mati dengan eksekusinya berlangsung cukup lama. Tragisnya Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan dan mengadopsinya menjadi UU Anti Penyiksaan No.5/1998.

3. Penerapan   hukuman mati di Indonesia juga bertentangan dengan perkembangan peradaban bangsa-bangsa di dunia saat ini. Amnesty Internasional , mencatat hingga 1 Oktober 2004 lalu, terdapat 118 negara –dengan rata-rata pertambahan 3 negara tiap tahun- yang telah menghapuskan hukuman mati, baik melalui mekanisme hukum maupun praktek konkrit. Bahkan dari jumlah di atas, 24 negara memasukkan penghapusan hukuman mati di dalam konstitusinya. Wilayah yang negaranya paling aktif menghapus praktek hukuman mati adalah Afrika, yang memiliki kultur, sistem politik, dan struktur sosial yang mirip dengan Indonesia. Penghapusan hukuman mati   -baik melalui mekanisme hukum atau politik- di Indonesia pasti meninggikan martabat Indonesia di mata komunitas internasional.

Atas dasar pertimbangan   politik hukum di Indonesia, hukuman mati harus ditolak karena:

1. Karakter reformasi hukum positif Indonesia masih belum menunjukkan sistem peradilan yang independen, imparsial, dan aparatusnya yang bersih. Bobroknya sistem peradilan bisa   memperbesar peluang hukuman mati lahir dari sebuah proses yang salah. Kasus hukuman mati Sengkon dan Karta yang lampau di Indonesia bisa menjadi pelajaran pahit buat kita. Hukum sebagai sebuah institusi buatan manusia tentu tidak bisa selalu benar dan selalu bisa salah. Bahkan menurut riset Amnesty Internasional, di Amerika Serikat (sejak 1973) sekalipun telah terjadi kesalahan sistem judisial terhadap 116 orang terpidana mati.

13

Page 14: Debating 2

2. Dari kenyataan sosiologis, tidak ada pembuktian ilmiah hukuman mati akan mengurangi tindak pidana tertentu. Artinya hukuman mati telah gagal   menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera, dibandingakan dengan jenis hukuman lainnya.   Kajian PBB tentang hubungan hukuman mati ( capital punishment ) dan angka pembunuhan antara 1988-2002 berujung pada kesimpulan hukuman mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan   dari hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup. Meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, namun oleh problem struktral lainnya seperti kemiskinan atau aparat huku/negara yang korup. Bahkan untuk kejahatan terorisme hukuman mati umumnya justru menjadi faktor yang menguatkan berulangnya tindakan di masa depan. Hukuman mati justru menjadi amunisi ideologis untuk meningkatkan radikalisme dan militansi para pelaku.

3. Praktek hukuman mati di Indonesia selama ini masih bias kelas dan diskriminasi, di mana hukuman mati tidak pernah menjangkau pelaku dari kelompok elit yang tindak kejahatannya umumnya bisa dikategorikan sebagai kejahatan serius/luar biasa. Para pelaku korupsi, pelaku pelanggaran berat HAM dengan jumlah korban jauh lebih masih dan merugikan ekonomi orang banyak tidak pernah divonis mati.    

4. Penerapan hukuman mati juga menunjukkan wajah politik hukum Indonesia yang kontradiktif. Salah satu argumen pendukung hukuman mati adalah karena sesuai dengan hukum positif Indonesia. Padahal semenjak era reformasi/transisi politik berjalan telah terjadi berbagai perubahan hukum dan kebijakan negara. Meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional, namun reformasi hukum juga menegaskan pentingnya hak untuk hidup. Pasal 28I ayat (1) UUD '45 (Amandemen Kedua) menyatakan:

“ hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui   sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun â€. �

5. Sikap politik pemerintah terhadap hukuman mati juga bersifat ambigu. Beberapa waktu lalu pemerintah mengajukan permohonan secara gigih kepada pemerintah Arab Saudi untuk tidak menjalankan hukuman mati kepada Kartini, seorang TKW, dengan alasan kemanusiaan. Namun hal ini tidak terjadi pada kasus hukuman mati WNA di Sumatra Utara tahun lalu dan Astini kemarin ini.

Berdasarkan uraian diatas tersebut KontraS mendesak:

1. Untuk menghentikan berlangsungya eksekusi bagi terpidana hukuman mati dalam waktu dekat, perlu adanya upaya intervensi politik dari Presiden.

2. Secara strategis   jangka panjang, perlu dilakukan pencabutan   hukuman mati di berbagai produk hukum Indonesia, mulai dari KUHP hingga UU yang relevan.

3. Presiden harus segera menandatangani/mengaksesi Kovenan Internasional Sipil Politik, berikut   kedua Protokol Tambahannya (Optional Protocol I & II).

4. Menyerukan kepada masyarakat luas untuk membuat petisi menolak pemberlakuan hukuman mati ke Presiden/DPR.  

 Pandangan-Pandangan Pakar Hukum Mengenai Hukuman Mati

14

Page 15: Debating 2

Kembali lagi pada permasalahan inti mengenai hukuman mati yang masih diberlakukan di Indonesia. Dalam keberadaan Indonesia sebagai negara hukum, Indonesia berdiri berdasarkan hukum yang ada. Dalam pelaksanaannya sebagai negara hukum, banyak pro dan kontra ketika negara hukum ini berusaha menegakkan hukum dan menjatuhkan hukuman mati bagi terdakwa baik dari yang sangat setuju hukuman mati untuk dihapuskan sampai dengan yang tetap mendukung hukuman mati tetap dilaksanakan.Adapun beberapa pandangan-pandangan beberapa ahli mengenai hal ini.

Pertama, pendapat dari Pakar Hukum Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH yang mendukung hukuman mati tetap berlaku. Beliau berpendapat, penerapan hukuman mati di Indonesia masih relevan dan tidak perlu dihapuskan karena hukuman tersebut sesuai dengan Hak Asasi Manusia (HAM), yakni untuk melindungi masyarakat luas.”Jadi penerapan hukuman mati itu masih tetap diperlukan dan sampai sekarang masih tercantum dalam hukum positif Indonesia,” kata beliau saat menjawab pertanyaan suatu media massa di Medan.Suhaidi yang juga Guru Besar pada Fakultas Hukum USU menilai hukuman mati perlu diterapkan terhadap pelaku kejahatan berat seperti pembunuhan secara sadis dan bandar narkoba. Tujuannya adalah untuk membuat efek jera, sehingga masyarakat merasa takut melakukan perbuatan salah dan melanggar hukum itu.”Jadi penerapan hukuman mati itu janganlah dianggap sebagai suatu balas dendam atau pelanggaran HAM terhadap pelaku kejahatan. Penilaian seperti ini tidak dapat diterima, apalagi dikait-kaitkan pula bahwa tindakan itu tidak manusiawi,” katanya.Menurut dia, pemberlakuan hukuman mati juga diatur dalam ketentuan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. “Penerapan hukuman mati juga telah dikaji baik-buruknya.

Hal yang serupa juga dikatakan seorang ahli hukum Andi Hamzah juga dalam salah satu bukunya mengatakan, bahwa ‘Pidana mati sangat dibutuhkan jika terpidana yang telah bersalah memperlihatkan bahwa ia adalah seorang mahkluk yang sangat berbahaya bagi masyarakat yang benar-benar harus dikeluarkan dari pergaulan hidup .Perdebatan panjang mengenai pemberlakuan pidana mati ini sebenarnya bertitik tolak pada permasalahan keadilan rasa kemanusiaan dan pencegahan terhadap kemungkinan timbulnya kejahatan lagi. Alasan para pakar yang menentang adanya penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan adalah karena alasan kemanusiaan dan penjatuhan pidana mati tidak akan dapat mencegah kejahatan dan mengurangi angka kejahatan. Namun bagi mereka yang sepakat dengan pemberlakuan pidana mati di Indonesia adalah semata-mata karena rasa keadilan dan ketentraman yang ada di dalam masyarakat. Masyaraakat menginginkan keadilan, dimana bagi seorang pembunuh sepantasnnya di bunuh pula. Ini terbukti dengan adanya idiom didalam masyarakat yang mengatakan ‘Hutang budi dibayar budi dan hutang nyawa dibayar nyawa‘.

Sama halnya dengan yang pandangan dari Romli Atmasasmita, mantan Koordinator Tim Perancangan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Terorisme. Pakar hukum pidana Universitas Padjajaran Bandung ini berbagi pendapat soal pemberlakuan hukuman mati dan usaha jalan tengah yang kini sedang ditempuh memecah kontroversi hukuman keji ini. “Ini kan berkaitan dengan pilihan. Kalau secara penegakan hukum, secara undang-undang menghendaki dihapus. Tapi harus dikembalikan lagi, mengenai kejahatan yang sangat serius, korbannya banyak, lalu ancaman pidana mati tidak boleh. Makanya saya setuju dengan RUU yang kita buat. Dalam hukuman pidana yang baru nanti, saya menyarankan hukuman pidana mati tetap ada, tapi termasuk pengecualian. Dalam hukum pokoknya tidak diperbolehkan, tapi dalam pasal tertentu hukuman mati diperbolehkan untuk hal tertentu. Tapi implementasi pidana mati tidak harus digantung, diberi kesempatan 10 tahun untuk menunjukkan bahwa

15

Page 16: Debating 2

dia patut diabolisi. Jadi di antara pro dan kontra, kita berdiri di tengah. Kalau pidana mati dihapus keseluruhan, mungkin ada pemikiran yang berkembang apakah kita harus seperti itu”kata beliau.

Ada juga pandangan yang menolak hukuman mati dipergunakan. Salah satunya adalah pandangan Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim seusai RDP dengan Komisi III, membahas perkembangan penegakan HAM di Indonesia. Ifdhal menjelaskan, karena Indonesia telah meratifikasi Konvenan Internasional PBB tentang Hak Sipil Politik, seharusnya ancaman hukum mati tidak lagi dipergunakan. Oleh karena itu ancaman hukuman yang seharusnya paling tinggi dikenakan adalah pidana penjara seumur hidup.

“Dengan demikian, penggunaan ancaman hukuman mati ini merupakan kemunduran karena di negara-negara yang sudah meratifikasi Konvenan Internasional Hak Sipol sudah tidak memberlakukan lagi ancaman hukum tersebut,” kata Ifdhal. Ifdhal menambahkan, hukuman tersebut diberikan dalam rangka edukasi khususnya untuk memberi efek jera, baik terhadap pelaku ataupun yang terlibat dalam pelanggaran tindak pidana tersebut, sekaligus memberikan semacam peringatan kepada masyarakat luas agar tidak melakukan tindak kejahatan serupa. “Jadi hukuman itu diberikan bukan dalam rangka balas dendam,” tandasnya.

Pendapat Saya Mengenai Hukuman Mati

Ketika ditanya mengenai bagaimana pendapat saya mengenai pemberlakuan hukuman mati di Indonesia ,maka saya akan “cenderung” berpendapat “tidak setuju” mengenai  hukuman mati di Indonesia. beberapa hal yang menjadi alasan saya mengapa saya cenderung tidak setuju. Pertama, hal itu karena hukuman mati merupakan jenis pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang paling penting, yaitu hak untuk hidup ( right to life ). Hak fundamental/dasar ini merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan darurat,atau perang. Dan alasan

kedua,yaitu karena penerapan hukuman mati jelas melanggar Konstitusi RI UUD 1945 sebagai produk hukum positif tertinggi di negeri ini. Pasal 28A UUD’45(Amandemen Kedua) menyatakan: ”Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.Pasal 28I ayat (1) UUD ’45 (Amandemen Kedua) menyatakan: ”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Dan juga hak hidup ini kembali dinyatakan dalam Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia:”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.

Di lain pihak, jika saya setuju, menurut saya yang menjadi alasan atas dilakukannya hukuman mati adalah untuk pencegahan pembunuhan banyak orang di mana hukuman mati ini memberi efek jera bagi orang-orang lain yang mengetahuinya dan khususnya hal ini tidak lagi terulang oleh orang yang sama. Namun efek jera bukanlah cara yang paling bagus tetapi sesuatu paling buruk yang mengarah kepada balas dendam di mana terdapat motif preventif, yakni agar tidak terulang lagi karena takut akan hukuman. Dan juga cara ini pun tidak terlalu

16

Page 17: Debating 2

efektif dalam masyarakat yang miskin. Menurut saya, praktek hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Tingkat kriminalitas yang terjadi tidak dapat dihentikan hanya sekedar dengan memfokuskan pada efek jera namun perlu dipertimbangkan hubungan erat kriminalitas dengan masalah kesejahteraan atau kemiskinan suatu masyarakat serta berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum.

Selain itu dalam vonis hukuman mati, dapat terjadi kemungkinan kemungkinan kesalahan dalam menjatuhkan keputusan bersalah atau tidaknya terdakwa. Di mana orang yang telah dieksekusi bukanlah yang bersalah atau hanya menjadi kambing hitam dari pelaku sesungguhnya. Kesalahan inilah yag harus dihindari dan menjadi kelemahan dalam vonis hukuman mati. Oleh karena itu, dalam rangka menghindari kesalahan vonis mati terhadap terpidana mati, saran saya, sedapat mungkin aparat hukum yang menangani kasus tersebut adalah aparat yang mempunyai pengetahuan luas dan sangat memadai, sehingga Sumber Daya manusia yang disiapkan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan adalah sejalan dengan tujuan hukum yang akan menjadi pedoman didalam pelaksanaannya, dengan kata lain khusus dalam penerapan vonis mati terhadap pidana mati tidak ada unsur politik yang dapat mempengaruhi dalam penegakan hukum dan keadilan dimaksud. Namun pada kenyataanya banyak hal yang dari luar yang mempengaruhi keputusan-keputusan pengadilan di mana bukan karena tidak adanya kejujuran melainkan karena campur tangan dari orang-orang berpengaruh di dalamnya (seperti yang terlihat di berita-berita belakangan ini).

Namun dari semua itu tidak berarti saya menyetujui hukuman mati itu dihapuskan.Walaupun hukuman mati yang dijatuhkan kepada seseorang yang bersalah memang melanggar hak asasi manusia (HAM) terutama tentang hak untuk hidup bagi orang tersebut, tapi kita boleh tidak semata-mata melihat dari segi kemanusiaan orang itu saja. Jika seandainya hukuman itu dihapuskan itu tentu saja akan menimbulkan ketidakadilan. Ketidakadilan hukum  mengenai hukuman yang tidak sesuai dengan perbuatan yang dilakukan seseorang,dan ketidakadilan bagi orang-orang yang dirugikan oleh perbuatan yang dilakukan oleh tersangka tersebut. Sehingga menurut saya sebaiknya hukuman mati tetap di berlakukan di Indonesia,tetapi harus disertai dengan pengkajian yang ekstra hati-hati dan ketat sebelum hukuman terse

Kesimpulan Kajian analisis terhadap hukuman mati di Indonesia tentunya tidak bisa dipisahkan dengan konteks demokrasi di Indonesia. Keterkaitan antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Dalam hal ini, mengkaji penerapan hukuman mati akan berujung pada produk yang berupa peraturan perundang-undangan yang notabene merupakan konsekuensi logis dari kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Menyikapi adanya perdebatan bahkan pertentangan, kita perlu melakukan obyektifikasi hukuman mati dalam konteks demokrasi di Indonesia. Artinya, perlu dilakukan kajian secara mendalam tentang eksistensi hukuman mati dengan melepaskan diri dari pengaruh atau kepentingan yang meliputinya, baik itu agama (Islam) ataupun HAM. Dalam hal ini, hukuman mati mesti ditempatkan dalam perspektif yang lebih luas dan lintas kepentingan, sehingga ketika hukuman mati itu diterapkan atau tidak diterapkan, maka hal itu tidak berarti mengalahkan atau menindas salah satu kepentingan. Kajian hukuman mati ini tentunya dilakukan dengan menggunakan bingkai demokrasi dan demokratisasi yang diharapkan bisa melahirkan analisis dan gagasan yang tidak lepas dari nilai-nilai demokrasi di Indonesia.

Pendapat Saya tentang Hukuman Mati bagi para Koruptor

17

Page 18: Debating 2

Saya sangat setuju para pelaku koruptor itu dapat dijatuhi hukuman mati, karena tindakan mereka ini jelas tidak manusiawi, menghancurkan negara dan perekonomian rakyat. Pemberian sanksi hukuman mati terhadap para "Perampok" keuangan negara itu, dapat dijadikan sebagai "shok terapi", sehingga tidak akan mengulangi lagi perbuatan salah dan melanggar hukum. Pemberian hukuman mati terhadap para pelaku pencuri harta dan kekayaan negara itu sudah saatnya diterapkan oleh para penegak hukum. Dengan demikian, setiap orang akan menjadi takut untuk mengambil yang bukan menjadi hak atau miliknya. Penerapan hukuman mati itu harus benar-benar dilaksanakan secara tegas, tidak hanya dijadikan sebagai "wacana" atau hanya janji-janji saja, sehingga kasus korupsi di tanah air ini sulit diberantas. Hukuman Mati wajib untuk para koruptor karena menurut mereka korupsi dianggap sebagai budaya yang berlangsung di segala bidang kehidupan, makanya mereka berpikir korupsi itu suatu hal yang lumrah.  

KPK Diusulkan Jadi Lembaga Permanen

Sekretaris Satuan Tugas Anti Mafia Hukum, Deni Indrayana mengatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi sebaiknya dijadikan lembaga permanen yang diatur Undang-Undang Dasar karena korupsi merupakan bagian yang inheren dari kekuasaan.

Tidak ada salahnya KPK dijadikan lembaga permanen karena lembaga itu akan tetap dibutuhkan sampai kapanpun. Korupsi merupakan bagian yang inheren dengan kekuasaan, dengan mempermanenkan KPK, kewenangan lembaga itu nantinya bisa disesuaikan dengan kewenangan dan kinerja pihak kepolisian dan kejaksaan dalam upaya menekan angka korupsi.

Mempermanenkan KPK juga bisa berpotensi untuk menghindari upaya pelemahan KPK yang terjadi akhir-akhir ini. Padahal, korupsi tidak akan pernah bisa dihilangkan, namun hanya bisa dikurangi,

negara Thailand yang melembagakan KPK dalam undang-undang dasar negara tersebut. Jadi mengapa KPK tidak permanen seperti di Thailand. KPK di Thailand ada di undang-undang dasar," katanya. Gayus Lumbuun mengatakan, kalau memang KPK akan dijadikan lembaga yang permanen dalam undang-undang dasar, maka UUD harus diubah terlebih dahulu. Menurut dia, KPK didirikan untuk memicu (trigger) pemberantasan korupsi sehingga bisa saja tidak bersifat permanen. Selain itu, kalau memang KPK akan dipermanenkan, maka ketuanya sebaiknya tidak dipilih untuk masa empat tahun, namun bisa dengan membatasi usia. Kalau kita mau permanen, pimpinan KPK jangan dipilih untuk masa empat tahun, pilih batasan usia saja, misalnya 65 tahun," katanya. (J004/S023)

SOAL korupsi, Indonesia selalu mendapat urutan peringkat pertama dalam berbagai penelitian, baik secara regional di ASEAN, Asia, maupun yang berskala internasional. Bahkan, negeri ini disebut-sebut sebagai "surganya" koruptor. Sudah begitu sistemik masalah korupsi ini sehingga perlu perhatian serius dan kemauan politik estra keras untuk memberantasnya.

Tak berlebihan jika kesepakatyan politik pemerintah dan DPR untuk membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Undang-undang (UU) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan sebuah adalah terobosan revolusioner. Tentu harapannya adalah

18

Page 19: Debating 2

KPK tidak hanya menjadi wacana. Mereka yang duduk dalam KPK adalah orang pilihan, berintegritas tinggi, dan mempunyai komitmen dalam memberantas korupsi.

Sejumlah pakar hukum saat itu melihat, langkah pemerintah dan DPR yang membentuk KPK harus disambut positif karena komisi tersebut sudah lama dicita-citakan sejak pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) dan kemudian "dibubarkan" oleh Mahkamah Agung (MA). Sebab korupsi di Indonesia bukan hanya kejahatan kecil-kecilan atau biasa saja, tetapi sudah merupakan kejahatan yang luar biasa, sehingga penanganannya pun harus dengan cara luar biasa.

KPK yang dibentuk pun diberi kewenangan yang lebih besar karena yang dihadapi saat ini adalah keadaan darurat korupsi. Jangan seperti TGPTPK, yang banyak terbentur pada hal-hal yang sepele karena kewenangannya terbatas. Melihat pengalaman masa lalu, pembentukan KPK tidak hanya menjadi wacana dan tidak pernah dilaksanakan.

Dalam sejarah Indonesia telah ada beberapa tim atau komisi untuk memberantas korupsi yang pernah dibentuk. Namun hasil dari tim atau komisi itu tidak sesuai dengan nama besarnya. Korupsi tetap menjadi masalah besar yang menghinggapi bangsa Indonesia, sampai akhirnya Indonesia mendapat atribut sebagai negara terkorup di dunia.

Kehadiran KPK merupakan harapan baru sekaligus tantangan dalam memberantas korupsi di Tanah Air. Hal itu wajar karena wewenang yang diberikan kepadanya agak berbeda dari tim pemberantasan korupsi yang dibentuk pada waktu lalu. Pembentukan KPK merupakan terobosan revolusioner untuk menangkal korupsi.

Pada era pemerintahan Soeharto pernah ada tim pemberantasan korupsi, tetapi tim tersebut tidak pernah berjalan. Banyak yang berharap tim pemberantasan korupsi yang terakhir dibentuk bisa berhasil. Apalagi dengan kewenangan yang paling komprehensif dan bisa mengambil alih kasus yang ditangani kejaksaan dan kepolisian.

Penegakan hukum merupakan fokus yang sangat signifikan, bahkan menjadi barometer eksistensi keberhasilan pemerintahan sekarang. Akan tetapi barometer penegakan hukum sebenarnya adalah pemberantasan korupsi. Sedangkan korupsi merupakan ''penyakit'' kanker akut, meluas, dan permanen. Padahal, bagi negara hukum, keberhasilan penegakan hukum terletak pada kemampuan penguasa membelah persoalan korupsi, yang memiliki relevansi antara hukum, politik, dan kekuasaan. Artinya, barometer penegakan hukum harus juga mencakup perang terhadap korupsi.

Artikulasi klasik makna korupsi selalu mengandung keterkaitan penyalahgunaan kekuasaan yang melekat pada jabatan publik, menimbulkan kerugian negara serta perekonomian negara, dan dalam skala yang besar. Rutinitas yang selalu terjadi dalam masalah pemberantasan korupsi adalah keterlibatan pejabat publik sebagai bagian tatanan institusi politik, sehingga masalah pemberantasan korupsi ini seakan-akan sebagai sarana berputarnya roda kekuasaan politik saja.

Publik sebenarnya sudah menjerit melihat kinerja kejaksaan dan kepolisian yang dinilai tidak kontributif dalam pemberantasan korupsi. Jeritan publik itu makin nyata setelah pemeriksaan terhadap Jaksa Agung MA Rachman oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) terkait dugaan korupsi dalam kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia

19

Page 20: Debating 2

(BLBI) yang menjadi polemik berkepanjangan yang tak ada penyelesaian. Ini makin meningkatkan sikap pesimistis publik pada penegakan hukum.

Pesimisme publik itu yang menjadi salah satu alasan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah diundangkan 27 Desember lalu menjadi UU No 30 Tahun 2002.

KPK yang independen memiliki wewenang penyelidikan, penyidikan, penuntutan, bahkan supervisi, koordinasi, dan monitoring terhadap institusi penegak hukum. Prof Dr Romli Atmasasmita, Ketua Tim Penyusun RUU KPK, mengatakan, ini merupakan mekanisme pemicu dalam pemberantasan korupsi. Masyarakat menganggap kepolisian dan kejaksaan pesimistis dan tertutup, mengingat pelaku merupakan orang yang masih berada dalam suatu keterikatan lingkaran dalam kekuasaan yudikatif, legislatif, dan eksekutif. Dengan KPK ini, dihindari adanya upaya lingkaran luar sebagai penggali skandal yang justru akan ditempatkan sebagai tersangka. Dengan KPK diharapkan diskriminasi hukum dalam pemberantasan korupsi tidak terjadi lagi.

Mengamati perspektif korupsi sebagai problema hukum ke depan, penentuan aparatur penegak hukum merupakan aspek signifikan yang melihat bagaimana masyarakat menganggap hukum sebagai civic-minded. Presiden dan DPR bertanggung jawab kepada publik atas peran menentukan KPK, sehingga akan terhindar pola intervensi politik dalam tatanan hukum dan kotornya aparatur KPK sebagai suatu kendala penegakan hukum yang selalu menimbulkan subjektivitas hukum di Indonesia.

Ketua KPK Taufiqurachman Ruki mengatakan, masyarakat tidak sabar melihat sepak terjang KPK. ''Jangankan masyarakat, saya saja gemes kok tidak kerja-kerja. Akan tetapi, kerja untuk memberantas korupsi itu tidak mudah, kita tidak bisa asal tangkap, kita harus melakukan capacity building dan menguatkan sumber daya manusia.''

Dia mengakui, kemampuan KPK terbatas, karena selain masih membangun infrastruktur, juga baru mendapat bantuan tenaga tambahan sembilan penyidik dan penuntut. Anggaran juga belum turun. KPK baru mengajukan Rp 90 miliar per tahun. Akibat kerja lamban, KPK menuai kritik dari berbagai kalangan. Bahkan, sejumlah kalangan mengatakan KPK mulai kelihatan kehilangan orientasi.

Indonesia Corruption Watch Teten Masduki mengkritik, sejak terbentuk KPK belum menunjukkan upaya nyata pemberantasan korupsi. Masyarakat sama sekali tidak mengetahui apa yang menjadi prioritas lembaga ini dalam pemberantasan korupsi. "Dari beberapa pernyataan yang dilontarkan di media massa, saya melihat KPK mengalami disorientasi. Mereka belum memiliki cetak biru prioritas KPK. Kita tidak tahu apa yang menjadi prioritas KPK,'' kata Teten.

Salah satu sikap disorientasi KPK adalah upaya KPK untuk mengkaji keputusan presiden yang dikeluarkan selama rezim Soeharto. Rencana KPK untuk mengkaji keppres-keppres zaman Soeharto itu justru mengubah peran KPK yang memiliki kewenangan memeriksa, menyelidik, menyidik, dan menuntut menjadi hanya sebagai lembaga penelitian.

Kritik senada juga diungkapkan oleh pakar hukum pidana Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji yang tergabung dalam "Forum 2004", sebuah forum yang berencana akan mengawasi kinerja KPK. Meski KPK sedang disibukkan dengan penguatan kelembagaan

20

Page 21: Debating 2

(capacity building), namun KPK tidak boleh kehilangan orientasi. KPK harus memiliki skala prioritas apa yang akan dikerjakan. Tidak setuju kalau KPK menggunakan prinsip-prinsip retroaktif, seperti mengkaji keppres. Kalau ini dilakukan, KPK hanya akan menciptakan friksi dengan instansi yang sudah menangani, seperti kejaksaan dan kepolisian.

Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan super, Teten mengingatkan, KPK seharusnya bisa menjadi lokomotif dari upaya pemberantasan korupsi. Dia mencontohkan sikap almarhum Baharuddin Lopa ketika menjadi menteri kehakiman dan HAM yang telah menggetarkan dunia hakim di Indonesia, ketika mencantumkan larangan bagi hakim untuk bertemu dengan kliennya di kode etik hakim.

KPK bisa menjadi inspirator dan resonator dari upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. KPK harus bisa menilai perkara-perkara korupsi yang harus segera ditanganinya. Teten dan Indriyanto menegaskan, KPK memiliki skala prioritas. Keduanya mengusulkan KPK menaruh prioritas terutama pada penanganan korupsi di pengadilan.

Skala prioritas memang sangat dibutuhkan, terutama dengan jumlah personel yang terbatas, namun di sisi lain korupsi yang sudah merajalela. Terlebih dengan predikat Indonesia sebagai negara terkorup di Asia. Langkah tegas KPK diharapkan mampu menumbuhkan kembali harapan masyarakat yang kian pudar.

Masyarakat berharap KPK unjuk gigi atau lembaga ini menjadi tak bergigi, persis seperti lembaga pemberantasan korupsi lalu.

Pesimisme pemeberantasan korupsi mulai tampak ketika KPK menetapkan Abdullah Puteh, Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sebagai tersangka korupsi kasus pembelian helikopter senilai Rp 12 miliar. Selain itu, Mabes Polri juga sedang memeriksa Puteh dalam kasus sejenis untuk pembelian genset senilai Rp 30 miliar.

Hal ini bisa menimbulkan pertanyaan, mengapa ada dua lembaga berbeda yang menangani kasus sejenis pada orang yang sama.

Sementara itu, rakyat masih trauma atas penyelesaian yang terjadi atas dugaan korupsi Akbar Tandjung dalam kasus penyelewengan dana Bulog, yang seharusnya digunakan untuk mengatasi kemiskinan. Penantian panjang penyelesaian kasus Akbar Tandjung berujung dramatis, yaitu Mahkamah Agung sebagai harapan terakhir terciptanya keadilan memutus bebas. Akibatnya "pengadilan opini rakyat" yang menghakimi.

Akankah peristiwa-peristiwa sejenis berulang yang akhirnya hanya menambah kegamangan masyarakat terhadap kredibilitas lembaga negara dalam menangani korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), baik oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan, bahkan KPK sekalipun.

Saat menetapkan Puteh sebagai tersangka korupsi, keputusan itu merupakan bagian murni kegiatan KPK yang secara sistematis ingin mengikis habis KKN, serta gebrakan menunjukkan eksistensinya. Itu layak dicermati. Strategi KPK yang ditetapkan dalam rencana strategis 2004-2007, antara lain akan melakukan penggalangan keikutsertaan masyarakat dalam memberantas KKN. Kasus penetapan Puteh menjadi tersangka merupakan langkah tepat dalam membangun dukungan publik.

21

Page 22: Debating 2

Bersamaan vonis Puteh selama 10 tahun, Komisi Pemilihan Umum (KPU), lembaga yang cukup sakral karena di situlah lahirnya politikus di legislatif maupun eksekuitif, kembali merasakan gerakan KPK yang super. Mulyana W Kusumah dengan kewenangan lembaga itu pun harus meringkuk di Rutan Salemba.

Mengelola citra KPK sebagai lembaga berwibawa dan disegani dalam memberantas korupsi merupakan upaya membangun positioning.

KPK telah menetapkan posisi yang diinginkan, yakni menjadi lembaga penggerak perubahan untuk mewujudkan bangsa Indonesia sebagai masyarakat antikorupsi. Sebenarnya ada dua tujuan utama KPK dalam menggerakkan dukungan masyarakat untuk ikut serta memberantas KKN, yakni membangun kredibilitas lembaga dan membudayakan antikorupsi. Apabila KPK melakukan tindakan yang konsisten, bukan sekadar hangat-hangat tahi ayam dalam memberantas korupsi, kredibilitas akan terbangun dengan sendirinya. (A Adib-83t)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang hanya bersifat sementara (ad hoc) diusulkan untuk menjadi organ institusional yang sifatnya permanen.

Pada acara forum publik antikorupsi di Sanur, Bali, Jumat (25/01), Denny Indrayana dari Pusat Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan dengan kondisi Indonesia saat ini, penguatan KPK menjadi lembaga permanen sangat diperlukan. "KPK yang berstatus permanen merupakan pilihan yang urgent bagi Indonesia. Dalam konteks Indonesia, harus dilakukan penguatan KPK untuk upaya pemberantasan korupsi yang stabil," tuturnya.

Dengan status yang bersifat ad hoc, kata Denny, KPK berhadapan dengan ancaman dibubarkan sewaktu-waktu, apalagi jika menangani kasus yang rawan intervensi politis.

Untuk itu, lanjut dia, pembentukan KPK sebagai lembaga permanen perlu dicantumkan dalam konstitusi. Denny memberikan contoh komisi antikorupsi di Thailand yang pembentukannya tercantum dalam konstitusi dan bersifat permanen.

Keberadaan KPK yang bersifat permanen, menurut dia, tidak akan mengacaukan hirarki lembaga penegakan hukum yang masih ada karena dapat dilakukan pembagian tugas yang jelas dan rinci. "KPK yang bersifat permanen nantinya hanya menyidik dan menuntut kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik, sedangkan kepolisian dan kejaksaan menangani pidana biasa," katanya.

Emerson Yuntho dari Indonesia Corruption Watch (ICW) juga berpendapat dibutuhkan penguatan KPK sebagai lembaga permanen. KPK, lanjut dia, sesuai pertimbangan yang tercantum dalam UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK dibentuk karena penegak hukum yang ada, yaitu kepolisian dan kejaksaan, belum bekerja efektif dalam upaya pemberantasan korupsi. "Padahal, belum tentu dalam sepuluh tahun ke depan, kejaksaan dan kepolisian bekerja efektif," katanya.

Apabila dua lembaga penegakan hukum itu sudah bekerja efektif, Emerson mengatakan, KPK tidak perlu dibubarkan karena ada tugas KPK yang tidak bisa dijalankan oleh kejaksaan dan kepolisian. "KPK tidak hanya punya tugas penindakan, tetapi juga pencegahan. Tugas pencegahan ini yang bisa diteruskan oleh KPK apabila kejaksaan dan kepolisian sudah efektif," ujarnya.

22

Page 23: Debating 2

KPK, lanjut Emerson, juga dapat diarahkan untuk menangani kasus korupsi dengan kerugian negara di atas Rp 50 miliar, bukan hanya Rp 1 miliar seperti saat ini.

KTP PEMILUKADA

Proyek KTP dilatarbelakangi oleh sistem pembuatan KTP konvensional di Indonesia yang memungkinkan seseorang dapat memiliki lebih dari satu KTP. Hal ini disebabkan belum adanya basis data terpadu yang menghimpun data penduduk dari seluruh Indonesia. Fakta tersebut memberi peluang penduduk yang ingin berbuat curang terhadap negara dengan menduplikasi KTP-nya. Beberapa diantaranya digunakan untuk hal-hal berikut:

1. Menghindari pajak2. Memudahkan pembuatan paspor yang tidak dapat dibuat di seluruh kota3. Mengamankan korupsi4. Menyembunyikan identitas (misalnya oleh para teroris)

Untuk mengatasi duplikasi tersebut sekaligus menciptakan kartu identitas multifungsi, digagaslah e-KTP yang menggunakan pengamanan berbasis biometrik.

Autentikasi menggunakan biometrik yaitu verifikasi dan validasi sistem melalui pengenalan karakteristik fisik atau tingkah laku manusia. Ada banyak jenis pengamanan dengan cara ini, antara lain sidik jari (fingerprint), retina mata, DNA, bentuk wajah, dan bentuk gigi. Pada e-KTP, yang digunakan adalah sidik jari. Tujuan penggunaan biometrik pada e-KTP adalah sebagai berikut:

1. Mencegah adanya pemalsuan Dengan biometrik dan autentikasi

Jika terjadi kehilangan kartu, maka orang yang menemukan kartu e-KTP milik orang lain tidak akan dapat menggunakannya karena akan dicek kesamaan biometriknya.

2. Mencegah adanya penggandaan Dengan e-KTP, seluruh rekaman sidik jari penduduk akan disimpan di AFIS (Automated Fingerprint Identification System) yang berada di pusat data di Jakarta.

Penggunaan sidik jari e-KTP lebih canggih dari yang selama ini telah diterapkan untuk SIM (Surat Izin Mengemudi). Sidik jari tidak sekedar dicetak dalam bentuk gambar (format jpeg) seperti di SIM, tetapi juga dapat dikenali melalui chip yang terpasang di kartu. Data yang disimpan di kartu tersebut telah dienkripsi dengan algoritma kriptografi tertentu. Proses pengambilan sidik jari dari penduduk sampai dapat dikenali dari chip kartu adalah sebagai berikut:

Sidik jari yang direkam dari setiap wajib KTP adalah seluruh jari (berjumlah sepuluh), tetapi yang dimasukkan datanya dalam chip hanya dua jari, yaitu jempol dan telunjuk kanan. Sidik jari dipilih sebagai autentikasi untuk e-KTP karena alasan berikut:

1. Biaya paling murah, lebih ekonomis daripada biometrik yang lain2. Bentuk dapat dijaga tidak berubah karena gurat-gurat sidik jari akan kembali ke

bentuk semula walaupun kulit tergores3. Unik, tidak ada kemungkinan sama walaupun orang kembar

23

Page 24: Debating 2

Selain tujuan yang hendak dicapai, manfaat KTP diharapkan dapat dirasakan sebagai berikut:

1. Identitas jati diri tunggal2. Tidak dapat dipalsukan3. Tidak dapat digandakan4. Dapat dipakai sebagai kartu suara dalam pemilu atau pilkada

Struktur e-KTP sendiri terdiri dari sembilan layer yang akan meningkatkan pengamanan dari KTP konvensional. Chip ditanam di antara plastik putih dan transparan pada dua layer teratas (dilihat dari depan). Chip ini memiliki antena didalamnya yang akan mengeluarkan gelombang jika digesek. Gelombang inilah yang akan dikenali oleh alat pendeteksi e-KTP sehingga dapat diketahui apakah KTP tersebut berada di tangan orang yang benar atau tidak. Untuk menciptakan e-KTP dengan sembilan layer, tahap pembuatannya cukup banyak, diantaranya:

1. Hole punching, yaitu melubangi kartu sebagai tempat meletakkan chip2. Pick and pressure, yaitu menempatkan chip di kartu3. Implanter, yaitu pemasangan antenna (pola melingkar berulang menyerupai spiral)4. Printing,yaitu pencetakan kartu5. Spot welding, yaitu pengepresan kartu dengan aliran listrik6. Laminating, yaitu penutupan kartu dengan plastik pengaman

Dari hasil observasi penulis, banyak yang mempertanyakan pembuatan e-KTP ini., bahkan sebagian masyarakat membentuk prasangka-prasangka buruk atas pengalokasian dana proyek e-KTP yang konon mencapai 60 triliun. Padahal menurut penjelasan Bp. Munawar, dosen Sosioteknologi Informasi yang juga dilibatkan dalam proyek ini, justru e-KTP akan menghemat pengeluaran Negara berkali-kali lipat. Gambaran penghematan tersebut sebagai berikut:

1. Penghindaran pembayaran pajak dari sebagian penduduk akan dapat dihindari sehingga pemasukan Negara dari pajak akan meningkat

2. Dana yang dibutuhkan untuk pemilu atau pilkada dapat dikurangi karena KPU tidak perlu mencetak kartu tanda pemilih, surat keterangan pemilih luar kota, dan sebagainya bagi penduduk wajib pilih. Jika secara kasar dana untuk tiap pilkada di tingkat provinsi saja menghabiskan 8 triliun, dapat dibayangkan besarnya dana di seluruh Indonesia. Belum lagi biaya pemilu presiden yang diadakan lima tahun sekali.

3. Dalam pengembangannya nanti, e-KTP bukan hanya digunakan untuk kartu pemilih saja, melainkan juga SIM dan kartu identitas dari Negara lainnya. Maka, biaya pembuatan kartu-kartu tersebut dapat ditekan.

MK menyatakan penggunaan e-voting konstitusional sepanjang tidak melanggar asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. MK menyatakan bahwa membatasi pemberian suara hanya dengan mencoblos berarti melanggar pasal 28C ayat 1 dan 2 UUD 1945 bahwa setiap negara berhak memperoleh manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi demi meningkatkan kualitas hidup.

Dalam putusannya, MK memerintahkan bahwa penerapan metode e-voting harus disiapkan dari sisi teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia, perangkat lunak maupun kesiapan masyarakat. Metode pemilu selama ini sangat mahal, membutuhkan biaya lebih dari Rp 3

24

Page 25: Debating 2

triliun, kata KPU untuk pemilu 2009 yang lalu. Bayangkan, untuk metode mencoblos kita membutuhkan miliaran rupiah untuk setiap kebutuhan logistik di bawah ini:

1. Paku (berapa ton paku yang harus disediakan untuk memenuhi kebutuhan seluruh TPS ?)2. Kertas suara (berapa ton kertas yang harus didistribusikan, berapa milyar uang yang diperlukan untuk membayar relawan pelipat kertas suara ?) 3. Kertas hasil rekapitulasi 4. Kertas untuk kartu pemilih 5. Bolpoint, untuk panitia mencatat 6. Kotak suara (berapa ton aluminium yang harus dipesan untuk membuat kotak suara ini ?) 7. Komputer dengan segala perangkatnya.

Itu kalau bicara logistik. Metode mencoblos atau mencentang juga rawan manipulasi, karena hasil rekapitulasi diperoleh secara manual, keakuratannya tergantung pada jujur enggaknya petugas KPU.

Kalau kita memakai e-voting, biaya pemilu bisa diharapkan lebih murah karena praktis biayanya hanya dipakai untuk beli komputer dengan segala perangkatnya lalu kertas hasil rekapitulasi saja. Kalau kertas suara hanya sekali pakai langsung dibuang. Kalau komputer sekali dipakai di pemilu ini masih bisa digunakan untuk pemilu berikutnya. Kalau teknologinya sudah ketinggalan jaman, bisa dijual dengan sistem lelang lalu duitnya digunakan untuk beli komputer yang lebih baru. Berdasarkan pengalaman di Jembrana, penggunaan e-voting ongkosnya lebih murah, hanya dua per tiga dari metode mencoblos atau mencentang.

Lalu bagaimana metode E-voting ini bekerja? Syarat pertama adalah Anda sudah harus memiliki KTP ber-chip (kayak kartu kredit itu lho), di situ semua database Anda akan disimpan, termasuk sidik jari Anda. Itulah sebabnya kartu pemilih (mungkin tinta juga) tidak perlu lagi karena Anda hanya bisa memilih kalau sidik jari Anda cocok dengan database yang ada. Anda pun tidak biasa 2 kali memilih karena seusai memilih yang pertama, sistem akan memblok Anda untuk curang memilih yang kedua.

Secara otomatis, software akan menghitung berapa jumlah suara yang masuk. Sehingga ketika waktu pemilihan sudah ditutup, Anda bisa langsung melihat hasil rekapitulasi yang dilakukan oleh komputer. Data di tingkat TPS ini akan otomatis masuk ke komputer di tingkat atas berikutnya sampai ke tingkat nasional, mungkin malah tidak perlu operator untuk mengetik data secara manual, persis seperti saat Anda mencetak buku tabungan Anda di bank setiap bulannya. Kalau listrik tidak byar-pet, malam harinya Anda sudah bisa melihat siapa pemenangnya.

Rakyat Jembrana, melalui keputusan MK ini sebenarnya juga sedang mengingatkan Kementerian Komunikasi dan Informasi, supaya daripada sibuk ngurusi RPP Penyadapan dan RPP Konten mereka lebih baik mempersiapkan e-voting untuk digunakan pada pemilu nasional berikutnya. Ayo, canggihan mana antara kita dengan rakyat Jembrana sekarang ini?

Mahkamah Konstitusi dalam putusan sidang uji materi pasal 88 UU 32/2004 pada Maret 2010 lalu menetapkan atas dasar asas manfaat pasal dimaksud konstitusional, sehingga MK memperbolehkan Pemilu dengan metode electronic voting.

Untuk itu Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi pada 19 Mei lalu menggelar dialog nasional dengan tajuk Pemanfaatan e-voting untuk Pemilu 2014. Dialog nasional yang diikuti

25

Page 26: Debating 2

lebih dari 300 peserta dari berbagai  lembaga seperti  Kementrian Dalam Negeri, DPR, KPU, Bawaslu, Pemerintah Daerah, DPRD, Perguruan Tinggi, Lembaga Survey, LSM , Pengusaha.

Acara itu membahas secara detail tentang alih teknologi Pemilu konvensional sistem coblos dan contreng yang dipakai dalam Pemilu  selama ini, untuk diganti dengan system elektronik voting. Mengemuka berbagai argumentasi tentang keunggulan e-voting ditinjau dari sisi efesiensi biaya maupun waktu dalam penyelenggaraan Pemilu. Ketua KPU Prof. Dr. Abdul Hafiz Anshari sebagai keynote speech bersama Mendagri dan Menristek, mengkalkulasi dengan e-voting anggaran logistic Pemilu akan menjadi efisien secara signifikan, apabila dalam Pemilu konvensional menghabiskan dana 2,8 triliun sedang dengan e-voting untuk  logistic diprediksikan hanya dibutuhkan anggaran  sekitar 250 milyar rupiah. Yang penting penyelenggaraan pemilu dengan e-voting harus dilandasi dengan regulasi yang representatif berupa undang-undang. Kemudian Mendagri Gamawan Fauzi SH. MM menegaskan e-voting untuk Pemilu Indonesia hanya soal waktu saja. Untuk itu mulai tahun 2011 sampai 2012 akan diterapkan e-KTP secara nasional. Karena e-KTP lah yang akan menjadi media resmi peserta untuk menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu. Dengan e-KTP otomatis masalah daftar pemilih tetap yang pada Pemilu lalu menjadi masalah akan dapat diatasi. Lebih lanjut dikatakan bahwa untuk menuju e-voting masih perlu kesepakatan nasional khususnya pada elit politik, e-voting harus dilakukan secara bertahap yaitu harus diuji cobakan dahulu untuk Pilkades, Pilkada dan Pilgub sebelum digunakan dalam Pemilu legislative maupun Pilpres.Adapun Menristek  Drs. Suharna Surapranata MT, memprediksikan  e-voting merupakan program strategis momentum bagi kebangkitan teknologi Informatika dan Teknologi Komunikasi Indonesia, yang akan diikuti dengan berkembangnya  berbagai teknologi jasa mekanisme dalam  Pemilu,  baik berupa penyediaan softwere maupun hardwere produk dalam negeri , yang berpotensi untuk memperluas lapangan kerja industri .

Jurdil dalam e-Voting

Yang menjadi pertanyaan, mampukah teknologi e-voting mengawal pelaksanaan pemilu secara demokratis dengan asas luber ( langsung, umum, bebas dan rahasia ).    Jawabannya, tercatat 17 negara telah gunakan E-voting antara lain Negara maju seperti Amerika, Rusia dan Jepang dengan hasil memuaskan  serta 18 negara sedang menguji coba e-voting antara lain Meksiko, Chile, Argentina dan berbagai Negara di afrika seperti Afsel dan Nigeria. Untuk kawasan Asean Filiphina merupakan pioneernya, dimana  pada pemilu parlemen maupun presiden yang lalu telah menggunakan e-voting dan sukses mengangkat Aquino III sebagai presiden secara jurdil. Pemilu Filiphina dengan total 38 juta pemilih hasilnya dapat diketahui hanya dalam tempo sehari. Sedangkan India dengan jumlah pemilih sekitar 1 milyar jiwa berhasil melaksanakan e-voting dengan efisien, dengan anggaran 0,75 dollar US per jiwa. Analogi dengan India dengan penduduk 200 juta pemilu Indonesia hanya memerlukan 150 juta dollar atau setara 1,5 triliun atau 7 % dari anggaran Pemilu 2009 yang mencapai 21 triliun.

Prediksi kendala e-voting di Indonesia

1. Dengan system multi partai yang dianut Indonesia saat ini, maka faktor kesulitan untuk mengkompromikan elit politik bagi e-voting cukup besar karena  adanya berbagai  factor kepentingan politis dan merebaknya budaya soudhonisme  yang dikedepankan para elit politik daripada masalah  kemaslahatan bangsa dan Negara.

26

Page 27: Debating 2

2. Letak geografis Negara kita yang didominasi lautan dan kepulauan sehingga banyak daerah yang terpencil yang sulit dijangkau, sehingga penggunaan  teknologi multi media menjadi semakin rumit.

3. Belum merata dan tersedianya kapasitas penyediaan energy  listrik di berbagai daerah di Indonesia, khususnya wilayah Indonesia timur maupun daerah-daerah terpencil sehingga untuk  e-voting diperlukan generator listrik untuk setiap TPS, notabene cost perangkat TPS menjadi  lebih besar. Diperkirakan KPU dengan e-voting untuk Pemilu masih terdapat 400 sampai 500 ribu TPS.

4. Penyiapan SDM untuk pemilu e-voting memerlukan waktu yang relative lebih lama dan anggaran cukup besar  dibandingkan dengan system pemilu konvensional. Demikian pula dengan e-KTP dengan alokasi waktu 2 tahun secara nasional mampukah terselesaikan? padahal sampai saat ini lebih dari 4 tahun system Simduk secara nasional belum terealisasi.

Solusi Menuju e-Voting yang JurdilLembaga Penyelenggara Pemilu, Lembaga Eksekutif, Legislatif, Yudikatif maupun elit politik bersinergi berkomitmen untuk melaksanakan Pemilu luber dan jurdil serta membentuk Undang-undang Pemilu dengan e-voting yang aspiratif. Untuk mengatasi kecurigaan terhadap independensi dan akurasi hasil Pemilu Idealnya perlu dibentuk lembaga independen oleh Pemerintah untuk mensertifikasi media e-voting yang akan digunakan baik dalam  Pemilukada, Pemilu legislative maupun Pilpres. Namun demikian kita harus optimis Pemilu dengan e-voting harus terlaksana meskipun tidak pada tahun 2014 . Sebagai gambaran Kabupaten Jembrana dengan segala keterbatasannya telah mampu melaksanakan Pilkadus dengan  e-voting, dengan menggunakan perangkat e- voting  produksi internal putra daerah Jembrana seharga 15 juta rupiah. Wantimpres Dr. Jimly Assiddiqie selaku salah satu nara sumber pada dialog nasional itu, secara realistis memprediksikan mengingat kendala yang dihadapi anak bangsa cukup besar maka untuk e-voting secara optimal baru dapat dilaksanakan untuk Pileg dan Pilpres pada Tahun 2024. 

27