cuplikan the silkworm
DESCRIPTION
The Silkworm merupakan buku kedua dari seri Cormoran Strike, karya Robert Galbraith. Buku pertamanya; The Cuckoo's Calling, sudah terbit di Indonesia sejak bulan Desember lalu. Rencananya terjemahan The Silkworm akan terbit pada Oktober 2014.TRANSCRIPT
© 2014 Robert Galbraith Limited
The Silkworm Robert Galbraith
(Cuplikan Dua Bab)
1
PERTANYAAN
Apa gerangan yang engkau santap?
JAWABAN
Tidur yang tiada lelap.
Thomas Dekker, The Noble Spanish Soldier
“Awas saja,” kata suara serak di ujung sambungan telepon, “kalau ini bukan soal
orang terkenal yang mati, Strike.”
Pria bertubuh besar tak bercukur yang sedang mondar-mandir dalam
kegelapan menjelang fajar itu menyeringai.
“Kira-kira begitulah.”
“Ini baru jam enam pagi, bangsat!”
“Ini sudah setengah tujuh, tapi kalau kau mau mendapatkannya, kau
harus datang untuk mengambilnya,” kata Cormoran Strike. “Aku tidak jauh dari
tempatmu berada. Ada---”
“Bagaimana kau tahu di mana aku tinggal?” suara itu menuntut.
“Kau sendiri yang memberitahuku,” kata Strike sambil menahan kuap.
“Kau bilang akan menjual flatmu.”
“Oh,” ucap pria yang lain, lebih tenang. “Ingatanmu bagus.”
“Ada kafe dua puluh empat ja---”
“Persetan. Datang saja ke kantor nanti---”
“Culpepper, aku punya klien lain pagi ini, dia membayar lebih banyak
daripada kau, dan aku sudah melek sepanjang malam. Harus sekarang kalau kau
memang berniat menggunakannya.”
Suara erangan. Strike bisa mendengar gemeresik seprai.
“Sebaiknya benar-benar hebat.”
“Smithfield Café di Long Lane,” kata Strike, lalu memutuskan sambungan.
Langkahnya yang tidak seimbang terlihat makin kentara ketika dia
menyusuri jalan yang menurun ke arah Smithfield Market, kuil zaman Victoria
yang persegi dan luas, bagaikan raksasa dalam kegelapan musim dingin. Selama
empat pagi dalam minggu kerja, hewan potong dikirim ke sana, seperti yang
telah dilakukan selama berabad-abad, lalu dikemas dan dijual ke toko-toko
daging serta restoran-restoran di seluruh London. Strike dapat mendengar
suara-suara dari balik keremangan, meneriakkan perintah, serta derum dan
bunyi “bip-bip” lori-lori yang mundur dan menurunkan muatannya. Ketika
memasuki Long Lane, dia hanyalah salah satu di antara pria-pria berpakaian
tebal yang hilir mudik melakukan kegiatan mereka pada hari Senin pagi.
Segerombol kurir mengenakan jaket berwarna manyala menggenggam
cangkir teh masing-masing dengan tangan terbungkus sarung tangan di bawah
patung griffin, hewan mitos berkepala elang dan bertubuh singa, yang berjaga di
sudut bangunan pasar. Di seberang jalan, berpendar-pendar bagai perapian yang
menganga di antara kekelaman sekitarnya, berdirilah Smithfield Café yang buka
dua puluh empat jam, sebuah ceruk persembunyian sempit yang menawarkan
kehangatan dan makanan berminyak.
Kafe itu tidak memiliki kamar kecil, hanya kesepakatan dengan toko
lotere tak jauh dari situ. Ladbrokes baru buka tiga jam lagi, jadi Strike berbelok
dulu ke gang kecil, dan di ambang pintu yang gelap melegakan kandung
kemihnya yang penuh berisi kopi encer yang telah menemaninya bekerja
sepanjang malam. Kelelahan dan kelaparan, dia akhirnya berbalik dengan
kegembiraan yang hanya dapat dirasakan orang yang telah memaksakan diri
melampaui batas fisiknya, masuk ke ruang atmosfer berbau lemak telur goreng
dan bacon.
Dua pria mengenakan wol tebal dan jaket tahan air baru saja berdiri
meninggalkan meja. Strike menyusupkan tubuhnya yang tebal ke ruang sempit
itu, mengenyakkan diri di kursi kayu dan baja sambil menggerung puas. Bahkan
sebelum dia sempat memesan, orang Italia pemilik kafe itu sudah meletakkan
cangkir putih tinggi berisi teh di depannya, yang disajikan bersama roti putih
dipotong-potong segitiga yang sudah diolesi mentega. Dalam lima menit,
hidangan sarapan ala Inggris lengkap sudah tersaji di hadapannya di dalam
piring oval besar.
Strike membaur dengan baik di antara pria-pria perkasa yang keluar-
masuk kafe itu dengan berisik. Dia bertubuh besar, dengan rambut hitam yang
pendek, tebal, dan ikal yang sudah sedikit menipis di kening yang tinggi dan
lebar, di atas hidung lebar ala petinju dan alis yang tebal dan berkerut. Dagunya
ditumbuhi jenggot pendek dan bayang-bayang gelap bak memar melingkari
matanya yang hitam. Dia makan sambil melamun memandang gedung pasar di
seberang jalan. Pintu masuk melengkung yang paling dekat, pintu nomor dua,
mulai menampakkan ciri-cirinya sementara kegelapan menyusut: wajah dari
batu yang keras dan galak, kuno dan berjenggot, balas menatapnya dari atas
ambang pintu. Apakah pernah ada dewa bangkai binatang?
Dia baru mulai melahap sosisnya ketika Dominic Culpepper tiba.
Wartawan itu hampir sama tingginya dengan Strike tapi kurus, tampangnya
seperti anak paduan suara. Asimetri yang ganjil, seolah-olah ada orang yang
memutar wajahnya berlawanan arah jarum jam, mencegahnya menjadi terlalu
rupawan seperti anak perempuan.
“Sebaiknyakau punya sesuatu yang bagus,” kata Culpepper sambil duduk,
menarik lepas sarung tangannya dan melirik curiga ke sekeliling kafe.
“Mau makan?” tanya Strike dengan mulut penuh sosis.
“Tidak,” jawab Culpepper.
“Mau menunggu sampai bisa menemukan croissant?” tanya Strike,
menyeringai.
“Babi kau, Strike.”
Betapa gampangnya memancing emosi bekas murid sekolah negeri ini,
yang memesan teh dengan sengit dan (Strike memperhatikan dengan geli)
memanggil pelayan yang tak acuh dengan sebutan “mate”.
“Jadi?” Culpepper mendesak, tangannya yang panjang dan pucat
menggenggam cangkir panas.
Strike merogoh saku mantelnya, mengeluarkan sepucuk amplop, lalu
mendorongnya di atas meja. Culpepper menarik keluar isinya dan mulai
membaca.
“Edan,” ujarnya pelan, sesaat kemudian. Dia membolak-balik kertas
dengan heboh, beberapa berisi tulisan tangan Strike. “Dari mana kau dapat ini?”
Strike, dengan mulut penuh sosis, mengetukkan jari pada salah satu
kertas itu, yang bertuliskan sebuah alamat kantor.
“Asisten pribadinya yang sangat marah,” kata Strike, sesudah akhirnya
menelan makanannya. “Bosnya meniduri dia, juga dua perempuan lain yang
sudah kauketahui. Asistennya itu baru saja menyadari dia tidak akan pernah
menjadi Lady Parker.”
“Bagaimana kau bisa tahu itu?” tanya Culpepper sambil menatap Strike
dari atas kertas-kertas yang bergetar dalam genggamannya yang terlalu
bersemangat.
“Pekerjaan detektif,” kata Strike dengan suara teredam, seraya menggigit
sosis lagi. “Bukankah orang-orang seperti kau dulu juga sering melakukannya,
sebelum mulai menyewa jasa orang luar seperti aku? Tapi wanita itu harus
memikirkan prospek karier masa depannya, Culpepper, jadi dia tidak ingin
namanya muncul di berita, oke?”
Culpepper mendengus.
“Seharusnya dia memikirkan itu sebelum mencuri---”
Dengan sigap, Strike merebut kertas-kertas itu dari tangan si wartawan.
“Dia tidak mencurinya. Bosnya menyuruh dia mencetak semua ini untuk
nanti sore. Satu-satunya kesalahannya adalah memperlihatkan ini kepadaku.
Tapi kalau kau bermaksud mengumbar kehidupan pribadinya di koran-koran,
Culpepper, aku akan mengambilnya kembali.”
“Ah, persetanlah,” kata Culpepper, berusaha merebut kembali bukti
penghindaran pajakitu dari tangan Strike yang berbulu. “Ya sudah, kami tidak
akan menyebut-nyebut soal dia. Tapi bosnya pasti akan tahu dari mana kami
mendapatkan ini. Dia kan tidak goblok-goblok amat.”
“Memangnya orang itu mau apa, menyeretnya ke pengadilan supaya
wanita itu bisa membocorkan hal-hal mencurigakan lain yang dia saksikan
selama lima tahun terakhir?”
“Yeah, baiklah,” kata Culpepper, mendesah setelah berpikir sejenak.
“Kemarikan. Aku tidak akan membawa-bawa dia, tapi aku perlu bicara
dengannya, bukan? Untuk menilai apakah dia bisa dipercaya.”
“Bukti itu bisa dipercaya. Kau tidak perlu bicara dengan dia,” Strike
berkata tegas.
Wanita yang kasmaran, terguncang, dan dikhianati itu, wanita yang baru
saja dia tinggalkan, tidak akan aman dibiarkan berdua saja dengan Culpepper.
Dalam nafsunya membalas dendam pada laki-laki yang telah menjanjikan
pernikahan dan anak-anak, dia dapat melakukan kerusakan yang tak dapat
diperbaiki lagi atas dirinya sendiri serta prospek masa depannya. Tidak perlu
waktu lama bagi Strike untuk mendapatkan kepercayaannya. Wanita itu hampir
42 tahun, mengira akan melahirkan anak-anak Lord Parker, dan kini hasrat yang
berbeda telah menguasainya. Strike duduk bersamanya selama berjam-jam,
mendengarkan kisah asmaranya, melihatnya berjalan ke sana kemari di ruang
duduknya sembari beruraian air mata, menimang dirinya sendiri di sofa, dengan
kepalan tangan menjepit pelipis. Akhirnya wanita itu sepakat melakukan ini:
tindak pengkhianatan yang melambangkan matinya seluruh harapannya.
“Kau tidak akan memuat apa pun tentang dia,” kata Strike, menggenggam
kertas-kertas itu dalam kepalannya yang nyaris dua kali lebih besar daripada
tangan Culpepper. “Oke? Tanpa dia pun, berita ini tetap menggemparkan.”
Setelah ragu-ragu sejenak dan meringis, Culpepper menyerah.
“Oke, baiklah. Berikan padaku.”
Wartawan itu menyurukkan bukti-bukti itu ke saku dalam dan meneguk
tehnya, kejengkelan sesaatnya pada Strike sepertinya menyurut seiring semakin
gemilangnya kesempatan untuk merontokkan reputasi seorang bangsawan.
“Lord Parker of Pennywell,” desisnya gembira, “modar kau, bangsat.”
“Kantormu yang akan membayar ini, kan?” tanya Strike ketika bon
mendarat di meja mereka.
“Ya, ya…”
Culpepper menjatuhkan lembaran sepuluh pound di meja, dan kedua pria
itu meninggalkan kafe bersama-sama. Strike langsung menyulut rokok begitu
pintu terayun menutup di belakang mereka.
“Bagaimana kau bisa membuat wanita itu bicara padamu?” tanya
Culpepper sesudah mereka mulai berjalan dalam udara dingin, melewati sepeda-
sepeda motor dan lori-lori yang masih datang ke dan pergi dari pasar.
“Aku mendengarkan dia,” jawab Strike.
Culpepper meliriknya tajam.
“Detektif-detektif partikelir lain yang kusewa menghabiskan waktu
dengan menyadap telepon.”
“Ilegal,” timpal Strike, mengembuskan asap ke keremangan yang mulai
pudar.
“Jadi bagaimana---?”
“Kau melindungi sumber-sumbermu, aku juga begitu.”
Mereka berjalan sejauh lima puluh meter dalam diam, ketimpangan Strike
semakin tampak jelas seiring tiap langkah.
“Ini akan bikin gempar. Gempar besar,” kata Culpepper girang. “Bandot
tua munafik itu berkoar-koar tentang keserakahan korporasi, padahal dia sendiri
menyembunyikan dua puluh juta di Cayman Islands…”
“Senang bisa membuatmu begitu puas,” kata Strike. “Tagihannya akan
kukirim lewat email.”
Culpepper meliriknya lagi.
“Kaulihat anak Tom Jones di koran minggu lalu?” tanya Culpepper.
“Tom Jones?”
“Penyanyi Welsh itu,” kata Culpepper.
“Oh, dia,” Strike berkata datar. “Aku kenal orang bernama Tom Jones di
angkatan.”
“Baca beritanya?”
“Tidak.”
“Dia memberikan wawancara panjang yang bagus. Dia bilang, dia tidak
pernah bertemu dengan bapaknya, tidak pernah bertukar sepatah kata pun
dengannya. Aku yakin dia akan mendapat uang lebih banyak daripada tagihanmu
nanti.”
“Kau belum melihat tagihannya,” timpal Strike.
“Aku cuma bilang. Satu wawancara saja, dan kau boleh libur beberapa
hari dari mewawancarai sekretaris.”
“Sebaiknya kau berhenti memberi saran ini,” ujar Strike, “atau aku akan
berhenti bekerja untukmu, Culpepper.”
“Tentunya,” kata Culpepper, “aku bisa saja menurunkan cerita itu. Putra
seorang bintang rock yang menjadi pahlawan perang, tidak pernah mengenal
ayahnya, bekerja sebagai detektif---”
“Kudengar, menyuruh orang menyadap pembicaraan telepon juga
tindakan yang melanggar hukum.”
Di puncak Long Lane mereka memperlambat langkah dan berdiri
berhadapan. Tawa Culpepper terdengar kecut.
“Aku akan menunggu tagihan darimu.”
“Cocok, kalau begitu.”
Mereka memencar ke arah yang berlawanan, Strike menuju stasiun kereta
bawah tanah.
“Strike!” Suara Culpepper menggema dalam keremangan di belakangnya.
“Kau tidur dengannya?”
“Tak sabar baca beritanya, Culpepper,” Strike balas berteriak dengan
lelah, tanpa menoleh sedikit pun.
Dia pun terpincang-pincang memasuki pintu stasiun yang berbayang-
bayang dan menghilang dari pandangan Culpepper.
2
Sampai kapan kita harus bertempur? karena aku tak bisa tinggal,
Pun aku tak mau tinggal! Aku punya pekerjaan.
Francis Beaumont dan Philip Massinger,
The Little French Lawyer
Kereta Tube sudah mulai penuh. Wajah-wajah hari Senin pagi: murung, letih,
kaku, pasrah. Strike menemukan bangku kosong di depan wanita muda
berambut pirang dan bermata sembap yang kepalanya terus-menerus merosot
ke samping karena kantuk. Berkali-kali dia menyentak paksa tubuhnya agar
tegak kembali, dengan kalut mengamati rambu-rambu yang berkelebat, khawatir
telah melewatkan stasiun perhentiannya.
Kereta berderak dan berdetak, mengantar Strike menuju rumahnya yang
berupa flat dua-setengah ruangan dengan atap yang tak diberi insulasi dengan
baik. Dalam keletihan tiada tara, dikelilingi wajah-wajah hampa dan pasrah
bagaikan domba, Strike mendapati dirinya merenungkan kebetulan-kebetulan
yang telah menjadikan mereka semua ada. Tiap kelahiran, bila dipikirkan dengan
saksama, hanyalah suatu kebetulan. Dengan ratusan juta sperma yang berenang
dengan buta dalam kegelapan, sungguh amat kecil probabilitas seseorang bisa
menjadi apa adanya kini. Dari semua yang berjejalan di kereta ini, berapa banyak
yang memang direncanakan? dia bertanya-tanya, merasa melayang karena
kecapekan. Dan berapa banyak, seperti dirinya, yang hanyalah kecelakaan?
Ada seorang gadis kecil di sekolah dasarnya dulu yang memiliki tanda
lahir sewarna anggur port melintang di wajahnya, dan Strike selalu merasakan
semacam solidaritas terhadapnya, karena mereka sama-sama membawa tanda
permanen yang berbeda sejak lahir, sesuatu yang bukan akibat kesalahan
mereka. Mereka sendiri tidak dapat melihatnya, namun semua orang lain bisa,
dan tak cukup punya sopan santun untuk tidak menyinggungnya. Pada usia lima
tahun, dia menyangka kekaguman orang asing kepadanya disebabkan oleh
keunikan dirinya, namun pada akhirnya dia sadar bahwa mereka melihatnya tak
lebih dari sekadar zygote seorang penyanyi terkenal, bukti tak sengaja dari laku
tidak setia seorang selebritas. Strike baru dua kali bertemu dengan ayah
kandungnya. Diperlukan tes DNA sehingga Jonny Rokeby mau mengakui bahwa
dia memang ayah kandung Strike.
Dominic Culpepper adalah contoh nyata bentuk ketertarikan dan asumsi
yang belakangan ini sudah jarang ditemui Strike, bahwa orang menghubungkan
mantan tentara bertampang murung ini dengan sang rock star yang sudah tua.
Pikiran orang seketika melompat ke dana perwalian dan uang sakuberjumlah
besar, ke pesawat pribadi dan lounge VIP, hingga sumber kekayaan yang tak ada
habisnya. Tercengang melihat kesederhanaan hidup Strike dan jam-jam kerjanya
yang panjang, mereka pun bertanya pada diri sendiri: apa yang telah dilakukan
Strike sehingga mengucilkan ayahnya? Apakah dia pura-pura hidup menderita
demi mengucurkan lebih banyak uang dari Rokeby? Apa yang telah dia lakukan
dengan harta yang tentunya telah diperas ibu Strike dari kekasihnya yang kaya
raya?
Pada saat seperti itu, Strike sering kali merindukan kehidupan angkatan
darat, suatu karier anonim di mana latar belakang dan garis darah nyaris tidak
ada artinya dibandingkan kemampuan melakukan pekerjaan. Dulu di Cabang
Investigasi Khusus, pertanyaan paling pribadi yang diajukan kepadanya saat
perkenalan adalah permintaan untuk mengulang pasangan namanya yang sangat
tidak jamak, nama yang telah dibebankan ibunya kepadanya.
Lalu lintas sudah bergulir sibuk di sepanjang Charing Cross Road ketika
Strike muncul dari stasiun bawah tanah. Fajar bulan November sudah merekah,
kelabu dan setengah hati, meninggalkan banyak bayang-bayang. Dia berbelok ke
Denmark Street dengan perasaan terkuras dan terluka, mengharapkan tidur
singkat yang mungkin sempat dilakukannya sebelum klien berikut datang pada
pukul setengah sepuluh. Seraya melambai pada gadis di toko gitar yang sering
berbagi waktu rehat rokok dengannya, Strike masuk melalui pintu luar bercat
hitam di sebelah 12 Bar Café, lalu mulai mendaki tangga besi yang melingkari lift
sangkar burung yang telah rusak. Melewati si desainer grafis di lantai satu,
melewati kantornya sendiri dengan pintu kaca yang disablon, sampai ke puncak
tangga lantai tiga yang paling sempit, tempat tinggalnya sekarang.
Penghuni sebelumnya, manajer bar di lantai dasar, sudah pindah ke area
yang lebih makmur, dan Strike, yang selama beberapa bulan tidur di kantornya,
langsung menyambar kesempatan menyewa tempat itu, bersyukur mendapat
jalan keluar yang mudah atas kondisinya yang tunawisma. Berdasarkan standar
apa pun, ruang di bawah atap itu sempit, terutama bagi pria yang tingginya 192
sentimeter. Dia hampir tak bisa berputar di bawah pancuran kamar mandi;
dapurnya merangkap ruang duduk, dan hampir seluruh luas kamar tidurnya
disesaki ranjang besar. Sebagian barang milik Strike masih tersimpan dalam
kotak-kotak kardus di puncak tangga, meskipun pemilik gedung sudah
menyatakan keberatan.
Jendela-jendelanya yang kecil menghadap atap bangunan-bangunan lain,
Denmark Street berada jauh di bawah. Dentum bas dari bar di lantai dasar cukup
teredam, bahkan musik yang diputar Strike sering kali berhasil mengatasinya.
Keteraturan Strike yang mendarah daging tampak jelas di seluruh flat itu:
ranjangnya rapi, barang pecah belah bersih, segala sesuatu ada pada tempatnya.
Dia perlu mandi dan bercukur, tapi itu bisa menunggu. Setelah menggantung
mantel, dia menyetel alarm pukul 09.20, lalu merebahkan diri di ranjang tanpa
berganti pakaian.
Dia langsung terlelap dalam hitungan detik, dan beberapa detik
kemudian---atau begitulah sepertinya---dia terjaga lagi. Ada orang yang
mengetuk-ngetuk pintunya.
“Maaf, Cormoran, aku benar-benar minta maaf---”
Asistennya, wanita muda bertubuh tinggi dengan rambut pirang
kemerahan, tampak tidak enak hati ketika dia membuka pintu, namun
ekspresinya langsung berubah heran begitu dia melihat kondisi Strike.
“Kau tidak apa-apa?”
“Ketiduran. Melek semalaman---dua malam.”
“Aduh, maaf,” ulang Robin, “tapi sekarang sudah pukul sembilan empat
puluh dan William Baker sudah datang dan mulai---”
“Sialan,” gumam Strike. “Tidak pernah beres nyetel alarm---kasih waktu
lima men---”
“Bukan itu saja,” sela Robin. “Ada seorang wanita. Dia belum memiliki
janji temu. Aku sudah memberitahu dia bahwa kau tidak punya waktu untuk
klien lain, tapi dia tidak mau pergi.”
Strike menguap, mengucak-ngucak matanya.
“Lima menit. Suguhi teh dulu atau apa.”
Enam menit kemudian, mengenakan kemeja bersih, berbau pasta gigi dan
deodoran tapi belum bercukur, Strike memasuki ruang luar kantornya tempat
Robin duduk di depan komputer.
“Yah, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali,” kata William Baker
sambil menyunggingkan senyum kaku. “Untung saja sekretarismu cantik, kalau
tidak aku pasti sudah pergi karena bosan.”
Strike melihat Robin merona marah sambil memalingkan muka, pura-
pura mengatur surat-surat yang masuk. Ada kesan merendahkan dalam cara
Baker mengucapkan “sekretaris”. Direktur perusahaan yang berpakaian
sempurna dalam jas bergaris-garis halus itu menyewa jasa Strike untuk
menyelidiki dua anggota dewannya.
“Pagi, William,” kata Strike.
“Tidak ada permintaan maaf?” desis Baker, matanya memutar ke langit-
langit.
“Halo, apa kabar?” tanya Strike, mengabaikan Baker dan menyapa wanita
kurus separuh baya yang mengenakan mantel cokelat usang, yang duduk di tepi
sofa.
“Leonora Quine,” jawab wanita itu, dengan aksen---menurut telinga Strike
yang terlatih---berasal dari West Country.
“Aku masih punya banyak kesibukan pagi ini, Strike,” kata Baker.
Pria itu berjalan masuk ke ruang dalam tanpa diundang. Ketika Strike
tidak mengikutinya, dia agak kehilangan kendali sikapnya yang sok elegan.
“Di angkatan darat kau pasti sering dihukum karena tidak pandai
menepati waktu, Mr. Strike. Cepat masuk.”
Strike seperti tidak mendengar dia.
“Apa yang Anda harapkan dari saya, Mrs. Quine?” tanya Strike pada
wanita lusuh yang duduk di sofa.
“Well, suami saya---”
“Mr. Strike, aku punya janji satu jam lagi,” William Baker berkata dengan
suara lebih keras.
“---sekretaris Anda bilang Anda ada pertemuan, tapi saya bilang saya akan
menunggu.”
“Strike!” bentak William Baker, memanggil anjingnya agar mengikuti dia.
“Robin,” geram Strike yang lelah, akhirnya kehabisan kesabaran. “Siapkan
tagihan Mr. Baker dan berikan arsipnya yang sudah diperbarui.”
“Apa?” kata William Baker, terpana. Dia kembali ke ruang luar.
“Dia memecat Anda,” kata Leonora Quine dengan puas.
“Kau belum menyelesaikan pekerjaanmu,” kata Baker pada Strike.
“Kaubilang masih ada---”
“Orang lain bisa menyelesaikan pekerjaan itu. Orang yang tidak keberatan
punya klien kurang ajar.”
Atmosfer dalam kantor itu seolah-olah membeku. Dengan air muka datar,
Robin mengambil arsip Baker dari lemari dan memberikannya pada Strike.
“Berani-beraninya---”
“Ada banyak bahan bagus dalam arsip itu yang dapat digunakan di
pengadilan,” kata Strike, mengangsurkan arsip kepada direktur itu. “Sepadan
dengan uangnya.”
“Kau belum selesai---”
“Dia sudah selesai denganmu,” sela Leonora Quine.
“Tutup mulut, kau wanita bod---” William Baker mulai berkata, tapi tiba-
tiba mundur ketika Strike mengambil setengah langkah ke arahnya. Tak seorang
pun bersuara. Mendadak, tubuh sang mantan tentara seperti membesar dua kali
lipat daripada sebelumnya.
“Silakan duduk di dalam kantor saya, Mrs. Quine,” kata Strike dengan
suara pelan.
Wanita itu menurut.
“Kaupikir dia sanggup membayarmu?”William Baker mencibir sambil
melangkah mundur, tangannya sudah mendarat di pegangan pintu.
“Bayaranku bisa dinegosiasikan,” kata Strike, “kalau aku menyukai
kliennya.”
Dia mengikuti Leonora Quine masuk ke ruang dalam dan menutup pintu
dengan bunyi berdebam.