culture, conflicts and globalization in africa

29
Cultures, Conflict, and Globalization in Africa Matakuliah Masyarakat Budaya Global Dosen Pengampu: Asih Purwanti, S.IP,M.A Kelompok B: Andrea Brilliana 105120400111007 Nadia Fitri Salsabila 105120400111019 RandyDesvita Sari 105120401111001 Dimas Aji Setiawan 105120401111007 Dariel Eka Septian 105120407111028

Upload: randy-desvita-sari

Post on 26-Nov-2015

36 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Workgroup Paper

TRANSCRIPT

Cultures, Conflict, and Globalization in AfricaMatakuliah Masyarakat Budaya Global

Dosen Pengampu: Asih Purwanti, S.IP,M.A

Kelompok B:Andrea Brilliana105120400111007Nadia Fitri Salsabila105120400111019RandyDesvita Sari105120401111001Dimas Aji Setiawan105120401111007Dariel Eka Septian105120407111028

Program Studi Hubungan InternasionalFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Brawijaya2013

Globalisasi Afrika, Africanizing globalisasi

Globalisasi secara terus menerus meningkatkan saling ketergantungannya diantara negara-negara dan kawasan yang berbeda-beda. Dimana hal tersebut dapat memperdalam hubungan diantara negara-negara maju di seluruh dunia dan demi menjaga hubungan kerjasama ini, dibutukan salah satu cara untuk terus mendukung dan menguntungkan kerjasama ini dengan cara membuka pasar di negara-negara berkembang agar barang atau produk-produk dari negara maju tadi dapat terus tersebar dan memberikan keuntungan komparatif. Seperti yang kita ketahui bahwa globalisasi merupakan sebuah percepatan arus dari pergerakan barang, jasa, dan orang. Dimana dunia menjadi semakin borderless dan pengaruh-pengaruh asing akan dengan mudah menyebar kedalam suatu negara atau kawasan yang dapat memberikan baik itu dampak yang baik maupun buruk. Selain itu globalisasi memaksa suatu negara untuk mengikuti peraturan global yang ada seperti membuka pasar mereka menjadi pasar global dan mengurangi tariff, dimana hal ini juga berdampak pada secara tidak langsung pemerintah juga mau tidak mau harus merelakan berkurangnya peranan atau kekuasaan suatu negara atas masuknya globalisasi ini. Dalam hal ini penulis akan membahas bagaimana globalisasi yang terjadi di Afrika.Globalisasi dan konflik budaya tidak dapat dipahami secara terpisah dari hierarki yang terus menginformasikan hubungan sosial. Globalisasi yang terjadi di Afrika hampir sama seperti yang terjadi di wilayah lain yang ditandai oleh percepatan aliran seperti barang, jasa, dan orang. Pertemuan antara Afrika dengan kolonialisme barat dan konsumerisme, telah membentuk sebagai satu set kompleks konflik budaya yang secara umum antara budaya pribumi Afrika dan budaya Barat. Perbedaan budaya harus ditoleransi diluar tokenisme, agar sifat dinamis dari budaya yang akan ditampung dalam prinsip dan praktek dan keramahan budaya dan interpenetrasi untuk diakui sebagai hasil alami dari mobilitas dunia fleksibel.Baik globalisasi maupun konflik budaya bukan merupakan suatu fenomena baru di Afrika, bahkan revolusi baru dalam teknologi informasi dan komunikasi telah sangat mempengaruhi perkembangan dari keduanya baik globalisasi maupun konflik budaya. Hierarki ras, etnis, geografis, kelas, gender dan kewarganegaraan yang terus menginformasikan hubungan sosial tidak dapat dipahami secara terpisah, meskipun ilmu pengetahuan dan retorika mengedepankan kesetaraan manusia dan peluang. Kolonialisme barat dan konsumerisme telah secara negatif mempengaruhi kreativitas dan kemanusiaan Afrika dan direkayasa hingga menjadi satu set kompleks konflik budaya. Retorika arus yang bebas dan menghilangkan batasan-batasan ini berlawanan dengan peningkatan batasan. Dimana aliran bebas dan perpindahan yang tidak teratur ini dapat memprovokasi respon dari buruh yang kurang beruntung dalam mendapatkan pekerjaan. Doktrin neo-liberal dari globalisasi menjadi lebih tidak jelas daripada yang lebih substansi untuk sebagian besar dengan pengecualian modal global, yang secara keseluruhan sama sekali tak terkekang dibandingkan dengan tenaga kerja global. Percepatan arus modal, barang, informasi elektronik dan migrasi yang disebabkan oleh globalisasi hanya memperburuk ketidakamanan dan kekhawatiran penduduk setempat.Salah satu hasil mencolok adalah pembangunan atau reaktualisasi batasan dan perbedaan melalui xenophobia dan hal-hal yang berhubungan dengan intoleransi. Respon di banyak tempat bagi negara adalah untuk memperketat peraturan terkait imigrasi, dan sikap dari masyarakat lokal yang kuat dan menganggap bahwa bangsa asing atau orang asing merupakan orang yang berbeda budayanya dengan mereka. Dimana hal ini dibuktikan keterpaksaan atas penerimaan dari migran yang tidak terampil yang bahkan biasanya hanya mengisi pekerjaan kasar. Hal ini dikarenakan adanya perebutan hak atas orang pribumi oleh pendatang yang meningkatkan persaingan dan menjadi akar penyebab munculnya xenophobia hingga sebagai pemicu konflik.Dalam situasi dimana masyarakat pada masa Post-Apartheid South Africa belum sepenuhnya berhasil menjadi sebuah masyarakat yang memiliki identitas yang jelas mereka malah dihadapkan dengan persaingan dari migran yang datang yang membuat persaingan dalam memperoleh pekerjaan menjadi semakin kuat, dimana hal tersebut lah yang mampu memicu terjadinya konflik budaya. Didukung dengan adanya klaim-klaim terhadap kepemilikan yang sangat agresif, rasa bermusuhan dengan para pendatang atau imigran dan rasa berbedanya kebudayaan yang berlebihan. Kecenderungan terhadap migran ini memunculkan anggapan bahwa migran tersebut merupakan labour zombies dan juga dianggap sebagai kebudayaan yang inferior (Nyamnjoh 2005a, 2006).[footnoteRef:2] [2: Nyamnjoh 2005a, 2006 dalam Nyamnjoh, Francis B. Cultures, Conflict And Globalization: Africa. Hal: 22]

Munculnya anggapan bahwa globalisasi ini tidak dapat terus dijalankan karena dirasa malah merugikan masyarakat pribumi Afrika maka muncul keinginan untuk mempercepat penutupan dari arus globalisasi yang masuk di Afrika ini, namun hal tersebut malah menimbulkan berbagai macam masalah di Afrika itu sendiri. Seperti contoh mobilitas fleksibel yang telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan di Afrika bahkan sejak dari jaman pra-kolonial.[footnoteRef:3] [3: de Bruijn dkk 2001;. MacGaffey 1995, Appiah 1992; Owolabi 2003 dalam Nyamnjoh, Francis B. Cultures, Conflict And Globalization: Africa. Hal: 122]

Meskipun kapitalisme global yang telah memfasilitasi harmonisasi dan interkoneksi antara 'zona yang tampaknya berbeda dan tidak kompatibel dari akumulasi dan produksi' (Surin 1995: 1191-6), logika dari winner-takes-all, one-size-fits-all, undomesticated agency, dan Barbie democracy (Nyamnjoh 2005b: 25-80) ditambah praktek menempatkan profit over people (Chomsky 1999) sebagian besar telah memberitahu bagaimana, oleh siapa dan untuk tujuan apa kemajuan dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi yang disesuaikan. Teknologi memang menciptakan berbagai kemungkinan dan bahkan kemungkinan tekait budaya global (Berger dan Huntington 2002), meskipun sejauh mana budaya tersebut dibangun di atas konsensus global dan pada rasa kemanusiaan dan kreativitas yang harus dibentuk. Seperti mesin faks, satelit, televisi, internet dan ponsel secara bersamaan menghilangkan batas-batas budaya.Industri kebudayaan global telah membentuk persepsi dan impian dari masyarakat pribumi Afrika yang menyadari geografinya atau budayanya sebagai sesuatu yang dapat diartikan tetapi siapa dan budaya siapa memiliki akses untuk menyadari dan menggambarkan ketergantungan tidak hanya di faktor ekonomi tetapi juga dalam hierarki yang dari ras, etnisitas, kelas, gender, dan geografi dari kerasnya retorika dominan yang tidak beraturan (Nyamnjoh 2006; Oguibe 2004 ). Keistimewaan dari aliran nilai, norma dan budaya adalah idealisme barat dari kapitalisme konsumen. Hal ini terbukti dimana negara-negara miskin di Afrika tergoda oleh iklan massal oleh mesin global dari keinginan dibanjiri oleh barang-barang kebudayaan, yang warganya menyerah pada berbagai derajat. Sentimen ketidakamanan budaya dan sedang dikepung adalah pada peningkatan antara Afrika, termasuk bahkan di antara mereka yang biasanya yang menyumbang pada dinamika budaya dan interpenetrasi. Jadi, bukannya memperluas kemungkinan budaya secara signifikan, dalam culture game globalisasi telah cenderung menyeragamkan, standarisasi, merampingkan selera konsumen non-Barat, memastikan bahwa penekanan pada internalisasi pasif dan regurgitasi menu dari barat, bukan pada Buffet global, pencernaan kritis dan keterlibatan. Dengan cara ini, the global culture game sukses untuk tidak memusnahkan atau dalam mewujudkan keramahan, tetapi lebih kepada membuat perbedaan sebuah obsesi dan esensi yang baik realitas ataupun imajinasi tampaknya mampu dikeluarkan (Oguibe 2004: xiv).[footnoteRef:4] [4: Oguibe 2004: xiv dalam Nyamnjoh, Francis B. Cultures, Conflict And Globalization: Africa. Hal: 123]

Peran budaya lokal sebagai bagian spontan dan integral dari kehidupan biasa terkikis dan dampaknya pada berkurangnya sarana dalam membangun nilai-nilai sosial, mereproduksi identitas kelompok dan membangun kohesi sosial. Hasil akhir dari integrasi global tanpa manfaat yang jelas untuk segala-galanya dicapai dengan risiko ketidakpastian lokal, ketidakamanan dan konflik terbuka. pembangunan global mendorong ribuan masyarakat Afrika untuk pindah ke wilayah yang sudah penuh yakni di ibukota. Dimana mereka mempertaruhkan hidup mereka dan berusaha untuk pindah ke pusat-pusat atau kawasan yang dikenal terdapatnya westernisasi dan lainnya. Namun sebagian besar imigran baru akhirnya mengalami keadaan dimana apa yang mereka ekspektasikan tidak terjadi di kenyataan dan malah mengalami kesulitan di bidang eknomi mereka sendiri.Efek kumulatif yang terjadi sebagai akibat adanya globalisasi di Afrika adalah krisis kepercayaan budaya, dikombinasikan dengan ketidakpastian ekonomi meningkat serta ketidakmampuan negara-negara Afrika untuk membela kepentingan mereka sendiri. Dimana hal ini malah menciptakan masalah nyata bagi solidaritas sosial, baik di tingkat negara, masyarakat atau keluarga. Sehingga perlunya untuk memperkuat rasa saling memiliki atau sense of belonging.

Cultural Encounters, Marginalization and The Violence of Cultural Conversion

Meskipun terjadi perbaikan dalam beberapa sektor sosial di beberapa Negara selama proses globalisasi berlangsung, kondisi di negara-negara Afrika justru mengalami sebaliknya, memburuk selama dua dekade terakhir abad ke-20.[footnoteRef:5] Dalam proses globalisasi, perusahaan terus membuat terobosan untuk kebijakan nasional dan politik sehingga melemahkan kemampuan negara-negara Afrika untuk bertindak, ada kebutuhan untuk mengeksplorasi alternatif lain untuk pembangunan di Afrika.[footnoteRef:6] [5: Lumumba-Kasongo, Tlikumbi, 2002. Reconceptualizing the State as the Leading Agent of Development in the Context of Globalization in Africa. African Association of Political Science, Vol 7 No. 1, pg.79] [6: Ibid.]

Ketika orang-orang Afrika menghadapi ketidakpastian dan ketidakamanan pada dirinya sendiri, mereka berusaha untuk menarik dirinya yang selama ini mendapatkan pandangan negatif yang diterimanya dan berusaha untuk melepaskan diri dari pandangan-pandangan tersebut.[footnoteRef:7] Seperti dalam hal film, karya seni dan publikasi yang dilakukan orang-orang Afrika, atau mereka memperlihatkan kekayan dan martabatnya secara manusiawi dan kreatif yang terjadi kemudian seringkali tidak dilihat dari sisi positif karena yang terjadi ialah Afrika telah diidentikkan dengan karikatur, stereotip dan prasangka yang samsa seperti pada masa terjadinya kolonialisasi. Dalam hal ini kemudian yang justru terjadi dari kaum Elite Afrika ialah mereka cenderung mengartikulasi akulturasi mereka dengan cara yang tidak seperti hal umumnya (bertentangan dengan hal yang mainstream) yang sering kali justru terlihat menurunkan budaya Afrika di wilayah minoritas dan pedesaan.[footnoteRef:8] [7: Nyamnjoh, B. Francis. Culture, Conflict, and Globalization : Africa. Pg. 124] [8: Ibid.]

Tema seperti konflik kreatif atau kreatif kehancuran yang penuh dengan budaya populer, juga menunjukkan adanya kekerasan secara psikologis dan perubahan emosional bahwa Afrika telah mengalami penderitaan karena marjinalisasi budaya melalui perbudakan, kolonialisme, pendidikan, dan globalisasi kapitalisme konsumen.[footnoteRef:9] Ketika terjadi pertukaran budaya di wilayah Afrika, mereka tidak mengakui kreativitas yang terkandung dalam budaya mereka sendiri dan lebih melihat bahwa hal tersebut lebih cocok untuk upaya pelestarian. Pandangan dari budaya lain, khususnya budaya barat melihat bahwa tanah Afrika masih murni dalam hal budaya (tidak ada apa-apanya) dan hanya sedikit yang pantas untuk dibanggakan selain kekejaman dan tingkat kelahiran yang sangat tinggi.[footnoteRef:10] [9: Ibid.] [10: Nyamnjoh, B. Francis. Culture, Conflict, and Globalization : Africa. Pg. 124]

Pertumbuhan pendapatan di seluruh dunia sebagian besar telah dilewati di negara Afrika, dan sebagian besar populasinya meningkatkan resiko terjadinya marginalisasi.[footnoteRef:11] Globalisasi yang ditujukan ke Afrika atas pencapaian pihak barat justru telah menyebabkan prasangka dan stereotip. Keselamatan, kenyamanan, atau memperbaiki diri dipandang sebagai sesuatu yang mungkin hanya terjadi dalam proses westernisasi yang terjadi di luar Afrika, sedangkan bagi peradaban Afrika dan budayanya, mereka dianggap konstriktif dan konservatif dimana proses menghancurkan lawan harus diatasi dengan peran media dan industri budaya sebagai sihir pengganda, pengetahuan, informasi dan propaganda.[footnoteRef:12] Dalam beberapa tahun terakhir, perempuan, mahasiswa, kaum proletar, dan petani telah menjadi target keamanan negara. Mereka telah diserang, disiksa dan bahkan dibunuh atas nama keamanan negara.[footnoteRef:13] Singkatnya, polisi dan aparat militer di negara Afrika telah anti-rakyat dan anti-pembangunan.[footnoteRef:14] [11: Dercon, Stefan, 2006. Globalization and Marginalization in Africa: Poverty, Risk and Vulnerability in rural Ethiopia. QEH Working Paper Series QEHWPS147, Pg.1] [12: Nyamnjoh, B. Francis. Culture, Conflict, and Globalization : Africa. Pg. 124] [13: Lumumba-Kasongo, Tlikumbi, 2002. Reconceptualizing the State as the Leading Agent of Development in the Context of Globalization in Africa. African Association of Political Science, Vol 7 No. 1, pg.95] [14: Ibid.]

Mereka kemudian dianggap hanya memiliki sedikit kesempatan dalam proses untuk memperbaiki dirinya/memajukkan dirinya sebagai orang Afrika atau kulit hitam, dan diundang untuk mengintensifkan asumsi keinginan mereka untuk menjadi seperi orang kulit putih di Eropa dan Amerika Utara.[footnoteRef:15] Modernitas sebagai hegemoni mode kehidupan sosial dan organisasi yang berasal dari Eropa (Giddens, 1990) yang menjadikan sebagai kompresor raksasa terbesar yang ditentukan untuk menghancurkan setiap peradaban dan budaya dalam rangka untuk mengurangi mereka dari model industri barat.[footnoteRef:16] [15: Ibid, pg. 125.] [16: Giddens, 1990 in Nyamnjoh, B. Francis. Culture, Conflict, and Globalization : Africa. Pg. 125]

Bukannya menyadari dan mengakomodasi secara fakta bahwa orang-orang bersikeras bangga terhadap warisan mereka baik dalam hal bahasa, adat istiadat, agama dan cara-cara hidup tradisional, yang terjadi ialah barat memiliki ambisi untuk mendominasi dalam hal mengatur tentang warisan yang dimiliki orang Afrika dengan menekan kreativitas, harga diri melalui penaklukan fisik, pemaksaan dan persuasi, seperti yang dikatakan oleh Vernon dalam Studi Februari dari keragaman stereotip dalam apartheid yang terjadi di Afrika Selatan pada tahun 1981.[footnoteRef:17] Hal tersebut tidak hanya dirampas dari budaya Afrika, namun secara perlahan menjadi tertanam dan merendahkan mereka dengan memaksa mereka untuk terus berada dibawah kekuasaan dan kesombongan pihak barat dengan cara pandang yang baru.[footnoteRef:18] Pihak barat memojokkan dan mendistorsi budaya barat dengan mengurangi pemberdayaan bangsa Afrika yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk menarik diri dan melawan dominasi barat di daerahnya.[footnoteRef:19] Struktur atau lembaga yang mungkin dapat memajukan pembangunan tidak ada atau, seperti sebagian besar kasus, terlalu lemah untuk melaksanakan tugas.[footnoteRef:20] Selain itu, kekuasaan eksekutif dari negara (pemerintah dan kepemimpinan politik) bingung tentang menciptakan agenda untuk kemajuan sosial untuk Afrika. Kebingungan ini bersifat multidimensi.[footnoteRef:21] [17: Nyamnjoh, Francis B. Culture, Conflict, and Globalization:Africa. Pg. 125] [18: Ibid.] [19: Ibid.] [20: Lumumba-Kasongo, Tlikumbi, 2002. Reconceptualizing the State as the Leading Agent of Development in the Context of Globalization in Africa. African Association of Political Science, Vol 7 No. 1, pg.87] [21: Ibid.]

Globalisasi yang dibawa dari pihak barat telah menjadikan Afrika sebagai sutau bangsa yang inferior dengan mengucilkan nilai-nilai budaya mereka yang sebenarnya memiliki potensi untuk berkembang dengan baik.[footnoteRef:22] Bukannya membantu untuk meningkatkan kehidupan di Afrika, bangsa barat justru secara ridak langsung telah menimbulkan kebencian dan rasa rendah diri pada masyarakat Afrika secara mendalam yang berujung pada ketidakpuasan diri dan terus mengejar apa yang orang kulit putih lakukan.[footnoteRef:23] [22: Nyamnjoh, Francis B. Culture, Conflict, and Globalization:Africa. Pg. 125] [23: Ibid.]

Seperti negara-negara lainnya, negara Afrika harus mempunyai populasi yang dapat menghasilkan tenaga kerja dan dapat mengendalikannya dengan mencari loyalitas yang diperlukan dalam elemen tersebut.[footnoteRef:24] Namun, meskipunbanyak pihak yang berupaya untuk menghancurkan identitas budaya mereka dan sejarah mereka, orang-orang/pihak barat telah berhasil dalam membuat berbagai klaim dan dipelihara banyak loyalitas yang dijadikan nilai fungsi bersama-sama.[footnoteRef:25] [24: Lumumba-Kasongo, Tlikumbi, 2002. Reconceptualizing the State as the Leading Agent of Development in the Context of Globalization in Africa. African Association of Political Science, Vol 7 No. 1, pg.87] [25: Ibid.]

Seperti yang dikatakan oleh Hamelink dalam bahan bacaan ini, dimana ia mencontohkan pada produk kecantikan yang dapat mencerahkan kulit dalam bentuk krim kosmetik dan produk pencerah/pemutih lainnya yang juga dapat dikonsumsi masyarakat Afrika seolah menunjukkan bahwa hal tersebut tidak dapat berlaku bahwa kulit hitam yang sudah menjadi genetika bangsa Afrika tidak bisa menjadi dan mendapatkan kecantikan yang ideal.[footnoteRef:26] Hal ini tidak mengherankan jika hingga saat ini Afrika mendapatkan tekanan pada arus konsumen global dan hanya ketika ketiadaan akses untuk menjanjikan barang terhadap konsumen terjadi barulah mereka mencari upaya untuk mendapatkan apresiasi terhadap kebudayaannya sebagai cara untuk mengatasi ketidakpastian dan ketidakamanan yang datang bersamaan dengan arus globalisasi. [26: Nyamnjoh, Francis B. Culture, Conflict, and Globalization:Africa. Pg. 125]

Globalized Uncertainties And The Quest For Security Through Autochthony

Globalisasi mejelaskan sebuah fenomena dimana adanya proses integrasi antar bangsa yang memudahkan bangsa tersebut untuk berteraksi satu sama lain. Globalisasi ini juga berdampak pada afrika yang notabene merupakan negara yang selalu menjadi titik sensitif terhadap isu-isu rasial. Dampak yang ditimbulkan dari globalisasi ini adalah berupa masa kolonialisme bagi afrika. Bertemunya indigenous/native dan imigran/asing menciptakan struktur hirearki antara kedua golongan tersebut.[footnoteRef:27] Dari struktur hirearki tersebut timbul sistem rasial pasca peninggalan penjajah kolonial di wilayah jajahannya. Adanya pengistimewaan ini menghasilkan individu yang kaku lalu dapat berdampak pada masyarakat sosial. Pembentukan ini bergantung pada sistem yang dianut oleh masyarakat apakah itu diatur oleh rezim pemerintah atau diatur oleh nilai-nilai sosial budaya. Selain pembentukan identitas yang secara sengaja atau tidak dibentuk, globalisasi menumbulkan dampak ketidakstabilan dan ketidakpastian kondisi, baik itu dari aktor ataupun konteks secara keseluruhan. Pembentukan identitas ini menimbulkan perbenturan antara identitas etnis budaya asli dan identitas etnis asing. Perbedaan ini menimbulkan pertentangan dan tidak bisa berjalan secara harmoni. Dampak ini timbul dalam kasus Rwanda yang berlanjut pada genosida. [27: Francis B. Nyamnjoh. Cultures, Conflict, And Globalization: Africa. ]

Masuknya globalisasi dan nilai-nilai asing tidak selalu mendapatkan penolakan, ada golongan-golongan yang merangkul nilai-nilai tersebut tetapi masih dalam batasan tertentu. Dampak yang ditimbulkan adalah adanya krisis kewarganegaraan mencuat dengan adanya hal ini. Selain itu dampak lain yang timbul adalah konflim etnis yang sering terjadi dinegara afrika, seperti Rwanda, Pantai gading dan lainnya serta adanya indikasi kesulitan untuk memnuhi harapan agar afrika berada dibawah bendera demokrasi liberal dan kapitalisme konsumen global. Dampak lain berupa konflik yang terjadi antara muslin dan kristen di Nigeria serta ada kaum minoritas yang merasa menjadi korban dari kepentingan-kepentingan politik dari para elit dan perusahaan multinasional yang berdampak pada kebebasan Nigeria dalam mengeksplorasi sumber daya yang dimiliki. Hal ini dikarenankan negara-negara afrika masih sulit untuk menentukan level lokal dan global tentang budaya global. Banyak munculnya konflik yang terjadi akibat kondisi global yang tidak stabil, mulai banyak suara agar masyarakat kembali pada autochthony. Autochthony merupakan filosofi hidup yang kembali bergantung pada wilayah sendiri. Filosofi ini juga berati kembali kepada budaya lokal sebagai tempat untuk mencari kestabilan.komunitas lokal memiliki warisan yang jelas baik itu dari bangunan memorial, museum, ataupun situs0situ yang dimiliki. Hal-hal tersebut diklaim memiliki jalan untuk mendapatkan keuntungan melalui tradisi. Batas nasional dan regional lebih meluas dan dibentuk dengan dasar pembagian akses ke sumber daya melalui ras dan etnis. Autochthony masih memiliki kapabilitas untuk menyelesaikan konflik melalui kepemimpinan yang jelas dan meminimalisir kekurangan dari perekonomian. Orang asing biasanya tidak bisa menerima atau tidak akrab dengan banyaknya budaya. Bahasa merupakan indikator budaya yang menjadi toleransi bagi orang asing untuk berinteraksi dengan lokal agar tidak terjadi kesalahpahaman. Biasanya terjadi dinegara yang memiliki ekonomi yang tinggi dan memiliki intensitas interaksi dengan asing yang besar. Sumber daya alam yang menjadi salah satu penarik orang asing ke afrika biasanya negara tersebut.Nilai-nilai yang dijadikan bentuk ideal oleh globalisasi belum sepenuhnya bisa terpenuhi dibenua afrika. Pencapaian stabilitas ekonomi, mempromosikan perdagangan bebas, serta pembatasan intervensi dari pemerintah terhadap pasar[footnoteRef:28] merupakan beberapa indikator yang menjadi fokus dari nilai demokrasi liberal yang disebarkan oleh barat. [28: Alassane D. Ouattara. The Challenges of Globalization for Africa. Diakses dari http://www.imf.org/external/np/speeches/1997/052197.htm pada 23 April 2013]

African Diaspora

Diaspora penduduk Afrika sudah banyak terjadi baik itu yang terdapat dalam kawasan negara negara Afrika maupun negara di luar kawasan Afrika. Berbagai penyebab seperti adanya konflik etnis maupun pengaruh kolonialisasi memberikan dampak yang cukup signifikan bagi penduduk Afrika untuk melakukan migrasi. Diaspora bangsa Afrika banyak dilakukan pada saat zaman kolonial dimana banyak penduduk Afrika dijadikan sebagai budak sekitar abad 15 hingga abad 19[footnoteRef:29]. [29: The African Diaspora in the U.S. and Its Interaction with Biodiversity Conservation in Africa. June 2012. p 07]

Salah satu dampak dari adanya diaspora itu sendiri adalah hilangnya nilai nilai atau tradisi tradisi asli yang mereka warisi dari tempat dimana mereka dilahirkan, baik itu tergerus oleh budaya baru yang mereka temui pada tempat baru mereka atau juga dapat pengaruh dari globalisasi. Oleh karena itu mereka, penduduk yang melakukan migrasi, sadar akan perlunya menjaga tradisi, nilai, ataupun budaya asal mereka agar tidak hilang. Dalam diaspora penduduk Afrika banyak kita mengenal seperti authenticit of Mobutu (Zaire), ngritude of Senghor (Senegal), Consciencism of Nkrumah (Ghana), Ujamaa of Nyerere (Tanzania), Harambee of Kenyatta (Kenya), African Renaissance, dan Ubuntu of Mbeki (South Africa)[footnoteRef:30] itu merupakan beberapa contoh bentuk doktrin atau ideologi yang mereka hasilkan dari budaya atau pemikiran asli dari negaranya. Mereka merasa perlu untuk tetap menjaga eksistensi budaya mereka karena mereka tidak mau apabila nilai nilai luhur budaya mereka hilang dan disisi lain nilai yang mereka miliki tidak ingin digantikan dengan nilai nilai orang kulit putih atau dapat dikatakan western[footnoteRef:31]. [30: Nyamnjoh, Francis. B. Culture, Conflict, and Globalization : Africa. p 129] [31: Ibid, Nyamjoh]

African Culture : Ubuntu Afrika sangat kaya akan budaya juga nilai nilai luhur yang dimiliki, akan tetapi banyak orang orang barat memandang rendah akan nilai dan budaya di Afrika dikarenakan pertama, yaitu kekayaan budaya tradisional di Afika kurang dapat memiliki akses untuk dapat diperkenalkan secara tulisan. Belum banyak buku yang diterbitkan mengenai budaya tradisional Afrika khususnya bahasa agar mudah dipelajari oleh orang lain yang berada diluar wilayah Afrika. Kedua yaitu kecenderungan orang barat yang memandang secara negatif kehidupan di Afrika seperti konflik etnis, kediktatoran, AIDS yang mendominasi kehidupan di Afrika[footnoteRef:32]. Akan tetapi berbeda dengan pandangan barat mengenai bagaimana mereka menggambarkan Afrika, masyarakat di Afrika memiliki cara sendiri dalam memahami nilai nilai yang ada dalam masyarakat mereka. Masyarakat Afrika memperkenalkannya dengan istilah Ubuntu dimana ubuntu merupakan filosofi sosial di masyarakat Afrika untuk mengekspresikan kasih sayang, timbal balik, martabat, harmoni secara kemanusiaan untuk membangun dan memelihara komunitas secara adil dan saling peduli[footnoteRef:33]. Istilah ubuntu banyak digunakan masyarakat Afrika Selatan untuk dapat mengasihi anatar sesama manusia. Dalam memahami ubuntu dapat dimaknai sebagai : [32: Nussbaum, Barbara. African Culture and Ubuntu : Reflection of a South African in America. Vol 17 issue 1. 12 Februari 2003] [33: Ibid, Nussbaum]

Your pain is My pain, My wealth is Your wealth, Your salvation is My salvationPrinsip ubuntu sendiri dapat dilihat pada kehidupan sosial masyarakat seperti kesadaran untuk membangun kepedulian yang terus berlanjut antar masyarakat baik itu pada desa, kota, bangsa, dsb. Karena dengan menjalin hubungan yang baik dengan manusia ini maka orang orang, pebisnis, dan bangsa akan belajar kembali bagaimana hidup bersama dengan membawa nilai saling peduli, bermartabat dan adil.Prinsip ubuntu ini pernah digunakan oleh tokoh terkenal di Afrika yaitu Nelson Mandela dan Martin Luther King. Nelson Mandela menggunakan prinsip prinsip yang terdapat dalam ubuntu seperti pemaaf dan rekonsiliasi dalam pemulihan hubungan persaudaraan. Dari perilaku Nelson Mandela tersebut dapat tercermin bagaimana melihat, berjuang dan hidup bersama dengan kemanusiaan bersama. Dengan kata lain dengan adanya ubuntu tersebut menjadi roda penggerak bagi Nelson Mandela untuk memperjuangkan freedom and respect dalam upaya tidak membedakan warna kulit bangsa Afrika dan bangsa Barat. Dalam autobiografinya Nelson Mandela pernah menulis :I have always known that deep down in every human heart, there is mercy and generosity. No one is born hating another person because of the color of his skin or his background or his religion. People must learn to hate, and if they can learn to hate, they can be taught to love, for love comes more naturally to the human heart than its opposite.[footnoteRef:34] [34: Ibid, Nussbaum]

Pernyataan Nelson Mandela tersebut mengindikasikan bahwa nilai nilai yang terdapat dalam filosofi ubuntu di Afrika sangat mempengaruhi perilaku politik Nelson Mandela dalam menjunjung tinggi peri kemanusiaan dan juga kesetaraan warna kulit bagi penduduk Afrika dan bangsa lain di dunia.

STUDY CASEKONFLIK ETNIS DI RWANDA

Salah satu dampak globalisasi negara-negara barat di negara-negara afrika adalah dengan melihat konflik etnis yang terjadi di Rwanda. Dimana konflik etnis ini ada karena negara Rwanda ini pernah dijajah oleh negara Belgia. Sehingga masuknya pengaruh-pengaruh barat yang merubah tingkah laku masyarakat etnis di Rwanda. Rwanda merupakan sebuah negara yang berkembang di benua Afrika Timur, yang berbatasan dengan wilayah Uganda, Burundi, Tanzania dan Republik Demokrasi Congo. Rwanda memiliki tiga suku yaitu suku Tutsi , Hutu dan Twa. Pada masa Perang Dunia I Rwanda dan Burundi diambil alih oleh Belgia. Pemerintahan Belgia pada saat itu mendukung atau pro terhadap suku Tutsi yang ada di Rwanda sehingga terjadi ketimpangan atau kesenjangan sosial di masyarakat Rwanda sendiri dimana pada saat masa penjajahan Belgia pemerintahan di Rwanda banyak di pegang oleh suku Tutsi yang di anggap oleh Belgia merupakan suku yang lebih tinggi dari pada suku Hutu, suku Tutsi yang menjalankan peran kerah putih sedangkan suku Hutu yang menjalankan kerah biru sehingga terjadi politik adu domba yang dilakukan oleh Belgia terhadap masyarakat Rwanda. Kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat ini terus berlanjut diperparah oleh Belgia dengan memperkenalkan kartu identitas yang melabelkan tiap orang menjadi Tutsi, Hutu dan Twa. Belgia tetap menguasai Rwanda sebagai wilayah The UN Trust Territory pasca Perang Dunia II, ketegangan antara suku Tutsi dan suku Hutu semakin meningkat yang berujung pada Revolusi Rwanda pada tahun 1959 dimana para aktivis Hutu mulai membunuh suku Tutsi dan memaksa lebih dari 100.000 orang mengungsi ke negara tetangga. Pada tahun 1962 pada saat belgia meninggalkan Rwanda, Belgia berubah menjadi pro terhadap suku Hutu dan mereferendum wilayah Burundi dan Rwanda serta Rwanda memperoleh kemerdekaannya. Pada tahun 1973 Juvenal Habyarimana melakukan kudeta dan menguasai pemerintahan Rwanda dimana pro-Hutu masih tetap berlanjut namun kekerasan terhadap orang Tutsi berkurang.[footnoteRef:35] [35: http://acuns.org/wp-content/uploads/2012/06/RwandanConflictRootCauses.pdf 23 april 2013]

Pada tahun 1990 Rwandan Patriotic Front (RPF) ialah kelompok pemberontak yang terdiri dari pengungsi suku Tusti melakukan invasi ke daerah Utara Rwanda dan memulai Perang Saudara Rwanda. Pada tahun 1992 perang saudara ini telah melemahkan kekuasaan Habyarimana sehingga melakukan koalisi dengan oposisi dan menandatangani Arusha Accords dengan RPF pada tahun 1993. Genjatan senjata telah berakhir pada tanggal 6 April 1994 saat pesawat yang ditumpangi oleh Habyarimana ditembak jatuh dan hal ini pada akhirnya memicu genosida di Rwanda, dalam kurung waktu 100 hari telah menewaskan sekitar 500.000 1.000.000 jiwa yang terdiri dari suku Tutsi, Hutu bahkan Twa walaupun suku Twa tidak ditargetkan secara langsung. RPF semakin kuat dalam pemerintahan Rwanda dan pada akhirnya mengambil alih kekuasaan Pemerintah Rwanda, dan hal ini menyebabkan penduduk suku Hutu mengungsi ke negara tetangga yaitu Zaire akibat takut akan balasan dari suku Tutsi tersebut.[footnoteRef:36] [36: The World Factbook CIA, https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/rw.html, akses pada tanggal 23 april 2013]

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan adanya pembantaian yang dilakukan oleh etnis Hutu terhadap etnis Tutsi sepanjang pertengahan tahun 1994. Faktor-faktor tersebut sangatlah erat kaitannya dengan sejarah penjajahan Rwanda yang dilakukan oleh Belgia. Dimana faktor faktornya adalah dengan melihat sifat fanatisme dan etnosentrisme yang muncul di dalam diri suku Hutu ekstrimis tidak terlepas dari rasa sakit hati dan pembalasan dendam pada saat Belgia menjajah Rwanda yang mana pada saat itu telah terjadi perang sipil 1959. Selain itu, suku Hutu juga merupakan kaum yang termarjinalkan karena suku Tutsi yang merupakan kaum minoritas (hanya 11% dari total penduduk Rwanda) diberikan jaminan otonomi oleh Belgia pada tanggal 1 Januari 1962. Selain itu juga dengan berakhirnya pemerintahan Belgia di Rwanda juga menjadi salah satu faktor dimanaa suku Tutsi kehilangan otoritasnya di negara Rwanda. Hal ini menyebabkan mulai menyebarnya suku Tutsi ke berbagai penjuru dunia karena banyaknya tekanan yang ada di dalam negeri dan menyebabkan mereka tidak dapat kembali lagi ke negerinya sendiri. Lebih lanjut lagi, suku Tutsi yang menjadi pengungsi di penjuru Afrika pun membentuk sebuah gerakan kebebasan, yakni Rwandan Patriotic Front (RPF) yang berpusat di Uganda. Gerakan tersebut adalah gerakan pemberontak yang menginginkan adanya demokrasi di Rwanda serta mengharapkan penyelasaian permasalahan yang terjadi pada pengungsi Tutsi. Rasa benci etnis Hutu menjadi suatu permasalahan yang sangat serius ketika media memiliki peran yang sangat penting dalam penyebaran etnosentrisme tersebut. Media mulai mendoktrin rakyat Rwanda mengenai kebencian terhadap suku Tutsi yang pada akhirnya membentuk gerakan anti-Tutsi dan anti-RPF (Rwandan Patriotic Front). Faktor terakhir adalah karena terbunuhnya Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana dalam peledakan pesawat di Bandara Kigali pada April 1994. Hal ini menyebabkan kekosongan pemerintahan yang kemudian diambil alih oleh kaum pemberontak yang akhirnya menyebabkan mulainya perang sipil antar suku tersebut.[footnoteRef:37] [37: http://www.forumbebas.com/thread-164954.html diakses pada tanggal 23 april 2013]

Dari konflik diatas sangat terlihat adanya perubahan tingkah laku etnis Tusti dan Hutu. Dimana denga adanya dukungan Belgia pada satu suku menyebabkan salah satu suku memiliki power lebih di banding suku lain yang menyebabkan pembantaian. Dan dengan masuknya negara barat ini, perang saudara antara entis Hutu dan etnis Tutsi ini barlangsung bertahun tahun dan merugikan masyarakat dan menghasilkan adanya revolusi yang terjadi di Rwanda. Masuknya negara Belgia pada Rwanda ini menyebabkan konflik yang sangat sulit diselesaikan. Padahal sebelum masuknya negara jerman dan Belgia di Rwanda ini, Tidak ada konflik anatara etnis-etnis yang ada di Rwanda. Masuknya penjajahan Belgia di Rwanda ini juga menjadikan masyarakat Rwanda ingin membentuk gerakan kebebasan yang merubah Rwanda menjadi negara yang demokrasi seperti yang diterapkan oleh negara-negara barat. Perang ini menyebabkan status Rwanda menjada sebuah negara failed state, dimana warga negaranya sendiri tidak memperoleh keamanan yang berdampak sangat serius bagi stabilitas kawasan Afrika. Hal tersebut dikarenakan banyaknya warga Rwanda yang melarikan diri ke negara-negara tetangganya untuk mengamankan diri mereka, seperti Republik Demokratik Kongo, Tanzania, serta Kenya.

DAFTAR PUSTAKA

Lumumba-Kasongo, Tlikumbi, 2002. Reconceptualizing the State as the Leading Agent of Development in the Context of Globalization in Africa. African Association of Political Science, Vol 7 No. 1 Nyamnjoh, Francis.B. Culture, Conflict, and Globalization : Africa Dercon, Stefan, 2006. Globalization and Marginalization in Africa: Poverty, Risk and Vulnerability in rural Ethiopia. QEH Working Paper Series QEHWPS147 The African Diaspora in the U.S. and Its Interaction with Biodiversity Conservation in Africa. June 2012 Nussbaum, Barbara. African Culture and Ubuntu : Reflection of a South African in America. Vol 17 issue 1. 12 Februari 2003

Website : http://acuns.org/wp-content/uploads/2012/06/RwandanConflictRootCauses.pdf diakses pada 23 april 2013 The World Factbook CIA, https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/rw.html, diakses pada tanggal 23 april 2013 http://www.forumbebas.com/thread-164954.html diakses pada tanggal 23 april 2013 The effects of globalization on culture in Africa in the eyes of an African woman dalam http://www.oikoumene.org/en/resources/documents/wcc-programmes/public-witness-addressing-power-affirming-peace/poverty-wealth-and-ecology/neoliberal-paradigm/the-effects-of-globalization-on-culture-in-africa-in-the-eyes-of-an-african-woman diakses pada tanggal 21 April 2013 Impact of Globalization on African Religion and Cultural Conflict dalam http://www.academia.edu/297040/Impact_of_Globalization_on_African_Religion_and_Cultural_Conflict diakses pada tanggal 21 April 2013 Alassane D. Ouattara. The Challenges of Globalization for Africa. Diakses dari http://www.imf.org/external/np/speeches/1997/052197.htm pada 23 April 2013