cultural and generation workforce diversity

70
1 Manajemen Keperawatan STIK SINT CAROLUS JAKARTA CULTURAL AND GENERATION WORKFORCE DIVERSITY MAKALAH Disusun Sebagai Persyaratan Untuk Menyelesaikan Mata Ajar Manajemen Keperawatan Dosen Pembimbing : Emiliana Tarigan, S.Kp, M.Kes Oleh : 1. Ns. Dwiyanto, S.Kep Nim. 2012-01-001 2. Ns. Eny Susyanti, S.Kep Nim. 2012-01-002 3. Ns. Galvani Volta Simanjuntak, S.Kep Nim. 2012-01-004 4. Ns. Janice Sepang, S.Kep Nim. 2012-01-006 5. Ns. Johansen Hutajulu, AP, S.Kep Nim. 2012-01-007 6. Ns. Lastriyanti, S.Kep Nim. 2012-01-009 7. Ns. Marthalena Simamora, S.Kep Nim. 2012-01-011 8. Ns. Ni Made Suarti, S.Kep Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368 E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Upload: johansen-hutajulu

Post on 30-Dec-2014

116 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

Ns.Johansen Hutajulu,AP,S.Kep

TRANSCRIPT

Page 1: Cultural and Generation Workforce Diversity

1Manajemen Keperawatan

STIK SINT CAROLUS JAKARTA

CULTURAL AND GENERATION WORKFORCE DIVERSITY

MAKALAH

Disusun Sebagai Persyaratan Untuk Menyelesaikan Mata Ajar Manajemen Keperawatan

Dosen Pembimbing : Emiliana Tarigan, S.Kp, M.Kes

Oleh :

1. Ns. Dwiyanto, S.KepNim. 2012-01-001

2. Ns. Eny Susyanti, S.KepNim. 2012-01-002

3. Ns. Galvani Volta Simanjuntak, S.KepNim. 2012-01-004

4. Ns. Janice Sepang, S.KepNim. 2012-01-006

5. Ns. Johansen Hutajulu, AP, S.KepNim. 2012-01-007

6. Ns. Lastriyanti, S.KepNim. 2012-01-009

7. Ns. Marthalena Simamora, S.KepNim. 2012-01-011

8. Ns. Ni Made Suarti, S.KepNim. 2012-01-014

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATANSEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

SINT CAROLUS JAKARTA

2013

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 2: Cultural and Generation Workforce Diversity

2Manajemen Keperawatan

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur tim penyusun sampaikan kepada Tuhan Yang

Maha Esa atas pertolongan-NYA sehingga makalah tugas mata ajar

Manajemen Keperawatan ini dapat diselesaikan sesuai jadwal yang sudah

ditentukan. Adapun judul dari makalah ini adalah Cultural And

Generation Workforce Diversity. Dalam penyusunan makalah ini akan

diuraikan tentang bagaimana seorang perawat mampu mengetahui

berbagai macam kebudayaan, sehingga perawat mampu

mengintrepretasikan masalah yang dialami pasien melalui segi budaya.

Sebagai tim penyusun, kami sangat menyadari kemampuan dan keterbatasan

dalam menjelaskan pemahaman tentang budaya ini. Oleh karena itulah dengan

kerendahan hati kami sangat mengharapkan kritik dan sehingga dapat lebih

menyempurnakan makalah ini.

Tim penyusun sangat berterimakasih atas bimbingan dosen pembimbing

mata ajar yang senantiasa membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini

dan besar harapan kami kiranya materi ini dapat memberikan manfaat bagi teman-

teman sejawat dalam bidang keperawatan. Terima kasih.

Hormat kami,

Tim Penyusun

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 3: Cultural and Generation Workforce Diversity

3Manajemen Keperawatan

DAFTAR ISI

HalamanKATA PENGANTAR.................................................................................iDAFTAR ISI...............................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................11.1  Latar Belakang...........................................................................................11.2  Rumusan Masalah......................................................................................51.3  Tujuan Penulisan........................................................................................51.4 Manfaat Penulisan......................................................................................51.5 Sistematika Penulisan................................................................................6

BAB II TINJAUAN TEORITIS...............................................................72.1 Konsep Kepemimpinan ............................................................................72.2 Macam-Macam Teori Kepemimpinan ....................................................102.3 Sejarah Teori Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional........172.4 Kepemimpinan Transformasional.............................................................182.5 Kepemimpinan Transaksional...................................................................26

BAB III ANALISA JURNAL..................................................................30

BAB IV PEMBAHASAN.........................................................................38

BAB V PENUTUP....................................................................................43

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 4: Cultural and Generation Workforce Diversity

4Manajemen Keperawatan

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Budaya mempengaruhi cara kita berpikir dan juga cara kita berinteraksi dan

melakukan berbagai aktivitas hidup sehari-hari. Budaya dibentuk oleh

kebangsaan, sosioekonomi dan pengelompokan profesional, kebutuhan-kebutuhan

spesial, dan pilihan gaya hidup seseorang. Tingkah laku, kepercayaan, dan

kebiasaan-kebiasaan kita ditentukan oleh peninggalan kultural, yang menjelaskan

identitas kita. Terkadang budaya melengkapi kita dengan kesempatan dan

kebebasan pribadi yang tidak terbatas untuk melakukan kehendak bebas kita

sendiri. Di lain waktu, budaya menerapkan batasan-batasan yang besar sekali

dengan mencegah kita melangkah melewati batasan cultural (yaitu norma-norma).

Banyak faktor yang mempengaruhi perbedaan budaya. Hal inilah yang

sering ditemukan pada saat melakukan pelayanan kesehatan, pada berbagai etnik

dan ras , baik pasien maupun tenaga kesehatan itu sendiri. Di tempat kerja faktor

budaya mempengaruhi setiap aspek kehidupan, dari pakaian yang dipakai,

makanan yang dimakan, bentuk seni, pasangan hidup dan pendidikan. Disamping

itu dipengaruhi juga oleh bagaimana kita berpikir, melihat, dan alasan kita untuk

melakukan sesuatu dengan cara yang kita lakukan, dan sistem di mana kita hidup

dan beraktivitas, dan pengalaman keberadaan kita (Huber, 2006).

Kompetensi budaya, harus dipahami dengan baik dan dipandang

sebagai suatu proses atau perjalanan bukan sebagai tujuan. Ini melibatkan

ekspansi berkelanjutan dan memperbarui pemahaman individu dari budaya

yang berbeda. Namun, sama pentingnya untuk diingat bahwa bentuk

budaya perilaku tetapi tidak memprediksi hal itu. mengidentifikasi

seseorang dengan budaya tidak selalu berarti bahwa orang itu setuju

dengan semua keyakinan dominan dalam budaya itu. Bahkan,

keanekaragaman budaya melibatkan perbedaan tidak hanya antara budaya,

tetapi juga dalam budaya sendiri.

Definisi keanekaragaman budaya mencakup jauh lebih luas dari pada

etnis mana teknologi yang bersangkutan. Budaya Generasi memiliki

dampak pasti pada penggunaan teknologi di tempat kerja, dan sampai

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 5: Cultural and Generation Workforce Diversity

5Manajemen Keperawatan

batas tertentu, perbedaan ras dan sosial ekonomi. Alasan utama perbedaan

ras adalah faktor di mana teknologi di tempat kerja yang bersangkutan

adalah karena apa yang disebut "kesenjangan digital."

Isu tentang ras, etnis, dan disparitas kesehatan membantu

mendorong perawat untuk harus terus mengasah kemampuan mereka

dalam sensitivitas budaya dan bahasa dan kompetensi sebagai bagian

penting dari praktek. Setiap perawat bekerja dan berbaur dengan aspek

budaya dan nilai-nilai. Ini termasuk pengaruh dari ras, komunitas, etnis,

gaya hidup, profesi, dan budaya organisasi. Untuk mengelola keragaman

tersebut secara efektif merupakan tantangan bagi kepemimpinan dan

manajemen dalam keperawatan.

Data menunjukkan bahwa hal itu akan terjadi bertahun-tahun

sebelum profil profesional kesehatan mencerminkan penduduk secara

keseluruhan (hrs, 2002 dalam Huber, 2006). Hal ini menggambarkan

bahwa semua penyedia perawatan kesehatan perlu memiliki kompeten

budaya. Pendukung yang mendukung adanya peningkatan perwakilan

etnis minoritas di tenaga kerja kesehatan berpendapat bahwa

meningkatkan jumlah penyedia etnis minoritas akan meningkatkan akses

ke perawatan bagi etnis minoritas dan populasi lain yang kurang terlayani

(AHA, 2002 dalam Huber, 2006).

Memiliki tenaga kerja yang lebih beragam di tempat kerja dapat

meningkatkan jumlah konflik yang muncul dan berpotensi, mereka dapat

konstruktif atau destruktif. Oleh karena itu organisasi harus mampu

mengidentifikasi dan menganalisis pro dan kontra dari keragaman dan mengelola

baik untuk menuai manfaat yang luar biasa. Kebijakan, program dan pelatihan

keragaman kesadaran, ketika terencana dan dilaksanakan, bisa memberikan nilai

maksimal bagi organisasi. Dengan meningkatnya kesadaran keragaman dan

keterampilan, karyawan akan belajar tidak hanya bagaimana untuk mendorong

tempat kerja yang terhormat, tetapi juga mengatasi konflik dan meningkatkan

keterampilan interpersonal dan komunikasi dengan individu yang berbeda dari

diri mereka sendiri.

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 6: Cultural and Generation Workforce Diversity

6Manajemen Keperawatan

Belajar dan menunjukkan rasa hormat terhadap perbedaan, menjelajahi

diluar zona kenyamanan, menghargai penilaian orang lain, menekankan yang

positif, dan berlatih teknik komunikasi yang baik adalah strategi untuk sukses

(Grossman 8c Taylor, 1995 dalam Huber, 2006). Pemimpin didorong untuk

mengembangkan rencana strategis sumber daya manusia yang menjelaskan

bagaimana organisasi akan merekrut dan mempertahankan staf yang beragam

yang mencerminkan masyarakat. Banyak waktu dan perhatian fokus pada

penyediaan pekerja di masa depan.

Dasar untuk meningkatkan lingkungan kerja untuk semua bermuara

pada kepercayaan, rasa hormat, bersama, penegasan identitas, dan

komunikasi. Ini semua adalah tentang hubungan. Dengan tenaga kerja

yang semakin beragam, manajer dari setiap usia didorong untuk

menekankan nilai-nilai organisasi sebelum nilai-nilai pribadi mereka.

Melestarikan keanekaragaman dan menghargai di tempat kerja merupakan

proses jangka panjang dan membutuhkan kerja keras. Keanekaragaman di

tempat kerja harus solid diintegrasikan ke dalam sistem, proses dan

budaya organisasi, manajemen, karyawan, sedapat mungkin untuk

meningkatkan kontribusi kinerja terhadap terhadap semua lini.

1.2 Tujuan Penulisan

Untuk menganalisis terkait Cultural and Generational Workforce Diversity,

yang diperoleh dari kajian pustaka, yang disajikan secara sederhana dan

sistematis.

1.3 Manfaat Penulisan

Memberi gambaran tentang keberagaman budaya sehingga perawat dapat

menerapkannya dalam pelayanan keperawatan kepada pasien untuk

mencapai tujuan keperawatan.

1.4 Sistematika penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Bab pendahuluan berisi latar belakang, tujuan penulisan, manfaat penulisan,

sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN TEORITIS

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 7: Cultural and Generation Workforce Diversity

7Manajemen Keperawatan

Bab tinjauan Teoritis berisi uraian teori yang digunakan dalam penyusunan

makalah.

BAB III : PEMBAHASAN

Berisi analisa jurnal dan implikasi dari teori.

BAB IV: PENUTUP

Bab penutup berisi kesimpulan dari makalah yang dibuat.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Budaya adalah kata sederhana dengan pengertian kompleks yang

mencakup seluruh aktivitas manusia. Antropolog Ingris Sir Edward Tylor

(1871, dalam Swanberd. 2002) menyebutkan istilah kultur didefinisikan

sebagai semua yang termasuk dalam pengetahuan, kepercayaan, seni,

moral, hukum, adat, kemampuan, dan kebiasaan lain yang dilakukan

manusia sebagai anggota masyarakat. Leininger (1978, dalam

Swanberd. 2002) mengatakan bahwa kultur adalah pengetahuan yang

dipelajari dan disebarkan mengenai kultur tertentu dengan nilai,

kepercayaan, aturan prilaku, dan praktik gaya hidup yang menjadi acuan

bagi kelompok tertentu dan bertindak dengan cara yang terpola.

Kompetensi budaya dan keanekaragaman budaya bukanlah dua sisi

yang sama, tetapi keduanya rumit dan saling terkait. Menyamakan

keanekaaragaman budaya akan menghambat kemampuan kita untuk

melihat setiap individu berdasarkan ras dan gender nya masing - masing.

Keragaman budaya menunjukkan variasi antarkelompok yang

berhubungan dengan kebiasaan, nilai-nilai, preferensi, keyakinan,

pantangan, dan norma berperilaku harus sesuai dengan interaksi individu

dan sosial.

Budaya mempengaruhi cara kita berpikir dan juga cara kita

berinteraksi dan melakukan berbagai aktivitas hidup sehari-hari. Budaya

dibentuk oleh kebangsaan, sosioekonomi dan pengelompokan profesional,

kebutuhan-kebutuhan spesial, dan pilihan gaya hidup seseorang. Tingkah

laku, kepercayaan, dan kebiasaan-kebiasaan kita ditentukan oleh

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 8: Cultural and Generation Workforce Diversity

8Manajemen Keperawatan

peninggalan kultural, yang menjelaskan identitas kita. Terkadang budaya

melengkapi kita dengan kesempatan dan kebebasan pribadi yang tidak

terbatas untuk melakukan kehendak bebas kita sendiri. Di lain waktu,

budaya menerapkan batasan-batasan yang besar sekali dengan mencegah

kita melangkah melewati batasan cultural (yaitu norma-norma).

Sering ada ketidaksinambungan antara nilai-nilai yang dianut dan

orang-orang yang melaksanakan nilai – nilai tersebut dalam interaksi

sehari-hari yaitu antara de jure dan de facto budaya. Keanekaragaman,

dilepaskan dari konteks budaya dan politik, adalah tentang perbedaan yang

membuat sebuah perbedaan. Misalnya orang kulit berwarna merupakan

istilah dalam dunia politik untuk menggambarkan semua orang yang tidak

berkulit putih. Human Genome Project memberikan bukti bahwa semua

manusia berbagi kode genetik lebih dari 99% identik. Namun ketika

datang ke golongan tertentu, hal itu menjadi status dan makna sosial dalam

konstruksi politik yang menimbulkan berbagai masalah bahkan sampai

hari ini. Rasisme dan elemen terkait seperti bias, stereotip, dan prasangka

perlu dipahami juga.

Rasisme adalah diskriminasi berdasarkan ras atau warna. Hal ini

sering disertai dengan kesimpulan rendah diri atau sub-humanisme. Ini

mempengaruhi faktor-faktor yang pada gilirannya, mempengaruhi hasil

(Institute of Medicine, 2003).

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 9: Cultural and Generation Workforce Diversity

9Manajemen Keperawatan

Prasangka adalah penilaian atau pendapat yang terbentuk

sebelumnya mengenai orang lain berdasarkan pengalaman langsung atau

tidak langsung. Prasangka merupakan salah satu kategoris model fungsi

emosional mental yang melibatkan prasangka kaku (stereotip) dan salah

pikiran dari perbuatan manusia. Dasar dari prasangka adalah generalisasi

atau praduga tentang sekelompok orang. Mereka bisa negatif atau positif,

tapi jarang mereka netral. Mereka memberikan alasan untuk menempatkan

orang dalam kelompok tertentu.

Stereotip merupakan pandangan yang menetap atau terdistorsi,

apakah positif atau negatif, terhadap semua anggota sekelompok orang.

Konsep relativisme budaya mensyaratkan bahwa individu tidak

menghakimi, melainkan mempertimbangkan tindakan, keyakinan, atau

ciri-ciri dalam konteks budaya mereka sendiri untuk lebih memahami

mereka. Ini melibatkan mempertahankan rasa objektivitas dan apresiasi

untuk nilai-nilai budaya lain, tidak menghakimi apakah mereka "baik" atau

"buruk" (Loustaunau & Sobo, 1997. Dalam Huber 2006).

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 10: Cultural and Generation Workforce Diversity

10Manajemen Keperawatan

Kompetensi berarti memiliki kemampuan untuk bekerja secara efektif

sebagai individu dan organisasi dalam konteks keyakinan budaya, perilaku, dan

kebutuhan yang diajukan oleh konsumen dan masyarakat (Center for the Profesi

Kesehatan, 2002 Dalam Huber. 2006). Kompetensi budaya meliputi pentingnya

mengintegrasikan orang-orang yang berasal dari kelompok non-dominan ke

dalam budaya dan mempertimbangkan nilai-nilai mereka dalam proses organisasi

operasional. Kompetensi budaya dan bahasa adalah seperangkat perilaku

kongruen, sikap, dan kebijakan yang datang bersama-sama dalam suatu sistem,

lembaga, atau kalangan profesional yang memungkinkan bekerja efektif dalam

situasi lintas budaya. Budaya mengacu pada pola terpadu perilaku manusia yang

meliputi bahasa, pikiran, komunikasi, aksi, adat istiadat, kepercayaan, nilai, dan

institusi ras, kelompok etnis, agama, atau sosial.

2.2 Latar Belakang Perbedaan

Banyak faktor yang mempengaruhi perbedaan budaya. Hal inilah yang

sering ditemukan pada saat melakukan pelayanan kesehatan, pada berbagai etnik

dan ras , baik pasien maupun tenaga kesehatan itu sendiri. Di tempat kerja faktor

budaya mempengaruhi setiap aspek kehidupan, dari pakaian yang dipakai,

makanan yang dimakan, bentuk seni, pasangan hidup dan pendidikan. Disamping

itu dipengaruhi juga oleh bagaimana kita berpikir, melihat, dan alasan kita untuk

melakukan sesuatu dengan cara yang kita lakukan, dan sistem di mana kita hidup

dan beraktivitas, dan pengalaman keberadaan kita (Huber, 2006).

Dalam perkembanganya, institusi keperawatan kesehatan telah bergabung

dengan profesi yang lain seperti; bisnis, sosial, pendidikan, dan ekonomi.

Perbedaan dalam orientasi waktu, pola komunikasi, sistem nilai, persepsi staf

atau peran keperawatan, merupakan sumber umum dari konflik. Mereka yang

berbeda sering dilihat atau dicap sebagai masalah. Delapan puluh lima persen

orang dipecat pada tahun 2003 karena masalah hubungan (Murphy, 2004. Dalam

Huber, 2006).

Perspektif lintas budaya komparatif tersebut mempengaruhi perilaku di

tempat kerja. Dari kesadaran ini telah muncul pemahaman bahwa semakin banyak

kita masing-masing tahu tentang aspek-aspek budaya dari pasien dan rekan

kerja, lebih mampu kita akan bermitra dengan rekan-rekan dalam pekerjaan

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 11: Cultural and Generation Workforce Diversity

11Manajemen Keperawatan

sehari-hari kita. Untuk memahami, menghormati, dan memberikan pilihan terbaik

bagi banyak tanggapan manusia terhadap kesehatan dan penyakit atau perubahan-

perubahan kehidupan, perawat juga harus mengenali beragam cara di mana

memahami budaya dapat membantu dalam hasil proses keperawatan (Huber,

2006).

Di tempat kerja saat ini, kemampuan untuk bekerja dengan semua personil

kesehatan dan pasien, termasuk mereka yang berbicara bahasa Inggris sebagai

bahasa kedua atau bahasa Inggris sebagai bahasa baru, adalah suatu keharusan.

Bahkan, pada tahun 2006, Komisi Bersama Akreditasi (JCAHO) Manajemen

Informasi Kesehatan Standar Organisasi membutuhkan rumah sakit untuk

mengumpulkan informasi tentang bahasa dan kebutuhan komunikasi pasien

(JCAHO, 2005. Dalam Huber, 2006).

2.3 Keragaman Generasi Tenaga Kerja

Sebuah isu yang berkembang dalam kepemimpinan dan manajemen

keperawatan adalah masalah keragaman generasi di tempat kerja. Para

Sosiolog mengkategorikan kelompok generasi ke dalam apa yang mereka

sebut kohort (Alexander, 2001 dalan Huber, 2006). Kohort merupakan

anggota dari sebuah generasi yang terhubung melalui pengalaman hidup

bersama di tahun pembentukan mereka. Setiap kelompok yang baru

matang dipengaruhi oleh apa yang sosiolog sebut generational Markers.

Individu adalah produk dari lingkungan mereka. Generational markers

mempengaruhi semua anggota generasi dengan berbagai cara. Jadi

menyadari perbedaan generasi sangat penting bagi setiap pemimpin dalam

mengelola tenaga kerja yang terdiri dari berbagai usia. Setiap generasi

memiliki karakteristik yang unik dan nilai-nilai serta perilaku yang

berbeda tetapi perbedaan tersebut sering dianggap sebagai kekurangan

karakter bukan perbedaan budaya.

The Baby Boomers, yang lahir antara 1946 -1964, yang menduduki

kursi kepemimpinan banyak organisasi eksekutif, termasuk didalam nya

organisasi perawatan kesehatan. Boomers membuat langkah yang kontras

dengan mengganti anggota generasi sebelumnya yaitu mereka yang lahir

antara 1925 - 1945, disebut sebagai Generasi Mature atau Generasi Diam.

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 12: Cultural and Generation Workforce Diversity

12Manajemen Keperawatan

Anggota generation diam dibesarkan dalam periode kepemimpinan militer

dan politik yang kuat, otoritas sangat dihormati, kepatuhan merupakan

karakteristik yang paling berharga untuk ditunjukkan.

Boomers, secara historis merupakan generasi kedua terbesar dalam

angkatan kerja dan telah mendominasi masyarakat AS selama bertahun-

tahun. Dimulai pada Januari 1996 dan berlanjut hingga 18 tahun ke depan,

Baby Boomer akan berubah 50 setiap 18 detik, dan preferensi mereka

dalam setiap aspek kehidupan Amerika yang dipengaruhi oleh jumlah

mereka sendiri (US Census Bureau, 1996). Efisiensi, kerja tim, kualitas

dan pelayanan telah berkembang di bawah kepemimpinan mereka.

Boomers dibesarkan di sebuah periode pertumbuhan ekonomi yang belum

pernah terjadi sebelumnya di mana Amerika Serikat memiliki hampir tidak

ada pesaing ekonomi yang kuat. Mereka dibesarkan dengan cara berpikir

yang khusus bahwa mereka bisa mengabaikan atau melanggar peraturan

tetapi mereka masih bisa berhasil. Mereka menyukai kemudahan yang

diberikan dan membawa arti sebenarnya untuk "diisi" ketika datang ke

pengelola pinjaman. Jaminan finansial akan tetap menjadi isu sentral bagi

banyak orang. Akibatnya, banyak Boomers akan bekerja melewati usia

pensiun. Mereka mempertanyakan struktur otoritas tradisional,

ketidakjelasan peran gender, dan membuat upaya yang kuat untuk

mendorong sistem yang mendukung terhadap kesempurnaan ide-ide

mereka. Selama Perang Vietnam, konfrontasi Hak Sipil, dan Watergate,

Baby Boomers melihat dengan jelas kerentanan otoritas, dan mereka

enggan untuk mengakui otoritas yang resmi. Mereka lebih memilih untuk

bekerja dengan tempat kerja yang lebih partisipatif dan kurang otoriter.

Dukungan untuk suatu lingkungan kerja yang baik datang juga dari

anggota Generasi X yang lahir antara tahun 1965 - 1980, kesamaannya

dengan Boomers yaitu enggan untuk mengakui otoritas, tetapi lebih

memlih untuk hidup dalam keseimbangan. Generation X meyakini bahwa

anak – anak merupakan kunci dari keberhasilan, mereka menyadari bahwa

anak - anak harus memiliki wawasan yang luas sejak usia dini. Masa kecil

mereka ditandai dengan ketidakpastian ekonomi, dan dengan demikian

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 13: Cultural and Generation Workforce Diversity

13Manajemen Keperawatan

mereka bersikap skeptis terhadap praktek dan kepercayaan tradisional.

Dalam pandangan mereka, kontrak kerja adalah perjanjian antara kedua

sisi yang dapat dibatalkan dengan seenaknya saja yang berarti bahwa masa

depan mereka ada di tangan majikan. Hal ini membuat mereka sangat

gelisah. Lamanya waktu yang dihabiskan dalam organisasi kurang relevan

dengan generasi X daripada bagaimana melindungi diri dari

ketidakteraturan tantangan bisnis (Wendover, 2002).

Kelompok termuda kedua di tempat kerja dan kelompok terbesar

dalam sejarah AS merupakan pekerja Millennial, mereka yang lahir antara

tahun 1981 - 1999. Kelompok ini dikenal dengan beberapa monikers lain,

termasuk Generasi Y, Generasi Mengapa?, Nexters, dan Generasi Internet.

Penanda umum tahun perkembangan mereka adalah teknologi. Kelompok

ini adalah generasi yang paling demografis beragam dalam sejarah negeri

AS. Para pekerja telah memiliki keterampilan multitasking yang

mencengangkan. Mereka juga cenderung memiliki pandangan positif dan

keinginan untuk memperbaiki dunia.

Banyak yang percaya bahwa generasi Millennial memiliki

keterampilan dasar yang dangkal, tetapi karena mereka dibesarkan dengan

tehnologi komputer, mereka dapat menciptakan solusi yang tidak bisa

dibayangkan generasi lain sebelumnya. Teknologi memandu setiap

gerakan mereka. Mereka merupakan pemecah masalah yang tumbuh pada

situasi perekonomian yang berkembang. Mereka menyampaikan pesan

yaitu bagaimanapun juga akhir kata bukanlah kata yang terakhir. Mereka

tidak hidup untuk bekerja, mereka bekerja untuk hidup. Dengan demikian

mereka memiliki serangkaian harapan yang berbeda tentang dunia kerja.

kebanyakan mereka menikmati kebebasan bekerja sendiri dengan gaya

dan etos kerja mereka. Millennial telah mengetahui bahwa keberadaan

mereka begitu diminati. Untuk berkembang, mereka membutuhkan

penjelasan tentang hasil yang ingin dicapai, sumber daya untuk melakukan

apa yang perlu dilakukan, dan tenggat waktu.

Generational CharacteristicsMatures__________Baby Boomers________Generation X_________MillennialHard work Personal fulfillment Uncertainty What's next?

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 14: Cultural and Generation Workforce Diversity

14Manajemen Keperawatan

Duty Optimism Personal focus On my termsSacrifice Crusading causes Live for today Just show upThriftiness Buy now/pay later Save, save, save Earn to spendWork fast Work efficiently Eliminate the task Do exactly what's asked

Source: Data from Center for Generational Studies, Aurora, CO.

Perawat menyadari bahwa keanekaragaman, kesadaran, dan hal

positif dari budaya orang lain merupakan konsep inti kritis (Habayeb,

1995). Namun, entah bagaimana, keragaman budaya tidak dipandang

sebagai variabel yang kuat dalam bagaimana perawat berkomunikasi dan

menginterpretasikan perilaku atau menengahi konflik antara mereka

sendiri. Hal ini dapat mempengaruhi dalam menentukan penilaian,

diagnosis, dan strategi intervensi penyelesaian masalah. Seperti tren global

dalam mobilitas, migrasi, perlunya kesadaran lebih besar dalam melihat

pentingnya identitas budaya (Leininger, 1997). Pergeseran keperawatan di

masyarakat, peningkatan isu-isu moral / etika dalam perawatan kesehatan,

dan keinginan banyak orang untuk mengontrol dan mengatur perawatan

kesehatan mereka sendiri sehingga menciptakan suatu kebutuhan untuk

mengetahui dan menghormati perspektif yang beragam (Galanti, 1999;

Gazmararian et al "1999).

2.4 Kesadaran Perbedaan

Selama berabad-abad, jutaan orang yang mewakili ratusan budaya

dan kebangsaan yang berbeda meninggalkan negara kelahirannya untuk

menjadikan Amerika Serikat rumah mereka. Hingga kini, banyak dari

imigran ini dengan rela melepaskan identitas budaya individu mereka dan

mengadopsi budaya Eropa-Amerika dan bahasa Inggris sebagai milik

mereka, sehingga mengarah kepada ciri Amerika Serikat yang dikenal

sebagai “wajan percampuran/ melting pot”.

Namun, saat ini, pemencilan daripada pembauran mungkin dapat menjadi

lebih akurat untuk menjelaskan tingkah laku lazim dari berbagai kelompok etnis.

Imigran sekarang sering membatasi diri ke dalam daerah kantong budaya mereka

sendiri dan berinteraksi terutama di dalam kelompok kultur mereka. Dalam

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 15: Cultural and Generation Workforce Diversity

15Manajemen Keperawatan

cahaya perubahan ini, istilah pluralisme kultural (culturalluralism) telah tercipta.

Pluralisme kultural (atau multiculturalism) mengacu pada Amerika Serikat

sebagai yang memiliki keanekaragaman budaya yang sangat besar daripada satu

budaya “Amerika” yang dominan. Keanekaragaman ini menuntut kita, sebagai

perawat, untuk menyadari pilihan, nilai, dan tingkah laku kita masing-masing

yang telah ditetapkan secara kultural dan menghargai yang dari budaya lain. Hal

ini juga menantang kita untuk memeriksa isu dan permasalahan-permasalahan

terkait keanekaragaman budaya dalam praktek sehari-hari.

Keragaman masyarakat memberikan tantangan yang besar pada

semua sistem di dunia. Kesadaran budaya adalah link penting untuk

berlatih empati, memahami, menghargai, dan peduli dalam perawatan

kesehatan. Kesadaran budaya juga mengakui pentingnya mengintegrasikan

orang dengan nilai-nilai lain dalam proses operasi organisasi. Perspektif

komparatif lintas-budaya mempengaruhi praktek perawatan kesehatan.

Oleh karena sistem-sistem kepercayaan kultural memiliki dampak

yang signifikan terhadap tingkah laku terkait kesehatan dari individu,

perawat harus menunjukkan penghargaan yang tulus terhadap perbedaan-

perbedaan kultural sementara pada saat yang sama menyediakan asuhan

berorientasi pasien yang efektif. Peran perawat adalah untuk

mengidentifikasi, mengatasi, dan mencegah permasalahan-permasalahan

terkait kesehatan, yang memperbesar hasil-hasil positif untuk pasien. Hal

ini secara spesifik meliputi mewancarai pasien, mengambil sejarah

kesehatan dan pengobatan, memperoleh data pengkajian fisik, monitoring

dan evaluasi informasi pasien (baik subyektif maupun obyektif),

mengevaluasi kepatuhan pasien, dan mendidik juga menyuluh pasien.

Sebagai tambahan, perawat seringkali berinteraksi dengan kolega dan

tenaga ahli asuhan kesehatan lainnya yang mencerminkan segmen

sosiokultural atau masyarakat yang berbeda. Menimbang aspek-aspek

yang beragam ini, syarat asuhan berorientasi pasien mengharuskan

farmasis untuk memiliki keahlian-keahlian lintas kultural ketika

menangani pasien, kolega, dan tenaga ahli asuhan kesehatan lainnya.

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 16: Cultural and Generation Workforce Diversity

16Manajemen Keperawatan

Kompetensi lintas kultural penting dalam menyediakan asuhan berkualitas

di lingkungan asuhan kesehatan masa kini.

Asumsi tentang sistem perawatan kesehatan di AS, apakah mereka

sesuai dengan budaya mereka atau tidak. Beberapa asumsi ini adalah

sebagai berikut:

Penentuan nasib sendiri, otonomi, kemandirian;

Hak untuk mengetahui;

Pasien dapat membuat keputusan tentang perawatan kesehatan mereka

sendiri;

Kewajiban moral dan etika medis berdasarkan kepercayaan;

Penyedia layanan kesehatan memiliki "kewajiban untuk mengatakan

kebenaran";

Tugas untuk memberikan semua informasi kepada pasien atau pun

keluarga;

Lembaga tagihan tertulis mengenai hak bagi pasien dan staf didefinisikan

sebagai hak individu termasuk cara lain untuk melihat individu dalam

kelompok konteks;

Informed consent tidak melibatkan keluarga kecuali individu tersebut

secara hukum tidak dapat membuat keputusan sendiri. Dalam situasi ini,

individu memilih anggota keluarga atau orang lain atau protokol hukum

untuk mendapatkan pengganti dalam membuat keputusan (Crowet al.,

2000).;

Asumsi ini dikonfigurasikan dalam konteks pelayanan kesehatan,

yang selalu dinamis. Konteks ini menyatakan "dari mana seseorang

berasal" dan bagaimana informasi atau pengetahuan yang

dikomunikasikan dalam hubungan manusia itu didasarkan budaya. Dari

perspektif global, konteks budaya dunia Barat adalah "konteks rendah."

Dalam konteks budaya rendah, pesan lisan atau tertulis eksplisit membawa

makna. Konteks budaya rendah membutuhkan penjelasan rinci dan

informasi yang luas karena mereka ingin mengetahui apa yang hilang

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 17: Cultural and Generation Workforce Diversity

17Manajemen Keperawatan

dalam suatu situasi. Dalam konteks budaya tinggi, sering ditemukan di

dunia non-Barat, yang tertulis atau yang dinyatakan jarang mengandung

arti. Arti dari pesan tersebut dipahami dengan membaca arti dari apa yang

tidak tertulis atau dinyatakan. Dalam konteks budaya tinggi sebagian besar

makna diasumsikan oleh situasi (yaitu, konteks). Kebanyakan keluarga inti

dalam budaya konteks tinggi, bergantung pada interaksi interpersonal yang

tinggi dan pesan halus. Menempatkan seseorang yang berasal dari budaya

konteks tinggi di tempat kerja yang pengaturan didominasi oleh individu

dari budaya konteks rendah yang memiliki kekuatan untuk menentukan

aturan kerja dan menentukan apa yang akan dihargai, siapa yang

dipromosikan, manfaat apa yang akan ditawarkan , dan nilai-nilai apa yang

akan meningkatkan organisasi kemungkinan menimbulkan persepsi

ketidakadilan dan konflik kerja (Hall & Hall, 1990 dalam Huber, 2006).

Low – and High – Context Cultural Differences

Low-Context High-ContextCountries/Regions: United States, Canada, England,

Russia, Northwestern EuropeChina, Japan, Arabia, Mexico,South America, Pacific Islands

Characteristics Very verbal Individual Equality Democracy Personal freedom Fairness Achievement Innovation Entrepreneurship Competition

Less verbal or nonverbal Group Individual dignity Consensus Obligation to others Fate (karma, joss) Process/role Continuous improvement Communal Cooperation

Kompetensi budaya, harus dipahami dengan baik dan dipandang

sebagai suatu proses atau perjalanan bukan sebagai tujuan. Ini melibatkan

ekspansi berkelanjutan dan memperbarui pemahaman individu dari budaya

yang berbeda. Namun, sama pentingnya untuk diingat bahwa bentuk

budaya perilaku tetapi tidak memprediksi hal itu. mengidentifikasi

seseorang dengan budaya tidak selalu berarti bahwa orang itu setuju

dengan semua keyakinan dominan dalam budaya itu. Bahkan,

keanekaragaman budaya melibatkan perbedaan tidak hanya antara budaya,

tetapi juga dalam budaya sendiri.

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 18: Cultural and Generation Workforce Diversity

18Manajemen Keperawatan

Perawat juga harus mengenali nilai-nilai budaya mereka sendiri

dalam mencari kompetensi budaya. Harapan, sikap, dan perilaku perawat

yang dipengaruhi oleh budaya mereka persis sebagaimana harapan, sikap,

dan perilaku klien dipengaruhi oleh mereka. Ini bisa menjadi penghalang

untuk mendapatkan kompetensi budaya jika perawat tidak menunjukkan

kesadaran diri dan kepekaan terhadap orang lain. Selain itu, perawat perlu

mengkaji budaya merawat diri untuk meningkatkan kompetensi budaya

dan keanekaragaman. Misalnya, keperawatan di Amerika Serikat telah

ada perawat dari wanita Putih.

2.5 Strategi Untuk Kompetensi Budaya

Perbedaan budaya dalam cara melakukan hal-hal tertentu dapat

dipelajari dan ditransmisikan melalui lingkungan budaya. Karena

perbedaan budaya dipelajari, kepekaan budaya dan kompetensi, terlepas

dari pengaturan, juga bisa dipelajari. Beberapa saran adalah sebagai

berikut:

Mengetahui budaya sendiri, nilai-nilai, dan bias.

Dengarkan dan amati.

Menekankan nilai –nilai organisasi ke depan

Mengembangkan kemampuan untuk menjadi seorang guru dan pelajar

pada saat yang sama.

Akhiri tawar-menawar anda lanjutkan dengan komitmen.

Berikan petunjuk yang jelas, memberikan dukungan dan sumber daya, dan

selalu memberikan batas waktu penyelesaian proyek.

Delegasikan hasil bukan tugas individu.

Berikan gambaran yang jelas. Berikan contoh bagaimana membuat

keberhasilan kerja dalam situasi win-win untuk semua yang terlibat.

perhatikan penerapan aturan dan prosedur di tempat kerja anda. Pastikan

aturan dan prosedurnya jelas, tapi harapkan mereka untuk

Mengelola harapan Anda. Terbuka untuk ide-ide dan komentar.

Memberikan langkah mudah dalam pengambilan keputusan.

Jadilah berani, dan perilaku yang benar. Mengambil tindakan, dokumen,

dan tindak lanjut.

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 19: Cultural and Generation Workforce Diversity

19Manajemen Keperawatan

Mengelola menurut nilai-nilai dan sikap generasi individu.

Memberikan kesempatan untuk tumbuh.

2.6 Kesenjangan Kesehatan

Erat hubungannya dengan masalah ini adalah tentang bagaimana

sistem perawatan kesehatan yang peduli terhadap pasien etnis minoritas

dan bagaimana sistem melayani atau menghormati mereka. Selama

beberapa dekade terakhir telah ada kemajuan besar dan perbaikan dalam

perawatan kesehatan. Menurut Institute of Medicine (IOM, 2003 dalam

Huber, 2006) dan studi kesehatan nasional terbaru lainnya, etnis dan ras

minoritas belum merasakan dampak kesehatan positif yang sama dengan

penduduk mayoritas (Washington, 2003 dalm Huber, 2006). Perubahan

demografis juga mengungkapkan bahwa, di negeri yang mengemban

"semua manusia diciptakan sama," semua tidak sama. Ada bukti

perbedaan ras dan etnis dalam satu arena yang seharusnya menjadi tempat

yang aman bagi semua orang. Frase seperti "beban yang tidak

proporsional," "tingkat prevalensi," dan "akses terhadap perawatan yang

berkualitas" menjadi semakin akrab untuk memahami hubungan antara

menjadi minoritas atau "lainnya," yang menderita penyakit kronis, dan

mati muda. Hasil penelitian menunjukkan ada korelasi.

The National Institutes of Health menjelaskan kesenjangan

kesehatan sebagai "perbedaan dalam insiden, prevalensi, kematian, dan

beban penyakit dan kondisi kesehatan yang buruk yang ada di antara

populasi tertentu di Amerika Serikat" (Washington, 2003 dalam Huber,

2006). Menurut Sumber Daya Kesehatan dan Layanan Administrasi,

"disparitas Kesehatan perbedaan populasi spesifik dalam. Adanya

penyakit, dampak kesehatan atau akses ke perawatan" (Washington, 2003,

). The Center pada Disparitas Penelitian Kesehatan di Johns Hopkins

University School of Nursing didefinisikan kesenjangan kesehatan sebagai

"perbedaan dalam akses ke perawatan, proses perawatan, atau dampak

kesehatan" (Washington, 2003, hal. 11). Mereka menggambarkan populasi

tidak terlayani sebagai orang "yang kurang memiliki akses ke perawatan

meskipun perawatan mungkin tersedia, mereka yang menerima perawatan

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 20: Cultural and Generation Workforce Diversity

20Manajemen Keperawatan

yang kurang atau berbeda dari mayoritas masyarakat umum, atau mereka

yang menggunakan model perawatan tradisional yang tidak sesuai untuk

budaya atau alasan lain "(Washington, 2003, hal. 11). IOM menerbitkan

sebuah laporan berjudul Pengobatan yang tidak merata: Menghadapi Ras

dan Etnis Disparitas dalam Perawatan Kesehatan (IOM, 2003). Laporan

ini menunjukkan bahwa perbedaan ras dan etnis yang disebabkan oleh

faktor terkait pasienn dan berhubungan dengan sistem, sebagai berikut:

Faktor Terkait Pasien

Perbedaan sosial ekonomi: pendapatan pasien dan pendidikan

Perbedaan kesehatan-pendidikan: pengetahuan pasien tentang

gejala, kondisi, dan mungkin perawatan kesehatan.

Perbedaan Kesehatan-perilaku: kesediaan pasien dan kemampuan

untuk mencari perawatan, mematuhi protokol pengobatan,

kepercayaan dan bekerja sama dengan penyedia layanan kesehatan.

Faktor Sistem-Terkait

Diskriminasi: sistem perawatan kesehatan bias dan stereotip

Perbedaan bahasa: ketidakmampuan penyedia layanan kesehatan

untuk berkomunikasi dengan baik terhadap pasien dan keluarga,

kerena perbedaan bahasa .

Perbedaan keragaman Tenaga Kerja:

Perbedaan kompetensi budaya: kurangnya pengetahuan dan

kepekaan terhadap perbedaan budaya

Perbedaan Pembayaran / penggantian perbedaan: cukup

penggantian untuk mengobati Medicare, Medicaid, dan pasien

yang tidak diasuransikan

Perbedaan Asuransi: meliputi tidak memadainya layanan yang

diberikan kepada pasien tertentu, terutama yang tertanggung secara

individual dan tidak diasuransikan

Kekurangan Data: kurangnya informasi tentang pasien dan

kesehatannya yang dilihat dari ras, etnis, dan wilayah geografis.

Kompleksitas masalah ini menjadi sangat jelas. Kesenjangan

kesehatan adalah isu legislatif, masalah sosial, masalah perawatan

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 21: Cultural and Generation Workforce Diversity

21Manajemen Keperawatan

persalinan, masalah pasien-driven, masalah sistem perawatan kesehatan,

dan masalah penyedia layanan, terutama bagi non mayoritas tersebut.

Mengatasi kesenjangan kesehatan merupakan bagian integral dari

praktek keperawatan karena mereka berusaha untuk bekerja sama demi

kepentingan pasien dan keluarga. Memiliki akses ke pelayanan kesehatan

merupakan kontributor yang jelas untuk kesehatan yang baik dan

kemampuan setiap orang untuk mencapai potensi tertinggi nya.

Kesehatan yang optimal memerlukan masyarakat yang aman, tempat

tinggal yang nyaman, kecukupan pangan dan pakaian, serta akses terhadap

pendidikan yang berkualitas. Pengambilan keputusan atas kebijakan di

tingkat federal dan negara memegang peranan yang besar dalam

meningkatkan sera meratakan kesehatan yang optimal dimasyarakat.

Meskipun mayoritas orang miskin di Amerika Serikat adalah kulit

putih, Namun orang kulit berwarna dan imigran baru yang

keterwakilannya tidak terwakili menyebabkan mereka lebih cenderung

memanfaatkan program pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar

mereka. Sebagai masyarakat, kita cenderung untuk tidak mempercayai

orang miskin dan menyalahkan mereka atas kemiskinan mereka tetapi

mengabaikan faktor-faktor yang berpotensi secara signifikan membuat

keadaan mereka menjadi miskin seperti ras, bahasa, atau cacat. Status

sosial individu hampir selalu bergantung pada status sosial ekonomi nya.

Ahli kesehatan masyarakat memperkirakan bahwa sekitar 50% dari status

kesehatan seseorang tergantung pada perilaku, gaya hidup dan kesehatan.

Lingkungan bertanggung jawab sekitar 30% dan genetika sekitar 20%

(Kent, 2000 dalam Huber, 2006).

Pengobatan imigran merupakan contoh lain bagaimana masyarakat

tidak mendapat akses bantuan secara adil. Menurut Massachusetts General

Hospital (Forman, 2003), UU Reformasi Kesejahteraan 1996 menciptakan

dua kelompok imigran legal: berkualitas dan tidak berkualitas (status

khusus). Banyak anggaran negara yang digunakan untuk asuransi bagi

imigran dengan status khusus di hilangkan. Yang termasuk didalam

imigran berstatus khusus adalah imigran yang melarikan diri dari

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 22: Cultural and Generation Workforce Diversity

22Manajemen Keperawatan

penganiayaan yang terjadi dinegaranya dan yang tertunda mendapat suaka,

imigran dengan izin tinggal di Amerika Serikat karena kondisi di negara

asal mereka tidak aman, dan penduduk dengan ketentuan hukum tertentu

yang tidak memenuhi syarat untuk mendapat tunjangan federal selama 5

tahun dari tanggal mereka masuk ke AS.

Isu tentang ras, etnis, dan disparitas kesehatan membantu

mendorong perawat untuk harus terus mengasah kemampuan mereka

dalam sensitivitas budaya dan bahasa dan kompetensi sebagai bagian

penting dari praktek. Setiap perawat bekerja dan berbaur dengan aspek

budaya dan nilai-nilai. Ini termasuk pengaruh dari ras, komunitas, etnis,

gaya hidup, profesi, dan budaya organisasi. Untuk mengelola keragaman

tersebut secara efektif merupakan tantangan bagi kepemimpinan dan

manajemen dalam keperawatan.

2.7 Implikasi Kepemimpinan Dan Manajemen

Perilaku kepemimpinan :

• Membayangkan perawatan holistik, termasuk budaya kompetensi

• Mempengaruhi orang lain untuk menjadi sensitif budaya

• Mengilhami kepercayaan dan keyakinan di antara orang-orang yang

beragam secara budaya

• Memimpin orang lain terhadap budaya kompetensi

Perilaku manajemen :

• Koordinat perawatan termasuk budaya penilaian dan perencanaan

• Mengintegrasikan keragaman budaya ke tempat kerja

• Rencana pelatihan kepekaan budaya

• Menyelenggarakan tim yang mencakup beragam secara budaya pekerja

Tumpang tindih daerah :

• Rencana untuk isu-isu keragaman budaya

• Memotivasi orang lain terhadap komunikasi budaya yang kompeten

Perbedaan persepsi tidak menciptakan ketegangan di tempat kerja

jika kita melakukan penilaian satu dengan yang lainnya. Tujuan dari

kepemimpinan adalah untuk mendapatkan kesepakatan dalam pandangan

yang berbeda demi kepentingan bersama guna mencapai tujuan yang akan

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 23: Cultural and Generation Workforce Diversity

23Manajemen Keperawatan

dicapai (Alexander, 2002 dalam Huber, 2006). Hal ini harus menjadi

perhatian bagi seorang pemimpin untuk mempertimbangkan pengetahuan

tentang generasi dan parameter budaya ketika menempatkan orang-orang

bersama-sama untuk mencapai tujuan organisasi dan ketika memilih

komunikasi, pesan, dan modalitas terbaik sesuai dengan yang menerima.

Data menunjukkan bahwa hal itu akan terjadi bertahun-tahun

sebelum profil profesional kesehatan mencerminkan penduduk secara

keseluruhan (hrs, 2002 dalam Huber, 2006). Hal ini menggambarkan

bahwa semua penyedia perawatan kesehatan perlu memiliki kompeten

budaya. Pendukung yang mendukung adanya peningkatan perwakilan

etnis minoritas di tenaga kerja kesehatan berpendapat bahwa

meningkatkan jumlah penyedia etnis minoritas akan meningkatkan akses

ke perawatan bagi etnis minoritas dan populasi lain yang kurang terlayani

(AHA, 2002 dalam Huber, 2006). Bahkan para pendukung tersebut

berpendapat bahwa peningkatan representasi dari minoritas di tenaga kerja

kesehatan tidak hanya akan meningkatkan ekuitas, tetapi juga akan

meningkatkan efisiensi sistem penyediaan layanan kesehatan. Sinergi dari

sudut pandang yang beragam dapat meningkatkan keperawatan di basis

pengetahuan dan strategi perawatan. Masalah komunikasi, Ruang

interpersonal, aturan sosial, rasa waktu dan variasi lain dalam keyakinan

dan perilaku harus seimbang dan merapikan dalam kerja kelompok dan

tim. Para manajer keperawatan dapat menggunakan prinsip-prinsip

kompetensi budaya dalam memimpin dan mengelola kelompok kerja

(Davidhizer et al. 1998 dalam Huber, 2006).

Isu lainnya adalah perekrutan perawat terregistrasi (RNs) asing yang

lahir di luar Amerika Serikat untuk mengatasi kekurangan tenaga perawat.

Meskipun strategi ini mungkin menjadi bagian dari solusi untuk mengatasi

kekurangan tenaga perawat, namun ini akan menimbulkan konsekuensi

etis. Mengingat kekurangan RNs secara global, Persiapan apa yang dibuat

untuk meningkatkan sensitivitas budaya setelah RNs dari luar negeri tiba?

Perkiraan dari 2000 sampel survei dari perawat terdaftar HRSA,

2001) menunjukkan bahwa sekitar 86.6% dari RNs adalah non - Hispanik

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 24: Cultural and Generation Workforce Diversity

24Manajemen Keperawatan

putih, 4.9% non - Hispanik hitam, 3,5% orang Asia; 2% yang Hispanik;

0,5% American Indian atau Alaska Native, 0,2% yang asli Hawaii atau

Kepulauan Pasifik, dan 1,2% dari dua atau lebih dengan latar belakang ras.

Statistik ini menunjukkan kebutuhan untuk keperawatan berkompetensi

budaya yang kuat inisiatif. Fokus harus pada praktik perawatan budaya

kompeten klien serta lingkungan tempat kerja budaya kompeten.

Kurangnya pemahaman tentang praktek-praktek budaya dapat

menyebabkan rumah sakit tetap menemukan masalah, kehilangan makna

perawat-klien atau komunikasi penyedia-untuk-penyedia (AHA, 2003

dalam Huber, 2006).

Belajar dan menunjukkan rasa hormat terhadap perbedaan,

menjelajahi diluar zona kenyamanan, menghargai penilaian orang lain,

menekankan yang positif, dan berlatih teknik komunikasi yang baik adalah

strategi untuk sukses (Grossman 8c Taylor, 1995 dalam Huber, 2006).

Pemimpin didorong untuk mengembangkan rencana strategis sumber daya

manusia yang menjelaskan bagaimana organisasi akan merekrut dan

mempertahankan staf yang beragam yang mencerminkan masyarakat.

Banyak waktu dan perhatian fokua pada penyediaan pekerja di masa

depan. Sebuah formula yang dikenal sebagai "V2 x 2 X 3" — artinya

setengah banyak orang bekerja dua kali lebih keras, dan dibayar rata-rata

dua kali, namun memproduksi tiga kali lebih banyak. Formula ini

menjelaskan bahwa pemahaman ketenagakerjaan tidak hanya dalam

kebijakan tetapi mendesak. Standar kompetensi budaya harus dimasukkan

ke dalam semua aspek dari strategis rencana kelembagaan seperti

perawatan pasien, pasien pendidikan, pelatihan staf, dan penjangkauan

masyarakat. Berbagi data dan penyediaan pendidikan kompetensi budaya

yang dibutuhkan pada tingkat dasar untuk menginformasikan dan

mencerahkan orang-orang yang membuat keputusan di kelembagaan yang

besar.

Manajer ditantang untuk memeriksa kebijakan dan praktek dalam

setiap tahap organisasi dalam konteks perbedaan generasi. Tehnik

merekrut, komunikasi, kebijakan sumber daya manusia, dan manfaat

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 25: Cultural and Generation Workforce Diversity

25Manajemen Keperawatan

rencana harus disesuaikan dengan berbagai kelompok (yang memiliki

berbagai kebutuhan) dan nilai-nilai yang mereka anut. Dalam

perekonomian global, tenaga kerja terus berubah, menantang stereotip

generasi dan ras/etnis. Beragam populasi tidak jatuh ke dalam kategori

yang sama seperti rekan Amerika mereka pada usia yang sama; "Mereka

lebih cenderung untuk fokus pada kelangsungan hidup" (Alexander, 2001,

halaman 3 dalam Huber, 20006).

Dasar untuk meningkatkan lingkungan kerja untuk semua bermuara

pada kepercayaan, rasa hormat, bersama, penegasan identitas, dan

komunikasi. Ini semua adalh tentang hubungan. Dengan tenaga kerja yang

semakin beragam, manajer dari setiap usia didorong untuk menekankan

nilai-nilai organisasi sebelum nilai-nilai pribadi mereka.

2.8 Issu – Issu Dan Tren Saat Ini

Ada pepatah lama mengatakan : tongkat dan batu dapat mematahkan

tulang, tetapi kata-kata tidak akan pernah menyakiti saya. Hidup akan

lebih mudah jika pepatah tersebut benar. Masalah Ras tentu akan menjadi

isu yang berbeda setiap harinya. Diskriminasi pada setiap tingkat masih

ada. Manusia cenderung terfokus melihat dari aspek – aspek fisik yang

dapat dilihat oleh mata yang menggambarkan kita berbeda dan mengingat

fakta bahwa orang tidak dapat menyembunyikan fitur tertentu, dinamika

ras terus sampai hari ini menjadi dasar untuk pemahaman tentang adanya

kesenjangan perawatan kesehatan. Ras mempengaruhi masalah hubungan

kerja tenaga kerja yang inklusif.

Berikut Kutipan tentang, "10 hal yang harus diketahui setiap orang

tentang ras," dikembangkan untuk melengkapi tiga bagian seri PBS yang

berjudul RACE— The Power of an Illusion. Bagian ini menguraikan

suatu pemikiran yang mendorong kita untuk memahami pengertian tentang

ras “Mata kita memberitahu kita bahwa orang-orang terlihat berbeda.

Tidak ada yang mengalami kesulitan untuk membedakan orang Ceko dari

orang Cina”. Tapi apa arti dari perbedaan itu? Apakah itu biologis?

Apakah Ras selalu bersama kita? Bagaimana ras mempengaruhi orang-

orang hari ini?

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 26: Cultural and Generation Workforce Diversity

26Manajemen Keperawatan

Beberapa hal yang dapat menjelaskan tentang ras.

1. Ras adalah ide yang modern. Masyarakat kuno, seperti orang Yunani,

tidak membagi orang menurut perbedaan fisik, tetapi menurut agama,

status, jenis kelamin, kelas, bahkan bahasa. Bahasa Inggris bahkan tidak

memiliki kata 'ras' sampai kata itu muncul di tahun 1508 dalam sebuah

puisi oleh William Dunbar yang merujuk kepada keturunan raja-raja.

2. Ras tidak memiliki dasar genetik. Tidak satu karakteristik, sifat atau

bahkan satu gen yang membedakan anggota ras yang satu dengan anggota

ras yang lain.

3. Manusia tidak mempunyai subspesies. Tidak seperti banyak hewan,

manusia modern belum cukup lama untuk berevolusi menjadi subspesies

atau ras yang terpisah. Meskipun penampilan luar kita hampir sama dari

semua spesies.

4. Warna kulit benar-benar hanya warna kulit luar saja. Kebanyakan sifat

diwariskan secara independen dari individu satu ke yang lainnya. Gen –

gen yang mempengaruhi warna kulit tidak ada hubungannya dengan gen

yang mempengaruhi bentuk rambut, tinggi, tipe darah, bakat musik,

kemampuan atletik atau bentuk intelijen. Mengetahui satu sifat, seperti

warna kulit, tidak memberitahu banyak tentang individu tersebut.

5. Kebanyakan dalam Variasi bukan antara "ras." Sejumlah kecil variasi dari

total manusia, 85% ada dalam setiap populasi lokal, baik itu Italia, Kurdi,

Korea atau Cherokees. Sekitar 94% dapat ditemukan di setiap benua. Itu

berarti dua warga Korea yang dipilih secara acak mungkin sama atau

berbeda genetic sebagai Korea dan Italia.

6. Perbudakan mendahului ras. Sepanjang sejarah manusia, masyarakat telah

diperbudak oleh orang lain, sering sebagai akibat dari penaklukan atau

perang, bahkan utang, tetapi bukan karena karakteristik fisik atau

kepercayaan inferioritas alam. Karena memiliki sejarah yang unik, sistem

perbudakan pertama membagi semua budak berdasarkan karakteristik fisik

yang sama.

7. Ras dan kebebasan berkembang bersama-sama. AS dulu didirikan dengan

prinsip radikal yang baru yang menyatakan bahwa "semua manusia

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 27: Cultural and Generation Workforce Diversity

27Manajemen Keperawatan

diciptakan sama." Tapi ekonomi awal AS sebagian besar didasarkan pada

perbudakan. Bagaimana bisa anomali ini dibenarkan?

8. Ras merupakan kesenjangan sosial yang alami. Seperti ide ras berevolusi,

keunggulan kulit putih yaitu menjadi "akal sehat" di Amerika.

Dirasionalisasi tidak hanya perbudakan tapi juga penghapusan India,

pengecualian imigran Asia dan mengambil tanah Meksiko oleh bangsa

yang sebaliknya mengaku sebuah keyakinan yang mendalam di kebebasan

dan kebersamaan. Praktek-praktek rasial menjadi dilembagakan dalam

pemerintah Amerika, hukum, dan masyarakat.

9. Ras tidak bersifat biologis, tetapi rasisme masih nyata. Ras adalah ide

sosial yang kuat yang memberikan akses berbeda terhadap setiap orang

untuk memiliki kesempatan dan sumber daya yang sama. Pemerintah dan

lembaga-lembaga sosial tidak proporsional, walaupun sering terlihat,

saluran kekayaan, kekuasaan, dan sumber daya "ditandai" untuk orang

kulit putih. Hal ini mempengaruhi semua orang, apakah kita menyadarinya

atau tidak.

10. Perbedaan warna tidak akan berakhir rasisme. Ras adalah lebih dari

stereotip dan prasangka individu. Untuk memerangi rasisme, kita perlu

untuk mengidentifikasi dan memperbaiki kebijakan sosial dan praktek-

praktek kelembagaan yang menguntungankan beberapa kelompok dengan

mengorbankan orang lain (California Newsreel, 2003, hal 1).

Budaya adalah salah satu pengetahuan yang kita gunakan

dimasyarakat untuk bertindak dan menberikan dasar dalam mengevaluasi

diri tentang kemanusiaan. Perawat memiliki kewajiban untuk memenuhi

kontrak sosial mereka dengan masyarakat dan, di atas segalanya, untuk

tidak membahayakan kepada mereka dalam perawatan mereka. Ini berarti

perawat harus siap untuk memberikan yang terbaik dari kemampuan

mereka untuk menjaga semua orang di komunitas tempat mereka praktek

dan bekerja secara efektif dengan penyedia dari budaya dan subkultur

lainnya. Kurikulum sekolah keperawatan dan pendidikan lanjutan perlu

direvisi dalam rangka untuk mencegah hal diatas terjadi (Campinha-

Bacote et al., 1996).

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 28: Cultural and Generation Workforce Diversity

28Manajemen Keperawatan

Profesi perawat diproyeksikan akan menjadi salah satu pertumbuhan

pekerjaan terbesar di antara profesi – profesi yang ada di Amerika Serikat.

Peluang karir perawat baru, bersama dengan penggantian kebutuhan

seperti pensiun diproyeksikan terjadi, ini akan memberikan peluang yang

sangat besar untuk membantu sistem perawatan kesehatan bangsa guna

menanggapi perubahan ini dan secara proaktif mengurangi kesenjangan

kesehatan di mana pun mereka berada dengan meningkatkan kehadiran

orang-orang yang dapat membawa dengan mereka pemahaman nilai-nilai

budaya lain, peningkatan dalam keragaman dan perspektif, dan

kemampuan untuk menerapkan perawatan yang mencerminkan

pemahaman seperti itu.

BAB IIIPEMBAHASAN

3.1 Analisa Implikasi Cultural and Generation Workforce Diversity

Saat ini tenaga kerja keperawatan terdiri dari staf dan pemimpin

perawat dari empat kohort generasi yang berbeda. Keragaman generasi,

termasuk perbedaan tenaga kerja dalam sikap, keyakinan, kebiasaan kerja,

dan harapan, telah terbukti menjadi tantangan bagi para pemimpin

keperawatan. Meskipun empat generasi yang berbeda dalam angkatan

kerja dapat menimbulkan tantangan dalam kepemimpinan, namu

keragaman juga dapat menambahkan kekayaan dan kekuatan dalam tim

jika semua anggota staf dihargai atas kontribusinya. Dalam menghadapi

pasar keperawatan yang sangat kompetitif saat ini, organisasi dan

pemimpin yang efektif dapat mengelola tenaga kerja yang beragam untuk

menghadapi persaingan yang kompetitif. (Dominguez, 2003).

Menurut penelitian Sherman, O Rose., (2006) yang berjudul

“Leading a Multigenerational Nursing Workforce: Issues, Challenges and

Strategies”. Penelitian ini memberikan gambaran dari empat kelompok

generasi dan menyajikan strategi bagi pemimpin keperawatan yang

dapat digunakan untuk melatih dan memotivasi, berkomunikasi, dan

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 29: Cultural and Generation Workforce Diversity

29Manajemen Keperawatan

mengurangi konflik bagi setiap kelompok generasi perawat. Tujuan

penelitian ini adalah membantu para pemimpin keperawatan dalam

persepsi reframe tentang perbedaan generasi dan melihat perbedaan-

perbedaan dalam sikap dan perilaku sebagai kekuatan potensial. Hasil

penelitian diperoleh terdapat perbedaan prefelensi kerja antara perawat

veteran dan baby boomers, perawat generasi X dan generasi millenium.

Hal serupa juga disampaikan oleh Weston J.Marla., (2006) yang

berjudul “Integrating Generational Perspectives in Nursing” bahwa dari

hasil pengujian menyadari asumsi generasi terdahulu memberikan peluang

untuk mengadopsi yang terbaik dari masing-masing perspektif generasi.

Secara simultan, keduanya menghargai kebijaksanaan yang lebih tua dan

mengadaptasi perspektif baru dapat memperkuat kerja tim antar generasi

dan perawatan yang disediakan (Spitzer, 2001). Menghargai kebijaksanaan

generasi yang lebih tua bukan berarti keengganan untuk melepaskan

aspek-aspek yang tidak lagi berlaku. Demikian pula, beradaptasi dengan

yang baru bukan berarti sekedar mencoba cara yang benar. Menilai cara

pandang dari beragam generasi memungkinkan untuk menghormati

alternatif. Kekuatan tim yang kompak merepresentasikan keragaman

generasi perawat yang memungkinkan untuk malakukan pendekatan yang

seimbang dan memaksimalkan kontribusi positif dan meminimalkan

kebiasaan negatif setiap generasi. Tim terbaik dapat memanfaatkan

kekuatan dan kontribusi masing-masing individu dan kelompok masing-

masing generasi sesuai keahlian dan kekuatannya. Pekerja keras; Veteran,

idealis, bergairah; Baby Boomer, teknologi, beradaptasi Generasi X, dan

muda, optimis; Generasi Millenium, dapat bersatu menjadi sebuah

jaringan yang kuat bagi perawat dengan kemampuan luar biasa untuk

saling mendukung dan memaksimalkan kontribusi mereka terhadap

perawatan pasien.

Hedi Bednarz, MSN, ACNS-BC, CNE, Stephanie Schim, PhD, RN,

PHCNS-BC, and Ardith Doorenbos, PhD, RN, dalam penelitiannya yang

berjudul “Keanekaragaman Budaya dalam Asuhan keperawatan: Bahaya,

Kesalahan, dan mutiara’ mengemukakan bahwa dengan terjadinya

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 30: Cultural and Generation Workforce Diversity

30Manajemen Keperawatan

perluasan imigrasi, meningkatnya globalisasi, dan pertumbuhan penduduk

minoritas, ada kebutuhan untuk memperkaya keragaman dalam profesi

keperawatan untuk lebih memenuhi kebutuhan masyarakat yang berubah

(Barbee & Gibson, 2001). Universitas, perguruan tinggi, dan pengasuh

program khusus mulai fokus pada peningkatan keragaman karena mereka

berusaha untuk efektif mempersiapkan mahasiswa keperawatan untuk

melayani beragam klien dan masyarakat. Saat ini, mahasiswa non-

tradisional yang menggantikan mahasiswa tradisional di banyak program

keperawatan nasional (Jeffreys, 2004). The American Association of

Colleges of Nursing (AACN) memperkirakan sekitar 73% dari mahasiswa

keperawatan sarjana sekarang dianggap nontradisional (2005). Menurut

Jeffreys (2004), istilah non-tradisional mengacu pada setiap mahasiswa

yang memenuhi satu atau lebih kriteria berikut: berusia 25 atau lebih tua,

kemacetan untuk sekolah, terdaftar paruh waktu, seorang laki-laki,

merupakan anggota dari kelompok etnis atau ras minoritas, berbicara.

bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau tambahan, memiliki tanggungan

anak, dan memegang umum penyetaraan diploma (GED) atau telah

diperlukan kelas remedial. Istilah nontradisional atau dianggap beragam

dipertukarkan untuk tujuan menggambarkan mahasiswa yang berbeda dari

pola lama mapan untuk mahasiswa keperawatan sarjana tradisional.

Mahasiswa Tradisional umumnya adalah perempuan yang belum

menikah memasuki program keperawatan sebagai mahasiswa firsttime

(berkualitas baik) setelah menyelesaikan pendidikan menengah (AACN,

2005).

Lebih jauh lagi dikemukan oleh Hedi.B bahwa bekerja dengan

organisasi mahasiswa yang semakin beragam dalam keperawatan dapat

digambarkan sebagai hal yang berbahaya dan penuh jebakan. Beberapa

pendidik perawat percaya mahasiswa yang beragam memerlukan terlalu

banyak waktu dan juga banyak energi. Tantangan menghadapi mahasiswa

yang beragam dapat dilihat sebagai petualangan belajar. Investasi

akademik pada mahasiswa dari berbagai latar belakang dan budaya yang

lebih luas tentu saja merupakan investasi jangka panjang yang baik di

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 31: Cultural and Generation Workforce Diversity

31Manajemen Keperawatan

masa depan keperawatan. Selain beberapa waktu yang awal dan investasi

energi dalam pengetahuan global, penilaian lokal, dan adaptasi tentu saja

merencanakan untuk mengakomodasi berbagai kebutuhan diidentifikasi.

Bekerja dengan baik dengan mahasiswa yang beragam mungkin memang

butuh waktu dan hemat energi. Kebutuhan mahasiswa jika dinilai dan

ditangani lebih awal dan lebih efektif, maka lebih sedikit waktu akan

dibutuhkan untuk menjernihkan kebingungan dan kemarahan, sedikit

waktu akan dihabiskan perbaikan/rehabilitasi (remedial), dan energi yang

lebih sedikit akan dihabiskan pada keadaan frustrasi. Ketika kebutuhan

beberapa mahasiswa ditangani dengan kreativitas dan inovasi,

kemungkinan akan meningkatkan iklim pendidikan untuk semua

mahasiswa. Yang diharapkan model peran kepedulian yang berpusat pada

klien seperti model pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa.

Pendidik keperawatan bertanggung jawab untuk penyesuaian diri dari

mahasiswa ke dalam budaya praktik keperawatan profesional.

Memperhatikan bahaya, perangkap, dan mutiara bekerja dengan

mahasiswa yang lebih beragam sangat memungkinkan kita untuk

mempengaruhi masa depan disiplin praktik keperawatan.

Mengacu pada penelitian yang dilakukan Hedi.B, dkk, lebih

memfokuskan pada diversity (keanekaragaman) latar belakang mahasiswa

keperawatan (mis;demografi) dan juga keragaman latar belakang

pendidikan keperawatan, sedikit banyaknya akan memengaruhi

pelaksanaan praktek keperawatan professional. Sehingga dipandang perlu

untuk mengidentifikasi kebutuhan mahasiswa yang berasal dari keragaman

budaya dan pendidikannya. Jika proses identifikasi berjalan sesuai

kebutuhan mahasiswa dan ditangani dengan kreatif, maka tentu pada

akhirnya setiap mahasiswa yang beraneka ragam latar belakang budaya

akan dapat melaksanakan asuhan keperawatan secara professional kepada

klien dan masyarakat yang beragam pula.

1. Strategi Kepemimpinan dalam Cultural and Generation Workforce

Diversity

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 32: Cultural and Generation Workforce Diversity

32Manajemen Keperawatan

Halfer (2004) merekomendasikan bahwa pemimpin perawat melakukan

inventarisasi generasi di unit kerja mereka yang terlihat pada generasi

campuran tim keperawatan, profil usia, dan isu-isu generasi dalam tim.

Adalah penting bahwa setiap karyawan diselenggarakan dengan harapan

kerja yang sama, kebijakan organisasi, dan prosedur, namun pemimpin

perawat juga harus mempertimbangkan kebutuhan individu karyawan dan

perbedaan generasi. Mengakomodasi preferensi generasi di berbagai

bidang seperti pembinaan dan memotivasi, berkomunikasi, dan

menyelesaikan konflik akan membantu untuk mempromosikan lingkungan

retensi (Hart, 2006).

a. Coaching dan Memotivasi

Generasi yang berbeda memiliki pengalaman yang berbeda dalam

keluarga mereka dan lingkungan pendidikan. Meskipun setiap anggota

dari kelompok generasi yang unik, pengalaman ini secara umum

menciptakan preferensi kohort tentang bagaimana generasi ingin dilatih

dan dimotivasi oleh orang-orang yang memimpin mereka (Duchscher &

Cowin, 2004; Karp et al, 2002;. Weston, 2001; Zemke et al., 2000).

Perawat veteran nyaman pada gaya pembinaan tradisional dan instruksi

resmi tentang bagaimana untuk meningkatkan kinerja mereka. Mereka

menghargai senioritas dan pengalaman dalam hubungan pembinaan.

Sentuhan pribadi, seperti catatan tertulis, plak, dan gambar dengan Ketua

Perawat atau Chief Executive Officer, yang penting dalam memberikan

pengakuan bagi perawat veteran.

Perawat Baby Boomer, menikmati kolegialitas dan partisipasi dan lebih

memilih yang dilatih dalam situasi peer-to-peer. Mereka menghargai

belajar sepanjang hayat sebagai cara untuk meningkatkan kinerja mereka

(Duchscher & Cowin, 2004; Halfer, 2004; Weston, 2001). Baby Boomers

menemukan pengakuan public untuk pekerjaan dilakukan dengan baik,

bersama dengan fasilitas, seperti ruang parkir karyawan, pengakuan

buletin, dan nominasi penghargaan profesional untuk memotivasi

(Duchscher & Cowin, Greene, 2005; Halfer, Weston).

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 33: Cultural and Generation Workforce Diversity

33Manajemen Keperawatan

Sedangkan nilai Baby Boomers belajar dalam hubungan-driven situasi

pembinaan, Generasi X staf lebih suka lingkungan pembinaan lebih setara

di mana mereka memiliki kesempatan untuk menunjukkan keahlian

mereka sendiri dalam lingkungan belajar dan di mana mereka tidak merasa

micromanaged (Lahiri, 2001). Baby Boomers ingin merasa diberdayakan

dalam lingkungan kerja dan untuk meminta umpan balik mereka. Generasi

X perawat percaya bahwa pengakuan dan kemajuan karir harus

berdasarkan prestasi, mereka ingin melihat kemajuan pesat menuju tujuan

yang mereka tetapkan untuk diri mereka sendiri. Penghargaan organisasi

tradisional mungkin tidak memiliki banyak nilai yang dibayar cuti,

penghargaan uang tunai, atau partisipasi dalam proyek pemotongan tepi

(Duchscher & Cowin, 2004; Greene, 2005; Halfer, 2004; Raines, 2002).

b. Komunikasi

Memanfaatkan strategi komunikasi yang akan bekerja secara efektif

dengan generasi yang berbeda merupakan tantangan bagi banyak

pemimpin keperawatan (Greene, 2005). Kepekaan terhadap perbedaan

komunikasi dan preferensi lintas generasi dapat membantu menjembatani

kesenjangan dan menciptakan solusi unik yang menarik bagi setiap sistem

kepercayaan generasi (Cran, 2005). Hal ini juga penting untuk memastikan

bahwa komunikasi dipahami, sehingga untuk mengurangi risiko kesalahan

yang datang dengan kegagalan komunikasi.

Perawat veteran merasa nyaman dengan sistem komunikasi yang inklusif

dan membangun kepercayaan. Face-to-face atau komunikasi tertulis akan

lebih efektif daripada komunikasi yang melibatkan penggunaan teknologi

(Duchscher & Cowin, 2004; Weston, 2001; Zemke et al, 2000;. Zust,

2001).

Baby Boomers lebih memilih komunikasi yang terbuka, langsung, dan

kurang formal. Sebagai generasi, mereka menikmati proses kelompok

informasi dan nilai rapat staf yang memberikan kesempatan untuk diskusi

(Zemke et al, 2000). Mereka lebih suka tatap muka atau komunikasi

telepon tetapi akan menggunakan e-mail jika mereka merasa nyaman

dengan teknologi (Duchscher et al, 2004; Weston, 2001; Zust, 2001).

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 34: Cultural and Generation Workforce Diversity

34Manajemen Keperawatan

Generasi X adalah generasi pertama yang memiliki televisi sebagai bagian

dari kehidupan mereka sehari-hari, komunikasi yang melibatkan banding

teknologi untuk mereka. Pendekatan komunikasi mereka adalah bottom

line, dan mereka mungkin menjadi bosan pada pertemuan yang mencakup

pembahasan yang cukup sebelum keputusan dibuat (Karp et at., 2002).

Generasi Milenium telah tumbuh dengan instant messaging dan telepon

seluler. Mereka menyukai umpan balik langsung dan dapat menjadi

frustasi jika mereka e-mail atau pesan telepon tidak dijawab dengan cepat

(Sacks, 2006). Mereka juga menikmati kerja sama tim dan menghargai

pertemuan tim sebagai forum komunikasi. Sebagai kelompok, mereka

membaca kurang. Oleh karena mendistribusikan kebijakan dan prosedur

yang panjang untuk membaca mungkin tidak efektif (Carlson, 2005). E-

mail dan chat room adalah mekanisme yang baik untuk memberikan

update komunikasi bagi generasi ini.

c. Resolusi Konflik

Aturan dasar yang memperkuat pentingnya menghormati dan toleransi

untuk semua generasi adalah kunci untuk mempromosikan suasana di

mana semua pandangan dianggap sah.

Perbedaan nilai generasi, perilaku, dan sikap memiliki potensi untuk

menciptakan konflik yang signifikan di tempat kerja (Greene, 2005). Dua

sumber utama konflik di lingkungan keperawatan saat ini adalah

perbedaan yang dirasakan dalam etika kerja di kalangan generasi dan

penggunaan teknologi. Kedua Generasi X dan Perawat Millenium

menghormati prestasi pemimpin Baby Boomer tetapi mencari

keseimbangan kehidupan kerja dan kecil kemungkinannya untuk

menerima lembur atau jadwal perubahan untuk mengakomodasi

kebutuhan unit kerja mereka (Greene, 2005). Veteran dan Baby Boomer

pemimpin keperawatan menggagalkan Generasi X dan staf Seribu jika

mereka menolak kemajuan teknologi, atau jika mereka tidak menjadi

kompeten dengan teknologi yang tersedia dalam lingkungan kerja

(Weston, 2001).

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 35: Cultural and Generation Workforce Diversity

35Manajemen Keperawatan

Konflik yang belum terselesaikan di tim keperawatan dapat menyebabkan

hilangnya waktu produktif, kesalahan, pergantian staf, dan penurunan

kepuasan pasien (Manion, 2005). Staf pendidikan tentang perbedaan sikap

generasi dan nilai-nilai merupakan langkah awal yang penting. Aturan

dasar yang memperkuat pentingnya menghormati dan toleransi untuk

semua generasi adalah kunci untuk mempromosikan suasana di mana

semua pandangan dianggap sah. Menyoroti tujuan tim bersama dan

menjaga perawatan pasien sebagai titik fokus akan mempromosikan

resolusi konflik yang efektif (Greene, 2005).

Hobbs dkk. (2005) telah mengusulkan sebuah model sinergi generasi yang

melibatkan reframing tampilan tradisional di perbedaan generasi dengan

cara yang berfokus pada kontribusi dari setiap kelompok, sehingga

mengurangi konflik di tempat kerja. Perawat veteran harus dihargai karena

kebijaksanaan dan sejarah organisasi yang mereka bawa ke tim

keperawatan. Ketika teknologi gagal, karena memiliki beberapa selama

bencana alam baru-baru ini, Perawat Veteran dapat membantu unit untuk

cepat beralih ke kembali ke cara-cara tradisional untuk menilai dan

merawat pasien.

Baby Boomer perawat harus dihargai untuk pengalaman klinis dan

organisasi mereka. Memanfaatkan mereka untuk pelatih dan mentor

perawat muda akan menjadi penting untuk memastikan bahwa modal

intelektual atau pengetahuan organisasi tidak akan hilang ketika sejumlah

besar kohort generasi mulai pensiun (Halfer, 2004; Ulrich, 2001; Weston,

2001).

Generasi X perawat harus dihargai untuk ide-ide inovatif mereka dan

pendekatan kreatif untuk masalah satuan dan masalah. Mereka bisa

berperan dalam membantu organisasi merancang pendekatan baru untuk

pemberian asuhan keperawatan.

Generasi perawat millennium harus dihargai karena pemahaman mereka

tentang teknologi dan wawasan tentang bagaimana hal itu dapat digunakan

dalam praktek. Meskipun pemula untuk keperawatan, mereka dapat

berperan dalam membantu organisasi menerapkan sistem komputerisasi

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 36: Cultural and Generation Workforce Diversity

36Manajemen Keperawatan

dan bentuk lain dari teknologi. Mereka juga dapat berfungsi sebagai

pelatih teknologi untuk kohort generasi tua (Carlson, 2005).

Memahami bagaimana untuk memaksimalkan bakat masing-masing

anggota staf keperawatan individu dengan mengatasi baik kebutuhan

individu dan generasi mereka sangat penting untuk kepemimpinan yang

baik. Ketika setiap generasi dihargai karena kekuatan mereka bawa ke tim,

keragaman generasi akan menyebabkan sinergi yang membawa tim ke

tingkat yang jauh lebih tinggi dari kinerja (Hobbs dkk., 2005).

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 37: Cultural and Generation Workforce Diversity

37Manajemen Keperawatan

3.2 Kekuatan dan Kelemahan Cultural and Generation Workforce Diversity

1. Kekuatan

McCuiston et al. (2004) mengemukakan bahwa pengimplementasian

kebijakan untuk mengembangkan diversity secara tepat akan memberikan

beberapa keuntungan. Keuntungan yang paling nyata adalah:

a) Memperbaiki lini dasar,

Terdapat lima pengaruh utama inisiatif diversity pada lini dasar, yaitu

memperbaiki kultur perusahaan, membantu merekrut karyawan baru,

memperbaiki hubungan dengan klien, mempertinggi hak tetap

mempertahankan karyawan, serta mengurangi keluhan dan tuntutan

hukum.

b) Keunggulan kompetitif,

Cox dan Blake (1991) menyebutkan bahwa mengelola diversitas akan

menciptakan keunggulan kompetitif organsiasi melalui 6 hal, yaitu

biaya, akuisisi sumber daya, pemasaran, kreativitas, pemecahan

masalah, dan fleksibilitas organisasi.

c) Kinerja bisnis superior

Diversity gender, ras, dan umur pada tim manajemen senior

berhubungan dengan kinerja bisnis dalam hal produktivitas pekerja,

nett operating profit, gross revenues, total aset, market share, dan nilai

(value) shareholder. Pengimplementasian kebijakan untuk

mengembangkan diversity memungkinkan perusahaan untuk

menemukan kandidat puncak, karena mempromosikan diversity

berarti menarik pekerja yang berbakat, mengurangi turnover, serta

tidak mengikat kreativitas (Silverstein, 1995; Diversity Inc., 2002

dalam McCuiston et al., 2004).

d) Kepuasan karyawan dan loyalitas,

Perhatian pada diversitas karyawan juga akan meningkatkan kepuasan

dan loyalitas karyawan. Dukungan yang kuat terhadap inisiatif

diversitas dari CEO dan manajemen level atas, bersama dengan affinity

group, program mentoring, dan kebijakan pekerjaan/ kehidupan, akan

membangun loyalitas karyawan serta mengembangkan komitmen

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 38: Cultural and Generation Workforce Diversity

38Manajemen Keperawatan

terhadap tujuan organisasi (SHRM, 2001; Diversity, 2002 dalam

McCuiston et al., 2004).

e) Memperkuat hubungan dengan komunitas multikultural, dan menarik

kandidat yang paling baik dan paling cerdas.

2. Kelemahan

Keanekaragaman budaya dan generasi ditempat kerja merupakan suatu hal

yang dapat memicu terjadinya perselisihan. Perselisihan dapat terjadi

karena perbedaan dalam orientasi waktu, pola komunikasi, sistem nilai,

persepsi tanggung jawab staf atau peran keperawatan serta perbedaan

dalam pendidikan merupakan sumber umum dari konflik.

Ketidaksepakatan atau konflik antara dua pihak atau lebih, terjadi karena

pihak – pihak tersebut merasakan adanya perbedaan. Konflik tidak hanya

terjadi dalam ras, etnis, gender, atau orientasi seksual tetapi juga dalam

generasi selanjutnya dengan sikap, keyakinan, nilai-nilai, atau kebutuhan

yang diperlihatkan.

Jika diversitas tidak dikelola secara efektif, organisasi akan memperoleh

beberapa kerugian, termasuk gangguan komunikasi, konflik interpersonal,

dan turnover yang semakin tinggi (Richard, 2000). Munculnya diversitas

di antara karyawan dapat menciptakan kesalahpahaman yang memiliki

pengaruh negatif pada produktivitas dan teamwork (kerja tim). Diversitas

juga akan mengakibatkan diskriminasi secara terangterangan maupun tidak

kentara, yang dilakukan oleh orang-orang yang mengontrol sumber daya

organisasi terhadap rang-orang yang tidak sesuai dengan kelompok

dominan (Gomez-Meijia, 2001).

Kerugian terbesar yang diterima oleh perusahaan ketika diversity tidak

diprioritaskan adalah kehilangan bisnis yang potensial dalam bentuk

pelanggan baru pada pasar yang sedang tumbuh, pelanggan yang terbukti

semakin loyal pada perusahaan yang memahami kultur dan kebutuhan

mereka (Diversity Inc, 2002; WCC/HI, 2002 dalam McCuiston et al.,

2004). Untuk dapat bertahan dan berhasil dengan baik pada masyarakat

yang secara heterogen meningkat, organisasi harus menggunakan

diversitas sebagai sumber keunggulan kompetitif. Hal ini dapat dilakukan

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 39: Cultural and Generation Workforce Diversity

39Manajemen Keperawatan

misalnya dengan mempekerjakan (hiring) karyawan dari berbagai

nasionalitas (Gomez-Meijia, 2001).

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 40: Cultural and Generation Workforce Diversity

40Manajemen Keperawatan

BAB IVPENUTUP

Budaya adalah sesuatu yang kompleks mencakup seluruh aktivitas

manusia dan termasuk dalam pengetahuan, kepercayaan, seni, moral,

hukum, adat, kemampuan, dan kebiasaan lain yang dilakukan manusia

sebagai anggota masyarakat. Kultur ditentukan oleh peninggalan dan

pengetahuan yang dipelajari , disebarkan melalui nilai, kepercayaan,

aturan prilaku, dan gaya hidup yang menjadi acuan bagi kelompok

tertentu dalam bertindak dengan cara yang terpola. Budaya dibentuk oleh

kebangsaan, sosioekonomi dan pengelompokan profesional, kebutuhan-

kebutuhan spesial, serta pilihan gaya hidup seseorang. Keragaman

budaya menunjukkan variasi antarkelompok yang berhubungan dengan

kebiasaan, nilai-nilai, preferensi, keyakinan, aturan dan norma berperilaku

yang harus sesuai . Budaya mempengaruhi cara berpikir dan , berinteraksi

serta melakukan berbagai aktivitas hidup sehari-hari. Kebudayaan

memberikan kebebasan untuk bertindak,tetapi di lain waktu mencegah

kita melangkah melewati batasan cultural (yaitu norma-norma) sehingga

terjadi ketidak sinambungan antara nilai-nilai yang dianut dengan orang-

orang yang melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam berinteraksi ( tidak da

kesesuaian antara de jure dan de facto.

Mengacu pada adanya variasi antara kelompok orang sehubungan

dengan kebiasaan, nilai-nilai, keyakinan, tabu, dan aturan perilaku atau

norma-norma, setiap pimpinan keperawatan perlu mengembangkan

kesadaran perawat tentang keanekaragaman budaya yang berkaitan

dengan kepribadian seseorang atau budaya di tempat kerja,termasuk

budaya pasien dan perawat itu sendiri. Perbedaan budaya dalam tempat

kerja pada perawat relative ada berkaitan dengan adanya keragaman suku,

ras, keyakinan, pendidikan dan generasi .Perbedaan budaya terjadi juga

pada pasien berkaitan dengan sosial ekonomi,lingkungan, makanan,

keyakinan, akses ke tempat pelayanan kesehatan, dan akses untuk

melakukan pemeriksaan diagnostik atau skrening tes. Perbedaan budaya

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 41: Cultural and Generation Workforce Diversity

41Manajemen Keperawatan

pada pasein dapat juga akibat perbedaan suku, pendidikan, gaya hidup dan

lingkungan serta jaminan kesehatan yang dimiki Pimpinan dalam

keperawatan harus memiliki kemampuan untuk menganalisis pengaruh

budaya dalam lingkungan kerja perawat yaitu dalam melaksanakan

asuhan keperawatan, hal tersebut dapat dijadikan dasar dalam pengaturan

kerja dalam suatu unit kerja sehingga terjadi suana kerja yang kondusif .

Dalam pengaturan kerja perlu dihindarai adanya rasisme dan prasangka.

Kompetensi budaya meliputi pentingnya mengintegrasikan orang-orang

yang berasal dari kelompok non-dominan ke dalam budaya dan

mempertimbangkan relativisme budaya dan nilai-nilai mereka dalam

operasional proses organisasi di tempat kerja yang berkaitan dengan

perawat.

Kompetensi budaya dan bahasa adalah seperangkat perilaku, sikap

dan kebijakan yang datang bersama-sama dalam suatu sistem, lembaga,

atau kalangan profesional yang memungkinkan bekerja efektif dalam

situasi lintas budaya. Budaya mengacu pada pola terpadu perilaku manusia

yang meliputi bahasa, pikiran, komunikasi, aksi, adat istiadat,

kepercayaan, nilai, institusi ras, kelompok etnis, agama, atau sosial.

Berbagai faktor yang dapat menimbulkan perbedaan budaya dalam

pemberian asuhan keperawatan baik pada pasien maupun pada perawat yang

pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya konflik diantara nya cara

berpakaian, makanan,etnik dan ras dan cara berpikir yang dapat mempengaruhi

setiap aspek kehidupan. Perbedaan juga terjadi akibat insitusi keperawatan telah

bergabung dengan profesi yang lain seperti ; bisnis, sosial, pendidikan, dan

ekonomi sehingga terjadi perbedaan dalam orientasi waktu, pola komunikasi,

sistem nilai, persepsi staf atau peran keperawatan, Hal ini perlu disadari oleh

pimpinan perawat. . Dari kesadaran ini akan muncul pemahaman bahwa

semakin banyak kita mengetahui tentang aspek-aspek budaya dari pasien dan

rekan kerja, maka kita akan lebih mampu bermitra dengan rekan-rekan dalam

pekerjaan sehari-hari . Untuk memahami, menghormati, dan memberikan pilihan

terbaik bagi banyak tanggapan manusia terhadap kesehatan dan penyakit atau

perubahan-perubahan kehidupan, perawat juga harus mengenali beragam cara di

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 42: Cultural and Generation Workforce Diversity

42Manajemen Keperawatan

mana memahami budaya dapat membantu dalam hasil proses keperawatan.

Untuk mencapai hal ini kemampuan bahasa seorang perawat mutlak diperlukan.

Keragaman generasi dalam kelompok kerja keperawatan dapat merupakan

sumber konflik karena setiap generasi merupakan karakteristik yang unik dan

nilai-nilai budaya yang berbeda. Jadi menyadari perbedaan generasi sangat

penting bagi setiap pemimpin dalam mengelola tenaga kerja yang terdiri dari

berbagai usia.

Perbedaan budaya dalam melakukan hal-hal tertentu dapat dipelajari

dan ditransmisikan melalui lingkungan budaya. Karena perbedaan budaya

dipelajari, kepekaan budaya dan kompetensi, terlepas dari pengaturan, juga

bisa dipelajari. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan,pimpinan

keperawatan perlu menitik beratkan kepada perawat mempertimbangkan

keragaman budaya pasien dan perawat itu sendiri srhingga perawat akan

lebih mudah menyelesaikan konflik. Kompetensi budaya, harus dipahami

dengan baik dan dipandang sebagai suatu proses atau perjalanan bukan

sebagai tujuan.

Perawat juga harus mengenali nilai-nilai budaya mereka sendiri

dalam mencari kompetensi budaya. Harapan, sikap, dan perilaku perawat

yang dipengaruhi oleh budaya mereka persis sebagaimana harapan, sikap,

dan perilaku klien dipengaruhi oleh mereka. Ini bisa menjadi penghalang

untuk mendapatkan kompetensi budaya jika perawat tidak menunjukkan

kesadaran diri dan kepekaan terhadap orang lain. Selain itu, perawat perlu

mengkaji budaya merawat diri untuk meningkatkan kompetensi budaya

dan keanekaragaman.

Beberapa hal perlu dilakukan perawat agar peka terhadap budaya

antara lain : Mengetahui budaya sendiri, nilai-nilai, dan

bias.,mendengarkan dan mengamati, menekankan nilai-nilai organisasi ke

depan, mengembangkan kemampuan menjadi pendidik dan sekaligus

sebagi murid atau pendengar, melakukan aktivitas tawar menawar,.

Memberikan petunjuk yang jelas, memberikan dukungan dan sumber daya,

dan selalu memberikan batas waktu penyelesaian permasalahan,mendelegasikan

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 43: Cultural and Generation Workforce Diversity

43Manajemen Keperawatan

hasil, memberikan gambaran yang jelas, memberikan contoh bagaimana membuat

keberhasilan kerja dalam situasi win-win untuk semua yang terlibat,

memperhatikan penerapan aturan dan prosedur di tempat kerja. Pastikan aturan

dan prosedurnya jelas, tapi harapkan mereka untuk mengelola harapan. Terbuka

untuk ide-ide dan komentar. Memberikan langkah mudah dalam pengambilan

keputusan, berani, dan perilaku yang benar, mengambil tindakan, dokumen, dan

tindak lanjut, mengelola menurut nilai-nilai dan sikap generasi individu dan

memberikan kesempatan untuk tumbuh.

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id

Page 44: Cultural and Generation Workforce Diversity

44Manajemen Keperawatan

REFERENSI

Angeline Tay. (2011). “Managing generational diversity at the workplace: expectations and perceptions of different generations of employee”. African Journal of Business Management Vol. 5(2), pp. 249-255, 18 January, 2011. Available online at http://www.academicjournals.org/AJBM. DOI: 10.5897/AJBM10.335 ISSN 1993-8233 ©2011 Academic Journals

Bednarz, Hedi. (2010). “Cultural Diversity in Nursing Education: Perils, Pitfalls, and Pearls”. Published in final edited form as: J Nurs Educ. 2010 May ; Author manuscript; available in PMC 2010 August 13; 49 (5): 253–260. doi:10.3928/01484834-20100115-02

Gomez-Mejia, L.R., Balkin, D.B. and Cardy, R.L., 2001. Managing Human Resources. 3rd Edition. Prentice Hall International Inc.

Halfer, D. (2004, April 21). “Developing a multigenerational workforce”. Paper presented at the annual meeting of the American Organization of Nurse Executives. Phoenix, Arizona.

Kusumardhani S. Dina. (2005). Diversitas Tenaga Kerja: Tantangan dan Strategi Pengelolaannya. Sinergi. Kajian Bisnis dan Manajemen. Vol 7 No 2. ISSN : 1410 - 9018

McCuiston, V.E., Wooldridge, B.R. and Pierce, C.K., 2004. “Leading the Diverse Workforce: Profit, Prospects and Progress”. The Leadership & Organization Development. Journal, 25 (1): 73-92.

Sherman, R., (May 31, 2006). "Leading a Multigenerational Nursing Workforce: Issues, Challenges and Strategies". OJIN: The Online Journal of Issues in Nursing. Vol. 11, No. 2, Manuscript 2

Weston, M., (2006). "Integrating Generational Perspectives in Nursing". OJIN: The Online Journal of Issues in Nursing Vol. 11 No. 2, Manuscript 1. DOI: 10.3912/OJIN.Vol11No02Man01

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus (STIK SC) Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440-Indonesia

Phone : (62-21) 3904441 Ext. 2368E-mail : [email protected]/ Website : www.stik-sintcarolus.ac.id