crs mata fix

28
CASE REPORT SESSION KERATITIS NEUROTROPIK Disusun Oleh: Resti Rusydi Puti Risani Hengky Fandri Preseptor : dr. Getry Sukmawati, Sp.M (K) BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA 1

Upload: resti-rusydi

Post on 12-Dec-2015

31 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

kedokteran

TRANSCRIPT

Page 1: Crs Mata Fix

CASE REPORT SESSION

KERATITIS NEUROTROPIK

Disusun Oleh:

Resti Rusydi

Puti Risani

Hengky Fandri

Preseptor :

dr. Getry Sukmawati, Sp.M (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATARSUP DR. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS2015

1

Page 2: Crs Mata Fix

BAB I

ILUSTRASI KASUS

Identitas Pasien

- Nama : Tn. K

- Jenis Kelamin : Laki-Laki

- Usia : 74 tahun

- Pekerjaan : Petani

- Agama : Islam

- Alamat : Payakumbuh

Anamnesa

Seorang pasien laki-laki berusia 74 tahun dirawat di bangsal Mata RSUP Dr M

Djamil Padang pada tanggal 7 September 2015.

Keluhan Utama :

Bagian bening pada mata kiri tampak memutih sejak 5 bulan yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang :

- Bagian bening mata kiri tampak memutih sejak 5 bulan yang lalu disertai

penurunan tajam penglihatan

- Mata kiri merah sejak 6 bulan yang lalu, riwayat mata berair (+)

- Keluhan nyeri pada mata kiri sejak 6 bulan yang lalu

- Kelopak mata kiri tidak bisa menutup sempurna sejak 6 bulan yang lalu

- Keluhan mata gatal (-), silau (-)

2

Page 3: Crs Mata Fix

- Riwayat trauma pada mata sebelumnya (-)

- Riwayat penggunaan kacamata (-)

Riwayat Penyakit Dahulu :

- Riwayat herpes zoster 2 tahun yang lalu, pada dahi dan tubuh bagian kiri

- Riwayat tumor parotis kiri, telah dioperasi 2x pada bulan September 2013,

Maret 2015

- Riwayat hipertensi sejak 10 tahun yang lalu

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita penyakit seperti pasien.

Status Oftalmikus :

STATUS

OFTALMIKUS

OD OS

Visus tanpa koreksi 5/60 setelah pin hole : 5/15 1/∞ proyeksi sentral, temporal

dan nasal

Refleks fundus

Silia / supersilia Trikiasis (-)

Madarosis (-)

Trikiasis (+)

Madarosis (-)

Palpebra superior Lagoftalmus (-)

Edema (-)

Lagoftalmus ±10 mm

Edema (-)

Palpebra inferior Edema (-)

Hematom (-)

Edema (-)

Hematom (-)

Margo Palpebra Entropion (-) Entropion (-)

3

Page 4: Crs Mata Fix

Ektropion (-)

Sikatrik (-)

Ektropion (+)

Sikatrik (-)

Aparat lakrimalis Dalam batas normal Dalam batas normal

Konjungtiva Tarsalis Hiperemis (-), Papil (-), folikel (-),

sikatrik (-)

Hiperemis (-), Papil (-), folikel

(-), sikatrik (-)

Konjungtiva Forniks Hiperemis (-) Hiperemis (-)

Konjungtiva Bulbii Injeksi siliar (-)

Injeksi konjunktiva (-)

Injeksi siliar (+)

Injeksi konjunktiva (+)

Sklera Putih Putih

Kornea Bening ulkus terdapat di bagian

sentral-parasentral dengan

diameter ±4-5mm, kedalaman

½ stroma

Neovaskularisasi (+)

Kamera Okuli Anterior Cukup dalam Dangkal

Iris Coklat Coklat disuperior

Pupil Bulat, refleks cahaya (+/+),

diameter = 2-3 mm

Sulit dinilai

Lensa Keruh Sulit dinilai

Korpus vitreum Bening Sulit dinilai

Fundus :

- Media Bening Sulit dinilai

- Papil optikus Bulat, batas tegas, c/d 0,3-0,4

- Retina Perdarahan (-), eksudat (-)

- aa/vv retina aa:vv = 2:3

4

Page 5: Crs Mata Fix

- Makula Rf fovea (+)

Tekanan bulbus okuli Normal palpasi Normal palpasi

Posisi bulbus okuli Ortho Sulit dinilai

Gerakan bulbus okuli Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah

Gambar :

Diagnosis Kerja :

- Keratitis Eksposure karena pada anamnesis dan pemeriksaan fisik

ditemukan lagoftalmus pada mata kiri sebesar ±10mm sejak 6 bulan yang

lalu, serta pada pemeriksaan slitlamp mata kiri didapatkan gambaran ulkus

kornea .

- Ektropion OS karena tampak penurunan dan terbaliknya palpebra inferior

ke arah luar.

5

Page 6: Crs Mata Fix

Diagnosis Banding :

Keratitis Neurotropik : Karena pasien memiliki riwayat herpes zoster 2 tahun

yang lalu.

Terapi : Asam mefenamat 3 x 1

Ciprofloxacin 2 x 500

Kloramfenikol

Mata kiri ditutup

Rencana : eviscerasi OS

6

Page 7: Crs Mata Fix

BAB II

DISKUSI

Telah datang seorang pasien laki-laki berusia 74 tahun datang dan dirawat

di bangsal Mata RSUP Dr. M. Djamil Padang tanggal 23 Februari 2015 dengan

keluhan bagian mata bening tampak memutih.

Dari anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan mata kiri merah sejak 6

bulan sebelum masuk rumah sakit. Berdasarkan literatur, mata merah dapat

diklasifikasikan menjadi mata merah dengan penurunan visus dan tanpa

penurunan visus. Pada kasus ini, anamnesis lebih mengarah pada mata merah

dengan penurunan visus karena keluhan disertai dengan penurunan tajam

penglihatan, selain itu ditemukan juga bagian bening mata memutih. Salah satu

penyebab mata merah dengan penurunan visus adalah keratitis. Berdasarkan

literatur selain mata merah dengan penurun visus, gejala dari keratitis adalah mata

berair, nyeri pada mata yang sakit, adanya sekret, penglihatan silau. Pada pasien

ini ditemukan gejala mata berair dan nyeri pada mata yang sakit. Pada

pemeriksaan oftalmologi pada pasien juga ditemukan adanya tanda – tanda

keratitis ditemukan adanya ulkus pada bagian sentral-parasentral dengan ukuran

±4-5mm dengan kedalam ½ stroma.

Pada pemeriksaa oftalmologi juga ditemukan lagoftalmus dan ektropion

pada mata kiri. Lagoftalmus dan ektropion ini bisa menjadi salah satu faktor

predisposisi terjadinya keratitis karena meningkatnya paparan pada kornea karena

tidak tertutup oleh kelopak mata yang mengakibatkan kornea mudah mengalami

iritasi dan tidak mampunya air mata untuk membasahi kornea. Lagoftalmus pada

7

Page 8: Crs Mata Fix

pasien bisa diakibatkan oleh kelumpuhan nervus fasialis. Kelumpuhan nervus

fasialis yang dialami pasien berhubungan dengan riwayat tumor parotis. Pasien

telah menjalani dua kali operasi yaitu pada tahun 2013 dan yang terakhir pada

tahun 2015. Tumor parotis menyebabkan kelumpuhan pada nervus fasialis terkait

dengan anatomi dari kelenjar parotis tersebut.

Pasien juga memiliki riwayat herpes zoster dua tahun yang lalu. Herpes

zoster bisa mengenai nervus trigeminus. Salah satu yang dipersarafi oleh nervus

trigeminus yaitu kornea. Gangguan pada saraf ini akan mengakibatkan terjadinya

anestesi pada kornea yang kemudian mengakibatkan hilangnya refleks berkedip

pada kornea. Hal ini akan menyebabkan terjadinya perubahan pada fungsi epitel

kornea yang kemudian mengakibatkan terjadinya peradangan pada kornea.

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosa dengan

keratitis eksposure karena lagoftalmus. Dengan diagnosa banding keratitis

neurotropik. Pemeriksaan mikrobiologi juga diperlukan untuk menyingkirkan

bakteri, fungi dan virus sebagai penyebab terbentuknya ulkus kornea.

Pengobatan yang telah diberikan kepada pasien yaitu Asam mefenamat,

antibiotik oral dan antibiotik topikal. Asam mefenamat diberikan untuk

mengurangi nyeri yang dirasakan oleh pasien. Pasien direncanakan menjalani

eviscerasi. Eviserasi adalah pengangkatan bola mata dengan menyisakan sklera

dan otot – otot bola mata. Indikasi dilakukannya eviserasi adalah kebutaan pada

mata dengan infeksi berat atau kondisi mata yang sangat nyeri.

8

Page 9: Crs Mata Fix

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Keratitis Neurotropik

Keratitis neurotropik adalah penyakit kornea degeneratif yang jarang dan

disebabkan oleh gangguan inervasi nervus trigeminus kornea yang mengakibatkan

terjadinya penurunan atau tidak adanya sensasi kornea.1 Keratitis neurotropik juga

diartikan sebagai keratitis yang terjadi akibat palsi nervus oftalmikus trigeminal.3

3.2 Epidemiologi

Secara epidemiologi, 15% kasus dengan anestesi kornea mengalami

komplikasi serius. Sebanyak 40.000-60.000 ribu kasus infeksi herpes zoster

terjadi tiap tahunnya, 50% melibatkan mata, 16% diantaranya mengalami keratitis

neurotropik. Insiden keratitis neurotropik meningkat sejalan dengan usia.2

3.3 Etiologi

Etiologi tersering yang mengakibatkan terjadinya anestesi pada kornea

adalah infeksi virus (herpes simpleks dan herpes zoster), trauma kimia, trauma

fisik, pembedahan kornea. Space occupying lesion seperti neuroma, meningioma,

dan aneurisma juga dapat menekan nervus trigeminal maupun ganglionnya yang

mengakibatkan gangguan sensasi kornea. Penyakit sistemik seperti diabetes

melitus, multipel sklerosis, dan lepra dapat menurunkan sensasi nervus atau

merusak serat sensorik neuron yang mengakibatkant terjadinya anestesi kornea.

Epitel kornea merupakan target utama yang berubah akibat anestesi kornea, yakni

terjadi distrofi dan menurunnya kemampuan sembuh jika terjadi lesi. Penyakit

dapat progresif hingga membentuk ulkus, kemudian terjadi perforasi.1

9

Page 10: Crs Mata Fix

3.4 Patofisiologi

Kornea merupakan jaringan tubuh yang sangat kaya akan inervasi saraf.

Saraf sensoris kornea berperan dalam mengatur fungsi dan integritas kornea.

Hilangnya inervasi sensoris kornea mengakibatkan penurunan vitalitas,

metabolisme, dan mitosis sel epitel sehingga terjadi degenerasi epitel. Ketebalan

epitel kornea menurun dan terjadi edem intraseluler pada epitel, hilangnya

mikrovili, dan produksi abnormal dari sel lamina basalis. Perubahan pada

konjunctiva yang terjadi berupa perubahan kepadatan sel goblet dan hilangnya

mikroplika permukaan sel.1,3

Kerusakan sensorik neuron pada kornea mengakibatkan peningkatan

neuromediator akibat kerusakan sel epitel kornea yang menghasilkan defek yang

rekuren atau bersifat persisten. Beberapa penelitian telah berfokus pada peran

neuromediator sensorik dalam patofisiologi epitel kornea. Studi-studi telah

menunjukkan menipisnya substansi P (SP) dan asetilkolin (Ach) dalam kornea

tikus setelah kerusakan saraf sensorik. Secara invitro SP, cholecystokinin gen-

related peptide (CGRP), dan Ach menginduksi proliferasi epitel.1

Disfungsi saraf trigeminal karena trauma, pembedahan, tumor,

peradangan, atau penyebab lainnya, dapat mengakibatkan anestesi kornea dengan

hilangnya refleks berkedip, yaitu salah satu mekanisme pertahanan kornea, serta

kurangnya faktor trofik yang penting untuk fungsi epitel. Pada tahap awal keratitis

neurotropik, terdapat infiltrat difus pada epitel yang edema. Selanjutnya hilangnya

epitel (ulkus neurotropik), yang dapat memperluas kornea. Dengan hilangnya

sensasi kornea, pada keratitis yang berat dapat menghasilkan sedikit

10

Page 11: Crs Mata Fix

ketidaknyamanan.6,7,8 Akibat hilangnya sensasi kornea terhadap rangsangan dari

luar, maka mata tidak lagi merasakan dry eye sehingga efek berkedip menurun.5

3.5 Diagnosis

Keratitis neurotropik merupakan keratitis akibat kelainan saraf trigeminus.

Kelainan saraf trigeminus dapat terjadi akibat herpes zoster, tumor fossa posterior

kranium, trauma, tindakan bedah, obat topikal kronis, pemakaian kontak lens yang

salah, peradangan atau keadaan lain sehingga kornea menjadi anestesi. Penyakit

sistemik seperti diabetes melitus atau terapi sistemik (neuroleptik, antipsikotik)

juga dapat menyebabkan gangguan saraf trigeminus.1,6,9

Pasien akan mengeluhkan kemerahan pada mata, tajam penglihatan menurun,

kotoran mata yang semakin banyak, silau, dan tidak nyeri. Mata akan memberikan

gejala jarang berkedip karena hilangnya refleks berkedip. Selain itu, palpebral

dapat edem dan disertai sensasi seperti ada benda asing di mata. Refleks berkedip

merupakan salah satu pertahanan terbaik kornea terhadap degenerasi, ulserasi, dan

infeksi. Refleks berkedip sangat nyata menurun jika keratitis neurotropik bilateral

terjadi.

Pada pemeriksaan oftalmologi didapatkan adanya kekeruhan kornea yang

tidak sensitif disertai kekeringan kornea, injeksi siliar, infiltrat dan vesikel pada

kornea. Selain itu, terlihat terbentuknya deskuamasi epitel seluruh permukaan

kornea yang dimulai pada bagian tengah dan meninggalkan sedikit lapisan epitel

kornea yang sehat di dekat limbus.9

Secara klinis, keratitis neurotropic dibagi menjadi 5 stadium sebagai berikut:

1. keratopati punctate interpalpebra dengan iregularitas epitel.

2. Opasitas dan edema kornea dengan defek kecil.

11

Page 12: Crs Mata Fix

3. Persisten defek pada epitel disertai sedikit penebalan.

4. Perluasan defek epitel disertai infiltrate dan edem stroma, mencairnya

stroma kornea.

5. Perforasi kornea.

Pada keadaan anestesi dan tanpa persarafan, kornea kehilangan daya

pertahanannya terhadap iritasi dari luar, diduga terjadi kemunduran metabolisme

kornea yang memudahkan terjadinya peradangan kornea. Kornea mudah terjadi

infeksi yang akan mengakibatkan terbentuknya ulkus kornea.8 Pada tahap awal

ulkus neurotropik khas, larutan fluorosein akan menghasilkan bintik-bintik

berwarna pada epitel bagian superfisial. Dengan berlanjutnya proses ini, timbul

daerah-daerah berupa bercak terbuka. Kadang-kadang epitelnya hilang dari daerah

yang luas di kornea.6

Pemeriksaan oftalmologi yang akurat harus dilakukan. Uji sensitivitas

kornea dapat dilakukan dengan menyentuh pusat dan perifer kornea dengan ujung

kapas. Alternatif pemeriksaan dengan aesthesiometer Cochet-Bonnet dapat

digunakan untuk melokalisir dan menghitung hilangnya sensitivitas kornea, untuk

melihat respon pasien terhadap sentuhan benang nilon (antara 0 dan 6 cm).

Umumnya, tingkat keparahan dari keratitis neurotropik berhubungan dengan

tingkat keparahan penurunan sensorik kornea. Tingkat berkedip secara nyata

menurun jika terjadi keratitis neurotropik bilateral.1

Tes Schirmer harus dilakukan pada keratitis neurotropik, karena produksi

air mata dapat dipengaruhi oleh tingkat sensitivitas kornea, penurunan sensitivitas

kornea menyebabkan penurunan produksi air mata. Pewarnaan vital dengan

fluorescein, menunjukkan perubahan epitel kornea dan konjungtiva. Pemeriksaan

12

Page 13: Crs Mata Fix

akurat marginal kelopak mata, posisi, dan motilitas penting karena paparan

keratitis dan blepharitis dapat dikaitkan dengan keratitis neurotropik. Pemeriksaan

mikrobiologi juga dapat dilakukan untuk menyingkirkan bakteri, fungi, dan virus

sebagai penyebab terbentuknya ulkus kornea.1

Pemeriksaan funduskopi dapat memberikan informasi tentang etiologi

keratitis neurotropik. Jaringan parut pada stroma kornea dapat mengindikasikan

infeksi sebelumnya. Atrofi iris merupakan tanda infeksi herpes

sebelumnya. Pemeriksaan fundoskopi dilatasi dapat mengungkapkan adanya

retinopati diabetes. Saraf optik pucat atau bengkak karena adanya tumor

intrakranial.9

3.6 Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah progresivitas kerusakan

kornea dan meningkatkan kesembuhan epitel kornea. Tatalaksana dilaksanakan

begitu diagnosis dan stadium klinis ditegakkan. Pada stadium 1 semua terapi

topikal harus dihentikan dan identifikasi efek samping terapi sistemik yang

diberikan sebelumnya seperti neuroleptik, antipsikotik, dan antihistamin.

Penggunaan air mata buatan membantu melindungi permukaan kornea.

Penggunaannya dilakukan 8x1 hari. Tujuan terapi pada stadium ini adalah

meningkatkan kualitas epitel dan tranparansinya serta mencegah kerusakan epitel.

Penyakit lain yang mendasari terjadinya keratitis neurotropik juga harus dilakukan

tatalaksana. Pemberian lubrikans topikal seperti insulin like growth factor-1,

substansi P, dan neurogenic growth factor untuk penyembuhan defek, masih

kontroversial, dan sedang dalam tahap penelitian. Selain itu dapat juga diberikan

tetrasiklin per oral dengan dosis 2x250 mg, atau doksisiklin 1x100 mg pada

13

Page 14: Crs Mata Fix

malam hari, keduanya dapat mengurangi produksi mucus. Penutupan punctum

lakrimal dapat dipertimbangkan. Pada stadium 1 dilakukan follow up pada pasien

secara rawat jalan 3-7 hari sekali. 1,2,3,7

Pada stadium 2, tujuan terapi berupaya untuk mencegah terbentuknya

ulkus kornea, meningkatkan kesembuhan epitel, dan mencegah rekurensi

kerusakan epitel. Penghentian semua obat topikal dilakukan dan diberikan air

mata buatan. Progresivitas penyakit dapat terjadi tanpa menunjukkan gejala yang

signifikan. Kontak lens kornea atau sklera untuk terapeutik dapat digunakan,

tetapi memiliki efek samping infeksi sekunder dan dapat mengakibatkan hipopion

steril. Pada ulkus kornea yang tidak berespon terhadap air mata buatan maupun

kontak lens, tarsoraphy dapat dilakukan. Jika penyembuhan terjadi, tarsoraphy

dapat dibuka setelah beberapa minggu. Jika dibuka sebelum waktunya, maka

dapat mengakibatkan kerusakan epitel yang rekuren. Selain itu, dapat juga

digunakan membrane amnion tranplan untuk menutupi kerusakan pada epitel

kornea atau bahkan dengan injeksi toksin Botulinum A pada palpebra.

Penggunaan tetrasiklin topical dikatakan dapat meningkatkan proses

penyembuhan defek epitel. Jika terjadi peradangan pada bilik mata depan, maka

dapat diberikan siklopegik topical seperti atropine 1% atau skopolamin 0,25% 1x1

hari. Pada stadium 2 dilakukan follow up ketat tiap 1-2 hari sekali hingga tampak

kemajuan terapi, setelah itu follow up dilakukan tiap 3-5 hari sekali.1,2

Steroid topikal dapat digunakan juga sebab prostaglandin menghambat

pertumbuhan epitel, dan penggunaan steroid dapat mengurangi prostaglandin,

terutama pada pasien dengan trauma kimia. Akan tetapi, steroid juga menghambat

penyembuhan stroma, sehingga meningkatkan melting stroma dan perforasi

14

Page 15: Crs Mata Fix

sehingga penggunaannya harus ekstra hati-hati. OAINS (obat antiinflamasi non

steroid) tidak meningkatkan proses penyembuhan, malah dapat mengurangi

sensitivitas kornea.1,2

Pada stadium 3, tujuan terapi untuk meningkatkan kesembuhan kornea dan

mencegah melting dan perforasi. Pasien pada stadium ini harus dirawat inap

sehingga dapat dilakukan follow up yang lebih signifikan. Pemberian air mata

buatan dan penghentian terapi topical lain harus dilakukan juga pada stadium ini.

Jika terjadi melting pada stroma, maka dapat diberikan inhibitor kolagenase

seperti N-asetilsistein, tetrasiklin, atau medroksiprogesteron. Terapi sistemik

doksisiklin dan minoksiklin juga dapat mencegah melting. Suplementasi omega 3

sebanyak 3 tablet per hari membantu stabilisasi tear film. Tarsoraphy dan flap

konjungtiva merupakan prosedur terapi bedah yang meningkatkan kesembuhan

epitel tetapi dapat memberikan efek samping kosmetik yang jelek. Pada defek

yang kecil diberikan salep antibiotik seperti eritromisin atau bacitrasin 4-8x per

hari selama 3-5 hari atau sampai defek sembuh. Pada yang telah menjadi ulkus

dan belum perforasi diberikan salep antibiotik, tetes mata sikloplegik, dan bebat

tekan selama 24 jam. Prosedur ini diulang tiap hari hingga sembuh. Perforasi kecil

diterapi dengan lem sianoakrilat diikuti dengan kontak lens lembut. Defek yang

lebih besar memerlukan keratoplasti lamellar atau penetrasi. Transplantasi

membrane amnion multilapis digunakan untuk mengurangi defek stroma

sebanyak 90%. Lem sianoakrilat dengan kontak lens soft digunakan pada defek

yang kurang dari 2 mm. Kedua metode di atas dilaksanakan pada keratoplasti

lamellar. Keberhasilan transplan kornea rendah sebab kesembuhan luka jelek dan

risiko defek yang persisten akibat anestesi kornea.1,2,7,8

15

Page 16: Crs Mata Fix

Komplikasi yang mungkin terjadi pada keratitis neurotropik adalah perforasi

kornea, keratitis bakteri sekunder, dan penurunan ketajaman penglihatan yang

bersifat permanen akibat jaringan parut pada kornea dan astigmatisme iregular.2

3.7 Prognosis

Prognosis bergantung pada beberapa faktor seperti penyebab gangguan

sensitivitas kornea, derajat hipo atau anestesi kornea, hubungan penyakit mata

superfisial seperti dry eye, keratitis exposure, dan defisiensi limbus. Semakin

parah kerusakan neuron sensorik maka progresivitas penyakit semakin tinggi.

Semakin lama penyakit tersebut diderita serta semakin banyak ocular surface

disease yang terjadi maka prognosis akan semakin buruk. Sehingga perlu

dilakukan monitoring rutin sebab gejala klinis dapat tidak ada tetapi perjalanan

penyakit terus berlanjut. Penggunaan air mata buatan dapat mencegah kerusakan

epitel lebih lanjut.1,2

16

Page 17: Crs Mata Fix

DAFTAR PUSTAKA

1. Bonini S, Rama P, Olzi D, Lambiase A. Neuthropic keratitis. Eye. 2003;

17: 989-95.

2. Medscape [homepage on the Internet]. Washington: Graham RH; c1994-

2012 [updated 2014 Sep 02]. Medscape; [about 2 screens]. Available

from: http://emedicine.medscape.com/article/1194889-overview#a0199

3. Kanski JJ, Bowling B. Clinical ophthalmology: a systematic approach. 7th

ed. Edinburg: Elsevier; 2011;203-4.

4. Groos, E. Cornea. Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins.

2004;94:1189–1196.

5. Lang GK. Opthalmology : a short textbook. New York: Thieme; 2000;35.

6. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s general ophtalmology. 17th

ed. Columbus: Mc Graw Hill; 2007;165.

7. Langston DP. Manual of ocular diagnosis and therapy. 6th ed. Philadelpia:

Lippincott Williams & Wilkins; 2008;205-6.

8. Tasman W, Jaeger EA. The Will eye hospital atlas of opthalmology. 2nd ed.

Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001;198.

9. Jill R, Wells MD, Marc A, Michelson MD. Diagnosing and treating

neurotrophic keratopathy. America: American Academy of

Ophtalmology; 2008;98-9.

17