cetak biru seni pertunjukan

204
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan http://slidepdf.com/reader/full/cetak-biru-seni-pertunjukan 1/204 RENCANA PENGEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN NASIONAL 2015-2019

Upload: republik-solusi

Post on 17-Feb-2018

333 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    1/204

    RENCANA

    PENGEMBANGAN

    SENI

    PERTUNJUKANNASIONAL

    2015-2019

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    2/204

    i:

    RENCANA PENGEMBANGAN SENI

    PERTUNJUKAN NASIONAL 2015-2019

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    3/204

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    4/204

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    5/204

    iv Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

    Helly MinartiYudi Ahmad Tajudin

    Dian Ika Gesuri

    PT. REPUBLIK SOLUSI

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    6/204

    v

    RENCANA PENGEMBANGAN SENI

    PERTUNJUKAN NASIONAL 2015-2019

    Tim Studi dan Kementerian Pariwisata Ekonomi Kreatif:

    Penasihat

    Mari Elka Pangestu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI

    Sapta Nirwandar, Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI

    Pengarah

    Ukus Kuswara, Sekretaris Jenderal Kemenparekraf

    Ahman Sya, Direktur Jenderal Ekonomi Kreatif berbasis Seni dan BudayaCokorda Istri Dewi, Staf Khusus Bidang Program dan Perencanaan

    Penanggung Jawab

    Mumus Muslim, Setditjen Ekonomi Kreatif berbasis Seni dan Budaya

    Juju Masunah, Direktur Pengembangan Seni Pertunjukan dan Industri Musik

    Tim Studi

    Helly Minarti

    Yudi Ahmad ajudin

    Dian Ika Gesuri

    ISBN

    978-602-72387-3-2

    Tim Desain Buku

    RURU Corps (www.rurucorps.com)

    Sari Kusmaranti Subagiyo

    Penerbit

    P. Republik Solusi

    Cetakan Pertama, Maret 2015

    Hak cipta dilindungi undang-undang

    Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara

    apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    7/204

    vi Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

    Abduh Azis

    Aisha Pletscher

    Amna S. Kusumo

    Bambang Subekti

    Bre Redana

    Budi SetiyonoBudi Utomo Prabowo

    Butet Kertaredjasa

    Dewi Noviami

    Edy Utama

    Een Herdiani

    Ery Mefri

    Farah Wardani

    Gianti Giadi

    Idaman Andarmosoko

    IswadiJoned Suryatmoko

    Kunci Cultural Studies

    Kurniawan

    Linda Hoemar Abidin

    Lono Simatupang

    Madia Patra Ismar

    Maria ri SulistyaniMesdin Kornelis Simarmata

    Naomi Srikandi

    Nirwan Dewanto

    Rama Taharani

    Ratna Riantiarno

    Sal Murgiyanto

    Siti ri Joelyartini

    Susi Ivvaty

    Susiyanti

    oto ArtoUbiet Raseuki

    Terima kasih Kepada Narasumber dan Peserta Focus Group Discussion(FGD)

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    8/204

    vii

    Kata Pengantar

    Perbincangan tentang seni pertunjukan di Indonesia, baik dalam percakapan sehari-hari maupun

    tulisan-tulisan di media massa, di satu sisi kerap muncul dalam nada sumbang dan lagu yang

    sedih. Namun di sisi lain, dari tahun ke tahun, di kota-kota besar maupun kecil di Indonesia,

    karya-karya seni pertunjukan (baik yang tradisional maupun kontemporer) terus digelar. Dengan

    dukungan dan fasilitas yang relatif minim, seniman atau kelompok tari, teater, serta musik terus

    saja bermunculan dan melahirkan karya. Beberapa di antara mereka bahkan sanggup berprestasi

    dan berpentas di panggung-pangung internasional.

    Sementara itu, sejak pertengahan tahun 2000-an, istilah dan gagasan industri kreatif mengemuka

    dalam perbincangan teater di Indonesia, terutama seiring dengan maraknya fenomena pertunjukanmusikal di Jakarta pada tahun-tahun tersebut. Pertunjukan-pertunjukan dengan dana produksi

    besar dengan harga tiket yang tak bisa dibilang murah itu ramai diperbincangkan dan dianggap

    sebagai kebangkitan industri kreatif dalam bidang seni pertunjukan di Indonesia. etapi, benarkah?

    Pemerintah Indonesia sendiri sejak sekitar pertengahan tahun 2000-an, di bawah kepemimpinan

    presiden Susilo Bambang Yudhoyono mulai melontarkan gagasan ekonomi kreatif sebagai salah

    satu kerangka ekonomi pembangunan Indonesia. Gagasan yang melihat bahwa praktik kreatif

    sesungguhnya memiliki potensi ekonomi yang cukup signifikan ini pun lalu diadopsi ke dalam

    rencana kerja pemerintahan dengan dibentuknya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif

    pada Desember 2011.

    Satu hal tampak jelas, praktik kreatif dalam bidang seni apapun, memiliki potensi ekonomi yang

    besar dan karenanya dibutuhkan suatu kerangka yang komprehensif untuk mengembangkannya

    menjadi industri kreatif. Pada tahun 1999, di Inggris misalnya, laporan tahunan Departemen

    Kebudayaan, Media dan Olahraga (Department of Culture, Media and Sport-DCMS) menunjukkanperolehan ekonomi industri kreatif di Inggris empat kali lebih besar dari industri agrikultural,

    perikanan dan perhutanan. Sementara di New York, berdasar data dari Te Broadway League,

    pertunjukan-pertunjukan di Broadway pada tahun 2008-2009 menyumbang US$ 9,8 miliar ke

    dalam pemasukan kota. Industri kreatif yang sangat kuat di New York ini bahkan jauh melampaui

    kota lain di Amerika.

    Lalu bagaimana dengan ekonomi kreatif seni pertunjukan di Indonesia?

    Buku ini disusun sebagai suatu upaya memetakan kenyataan dan potensi ekonomi kreatif seni

    pertunjukan di Indonesia. Lebih dari itu, tim penyusun buku ini sejak awal bersepakat untuk

    tak hanya berhenti di sana tetapi juga berusaha membuat semacam cetak biru dan rencana kerja

    pengembangan industri kreatif bidang seni pertunjukan di Indonesia. Sasaran strategis serta

    indikasi capaian yang ditulis di buku ini, disusun berdasarkan watak seni pertunjukan sebagai

    suatu disiplin serta berdasarkan kenyataan, sejarah, potensi serta masalah yang yang ditemukan

    selama penelitian.

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    9/204

    viii Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

    Beberapa kenyataan yang penting disampaikan di sini adalah bahwa industri kreatif bidang

    seni pertunjukan di Indonesia belum terolah dan terbangun dengan sistematis, terkoordinasi,

    transparan serta dapat dipertanggungjawabkan. Infrastruktur kelembagaan dalam bentuk regulasi

    dan sokongan dana yang mendukung seni pertunjukan Indonesia untuk tumbuh dan berkembang

    bisa dibilang masih lemah dan tak terencana dengan baik. Masih ditemukan banyaknya tumpang

    tindih antara lembaga terkait (Kemenparekraf, Kemendikbud, Kemendag) yang menyebabkaninefisiensi serta pelaksanaan program yang tak tepat sasaran. Soal lain yang tak kalah penting

    adalah kurikulum dan sistem pendidikan seni pertunjukan di sekolah-sekolah seni Indonesia yang

    masih lemah dalam bertaut dengan perkembangan seni pertunjukan global dan perkembangan

    masyarakat penontonnya sendiri.

    Kami menyusun Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 Indonesia ini

    berdasarkan kenyataan-kenyataan dan potensi yang ada, dengan harapan rencana aksi yang

    diusulkan untuk mengembangkan industri kreatif seni pertunjukan ini benar-benar memiliki dasar

    yang kokoh dan terukur capaiannya. entu saja masih banyak kelemahan dan ketaksempurnaan

    dalam rancangan yang kami susun ini. Karenanya, kritik dan saran merupakan bagian pentingyang kami harapkan bisa muncul untuk menyempurnakan buku ini.

    erakhir, dalam keterbatasan-keterbatasan yang kami hadapi, tim penyusun buku ini tak

    mungkin bisa merampungkan tugas seluas ini tanpa bantuan dan sumbangan pemikiran dari

    banyak pihak. Karena itu kami mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang besar pada para

    narasumber penelitian dan peserta Focus Group Discussion (FGD) yang kami adakan sepanjangbulan Mei-Juni. anpa informasi, saran serta pengetahuan yang dibagi oleh mereka semua tak

    mungkin kami bisa memetakan masalah, potensi serta menyusun Rencana Pengembangan Seni

    Pertunjukan Nasional 2015-2019 ini.

    Semoga buku ini dapat digunakan oleh pihak-pihak terkait dan bisa ikut menyumbang proses

    pembentukan industri kreatif dalam bidang seni pertunjukan di Indonesia.

    Jakarta, September 2014.

    Salam Kreatif,

    Mari Elka Pangestu

    Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    10/204

    ix

    Daftar Isi

    Kata Pengantar................................................................................................................... vii

    Daftar Isi.............................................................................................................................. ixDaftar Gambar..................................................................................................................... xii

    Daftar Tabel......................................................................................................................... xiii

    Ringkasan Eksekutif........................................................................................................... xiv

    BAB 1 PERKEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN DI INDONESIA....................................... 3

    1.1 Definisi dan Ruang Lingkup Seni Pertunjukan di Indonesia............................................ 4

    1.1.1 Definisi Seni Pertunjukan........................................................................................ 4

    1.1.2 Ruang Lingkup Pengembangan Seni Pertunjukan.................................................... 7

    1.2 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan................................................................... 24

    1.2.1 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan Dunia................................................ 24

    1.2.2 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan Indonesia........................................ 27

    BAB 2 EKOSISTEM DAN RUANG LINGKUP INDUSTRI SENI PERTUNJUKAN

    INDONESIA........................................................................................................................... 35

    2.1 Ekosistem Seni Pertunjukan............................................................................................. 36

    2.1.1 Definisi Ekosistem Seni Pertunjukan....................................................................... 36

    2.1.2 Peta Ekosistem Seni Pertunjukan............................................................................. 36

    2.2 Peta dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan......................................................... 72

    2.2.1 Peta Industri Seni Pertunjukan................................................................................. 72

    2.2.2 Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan............................................................... 76

    2.2.3 Model Bisnis di Industri Seni Pertunjukan............................................................... 78

    BAB 3 KONDISI UMUM SENI PERTUNJUKAN DI INDONESIA........................................... 85

    3.1 Kontribusi Ekonomi Seni Pertunjukan............................................................................ 86

    3.1.1 Berbasis Produk Domestik Bruto (PDB)................................................................. 88

    3.1.2 Berbasis Ketenagakerjaan......................................................................................... 89

    3.1.3 Berbasis Aktivitas Perusahaan.................................................................................. 90

    3.1.4 Berbasis Konsumsi Rumah angga.......................................................................... 91

    3.1.5 Berbasis Nilai Ekspor............................................................................................... 92

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    11/204

    x Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

    3.2 Kebijakan Pengembangan Seni Pertunjukan..................................................................... 94

    3.2.1 Retribusi Daerah...................................................................................................... 94

    3.2.2 Pajak Daerah........................................................................................................... 96

    3.2.3 Pengadaan Barang dan Jasa...................................................................................... 973.2.4 Insentif Pajak Mengenai Pembiayaan Kesenian........................................................ 98

    3.2.5 CSR Korporasi untuk Kegiatan Seni........................................................................ 100

    3.2.6 Kepabeanan............................................................................................................. 101

    3.3 Struktur Pasar Seni Pertunjukan....................................................................................... 103

    3.4 Daya Saing Seni Pertunjukan........................................................................................... 105

    3.5 Potensi dan Permasalahan Pengembangan Seni Pertunjukan.............................................107

    BAB 4 RENCANA PENGEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN INDONESIA...................................115

    4.1 Arahan Strategis Pengembangan Ekonomi Kreatif 2015-2019......................................... 116

    4.2 Visi, Misi, Dan ujuan Pengembangan Seni Pertunjukan................................................. 117

    4.2.1 Visi Pengembangan Seni pertunjukan...................................................................... 119

    4.2.2 Misi Pengembangan Seni pertunjukan..................................................................... 119

    4.2.3 ujuan Pengembangan Seni pertunjukan................................................................. 120

    4.3 Sasaran dan Indikasi Strategis Pencapaian Pengembangan Seni Pertunjukan.................... 121

    4.4 Indikator dan arget Pengembangan Ekonomi Kreatif...................................................... 124

    4.4.1 Arah Kebijakan Peningkatan Sumber Daya Manusia Seni Pertunjukan Yang

    Berdaya (Empowered)............................................................................................. 124

    4.4.2 Arah Kebijakan Perlindungan, Pengembangan Dan Pemanfaatan Sumber Daya

    Budaya Bagi Seni Pertunjukan Secara Berkelanjutan............................................... 124

    4.4.3 Arah Kebijakan Pertumbuhan Industri Seni Pertunjukan Yang Berkualitas............. 125

    4.4.4 Arah Kebijakan Peningkatan Ketersediaan Pembiayaan Bagi Proses Kreasi Dan

    Produksi Seni Pertunjukan Yang ransparan, Akuntabel Dan Mudah Diakses 126

    4.4.5 Arah Kebijakan Perluasan Pasar Di Dalam Dan Luar Negeri Yang Berkualitas DanBerkelanjutan......................................................................................................... 126

    4.4.6 Arah Kebijakan Peningkatan Ketersediaan Sarana Dan Prasarana empat

    Pertunjukan Profesional Dan empat Latihan......................................................... 126

    4.4.7 Arah Kebijakan Peningkatan Kualitas Kelembagaan Yang Kondusif Untuk

    Pengembangan Seni Pertunjukan ........................................................................... 127

    4.5 Strategi dan Rencana Aksi Pengembangan Seni Pertunjukan............................................ 127

    4.5.1 Peningkatan Kuantitas Dan Kualitas Pendidikan Yang Mendukung Penciptaan

    Karya Seni Pertunjukan........................................................................................... 127

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    12/204

    xi

    4.5.2 Peningkatan Kuantitas Dan Kualitas Sumber Daya Manusia Seni

    Pertunjukan............................................................................................................ 128

    4.5.3 Penciptaan Pusat Pengetahuan Dan Infrastruktur Pengetahuan Budaya Seni

    Pertunjukan Yang Dapat Diakses Oleh Publik......................................................... 129

    4.5.4 Penciptaan Kuantitas Dan Kualitas Wirausaha Kreatif Seni Pertunjukan Lokal .......129

    4.5.5 Peningkatan Usaha Kreatif Seni Pertunjukan Lokal Yang Mandiri, Berjejaring, Dan

    Berkualitas .............................................................................................................. 130

    4.5.6 Peningkatan Mutu Karya Seni Pertunjukan ............................................................ 130

    4.5.7 Peningkatan Ketersediaan Pembiayaan Bagi Pengembangan Dan Produksi Seni

    Pertunjukan Yang ransparan, Akuntabel Dan Mudah Diakses ............................. 131

    4.5.8 Perluasan Pasar Seni Pertunjukan Di Dalam Dan Luar Negeri ................................ 131

    4.5.9 Peningkatan Ketersediaan Sarana Dan Prasarana empat Pertunjukan Profesional

    Dan empat Latihan .............................................................................................. 132

    4.5.10 Pengembangan Regulasi Yang Mendukung Penciptaan Iklim Yang Kondusif BagiPengembangan Seni Pertunjukan ........................................................................... 132

    4.5.11 Peningkatan Partisipasi Aktif Pemangku Kepentingan Dalam Pengembangan Seni

    Pertunjukan Secara Berkualitas Dan Berkelanjutan ................................................ 133

    4.5.12 Peningkatan Ketersediaan Ruang-Ruang Publik Untuk Penyelenggaraan Kegiatan

    Seni Pertunjukan .................................................................................................... 133

    4.5.13 Peningkatan Posisi, Kontribusi, Kemandirian, Serta Kepemimpinan Indonesia

    Dalam Fora Internasional Melalui Seni Pertunjukan ............................................... 134

    4.5.14 Peningkatan Apresiasi Kepada Orang Dan Karya Kreatif Seni Pertunjukan............134

    BAB 5 PENUTUP................................................................................................................... 137

    5.1 Kesimpulan...................................................................................................................... 138

    5.2 Saran................................................................................................................................ 140

    LAMPIRAN............................................................................................................................ 143

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    13/204

    xii Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

    Daftar Gambar

    Gambar 1-1Ruang Lingkup dan Fokus Pengembangan Seni Pertunjukan.............................. 23

    Gambar 1-2Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia..................................................... 32

    Gambar 2-1Peta Ekosistem Seni Pertunjukan......................................................................... 38

    Gambar 2-2Bagan Struktur Organisasi Produksi Seni Pertunjukan Berskala Menengah-Besar

    yang Umum Digunakan...................................................................................... 46

    Gambar 2-3Peta Industri Seni Pertunjukan........................................................................... 73

    Gambar 3-1Nilai ambah Seni Pertunjukan......................................................................... 88

    Gambar 3-2Ketenagakerjaan Seni Pertunjukan..................................................................... 89

    Gambar 3-3Jumlah Unit Usaha Seni Pertunjukan................................................................. 90

    Gambar 3-4Jumlah Nilai Konsumsi Rumah angga untuk Seni Pertunjukan........................ 91

    Gambar 3-5Nilai Ekspor Seni Pertunjukan............................................................................ 92

    Gambar 3-6Perbandingan Ekspor-Impor Seni Pertunjukan 2010-2013................................. 93

    Gambar 3-7Nilai Ekspor Seni Pertunjukan Menurut Data UN COMRADE..................... 94

    Gambar 3-8Daya Saing Subsektor Seni Pertunjukan.............................................................. 105

    Gambar 4-1Visi, Misi, ujuan, dan Sasaran Pengembangan Seni Pertunjukan 2015-2019..... 118

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    14/204

    xiii

    Daftar Tabel

    Tabel 3-1 Kontribusi Ekonomi Seni Pertunjukan 2010-2013.................................................. 86

    Tabel 3-2 Potensi dan Permasalahan Seni Pertunjukan............................................................. 107

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    15/204

    xiv Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

    Ringkasan Eksekutif

    Seni pertunjukan adalah salah satu dari 15 subsektor ekonomi kreatif yang diidentifikasi oleh

    Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf ) yang potensial dikembangkan.Buku ini disusun berdasarkan penelitian literatur, statistik serta masukan para pemangku

    kepentingan yang bertemu dalam tiga sesi Focus Group Discussion(FGD) untuk membahas isu-isu penting seputar seni pertunjukan.

    Buku ini pada dasarnya adalah upaya memetakan potensi sektor seni pertunjukan dalam kerangka

    pembangunan nasional yang meski memusatkan perhatian pada ruang lingkup kerja Kemenparekraf

    namun juga mendiskusikan pentingnya koordinasi dengan lembaga-lembaga negara terkait lainnya

    seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdiknas) dan Kementerian Perdagangan

    (Kemendag) termasuk instrumen di bidang perpajakan.

    Karena fokus bahasan utama ada pada ruang lingkup pengembangan ekonomi kreatif, mengukur

    potensi ekonomi sektor seni pertunjukan pun menjadi prioritas dalam buku ini. Upaya ini

    dilakukan pertama-tama dengan memaparkan konteks kesejarahan seni pertunjukan Indonesia

    dari segi etimologis maupun pengalaman-pengalaman kultural yang khas, dengan langsung

    menghadapkannya pada hegemoni wacana global yang berlaku. Misalnya saja, istilah-istilah

    kategorikal seperti tradisi, modern dan kontemporer terlebih dahulu dibedah secara kritis agar

    dapat memahami perbedaan pengertian maupun daerah-daerah irisan antara konteks pengalaman

    berkesenian Indonesia dan mancanegara (terutama perspektif BaratEropa-Amerikayang

    mendominasi). Pasalnya, apa yang dianggap modern oleh Barat belum tentu sama dengan

    pengertian yang dipahami oleh para praktisi kesenian Indonesia, yang memang bertolak dariperspektif kesejarahan yang berbeda.

    Agar memperjelas ura ian, problematika terminologis ini dilengkapi dengan contoh-contoh

    pengalaman lokal. Contoh kasus pengecualian pun juga diselipkan sebagai narasi pelengkap seperti

    bahasan khusus tentang Komedi Stamboel ataupun Srimulat yang dengan unik sesungguhnya

    telah menyodorkan contoh kasus kelompok kesenian yang mencapai parameter ekonomi kreatif

    dalam lokalitasnya yang khas.

    Pemetaan ini pun segera menukik ke dalam identifikasi permasalahan, terutama dari sudut

    kebijakan dan struktural. Salah satu kesimpulan penting adalah praktik seni pertunjukanmeskiberpotensi menjadi salah satu subsektor ekonomi kreatif andalan Indonesia masih jauh dari

    ukuran-ukuran sebuah subsektor ekonomi (yakni sebagai produk yang siap dipasarkan secara

    kompetitif ). Pasalnya, kebijakan nasional yang mendukung perkembangan sektor ini relatif masih

    minimbahkan bisa dibilang tidak adasehingga berdampak pada absennya infrastruktur yang

    menjadi prasyarat minimum diterapkannya parameter-parameter ekonomi kreatif tadi. Hal ini

    tercermin antara lain dari jumlah dan kualitas prasarana seperti gedung-gedung pertunjukan

    milik publik yang tidak dikelola secara profesional, sulitnya bagi para seniman untuk mengakses

    gedung-gedung teater publik ini, ditambah dengan tidak adanya mekanisme dukungan dana yang

    terbuka, transparan dan akuntabel bagi para seniman untuk mencipta dan untuk mementaskan

    karyanya di tempat atau kota lain (touring).

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    16/204

    xv

    Sehingga, tidak heran jika tidak ada mekanisme pasar dalam seni pertunjukan Indonesia dalam

    pengertian yang sesungguhnya, karena pertunjukan seni hiburan yang terhitung paling laris

    sekalipun seperti drama-musikal Laskar Pelangi yang sempat pentas 70 kali dan selalu dipenuhi

    penonton pun masih terhitung merugi. Rata-rata pertunjukan seni lainnya sudah cukup beruntung

    jika bisa mentas 2-4 kali di dua kota berbeda.

    Permasalahan serta ketegangan situasi lokal dan global ini pun dibahas secara detil untuk tiga

    subsektor seni pertunjukan, yaitu tari, teater dan musik panggung (live). Pada keadaannya yangsekarang, seni pertunjukan Indonesia masih jauh dari berskala industrial, karena profesionalisasi

    dalam bidang ini bahkan belum terjadi. Disimpulkan bahwa agar seni pertunjukan Indonesia

    bisa menjadi sebuah subsektor ekonomi kreatif yang kuat, dibutuhkan kebijakan nasional yang

    menyeluruh: mulai dari reformasi di sektor pendidikan (umum maupun sekolah-sekolah seni),

    maksud baik negara (political will) untuk berinvestasi dalam membangun infrastruktur senipertunjukan yang saling terkait, terkoordinasi dengan rapi dan berstrategi, mulai dari peningkatan

    prasarana, kualitas sumber daya manusia sektor pendukungnya (manajemen, akademisi dan kritik

    seni) hingga insentif berupa kebijakan perpajakan yang adil seperti pajak penonton serta pajak bagisektor swasta jika mereka ingin mensponsori kegiatan di bidang seni pertunjukan nonkomersial.

    Dinamika seni pertunjukan lokal ini harus dihidupkan hingga profesionalisasi di bidang ini

    tercapai, sambil jeli mempromosikan produk-produk kesenian yang dianggap potensial untuk

    bersaing di fora internasional yang memang tepat sasaran. Untuk porsi kerja Kementerian atau

    lembaga yang membidangin urusan ekonomi kreatif, pemasaran adalah salah satu sasaran yang

    penting. Untuk itu, selain pemahaman akan produk, mutlak dibutuhkan pengetahuan akan pasar

    (market knowledge) berupa informasi seputar wacana serta praktik seni pertunjukan global yangsarat diwarnai oleh arah kuratorial dan dialektika akademis yang berkembang.

    Yang terakhir adalah perumusan mendetil tentang rancangan (cetak biru) Rencana Pengembangan

    Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 dalam rangka mencapai visi

    seni pertunjukan Indonesia yang mampu secara berkelanjutan memberdayakan seluruh potensidan pengetahuannya untuk membangun kemampuan ekonomi dan berperan dalam peningkatan

    kualitas hidup masyarakat Indonesia.

    Visi pengembangan seni pertunjukan Indonesia mengandung makna sebagai berikut.

    1. Seni pertunjukan Indonesiamencakup seni pertunjukan tradisional dan kontemporer

    Indonesia.2. Seni pertunjukan Indonesia yang mampu secara berkelanjutan memberdayakan

    seluruh potensi dan pengetahuannya untuk membangun kemampuan ekonomi

    yang dimaksud adalah kondisi seni pertunjukan yang mampu mendukung terciptanya

    akumulasi pengetahuan di seluruh sumber daya manusia seni pertunjukan (yang mencakup

    seniman, manajer, produser, desainer, teknisi, kurator, dan kritikus), sehingga tercipta

    profesionalisme dalam mengelola talenta seni pertunjukan yang ada untuk aktif berkarya

    dan mempunyai kapasitas untuk menjadi mandiri secara ekonomi (finansial).

    3. Seni pertunjukan Indonesia yang berperan dalam peningkatan kualitas hidup

    masyarakat Indonesia yangdimaksudkan adalah seni pertunjukan Indonesia yang mampu

    menghadirkan karya-karya berkualitas dan menginspirasi kehidupan bermasyarakat di

    Indonesia.

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    17/204

    xvi Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

    If you fail to plan, you are planning to fail.Benjamin Franklin

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    18/204

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    19/204

    2 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    20/204

    3BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia

    BAB 1

    PerkembanganSeni Pertunjukandi Indonesia

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    21/204

    4 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

    1.1 Definisi dan Ruang Lingkup Seni Pertunjukan di IndonesiaUntuk mengembangkan seni pertunjukan di Indonesia, perlu dipahami posisi seni pertunjukan

    Indonesia jika dilihat dari perspektif ekonomi kreatif sebagai salah satu subsektor yang potensial.

    Pemahaman terhadap seni pertunjukan dalam konteks ekonomi kreatif dapat ditelusuri dari

    sejarah dan parameter-parameter global sebagai sebuah subsektor ekonomi kreatif. Sebagai

    sebuah paradigma yang relatif baru dalam melihat serta mengukur perkembangan kesenian diIndonesia, perbedaan serta kompleksitas yang ditimbulkan dari parameter-parameter global ini

    pun akan dipaparkan, beserta upaya mengadaptasi ukuran-ukuran tersebut ke dalam situasi serta

    kebutuhan Indonesia.

    Pada dasarnya, definisi dan ruang lingkup subsektor seni pertunjukan harus mempertimbangkan

    konteks serta situasi kultural yang khas Indonesia pada tingkat tertentu, sebelum merefleksikannya

    pada parameter-parameter global tadi. entu saja definisi serta ukuran-ukuran global dalam seni

    pertunjukan tetap bisa digunakan untuk melihat dan memetakan praktik seni pertunjukan yang

    berlangsung di Indonesia, tetapi pada saat yang sama kenyataan-kenyataan lain (watak kultural,

    situasi-situasi pascakolonial, dan lain-lain) yang ikut menentukan situasi serta bentuk-bentukseni pertunjukan di Indonesia mesti juga dilihat dan ditimbang. Sehingga, ukuran, gagasan

    serta rencana fasilitasi serta pengembangan seni pertunjukan di Indonesia bisa lebih membumi

    dan relevan.

    Pemetaan yang dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan kontekstual ini penting sebagai

    upaya pertama membentuk ekosistem yang ideal bagi seni pertunjukan Indonesia agar mampu

    beroperasi di dalam ukuran-ukuran ekonomi kreatif yang sesuai dan relevan dengan situasi

    Indonesia. Karena, bahkan gagasan dan kerangka ekonomi kreatif serta industri kreatif itu

    sendiri (yang melatari pemetaan dan penyusunan rencana aksi jangka menengah ini), kita tahu,

    tidak tumbuh dari bumi seni pertunjukan kita.

    Hal ini tak lantas berarti kerangka dan gagasan ekonomi serta industri kreatif tak bisa kita

    gunakan dan aplikasikan di Indonesia karena dalam sejarah seni pertunjukan di Indonesia sendiri,

    (sebagaimana yang terlihat pada sejarah Komedi Stamboel, Ketoprak obong, atau Srimulat), pada

    tingkat tertentu, dengan ukuran-ukuran yang sedikit berbeda, praktik ekonomi serta industri

    kreatif itu telah dan sedang berlangsung. Apa yang kita butuhkan adalah kemampuan untuk bisa

    melihatnya secara dialektis, sehingga niat untuk mengembangkan ekonomi kreatif di Indonesia

    bisa berjalan dengan produktif karena berdasarkan bentuk serta situasi yang ada.

    1.1.1 Definisi Seni PertunjukanDilihat dari sejarah perkembangan etimologisnya, istilah seni pertunjukan sendiri merupakanserapan dari istilah bahasa Inggris performing arts yang berkembang di Eropa pada 1300-an. Kataperform diserap dari bahasa Prancis, parfornir(par dalam bahasa Inggris berarti completely+ fornir dalam bahasa Inggris berarti to provide) yang berarti melakukan, menyelenggarakan,menyelesaikan, ataupun mencapai. Seiring dengan berkembangnya aktivitas teatrikal atau musikal

    pada 1600-an, kata perform kemudian sering dipahami melalui sudut pandang tata bahasaInggris yang artinya mencakup:1

    (1) Online Etymology Dictionary: http://www.etymonline.com

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    22/204

    5BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia

    1. to make(membuat), construct(membangun);produce (memproduksi), bring about(menimbulkan), atau come true(mencapai).

    2. present(kata kerja transitif - memerlukan objek dalam kalimatnya) yaitu mempersembahkan,menyajikan (kepada penonton).

    Ketika istilah tersebut diserap dan diterjemahkan ke dalam pengalaman serta sejarah kebudayaandi Indonesia, maknanya harus beradaptasi dan dilihat dalam konteks-konteks lokal yang spesifik

    secara kultural. Hal ini terkait dengan kenyataan kultural di negeri kepulauan di Indonesia sebagai

    salah satu yang paling beragam di dunia, apalagi ragam tradisi pertunjukan telah menjadi bagian

    dari dinamika perkembangan masing-masing kelompok masyarakat di Indonesia. Selain itu,

    sejarah kebudayaan Indonesia sebagai sebuah negara yang pernah mengalami penjajahan (Portugis,

    Belanda, Inggris, dan Jepang), sebagaimana banyak negara di Asia dan Afrika, menyusun sejarah

    kebudayaan dengan kompleksitas yang berbeda dengan sejarah dan pengalaman kebudayaan di

    Barat, dari mana asal istilah ini berakar.

    Seni pertunjukan di Indonesia, dengan latar belakang di atas, tersusun oleh pertemuan danpersilangan kebudayaan yang relatif lebih rumit ketimbang pengalaman paralel historis di Eropa

    Barat yang relatif lebih linear dan ditandai oleh patahan-patahan (rupture) yang tegas yang menandaiperalihan dari satu masa ke masa lainnya. Untuk mempermudah pengamatan, pembatasan

    dasar kerap disusun mengikuti konfigurasi kesejarahan: pembagian serta pengelompokan seni

    pertunjukan di antara yang modern dan pramodern (atau tradisional). Pemilahan dasar ini

    secara kronologis bisa diterima, karena bentuk-bentuk teater (juga seni pertunjukan) modern

    di sebagian besar negara Asia bisa dibilang baru muncul, sementara teater pramodern memiliki

    asal-usul yang sangat tua dan banyak yang masih berlangsung dalam keberlanjutan yang utuh.2

    Wayang kulit di Jawa engah maupun Indangdi Minangkabau adalah dua dari sekian banyakcontoh pertunjukan pramodern. Kedua pertunjukan ini baru dimulai larut malam (sekitar pukul

    21:00 atau bahkan sesudahnya) dan berlangsung hingga lima-enam jam berikutnya hingga dini

    hari. Kadang mereka bersanding atau bahkan menghadapi tegangan ketika berhadapan dengan

    seni pertunjukan komersial, seperti campur sari di Jawa engah maupun dangdut organ tunggal

    di Sumatera Barat (yang terakhir ini menjadi lebih populer di beberapa wilayah Sumatera Barat

    dan menggantikan ruang yang tadinya diisi oleh kesenian tradisional seperti indang).

    Oleh karena itu, adalah penting mengadaptasi pendekatan etimologis ini ke dalam konteks serta

    situasi kultural Indonesia. Komposer terkenal Rahayu Supanggah yang juga seorang pakar seni

    pertunjukan pernah berujar, Bisa jadi istilah seni tontonan atau seni menonton lebih tepatdigunakan untuk mendeskripsikan pengalaman khas Indonesia, mengingat praktik-praktik unik

    yang masih berlangsung, seperti contoh menonton pertunjukan wayang kulit atau pun Indang

    yang bisa memakan waktu berjam-jam, dan tidak mengenal relasi spasial (hubungan ruang) yang

    seketat pertunjukan Barat. Dalam menonton wayang kulit yang berdurasi panjang, misalnya,

    penonton bisa duduk dengan leluasa dan mengikuti jalannya pertunjukan yang lebih mengalir

    dan alamiah ketimbang penonton di ruang teater modern yang berbentuk prosenium.

    (2) Don Rubin (ed.), The World Encyclopedia of Contemporary Theatre Volume 5(New York: Routledge, 1998), hlm.21.

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    23/204

    6 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

    Dalam mendefinisikan seni pertunjukan, maka pertama-tama harus disadari bahwa kebudayaan-

    termasuk kesenian-tidak pernah berlangsung dalam ruang yang vakum, sehingga ia harus dilihat

    sebagai sebuah dinamika yang terkait dengan kompleksitas perkembangan lingkungan di mana

    seni pertunjukan itu lahir dan tumbuh. Jika dilihat dari sudut pandang seni pertunjukan modern

    di Barat, maka seni pertunjukan dapat diartikan sebagai:

    Kegiatan bernilai seni yang melibatkan para penampil(performers) yang menginterpretasikan suatu materikepada penonton (audiences); baik melalui tutur kata,musik, gerakan, tarian dan bahkan akrobat. Unsurterpenting dari seni pertunjukan adalah terjadinyainteraksi secara langsung (live) antara penampil dan

    penonton, walaupun elemen pendukung seperti filmatau materi rekaman termasuk di dalamnya.

    A Guide to the UK Performing Art s (2006)

    Sejarah pascakolonial dalam seni pertunjukan di Indonesia mencerminkan suatu kompleksitas

    kenyataan yang pada tingkat tertentu berbeda dengan kenyataan seni pertunjukan di Barat, sehingga

    perbandingan seni pertunjukan di Indonesia dengan di Barat pun harus dilakukan dengan kritis.

    Hingga kini, di banyak desa di Indonesia, misalnya, masih banyak ditemukan pertunjukan yang

    terjadi di ruang ritual (religius maupun spiritual), sosial maupun komersial. Kategori-kategori ini(ritual religius atau spiritual, sosial maupun komersial) terjadi dalam geografi kultural yang sama,

    yaitu Indonesia, sehingga tidak jarang yang ritual (religius) disusul oleh yang sosial, bahkan juga

    berimpitan atau bertautan dengan yang bersifat komersial.

    Disesuaikan dengan konteks perkembangan seni pertunjukan yang terjadi di Indonesia dan

    berdasarkan kerangka pemetaan potensi ekonomi, maka seni pertunjukan didefinisikan sebagai:

    Cabang kesenian yang melibatkan perancang,

    pekerja teknis dan penampil (performers), yangmengolah, mewujudkan dan menyampaikan suatugagasan kepada penonton (audiences); baik dalambentuk lisan, musik, tata rupa, ekspresi dan gerakantubuh, atau tarian; yang terjadi secara langsung (live)di dalam ruang dan waktu yang sama, di sini dan kini(hic et nunc).

    Sumber: Focus Group DiscussionSubsektor Seni Pertunjukan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Mei-Juni 2014)

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    24/204

    7BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia

    Dalam definisi seni pertunjukan di atas, terdapat beberapa kata kunci yang merupakan bagian

    yang tidak terpisahkan dalam menjelaskan definisi seni pertunjukan secara lebih mendalam, yaitu:

    1. Gagasanadalah struktur pemikiran yang berasal dari perumusan atau perenungan

    tentang sesuatu yang dapat dituangkan atau memandu pengolahan serta pembentukan

    suatu wujud atau pementasan karya seni pertunjukan;

    2. Perancangadalah pelaku seni yang menggagas dan merancang konsep awal dan kerangkapenciptaan seni pertunjukan;

    3. Penampiladalah pelaku seni yang mewujudkan gagasan pertunjukan dalam bentuk-

    bentuk yang dapat disaksikan (didengar dan ditonton) oleh pemirsa dalam pementasan

    karya seni pertunjukan;

    4. Pekerja teknisadalah pekerja seni yang mewujudkan rancangan pertunjukan yang

    bersifat teknis dalam sebuah produksi seni pertunjukan;

    5. Penontonadalah orang yang secara sadar dan aktif datang menyaksikan suatu karya

    seni pertunjukan;

    6. Langsung (live)adalah keadaan dimana peristiwa pergelaran pertunjukan berlangsungdi dalam ruang dan waktu yang sama di mana penonton dan penampil berada, di sini

    dan kini (hic et nunc).

    1.1.2 Ruang Lingkup Pengembangan Seni PertunjukanBerdasarkan perkembangan serta kategori yang mengikuti garis modernitas dan modernisme

    global, maka seni pertunjukan dapat dibagi menjadi seni pertunjukan tradisional, moderndankontemporer. Kategori atau terminologi ini bukannya tanpa perdebatan, karena, lagi-lagi, istilah-istilah tersebut berasal dari rahim pemikiran serta perkembangan sejarah seni Barat yang tidak

    selalu bisa begitu saja diterjemahkan ke dalam konteks historis Indonesia, terlebih jika hanya

    semata-mata dicangkok seperti yang umumnya menjadi kecenderungan.

    Namun, dalam khazanah wacana global-baik dalam dunia akademisi (kajian) maupun praktik

    (produksi pementasan dan kuratorial)-sedang terjadi fenomena menarik berupa adanya kesadaran

    untuk bersikap kritis terhadap konstelasi pemikiran tradisional-modern-kontemporer yang selama

    abad ke-20 menjadi hegemoni Barat, dengan munculnya penelitian, kajian serta pendekatan serta

    arah kuratorial yang berlawanan.

    Adalah penting untuk ikut mengambil posisi kritis ini bagi seni pertunjukan Indonesia, terutama

    dalam mengaitkan praktik seni pertunjukan dengan kajian yang beredar di dunia global. Seni

    pertunjukan tradisionaldalam konteks Indonesiaseringkali menjadi basis inspirasi bagiperkembangan seni modern serta kontemporer. Sebagai bagian dari budaya yang integral, seni

    tradisi atau tradisional hadir dan mengalir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia

    yang beragam. Ia mewujud dalam berbagai ritual: baik yang bersifat sosial, adat maupun religius

    (upacara-upacara keagamaan).

    Selain hidup dan dilakoni dalam kehidupan sehari-hariyang ditandai oleh transmisi

    (penyampaian) dari satu generasi ke generasi berikutnyaapa yang disebut seni tradisi atau

    tradisional juga mengalami kodifikasi (pembakuan) melalui media (televisi, misalnya) atau

    pun proses belajar-mengajar di institut-institut seni (seperti Institut Seni Indonesia). Seringkali

    tranformasi yang terakhir ini mengubah gaya ungkap seni tradisi yang cenderung diadopsi kedalam konteks-konteks lainnya seperti konteks komersial. Hal ini terjadi misalnya pada seni

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    25/204

    8 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

    tari, sebagai salah satu contoh, ari Piring (Sumatera Barat) mengalami perubahan dari konteks

    aslinya ketika ia dipertontonkan di VRI pada tahun 19701980-an. arian-tarian ini banyak

    yang dipendekkan durasinya untuk kepentingan tayangan televisi atau menjadi komersial untuk

    konsumsi acara-acara pariwisata.

    Dalam konteks Indonesia, istilah modern dan kontemporer dalam seni pertunjukan(teater-tari-musik) bisa dikatakan masih berada dalam tahap diskusi, belum betul-betul

    mewacana (diskursus). Dalam dunia teater, paling tidak sudah menjadi konsensus para

    teoretis dan praktisi teater bahwa apa yang dimaksud sebagai teater modern Indonesia

    merujuk pada teater yang berdasarkan naskah tertulis yang menggunakan bahasa Indonesia.3

    Pengaruh idiom-idiom teater Barat klasik atau modern (Shakespeare, Brecht, ataupun

    Ibsen) maupun anasir-anasir teater lokal (ketoprak, Komedie Stamboel) dalam

    teater modern Indonesia pun dianalisis dan dibedah oleh beberapa pengkajinya.4

    Sedangkan dalam seni tari, istilah modern dan kontemporer masih cenderung tumpang-tindih, dan

    masih dalam proses awal pewacanaan seperti tercermin dari minimnya tulisan-tulisan seputar topik ini.5

    Sementara itu, musik (pertunjukan live, bukan musik rekaman), terbagi dalam tiga kategori,yaitu tradisional, klasik, dan populer. Pada setiap kategori ini terjadi pengembangan bentuk

    yang kontemporer atau merujuk pada eksperimentasi yang melebihi apa yang sudah dilakukan

    sebelumnya (tradisional-kontemporer, klasik-kontemporer, dan populer-kontemporer).

    Dalam konteks pendekatan penulisan buku ini, yaitu seni pertunjukan sebagai salah satu potensi

    sektor ekonomi kreatif, seni pertunjukan pun dibagi ke dalam tiga kategori besar yaitu tari, teater

    dan musik;dengan pemahaman bahwa ketiganya bergerak dalam ruang-ruang tradisional,

    komersial dan eksperimentasi artistik(yang secara variatif dan leluasa dikategorikan ke dalam

    istilah atau genre modern dan kontemporer). iga kategori besar ini tentu cenderung terbatas

    dan membatasi ruang lingkup seni Indonesia yang kaya ekspresi, karena banyak ekspresilokal yangsebetulnya tidak mengenal pemisahan klasifikasi demikian. eater tradisional dari Minangkabau

    (Sumatera Barat), Randai misalnya, adalah perpaduan sastra, musik dan tari (yang berdasar pada

    pencaksilat), meski dalam definisi kajian cenderung direduksi menjadi sekedar bentuk teater.

    Selain ketiga kategori utama (tari, teater dan musik), terdapat pula bentuk ungkap yang lintas

    disiplin (crossover) seperti sastra lisan, wayang (baik wayang orang maupun wayang kulit), sirkus,opera, drama-musikal, pantomim, sulap dan musikalisasi puisi.

    (3) Baca Jakob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992)

    dan Michael H. Bodden, Resistance on the National Stage: Theater and Politics in Late New Order Indonesia(Athens: Ohio

    University Press, 2010).

    (4) Ibid, Soemardjo, 1992; Bodden, 2010. Baca pula Matthew Isaac Cohen, The Komedie Stamboel: Popular Theater in

    Colonial Indonesia 18911903(Ohio: Ohio University Press, 2006).

    (5) Setidaknya ada dua kajian mengenai seni tari di Indonesia oleh akademisi Indonesia, yaitu Sal Murgiyanto, The

    Influence of American Modern Dance on the Contemporary Dance of Indonesia,an M.A research project, University of

    Colorado, 1976; dan Helly Minarti,Modern and Contemporary Dance in Asia: Body, Routes and Discourse, manuskripdisertasi doktoral, London: University of Roehampton, 2014.

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    26/204

    9BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia

    Interlude musikal dari pentas pertunjukan stambul oleh Eendracht Maakt Macht, pada sekitar 1910

    Sumber:Matthew Isaac Cohen, The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia 18911903Ohio: Ohio University

    Press, 2006

    Komedi Stamboel

    omedie tamboeladalah teater campuran (hibrida) pada zaman kolonial yang dengan kompleksmenggabungkan beragam teater, kesusastraan, dan estetika Eropa dan Asia. Sebagai satugenre pertunjukan populer di Indonesia, asal-muasalnya dapat ditelusuri dari pendirian satukelompok teater dengan nama yang sama pada 1891 di Surabaya, dengan aktor keturunanIndo (Euroasia) yang didanai kongsiionghoa. Pada awalnya, Komedie Stamboel seringdideskripsikan sebagai versi Melayu dari teater musikal Eropa. eater ini memberi sumbanganbesar pada perkembangan teater kontemporerseperti keroncong, ketoprak (yang pernahdisebut sebagai stambul Jawa), ludruk, lenong, tooneel, perfilman, sekaligus politik identitasdan representasi.

    Julukan stamboeldiperkirakan berasal dari Istanbul, dan memang, pada awal berdirinya,

    cerita-cerita dari imur engah sepertieribu atu alammenjadi andalan pertunjukanmereka. Hampir 90 persen dari cerita yang dipentaskan pada sepuluh bulan pertama merekamerupakan adaptasi dramatis dari kisaheribu atu alamversi terjemahan Eropa. Suasanadan perabotannyapencahayaan, akting emosional, panggung berkorden, orkestra musikpengiring, pembagian pentas menjadi adegan dan babak, kostum, riasan, plotmirip dengandramaturgi dan teknologi teater Eropa akhir abad ke-19. Pengaruh lain yang tidak kalah pentingadalah teater Parsi atau wayang Parsi, yang berasal dari Bombay (India) dan banyak berkelilingdi Hindia Belanda semenjak 1883 (atau bahkan lebih awal). Pada dasawarsa pertama abadke-20, komedi stambul sudah punya koleksi drama (repertoar) yang sangat beragam, mulaidari roman India, Persia, imur engah, isah eribu atu alam, sastra hingga folklorpopuler Eropa (misalnya lakon Dr. Faust atau Putri Salju). Juga ada kisah seperti Nyai Dasima,

    hingga Perang Lombok 18991900 yang dilarang pentas, dan adaptasi drama Shakespeare.

    Perubahan pesat di Hindia Belanda mengiringi sejarah awal berdirinya stambul. Salurantransportasi dan komunikasi, seperti kereta api, sinema, fonograf, litografi, percetakan, dansebagainya pun bermunculan dan menghubungkan orang-orang dari berbagai pelosok.

    Komedie Stamboel ini merupakan usaha untuk mewujudkan suatu kesenian modern ditengah-tengah kehidupan kesenian tradisional yang sudah ada dan merupakan suatu usahamemasukkan kehidupan kesenian baru ke dalam masyarakat yang telah melakukan, memiliki,dan memelihara kelangsungan hidup kesenian tradisionalnya.

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    27/204

    10 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

    TARI

    Salah satu definisi tari yang umum dikenal adalah ekspresi jiwa manusia yang diubah oleh

    imajinasi dan diberi bentuk melalui media gerak sehingga menjadi bentuk gerak yang simbolis

    dan menjadi ungkapan si pencipta. Definisi ini tidak selalu bisa menjelaskan perkembangan tari

    di wilayah eksperimentasi artistik (modern dan kontemporer) di ranah global, misalnya jika ia

    diterapkan untuk menjelaskan tari garda depan (avant-garde) atau pun apa yang kerap disebutsebagai tari kontemporer konseptual yang berkembang di Eropa Barat (kontinental) dari tahun

    1990 sampai 2000-an, ketika karya koreografi tidak selalu terlihat atau berbentuk tarian dalam

    pengertian konvensional (menari).

    Menurut perkembangannya, maka tari dapat dibagi menjadi beberapa genre yaitu:

    1. Tari tradisiatau tradisionalmerujuk pada tarian yang dipentaskan sebagai bagian

    dari tradisi setempat, dan ini bisa terdiri dari tari ritual atau klasik seperti ari Bedhaya

    Ketawang dari Kesultanan Surakarta, juga tarian rakyat yang bentuknya beragam dan

    umumnya membawa identitas suku bangsa (ari Jathilan dari Jawa engah, ari Piringdi

    dari Sumatra Barat atau ari Zapin dari dari khazanah Melayu).

    2. Tari kreasi baruatau garapan baru didefinisikan pertama kali oleh R.M. Soedarsono

    sebagai komposisi tari yang masih menggunakan idiom-idiom tari tradisi, namun telah

    digarap ulang dengan memasukkan elemen-elemen baru seperti irama paduan gerak

    ataupun kostum. arian massal yang digarap Bagong Kussudiardjo seperti ari Yapong

    bisa menjadi salah satu contoh tari kreasi baru atau bahkan ari Kukupu gubahan jetje

    Soemantri yang digarap pada 1950-an.

    3. Tari modern, sebagai istilah baku dalam kajian tari global, istilah ini awalnya merujuk

    pada eksperimentasi artistik di Barat (Eropa-Amerika) pada awal abad ke-20 ketika tarimasuk ke dalam ruang teater modern, saat ekspresi individualitas menjadi penanda

    utama. okoh-tokoh generasi ini adalah Isadora Duncan (18771927), Ruth St. Denis

    (18791968), Mary Wigman (18861973), dan Martha Graham (18941991). St.

    Denis pernah tur ke Asia imur, antara lain ke Hindia Belanda pada pertengahan

    1920-an, sementara Graham pernah pentas di Jakarta ketika Indonesia telah menjadi

    Republik Indonesia, pada 1955 dan 1974. Pada akhir abad ke-20, wacana yang sangat

    berpusat pada pengalaman historis Eropa-Amerika (uro-merican centric) ini lantasdikoreksi oleh para ahli tari dunia dengan mulai memasukkan tokoh-tokoh tari modern

    nonEropa-Amerika, antara lain atsumi Hijikata dan Kazuo Ohno (dua penari yang

    melahirkan Butoh di Jepang) atau Wu Xiao Bang dan Dai Ai Lan dari iongkok. 6

    Di Indonesia, tarian Sardono W. Kusumo melalui karya-karya awalnya seperti SamgitaPancasona I-IX pada akhir 1960-an, ketika pertanyaan eksistensial tentang apa itu taridan gerak menari muncul, bisa dimaknai sebagai awal munculnya tari modern Indonesia.

    Selain karya-karya Sardono, karya-karya awal koreografer yang berkumpul di aman

    Ismail Marzuki, Jakarta, pada 19681971 juga dapat digolongkan sebagai rintisan tari

    modern Indonesia, seperti karya koreografer Farida Oetoyo (19392014), Hoerijah Adam

    (19361977) maupun Julianti Parani (lahir 1941). Farida dan Julianti mewakili penari atau

    penata tari Indonesia yang berlatar belakang tari balet klasik Barat dan teknik tari modern

    (6) Taryn Benbow-Pfalzgraf (ed.), International Dictionary of Modern Dance(St. James Press, 1998).

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    28/204

    11BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia

    Barat. Sekalipun tari yang mereka pelajari adalah tari Barat, mereka mengadaptasinya

    menjadi apa yang disebut balet Indonesia, yaitu gaya serta sensibilitas balet klasik Barat yang

    diterapkan ke dalam narasi-narasi Nusantara seperti Rama dan Shintaatau Sangkuriang.

    Baik dalam pemakaian sehari-hari dalam media maupun dalam lingkungan akademis,

    di Indonesia, pengertian tari modern masih cenderung melenceng dari alur sejarah

    modernisme global. Seringkali, tari modern dianggap sebagai garapan baru (tari kreasi)atau malah disalahtafsirkan sebagai tari latar (hiburan).

    4. Tari kontemporeradalah kategori yang cenderung ditumpang-tindihkan dengan tari

    modern, namun juga yang secara lentur juga dipahami sebagai garapan tari baru yang

    motivasinya mendasarkan diri pada eksperimentasi artistik.

    Dalam konteks pengalaman Indonesia, inspirasi sebuah karya tari kontemporer bisa

    bersumber dari satu atau lebih teknik tari, mulai dari teknik tari tradisi, tari balet klasik

    (Barat), teknik tari modern Barat, hip hop, dan lain sebagainya. Sebuah komposisi tari

    kontemporer juga bisa mengambil sumber dari idiom-idiom pertunjukan lainnya sepertiteater. Eksperimentasi bisa berpusat pada gerak, komposisi maupun situs (sites) di luarpanggung prosenium atau pun gedung teater lainnya.

    Koreografer yang aktif menggarap tari kontemporer adalah Jecko Siompo (1976-) yang

    memiliki dua kelompok: Jecko Dance (kontemporer) dan Animal Pop (hiburan dan

    anak-anak), Fitri Setyaningsih (1978-) di Yogyakarta serta sekelompok koreografer muda

    berdomisili di Surakarta seperti Danang Pamungkas, Windarti, Bobby Ari Setiawan,

    Agus Mbendol Maryanto dan beberapa nama dari generasi yang lebih muda seperti

    Darlane Litaay (asal Papua berdomisili di Yogyakarta). Kebanyakan dari mereka adalah

    lulusan Institut Seni Indonesia (Yogyakarta, Surakarta, Padang Panjang) maupun InstitutKesenian Jakarta.

    Bintang Hening, karya Fitri Setyaningsih, 2011Foto: Afrizal Malna

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    29/204

    12 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

    Di luar keempat kategori ini, sendratariadalah kategori khas Indonesia yang muncul setelahproduksiBallet Ramayana(1961) atau yang kemudian diberi nama baru sebagai Sendratari Ramayana(1970). Kedua produksi Ramayana yang masih dipentaskan hingga kini adalah proyek nasional

    yang semula dirancang dan didanai pemerintah (dulu didanai Departemen Pos, elekomunikasi

    dan Pariwisata) untuk mendongkrak perolehan pariwisata.

    TEATERIstilah teater diserap dari bahasa Inggris theatre, yang berakar pada bahasa latin theatron(tempat untuk melihat) atau theaomai(yang berarti melihat, menyaksikan atau mengamati).Dengan sejarah etimologis seperti ini, penggunaan istilah teater kerap tidak jelas batas-batasnya,

    atau terlalu luas. Di samping merujuk pada gedung tempat digelarnya pertunjukan atau sinema,

    pengertian kata ini juga mencakup hampir seluruh bentuk seni pertunjukan yang terentang dari

    ritual purba, upacara keagamaan, pertunjukan rakyat (folk theatre), dan jalanan (street theatre),sampai pada bentuk seni pertunjukan yang muncul kemudian (termasuk di dalamnya pantomim

    dan tableaux atau pentas gerak tanpa kata). Kata atau istilah lain yang kerap dipadankan dengan

    istilah ini adalah drama, yang sesungguhnya lebih spesifik mengacu pada bentuk seni pertunjukanyang melibatkan kata-kata (lakon) yang diucapkan aktor di atas panggung. Sebagai kata sifat,

    drama menunjuk pada peristiwa atau keadaan yang bergairah dan emosional. Dalam bahasa

    Indonesia, kata lain yang juga kerap dianggap sepadan adalah sandiwara, yang berasal dari

    bahasa Sansekerta.

    Di samping itu, watak teater sebagai seni pertunjukan yang sejak awal multidisiplin (melibatkan

    banyak disiplin seni seperti seni visual untuk setatau dekorasi, properti, serta kostum; seni musikpada ilustrasi; sastra pada naskah lakon) membuat istilah ini sulit ditentukan batas kategorikalnya,

    terutama ketika disandingkan dengan kategori lain dalam seni pertunjukan (tari dan musik

    pertunjukan). Belum lagi jika kita hendak membicarakan praktik atau bentuk teater eksperimentalatau garda depan (avant-garde), yang kerap secara sengaja melintasi batas disiplin dan mengolahmedium-medium lain (film dan video, misalnya) dalam pertunjukannya. Merujuk pada sejarah

    teater di Indonesia sendiri, pentas-pentas improvisasi Bengkel eater Rendra pada akhir 1960-

    an dan awal 1970-an, yang minim dialog (dikenal sebagai teater mini kata) dan lebih banyak

    menggunakan bahasa tubuh, gerak, bunyi, dan visual, misalnya, sulit dikategorikan sebagai

    pentas drama atau sandiwara.

    Dengan menimbang problem kategorikal itu, untuk kepentingan pemetaan potensi ekonomi

    kreatif dalam buku ini, teater diklasifikasikan menjadi:

    1. Teater tradisi. Pengertian teater tradisi dibatasi pada: 1) bentuk seni pertunjukan tradisiyang sudah berlangsung lamapuluhan atau ratusan tahundan diwariskan dari satu

    generasi ke generasi berikutnya; 2) watak multidisiplin teater tradisi yang cukup dominan,

    tak hanya melibatkan olah gerak dengan iringan musik, tapi juga pengucapan dialog atau

    syair, serta ekspresi dramatik lainnya, baik berdasar pakem, lakon tertulis, atau hanya

    improvisasi; 3) berakar pada serta mengolah idiom budaya dan menggunakan bahasa suku

    bangsa setempat serta menjadi bagian dari proses solidaritas warga; 4) terkait dengan nilai

    serta kepercayaan komunitas masyarakat tempat seni pertunjukan itu hadir dan tumbuh;7

    5) berlangsung di luar ruangan (outdoor) atau di tempat-tempat yang sifatnya sementara(bukan gedung atau bangunan yang dirancang khusus); 6) banyak teater tradisi dari

    (7) Umar Kayam, Seni, Tradisi, Masyarakat(Jakarta: Sinar Harapan, 1981).

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    30/204

    13BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia

    suatu daerah berangkat dari sastra lisan yang berupa pantun, syair, legenda, dongeng, dan

    cerita-cerita rakyat setempat (folklore). Contoh teater tradisi Indonesia: Makyong (Riau),Mamanda (Kalimantan Selatan), Longser (Jawa Barat), Wayang Wong (Jawa engah).

    2. Teater modern. Seperti yang sudah disampaikan di awal bab ini, klasifikasi-klasifikasi

    yang dikenakan pada seni pertunjukan di Indonesia sesungguhnya selalu problematis.Hal ini terkait dengan sejarah serta situasi pasca-kolonial Indonesia yang memiliki sejarah

    dan situasi kebudayaan yang berbeda dari Barat (Eropa) dari mana klasifikasi itu berasal.

    Di Barat misalnya, istilah teater modern terkait erat dengan perubahan besar di Eropa pada

    sekitar abad ke-17, dengan lahirnya apa yang kemudian dikenal sebagai masa pencerahan

    (Enlightenment) atau zaman rasionalitas (Age of Reasonatau Renaissance) yang mengakhirizaman kegelapan (Dark Age) di Eropa. Dalam keterkaitan ini, teater modern di Eropamerupakan bagian dari perubahan masyarakat Eropa yang digerakkan oleh revolusi

    industri yang diawali di Inggris, revolusi demokratis di Prancis, serta arus besar revolusi

    intelektual yang mencoba menegakkan akal (reason) dalam memandang dan mengolah

    kehidupan. Oleh karena itu, realisme dalam teater, sebagaimana dalam novel-novel yangterbit waktu itu, merupakan penanda yang paling kuat atas teater modern, sebagai upaya

    teater memotret dan menampilkan masalah sosial saat itu dalam tatapan yang lebih objektif

    di hadapan penonton yang dibayangkan mencernanya secara objektif (atau rasional pula).

    Sementara pada kasus di Indonesia, teater modern adalah bagian dari produk kultural yang

    dibawa oleh kontak Indonesia dengan Barat pada zaman kolonial. Meskipun demikian,

    sebagai bagian dari kegairahan untuk menjadi Indonesia modern, prinsip dan bentuk

    teater modern (realisme) itu lalu dipelajari, ditiru, dan diadopsi di Indonesia sejak awal

    abad ke-19. Secara akademis, setelah masa kemerdekaan, pada 1950-an, banyak berdiri

    sekolah seni semacam Akademi eater Nasional Indonesia-ANI (Jakarta) dan AkademiSeni Drama dan Film Indonesia-ASDRAFI (Yogyakarta) yang mengajarkan teater modern

    bergaya realis pada anak didiknya, yang kemudian meneruskan dan menurunkan paham

    serta gaya teater realis ini sampai sekarang (yang juga dikembangkan di jurusan-jurusan

    teater Institut Seni Indonesia di banyak kota di Indonesia).

    Oleh karena itu, untuk memudahkan, pengertian teater modern dalam buku ini mengikuti

    garis sejarah tersebut. Sementara untuk praktik dan bentuk teater nonrealis diklasifikasikan

    dalam kategori teater eksperimental atau garda depan atau garda depan baru, yang akan

    dibahas kemudian.

    Batas-batas teater modern dalam buku ini melingkupi: 1) berdasarkan naskah lakon

    (baik terjemahan maupun orisinal); 2) melisankan naskah dengan iringan musik yang

    terbatas; 3) kebanyakan berlangsung di panggung prosenium yang memisahkan dan

    menghadapkan penonton dengan pemain secara frontal; serta 4) mengutamakan akting

    realistik, meskipun ditempatkan dalam konteks dan situasi-situasi nonrealis. Contoh

    teater modern dalam batas klasifikasi ini, misalnya pertunjukan-pertunjukan oleh eater

    Populer dengan sutradara eguh Karya (1937-2001), Studiklub eater Bandung (SB)

    dengan sutradara Suyatna Anirun (1936-2002), eater Lembaga (Insitut Kesenian Jakarta),

    eater Koma dengan sutradara Nano Riantiarno (1949-), kelompok Mainteater (Bandung)

    dengan sutradara Wawan Sofwan (1965-), eater Satu-Lampung dengan sutradara IswadiPratama (1971-), eater Gardanalla dengan sutradara Joned Suryatmoko (1976-).

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    31/204

    14 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

    3. Teater Transisi. eater transisi adalah teater yang jejak tradisinya masih terasa namun

    sudah menggunakan elemen-elemen atau praktik-praktik modern, seperti pada bentuk

    panggung (prosenium, dalam ruang), tema yang digarap (mulai mengangkat tema yang

    dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat), maupun pengelolaan organisasinya.

    Contoh teater transisi di Indonesia di antaranya: Srimulat (Surabaya dan Jakarta), Kelompok

    Sandiwara Sunda Miss jitjih (Jakarta), Wayang Orang Bharata ( Jakarta), Pusat LatihanOpera Batak (Siantar), Ketoprak (Jawa engah), Ludruk (Jawa imur), Lenong (Jakarta)

    dan Drama Gong (Bali).

    4. Teater Eksperimental, atau Garda Depan(avant-garde). Sesungguhnya, dalam kontekssejarah teater di Eropa, teater eksperimental, atau teater garda depan juga merupakan

    bagian dari gerakan modernisme, terutama dalam konteks penolakan atas yang lama

    (yang kerap ditafsir sebagai konvensi, pakem atau tradisionalisme) dan keinginan untuk

    menemukan bahasa dan idiom ungkap teater yang baru. Pencarian atas wilayah estetika

    yang belum dirambah inilah yang menjadi dasar dari istilah avant-gardeyang dipopulerkan

    pertama kali oleh seorang anarkis Rusia, Michael Bakunin pada 1878.

    Dalam konteks di Indonesia, dengan kompleksitas sejarah yang berbeda, arus lain dari

    modernisme (yang kebanyakan justru menyangkal realisme ini), ditempatkan dalam

    klasifikasi yang terpisah dengan teater modern, seturut pemahaman yang berlangsung

    pada publik teater di Indonesia yang lebih mengasosiasikan teater modern dengan gaya

    teater realis, atau realistik.8

    Bentuk pertunjukan teater eksperimental atau teater garda depan tak dapat digeneralisasi

    karena semangat eksperimentasi yang ada membuat setiap pertunjukan akan memiliki gaya

    atau percampuran gaya yang bisa berbeda dengan tajam. Klasifikasi ini dimungkinkansejauh kita menempatkan amatan pada semangat eksperimentasi tersebut dan upaya

    untuk mencari bahasa-bahasa baru dalam ekspresi mereka. Semangat dan upaya yang

    kerap mendorong praktik penciptaan teater garda depan melintasi banyak disiplin dan

    menggunakan beragam medium dalam pertunjukan mereka.

    Contoh teater eksperimental atau teater garda depan dalam sejarah teater di Indonesia,

    misalnya: nomor-nomor improvisasi (mini kata) Bengkel eater arahan Rendra, karya-

    karya pertunjukan eater Mandiri arahan Putu Wijaya, atau yang muncul kemudian

    pada 1980 dan 1990-an: eater SAE dengan sutradara Budi S. Otong dan eater

    Kubur dengan sutradara Dindon (keduanya dari Jakarta); eater Payung Hitam dengansutradara Rahman Sabur, eater Republik dengan sutradara Benny Johanes (Bandung);

    dan eater Kita dengan sutradara Asia Ramli Prapanca (Makassar). Sementara beberapa

    nomor pertunjukan eater Garasi dengan sutradara Yudi Ahmad ajuddin dan Gunawan

    Maryanto, seperti trilogi pentas teater visual Waktu Batu, teater-tariJe.ja.l.an , RepertoarHujandan Tubuh Ketigajuga dapat dimasukkan dalam klasifikasi ini. Begitu pun nomorpertunjukan eater Satu-Lampung, Nostalgia Sebuah Kota,Ayahku Stroke tapi NggakMatioleh eater Gardanalla, untuk menyebut beberapa bentuk dan praktik teater gardadepan pada era 2000-an.

    (8) Untuk pembacaan awal mengenai teater garda depan di Eropa, lihat: Christopher Innes,Avant Garde Theatre18921992(London: Routledge, 1993).

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    32/204

    15BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia

    Catatan yang penting diungkapkan dalam konteks buku ini merujuk pada sejarah teater di Barat.

    Eksperimentasi yang dilakukan teater-teater garda depan, pada gilirannya, menginspirasi serta

    menyegarkan bentuk pertunjukan-pertunjukan teater komersial (profesional) dan memulihkan

    antusiasme penonton. Contoh paling representatif atas hal ini adalah dengan ditunjuknya Julie

    aymor (sutradara teater garda depan Amerika) oleh produser Broadway untuk menyutradarai

    pentas musikal Lion King, yang kemudian menjadi sukses besar dan ikut memulihkan antusiasmepenonton Broadway (salah satu dari empat pentas terlama dan pentas dengan pemasukan terbesar

    sepanjang masa di Broadway). Dalam skala yang berbeda, eksperimentasi-eksperimentasi antar-budaya yang dilakukan Peter Brook di tahun 1960-an, turut menyegarkan pertunjukan-pertunjukan

    di Te Royal Shakespeare Company London, serta memulihkan antusiasme penonton untuk

    menyaksikan gelaran karya-karya maestro Shakespeare.

    Je.ja.l.an (The Streets).Produksi Teater Garasi. Sutradara:Yudi Ahmad Tajudin. Yogyakarta, Jakarta,

    Shizuoka dan Osaka (2008-2010).Foto: Mohamad Amin

    Julie Taymor, sutradara The Circle of Life - Disneys The Lion King .

    Foto:Joan Marcus

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    33/204

    16 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

    Di sisi lain, berdasarkan tujuan penciptaan serta watak pengelolaan kelompok karya, teater dapat

    dibagi menjadi:

    1. Teater Amatir. Di banyak kota di Indonesia, teater atau drama sesungguhnya menyebar

    hampir merata, baik di kota maupun di perdesaan. Biasanya, setiap penyelenggaraan

    acara hari besar kerap diisi dengan pentas-pentas drama, baik oleh kelompok spontan dan

    temporer maupun oleh kelompok yang relatif lebih permanen. Akan tetapi praktik teatermereka tak dijalani dengan disiplin yang seriuslebih bersifat hobi dan ekspresi diri.

    Watak pengelolaan pertunjukan maupun kelompok seperti ini juga bisa disebut amatir

    (tidak dengan pengetahuan serta disiplin manajemen yang kuat). Kelompok-kelompok

    teater pelajar sekolah menengah juga bisa dimasukkan dalam kategori ini.

    2. Teater Nonkomersil atau Teater Ketigaatau teater sebagai aktivisme kultural. Sedikit

    lebih jauh dari teater amatir adalah praktik teater yang dilakukan dengan dasar pembacaan

    atau refleksi atas kenyataan dan masalah yang lebih luas dari si seniman: kenyataan dan

    problem masyarakatnya. Sebagaimana pekerja sosial di organisasi nonpemerintah, atauilmuwan dan peneliti sosial di kampus maupun di ruang dan media publik, praktik

    berkesenian kerap dilandasi oleh keinginan untuk menyampaikan (atau membela) masalah

    yang ada di masyarakat.

    Penciptaan dan pertunjukan teater semacam ini bisa kita lihat sebagai aktivisme kultural.

    Di samping hiburan, penonton juga diajak untuk memikirkan persoalan-persoalan di

    masyarakat yang menjadi pijakan berkarya. Praktik teater rakyat (popular theatre) untukpemberdayaan masyarakat, yang terinspirasi dari gagasan dan pendekatanpopular theatreAugusto Boal dan mulai berkembang di Indonesia pada 1970-an, termasuk dalam kategori

    ini. Sementara itu, istilah teater ketiga merujuk pada istilah yang dipopulerkan olehpemikir dan sutradara teater dari Italia, Eugenio Barba, yang menunjuk pada praktik

    dan pengelolaan teater yang memiliki disiplin (serta pengetahuan) sebagaimana teater

    profesional tetapi tidak bekerja di dalam lingkungan dan ukuran teater komersial.9

    Jika dilihat dari dua batasan di atas, maka sebagian besar kelompok teater yang karya-

    karyanya banyak diperbincangkan dalam sejarah teater di Indonesia masuk dalam kategori

    ini. Untuk menyebut beberapa, kelompok-kelompok teater yang termasuk dalam kategori

    eater Ketiga ini adalah Bengkel eater (W.S.Rendra), eater Kecil (Arifin C. Noer), juga

    teater-teater yang masih aktif sampai sekarang seperti eater Satu (Lampung), Laboratorium

    eater Sahid (Jakarta), eater Garasi atau Garasi Performance Institute (Yogyakarta),eater Gardanalla (Yogyakarta), Papermoon Puppet Teatre (Yogyakarta), Mainteater

    Bandung, eater Sakata (Padang Panjang), dan eater Kala (Makassar).

    3. Teater Komersialadalah praktik teater yang diciptakan dan dipentaskan dengan tujuan

    serta niatan komersial (profit-oriented), dengan standar profesionalisme dalam ukuranrelatif berdasarkan konteks masing-masing. Memasuki milenia baru, kelompok Eksotika

    Karmawibhangga Indonesia (EKI) mulai memproduksi drama-musikal, dengan penampil

    para penari yang mereka didik sendiri sejak akhir 1990-an, maupun bintang tamu dari dunia

    hiburan, mulai dari almarhum Indra Safera hingga Sarah Sechan dan selebritis lainnya.

    (9) Lihat: Ian Watson, Towards a Third Theatre: Eugenio Barba and Odin Teatret(London: Routledge, 1995).

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    34/204

    17BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia

    Pementasan Jakarta Love Riot, Juli 2010 (E.K.I Dance Company)

    EKI DANCE COMPANY

    EKI (Eksotika Karmawibhangga Indonesia) mewakili model seni pertunjukan yang menarikkarena berawal dari komunitas religius yang kebetulan dipimpin oleh seorang pandita modernyang peduli pada kesenian, khususnya seni tari. Menjadi pemimpin sebuah komunitas religius,

    pasangan Rusdi Rukmarata (koreografer) dan Aiko Senosoenoto kerap didatangi para remajabermasalah yang kemudian mereka tampung dalam sebuah asrama; bahkan mereka punmenanggung kebutuhan makan serta pengeluaran sehari-hari dari para remaja itu. Merekalantas diberi beragam pelatihan teknik tari serta pengetahuan tentang seni budaya oleh parapakar yang sengaja diundang untuk mengajar. EKI mulai dari produksi-produksi kecil, awalnyaberusaha mendalami tari kontemporer sebelum akhirnya mulai menjelajah ke drama musikal.EKI juga sempat membentuk semacam biro manajemen seni yang berperan sebagai manajerbeberapa seniman seperti almarhum dalang Slamet Gundono dan penari atau koreograferMugiyono pada akhir 1990-an.

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    35/204

    18 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

    Pada pertengahan 2000-an di Jakarta, genre drama musikal ini pun menjadi booming denganmobilisasi dana produksi dan penonton yang besar, di antaranya seperti pertunjukan Laskar Pelangiyang disutradarai Riri Reza dan diproduksi oleh Mira Lesmana dan oto Arto atau Onropyangdisutradarai Joko Anwar dengan produser Afi Shamara. Pertunjukan musikal ini dapat dibilang

    merupakan varian baru dari teater komersial yang muncul berdasarkan aspirasi dan kebutuhan

    kelas menengah baru di Jakarta. Praktik teater komersial sendiri sesungguhnya bisa dirujuk jauhdalam sejarah teater di Indonesia pada maraknya pentas-pentas kelompok Komedi Stamboel

    di kota-kota di Jawa dan kepulauan Melayu (sampai Malaka), pada kisaran awal abad ke-19.10

    Praktik dan pengelolaan kelompok semacam itu menurun pada eater Dardanella, yang bahkanpernah pentas keliling sampai Amerika Utara pada 19301940-an; juga pada teater hiburan

    keliling yang muncul kemudian seperti Ketoprak obong di Jawa engah dan Jawa imur,

    yang juga menjadi inspirasi kelompok Srimulat yang pernah sangat terkenal pada 1980-an, lalu

    dihidupkan kembali oleh anggotanya melalui medium televisi pada pertengahan 1990-an, yang

    masih bisa dilihat jejaknya sampai sekarang.Karena tujuan dan aspirasinya komersial, maka watak

    pertunjukan-pertunjukan semacam ini menekankan pada sisi hiburan yang segera (immediate).Oleh karena tujuan dan aspirasinya komersial, maka watak pertunjukan-pertunjukan semacam

    ini menekankan pada sisi hiburan yang segera (immediate). Unsur musik (dan lagu) populer sertapertunjukan kerupaan (spektakel) mendapat porsi yang besar di panggung-panggung komersial.

    (10) Op. cit. Cohen, 2006.

    Musikal Laskar Pelangi, 2010-2011

    Sumber: Musikal Laskar Pelangi

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    36/204

    19BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia

    Finding Srimulat (Charles Gozali, 2013),film yang terinspirasi oleh eksistensi Srimulat sebagai

    bagian dari budaya bangsa Indonesia,

    SRIMULAT

    Srimulat, grup atau kelompok lawak yang didirikan oleh eguh Slamet Rahardjo di Solopada 1950 ini, terus berkibar di tengah pentas seni pertunjukan lawak selama 60 tahun lebih.Sepanjang sejarah berdirinya kelompok lawak Indonesia, Srimulat merupakan kelompokyang memiliki paling banyak anggota dan mencetak pelawak-pelawak andal seperti Asmuni,imbul, Gepeng, Bambang Gentolet, Basuki, arzan, Polo, Nunung, Mamiek, dan Gogon.

    Srimulat mencapai puncak kejayaannya pada 19701989. Pada masa puncaknya, kelompokhumor ini mampu menyedot penonton hingga memenuhi kapasitas 800 penonton di aman

    Hiburan Rakyat Surabaya. Bahkan mereka pun mampu membukafranchisepanggung yangjuga laris di Jakarta dan Solo dengan menampilkan 300 lebih pelawak dan penghibur.

    Selama memimpin Srimulat, eguh menggunakan corak kepemimpinan karismatik.Pengaruhnya bersifat personal dan mendapat pengakuan luas dari pengikutnya. Hal initerjadi karena Srimulat dikelola secara kekeluargaan dan berbasis komunal. Anggota yangumumnya berpendidikan rendah juga turut berperan membuat kepemimpinan Srimulatbersifat paternalistik. Seluruh mekanisme ide lawakan, manajemen keuangan, penyusunancerita, hingga keputusan untuk mengembangkan usaha, ada di tangan eguh sebagai pendiri.

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    37/204

    20 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

    Pola kepemimpinan seperti inilah yang kemudian menimbulkan berbagai persoalan di dalamSrimulat. Kepemimpinan paternalisitik tidak bisa dijadikan landasan untuk memecahkanmasalah secara rasional-modern: tidak adanya pembagian kekuasaan, otoritas terpusat padasatu orang, tidak adanya sistem penghargaan yang jelas, persoalan suksesi, dan munculnyahegemoni di pelawak senior. Faktor-faktor tersebut menjadi sebab utama bubarnya Srimulat

    pada 1989.

    Dua tahun sebelum dibubarkan, serial Srimulat di VRI sempat dihentikan. Lama berselang,kerinduan para personel untuk berkumpul kembali memuncak. Pada 1995, Gogon mengusulkanreuni Srimulat. Pelaksanaan reuni Srimulat terbilang sukses dan tetap menyedot banyakpenonton. Stasiun Indosiar pun meminangnya dan Srimulat tampil kembali di layar perakpada 19952003. Pada 2004, Srimulat kembali vakum. Baru pada 2006, Srimulat kembalimendapat tawaran manggung di Indosiar untuk 36 episode.

    Kemunculan Srimulat di Indosiar, mau tak mau, membuatnya bersentuhan langsung dengan

    dunia bisnis. Masuknya manajemen bisnis ke dalam Srimulat bukan saja diperlukan untukmenjual jasa, tetapi juga membuat Srimulat sebagai suatu companyyang mempunyai visi dankemahiran wirausaha; bahwa Srimulat harus mampu bersikap proaktif dalam mengelolasumber daya manusia, keuangan, dan pemasaran secara lebih profesional.

    Sumber : Dirangkum dari berbagai sumber

    MUSIK

    Dalam konteks penulisan buku ini, seni pertunjukan musik merujuk pada bentuk penyajianmusik secara langsung (live) di hadapan penonton (audiences). Seni pertunjukan musik dapatdibagi ke dalam tiga jenis, yaitu:

    1. Pertunjukan musik populer merujuk pada pertunjukan musik yang memiliki daya tarik

    yang luas dan didistribusikan secara luas kepada masyarakat, yang terdiri dari sejumlah

    genre termasuk musik pop, rock,jazz, soul, R&B, reggae, dan sebagainya. Pertunjukanmusik populer terkait erat dengan aktivitas rekaman musik, yaitu sebagai aktivitas

    pendukung (promosi penjualan lagu) dari musisi yang bersangkutan.

    Adapun pertunjukan musik populer yang merupakan fokus pengembangan seni pertunjukan

    musik dalam kerangka ekonomi kreatif adalah pertunjukan musik populer kontemporer,

    yaitu musik dengan genre populer (seperti rock, jazz, soul) yang mempunyai tingkateksperimentasi tinggi dan digunakan sebagai medium penyampaian gagasan penciptaan

    senimannya (komponisnya). Musik populer kontemporer tidak selalu dapat diterima oleh

    masyarakat luas dan didistribusikan secara luas pula, oleh karena itu, dalam penciptaan

    dan penyajian karyanya, pertunjukan musik populer kontemporer tidak selalu berkaitan

    dengan rekaman musik (industri musik). Dengan demikian, konser atau pertunjukan

    musik ditempatkan sebagai aktivitas utama dalam berkesenian, bukan pendukung seperti

    halnya yang terjadi dalam pertunjukan musik populer.

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    38/204

    21BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia

    Karya-karya yang ditampilkan oleh Duo Ubiet & Tohpati pada pertunjukan Eclectic Jazz Session untuk

    memperingati 100 tahun kelahiran komponis legendaris Ismail Marzuki pada tanggal 21 Juni 2014 di Teater

    Salihara adalah contoh pertunjukan musik jazz yang dipadukan dengan nyanyian eklektik. Musik yang dihasilkan

    merupakan musik kontemporer karena keduanya menggali berbagai spektrum musikal yang luas dalam ritme,

    metrum, melodi, harmoni, maupun tekstur, dan warna bunyi.

    Foto: Komunitas Salihara.

    2. Pertunjukan musik yang berakar pada kebudayaan lokal:

    Pertunjukan musik tradisional- musik yang diwariskan secara turun-temurun

    dan berkelanjutan pada masyarakat suatu daerah, dan mempunyai ciri khas masing-

    masing baik dari alat, gaya dan bahasa yang digunakan. Contoh: Gondang (Batak),

    Gambus dan Orkes Melayu (Riau), Gambang Kromong (Betawi), Angklung (Sunda),

    Gamelan (Jawa dan Bali).

    Pertunjukan musik dunia (world music) - kategori ini secara umum merujuk pada

    sebuah genre yang pada dasarnya merupakan perpaduan (fusion) antara musik-musik

    yang mengambil sumber dari lokalitas tertentu (non-Barat) tertentu dengan genremusik lainnya.

    3. Pertunjukan musik klasik Barat,yang dapat dibagi menjadi:

    Orkestra, adalah sekelompok musisi yang memainkan alat musik Klasik bersama,

    seperti alat musik gesek (strings), alat musik tiup (woodwind & brass), dan alat perkusi.Selain tiga kategori tersebut, piano dan gitar juga terkadang dapat dijumpai dalam

    orkestra. Orkestra yang besar kadang-kadang disebut sebagai orkestra simponi.

    Orkestra simponi memiliki sekitar 100 pemain, sementara orkestra yang kecil hanya

    memiliki 30 atau 40 pemain. Contoh kelompok orkestra Indonesia misalnya Jakarta

    Concert Orchestra, wilite Orchestra, dan Yayasan Musik Jakarta.

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    39/204

    22 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

    Musik kamar (chamber music), adalah musik klasik yang dimainkan oleh sekelompok

    musisi berjumlah kecil (biasanya empat orang) dan dipentaskan di ruangan berskala

    kecil.

    Paduan suara

    Seriosa

    Berdasarkan gubahan bentuk, maka seni pertunjukan musik dapat dikelompokkan ke dalam:

    1. Pertunjukan musik kontemporer atau eksperimen. Pengembangan bentuk yang

    kontemporer berlaku pada setiap genre di atas, artinya merujuk pada eksperimentasi

    yang melebihi apa yang sudah dilakukan sebelumnya (disemangati oleh pencarian

    kemungkinan baru), menekankan sifat anti pada kaidah-kaidah kompositoris, bahkan

    anti pada bentuk-bentuk penyajian musikal yang baku dan mapan. Dari sudut pandang

    kreativitas, musik kontemporer dimengerti sebagai musik baru yang dibuat dengan kaidah

    dan suasana yang baru, berkembang dari gagasan yang menempatkan proses eksplorasi

    bunyi sebagai yang utama dan medium ekspresi yang tak terbatas agar dapat mewadahi

    gagasan penciptanyayang pada akhirnya lepas dari konsep musik yang enak didengar saja.

    Gubahan bentuk musik kontemporer dapat dilakukan di semua genre. Komponis kontemporer

    Indonesia seperti Amir Pasaribu, Dua Srikandi piano (risutji Kamal dan Marusya

    Nainggolan Abdullah) menggarap musik kontemporer dalam idiom tradisi Barat, yaitu

    materi garapannya dapat berupa musik tradisional, namun teknik garapannya memakai

    prinsip-prinsip musik barat, misalnya nuansa gending gamelan Jawa yang ditranskripsikan

    ke dalam piano. Lain halnya dengan A.W. Sutrisna, Rahayu Supanggah, Wayan Sadra,

    Dody Satya Ekagustdiman, dan Peni Candra Rini yang menggarap musik kontemporer

    yang bersumber dari unsur tradisional, misalnya, memetik kecapi dengan gesekan kuku

    jari, atau mengubah fungsi degung sebagai instrumen solo padahal seharusnya dimainkandalam sebuah ensemblebersama. Sedangkan Slamet Abdul Sjukur, Sapto Rahardjo, BenPasaribu, ony Prabowo, dan Otto Sidharta menggarap musik kontemporer dengan

    mencampurkan budaya Indonesia dan budaya Barat. ony Prabowo misalnya, dikenal

    akan kemahirannya dalam melakukan eksplorasi teknik permainan yang tidak biasa

    pada alat-alat akustik untuk menciptakan tuntutan karakter suara yang dibutuhkan,

    yang tidak hanya mengubah karakteristik bunyi, tetapi juga mempengaruhi spektrum

    harmoni warna musik. Begitu pula dengan karya Slamet Abdul Sjukur, berjudul TetabuhanSungut, yang sesungguhnya adalah karya canon vocal, namun strukturnya menggunakanteknik garapan gending.

    2. Pertunjukan musik nonkontemporer atau noneksperimen. Musik nonkontemporer

    atau noneksperimen merujuk pada gubahan musik yang bentuknya relatif tidak berubah

    dari zaman ke zaman dan tidak terjadi eksplorasi dalam teknik permainan maupun bunyi

    diluar dari apa yang lazimnya dilakukan.

    Elaborasi mengenai pembagian seni pertunjukan di atas mencakup semua jenis seni pertunjukan

    baik dari genre, maupun tujuan penciptaan. Namun demikian, tidak semua jenis seni pertunjukantersebut dapat dikembangkan dalam kerangka ekonomi kreatif karena selain potensi nilai sosial

    dan budaya, potensi nilai ekonomi yang diberikan oleh seni pertunjukan tersebut, baik langsung

    (direct economic benefit) maupun tidak langsung (indirect economic benefit) adalah salah satu faktorutama yang harus dipertimbangkan.

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    40/204

    23BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia

    Oleh karena itu, pengembangan ekonomi kreatif subsektor seni pertunjukan membatasi ruang

    lingkupnya pada jenis-jenis pertunjukan:

    taritradisional, kreasi baru, modern, kontemporer;

    teatertradisional, modern, transisi, kontemporer-eksperimental (avant-garde), komersial,nonkomersial;

    musikpopuler-kontemporer (eksperimentasi); tradisional, world music, klasik Barat(kontemporer dan nonkontemporer);

    lintas disiplincontoh: wayang, sendratari, sastra lisan, musikalisasi puisi.

    Seni pertunjukan yang dimaksud dalam kerangka ekonomi kreatif adalah yang disajikan sebagai

    produk seni yang dipentaskan untuk dinikmati atau dikonsumsi sebagai produk seni, bukan sebagai

    jasa seni. Seni pertunjukan sebagai jasa dapat dilihat pada seni pertunjukan sebagai pengisi acara

    nonseni budaya, pengisi acara V, wedding singer, maupun home band. idak termasuk dalamruang lingkup pengembangan ekonomi kreatif adalah jens sen pertunjukan yang dlakukan

    sebaga bagan dar proses rtual sosal, adat, maupun relgus.

    Gambar 1 - 1 Ruang Lingkup dan Fokus Pengembangan Seni Pertunjukan

    Avant Garde

    KATEGORI BESAR

    Tari

    BERDASARKAN

    PENGELOLAAN

    KELOMPOK

    Teater

    BERDASARKAN

    PERKEMBANGAN

    /GENRE

    BERDASARKAN

    BENTUK PENYAJIAN

    DAN KONSUMSI

    BERDASARKAN

    GUBAHAN BENTUK

    Produk Seni

    Jasa Seni

    Bagian dari ritualsosial, adat, dan

    religius

    Kontemporer

    Tradisional

    Kreasi Baru

    Modern

    Tradisional

    Modern

    Lintas Disiplin

    Transisi

    World Music

    Klasik Barat

    Populer

    Tradisional

    PertunjukanMusik

    SENI

    PERTUNJUKAN

    Amatir

    Non-Komersial

    Komersial

    Kontemporer/Eksperimen

    Non-Kontemporer/Non-Eksperimen

    Fokus pengembangan Seni Pertunjukan

  • 7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan

    41/204

    24 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

    1.2 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan

    1.2.1 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan DuniaPerkembangan teater di Inggris pada abad ke-16 bisa dijadikan salah satu titik awal berkembangnya

    seni pertunjukan menjadi sebuah industri. Sebelum memasuki masa penyair dan penulis drama

    legendaris William Shakespeare, naskah drama hanya ditulis oleh beberapa orang (kolektif) dananonim. Seiring berkembangnya teater menjadi seni populer dan semakin menarik lebih banyak

    penonton, permintaan dan kebutuhan akan naskah-naskah baru pun meningkat.

    Selama beberapa abad, seni pertunjukan hadir semata-mata sebagai hiburan orang kebanyakan.

    Memasuki abad ke-19, forum kolonial seperti colonial exhibition di Paris, menjadikan senipertunjukan sebagai ajang pementasan beragam kesenian negeri jajahan.

    Sementara di Amerika Serikat, Civil War atau Perang Saudara (1860-1865) membawa perubahan

    besar pada dunia seni pertunjukan. Perubahan tersebut berkaitan erat dengan meningkatnya peran

    manajerial sejalan dengan perkembangan tur, yang juga dipacu oleh pesatnya pembangunan jalurkereta api pada saat itu.

    Sejarah perkembangan seni pertunjukan dan manajemennya terkait erat dengan sejarah

    perkembangan teater. Sejalan dengan kebutuhan fungsi yang semakin banyakseperti fungsi

    manajer, administrator, dan penampil utamapara seniman terpaksa merangkap beberapa fungsi

    sekaligus. Perubahan kebutuhan fungsi inilah yang mengawali perkembangan peran pemilik

    dan manajer gedung seni pertunjukan sebagai pihak yang tepat untuk melakukan fungsi-fungsi

    manajemen seni pertunjukan tersebutyang seharusnya tidak dibebankan kepada seniman.

    Kemudian pada awal abad ke-20, Eropa Barat menjadi pemicu gerakan modernisme seni, termasukdalam seni pertunjukan. Salah satu tokoh pada masa ini adalah Isadora Duncan, yang mendirikan

    sekolah tari modern pertama di Berlin pada tahun 1905, diikuti oleh Martha Graham pada tahun

    1926 dengan penampilan 18 orang penari bertelanjang kaki (barefoot) dan kostum mencolok diNew Yorkmenjadikannya pioner revolusi tari modern di Amerika.

    Sementara itu, para seniman dan artisan Rusia Putih (atau orang-orang Rusia yang menolak

    Revolusi Bolshevik di tahun 1917) melarikan diri ke Paris, dan di bawah pimpinan impresariat

    Serge Diaghilev, mereka mendirikan Ballets Russes (1909-1929), sebuah dance companyyanglegendaris.

    Memasuki abad ke-21, negara-negara Eropa Barat yang menerapkan kebijakan kebudayaan

    ala negara-negara kemakmuran (welfare state) saling terhubung melalui jejaring teater publikmereka. Kedekatan geografis negara-negara Eropa Barat, juga sistem kuratorial (wacana dan arah

    artistik) yang mirip, serta referensi pendidikan seni yang relatif serupa, membuat mereka saling

    mengundang seniman (touring) serta mementaskan karya masing-masing seniman. Pada akhirnya,jejaring ini diperluas dengan skema koproduksi. Artinya, selain dapat menawarkan karyanya

    untuk dipentaskan di teater-teater