cetak biru seni pertunjukan
TRANSCRIPT
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
1/204
RENCANA
PENGEMBANGAN
SENI
PERTUNJUKANNASIONAL
2015-2019
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
2/204
i:
RENCANA PENGEMBANGAN SENI
PERTUNJUKAN NASIONAL 2015-2019
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
3/204
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
4/204
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
5/204
iv Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Helly MinartiYudi Ahmad Tajudin
Dian Ika Gesuri
PT. REPUBLIK SOLUSI
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
6/204
v
RENCANA PENGEMBANGAN SENI
PERTUNJUKAN NASIONAL 2015-2019
Tim Studi dan Kementerian Pariwisata Ekonomi Kreatif:
Penasihat
Mari Elka Pangestu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI
Sapta Nirwandar, Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI
Pengarah
Ukus Kuswara, Sekretaris Jenderal Kemenparekraf
Ahman Sya, Direktur Jenderal Ekonomi Kreatif berbasis Seni dan BudayaCokorda Istri Dewi, Staf Khusus Bidang Program dan Perencanaan
Penanggung Jawab
Mumus Muslim, Setditjen Ekonomi Kreatif berbasis Seni dan Budaya
Juju Masunah, Direktur Pengembangan Seni Pertunjukan dan Industri Musik
Tim Studi
Helly Minarti
Yudi Ahmad ajudin
Dian Ika Gesuri
ISBN
978-602-72387-3-2
Tim Desain Buku
RURU Corps (www.rurucorps.com)
Sari Kusmaranti Subagiyo
Penerbit
P. Republik Solusi
Cetakan Pertama, Maret 2015
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara
apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
7/204
vi Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Abduh Azis
Aisha Pletscher
Amna S. Kusumo
Bambang Subekti
Bre Redana
Budi SetiyonoBudi Utomo Prabowo
Butet Kertaredjasa
Dewi Noviami
Edy Utama
Een Herdiani
Ery Mefri
Farah Wardani
Gianti Giadi
Idaman Andarmosoko
IswadiJoned Suryatmoko
Kunci Cultural Studies
Kurniawan
Linda Hoemar Abidin
Lono Simatupang
Madia Patra Ismar
Maria ri SulistyaniMesdin Kornelis Simarmata
Naomi Srikandi
Nirwan Dewanto
Rama Taharani
Ratna Riantiarno
Sal Murgiyanto
Siti ri Joelyartini
Susi Ivvaty
Susiyanti
oto ArtoUbiet Raseuki
Terima kasih Kepada Narasumber dan Peserta Focus Group Discussion(FGD)
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
8/204
vii
Kata Pengantar
Perbincangan tentang seni pertunjukan di Indonesia, baik dalam percakapan sehari-hari maupun
tulisan-tulisan di media massa, di satu sisi kerap muncul dalam nada sumbang dan lagu yang
sedih. Namun di sisi lain, dari tahun ke tahun, di kota-kota besar maupun kecil di Indonesia,
karya-karya seni pertunjukan (baik yang tradisional maupun kontemporer) terus digelar. Dengan
dukungan dan fasilitas yang relatif minim, seniman atau kelompok tari, teater, serta musik terus
saja bermunculan dan melahirkan karya. Beberapa di antara mereka bahkan sanggup berprestasi
dan berpentas di panggung-pangung internasional.
Sementara itu, sejak pertengahan tahun 2000-an, istilah dan gagasan industri kreatif mengemuka
dalam perbincangan teater di Indonesia, terutama seiring dengan maraknya fenomena pertunjukanmusikal di Jakarta pada tahun-tahun tersebut. Pertunjukan-pertunjukan dengan dana produksi
besar dengan harga tiket yang tak bisa dibilang murah itu ramai diperbincangkan dan dianggap
sebagai kebangkitan industri kreatif dalam bidang seni pertunjukan di Indonesia. etapi, benarkah?
Pemerintah Indonesia sendiri sejak sekitar pertengahan tahun 2000-an, di bawah kepemimpinan
presiden Susilo Bambang Yudhoyono mulai melontarkan gagasan ekonomi kreatif sebagai salah
satu kerangka ekonomi pembangunan Indonesia. Gagasan yang melihat bahwa praktik kreatif
sesungguhnya memiliki potensi ekonomi yang cukup signifikan ini pun lalu diadopsi ke dalam
rencana kerja pemerintahan dengan dibentuknya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
pada Desember 2011.
Satu hal tampak jelas, praktik kreatif dalam bidang seni apapun, memiliki potensi ekonomi yang
besar dan karenanya dibutuhkan suatu kerangka yang komprehensif untuk mengembangkannya
menjadi industri kreatif. Pada tahun 1999, di Inggris misalnya, laporan tahunan Departemen
Kebudayaan, Media dan Olahraga (Department of Culture, Media and Sport-DCMS) menunjukkanperolehan ekonomi industri kreatif di Inggris empat kali lebih besar dari industri agrikultural,
perikanan dan perhutanan. Sementara di New York, berdasar data dari Te Broadway League,
pertunjukan-pertunjukan di Broadway pada tahun 2008-2009 menyumbang US$ 9,8 miliar ke
dalam pemasukan kota. Industri kreatif yang sangat kuat di New York ini bahkan jauh melampaui
kota lain di Amerika.
Lalu bagaimana dengan ekonomi kreatif seni pertunjukan di Indonesia?
Buku ini disusun sebagai suatu upaya memetakan kenyataan dan potensi ekonomi kreatif seni
pertunjukan di Indonesia. Lebih dari itu, tim penyusun buku ini sejak awal bersepakat untuk
tak hanya berhenti di sana tetapi juga berusaha membuat semacam cetak biru dan rencana kerja
pengembangan industri kreatif bidang seni pertunjukan di Indonesia. Sasaran strategis serta
indikasi capaian yang ditulis di buku ini, disusun berdasarkan watak seni pertunjukan sebagai
suatu disiplin serta berdasarkan kenyataan, sejarah, potensi serta masalah yang yang ditemukan
selama penelitian.
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
9/204
viii Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Beberapa kenyataan yang penting disampaikan di sini adalah bahwa industri kreatif bidang
seni pertunjukan di Indonesia belum terolah dan terbangun dengan sistematis, terkoordinasi,
transparan serta dapat dipertanggungjawabkan. Infrastruktur kelembagaan dalam bentuk regulasi
dan sokongan dana yang mendukung seni pertunjukan Indonesia untuk tumbuh dan berkembang
bisa dibilang masih lemah dan tak terencana dengan baik. Masih ditemukan banyaknya tumpang
tindih antara lembaga terkait (Kemenparekraf, Kemendikbud, Kemendag) yang menyebabkaninefisiensi serta pelaksanaan program yang tak tepat sasaran. Soal lain yang tak kalah penting
adalah kurikulum dan sistem pendidikan seni pertunjukan di sekolah-sekolah seni Indonesia yang
masih lemah dalam bertaut dengan perkembangan seni pertunjukan global dan perkembangan
masyarakat penontonnya sendiri.
Kami menyusun Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 Indonesia ini
berdasarkan kenyataan-kenyataan dan potensi yang ada, dengan harapan rencana aksi yang
diusulkan untuk mengembangkan industri kreatif seni pertunjukan ini benar-benar memiliki dasar
yang kokoh dan terukur capaiannya. entu saja masih banyak kelemahan dan ketaksempurnaan
dalam rancangan yang kami susun ini. Karenanya, kritik dan saran merupakan bagian pentingyang kami harapkan bisa muncul untuk menyempurnakan buku ini.
erakhir, dalam keterbatasan-keterbatasan yang kami hadapi, tim penyusun buku ini tak
mungkin bisa merampungkan tugas seluas ini tanpa bantuan dan sumbangan pemikiran dari
banyak pihak. Karena itu kami mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang besar pada para
narasumber penelitian dan peserta Focus Group Discussion (FGD) yang kami adakan sepanjangbulan Mei-Juni. anpa informasi, saran serta pengetahuan yang dibagi oleh mereka semua tak
mungkin kami bisa memetakan masalah, potensi serta menyusun Rencana Pengembangan Seni
Pertunjukan Nasional 2015-2019 ini.
Semoga buku ini dapat digunakan oleh pihak-pihak terkait dan bisa ikut menyumbang proses
pembentukan industri kreatif dalam bidang seni pertunjukan di Indonesia.
Jakarta, September 2014.
Salam Kreatif,
Mari Elka Pangestu
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
10/204
ix
Daftar Isi
Kata Pengantar................................................................................................................... vii
Daftar Isi.............................................................................................................................. ixDaftar Gambar..................................................................................................................... xii
Daftar Tabel......................................................................................................................... xiii
Ringkasan Eksekutif........................................................................................................... xiv
BAB 1 PERKEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN DI INDONESIA....................................... 3
1.1 Definisi dan Ruang Lingkup Seni Pertunjukan di Indonesia............................................ 4
1.1.1 Definisi Seni Pertunjukan........................................................................................ 4
1.1.2 Ruang Lingkup Pengembangan Seni Pertunjukan.................................................... 7
1.2 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan................................................................... 24
1.2.1 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan Dunia................................................ 24
1.2.2 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan Indonesia........................................ 27
BAB 2 EKOSISTEM DAN RUANG LINGKUP INDUSTRI SENI PERTUNJUKAN
INDONESIA........................................................................................................................... 35
2.1 Ekosistem Seni Pertunjukan............................................................................................. 36
2.1.1 Definisi Ekosistem Seni Pertunjukan....................................................................... 36
2.1.2 Peta Ekosistem Seni Pertunjukan............................................................................. 36
2.2 Peta dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan......................................................... 72
2.2.1 Peta Industri Seni Pertunjukan................................................................................. 72
2.2.2 Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan............................................................... 76
2.2.3 Model Bisnis di Industri Seni Pertunjukan............................................................... 78
BAB 3 KONDISI UMUM SENI PERTUNJUKAN DI INDONESIA........................................... 85
3.1 Kontribusi Ekonomi Seni Pertunjukan............................................................................ 86
3.1.1 Berbasis Produk Domestik Bruto (PDB)................................................................. 88
3.1.2 Berbasis Ketenagakerjaan......................................................................................... 89
3.1.3 Berbasis Aktivitas Perusahaan.................................................................................. 90
3.1.4 Berbasis Konsumsi Rumah angga.......................................................................... 91
3.1.5 Berbasis Nilai Ekspor............................................................................................... 92
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
11/204
x Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
3.2 Kebijakan Pengembangan Seni Pertunjukan..................................................................... 94
3.2.1 Retribusi Daerah...................................................................................................... 94
3.2.2 Pajak Daerah........................................................................................................... 96
3.2.3 Pengadaan Barang dan Jasa...................................................................................... 973.2.4 Insentif Pajak Mengenai Pembiayaan Kesenian........................................................ 98
3.2.5 CSR Korporasi untuk Kegiatan Seni........................................................................ 100
3.2.6 Kepabeanan............................................................................................................. 101
3.3 Struktur Pasar Seni Pertunjukan....................................................................................... 103
3.4 Daya Saing Seni Pertunjukan........................................................................................... 105
3.5 Potensi dan Permasalahan Pengembangan Seni Pertunjukan.............................................107
BAB 4 RENCANA PENGEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN INDONESIA...................................115
4.1 Arahan Strategis Pengembangan Ekonomi Kreatif 2015-2019......................................... 116
4.2 Visi, Misi, Dan ujuan Pengembangan Seni Pertunjukan................................................. 117
4.2.1 Visi Pengembangan Seni pertunjukan...................................................................... 119
4.2.2 Misi Pengembangan Seni pertunjukan..................................................................... 119
4.2.3 ujuan Pengembangan Seni pertunjukan................................................................. 120
4.3 Sasaran dan Indikasi Strategis Pencapaian Pengembangan Seni Pertunjukan.................... 121
4.4 Indikator dan arget Pengembangan Ekonomi Kreatif...................................................... 124
4.4.1 Arah Kebijakan Peningkatan Sumber Daya Manusia Seni Pertunjukan Yang
Berdaya (Empowered)............................................................................................. 124
4.4.2 Arah Kebijakan Perlindungan, Pengembangan Dan Pemanfaatan Sumber Daya
Budaya Bagi Seni Pertunjukan Secara Berkelanjutan............................................... 124
4.4.3 Arah Kebijakan Pertumbuhan Industri Seni Pertunjukan Yang Berkualitas............. 125
4.4.4 Arah Kebijakan Peningkatan Ketersediaan Pembiayaan Bagi Proses Kreasi Dan
Produksi Seni Pertunjukan Yang ransparan, Akuntabel Dan Mudah Diakses 126
4.4.5 Arah Kebijakan Perluasan Pasar Di Dalam Dan Luar Negeri Yang Berkualitas DanBerkelanjutan......................................................................................................... 126
4.4.6 Arah Kebijakan Peningkatan Ketersediaan Sarana Dan Prasarana empat
Pertunjukan Profesional Dan empat Latihan......................................................... 126
4.4.7 Arah Kebijakan Peningkatan Kualitas Kelembagaan Yang Kondusif Untuk
Pengembangan Seni Pertunjukan ........................................................................... 127
4.5 Strategi dan Rencana Aksi Pengembangan Seni Pertunjukan............................................ 127
4.5.1 Peningkatan Kuantitas Dan Kualitas Pendidikan Yang Mendukung Penciptaan
Karya Seni Pertunjukan........................................................................................... 127
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
12/204
xi
4.5.2 Peningkatan Kuantitas Dan Kualitas Sumber Daya Manusia Seni
Pertunjukan............................................................................................................ 128
4.5.3 Penciptaan Pusat Pengetahuan Dan Infrastruktur Pengetahuan Budaya Seni
Pertunjukan Yang Dapat Diakses Oleh Publik......................................................... 129
4.5.4 Penciptaan Kuantitas Dan Kualitas Wirausaha Kreatif Seni Pertunjukan Lokal .......129
4.5.5 Peningkatan Usaha Kreatif Seni Pertunjukan Lokal Yang Mandiri, Berjejaring, Dan
Berkualitas .............................................................................................................. 130
4.5.6 Peningkatan Mutu Karya Seni Pertunjukan ............................................................ 130
4.5.7 Peningkatan Ketersediaan Pembiayaan Bagi Pengembangan Dan Produksi Seni
Pertunjukan Yang ransparan, Akuntabel Dan Mudah Diakses ............................. 131
4.5.8 Perluasan Pasar Seni Pertunjukan Di Dalam Dan Luar Negeri ................................ 131
4.5.9 Peningkatan Ketersediaan Sarana Dan Prasarana empat Pertunjukan Profesional
Dan empat Latihan .............................................................................................. 132
4.5.10 Pengembangan Regulasi Yang Mendukung Penciptaan Iklim Yang Kondusif BagiPengembangan Seni Pertunjukan ........................................................................... 132
4.5.11 Peningkatan Partisipasi Aktif Pemangku Kepentingan Dalam Pengembangan Seni
Pertunjukan Secara Berkualitas Dan Berkelanjutan ................................................ 133
4.5.12 Peningkatan Ketersediaan Ruang-Ruang Publik Untuk Penyelenggaraan Kegiatan
Seni Pertunjukan .................................................................................................... 133
4.5.13 Peningkatan Posisi, Kontribusi, Kemandirian, Serta Kepemimpinan Indonesia
Dalam Fora Internasional Melalui Seni Pertunjukan ............................................... 134
4.5.14 Peningkatan Apresiasi Kepada Orang Dan Karya Kreatif Seni Pertunjukan............134
BAB 5 PENUTUP................................................................................................................... 137
5.1 Kesimpulan...................................................................................................................... 138
5.2 Saran................................................................................................................................ 140
LAMPIRAN............................................................................................................................ 143
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
13/204
xii Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Daftar Gambar
Gambar 1-1Ruang Lingkup dan Fokus Pengembangan Seni Pertunjukan.............................. 23
Gambar 1-2Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia..................................................... 32
Gambar 2-1Peta Ekosistem Seni Pertunjukan......................................................................... 38
Gambar 2-2Bagan Struktur Organisasi Produksi Seni Pertunjukan Berskala Menengah-Besar
yang Umum Digunakan...................................................................................... 46
Gambar 2-3Peta Industri Seni Pertunjukan........................................................................... 73
Gambar 3-1Nilai ambah Seni Pertunjukan......................................................................... 88
Gambar 3-2Ketenagakerjaan Seni Pertunjukan..................................................................... 89
Gambar 3-3Jumlah Unit Usaha Seni Pertunjukan................................................................. 90
Gambar 3-4Jumlah Nilai Konsumsi Rumah angga untuk Seni Pertunjukan........................ 91
Gambar 3-5Nilai Ekspor Seni Pertunjukan............................................................................ 92
Gambar 3-6Perbandingan Ekspor-Impor Seni Pertunjukan 2010-2013................................. 93
Gambar 3-7Nilai Ekspor Seni Pertunjukan Menurut Data UN COMRADE..................... 94
Gambar 3-8Daya Saing Subsektor Seni Pertunjukan.............................................................. 105
Gambar 4-1Visi, Misi, ujuan, dan Sasaran Pengembangan Seni Pertunjukan 2015-2019..... 118
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
14/204
xiii
Daftar Tabel
Tabel 3-1 Kontribusi Ekonomi Seni Pertunjukan 2010-2013.................................................. 86
Tabel 3-2 Potensi dan Permasalahan Seni Pertunjukan............................................................. 107
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
15/204
xiv Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Ringkasan Eksekutif
Seni pertunjukan adalah salah satu dari 15 subsektor ekonomi kreatif yang diidentifikasi oleh
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf ) yang potensial dikembangkan.Buku ini disusun berdasarkan penelitian literatur, statistik serta masukan para pemangku
kepentingan yang bertemu dalam tiga sesi Focus Group Discussion(FGD) untuk membahas isu-isu penting seputar seni pertunjukan.
Buku ini pada dasarnya adalah upaya memetakan potensi sektor seni pertunjukan dalam kerangka
pembangunan nasional yang meski memusatkan perhatian pada ruang lingkup kerja Kemenparekraf
namun juga mendiskusikan pentingnya koordinasi dengan lembaga-lembaga negara terkait lainnya
seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdiknas) dan Kementerian Perdagangan
(Kemendag) termasuk instrumen di bidang perpajakan.
Karena fokus bahasan utama ada pada ruang lingkup pengembangan ekonomi kreatif, mengukur
potensi ekonomi sektor seni pertunjukan pun menjadi prioritas dalam buku ini. Upaya ini
dilakukan pertama-tama dengan memaparkan konteks kesejarahan seni pertunjukan Indonesia
dari segi etimologis maupun pengalaman-pengalaman kultural yang khas, dengan langsung
menghadapkannya pada hegemoni wacana global yang berlaku. Misalnya saja, istilah-istilah
kategorikal seperti tradisi, modern dan kontemporer terlebih dahulu dibedah secara kritis agar
dapat memahami perbedaan pengertian maupun daerah-daerah irisan antara konteks pengalaman
berkesenian Indonesia dan mancanegara (terutama perspektif BaratEropa-Amerikayang
mendominasi). Pasalnya, apa yang dianggap modern oleh Barat belum tentu sama dengan
pengertian yang dipahami oleh para praktisi kesenian Indonesia, yang memang bertolak dariperspektif kesejarahan yang berbeda.
Agar memperjelas ura ian, problematika terminologis ini dilengkapi dengan contoh-contoh
pengalaman lokal. Contoh kasus pengecualian pun juga diselipkan sebagai narasi pelengkap seperti
bahasan khusus tentang Komedi Stamboel ataupun Srimulat yang dengan unik sesungguhnya
telah menyodorkan contoh kasus kelompok kesenian yang mencapai parameter ekonomi kreatif
dalam lokalitasnya yang khas.
Pemetaan ini pun segera menukik ke dalam identifikasi permasalahan, terutama dari sudut
kebijakan dan struktural. Salah satu kesimpulan penting adalah praktik seni pertunjukanmeskiberpotensi menjadi salah satu subsektor ekonomi kreatif andalan Indonesia masih jauh dari
ukuran-ukuran sebuah subsektor ekonomi (yakni sebagai produk yang siap dipasarkan secara
kompetitif ). Pasalnya, kebijakan nasional yang mendukung perkembangan sektor ini relatif masih
minimbahkan bisa dibilang tidak adasehingga berdampak pada absennya infrastruktur yang
menjadi prasyarat minimum diterapkannya parameter-parameter ekonomi kreatif tadi. Hal ini
tercermin antara lain dari jumlah dan kualitas prasarana seperti gedung-gedung pertunjukan
milik publik yang tidak dikelola secara profesional, sulitnya bagi para seniman untuk mengakses
gedung-gedung teater publik ini, ditambah dengan tidak adanya mekanisme dukungan dana yang
terbuka, transparan dan akuntabel bagi para seniman untuk mencipta dan untuk mementaskan
karyanya di tempat atau kota lain (touring).
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
16/204
xv
Sehingga, tidak heran jika tidak ada mekanisme pasar dalam seni pertunjukan Indonesia dalam
pengertian yang sesungguhnya, karena pertunjukan seni hiburan yang terhitung paling laris
sekalipun seperti drama-musikal Laskar Pelangi yang sempat pentas 70 kali dan selalu dipenuhi
penonton pun masih terhitung merugi. Rata-rata pertunjukan seni lainnya sudah cukup beruntung
jika bisa mentas 2-4 kali di dua kota berbeda.
Permasalahan serta ketegangan situasi lokal dan global ini pun dibahas secara detil untuk tiga
subsektor seni pertunjukan, yaitu tari, teater dan musik panggung (live). Pada keadaannya yangsekarang, seni pertunjukan Indonesia masih jauh dari berskala industrial, karena profesionalisasi
dalam bidang ini bahkan belum terjadi. Disimpulkan bahwa agar seni pertunjukan Indonesia
bisa menjadi sebuah subsektor ekonomi kreatif yang kuat, dibutuhkan kebijakan nasional yang
menyeluruh: mulai dari reformasi di sektor pendidikan (umum maupun sekolah-sekolah seni),
maksud baik negara (political will) untuk berinvestasi dalam membangun infrastruktur senipertunjukan yang saling terkait, terkoordinasi dengan rapi dan berstrategi, mulai dari peningkatan
prasarana, kualitas sumber daya manusia sektor pendukungnya (manajemen, akademisi dan kritik
seni) hingga insentif berupa kebijakan perpajakan yang adil seperti pajak penonton serta pajak bagisektor swasta jika mereka ingin mensponsori kegiatan di bidang seni pertunjukan nonkomersial.
Dinamika seni pertunjukan lokal ini harus dihidupkan hingga profesionalisasi di bidang ini
tercapai, sambil jeli mempromosikan produk-produk kesenian yang dianggap potensial untuk
bersaing di fora internasional yang memang tepat sasaran. Untuk porsi kerja Kementerian atau
lembaga yang membidangin urusan ekonomi kreatif, pemasaran adalah salah satu sasaran yang
penting. Untuk itu, selain pemahaman akan produk, mutlak dibutuhkan pengetahuan akan pasar
(market knowledge) berupa informasi seputar wacana serta praktik seni pertunjukan global yangsarat diwarnai oleh arah kuratorial dan dialektika akademis yang berkembang.
Yang terakhir adalah perumusan mendetil tentang rancangan (cetak biru) Rencana Pengembangan
Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 dalam rangka mencapai visi
seni pertunjukan Indonesia yang mampu secara berkelanjutan memberdayakan seluruh potensidan pengetahuannya untuk membangun kemampuan ekonomi dan berperan dalam peningkatan
kualitas hidup masyarakat Indonesia.
Visi pengembangan seni pertunjukan Indonesia mengandung makna sebagai berikut.
1. Seni pertunjukan Indonesiamencakup seni pertunjukan tradisional dan kontemporer
Indonesia.2. Seni pertunjukan Indonesia yang mampu secara berkelanjutan memberdayakan
seluruh potensi dan pengetahuannya untuk membangun kemampuan ekonomi
yang dimaksud adalah kondisi seni pertunjukan yang mampu mendukung terciptanya
akumulasi pengetahuan di seluruh sumber daya manusia seni pertunjukan (yang mencakup
seniman, manajer, produser, desainer, teknisi, kurator, dan kritikus), sehingga tercipta
profesionalisme dalam mengelola talenta seni pertunjukan yang ada untuk aktif berkarya
dan mempunyai kapasitas untuk menjadi mandiri secara ekonomi (finansial).
3. Seni pertunjukan Indonesia yang berperan dalam peningkatan kualitas hidup
masyarakat Indonesia yangdimaksudkan adalah seni pertunjukan Indonesia yang mampu
menghadirkan karya-karya berkualitas dan menginspirasi kehidupan bermasyarakat di
Indonesia.
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
17/204
xvi Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
If you fail to plan, you are planning to fail.Benjamin Franklin
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
18/204
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
19/204
2 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
20/204
3BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
BAB 1
PerkembanganSeni Pertunjukandi Indonesia
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
21/204
4 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
1.1 Definisi dan Ruang Lingkup Seni Pertunjukan di IndonesiaUntuk mengembangkan seni pertunjukan di Indonesia, perlu dipahami posisi seni pertunjukan
Indonesia jika dilihat dari perspektif ekonomi kreatif sebagai salah satu subsektor yang potensial.
Pemahaman terhadap seni pertunjukan dalam konteks ekonomi kreatif dapat ditelusuri dari
sejarah dan parameter-parameter global sebagai sebuah subsektor ekonomi kreatif. Sebagai
sebuah paradigma yang relatif baru dalam melihat serta mengukur perkembangan kesenian diIndonesia, perbedaan serta kompleksitas yang ditimbulkan dari parameter-parameter global ini
pun akan dipaparkan, beserta upaya mengadaptasi ukuran-ukuran tersebut ke dalam situasi serta
kebutuhan Indonesia.
Pada dasarnya, definisi dan ruang lingkup subsektor seni pertunjukan harus mempertimbangkan
konteks serta situasi kultural yang khas Indonesia pada tingkat tertentu, sebelum merefleksikannya
pada parameter-parameter global tadi. entu saja definisi serta ukuran-ukuran global dalam seni
pertunjukan tetap bisa digunakan untuk melihat dan memetakan praktik seni pertunjukan yang
berlangsung di Indonesia, tetapi pada saat yang sama kenyataan-kenyataan lain (watak kultural,
situasi-situasi pascakolonial, dan lain-lain) yang ikut menentukan situasi serta bentuk-bentukseni pertunjukan di Indonesia mesti juga dilihat dan ditimbang. Sehingga, ukuran, gagasan
serta rencana fasilitasi serta pengembangan seni pertunjukan di Indonesia bisa lebih membumi
dan relevan.
Pemetaan yang dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan kontekstual ini penting sebagai
upaya pertama membentuk ekosistem yang ideal bagi seni pertunjukan Indonesia agar mampu
beroperasi di dalam ukuran-ukuran ekonomi kreatif yang sesuai dan relevan dengan situasi
Indonesia. Karena, bahkan gagasan dan kerangka ekonomi kreatif serta industri kreatif itu
sendiri (yang melatari pemetaan dan penyusunan rencana aksi jangka menengah ini), kita tahu,
tidak tumbuh dari bumi seni pertunjukan kita.
Hal ini tak lantas berarti kerangka dan gagasan ekonomi serta industri kreatif tak bisa kita
gunakan dan aplikasikan di Indonesia karena dalam sejarah seni pertunjukan di Indonesia sendiri,
(sebagaimana yang terlihat pada sejarah Komedi Stamboel, Ketoprak obong, atau Srimulat), pada
tingkat tertentu, dengan ukuran-ukuran yang sedikit berbeda, praktik ekonomi serta industri
kreatif itu telah dan sedang berlangsung. Apa yang kita butuhkan adalah kemampuan untuk bisa
melihatnya secara dialektis, sehingga niat untuk mengembangkan ekonomi kreatif di Indonesia
bisa berjalan dengan produktif karena berdasarkan bentuk serta situasi yang ada.
1.1.1 Definisi Seni PertunjukanDilihat dari sejarah perkembangan etimologisnya, istilah seni pertunjukan sendiri merupakanserapan dari istilah bahasa Inggris performing arts yang berkembang di Eropa pada 1300-an. Kataperform diserap dari bahasa Prancis, parfornir(par dalam bahasa Inggris berarti completely+ fornir dalam bahasa Inggris berarti to provide) yang berarti melakukan, menyelenggarakan,menyelesaikan, ataupun mencapai. Seiring dengan berkembangnya aktivitas teatrikal atau musikal
pada 1600-an, kata perform kemudian sering dipahami melalui sudut pandang tata bahasaInggris yang artinya mencakup:1
(1) Online Etymology Dictionary: http://www.etymonline.com
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
22/204
5BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
1. to make(membuat), construct(membangun);produce (memproduksi), bring about(menimbulkan), atau come true(mencapai).
2. present(kata kerja transitif - memerlukan objek dalam kalimatnya) yaitu mempersembahkan,menyajikan (kepada penonton).
Ketika istilah tersebut diserap dan diterjemahkan ke dalam pengalaman serta sejarah kebudayaandi Indonesia, maknanya harus beradaptasi dan dilihat dalam konteks-konteks lokal yang spesifik
secara kultural. Hal ini terkait dengan kenyataan kultural di negeri kepulauan di Indonesia sebagai
salah satu yang paling beragam di dunia, apalagi ragam tradisi pertunjukan telah menjadi bagian
dari dinamika perkembangan masing-masing kelompok masyarakat di Indonesia. Selain itu,
sejarah kebudayaan Indonesia sebagai sebuah negara yang pernah mengalami penjajahan (Portugis,
Belanda, Inggris, dan Jepang), sebagaimana banyak negara di Asia dan Afrika, menyusun sejarah
kebudayaan dengan kompleksitas yang berbeda dengan sejarah dan pengalaman kebudayaan di
Barat, dari mana asal istilah ini berakar.
Seni pertunjukan di Indonesia, dengan latar belakang di atas, tersusun oleh pertemuan danpersilangan kebudayaan yang relatif lebih rumit ketimbang pengalaman paralel historis di Eropa
Barat yang relatif lebih linear dan ditandai oleh patahan-patahan (rupture) yang tegas yang menandaiperalihan dari satu masa ke masa lainnya. Untuk mempermudah pengamatan, pembatasan
dasar kerap disusun mengikuti konfigurasi kesejarahan: pembagian serta pengelompokan seni
pertunjukan di antara yang modern dan pramodern (atau tradisional). Pemilahan dasar ini
secara kronologis bisa diterima, karena bentuk-bentuk teater (juga seni pertunjukan) modern
di sebagian besar negara Asia bisa dibilang baru muncul, sementara teater pramodern memiliki
asal-usul yang sangat tua dan banyak yang masih berlangsung dalam keberlanjutan yang utuh.2
Wayang kulit di Jawa engah maupun Indangdi Minangkabau adalah dua dari sekian banyakcontoh pertunjukan pramodern. Kedua pertunjukan ini baru dimulai larut malam (sekitar pukul
21:00 atau bahkan sesudahnya) dan berlangsung hingga lima-enam jam berikutnya hingga dini
hari. Kadang mereka bersanding atau bahkan menghadapi tegangan ketika berhadapan dengan
seni pertunjukan komersial, seperti campur sari di Jawa engah maupun dangdut organ tunggal
di Sumatera Barat (yang terakhir ini menjadi lebih populer di beberapa wilayah Sumatera Barat
dan menggantikan ruang yang tadinya diisi oleh kesenian tradisional seperti indang).
Oleh karena itu, adalah penting mengadaptasi pendekatan etimologis ini ke dalam konteks serta
situasi kultural Indonesia. Komposer terkenal Rahayu Supanggah yang juga seorang pakar seni
pertunjukan pernah berujar, Bisa jadi istilah seni tontonan atau seni menonton lebih tepatdigunakan untuk mendeskripsikan pengalaman khas Indonesia, mengingat praktik-praktik unik
yang masih berlangsung, seperti contoh menonton pertunjukan wayang kulit atau pun Indang
yang bisa memakan waktu berjam-jam, dan tidak mengenal relasi spasial (hubungan ruang) yang
seketat pertunjukan Barat. Dalam menonton wayang kulit yang berdurasi panjang, misalnya,
penonton bisa duduk dengan leluasa dan mengikuti jalannya pertunjukan yang lebih mengalir
dan alamiah ketimbang penonton di ruang teater modern yang berbentuk prosenium.
(2) Don Rubin (ed.), The World Encyclopedia of Contemporary Theatre Volume 5(New York: Routledge, 1998), hlm.21.
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
23/204
6 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Dalam mendefinisikan seni pertunjukan, maka pertama-tama harus disadari bahwa kebudayaan-
termasuk kesenian-tidak pernah berlangsung dalam ruang yang vakum, sehingga ia harus dilihat
sebagai sebuah dinamika yang terkait dengan kompleksitas perkembangan lingkungan di mana
seni pertunjukan itu lahir dan tumbuh. Jika dilihat dari sudut pandang seni pertunjukan modern
di Barat, maka seni pertunjukan dapat diartikan sebagai:
Kegiatan bernilai seni yang melibatkan para penampil(performers) yang menginterpretasikan suatu materikepada penonton (audiences); baik melalui tutur kata,musik, gerakan, tarian dan bahkan akrobat. Unsurterpenting dari seni pertunjukan adalah terjadinyainteraksi secara langsung (live) antara penampil dan
penonton, walaupun elemen pendukung seperti filmatau materi rekaman termasuk di dalamnya.
A Guide to the UK Performing Art s (2006)
Sejarah pascakolonial dalam seni pertunjukan di Indonesia mencerminkan suatu kompleksitas
kenyataan yang pada tingkat tertentu berbeda dengan kenyataan seni pertunjukan di Barat, sehingga
perbandingan seni pertunjukan di Indonesia dengan di Barat pun harus dilakukan dengan kritis.
Hingga kini, di banyak desa di Indonesia, misalnya, masih banyak ditemukan pertunjukan yang
terjadi di ruang ritual (religius maupun spiritual), sosial maupun komersial. Kategori-kategori ini(ritual religius atau spiritual, sosial maupun komersial) terjadi dalam geografi kultural yang sama,
yaitu Indonesia, sehingga tidak jarang yang ritual (religius) disusul oleh yang sosial, bahkan juga
berimpitan atau bertautan dengan yang bersifat komersial.
Disesuaikan dengan konteks perkembangan seni pertunjukan yang terjadi di Indonesia dan
berdasarkan kerangka pemetaan potensi ekonomi, maka seni pertunjukan didefinisikan sebagai:
Cabang kesenian yang melibatkan perancang,
pekerja teknis dan penampil (performers), yangmengolah, mewujudkan dan menyampaikan suatugagasan kepada penonton (audiences); baik dalambentuk lisan, musik, tata rupa, ekspresi dan gerakantubuh, atau tarian; yang terjadi secara langsung (live)di dalam ruang dan waktu yang sama, di sini dan kini(hic et nunc).
Sumber: Focus Group DiscussionSubsektor Seni Pertunjukan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Mei-Juni 2014)
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
24/204
7BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
Dalam definisi seni pertunjukan di atas, terdapat beberapa kata kunci yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dalam menjelaskan definisi seni pertunjukan secara lebih mendalam, yaitu:
1. Gagasanadalah struktur pemikiran yang berasal dari perumusan atau perenungan
tentang sesuatu yang dapat dituangkan atau memandu pengolahan serta pembentukan
suatu wujud atau pementasan karya seni pertunjukan;
2. Perancangadalah pelaku seni yang menggagas dan merancang konsep awal dan kerangkapenciptaan seni pertunjukan;
3. Penampiladalah pelaku seni yang mewujudkan gagasan pertunjukan dalam bentuk-
bentuk yang dapat disaksikan (didengar dan ditonton) oleh pemirsa dalam pementasan
karya seni pertunjukan;
4. Pekerja teknisadalah pekerja seni yang mewujudkan rancangan pertunjukan yang
bersifat teknis dalam sebuah produksi seni pertunjukan;
5. Penontonadalah orang yang secara sadar dan aktif datang menyaksikan suatu karya
seni pertunjukan;
6. Langsung (live)adalah keadaan dimana peristiwa pergelaran pertunjukan berlangsungdi dalam ruang dan waktu yang sama di mana penonton dan penampil berada, di sini
dan kini (hic et nunc).
1.1.2 Ruang Lingkup Pengembangan Seni PertunjukanBerdasarkan perkembangan serta kategori yang mengikuti garis modernitas dan modernisme
global, maka seni pertunjukan dapat dibagi menjadi seni pertunjukan tradisional, moderndankontemporer. Kategori atau terminologi ini bukannya tanpa perdebatan, karena, lagi-lagi, istilah-istilah tersebut berasal dari rahim pemikiran serta perkembangan sejarah seni Barat yang tidak
selalu bisa begitu saja diterjemahkan ke dalam konteks historis Indonesia, terlebih jika hanya
semata-mata dicangkok seperti yang umumnya menjadi kecenderungan.
Namun, dalam khazanah wacana global-baik dalam dunia akademisi (kajian) maupun praktik
(produksi pementasan dan kuratorial)-sedang terjadi fenomena menarik berupa adanya kesadaran
untuk bersikap kritis terhadap konstelasi pemikiran tradisional-modern-kontemporer yang selama
abad ke-20 menjadi hegemoni Barat, dengan munculnya penelitian, kajian serta pendekatan serta
arah kuratorial yang berlawanan.
Adalah penting untuk ikut mengambil posisi kritis ini bagi seni pertunjukan Indonesia, terutama
dalam mengaitkan praktik seni pertunjukan dengan kajian yang beredar di dunia global. Seni
pertunjukan tradisionaldalam konteks Indonesiaseringkali menjadi basis inspirasi bagiperkembangan seni modern serta kontemporer. Sebagai bagian dari budaya yang integral, seni
tradisi atau tradisional hadir dan mengalir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia
yang beragam. Ia mewujud dalam berbagai ritual: baik yang bersifat sosial, adat maupun religius
(upacara-upacara keagamaan).
Selain hidup dan dilakoni dalam kehidupan sehari-hariyang ditandai oleh transmisi
(penyampaian) dari satu generasi ke generasi berikutnyaapa yang disebut seni tradisi atau
tradisional juga mengalami kodifikasi (pembakuan) melalui media (televisi, misalnya) atau
pun proses belajar-mengajar di institut-institut seni (seperti Institut Seni Indonesia). Seringkali
tranformasi yang terakhir ini mengubah gaya ungkap seni tradisi yang cenderung diadopsi kedalam konteks-konteks lainnya seperti konteks komersial. Hal ini terjadi misalnya pada seni
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
25/204
8 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
tari, sebagai salah satu contoh, ari Piring (Sumatera Barat) mengalami perubahan dari konteks
aslinya ketika ia dipertontonkan di VRI pada tahun 19701980-an. arian-tarian ini banyak
yang dipendekkan durasinya untuk kepentingan tayangan televisi atau menjadi komersial untuk
konsumsi acara-acara pariwisata.
Dalam konteks Indonesia, istilah modern dan kontemporer dalam seni pertunjukan(teater-tari-musik) bisa dikatakan masih berada dalam tahap diskusi, belum betul-betul
mewacana (diskursus). Dalam dunia teater, paling tidak sudah menjadi konsensus para
teoretis dan praktisi teater bahwa apa yang dimaksud sebagai teater modern Indonesia
merujuk pada teater yang berdasarkan naskah tertulis yang menggunakan bahasa Indonesia.3
Pengaruh idiom-idiom teater Barat klasik atau modern (Shakespeare, Brecht, ataupun
Ibsen) maupun anasir-anasir teater lokal (ketoprak, Komedie Stamboel) dalam
teater modern Indonesia pun dianalisis dan dibedah oleh beberapa pengkajinya.4
Sedangkan dalam seni tari, istilah modern dan kontemporer masih cenderung tumpang-tindih, dan
masih dalam proses awal pewacanaan seperti tercermin dari minimnya tulisan-tulisan seputar topik ini.5
Sementara itu, musik (pertunjukan live, bukan musik rekaman), terbagi dalam tiga kategori,yaitu tradisional, klasik, dan populer. Pada setiap kategori ini terjadi pengembangan bentuk
yang kontemporer atau merujuk pada eksperimentasi yang melebihi apa yang sudah dilakukan
sebelumnya (tradisional-kontemporer, klasik-kontemporer, dan populer-kontemporer).
Dalam konteks pendekatan penulisan buku ini, yaitu seni pertunjukan sebagai salah satu potensi
sektor ekonomi kreatif, seni pertunjukan pun dibagi ke dalam tiga kategori besar yaitu tari, teater
dan musik;dengan pemahaman bahwa ketiganya bergerak dalam ruang-ruang tradisional,
komersial dan eksperimentasi artistik(yang secara variatif dan leluasa dikategorikan ke dalam
istilah atau genre modern dan kontemporer). iga kategori besar ini tentu cenderung terbatas
dan membatasi ruang lingkup seni Indonesia yang kaya ekspresi, karena banyak ekspresilokal yangsebetulnya tidak mengenal pemisahan klasifikasi demikian. eater tradisional dari Minangkabau
(Sumatera Barat), Randai misalnya, adalah perpaduan sastra, musik dan tari (yang berdasar pada
pencaksilat), meski dalam definisi kajian cenderung direduksi menjadi sekedar bentuk teater.
Selain ketiga kategori utama (tari, teater dan musik), terdapat pula bentuk ungkap yang lintas
disiplin (crossover) seperti sastra lisan, wayang (baik wayang orang maupun wayang kulit), sirkus,opera, drama-musikal, pantomim, sulap dan musikalisasi puisi.
(3) Baca Jakob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992)
dan Michael H. Bodden, Resistance on the National Stage: Theater and Politics in Late New Order Indonesia(Athens: Ohio
University Press, 2010).
(4) Ibid, Soemardjo, 1992; Bodden, 2010. Baca pula Matthew Isaac Cohen, The Komedie Stamboel: Popular Theater in
Colonial Indonesia 18911903(Ohio: Ohio University Press, 2006).
(5) Setidaknya ada dua kajian mengenai seni tari di Indonesia oleh akademisi Indonesia, yaitu Sal Murgiyanto, The
Influence of American Modern Dance on the Contemporary Dance of Indonesia,an M.A research project, University of
Colorado, 1976; dan Helly Minarti,Modern and Contemporary Dance in Asia: Body, Routes and Discourse, manuskripdisertasi doktoral, London: University of Roehampton, 2014.
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
26/204
9BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
Interlude musikal dari pentas pertunjukan stambul oleh Eendracht Maakt Macht, pada sekitar 1910
Sumber:Matthew Isaac Cohen, The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia 18911903Ohio: Ohio University
Press, 2006
Komedi Stamboel
omedie tamboeladalah teater campuran (hibrida) pada zaman kolonial yang dengan kompleksmenggabungkan beragam teater, kesusastraan, dan estetika Eropa dan Asia. Sebagai satugenre pertunjukan populer di Indonesia, asal-muasalnya dapat ditelusuri dari pendirian satukelompok teater dengan nama yang sama pada 1891 di Surabaya, dengan aktor keturunanIndo (Euroasia) yang didanai kongsiionghoa. Pada awalnya, Komedie Stamboel seringdideskripsikan sebagai versi Melayu dari teater musikal Eropa. eater ini memberi sumbanganbesar pada perkembangan teater kontemporerseperti keroncong, ketoprak (yang pernahdisebut sebagai stambul Jawa), ludruk, lenong, tooneel, perfilman, sekaligus politik identitasdan representasi.
Julukan stamboeldiperkirakan berasal dari Istanbul, dan memang, pada awal berdirinya,
cerita-cerita dari imur engah sepertieribu atu alammenjadi andalan pertunjukanmereka. Hampir 90 persen dari cerita yang dipentaskan pada sepuluh bulan pertama merekamerupakan adaptasi dramatis dari kisaheribu atu alamversi terjemahan Eropa. Suasanadan perabotannyapencahayaan, akting emosional, panggung berkorden, orkestra musikpengiring, pembagian pentas menjadi adegan dan babak, kostum, riasan, plotmirip dengandramaturgi dan teknologi teater Eropa akhir abad ke-19. Pengaruh lain yang tidak kalah pentingadalah teater Parsi atau wayang Parsi, yang berasal dari Bombay (India) dan banyak berkelilingdi Hindia Belanda semenjak 1883 (atau bahkan lebih awal). Pada dasawarsa pertama abadke-20, komedi stambul sudah punya koleksi drama (repertoar) yang sangat beragam, mulaidari roman India, Persia, imur engah, isah eribu atu alam, sastra hingga folklorpopuler Eropa (misalnya lakon Dr. Faust atau Putri Salju). Juga ada kisah seperti Nyai Dasima,
hingga Perang Lombok 18991900 yang dilarang pentas, dan adaptasi drama Shakespeare.
Perubahan pesat di Hindia Belanda mengiringi sejarah awal berdirinya stambul. Salurantransportasi dan komunikasi, seperti kereta api, sinema, fonograf, litografi, percetakan, dansebagainya pun bermunculan dan menghubungkan orang-orang dari berbagai pelosok.
Komedie Stamboel ini merupakan usaha untuk mewujudkan suatu kesenian modern ditengah-tengah kehidupan kesenian tradisional yang sudah ada dan merupakan suatu usahamemasukkan kehidupan kesenian baru ke dalam masyarakat yang telah melakukan, memiliki,dan memelihara kelangsungan hidup kesenian tradisionalnya.
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
27/204
10 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
TARI
Salah satu definisi tari yang umum dikenal adalah ekspresi jiwa manusia yang diubah oleh
imajinasi dan diberi bentuk melalui media gerak sehingga menjadi bentuk gerak yang simbolis
dan menjadi ungkapan si pencipta. Definisi ini tidak selalu bisa menjelaskan perkembangan tari
di wilayah eksperimentasi artistik (modern dan kontemporer) di ranah global, misalnya jika ia
diterapkan untuk menjelaskan tari garda depan (avant-garde) atau pun apa yang kerap disebutsebagai tari kontemporer konseptual yang berkembang di Eropa Barat (kontinental) dari tahun
1990 sampai 2000-an, ketika karya koreografi tidak selalu terlihat atau berbentuk tarian dalam
pengertian konvensional (menari).
Menurut perkembangannya, maka tari dapat dibagi menjadi beberapa genre yaitu:
1. Tari tradisiatau tradisionalmerujuk pada tarian yang dipentaskan sebagai bagian
dari tradisi setempat, dan ini bisa terdiri dari tari ritual atau klasik seperti ari Bedhaya
Ketawang dari Kesultanan Surakarta, juga tarian rakyat yang bentuknya beragam dan
umumnya membawa identitas suku bangsa (ari Jathilan dari Jawa engah, ari Piringdi
dari Sumatra Barat atau ari Zapin dari dari khazanah Melayu).
2. Tari kreasi baruatau garapan baru didefinisikan pertama kali oleh R.M. Soedarsono
sebagai komposisi tari yang masih menggunakan idiom-idiom tari tradisi, namun telah
digarap ulang dengan memasukkan elemen-elemen baru seperti irama paduan gerak
ataupun kostum. arian massal yang digarap Bagong Kussudiardjo seperti ari Yapong
bisa menjadi salah satu contoh tari kreasi baru atau bahkan ari Kukupu gubahan jetje
Soemantri yang digarap pada 1950-an.
3. Tari modern, sebagai istilah baku dalam kajian tari global, istilah ini awalnya merujuk
pada eksperimentasi artistik di Barat (Eropa-Amerika) pada awal abad ke-20 ketika tarimasuk ke dalam ruang teater modern, saat ekspresi individualitas menjadi penanda
utama. okoh-tokoh generasi ini adalah Isadora Duncan (18771927), Ruth St. Denis
(18791968), Mary Wigman (18861973), dan Martha Graham (18941991). St.
Denis pernah tur ke Asia imur, antara lain ke Hindia Belanda pada pertengahan
1920-an, sementara Graham pernah pentas di Jakarta ketika Indonesia telah menjadi
Republik Indonesia, pada 1955 dan 1974. Pada akhir abad ke-20, wacana yang sangat
berpusat pada pengalaman historis Eropa-Amerika (uro-merican centric) ini lantasdikoreksi oleh para ahli tari dunia dengan mulai memasukkan tokoh-tokoh tari modern
nonEropa-Amerika, antara lain atsumi Hijikata dan Kazuo Ohno (dua penari yang
melahirkan Butoh di Jepang) atau Wu Xiao Bang dan Dai Ai Lan dari iongkok. 6
Di Indonesia, tarian Sardono W. Kusumo melalui karya-karya awalnya seperti SamgitaPancasona I-IX pada akhir 1960-an, ketika pertanyaan eksistensial tentang apa itu taridan gerak menari muncul, bisa dimaknai sebagai awal munculnya tari modern Indonesia.
Selain karya-karya Sardono, karya-karya awal koreografer yang berkumpul di aman
Ismail Marzuki, Jakarta, pada 19681971 juga dapat digolongkan sebagai rintisan tari
modern Indonesia, seperti karya koreografer Farida Oetoyo (19392014), Hoerijah Adam
(19361977) maupun Julianti Parani (lahir 1941). Farida dan Julianti mewakili penari atau
penata tari Indonesia yang berlatar belakang tari balet klasik Barat dan teknik tari modern
(6) Taryn Benbow-Pfalzgraf (ed.), International Dictionary of Modern Dance(St. James Press, 1998).
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
28/204
11BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
Barat. Sekalipun tari yang mereka pelajari adalah tari Barat, mereka mengadaptasinya
menjadi apa yang disebut balet Indonesia, yaitu gaya serta sensibilitas balet klasik Barat yang
diterapkan ke dalam narasi-narasi Nusantara seperti Rama dan Shintaatau Sangkuriang.
Baik dalam pemakaian sehari-hari dalam media maupun dalam lingkungan akademis,
di Indonesia, pengertian tari modern masih cenderung melenceng dari alur sejarah
modernisme global. Seringkali, tari modern dianggap sebagai garapan baru (tari kreasi)atau malah disalahtafsirkan sebagai tari latar (hiburan).
4. Tari kontemporeradalah kategori yang cenderung ditumpang-tindihkan dengan tari
modern, namun juga yang secara lentur juga dipahami sebagai garapan tari baru yang
motivasinya mendasarkan diri pada eksperimentasi artistik.
Dalam konteks pengalaman Indonesia, inspirasi sebuah karya tari kontemporer bisa
bersumber dari satu atau lebih teknik tari, mulai dari teknik tari tradisi, tari balet klasik
(Barat), teknik tari modern Barat, hip hop, dan lain sebagainya. Sebuah komposisi tari
kontemporer juga bisa mengambil sumber dari idiom-idiom pertunjukan lainnya sepertiteater. Eksperimentasi bisa berpusat pada gerak, komposisi maupun situs (sites) di luarpanggung prosenium atau pun gedung teater lainnya.
Koreografer yang aktif menggarap tari kontemporer adalah Jecko Siompo (1976-) yang
memiliki dua kelompok: Jecko Dance (kontemporer) dan Animal Pop (hiburan dan
anak-anak), Fitri Setyaningsih (1978-) di Yogyakarta serta sekelompok koreografer muda
berdomisili di Surakarta seperti Danang Pamungkas, Windarti, Bobby Ari Setiawan,
Agus Mbendol Maryanto dan beberapa nama dari generasi yang lebih muda seperti
Darlane Litaay (asal Papua berdomisili di Yogyakarta). Kebanyakan dari mereka adalah
lulusan Institut Seni Indonesia (Yogyakarta, Surakarta, Padang Panjang) maupun InstitutKesenian Jakarta.
Bintang Hening, karya Fitri Setyaningsih, 2011Foto: Afrizal Malna
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
29/204
12 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Di luar keempat kategori ini, sendratariadalah kategori khas Indonesia yang muncul setelahproduksiBallet Ramayana(1961) atau yang kemudian diberi nama baru sebagai Sendratari Ramayana(1970). Kedua produksi Ramayana yang masih dipentaskan hingga kini adalah proyek nasional
yang semula dirancang dan didanai pemerintah (dulu didanai Departemen Pos, elekomunikasi
dan Pariwisata) untuk mendongkrak perolehan pariwisata.
TEATERIstilah teater diserap dari bahasa Inggris theatre, yang berakar pada bahasa latin theatron(tempat untuk melihat) atau theaomai(yang berarti melihat, menyaksikan atau mengamati).Dengan sejarah etimologis seperti ini, penggunaan istilah teater kerap tidak jelas batas-batasnya,
atau terlalu luas. Di samping merujuk pada gedung tempat digelarnya pertunjukan atau sinema,
pengertian kata ini juga mencakup hampir seluruh bentuk seni pertunjukan yang terentang dari
ritual purba, upacara keagamaan, pertunjukan rakyat (folk theatre), dan jalanan (street theatre),sampai pada bentuk seni pertunjukan yang muncul kemudian (termasuk di dalamnya pantomim
dan tableaux atau pentas gerak tanpa kata). Kata atau istilah lain yang kerap dipadankan dengan
istilah ini adalah drama, yang sesungguhnya lebih spesifik mengacu pada bentuk seni pertunjukanyang melibatkan kata-kata (lakon) yang diucapkan aktor di atas panggung. Sebagai kata sifat,
drama menunjuk pada peristiwa atau keadaan yang bergairah dan emosional. Dalam bahasa
Indonesia, kata lain yang juga kerap dianggap sepadan adalah sandiwara, yang berasal dari
bahasa Sansekerta.
Di samping itu, watak teater sebagai seni pertunjukan yang sejak awal multidisiplin (melibatkan
banyak disiplin seni seperti seni visual untuk setatau dekorasi, properti, serta kostum; seni musikpada ilustrasi; sastra pada naskah lakon) membuat istilah ini sulit ditentukan batas kategorikalnya,
terutama ketika disandingkan dengan kategori lain dalam seni pertunjukan (tari dan musik
pertunjukan). Belum lagi jika kita hendak membicarakan praktik atau bentuk teater eksperimentalatau garda depan (avant-garde), yang kerap secara sengaja melintasi batas disiplin dan mengolahmedium-medium lain (film dan video, misalnya) dalam pertunjukannya. Merujuk pada sejarah
teater di Indonesia sendiri, pentas-pentas improvisasi Bengkel eater Rendra pada akhir 1960-
an dan awal 1970-an, yang minim dialog (dikenal sebagai teater mini kata) dan lebih banyak
menggunakan bahasa tubuh, gerak, bunyi, dan visual, misalnya, sulit dikategorikan sebagai
pentas drama atau sandiwara.
Dengan menimbang problem kategorikal itu, untuk kepentingan pemetaan potensi ekonomi
kreatif dalam buku ini, teater diklasifikasikan menjadi:
1. Teater tradisi. Pengertian teater tradisi dibatasi pada: 1) bentuk seni pertunjukan tradisiyang sudah berlangsung lamapuluhan atau ratusan tahundan diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya; 2) watak multidisiplin teater tradisi yang cukup dominan,
tak hanya melibatkan olah gerak dengan iringan musik, tapi juga pengucapan dialog atau
syair, serta ekspresi dramatik lainnya, baik berdasar pakem, lakon tertulis, atau hanya
improvisasi; 3) berakar pada serta mengolah idiom budaya dan menggunakan bahasa suku
bangsa setempat serta menjadi bagian dari proses solidaritas warga; 4) terkait dengan nilai
serta kepercayaan komunitas masyarakat tempat seni pertunjukan itu hadir dan tumbuh;7
5) berlangsung di luar ruangan (outdoor) atau di tempat-tempat yang sifatnya sementara(bukan gedung atau bangunan yang dirancang khusus); 6) banyak teater tradisi dari
(7) Umar Kayam, Seni, Tradisi, Masyarakat(Jakarta: Sinar Harapan, 1981).
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
30/204
13BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
suatu daerah berangkat dari sastra lisan yang berupa pantun, syair, legenda, dongeng, dan
cerita-cerita rakyat setempat (folklore). Contoh teater tradisi Indonesia: Makyong (Riau),Mamanda (Kalimantan Selatan), Longser (Jawa Barat), Wayang Wong (Jawa engah).
2. Teater modern. Seperti yang sudah disampaikan di awal bab ini, klasifikasi-klasifikasi
yang dikenakan pada seni pertunjukan di Indonesia sesungguhnya selalu problematis.Hal ini terkait dengan sejarah serta situasi pasca-kolonial Indonesia yang memiliki sejarah
dan situasi kebudayaan yang berbeda dari Barat (Eropa) dari mana klasifikasi itu berasal.
Di Barat misalnya, istilah teater modern terkait erat dengan perubahan besar di Eropa pada
sekitar abad ke-17, dengan lahirnya apa yang kemudian dikenal sebagai masa pencerahan
(Enlightenment) atau zaman rasionalitas (Age of Reasonatau Renaissance) yang mengakhirizaman kegelapan (Dark Age) di Eropa. Dalam keterkaitan ini, teater modern di Eropamerupakan bagian dari perubahan masyarakat Eropa yang digerakkan oleh revolusi
industri yang diawali di Inggris, revolusi demokratis di Prancis, serta arus besar revolusi
intelektual yang mencoba menegakkan akal (reason) dalam memandang dan mengolah
kehidupan. Oleh karena itu, realisme dalam teater, sebagaimana dalam novel-novel yangterbit waktu itu, merupakan penanda yang paling kuat atas teater modern, sebagai upaya
teater memotret dan menampilkan masalah sosial saat itu dalam tatapan yang lebih objektif
di hadapan penonton yang dibayangkan mencernanya secara objektif (atau rasional pula).
Sementara pada kasus di Indonesia, teater modern adalah bagian dari produk kultural yang
dibawa oleh kontak Indonesia dengan Barat pada zaman kolonial. Meskipun demikian,
sebagai bagian dari kegairahan untuk menjadi Indonesia modern, prinsip dan bentuk
teater modern (realisme) itu lalu dipelajari, ditiru, dan diadopsi di Indonesia sejak awal
abad ke-19. Secara akademis, setelah masa kemerdekaan, pada 1950-an, banyak berdiri
sekolah seni semacam Akademi eater Nasional Indonesia-ANI (Jakarta) dan AkademiSeni Drama dan Film Indonesia-ASDRAFI (Yogyakarta) yang mengajarkan teater modern
bergaya realis pada anak didiknya, yang kemudian meneruskan dan menurunkan paham
serta gaya teater realis ini sampai sekarang (yang juga dikembangkan di jurusan-jurusan
teater Institut Seni Indonesia di banyak kota di Indonesia).
Oleh karena itu, untuk memudahkan, pengertian teater modern dalam buku ini mengikuti
garis sejarah tersebut. Sementara untuk praktik dan bentuk teater nonrealis diklasifikasikan
dalam kategori teater eksperimental atau garda depan atau garda depan baru, yang akan
dibahas kemudian.
Batas-batas teater modern dalam buku ini melingkupi: 1) berdasarkan naskah lakon
(baik terjemahan maupun orisinal); 2) melisankan naskah dengan iringan musik yang
terbatas; 3) kebanyakan berlangsung di panggung prosenium yang memisahkan dan
menghadapkan penonton dengan pemain secara frontal; serta 4) mengutamakan akting
realistik, meskipun ditempatkan dalam konteks dan situasi-situasi nonrealis. Contoh
teater modern dalam batas klasifikasi ini, misalnya pertunjukan-pertunjukan oleh eater
Populer dengan sutradara eguh Karya (1937-2001), Studiklub eater Bandung (SB)
dengan sutradara Suyatna Anirun (1936-2002), eater Lembaga (Insitut Kesenian Jakarta),
eater Koma dengan sutradara Nano Riantiarno (1949-), kelompok Mainteater (Bandung)
dengan sutradara Wawan Sofwan (1965-), eater Satu-Lampung dengan sutradara IswadiPratama (1971-), eater Gardanalla dengan sutradara Joned Suryatmoko (1976-).
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
31/204
14 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
3. Teater Transisi. eater transisi adalah teater yang jejak tradisinya masih terasa namun
sudah menggunakan elemen-elemen atau praktik-praktik modern, seperti pada bentuk
panggung (prosenium, dalam ruang), tema yang digarap (mulai mengangkat tema yang
dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat), maupun pengelolaan organisasinya.
Contoh teater transisi di Indonesia di antaranya: Srimulat (Surabaya dan Jakarta), Kelompok
Sandiwara Sunda Miss jitjih (Jakarta), Wayang Orang Bharata ( Jakarta), Pusat LatihanOpera Batak (Siantar), Ketoprak (Jawa engah), Ludruk (Jawa imur), Lenong (Jakarta)
dan Drama Gong (Bali).
4. Teater Eksperimental, atau Garda Depan(avant-garde). Sesungguhnya, dalam kontekssejarah teater di Eropa, teater eksperimental, atau teater garda depan juga merupakan
bagian dari gerakan modernisme, terutama dalam konteks penolakan atas yang lama
(yang kerap ditafsir sebagai konvensi, pakem atau tradisionalisme) dan keinginan untuk
menemukan bahasa dan idiom ungkap teater yang baru. Pencarian atas wilayah estetika
yang belum dirambah inilah yang menjadi dasar dari istilah avant-gardeyang dipopulerkan
pertama kali oleh seorang anarkis Rusia, Michael Bakunin pada 1878.
Dalam konteks di Indonesia, dengan kompleksitas sejarah yang berbeda, arus lain dari
modernisme (yang kebanyakan justru menyangkal realisme ini), ditempatkan dalam
klasifikasi yang terpisah dengan teater modern, seturut pemahaman yang berlangsung
pada publik teater di Indonesia yang lebih mengasosiasikan teater modern dengan gaya
teater realis, atau realistik.8
Bentuk pertunjukan teater eksperimental atau teater garda depan tak dapat digeneralisasi
karena semangat eksperimentasi yang ada membuat setiap pertunjukan akan memiliki gaya
atau percampuran gaya yang bisa berbeda dengan tajam. Klasifikasi ini dimungkinkansejauh kita menempatkan amatan pada semangat eksperimentasi tersebut dan upaya
untuk mencari bahasa-bahasa baru dalam ekspresi mereka. Semangat dan upaya yang
kerap mendorong praktik penciptaan teater garda depan melintasi banyak disiplin dan
menggunakan beragam medium dalam pertunjukan mereka.
Contoh teater eksperimental atau teater garda depan dalam sejarah teater di Indonesia,
misalnya: nomor-nomor improvisasi (mini kata) Bengkel eater arahan Rendra, karya-
karya pertunjukan eater Mandiri arahan Putu Wijaya, atau yang muncul kemudian
pada 1980 dan 1990-an: eater SAE dengan sutradara Budi S. Otong dan eater
Kubur dengan sutradara Dindon (keduanya dari Jakarta); eater Payung Hitam dengansutradara Rahman Sabur, eater Republik dengan sutradara Benny Johanes (Bandung);
dan eater Kita dengan sutradara Asia Ramli Prapanca (Makassar). Sementara beberapa
nomor pertunjukan eater Garasi dengan sutradara Yudi Ahmad ajuddin dan Gunawan
Maryanto, seperti trilogi pentas teater visual Waktu Batu, teater-tariJe.ja.l.an , RepertoarHujandan Tubuh Ketigajuga dapat dimasukkan dalam klasifikasi ini. Begitu pun nomorpertunjukan eater Satu-Lampung, Nostalgia Sebuah Kota,Ayahku Stroke tapi NggakMatioleh eater Gardanalla, untuk menyebut beberapa bentuk dan praktik teater gardadepan pada era 2000-an.
(8) Untuk pembacaan awal mengenai teater garda depan di Eropa, lihat: Christopher Innes,Avant Garde Theatre18921992(London: Routledge, 1993).
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
32/204
15BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
Catatan yang penting diungkapkan dalam konteks buku ini merujuk pada sejarah teater di Barat.
Eksperimentasi yang dilakukan teater-teater garda depan, pada gilirannya, menginspirasi serta
menyegarkan bentuk pertunjukan-pertunjukan teater komersial (profesional) dan memulihkan
antusiasme penonton. Contoh paling representatif atas hal ini adalah dengan ditunjuknya Julie
aymor (sutradara teater garda depan Amerika) oleh produser Broadway untuk menyutradarai
pentas musikal Lion King, yang kemudian menjadi sukses besar dan ikut memulihkan antusiasmepenonton Broadway (salah satu dari empat pentas terlama dan pentas dengan pemasukan terbesar
sepanjang masa di Broadway). Dalam skala yang berbeda, eksperimentasi-eksperimentasi antar-budaya yang dilakukan Peter Brook di tahun 1960-an, turut menyegarkan pertunjukan-pertunjukan
di Te Royal Shakespeare Company London, serta memulihkan antusiasme penonton untuk
menyaksikan gelaran karya-karya maestro Shakespeare.
Je.ja.l.an (The Streets).Produksi Teater Garasi. Sutradara:Yudi Ahmad Tajudin. Yogyakarta, Jakarta,
Shizuoka dan Osaka (2008-2010).Foto: Mohamad Amin
Julie Taymor, sutradara The Circle of Life - Disneys The Lion King .
Foto:Joan Marcus
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
33/204
16 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Di sisi lain, berdasarkan tujuan penciptaan serta watak pengelolaan kelompok karya, teater dapat
dibagi menjadi:
1. Teater Amatir. Di banyak kota di Indonesia, teater atau drama sesungguhnya menyebar
hampir merata, baik di kota maupun di perdesaan. Biasanya, setiap penyelenggaraan
acara hari besar kerap diisi dengan pentas-pentas drama, baik oleh kelompok spontan dan
temporer maupun oleh kelompok yang relatif lebih permanen. Akan tetapi praktik teatermereka tak dijalani dengan disiplin yang seriuslebih bersifat hobi dan ekspresi diri.
Watak pengelolaan pertunjukan maupun kelompok seperti ini juga bisa disebut amatir
(tidak dengan pengetahuan serta disiplin manajemen yang kuat). Kelompok-kelompok
teater pelajar sekolah menengah juga bisa dimasukkan dalam kategori ini.
2. Teater Nonkomersil atau Teater Ketigaatau teater sebagai aktivisme kultural. Sedikit
lebih jauh dari teater amatir adalah praktik teater yang dilakukan dengan dasar pembacaan
atau refleksi atas kenyataan dan masalah yang lebih luas dari si seniman: kenyataan dan
problem masyarakatnya. Sebagaimana pekerja sosial di organisasi nonpemerintah, atauilmuwan dan peneliti sosial di kampus maupun di ruang dan media publik, praktik
berkesenian kerap dilandasi oleh keinginan untuk menyampaikan (atau membela) masalah
yang ada di masyarakat.
Penciptaan dan pertunjukan teater semacam ini bisa kita lihat sebagai aktivisme kultural.
Di samping hiburan, penonton juga diajak untuk memikirkan persoalan-persoalan di
masyarakat yang menjadi pijakan berkarya. Praktik teater rakyat (popular theatre) untukpemberdayaan masyarakat, yang terinspirasi dari gagasan dan pendekatanpopular theatreAugusto Boal dan mulai berkembang di Indonesia pada 1970-an, termasuk dalam kategori
ini. Sementara itu, istilah teater ketiga merujuk pada istilah yang dipopulerkan olehpemikir dan sutradara teater dari Italia, Eugenio Barba, yang menunjuk pada praktik
dan pengelolaan teater yang memiliki disiplin (serta pengetahuan) sebagaimana teater
profesional tetapi tidak bekerja di dalam lingkungan dan ukuran teater komersial.9
Jika dilihat dari dua batasan di atas, maka sebagian besar kelompok teater yang karya-
karyanya banyak diperbincangkan dalam sejarah teater di Indonesia masuk dalam kategori
ini. Untuk menyebut beberapa, kelompok-kelompok teater yang termasuk dalam kategori
eater Ketiga ini adalah Bengkel eater (W.S.Rendra), eater Kecil (Arifin C. Noer), juga
teater-teater yang masih aktif sampai sekarang seperti eater Satu (Lampung), Laboratorium
eater Sahid (Jakarta), eater Garasi atau Garasi Performance Institute (Yogyakarta),eater Gardanalla (Yogyakarta), Papermoon Puppet Teatre (Yogyakarta), Mainteater
Bandung, eater Sakata (Padang Panjang), dan eater Kala (Makassar).
3. Teater Komersialadalah praktik teater yang diciptakan dan dipentaskan dengan tujuan
serta niatan komersial (profit-oriented), dengan standar profesionalisme dalam ukuranrelatif berdasarkan konteks masing-masing. Memasuki milenia baru, kelompok Eksotika
Karmawibhangga Indonesia (EKI) mulai memproduksi drama-musikal, dengan penampil
para penari yang mereka didik sendiri sejak akhir 1990-an, maupun bintang tamu dari dunia
hiburan, mulai dari almarhum Indra Safera hingga Sarah Sechan dan selebritis lainnya.
(9) Lihat: Ian Watson, Towards a Third Theatre: Eugenio Barba and Odin Teatret(London: Routledge, 1995).
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
34/204
17BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
Pementasan Jakarta Love Riot, Juli 2010 (E.K.I Dance Company)
EKI DANCE COMPANY
EKI (Eksotika Karmawibhangga Indonesia) mewakili model seni pertunjukan yang menarikkarena berawal dari komunitas religius yang kebetulan dipimpin oleh seorang pandita modernyang peduli pada kesenian, khususnya seni tari. Menjadi pemimpin sebuah komunitas religius,
pasangan Rusdi Rukmarata (koreografer) dan Aiko Senosoenoto kerap didatangi para remajabermasalah yang kemudian mereka tampung dalam sebuah asrama; bahkan mereka punmenanggung kebutuhan makan serta pengeluaran sehari-hari dari para remaja itu. Merekalantas diberi beragam pelatihan teknik tari serta pengetahuan tentang seni budaya oleh parapakar yang sengaja diundang untuk mengajar. EKI mulai dari produksi-produksi kecil, awalnyaberusaha mendalami tari kontemporer sebelum akhirnya mulai menjelajah ke drama musikal.EKI juga sempat membentuk semacam biro manajemen seni yang berperan sebagai manajerbeberapa seniman seperti almarhum dalang Slamet Gundono dan penari atau koreograferMugiyono pada akhir 1990-an.
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
35/204
18 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Pada pertengahan 2000-an di Jakarta, genre drama musikal ini pun menjadi booming denganmobilisasi dana produksi dan penonton yang besar, di antaranya seperti pertunjukan Laskar Pelangiyang disutradarai Riri Reza dan diproduksi oleh Mira Lesmana dan oto Arto atau Onropyangdisutradarai Joko Anwar dengan produser Afi Shamara. Pertunjukan musikal ini dapat dibilang
merupakan varian baru dari teater komersial yang muncul berdasarkan aspirasi dan kebutuhan
kelas menengah baru di Jakarta. Praktik teater komersial sendiri sesungguhnya bisa dirujuk jauhdalam sejarah teater di Indonesia pada maraknya pentas-pentas kelompok Komedi Stamboel
di kota-kota di Jawa dan kepulauan Melayu (sampai Malaka), pada kisaran awal abad ke-19.10
Praktik dan pengelolaan kelompok semacam itu menurun pada eater Dardanella, yang bahkanpernah pentas keliling sampai Amerika Utara pada 19301940-an; juga pada teater hiburan
keliling yang muncul kemudian seperti Ketoprak obong di Jawa engah dan Jawa imur,
yang juga menjadi inspirasi kelompok Srimulat yang pernah sangat terkenal pada 1980-an, lalu
dihidupkan kembali oleh anggotanya melalui medium televisi pada pertengahan 1990-an, yang
masih bisa dilihat jejaknya sampai sekarang.Karena tujuan dan aspirasinya komersial, maka watak
pertunjukan-pertunjukan semacam ini menekankan pada sisi hiburan yang segera (immediate).Oleh karena tujuan dan aspirasinya komersial, maka watak pertunjukan-pertunjukan semacam
ini menekankan pada sisi hiburan yang segera (immediate). Unsur musik (dan lagu) populer sertapertunjukan kerupaan (spektakel) mendapat porsi yang besar di panggung-panggung komersial.
(10) Op. cit. Cohen, 2006.
Musikal Laskar Pelangi, 2010-2011
Sumber: Musikal Laskar Pelangi
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
36/204
19BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
Finding Srimulat (Charles Gozali, 2013),film yang terinspirasi oleh eksistensi Srimulat sebagai
bagian dari budaya bangsa Indonesia,
SRIMULAT
Srimulat, grup atau kelompok lawak yang didirikan oleh eguh Slamet Rahardjo di Solopada 1950 ini, terus berkibar di tengah pentas seni pertunjukan lawak selama 60 tahun lebih.Sepanjang sejarah berdirinya kelompok lawak Indonesia, Srimulat merupakan kelompokyang memiliki paling banyak anggota dan mencetak pelawak-pelawak andal seperti Asmuni,imbul, Gepeng, Bambang Gentolet, Basuki, arzan, Polo, Nunung, Mamiek, dan Gogon.
Srimulat mencapai puncak kejayaannya pada 19701989. Pada masa puncaknya, kelompokhumor ini mampu menyedot penonton hingga memenuhi kapasitas 800 penonton di aman
Hiburan Rakyat Surabaya. Bahkan mereka pun mampu membukafranchisepanggung yangjuga laris di Jakarta dan Solo dengan menampilkan 300 lebih pelawak dan penghibur.
Selama memimpin Srimulat, eguh menggunakan corak kepemimpinan karismatik.Pengaruhnya bersifat personal dan mendapat pengakuan luas dari pengikutnya. Hal initerjadi karena Srimulat dikelola secara kekeluargaan dan berbasis komunal. Anggota yangumumnya berpendidikan rendah juga turut berperan membuat kepemimpinan Srimulatbersifat paternalistik. Seluruh mekanisme ide lawakan, manajemen keuangan, penyusunancerita, hingga keputusan untuk mengembangkan usaha, ada di tangan eguh sebagai pendiri.
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
37/204
20 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Pola kepemimpinan seperti inilah yang kemudian menimbulkan berbagai persoalan di dalamSrimulat. Kepemimpinan paternalisitik tidak bisa dijadikan landasan untuk memecahkanmasalah secara rasional-modern: tidak adanya pembagian kekuasaan, otoritas terpusat padasatu orang, tidak adanya sistem penghargaan yang jelas, persoalan suksesi, dan munculnyahegemoni di pelawak senior. Faktor-faktor tersebut menjadi sebab utama bubarnya Srimulat
pada 1989.
Dua tahun sebelum dibubarkan, serial Srimulat di VRI sempat dihentikan. Lama berselang,kerinduan para personel untuk berkumpul kembali memuncak. Pada 1995, Gogon mengusulkanreuni Srimulat. Pelaksanaan reuni Srimulat terbilang sukses dan tetap menyedot banyakpenonton. Stasiun Indosiar pun meminangnya dan Srimulat tampil kembali di layar perakpada 19952003. Pada 2004, Srimulat kembali vakum. Baru pada 2006, Srimulat kembalimendapat tawaran manggung di Indosiar untuk 36 episode.
Kemunculan Srimulat di Indosiar, mau tak mau, membuatnya bersentuhan langsung dengan
dunia bisnis. Masuknya manajemen bisnis ke dalam Srimulat bukan saja diperlukan untukmenjual jasa, tetapi juga membuat Srimulat sebagai suatu companyyang mempunyai visi dankemahiran wirausaha; bahwa Srimulat harus mampu bersikap proaktif dalam mengelolasumber daya manusia, keuangan, dan pemasaran secara lebih profesional.
Sumber : Dirangkum dari berbagai sumber
MUSIK
Dalam konteks penulisan buku ini, seni pertunjukan musik merujuk pada bentuk penyajianmusik secara langsung (live) di hadapan penonton (audiences). Seni pertunjukan musik dapatdibagi ke dalam tiga jenis, yaitu:
1. Pertunjukan musik populer merujuk pada pertunjukan musik yang memiliki daya tarik
yang luas dan didistribusikan secara luas kepada masyarakat, yang terdiri dari sejumlah
genre termasuk musik pop, rock,jazz, soul, R&B, reggae, dan sebagainya. Pertunjukanmusik populer terkait erat dengan aktivitas rekaman musik, yaitu sebagai aktivitas
pendukung (promosi penjualan lagu) dari musisi yang bersangkutan.
Adapun pertunjukan musik populer yang merupakan fokus pengembangan seni pertunjukan
musik dalam kerangka ekonomi kreatif adalah pertunjukan musik populer kontemporer,
yaitu musik dengan genre populer (seperti rock, jazz, soul) yang mempunyai tingkateksperimentasi tinggi dan digunakan sebagai medium penyampaian gagasan penciptaan
senimannya (komponisnya). Musik populer kontemporer tidak selalu dapat diterima oleh
masyarakat luas dan didistribusikan secara luas pula, oleh karena itu, dalam penciptaan
dan penyajian karyanya, pertunjukan musik populer kontemporer tidak selalu berkaitan
dengan rekaman musik (industri musik). Dengan demikian, konser atau pertunjukan
musik ditempatkan sebagai aktivitas utama dalam berkesenian, bukan pendukung seperti
halnya yang terjadi dalam pertunjukan musik populer.
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
38/204
21BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
Karya-karya yang ditampilkan oleh Duo Ubiet & Tohpati pada pertunjukan Eclectic Jazz Session untuk
memperingati 100 tahun kelahiran komponis legendaris Ismail Marzuki pada tanggal 21 Juni 2014 di Teater
Salihara adalah contoh pertunjukan musik jazz yang dipadukan dengan nyanyian eklektik. Musik yang dihasilkan
merupakan musik kontemporer karena keduanya menggali berbagai spektrum musikal yang luas dalam ritme,
metrum, melodi, harmoni, maupun tekstur, dan warna bunyi.
Foto: Komunitas Salihara.
2. Pertunjukan musik yang berakar pada kebudayaan lokal:
Pertunjukan musik tradisional- musik yang diwariskan secara turun-temurun
dan berkelanjutan pada masyarakat suatu daerah, dan mempunyai ciri khas masing-
masing baik dari alat, gaya dan bahasa yang digunakan. Contoh: Gondang (Batak),
Gambus dan Orkes Melayu (Riau), Gambang Kromong (Betawi), Angklung (Sunda),
Gamelan (Jawa dan Bali).
Pertunjukan musik dunia (world music) - kategori ini secara umum merujuk pada
sebuah genre yang pada dasarnya merupakan perpaduan (fusion) antara musik-musik
yang mengambil sumber dari lokalitas tertentu (non-Barat) tertentu dengan genremusik lainnya.
3. Pertunjukan musik klasik Barat,yang dapat dibagi menjadi:
Orkestra, adalah sekelompok musisi yang memainkan alat musik Klasik bersama,
seperti alat musik gesek (strings), alat musik tiup (woodwind & brass), dan alat perkusi.Selain tiga kategori tersebut, piano dan gitar juga terkadang dapat dijumpai dalam
orkestra. Orkestra yang besar kadang-kadang disebut sebagai orkestra simponi.
Orkestra simponi memiliki sekitar 100 pemain, sementara orkestra yang kecil hanya
memiliki 30 atau 40 pemain. Contoh kelompok orkestra Indonesia misalnya Jakarta
Concert Orchestra, wilite Orchestra, dan Yayasan Musik Jakarta.
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
39/204
22 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Musik kamar (chamber music), adalah musik klasik yang dimainkan oleh sekelompok
musisi berjumlah kecil (biasanya empat orang) dan dipentaskan di ruangan berskala
kecil.
Paduan suara
Seriosa
Berdasarkan gubahan bentuk, maka seni pertunjukan musik dapat dikelompokkan ke dalam:
1. Pertunjukan musik kontemporer atau eksperimen. Pengembangan bentuk yang
kontemporer berlaku pada setiap genre di atas, artinya merujuk pada eksperimentasi
yang melebihi apa yang sudah dilakukan sebelumnya (disemangati oleh pencarian
kemungkinan baru), menekankan sifat anti pada kaidah-kaidah kompositoris, bahkan
anti pada bentuk-bentuk penyajian musikal yang baku dan mapan. Dari sudut pandang
kreativitas, musik kontemporer dimengerti sebagai musik baru yang dibuat dengan kaidah
dan suasana yang baru, berkembang dari gagasan yang menempatkan proses eksplorasi
bunyi sebagai yang utama dan medium ekspresi yang tak terbatas agar dapat mewadahi
gagasan penciptanyayang pada akhirnya lepas dari konsep musik yang enak didengar saja.
Gubahan bentuk musik kontemporer dapat dilakukan di semua genre. Komponis kontemporer
Indonesia seperti Amir Pasaribu, Dua Srikandi piano (risutji Kamal dan Marusya
Nainggolan Abdullah) menggarap musik kontemporer dalam idiom tradisi Barat, yaitu
materi garapannya dapat berupa musik tradisional, namun teknik garapannya memakai
prinsip-prinsip musik barat, misalnya nuansa gending gamelan Jawa yang ditranskripsikan
ke dalam piano. Lain halnya dengan A.W. Sutrisna, Rahayu Supanggah, Wayan Sadra,
Dody Satya Ekagustdiman, dan Peni Candra Rini yang menggarap musik kontemporer
yang bersumber dari unsur tradisional, misalnya, memetik kecapi dengan gesekan kuku
jari, atau mengubah fungsi degung sebagai instrumen solo padahal seharusnya dimainkandalam sebuah ensemblebersama. Sedangkan Slamet Abdul Sjukur, Sapto Rahardjo, BenPasaribu, ony Prabowo, dan Otto Sidharta menggarap musik kontemporer dengan
mencampurkan budaya Indonesia dan budaya Barat. ony Prabowo misalnya, dikenal
akan kemahirannya dalam melakukan eksplorasi teknik permainan yang tidak biasa
pada alat-alat akustik untuk menciptakan tuntutan karakter suara yang dibutuhkan,
yang tidak hanya mengubah karakteristik bunyi, tetapi juga mempengaruhi spektrum
harmoni warna musik. Begitu pula dengan karya Slamet Abdul Sjukur, berjudul TetabuhanSungut, yang sesungguhnya adalah karya canon vocal, namun strukturnya menggunakanteknik garapan gending.
2. Pertunjukan musik nonkontemporer atau noneksperimen. Musik nonkontemporer
atau noneksperimen merujuk pada gubahan musik yang bentuknya relatif tidak berubah
dari zaman ke zaman dan tidak terjadi eksplorasi dalam teknik permainan maupun bunyi
diluar dari apa yang lazimnya dilakukan.
Elaborasi mengenai pembagian seni pertunjukan di atas mencakup semua jenis seni pertunjukan
baik dari genre, maupun tujuan penciptaan. Namun demikian, tidak semua jenis seni pertunjukantersebut dapat dikembangkan dalam kerangka ekonomi kreatif karena selain potensi nilai sosial
dan budaya, potensi nilai ekonomi yang diberikan oleh seni pertunjukan tersebut, baik langsung
(direct economic benefit) maupun tidak langsung (indirect economic benefit) adalah salah satu faktorutama yang harus dipertimbangkan.
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
40/204
23BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
Oleh karena itu, pengembangan ekonomi kreatif subsektor seni pertunjukan membatasi ruang
lingkupnya pada jenis-jenis pertunjukan:
taritradisional, kreasi baru, modern, kontemporer;
teatertradisional, modern, transisi, kontemporer-eksperimental (avant-garde), komersial,nonkomersial;
musikpopuler-kontemporer (eksperimentasi); tradisional, world music, klasik Barat(kontemporer dan nonkontemporer);
lintas disiplincontoh: wayang, sendratari, sastra lisan, musikalisasi puisi.
Seni pertunjukan yang dimaksud dalam kerangka ekonomi kreatif adalah yang disajikan sebagai
produk seni yang dipentaskan untuk dinikmati atau dikonsumsi sebagai produk seni, bukan sebagai
jasa seni. Seni pertunjukan sebagai jasa dapat dilihat pada seni pertunjukan sebagai pengisi acara
nonseni budaya, pengisi acara V, wedding singer, maupun home band. idak termasuk dalamruang lingkup pengembangan ekonomi kreatif adalah jens sen pertunjukan yang dlakukan
sebaga bagan dar proses rtual sosal, adat, maupun relgus.
Gambar 1 - 1 Ruang Lingkup dan Fokus Pengembangan Seni Pertunjukan
Avant Garde
KATEGORI BESAR
Tari
BERDASARKAN
PENGELOLAAN
KELOMPOK
Teater
BERDASARKAN
PERKEMBANGAN
/GENRE
BERDASARKAN
BENTUK PENYAJIAN
DAN KONSUMSI
BERDASARKAN
GUBAHAN BENTUK
Produk Seni
Jasa Seni
Bagian dari ritualsosial, adat, dan
religius
Kontemporer
Tradisional
Kreasi Baru
Modern
Tradisional
Modern
Lintas Disiplin
Transisi
World Music
Klasik Barat
Populer
Tradisional
PertunjukanMusik
SENI
PERTUNJUKAN
Amatir
Non-Komersial
Komersial
Kontemporer/Eksperimen
Non-Kontemporer/Non-Eksperimen
Fokus pengembangan Seni Pertunjukan
-
7/23/2019 Cetak Biru Seni Pertunjukan
41/204
24 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
1.2 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan
1.2.1 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan DuniaPerkembangan teater di Inggris pada abad ke-16 bisa dijadikan salah satu titik awal berkembangnya
seni pertunjukan menjadi sebuah industri. Sebelum memasuki masa penyair dan penulis drama
legendaris William Shakespeare, naskah drama hanya ditulis oleh beberapa orang (kolektif) dananonim. Seiring berkembangnya teater menjadi seni populer dan semakin menarik lebih banyak
penonton, permintaan dan kebutuhan akan naskah-naskah baru pun meningkat.
Selama beberapa abad, seni pertunjukan hadir semata-mata sebagai hiburan orang kebanyakan.
Memasuki abad ke-19, forum kolonial seperti colonial exhibition di Paris, menjadikan senipertunjukan sebagai ajang pementasan beragam kesenian negeri jajahan.
Sementara di Amerika Serikat, Civil War atau Perang Saudara (1860-1865) membawa perubahan
besar pada dunia seni pertunjukan. Perubahan tersebut berkaitan erat dengan meningkatnya peran
manajerial sejalan dengan perkembangan tur, yang juga dipacu oleh pesatnya pembangunan jalurkereta api pada saat itu.
Sejarah perkembangan seni pertunjukan dan manajemennya terkait erat dengan sejarah
perkembangan teater. Sejalan dengan kebutuhan fungsi yang semakin banyakseperti fungsi
manajer, administrator, dan penampil utamapara seniman terpaksa merangkap beberapa fungsi
sekaligus. Perubahan kebutuhan fungsi inilah yang mengawali perkembangan peran pemilik
dan manajer gedung seni pertunjukan sebagai pihak yang tepat untuk melakukan fungsi-fungsi
manajemen seni pertunjukan tersebutyang seharusnya tidak dibebankan kepada seniman.
Kemudian pada awal abad ke-20, Eropa Barat menjadi pemicu gerakan modernisme seni, termasukdalam seni pertunjukan. Salah satu tokoh pada masa ini adalah Isadora Duncan, yang mendirikan
sekolah tari modern pertama di Berlin pada tahun 1905, diikuti oleh Martha Graham pada tahun
1926 dengan penampilan 18 orang penari bertelanjang kaki (barefoot) dan kostum mencolok diNew Yorkmenjadikannya pioner revolusi tari modern di Amerika.
Sementara itu, para seniman dan artisan Rusia Putih (atau orang-orang Rusia yang menolak
Revolusi Bolshevik di tahun 1917) melarikan diri ke Paris, dan di bawah pimpinan impresariat
Serge Diaghilev, mereka mendirikan Ballets Russes (1909-1929), sebuah dance companyyanglegendaris.
Memasuki abad ke-21, negara-negara Eropa Barat yang menerapkan kebijakan kebudayaan
ala negara-negara kemakmuran (welfare state) saling terhubung melalui jejaring teater publikmereka. Kedekatan geografis negara-negara Eropa Barat, juga sistem kuratorial (wacana dan arah
artistik) yang mirip, serta referensi pendidikan seni yang relatif serupa, membuat mereka saling
mengundang seniman (touring) serta mementaskan karya masing-masing seniman. Pada akhirnya,jejaring ini diperluas dengan skema koproduksi. Artinya, selain dapat menawarkan karyanya
untuk dipentaskan di teater-teater