case tinea korporis
DESCRIPTION
caseTRANSCRIPT
CASE REPORT
TINEA KORPORIS
Oleh :
Agusti Nala Sari
Putri Ryzki Aulia
Yelsa Yulanda Putri
Eka putri
Preseptor:
dr. Dear Flowery
KEPANITERAAN KLINIK ROTASI II
PUSKESMAS BELIMBING
2015
TINEA KORPORIS
I. PENDAHULUAN
Tinea korporis adalah penyakit dermatofit pada kulit glabrosa, selain kulit kepala, wajah, kaki,
telapak tangan dan kaki, janggut dan lipatan paha.(1,2,3) Manifestasinya akibat infiltrasi dan proliferasinya
pada stratum korneum dan tidak berkembang pada jaringan yang hidup. (1,4) Metabolisme dari jamur
dipercaya menyebabkan efek toksik dan respon alergi. Tinea korporis umumnya tersebar pada seluruh
masyarakat tapi lebih banyak di daerah tropis. (1)
Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur dan paling sering terjadi pada iklim yang panas
(tropis dan subtropis).(5,6) Ada beberapa macam variasi klinis dengan lesi yang bervariasi dalam ukuran
derajat inflamasi dan kedalamannya. Variasi ini akibat perbedaan imunitas hospes dan spesies dari jamur.(5)
II. EPIDEMIOLOGI
Tinea korporis merupakan infeksi yang umumnya sering dijumpai didaerah yang panas,
Tricophyton rubrum merupakan infeksi yang paling umum diseluruh dunia dan sekitar 47 %
menyebabkan tinea korporis. Tricophyton tonsuran merupakan dermatofit yang lebih umum
menyebabkan tinea kapitis, dan orang dengan infeksi tinea kapitis antropofilik akan berkembang menjadi
tinea korporis.. Walaupun prevalensi tinea korporis dapat disebabkan oleh peningkatan Tricophyton
tonsuran, Microsporum canis merupakan organisme ketiga sekitar 14 % menyebabkan tinea korporis.(7)
Tinea korporis mungkin ditransmisikan secara langsung dari infeksi manusia atau hewan melalui
autoinokulasi dari reservoir, seperti kolonisasi T.rubrum di kaki. Anak-anak lebih sering kontak pada
zoofilik patogen seperti M.canis pada kucing atau anjing. Pakaian ketat dan cuaca panas dihubungkan
dengan banyaknya frekuensi dan beratnya erupsi. (2)
Infeksi dermatofit tidak menyebabkan mortalitas yang signifikan tetapi mereka bisa berpengaruh
besar terhadap kualitas hidup. Tinea korporis prevalensinya sama antara pria dan wanita. Tinea korporis
mengenai semua orang dari semua tingkatan usia tapi prevalensinya lebih tinggi pada preadolescen. Tinea
korporis yang berasal dari binatang umumnya lebih sering terjadi pada anak-anak. (7,8) Secara geografi
lebih sering pada daerah tropis daripada subtropis.(8)
Berdasarkan habitatnya dermatofit digolongkan sebagai antropofilik (manusia), zoofilik (hewan),
dan geofilik (tanah). Dermatofit yang antropofilik paling sering sebagai sumber infeksi tinea, tetapi
sumber yang zoofilik di identifikasi (jika mungkin) untuk mencegah reinfeksi manusia.(9)
III. ETIOLOGI
Tinea korporis dapat disebabkan oleh berbagai spesies dermatofit seperti Trichophyton,
Microsporum, dan Epidermophyton. Variasi penyebabnya dapat ditemukan berdasarkan spesies yang
terdapat di daerah tertentu.(1,6) Namun demikian yang lebih umum menyebabkan tinea korporis adalah
T.rubrum, T.mentagrophytes, dan M.canis.(1)
IV. PATOGENESIS
Dermatofitosis bukanlah patogen endogen. Transmisi dermatofit kemanusia dapat melalui 3
sumber masing-masing memberikan gambaran tipikal. Karena dermatofit tidak memiliki virulensi secara
khusus dan khas hanya menginvasi bagian luar stratum korneum dari kulit.(3)
Types Of Dermatophytes Based On Mode Of Transmission
Category Mode of transmission Typical clinical features
Antropofilik
Zoofilik
Geofilik
Manusia ke manusia
Hewan ke manusia
Tanah ke manusia atau hewan
Ringan, tanpa inflamasi, kronik
Inflamasi hebat (mungkin pustula dan
vesikel), akut.
Inflamasi sedang
Lingkungan kulit yang sesuai merupakan faktor penting dalam perkembangan klinis
dermatofitosis. Infeksi alami disebabkan oleh deposisi langsung spora atau hifa pada permukaan kulit
yang mudah dimasuki dan umumnya tinggal di stratum korneum, dengan bantuan panas, kelembaban dan
kondisi lain yang mendukung seperti trauma, keringat yang berlebih dan maserasi juga berpengaruh.(4,7,10)
Pemakaian bahan yang tidak berpori akan meningkatkan temperatur dan keringat sehingga
mengganggu fungsi barier stratum korneum. Infeksi dapat ditularkan melalui kontak langsung dengan
individu atau hewan yang terinfeksi, benda-benda seperti pakaian, alat-alat dan lain-lain. Infeksi dimulai
dengan terjadinya kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya dalam jaringan keratin yang mati. Hifa ini
memproduksi enzim keratolitik yang mengadakan difusi ke dalam jaringan epidermis dan merusak
keratinosit. (7,10)
Setelah masa perkembangannya (inkubasi) sekitar 1-3 minggu respon jaringan terhadap infeksi
semakin jelas dan meninggi yang disebut ringworm, yang menginvasi bagian perifer kulit. Respon
terhadap infeksi, dimana bagian aktif akan meningkatkan proses proliferasi sel epidermis dan
menghasilkan skuama. Kondisi ini akan menciptakan bagian tepi aktif untuk berkembang dan bagian
pusat akan bersih. Eliminasi dermatofit dilakukan oleh sistem pertahanan tubuh (imunitas) seluler.(7,10)
Pada masa inkubasi, dermatofit tumbuh dalam stratum korneum, kadang-kadang disertai tanda
klinis yang minimal. Pada carier, dermatofit pada kulit yang normal dapat diketahui dengan pemeriksaan
KOH atau kultur.(10)
V. GAMBARAN KLINIK
Tinea korporis bisa mengenai bagian tubuh manapun meskipun lebih sering terjadi pada bagian
yang terpapar. Pada penyebab antropofilik biasanya terdapat di daerah yang tertutup atau oklusif atau
daerah trauma.(6)
Keluhan berupa rasa gatal. Pada kasus yang tipikal didapatkan lesi bulla yang berbatas tegas,
pada tepi lesi tampak tanda radang lebih aktif dan bagian tengah cenderung menyembuh. Lesi yang
berdekatan dapat membentuk pola gyrate atau polisiklik. Derajat inflamasi bervariasi, dengan morfologi
dari eritema sampai pustula, bergantung pada spesies penyebab dan status imun pasien. Pada penyebab
zoofilik umumnya didapatkan tanda inflamasi akut. Pada keadaan imunosupresif, lesi sering menjadi
lebih luas.(6)
Tinea korporis dapat bermanifestasi sebagai gambaran tipikal, dimulai sebagai lesi eritematosa,
plak yang bersisik yang memburuk dan membesar, selanjutnya bagian tengah dari lesi akan menjadi
bentuk yang anular akan mengalami resolusi, dan bentuk lesi menjadi anular. (1,5,7,10,11) berupa skuama,
krusta, vesikel, dan papul sering berkembang, khususnya pada bagian tepinya. Kadang-kadang terlihat
erosi dan krusta akibat garukan. Lesi pada umumnya merupakan bercak terpisah satu dengan yang
lainnya.(10)
Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang akut biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini
dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini
disebut tinea korporis dan kruris.(12)
Bentuk khas tinea korporis yang disebabkan oleh Trichophyton concentricum disebut tinea
imbrikata. Tinea imbrikata mulai dengan bentuk papul berwarna coklat, yang perlahan-lahan menjadi
besar. Stratum korneum bagian tengah ini terlepas dari dasarnya dan melebar. Proses ini setelah beberapa
waktu mulai lagi dari bagian tengah, sehingga terbentuk lingkaran-lingkaran skuama yang konsentris. (7)
Infeksi dermatofit secara zoofilik atau geofilik lebih sering menyebabkan respon inflamasi
daripada yang disebabkan oleh mikroba antropofilik. Umumnya, pasien HIV-positif atau
imunokompromise bisa terlihat dengan abses yang dalam dan meluas. (7)
Tinea korporis lebih sering ditemukan sebagai asimptomatik atau gatal ringan. Secara obyektif
tipikal lesinya mulai sebagai makula eritematosa atau papul yang menjalar dan berkembang menjadi
anular, dan lesi berbatas tegas, skuama atau vesikel, tepi yang berkembang dan healing center. Tinea
korporis lebih sering pada permukaan tubuh yang terbuka antara lain wajah, lengan dan bahu.(13)
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dalam patogenesisnya, jamur patogen akan menyebabkan kelainan pada kulit sehingga atas dasar
kelainan kulit inilah kita dapat membangun diagnosis. Akan tetapi kadang temuan efloresensi tidak khas
atau tidak jelas, sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang. (14)
Pemeriksaan KOH merupakan pemeriksaan tunggal yang paling penting untuk mendiagnosis
infeksi dermatofit secara langsung dibawah mikroskop dimana terlihat hifa diantara material keratin. (5)
Gambaran effloresensinya sebagai berikut (6)
Penyakit jamur Floresensi
Tinea kapitis Pitiriasis versikolor Hijau, biru kehijauan Kuning keemasan
Bukan Penyakit jamur Effloresensi
Eritasma Obat tetrasiklin Merah bata kuning
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis ditetapkan berdasarkan gambaran klinis dan lokalisasinya atau pemeriksaan sediaan
langsung kerokan lesi dengan larutan KOH 20%, untuk melihat elemen jamur dermatofit. Biakan jamur
diperlukan untuk identifikasi spesies jamur penyebab yang lebih akurat.(10)
Diagnosis pasti digunakan melakukan pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop untuk
mengidentifikasi adanya hifa dan spora untuk mengetahui infeksi dermatofit. Infeksi dapat dikonfirmasi
atau beberapa dari keadaan ini diidentifikasi dari hasil positif kerokan oleh kultur jamur. (14)
VIII. DIAGNOSIS BANDING
Bergantung variasi gambaran klinis, tinea korporis kadang sulit dibedakan dengan beberapa
kelainan kulit yang lainnya. Antara lain dermatitis kontak, dermatitis numularis, dermatitis seboroik,
ptiriasis rosea,(6,12) dan psoriasis.(6,7,12) Untuk alasan ini, tes laboraturium sebaiknya dilakukan pada kasus
dengan lesi kulit yang tidak jelas penyebabnya. (6)
Kelainan kulit pada dermatitis seboroik selain dapat menyerupai tinea korporis, biasanya dapat
terlihat pada tempat-tempat predileksi, misalnya dikulit kepala, lipatan-lipatan kulit, misanya belakang
telinga, daerah nasolabial dan sebagainya. Psoriasis dapat dikenal dari kelainan kulit dari tempat
predileksi, yaitu daerah ekstensor, misalnya lutut, siku dan punggung. Kulit kepala berambut juga sering
terkena pada penyakit ini. Adanya lekukan lekukan pada kuku dapat pula menolong untuk menentukan
diagnosis. (12)
Pitiriasis rosea, yang distribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas, tubuh dan bagian
proksimal anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea korporis tanpa heral patch yang dapat
membedakan penyakit ini dengan tinea korporis. Pemeriksaan laboratoriumlah yang dapat memastikan
diagnosisnya. (12)
IX. PENATALAKSANAAN
Menghilangkan faktor predisposisi penting, misalnya mengusahakan daerah lesi selalu kering
dan memakai baju yang menyerap keringat.
A. Terapi topikal
Terapi direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit biasanya hidup pada
jaringan. Berbagai macam preparat imidazol dan alilamin tersedia dalam berbagai formulasi.
Dan semuanya memberikan keberhasilan terapi (70-100%). Terapi topikal digunakan 1-2 kali
sehari selama 2 minggu tergantung agen yang digunakan. Topikal azol dan allilamin
menunjukkan angka perbaikan perbaikan klinik yang tinggi.(7)
Berikut obat yang sering digunakan :
1. Topical azol terdiri atas :
a. Econazol 1 %
b. Ketoconazol 2 %
c. Clotrinazol 1%
d. Miconazol 2% dll.
Derivat imidazol bekerja dengan cara menghambat enzim 14-alfa-dimetilase pada
pembentukan ergosterol membran sel jamur. (7,15)
2. Allilamin bekerja menghambat allosterik dan enzim jamur skualen 2,3 epoksidase sehingga
skualen menumpuk pada proses pembentukan ergosterol membran sel jamur.(10) yaitu
aftifine 1 %, butenafin 1% Terbinafin 1% (fungisidal bersifat anti inflamasi ) yang mampu
bertahan hingga 7 hari sesudah pemakaian selama 7 hari berturut-turut.(7,15)
3. Sikloklopirosolamin 2% (cat kuku, krim dan losio) bekerja menghambat masuknya bahan
esensial selular dan pada konsentrasi tinggi merubah permeabilitas sel jamur merupakan
agen topikal yang bersifat fungisidal dan fungistatik, antiinflamasi dan anti bakteri serta
berspektrum luas.(7)
4. Kortikosteroid topikal yang rendah sampai medium bisa ditambahkan pada regimen anti
jamur topikal untuk menurunkan gejala. Tetapi steroid hanya diberikan pada beberapa hari
pertama dari terapi. (5,7)
B. Terapi sistemik
Pedoman yang dikeluarkan oleh American Academy of Dermatology menyatakan bahwa
obat anti jamur (OAJ) sistemik dapat digunakan pada kasus hiperkeratosis terutama pada telapak
tangan dan kaki, lesi yang luas, infeksi kronis, pasien imunokompromais, atau pasien tidak
responsif maupun intoleran terhadap OAJ topikal. (15)
1. Griseofulvin (7,15)
Obat ini berasal dari penicillium griceofulvum dan masih dianggap baku emas pada
pengobatan infeksi dermatofit genus Trichophyton, Microsporum, Epidermophyton. Berkerja
pada inti sel, menghambat mitosis pada stadium metafase.
2. Ketokonazol (15)
Merupakan OAJ sistemik pertama yang berspektrum luas, fungistatik, termasuk golongan
imidazol. Absorbsi optimum bila suasana asam.
3. Flukonazol (15)
Mempunyai mekanisme kerja sama dengan golongan imidazol, namun absorbsi tidak
dipengaruhi oleh makanan atau kadar asam lambung.
4) Itrakonazol (15)
Merupakan OAJ golongan triazol, sangat lipofilik, spektrum luas, bersifat fungistatik dan
efektif untuk dermatofita, ragi, jamur dismorfik maupun jamur dematiacea. Absorbsi
maksimum dicapai bila obat diminum bersama dengan makanan.
5. Amfosterin B (15)
Merupakan anti jamur golongan polyen yang diproduksi oleh Streptomyces nodosus. Bersifat
fungistatik, pada konsentrasi rendah akan menghambat pertumbuhan jamur, protozoa dan
alga. Digunakan sebagai obat pilihan pada pasien dengan infeksi jamur yang membahayakan
jiwa dan tidak sembuh dengan preparat azol.
X. PROGNOSIS
Untuk tinea korporis yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan tingkat kesembuhan 70-
100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau allilamin atau dengan menggunakan anti jamur
sistemik. (7)
XI. KESIMPULAN
Tinea korporis adalah penyakit dermatofit pada kulit glabrosa, selain kulit kepala, wajah, kaki,
telapak tangan dan kaki, janggut dan lipatan paha.(1,2,3) Manifestasinya akibat infiltrasi dan proliferasinya
pada stratum korneum dan tidak berkembang pada jaringan yang hidup. (4) Metabolisme dari jamur
dipercaya menyebabkan efek toksik dan respon alergi. Tinea korporis umumnya tersebar pada seluruh
masyarakat tapi lebih banyak pada didaerah tropis. (1)
Tinea korporis lebih sering ditemukan sebagai asimptomatik atau gatal ringan. Secara obyektif
tipikal lesinya mulai sebagai makula eritematosa atau papul yang menjalar dan berkembang menjadi
anular, dan lesi berbatas tegas, skuama atau vesikel, tepi yang berkembang dan healing center. Tinea
korporis lebih sering pada permukaan tubuh yang terbuka antara lain wajah, lengan dan bahu.(13)
Untuk tinea korporis yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan tingkat kesembuhan 70-
100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau allilamin atau dengan menggunakan anti jamur
sistemik (7)
DAFTAR PUSTAKA
1. Patel S, Meixner JA, Smith MB, McGinnis MR. Superficial mycoses and dermatophytes. In :
Tyring SK, Lupi O, Hengge UR, editors. Tropical dermatology. China: Elsenvier inc, 2006.
p.185-92.
2. Nelson MM, Martin AG, Heffernan MP. Fungal disease with cutaneus involvement. In :
Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s:
Dermatology in general medicine. 6th ed. New York: Mc graw hill, 2004.p:1908-2001.
3. Sobera JO, Elewski BE. Fungal disease. In : Bolognia JL, Jorizzo JL, Raiini RP, editors.
Dermatology. Spain : Elsevier Science; 2003. p.1174-83.
4. Rook, Willkinson, Ebling. Mycology. In : Champion RH, Burton JL, Ebling FJG, editors. Text
book of dermatology. 5th ed. London : Blackwell scientific publication,1992. p.1148-9.
5. Habif TP. Clinacal dermatology. 4th ed. Edinburgh: Mosby, 2004
6. Goedadi MH, Suwito PS. Tinea korporis dan tinea kruris. In : Budimulja U, Kuswadji, Bramono
K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai
penerbit FKUI, 2004.p.31-4
7. Rushing ME. Tinea corporis. Online journal. 2006 June 29; available from;
http://www.emedicine.com/asp/tinea corporis/article/page type=Article.htm
8. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K, Suurmond D. Colour atlas and synopsis of clinical
dermatology. Athed New York: Mc graw hill.1999.
9. Noble SL, Forbes RC, Stamm PL. Diagnosis and management of common tinea infections. 1998
July 1, available from: <http://www.afp.org/journal/asp/.htm>
10. Amiruddin MD. Ilmu penyakit kulit. Makassar: Percetakan LKiS, 2003.
11. Allen Hb, Rippon JW. Superficial and deep mycoses. In : Moschella SL, Hurley HJ.
Dermatology. 2nd ed. Philadelphia: W.B. Sauders company, 1992. p.739-75
12. Budimulja U. Mikosis. In : Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S. editors. Ilmu penyakit kulit dan
kelamin. 3rd ed. Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2002.p.92-3.
13. Arndt KA, Bowers KE. Manual of dermatology therapeutics with essential of diagnostic. 6 th ed.
Philadelphia: Lippincot Williams & willkins.2002.
14. Nugroho SA. Pemeriksaan penunjang diagnosis dermatomikosis superfisialis. In : Budimulja U,
Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis
superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2004.p.99-106.
15. Kuswadji, Widaty KS. Obat anti jamur. In : Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL,
Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI,
2004.p.108-16.
LAPORAN KASUS
STATUS PASIEN
1. Identitas Pasien
a. Nama/Kelamin/Umur : Nani./ Perempuan / 35 tahun
b. Pekerjaan/pendidikan : IRT
c. Alamat : Lolo
2. Latar Belakang sosial-ekonomi-demografi-lingkungan keluarga
a. Status Perkawinan : Menikah
b. Jumlah Anak : 2
c. Status Ekonomi Keluarga :
Berasal dari golongan ekonomi cukup mampu dengan penghasilan perbulan Rp 2.500.000,-
d. KB : ada
e. Jaminan Kesehatan : BPJS
f. Kondisi Rumah :
- Rumah semipermanen, perkarangan sempit.
- Ventilasi dan sirkulasi udara baik
- Listrik ada
- Sumber air : Sumur
- Jamban ada 1 buah, di dalam rumah
- Sampah dibakar dan dibuang ke TPA
Kesan : hygiene dan sanitasi cukup baik
g. Kondisi Lingkungan Keluarga
- Pasien tinggal di rumah pribadi, di daerah perkotaan yang padat penduduk.
- Lokasi pemukiman pasien cukup padat.
- Lingkungan sekitar rumah cukup bersih.
3. Aspek Psikologis di keluarga
- Hubungan di dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya baik.
- Faktor stress dalam keluarga tidak ada
4. Keluhan utama
Bercak kehitaman yang terasa gatal di badan yang bertambah banyak dan gatal sejak seminggu yang
lalu.
5. Riwayat Penyakit Sekarang
Awalnya, bercak muncul di punggung atas sejak sekitar 2 minggu yang lalu. Kemudian karena
gatal, pasien menggaruknya, lama- kelamaan bercak meluas dan muncul bercak baru di lipat
payudara dan sampai ke perut sejak seminggu yang lalu..
Bercak terasa semakin gatal ketika berkeringat.
Pasien bekerja sehari-hari sebagai ibu rumah tangga yang sering berkeringat, dan membiarkan
pakaian tetap lembab ketika berkeringat. Mandi 2 kali sehari, dikeringkan dengan handuk yang
digunakan sendiri.
Riwayat kebiasaan memakai baju berbahan tebal dan tidak menyerap keringat tidak ada. Riwayat
pemakaian bersama pakaian tidak ada.
Riwayat kebiasaan makan makanan pedas dan berlemak ada.
Pasien tidak memelihara kucing ataupun anjing yang memiliki penyakit (kudis).
Riwayat bersin-bersin di pagi hari, eksim dan mata gatal-gatal disangkal.
Riwayat demam, batuk dan pilek disangkal.
6. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah menderita penyakit ini sebelumnya.
Pasien tidak memiiki riwayat atopi.
Tidak ada riwayat diabetes melitus.
7. Riwayat penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini terutama suami pasien. Tidak
terdapat riwayat penyakit alergi ataupun atopi.
8. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : CMC
Nadi : 88x/ menit
Nafas : 20x/menit
TD : 120/70 mmHg
Suhu : 36,80C
BB : 55 kg
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
KGB : tidak ada pembesaran KGB
Leher : JVP 5-2 cmH2O
THT : tidak ada kelainan
Gigi dan Mulut : tidak ada kelainan
Thorax
- Paru
Inspeksi : simetris kiri = kanan
Palpasi : fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor
Auskultasi : suara nafas bronkovesikuler, ronki (-) wheezing (-)
- Jantung
Inspeksi : Iktus tidak terlihat
Palpasi : Iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : Batas-batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Irama teratur, bising (-)
Abdomen
Inspeksi : tidak tampak membuncit, Distensi (-),
Palpasi : Supel, Hepar/Lien tidak teraba, NT(-), NL (-),
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Status dermatologikus
Lokasi : punggung atas, lipat payudara kiri dan kanan, perut.
Distribusi : terlokalisir (<30%)
Bentuk : tidak khas
Susunan : polisiklik
Batas : tegas
Ukuran : plakat
Efloresensi : plak eritem dan plak hiperpigmentasi disertai papul di pingggiran lesi
yang meninggi, dengan skuama kasar putih dan erosi.
Status venereologikus : tidak ditemukan kelainan
Kelainan selaput : tidak ditemukan kelainan
Kelainan kuku : tidak ditemukan kelainan
Kelainan rambut : tidak ditemukan kelainan
9. Laboratorium :
Anjuran : pemeriksaan kerokan pinggir kulit dengan KOH 10% hifa panjang dikotom
dikontour dengan spora berderet (artrospora)
10. Diagnosis Kerja
Tinea korporis
11. Diagnosis Banding : pitiriasis rosea, dermatitis numularis
12. Manajemen
a. Preventif :
- Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena infeksi atau
bagian yang terinfeksi dikeringkan terakhir untuk mencegah penyebaran infeksi ke
bagian tubuh lainnya.
- Jangan mengunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara bergantian dengan orang
yang terinfeksi.
- Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas untuk mencegah
penyebaran jamur tersebut.
b. Promotif :
- Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat menyebabkan
kulit selalu basah seperti bahan wool dan bahan sintetis yang dapat menghambat
sirkulasi udara. Sebelum menggunakan sepatu, sebaiknya dilap terlebih dahulu dan
bersihkan debu-debu yang menempel pada sepatu.
- Hindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi jamur. Gunakan
sandal yang terbuat dari bahan kayu dan karet.
c. Kuratif :
- Griseofulvin dosis 500 mg 1x 4 tablet 125 mg selama 2 minggu
- Mikonazol cream 2% selama 7 hari dipakai 2-3x sehari setelah mandi
- Loratadine 10 mg/hari 1x1 tab 10 mg (simptomatis)
d. Rehabilitatif :
- Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk menghilangkan sisa-sisa
kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh.
13. Prognosis
Quo ad sanam : bonam
Quo ad vitam : bonam
Quo kosmetikum : bonam
Quo ad functionam : bonam
Dinas Kesehatan Kota Padang
Puskesmas Belimbing
Dokter : Dear Flowery Padang, 23 November 2015
R/ griseofulvin tab 125 mg No. LVI
S 1 dd tab 4
R/ mikonazol cr 2% tube No. I
Sue
Pro : Nani
Umur : 36 tahun
Alamat : Tui Kuranji