case study: wakatobi, s.e. sulawesi, indonesia

26
ACSF-Oxfam Rural Resilience Project Case Study: Wakatobi, S.E. Sulawesi, Indonesia Bahasa Indonesian Translation Paul Simonin PhD Candidate Natural Resources Cornell University March 2014 Atkinson Center for a Sustainable Future www.acsf.cornell.edu

Upload: phungdat

Post on 12-Jan-2017

222 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Case Study: Wakatobi, S.E. Sulawesi, Indonesia

ACSF-Oxfam Rural Resilience Project

Case Study: Wakatobi, S.E. Sulawesi, Indonesia Bahasa Indonesian Translation

Paul Simonin PhD Candidate

Natural Resources Cornell University

March 2014

Atkinson Center for a Sustainable Future

www.acsf.cornell.edu

Page 2: Case Study: Wakatobi, S.E. Sulawesi, Indonesia

Wakatobi,  Indonesia   2013  

 

2    

Pusat Atkinson untuk Masa Depan Berkelanjutan & Oxfam

Laporan Mengenai Resiliensi (Ketangguhan) Pedesaan: Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Indonesia

Penilaian Partisipasi di Tingkat Komunitas, 2013

Paul Simonin

Page 3: Case Study: Wakatobi, S.E. Sulawesi, Indonesia

Wakatobi,  Indonesia   2013  

 

3    

Pendahuluan

Kepulauan Wakatobi, atau Tukangbesi terletak di provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia

(Gambar 1). Sulawesi, yang dahulu juga dikenal dengan nama Celebes, adalah suatu pulau

di Gugusan Sunda Besar yang bergunung-gunung dan memiliki keanekaragaman budaya.

Empat pulau utamanya, yaitu Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binonko, membentuk

Kepulauan Wakatobi, bersama dengan banyak pulau lain yang berukuran lebih kecil.

Pekerjaan yang diringkas dalam laporan ini telah dilaksanakan selama Juni dan Juli 2013

untuk mempelajari resiliensi komunitas di daerah ini.

Dua desa di dekatnya, Ambeua dan Sampela yang terletak di pulau Kaledupa adalah fokus

utama dari penilaian ini. Ambeua adalah komunitas pantai di pulau utama Kaledupa, dan

Sampela terdiri dari rumah-rumah panggung yang dibangun di atas air lepas pantai, dan

kedua desa tersebut sangat bergantung pada sumber daya laut untuk mendapatkan makanan,

material, dan aktivitas-aktivitas yang menghasilkan pendapatan. Penduduk Ambeua adalah

keturunan Suku Buton, yang datang ke pulau-pulau di Wakatobi dari Buton, pulau

berukuran lebih besar yang terletak di sebelah utara kepulauan Wakatobi. Sampela dihuni

oleh orang Bajau atau Sama, suatu kelompok etnis pelaut yang dapat ditemui di seluruh

Indonesia, Malaysia, dan Filipina.

Dalam laporan ini, suatu profil resiliensi komunitas akan dijelaskan, dengan fokus pada tata

pemerintahan, kapasitas kota, sumber daya alam, sumber daya ekonomi, dan transfer ilmu

pengetahuan. Data hasil wawancara akan ditampilkan dan metode-metode kami akan

dijelaskan. Akhirnya, cerminan pada temuan ini dan proses keseluruhan yang kami lakukan

akan dibahas.

Page 4: Case Study: Wakatobi, S.E. Sulawesi, Indonesia

Wakatobi,  Indonesia   2013  

 

4    

Gambar 1) Peta Kabupaten Wakatobi/Taman Nasional di Sulawesi Tenggara, Indonesia.

Profil Resiliensi Komunitas

Pemerintahan

Nama “Wakatobi” adalah akronim dari empat pulau utama di kepulauan Tukangbesi

(Wangi-Wangi, Kaledupa, Tonia, dan Binongko), dan sekarang merupakan nama resmi

untuk Kabupaten dan Taman Nasional di daerah ini. Kabupaten Wakatobi, di dalam provinsi

Sulawesi Tenggara, adalah berpusat di Wanci, pulau Wangi-Wangi, dan dibagi menjadi

delapan kecamatan. Penelitian yang dijelaskan dalam laporan ini dilakukan terutama di

kecamatan Kaledupa, di desa Ambeua dan Sampela/Sama Bahari.

Pemimpin di masing-masing tingkat pemerintahan dipilih melalui suara terbanyak, dengan

Kepala Desa memimpin sebuah desa – level pembuat keputusan, Camat yang memimpin di

Page 5: Case Study: Wakatobi, S.E. Sulawesi, Indonesia

Wakatobi,  Indonesia   2013  

 

5    

level kecamatan, dan Bupati yang memimpin kabupaten. Setiap orang secara sah dapat

mengajukan diri untuk mengisi posisi-posisi kepemimpinan, dan walaupun kebanyakan dari

posisi-posisi tersebut diisi oleh laki-laki, pemimpin perempuan juga terdapat pada banyak

level pemerintahan. Para pemimpin dapat dicopot dari jabatan melalui pengambilan suara

terbanyak, dan juga bertanggung jawab pada level pemerintahan yang lebih tinggi, walaupun

kekuasaan telah secara berkelanjutan didesentralisasi selama satu dekade terakhir di negara

tersebut.

Sekitar 90.000 orang tinggal di

Kabupaten Wakatobi, dan

sekitar 10.000 orang di

kecamatan Kaledupa. Ambeua

dan Sampela dihuni oleh kira-

kira 2.000 orang, yang

kebanyakan terlibat secara

aktif dalam kehidupan

komunitas. Tidak terdapat

tingkat pemungutan suara,

tetapi secara umum dipercaya

bahwa penduduk dapat memilih secara bebas. Pertemuan-pertemuan komunitas sangat baik

– dihadiri, walaupun tidak diadakan secara teratur, dan kebanyakan penduduk tidak sungkan

untuk menyampaikan pertanyaan atau masalah lainnya pada Kepala Desa Ambeua dan

Sampela untuk didiskusikan.

Kebijakan desentralisasi di seluruh Indonesia telah menyebabkan meningkatnya kekuasaan

politis resmi untuk para pemimpin pemerintahan lokal. Dengan demikian komunitas-

komunitas juga secara resmi diberikan kedaulatan lebih melalui proses ini. Namun

demikian, hal ini meningkatkan kekuasaan resmi dan kebebasan tidak selalu diiringi dengan

meningkatnya kapital atau sumber keuangan yang dapat digunakan untuk menjalankan

pemerintahan dan melaksanakan kebijakan dan struktur lokal yang baru. Bagaimanapun,

sifat desentralisasi yang relatif muda tampaknya telah memberikan harapan pada pemimpin

setempat bahwa sumber-sumber daya yang diperlukan akan datang pada akhirnya.

Page 6: Case Study: Wakatobi, S.E. Sulawesi, Indonesia

Wakatobi,  Indonesia   2013  

 

6    

Kapasitas Kota

Beberapa organisasi dan institusi lokal terdapat di Ambeua dan Sampela, kebanyakan

mengenai aspek spiritual dan pendidikan pada kehidupan komunitas. Di Ambeua, keyakinan

Islam mempengaruhi semua aspek kehidupan individu dan komunitas, dan masjid lokal

berfungsi sebagai tempat pertemuan yang penting dan merupakan pusat komunitas.

Sembahyang dan ibadah harian serta mingguan merupakan praktek inti untuk desa tersebut.

Penelitian yang dilaporkan di sini telah dilakukan sebagian pada saat bulan suci Ramadhan,

sehingga pengaruh budaya Islam juga secara praktis meningkat selama saat tersebut.

Di Sampela, kebanyakan anggota komunitas juga terdaftar secara resmi sebagai beragama

Islam, tetapi lebih sedikit dari anggota komunitas yang benar-benar mempraktikkan

keyakinan seorang Muslim. Penelitian sebelumnya pada komunitas ini menunjukkan bahwa

sepuluh persen atau kurang dari anggota komunitas yang menghayati Ramadhan, dan bahwa

keyakinan spiritual Bajau/Sama lebih penting dan lebih berpengaruh.

Organisasi kejuruan

meliputi koperasi

kerajinan perempuan di

desa Ambeua, yang

berperan untuk

mengumpulkan

perempuan-perempuan

dari daerah di sekitar

pulau Kaledupa.

Distribusi tenunan dan

barang-barang yang

dibuat secara setempat

kadang-kadang dikoordinasikan melalui organisasi ini, karena terdapat pelatihan dan acara-

acara berbagi ilmu pengetahuan lainnya. Organisasi tersebut memiliki gedung di dekat lahan

pasar primer di dekat Ambeua, sehingga barang-barang dapat dijual di lahan tersebut dan

merupakan lokasi ideal untuk ruang kerja dan acara lainnya.

Page 7: Case Study: Wakatobi, S.E. Sulawesi, Indonesia

Wakatobi,  Indonesia   2013  

 

7    

Suatu organisasi yang disebut sebagai “Forum Kaledupa Toudani” (FORKANI) juga

berpusat di Ambeua, dan sangat berpengaruh pada mobilisasi kapital budaya dan sosial di

seluruh Kaledupa. FORKANI khususnya terlibat dalam pelestarian sejarah dan kegiatan

pendidikan, dan memiliki 4 hingga 6 orang pegawai yang berkeliling Kaledupa dan

memimpin berbagai acara komunitas. Mereka khususnya terlibat di dalam masalah

pelestarian lingkungan dan diskusi, dan berkoordinasi dengan catatan perikanan dan

kelautan untuk beberapa desa selain dari upaya advokasi kebijakan atas nama nelayan dan

komunitas lokal. FORKANI mengatur apa yang disebut dengan “Forum Perikanan

Kaledupa,” yang meliputi wakil dari masing-masing desa nelayan, dan untuk memudahkan

komunikasi dan pengelolaan kelautan antara sesama nelayan di daerah.

Organisasi-organisasi non-lokal yang berfokus pada lingkungan juga terdapat di Ambeua

dan Sampela, walaupun mereka secara praktis kurang berpengaruh pada desa-desa ini.

Nature Conservancy-Indonesia, Worldwide Fund for Nature-Indonesia, dan Conservation

International-Indonesia semuanya telah memiliki program dan proyek-proyek jangka pendek

di Wakatobi dan desa-desa ini. Namun demikian, saat ini, tidak ada pegawai lokal yang

dipertahankan di Ambeua atau Sampela, walaupun The Nature Conservancy saat ini

menyediakan dana untuk beberapa kegiatan FORKANI. Operation Wallacea (Operasi

Wallacea), suatu organisasi lingkungan yang berbasis di Inggris juga hadir secara musiman

di Pulau Hoga, di mana organisasi tersebut menjalankan stasiun penelitian ekologi. Sedikit

individu lokal saat ini terlibat dalam kepemimpinan pada operasi organisasi ini, namun

banyak pekerjaan pada stasiun di lapangan selama bulan Juni - Agustus setiap tahun.

FORKANI adalah organisasi lokal primer yang mempertahankan hubungan dengan

organisasi-organisasi nasional dan internasional yang berkaitan, dan hal ini dilakukan untuk

beberapa alasan. Dana untuk beberapa kegiatan FORKANI tertentu secara historis berasal

dari organisasi-organisasi internasional, dan mereka terus mengajukan dana hibah yang

sesuai ketika memungkinkan. FORKANI juga menjadi pemain primer dalam kebanyakan

gerakan lingkungan dan kebudayaan di wilayah Wakatobi, dan dengan demikian memainkan

peran kunci dalam mengorganisasi kegiatan protes pada beberapa kesempatan, dan acara-

acara lain yang berhubungan.

Page 8: Case Study: Wakatobi, S.E. Sulawesi, Indonesia

Wakatobi,  Indonesia   2013  

 

8    

Sumber Daya Alam

Ambeua dan Sampela terletak di dekat jantung dari wilayah laut dengan keanekaragaman

biologis yang paling banyak di muka Bumi, dan lautnya telah memainkan peran sentral

dalam hampir semua aspek kehidupan desa-desa ini selama ratusan tahun. Pemandangan

laut di sekitar Ambeua dan Sampela tersusun oleh terumbu karang tepi di sekeliling

Kaledupa dan Kepulauan Hoga, dengan hamparan rumput laut di sekitarnya. Terumbu

karang tepi tersebut kemudian jatuh ke dalam perairan lepas pantai yang dengan cepat

mencapai kedalaman 300-500 meter. Garis pantai di daerah tersebut kebanyakan berupa

pantai berpasir atau hutan bakau, dengan tebing batu yang tidak jarang. Di pulau Kaledupa,

dasar batuan terumbu karang telah tertutup dengan hutan tropis, walaupun sedikit lahan yang

belum diolah masih terdapat di pulau tersebut. Air tawar tanah terdapat di Kaledupa, tetapi

tidak terdapat di Pulau Hoga.

Ambeua, karena terdapat di Kaledupa, memiliki akses yang mudah ke sumber-sumber daya

yang berada di daratan, dan secara historis mempertahankan kendali atas sumber-sumber

daya tersebut. Namun, Sampela yang dibangun sepenuhnya di atas atau di laut, memiliki

akses yang mudah ke sumber laut tetapi harus bertukar atau berdagang untuk barang-barang

dari Kaledupa. Dengan demikian, biasa untuk keluarga-keluarga di Ambeua untuk memiliki

sebidang kecil tanah di luar desa, di mana mereka bertanam hasil pertanian pokok seperti

opa dan canu (jenis ubi-ubian), singkong, dan tanaman lain untuk dikonsumsi dan mungkin

untuk dijual. Keluarga-keluarga ini juga dapat memancing atau kadang-kadang memanen

hasil laut, tetapi kegiatan seperti itu tidaklah menyeluruh. Di antara keluarga-keluarga

Ambeua, lahan biasanya dimiliki secara pribadi, walaupun ladang penggembalaan umum

digunakan untuk bersama.

Di Sampela, tersedia akses yang mudah ke sumber daya laut, namun demikian kebalikan

dari keuntungan relatif yang dimiliki Ambeua sehubungan dengan kepemilikan adalah tidak

terjadi. Dengan kata lain, walaupun penduduk Sampela tidak dapat memiliki akses di

Kaledupa, penduduk Kaledupa tidak dibatasi aksesnya ke sumber daya laut oleh penduduk

Sampela. Namun demikian, suku Bajau dari Sampela memiliki akses yang jauh lebih mudah

karena mereka memang tinggal di atas bagian karang-karang. Pada saat surut, mereka juga

memiliki akses yang lebih mudah ke dataran pasang-surut di mana invertebrata dapat

Page 9: Case Study: Wakatobi, S.E. Sulawesi, Indonesia

Wakatobi,  Indonesia   2013  

 

9    

dipanen. Semua keluarga Sampela dalam beberapa cara terlibat dalam memanen sumber

daya laut, dan kebanyakan digunakan sendiri dan menjual atau menukar apapun yang tersisa

di dalam desa tersebut atau di Ambeua.

Penduduk Sampela sering melakukan perjalanan ke Ambeua untuk memperoleh air, namun

air sekarang telah tersedia secara gratis di pelabuhan. Para perempuan sering melakukan

tugas ini, dan mungkin membawa air ekstra untuk dijual ke keluarga lain di desa, hal ini

menciptakan ekonomi air yang kurang terorganisasi. Kayu juga dapat diambil dengan bebas

dari hutan bakau di sekitar Kaledupa, atau seseorang dapat membeli kayu dari orang yang

telah memotong kayu sebelumnya. Pemotongan kayu hutan bakau secara resmi dilarang di

perbatasan Taman Nasional Wakatobi, yang mencakup seluruh wilayah, namun peraturan

ini diterapkan secara kurang tegas.

Sumber Ekonomi

Terdapat satu pasar utama untuk desa Ambeua dan Sampela, dan berlokasi di dekat

pelabuhan Ambeua. Di pasar ini, ikan dijual setiap hari bersama dengan hasil pertanian

orang Ambeua. Kebanyakan ikan yang dijual di pasar berasal dari nelayan Sampela Bajau

yang istri-istrinya membawa ikan yang baru saja ditangkap dengan sampan sekurang-

kurangnya satu kali sehari.

Di pasar ini juga dijual

makanan kemasan,

barang-barang berbahan

plastik, telepon

genggam dan pakaian.

Jumlah penjual yang

menjual barang-barang

semacam itu telah

banyak bertambah

selama tahun-tahun

terakhir, dan

kebanyakan dari toko-toko ini dimiliki oleh orang yang lebih kaya dari pulau yang berbeda

Page 10: Case Study: Wakatobi, S.E. Sulawesi, Indonesia

Wakatobi,  Indonesia   2013  

 

10    

(Wangi-Wangi atau Buton). Untuk menampung toko-toko yang menjual selain makanan

tersebut, bangunan baru permanen telah dibangun dari semen dan ubin satu tahun yang lalu.

Sekarang bangunan tersebut dipenuhi dengan toko-toko yang menjual pakaian dan produk-

produk impor, walaupun toko-toko ini sekarang tampaknya kekurangan pembeli.

Ekspor primer dari Sampela dan Ambeua pada saat ini adalah ikan, kelapa, dan agar. Ikan-

ikan diekspor dalam berbagai bentuk, dan dalam tahun-tahun terakhir, perdagangan ikan

hidup tetap berjalan di samping perdagangan makanan olahan ikan. Perdagangan ikan hidup

terutama terhubung dengan Hong Kong, dan ikan yang digunakan baik untuk aquarium

maupun restoran dikapalkan keluar Wakatobi dalam tangki-tangki yang dimuat dalam kapal

dan mungkin pesawat. Ikan kering juga kadang-kadang diekspor, walaupun hal ini kurang

lazim, dan ikan beku juga kadang-kadang diekspor. Biasanya nelayan menjual ikan-ikan

yang berukuran kecil di pasar lokal, dan hanya mengapalkan ikan-ikan berukuran lebih besar

ke luar daerah. Untuk prosedur ekspor jenis ini, ikan sering diproses secara lokal, kemudian

dikapalkan menggunakan perahu melalui Bau Bau, di pulau Buton.

Agar ditanam dalam jumlah yang meningkat di daerah ini, dan merupakan jenis rumput laut

yang diolah untuk menghasilkan karagenan, yaitu zat pengental yang biasa digunakan dalam

makanan olahan. Petani agar di Ambeua dan Sampela biasanya menumbuhkan agar dan

mengeringkannya secara lokal, kemudian mengapalkannya melalui perahu ke pabrik

ekstraksi karagenan di luar Wakatobi. Telah diusulkan bahwa pembangunan pabrik ekstraksi

lokal akan meningkatkan pendapatan, tetapi modal yang diperlukan untuk membangun

pabrik semacam itu untuk saat ini belum tersedia. Sama halnya untuk kelapa, yaitu bahwa

kelapa-kelapa tersebut biasanya dikapalkan keluar daerah untuk pengolahan akhir dan dijual

kebanyakan di pasar-pasar nasional. Karagenan biasanya dijual pada pasar internasional,

dengan petani-petani agar di Filipina saat ini menghasilkan sebagian besar dari pasokan

dunia.

Pekerja untuk industri ekspor ini telah tersedia di dalam Ambeua dan Sampela, dan dengan

demikian pasar tenaga kerja tampak sangat terlokalisasi di daerah tersebut. Namun

demikian, lazim untuk nelayan muda laki-laki dari Sampela untuk bepergian ke luar daerah,

seringnya ke Sabah, Malaysia, untuk bekerja di kapal-kapal nelayan dan mengirimkan uang

ke keluarga mereka di rumah selama sekurang-kurangnya beberapa tahun. Akan tetapi hal

Page 11: Case Study: Wakatobi, S.E. Sulawesi, Indonesia

Wakatobi,  Indonesia   2013  

 

11    

ini tidak terlihat sebagai fenomena baru, dan para tetua Sampela mengatakan bahwa selalu

lazim untuk orang Bajau untuk sering berpindah-pindah untuk bekerja sebagai nelayan.

Catatan tertulis dari bagian Indonesia lainnya juga mendukung klaim ini, dan menunjukkan

bahwa selama ratusan tahun, nelayan-nelayan Bajau dari Wakatobi dan berbagai tempat

telah terlibat dalam penangkapan ikan hiu internasional dan berkeahlian khusus untuk

memancing di seluruh kepulauan yang sekarang disebut sebagai Indonesia.

Selain perdagangan dengan satuan mata uang, ekonomi barter juga lazim terjadi di transaksi-

transaksi pasar yang lebih kecil, dengan ikan yang sering ditukar dengan produk makanan

lainnya atau sebaliknya. Pamberian hadiah juga sangat lazim dilakukan, baik pada

kesempatan-kesempatan istimewa pada hari libur maupun pada saat berkabung atau jika ada

keperluan khusus.

Penyebaran Pengetahuan dan Pembelajaran

Baik di Sampela maupun Ambeua, pengetahuan disebarkan dalam berbagai cara.

Pengetahuan mengenai penggunaan sumber daya alam adalah contoh yang paling dapat

membuktikan hal ini, dan khususnya pengetahuan menangkap ikan di Sampela. Para lelaki

dan perempuan Bajau berpartisipasi dalam berbagai aspek dalam menangkap ikan dan

memanen hasil-hasil laut, dan hal yang paling membuktikan adalah transfer pengetahuan

yang terjadi antara orang tua dan anak-anaknya. Anak-anak tumbuh pada, dan di air, dan

sebagian besar dapat berenang segera setelah, atau sebelum, anak-anak itu dapat berjalan.

Kemudian anak-anak tersebut mulai bepergian dalam berbagai perjalanan penangkapan ikan

dan pemanenan hasil laut bersama dengan orang tuanya atau kerabatnya, dan mulai

mengamati dan mempelajari kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh tetua mereka. Anak-

anak itu juga dapat bersekolah di Sampela, walaupun sebagian besar tidak lagi pergi ke

sekolah setelah berumur sekitar 7 tahun. Di sekolah, anak-anak tersebut biasanya

mempelajari beberapa hal tentang bahasa dan kemampuan membaca, dan kemampuan ini

mungkin dikembangkan secara informal lebih lanjut jika diperlukan di masa datang. Oleh

karena itu, transfer pengetahuan tentang kelautan dan menangkap ikan mendapat prioritas

paling tinggi, walaupun hal ini tampaknya sering menjadi keputusan implisit di dalam

keluarga dan bukannya keputusan yang dibuat pada level komunitas yang lebih tinggi.

Page 12: Case Study: Wakatobi, S.E. Sulawesi, Indonesia

Wakatobi,  Indonesia   2013  

 

12    

Di Ambeua, beberapa pembelajaran mengenai kelautan yang didasarkan pada pengalaman

juga terjadi, namun hal ini tampaknya lebih sedikit terjadi daripada yang terjadi di Sampela.

Orang-orang muda masih bepergian menggunakan perahu nelayan selama masa kanak-

kanak dan memahami banyak mengenai laut pada usia dini, tetapi praktik-praktik kehidupan

terestrial juga dipelajari pada usia dini. Misalnya, penanaman dan pengolahan kelapa adalah

hal yang lazim di antara beberapa keluarga Ambeua, dan lazim bagi para wanitanya untuk

mengajari anak-anak gadis mereka cara mengolah kelapa, dan melibatkan mereka pada

pekerjaan tersebut pada usia dini. Bercocok tanam berbagai macam sayuran juga lazimnya

dilakukan dan diajarkan pada usia cukup muda. Di desa-desa lain di pulau Wakatobi,

pekerjaan logam dan tenun juga merupakan kemampuan dan kegiatan menghasilkan yang

umum dan dengan demikian kemampuan tersebut diturunkan ke anak-anak, walaupun tidak

ada dari kegiatan-kegiatan tersebut merupakan hal yang lazim di Ambeua. Pada semua

kasus, pengetahuan mengenai mata pencaharian yang demikian secara implisit dianggap

sangat berharga dan layak untuk diajarkan.

Sehubungan dengan transfer pengetahuan eksplisit dan formal, beberapa institusi terdapat

baik di Sampela maupun di Ambeua yang berfungsi untuk memfasilitasi penyebaran

pengetahuan. Sistem pendidikan formal adalah institusi yang paling tampak jelas di kedua

desa tersebut, walaupun angka kehadiran di sekolah di Sampela sangat rendah. Namun

demikian, di Ambeua, angka kehadiran di sekolah jauh lebih tinggi, dan sekolah sekunder

juga terdapat di desa tersebut. Sekolah-sekolah ini terutama mengajarkan kemampuan

berbahasa dan matematika, bersama dengan sejumlah porsi kecil sejarah dan ilmu

pengetahuan.

FORKANI juga berperan dalam menyebarkan pengetahuan mengenai sejarah dan ilmu

pengetahuan alam ke orang pada semua umur baik di Sampela dan Ambeua. Organisasi

tersebut menyelenggarakan acara-acara pendidikan di sejumlah sekolah setempat di mana

mereka membagi pengetahuan tentang sejarah budaya Kaledupa melalui berbagai aktivitas,

dan juga mendorong pengamatan pada festival-festival tradisional sepanjang tahun.

FORKANI juga berbagi sejarah alam dan pengetahuan mengenai lingkungan dengan

Ambeua, Sampela, dan komunitas-komunitas lain di Kaledupa melalui pertemuan sekolah

dan acara-acara yang berskala komunitas.

Page 13: Case Study: Wakatobi, S.E. Sulawesi, Indonesia

Wakatobi,  Indonesia   2013  

 

13    

Sehubungan dengan pengaruh yang lebih luas, perjalanan yang kadang-kadang dilakukan

oleh penduduk baik dari Ambeua dan Sampela juga membawa pengetahuan dan pengaruh

baru ke dalam komunitas-komunitas ini dari jaringan yang lebih luas di luar Wakatobi.

Stasiun biologis Pulau Hoga dan resor penyelaman kecil di Hoga juga berperan dalam

membawa masuk orang luar ke daerah tersebut. Pada akhirnya, tersedia radio dan akses

televisi menjadi sangat lazim di desa-desa ini selama lima tahun terakhir yang membawa

serta pengetahuan dan pengaruh dari daerah-daerah lain di Indonesia dan seluruh dunia.

Perspektif Resiliensi

Untuk menyatukan perspektif resiliensi, dua pertemuan komunitas diselenggarakan, dan 15

wawancara dilaksanakan. Satu pertemuan komunitas dan delapan wawancara

diselenggarakan di Sampela, sedangkan satu pertemuan dan tujuh wawancara

diselenggarakan di Ambeua. Mitra-mitra lokal memfasilitasi pertemuan-pertemuan ini,

dengan panduan saya, dan saya melakukan wawancara dengan kehadiran mitra lokal.

Peserta secara terbuka menunjukkan kemauan untuk mengikuti pertemuan ini, walaupun

beberapa memerlukan dorongan lebih untuk membagi pemikiran mereka secara terbuka,

yang memang diharapkan.

Kita sekarang akan

melangkah melalui enam

komponen utama

ketangguhan yang dibahas

dalam diskusi ini.

Faktor Lingkungan

Faktor-faktor yang

berhubungan dengan apa

yang kita sebut sebagai “lingkungan” sejauh ini adalah yang paling umum dibicarakan.

Dalam kategori yang luas ini, masalah-masalah yang berhubungan dengan sistem kelautan

Page 14: Case Study: Wakatobi, S.E. Sulawesi, Indonesia

Wakatobi,  Indonesia   2013  

 

14    

merupakan perhatian utama, yang tidak mengejutkan karena ketergantungan warga setempat

pada sumber-sumber laut.

Penduduk Sampela laki-laki:

“Masalah utama yang kami hadapi adalah kami menangkap ikan lebih sedikit daripada

yang biasa kami tangkap. Kami perlu ikan untuk bertahan hidup. Setiap orang di sini

menangkap ikan.”

Penduduk Sampela laki-laki:

“Menangkap ikan dan hidup di laut adalah siapa kami. Kami adalah manusia laut. Tanpa

laut kami tidak akan menjadi Bajau. Tetapi laut akan selalu di sini, dan akan selalu ada

ikan, kami hanya harus menemukam ikan-ikan itu. Semua penangkapan ikan di sini akhir-

akhir ini mendorong ikan lebih jauh ke lepas pantai; ikan-ikan itu ketakutan dan semakin

sulit untuk ditangkap, tetapi masih ada cukup ikan.”

Penduduk Sampela perempuan:

“Kami hidup dari laut; itulah kami. Bajau terlahir untuk berada di laut. Saya kebanyakan

memetik dan mengumpulkan mentimun laut dan landak laut. Kami menyimpan landak laut,

tetapi biasanya menjual mentimun lautnya. Saya biasanya keliling Kaledupa untuk

Page 15: Case Study: Wakatobi, S.E. Sulawesi, Indonesia

Wakatobi,  Indonesia   2013  

 

15    

mengumpulkannya saat air laut surut, tetapi sekarang saya tinggal di dekat Sampela.

Tetapi, sekarang tidak banyak (mentimun dan landak laut) di sekitar Sampela seperti dulu.”

Penduduk Ambeua laki-laki:

“Kami tak menangkap ikan dalam pagar-pagar perangkap ikan sebanyak yang kami dapat

dulu. Mungkin kami menangkap hanya separuhnya sekarang. Ini karena terdapat terlalu

banyak yang menangkap ikan menggunakan jaring insang (gill net). Nelayan-nelayan Bajau

memasang jaring-jaringnya di sekeliling pagar perangkap ikan kami.”

Penduduk Ambeua perempuan:

“Kami memakan ikan setiap hari; setiap orang melakukannya. Kecuali bahwa masing-

masing keluarga memiliki satu spesies yang mereka tidak dapat memakannya. Tetapi setiap

orang memakannya. Saya hanya tahu satu orang di Kaledupa yang tidak makan ikan. Dia

sakit, tetapi kadang-kadang masih makan ikan. Tidak setiap orang di sini menangkap ikan

lagi, tetapi jika seseorang tidak menangkap ikan, ikan dapat dibeli; kebanyakan orang

mungkin membeli ikan akhir-akhir ini.”

Budidaya perikanan juga telah menjadi semakin lazim di daerah tersebut, dan komponen-

komponen dari praktik ini dapat dianggap sebagai komponen resiliensi “lingkungan”

tambahan.

Petani rumput laut laki-laki:

Page 16: Case Study: Wakatobi, S.E. Sulawesi, Indonesia

Wakatobi,  Indonesia   2013  

 

16    

“Sekitar sepertiga dari pendapatan saya berasal dari agar [alga merah/budidaya rumput

laut], dan saya juga menangkap ikan dan menanam kelapa. Kebanyakan dari agar saya

sekarang terserang penyakit. Penyakit tidak mempengaruhi harga, tetapi saya rasa penyakit

ini memperlambat pertumbuhan. Mungkin penyakit ini menutupinya? Saya tidak

menghasilkan agar sebanyak yang dulu saya hasilkan.”

Budidaya mutiara juga telah dimulai di satu lokasi di sekitar Kaledupa, tetapi tak seorang

pun dari Sampela atau Ambeua terlibat dalam kegiatan tersebut. Tampaknya operasinya

sendiri dimiliki oleh investor kaya dari Bali, tetapi tenaga kerjanya datang dari desa

Kaledupa yang berbeda yang bernama Buranga.

Karang juga dikumpulkan oleh banyak keluarga untuk digunakan dalam konstruksi rumah

dan infrastruktur lainnya. Walaupun berlimpah, laju pengambilan karang saat ini dapat lebih

cepat daripada pertumbuhan karang, sehingga menjadi kekhawatiran lain untuk beberapa

orang.

Sumber-sumber daya terestrial yang belum diolah juga kadang-kadang disebutkan, dengan

hutan bakau yang tampaknya menjadi perhatian utama. Penebangan bakau seperti ini secara

resmi ilegal di dalam taman nasional, tetapi masih sangat lazim, terutama untuk keluarga-

keluarga dari Sampela yang tidak punya akses lain ke bahan berkayu. Sebagian pekerjaan

mengumpulkan dilakukan oleh para wanita, walaupun para lelaki kadang-kadang terlibat

dalam memindahkan gelondongan-gelondongan besar untuk konstruksi.

Penduduk Sampela perempuan:

“Kami memerlukan kayu untuk memasak sehari-hari, tetapi kami diberitahu untuk tidak

mengambil kayu dari hutan bakau. Tetapi tidak ada tempat lain untuk mengambil kayu, jadi

kami harus kesana. Kami hanya mengambil bakau yang terdapat jauh di dalam hutan

bakau. Petugas tidak pernah memeriksa bagian dalam hutan, hanya di pinggir dari perahu

di laut. Kami memenuhi kano-kano kami kemudian melihat apakah di pantai tidak ada polisi

sebelum mendayung kembali ke Sampela.”

Page 17: Case Study: Wakatobi, S.E. Sulawesi, Indonesia

Wakatobi,  Indonesia   2013  

 

17    

Sehubungan dengan sumber-sumber terestrial dan perairan, tampak bahwa kuantitas dan

kualitas sumber adalah perhatian utama dalam hal stabilitas mata pencaharian dan harapan

untuk masa depan.

Cuaca dan musim merupakan komponen lingkungan terakhir yang disebutkan sebagai yang

mempengaruhi kehidupan baik di Sampela dan Ambeua. Siklon El Nino dan La Nina,

walaupun tidak disebutkan namanya, telah dinilai menjadi lebih sering tampak di tahun-

tahun terakhir, dan beberapa orang menyebutkan bahwa menurut mereka, badai menjadi

lebih sering terjadi selama sejarah “ombak kecil” pada musim tenang.

Penduduk laki-laki Sampela:

“Di masa lalu, kami tidak pernah mengalami badai seperti ini [wawancara dilakukan saat

terjadi angin kencang/hujan badai] pada waktu ini setiap tahunnya. Badai-badai ini

seharusnya hanya terjadi selama musim ombak besar, bukan sekarang.”

Frekuensi dan cara menyebutkan masalah-masalah lingkungan pada semua wawancara kami

dan kelompok fokus telah membuat kami menganggap kategori faktor resiliensi sebagai

yang secara khusus menonjol dalam kehidupan dan pemikiran penduduk Sampela dan

Ambeua.

Faktor Ekonomi

Perubahan ekonomi di seluruh daerah Wakatobi juga disebutkan dalam diskusi kami pada

basis yang relatif sering. Hingga 50 tahun lalu, kegiatan yang menghasilkan pendapatan

yang paling umum adalah perdagangan, penangkapan ikan, atau pengerjaan logam, dengan

pertanian skala kecil yang dilakukan hanya untuk dikonsumsi sendiri. Nama historis untuk

daerah yang sekarang disebut dengan Kepulauan Wakatobi adalah Kepulauan

“TukangBesi”, yang berarti “ahli pengerjaan logam”. Saat ini, pengerjaan logam hanya

masih dilakukan di pulau Binonko di bagian paling selatan Wakatobi meskipun keahlian dan

perdagangan ini telah menyebar luas baru 30-40 tahun lalu.

Page 18: Case Study: Wakatobi, S.E. Sulawesi, Indonesia

Wakatobi,  Indonesia   2013  

 

18    

Ada juga peningkatan dalam investasi luar di daerah Wakatobi di tahun-tahun terakhir.

Khususnya, kebanyakan toko yang menjual barang-barang industri saat ini dimiliki oleh

pebisnis dari bagian lain Sulawesi, dan operasi budidaya mutiara di sekitar Kaledupa

dimiliki investor-investor dari Bali.

Penduduk laki-laki Ambeua:

“Lebih banyak orang bekerja membangun infrastruktur, dan di toko-toko dan sekolah,

daripada yang ada sebelumnya. Pekerjaan tradisional bukan hal yang diinginkan anak

muda.”

Penduduk perempuan Sampela:

“Menurut saya sebagian besar orang Bajau masih ingin menangkap ikan. Tetapi orang

mungkin juga ingin membeli sedikit lebih banyak barang daripada yang sebelumnya. Jadi,

mereka mungkin harus mengerjakan hal lain atau menangkap ikan menggunakan perahu

Malaysia yang besar untuk sementara waktu untuk mendapat uang.”

Penduduk perempuan Ambeua:

“Menurut saya pemuda-pemuda ingin pergi ke Universitas kemudian mendapatkan

pekerjaan di daerah yang lebih maju; mungkin di Makassar. Hanya sedikit yang tampak

ingin kembali ke Kaledupa.”

Penduduk laki-laki Ambeua:

“Satu perdagangan yang hampir seluruhnya hilang dari kami adalah pembuatan perahu.

Tentu saja kami masih membuat perahu, tetapi tidak dengan gaya khas Wakatobi seperti

yang dulu kami punya. Perahu-perahu kami dahulu menjelajahi dan berdagang di seluruh

Indonesia, tetapi sekarang perahu Bugis yang kebanyakan Anda lihat. ”

Page 19: Case Study: Wakatobi, S.E. Sulawesi, Indonesia

Wakatobi,  Indonesia   2013  

 

19    

Geopolitis

Institusi kenegaraan Indonesia telah berubah secara drastis selama dua dekade terakhir sejak

jatuhnya Soeharto pada 1998. Perubahan secara umum telah lebih baik dalam pandangan

sebagian besar penduduk Ambeua dan Sampela. Di bawah konstitusi negara yang baru,

kebijakan desentralisasi telah mendominasi peningkatan-peningkatan ini, yang beberapa di

antaranya telah berjalan lebih halus daripada yang lainnya. Secara umum, tampaknya

sebagian besar orang merasa bahwa kebebasan pribadi mereka telah meningkat secara

dramatis di tahun-tahun terakhir. Namun, orang juga tampak merasa bahwa pemerintah

nasional sering menyediakan bantuan keuangan yang terlalu sedikit untuk pemerintah lokal,

yang telah diberikan tanggung jawab legal yang bertambah di bawah administrasi yang baru.

Peraturan dan pemerintahan pada perairan lepas pantai di sekitar Wakatobi adalah masalah

yang juga diangkat oleh nelayan-nelayan lokal di Sampela dan Ambeua. Nelayan-nelayan

Sampela, khususnya, merasa kebebasan mereka untuk menangkap ikan di lepas pantai telah

dibatasi di tahun-tahun terakhir, kemungkinan besar karena skema zonasi Taman nasional,

yang membatasi penangkapan ikan pada beberapa atol di daerah tersebut. Banyak juga yang

menyebutkan tentang penjelajahan yang sebelumnya dapat dilakukan ke perairan

internasional menggunakan kapal penangkap ikan yang lebih besar untuk menangkap hiu

dan tuna, kini tidak mungkin dilakukan lagi. Meningkatnya penegakan larangan

penangkapan hiu di perairan Australia juga disebutkan sebagai yang mempengaruhi praktik

penangkapan ikan orang Bajau dalam cara yang tidak diinginkan, yang mengundang

pertanyaan tentang masa depan mereka sebagai nelayan.

Penduduk laki-laki Sampela:

“Penangkapan hiu dahulu menjadi mata pencaharian utama saya, tetapi terakhir kali saya

pergi berburu, perahu saya ditangkap oleh pemerintah Australia. Mereka juga mengambil

jaring besar kami. Kami berada di selatan Timor, jadi saya dan kru saya terdampar dan

harus berkerja selama beberapa bulan di Timor untuk mendapatkan jalan kami kembali ke

Sampela. Saya tidak akan pernah punya cukup uang untuk mengganti perahu atau jaring,

jadi saya menangkap ikan saja sejak itu. Itu terjadi sekitar 15 tahun yang lalu; saya masih

sangat merindukan kehidupan itu.”

Page 20: Case Study: Wakatobi, S.E. Sulawesi, Indonesia

Wakatobi,  Indonesia   2013  

 

20    

Pemerintahan

Banyak orang baik di Ambeua dan Sampela yang menyebutkan pentingnya FORKANI

dalam pengelolaan sumber daya ikan di daerah ini. Namun, juga disebutkan oleh orang dan

pegawai FORKANI bahwa mereka merasa hanya sedikit memiliki kekuasaan pengaturan

yang sebenarnya. Dinamika ini jelas berhubungan dengan kecenderungan desentralisasi

secara nasional yang telah disebutkan di atas.

Nelayan laki-laki Sampela:

“Saya tidak keberatan menggunakan mata jaring yang berbeda atau mengubah teknik

menangkap ikan saya, tetapi tidak ada peraturan sama sekali, jadi saya tidak yakin apa

yang saya lakukan akan membuat perbedaan.”

Pegawai perempuan FORKANI:

“Kami telah bekerja dengan nelayan-nelayan di banyak desa setempat dan telah

mengumpulkan peraturan yang telah disetujui oleh perwakilan dari setiap desa. Ini telah

dimasukkan ke pemerintah kabupaten untuk disetujui, tetapi itu sudah lebih dari satu

setengah tahun lalu. Mereka masih belum menyetujuinya, jadi tidak ada yang benar-benar

ditegakkan, dan setiap orang di sini mulai melupakannya…”

Page 21: Case Study: Wakatobi, S.E. Sulawesi, Indonesia

Wakatobi,  Indonesia   2013  

 

21    

Pendidikan dan Sekolah

Terutama di Sampela, banyak orang tua yang merasa bahwa akses ke pendidikan formal

adalah penting dan faktor yang kekurangan dalam kehidupan desa mereka. Kepala Desa

Sampela juga menyebutkan pendidikan sekolah formal sebagai kebutuhan penting, karena

dia mengatakan bahwa kurang dari sepuluh persen dari anak muda desa mereka bersekolah

sampai lewat umur 7-9 tahun.

Penduduk perempuan Sampela:

“Kami memerlukan pendidikan untuk anak-anak kami jika kami ingin memiliki masa depan

yang baik. Anak-anak tidak pergi ke sekolah selama bertahun-tahun, dan tidak ada di

sekolah bahkan ketika mereka bersekolah. Tanpa sekolah, mereka mungkin tidak dapat

sukses.”

Kepala Desa Sampela:

“Menurut saya, satu perbaikan besar yang kami masih butuhkan adalah peningkatan

pendidikan. Kami sekarang memiliki sekolah tetapi tidak banyak orang yang

menghadirinya, dan tidak ke sekolah selama bertahun-tahun. Guru-guru datang dari

Kaledupa, dan sehingga tidak memahami Bajau dan budaya kami. Kami memerlukan

pendidikan yang lebih kreatif, dan kami perlu untuk mengajari komunitas kami sendiri dan

melatih guru-guru di sini.”

Hubungan keluarga dan komunitas

Akhirnya, semua peserta hingga suatu taraf menyebutkan hubungan dengan keluarga dan

teman-teman mereka sebagai hal penting

yang utama dalam lintasan jangka

panjang kehidupan mereka. Khususnya,

hubungan antara anggota keluarga dan

komunitas disebutkan sebagai penting

dalam kemampuan individu untuk

Page 22: Case Study: Wakatobi, S.E. Sulawesi, Indonesia

Wakatobi,  Indonesia   2013  

 

22    

merespons dan mengatasi berbagai macam tekanan. Uang dapat dikirimkan kembali ke

anggota keluarga dari anak-anak laki-laki atau suami-suami yang bekerja di tempat lain

sejauh Malaysia atau Thailand, dan jaringan teman tersebar di antara pulau-pulau di seluruh

Sulawesi Tenggara dan Selatan. Dukungan emosional juga didapatkan dari anggota keluarga

dan teman-teman dekat, selain dari lembaga-lembaga keagamaan di komunitas. Lembaga

keagamaan juga tampaknya memainkan peran kunci dalam stabilitas komunitas dalam

jangka panjang dan perubahan positif.

Penduduk perempuan Sampela:

“Anak laki-laki saya pergi jauh untuk bekerja menangkap ikan di sebuah perahu di Sabah

dan mengirimkan kepada kami uang yang didapatnya. Hal ini membantu kami di sini untuk

membeli barang-barang yang kami butuhkan dan bertahan hidup ketika kami tidak memiliki

banyak pendapatan.”

Penduduk laki-laki Sampela:

“Kami seringkali meminjam barang-barang dari para tetangga dan kerabat; semua orang

melakukannya. Saya seringkali menangkap ikan dengan yang lainnya, sehingga kami dapat

bekerjasama. Kami tidak perlu memiliki semua yang kami butuhkan.”

Penduduk perempuan Ambeua:

“Saya sering bekerja dengan tetangga saya. Dan kakak laki-laki dan kakak ipar saya

tinggal dua rumah jauhnya, jadi kami dapat melakukan banyak hal bersama-sama. Bekerja

dengan yang lainnya membuat hidup lebih mudah dan menyenangkan, dan kami saling

membantu satu sama lain.”

Penduduk laki-laki Ambeua:

“Saat ini kami semua saling berbagi dalam menangkap ikan. Dahulu, hanya ada satu pagar

perangkap ikan di setiap desa, dan semua orang akan berbagi apapun yang mereka tangkap

antar desa. Sekarang kebanyakan orang ingin memiliki tangkapannya sendiri, jadi lebih

banyak pagar dan semakin sedikit orang yang bekerjasama. Hal ini mungkin tidak baik,

namun ini membuat orang menghasilkan uang secara individu. Tetapi, saya rasa kami

masih tau caranya berbagi, kami dapat melakukannya jika kami membutuhkannya.”

Page 23: Case Study: Wakatobi, S.E. Sulawesi, Indonesia

Wakatobi,  Indonesia   2013  

 

23    

Beberapa pemimpin lokal di Kaledupa menyuarakan pendapat yang sama, seperti juga yang

disuarakan pegawai dari FORKANI. Faktanya, selama penelitian ini dilakukan, pemimpin

FORKANI dan beberapa kepala desa dari Kaledupa mengunjungi pemerintah Kabupaten

dan meminta penduduk Kaledupa untuk memberikan dukungan untuk memfasilitasi kembali

praktik historis penangkapan ikan dan pengelolaan perikanan secara umum. Pembagian

pagar perangkap ikan adalah salah satu contoh yang mereka ajukan kepada pemerintah

Kabupaten.

Pikiran lain tentang”resiliensi”

Perspektif tentang resiliensi yang dibagikan dalam wawancara dan di pertemuan komunitas

dapat dikategorikan dalam banyak cara, namun enam bidang fokus di atas mencerminkan

pikiran utama dari para peserta. Masalah-masalah lingkungan dan perubahan dalam bidang

tersebut, terutama perikanan dan masalah-masalah kelautan dasar lainnya, sepertinya sangat

penting. Meningkatnya tekanan penangkapan ikan dan penurunan habitat mengarah pada

penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya berbasis laut di sekitar Kaledupa, dan

tampaknya hal ini merupakan efek dari peningkatan perubahan yang dirasakan oleh

komunitas lokal.

Meskipun masalah utama muncul ketika topik seputar resiliensi dibahas, lingkungan belum

menjadi sumber utama trauma di dalam komunitas di saat ini. Guncangan kecil telah datang

dalam bentuk cuaca tak terduga dan tangkapan ikan yang lebih rendah, tetapi perubahan

geopolitik di akhir 1990-an, khususnya jatuhnya Suharto, dikutip sebagai perubahan

dramatis utama selama beberapa tahun terakhir. Meskipun peristiwa ini penting dan

berpengaruh, kebanyakan orang tampaknya tidak memprediksi perubahan politik akan

traumatik atau sangat berpengaruh dalam komunitas mereka untuk masa yang akan datang.

Ketika berpikir tentang masa depan, resiliensi bukanlah sebuah kata atau konsep yang

dengan mudah diterjemahkan ke dalam bahasa Bajau atau Kaledupa. Namun, mitra kami di

Page 24: Case Study: Wakatobi, S.E. Sulawesi, Indonesia

Wakatobi,  Indonesia   2013  

 

24    

FORKANI lagi-lagi sangat membantu, dan kami menggunakan kata "Toudani," kata terakhir

dari nama organisasi mereka, untuk membantu mengkomunikasikan konsep kami. Toudani

mungkin secara kasar diterjemahkan sebagai "mengingat dengan sungguh-sungguh/secara

positif/apresiasi." Jadi, kami menggunakan kata ini untuk membahas bagaimana kehidupan

komunitas ini dapat diingat. Dengan kata lain, adalah kehidupan masyarakat kita saat ini

"mengingatkan pada hal yang positif" (yaitu, toudani)? Apa yang perlu terjadi untuk

membuat hal ini terjadi?

Dalam pemahaman tradisional suku Bajau, waktu tidak linier seperti dalam kebanyakan

perspektif Barat, yang awalnya menambahkan lapisan kompleksitas tambahan untuk diskusi

kami. Namun, tampaknya, pemahaman suku Bajau, di mana waktu dan kehidupan terus

berulang kembali pada diri mereka sendiri, mungkin dapat merupakan bentuk yang sangat

membantu pemikiran yang tangguh. Perspektif ini berdasarkan pada keyakinan spiritual

yang juga mencakup banyak siklus dinamika yang rumit dan umpan balik antara dunia dan

individu, dengan demikian semakin memperdalam perspektif yang saling berhubungan di

komunitas Sampela. Dengan demikian, keyakinan tentang bagaimana dan mengapa dunia

bekerja juga ditemukan sebagai berpengaruh. Dengan cara yang terkait, harapan secara

konsisten disebutkan sebagai komponen penting dari kehidupan dan masyarakat yang

tangguh. Seorang perempuan dari Sampela mengatakan, "Kita harus percaya bahwa masa

depan akan lebih baik. Jika kita tidak percaya, mengapa kita terus hidup? "

Di Ambeua sentimen serupa diungkapkan beberapa kali, meskipun Islam memainkan peran

spiritual yang lebih besar dalam kehidupan komunitas. Allah tercatat memiliki kedaulatan

atas situasi kehidupan, dan sebagai satu-satunya yang memberikan ketetapan dan kepastian

dari waktu ke waktu. Karena pekerjaan ini sebagian dilakukan selama bulan Ramadhan,

kekuatan Islam dalam komunitas ini mungkin telah bertambah pada saat tersebut, namun

sebagian besar peserta mencatat Islam sebagai sistem kepercayaan yang membimbing di luar

bulan Ramadhan juga.

Page 25: Case Study: Wakatobi, S.E. Sulawesi, Indonesia

Wakatobi,  Indonesia   2013  

 

25    

Untuk hidup lebih resilien dalam berbagai waktu banyak hal pada masing-masing dari enam

daerah fokus di atas telah disebutkan, dan sebagian besar telah dimasukkan dalam kutipan

dan ringkasan sebelumnya. Secara umum, kebanyakan orang tampaknya lebih menunjukkan

bahwa mereka menginginkan kekuasaan untuk membuat keputusan pada level pemerintahan

lokal dan setempat. Hak untuk membuat keputusan yang demikian telah diberikan, namun

modal yang sebenarnya untuk menegakkan keputusan manajemen dan tata kelola dipandang

kurang. Stabilisasi harga juga diinginkan, dan volatilitas harga bahan bakar fosil baru-baru

ini adalah penyebab umum kecemasan antara laki-laki pada khususnya. Akhirnya,

berkurangnya hasil tangkapan ikan baru-baru ini menimbulkan keprihatinan, dan dinyatakan

bahwa stabilisasi pada penurunan-penurunan ini diperlukan jika kehidupan mereka terus

berlanjut dengan baik.

Menilai resiliensi dalam komunitas ini agak menantang tetapi juga merupakan sebuah proses

yang relatif lancar. Metode kami tampaknya tepat, meskipun kadang-kadang mungkin telah

diuntungkan dari kekhususan tambahan. Secara khusus, menerjemahkan resiliensi ke dalam

Bahasa Indonesia dan bahasa daerah itu menantang, dan tampaknya meningkatkan perhatian

mengenai seberapa baik data ini dapat sebanding dengan tanggapan dari daerah lain di mana

konsep dan kata ini mungkin dapat diinterpretasikan dan diterjemahkan sedikit berbeda.

Sebuah tantangan lain telah saya temukan mengenai metode kami sehubungan dengan skala

penilaian kami. Di wilayah yang saya pelajari, saya memilih untuk fokus pada dua

komunitas/desa yang berbeda karena mereka tinggal sangat dekat dan berinteraksi terus-

menerus. Kebanyakan, saya mengajukan pertanyaan dan melakukan metode kami dua kali,

sekali di Sampela dan sekali di Ambeua. Namun, beberapa pertanyaan kami yang lebih luas

dalam kenyataannya tidak mungkin dilakukan dengan cara ini, dan hanya dapat diminta

sekali pada sampel yang mewakili gabungan dari orang dari kedua desa tersebut. Demikian

pula, beberapa pertanyaan tampaknya lebih pada tingkat individu, dan dengan demikian

mengarahkan pertanyaan-pertanyaan tersebut pada skala satu atau dua desa tampak tidak

pantas. Dan juga, di lain waktu diskusi kami tampaknya mulai menangani resiliensi untuk

entitas non-manusia (misalnya, resiliensi populasi ikan karang) bukan komunitas manusia

yang sebenarnya. Dalam sistem manusia-ekologis seperti ini, masalah ini sudah diduga,

Page 26: Case Study: Wakatobi, S.E. Sulawesi, Indonesia

Wakatobi,  Indonesia   2013  

 

26    

tetapi ditekankan bahwa pilihan kami terbatas dalam sistem ini (yaitu, apa yang dianggap

"dalam" sistem, sehingga menarik bagi kita, dan apa yang "keluar") mungkin cukup

berpengaruh.

Ucapan terimakasih

Pekerjaan ini tidak mungkin terlaksana tanpa kemitraan yang erat dengan pegawai

FORKANI dan perwakilan sekitar Kaledupa. Andar, Beloro, Nusi, dan Wahid yang bersedia

memberikan umpan balik, dan mau bekerjasama.