case report session - bronkiolitis
DESCRIPTION
case for inshipTRANSCRIPT
BRONKIOLITIS
Definisi1,2
Bronkiolitis adalah suatu peradangan pada bronkiolus (saluran udara yang
merupakan percabangan dari saluran udara utama/bronkus), yang biasanya disebabkan
oleh infeksi virus. Bronkiolitis biasanya menyerang anak yang berumur di bawah 2
tahun. 1,2
Epidemiologi1,2,3
Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun, paling sering terjadi
pada usia 2-8 bulan. Insiden tertinggi pada bayi usia 6 bulan. Sembilan puluh lima persen
kasus terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun dan 75% di antara nya terjadi pada
anak berusia di bawah 1 tahun. Pada daerah yang penduduknya padat insiden bronkiolitis
oleh karena Respiratory Syncitial Virus (RSV) terbanyak pada usia 2 bulan. Makin muda
umur bayi menderita bronkiolitis biasanya akan makin berat penyakitnya. Bayi yang
menderita bronkiolitis berat mungkin oleh karena kadar antibodi maternal (maternal
neutralizing antibody) yang rendah. Insiden infeksi RSV sama pada laki-Iaki dan wanita.
Louden menyatakan bahwa bronkiolitis terjadi 1.25 kali lebih banyak pada anak laki-laki
daripada anak perempuan. Bronkiolitis berat lebih sering terjadi pada laki-Iaki. Selain itu
bronkiolitis juga merupakan penyebab tersering perawatan rumah sakit pada bayi di
bawah usia 1 tahun, terutama pada bayi usia antara 2 sampai 6 bulan. Bronkiolitis
merupakan 17% dari semua kasus perawatan di rumah sakit pada bayi.
Etiologi1
Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV), 60–
90% dari kasus, dan sisanya disebabkan oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2, dan 3,
Influenzae B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma. RSV adalah penyebab
utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya penyebab yang dapat menimbulkan
epidemi. Infeksi RSV menyebabkan bronkiolitis sebanyak 45%-90% dan menyebabkan
pneumonia sebanyak 40%.
Faktor Resiko1,2,4
Faktor resiko terjadinya bronkiolitis adalah usia kurang dari 6 bulan, prematur,
jenis kelamin laki-laki, status sosial ekonomi rendah, jumlah anggota keluarga yang
1
besar, perokok pasif, berada pada tempat penitipan anak atau ke tempat-tempat umum
yang ramai, rendahnya antibodi maternal terhadap RSV, dan bayi yang tidak
mendapatkan air susu ibu. RSV menyebar melalui droplet dan inokulasi/kontak
langsung, seseorang biasanya aman apabila berjarak lebih 2 meter dari seseorang yang
menderita infeksi RSV. Droplet yang besar dapat bertahan di udara bebas selama 6 jam,
dan seorang penderita dapat menularkan virus tersebut selama 10 hari. Di negara dengan
4 musim, bronkiolitis banyak terdapat pada musim dingin sampai awal musim semi, di
negara tropis pada musim hujan.
Patogenesis dan Patofisiologi1,2
RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-350nm),
termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan bagian
penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein )yang
mengikat sel dan protein F (fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan
sel target dan sel tetangganya. Kedua protein ini merangsang antibodi neutralisasi
protektif pada host. Terdapat dua macam strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain
A menyebabkan gejala pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan sekuele. Masa
inkubasi RSV 2 - 5 hari. Virus bereplikasi di dalam nasofaring kemudian menyebar dari
saluran nafas atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel
saluran nafas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran
napas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang
memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel
saluran napas menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin
kedalam lumen bronkiolus. 1
2
Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier, mukus
tertimbun di dalam bronkiolus . Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkan
saraf aferen lebih terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa
neuropeptida (neurokinin, substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran
napas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan ekpresi
Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan menarik
eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari
proses inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme
otot polos saluran napas. Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas
fungsi residu, menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space
serta meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan kerja
sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi, atelektasis,
hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik sampai gagal napas. Karena resistensi aliran
udara saluran nafas berbanding terbalik dengan diameter saluran napas pangkat 4, maka
penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah memberikan akibat cukup besar pada
aliran udara. Apalagi diameter saluran napas bayi dan anak kecil lebih sempit. Resistensi
aliran udara saluran nafas meningkat pada fase inspirasi maupun pada fase ekspirasi. 1
Selama fase ekspirasi terdapat mekanisme klep hingga udara akan terperangkap
dan menimbulkan overinflasi dada. Volume dada pada akhir ekspirasi meningkat hampir
2 kali di atas normal. Atelektasis dapat terjadi bila obstruksi total. Anak besar dan orang
dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila terserang infeksi virus. Perbedaan anatomi
antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih besar mungkin merupakan kontribusi
terhadap hal ini. Respon proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak
lengkap. Infeksi yang berulang pada saluran napas bawah akan meningkatkan cumulatif
immunity sehingga pada anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan
terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV. 1
Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus dalam
3-4 hari, sedangkan regenerasi dari silia berlangsung lebih lama dapat sampai 15 hari.
Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh makrofag. 1,2
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik1,2,3,4
Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer dan
bersin. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan nafsu
3
makan berkurang. 1-2 hari kemudian timbul distres nafas yang ditandai oleh batuk
paroksismal, wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit
makan dan minum. Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak dengan orang dewasa
atau anak besar yang menderita infeksi saluran nafas atas yang ringan. Bayi mengalami
demam ringan atau tidak demam sama sekali dan bahkan ada yang mengalami hipotermi. 1,2,3
Pemeriksaan fisik pada anak yang mengarah ke diagnosis bronkiolitis adalah
takipnea, takikardi, peningkatan suhu di atas 38,5C. Terjadi distres nafas dengan
frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit, kadang-kadang disertai sianosis. Terdapat
nafas cuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi. Retraksi biasanya
tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru).
Obstruksi saluran respirasi bawah akibat respon inflamasi akut akan menimbulkan gejala
ekspirasi yang memanjang, wheezing yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa
stetoskop, serta terdapat ronkhi basah halus/crackles yang terdengar pada akhir atau
permulaan ekspirasi. Pada keadaan yang berat sekali, suara pernafasan hampir tidak
terdengar karena kemungkinan obstruksi hampir seluruh bronkiolus. Hepar dan lien
teraba akibat pendorongan diafragma karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi. Pada
beberapa pasien dengan bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan, otitis media serta
faringitis.Ada bentuk kronis bronkiolitis, biasanya disebabkan oleh karena adenovirus
atau inhalasi zat toksis (hydrochloric, nitric acids ,sulfur dioxide). 1,2,3,4
Pemeriksaan Penunjang1,2
Gambaran radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan. Rontgen
foto toraks AP (anteroposterior) dan lateral menunjukkan hiperinflasi paru, diameter
anteroposterior membesar pada foto lateral, dapat terlihat bercak konsolidasi yang
tersebar dan paru-paru dalam keadaan hiperaerasi (mengembang). Dikatakan hiperaerasi
apabila kita mendapatkan siluet jantung yang menyempit, jantung terangkat, diafragma
lebih rendah dan mendatar, diameter anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal
lebih lusen, iga horisontal, pembuluh darah paru tampak tersebar. Bisa juga didapatkan
bercak-bercak yang tersebar, mungkin atelektasis (patchy atelectasis ) atau pneumonia
(patchy infiltrates). 1,2
4
Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung lekosit biasanya normal. Jumlah
leukosit yang berkisar antara 5.000-24.000.Pada pasien dengan peningkatan lekosit
biasanya didominasi oleh PMN dan bentuk batang. Ada subgrup penderita bronkiolitis
dengan eosinofilia. 1
Analisa gas darah menunjukkan gambaran asidosis respiratorik maupun
metabolik. 1
Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi atau
bilasan nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi memerlukan waktu
yang lama, dan hanya memberikan hasil positif pada 50% kasus. Ada cara lain yaitu
dengan melakukan pemeriksaan antigen RSV dengan menggunakan cara imunofluoresen
atau ELISA. Sensitifitas pemeriksaan ini adalah 80-90%. Uasapan nasofaring
menunjukkan flora normal. 1
Diagnosis Banding2,3,5
Diagnosis banding bronkiolitis yang paling sering adalah asma bronkiale dan
bronkopneumonia. Diagnosis banding bronkiolitis yang lain adalah aspirasi benda asing,
refluks gastroesophageal, sistik fibrosis, gagal jantung, miokarditis2,5
Keadaan bronkiolitis harus dibedakan dengan asma yang kadang-kadang juga
timbul pada usia muda. Meskipun asma lebih sering terjadi pada anak yang berusia lebih
dari 2 tahun. Bayi-bayi dengan bronkiolitis mengalami wheezing untuk pertama kalinya,
berbeda dengan asma yang mengalami wheezing berulang. Anak dengan asma akan
memberikan respon terhadap pengobatan dengan bronkodilator, sedangkan anak dengan
bronkiolitis tidak . 3,5
Anak yang menderita pneumonia juga terdapat batuk dengan nafas cepat, retraksi
dinding dada bagian bawah, demam, nafas cuping hidung dan ronkhi basah halus, tetapi
tidak ditemukan wheezing sedangkan pada bronkiolitis ditemukan wheezing. 3,5
Penatalaksanaan1,2,3,4,5
Penderita resiko tinggi harus dirawat inap, diantaranya: berusia kurang dari 3
bulan, prematur, kelainan jantung, kelainan neurologi, penyakit paru kronis, defisiensi
5
imun, distres napas. Tujuan perawatan di rumah sakit adalah terapi suportif, mencegah
dan mengatasi komplikasi, atau bila diperlukan pemberian antivirus. 1,2,3
Prinsip dasar penanganan bronkiolitis adalah terapi suportif, yaitu :
1. Oksigenasi
Terapi oksigen harus diberikan kepada semua penderita kecuali untuk kasus-
kasus yang sangat ringan. Saturasi oksigen menggambarkan kejenuhan afinitas
hemoglobin terhadap oksigen di dalam darah. Oksigen dapat diberikan melalui nasal
prongs (2 liter/menit), masker (minimum 4 liter/menit) atau head box.
2. Pemberian cairan untuk mencegah dehidrasi
Pada neonatus diberikan dekstrose 10% : NaCl 0,9% = 4 : 1, +KCl 1-2
mEq/kgBB/hari. Pada yang berusia lebih dari 1 bulan diberikan dekstrose 10% : NaCl
0,9% = 3 : 1, +KCl 10 mEq/500 ml cairan.
Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikan suhu dan status hidrasi. 1,4
3. Udara yang lembab
4. Drainase postural atau menepuk dada untuk mengeluarkan lendir
5. Istirahat yang cukup dan nutrisi yang adekuat.
Bronkiolitis ringan biasanya bisa rawat jalan dan perlu diberikan cairan peroral
yang adekuat. Bayi dengan bronkiolitis sedang sampai berat harus dirawat inap. 1,5
Keterlambatan dalam mengetahui virus RSV atau virus lain sebagai penyebab
bronkiolitis dan menyadari bahwa infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi
sekunder dapat menjadi alasan untuk memberikan antibiotika. Antibiotika diberikan
apabila terdapat perubahan pada kondisi umum penderita, peningkatan lekosit atau
pergeseran hitung jenis, atau tersangka sepsis maka diperiksa kultur darah, urine, feses
dan cairan serebrospinal, secepatnya diberikan antibiotika yang memiliki spektrum luas.
Pemberian antibiotik secara rutin tidak menunjukkan pengaruh terhadap perjalanan
bronkiolitis. 1
Apabila terdapat nafas cepat saja, pasien dapat rawat jalan dan diberikan
kotrimoksazol (4mgTMP/kgBB/kali) 2 kali sehari, atau amoksicilin (25mg/kgBB/kali) 2
kali sehari, selama 3 hari. 5
Apabila terdapat tanda distress pernafasan tanpa sianosis tetapi anak masih bisa
minum, rawat di rumah sakit dan beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV
atau IM setiap 6 jam), yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila
anak memberi respon yang baik maka terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit
dengan amoksisilin oral (25 mg/kgBB/kali, 2 kali sehari) untuk 3 hari berikutnya. Bila
6
keadaan klinis memburuk dalam 24 jam, atau terdapat keadaan yang berat (tidak dapat
menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak
sadar, sianosis, distress pernafasan berat) maka ditambahan kloramfenikol (25
mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam) sampai keadaan membaik, dilanjutkan per oral 4
kali sehari sampai total 10 hari. 5
Obat-obat beta2 agonis sangat berguna pada penyakit dengan penyempitan
saluran napas karena menyebabkan efek bronkodilatasi, mengurangi pelepasan mediator
dari sel mast, menurunkan tonus kolinergik, mengurangi sembab mukosa dan
meningkatkan pergerakan silia saluran napas sehingga efektivitas dari mukosilier akan
lebih baik. Nebulasi agonis beta2, misalnya salbutamol 0,1 mg/kg BB/dosis, diencerkan
dengan cairan normal saline, diberikan 4 – 6 kali per-hari. Tetapi pemakaiannya masih
kontroversial karena ada bronkiolitis selain terdapat proses inflamasi akibat infeksi virus
juga ada bronkospasme dibagian perifer saluran napas (bronkioli). Beta agonis dapat
meningkatkan mukosilier. Sering tidak mudah membedakan antara bronkiolitis dengan
serangan pertama asma. Efek samping nebulasi beta agonis yang minimal dibandingkan
epinefrin. 1
Schuh dkk (2002) yang melakukan penelitian pada penderita bronkiolitis yang
rawat jalan mendapatkan hasil bahwa dengan pemberian deksametason oral 1 mg/kg BB
mengurangi angka rawat inap penderita bronkiolitis. Penelitian meta-analisis tentang
penggunaan kortikosteroid sistemik pada bayi dengan bronkiolitis menunjukkan
perbaikan dalam hal gejala klinis, lama perawatan dan lama timbulnya gejala. Sedangkan
American Academy of Pediatrics/AAP tidak merekomendasikan penggunaan
kortikosteroid pada bayi yang dirawat dirumah sakit dengan bronkiolitis. Pemberian
kortikosteroid oral 1mg/kgbb pada bayi usia 8 mgg-23 bulan dengan bronkiolitis sedang-
berat, terdapat perbaikan klinis pada 4 jam pertama dan penurunan jumlah pasien yang
dirawat pada kelompok studi. 1
Antivirus yang digunakan pada bronkiolitis adalah ribavirin. Ribavirin adalah
synthetic nucleoside analogue, menghambat aktivitas virus termasuk RSV. Ribavirin
menghambat translasi messenger RNA (mRNA) virus kedalam protein virus dan
menekan aktivitas polymerase RNA. Titer RSV meningkat dalam tiga hari setelah gejala
timbul atau sepuluh hari setelah terkena virus. 1
7
Karena mekanisme ribavirin menghambat replikasi virus selama fase replikasi
aktif, maka pemberian ribavirin lebih bermanfaat pada fase awal infeksi. Efektivitas
ribavirin sampai saat ini masih kontroversi. Dapat terjadi perbaikan SaO2, penurunan
penggunaan ventilasi mekanik, lama perawatan dirumah sakit lebih singkat, dan
perbaikan fungsi paru. Tetapi pada penelitian lain penggunaan ribavirin tidak
memberikan efek perbaikan. 1
Kekurangan dari terapi ribavirin harganya yang mahal, resiko terjadi toksisitas
pada pekerja. Menurut AAP (1996), ribavirin hanya direkomendasikan pada bronkiolitis
dengan kondisi spesifik.Bronkodilator Penggunaan bronkodilator untuk terapi
bronkiolitis telah lama diperdebatkan selama hampir 40 tahun. Terapi farmakologis yang
paling sering diberikan untuk pengobatan bronkiolitis adalah bronkodilator dan
kortikosteroid. 1
Anak yang dirawat di rumah sakit seharusnya diperiksa sedikitnya setiap 3 jam
oleh perawat dan oleh seorang dokter minimal satu kali sehari. 5
Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok dan
polusi udara, membatasi penularan terutama dirumah sakit misalnya dengan
membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker, isolasi penderita,
menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat keramaian umum, pemberian ASI,
menghindarkan bayi/anak kecil dari kontak dengan penderita ISPA. 1
1.1 Prognosis2,3
Setelah 1 minggu, biasanya infeksi akan mereda dan gangguan pernafasan akan
membaik pada hari ketiga. Angka kematian kurang dari 1%.
Masa paling kritis adalah 48-72 jam pertama. 3
Jarang terjadi bronkiolitis ulang. Mortalitas kurang dari 1%. Anak biasanya
meninggal karena jatuh dalam keadaan apnu yang lama, asidosis respiratorik yang tidak
terkoreksi atau karena dehidrasi yang disebabkan takipnu dan kurang makan dan minum. 3
Beberapa studi kohort menghubungkan infeksi bronkiolitis akut berat pada bayi
akan berkembang menjadi asma. Suatu studi kohort prospektif menemukan bahwa 23%
bayi dengan riwayat bronkiolitis akan berkembang menjadi asma pada usia 3 tahun,
dibandingkan dengan 1% pada kelompok kontrol. 2
8
STATUS PASIEN
1. Identitas Pasien
a. Nama/Kelamin/Umur : Asyifa/Perempuan/17 bulan
b. Pekerjaan/pendidikan : Belum bekerja/Belum sekolah
c. Alamat : tanah garam solok.
2. Riwayat penyakit dahulu/penyakit keluarga (alloanamnesis dari ibu kandung)
Tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya. Tapi pasien
sering pilek dan kadang batuk sejak berusia 1 tahun. Biasanya berobat ke
bidan dan keluhan berkurang.
Tidak ada riwayat menderita galigato, mata merah dan gatal kena
debu/udara dingin, alergi makanan, bersin-bersin pagi hari hari
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini.
Tidak ada anggota keluarga yang menderita batuk/pilek.
Tidak ada anggota keluarga yang menderita galigato, mata merah dan
gatal kena debu/udara dingin, alergi makanan, bersin-bersin pagi hari hari
3. Riwayat penyakit sekarang (alloanamnesis dari ibu kandung)
Keluhan Utama : sesak nafas meningkat sejak 10 jam yang lalu.
RPS :
- Sesak nafas sejak 1 hari yang lalu, tidak berbunyi menciut, tidak dipengaruhi
cuaca, makanan, ataupun minuman, bertambah sesak sejak 10 jam yang lalu.
- Demam sejak 2 hari yang lalu, tinggi, terus menerus, tidak menggigil, tidak
disertai kejang.
- Batuk sejak 2 hari yang lalu, berdahak, pilek ada, hidung tersumbat ada.
- Muntah tidak ada.
- Riwayat tersedak tidak ada.
- Riwayat biring susu tidak ada.
- Riwayat kontak dengan penderita batuk-batuk lama tidak ada.
- Riwayat kontak dengan binatang, unggas mati mendadak tidak ada.
- Buang air kecil jumlah dan warna biasa.
- Buang air besar jumlah dan konsistensi biasa.
- Keluhan ini belum pernah di obati.
9
Riwayat Kelahiran
Lahir spontan ditolong bidan, langsung menangis, riwayat biru dan kuning sejak
lahir tidak ada. Berat badan lahir dan panjang dalam batas normal.
Riwayat makanan dan minuman
Bayi
ASI : sejak lahir sampai sekarang
Biscuit : umur 6 bulan
Nasi tim : umur 9 bulan
Anak
Makanan utama: 3x sehari
* Ikan : 2x seminggu
* Telur /tahu/tempe: 3x seminggu
* Sayur mayur : 5x seminggu
Kesan : Kuantitas dan kualitas kurang
Riwayat Imunisasi
- BCG : umur 2 bulan (scar (+))
- DPT-Hib : 3 kali, umur 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan.
- Polio : 3 kali, umur 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan.
- Campak : 1 kali umur 9 bulan.
Kesan : imunisasi dasar lengkap.
Riwayat Pertumbuhan Fisik Riwayat Perkembangan Mental
Ketawa : 2 bulan Isap jempol : tidak ada
Tengkurap : 5 bulan Gigit kuku : tidak ada
Duduk : 7 bulan Sering mimpi : tidak ada
Merangkak : 8 bulan Mengompol : ada
10
Gigi pertama : 8 bulan Aktif sekali : tidak ada
Berdiri : 11 bulan Apati : tidak ada
Berjalan : 13 bulan
Bicara 1 suku kata : 11 bulan
Kesan : perkembangan fisik dan mental normal.
4. Pemeriksaan fisik
Status Generalis
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : CMC
Nadi : 108 kali/menit
Nafas : 56 kali/menit
Suhu : 38,60 C
BB : 8,7 kg
TB : 86 cm
Status gizi : BB/U : 8,7 kg/11,6 kg x 100%= 75%
TB/U : 86cm/83cm x 100%= 103%
BB/TB : 8,7kg/12kg x100% = 72,5 %
Kesimpulan: gizi kurang
Pemeriksaan sistemik :
Kulit : teraba hangat
Kepala : ubun-ubun kecil menutup, bulat, simetris
Rambut : hitam dan tidak mudah di cabut
Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, refleks
cahaya +/+ ukuran pupil 2mm
Telinga : tidak ada kelainan
Hidung : nafas cuping hidung(+)
Mulut : mukosa mulut dan bibir basah
Ternggorok : tidak bisa diperiksa
Paru
11
Inspeksi : normochest, simetris, tidak ada retraksi epigastrium
Palpasi : fremitus normal kiri=kanan
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : suara nafas bronkovesikuler, ronki basah halus nyaring (+/+),
wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : iktus cordis teraba 1 jari medial linea mid clavikula sinistra RIC
V
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : irama teratur, bising -/-
Abdomen
Inspeksi : distensi tidak ada
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus(+) normal
Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik
5. Laboratorium anjuran: Darah rutin, roentgen toraks.
6. Diagnosis kerja : Bronkiolitis dan Gizi kurang
7. Diagnosis Banding : Asma bronkhial serangan pertama
Bronkopneumonia
8. Manajemen
Preventif :
- Hindari faktor paparan asap rokok, debu, dan polusi udara.
- Menghindarkan bayi/anak dari tempat keramaian umum dan kontak dengan
penderita ISPA.
- Menjaga kebersihan diri dan lingkungan.
- Melanjutkan pemberian ASI dan memberi susu tambahan.
- Menjaga dan meningkatkan daya tahan tubuh.
Promotif :
12
- Memberi edukasi kepada keluarga tentang penyakit, penatalaksanaan penyakit
dan komplikasi.
- Edukasi kepada keluarga agar tidak merokok di dekat pasien.
- Edukasi pada keluarga untuk membawa anak ke posyandu setiap bulan untuk
memantau pertumbuhan dan perkembangan anak.
Kuratif (resep):
- Dumin supp 125 mg 1x pemberian
- Nebulisasi combivent 1x pemberian
- Kotrimoksazol sirup 240 mg 2x1 sendok the
- Pct syr 125 mg 3x cth 1
- Domperidon syr 3xcth1
- Puyer efed, ambroxol, salbutamol, ctm, prednison 3x pulv 1
Rehabilitatif :
- Konsul ke bagian gizi puskesmas
- Kontol teratur ke Puskesmas atau jika gejala bertambah berat (sesak nafas
hebat, ada tarikan dinding dada saat bernafas) segera bawa ke IGD
RS/spesialis Anak.
9. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanam : bonam
Quo ad functionam :bonam
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Anynomus. Bronkiolitis. Diakses dari www.cppdocter.com, 11 Oktober 2009.
2. Zain S. Bronkiolitis. Dalam: Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama.
Jakarta: IDAI: 2008: hal: 333-349.
3. Pusponegoro H, dkk. Bronkiolitis. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan
Anak. Edisi I: Jakarta: IDAI: 2004: hal: 348-350.
4. Anynomous. Bronkiolitis. Diakses dari www.medicastore.com, 11 Oktober 2009.
5. Tim Adaptasi Indonesia. Bronkiolitis.Dalam : Pelayanan Kesehatan Anak di
Rumah Sakit. CetakanI: Jakarta : WHO: 2009: hal: 96-99.
14