case peritonitis
TRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
PERITONITIS
Dokter Pembimbing :
Dr. Hj. Endang Marsiti, Sp. B
Disusun oleh :
Devita Friska Santy (030.09.066)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI
PERIODE 4 NOVEMBER 2013 – 11 JANUARI 2014
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
BEKASI, 28 DESEMBER 2013
Kepaniteraan Klinik Ilmu BedahRumah Sakit Umum Daerah Bekasi – FK Trisakti Page 1
LEMBAR PENGESAHAN
Nama : Devita Friska Santy
NIM : 030.09.066
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Trisakti
Tingkat : Studi Profesi Dokter
Bidang Pendidikan : S1
Periode Kepaniteraan Klinik : 4 November 2013 – 11 Januari 2014
Judul Laporan Kasus : Peritonitis
Diajukan : 28 Desember 2013
Pembimbing : Dr. Hj. Endang Marsiti, Sp. B
Telah Diperiksa dan Disahkan Tanggal :
Kepaniteraan Klinik Ilmu BedahRumah Sakit Umum Daerah Bekasi – FK Trisakti Page 2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, sehingga saya dapat
memperoleh kesempatan dan kemampuan untuk menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
Peritonitis. Kasus ini diajukan untuk melengkapi tugas bimbingan dan persyaratan dalam
menyelesaikan Program Pendidikan Profesi Dokter di bagian Ilmu Kepaniteraan
Klinik Bagian/SMF Ilmu Bedah di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi.
Dengan segala kerendahan hati penulis mengakui bahwa laporan kasus ini masih jauh
dari sempurna, masih banyak kekurangan sehingga penulis membuka hati untuk menerima
segala bentuk kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan
laporan kasus ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat
berupa tambahan ilmu pengetahuan bagi seluruh pembaca, khususnya untuk mahasiswa
kedokteran dan masyarakat pada umumnya.
Jakarta, 28 Desember 2013
Penulis
Kepaniteraan Klinik Ilmu BedahRumah Sakit Umum Daerah Bekasi – FK Trisakti Page 3
I. IDENTITAS
Nama : Sdr. Y
Usia : 16 tahun
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Kranji, Bekasi
Agama : Islam
Status : Belum menikah
No.Rekam Medis : 03402753
Tanggal kontrol : 22 November 2013
II. KELUHAN UTAMA
Nyeri perut sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit
III. ANAMNESIS
a) Riwayat Penyakit Sekarang
OS datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUD Kota Bekasi dengan keluhan
nyeri perut sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyerinya terasa tajam, hilang
timbul, dan terus bertambah nyeri. Nyeri perut lebih terasa ketika pasien tidur
telentang atau berubah posisi dari duduk ke posisi tidur dan hilang apabila posisi
pasien berubah ke duduk atau bila menekukkan kaki. Awalnya pasien hanya
merasakan nyeri pada ulu hati, kemudian nyerinya tersebut berpindah ke perut
kanan bawah. Namun pada 1 hari sebelum masuk rumah sakit nyeri juga dirasakan
di bagian perut yang lain.
Keluhan disertai adanya demam, nyeri kepala terutama saat bangun tidur,
mual, muntah, penurunan nafsu makan, dan susah BAB namun masih dapat buang
angin. Pasien mempunyai riwayat tidak suka makan sayur, menyukai makanan
yang pedas, dan sering makan tidak teratur. Pasien menyangkal adanya gangguan
dalam buang air kecil (BAK) dan riwayat demam sebelumnya.
b) Riwayat Penyakit Dahulu
Os tidak pernah mengalami hal yang sama sebelumnya. Pasien memiliki riwayat
gastritis. Riwayat darah tinggi, kencing manis, asma, alergi, atau riwayat operasi
sebelumnya disangkal oleh OS.
Kepaniteraan Klinik Ilmu BedahRumah Sakit Umum Daerah Bekasi – FK Trisakti Page 4
c) Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami hal serupa dengan OS.
d) Riwayat Kebiasaan
OS mempunyai riwayat tidak suka makan sayur, menyukai makanan yang pedas,
dan sering makan tidak teratur.
IV. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum
Tingkat kesadaran : Compos mentis
Kesan sakit : Tampak sakit berat
Tanda vital
o Tekanan darah : 110/60 mmHg
o Nadi : 112 x/menit
o Pernapasan : 24 x/menit
o Suhu : 38,7 ºC
B. Status generalis
Kepala
o Wajah simetris
o Rambut hitam dan distribusi merata
Mata
CA +/+, SI -/-, reflex cahaya langsung+/+, reflex cahaya tidak langsung +/+,
pupil isokor
Leher : KGB tidak teraba membesar
Thoraks : Bentuk dada dan pergerakan dada simetris
o Jantung : Bunyi jantung I & II regular, murmur (-), gallop (-)
o Paru-paru : Suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen (Status Lokalis)
Ekstremitas
Akral hangat (+), edema (-)
Kepaniteraan Klinik Ilmu BedahRumah Sakit Umum Daerah Bekasi – FK Trisakti Page 5
C. Status Lokalis
Regio Abdomen
Inspeksi
- Datar
- Tidak terdapat luka bekas operasi
Palpasi
- Teraba tegang
- Defence muscular (+)
- Massa (-)
- Nyeri tekan pada seluruh lapang abdomen
Perkusi
Tidak dilakukan karena OS merasa sangat nyeri
Auskultasi
Bising usus menurun (+)
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Hematologi
Hemoglobin : 14,9 gr/dl (13 - 17,5 gr/dl)
Hematokrit : 42,6 % (40 - 54 %)
Leukosit : 16.000/µl (5.000 - 10.000/µl)
Trombosit : 255.000/µl (150.000 - 400.000/µl)
Kimia darah
- Fungsi Ginjal
Ureum : 44 mg/dl (20 - 40 mg/dl)
Kreatinin : 1,25 mg/dl (0,5 - 1,5 mg/dl)
- Elektrolit
Natrium : 132 mmol/L (135 - 145 mmol/L)
Kalium : 3,8 mmol/L (3,5 - 5 mmol/L)
Chlorida : 92 mmol/L (94-111 mmol/L)
Kepaniteraan Klinik Ilmu BedahRumah Sakit Umum Daerah Bekasi – FK Trisakti Page 6
VI. RESUME
Seorang laki-laki, usia 16 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUD
Kota Bekasi dengan keluhan benjolan keluhan nyeri perut sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Nyeri perut lebih terasa ketika pasien tidur telentang atau
berubah posisi dari duduk ke posisi tidur dan hilang apabila posisi pasien berubah
ke duduk atau bila menekukkan kaki. Keluhan disertai adanya demam, nyeri kepala
terutama saat bangun tidur, mual, muntah, penurunan nafsu makan, dan susah BAB
namun masih dapat buang angin. Pasien mempunyai riwayat tidak suka makan
sayur, menyukai makanan yang pedas, dan sering makan tidak teratur.
Pada pemeriksaan fisik region abdomen didapatkan abdomen teraba tegang /
keras, defence muscular (+), nyeri tekan pada seluruh lapang abdomen, dan bising
usus menurun. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis.
VII. DIAGNOSIS
Peritonitis ec Appendisitis Perforasi
VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN
Foto polos abdomen 3 posisi
USG abdomen
IX. RENCANA PENGOBATAN
Konservatif
- Informasikan kepada pasien mengenai penyakitnya dan tatalaksana
selanjutnya yang harus diambil (informed consent)
- Rawat inap
- Tirah baring
- Puasa
- Pemasangan pipa nasogastrik & kateter untuk dekompresi
- Infus RL makro 20 tpm
- Ceftriaxone IV 2 x 1 gr
- Metronidazole IV 2 x 500 mg
- Ranitidine IV 2 x 50 mg
- Ondansetron IV 2 x 4 mg
Kepaniteraan Klinik Ilmu BedahRumah Sakit Umum Daerah Bekasi – FK Trisakti Page 7
- Paracetamol tab 500 mg 3 x 1 tab
Operatif
Laparotomy + Appendictomy
X. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad functionam : Ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
Kepaniteraan Klinik Ilmu BedahRumah Sakit Umum Daerah Bekasi – FK Trisakti Page 8
BAB I
PENDAHULUAN
Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut
yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini
memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada
perforasi, perdarahan intraabdomen, infeksi, obstruksi dan strangulasi jalan cerna dapat
menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna
sehingga terjadilah peritonitis.1
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat
penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi
ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau
dari luka tembus abdomen.
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi
kecil-kecilan). Kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang
menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang
memudahkan terjadinya peritonitis.
Peritonitis merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada penderita bedah
dengan mortalitas sebesar 10-40%. Beberapa peneliti mendapatkan angka ini mencapai 60%
bahkan lebih dari 60%.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap
keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan
melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Kepaniteraan Klinik Ilmu BedahRumah Sakit Umum Daerah Bekasi – FK Trisakti Page 9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
APPENDISITIS
1. Definisi
Peradangan dari apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen
akut yang paling sering.
2. Epidemiologi
- Pria dibanding wanita = 3:1
- Appendisitis dapat ditemukan pada semua usia.
- Insidensi tertinggi pada kelompok usia 20 hingga 30 tahun
3. Etiologi
Peranan lingkungan
Asupan rendah serat akan berkontribusi pada perubahan motilitas, flora
normal, dan kondisi lumen, yangselanjutnya menjadi predisposisi
terbentuknya fecalith
Peranan Obstruksi (faktor dominan)
Closed-loop obstruction, dimana fecalith menjadi penyebab tersering.
Penyebab obstruksi lainnya ialah hiperplasia jaringan limfoid pada mukosa dan
Kepaniteraan Klinik Ilmu BedahRumah Sakit Umum Daerah Bekasi – FK Trisakti Page 10
submukosa, biji-bijian, neoplasma seperti karsinoma dan tumor karsinoid
terjadi pada sekitar 2% kasus, atau oleh benda asing, yang sangat jarang terjadi
serta bola cacing(Ascaris).
Peranan dari Flora Kolonik Normal
Aspirasi pada apendiks yang inflamasi sekitar 60% adalah anaerob,
berbeda dengan apendiks normal yang hanya sebesar 25%. Spesimen jaringan
dari apendiks yang inflamasi semua memperlihatkan hasil kultur E. coli dan
spesies Bacteroides. Koloni flora normal berperan dalam perkembangan
appendisitis akut menjadi gangren dan perforasi.
4. Patofisiologi
Kepaniteraan Klinik Ilmu BedahRumah Sakit Umum Daerah Bekasi – FK Trisakti Page 11
5. Manifestasi Klinis
Anamnesis
- Bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus (nyeri bersifat
severe) beralih ke kuadran kanan bawah.
- Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu
tinggi.
- Biasanya juga terdapat konstipasi, tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual,
dan muntah.
- Bertambah nyeri pada pergerakan, berjalan, atau batuk
Pemeriksaan Fisik
- Tanda vital tidak terlalu berubah (bila berubah : tanda-tanda komplikasi)
- Demam ringan (37,5-38o C)
- Peristaltik normal atau sedikit menurun
- Nyeri yang menunjukan tanda rangsang peritoneum lokal di Mc Burney
(Nyeri tekan, nyeri lepas, dapat terdapat defence muscular)
Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
- Rovsing sign
Nyeri kanan bawah pada tekanan kiri
- Blumberg sign
Nyeri kanan bawah bila tekanan kiri dilepaskan
- Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan,
batuk, mengedan
6. Pemeriksaan Fisik
- Rovsings sign
- Blumberg sign
- Obturator sign
- Psoas sign
- Rectal toucher
Nyeri tekan pada jam 9
7. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
- Leukosit rata-rata10.000 - 18.000/µl, >20.000/µl mungkin menunjukan
perforasi
- Shift to the left, dominan PMN
Kepaniteraan Klinik Ilmu BedahRumah Sakit Umum Daerah Bekasi – FK Trisakti Page 12
8. Imaging
- USG
Gambaran: dilatasi lumen, dinding tebal
*Gambaran Appendisitis Perforasi
9. Penatalaksanaan
Terapi pilihan satu-satunya adalah pembedahan (appendictomy)
Operasi tergantung waktu :
- Appendisitis akut
Segera, dilakukan persiapan operasi
- Appendisitis perforasi (cito)
Lokal atau difus, segera lakukan laparotomi.
Perbaikan KU dengan infus, pemberian antibiotik untuk gram (-) dan (+)
serta kuman anaerob dan pemasangan NGT dilakukan sebelum operasi
10. Prognosis
Mortalitas
- 0,1% pada appendisitis akut
- 3% bila ruptur
- 15% bila ruptur pada geriatri
11. Komplikasi
Akut: infeksi luka operasi
Kronis: perlengketan, ileus obstruksi
PERITONITIS
Kepaniteraan Klinik Ilmu BedahRumah Sakit Umum Daerah Bekasi – FK Trisakti Page 13
1. Definisi
Peritonitis adalah peradangan peritoneum (membran serosa yang melapisi rongga
abdomen dan menutupi visera abdomen) merupakan penyulit berbahaya yang dapat
terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran
infeksi dari organ abdomen, perforasi saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen.
Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon (pada
kasus ruptura appendik) yang mencakup Eschericia coli atau Bacteroides. Sedangkan
Staphylococcus atau Streptococcus seringkali masuk dari luar.1,2
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.
Terbentuk kantong-kantong nanah (abses) di antara perlekatan fibrinosa yang menempel
menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan
biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita
fibrosa yang kelak dapat menyebabkan terjadinya obstruksi usus.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar akan menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata. Dengan
timbulnya peritonitis generalisata, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke
dalam lumen usus, menyebabkan terjadinya dehidrasi, gangguan sirkulasi, oliguria, dan
mungkin shock.
2. Anatomi dan Fisiologi
Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Di bagian
belakang struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada iga, dan di bagian
bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari berbagai lapis, yaitu dari luar
ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kutis dan subkutis, lemak subkutan dan facies
superfisial (facies skarpa), kemudian ketiga otot dinding perut M. Obliquus abdominis
eksterna, M. Obliquus abdominis internus dan M. Transversus abdominis, dan akhirnya
lapis preperitoneum dan peritoneum, yaitu fascia transversalis, lemak preperitoneal dan
peritoneum. Otot di bagian depan tengah terdiri dari sepasang otot rektus abdominis
dengan fascianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba.1,2
Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut. Lapisan
muskulo-aponeurosis dinding perut sangat penting untuk mencegah terjadinya hernia.
Fungsi lain otot dinding perut adalah pada pernafasan juga pada proses berkemih dan
buang air besar dengan meninggikan tekanan intra abdominal.
Kepaniteraan Klinik Ilmu BedahRumah Sakit Umum Daerah Bekasi – FK Trisakti Page 14
Peritoneum adalah membran serosa rangkap yang terbesar di dalam tubuh.
Peritoneum terdiri atas dua bagian utama, yaitu peritoneum parietal, yang melapisi
dinding rongga abdominal dan berhubungan dengan fascia muscular, dan peritoneum
visceral, yang menyelaputi semua organ yang berada di dalm rongga itu. Peritoneum
parietale mempunyai komponen somatic dan visceral yang memungkinkan lokalisasi
yang berbahaya dan menimbulkan defence muscular dan nyeri lepas. Ruang yang bisa
terdapat di antara dua lapis ini disebut ruang peritoneal atau cavitas peritonealis. Ruang
di luarnya disebut Spatium Extraperitoneale. Di dalam cavitas peritonealis terdapat
cairan peritoneum yang berfungsi sebagai pelumas sehingga alat-alat dapat bergerak
tanpa menimbulkan gesekan yang berarti. Cairan peritoneum yang diproduksi berlebihan
pada kelainan tertentu disebut sebagai asites (hydroperitoneum).
Luas peritoneum kira-kira 1,8 meter, sama dengan luas permukaan kulit orang
dewasa. Fungsi peritoneum adalah setengah bagiannya memiliki membran basal
semipermeabel yang berguna untuk difusi air, elektrolit, makro, maupun mikro sel. Oleh
karena itu peritoneum punya kemampuan untuk digunakan sebagai media cuci darah
yaitu peritoneal dialisis dan menyerap cairan otak pada operasi ventrikulo peritoneal
shunting dalam kasus hidrochepalus.
Lapisan peritoneum dibagi menjadi 3, yaitu :
Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).
Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.
Peritoneum viscerale berhubungan dengan parietale pada dinding abdomen melalui
suatu duplikatur yang disebut mesenterium. Cavitas peritonealis pada laki-laki tertutup
seluruhnya tetapi pada perempuan mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui tuba
Kepaniteraan Klinik Ilmu BedahRumah Sakit Umum Daerah Bekasi – FK Trisakti Page 15
uterina, uterus, dan vagina. Spatium Extraperitoneale dapat dibedakan menurut letaknya,
didepan (spatium praepitoneale), di belakang (spatium retroperitoneale) dan dibawah
(spatium subperitoneale). Alat yang terletak di dalam cavitas peritoneale disebut letak
intraperitoneale, seperti pada lambung, jejunum, ileum, dan limpa. Sedangkan yang
terletak di belakang peritoneum disebut retroperitoneale seperti pada ginjal dan
pankreas.1
Omentum adalah dua lapisan peritoneum yang menghubungkan lambung dengan alat
viscera lainnya seperti dengan hepar (omentum minus), dengan colon transversum
(omentum majus), dan dengan limpa (omentum gastrosplenicum). Peritoneum dari usus
kecil disebut mesenterium, dari appendik disebut mesoappendix dari colon transversum
dan sigmoideum disebut mesocolontransversum dan sigmoideum. Mesenterium dan
omentum berisi pembuluh darah dan limfe serta saraf untuk alat viscera yang
bersangkutan.
Peritoneum parietale sensitif terhadap nyeri, temperatur, perabaan dan tekanan dan
mendapat persarafan dari saraf-saraf segmental yang juga mempersarafi kulit dan otot
yang ada si sebelah luarnya. Iritasi pada peritoneum parietale memberikan rasa nyeri
lokal, namun insisi pada peritoneum visceral tidak memberikan rasa nyeri. Peritoneum
viscerale sensitif terhadap regangan dan sobekan tapi tidak sensitif untuk perabaan,
tekanan maupun temperature.
Vaskularisasi dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kraniodorsal diperoleh
dari cabang aa. Intercostalis VI – XII dan A. Epigastrika superior. Dari kaudal terdapat
A. Iliaca, A. Circumflexa superfisialis, A. Pudenda eksterna dan A. Epigastrika inferior.
Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal
tanpa menimbulkan gangguan perdarahan. Persarafan dinding perut dipersarafi secara
segmental oleh N. Thorakalis VI – XII dan N. Lumbalis I.2
3. Etiologi
Peritonitis bakterial diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder :
a) Peritonitis primer
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari
rongga peritoneum. Banyak terjadi pada penderita sirosis hepatis dengan
asites, SLE, bronkopnemonia dan TBC paru, pyelonefritis.
b) Peritonitis sekunder
Kepaniteraan Klinik Ilmu BedahRumah Sakit Umum Daerah Bekasi – FK Trisakti Page 16
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractus
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak
akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme
dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakteri anaerob, khususnya spesies
Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan
infeksi. Disebabkan oleh infeksi akut dari organ intraperitoneal seperti :
- Iritasi Kimiawi : Perforasi gaster, pankreas, kandung empedu, hepar, lien,
kehamilan extra tuba yang pecah
- Iritasi bakteri : Perforasi kolon, usus halus, appendix, kista ovarii pecah,
ruptur buli dan ginjal.
- Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam
cavum peritoneal.
c) Peritonitis Tersier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat
tindakan operasi sebelumnya.3
4. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa,
yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat
menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membrane
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat maka dapat
menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya
interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke
perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba
untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk
buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi
ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler
organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan
lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedema dinding
Kepaniteraan Klinik Ilmu BedahRumah Sakit Umum Daerah Bekasi – FK Trisakti Page 17
abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia
bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi
sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas
pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis
umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltic berkurang
sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan
elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang
meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan
obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus
karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik
usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana
yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat
total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah
sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau gangren dan
akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen
sehingga dapat terjadi peritonitis.
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan, makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas
dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem,
diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga oedem bertambah
kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan nekrosis atau gangren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan
akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.5
5. Manifestasi Klinis
Adanya darah atau cairan pada rongga peritoneum makan memberikan tanda-
tanda rangsangan peritoneum. Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri tekan dan
defence muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah
Kepaniteraan Klinik Ilmu BedahRumah Sakit Umum Daerah Bekasi – FK Trisakti Page 18
diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara
usus.1,4
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan
terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini
menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritoneum
dengan peritoneum. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti
jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan
seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lain.
6. Diagnosis
a) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah,
denyut nadi, pernapasan, suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum
melakukan pemeriksaan abdomen. Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan,
syok, dan infeksi atau sepsis juga perlu diperhatikan.
Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis, keadaan umumnya
tidak baik. Demam dengan temperatur >38o C biasanya terjadi. Pasien dengan
sepsis hebat akan muncul gejala hipotermia. Takikardia disebabkan karena
dilepaskannya mediator inflamasi dan hipovolemia intravaskuler yang
disebabkan karena mual dan muntah, demam, kehilangan cairan yang banyak
dari rongga abdomen. Dengan adanya dehidrasi yang berlangsung secara
progresif, pasien bisa menjadi semakin hipotensi. Hal ini bisa menyebabkan
produksi urin berkurang, dan dengan adanya peritonitis hebat bisa berakhir
dengan keadaan syok sepsis.
- Inspeksi
Pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas operasi
menunjukkan kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit dengan
gambaran usus atau gerakan usus yang disebabkan oleh gangguan pasase.
Pada peritonitis biasanya akan ditemukan perut yang membuncit dan
tegang atau distended.
- Palpasi
Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan visceral yang
sangat sensitif. Bagian anterior dari peritoneum parietale adalah yang
paling sensitif. Palpasi harus selalu dilakukan di bagian lain dari abdomen
yang tidak dikeluhkan nyeri. Hal ini berguna sebagai pembanding antara
Kepaniteraan Klinik Ilmu BedahRumah Sakit Umum Daerah Bekasi – FK Trisakti Page 19
bagian yang tidak nyeri dengan bagian yang nyeri. Nyeri tekan dan
defence muskular (rigidity) menunjukkan adanya proses inflamasi yang
mengenai peritoneum parietale (nyeri somatik). Defence yang murni
adalah proses refleks otot akan dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi
berupa reaksi kontraksi otot terhadap rangsangan tekanan. Pada saat
pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat. Otot
dinding perut menunjukkan defence muskular secara refleks untuk
melindungi bagian yang meradang dan menghindari gerakan atau tekanan
setempat.
- Perkusi
Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya
udara bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi
melalui pemeriksaan pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien dengan
peritonitis, pekak hepar akan menghilang, dan perkusi abdomen
hipertimpani karena adanya udara bebas tadi.
Pada pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus dilakukan
pemeriksaan colok dubur untuk membantu penegakan diagnosis. Nyeri
yang difus pada lipatan peritoneum di cavum Douglass kurang
memberikan informasi pada peritonitis murni. Nyeri pada satu sisi
menunjukkan adanya kelainan di daeah panggul seperti appendisitis, abses,
atau adneksitis. Nyeri pada semua arah menunjukkan general peritonitis.
Colok dubur dapat pula membedakan antara obstruksi usus dengan
paralisis usus, karena pada paralisis dijumpai ampula rekti yang melebar,
sedangkan pada obstruksi usus ampula biasanya kolaps.
- Auskultasi
Dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara bising usus.
Pasien dengan peritonitis umum, bising usus akan melemah atau
menghilang sama sekali, hal ini disebabkan karena peritoneal yang lumpuh
sehingga menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik).
Sedangkan pada peritonitis lokal bising usus dapat terdengar normal.
b) Gambaran Radiologis
Kepaniteraan Klinik Ilmu BedahRumah Sakit Umum Daerah Bekasi – FK Trisakti Page 20
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk
pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada
peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :6
- Tiduran telentang (supine)
Sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior (AP)
- Duduk atau setengah duduk atau berdiri jika memungkinkan, dengan sinar
horizontal proyeksi AP.
- Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar
horizontal, proyeksi AP.
Gambaran radiologis pada peritonitis yaitu : terlihat kekaburan pada
cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya
udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal.
c) Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap
Biasanya ditemukan leukositosis, hematokrit yang meningkat.
Analisa Gas Darah
Menunjukkan asidosis metabolik, dimana terdapat kadar
karbondioksida yang disebabkan oleh hiperventilasi.
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak
protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel
diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara
Kepaniteraan Klinik Ilmu BedahRumah Sakit Umum Daerah Bekasi – FK Trisakti Page 21
laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan
merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.
7. Differential Diagnosa
- Appendisitis
- Pankreatitis
- Gastroenteritis
- Cholesistitis
- Salphingitis
- Kehamilan ektopik terganggu
8. Penatalaksanaan
a) Konservatif
Prinsip umum pengobatan adalah mengistirahatkan saluran cerna dengan :
- Memuasakan pasien
- Dekompresi saluran cerna dengan pemasangan pipa nasogastrik atau
intestinal
- Pengganti cairan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena
- Pemberian antibiotik yang sesuai
- Pembuangan fokus septik (apendiks) atau penyebab radang lainnya
Pemberian oksigen
Vital untuk semua pasien dengan syok. Hipoksia dapat dimonitor oleh
pulse oximetri atau analisa gas darah.
Resusitasi cairan
Biasanya dengan kristaloid, volumenya berdasarkan derajat syok dan
dehidrasi. Penggantian elektrolit (biasanya potassium) biasanya
dibutuhkan. Pasien harus dikateterisasi untuk memonitor output urine
tiap jam. Monitoring tekanan venasentral dan penggunaan inotropik
sebaiknya digunakan pada pasien dengan sepsis atau pasien dengan
komorbid. Hipovolemi terjadi karena sejumlah besar cairandan
elektrolit bergerak dari lumen usus ke dalam rongga peritoneal dan
menurunkan caran ke dalam ruang vaskuler.
Analgetik
Kepaniteraan Klinik Ilmu BedahRumah Sakit Umum Daerah Bekasi – FK Trisakti Page 22
Digunakan analgetik opiat intravena dan mungkin dibutuhkan
antiemetik.
Antibiotik
Harus spektrum luas, yang mengenai baik aerob dan anaerob,
diberikan intravena. Cefalosporin generasi III dan metronidazole
adalah strategi primer.7
b) Definitif
Pembedahan
1. Laparotomi
Biasanya dilakukan insisi upper atau lower midline tergantung dari
lokasi yang dikira. Tujuannya untuk :
- Menghilangkan kausa peritonitis
- Mengkontrol origin sepsis dengan membuang organ yang mengalami
inflamasi atau iskemik (atau penutupan viscus yang mengalami perforasi).
- Peritoneal lavage
Mengkontrol sumber primer dari sepsis adalah sangat penting. Re-
laparotomi mempunyai peran yang penting pada penanganan pasien
dengan peritonitis sekunder, dimana setelah laparotomi primer ber-efek
memburuk atau timbul sepsis. Re-operasi dapat dilakukan sesuai
kebutuhan. Re-laparotomi yang terencana biasanya dibuat dengan
membuka dinding abdomen dengan pisau bedah sintetik untuk mencegah
eviserasi
2. Laparoskopi
Laparoskopi efektif pada penanganan appendisitis akut dan
perforasi ulkus duodenum. Laparoskopi dapat digunakan pada kasus
perforasi kolon, tetapi angka konversi ke laparotomi lebih besar. Syok
dan ileus adalah kontraindikasi pada laparoskopi.
3. Drain
Efektif digunakan pada tempat yang terlokalisir, tetapi cepat
melekat pada dinding sehingga seringkali gagal untuk menjangkau
rongga peritoneum. Ada banyak kejadian yang memungkinkan
penggunaan drain sebagai profilaksis setelah laparotomi.7
Kepaniteraan Klinik Ilmu BedahRumah Sakit Umum Daerah Bekasi – FK Trisakti Page 23
9. Komplikasi
a. Syok Sepsis
b. Abses intraabdominal atau sepsis abdominal persisten.
Pada tanda-tanda sepsis (pireksia, leukositosis), pemeriksaan harus
disertakan CT dengan kontras luminal. Re-laparotomi diperlukan apabila
terdapat peritonitis generalisata. Drainase perkutaneus dengan antobiotik
pilihan terbaik merupakan terapi pada tempat yang terlokalisir. Terapi
antibiotik disesuaikan dengan kultur yang diambil dari hasil drainase. Sepsis
abdominal mengakibatkan mortalitas sekitar 30-60%. Faktor yang
mempengaruhi tingkat mortalitas adalah usia, penyakit kronis, wanita, sepsis
pada daerah upper gastrointestinal, kegagalan menyingkirkan sumber sepsis.
c. Adhesi
Dapat menyebabkan obstruksi intestinal atau volvulus.
10. Prognosis
Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada
peritonitis umum prognosisnya mematikan akibat organisme virulen.
BAB III
KESIMPULAN
Kepaniteraan Klinik Ilmu BedahRumah Sakit Umum Daerah Bekasi – FK Trisakti Page 24
Peritonitis adalah peradangan peritoneum (membran serosa yang melapisi rongga
abdomen dan menutupi visera abdomen) merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi
dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi
dari organ abdomen, perforasi saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen.
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda – tanda
rangsangan peritoneum. Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri tekan dan defence
muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik
usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap
keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan
melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Penatalaksanaan dari peritonitis yaitu dekompresi saluran cerna dengan pemasangan pipa
nasogastrik atau intestinal, penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan
secara intravena, pemberian antibiotik yang sesuai, dan pembuangan dari fokus infeksi dari
organ abdomen. Prognosis untuk peritonitis lokal adalah baik, sedangkan untuk peritonitis
umum yaitu lebih buruk.
DAFTAR PUSTAKA
1) Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3: Gawat Abdomen. 2011.
Jakarta: EGC; p.406-13.
Kepaniteraan Klinik Ilmu BedahRumah Sakit Umum Daerah Bekasi – FK Trisakti Page 25
2) Scwartz, Shires, Spencer. 2005. Peritonitis dan Abses Intraabdomen dalam Intisari
Prinsip – prinsip Ilmu Bedah. Jakarta : EGC. 489-493.
3) Schrock. TR. 2000. Peritonitis dan Massa Abdominal dalam Ilmu Bedah, Ed.7. alih
bahasa dr. Petrus Lukmato, Jakarta: EGC.
4) Arief M, Suprohaita, Wahyu IK, Wieiek S. 2000. Bedah Digestif dalam
Kapita Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid 2; p 302-321. Jakarta: Media Aesculapius
FKUI.
5) Price, Sylvia. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit. Ed 6.
Jakarta: EGC.
6) Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I. 2006. Abdomen Akut dalam Radiologi
Diagnostik; p 256-7. Jakarta: Gaya Baru.
7) Rotstein OD, Simmins RL. 2006. Peritonitis dan Abses Intraabdomen dalam Terapi
Bedah Mutakhir, Jilid 2. Ed4. Alih bahasa dr. Widjaja Kusuma. Jakarta: Binarupa
Aksara.
Kepaniteraan Klinik Ilmu BedahRumah Sakit Umum Daerah Bekasi – FK Trisakti Page 26