case onko fikry1

61
Striktur Urethra Pars Posterior 1. LAPORAN KASUS 1.1 Identifikasi Nama : Tn SB Umur : 30 tahun Jenis Kelamin:Laki laki Status : Belum Menikah Bangsa : Indonesia MRS : 15 September 2014 No. RM : 687239 1.2 Autoanamnesis Keluhan Utama: Buang air kecil melalui kateter di dinding perut bagian bawah Riwayat Perjalanan Penyakit: Dialami sejak 6 tahun yang lalu setelah menjalani operasi di Rumah sakit Queen Elizabeth Malaysia akibat kecelakaan kerja. Pasien ditimpa kayu dengan diameter dan panjang seperti tiang tembok dan mengenai pinggang pasien. Saat ini buang air kecil lancar melalui kateter suprapubik. Pasien mengeluh buang air 1

Upload: eyi-areum

Post on 22-Dec-2015

233 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ghcuyguovuo

TRANSCRIPT

Striktur Urethra Pars Posterior

1. LAPORAN KASUS

1.1 Identifikasi

Nama : Tn SB

Umur : 30 tahun

Jenis Kelamin :Laki laki

Status : Belum Menikah

Bangsa : Indonesia

MRS : 15 September 2014

No. RM : 687239

1.2 Autoanamnesis

Keluhan Utama:

Buang air kecil melalui kateter di dinding perut bagian bawah

Riwayat Perjalanan Penyakit:

Dialami sejak 6 tahun yang lalu setelah menjalani operasi di Rumah sakit Queen

Elizabeth Malaysia akibat kecelakaan kerja. Pasien ditimpa kayu dengan diameter dan

panjang seperti tiang tembok dan mengenai pinggang pasien. Saat ini buang air kecil

lancar melalui kateter suprapubik. Pasien mengeluh buang air kecil kadang berwarna

keruh. Pasien tiak pernah kecing berpasir. Semenjak kecelakaan kerja, pasien tidak

pernah lagi buang air kecil melalui ujung penis. Saat ini pasien tidak mengeluhkan

nyeri pinggang dan tidak pernah mengeluh demam. Setiap 2 minggu pasien

mengganti kateter suprapubik

1

1.3 Pemeriksaan Fisik (Tanggal 8 September 2014)

Status Generalis

Keadaan Umum : Sakit Sedang

Kesadaran : Compos mentis

Pernafasan : 20x/menit

Nadi : 84x/menit

Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Suhu : 36,8 ºC

Berat Badan : 65 kg

Tinggi Badan : 170 cm

Keadaan Gizi : Cukup

Regio Kepala

Mata : konjungtiva kedua mata tidak anemis, sklera tidak ikterus.

Hidung : tidak tampak kelainan

Bibir : tidak tampak sianosis

Regio Leher

Inspeksi : tidak tampak benjolan, warna sama dengan daerah kulit sekitar

Palpasi : tidak teraba massa tumor, nyeri tekan (-)

Regio Thoraks

Inspeksi :tampak payudara kiri dan kanan tidak simetris

Palpasi :stem fremitus paru kanan sama dengan kiri

Perkusi :sonor pada kedua hemithoraks, pekak hemithoraks kanan setinggi ICS

2

Auskultasi :suara napas vesikuler pada kedua hemithoraks, menurun pada

hemithoraks kiri setinggi ICS V.

Regio Abdomen

Inspeksi : datar, ikut gerak napas

Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal

Palpasi : massa tumor (-) , nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba.

Perkusi : Timpani

Regio Costovertebra Dextra:

Inspeksi: Alignment tulang baik, warna kulit sama seperti sekitar, tidak ada edema,

tidak ada hematom

Palpasi: Ballotement ginjal tidak teraba, nyeri tekan tidak ada,

Perkusi: Nyeri ketok tidak ada,

Regio Costovertebra Dextra:

Inspeksi: Alignment tulang baik, warna kulit sama seperti sekitar, tidak ada edema,

tidak ada hematom

Palpasi: Ballotement ginjal tidak teraba, nyeri tekan tidak ada,

Perkusi: Nyeri ketok tidak ada,

Regio Subrapubik :

Inspeksi: Tampak terpasang kateter foley suprapubik no 20F, Buli-buli kesan tudak

bulging. Tampak luka pekas operai ukuran 3 cm. Warna kulit sama

dengan sekitar

Palpasi : Nyeri tekan ada, tidak teraba massa tumor.

Perkusi: Nyeri ketok tidak ada

Regio genitalia Externa :

3

- Penis

Inspeksi: Tampak penis telah disirkumsisi, ostium urethra Externa tampak berada di

ujung penis, tidak ada hematom, warna kulit lebih gelap dari sekitarnya

Palpasi: tidak ada massa tumor, nyeri tekan tiddak ada

- Scrotum

Inspeksi : Warna kulit lebih gelap dari sekitarnya, tidak tampak hematom

Palpasi : Teraba 2 buah penis di dalam kantong scrotum ukuran sama besar, massa

tumor tidak ada

- Perineum

Inspeksi: Warna kulit lebih gelap dari sekitarnya, tidak tampak edema, tidak tampak

hematom

Palpasi: Tidak teraba massa tumor, nyeri tekan tidak ada

- Rectal Toucher

Spingter ani mencekik, mukosa licin, ampulla berisi feses, tidak teraba

penonjolan prostat ke arah rectum. Nyeri ada.

Handscoen : Feses ada, darah tidak ada, lendir tidak ada

• Ekstremitas

Inspeksi : edema pretibial (-/-)

Palpasi : akral hangat

Foto Klinis:

4

Diagnosis kerja: Striktur Urethra Post cystostomi, Vesicolithiasis

Pemeriksaan Penunjang

HEMATOLOGI HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN

WBC 12.32 4.00 – 10.0 [103/uL]

RBC 3.23 4.00 – 6.00 [106/uL]

HGB 8.7 12.0 – 16.0 [g/dL]

HCT 28.3 37.0 – 48.0 [%]

PLT 394 150 – 400 [103/uL]

BT 3’00 1-7 Menit

CT 8’00 4-10 Menit

PT 12.4 control 10,0 10-14 Detik

APTT 26.9 control 22,2 22-30 Detik

GDS 103 140 mg/dl

Ur 37 10-50 Mg/dl

Cr 0,90 L(<1,3) P(<1,1) Mg/dl

SGOT 25 <38 U/L

SGPT 11 <41 U/L

Natrium 146 136-145 mmol/l

Kalium 4.3 3,5-5,1 mmol/l

Klorida 109 97-111 mmol/l

Foto thorax

5

Corakan bronkhovaskuler dalam batas normal

Tidak tampak proses spesifik aktif pada kedua lapangan paru

Cor CTI dalam batas normal , aorta normal

Kedua sinus dan diafragma baik

Tulang-tulang intak

Kesan :Tidak ada kelainan radiologik pada foto thorax ini

USG Abdomen

Hepar: tidak membesar, permukaan reguler, ujung tajam, echo parenkim dalam batas

normal, tidak tampak sol, sistem vaskuler dan bilier tidak dilatasi

Gb: dinding tidak menebal, mukosa reguler tidak nampak echo batu maupun mass

Lien: tidak membesar echo parenkim dalam batas normal, tidak tampak sol

Pankreas : bentuk dan ukuran dalam batas normal, tidak tampak sol, duktus

pankreatikus tidak dilatasi

Kedua ginjal : ukuran dan kontur dalam batas normal. kontur dan echo cortex/sinus

dalam batas normal. Tidak tampak dilatasi pcs. Tidak tampak echo batu maupun sol.

Vesica urinaria : mukosa reguler dan menebal, tampak echo batu di dalamnya dengan

ukuran 2,91cm. tampak echo balon kateter didalamnya

Tidak tampak pembesaran pada aorta abdominalis

Kesan : -Vesicolithiasis

-Cystitis

6

Foto Pelvis /Panggul AP

Alignment pelvis baik, tidak tampak dislokasi

Tampak fraktur lama pada ramus inferior os pubis bilateral tampak pula fusi pada os

simphisis pubis

Tampak bayangan radioopak berbatas tegas pada rongga pelvis

Mineralisasi tulang baik

Kedua sacroiliaca joint baik

Jaringan lunak sekitarnya baik

Kesan : - Vesicholith

Old Fracture ramus inferior os pubis bilateral dan fusi pada os simphisis pubis

Urethtrocystography

7

Kontras iodium 20cc dimasukkan melalui ostium urethra external

Dengan fluoroscopy tampak kontras memasuki urethra pars anterior dan terhambat

pada urethra pars posterior. Tidak tampak kontras memasuki buli buli

Kontras Iodium sebanyak 70cc dimasukkan melalui kateter yang terpasang pada

cystostomy

Dengan fluoroscopy tampak kontras memasuki buli-buli tidak tampak peduh namun

mengalami refluks ke ureter hingga ke ginjal dextra dengan gambaran pelvicocaliceal

system tidak melebar

Mukosa filling effect dan additional shadaow paa buli-buli tidak dapat dinilai

Kesan: - Striktur urethtra pars posterior

- Vesikoureteral Reflux dextra grade II-III

- Vesicolith

Diagnosa Akhir: Striktur Urethra Pars Posterior

TINJAUAN PUSTAKA

8

a. Pendahuluan

Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan parut dan

kontraksi. Penyakit ini lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita karena adanya

perbedaan panjang uretra. Uretra pria dewasa berkisar antara 23-25 cm, sedangkan uretra

wanita sekitar 3-5 cm.1 Karena itulah uretra pria lebih rentan terserang infeksi atau

terkena trauma dibanding wanita. Beberapa faktor resiko lain yang diketahui berperan

dalam insiden penyakit ini, diantaranya adalah pernah terpapar penyakit menular seksual,

ras orang Afrika, berusia diatas 55 tahun, dan tinggal di daerah perkotaan.4 Striktur dapat

terjadi pada semua bagian uretra, namun kejadian yang paling sering pada orang dewasa

adalah di bagian pars bulbosa-membranasea, sementara pada pars prostatika lebih sering

mengenai anak-anak.5

b. Etiologi

Infeksi yang paling sering menimbulkan striktur uretra adalah infeksi oleh kuman

gonokokus, yang sempat menginfeksi uretra sebelumnya. Trauma yang dapat

menyebabkan striktur uretra adalah trauma tumpul pada selangkangannya (straddle

injury), fraktur tulang pelvis, atau cedera pasca bedah akibat insersi peralatan bedah

selama operasi transurethral, pemasangan kateter, dan prosedur sitoskopi.1,3 Striktur

kongenital sangat jarang terjadi. Striktur ini disebabkan karena penyambungan yang tidak

adekuat antara ureta anterior dan posterior, tanpa adanya faktor trauma maupun

peradangan.6 6

c. Patomekanisme

Proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan

terbentuknya jaringan parut pada uretra. Jaringan parut ini berisi kolagen dan

fibroblast, dan ketika mulai menyembuh jaringan ini akan berkontraksi ke seluruh

ruang pada lumen dan menyebabkan pengecilan diameter uretra, sehingga

menimbulkan hambatan aliran urine. Karena adanya hambatan, aliran urine

mencari jalan keluar di tempat lain dan akhirnya mengumpul di rongga periuretra.

Karena ekstravasasi urine, daerah tersebut akan rentan terjadi infeksi akan

menimbulkan abses periuretra yang kemudian bisa membentuk fistula

uretrokutan (timbul hubungan uretra dan kulit). Selain itu resiko terbentuknya

batu buli-buli juga meningkat, timbul gejala sulit ejakulasi dan gagal ginjal. Derajat

penyempitan lumen uretra dibagi menjadi 3 tingkatan. Termasuk tingkat ringan

9

jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen, tingkat sedang jika

terdapat oklusi mencapai ½ lumen uretra, dan tingkat berat oklusi lebih dari ½

diameter lumen uretra.

d. Diagnosis

Diagnosis striktur uretra dapat kita tegakkan dengan cara anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan pemeriksaan penunjang. Gejala penyakit ini mirip seperti gejala penyebab

retensi urine tipe obstruktif lainnya. Diawali dengan sulit kencing atau pasien harus

mengejan untuk memulai kencing namun urine hanya keluar sedikit-sedikit. Gejala

tersebut harus dibedakan dengan inkontinensia overflow, yaitu keluarnya urine secara

menetes, tanpa disadari, atau tidak mampu ditahan pasien. Gejala-gejala lain yang harus

ditanyakan ke pasien adalah adanya disuria, frekuensi kencing meningkat, hematuria, dan

perasaan sangat ingin kencing yang terasa sakit. Jika curiga penyebabnya adalah infeksi,

perlu ditanyakan adanya tanda-tanda radang seperti demam atau keluar nanah.1,5

Pemeriksaan fisik dilakukan lewat inspeksi dan palpasi. Pada inspeksi kita perhatikan

meatus uretra eksterna, adanya pembengkakan atau fistel di sekitar penis, skrotum

perineum, dan suprapubik. Kemudian kita palpasi apakah teraba jaringan parut sepanjang

uretra anterior pada ventral penis, jika ada fistel kita pijat muaranya untuk mengeluarkan

nanah di dalamnya. Pemeriksaan colok dubur berguna untuk menyingkir diagnosis lain

seperti pembesaran prostat.1

Pemeriksaan penunjang berguna untuk konfirmasi diagnosis dan menyingkirkan

diagnosis banding. Uroflowmetri adalah alat untuk mengetahui pancaran urine secara

obyektif. Derasnya pancaran diukur dengan membagi volume urine saat kencing dibagi

dengan lama proses kencing. Kecepatan pancaran normal adalah 20 ml/detik. Jika

kecepatan pancaran kurang dari 10 ml/detik menandakan adanya obstruksi. Namun

pemeriksaan foto Retrograde Uretrogram dikombinasikan dengan Voiding

Cystouretrogram tetap dijadikan standar pemeriksaan untuk menegakan diagnosis.

Radiografi ini dapat menentukan panjang dan lokasi dari striktur. Penggunaan

ultrasonografi (USG) cukup berguna dalam mengevaluasi striktur pada pars bulbosa.

Dengan alat ini kita juga bisa mengevaluasi panjang striktur dan derajat luas jaringan

parut, contohnya spongiofibrosis. Ini membantu kita memilih jenis tindakan operasi yang

akan dilakukan kepada pasien. Kita dapat mengetahui jumlah residual urine dan panjang

striktur secara nyata, sehingga meningkatkan keakuratan saat operasi. Pemeriksaan yang

lebih maju adalah dengan memakai uretroskopi dan sistoskopi, yaitu penggunaan kamera

10

fiberoptik masuk ke dalam uretra sampai ke buli-buli. Dengan alat ini kita dapat melihat

penyebab, letak, dan karakter striktur secara langsung.1,3,7 Pencitraan menggunakan

magneting resonance imaging bagus dilakukan sebelum operasi karena dapat mengukur

secara pasti panjang striktur, derajat fibrosis, dan pembesaran prostat. Namun alat ini

belum tersedia secara luas dan biayanya sangat mahal sehingga jarang digunakan.

Pemeriksaan laboratorium seperti urinalisis atau cek darah lengkap rutin dikerjakan untuk

melihat perkembangan pasien dan menyingkirkan diagnosis lain

e. PENANGANAN STRIKTUR URETRA

Tujuan dari pengobatan striktur uretra adalah kesembuhan permanen, tidak hanya

sembuh sementara. Pengobatan terhadap striktur uretra tergantung pada lokasi striktur,

panjang/pendek striktur, dan kedaruratannya. Contohnya, jika pasien datang dengan

retensi urine akut, secepatnya lakukan sistostomi suprapubik untuk mengeluarkan urine

dari buli-buli. Sistostomi adalah tindakan operasi dengan membuat jalan antara buli-buli

dan dinding perut anterior. Jika dijumpai abses periuretra, kita lakukan insisi untuk

mengeluarkan nanah dan berikan antibiotika.1 Jika lokasi striktur di uretra pars bulbosa

dimana terdapat korpus spongiosum yang lebih tebal daripada di uretra pars pedularis,

maka angka kesuksesan prosedur uretrotomi akan lebih baik jika dikerjakan di daerah

tersebut. Penanganan konvensional seperti uretrotomi atau dilatasi masih tetap dilakukan,

walaupun pengobatan ini rentan menimbulkan kekambuhan. Hasil sebuah studi

mengindikasikan 80% striktur yang ditangani dengan internal uretrostomi mengalami

kekambuhan dalam 5 tahun berikutnya. Pemasangan stent adalah alternatif bagi pasien

yang sering mengalami rekurensi striktur. Namun tidak menutup kemungkinan untuk

terjadi komplikasi seperti hiperplasia jaringan uretra sehingga menimbulkan obstruksi

sekunder.6,7 Beberapa pilihan terapi untuk striktur uretra adalah sebagai berikut:

1. Dilatasi uretra

Dapat dilakukan pada pasien yang kontra indikasi dengan pembedahan.

Dilatasi dilakukan dengan menggunakan balon kateter atau busi logam

dimasukan hati-hati ke dalam uretra untuk membuka daerah yang menyempit.1

Pendarahan selama proses dilatasi harus dihindari karena itu mengindikasikan

terjadinya luka pada striktur yang akhirnya menimbulkan striktur baru yang

lebih berat. Hal inilah yang membuat angka kesuksesan terapi menjadi rendah

dan sering terjadi kekambuhan.6

11

2. Uretrotomi interna

Teknik bedah dengan derajat invasive minim, dimana dilakukan

tindakan insisi pada jaringan radang untuk membuka striktur. Insisi

menggunakan pisau otis atau sasche. Otis dikerjakan jika belum terjadi striktur

total, sedangkan pada striktur lebih berat pemotongan dikerjakan secara visual

menggunakan kamera fiberoptik dengan pisau sasche.1 Tujuan uretrotomi

interna adalah membuat jaringan epitel uretra yang tumbuh kembali di tempat

yang sbelumnya terdapat jaringan parut. Jika tejadi proses epitelisasi sebelum

kontraksi luka menyempitkan lumen, uretrotomi interna dikatakan berhasil.

Namun jika kontraksi luka lebih dulu terjadi dari epitelisasi jaringan, maka

striktur akan muncul kembali. Angka kesuksesan jangka pendek terapi ini

cukup tinggi, namun dalam 5 tahun angka kekambuhannya mencapai 80%.6

Selain timbulnya striktur baru, komplikasi uretrotomi interna adalah

pendarahan yang berkaitan dengan ereksi, sesaat setelah prosedur dikerjakan,

sepsis, inkontinensia urine, dan disfungsi ereksi.4

3. Pemasangan stent

Stent adalah benda kecil, elastis yang dimasukan pada daerah striktur.

Stent biasanya dipasang setelah dilatasi atau uretrotomi interna. Ada dua jenis

stent yang tersedia, stent sementara dan permanen. Stent permanen cocok

untuk striktur uretra pars bulbosa dengan minimal spongiofibrosis. Biasanya

digunakan oleh orang tua, yang tidak fit menjalani prosedur operasi. Namun

stent permanen juga memiliki kontra indikasi terhadap pasien yang

sebelumnya menjalani uretroplasti substitusi dan pasien straddle injury dengan

spongiosis yang dalam. Angka rekurensi striktur bervariasi dari 40%-80%

dalam satu tahun. Komplikasi sering terjadi adalah rasa tidak nyaman di daerah

perineum, diikuti nyeri saat ereksi dan kekambuhan striktur.6

4. Uretroplasti

Uretroplasti merupakan standar dalam penanganan striktur uretra, namun

masih jarang dikerjakan karena tidak banyak ahli medis yang menguasai teknik

bedah ini. Sebuah studi memperlihatkan bahwa uretroplasti dipertimbangkan

sebagai teknik bedah dengan tingkat invasif minimal dan lebih efisien daripada

uretrotomi.2 Uretroplasti adalah rekonstruksi uretra terbuka berupa pemotongan

12

jaringan fibrosis. Ada dua jenis uretroplasti yaitu uretroplasti anastomosis dan

substitusi. Uretroplasti anastomosis dilakukan dengan eksisi bagian striktur

kemudian uretra diperbaiki dengan mencangkok jaringan atau flap dari

jaringan sekitar. Teknik ini sangat tepat untuk striktur uretra pars bulbosa

dengan panjang striktur 1-2 cm. Uretroplasti substitusi adalah mencangkok

jaringan striktur yang dibedah dengan jaringan mukosa bibir, mukosa kelamin,

atau preputium. Ini dilakukan dengan graft, yaitu pemindahan organ atau

jaringan ke bagian tubuh lain, dimana sangat bergantung dari suplai darah

pasien untuk dapat bertahan.

Ini merupakan cara yang paling lama dan paling sederhana dalam

penanganan striktur uretra. Direkomendasikan pada pasien yang tingkat

keparahan striktur Proses graft terdiri dari dua tahap, yaitu imbibisi dan

inoskulasi. Imbibisi adalah tahap absorsi nutrisi dari pembuluh darah paien

dalam 48 jam pertama. Setelah itu diikuti tahap inoskulasi dimana terjadi

vaskularisasi graft oleh pembuluh darah dan limfe. Jenis jaringan yang bisa

digunakan adalah buccal mucosal graft, full thickness skin graft, bladder

epithelial graft, dan rectal mucosal graft. Dari semua graft diatas yang paling

disukai adalah buccal mucosal graft atau jaringan mukosa bibir, karena

jaringan tersebut memiliki epitel tebal elastis, resisten terhadp infeksi, dan

banyak terdapat pembuluh darah lamina propria. Tempat asal dari graft ini juga

cepat sembuh dan jarang mengalami komplikasi.2 Angka kesuksesan sangat

tinggi mencapai 87%. Namun infeksi saluran kemih, fistula uretrokutan, dan

chordee bisa terjadi sebagai komplikasi pasca operasi.6 5. Prosedur

rekonstruksi multiple Adalah suatu tindakan bedah dengan membuat saluran

uretra di perineum. Indikasi prosedur ini adalah ketidakmampuan mencapai

panjang uretra, bisa karena fibrosis hasil operasi sebelumnya atau teknik

substitusi tidak bisa dikerjakan. Ketika terjadi infeksi dan proses radang aktif

sehingga teknik graft tidak bisa dikerjakan, prosedur ini bisa menjadi pilihan

operasi. Rekonstruksi multiple memang memerlukan anestesi yang lebih

banyak dan menambah lama rawat inap pasien, namun berguna bila pasien

kontra indikasi terhadap teknik lain.6

Karena rentannya kekambuhan dan komplikasi pasca operasi, ada

beberapa hal yang harus diperhatikan para ahli medis agar operasi

berjalan baik. Pertama saat pre-operasi kita perkirakan panjang striktur

13

dan derajat fibrosis yang terjadi. Gunakan pemeriksaan radiologi seperti

yang disebutkan di atas. Analisis urine dan kultur harus dikerjakan

sebelum operasi, karena urine harus steril saat kita melakukan intervensi,

untuk mencegah infeksi. Riwayat seksual pasien juga harus ditanyakan.

Saat operasi, menjaga sfingter dan inervasinya dengan cara memotong

jaringan konektif antara sfingter dan uretra berguna dalam mencegah

kontinesia dan gangguan ereksi pasca operasi. Eksisi seluruh jaringan

parut, mencegah mobilisasi uretra yang berlebih, dan drainase urine

sebelum operasi adalah hal-hal penting yang harus diperhatikan untuk

meningkatkan angka kesuksesan terapi.5 Antibiotik diberikan pada pasien

yang dicurigai mengalami infeksi saluran kemih dan jenisnya diberikan

sesuai dengan hasil tes kepekaan. Jika hasil kepekaan steril, maka dapat

diberikan antibiotik profilaksis seperti ampicillin atau cephalosporin.

Algoritme penanganan pre-operatif dan intra-operatif pasien striktur

uretra dapat dilihat pada bagan berikut.

14

15

16

17

Kepala

Mata : konjungtiva kedua mata tidak anemis, sklera tidak ikterus.

Hidung : tidak tampak kelainan

Bibir : tidak tampak sianosis

Leher

Inspeksi : tidak tampak benjolan, warna sama dengan daerah kulit sekitar

Palpasi : tidak teraba massa tumor, nyeri tekan (-)

Thoraks

Inspeksi :tampak payudara kiri dan kanan tidak simetris

Palpasi :stem fremitus paru kanan sama dengan kiri

Perkusi :sonor pada kedua hemithoraks, pekak hemithoraks kanan setinggi ICS

Auskultasi :suara napas vesikuler pada kedua hemithoraks, menurun pada

hemithoraks kiri setinggi ICS V.

Regio Mamma sinistra

Inspeksi : tidak tampak benjolan, warna kulit sama dengan sekitar, tidak

tampak ulkus, tidak tampak gambaran peau d’orange di sekitar

papil, retraksi (-).

Palpasi : tidak teraba massa, permukaan rata, tidak ada nyeri tekan, ,

discharge (-).

Regio Mamma Dextra

Inspeksi : tampak tumor pada daerah kuadran tengah payudara sebesar

bola tennis, dengan permukaan berbenjol-benjol, berbatas tegas,

warna kehitaman, peau de orange (-), dimpling (+), nodul satelit

(+), nipple discharge (-), retraksi papil (+) dan terdapat ulkus di

bagian tengahnya, dasar kotor (+), perdarahan aktif (-), pus (+),

jaringan nekrotik (+), bentuk bulat, tepi ireguler berwarna

kemerahan, indurasi (+).

18

Palpasi : teraba tumor dengan ukuran 8 x 6 x 3 cm pada kuadran

sentralis, permukaan berbenjol-benjol, terfiksir (+), nyeri tekan

(-), konsistensi padat keras, batas jelas, terdapat ulkus

ditengahnya. Ulkus dengan diameter 4 x 3 cm dengan

kedalaman 2 cm.

Regio Axilla Dextra

Inspeksi : tampak massa tumor sebesar bola pingpong , warna kulit sama

dengan sekitar

Palpasi : teraba massa tumor ukuran 3 x 2 x 2 cm, konsistensi padat

keras, terfiksir, permukaan rata, nyeri tekan (-), batas jelas.

Regio Axilla Sinistra

Inspeksi : tidak tampak benjolan

Palpasi : tidak teraba massa

Regio Supraklavikula Dextra

Inspeksi : tidak tampak benjolan

Palpasi : tidak teraba massa

Regio Supraklavikula Sinistra

Inspeksi : tidak tampak benjolan

Palpasi : tidak teraba massa

Abdomen

Inspeksi : datar, ikut gerak napas

Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal

19

Palpasi : massa tumor (-) , nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba.

Perkusi : Timpani

• Ekstremitas

Inspeksi : edema pretibial (-/-)

Palpasi : akral hangat

Foto Klinis

1.4 Hasil Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium (17-09-2014)

HEMATOLOGI HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN

WBC 12.32 4.00 – 10.0 [103/uL]

RBC 3.23 4.00 – 6.00 [106/uL]

HGB 8.7 12.0 – 16.0 [g/dL]

HCT 28.3 37.0 – 48.0 [%]

PLT 394 150 – 400 [103/uL]

BT 3’00 1-7 Menit 20

CT 8’00 4-10 Menit

PT 12.4 control 10,0 10-14 Detik

APTT 26.9 control 22,2 22-30 Detik

GDS 103 140 mg/dl

Ur 37 10-50 Mg/dl

Cr 0,90 L(<1,3) P(<1,1) Mg/dl

SGOT 25 <38 U/L

SGPT 11 <41 U/L

Natrium 146 136-145 mmol/l

Kalium 4.3 3,5-5,1 mmol/l

Klorida 109 97-111 mmol/l

Hasil FNA (27/6/2014) :

Sediaan apusan terdiri dari kelompok-kelompok sel epitel yang cukup seluler dengan

inti sedikit atipik, pleomorfik, kromatin inti sebagian tampak kasar, kohesi pada

umumnya masih baik tetap struktur mioepitel sudah tidak tampak. Dengan latar

belakang eritrosit.

Kesan : Adenocarcinoma mammae

CT-Scan Thoracx

21

Massa isodens batas tegas ireguler, ukuran 6.9 x 5.5 cm) pada extrothoracal anterior

yang mendekstruksi tulang sekitar tapi tidak tampak menginfiltrasi intrathoracal

Mutiple lesi noduler yang tersebar pada kedua lapangan paru

Tampak pembesaran KGB pada parahilar kiri dan subcarina kanan

Cor dan pembuluh darah besar dalam batas normal

Kalsifikasi pada aorta decenden

Trachea dan main bronchus dalam batas normal

Hepar, GB, Lien dan pancreas dalam batas normal, tidak tampak metastasis

Kesan

Massa extrathoracal yang mendekstruksi tulang sekitar disertai dengan tumor

metastasis ke paru

Limfadenopati pada para hilar kiri dan subcarina kanan

1.5 Resume

22

Seorang wanita, 56 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan utam luka pada

payudara kanan. Dialami sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit. Awalnya hanya

berupa ditemukan secara tidak sengaja sebesar kelereng sejak 2 tahun yang lalu, dengan

cepat membesar dan akhirnya dalam 3 bulan terakhir membentuk luka. Luka disertai rasa

nyeri dan berbau. Berat badan dirasakan menurun dalam 5 bulan terakhir sebanyak

kurang lebih 8 kg. Nafsu makan dirasakan menurun.

Riwayat menarche tidak diketahui. Riwayat haid teratur. Saat ini pasien telah

menopause sejak usia 50 tahun. Menikah pada usia 20 tahun, tidak memiliki anak. Ada

keluarga yang menderita kanker payudara yaitu kakak kandung pasien.

Pada pemeriksaan fisis didapatkan pasien sakit sedang, gizi cukup, compos mentis.

Tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 84 kali/menit, pernapasan 20 kali/menit, suhu 36,8 C .

Status lokalis regio mamma dextra pada inspeksi tampak tumor pada daerah tengah payudara

sebesar bola tennis, dengan permukaan berbenjol-benjol, berbatas tegas, warna kehitaman,

dimpling (+), nodul satelit (+), retraksi papil (+) dan terdapat ulkus di bagian tengahnya,

dasar kotor (+), pus (+), jaringan nekrotik (+), bentuk bulat, tepi ireguler dengan warna

kemerahan, indurasi (+), pada palpasi teraba tumor dengan ukuran 8 x 6 x 3 cm pada kuadran

sentralis, permukaan berbenjol-benjol, terfiksir (+),konsistensi padat keras, batas jelas,

terdapat ulkus ditengahnya. Ulkus dengan diameter 4 x 3 cm dengan kedalaman 2 cm. Pada

inspeksi regio Axilla Dextra tampak massa tumor sebesar bola pingpong , warna kulit sama

dengan sekitar. Pada palpasi, teraba massa tumor ukuran 3 x 2 x 2 cm, konsistensi padat

keras, terfiksir, permukaan rata, nyeri tekan (-), batas jelas.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis dan anemia, dari hasil

pemeriksaan sitologi fine needle aspiration di dapatkan kesan adenocarcinoma mammae.

Hasil patologi anatomi dengan biopsy insisi di dapatkan kesan invasive ductal carcinoma

mammae. Untuk pemeriksaan radiologi pada foto thorax X-ray di dapatkan kesan tumor

metastasis paru kemudian dilakukan pemeriksaan MSCT Thorax dengan kesan Massa

extrathoracal yang mendekstruksi tulang sekitar disertai dengan tumor metastasis ke paru

dan limfadenopati pada para hilar kiri dan subcarina kanan.

Dari anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan

darah rutin, kimia darah, pemeriksaan sitologi FNA serta pemeriksaan foto thorax dan

23

MSCT Scan Thorax maka pasien ini di diagnosis dengan Ulcus Tumor Mammae Dextra,

cT4cN2M1 (metastase paru) , Karnofsky 70%.

1.6 Diagnosis Kerja

- Ulcus Tumor Mammae Dekstra Suspek Malignant

1.7 Stadium

- CT4cN2aM1 (metastase paru)

- Stadium IV

1.8 Status Penampilan

- Karnofsky 70%

1.9 Rencana Terapi

Biopsi Insisi

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Karsinoma mamma adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel parenkim payudara.

Kanker payudara (Carcinoma mammae) adalah suatu penyakit neoplasma yang ganas berasal

dari parenchyma.1

2.2 Epidemiologi

Berdasarkan laporan dari WHO, tahun 2004 diperkirakan 519.000 wanita meninggal

karena kanker payudara dan dari angka itu, 69% kematian terjadi di negara berkembang.

Pada tahun 2008, American Cancer Society (ACS) memperkirakan telah terjadi hampir 1,4

juta kasus kanker payudara invasif baru di dunia.

Pada tahun 2002 di Amerika Serikat terjadi 101,1 kasus per 100.000 wanita. Eropa

Utara, Amerika Utara merupakan area dengan insiden tertinggi, Eropa Selatan, Amerika

Selatan merupakan area insiden sedang, Asia, Afrika adalah area dengan insiden rendah. Di

24

China, khususnya di Shanghai pada tahun 1972 insiden karsinoma mamma adalah

17/100.000, meningkat menjadi 38.2/100.000 pada tahun 2000.

Di Indonesia , insiden kanker payudara dalam 5 tahun terakhir cukup tinggi yaitu

sekitar 32% dari total jumlah kasus kanker. Data Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr.

Moewardi Surakarta pada tahun 2005 jumlah kasus kanker payudara adalah 2821 kasus,

tahun 2006 sebanyak 5141 kasus dan pada tahun 2007 sebanyak 6380 kasus. Data RSUD dr

Wahidin Sudirohusodo, Makassar, tercatat pada tahun 2009 mencapai 376 kasus, pada tahun

2010 mencapai 617 kasus dan terakhir pada tahun 2011 mencapai 439 kasus. 2,3,4

2.3 Anatomi Payudara

Payudara dewasa normalnya terletak di hemithoraks kanan dan kiri dengan dasarnya

terletak dari kira-kira iga 2-6 atau 3-7. Bagian medial payudara mencapai pinggir sternum

dan di lateral sejajar garis aksilaris anterior. Payudara meluas ke atas melalui suatu ekor

aksila berbentuk piramid. Payudara terletak di atas lapisan fascia otot pektoralis mayor pada

dua pertiga superomedial dan otot seratus anterior pada sepertiga lateral bawah. 4

Sentrum dari kelenjar mammae adalah papilla mamae, sekelilingnya terdapat lingkaran

aerola mamae. Areola mamae memiliki banyak tonjolan kelenjar areolar, waktu menyusui

dapat menghasilkan sebum yang melicinkan papilla mamae. Payudara terdiri dari berbagai

struktur yaitu parenkim epitelial, jaringan lemak, pembuluh darah, saraf, dan saluran getah

bening serta otot dan fascia. Parenkim epitelial dibentuk oleh kurang lebih 15-20 lobus.

Masing – masing lobus dialiri oleh sistem duktus dari sinus laktiferous terbuka pada putting

susu, dan masing-masing sinus menerima suatu duktus lobulus dengan diameter sekitar 2 mm

. Di dalam lobus terdapat 40 atau lebih lobulus. Satu lobulus mempunyai diameter 2–3 mm.

Masing-masing lobulus mengandung 10 sampai 100 alveoli (acini) yang merupakan unit

dasar sekretori. Payudara dibungkus oleh fascia pektoralis superfisialis yang bagian anterior

dan posteriornya dihubungkan oleh ligamentum Cooper sebagai penyangga.2,4,6

25Gambar 1. Anotomi Payudara

a. Vaskularisasi Payudara

Arteri

Payudara mendapat perdarahan dari:

1. Cabang-cabang perforantes a. mammaria interna yang memperdarahi tepi

medial glandula mammae

2. Rami pektoralis a. thorakoakromialis yang memperdarahi glandula mammae

bagian dalam (deep surface)

3. A. thorakalis lateralis (a. mammaria eksterna) yang memperdarahi bagian

lateral payudara

Pembuluh darah lain yang juga penting artinya meskipun tidak memperdarahi

glandula mammae adalah a. thorakodorsalis. Pada tindakan radikal mastektomi

perdarahan yang terjadi akibat putusnya arteri ini sulit dikontrol sehingga daerah

ini dinamakan “the bloody angle”.

Vena

Pada daerah payudara terdapat tiga grup vena yaitu:

1. Cabang cabang perforantes v. mammaria interna

2.Cabang-cabang v. aksilaris

b. v. thorako-akromialis

c. v. thorako-dorsalis

d. v. thorako lateralis

3. Vena-vena kecil yang bermuara pada v.interkostalis

Vena interkostalis bermuara pada v. vertebralis kemudian bermuara pada v.

azygos (melalui vena-vena ini metastase dapat langsung terjadi di paru).

26

b. Persarafan Payudara

Kulit payudara dipersarafi oleh cabang pleksus servikalis dan n. interkostalis

sedangkan jaringan glandula mammae sendiri dipersarafi oleh sistem simpatis.

Persarafan sensoris di bagian superior dan lateral berasal dari nervus supraklavikular

(C3 dan C4) dari cabang lateral nervus interkostal torasik (3–4 ). Bagian medial

payudara dipersarafi oleh cabang anterior nervus interkostal torasik. Kuadran lateral

atas payudara dipersarafi terutama oleh nervus interkostobrakialis ( C8 dan T1 ).

c. Sistem Limfatik Payudara

a. Pembuluh getah bening

1. Pembuluh getah bening aksila

2. Pembuluh getah bening mamaria intena

3. Pembuluh getah bening di daerah tepi medial kuadran medial bawah payudara

b. Kelenjar getah bening aksila

Terdapat beberapa grup kelenjar getah bening aksila:

1. Kelenjar getah bening mammaria eksterna.Grup ini dibagi dalam dua kelompok,

yaitu, kelompok superior setinggi interkostal II-III dan kelompok inferior setinggi

interkostal IV-VI

2. Kelenjar getah bening skapula

3. Kelenjar getah bening sentral (central nodes)

Kelenjar getah bening ini merupakan kelenjar aksila yang terbesar dan terbanyak

jumlahnya, terletak di dalam jaringan lemak di pusat ketiak. Beberapa di antaranya

terletak sangat superfisial di bawah kulit dan fascia kira-kira pada pertengahan lipat

ketiak sehingga relatif paling mudah diraba.

Pentingnya memperhatikan letak dari muskulus pektoralis minor secara tepat saat

diseksi jaringan aksilaris harus ditekankan. Diseksi kelenjar aksilaris level I

dimaksudkan untuk menghancurkan jaringan lateral hingga batas lateral dari

muskulus pektoralis minor, diseksi level II dimaksudkan untuk membuang jaringan

diantara batas medial dan lateral otot, dan diseksi jaringan level III diindikasikan

untuk diseksi jaringan medial hingga tepi medial otot. Sebagian besar ahli bedah

27

Gambar 2. Vaskularisasi Payudara

hanya mendiseksi level I dan level II. Untuk melakukan diseksi level III, ahli bedah

umumnya membagi muskulus pektoralis minor.

2.4 Faktor Resiko

Etiologi Ca mammae masih belum diketahui secara pasti, namun penyebabnya sangat

mungkin multi faktorial yang saling mempengaruhi satu sama lain, antara lain:

a. Usia

Kanker payudara dijumpai pada meningkat tajam hingga usia sekitar 50 tahun

(30,35%). Setelah usia 50 tahun frekuensinya tetap meningkat tapi perlahan.

Perbedaan insiden berdasarkan usia ini diinterpretasikan sebagai efek dari hormon

ovarium pada perkembangan penyakit.2,3,4

b. Jenis kelamin

Angka kejadian kanker payudara pada laki-laki hanya 1 %. Kanker payudara

100 kali lebih sering terjadi pada perempuan daripada laki-laki. Alasan utamanya

adalah karena pada wanita, sel-sel pada payudara lebih sering terekspose oleh

hormon-hormon estrogen dan progesteron yang mempengaruhi peertumuhan sel-

sel pada payudara.9

c. Menstruasi

Menarche pada usia dini dan menopause yang terlambat dapat meningkatkan

risiko kanker payudara. Menarche sebelum usia 12 tahun mempunyai risiko kanker

payudara 20% lebih besar dari menarche setelah usia 15 tahun. Risiko kanker

payudara berkurang sekitar setengahnya jika menopause terjadi sebelum usia 45

28

Gambar 3.Kelenjar Limfe Payudara

tahun dibandingkan jika menopause terjadi setelah usia 55 tahun. 2,3,6 Hal ini

mungkin disebabkan karena eksposure hormon estrogen dan progesterone yang

berkepanjangan yang mempengaruhi pertumbuhan sel-sel payudara.9

d. Reproduksi

Status reproduksi juga mempengaruhi risiko terkena kanker payudara. Wanita

yang tidak pernah melahirkan (nullipara) atau yang pertama kali melahirkan anak

pada usia lebih dari 31 tahun mempunyai risiko tiga hingga empat kali lebih besar

dibandingkan perempuan yang melahirkan anak pertamanya sebelum berusia 18

tahun. Wanita yang mempunyai banyak anak (multipara) diasosiasikan dengan

berkurangnya risiko kanker payudara. Menyusui lebih lama juga dianggap dapat

menurunkan risiko kanker payudara.2,4,6

e. Diet

Wanita-wanita dari negara Barat mempunyai risiko terkena kanker payudara

enam kali lebih tinggi dibandingkan wanita-wanita Asia dan negara berkembang

lainnya. Risiko ini akan berubah jika penduduk dari negara berisiko rendah migrasi

ke negara berisiko tinggi dan mengadaptasi pola makan di negara tersebut.

Meskipun demikian pengaruh diet pada insiden kanker payudara tampaknya terjadi

pada usia muda seperti anak-anak dan remaja. Tidak ada data yang membuktikan

bahwa perubahan pola makan dari diet tinggi lemak ke diet rendah lemak pada usia

pertengahan dan tua dapat menurunkan risiko kanker payudara.2,4,6

f. Riwayat keluarga

Risiko kanker payudara meningkat kira-kira dua kali pada anak perempuan

yang ibunya menderita kanker dan pada wanita yang saudara perempuannya

menderita kanker. Kanker familial ini cenderung terjadi pada usia lebih muda dan

bilateral. Peningkatan risiko sebagian besar disebabkan oleh pewarisan gen-gen

yang mempredisposisi kanker payudara. Pada keluarga berisiko tinggi, dengan

empat atau lebih anggota keluarga terkena kanker payudara, 33% di antaranya

mengalami mutasi BRCA-1. Suatu studi populasi menemukan mutasi BRCA-1

pada 12 dari 193 wanita (6,2%) yang terkena kanker payudara sebelum usia 35

tahun dan pada 15 dari 208 wanita (7,2%) dengan riwayat kanker payudara pada

anggota keluarga tingkat pertama (first-degree relatives). Kanker payudara familial

29

juga sering berhubungan dengan keganasan pada organ lain seperti colon, ovarium

dan uterus.2,4,6

g. Hormon

Hormon seks mempengaruhi proliferasi sel-sel dan jaringan payudara serta

meningkatkan karsinogenesis payudara pada hewan percobaan, namun bukti-bukti

epidemiologisnya pada manusia masih merupakan konflik. Mungkin hal ini

disebabkan oleh kesulitan dalam pengukurannya. Sebuah studi populasi pada

wanita postmenopause yang berasal dari negara berisiko tinggi menunjukkan level

serum oestradiol rata-rata sekitar 20% lebih tinggi daripada wanita-wanita yang

berasal dari negara berisiko rendah. Studi case-control lain menunjukkan wanita

dengan kanker payudara mempunyai level progesterone yang lebih tinggi dari

kelompok kontrol pada analisis yang terbatas pada saat ovulasi.

Prolactin adalah mitogen dalam jaringan payudara dan merupakan hormon

yang penting untuk perkembangan tumor payudara pada hewan percobaan tapi

perannya pada kanker payudara manusia belum jelas. Meskipun demikian terdapat

bukti-bukti yang meyakinkan bahwa level prolaktin dipengaruhi oleh sejumlah

even yang juga mempengaruhi risiko kanker payudara. Selain hormon seks

endogen, hormon seks eksogen seperti terapi pengganti hormon dan kontrasepsi

oral juga dianggap berpengaruh terhadap risiko kanker payudara.

Terapi pengganti hormon meningkatkan risiko kanker payudara pada orang-

orang yang baru atau sedang menggunakan (dalam jangka waktu lima tahun).

Risiko meningkat sekitar 2% untuk setiap satu tahun penggunaan. Kontrasepsi oral

juga dikatakan dapat meningkatkan risiko bila digunakan jangka panjang. Pada

penelitian terbukti kontrasepsi oral hanya sedikit meningkatkan risiko kanker

payudara yaitu sebesar 1,24% pada orang yang sedang menggunakan dan sebesar

1,16% pada orang yang telah berhenti menggunakan 1-4 tahun sebelumnya.2,4,6

j. Radiasi

Pada hewan percobaan terbukti adanya peranan sinar radiasi sebagai faktor

penyebab kanker payudara. Dari penelitian epidemiologi setelah ledakan bom atom

30

atau penelitian pada orang setelah pajanan sinar rontgen, peranan sinar ionisasi

sebagai faktor penyebab pada manusia lebih jelas.2

2.5 Metastasis Kanker Payudara

Metastasis kanker payudara dapat terjadi melalui dua jalan:

a. Metastasis melalui sistem vena

Melalui sistem vena kanker payudara dapat bermetastasis ke paru-paru, vertebra,

dan organ-organ lain. V. mammaria interna merupakan jalan utama metastasis

kanker payudara ke paru-paru melalui sistem vena sedangkan metastasis ke

vertebra terjadi melalui vena-vena kecil yang bermuara ke v.interkostalis yang

selanjutnya bermuara ke dalam v. vertebralis.

b. Metastasis melalui sistem limfe

Metastasis melalui sistem limfe pertama kali akan mengenai KGB regional

terutama KGB aksila. KGB sentral (central nodes) merupakan KGB aksila yang

paling sering (90%) terkena metastasis sedangkan KGB mammaria eksterna

adalah yang paling jarang terkena. Kanker payudara juga dapat bermetastasis ke

31

Gambar 4. Metastasis Kanke Mamae

KGB aksila kontralateral tapi jalannya masih belum jelas, diduga melalui deep

lymphatic fascial plexus di bawah payudara kontralateral melalui kolateral

limfatik. Jalur ini menjelaskan mengapa bisa terjadi metastasis ke kelenjar aksila

kontralateral tanpa metastasis ke payudara kontralateral.

Metastasis ke KGB supraklavikula dapat terjadi secara langsung maupun

tidak langsung. Penyebaran langsung yaitu melalui kelenjar subklavikula tanpa

melalui sentinel nodes. Penyebaran tidak langsung melalui sentinel nodes yang

terletak di sekitar grand central limfatik terminus yang menyebabkan stasis

aliran limfe sehingga terjadi aliran balik menuju ke KGB supraklavikula.

Metastasis ke hepar selain melalui sistem vena dapat juga terjadi melalui sistem

limfe. Keadaan ini dapat terjadi bila tumor primer terletak di tepi medial bagian

bawah payudara dan terjadi metastasis ke kelenjar preperikardial. Selanjutnya

terjadi stasis aliran limfe yang berakibat adanya aliran balik limfe ke hepar.

2.6 Staging Ca Mammae

TNM Staging

Tx Tumor primer tidak dapat ditentukan

T0 Tidak terbukti adanya tumor

Tis Carcinoma in situ : Ca intraductal, Ca lobular in situ, atau Paget’s disease pada

nipple tanpa tumor

T1 Ukuran terbesar tumor 2 cm

T1a Ukuran terbesar tumor 0,5 cm

T1b Ukuran terbesar tumor 0,5 cm tetapi tidak melebihi 1 cm

T1c Ukuran terbesar tumor 1 cm tetapi tidak melebihi 2 cm

T2 Ukuran terbesar tumor 2 cm tetapi tidak melebihi 5 cm

T3 Ukuran terbesar tumor 5 cm

T4 Tumor dengan ukuran berapapun dengan ekstensi langsung terhadap

dinding dada atau kulit

T4a Ekstensi ke dinding dada

T4b Edema (termasuk Peau d’orange) atau ulserasi kulit mammae atau

satelit KGB kulit teraba pada mammae yang sama

T4c T4a dan T4b

T4d Inflamatory carcinoma

32

KGB Regional (N)

Nx KGB regional tidak dapat dinilai

N0 Tidak ada metastasis ke KGB

N1 Metastasis ke KGB axillaris ipsilateral, dapat digerakan

N2 Metastasis ke KGB axillaris ipsilateral, melekat terhadap KGB atau struktur lain

N2a : Metastasis pada kgb aksila terfiksir atau berkonglomerasi atau melekat ke struktur

lain

N2b :Metastasis hanya pada kgb mamaria interna ipsilateral secara klinis dan tidak

terdapat metastasis pada kgb aksila

N3 : Metastasis pad kgb infraklavikular ipsilateral degan atau tanpa metastasis kgb aksila

atau klinis terdapat metastasis pada kgb mamaria interna ipsilateral klinis dan

metastasis pada kgb aksila atau metastasis pad kgb supraklavikula ipsilateral dengan

atau tanpa metastasis pada kgb aksila/mamaria interna

N3a :Metastasis ke kgb infraklavikular ipsilateral

N3b :Metastasis ke kgb mamaria interna dan kgb aksila

N3c :Metastasis ke kgb supraklavikular

Metastasis jauh (M)

Mx Adanya metastasis jauh tidak dapat diperkirakan

M0 Tidak ada metastasis jauh

M1 Ada metastasis jauh (metastasis ke KGB supraclavicular ipsilateral)

Stage Grouping

Stage 0 Tis N0 M0

Stage I T1 N0 M0

Stage IIA T0

T1

T2

N1

N1*

N0

M0

M0

M0

Stage IIB T2

T3

N1

N0

M0

M0

Stage IIIA T0

T1

T2

N2

N2

N2

M0

M0

M0

33

T3

T3

N1

N2

M0

M0

Stage IIIB T4

T berapapun

N berapapun

N3

M0

M0

Stage IV T berapapun N berapapun M1

Histopatologic grade

GX: Grade cannot be assessed

G1: Well-differentiated

G2: Moderately differentiated

G3: Poorly differentiated

G4: Undifferentiated

(Harris J.R, Lippman M.E, Morrow M, Osborne K, 2000., Morris J.P, Wood W.C,

2000).

2.7 Diagnosis

2.7.1 Anamnesis

Keluhan utama penderita dapat berupa: adanya benjolan pada payudara; rasa

nyeri; keluar cairan dari puting susu; retraksi puting susu; adanya ekzema di sekitar

areola; keluhan kulit berupa dimpling, venektasi, ulserasi atau adanya peau

d’orange; adanya benjolan di ketiak; edema lengan dan tanda metastasis jauh

misalnya nyeri tulang (vertebrae, femur), rasa penuh di ulu hati, batuk, sesak, dan

sakit kepala hebat.2,3,6,8

Benjolan payudara dapat dideteksi pada 90% pasien dengan kanker payudara

dan merupakan tanda yang paling umum. Benjolan kanker cenderung soliter,

unilateral, padat, keras, ireguler, tidak dapat digerakkan (nonmobile), cepat

membesar dan tidak nyeri. Cairan yang keluar secara spontan dari puting susu

(nipple discharge) adalah tanda kedua yang paling umum dari kanker payudara.

Karakter nipple discharge dapat membantu menegakkan diagnosis. Cairan seperti

susu menandakan galaktore, cairan purulen disebabkan oleh infeksi, dan cairan

multiwarna atau lengket menandakan ektasia duktus (comedomastitis). Cairan

34

serous, serosanguinus, berdarah atau seperti air mungkin menandakan papiloma

(80%) atau karsinoma intraduktal (20%).6

Selain itu juga perlu ditanyakan mengenai pengaruh siklus menstruasi terhadap

keluhan tumor; menstruasi pertama pada usia berapa; bila sudah menopause, pada

usia berapa; usia saat pertama kali melahirkan anak; menyusui atau tidak; riwayat

kanker payudara atau kanker lainnya dalam keluarga; riwayat pemakaian obat-obat

hormonal; riwayat operasi tumor payudara atau tumor ginekologik; dan riwayat

radiasi di daerah dada. Faktor-faktor risiko ini perlu ditanyakan agar dokter dapat

mempertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan mamografi pada penderita yang

berisiko tinggi, dan bagi pasien agar lebih waspada dan rutin melakukan

pemeriksaan payudara sendiri. Keluhan pasien di organ lain yang berhubungan

dengan metastasis perlu ditanyakan seperti batuk, sesak, rasa penuh di ulu hati, nyeri

tulang, dan sakit kepala hebat. Tanda-tanda umum tentang nafsu makan dan

penurunan berat badan juga perlu ditanyakan.2,3

2.7.2 Pemeriksaan Fisik

Pada status generalis, selain tanda vital perlu juga diperiksa performance

status penderita. Karena payudara dipengaruhi oleh faktor hormonal antara lain

estrogen dan progesteron maka sebaiknya pemeriksaan payudara dilakukan saat

pengaruh hormon ini seminimal mungkin, yaitu setelah lebih kurang satu minggu

dari hari pertama menstruasi. Dengan pemeriksaan fisik yang baik dan teliti,

ketepatan pemeriksaan untuk kanker payudara secara klinis cukup tinggi.

Teknik pemeriksaan2,4,10

Penderita diperiksa dengan badan bagian atas terbuka

1. Posisi tegak (duduk)

Lengan penderita jatuh bebas di samping tubuh, pemeriksa berdiri di depan

dalam posisi yang lebih kurang sama tinggi. Pada inspeksi dilihat simetri

payudara kiri dan kanan; perubahan kulit berupa peau d’orange, kemerahan,

dimpling, edema, ulserasi dan nodul satelit; kelainan puting susu seperti retraksi,

erosi, krusta dan adanya discharge.

35

2. Posisi berbaring

Penderita berbaring dan diusahakan agar payudara jatuh tersebar rata di atas

lapangan dada, jika perlu bahu atau punggung diganjal dengan bantal kecil

terutama pada penderita yang payudaranya besar. Palpasi dilakukan dengan

mempergunakan falang distal dan falang medial jari II, III dan IV yang

dikerjakan secara sistematis mulai dari kranial setinggi iga kedua sampai ke distal

setinggi iga keenam, juga dilakukan pemeriksaan daerah sentral subareolar dan

papil. Palpasi juga dapat dilakukan dari tepi ke sentral (sentrifugal) berakhir di

daerah papil. Terakhir diadakan pemeriksaan kalau ada cairan keluar dengan

menekan daerah sekitar papil. Pemeriksaan dengan rabaan halus akan lebih teliti

daripada dengan rabaan kuat karena rabaan halus akan dapat membedakan

kepadatan massa payudara.

Pada pemeriksaan ini ditentukan lokasi tumor berdasarkan kuadran

payudara (lateral atas, lateral bawah, medial atas, medial bawah, dan daerah

sentral), ukuran tumor (diameter terbesar), konsistensi, permukaan, bentuk dan

batas-batas tumor, jumlah tumor serta mobilitasnya terhadap jaringan sekitar

payudara, kulit, m.pektoralis dan dinding dada.

a. Pemeriksaan kelenjar getah bening regional

1. Aksila

Sebaiknya dalam posisi duduk karena dalam posisi ini fossa aksila jatuh ke

bawah sehingga mudah untuk diperiksa dan lebih banyak yang dapat dicapai.

Pada pemeriksaan aksila kanan tangan kanan penderita diletakkan atau dijatuhkan

lemas di tangan/bahu kanan pemeriksa dan aksila diperiksa dengan tangan kiri

pemeriksa. Diraba kelompok KGB mammari eksterna di bagian anterior dan di

bawah tepi m.pektoralis aksila; KGB subskapularis di posterior aksila; KGB

sentral di bagian pusat aksila; dan KGB apikal di ujung atas fossa aksilaris. Pada

perabaan ditentukan ukuran, konsistensi, jumlah, apakah terfiksasi satu sama lain

atau ke jaringan sekitarnya.

2. Supra dan infraklavikula serta leher utama, bagian bawah dipalpasi dengan

cermat dan teliti. Selain payudara dan KGB, organ lain yang ikut diperiksa adalah

paru, tulang, hepar, dan otak untuk mencari metastase jauh.

36

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang

Terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat menunjang diagnosis karsinoma

mamma. Pemeriksaan penunjang disini dibagi 4 yaitu pemeriksaan laboratorium,

pemeriksaan radiologi, pemeriksaan patologi anatomi dan pemeriksaan penanda

tumor.

a. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium rutin dan kimia darah dilakukan sesuai dengan

perkiraan metastasis misalnya alkali fosfatase dan liver function tests untuk

metastasis ke hepar atau kadar kalsium dan fosfor untuk metastase tulang.2,3,

b. Pemeriksaan radiologi

1. Mammografi merupakan suatu pemeriksaan dengan soft tissue

technic yang dapat mendeteksi 85% kanker payudara. Meskipun 15%

kanker payudara tidak bisa divisualisasikan dengan mammografi, 45%

kanker payudara dapat dilihat pada mammografi sebelum mereka dapat

diraba. Adanya proses keganasan akan memberikan tanda–tanda primer dan

sekunder. Tanda primer berupa fibrosis reaktif, comet sign,

mikrokalsifikasi, deposit kalsium baik dalam pola mulberrry atau

curvilinear, dan distorsi duktus mamaria. Tanda-tanda sekunder berupa

bertambahnya vaskularisasi, adanya bridge of tumor dan jaringan

fibroglanduler tidak teratur. Mammografi sangat baik digunakan untuk

diagnosis dini dan skrining, hanya saja untuk skrining harganya mahal

sehingga dianjurkan penggunaan yang selektif yaitu untuk wanita-wanita

dengan risiko tinggi. Sensitifitas mammografi sekitar 75% dan

spesifisitasnya hampir 90%.6

2. Ultrasonografi berguna terutama untuk membedakan lesi padat

atau kistik juga untuk memandu FNAB dan core-needle biopsy.

Mammografi dan USG payudara dilakukan pada tumor yang berukuran <

3cm.

3. Pemeriksaan lain seperti foto thoraks, bone scanning dan/atau

bone survey, USG abdomen, dan CT scan dilakukan untuk mencari

metastasis jauh. Pemeriksaan yang direkomendasikan oleh PERABOI

37

adalah foto thoraks dan USG abdomen sedangkan bone scanning dan/atau

bone survey (bila sitologi dan/atau klinis sangat mencurigakan pada lesi >

5cm) dan CT scan dilakukan atas indikasi. Metastasis di parenkim paru

pada foto rontgen memperlihatkan gambaran coin lesion yang multipel

dengan ukuran yang bermacam-macam. Metastasis dapat pula mengenai

pleura yang akan menimbulkan efusi pleura. Metastasis ke tulang vertebra

akan terlihat pada foto rontgen sebagai gambaran osteolitik/destruksi yang

dapat menyebabkan fraktur patologis.2,3

c. Pemeriksaan patologi anatomi

1. Pemeriksaan sitopatologi dilakukan dengan FNAB (fine needle aspiration

biopsy). Sensitivitasnya dalam mendiagnosis keganasan dilaporkan sebesar

90-95% bila tepat cara pengambilan dan diekspertise oleh ahlinya.2,3

2. Pemeriksaan histopatologi jaringan (gold standard). Pemeriksaan histologi

jaringan merupakan cara untuk menegakkan diagnosis pasti kanker

payudara. Bahan pemeriksaan dapat diambil melalui biopsi eksisional

(untuk ukuran tumor < 3cm) atau biopsi insisional (untuk tumor operabel

dengan ukuran > 3cm sebelum operasi definitif dan untuk tumor yang

inoperabel) yang kemudian diperiksa potong beku atau PA. Untuk biopsi

kelainan yang tidak dapat diraba seperti temuan pada mammografi dapat

dilakukan ultrasound atau stereotactic core biopsy yaitu pungsi dengan

jarum besar yang akan menghasilkan suatu silinder jaringan yang cukup

untuk pemeriksaan termasuk teknik biokimia.2,3,6

d. Pemeriksaan penanda tumor (tumor marker) dan imunohistokimia

Pemeriksaan kadar CEA dan CA 27.29 (CA 15-3) mungkin berguna

untuk memantau respon terhadap terapi pada penyakit yang sudah lanjut.

Pemeriksaan imunohistokimia seperti ER, PR, c-erb-2 (HER-2 neu),

cathepsin-D, dan p53 bersifat situasional.6

2.8 Terapi

a. Modalitas terapi

Untuk kanker payudara terdapat beberapa modalitas terapi yang bisa dipilih:

1. Operasi 2,3,,7

38

Terdapat beberapa jenis operasi untuk terapi yaitu radical mastectomy,

modified radical mastectomy, simple mastectomy, BCS (breast conserving

surgery), dan BCT (breast conversing teraphy)

Pada mastektomi radikal merupakan jenis operasi pertama yang digunakan.

Masektomi radikal dilakukan pengangkatan payudara dengan sebagian besar

kulitnya, m.pektoralis mayor, m.pektoralis minor, dan semua kelenjar ketiak

sekaligus.

Setelah tahun 60-an mastektomi radikal mulai digantikan oleh mastektomi

radikal yang telah dimodifikasi oleh Patey. Pada mastektomi radikal

modifikasi ini m.pektoralis mayor dipertahankan sehingga suplai

persarafannya tidak terganggu dan efek kosmetik pada dinding dada yang

terjadi bila dilakukan mastektomi radikal dapat dikurangi. M.pektoralis minor

dapat pula dipertahankan, atau diangkat, atau diretraksi untuk mendapatkan

akses ke aksila. Bukti-bukti menunjukkan tidak ada perbedaan pada tingkat

rekurensi lokal dan survival antara mastektomi radikal dan mastektomi radikal

modifikasi.

Pada mastektomi simpel dilakukan pengangkatan payudara saja tanpa

mengangkat limfonodus atau otot. Pembesaran KGB aksila diterapi dengan

radioterapi. Metode ini dipopulerkan oleh MacWhirter di Inggris. Bila

dilakukan pengangkatan payudara pertimbangkan kemungkinan rekonstruksi

mammae dengan implantasi prostesis atau cangkok flap muskulokutan.

Rekonstruksi ini dapat dilakukan sekaligus dengan bedah kuratif atau beberapa

waktu setelah radioterapi atau kemoterapi adjuvan. Bila hal ini tidak dapat

dilakukan usahakan prostesis eksterna.

Jenis tindakan lainnya ialah dengan breast conversing therapy (BCS),

merupakan tindakan untuk kanker mamae. Dengan tujuan mempertahankan

payudara. BCS meliputi pengangkatan tumor dengan beberapa jenis antara lain

lumpektomi, kuadranektomi, atau eksisi segmental ditambah dengan

pengangkatan kelenjar getah bening aksilla.

Sekarang, biasanya dilakukan pembedahan kuratif dengan mempertahankan

payudara yang disebut dengan breast conserving therapy (BCT). BCT 39

merupakan satu paket yang terdiri dari tiga tindakan yaitu pengangkatan tumor

(lumpektomi luas atau tumorektomi atau segmentektomi atau kuadrantektomi)

ditambah diseksi kelenjar aksila dan radioterapi pada sisa payudara tersebut,

atau dengan kata lain BCS diikuti dengan radioterapi. Penyinaran diperlukan

untuk mencegah kambuhnya tumor di payudara dari jaringan tumor yang

tertinggal atau dari sarang tumor lain (karsinoma multisentrik). BCT secara

kosmetik lebih baik dari mastektomi bahkan yang telah direkonstruksi

sekalipun. Tapi diseksi aksila disini lebih sulit dikerjakan karena otot-otot

pektoral tetap intact dan jaringan payudara masih ada sehingga pembukaan

lapangan operasi aksila terhambat.

Indikasi BC T :

T: 3 cm (stadium I atau II)

Pasien ingin mempertahankan payudaranya

Syarat BC T :

Keinginan penderita setelah dilakukan informed consent

Penderita dapat melakukan kontrol rutin setelah pengobatan

Tumor terletak tidak sentral

Perbandingan ukuran tumor dan volume payudara cukup baik untuk

kosmetik pasca BCT

Mammografi tidak memperlihatkan mikrokalsifikasi atau tanda keganasan

lain yang difus (luas)

Tumor tidak multipel

Belum pernah terapi radiasi di dada

Tidak menderita SLE atau penyakit kolagen

Terdapat sarana radioterapi yang memadai (megavolt)

2. Radiasi 2,3,6,7

Radioterapi untuk kanker payudara dapat diberikan sebagai terapi primer,

adjuvan atau paliatif. Radioterapi kuratif tunggal tidak begitu efektif tetapi

radioterapi adjuvan cukup bermanfaat. Radioterapi paliatif dapat dilakukan

dengan hasil baik untuk waktu terbatas bila tumor sudah tidak operabel.

40

Radioterapi adjuvant diberikan bila ditemukan keadaan sebagai berikut:

Setelah tindakan operasi terbatas (BCS)

Tepi sayatan dekat (T ≥ T2) atau tidak bebas tumor

Tumor sentral atau medial

KGB (+) dengan ekstensi ekstra kapsuler

3. Kemoterapi 2,3,6,7

Kemoterapi merupakan salah satu terapi sistemik yang dapat digunakan

sebagai terapi adjuvan atau paliatif. Kemoterapi adjuvan dapat diberikan pada

pasien pascamastektomi yang pada pemeriksaan histopatologik ditemukan

metastasis di sebuah atau beberapa kelenjar. Kemoterapi juga dapat diberikan

sebelum pembedahan pada kanker payudara yang besar namun masih operabel

pada stadium lokal lanjut. Berdasarkan penelitian kemoterapi yang disebut

kemoterapi neo adjuvan ini dapat mengecilkan ukuran tumor sehingga

memudahkan pembedahan. Kemoterapi paliatif dapat diberikan pada pasien yang

telah menderita metastasis sistemik.

4. Hormonal 2,3,6,7

Dasar dari pemberian terapi hormonal adalah fakta bahwa 30-40% kanker

payudara adalah hormon dependen. Terapi ini semakin berkembang dengan

ditemukannya reseptor estrogen dan progesteron. Kanker payudara dengan

reseptor estrogen dan progesteron yang merespons positif terapi hormonal

mencapai 77%. Terapi hormonal merupakan terapi utama stadium IV di samping

kemoterapi karena kedua-duanya merupakan terapi sistemik. Terapi hormonal

biasanya diberikan sebelum kemoterapi karena efek terapinya lebih lama dan efek

sampingnya lebih sedikit.

Sebelum pemberian terapi hormonal dilakukan uji reseptor (estrogen

receptor/ER positif atau progesteron receptor/PR positif) dan dipertimbangkan

status hormonal penderita (premenopause, 1-5 tahun menopause, dan

pascamenopause). Setelah itu dapat ditentukan apakah terapi hormonal akan

diberikan secara additif atau ablatif. Terapi additif berupa pemberian obat-obatan

(antiestrogen, aromatase inhibitor, megestrol acetate dan androgen atau estrogen)

41

dilakukan pada pasien pascamenopause. Yang tergolong antiestrogen adalah

tamoxifen citrate, toremifene, dan raloxifene tapi raloxifene lebih banyak

digunakan untuk pengobatan osteoporosis. Aromatase inhibitor seperti

anastrozole dan letrozole menghambat konversi androgen menjadi estrogen.

Terapi ablatif berupa ovarektomi bilateral, dilakukan bila tanpa pemeriksaan

reseptor, pada wanita premenopause dan wanita yang sudah 1-5 tahun menopause

dengan ER (+) dan pada penyakit yang bersifat slow growing dan intermediate

growing.

5. Imunologik

Sekitar 15-25% tumor payudara menunjukkan adanya protein pemicu

pertumbuhan atau HER-2 secara berlebihan dan untuk pasien seperti ini,

trastuzumab, antibodi yang secara khusus dirancang untuk menyerang HER-2 dan

menghambat pertumbuhan tumor, bisa menjadi pilihan terapi. Pasien sebaiknya

juga menjalani tes HER-2 untuk menentukan kelayakan terapi dengan

trastuzumab.

b. Pilihan terapi berdasarkan stadium 2

Pada stadium I, II, dan III awal (stadium operabel) sifat pengobatan adalah

kuratif dengan pembedahan sebagai terapi primer, terapi lainnya hanya bersifat

adjuvan. Semakin cepat dilakukan pembedahan semakin tinggi kurasinya.

Sedangkan untuk stadium III akhir dan IV sifat pengobatannya adalah paliatif yaitu

terutama untuk mengurangi penderitaan pasien dan memperbaiki kualitas hidup.

1. Kanker payudara stadium 0

Dilakukan BCS atau mastektomi simpel. Terapi definitif pada T0

tergantung pada pemeriksaan blok parafin, lokasinya didasarkan pada hasil

pemeriksaan imaging.

2. Kanker payudara stadium dini/operabel

Dilakukan BCS (harus memenuhi syarat) atau mastektomi radikal

modifikasi atau mastektomi radikal dengan atau tanpa terapi adjuvan. Terapi

adjuvan diberikan berdasarkan ada atau tidaknya metastase ke kelenjar getah

bening aksila, reseptor estrogen atau reseptor progesteron, dan usia premenopause

atau postmenopause atau usia tua.

42

Tabel 1. Terapi adjuvan pada node negative (KGB histopatologi negatif)

Status menopause Reseptor hormonal Risiko tinggi

Premenopause ER (+) / PR (+)

ER (-) / PR (-)

Ke + Tam / Ov

Ke

Postmenopause ER (+) / PR (+)

ER (-) / PR (-)

Tam + Kemo

Ke

Usia tua ER (+) / PR (+)

ER (-) / PR (-)

Tam + Kemo

Ke

Tabel 2. Terapi adjuvan pada node positive (KGB histopatologi positif)

Status menopause Reseptor hormonal Risiko tinggi

Premenopause ER (+) / PR (+)

ER (-) / PR (-)

Ke + Tam / Ov

Ke

Postmenopause ER (+) / PR (+)

ER (-) dan / PR (-)

Ke + Tam

Ke

Usia tua ER (+) / PR (+)

ER (-) dan PR (-)

Tam + Kemo

Ke

3. Kanker payudara lokal lanjut/ locally advanced

a. Operable locally advanced43

Mastektomi simpel/MRM + radiasi kuratif + kemoterapi adjuvant + terapi

hormonal

b. Inoperable locally advanced

- Radiasi kuratif + kemoterapi + terapi hormonal

- Radiasi + operasi + kemoterapi + terapi hormonal

- Kemoterapi neoadjuvan + operasi + kemoterapi + radiasi + hormonal

terapi

4. Kanker payudara lanjut metastase jauh

Terapi primer pada stadium IV adalah terapi sistemik yaitu terapi hormonal

dan kemoterapi. Terapi lokoregional seperti radiasi dan pembedahan hanya

dilakukan bila perlu. Radiasi kadang diperlukan untuk paliasi pada daerah-daerah

tulang weight bearing yang mengandung metastase atau pada tumor bed yang

berdarah, difus, dan berbau yang mengganggu sekitarnya.

2.9 Prognosis

5-year survival rate untuk stadium I yaitu 94%, untuk stadium IIa yaitu 85%, untuk

stadium IIb yaitu 70%, sedangkan untuk stadium IIIa yaitu 52%, stadium IIIb yaitu 48% dan

untuk stadium IV yaitu 18% (Schwartz’s, 2006)

44

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Breast cancer : Prevention and Control .2009. Available

from : www.who.int.

2. Ramli, Muchlis. Kanker Payudara. Soelarto Reksoprodjo dkk (editor). Kumpulan Kuliah

Ilmu Bedah. Edisi Pertama. Binarupa Aksara. 1995. Hlm: 342-364.

3. Albar, Zafiral Azdi dkk (editor). Protokol PERABOI 2003. PERABOI. Jakarta. Edisi

Pertama. 2004. Hlm: 2-15.

4. Asrul. Hubungan antara Besar Tumor dan Tipe Histologi Kanker Payudara dengan

Adanya Metastase pada Kelenjar Getah Bening Aksila. Bagian Ilmu Bedah Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2003. Available from: http://www.usu.ac.id.

5. De Jong, Wim . Buku Ajar Ilmu Bedah . EGC. Jakarta. Edisi Pertama . 2005 . Hlm : 387-

402.

6. Manuaba, Tjakra W. Payudara. R. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong (editor). Buku Ajar

Ilmu Bedah. Edisi Kedua. EGC. 2004. Hlm: 387-402.

7. Haskell, Charles M. and Dennis A. Casciato. Breast Cancer. Dennis A. Casciato and

Berry B. Lowitz (editors). Manual on Clinical Oncology. Lippincott Williams and

Wilkins. Philadelphia. 2000. Page: 11.

8. Souhami, Robert L. Et al (editors). Oxford Textbook of Oncology. 2nd Ed. Oxford Press.

Page: 110-116

9. American Cancer Society . Detailed Guide : Breast Cancer . 2009. Available from :

www.acs.org.

10. Makhoul, Issam. Breast Cancer: Overview. 2006 Available from:

http://www.emedicine.com.

11. Toward Optimized Practice (TOP) Program. Guideline for the Early Detection of Breast

Cancer. Available from: http://www.albertadoctors.org.

45