case 3 makalah

58
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3 Gagal Ginjal Kronik (GGK) PEMBIMBING : Dr. Slamet Widi, Sp.A Dr. Lilia Dewiyanti, Sp.A Dr. Zuhriah Hidajati, Sp.A Dr. Hartono, Sp.A PENYUSUN : Monica Bellynda 406137024 ILMU KESEHATAN ANAK RSUD KOTA SEMARANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIV.TARUMANAGARA JAKARTA 2014 Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota Semarang Fak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 1

Upload: micheal-ewing

Post on 16-Jan-2016

43 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Case 3 Radio

TRANSCRIPT

Page 1: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

Gagal Ginjal Kronik (GGK)

PEMBIMBING :

Dr. Slamet Widi, Sp.A

Dr. Lilia Dewiyanti, Sp.A

Dr. Zuhriah Hidajati, Sp.A

Dr. Hartono, Sp.A

PENYUSUN :

Monica Bellynda

406137024

ILMU KESEHATAN ANAK RSUD KOTA SEMARANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIV.TARUMANAGARA JAKARTA

2014

BAB I

PENDAHULUAN

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 1

Page 2: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

A. Latar Belakang

Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan masalah yang tidak jarang ditemukan pada anak. Kemajuan

yang pesat dalam pengelolaan menjadikan prognosis penyakit ini membaik sehingga pengenalan dini

GGK merupakan masalah yang penting. Membaiknya pengobatan pada akhir-akhir ini dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu bertambahnya pengertian tentang patofisiologi GGK, aplikasi yang tepat dari

prinsip pengelolaan medis GGK, dan kemajuan teknologi dalam tehnik dialisis serta transplantasi ginjal.

Pada saat ini, telah dimungkinkan pengelolaan GGK pada anak yang sangat muda, pengelolaan ditujukan

untuk mempertahankan kemampuan fungsional nefron yang tersisa selama mungkin dan memacu

pertumbuhan fisik yang maksimal, sebelum dilakukannya dialisis atau transplantasi.

Sulit untuk menentukan secara pasti angka kejadian GGK pada anak. ada tahun 1972, American

Society of Pediatric Nephrology memperkirakan diantara anak yang berumur di bawah 16 tahun terdapat

2.5-4 persejuta populasi dari umur yang sama menderita GGK pertahunnya.4 Di negara Inggris, Gagal

Ginjal Terminal pada anak dalam tahun 1997- 1999 penderita Gagal Ginjal Terminal per tahun pada anak

berumur kurang dari 18 tahun adalah 7.4 persejuta populasi pada umur yang sama, dimana anak laki-laki

lebih banyak dibandingkan dengan anak perempuan, dengan perbandingan laki-laki : perempuan adalah

1.76:1.

Di Jepang, Hattori (2002) melaporkan pada tahun 1998, prevalensi Gagal Ginjal Terminal pada anak-

anak yang berusia antara 0-19 tahun sebanyak 22 per sejuta populasi dari umur yang sama. Anak-anak

yang berusia lebih tua mempunyai prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan adik-adiknya. Penyebab

utama terjadinya Gagal Ginjal Terminal di Jepang adalah hipoplasia/displasia ginjal dan

glomerulosklerosis fokal segmental. Insiden pasien baru Gagal Ginjal Terminal adalah 4 per sejuta

populasi dari umur yang sama pada tahun 1998.

Angka kejadian GGK pada anak di Indonesia yang bersifat nasional belum ada. Pada penelitian di 7

rumah sakit Pendidikan Dokter Spesialis Anak di Indonesia didapatkan 2% dari 2889 anak yang dirawat

dengan penyakit ginjal (tahun 1984-1988) menderita GGK. Di RSCM Jakarta antara tahun 1991-1995

ditemukan GGK sebesar 4.9% dari 668 anak penderita penyakit ginjal yang dirawat inap, dan 2.6% dari

865 penderita penyakit ginjal yang berobat jalan. GGK pada anak umumnya disebabkan oleh karena

penyakit ginjal menahun atau penyakit ginjal kongenital. Angka kejadian di Rumah Sakit Umum Daerah

Dr. Soetomo Surabaya selama 5 tahun (1988-1992) adalah 0,07% dari seluruh penderita rawat tinggal di

bangsal anak dibandingkan di RSCM Jakarta dalam periode 5 tahun (1984-1988) sebesar 0,17%.

BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 2

Page 3: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

II. 1. Anatomi Ginjal

Ginjal merupakan organ ganda yang terletak di daerah abdomen, retroperitoneal antara vertebra

lumbal 1 dan 4. Pada neonatus kadang-kadang dapat diraba. Seluruh traktus urinarius yaitu ginjal,

ureter dan kandung kemih terletak di daerah retroperitoneal. Pada janin permukaannya berlobulasi

yang kemudian menjadi rata pada masa bayi.

Ginjal terdiri dari korteks dan medula. Tiap ginjal terdiri atas 8-12 lobus yang berbentuk

piramid. Dasar piramid terletak di korteks dan puncaknya yang disebut papila bermuara di kaliks

minor. Pada daerah korteks terdapat glomerulus, tubulus kontortus proksimal dan distal. Daerah

medula penuh dengan percabangan pembuluh darah arteri dan vena renalis, ansa Henle dan duktus

koligens. Satuan kerja terkecil dari ginjal disebut nefron. Tiap ginjal mempunyai kira-kira 1 juta

nefron. Nefron terdiri atas glomerulus, kapsula Bowman, tubulus kontortus proksimal, ansa Henle dan

tubulus kontortus distal. Ujung dari nefron yaitu tubulus kontortus distal bermuara ada di duktus

koligens.

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 3

Page 4: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

Nefron yang terletak di daerah korteks disebut nefron kortikal, sedangkan yang terletak di perbatasan

dengan medula disebut nefron juksta medular. Nefron juksta medular mempunyai ansa Henle yang lebih

panjang yang berguna terutama pada eksresi air dan garam. Sebagian dari tubulus distal akan

bersinggungan dengan arteriol aferen dan eferen pada tempat masuknya kapsula Bowman. Pada tempat

ini sel tubulus distal menjadi lebih rapat dan intinya lebih tegas disebut makula densa. Juga dinding

arteriol aferen yang bersinggungan mengalami perubahan dan mengandung granula yang disebut renin.

Daerah ini yang merupakan segitiga dengan batas-batas pembuluh aferen, eferen dan makula densa

disebut aparat juksta glomerular.

II.2. FISIOLOGI DASAR GINJAL

Fungsi ginjal terutama untuk membersihkan plasma darah dari zat-zat yang tidak diperlukan tubuh

terutama hasil-hasil metabolisme protein. Proses ini dilakukan dengan beberapa mekanisme, yaitu :

1. filtrasi plasma di glomerulus

2. reabsorpsi terhadap zat-zat yang masih diperlukan tubuh di tubulus

3. sekresi zat-zat tertentu di tubulus

Jadi urin yang terbentuk sebagai hasil akhir adalah resultat dari filtrasi - sekresi - reabsorpsi.

Fungsi ginjal secara keseluruhan dapat dibagi dalam 2 golongan yaitu :

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 4

Page 5: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

I. Fungsi ekskresi

1. Ekskresi sisa metabolisme protein

Sisa metabolisme lemak dan karbohidrat yaitu CO2 dan H2O dikeluarkan melalui paru dan

kulit. Sisa metabolisme protein yaitu ureum, kalium, fosfat, sulfat anorganik dan asam urat

dilekuarkan melalui ginjal. Jadi bila terjadi kerusakan ginjal, akan terjadi penimbunan zat-

zat hasil metabolisme tersebut dengan akibat terjadi azotemia,hiperkalemia, hiperfosfatemia,

hiperurisemia dan lain-lain dengan segala macam akibatnya.

2. Regulasi volume cairan tubuh

Bila tubuh kelebihan cairan maka terdapat rangsangan melalui a. karotis interna ke

osmoreseptor di hipotalamus anterior. Rangsangan tersebut diteruskan ke kelenjar hipofisis

posterior sehingga produksi hormon anti-diuretik (ADH) dikurangi dan akibatnya diuresis

menjadi banyak. Sebaliknya bila tubuh kekurangan air (dehidrasi), maka produksi ADH

akan bertambah sehingga produksi urin berkurang karena penyerapan air di tubulus distal

dan duktus koligens bertambah. Ginjal melakukan konservasi cairan dengan mekanisme

counter current.

3. Menjaga keseimbangan asam-basa

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 5

Page 6: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

Keseimbangan asam dan basa tubuh diatur oleh paru dan ginjal. Sesuai dengan rumus

Henderson Hasselbach :

pH = 6,1 (konstan) + log NaHCO3 (ginjal)

H2CO3 (paru)

II. Fungsi endokrin

1. Partisipasi dalam eritropoesis

Pembentukan sel darah merah diperlukan zat erotropoetin. Eritropoetin, merangsang

produksi sel darah merah oleh sumsum tulang. Eritropoetin dirubah dari proeritropoetin

yang mungkin dibuat dalam hati oleh zat yang diproduksi ginjal yang disebut faktor

eritropoetik ginjal (kidney erythropoetic factor).

2. Pengaturan tekanan darah

Bila terjadi iskemia ginjal misalnya oleh stenosis arteri renalis, maka granula rennin akan

dilepaskan dari aparat jukstaglomerular. Renin akan merubah angiotensinogen di dalam

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 6

Page 7: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

darah menjadi angiotensin I. Kemudian angiotensin I dirubah lagi menjadi angiotensin II

oleh enzim konvertase di paru. Angiotensin II mempunyai 2 efek, yaitu pertama

mengakibatkan vasokonstriksi pembuluh darah perifer dan kedua merangsang korteks

kelenjar adrenal untuk memproduksi aldosteron. Aldosteron bersifat meretensi air dan

natrium sehingga akibatnya volume darah bertambah. Kombinasi kedua efek tersebut akan

mengakibatkan hipertensi.

3. Keseimbangan kalsium dan fosfor

Ginjal mempunyai peranan pada metabolisme vitamin D. Vitamin D atau kolekalsiferol

dirubah di hati menjadi 25 (OH)-kolekalsiferol (D3). Kemudian baru setelah dirubah kedua

kalinya yaitu di ginjal menjadi 1,25 (OH)2 D3 ia menjadi metabolit aktif dan dapat

menyerap kalsium di usus. Bila terjadi kerusakan ginjal misal pada GGK, maka hanya

sedikit dibentuk 1,25 (OH)2 D3 sehingga terjadi hipokalsemia. Hal ini diperberat lagi

dengan adanya retensi fosfor yang mempunyai perbandingan terbalik dengan kalsium darah.

Hipokalsemia akan merangsang kelenjar paratiroid untuk memproduksi parathormon (PTH)

dengan maksud untuk meninggikan kadar kalsium darah.

BAB IIIKepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 7

Page 8: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

GAGAL GINJAL KRONIK

III.1 DEFINISI

Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu keadaan menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG) yang

bersifat tidak reversibel dan terbagi dalam 4 stadium sesuai dengan jumlah nefron yang masih berfungsi.

Pada anak-anak GGK dapat disebabkan oleh berbagai hal, terutama karena kelainan kongenital,

glomerulonefritis, penyakit multisistem, dan lain-lain.

Gagal ginjal kronik adalah apabila laju filtrasi glomerulus kurang dari 50 ml/menit/1.73m2 luas

permukaan tubuh, oleh karena dibawah kadar fungsi ginjal tersebut gangguan asidosis metabolik dan

hiperparatiroidisme sekunder telah tampak nyata, pertumbuhan mulai terganggu, dan progresivitas

penurunan fungsi ginjal akan terus berlanjut.

III.2 KLASIFIKASI

Dalam arti luas GGK menunjukkan bahwa pada anak tersebut telah terjadi penurunan fungsi ginjal,

tetapi beratnya gangguan fungsi ini bervariasi dari ringan sampai berat. Kebanyakan penulis membuat

klasifikasi berdasarkan presentase laju filtrasi glomerulus (LFG) yang tersisa. GGK dibagi atas 4

tingkatan yaitu :

1. Gagal ginjal dini

Ditandai dengan berkurangnya sejumlah nefron sehingga fungsi ginjal yang ada sekitar 50-80% dari

normal. Dengan adanya adaptasi ginjal dan respon metabolik untuk mengkompensasi penurunan faal

ginjal maka tidak tampak gangguan klinis.

2. Insufisiensi ginjal kronik

Pada tingkat ini fungsi ginjal berkisar antara 25-50% dari normal. Gejala mulai dengan adanya

gangguan elektrolit, gangguan pertumbuhan dan keseimbangan kalsium dan fosfor. Pada tingkat ini

LFG berada di bawah 89 ml/menit/1,73m2.

3. Gagal ginjal kronik

Pada tingkat ini fungsi ginjal berkurang hingga 25% dari normal dan telah menimbulkan berbagai

gangguan seperti asidosis metabolik, osteodistrofi ginjal, anemia, hipertensi, dan sebagainya. LFG

pada tingkat ini telah berkurang menjadi di bawah 30 ml/menit/1,73m2.

4. Gagal ginjal terminal

Pada tingkat ini fungsi ginjal 12% dari normal, LFG menurun sampai < 10 ml/menit/1,73m2 dan

pasien telah memerlukan terapi dialisis atau transplantasi ginjal.

Klasifikasi lain GGK berdasarkan LFG, yaitu:

1. Gangguan fungsi ginjal (Impaired renal functions):

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 8

Page 9: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

LFG = 80-50 ml/menit/1,73m2. Pada tingkat ini biasanya pasien masih asimptomatik.

2. Insufisiensi ginjal kronik

LFG = 50-30 ml/menit/1,73m2. Pada tingkat ini sudah bisa ditemukan gejala:

Gangguan metabolik a.l. Hiperparatiroid sekunder, asidosis metabolik ringan

Hambatan pertumbuhan dan

Fungsi ginjal akan progresif menurun.

3. Gagal ginjal kronik

LFG = 30-10 ml/menit/1,73m2. Pada tingkat ini penurunan fungsi ginjal akan terus berlanjut.

4. Gagal ginjal terminal

LFG = < 10 ml/menit/1,73m2. Pada tingkat ini perlu dilakukan terapi pengganti yaitu dialisis

peritoneal/hemodialisis atau transplantasi. Tingkat ini juga disebut gagal ginjal tahap akhir (End

stage renal failure).

Fase sebelum GGT disebut pra GGT (Pre terminal renal failure). Pada fase ini perlu dilakukan

pengobatan konservatif secara berhati-hati untuk menjaga pertumbuhan anak secara optimal dan

memperlambat penurunan fungsi ginjal selama mungkin. Banyak diantaranya bisa mencapai umur

dewasa. Sebaiknya penanggulangan dilakukan oleh atau bersama dengan konsultan nefrologi anak.

III.3 ETIOLOGI

Dua penyebab utama GGK pada anak adalah kelainan kongenital dan glomerulonefritis kronik.

Etiologi yang paling sering didapatkan pada anak di bawah 6 tahun adalah kelainan kongenital, kelainan

perkembangan saluran kencing seperti uropati obstruktif, hipoplasia dan displasia ginjal, dan ginjal

polikistik. (lihat tabel). Menurut laporan EDTA, glomerulonefritis dan pielonefritis merupakan penyebab

tersering timbulnya GGK (24%), diikuti oleh penyakit herediter (15%), penyakit sistemik (10,5%),

hipoplasia ginjal (7,5%), penyakit vaskular (3%), penyakit lainnya (9%) serta yang tidak diketahui

etiologinya 7%. Dari kelompok pielonefritis dan nefritis interstitial yang tersering adalah uropati

obstruktif kongenital dan nefropati refluks (>60%), diikuti oleh displasia ginjal.

Tabel 1. Etiologi GGK Pada Anak

Kelompok Penyakit Habib Potter Zilleruelo Pistor

Kelainan kongenital termasuk uropati obstruktif

116 (43.0)

45 (29,2) 46 (56,8) 209 (33,5)

Glomerulonefritis kronis primer dan sekunder termasuk sekunder akibat kelainan sistemik

71 (26,3)

59 (38,4) 22 (27,1) 122 (19,6)

Nefritis interstitial dan pielonefritis yang tidak berhubungan dengan uropati obstruktif

-- 12 (7,8) -- 74 (11,9)

Kelainan herediter 61 20 (13,0) 2 (2,5) 119

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 9

Page 10: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

(22,5) (19,1)

Nefropati vaskular termasuk sindrom hemolitik uremik

11 (4,1) 9 (5,8) 5 (6,2) 27 (4,3)

Lain-lain 11 (4,1) 9 (5,8) 6 (7,4) 72 (11,6)

Secara praktis penyebab GGK dapat dibagi menjadi kelainan kongenital, kelainan didapat, dan

kelainan herediter:

1. Kelainan kongenital: hipoplasia renal, displasia renal, uropati obstruktif

2. Kelainan herediter: nefronoftisis juvenil, nefritis herediter, sindrom alport

3. Kelainan didapat: glomerulosklerosis fokal segmental, glomerulopati membranosa, kelainan

metabolit (oksalosis, sistinosis)

Penyebab GGK pada anak sangat erat hubungannya dengan usia saat timbul GGK. Gagal ginjal

kronik yang timbul pada anak di bawah usia 5 tahun sering ada hubungannya dengan kelainan anatomis

ginjal seperti hipoplasia, displasia, obstruksi dan kelainan malformasi ginjal. Sedangkan GGK yang

timbul pada anak diatas 5 tahun dapat disebabkan oleh penyakit glomerular (glomerulonefritis, sindrom

hemolitik ureumik) dan kelainan herediter (sindrom Alport, kelainan ginjal kistik).

III.4 PATOFISIOLOGI

Tanpa memandang penyebab kerusakan ginjal, bila tingkat kemunduran fungsi ginjal mencapai

kritis, perburukan sampai gagal ginjal stadium akhir tidak dapat dihindari. Mekanisme yang tepat, yang

mengakibatkan kemunduran fungsi secara progresif belum jelas, tetapi faktor-faktor yang dapat

memainkan peran penting mencakup cedera imunologi yang terus-menerus; hiperfiltrasi yang ditengahi

secara hemodinamik dalam mempertahankan kehidupan glomerulus; masukan diet protein dan fosfor;

proteinuria yang terus-menerus; dan hipertensi sistemik. Endapan kompleks imun atau antibodi anti-

membrana basalis glomerulus secara terus-menerus pada glomerulus dapat mengakibatkan radang

glomerulus yang akhirnya menimbulkan jaringan parut.

Cedera hiperfiltrasi dapat merupakan akhir jalur umum yang penting pada destruksi glomerulus

akhir, tidak tergantung mekanisme yang memulai cedera ginjal. Bila nefron hilang karena alasan apapun,

nefron sisanya mengalami hipertroti struktural dan fungsional yang ditengahi, setidak-tidaknya sebagian,

oleh peningkatan aliran darah glomerulus. Peningkatan aliran darah sehubungan dengan dilatasi arteriola

aferen dan konstriksi arteriola eferen akibat-angiotensin II menaikkan daya dorong filtrasi glomerulus

pada nefron yang bertahan hidup. "Hiperfiltrasi" yang bermanfaat pada glomerulus yang masih hidup ini,

yang berperan memelihara fungsi ginjal, dapat juga merusak glomerulus dan mekanismenya belum

dipahami. Mekanisme yang berpotensi menimbulkan kerusakan adalah pengaruh langsung peningkatan

tekanan hidrostatik pada integritas dinding kapiler, hasilnya mengakibatkan keluarnya protein melewati

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 10

Page 11: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

dinding kapiler, atau keduanya. Akhirnya, kelainan ini menyebabkan perubahan pada sel mesangium dan

epitel dengan perkembangan sklerosis glomerulus. Ketika sklerosis meningkat, nefron sisanya menderita

peningkatan beban ekskresi, mengakibatkan lingkaran setan peningkatan aliran darah glomerulus dan

hiperfiltrasi. Penghambatan enzim pengubah angiotensin mengurangi hiperfiltrasi dengan jalan

menghambat produksi angiotensin II, dengan demikian melebarkan arteriola eferen, dan dapat

memperlambat penjelekan gagal ginjal.

Model eksperimen insufisiensi ginjal kronis telah menunjukkan bahwa diet tinggi-protein

mempercepat perkembangan gagal ginjal, mungkin dengan cara dilatasi arteriola aferen dan cedera

hiperperfusi. Sebaliknya, diet rendah-protein mengurangi kecepatan kemunduran fungsi. Penelitian

manusia memperkuat bahwa pada individu normal, laju filtrasi glomerulus (LFG) berkorelasi secara

langsung dengan masukan protein dan menunjukkan bahwa pembatasan diet protein dapat mengurangi

kecepatan kemunduran fungsi pada insufisiensi ginjal kronis.

Beberapa penelitian yang kontroversial pada model binatang menunjukkan bahwa pembatasan diet

fosfor melindungi fungsi ginjal pada insufisiensi ginjal kronis. Apakah pengaruh yang menguntungkan

ini karena pencegahan penimbunan garam kalsium-fosfat dalam pembuluh darah dan jaringan atau

karena penekanan sekresi hormon paratiroid, yang berkemungkinan nefrotoksin, masih belum jelas.

Proteinuria menetap atau hipertensi sistemik karena sebab apapun dapat merusak dinding kapiler

glomerulus secara langsung, mengakibatkan sklerosis glomerulus dan permulaan cedera hiperfiltrasi.

Ketika fungsi ginjal mulai mundur, mekanisme kompensatoir berkembang pada nefron sisanya dan

mempertahankan lingkungan internal yang normal. Namun, ketika LFG turun di bawah 20% normal,

kumpulan kompleks kelainan klinis, biokimia, dan metabolik berkembang sehingga secara bersamasaan

membentuk keadaan uremia.

III.5 GEJALA DAN TANDA

Gejala klinis yang timbul pada GGK merupakan manifestasi dari:

1. Kegagalan tubuh dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.

2. Penumpukan metabolit toksik yang disebut toksin uremik.

3. Kurangnya hormon ginjal seperti eritropoietin dan bentuk aktif vitamin D (1,25 dihidroksivitamin

D3).

4. Abnormalitas respons end organ terhadap hormon endogen (hormon pertumbuhan).

Pada pasien GGK yang disebabkan penyakit glomerulus atau kelainan herediter, gejala klinis dari

penyebab awalnya dapat kita ketahui sedangkan gejala GGK-nya sendiri tersembunyi dan hanya

menunjukkan keluhan non-spesifik seperti sakit kepala, lelah, letargi, kurang nafsu makan, muntah,

polidipsia, poliuria, gangguan pertumbuhan. Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan anak tampak

pucat, lemah, dan menderita hipertensi. Keadaan ini dapat berlangsung bertahun-tahun, sehingga pasien

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 11

Page 12: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

telah menderita gangguan anatomis berupa gangguan pertumbuhan dan ricketsia. Namun dengan

pemeriksaan yang teliti dan cermat akan ditemukan keadaan-keadaan seperti azotemia, asidosis,

hiperkalemia, gangguan pertumbuhan, osteodistrofi ginjal, anemia, gangguan perdarahan, hipertensi,

gangguan neurologi.

1. Gangguan keseimbangan elektrolit

Natrium

Dengan berkurangnya LFG yang progresif pada pasien GGK, ginjal akan mempertahankan

keseimbangan natrium dengan meningkatkan ekskresi natrium oleh nefron yang masih baik. Bila

adaptasi ini tidak terjadi, akan timbul retensi natrium yang akan membahayakan tubuh.

Meningkatnya ekskresi natrium ini disebabkan karena meningkatnya rejeksi tubular dengan akibat

meningkatnya fraksi ekskresi natrium (FeNa). Faktor-faktor yang dapat meningkatkan FeNa pada

pasien GGK belum jelas diketahui. Suda, dkk dalam penelitiannya pada pasien GGK (LFG antara

11-66 ml/menit/1,73m2 melaporkan kemungkinan peningkatan FeNa disebabkan pembentukan faktor

natriuretik atrial. Tetapi penderita GGK ini tidak dapat mengeliminasi beban natrium ini dengan

cepat, yaitu pada pasien GGK dengan LFG subnormal (LFG rata-rata 34ml/menit/1,73m2) hanya

mampu mengekskresi setengah dari jumlah natrium dalam waktu 2 jam setelah diberi infus NaCl,

dibanding orang normal. Hal ini menunjukkan toleransi pasien GGK terhadap peningkatan masukan

natrium yang tiba-tiba adalah buruk dan dapat menimbulkan perubahan volume ekstraseluler dengan

segala akibatnya.

Sebaliknya pasien GGK tidak mampu menurunkan ekskresi natrium pada saat diberikan diet

dengan restriksi natrium. Konsentrasi minimum natrium urin pada pasien GGK ringan sampai

sedang adalah 25-50 mEq/L. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan nefron distal

meningkatkan reabsorbsi natrium. Bila diberikan restriksi garam secara tiba-tiba pada pasien GGK

akan menimbulkan penurunan volume cairan ekstraseluler, perfusi ginjal dan LFG. Pasien Ggk

karena penyakit ginjal interstitial, displasia ginjal, dan penyakit ginjal kistik adalah yang paling

sering menyebabkan salt wasting ini. Tubulus ginjal pasien GGK karena nefropati obstruktif

ditemukan kurang responsif terhadap aldosteron endogen (pseudohipoaldosteronisme).

Kalium

Keseimbangan kalium relatif dapat dipertahankan pada LFG di atas 10 ml/menit/1,73m 2.

Homeostasis kalium pada pasien GGK dipertahankan dengan meningkatkan ekskresi renal dan

ekstrarenal. Ekskresi renal dicapai dengan meningkatkan ekskresi fraksional (oleh proses sekresi

tubulus ginjal) pada nefron yang masih berfungsi. Sedangkan ekskresi ekstrarenal terutama melalui

feses yaitu sebanyak 75% (pada orang normal 20%). Walaupun demikian keadaan hiperkalemia

tetap merupakan ancaman bagi pasien GGK, karena mungkin saja mereka mendapat kalium dalam

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 12

Page 13: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

jumlah besar tiba-tiba misalnya dari makanan, transfusi darah, keadaan sepsis, ataupun asidosis.

Pada pasien GGK selain hiperkalemia dapat terjadi hipokalemia. Keadaan hipokalemia

biasanya terjadi akibat pemakaian diuretik seperti hidroklortiazid, furosemid atau bisa juga akibat

pemberian diet rendah kalium. Gejalanya adalah penurunan atau hilangnya refleks otot yang akan

sangat berbahaya bila mengenai otot-otot interkostal karena dapat menyebabkan henti napas

(respiratory arrest).

Asidosis Metabolik

Asidosis metabolik biasanya ditemukan pada pasien GGK dengan LFG <25% dari normal,

ditandai dengan penurunan kadar bikarbonat plasma (tCO2 12-15 mEq/L) dan peningkatan senjang

anion. Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan pengeluaran ion hidrogen atau asam

endogen yang dibentuk karena insufisiensi sintesis amonium pada segmen nefron distal.

Meningkatnya senjang anion terjadi akibat retensi anion seperti sulfat, fosfat, urat, dan hipurat dalam

plasma (pada ginjal normal anion ini diekskresi oleh filtrasi glomerulus). Juga ada bukti yang

menunjukkan bahwa kebocoran bikarbonat ginjal berperan dalam menimbulkan asidosis ini, seperti

pada sindrom Fanconi, asidosis tubular ginjal tipe IV, dan hiperparatiroidisme sekunder.

Asidosis pada GGK dini (LFG 30-50% normal) lebih sering berupa tipe dengan senjang

anion normal (hiperkloremik) dan sebaliknya pada GGK yang berat (LFG <20ml/menit/1,73m2)

biasanya berupa senjang anion yang besar. Selain terlibat dalam patogenesis terjadinya gangguan

pertumbuhan dan memperburuk hiperkalemia yang telah ada, asidosis juga menimbulkan keadaan

katabolik pada pasien GGK. Manifestasi klinis asidosis adalah takipneu, hiperapneu, dan perburukan

hiperkalemia dan mungkin gangguan pertumbuhan.

2. Gangguan keseimbangan cairan

GGK dihubungkan dengan gangguan dalam pemeketan urin. Pada keadaan restriksi cairan,

orang normal mampu memekatkan urin sampai 1.500 mosmol/L, sedangkan pasien GGK biasanya

tidak mampu memekatkan urin di atas 300 mosmol/L. Berat jenis dan osmolalitas urin seringkali

mirip dengan plasma. Hal ini disebabkan karena dengan bertambahnya nefron yang rusak, beban

osmotik ekskresi yang ditanggung oleh nefron yang tersisa semakin bertambah. Dengan demikian

mengakibatkan reabsorbsi air oleh tubulus berkurang dan menyebabkan berat jenis urin mirip

dengan plasma (300 mosmol/L dan berat jenis 1,010, disebut isostenuria). Isostenuria yang resisten

terhadap pemberian pitresin dari luar pada GGK, menunjukkan adanya gangguan terhadap respons

tubulus terhadap ADH yang juga berperan dalam terjadinya isostenuria. Hal di atas sering terjadi

pada GGK yang disebabkan oleh uropati obstruktif, displasia ginjal, penyakit ginjal kistik dan

interstitial. Pasien ini sering mengalami dehidrasi bila masukan cairan tidak mencukupi atau

dibatasi. Dehidrasi yang berulang dan syok akan memperburuk LFG. Anak yang demikian

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 13

Page 14: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

dianjurkan untuk tidak dibatasi masukan cairannya dan segera mencari pertolongan bila terserang

gastroentritis. Pasien juga tidak dapat mengencerkan urin secara maksimal dan tidak dapat

membuang kelebihan cairan tubuh secara tepat dan efektif sehingga dapat timbul masalah kelebihan

cairan.

3. Gangguan metabolisme

Metabolisme karbohidrat

Pasien GGK dapat disertai timbulnya intoleransi glukosa akan menunjukkan adanya

hiperglikemia. Keadaaan ini sebagai akibat terjadinya resistensi terhadap insulin yang menghambat

masuknya glukosa ke dalam sel. Pada anak yang menderita GGK kadar insulin plasma meningkat

hingga harus dilakukan pemantauan kadar glukosa, karena dalam keadaan akut pasien GGK

memerlukan pemberian glukosa parenteral. Karena dialisis dapat memperbaiki intoleransi glukosa

pada pasien GGK, maka diduga toksin uremik yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin ini.

Faktor lainnya seperti peninggian kadar glukagon dan hormon pertumbuhan juga berperan.

Metabolisme lemak

Biasanya timbul hiperlipidemia yang bermanifestasi sebagai hipertrigliserida, kadar

kolesterol darah normal, peninggian VLDL (very low density lipoprotein) dan penurunan LDL (low

density lipoprotein). Hal ini terjadi karena meningkatnya produksi trigliserida di hepar akibat

hiperinsulinemia dan menurunnya fungsi ginjal serta karena menurunnya katabolisme trigliserida.

Keadaan ini biasanya terjadi bila LFG <40ml/menit/1,73m2 dan meningkatnya lemak ini sesuai

dengan bertambahnya progresivitas GGK. Lebih dari 2/3 anak akan mengalami hiperlipidemia pada

saat gagal ginjal terminal. Walaupun demikian penyebab peningkatan produksi trigliserida dan

VLDL ini belum diketahui. Akhir-akhir ini diduga gangguan terjadi pada catabolic pathway

trigliserida. Hal ini didukung oleh seringnya terjadi penurunan klirens trigliserida pada pasien uremia

yang mendapatkan trigliserida (intralipid) dari luar. Mungkin ini disebabkan oleh menurunnya

aktivitas lipoprotein lipase dan lipase hati. Dialisis ternyata tidak memperbaiki keadaan

hiperlipidemia pada pasien GGK, mungkin karena tidak memadainya pembuangan toksin uremik

yang diduga berperan atau karena faktor lainnya.

4. Anemia

Anemia normositer, normokromik merupakan komplikasi GGK yang biasa ditemukan dan

berhubungan dengan derajat GGK. Penyebab utama anemia pada GGK adalah berkurangnya

produksi eritropoietin, suatu hormon glikoprotein yang diproduksi ginjal (90%) dan sisanya

diproduksi di luar ginjal (hati dan sebagainya). Kadar eritropoietin serum nyata menurun pada

pasien GGK berat, tetapi korelasi ini tidak jelas pada LFG >20ml/menit/1,73m2. Anemia pada pasien

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 14

Page 15: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

dapat dikoreksi dengan pemberian eritropoietin rekombinan dan responsnya tergantung dari dosis

yang diberikan. Dengan terapi ini terlihat perbaikan pada toleransi latihan, fungsi kognitif dan

kualitas hidup keseluruhan. Mekanisme lain terjadinya anemia pada GGK adalah pemendekan umur

eritrosit menjadi 2/3 umur normal, toksisitas aluminium karena pemakaian obat-obat pengikat fosfat

yang mengandung aluminium, iatrogenik karena kehilangan darah sewaktu dialisis dan pengambilan

contoh darah, serta terjadinya defisiensi asam folat pada pasien yang sedang menjalani dialisis.

Anemia yang terjadi karena toksisitas aluminium mempunyai gambaran mikrositik, hipokromik

yang mirip dengan defisiensi zat besi, tetapi kemampuan mengikat besi dan kadar feritin serumnya

normal.

5. Gangguan perdarahan

GGK yang berat biasanya akan diperberat dengan adanya gangguan perdarahan yang

menyertai. Walaupun jumlah trombosit normal, tetapi waktu perdarahan sering memanjang. Hal ini

diduga disebabkan oleh adanya gangguan pada agregasi trombosit dan berkurangnya respons

terhadap ADP (adenosin difosfat) eksogen, kolagen, dan epinefrin. Jumlah platelet factor 3 dan

retraksi bekuan juga menurun pada GGK yang tidak menjalani dialisis, diduga karena adanya

peranan “dialyzable factor” sebagai penyebab. Faktor lain yang diduga berperan dalam

menyebabkan gangguan perdarahan adalah gangguan pada faktor VIII (dapat diperbaiki dengan

kriopresipitat dan desmopresin), gangguan metabolisme (prostaglandin inhibitor-2) PGI2 dan

aspirin.

6. Gangguan fungsi kardiovaskular

Hipertensi

Terjadinya hipertensi pada pasien GGK disebabkan karena tingginya kadar renin akibat

ginjal yang rusak. Tetapi bila LFG menurun dan jumlah urin berkurang, hipertensi terjadi akibat

kelebihan cairan. Keadaan ini akan menimbulkan keluhan sakit kepala, badan lemah, gagal jantung

bendungan, kejang; sedangkan hipertensi persisten mungkin terjadi akibat berkurangnya LFG. Pada

pasien hipertensi persisten yang tanpa keluhan harus dievaluasi secara terus menerus untuk mencari

adanya kerusakan organ target. Pemeriksaan oftamologi perlu selalu dilakukan pada pasien

hipertensi persisten, selain itu pemeriksaan EKG perlu dilakukan untuk mencari adanya hipertrofi

jantung kiri.

Pada penyakit GGK yang progresif, timbulnya hipertensi dapat merupakan akibat langsung

dari penyakit ginjalnya. Pada setiap keadaan hipertensi, kita harus meneliti semua faktor yang dapat

menimbulkan peninggian tekanan darah seperti faktor kardiovaskular, peningkatan tahanan

pembuluh darah perifer, faktor neurogen, faktor hormonal, dan faktor renovaskular.

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 15

Page 16: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

7. Gangguan jantung

Perikarditis

Perikarditis merupakan komplikasi yang sering terjadi pada GGK, terutama timbul pada

pasien dengan uremia berat yang tidak dilakukan dialisis. Eksudat pada perikarditis uremik biasanya

sedikit dan bersifat fibrinosa atau serofibrinosa. Kadang pada pasien yang mendapat dialisis yang

adekuat juga timbul perikarditis dan efusi yang hemoragis. Pasien yang mendapat terapi dialisis

peritoneal dilaporkan lebih jarang menderita perikarditis. Patogenesis perikarditis ini masih belum

diketahui dengan pasti. Walaupun toksin uremik yang tinggi pada keadaan dialisis sering dijadikan

kambing hitam, tetapi ada dugaan bahwa kelebihan cairan berperan dalam menimbulkan perikarditis.

Walaupun pasien perikarditis uremik sering mengalami infeksi terutama oleh virus, tetapi pada

cairan perikardial sulit ditemukan penyebab infeksi, sedangkan cairan perikardial yang hemoragis

sering dihubungkan dengan pemakaian antikoagulan pada dialisis.

Manifestasi klinis perikarditis uremik dapat berupa nyeri dada, demam, dan efusi perikardial.

Setelah penumpukan cairan perikardial cukup banyak, pericardial rub akan menghilang, dan bunyi

jantung menjadi redup. Juga dapat terjadi tamponade jantung, terutama pada efusi perikardial yang

hemoragis. Perikarditis dan efusi perikardial uremik yang lama.

Fungsi miokard dan respons terhadap latihan

Pada pasien GGK toleransi terhadap latihan rendah. Kapasitas kerja aerobik pada pasien

GGK dan GGT yang menjalani hemodialisis kronik dilaporkan menurun sesuai dengan penurunan

konsentrasi Hb. Toleransi terhadap latihan dilaporkan membaik, bila anemia yang terjadi dikoreksi

dengan eritropoietin rekombinan. Kardiomiopati uremik sering menimbulkan gangguan fungsi

jantung berupa gagal jantung kongestif yang biasanya ditemukan pada GGK yang berat dan GGT.

Kardiomiopati uremik ini disebabkan oleh kelebihan cairan, anemia, hipertensi, dan mungkin toksin

uremik.

Pada kebanyakan pasien GGK yang dilakukan dialisis, kelebihan cairan ini dapat diatasi

dengan dialisis sehingga fungsi jantung dapat diperbaiki; tetapi hal ini tidak terjadi pada beberapa

pasien; diduga penyebabnya toksin uremik. Pada pasien GGK dapat ditemukan hipertrofi ventrikel

kiri dan penebalan septum interventrikular.

8. Gangguan neurologis

Neuropati perifer

Komplikasi berupa neuropati motorik dan sensorik yang mengenai segmen distal (neuropati

perifer) jarang ditemukan pada anak. Penelitian terdahulu mendapatkan adanya penurunan

elektrofisiologis saraf perifer pada anak yang menderita GGK. Gejalanya dapat berupa parestesia

telapak tangan dan atau kaki, adanya rasa nyeri, mati rasa pada bagian distal dan refleks tendon

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 16

Page 17: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

merupakan manifestasi neuropati perifer uremik. Pada pemeriksaan dapat ditemukan menurunnya

kecepatan konduksi saraf perifer. Pemeriksaan konduksi saraf pada pasien GGK sebaiknya

dilakukan secara serial untuk mendeteksi adanya gangguan saraf sedini mungkin. Kedaaan ini sering

terjadi pada keadaan uremia berat dan dengan tindakan dialisis memberikan hasil yang bervariasi,

sedangkan transplantasi ginjal memberikan hasil yang baik.

Ensefalopati hipertensif

Peninggian tekanan darah yang hebat dan tiba-tiba dapat menyebabkan nekrosis arteri

intrakranial dan edema serebri dengan gejala sakit kepala, penurunan kesadaran dan kejang. Krisis

hipertensi sering terjadi pada GGT. Tindakan penurunan tekanan darah yang dilakukan segera tidak

akan meninggalkan gejala sisa yang berat, tetapi bila telah terjadi perdarahan intraserebral dan

intraventrikular dapat menimbulkan gejala sisa yang berat dan bahkan kematian.

Retardasi mental

Diperkirakan terjadi peningkatan kejadian retardasi mental dengan meningkatnya gangguan

fungsi ginjal pada bayi dan anak kecil yang menderita GGK pada tahun pertama kehidupan. Hal ini

diduga akibat pengaruh ureum terhadap perkembangan otak dan banyaknya alumunium dalam

makanan bayi. Terjadinya disfungsi otak diduga sebagai akibat keracunan aluminium, karena suatu

penelitian menunjukkan kejadian retardasi mental dan disfungsi otak menurun pada bayi yang

mendapat calcium binding agents yaitu kalsium karbonat sebagai pengganti aluminium containing,

fosfat binding agent.

9. Osteodistrofi ginjal

Penimbunan asam fosfat mengakibatkan terjadi hiperfosfatemia dan menyebabkan kadar ion

kalsium serum menurun. Keadaaan ini merangsang kelenjar paratiroid untuk mengeluarkan hormon

lebih banyak agar ekskresi fosfor meningkat dan kadar fosfat kembali normal. Jadi osteodistrofi

ginjal adalah kelainan tulang pada GGK sebagai akibat gangguan absorpsi kalsium, hiperfungsi

paratiroid, dan gangguan pembentukan vitamin D aktif.

Gejala klinis osteodistrofi ginjal antara lain gangguan pertumbuhan, gangguan bentuk tulang,

fraktur spontan dan nyeri tulang. Apabila disertai gejala rakitis yang jelas akan timbul hipotonia

umum, lemah otot, dan nyeri otot. Pada pemeriksaan radiologi dan histologi ditemukan gambaran

tulang yang abnormal dengan ciri khas seperti osteomalasia dan osteofibrosis. Pemeriksaan yang

paling sederhana untuk melihat gambaran osteodistrofi ginjal adalah ujung-ujung tulang panjang

yaitu foto falangs, sendi lutut, dan sendi siku.

10. Gangguan pertumbuhan

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 17

Page 18: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

Terjadinya gangguan pertumbuhan pada pasien GGK dapat disebabkan oleh banyak faktor.

Kemungkinan faktor yang paling penting adalah umur waktu timbulnya GGK, karena yang paling

sering mempengaruhi pertumbuhan adalah penyakit ginjal kongenital. Hal-hal yang diduga ada

hubungannya dengan gangguan fungsi ginjal usia dini, asidosis, osteodistrofi ginjal, dan gangguan

hormonal.

Keadaan asidosis dapat mengganggu pertumbuhan anak pasien GGK. Terjadinya

osteodistrofi ginjal dan menurunnya nafsu makan pada pasien GGK akan menyebabkan masukan

makanan dan energi tidak adekuat sehingga mengganggu pertumbuhan. Adanya gangguan sekresi

hormon tumbuh dan insulin like growth factors pada pasien GGK akan mempengaruhi pertumbuhan

anak karena pemberian hormon tumbuh rekombinan dapat mempercepat pertumbuhan anak tapi

mekanismenya sendiri belum diketahui.

11. Perkembangan seksual

Keterlambatan perkembangan seksual sering dijumpai pada pasien GGK. Keadaan ini

merupakan akibat disfungsi gonad primer dalam memproduksi steroid gonad, disfungsi hipofisis dan

gangguan pengeluaran gonadotropin. Terjadinya gangguan pengeluaran gonadotropin akan

mengakibatkan terlambatnya pubertas. Keadaan ini mungkin disebabkan uremia berat.

III.6 DIAGNOSIS

Kadang-kadang sulit membedakan apakah anak menderita GGA yang reversible, atau GGK. Oleh

karena itu sebaiknya dikenal kriteria atau indikasi kapan seorang anak harus segera dilakukan

pemeriksaan-pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis (lihat Tabel 2.)

Tabel 2.

Indikasi untuk menegakkan diagnosis

Gagal Ginjal.

1. Abnormalitas elektrolit

2. Hiperkalemia: K+ > 6 mmol/L

3. Hipernatremia, Hyponatremia

4. Asidosis metabolik

5. Hipokalsemia, Hiperfosfatemia

6. Hipertensi Berat

7. Edema Pulmo

8. Anuria/Oliguria

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 18

Page 19: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

(Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in children. In: Webb NJA

and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3rd edition. Oxford: Oxford University Press Inc., pp.

427-45)

Anamnesis dan pemeriksaan fisik penting untuk mengungkap penyebab gagal ginjal, meskipun pada

beberapa anak hal tersebut baru bisa diungkapkan melalui pemeriksaan-pemeriksaan yang spesifik Tabel

3. Tabel 4 menunjukkan gejala-gejala yang dapat membantu membedakan GGA dan GGK, dan Tabel 5

menunjukkan pemeriksaan-pemeriksaan untuk menetapkan tingkat keparahan dan lamanya GGK.

Tabel 3.

Pemeriksaan-Pemeriksaan Spesifik untuk Menegakkan Diagnosa Gagal Ginjal Kronik.

1. USG Saluran Renal

2. Cyctourethrogram

3. Radio-isotope scans: DMSA, MAG3, or DTPA

4. Antegrade pressure flow studies

5. Urogram Intravena

6. Urinalisis

7. Kultur dan Mikroskopi Urin

8. C3, C4, antinuclear antibody, anti-DNA antibodies, anti-GBM antibodies, ANCA

9. Biopsi Renal

10. White cell cystine level

11. Eksresi Oxalat

12. Eksresi Purin

(Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in children. In: Webb

NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3rd edition. Oxford: Oxford University Press

Inc., pp. 427-45)

Tabel 4.

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 19

Page 20: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

(Dikutip dari: Prasad Devarajan and Stuart L Goldstein (2007). Acute Renal Failure. In: Kanwal K Kher MD,

editors. Clinical pediatric nephrology. 2nd edition. McGraw-Hill Health., pp. 371)

Tabel 5.

Pemeriksaan untuk Menentukan Tingkat Keparahan GGK

1. Darah Rutin

2. AGD, Urea, Kreatinin, Kalsium, Fosfat, Alkalin Fosfat, Protein Total, Albumin, Asam Urat

3. LFG

4. Rontgenografi

5. EKG atau Ekokardiografi

(Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in children. In: Webb

NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3rd edition. Oxford: Oxford University Press

Inc., pp. 427-45)

III.7 PENATALAKSANAAN

Secara garis besar penatalaksanaan dapat dibagi 2 golongan, yaitu pengobatan konservatif dan

pengobatan pengganti. Di negara yang telah maju penanganan konservatif pasien GGK hanya merupakan

masa antara sebelum dilakukan dialisis atau transplantasi, sehingga tanggung jawab dokter di sini adalah

untuk menjaga pasien agar jangan mati mendadak dan agar pembuluh darah, otot jantung, retina, dan

tulang harus dipertahankan seutuhnya. Sebaliknya di negara berkembang penanganan konservatif masih

merupakan titik akhir dan tanggung jawab dokter di sini menjaga kualitas hidup pasien selama beberapa

bulan sebelum ajalnya. Pada umumnya pengobatan konservatif masih mungkin dilakukan bila klirens

kreatinin > 10 ml/menit/1,73 m2, tapi bila sudah < 10 ml/menit pasien tersebut harus diberikan

pengobatan pengganti.

1. Terapi Konservatif

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 20

Page 21: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

Tujuan terapi konservatif gagal ginjal pra-terminal, adalah:

a. Anak merasa sehat, tidak ada keluhan atau rasa sakit yang disebabkan oleh uremia, seperti

misalnya mual, muntah.

b. Merasa normal, seperti teman-temannya, mempunyai cukup energi untuk berpartisipasi dalam

kegiatan sekolah dan aktivitas sosial lainnya; sehingga dapat mencapai pertumbuhan motorik,

sosial, dan intelektual yang optimal.

c. Mempertahankan pertumbuhan fisik yang normal.

d. Mempertahankan agar fungsi keluarga berjalan seperti biasanya.

e. Memperlambat progresivitas penurunan LFG.

f. Mempersiapkan anak dan keluarganya untuk menghadapi keadaan gagal ginjal terminal.

Nutrisi

Malnutrisi energi protein seringkali ditemukan pada anak-anak dengan GGK. Patogenesis

terjadinya malnutrisi ini multifaktorial. Faktor-faktor tersebut, antara lain adalah anoreksia, diet

protein yang rendah, proses katabolisme akibat uremia yang menyebabkan pemecahan protein otot

dan inhibisi sintesis protein, sekresi kortisol dan hormon paratiroid yang meningkat, resistensi

insulin, asidosis metabolik, dan toksin uremia lain. Pada pasien yang mendapat terapi dialisis, terjadi

pembuangan asam amino, peptida dan protein melalui dialisis, dan proses katabolisme pada

hemodialisis yang akan memperberat malnutrisinya.

Bila nutrisi tidak diperhatikan, pasien gagal ginjal akan jatuh dalam keadaan malnutrisi, dan

anak-anak akan mengalami gagal tumbuh. Terapi nutrisi, berperan dalam menghambat kecepatan

penurunan fungsi ginjal dan akan dapat meningkatkan perasaan well-being serta pertumbuhan.

Intake nutrisi yang direkomendasikan untuk anak-anak dengan GGK hendaklah memperhatikan hal-

hal berikut:

Asupan nutrisi sebaiknya dipantau melalui cara penilaian diet secara prospektif 3 hari

berturut-turut 2 kali setahun, dan lebih sering bila ada indikasi klinik.

Anak-anak dengan GGK cenderung kehilangan nafsu makan dan seringkali mendapatkan

intake dibawah kebutuhan yang dianjurkan. EAR adalah estimasi kebutuhan rata-rata energi,

protein, vitamin, mineral. Kriteria ini dipakai untuk menggantikan Recommended Daily

Allowance (RDA), yang didefinisikan sebagai kecukupan kebutuhan nutrisi untuk anak

sehat dengan jenis kelamin, tinggi badan dan umur yang sama. Asupan energi kurang dari

80% dari RDA telah terbukti berasosiasi dengan gagal tumbuh (Rizzoni 1984), yang dapat

dipulihkan dengan meningkatkan energi menjadi 100% RDA. Asupan energi berlebih tidak

memberikan manfaat, kecuali pada anak-anak dengan ratio berat terhadap tinggi badan yang

rendah, yang membutuhkan asupan energi sampai 120% RDA. Untuk mencapai EAR yang

sesuai umur dan energi, sebagian besar anak dengan GGK membutuhkan suplemen kalori

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 21

Page 22: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

dalam bentuk polimer glukosa atau emulsi lemak, dimana pada bayi dan anak-anak kecil,

diperlukan nutrisi tambahan melalui pipa nasogastrik.

Untuk mencegah atau mengobati hiperparatiroidisme sekunder, kadar fosfat plasma harus

dipertahankan antara mean dan -2SD untuk umurnya, dengan cara membatasi diet fosfat dan

pemakaian kalsium karbonat sebagai pengikat fosfat.9 Sumber fosfat terbanyak adalah susu,

keju dan yoghurt.

Pada anak-anak, yang kebutuhan proteinnya lebih tinggi untuk pertumbuhannya, restriksi

protein ternyata tidak bermanfaat dalam menghambat laju penurunan fungsi ginjal,10 dan

bahkan akan mengakibatkan gagal tumbuh.11 Anak-anak dengan GGK sebaiknya

memperoleh asupan protein minimum sesuai EAR for age (lihat tabel). Tetapi bila kadar

urea darah anak tetap diatas 120 mg/dl, barulah dilakukan restriksi protein secara bertahap

sampai kadar ureumny menurun. Restriksi protein tidak perlu diberlakukan bila protein telah

mencapai 6% dari kebutuhan total kalori. Beberapa penelitian mengenai pemberian diet

protein yang dicampur dengan asam amino essensial atau analog ketoasidnya menunjukkan

perbaikan keadaan umum, perbaikan pertumbuhan dan fungsi ginjal, namun diet ini sangat

kompleks, mahal, rasanya tidak enak, dan belum ada penelitian yang membuktikan bahwa

diet ini lebih unggul dibanding kelompok kontrol dengan makanan yang kurang kompleks.

Tabel 6. Kebutuhan Kalori dan Protein yang Direkomendasikan Untuk Anak dengan Gagal Ginjal

Kronik.

Umur Tinggi (cm) Energi (kkal) Minimal Protein

(g)

Kalsium (g) Fosfor (g)

0-2 bulan

2-6 bulan

6-12 bulan

1-2 tahun

2-4 tahun

4-6 tahun

6-8 tahun

8-10 tahun

10-12 tahun

12-14 tahun L

P

14-18 tahun L

P

55

63

72

81

96

110

121

131

141

151

154

170

159

120/kg

110/kg

100/kg

1000

1300

1600

2000

2200

2450

2700

2300

3000

2350

2,2/kg

2,0/kg

1,8/kg

18

22

29

29

31

36

40

34

45

35

0,4

0,5

0,6

0,7

0,8

0,9

0,9

1,0

1,2

1,4

1,3

1,4

1,3

0,2

0,4

0,5

0,7

0,8

0,9

0,9

1,0

1,2

1,4

1,3

1,4

1,3

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 22

Page 23: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

18-20 tahun L

P

175

163

2800

2300

42

33

0,8

0,8

0,8

0,8

L= Laki-laki P=Perempuan

Keseimbangan air dan elektrolit

Penilaian secara klinik adanya dehidrasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan turgor kulit,

kekeringan mukosa, tekanan darah, tekanan vena juguler, dan berat badan, yang harus selalu

dilakukan pada setiap kunjungan. Anak dengan uropati obstruktif atau displasia ginjal umumnya

cenderung menderita kekurangan garam natrium dan kalium, yang akan mengganggu

pertumbuhannya. Suplemen natrium khlorida sebaiknya diberikan pada kasus-kasus tersebut dengan

pemantauan ketat terhadap pertumbuhan, sembab, hipertensi, atau hipernatremia. Kebutuhan air

disesuaikan dengan jumlah urine yang keluar.

Anak-anak dengan penyakit ginjal primer yang menimbulkan hipertensi, dianjurkan untuk

membatasi asupan natrium dan air.

Sebagian besar anak dengan GGK mampu mempertahankan homeostasis kalium. Bila terjadi

hiperkalemia, perlu dipikirkan apakah tidak ada obat2an seperti misalnya ACE inhibitors,

katabolisme, atau asidosis metabolik, sebagai penyebabnya, sebelum membatasi asupan kalium atau

memberikan kalium exchange resin.

Tabel 7. Kebutuhan Kalori dan Protein (RDA) Berdasarkan Derajat Fungsi Ginjal

Umur/Tahun RDA LFG

Kalori

kkal/kg

Protein g/kg 10-20o 5-10o <5

ml/menit/1,73m2

0-0,5

0,5-1

1-3

4-6

7-10

11-14

L

P

15-18

L

115

105

100

85

85

60

48

42

2,2

2,0

1,8

1,5

1,2

1,0

1,0

0,85

1,7

1,4

1,3

1,2

1,1

0,8

1,0

0,8

1,5

1,2

1,1

1,0

0,9

0,7

0,8

0,7

1,3

1,0

1,0

0,9

0,8

0,6

0,7

0,6

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 23

Page 24: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

P 38 0,85 0,8 0,7 0,6

Keseimbangan asam – basa

Metabolik asidosis yang menetap seringkali menyebabkan gagal tumbuh pada bayi dan

menimbulkan demineralisasi tulang, serta hiperkalemia. Untuk mempertahankan keseimbangan

asam basa perlu diberikan suplemen natrium bikarbonat dimulai dari dosis 2 mmol/kg/hari, dengan

pemantauan pH dan kadar bikarbonat pada analisis gas darahnya.

Osteodistrofi Renal

1. Kadar hormon paratiroid (PTH) meningkat dan kadar 1,25 dihydroxycholecalciferol menurun,

sejak mulai terjadinya insufisiensi ginjal ringan, yaitu pada LFG 50-80 ml/menit/1.73m2. Kadar

fosfat plasma merupakan sebab utama terjadinya hiperparatiroidisme sekunder. Fosfat mengatur

sel paratiroid secara independen pada kadar calcium serum dan kadar 1,25-

dihydroxycholecalciferol endogen. Oleh karenanya kontrol terhadap fosfat plasma adalah hal

paling penting sebagai prevensi dan terapi hiperparatiroidisme sekunder, meskipun hal tersebut

paling sulit dicapai dalam jangka panjang, oleh karena membutuhkan kepatuhan akan diet

rendah fosfat yang ketat and pemberian pengikat fosfat untuk mengurangi absorbsinya. Diet

rendah fosfat berarti membatasi intake susu sapi dan produknya. Bila kadar fosfat plasma tetap

diatas harga rata-rata untuk umur, pengikat fosfat misalnya kalsium karbonat 100 mg/kg/hari

diberikan bersama makanan, dosis disesuaikan sampai kadar fosfat plasma berada antara harga

rata-rata dan -2SD sesuai umurnya. Kalsium asetat, dan yang lebih baru, sevelamer (non-

calcium/non-aluminium containing polymer) juga merupakan pengikat fosfat yang bermanfaat.

2. Penurunan kadar fosfat plasma dapat meningkatkan kadar 1,25-dihydroxycholecalciferol

endogen dan kalsium ion, yang mampu menormalkan kadar PTH. Namun, bila kadar PTH tetap

tinggi dan kadar fosfat plasma normal, perlu ditambahkan vitamin D3 hidroksilasi.

3. Tipe, dosis, frekuensi, dan rute pemberian vitamin D sebagai prevensi dan terapi osteodistrofi

renal masih merupakan kontroversi. Dianjurkan pemberian dosis rendah 1,25-

dihydroxycholecalciferol 15-30 ng/kg/sekali sehari untuk anak-anak dengan berat kurang dari 20

kg, dan 250-500 ng sekali sehari untuk anak-anak yang lebih besar, untuk menaikkan kadar

kalsium plasma sampai batas normal atas: bila kadar PTH telah normal, 1,25-

dihydroxycholecalciferol dapat dihentikan sementara. Pemberian 1,25-dihydroxycholecalciferol

secara intravena lebih efektif untuk menurunkan kadar PTH, tetapi dapat menyebabkan

adynamic bone, oleh karena 1,25-dihydroxycholecalciferol pada dosis tinggi mempunyai efek

antiproliferatif pada osteoblast.

4. Kadar kalsium, fosfat, dan alkali fosfatase plasma hendaknya diperiksa setiap kunjungan. Kadar

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 24

Page 25: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

PTH diukur setiap bulan, atau setiap kunjungan bila anak melakukan kunjungan yang lebih

jarang, dan terapi disesuaikan. Bila anak asimtomatik dan parameter biokimia normal, hanya

perlu dilakukan pemeriksaan radiologi manus kiri dan pergelangan tangan setiap tahun untuk

menilai usia tulang.

Hipertensi

Hipertensi dapat berasal dari penyakit ginjal primer, misalnya nefropati refluks, penyakit

ginjal polikistik autosomal resesif, atau karena GGK yang telah lanjut, akibat retensi natrium dan air.

Pengendalian tekanan darah pada GGK, bukan saja untuk mencegah morbiditas dan mortalitas

akibat hipertensi itu sendiri, melainkan juga untuk mencegah progresivitas penurunan fungsi ginjal.

Bila tidak ada circulatory volume overload, sistolik dan diastolik dalam pemeriksaan berulang lebih

dari 90 persentil untuk umur, perlu diberikan terapi antihipertensi untuk prevensi komplikasi

hipertensi dan menghambat laju GGK. Bila ada tanda-tanda circulatory volume overload sebagai

penyebab hipertensi, diberikan diuretik dari golongan furosemide dengan dosis 1-3 mg/kg dan diet

rendah garam.

Infeksi

Anak-anak dengan kelainan ginjal rentan mengalami infeksi saluran kemih berulang. Bila

menderita refluks vesiko-ureter perlu diberikan antibiotik dosis rendah sebagai profilaksis.

Anemia

Anemia pada GGK adalah anemia normokromik normositer, karena produksi eritropoietin

yang tidak adekuat. Eritropoietin rekombinan (rHuEPO) telah dipakai secara luas untuk mencegah

anemia pada GGK. Disamping eritropoietin masih ada faktor lain yang dapat mempermudah

terjadinya anemia antara lain menurunnya daya survival sel darah merah, inhibisi sumsum tulang

terutama oleh PTH, kehilangan darah intestinal, dan paling sering defisiensi besi dan folat.

Sebagian besar anak-anak dengan pra-GGT dapat mempertahankan kadar hemoglobin tanpa

bantuan terapi eritropoietin rekombinan, dengan cara pengaturan nutrisi yang baik, suplemen besi

dan folat, dan bila diperlukan supresi hiperparatiroid sekunder dengan memakai pengikat fosfat yang

tidak mengandung aluminium. Bila anemia tetap terjadi, dapat diberikan eritropoietin rekombinan

dengan dosis 50 unit/kg secara subkutan dua kali seminggu, dosis dapat dinaikkan sesuai respon

agar mencapai target hemoglobin 10-12 g/dl. Kadar ferritin serum dipertahankan diatas 100 mcg/l

agar tercapai suplemen besi yang adekuat. Anak-anak dengan pra-GGT biasanya mendapatkan

suplemen besi peroral, sedangkan mereka yang telah dilakukan dialisis biasanya memerlukan

suplemen besi secara intra-vena.

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 25

Page 26: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

Pertumbuhan

Pertumbuhan merupakan indikator yang paing sensitif untuk terapi GGK yang adekuat.

Pengukuran tinggi badan, berat badan, lingkar kepala, status pubertal, volume testes, dan lingkar

lengan atas sangat dianjurkan untuk dilakukan secara rutin, sehingga akan dapat dideteksi secara dini

setiap gangguan kecepatan pertumbuhan. Faktor-faktor yang menyebabkan gangguan pertumbuhan

adalah multifaktorial, seperti tercantum dalam tabel dibawah ini.

Tabel 8. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Gangguan Pertumbuhan pada Pasien GGK

Faktor-Faktor yang Menyebabkan Gangguan Pertumbuhan pada Pasien GGK

1. Kurangnya masukan energy

2. Gangguan masukan energi

3. Gangguan keseimbangan air dan elektrolit, seperti defisiensi natrum kalium dan asidosis

metabolik

4. Osteodistrofi ginjal

5. Hipertensi

6. Infeksi

7. Anemia

8. Abnormalitas hormon

9. Terapi kortikosteroid

10. Faktor psikososial

(Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in children. In:

Webb NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3rd edition. Oxford: Oxford

University Press Inc., pp. 427-45)

Pola pertumbuhan masing-masing anak dengan GGK dipengaruhi oleh umur anak, umur saat

onset GGK dan terapi yang diberikan. Pada anak normal, kecepatan pertumbuhan maksimal selama

tahun pertama kehidupan, pertumbuhan kemudian melambat selama masa anak-anak, dan meningkat

lagi dengan pubertal growth spurt. Pertumbuhan yang tidak optimal pada salah satu atau kedua

periode kritis tersebut akan mengakibatkan berkurangnya tinggi badan akhir.

Anak-anak pra-pubertas dengan GGK yang tumbuh dibawah persentil ke-3 untuk umurnya

akan menunjukkan respon yang baik terhadap hormon pertumbuhan rekombinan dengan dosis supra-

fisiologik.

Mempertahankan fungsi ginjal

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 26

Page 27: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

Pada sebagian besar anak dengan GGK, fungsi ginjalnya akan terus menurun secara

progresif, meskipun penyakit ginjal primernya telah tidak aktif. Progresifitas GGK berkaitan dengan

kelainan histologinya yaitu glomerulosklerosis progresif, fibrosis interstitial, dan sklerosis vaskuler

atau arterioler.

Untuk mempertahankan fungsi ginjal yang berada pada suatu fase tertentu, dapat dilakukan

dengan cara-cara: pengendalian hipertensi, menghilangkan proteinuria, mencegah terjadinya

hiperparatiroidisme sekunder, dan diet protein yang cukup.

Berbagai penelitian baik invivo maupun invitro membuktikan bahwa lipid mempunyai peran

penting dalam progresivitas penyakit ginjal kronik. Gangguan metabolisme lipid sering ditemukan

pada GGK sehingga menimbulkan keadaan hiperlipoproteinemia, kadar HDL menurun, LDL

meningkat, dan VLDL kholesterol sangat menurun, disertai hipertrigliseridemia, dan gangguan

apolipoprotein. Hal ini disebabkan karena terjadinya gangguan klirens lipoprotein LDL, dan

menurunnya aktivitas lipolitik yang sebagian disebabkan oleh hiperparatiroidisme sekunder dan

resistensi insulin. Selain dengan manipulasi diet, beberapa penelitian juga membuktikan manfaat

penggunaan zat untuk menurunkan kadar lipid darah terhadap perbaikan LFG dan aliran plasma

ginjal.

Edukasi dan persiapan

Masa terapi konservatif GGK, merupakan saat terbaik untuk melaksanakan program edukasi

bagi pasien dan keluarganya, untuk menjelaskan tentang apa yang sebenarnya terjadi sehingga

mereka dan keluarganya akan ikut secara aktif dalam program pengobatan tersebut.

Masa tersebut juga dapat digunakan untuk mempersiapkan mereka menghadapi stadium gagal ginjal

terminal.

Hal-hal yang harus diperhatikan sebelum anak masuk dalam stadium GGT:

1. Anak harus telah mendapatkan imunisasi lengkap sebelum dilakukan transplantasi, setidak-

tidaknya 3 bulan sebelum dimulainya TPG.

2. Anak-anak dengan GGK yang mengalami disfungsi buli-buli, misalnya buli-buli neurogenik,

atau katup uretra posterior harus diatasi terlebih dahulu sebelum transplantasi dilakukan.

3. Anak-anak yang membutuhkan dialisis sebelum transplantasi, tetapi tidak sesuai untuk dialisis

peritoneal, hendaknya dibuatkan fistula arteri-vena untuk akses hemodialisis.

2. Terapi Pengganti Ginjal

Tujuan terapi Gagal Ginjal Terminal pada anak-anak tidak hanya untuk memperpanjang

hidup anak, namun juga untuk meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan, dengan tujuan

utama adalah kehidupan masa dewasa yang lebih baik.

Transplantasi ginjal yang berhasil merupakan terapi pilihan untuk semua anak dengan gagal ginjal

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 27

Page 28: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

terminal. Transplantasi ginjal dapat dilakukan dengan donor ginjal yang berasal dari keluarga hidup

atau jenazah.

Dialisis merupakan pelengkap dari transplantasi yang diperlukan pada saat sebelum atau

antara transplantasi, dan bukanlah merupakan pilihan alternatif dari transplantasi. Ada 2 pilihan

dasar yaitu hemodialisis atau dialisis peritoneal. Tetapi pilihan tidak selalu dapat dilakukan, bila

misalnya terdapat kesulitan untuk memperoleh akses fistula A-V, maka pilihan hanyalah dialisis

peritoneal, atau misalnya adanya adhesi intra-abdominal, maka dialisis peritoneal tidak bisa dipilih,

kecuali hemodialisis.

Seorang anak dipersiapkan untuk dilakukan transplantasi apabila laju filtrasi glomerulus

telah menurun sampai 10 ml/menit/1.73m2. Secara ideal sebenarnya adalah melakukan transplantasi

sebelum timbul gejala-gejala akibat gagal ginjal kronik dan sebelum dialisis dibutuhkan. Tetapi hal

tersebut jarang bisa dilakukan karena masa tunggu untuk mendapatkan donor yang cocok tidak bisa

dipastikan, masalah-masalah medis yang tidak memungkinkan anak segera menjalani transplantasi,

atau yang paling sering adalah memberikan waktu yang cukup untuk pasien dan keluarganya guna

mempersiapkan dan menyesuaikan diri menghadapi situasi yang baru.

Indikasi untuk memulai dialisis adalah:

1. Timbulnya gejala sindrom uremia berupa letargi, anoreksia, atau muntah yang mengganggu

aktivitas sehari-harinya.

2. Gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit yang mengancam jiwa, misalnya hiperkalemia

yang tidak respon terhadap pengobatan konservatif.

3. Gejala kelebihan cairan yang tidak dapat diatasi dengan terapi diuretik.

4. Terjadi gagal tumbuh yang menetap meskipun telah dilakukan terapi konservatif yang adekuat.

Dialisis

Keuntungan dan kerugian dialisis peritoneal dan hemodialisis dapat dilihat pada tabel di

bawah ini. Di Inggeris, Amerika Serikat, dan banyak negara-negara lain, dialisis peritoneal lebih

banyak dilakukan pada anak-anak.

Hemodialisis adalah suatu teknik untuk memindahkan atau membersihkan solut dengan berat

molekul kecil dari darah secara difusi melalui membran semipermeabel. Hemodialisis membutuhkan

akses sirkulasi, yang paling baik adalah pembuatan fistula A-V pada vasa radial atau brachial dari

lengan yang tidak dominan.

Pada dialisis peritoneal, membran peritoneal berfungsi sebagai membran semi-permeabel

untuk melakukan pertukaran dengan solute antara darah dan cairan dialisat. Untuk memasukkan

cairan dialisat kedalam rongga peritoneum perlu dipasang kateter peritoneal dari Tenckhoff. Ada 2

cara pelaksanaan dialisis peritoneal, yaitu:

1. Automated Peritoneal Dialysis (APD), dimana dialisis dilakukan malam hari dengan mesin

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 28

Page 29: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

dialisis peritoneal, sehingga pada siang hari pasien bebas dari dialisis.

2. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dialisis berlangsung 24 jam sehari dengan

rata-rata pertukuran cairan dialisat setiap 6 jam sekali.

Meskipun hemodialisis dan dialisis peritoneal merupakan TPG yang efektif, angka mortalitas

dialisis lebih tinggi daripada transplantasi untuk semua kelompok umur.

Transplantasi

Merupakan terapi terbaik bagi anak-anak dengan gagal ginjal terminal oleh karena akan

memberikan rehabiltasi terbaik untuk hidup yang sangat mendekati wajar.4 Transplantasi dilakukan

dengan ginjal jenazah atau ginjal yang berasal dari keluarga hidup yang berusia relatif lebih tua,

biasanya dari orang tuanya.

Di Eropa pada tahun 1984-1993 hampir 21% anak yang berusia kurang dari 21 tahun

mendapat ginjal dari donor hidup,12 sedangkan di Amerika Utara donor hidup mencapai 50% dari

seluruh donor yang diterima anak-anak yang berusia kurang dari 21 tahun pada tahun 1987-2000.

III.8 PROGNOSIS

Angka kelangsungan hidup anak-anak dengan gagal ginjal kronik saat ini semakin baik. Dari 1070

anak yang berumur kurang dari 18 tahun saat menerima ginjal donor jenazah di Inggeris dan Irandia

dalam periode 10 tahun (1986-1995): 91 (9%) meninggal dengan penyebab kematian: 19% oleh karena

infeksi, 4.5% lymphoid malignant disease, 4.5% uremia karena graft failure.13 Sedangkan data dari

Amerika Utara melaporkan angka kelangsungan hidup 5 tahun setelah transplantasi donor hidup berkisar

antara 80.8% pada anak-anak yang berusia kurang dari 1 tahun saat ditransplantasi, sampai 97.4% pada

anak-anak yang berusia antara 6-10 tahun.14

Sebagai penutup ingin kami tekankan bahwa terapi GGK adalah seumur hidup, meskipun telah

dilakukan transpantasi ginjal. Tetapi masa depan mereka tidaklah seburuk seperti yang dibayangkan,

banyak diantara mereka sekarang telah berhasil dalam profesi dan kehidupan keluarga.

BAB IVKepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 29

Page 30: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

DAFTAR PUSTAKA

1. Rigden SPA. The management of chronic and end stage renal failure in children. In Webb N, Postleth-

waite Eds. Clinical Paediatric Nephrology 3rd ed. Oxford University Press Inc, 2003; 427-46.

2. Alatas, Husein. 2001. ”Buku Ajar Nefrologi Anak, edisi 2”. IDAI : JakartBehrman R.E, at all. 2004.

3. Nelson, Waldo. E. 2000. ”Nelson Ilmu Kesehatan Anak edisi 15. Penyakit Glomerulus, hal.1809-1819”.

Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta

4. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Gagal Ginjal Kronik. Dalam Alatas H, Tambunan T, Trihono

PP, Pardede SO Eds. Buku Ajar Nefrologi Anak 2nd ed. Bali penerbit FKUI Jakarta, 2002; 509-30.

5.   Fogo AB, Kon V. Pathophysiology of progressive renal disease. In Avner ED, Harmon WE, Niaudet P

Eds. Pediatric Nephrology. Lippincott Williams & Wilkins USA, 2004; 1269-85.

6.   Kei-Chiu TN, Chiu MC. Pre-Renal Replacement Program : Conservative Management of Chronic Kid-

ney Disease. In Chiu MC, Yap HK Eds. Practical Paediatric Nephrology. Medcom Limited Hongkong,

2005; 247-52.

7.   Yap HK. Anemia, Renal Osteodystrophy, Growth Failure in Chronic Renal Failure. In Chiu MC, Yap

HK Eds. Practical Paediatric Nephrology. Medcom Limited Hongkong, 2005;   253-61.

8.   Winearls CG. Clinical Evaluation and Manifestation of chronic Renal Failure. In Johnson RJ, Feecally J

Eds. Comprehensive Clinical Nephrology. Harcourt Publishers Limited London, 2000;  section 14. 68 :

1-14.

9.   Fine RN, Whyte DA, Baydstrun II. Conservative management of chronic renal insufficiency. In Avner

ED, Harmon WE, Naudet P Eds. Pediatric Nephrology. Lippincott Williams & Wilkins USA, 2004;

1291-305.

10. Kuizon BD, Sausky IB. Renal Osteodistrophy. In Avner ED, Harmon WE, Naudet P Eds. Pediatric

Nephrology. Lippincott Williams & Wilkins USA, 2004; 1291-305.

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 30

Page 31: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

Hemodialisa

PEMBIMBING :

Dr. Slamet Widi, Sp.A

Dr. Lilia Dewiyanti, Sp.A

Dr. Zuhriah Hidajati, Sp.A

Dr. Hartono, Sp.A

PENYUSUN :

Monica Bellynda

406137024

ILMU KESEHATAN ANAK RSUD KOTA SEMARANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIV.TARUMANAGARA JAKARTA

2014

BAB I

PENDAHULUAN

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 31

Page 32: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

Setiap tahun sekitar 1-3 orang anak per 1 juta populasi penduduk berakhir pada gagal ginjal terminal.

Pengobatan/terapi yang dikembangkan pada anak dengan gagal ginjal terminal adalah dengan menyokong

kehidupan tetapi akan berlarut-larut dan invasif. Transplantasi ginjal biasanya dipertimbangkan sebagai terapi

pilihan pada anak dengan gagal ginjal terminal, namun tetap saja beberapa bentuk dialisis masih diperlukan

untuk menjaga kehidupan sampai donor ginjal yang cocok ditemukan.1

Diperkirakan ¾ dari anak-anak dengan gagal ginjal terminal ini mendapatkan terapi/pengobatan di

pusat-pusat hemodialisa sementara mereka menunggu untuk transplantasi ginjal, karena itu terapi dialisis telah

berkembang menjadi terapi standar untuk anak-anak dengan gagal ginjal terminal. Bagaimanapun, dengan

berkembangnya kateter peritoneal yang permanen/menetap, dialisis peritoneal kronik dari suatu bentuk/kondisi

atau yang lain sekarang menjadi alternatif yang menarik sebagai bentuk terapi bagi anak-anak dengan gagal

ginjal terminal tersebut.1

Dialisis peritoneal kronik (chronic peritoneal dialysis/CPD) telah digabungkan sebagai dialysis anjuran

bagi pasien anak-anak didasarkan pada kemampuannya yang fleksibel dan kecocokannya dengan gaya

hidup/kebiasaan anak-anak. Di Amerika Utara, program dialisis pada anak-anak mengkombinasikan

penggunaan dialisis peritoneal (peritoneal dialysis/PD) 2:1 dengan penggunaan hemodialisis (HD).2

Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) umumnya untuk dialisis bagi anak-anak dengan

gagal ginjal terminal. Dan beberapa waktu terakhir ini, terjadi pertumbuhan yang meningkat untuk dialisis

peritoneal otomatis (automated peritoneal dialysis/APD) dimana mesin berputar digunakan sebagai infus dan

saluran untuk cairan peritoneal. Keuntungan yang nyata dari penggunaan APD bagi gaya hidup dan rehabilitasi

sosial adalah untuk penggunaan dosis lebih besar daripada CAPD dan membuat APD lebih dipilih sebagai

bentuk dialisis pada anak-anak. Data yang ada menunjukkan bahwa proporsi penggunaan APD berkisar dari

62-91%.2

Terapi hemodialisis bisa menjadi sangat menakutkan dan tidak menyenangkan, khususnya pada pasien

anak-anak, keluarga dan tentu saja bagi tim pelaksananya. Di beberapa negara, pasien anak-anak biasanya

digabungkan dengan pasien dewasa di ruang hemodialisis. Hal ini menunjukkan bahwa pemisahan ruang bagi

anak-anak dan dewasa membutuhkan biaya lebih besar apalagi bagi negara berkembang.3

Tim medis pada perawatan dewasa umumnya tidak terbiasa untuk menangani pasien anak-anak, pasien

anak-anak mempunyai kebutuhan psikologik, emosional, sosial dan dukungan akademik yang juga dapat

memberikan dampak positif baik pada ketaatan terapi maupun responnya. Sangat penting untuk dapat

menciptakan lingkungan yang ramah bagi anak-anak pada ruangan hemodialisis dengan interaksi aktif sesama

anak-anak, keluarga dan tim medis.3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 32

Page 33: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

2.1 Definisi

Dialisis peritoneal adalah suatu teknik dimana cairan dialisis dimasukkan ke rongga peritoneal yang

diikuti dengan waktu periode dialisis yang bervariasi diikuti dengan pengeluarannya atau pengurasannya.4,5

2.2 Keuntungan dialisis peritoneal

Dengan dialisis peritoneal (DP), kita memiliki beberapa pilihan dalam pengobatan yang lebih maju dan

gagal ginjal permanen. Sejak tahun 1980an, dimana DP menjadi praktik yang mulai dikembangkan untuk

pengobatan gagal ginjal, telah banyak dipelajari sehingga membuat DP menjadi lebih efektif dan memiliki efek

samping yang minimal. Jika pasien tidak memiliki jadwal untuk melakukan dialisis di Rumah Sakit atau Pusat

dialisis, DP memberikan banyak keuntungan.5

Dengan DP, pasien gagal ginjal permanen dapat melakukan pengobatan mandiri baik itu di rumah, di

kantor, bahkan dalam perjalanan. Namun harus bekerja sama dengan baik dibawah instruksi tim medis, yaitu

ahli ginjal, perawat, teknisi, ahli gizi/nutrisi, dan pekerja sosial. Namun dari keseluruhan itu yang paling

penting adalah dukungan anggota keluarga pasien sendiri.4,5

2.3 Cara Kerja Dialisis Peritoneal

Dalam dialisis peritoneal, tabung lunak yang disebut kateter digunakan untuk mengisi rongga

peritoneal dengan cairan pembersih yang disebut dengan cairan dialisis (dialysis solution). Dinding dari rongga

perut di lapisi oleh membran yang disebut peritoneum, yang memungkinkan produk sisa dan kelebihan cairan

lewat darah ke cairan dialisis. Cairan tersebut berisi gula yang disebut dekstrosa yang akan menarik

sisa/kotoran dan kelebihan cairan ke dalam rongga perut. Sisa atau kotoran dan cairan ini kemudian akan ikut

terbuang bersama cairan dialisis saat proses pengurasan. Cairan yang telah dipakai, berisi sisa atau kotoran dan

kelebihan cairan kemudian dibuang.5

Gambar 2.1 Dialisis peritoneal 5

Proses dari pengisian dan pembuangan cairan disebut dengan pertukaran yang memerlukan waktu

sekitar 30-40 menit. Waktu yang diperlukan cairan dialisis berada di dalam rongga perut disebut dengan dwell

time atau waktu tinggal. Jadwal yang khusus untuk 4 pertukaran dalam sehari, masing-masing dengan dwell

time 4-6 jam. Tipe DP yang berbeda memiliki jadwal pertukaran harian yang berbeda pula.5

Salah satu bentuk DP, Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), tidak memerlukan mesin.

Sesuai dengan namanya ambulatory yang berarti dapat berjalan, pasien dapat berjalan sementara cairan dialisis

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 33

Page 34: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

masih berada di perutnya. Bentuk lain dari DP, Continuous Cycler-Assisted Peritoneal Dialysis (CCPD),

memerlukan mesin yang disebut cycler untuk mengisi dan menguras perut, biasanya saat pasien tidur. CCPD

disebut juga Automated Peritoneal Dialysis (APD).4,5

2.4 Tipe Dialisis Peritoneal

Pemilihan jenis DP yang akan digunakan tergantung pada jadwal pertukaran yang pasien kehendaki

untuk diikuti, disamping faktor lainnya. Pasien bisa saja memulai dengan jenis DP yang satu dan kemudian

berganti dengan jenis yang lain, atau pasien sendiri menemukan kombinasi dari pertukaran automated dan

nonautomated yang paling cocok dengannya.5

Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)

Pada tipe CAPD, akan dimasukkan sekantong cairan dialisis segar ke dalam perut. Setelah 4-6 jam atau

lebih dari dwell time, cairan yang telah bercampur dengan produk sisa atau kotoran akan dikuras. Kemudian

proses diulang dari awal dengan sekantong cairan dialisis yang segar. CAPD menawarkan kontrol biokimia

yang memadai pada keadaan uremia dan dapat dilakukan di rumah. Pasien tidak memerlukan bantuan mesin

untuk tipe CAPD ini, yang diperlukan hanyalah gaya gravitasi untuk mengisi dan mengosongkan perut pasien.

Dokter yang akan memberikan instruksi berapa jumlah kantong yang harus digunakan dalam proses

pertukaran, biasanya 3 atau 4 kantong pertukaran di siang hari dan satu kantong di malam hari dengan waktu

tinggal yang lebih lama sementara pasien tidur.1,5

Gambar 2.2 Selama pertukaran pasien dapat membaca, menonton TV atau tidur 5

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 34

Page 35: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

Gambar 2.3 Langkah-langkah CAPD 5

Gambar 2.4 Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) 4

Continuous Cycler-Assisted Peritoneal Dialysis (CCPD)

CCPD menggunakan cycler (pemutar) otomatis untuk menjalankan proses pertukaran 3 sampai 5 kali

semalam saat pasien tidur. Saat pagi hari, pasien memulai satu pertukaran dengan dwell time yang terakhir.5

Gambar 2.5 CCPD yang menggunakan cycler/pemutar 5

CCPD merupakan terapi yang saat ini mulai banyak dianjurkan dilakukan pada anak-anak karena

keuntungannya yang mengikuti pola kebiasaan anak-anak dimana anak bisa bebas beraktifitas di siang hari dan

DP dilakukan di malam hari saat anak tertidur. Pembukaan dan penutupan kateter hanya dua kali dalam 24 jam

sehingga mengurangi resiko terjadinya peritonitis dan mengurangi keterlibatan orangtua dengan anak.1

Pada pasien dewasa, dilakukan tiga kali pertukaran di malam hari dan satu pertukaran yang panjang di

siang hari, selama 24 jam. Dengan meningkatkan pertukaran dan dwell time di malam hari, ditambah dengan

waktu di siang hari akan meningkatkan efisiensi dialisis sehingga pasien dapat menikmati satu atau dua hari

dalam seminggu tanpa terapi. Jeda terapi ini akan menurunkan kelelahan baik pada orangtua maupun pada

anak-anak.1

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 35

Page 36: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

Gambar 2.6 Continuous Cycler-Assisted Peritoneal Dialysis (CCPD) 4

2.5 Pemilihan Tipe Dialisis Peritoneal

Jika dipilih tipe CAPD, mungkin akan ada masalah dengan dwell time yang lama sepanjang malam.

Sebagian dekstrosa dari cairan masuk ke dalam darah dan menjadi glukosa. Absorbsi dekstrosa tidak

menimbulkan masalah selama dwell time yang singkat. Namun sepanjang malam, beberapa orang menyerap

terlalu banyak dekstrosa yang akan menarik cairan dari rongga perut kembali ke tubuh sehingga mengurangi

efisiensi pertukaran.5

Jika masalah ini timbul, maka mungkin diperlukan minicycler, suatu alat versi kecil dari mesin yang

secara otomatis mengisi dan menguras cairan di perut pasien yang digunakan untuk pertukaran cairan dialisis

sekali atau beberapa kali selama pasien tertidur sepanjang malam. Dengan tambahan tersebut, pertukaran yang

lebih singkat akan meminimalkan penyerapan cairan dan memberikan jarak tambahan dari bersihan sisa dan

cairan yang berlebih.1,5

Jika dipilih CCPD, pasien mungkin memiliki masalah dalam penyerapan cairan di waktu siang hari,

yang memiliki dwell time lebih lama. Pasien mungkin memerlukan tambahan pertukaran di antara siang dan

sore hari untuk meningkatkan jumlah produk sisa atau kotoran yang akan dibuang dan mencegah penyerapan

cairan yang berlebihan.5

2.6 Pencegahan Masalah

Infeksi adalah masalah yang paling utama dihadapi oleh pasien yang melakukan DP. Tim medis harus

mengetahui secara mendalam tentang bagaimana menjaga kateter bebas kuman untuk mencegah terjadinya

peritonitis, yang berarti infeksi di daerah peritoneum. Perbaikan model dari kateter untuk mencegah

penyebaran kuman telah dilakukan, namun peritonitis tetap menjadi masalah utama yang kadang-kadang

membuat DP harus dihentikan. Beberapa yang harus diperhatikan diantaranya:4,5

Simpan peralatan di tempat yang sejuk, bersih dan kering.

Periksa setiap kantong cairan untuk melihat adanya tanda-tanda terjadinya kontaminasi sebelum

digunakan

Cari tempat yang bersih, kering dan nyaman untuk memulai pertukaran

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 36

Page 37: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

Cuci tangan setiap kali memegang kateter

Bersihkan jalan keluar dengan antiseptik setiap hari.

Gunakan masker saat pertukaran berlangsung

Tetap waspada untuk gejala dari infeksi dan segera lakukan sehingga pengobatan sesegera mungkin.

Beberapa gejala yang patut diwaspadai adalah:5

Demam

Mual atau muntah

Kemerahan atau nyeri di daerah sekitar kateter

Warna yang tidak biasanya atau berkabut pada cairan dialisis yang digunakan.

Penutup kateter telah terdorong keluar

Gambar 2.7 Bagian-bagian transfer set 5

2.7 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang menggunakan CCPD diantaranya adalah tersumbatnya

saluran untuk DP yang kemudian dapat berlanjut menjadi sepsis dari saluran yang terinfeksi tersebut. Jadwal

dialisis yang tertunda atau tidak selesai karena pasien tidak menginginkan menyelesaikan dialisis sesuai

jadwal. Konsultasi dengan psikiatri juga mungkin diperlukan bagi sebagian anak-anak untuk dapat melanjutkan

dialisis. Peritonitis merupakan masalah utama, selain dari kesalahan fungsi kateter sehingga memerlukan

pemasangan kembali, kerusakan fungsi membran peritoneal. Pada grup CCPD, peritonitis muncul setidaknya

satu dari sekitar 80,5% pasien yang berobat setiap bulan.1,2,7

Pasien yang diterapi dengan DP memiliki komplikasi yang berhubungan dengan fungsi ginjal itu

sendiri secara tidak langsung selain fungsinya dalam membersihkan darah. Diantaranya adalah anemia

sehingga pasien memerlukan transfusi darah. Hal ini terjadi karena ginjal memproduksi eritropoeitin yang

merangsang sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah yang mana berfungsi sebagai pengangkut

oksigen.5

Penyakit tulang yang berhubungan dengan ginjal mempengaruhi sekitar 90% pasien dialisis. Penyakit

ini disebut dengan renal osteodystrophy. Tulang menjadi tipis dan lunak atau lemah hingga dapat mengalami

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 37

Page 38: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

perubahan bentuk. Hal ini dapat terjadi pada pasien anak-anak ataupun dewasa. Gejala dapat dilihat pada

pasien anak-anak dalam masa pertumbuhan yang memiliki penyakit ginjal.5

Rasa gatal merupakan komplikasi yang sering dikeluhkan oleh pasien dialysis. Meskipun gatal

merupakan hal yang wajar bahkan pada orang tanpa gangguan fungsi ginjal, hal ini dapat diperparah oleh

toksin uremia yang berada di kulit tidak sepenuhnya dapat dibuang melalui dialisis. 5

Gangguan tidur banyak terjadi pada pasien dialisis. Hal ini terjadi karena rasa tidak nyaman, mudah

terkejut, gelisah dan kelemahan pada kaki. Pasien akan mendapat rangsangan untuk menendang ataupun

melempar kakinya di malam hari sehingga dapat mengganggu pasangan tidurnya. Selain itu pasien dialisis juga

sering mengeluh akan sleep apneu syndrome (mengorok) saat tidur.4,5

Pada pasien yang telah melewati dialisis selama 5 tahun, kemungkinan akan terjadi dialysis related

amyloidosis (DRA). DRA berkembang saat protein yang berada di dalam darah tersimpan di persendian dan

otot, menyebabkan nyeri, kekakuan dan cairan di persendian, seperti pada kasus artritis. Ginjal berfungsi

menyaring protein ini, namun dialisis tidak seefektif itu.5

2.8 Perkembangan CAPD di Indonesia

Penyakit ginjal kronik di Indonesia, berkisar antara 29,1% dari populasi penduduk yang memiliki

resiko (hipertensi, diabetes dan proteinuria). Dalam survei terbaru, insiden rata-rata untuk penyakit ginjal

stadium akhir (end-stage renal disease/ESRD) adalah 30,7 per 1 juta penduduk, dan prevalensinya berkisar

23,4 per 1 juta penduduk. Pada tahun 2006, sekitar 10.000 pasien telah diobati dengan hemodialisis. Namun

demikian, masih banyak pasien dengan ESRD yang belum diobati. Masalah keuangan, kekurangan fasilitas

dialisis dan kurangnya tenaga medis yang terlatih menjadi alasan utama mengapa pengobatan gagal ginjal tidak

berjalan dengan baik di Indonesia.10

CAPD mulai dipakai pertama kali pada tahun 1985. Pada pertengahan tahun 2007, pasien CAPD

berjumlah 774 orang. Pasien yang berhenti masih sangat tinggi, karena meninggal, infeksi dan kegagalan

kateter.10

DAFTAR PUSTAKA

1. Andrew SB, Alice MT. Continous-cycling peritoneal dialysis for children: an alternative to

hemodialysis treatment. Pediatyrics 1984;74:254-258.

2. Lai WM, Chiu MC, Tse KC, Lau SC, Tong PC. Automated peritoneal dialysis: clinical experience in

32 children. HK J Paediatr 2004;9:44-49.

3. Ensari C. The basic needs of children on haemodialysis in Turkey. Nephrol Dial Transplant

2008;23:1447-1448.

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 38

Page 39: Case 3 Makalah

Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3

4. Khanna R, Nolph KD. Dialysis as a treatment of end stage renal disease. Chapter 4: Principle of

peritoneal dialysis. Halaman 4.1-4.11.

5. -----. Treatment method for kidney failure: peritoneal dialysis. NIDDK 2006;6:1-24.

6. Marsha ML, Annabelle N, Chua, Peter DY. Neonatal peritoneal dialysis. NeoReviews 2005;6:e384-

e391.

7. Walters S, Porter C, Brophy PD. Dialysis and pediatric acute kidney injury: choice of renal support

modality. Pediatr Nephrol 2009;24:37-48.

8. Sherbotie J. Outcomes after neonatal and infant dialysis. AAP Grand Rounds 2007;17:66.

9. Kari JA. Peritoneal dialysis in children. Saudi J Kidney Dis Transplant 2005;16:348-253.

10. Suhardjono. The development of a continuous ambulatory peritoneal dialysis program in Indonesia.

Perit Dial Int 2008;28:559-562.

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 39