case 3 makalah
DESCRIPTION
Case 3 RadioTRANSCRIPT
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
Gagal Ginjal Kronik (GGK)
PEMBIMBING :
Dr. Slamet Widi, Sp.A
Dr. Lilia Dewiyanti, Sp.A
Dr. Zuhriah Hidajati, Sp.A
Dr. Hartono, Sp.A
PENYUSUN :
Monica Bellynda
406137024
ILMU KESEHATAN ANAK RSUD KOTA SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIV.TARUMANAGARA JAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 1
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
A. Latar Belakang
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan masalah yang tidak jarang ditemukan pada anak. Kemajuan
yang pesat dalam pengelolaan menjadikan prognosis penyakit ini membaik sehingga pengenalan dini
GGK merupakan masalah yang penting. Membaiknya pengobatan pada akhir-akhir ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu bertambahnya pengertian tentang patofisiologi GGK, aplikasi yang tepat dari
prinsip pengelolaan medis GGK, dan kemajuan teknologi dalam tehnik dialisis serta transplantasi ginjal.
Pada saat ini, telah dimungkinkan pengelolaan GGK pada anak yang sangat muda, pengelolaan ditujukan
untuk mempertahankan kemampuan fungsional nefron yang tersisa selama mungkin dan memacu
pertumbuhan fisik yang maksimal, sebelum dilakukannya dialisis atau transplantasi.
Sulit untuk menentukan secara pasti angka kejadian GGK pada anak. ada tahun 1972, American
Society of Pediatric Nephrology memperkirakan diantara anak yang berumur di bawah 16 tahun terdapat
2.5-4 persejuta populasi dari umur yang sama menderita GGK pertahunnya.4 Di negara Inggris, Gagal
Ginjal Terminal pada anak dalam tahun 1997- 1999 penderita Gagal Ginjal Terminal per tahun pada anak
berumur kurang dari 18 tahun adalah 7.4 persejuta populasi pada umur yang sama, dimana anak laki-laki
lebih banyak dibandingkan dengan anak perempuan, dengan perbandingan laki-laki : perempuan adalah
1.76:1.
Di Jepang, Hattori (2002) melaporkan pada tahun 1998, prevalensi Gagal Ginjal Terminal pada anak-
anak yang berusia antara 0-19 tahun sebanyak 22 per sejuta populasi dari umur yang sama. Anak-anak
yang berusia lebih tua mempunyai prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan adik-adiknya. Penyebab
utama terjadinya Gagal Ginjal Terminal di Jepang adalah hipoplasia/displasia ginjal dan
glomerulosklerosis fokal segmental. Insiden pasien baru Gagal Ginjal Terminal adalah 4 per sejuta
populasi dari umur yang sama pada tahun 1998.
Angka kejadian GGK pada anak di Indonesia yang bersifat nasional belum ada. Pada penelitian di 7
rumah sakit Pendidikan Dokter Spesialis Anak di Indonesia didapatkan 2% dari 2889 anak yang dirawat
dengan penyakit ginjal (tahun 1984-1988) menderita GGK. Di RSCM Jakarta antara tahun 1991-1995
ditemukan GGK sebesar 4.9% dari 668 anak penderita penyakit ginjal yang dirawat inap, dan 2.6% dari
865 penderita penyakit ginjal yang berobat jalan. GGK pada anak umumnya disebabkan oleh karena
penyakit ginjal menahun atau penyakit ginjal kongenital. Angka kejadian di Rumah Sakit Umum Daerah
Dr. Soetomo Surabaya selama 5 tahun (1988-1992) adalah 0,07% dari seluruh penderita rawat tinggal di
bangsal anak dibandingkan di RSCM Jakarta dalam periode 5 tahun (1984-1988) sebesar 0,17%.
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 2
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
II. 1. Anatomi Ginjal
Ginjal merupakan organ ganda yang terletak di daerah abdomen, retroperitoneal antara vertebra
lumbal 1 dan 4. Pada neonatus kadang-kadang dapat diraba. Seluruh traktus urinarius yaitu ginjal,
ureter dan kandung kemih terletak di daerah retroperitoneal. Pada janin permukaannya berlobulasi
yang kemudian menjadi rata pada masa bayi.
Ginjal terdiri dari korteks dan medula. Tiap ginjal terdiri atas 8-12 lobus yang berbentuk
piramid. Dasar piramid terletak di korteks dan puncaknya yang disebut papila bermuara di kaliks
minor. Pada daerah korteks terdapat glomerulus, tubulus kontortus proksimal dan distal. Daerah
medula penuh dengan percabangan pembuluh darah arteri dan vena renalis, ansa Henle dan duktus
koligens. Satuan kerja terkecil dari ginjal disebut nefron. Tiap ginjal mempunyai kira-kira 1 juta
nefron. Nefron terdiri atas glomerulus, kapsula Bowman, tubulus kontortus proksimal, ansa Henle dan
tubulus kontortus distal. Ujung dari nefron yaitu tubulus kontortus distal bermuara ada di duktus
koligens.
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 3
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
Nefron yang terletak di daerah korteks disebut nefron kortikal, sedangkan yang terletak di perbatasan
dengan medula disebut nefron juksta medular. Nefron juksta medular mempunyai ansa Henle yang lebih
panjang yang berguna terutama pada eksresi air dan garam. Sebagian dari tubulus distal akan
bersinggungan dengan arteriol aferen dan eferen pada tempat masuknya kapsula Bowman. Pada tempat
ini sel tubulus distal menjadi lebih rapat dan intinya lebih tegas disebut makula densa. Juga dinding
arteriol aferen yang bersinggungan mengalami perubahan dan mengandung granula yang disebut renin.
Daerah ini yang merupakan segitiga dengan batas-batas pembuluh aferen, eferen dan makula densa
disebut aparat juksta glomerular.
II.2. FISIOLOGI DASAR GINJAL
Fungsi ginjal terutama untuk membersihkan plasma darah dari zat-zat yang tidak diperlukan tubuh
terutama hasil-hasil metabolisme protein. Proses ini dilakukan dengan beberapa mekanisme, yaitu :
1. filtrasi plasma di glomerulus
2. reabsorpsi terhadap zat-zat yang masih diperlukan tubuh di tubulus
3. sekresi zat-zat tertentu di tubulus
Jadi urin yang terbentuk sebagai hasil akhir adalah resultat dari filtrasi - sekresi - reabsorpsi.
Fungsi ginjal secara keseluruhan dapat dibagi dalam 2 golongan yaitu :
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 4
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
I. Fungsi ekskresi
1. Ekskresi sisa metabolisme protein
Sisa metabolisme lemak dan karbohidrat yaitu CO2 dan H2O dikeluarkan melalui paru dan
kulit. Sisa metabolisme protein yaitu ureum, kalium, fosfat, sulfat anorganik dan asam urat
dilekuarkan melalui ginjal. Jadi bila terjadi kerusakan ginjal, akan terjadi penimbunan zat-
zat hasil metabolisme tersebut dengan akibat terjadi azotemia,hiperkalemia, hiperfosfatemia,
hiperurisemia dan lain-lain dengan segala macam akibatnya.
2. Regulasi volume cairan tubuh
Bila tubuh kelebihan cairan maka terdapat rangsangan melalui a. karotis interna ke
osmoreseptor di hipotalamus anterior. Rangsangan tersebut diteruskan ke kelenjar hipofisis
posterior sehingga produksi hormon anti-diuretik (ADH) dikurangi dan akibatnya diuresis
menjadi banyak. Sebaliknya bila tubuh kekurangan air (dehidrasi), maka produksi ADH
akan bertambah sehingga produksi urin berkurang karena penyerapan air di tubulus distal
dan duktus koligens bertambah. Ginjal melakukan konservasi cairan dengan mekanisme
counter current.
3. Menjaga keseimbangan asam-basa
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 5
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
Keseimbangan asam dan basa tubuh diatur oleh paru dan ginjal. Sesuai dengan rumus
Henderson Hasselbach :
pH = 6,1 (konstan) + log NaHCO3 (ginjal)
H2CO3 (paru)
II. Fungsi endokrin
1. Partisipasi dalam eritropoesis
Pembentukan sel darah merah diperlukan zat erotropoetin. Eritropoetin, merangsang
produksi sel darah merah oleh sumsum tulang. Eritropoetin dirubah dari proeritropoetin
yang mungkin dibuat dalam hati oleh zat yang diproduksi ginjal yang disebut faktor
eritropoetik ginjal (kidney erythropoetic factor).
2. Pengaturan tekanan darah
Bila terjadi iskemia ginjal misalnya oleh stenosis arteri renalis, maka granula rennin akan
dilepaskan dari aparat jukstaglomerular. Renin akan merubah angiotensinogen di dalam
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 6
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
darah menjadi angiotensin I. Kemudian angiotensin I dirubah lagi menjadi angiotensin II
oleh enzim konvertase di paru. Angiotensin II mempunyai 2 efek, yaitu pertama
mengakibatkan vasokonstriksi pembuluh darah perifer dan kedua merangsang korteks
kelenjar adrenal untuk memproduksi aldosteron. Aldosteron bersifat meretensi air dan
natrium sehingga akibatnya volume darah bertambah. Kombinasi kedua efek tersebut akan
mengakibatkan hipertensi.
3. Keseimbangan kalsium dan fosfor
Ginjal mempunyai peranan pada metabolisme vitamin D. Vitamin D atau kolekalsiferol
dirubah di hati menjadi 25 (OH)-kolekalsiferol (D3). Kemudian baru setelah dirubah kedua
kalinya yaitu di ginjal menjadi 1,25 (OH)2 D3 ia menjadi metabolit aktif dan dapat
menyerap kalsium di usus. Bila terjadi kerusakan ginjal misal pada GGK, maka hanya
sedikit dibentuk 1,25 (OH)2 D3 sehingga terjadi hipokalsemia. Hal ini diperberat lagi
dengan adanya retensi fosfor yang mempunyai perbandingan terbalik dengan kalsium darah.
Hipokalsemia akan merangsang kelenjar paratiroid untuk memproduksi parathormon (PTH)
dengan maksud untuk meninggikan kadar kalsium darah.
BAB IIIKepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 7
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
GAGAL GINJAL KRONIK
III.1 DEFINISI
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu keadaan menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG) yang
bersifat tidak reversibel dan terbagi dalam 4 stadium sesuai dengan jumlah nefron yang masih berfungsi.
Pada anak-anak GGK dapat disebabkan oleh berbagai hal, terutama karena kelainan kongenital,
glomerulonefritis, penyakit multisistem, dan lain-lain.
Gagal ginjal kronik adalah apabila laju filtrasi glomerulus kurang dari 50 ml/menit/1.73m2 luas
permukaan tubuh, oleh karena dibawah kadar fungsi ginjal tersebut gangguan asidosis metabolik dan
hiperparatiroidisme sekunder telah tampak nyata, pertumbuhan mulai terganggu, dan progresivitas
penurunan fungsi ginjal akan terus berlanjut.
III.2 KLASIFIKASI
Dalam arti luas GGK menunjukkan bahwa pada anak tersebut telah terjadi penurunan fungsi ginjal,
tetapi beratnya gangguan fungsi ini bervariasi dari ringan sampai berat. Kebanyakan penulis membuat
klasifikasi berdasarkan presentase laju filtrasi glomerulus (LFG) yang tersisa. GGK dibagi atas 4
tingkatan yaitu :
1. Gagal ginjal dini
Ditandai dengan berkurangnya sejumlah nefron sehingga fungsi ginjal yang ada sekitar 50-80% dari
normal. Dengan adanya adaptasi ginjal dan respon metabolik untuk mengkompensasi penurunan faal
ginjal maka tidak tampak gangguan klinis.
2. Insufisiensi ginjal kronik
Pada tingkat ini fungsi ginjal berkisar antara 25-50% dari normal. Gejala mulai dengan adanya
gangguan elektrolit, gangguan pertumbuhan dan keseimbangan kalsium dan fosfor. Pada tingkat ini
LFG berada di bawah 89 ml/menit/1,73m2.
3. Gagal ginjal kronik
Pada tingkat ini fungsi ginjal berkurang hingga 25% dari normal dan telah menimbulkan berbagai
gangguan seperti asidosis metabolik, osteodistrofi ginjal, anemia, hipertensi, dan sebagainya. LFG
pada tingkat ini telah berkurang menjadi di bawah 30 ml/menit/1,73m2.
4. Gagal ginjal terminal
Pada tingkat ini fungsi ginjal 12% dari normal, LFG menurun sampai < 10 ml/menit/1,73m2 dan
pasien telah memerlukan terapi dialisis atau transplantasi ginjal.
Klasifikasi lain GGK berdasarkan LFG, yaitu:
1. Gangguan fungsi ginjal (Impaired renal functions):
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 8
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
LFG = 80-50 ml/menit/1,73m2. Pada tingkat ini biasanya pasien masih asimptomatik.
2. Insufisiensi ginjal kronik
LFG = 50-30 ml/menit/1,73m2. Pada tingkat ini sudah bisa ditemukan gejala:
Gangguan metabolik a.l. Hiperparatiroid sekunder, asidosis metabolik ringan
Hambatan pertumbuhan dan
Fungsi ginjal akan progresif menurun.
3. Gagal ginjal kronik
LFG = 30-10 ml/menit/1,73m2. Pada tingkat ini penurunan fungsi ginjal akan terus berlanjut.
4. Gagal ginjal terminal
LFG = < 10 ml/menit/1,73m2. Pada tingkat ini perlu dilakukan terapi pengganti yaitu dialisis
peritoneal/hemodialisis atau transplantasi. Tingkat ini juga disebut gagal ginjal tahap akhir (End
stage renal failure).
Fase sebelum GGT disebut pra GGT (Pre terminal renal failure). Pada fase ini perlu dilakukan
pengobatan konservatif secara berhati-hati untuk menjaga pertumbuhan anak secara optimal dan
memperlambat penurunan fungsi ginjal selama mungkin. Banyak diantaranya bisa mencapai umur
dewasa. Sebaiknya penanggulangan dilakukan oleh atau bersama dengan konsultan nefrologi anak.
III.3 ETIOLOGI
Dua penyebab utama GGK pada anak adalah kelainan kongenital dan glomerulonefritis kronik.
Etiologi yang paling sering didapatkan pada anak di bawah 6 tahun adalah kelainan kongenital, kelainan
perkembangan saluran kencing seperti uropati obstruktif, hipoplasia dan displasia ginjal, dan ginjal
polikistik. (lihat tabel). Menurut laporan EDTA, glomerulonefritis dan pielonefritis merupakan penyebab
tersering timbulnya GGK (24%), diikuti oleh penyakit herediter (15%), penyakit sistemik (10,5%),
hipoplasia ginjal (7,5%), penyakit vaskular (3%), penyakit lainnya (9%) serta yang tidak diketahui
etiologinya 7%. Dari kelompok pielonefritis dan nefritis interstitial yang tersering adalah uropati
obstruktif kongenital dan nefropati refluks (>60%), diikuti oleh displasia ginjal.
Tabel 1. Etiologi GGK Pada Anak
Kelompok Penyakit Habib Potter Zilleruelo Pistor
Kelainan kongenital termasuk uropati obstruktif
116 (43.0)
45 (29,2) 46 (56,8) 209 (33,5)
Glomerulonefritis kronis primer dan sekunder termasuk sekunder akibat kelainan sistemik
71 (26,3)
59 (38,4) 22 (27,1) 122 (19,6)
Nefritis interstitial dan pielonefritis yang tidak berhubungan dengan uropati obstruktif
-- 12 (7,8) -- 74 (11,9)
Kelainan herediter 61 20 (13,0) 2 (2,5) 119
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 9
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
(22,5) (19,1)
Nefropati vaskular termasuk sindrom hemolitik uremik
11 (4,1) 9 (5,8) 5 (6,2) 27 (4,3)
Lain-lain 11 (4,1) 9 (5,8) 6 (7,4) 72 (11,6)
Secara praktis penyebab GGK dapat dibagi menjadi kelainan kongenital, kelainan didapat, dan
kelainan herediter:
1. Kelainan kongenital: hipoplasia renal, displasia renal, uropati obstruktif
2. Kelainan herediter: nefronoftisis juvenil, nefritis herediter, sindrom alport
3. Kelainan didapat: glomerulosklerosis fokal segmental, glomerulopati membranosa, kelainan
metabolit (oksalosis, sistinosis)
Penyebab GGK pada anak sangat erat hubungannya dengan usia saat timbul GGK. Gagal ginjal
kronik yang timbul pada anak di bawah usia 5 tahun sering ada hubungannya dengan kelainan anatomis
ginjal seperti hipoplasia, displasia, obstruksi dan kelainan malformasi ginjal. Sedangkan GGK yang
timbul pada anak diatas 5 tahun dapat disebabkan oleh penyakit glomerular (glomerulonefritis, sindrom
hemolitik ureumik) dan kelainan herediter (sindrom Alport, kelainan ginjal kistik).
III.4 PATOFISIOLOGI
Tanpa memandang penyebab kerusakan ginjal, bila tingkat kemunduran fungsi ginjal mencapai
kritis, perburukan sampai gagal ginjal stadium akhir tidak dapat dihindari. Mekanisme yang tepat, yang
mengakibatkan kemunduran fungsi secara progresif belum jelas, tetapi faktor-faktor yang dapat
memainkan peran penting mencakup cedera imunologi yang terus-menerus; hiperfiltrasi yang ditengahi
secara hemodinamik dalam mempertahankan kehidupan glomerulus; masukan diet protein dan fosfor;
proteinuria yang terus-menerus; dan hipertensi sistemik. Endapan kompleks imun atau antibodi anti-
membrana basalis glomerulus secara terus-menerus pada glomerulus dapat mengakibatkan radang
glomerulus yang akhirnya menimbulkan jaringan parut.
Cedera hiperfiltrasi dapat merupakan akhir jalur umum yang penting pada destruksi glomerulus
akhir, tidak tergantung mekanisme yang memulai cedera ginjal. Bila nefron hilang karena alasan apapun,
nefron sisanya mengalami hipertroti struktural dan fungsional yang ditengahi, setidak-tidaknya sebagian,
oleh peningkatan aliran darah glomerulus. Peningkatan aliran darah sehubungan dengan dilatasi arteriola
aferen dan konstriksi arteriola eferen akibat-angiotensin II menaikkan daya dorong filtrasi glomerulus
pada nefron yang bertahan hidup. "Hiperfiltrasi" yang bermanfaat pada glomerulus yang masih hidup ini,
yang berperan memelihara fungsi ginjal, dapat juga merusak glomerulus dan mekanismenya belum
dipahami. Mekanisme yang berpotensi menimbulkan kerusakan adalah pengaruh langsung peningkatan
tekanan hidrostatik pada integritas dinding kapiler, hasilnya mengakibatkan keluarnya protein melewati
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 10
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
dinding kapiler, atau keduanya. Akhirnya, kelainan ini menyebabkan perubahan pada sel mesangium dan
epitel dengan perkembangan sklerosis glomerulus. Ketika sklerosis meningkat, nefron sisanya menderita
peningkatan beban ekskresi, mengakibatkan lingkaran setan peningkatan aliran darah glomerulus dan
hiperfiltrasi. Penghambatan enzim pengubah angiotensin mengurangi hiperfiltrasi dengan jalan
menghambat produksi angiotensin II, dengan demikian melebarkan arteriola eferen, dan dapat
memperlambat penjelekan gagal ginjal.
Model eksperimen insufisiensi ginjal kronis telah menunjukkan bahwa diet tinggi-protein
mempercepat perkembangan gagal ginjal, mungkin dengan cara dilatasi arteriola aferen dan cedera
hiperperfusi. Sebaliknya, diet rendah-protein mengurangi kecepatan kemunduran fungsi. Penelitian
manusia memperkuat bahwa pada individu normal, laju filtrasi glomerulus (LFG) berkorelasi secara
langsung dengan masukan protein dan menunjukkan bahwa pembatasan diet protein dapat mengurangi
kecepatan kemunduran fungsi pada insufisiensi ginjal kronis.
Beberapa penelitian yang kontroversial pada model binatang menunjukkan bahwa pembatasan diet
fosfor melindungi fungsi ginjal pada insufisiensi ginjal kronis. Apakah pengaruh yang menguntungkan
ini karena pencegahan penimbunan garam kalsium-fosfat dalam pembuluh darah dan jaringan atau
karena penekanan sekresi hormon paratiroid, yang berkemungkinan nefrotoksin, masih belum jelas.
Proteinuria menetap atau hipertensi sistemik karena sebab apapun dapat merusak dinding kapiler
glomerulus secara langsung, mengakibatkan sklerosis glomerulus dan permulaan cedera hiperfiltrasi.
Ketika fungsi ginjal mulai mundur, mekanisme kompensatoir berkembang pada nefron sisanya dan
mempertahankan lingkungan internal yang normal. Namun, ketika LFG turun di bawah 20% normal,
kumpulan kompleks kelainan klinis, biokimia, dan metabolik berkembang sehingga secara bersamasaan
membentuk keadaan uremia.
III.5 GEJALA DAN TANDA
Gejala klinis yang timbul pada GGK merupakan manifestasi dari:
1. Kegagalan tubuh dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Penumpukan metabolit toksik yang disebut toksin uremik.
3. Kurangnya hormon ginjal seperti eritropoietin dan bentuk aktif vitamin D (1,25 dihidroksivitamin
D3).
4. Abnormalitas respons end organ terhadap hormon endogen (hormon pertumbuhan).
Pada pasien GGK yang disebabkan penyakit glomerulus atau kelainan herediter, gejala klinis dari
penyebab awalnya dapat kita ketahui sedangkan gejala GGK-nya sendiri tersembunyi dan hanya
menunjukkan keluhan non-spesifik seperti sakit kepala, lelah, letargi, kurang nafsu makan, muntah,
polidipsia, poliuria, gangguan pertumbuhan. Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan anak tampak
pucat, lemah, dan menderita hipertensi. Keadaan ini dapat berlangsung bertahun-tahun, sehingga pasien
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 11
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
telah menderita gangguan anatomis berupa gangguan pertumbuhan dan ricketsia. Namun dengan
pemeriksaan yang teliti dan cermat akan ditemukan keadaan-keadaan seperti azotemia, asidosis,
hiperkalemia, gangguan pertumbuhan, osteodistrofi ginjal, anemia, gangguan perdarahan, hipertensi,
gangguan neurologi.
1. Gangguan keseimbangan elektrolit
Natrium
Dengan berkurangnya LFG yang progresif pada pasien GGK, ginjal akan mempertahankan
keseimbangan natrium dengan meningkatkan ekskresi natrium oleh nefron yang masih baik. Bila
adaptasi ini tidak terjadi, akan timbul retensi natrium yang akan membahayakan tubuh.
Meningkatnya ekskresi natrium ini disebabkan karena meningkatnya rejeksi tubular dengan akibat
meningkatnya fraksi ekskresi natrium (FeNa). Faktor-faktor yang dapat meningkatkan FeNa pada
pasien GGK belum jelas diketahui. Suda, dkk dalam penelitiannya pada pasien GGK (LFG antara
11-66 ml/menit/1,73m2 melaporkan kemungkinan peningkatan FeNa disebabkan pembentukan faktor
natriuretik atrial. Tetapi penderita GGK ini tidak dapat mengeliminasi beban natrium ini dengan
cepat, yaitu pada pasien GGK dengan LFG subnormal (LFG rata-rata 34ml/menit/1,73m2) hanya
mampu mengekskresi setengah dari jumlah natrium dalam waktu 2 jam setelah diberi infus NaCl,
dibanding orang normal. Hal ini menunjukkan toleransi pasien GGK terhadap peningkatan masukan
natrium yang tiba-tiba adalah buruk dan dapat menimbulkan perubahan volume ekstraseluler dengan
segala akibatnya.
Sebaliknya pasien GGK tidak mampu menurunkan ekskresi natrium pada saat diberikan diet
dengan restriksi natrium. Konsentrasi minimum natrium urin pada pasien GGK ringan sampai
sedang adalah 25-50 mEq/L. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan nefron distal
meningkatkan reabsorbsi natrium. Bila diberikan restriksi garam secara tiba-tiba pada pasien GGK
akan menimbulkan penurunan volume cairan ekstraseluler, perfusi ginjal dan LFG. Pasien Ggk
karena penyakit ginjal interstitial, displasia ginjal, dan penyakit ginjal kistik adalah yang paling
sering menyebabkan salt wasting ini. Tubulus ginjal pasien GGK karena nefropati obstruktif
ditemukan kurang responsif terhadap aldosteron endogen (pseudohipoaldosteronisme).
Kalium
Keseimbangan kalium relatif dapat dipertahankan pada LFG di atas 10 ml/menit/1,73m 2.
Homeostasis kalium pada pasien GGK dipertahankan dengan meningkatkan ekskresi renal dan
ekstrarenal. Ekskresi renal dicapai dengan meningkatkan ekskresi fraksional (oleh proses sekresi
tubulus ginjal) pada nefron yang masih berfungsi. Sedangkan ekskresi ekstrarenal terutama melalui
feses yaitu sebanyak 75% (pada orang normal 20%). Walaupun demikian keadaan hiperkalemia
tetap merupakan ancaman bagi pasien GGK, karena mungkin saja mereka mendapat kalium dalam
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 12
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
jumlah besar tiba-tiba misalnya dari makanan, transfusi darah, keadaan sepsis, ataupun asidosis.
Pada pasien GGK selain hiperkalemia dapat terjadi hipokalemia. Keadaan hipokalemia
biasanya terjadi akibat pemakaian diuretik seperti hidroklortiazid, furosemid atau bisa juga akibat
pemberian diet rendah kalium. Gejalanya adalah penurunan atau hilangnya refleks otot yang akan
sangat berbahaya bila mengenai otot-otot interkostal karena dapat menyebabkan henti napas
(respiratory arrest).
Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik biasanya ditemukan pada pasien GGK dengan LFG <25% dari normal,
ditandai dengan penurunan kadar bikarbonat plasma (tCO2 12-15 mEq/L) dan peningkatan senjang
anion. Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan pengeluaran ion hidrogen atau asam
endogen yang dibentuk karena insufisiensi sintesis amonium pada segmen nefron distal.
Meningkatnya senjang anion terjadi akibat retensi anion seperti sulfat, fosfat, urat, dan hipurat dalam
plasma (pada ginjal normal anion ini diekskresi oleh filtrasi glomerulus). Juga ada bukti yang
menunjukkan bahwa kebocoran bikarbonat ginjal berperan dalam menimbulkan asidosis ini, seperti
pada sindrom Fanconi, asidosis tubular ginjal tipe IV, dan hiperparatiroidisme sekunder.
Asidosis pada GGK dini (LFG 30-50% normal) lebih sering berupa tipe dengan senjang
anion normal (hiperkloremik) dan sebaliknya pada GGK yang berat (LFG <20ml/menit/1,73m2)
biasanya berupa senjang anion yang besar. Selain terlibat dalam patogenesis terjadinya gangguan
pertumbuhan dan memperburuk hiperkalemia yang telah ada, asidosis juga menimbulkan keadaan
katabolik pada pasien GGK. Manifestasi klinis asidosis adalah takipneu, hiperapneu, dan perburukan
hiperkalemia dan mungkin gangguan pertumbuhan.
2. Gangguan keseimbangan cairan
GGK dihubungkan dengan gangguan dalam pemeketan urin. Pada keadaan restriksi cairan,
orang normal mampu memekatkan urin sampai 1.500 mosmol/L, sedangkan pasien GGK biasanya
tidak mampu memekatkan urin di atas 300 mosmol/L. Berat jenis dan osmolalitas urin seringkali
mirip dengan plasma. Hal ini disebabkan karena dengan bertambahnya nefron yang rusak, beban
osmotik ekskresi yang ditanggung oleh nefron yang tersisa semakin bertambah. Dengan demikian
mengakibatkan reabsorbsi air oleh tubulus berkurang dan menyebabkan berat jenis urin mirip
dengan plasma (300 mosmol/L dan berat jenis 1,010, disebut isostenuria). Isostenuria yang resisten
terhadap pemberian pitresin dari luar pada GGK, menunjukkan adanya gangguan terhadap respons
tubulus terhadap ADH yang juga berperan dalam terjadinya isostenuria. Hal di atas sering terjadi
pada GGK yang disebabkan oleh uropati obstruktif, displasia ginjal, penyakit ginjal kistik dan
interstitial. Pasien ini sering mengalami dehidrasi bila masukan cairan tidak mencukupi atau
dibatasi. Dehidrasi yang berulang dan syok akan memperburuk LFG. Anak yang demikian
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 13
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
dianjurkan untuk tidak dibatasi masukan cairannya dan segera mencari pertolongan bila terserang
gastroentritis. Pasien juga tidak dapat mengencerkan urin secara maksimal dan tidak dapat
membuang kelebihan cairan tubuh secara tepat dan efektif sehingga dapat timbul masalah kelebihan
cairan.
3. Gangguan metabolisme
Metabolisme karbohidrat
Pasien GGK dapat disertai timbulnya intoleransi glukosa akan menunjukkan adanya
hiperglikemia. Keadaaan ini sebagai akibat terjadinya resistensi terhadap insulin yang menghambat
masuknya glukosa ke dalam sel. Pada anak yang menderita GGK kadar insulin plasma meningkat
hingga harus dilakukan pemantauan kadar glukosa, karena dalam keadaan akut pasien GGK
memerlukan pemberian glukosa parenteral. Karena dialisis dapat memperbaiki intoleransi glukosa
pada pasien GGK, maka diduga toksin uremik yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin ini.
Faktor lainnya seperti peninggian kadar glukagon dan hormon pertumbuhan juga berperan.
Metabolisme lemak
Biasanya timbul hiperlipidemia yang bermanifestasi sebagai hipertrigliserida, kadar
kolesterol darah normal, peninggian VLDL (very low density lipoprotein) dan penurunan LDL (low
density lipoprotein). Hal ini terjadi karena meningkatnya produksi trigliserida di hepar akibat
hiperinsulinemia dan menurunnya fungsi ginjal serta karena menurunnya katabolisme trigliserida.
Keadaan ini biasanya terjadi bila LFG <40ml/menit/1,73m2 dan meningkatnya lemak ini sesuai
dengan bertambahnya progresivitas GGK. Lebih dari 2/3 anak akan mengalami hiperlipidemia pada
saat gagal ginjal terminal. Walaupun demikian penyebab peningkatan produksi trigliserida dan
VLDL ini belum diketahui. Akhir-akhir ini diduga gangguan terjadi pada catabolic pathway
trigliserida. Hal ini didukung oleh seringnya terjadi penurunan klirens trigliserida pada pasien uremia
yang mendapatkan trigliserida (intralipid) dari luar. Mungkin ini disebabkan oleh menurunnya
aktivitas lipoprotein lipase dan lipase hati. Dialisis ternyata tidak memperbaiki keadaan
hiperlipidemia pada pasien GGK, mungkin karena tidak memadainya pembuangan toksin uremik
yang diduga berperan atau karena faktor lainnya.
4. Anemia
Anemia normositer, normokromik merupakan komplikasi GGK yang biasa ditemukan dan
berhubungan dengan derajat GGK. Penyebab utama anemia pada GGK adalah berkurangnya
produksi eritropoietin, suatu hormon glikoprotein yang diproduksi ginjal (90%) dan sisanya
diproduksi di luar ginjal (hati dan sebagainya). Kadar eritropoietin serum nyata menurun pada
pasien GGK berat, tetapi korelasi ini tidak jelas pada LFG >20ml/menit/1,73m2. Anemia pada pasien
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 14
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
dapat dikoreksi dengan pemberian eritropoietin rekombinan dan responsnya tergantung dari dosis
yang diberikan. Dengan terapi ini terlihat perbaikan pada toleransi latihan, fungsi kognitif dan
kualitas hidup keseluruhan. Mekanisme lain terjadinya anemia pada GGK adalah pemendekan umur
eritrosit menjadi 2/3 umur normal, toksisitas aluminium karena pemakaian obat-obat pengikat fosfat
yang mengandung aluminium, iatrogenik karena kehilangan darah sewaktu dialisis dan pengambilan
contoh darah, serta terjadinya defisiensi asam folat pada pasien yang sedang menjalani dialisis.
Anemia yang terjadi karena toksisitas aluminium mempunyai gambaran mikrositik, hipokromik
yang mirip dengan defisiensi zat besi, tetapi kemampuan mengikat besi dan kadar feritin serumnya
normal.
5. Gangguan perdarahan
GGK yang berat biasanya akan diperberat dengan adanya gangguan perdarahan yang
menyertai. Walaupun jumlah trombosit normal, tetapi waktu perdarahan sering memanjang. Hal ini
diduga disebabkan oleh adanya gangguan pada agregasi trombosit dan berkurangnya respons
terhadap ADP (adenosin difosfat) eksogen, kolagen, dan epinefrin. Jumlah platelet factor 3 dan
retraksi bekuan juga menurun pada GGK yang tidak menjalani dialisis, diduga karena adanya
peranan “dialyzable factor” sebagai penyebab. Faktor lain yang diduga berperan dalam
menyebabkan gangguan perdarahan adalah gangguan pada faktor VIII (dapat diperbaiki dengan
kriopresipitat dan desmopresin), gangguan metabolisme (prostaglandin inhibitor-2) PGI2 dan
aspirin.
6. Gangguan fungsi kardiovaskular
Hipertensi
Terjadinya hipertensi pada pasien GGK disebabkan karena tingginya kadar renin akibat
ginjal yang rusak. Tetapi bila LFG menurun dan jumlah urin berkurang, hipertensi terjadi akibat
kelebihan cairan. Keadaan ini akan menimbulkan keluhan sakit kepala, badan lemah, gagal jantung
bendungan, kejang; sedangkan hipertensi persisten mungkin terjadi akibat berkurangnya LFG. Pada
pasien hipertensi persisten yang tanpa keluhan harus dievaluasi secara terus menerus untuk mencari
adanya kerusakan organ target. Pemeriksaan oftamologi perlu selalu dilakukan pada pasien
hipertensi persisten, selain itu pemeriksaan EKG perlu dilakukan untuk mencari adanya hipertrofi
jantung kiri.
Pada penyakit GGK yang progresif, timbulnya hipertensi dapat merupakan akibat langsung
dari penyakit ginjalnya. Pada setiap keadaan hipertensi, kita harus meneliti semua faktor yang dapat
menimbulkan peninggian tekanan darah seperti faktor kardiovaskular, peningkatan tahanan
pembuluh darah perifer, faktor neurogen, faktor hormonal, dan faktor renovaskular.
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 15
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
7. Gangguan jantung
Perikarditis
Perikarditis merupakan komplikasi yang sering terjadi pada GGK, terutama timbul pada
pasien dengan uremia berat yang tidak dilakukan dialisis. Eksudat pada perikarditis uremik biasanya
sedikit dan bersifat fibrinosa atau serofibrinosa. Kadang pada pasien yang mendapat dialisis yang
adekuat juga timbul perikarditis dan efusi yang hemoragis. Pasien yang mendapat terapi dialisis
peritoneal dilaporkan lebih jarang menderita perikarditis. Patogenesis perikarditis ini masih belum
diketahui dengan pasti. Walaupun toksin uremik yang tinggi pada keadaan dialisis sering dijadikan
kambing hitam, tetapi ada dugaan bahwa kelebihan cairan berperan dalam menimbulkan perikarditis.
Walaupun pasien perikarditis uremik sering mengalami infeksi terutama oleh virus, tetapi pada
cairan perikardial sulit ditemukan penyebab infeksi, sedangkan cairan perikardial yang hemoragis
sering dihubungkan dengan pemakaian antikoagulan pada dialisis.
Manifestasi klinis perikarditis uremik dapat berupa nyeri dada, demam, dan efusi perikardial.
Setelah penumpukan cairan perikardial cukup banyak, pericardial rub akan menghilang, dan bunyi
jantung menjadi redup. Juga dapat terjadi tamponade jantung, terutama pada efusi perikardial yang
hemoragis. Perikarditis dan efusi perikardial uremik yang lama.
Fungsi miokard dan respons terhadap latihan
Pada pasien GGK toleransi terhadap latihan rendah. Kapasitas kerja aerobik pada pasien
GGK dan GGT yang menjalani hemodialisis kronik dilaporkan menurun sesuai dengan penurunan
konsentrasi Hb. Toleransi terhadap latihan dilaporkan membaik, bila anemia yang terjadi dikoreksi
dengan eritropoietin rekombinan. Kardiomiopati uremik sering menimbulkan gangguan fungsi
jantung berupa gagal jantung kongestif yang biasanya ditemukan pada GGK yang berat dan GGT.
Kardiomiopati uremik ini disebabkan oleh kelebihan cairan, anemia, hipertensi, dan mungkin toksin
uremik.
Pada kebanyakan pasien GGK yang dilakukan dialisis, kelebihan cairan ini dapat diatasi
dengan dialisis sehingga fungsi jantung dapat diperbaiki; tetapi hal ini tidak terjadi pada beberapa
pasien; diduga penyebabnya toksin uremik. Pada pasien GGK dapat ditemukan hipertrofi ventrikel
kiri dan penebalan septum interventrikular.
8. Gangguan neurologis
Neuropati perifer
Komplikasi berupa neuropati motorik dan sensorik yang mengenai segmen distal (neuropati
perifer) jarang ditemukan pada anak. Penelitian terdahulu mendapatkan adanya penurunan
elektrofisiologis saraf perifer pada anak yang menderita GGK. Gejalanya dapat berupa parestesia
telapak tangan dan atau kaki, adanya rasa nyeri, mati rasa pada bagian distal dan refleks tendon
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 16
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
merupakan manifestasi neuropati perifer uremik. Pada pemeriksaan dapat ditemukan menurunnya
kecepatan konduksi saraf perifer. Pemeriksaan konduksi saraf pada pasien GGK sebaiknya
dilakukan secara serial untuk mendeteksi adanya gangguan saraf sedini mungkin. Kedaaan ini sering
terjadi pada keadaan uremia berat dan dengan tindakan dialisis memberikan hasil yang bervariasi,
sedangkan transplantasi ginjal memberikan hasil yang baik.
Ensefalopati hipertensif
Peninggian tekanan darah yang hebat dan tiba-tiba dapat menyebabkan nekrosis arteri
intrakranial dan edema serebri dengan gejala sakit kepala, penurunan kesadaran dan kejang. Krisis
hipertensi sering terjadi pada GGT. Tindakan penurunan tekanan darah yang dilakukan segera tidak
akan meninggalkan gejala sisa yang berat, tetapi bila telah terjadi perdarahan intraserebral dan
intraventrikular dapat menimbulkan gejala sisa yang berat dan bahkan kematian.
Retardasi mental
Diperkirakan terjadi peningkatan kejadian retardasi mental dengan meningkatnya gangguan
fungsi ginjal pada bayi dan anak kecil yang menderita GGK pada tahun pertama kehidupan. Hal ini
diduga akibat pengaruh ureum terhadap perkembangan otak dan banyaknya alumunium dalam
makanan bayi. Terjadinya disfungsi otak diduga sebagai akibat keracunan aluminium, karena suatu
penelitian menunjukkan kejadian retardasi mental dan disfungsi otak menurun pada bayi yang
mendapat calcium binding agents yaitu kalsium karbonat sebagai pengganti aluminium containing,
fosfat binding agent.
9. Osteodistrofi ginjal
Penimbunan asam fosfat mengakibatkan terjadi hiperfosfatemia dan menyebabkan kadar ion
kalsium serum menurun. Keadaaan ini merangsang kelenjar paratiroid untuk mengeluarkan hormon
lebih banyak agar ekskresi fosfor meningkat dan kadar fosfat kembali normal. Jadi osteodistrofi
ginjal adalah kelainan tulang pada GGK sebagai akibat gangguan absorpsi kalsium, hiperfungsi
paratiroid, dan gangguan pembentukan vitamin D aktif.
Gejala klinis osteodistrofi ginjal antara lain gangguan pertumbuhan, gangguan bentuk tulang,
fraktur spontan dan nyeri tulang. Apabila disertai gejala rakitis yang jelas akan timbul hipotonia
umum, lemah otot, dan nyeri otot. Pada pemeriksaan radiologi dan histologi ditemukan gambaran
tulang yang abnormal dengan ciri khas seperti osteomalasia dan osteofibrosis. Pemeriksaan yang
paling sederhana untuk melihat gambaran osteodistrofi ginjal adalah ujung-ujung tulang panjang
yaitu foto falangs, sendi lutut, dan sendi siku.
10. Gangguan pertumbuhan
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 17
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
Terjadinya gangguan pertumbuhan pada pasien GGK dapat disebabkan oleh banyak faktor.
Kemungkinan faktor yang paling penting adalah umur waktu timbulnya GGK, karena yang paling
sering mempengaruhi pertumbuhan adalah penyakit ginjal kongenital. Hal-hal yang diduga ada
hubungannya dengan gangguan fungsi ginjal usia dini, asidosis, osteodistrofi ginjal, dan gangguan
hormonal.
Keadaan asidosis dapat mengganggu pertumbuhan anak pasien GGK. Terjadinya
osteodistrofi ginjal dan menurunnya nafsu makan pada pasien GGK akan menyebabkan masukan
makanan dan energi tidak adekuat sehingga mengganggu pertumbuhan. Adanya gangguan sekresi
hormon tumbuh dan insulin like growth factors pada pasien GGK akan mempengaruhi pertumbuhan
anak karena pemberian hormon tumbuh rekombinan dapat mempercepat pertumbuhan anak tapi
mekanismenya sendiri belum diketahui.
11. Perkembangan seksual
Keterlambatan perkembangan seksual sering dijumpai pada pasien GGK. Keadaan ini
merupakan akibat disfungsi gonad primer dalam memproduksi steroid gonad, disfungsi hipofisis dan
gangguan pengeluaran gonadotropin. Terjadinya gangguan pengeluaran gonadotropin akan
mengakibatkan terlambatnya pubertas. Keadaan ini mungkin disebabkan uremia berat.
III.6 DIAGNOSIS
Kadang-kadang sulit membedakan apakah anak menderita GGA yang reversible, atau GGK. Oleh
karena itu sebaiknya dikenal kriteria atau indikasi kapan seorang anak harus segera dilakukan
pemeriksaan-pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis (lihat Tabel 2.)
Tabel 2.
Indikasi untuk menegakkan diagnosis
Gagal Ginjal.
1. Abnormalitas elektrolit
2. Hiperkalemia: K+ > 6 mmol/L
3. Hipernatremia, Hyponatremia
4. Asidosis metabolik
5. Hipokalsemia, Hiperfosfatemia
6. Hipertensi Berat
7. Edema Pulmo
8. Anuria/Oliguria
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 18
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
(Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in children. In: Webb NJA
and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3rd edition. Oxford: Oxford University Press Inc., pp.
427-45)
Anamnesis dan pemeriksaan fisik penting untuk mengungkap penyebab gagal ginjal, meskipun pada
beberapa anak hal tersebut baru bisa diungkapkan melalui pemeriksaan-pemeriksaan yang spesifik Tabel
3. Tabel 4 menunjukkan gejala-gejala yang dapat membantu membedakan GGA dan GGK, dan Tabel 5
menunjukkan pemeriksaan-pemeriksaan untuk menetapkan tingkat keparahan dan lamanya GGK.
Tabel 3.
Pemeriksaan-Pemeriksaan Spesifik untuk Menegakkan Diagnosa Gagal Ginjal Kronik.
1. USG Saluran Renal
2. Cyctourethrogram
3. Radio-isotope scans: DMSA, MAG3, or DTPA
4. Antegrade pressure flow studies
5. Urogram Intravena
6. Urinalisis
7. Kultur dan Mikroskopi Urin
8. C3, C4, antinuclear antibody, anti-DNA antibodies, anti-GBM antibodies, ANCA
9. Biopsi Renal
10. White cell cystine level
11. Eksresi Oxalat
12. Eksresi Purin
(Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in children. In: Webb
NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3rd edition. Oxford: Oxford University Press
Inc., pp. 427-45)
Tabel 4.
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 19
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
(Dikutip dari: Prasad Devarajan and Stuart L Goldstein (2007). Acute Renal Failure. In: Kanwal K Kher MD,
editors. Clinical pediatric nephrology. 2nd edition. McGraw-Hill Health., pp. 371)
Tabel 5.
Pemeriksaan untuk Menentukan Tingkat Keparahan GGK
1. Darah Rutin
2. AGD, Urea, Kreatinin, Kalsium, Fosfat, Alkalin Fosfat, Protein Total, Albumin, Asam Urat
3. LFG
4. Rontgenografi
5. EKG atau Ekokardiografi
(Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in children. In: Webb
NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3rd edition. Oxford: Oxford University Press
Inc., pp. 427-45)
III.7 PENATALAKSANAAN
Secara garis besar penatalaksanaan dapat dibagi 2 golongan, yaitu pengobatan konservatif dan
pengobatan pengganti. Di negara yang telah maju penanganan konservatif pasien GGK hanya merupakan
masa antara sebelum dilakukan dialisis atau transplantasi, sehingga tanggung jawab dokter di sini adalah
untuk menjaga pasien agar jangan mati mendadak dan agar pembuluh darah, otot jantung, retina, dan
tulang harus dipertahankan seutuhnya. Sebaliknya di negara berkembang penanganan konservatif masih
merupakan titik akhir dan tanggung jawab dokter di sini menjaga kualitas hidup pasien selama beberapa
bulan sebelum ajalnya. Pada umumnya pengobatan konservatif masih mungkin dilakukan bila klirens
kreatinin > 10 ml/menit/1,73 m2, tapi bila sudah < 10 ml/menit pasien tersebut harus diberikan
pengobatan pengganti.
1. Terapi Konservatif
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 20
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
Tujuan terapi konservatif gagal ginjal pra-terminal, adalah:
a. Anak merasa sehat, tidak ada keluhan atau rasa sakit yang disebabkan oleh uremia, seperti
misalnya mual, muntah.
b. Merasa normal, seperti teman-temannya, mempunyai cukup energi untuk berpartisipasi dalam
kegiatan sekolah dan aktivitas sosial lainnya; sehingga dapat mencapai pertumbuhan motorik,
sosial, dan intelektual yang optimal.
c. Mempertahankan pertumbuhan fisik yang normal.
d. Mempertahankan agar fungsi keluarga berjalan seperti biasanya.
e. Memperlambat progresivitas penurunan LFG.
f. Mempersiapkan anak dan keluarganya untuk menghadapi keadaan gagal ginjal terminal.
Nutrisi
Malnutrisi energi protein seringkali ditemukan pada anak-anak dengan GGK. Patogenesis
terjadinya malnutrisi ini multifaktorial. Faktor-faktor tersebut, antara lain adalah anoreksia, diet
protein yang rendah, proses katabolisme akibat uremia yang menyebabkan pemecahan protein otot
dan inhibisi sintesis protein, sekresi kortisol dan hormon paratiroid yang meningkat, resistensi
insulin, asidosis metabolik, dan toksin uremia lain. Pada pasien yang mendapat terapi dialisis, terjadi
pembuangan asam amino, peptida dan protein melalui dialisis, dan proses katabolisme pada
hemodialisis yang akan memperberat malnutrisinya.
Bila nutrisi tidak diperhatikan, pasien gagal ginjal akan jatuh dalam keadaan malnutrisi, dan
anak-anak akan mengalami gagal tumbuh. Terapi nutrisi, berperan dalam menghambat kecepatan
penurunan fungsi ginjal dan akan dapat meningkatkan perasaan well-being serta pertumbuhan.
Intake nutrisi yang direkomendasikan untuk anak-anak dengan GGK hendaklah memperhatikan hal-
hal berikut:
Asupan nutrisi sebaiknya dipantau melalui cara penilaian diet secara prospektif 3 hari
berturut-turut 2 kali setahun, dan lebih sering bila ada indikasi klinik.
Anak-anak dengan GGK cenderung kehilangan nafsu makan dan seringkali mendapatkan
intake dibawah kebutuhan yang dianjurkan. EAR adalah estimasi kebutuhan rata-rata energi,
protein, vitamin, mineral. Kriteria ini dipakai untuk menggantikan Recommended Daily
Allowance (RDA), yang didefinisikan sebagai kecukupan kebutuhan nutrisi untuk anak
sehat dengan jenis kelamin, tinggi badan dan umur yang sama. Asupan energi kurang dari
80% dari RDA telah terbukti berasosiasi dengan gagal tumbuh (Rizzoni 1984), yang dapat
dipulihkan dengan meningkatkan energi menjadi 100% RDA. Asupan energi berlebih tidak
memberikan manfaat, kecuali pada anak-anak dengan ratio berat terhadap tinggi badan yang
rendah, yang membutuhkan asupan energi sampai 120% RDA. Untuk mencapai EAR yang
sesuai umur dan energi, sebagian besar anak dengan GGK membutuhkan suplemen kalori
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 21
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
dalam bentuk polimer glukosa atau emulsi lemak, dimana pada bayi dan anak-anak kecil,
diperlukan nutrisi tambahan melalui pipa nasogastrik.
Untuk mencegah atau mengobati hiperparatiroidisme sekunder, kadar fosfat plasma harus
dipertahankan antara mean dan -2SD untuk umurnya, dengan cara membatasi diet fosfat dan
pemakaian kalsium karbonat sebagai pengikat fosfat.9 Sumber fosfat terbanyak adalah susu,
keju dan yoghurt.
Pada anak-anak, yang kebutuhan proteinnya lebih tinggi untuk pertumbuhannya, restriksi
protein ternyata tidak bermanfaat dalam menghambat laju penurunan fungsi ginjal,10 dan
bahkan akan mengakibatkan gagal tumbuh.11 Anak-anak dengan GGK sebaiknya
memperoleh asupan protein minimum sesuai EAR for age (lihat tabel). Tetapi bila kadar
urea darah anak tetap diatas 120 mg/dl, barulah dilakukan restriksi protein secara bertahap
sampai kadar ureumny menurun. Restriksi protein tidak perlu diberlakukan bila protein telah
mencapai 6% dari kebutuhan total kalori. Beberapa penelitian mengenai pemberian diet
protein yang dicampur dengan asam amino essensial atau analog ketoasidnya menunjukkan
perbaikan keadaan umum, perbaikan pertumbuhan dan fungsi ginjal, namun diet ini sangat
kompleks, mahal, rasanya tidak enak, dan belum ada penelitian yang membuktikan bahwa
diet ini lebih unggul dibanding kelompok kontrol dengan makanan yang kurang kompleks.
Tabel 6. Kebutuhan Kalori dan Protein yang Direkomendasikan Untuk Anak dengan Gagal Ginjal
Kronik.
Umur Tinggi (cm) Energi (kkal) Minimal Protein
(g)
Kalsium (g) Fosfor (g)
0-2 bulan
2-6 bulan
6-12 bulan
1-2 tahun
2-4 tahun
4-6 tahun
6-8 tahun
8-10 tahun
10-12 tahun
12-14 tahun L
P
14-18 tahun L
P
55
63
72
81
96
110
121
131
141
151
154
170
159
120/kg
110/kg
100/kg
1000
1300
1600
2000
2200
2450
2700
2300
3000
2350
2,2/kg
2,0/kg
1,8/kg
18
22
29
29
31
36
40
34
45
35
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
0,9
1,0
1,2
1,4
1,3
1,4
1,3
0,2
0,4
0,5
0,7
0,8
0,9
0,9
1,0
1,2
1,4
1,3
1,4
1,3
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 22
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
18-20 tahun L
P
175
163
2800
2300
42
33
0,8
0,8
0,8
0,8
L= Laki-laki P=Perempuan
Keseimbangan air dan elektrolit
Penilaian secara klinik adanya dehidrasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan turgor kulit,
kekeringan mukosa, tekanan darah, tekanan vena juguler, dan berat badan, yang harus selalu
dilakukan pada setiap kunjungan. Anak dengan uropati obstruktif atau displasia ginjal umumnya
cenderung menderita kekurangan garam natrium dan kalium, yang akan mengganggu
pertumbuhannya. Suplemen natrium khlorida sebaiknya diberikan pada kasus-kasus tersebut dengan
pemantauan ketat terhadap pertumbuhan, sembab, hipertensi, atau hipernatremia. Kebutuhan air
disesuaikan dengan jumlah urine yang keluar.
Anak-anak dengan penyakit ginjal primer yang menimbulkan hipertensi, dianjurkan untuk
membatasi asupan natrium dan air.
Sebagian besar anak dengan GGK mampu mempertahankan homeostasis kalium. Bila terjadi
hiperkalemia, perlu dipikirkan apakah tidak ada obat2an seperti misalnya ACE inhibitors,
katabolisme, atau asidosis metabolik, sebagai penyebabnya, sebelum membatasi asupan kalium atau
memberikan kalium exchange resin.
Tabel 7. Kebutuhan Kalori dan Protein (RDA) Berdasarkan Derajat Fungsi Ginjal
Umur/Tahun RDA LFG
Kalori
kkal/kg
Protein g/kg 10-20o 5-10o <5
ml/menit/1,73m2
0-0,5
0,5-1
1-3
4-6
7-10
11-14
L
P
15-18
L
115
105
100
85
85
60
48
42
2,2
2,0
1,8
1,5
1,2
1,0
1,0
0,85
1,7
1,4
1,3
1,2
1,1
0,8
1,0
0,8
1,5
1,2
1,1
1,0
0,9
0,7
0,8
0,7
1,3
1,0
1,0
0,9
0,8
0,6
0,7
0,6
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 23
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
P 38 0,85 0,8 0,7 0,6
Keseimbangan asam – basa
Metabolik asidosis yang menetap seringkali menyebabkan gagal tumbuh pada bayi dan
menimbulkan demineralisasi tulang, serta hiperkalemia. Untuk mempertahankan keseimbangan
asam basa perlu diberikan suplemen natrium bikarbonat dimulai dari dosis 2 mmol/kg/hari, dengan
pemantauan pH dan kadar bikarbonat pada analisis gas darahnya.
Osteodistrofi Renal
1. Kadar hormon paratiroid (PTH) meningkat dan kadar 1,25 dihydroxycholecalciferol menurun,
sejak mulai terjadinya insufisiensi ginjal ringan, yaitu pada LFG 50-80 ml/menit/1.73m2. Kadar
fosfat plasma merupakan sebab utama terjadinya hiperparatiroidisme sekunder. Fosfat mengatur
sel paratiroid secara independen pada kadar calcium serum dan kadar 1,25-
dihydroxycholecalciferol endogen. Oleh karenanya kontrol terhadap fosfat plasma adalah hal
paling penting sebagai prevensi dan terapi hiperparatiroidisme sekunder, meskipun hal tersebut
paling sulit dicapai dalam jangka panjang, oleh karena membutuhkan kepatuhan akan diet
rendah fosfat yang ketat and pemberian pengikat fosfat untuk mengurangi absorbsinya. Diet
rendah fosfat berarti membatasi intake susu sapi dan produknya. Bila kadar fosfat plasma tetap
diatas harga rata-rata untuk umur, pengikat fosfat misalnya kalsium karbonat 100 mg/kg/hari
diberikan bersama makanan, dosis disesuaikan sampai kadar fosfat plasma berada antara harga
rata-rata dan -2SD sesuai umurnya. Kalsium asetat, dan yang lebih baru, sevelamer (non-
calcium/non-aluminium containing polymer) juga merupakan pengikat fosfat yang bermanfaat.
2. Penurunan kadar fosfat plasma dapat meningkatkan kadar 1,25-dihydroxycholecalciferol
endogen dan kalsium ion, yang mampu menormalkan kadar PTH. Namun, bila kadar PTH tetap
tinggi dan kadar fosfat plasma normal, perlu ditambahkan vitamin D3 hidroksilasi.
3. Tipe, dosis, frekuensi, dan rute pemberian vitamin D sebagai prevensi dan terapi osteodistrofi
renal masih merupakan kontroversi. Dianjurkan pemberian dosis rendah 1,25-
dihydroxycholecalciferol 15-30 ng/kg/sekali sehari untuk anak-anak dengan berat kurang dari 20
kg, dan 250-500 ng sekali sehari untuk anak-anak yang lebih besar, untuk menaikkan kadar
kalsium plasma sampai batas normal atas: bila kadar PTH telah normal, 1,25-
dihydroxycholecalciferol dapat dihentikan sementara. Pemberian 1,25-dihydroxycholecalciferol
secara intravena lebih efektif untuk menurunkan kadar PTH, tetapi dapat menyebabkan
adynamic bone, oleh karena 1,25-dihydroxycholecalciferol pada dosis tinggi mempunyai efek
antiproliferatif pada osteoblast.
4. Kadar kalsium, fosfat, dan alkali fosfatase plasma hendaknya diperiksa setiap kunjungan. Kadar
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 24
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
PTH diukur setiap bulan, atau setiap kunjungan bila anak melakukan kunjungan yang lebih
jarang, dan terapi disesuaikan. Bila anak asimtomatik dan parameter biokimia normal, hanya
perlu dilakukan pemeriksaan radiologi manus kiri dan pergelangan tangan setiap tahun untuk
menilai usia tulang.
Hipertensi
Hipertensi dapat berasal dari penyakit ginjal primer, misalnya nefropati refluks, penyakit
ginjal polikistik autosomal resesif, atau karena GGK yang telah lanjut, akibat retensi natrium dan air.
Pengendalian tekanan darah pada GGK, bukan saja untuk mencegah morbiditas dan mortalitas
akibat hipertensi itu sendiri, melainkan juga untuk mencegah progresivitas penurunan fungsi ginjal.
Bila tidak ada circulatory volume overload, sistolik dan diastolik dalam pemeriksaan berulang lebih
dari 90 persentil untuk umur, perlu diberikan terapi antihipertensi untuk prevensi komplikasi
hipertensi dan menghambat laju GGK. Bila ada tanda-tanda circulatory volume overload sebagai
penyebab hipertensi, diberikan diuretik dari golongan furosemide dengan dosis 1-3 mg/kg dan diet
rendah garam.
Infeksi
Anak-anak dengan kelainan ginjal rentan mengalami infeksi saluran kemih berulang. Bila
menderita refluks vesiko-ureter perlu diberikan antibiotik dosis rendah sebagai profilaksis.
Anemia
Anemia pada GGK adalah anemia normokromik normositer, karena produksi eritropoietin
yang tidak adekuat. Eritropoietin rekombinan (rHuEPO) telah dipakai secara luas untuk mencegah
anemia pada GGK. Disamping eritropoietin masih ada faktor lain yang dapat mempermudah
terjadinya anemia antara lain menurunnya daya survival sel darah merah, inhibisi sumsum tulang
terutama oleh PTH, kehilangan darah intestinal, dan paling sering defisiensi besi dan folat.
Sebagian besar anak-anak dengan pra-GGT dapat mempertahankan kadar hemoglobin tanpa
bantuan terapi eritropoietin rekombinan, dengan cara pengaturan nutrisi yang baik, suplemen besi
dan folat, dan bila diperlukan supresi hiperparatiroid sekunder dengan memakai pengikat fosfat yang
tidak mengandung aluminium. Bila anemia tetap terjadi, dapat diberikan eritropoietin rekombinan
dengan dosis 50 unit/kg secara subkutan dua kali seminggu, dosis dapat dinaikkan sesuai respon
agar mencapai target hemoglobin 10-12 g/dl. Kadar ferritin serum dipertahankan diatas 100 mcg/l
agar tercapai suplemen besi yang adekuat. Anak-anak dengan pra-GGT biasanya mendapatkan
suplemen besi peroral, sedangkan mereka yang telah dilakukan dialisis biasanya memerlukan
suplemen besi secara intra-vena.
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 25
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
Pertumbuhan
Pertumbuhan merupakan indikator yang paing sensitif untuk terapi GGK yang adekuat.
Pengukuran tinggi badan, berat badan, lingkar kepala, status pubertal, volume testes, dan lingkar
lengan atas sangat dianjurkan untuk dilakukan secara rutin, sehingga akan dapat dideteksi secara dini
setiap gangguan kecepatan pertumbuhan. Faktor-faktor yang menyebabkan gangguan pertumbuhan
adalah multifaktorial, seperti tercantum dalam tabel dibawah ini.
Tabel 8. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Gangguan Pertumbuhan pada Pasien GGK
Faktor-Faktor yang Menyebabkan Gangguan Pertumbuhan pada Pasien GGK
1. Kurangnya masukan energy
2. Gangguan masukan energi
3. Gangguan keseimbangan air dan elektrolit, seperti defisiensi natrum kalium dan asidosis
metabolik
4. Osteodistrofi ginjal
5. Hipertensi
6. Infeksi
7. Anemia
8. Abnormalitas hormon
9. Terapi kortikosteroid
10. Faktor psikososial
(Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in children. In:
Webb NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3rd edition. Oxford: Oxford
University Press Inc., pp. 427-45)
Pola pertumbuhan masing-masing anak dengan GGK dipengaruhi oleh umur anak, umur saat
onset GGK dan terapi yang diberikan. Pada anak normal, kecepatan pertumbuhan maksimal selama
tahun pertama kehidupan, pertumbuhan kemudian melambat selama masa anak-anak, dan meningkat
lagi dengan pubertal growth spurt. Pertumbuhan yang tidak optimal pada salah satu atau kedua
periode kritis tersebut akan mengakibatkan berkurangnya tinggi badan akhir.
Anak-anak pra-pubertas dengan GGK yang tumbuh dibawah persentil ke-3 untuk umurnya
akan menunjukkan respon yang baik terhadap hormon pertumbuhan rekombinan dengan dosis supra-
fisiologik.
Mempertahankan fungsi ginjal
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 26
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
Pada sebagian besar anak dengan GGK, fungsi ginjalnya akan terus menurun secara
progresif, meskipun penyakit ginjal primernya telah tidak aktif. Progresifitas GGK berkaitan dengan
kelainan histologinya yaitu glomerulosklerosis progresif, fibrosis interstitial, dan sklerosis vaskuler
atau arterioler.
Untuk mempertahankan fungsi ginjal yang berada pada suatu fase tertentu, dapat dilakukan
dengan cara-cara: pengendalian hipertensi, menghilangkan proteinuria, mencegah terjadinya
hiperparatiroidisme sekunder, dan diet protein yang cukup.
Berbagai penelitian baik invivo maupun invitro membuktikan bahwa lipid mempunyai peran
penting dalam progresivitas penyakit ginjal kronik. Gangguan metabolisme lipid sering ditemukan
pada GGK sehingga menimbulkan keadaan hiperlipoproteinemia, kadar HDL menurun, LDL
meningkat, dan VLDL kholesterol sangat menurun, disertai hipertrigliseridemia, dan gangguan
apolipoprotein. Hal ini disebabkan karena terjadinya gangguan klirens lipoprotein LDL, dan
menurunnya aktivitas lipolitik yang sebagian disebabkan oleh hiperparatiroidisme sekunder dan
resistensi insulin. Selain dengan manipulasi diet, beberapa penelitian juga membuktikan manfaat
penggunaan zat untuk menurunkan kadar lipid darah terhadap perbaikan LFG dan aliran plasma
ginjal.
Edukasi dan persiapan
Masa terapi konservatif GGK, merupakan saat terbaik untuk melaksanakan program edukasi
bagi pasien dan keluarganya, untuk menjelaskan tentang apa yang sebenarnya terjadi sehingga
mereka dan keluarganya akan ikut secara aktif dalam program pengobatan tersebut.
Masa tersebut juga dapat digunakan untuk mempersiapkan mereka menghadapi stadium gagal ginjal
terminal.
Hal-hal yang harus diperhatikan sebelum anak masuk dalam stadium GGT:
1. Anak harus telah mendapatkan imunisasi lengkap sebelum dilakukan transplantasi, setidak-
tidaknya 3 bulan sebelum dimulainya TPG.
2. Anak-anak dengan GGK yang mengalami disfungsi buli-buli, misalnya buli-buli neurogenik,
atau katup uretra posterior harus diatasi terlebih dahulu sebelum transplantasi dilakukan.
3. Anak-anak yang membutuhkan dialisis sebelum transplantasi, tetapi tidak sesuai untuk dialisis
peritoneal, hendaknya dibuatkan fistula arteri-vena untuk akses hemodialisis.
2. Terapi Pengganti Ginjal
Tujuan terapi Gagal Ginjal Terminal pada anak-anak tidak hanya untuk memperpanjang
hidup anak, namun juga untuk meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan, dengan tujuan
utama adalah kehidupan masa dewasa yang lebih baik.
Transplantasi ginjal yang berhasil merupakan terapi pilihan untuk semua anak dengan gagal ginjal
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 27
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
terminal. Transplantasi ginjal dapat dilakukan dengan donor ginjal yang berasal dari keluarga hidup
atau jenazah.
Dialisis merupakan pelengkap dari transplantasi yang diperlukan pada saat sebelum atau
antara transplantasi, dan bukanlah merupakan pilihan alternatif dari transplantasi. Ada 2 pilihan
dasar yaitu hemodialisis atau dialisis peritoneal. Tetapi pilihan tidak selalu dapat dilakukan, bila
misalnya terdapat kesulitan untuk memperoleh akses fistula A-V, maka pilihan hanyalah dialisis
peritoneal, atau misalnya adanya adhesi intra-abdominal, maka dialisis peritoneal tidak bisa dipilih,
kecuali hemodialisis.
Seorang anak dipersiapkan untuk dilakukan transplantasi apabila laju filtrasi glomerulus
telah menurun sampai 10 ml/menit/1.73m2. Secara ideal sebenarnya adalah melakukan transplantasi
sebelum timbul gejala-gejala akibat gagal ginjal kronik dan sebelum dialisis dibutuhkan. Tetapi hal
tersebut jarang bisa dilakukan karena masa tunggu untuk mendapatkan donor yang cocok tidak bisa
dipastikan, masalah-masalah medis yang tidak memungkinkan anak segera menjalani transplantasi,
atau yang paling sering adalah memberikan waktu yang cukup untuk pasien dan keluarganya guna
mempersiapkan dan menyesuaikan diri menghadapi situasi yang baru.
Indikasi untuk memulai dialisis adalah:
1. Timbulnya gejala sindrom uremia berupa letargi, anoreksia, atau muntah yang mengganggu
aktivitas sehari-harinya.
2. Gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit yang mengancam jiwa, misalnya hiperkalemia
yang tidak respon terhadap pengobatan konservatif.
3. Gejala kelebihan cairan yang tidak dapat diatasi dengan terapi diuretik.
4. Terjadi gagal tumbuh yang menetap meskipun telah dilakukan terapi konservatif yang adekuat.
Dialisis
Keuntungan dan kerugian dialisis peritoneal dan hemodialisis dapat dilihat pada tabel di
bawah ini. Di Inggeris, Amerika Serikat, dan banyak negara-negara lain, dialisis peritoneal lebih
banyak dilakukan pada anak-anak.
Hemodialisis adalah suatu teknik untuk memindahkan atau membersihkan solut dengan berat
molekul kecil dari darah secara difusi melalui membran semipermeabel. Hemodialisis membutuhkan
akses sirkulasi, yang paling baik adalah pembuatan fistula A-V pada vasa radial atau brachial dari
lengan yang tidak dominan.
Pada dialisis peritoneal, membran peritoneal berfungsi sebagai membran semi-permeabel
untuk melakukan pertukaran dengan solute antara darah dan cairan dialisat. Untuk memasukkan
cairan dialisat kedalam rongga peritoneum perlu dipasang kateter peritoneal dari Tenckhoff. Ada 2
cara pelaksanaan dialisis peritoneal, yaitu:
1. Automated Peritoneal Dialysis (APD), dimana dialisis dilakukan malam hari dengan mesin
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 28
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
dialisis peritoneal, sehingga pada siang hari pasien bebas dari dialisis.
2. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dialisis berlangsung 24 jam sehari dengan
rata-rata pertukuran cairan dialisat setiap 6 jam sekali.
Meskipun hemodialisis dan dialisis peritoneal merupakan TPG yang efektif, angka mortalitas
dialisis lebih tinggi daripada transplantasi untuk semua kelompok umur.
Transplantasi
Merupakan terapi terbaik bagi anak-anak dengan gagal ginjal terminal oleh karena akan
memberikan rehabiltasi terbaik untuk hidup yang sangat mendekati wajar.4 Transplantasi dilakukan
dengan ginjal jenazah atau ginjal yang berasal dari keluarga hidup yang berusia relatif lebih tua,
biasanya dari orang tuanya.
Di Eropa pada tahun 1984-1993 hampir 21% anak yang berusia kurang dari 21 tahun
mendapat ginjal dari donor hidup,12 sedangkan di Amerika Utara donor hidup mencapai 50% dari
seluruh donor yang diterima anak-anak yang berusia kurang dari 21 tahun pada tahun 1987-2000.
III.8 PROGNOSIS
Angka kelangsungan hidup anak-anak dengan gagal ginjal kronik saat ini semakin baik. Dari 1070
anak yang berumur kurang dari 18 tahun saat menerima ginjal donor jenazah di Inggeris dan Irandia
dalam periode 10 tahun (1986-1995): 91 (9%) meninggal dengan penyebab kematian: 19% oleh karena
infeksi, 4.5% lymphoid malignant disease, 4.5% uremia karena graft failure.13 Sedangkan data dari
Amerika Utara melaporkan angka kelangsungan hidup 5 tahun setelah transplantasi donor hidup berkisar
antara 80.8% pada anak-anak yang berusia kurang dari 1 tahun saat ditransplantasi, sampai 97.4% pada
anak-anak yang berusia antara 6-10 tahun.14
Sebagai penutup ingin kami tekankan bahwa terapi GGK adalah seumur hidup, meskipun telah
dilakukan transpantasi ginjal. Tetapi masa depan mereka tidaklah seburuk seperti yang dibayangkan,
banyak diantara mereka sekarang telah berhasil dalam profesi dan kehidupan keluarga.
BAB IVKepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 29
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
DAFTAR PUSTAKA
1. Rigden SPA. The management of chronic and end stage renal failure in children. In Webb N, Postleth-
waite Eds. Clinical Paediatric Nephrology 3rd ed. Oxford University Press Inc, 2003; 427-46.
2. Alatas, Husein. 2001. ”Buku Ajar Nefrologi Anak, edisi 2”. IDAI : JakartBehrman R.E, at all. 2004.
3. Nelson, Waldo. E. 2000. ”Nelson Ilmu Kesehatan Anak edisi 15. Penyakit Glomerulus, hal.1809-1819”.
Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta
4. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Gagal Ginjal Kronik. Dalam Alatas H, Tambunan T, Trihono
PP, Pardede SO Eds. Buku Ajar Nefrologi Anak 2nd ed. Bali penerbit FKUI Jakarta, 2002; 509-30.
5. Fogo AB, Kon V. Pathophysiology of progressive renal disease. In Avner ED, Harmon WE, Niaudet P
Eds. Pediatric Nephrology. Lippincott Williams & Wilkins USA, 2004; 1269-85.
6. Kei-Chiu TN, Chiu MC. Pre-Renal Replacement Program : Conservative Management of Chronic Kid-
ney Disease. In Chiu MC, Yap HK Eds. Practical Paediatric Nephrology. Medcom Limited Hongkong,
2005; 247-52.
7. Yap HK. Anemia, Renal Osteodystrophy, Growth Failure in Chronic Renal Failure. In Chiu MC, Yap
HK Eds. Practical Paediatric Nephrology. Medcom Limited Hongkong, 2005; 253-61.
8. Winearls CG. Clinical Evaluation and Manifestation of chronic Renal Failure. In Johnson RJ, Feecally J
Eds. Comprehensive Clinical Nephrology. Harcourt Publishers Limited London, 2000; section 14. 68 :
1-14.
9. Fine RN, Whyte DA, Baydstrun II. Conservative management of chronic renal insufficiency. In Avner
ED, Harmon WE, Naudet P Eds. Pediatric Nephrology. Lippincott Williams & Wilkins USA, 2004;
1291-305.
10. Kuizon BD, Sausky IB. Renal Osteodistrophy. In Avner ED, Harmon WE, Naudet P Eds. Pediatric
Nephrology. Lippincott Williams & Wilkins USA, 2004; 1291-305.
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 30
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
Hemodialisa
PEMBIMBING :
Dr. Slamet Widi, Sp.A
Dr. Lilia Dewiyanti, Sp.A
Dr. Zuhriah Hidajati, Sp.A
Dr. Hartono, Sp.A
PENYUSUN :
Monica Bellynda
406137024
ILMU KESEHATAN ANAK RSUD KOTA SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIV.TARUMANAGARA JAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 31
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
Setiap tahun sekitar 1-3 orang anak per 1 juta populasi penduduk berakhir pada gagal ginjal terminal.
Pengobatan/terapi yang dikembangkan pada anak dengan gagal ginjal terminal adalah dengan menyokong
kehidupan tetapi akan berlarut-larut dan invasif. Transplantasi ginjal biasanya dipertimbangkan sebagai terapi
pilihan pada anak dengan gagal ginjal terminal, namun tetap saja beberapa bentuk dialisis masih diperlukan
untuk menjaga kehidupan sampai donor ginjal yang cocok ditemukan.1
Diperkirakan ¾ dari anak-anak dengan gagal ginjal terminal ini mendapatkan terapi/pengobatan di
pusat-pusat hemodialisa sementara mereka menunggu untuk transplantasi ginjal, karena itu terapi dialisis telah
berkembang menjadi terapi standar untuk anak-anak dengan gagal ginjal terminal. Bagaimanapun, dengan
berkembangnya kateter peritoneal yang permanen/menetap, dialisis peritoneal kronik dari suatu bentuk/kondisi
atau yang lain sekarang menjadi alternatif yang menarik sebagai bentuk terapi bagi anak-anak dengan gagal
ginjal terminal tersebut.1
Dialisis peritoneal kronik (chronic peritoneal dialysis/CPD) telah digabungkan sebagai dialysis anjuran
bagi pasien anak-anak didasarkan pada kemampuannya yang fleksibel dan kecocokannya dengan gaya
hidup/kebiasaan anak-anak. Di Amerika Utara, program dialisis pada anak-anak mengkombinasikan
penggunaan dialisis peritoneal (peritoneal dialysis/PD) 2:1 dengan penggunaan hemodialisis (HD).2
Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) umumnya untuk dialisis bagi anak-anak dengan
gagal ginjal terminal. Dan beberapa waktu terakhir ini, terjadi pertumbuhan yang meningkat untuk dialisis
peritoneal otomatis (automated peritoneal dialysis/APD) dimana mesin berputar digunakan sebagai infus dan
saluran untuk cairan peritoneal. Keuntungan yang nyata dari penggunaan APD bagi gaya hidup dan rehabilitasi
sosial adalah untuk penggunaan dosis lebih besar daripada CAPD dan membuat APD lebih dipilih sebagai
bentuk dialisis pada anak-anak. Data yang ada menunjukkan bahwa proporsi penggunaan APD berkisar dari
62-91%.2
Terapi hemodialisis bisa menjadi sangat menakutkan dan tidak menyenangkan, khususnya pada pasien
anak-anak, keluarga dan tentu saja bagi tim pelaksananya. Di beberapa negara, pasien anak-anak biasanya
digabungkan dengan pasien dewasa di ruang hemodialisis. Hal ini menunjukkan bahwa pemisahan ruang bagi
anak-anak dan dewasa membutuhkan biaya lebih besar apalagi bagi negara berkembang.3
Tim medis pada perawatan dewasa umumnya tidak terbiasa untuk menangani pasien anak-anak, pasien
anak-anak mempunyai kebutuhan psikologik, emosional, sosial dan dukungan akademik yang juga dapat
memberikan dampak positif baik pada ketaatan terapi maupun responnya. Sangat penting untuk dapat
menciptakan lingkungan yang ramah bagi anak-anak pada ruangan hemodialisis dengan interaksi aktif sesama
anak-anak, keluarga dan tim medis.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 32
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
2.1 Definisi
Dialisis peritoneal adalah suatu teknik dimana cairan dialisis dimasukkan ke rongga peritoneal yang
diikuti dengan waktu periode dialisis yang bervariasi diikuti dengan pengeluarannya atau pengurasannya.4,5
2.2 Keuntungan dialisis peritoneal
Dengan dialisis peritoneal (DP), kita memiliki beberapa pilihan dalam pengobatan yang lebih maju dan
gagal ginjal permanen. Sejak tahun 1980an, dimana DP menjadi praktik yang mulai dikembangkan untuk
pengobatan gagal ginjal, telah banyak dipelajari sehingga membuat DP menjadi lebih efektif dan memiliki efek
samping yang minimal. Jika pasien tidak memiliki jadwal untuk melakukan dialisis di Rumah Sakit atau Pusat
dialisis, DP memberikan banyak keuntungan.5
Dengan DP, pasien gagal ginjal permanen dapat melakukan pengobatan mandiri baik itu di rumah, di
kantor, bahkan dalam perjalanan. Namun harus bekerja sama dengan baik dibawah instruksi tim medis, yaitu
ahli ginjal, perawat, teknisi, ahli gizi/nutrisi, dan pekerja sosial. Namun dari keseluruhan itu yang paling
penting adalah dukungan anggota keluarga pasien sendiri.4,5
2.3 Cara Kerja Dialisis Peritoneal
Dalam dialisis peritoneal, tabung lunak yang disebut kateter digunakan untuk mengisi rongga
peritoneal dengan cairan pembersih yang disebut dengan cairan dialisis (dialysis solution). Dinding dari rongga
perut di lapisi oleh membran yang disebut peritoneum, yang memungkinkan produk sisa dan kelebihan cairan
lewat darah ke cairan dialisis. Cairan tersebut berisi gula yang disebut dekstrosa yang akan menarik
sisa/kotoran dan kelebihan cairan ke dalam rongga perut. Sisa atau kotoran dan cairan ini kemudian akan ikut
terbuang bersama cairan dialisis saat proses pengurasan. Cairan yang telah dipakai, berisi sisa atau kotoran dan
kelebihan cairan kemudian dibuang.5
Gambar 2.1 Dialisis peritoneal 5
Proses dari pengisian dan pembuangan cairan disebut dengan pertukaran yang memerlukan waktu
sekitar 30-40 menit. Waktu yang diperlukan cairan dialisis berada di dalam rongga perut disebut dengan dwell
time atau waktu tinggal. Jadwal yang khusus untuk 4 pertukaran dalam sehari, masing-masing dengan dwell
time 4-6 jam. Tipe DP yang berbeda memiliki jadwal pertukaran harian yang berbeda pula.5
Salah satu bentuk DP, Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), tidak memerlukan mesin.
Sesuai dengan namanya ambulatory yang berarti dapat berjalan, pasien dapat berjalan sementara cairan dialisis
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 33
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
masih berada di perutnya. Bentuk lain dari DP, Continuous Cycler-Assisted Peritoneal Dialysis (CCPD),
memerlukan mesin yang disebut cycler untuk mengisi dan menguras perut, biasanya saat pasien tidur. CCPD
disebut juga Automated Peritoneal Dialysis (APD).4,5
2.4 Tipe Dialisis Peritoneal
Pemilihan jenis DP yang akan digunakan tergantung pada jadwal pertukaran yang pasien kehendaki
untuk diikuti, disamping faktor lainnya. Pasien bisa saja memulai dengan jenis DP yang satu dan kemudian
berganti dengan jenis yang lain, atau pasien sendiri menemukan kombinasi dari pertukaran automated dan
nonautomated yang paling cocok dengannya.5
Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
Pada tipe CAPD, akan dimasukkan sekantong cairan dialisis segar ke dalam perut. Setelah 4-6 jam atau
lebih dari dwell time, cairan yang telah bercampur dengan produk sisa atau kotoran akan dikuras. Kemudian
proses diulang dari awal dengan sekantong cairan dialisis yang segar. CAPD menawarkan kontrol biokimia
yang memadai pada keadaan uremia dan dapat dilakukan di rumah. Pasien tidak memerlukan bantuan mesin
untuk tipe CAPD ini, yang diperlukan hanyalah gaya gravitasi untuk mengisi dan mengosongkan perut pasien.
Dokter yang akan memberikan instruksi berapa jumlah kantong yang harus digunakan dalam proses
pertukaran, biasanya 3 atau 4 kantong pertukaran di siang hari dan satu kantong di malam hari dengan waktu
tinggal yang lebih lama sementara pasien tidur.1,5
Gambar 2.2 Selama pertukaran pasien dapat membaca, menonton TV atau tidur 5
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 34
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
Gambar 2.3 Langkah-langkah CAPD 5
Gambar 2.4 Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) 4
Continuous Cycler-Assisted Peritoneal Dialysis (CCPD)
CCPD menggunakan cycler (pemutar) otomatis untuk menjalankan proses pertukaran 3 sampai 5 kali
semalam saat pasien tidur. Saat pagi hari, pasien memulai satu pertukaran dengan dwell time yang terakhir.5
Gambar 2.5 CCPD yang menggunakan cycler/pemutar 5
CCPD merupakan terapi yang saat ini mulai banyak dianjurkan dilakukan pada anak-anak karena
keuntungannya yang mengikuti pola kebiasaan anak-anak dimana anak bisa bebas beraktifitas di siang hari dan
DP dilakukan di malam hari saat anak tertidur. Pembukaan dan penutupan kateter hanya dua kali dalam 24 jam
sehingga mengurangi resiko terjadinya peritonitis dan mengurangi keterlibatan orangtua dengan anak.1
Pada pasien dewasa, dilakukan tiga kali pertukaran di malam hari dan satu pertukaran yang panjang di
siang hari, selama 24 jam. Dengan meningkatkan pertukaran dan dwell time di malam hari, ditambah dengan
waktu di siang hari akan meningkatkan efisiensi dialisis sehingga pasien dapat menikmati satu atau dua hari
dalam seminggu tanpa terapi. Jeda terapi ini akan menurunkan kelelahan baik pada orangtua maupun pada
anak-anak.1
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 35
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
Gambar 2.6 Continuous Cycler-Assisted Peritoneal Dialysis (CCPD) 4
2.5 Pemilihan Tipe Dialisis Peritoneal
Jika dipilih tipe CAPD, mungkin akan ada masalah dengan dwell time yang lama sepanjang malam.
Sebagian dekstrosa dari cairan masuk ke dalam darah dan menjadi glukosa. Absorbsi dekstrosa tidak
menimbulkan masalah selama dwell time yang singkat. Namun sepanjang malam, beberapa orang menyerap
terlalu banyak dekstrosa yang akan menarik cairan dari rongga perut kembali ke tubuh sehingga mengurangi
efisiensi pertukaran.5
Jika masalah ini timbul, maka mungkin diperlukan minicycler, suatu alat versi kecil dari mesin yang
secara otomatis mengisi dan menguras cairan di perut pasien yang digunakan untuk pertukaran cairan dialisis
sekali atau beberapa kali selama pasien tertidur sepanjang malam. Dengan tambahan tersebut, pertukaran yang
lebih singkat akan meminimalkan penyerapan cairan dan memberikan jarak tambahan dari bersihan sisa dan
cairan yang berlebih.1,5
Jika dipilih CCPD, pasien mungkin memiliki masalah dalam penyerapan cairan di waktu siang hari,
yang memiliki dwell time lebih lama. Pasien mungkin memerlukan tambahan pertukaran di antara siang dan
sore hari untuk meningkatkan jumlah produk sisa atau kotoran yang akan dibuang dan mencegah penyerapan
cairan yang berlebihan.5
2.6 Pencegahan Masalah
Infeksi adalah masalah yang paling utama dihadapi oleh pasien yang melakukan DP. Tim medis harus
mengetahui secara mendalam tentang bagaimana menjaga kateter bebas kuman untuk mencegah terjadinya
peritonitis, yang berarti infeksi di daerah peritoneum. Perbaikan model dari kateter untuk mencegah
penyebaran kuman telah dilakukan, namun peritonitis tetap menjadi masalah utama yang kadang-kadang
membuat DP harus dihentikan. Beberapa yang harus diperhatikan diantaranya:4,5
Simpan peralatan di tempat yang sejuk, bersih dan kering.
Periksa setiap kantong cairan untuk melihat adanya tanda-tanda terjadinya kontaminasi sebelum
digunakan
Cari tempat yang bersih, kering dan nyaman untuk memulai pertukaran
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 36
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
Cuci tangan setiap kali memegang kateter
Bersihkan jalan keluar dengan antiseptik setiap hari.
Gunakan masker saat pertukaran berlangsung
Tetap waspada untuk gejala dari infeksi dan segera lakukan sehingga pengobatan sesegera mungkin.
Beberapa gejala yang patut diwaspadai adalah:5
Demam
Mual atau muntah
Kemerahan atau nyeri di daerah sekitar kateter
Warna yang tidak biasanya atau berkabut pada cairan dialisis yang digunakan.
Penutup kateter telah terdorong keluar
Gambar 2.7 Bagian-bagian transfer set 5
2.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang menggunakan CCPD diantaranya adalah tersumbatnya
saluran untuk DP yang kemudian dapat berlanjut menjadi sepsis dari saluran yang terinfeksi tersebut. Jadwal
dialisis yang tertunda atau tidak selesai karena pasien tidak menginginkan menyelesaikan dialisis sesuai
jadwal. Konsultasi dengan psikiatri juga mungkin diperlukan bagi sebagian anak-anak untuk dapat melanjutkan
dialisis. Peritonitis merupakan masalah utama, selain dari kesalahan fungsi kateter sehingga memerlukan
pemasangan kembali, kerusakan fungsi membran peritoneal. Pada grup CCPD, peritonitis muncul setidaknya
satu dari sekitar 80,5% pasien yang berobat setiap bulan.1,2,7
Pasien yang diterapi dengan DP memiliki komplikasi yang berhubungan dengan fungsi ginjal itu
sendiri secara tidak langsung selain fungsinya dalam membersihkan darah. Diantaranya adalah anemia
sehingga pasien memerlukan transfusi darah. Hal ini terjadi karena ginjal memproduksi eritropoeitin yang
merangsang sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah yang mana berfungsi sebagai pengangkut
oksigen.5
Penyakit tulang yang berhubungan dengan ginjal mempengaruhi sekitar 90% pasien dialisis. Penyakit
ini disebut dengan renal osteodystrophy. Tulang menjadi tipis dan lunak atau lemah hingga dapat mengalami
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 37
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
perubahan bentuk. Hal ini dapat terjadi pada pasien anak-anak ataupun dewasa. Gejala dapat dilihat pada
pasien anak-anak dalam masa pertumbuhan yang memiliki penyakit ginjal.5
Rasa gatal merupakan komplikasi yang sering dikeluhkan oleh pasien dialysis. Meskipun gatal
merupakan hal yang wajar bahkan pada orang tanpa gangguan fungsi ginjal, hal ini dapat diperparah oleh
toksin uremia yang berada di kulit tidak sepenuhnya dapat dibuang melalui dialisis. 5
Gangguan tidur banyak terjadi pada pasien dialisis. Hal ini terjadi karena rasa tidak nyaman, mudah
terkejut, gelisah dan kelemahan pada kaki. Pasien akan mendapat rangsangan untuk menendang ataupun
melempar kakinya di malam hari sehingga dapat mengganggu pasangan tidurnya. Selain itu pasien dialisis juga
sering mengeluh akan sleep apneu syndrome (mengorok) saat tidur.4,5
Pada pasien yang telah melewati dialisis selama 5 tahun, kemungkinan akan terjadi dialysis related
amyloidosis (DRA). DRA berkembang saat protein yang berada di dalam darah tersimpan di persendian dan
otot, menyebabkan nyeri, kekakuan dan cairan di persendian, seperti pada kasus artritis. Ginjal berfungsi
menyaring protein ini, namun dialisis tidak seefektif itu.5
2.8 Perkembangan CAPD di Indonesia
Penyakit ginjal kronik di Indonesia, berkisar antara 29,1% dari populasi penduduk yang memiliki
resiko (hipertensi, diabetes dan proteinuria). Dalam survei terbaru, insiden rata-rata untuk penyakit ginjal
stadium akhir (end-stage renal disease/ESRD) adalah 30,7 per 1 juta penduduk, dan prevalensinya berkisar
23,4 per 1 juta penduduk. Pada tahun 2006, sekitar 10.000 pasien telah diobati dengan hemodialisis. Namun
demikian, masih banyak pasien dengan ESRD yang belum diobati. Masalah keuangan, kekurangan fasilitas
dialisis dan kurangnya tenaga medis yang terlatih menjadi alasan utama mengapa pengobatan gagal ginjal tidak
berjalan dengan baik di Indonesia.10
CAPD mulai dipakai pertama kali pada tahun 1985. Pada pertengahan tahun 2007, pasien CAPD
berjumlah 774 orang. Pasien yang berhenti masih sangat tinggi, karena meninggal, infeksi dan kegagalan
kateter.10
DAFTAR PUSTAKA
1. Andrew SB, Alice MT. Continous-cycling peritoneal dialysis for children: an alternative to
hemodialysis treatment. Pediatyrics 1984;74:254-258.
2. Lai WM, Chiu MC, Tse KC, Lau SC, Tong PC. Automated peritoneal dialysis: clinical experience in
32 children. HK J Paediatr 2004;9:44-49.
3. Ensari C. The basic needs of children on haemodialysis in Turkey. Nephrol Dial Transplant
2008;23:1447-1448.
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 38
Monica Bellynda 406137024 Laporan Kasus 3
4. Khanna R, Nolph KD. Dialysis as a treatment of end stage renal disease. Chapter 4: Principle of
peritoneal dialysis. Halaman 4.1-4.11.
5. -----. Treatment method for kidney failure: peritoneal dialysis. NIDDK 2006;6:1-24.
6. Marsha ML, Annabelle N, Chua, Peter DY. Neonatal peritoneal dialysis. NeoReviews 2005;6:e384-
e391.
7. Walters S, Porter C, Brophy PD. Dialysis and pediatric acute kidney injury: choice of renal support
modality. Pediatr Nephrol 2009;24:37-48.
8. Sherbotie J. Outcomes after neonatal and infant dialysis. AAP Grand Rounds 2007;17:66.
9. Kari JA. Peritoneal dialysis in children. Saudi J Kidney Dis Transplant 2005;16:348-253.
10. Suhardjono. The development of a continuous ambulatory peritoneal dialysis program in Indonesia.
Perit Dial Int 2008;28:559-562.
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFak. Kedokteran Univ. Tarumanagara Jakarta Periode 15 September 2014 – 22 November 2014 Page 39