cara menghitung return of training investment

49
PENGUKURAN RETURN ON TRAINING INVESTEMENT (ROTI) Oleh Stefan Tupamahu dan Budi W. Soetjipto Abstract Training evaluation has been well regarded as a mustdo activity to demonstrate the extent to which a training program improves the performance of exparticipants and the company. Moreover, there is a need to evaluate a training program in financial terms, more specifically in terms of return on investment (ROI). This article provides stepbystep information on how to calculate ROI in training, also known as ROTI (Return on Training Investment). Dalam persaingan usaha yang semakin meningkat, peran Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki suatu perusahaan dirasakan semakin meningkat. Tidak dapat dipungkiri bahwa kompetensi pegawai dalam suatu perusahaan seringkali menjadi salah satu kunci keberhasilan bisnis, khususnya bagi perusahaanperusahaan yang bergerak di industri jasa. Salah satu sektor industri jasa di Indonesia yang memerlukan SDM dengan kompetensi yang baik adalah sektor perbankan. Perkembangan sektor perbankan di negara kita dari tahun ke tahun memberikan gambaran betapa kompetensi pegawai memiliki peran penting dalam perjalanan usaha suatu bank. Sebelum dilanda krisis ekonomi pada tahun 19971998, bankbank besar di Indonesia umumnya bertumpu pada perbankan korporasi (corporate banking) yang mengandalkan nasabahnasabah besar dalam jumlah yang terbatas. Sayangnya, ketika krisis melanda Indonesia segmen korporasi tersebut justru menjadi sektor yang mengalami hantaman ekonomi paling besar dibandingkan segmensegmen usaha lainnya. Gejolak bisnis yang dialami perusahaanperusahaan besar pada masa krisis tersebut pada gilirannya telah membawa dampak yang tidak sedikit terhadap perjalanan usaha bankbank besar di Indonesia. Seiring dengan terjadinya gejolak yang menghantam sektor perbankan korporasi, bankbank di Indonesia mulai melirik potensi yang ada di sektor perbankan ritel yang selama ini seakan terpinggirkan dari fokus usaha mereka. Persoalannya, pengembangan sektor ritel ini membutuhkan strategi yang jauh berbeda dibandingkan pengembangan sektor korporasi. Nasabah korporasi umumnya berjumlah terbatas dengan kemampuan pendanaan yang Alumnus Program Studi MM FEUI. 1 Peneliti LM FEUI, tulisan ini pernah dimuat di Majalah USAHAWAN LMFEUI edisi Desember 2005

Upload: zulhamidi-midi

Post on 14-Apr-2017

696 views

Category:

Recruiting & HR


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Cara Menghitung Return of Training Investment

 

 

PENGUKURAN RETURN ON TRAINING INVESTEMENT (ROTI) 

Oleh Stefan Tupamahu∗ dan Budi W. Soetjipto♦ 

 

Abstract 

Training evaluation has been well regarded as a must‐do activity to demonstrate the extent to which  a  training  program  improves  the  performance  of  ex‐participants  and  the  company. Moreover, there is a need to evaluate a training program in financial terms, more specifically in terms of return on investment (ROI). This article provides step‐by‐step information on how to calculate ROI in training, also known as ROTI (Return on Training Investment).  

Dalam persaingan usaha yang semakin meningkat, peran Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki  suatu  perusahaan  dirasakan  semakin  meningkat.  Tidak  dapat  dipungkiri  bahwa kompetensi  pegawai  dalam  suatu  perusahaan  seringkali  menjadi  salah  satu  kunci keberhasilan bisnis, khususnya bagi perusahaan‐perusahaan yang bergerak di industri jasa. 

Salah satu sektor  industri  jasa di Indonesia yang memerlukan SDM dengan kompetensi yang baik adalah sektor perbankan. Perkembangan sektor perbankan di negara kita dari tahun ke tahun memberikan  gambaran  betapa  kompetensi  pegawai memiliki  peran  penting  dalam perjalanan usaha suatu bank. Sebelum dilanda krisis ekonomi pada tahun 1997‐1998, bank‐bank besar di  Indonesia umumnya bertumpu pada perbankan korporasi (corporate banking) yang mengandalkan nasabah‐nasabah besar dalam  jumlah yang  terbatas. Sayangnya, ketika krisis melanda  Indonesia  segmen korporasi  tersebut  justru menjadi  sektor yang mengalami hantaman ekonomi paling besar dibandingkan segmen‐segmen usaha  lainnya. Gejolak bisnis yang dialami perusahaan‐perusahaan besar pada masa krisis  tersebut pada gilirannya  telah membawa  dampak  yang  tidak  sedikit  terhadap  perjalanan  usaha  bank‐bank  besar  di Indonesia. 

Seiring dengan terjadinya gejolak yang menghantam sektor perbankan korporasi, bank‐bank di Indonesia mulai melirik potensi yang ada di sektor perbankan ritel yang selama ini seakan terpinggirkan  dari  fokus  usaha  mereka.  Persoalannya,  pengembangan  sektor  ritel  ini membutuhkan  strategi  yang  jauh  berbeda  dibandingkan  pengembangan  sektor  korporasi. Nasabah  korporasi  umumnya  berjumlah  terbatas  dengan  kemampuan  pendanaan  yang 

∗ Alumnus Program Studi MM FEUI.

1

♦ Peneliti LM FEUI, tulisan ini pernah dimuat di Majalah USAHAWAN LMFEUI edisi Desember 2005

Page 2: Cara Menghitung Return of Training Investment

sangat  kuat,  dengan  target  pasar  utamanya  adalah  perusahaan  swasta  besar  dan  BUMN, khususnya di sektor pertambangan, industri terkait ekspor, makanan, perdagangan grosir dan ritel,  serta  sektor  telekomunikasi.  Sebaliknya  nasabah  ritel  lebih  merupakan  nasabah perorangan yang berjumlah sangat banyak dengan kemampuan pendanaan yang relatif lebih terbatas.  Perbedaan  karakteristik  nasabah  ini  memiliki  konsekuensi  pada  terdapatnya perbedaan perlakuan pelayanan bank yang diberikan sesuai dengan tuntutan dari nasabah itu sendiri. 

Untuk memberikan pelayanan yang baik kepada nasabah‐nasabah ritel, bank harus memiliki kemampuan  teknologi  yang  baik,  jaringan  distribusi  yang  luas,  produk‐produk  perbankan yang menarik,  serta promosi yang gencar disertai  iming‐iming hadiah yang  jumlahnya  tidak sedikit.  Selain  itu,  hal  yang  tidak  kalah  pentingnya  adalah  adanya    dukungan  kinerja pegawainya  melalui  peningkatan  kompetensi  yang  terus  menerus,  dimana  dalam  era persaingan usaha yang semakin  tinggi di segmen ritel  tersebut diperlukan pendekatan yang bersifat  konsultatif  agar  karyawan  mampu  memahami  kebutuhan  nasabah  yang sesungguhnya. 

Pentingnya  peningkatan  kompetensi  pegawai  yang  terus  menerus  kemudian  mendorong perusahaan memberikan pendidikan dan pelatihan/training yang memampukan pegawainya untuk memahami  kebutuhan  nasabah  secara  tepat  agar  dapat menawarkan  dan menjual produk  perbankan  yang  sesuai.  Pentingnya  peran  training  untuk mengembangkan  sektor perbankan ritel ini semakin disadari oleh kalangan perbankan Indonesia, terutama oleh bank‐bank  milik  negara  yang  selama  ini  cenderung  kurang  menaruh  perhatian  terhadap  hal tersebut. 

Setelah  training  diberikan,  tentunya  perusahaan  perlu mengetahui  sejauhmana  kontribusi training tersebut terhadap perubahan atau peningkatan kinerja pegawai maupun perusahaan secara  keseluruhan.  Hal  ini  penting  karena  disadari  bahwa  belum  tentu  training  yang diberikan  kemudian  selalu memberikan  hasil  yang  efektif  sesuai  dengan  yang  diharapkan perusahaan.  Untuk  itu,  perlu  dilakukan  evaluasi  untuk  mengukur  sejauhmana  efektivitas training tersebut terhadap tujuan yang  ingin dicapai. Terkait dengan hal tersebut, Donald L. Kirkpatrick  (1998)  mengatakan  bahwa  evaluasi  suatu  training  adalah  bagian  yang  tidak terpisahkan  dari  penyelenggaraan  training  itu  sendiri  dan  bahwa  evaluasi  tersebut merupakan  kegiatan  yang  harus  dilakukan  agar  training  secara  keseluruhan  dapat berlangsung dengan efektif. 

Pada  tahun  1959,  Kirkpatrick  mengemukakan  teorinya  yang  terkenal  mengenai  evaluasi training  melalui  tulisannya  di  American  Society  for  Training  and  Development  Journal. Menurutnya, ada empat tingkat/ level dalam evaluasi training, yaitu: 

2

− Level 1: Reaction 

Page 3: Cara Menghitung Return of Training Investment

3

Evaluasi  pada  tingkat  ini  mengukur  reaksi  kepuasan  peserta  terhadap  pelaksanaan training. 

− Level 2: Learning Evaluasi pada tingkat ini mengukur sejauhmana peserta memahami materi training yang disampaikan dalam tiga domain kompetensi: knowledge, skill, dan attitude. 

− Level 3: Behavior Evaluasi  pada  tingkat  ini  mengukur  sejauhmana  peserta  menerapkan/ mengimplementasikan  pemahaman  kompetensi  yang  diperolehnya  tersebut  dalam lingkungan pekerjaannya. 

− Level 4: Results Evaluasi pada tahap ini mengukur seberapa besar dampak pelaksanaan training terhadap kinerja pekerjaan ataupun hasil akhir yang diharapkan. 

Meskipun masing‐masing  tingkat  evaluasi  tersebut mengukur  hal  yang  berbeda  dan  tidak sekuensial,  Kirkpatrick menegaskan  bahwa  evaluasi  training  harus  dilakukan  tingkat  demi tingkat  agar  tidak  terjadi  bias  dalam menginterpretasikan  hasil  evaluasi  tersebut.  Evaluasi pada  Level  3,  misalnya,  sebaiknya  dilakukan  apabila  Level  1  dan  2  telah  dievaluasi  dan diinterpretasikan  hasilnya  terlebih  dahulu.  Level  1  dan  2  dilakukan  pada  saat  training dilakukan, sementara Level 3 dan 4 dilakukan beberapa waktu setelah eks‐peserta kembali ke pekerjaannya. 

Mencermati  keempat  tingkat  evaluasi  tersebut,  maka  dapat  dipahami  bahwa  Level  1 merupakan evaluasi yang paling  sederhana dan mudah untuk dilakukan,  sementara Level 4 adalah evaluasi yang paling sulit. Umumnya, perusahaan melakukan evaluasi pada Level 1 dan 2  saja  dengan  pertimbangan  keterbatasan waktu,  biaya, maupun metode  pengukurannya, sebagaimana diuraikan pada bagian  lain  tulisan  ini. Mereka  sudah puas pada hasil evaluasi yang mengatakan, misalnya,  bahwa  training  telah  dilaksanakan  dengan  baik, modul‐modul yang  diberikan  cukup  menarik,  cara  penyampaian  oleh  trainer  sudah  baik,  materi  yang disampaikan  dapat  dipahami  oleh  peserta,  serta  hal‐hal  teknis  lainnya.  Penyelenggaraan evaluasi Level 1 dan Level 2  ini  juga relatif mudah dan murah karena dilakukan saat peserta masih berada di lokasi training dan belum kembali ke tempat kerjanya. Metode evaluasi yang digunakanpun relatif sederhana dan bersifat umum dalam pengertian dapat digunakan untuk hampir semua jenis training. 

Sayangnya,  hasil  evaluasi  pada  Level  1  dan  2  tersebut  menjadi  kurang  bermakna  ketika muncul  pertanyaan‐pertanyaan  kritis  seperti  ”Mampukah  eks‐peserta  training  nantinya menerapkan  pengetahuan  dan  keterampilan  barunya  tersebut  dalam  pekerjaannya  sehari‐hari?” atau ”Relevankah materi yang diberikan dengan kenyataan yang dihadapi?” atau lebih jauh  lagi  ”Apakah  dengan  mengikuti  training  tersebut  eks‐peserta  terbukti  meningkat 

Page 4: Cara Menghitung Return of Training Investment

4

kinerjanya?”  dan  sejumlah  pertanyaan  lain  yang  secara  keseluruhan  akan  menggugat efektivitas  penyelenggaraan  suatu  training.  Sebaliknya,  evaluasi  pada  Level  3  dan  4  dapat memberikan jawaban atas semua pertanyaan kritis tadi. 

Evaluasi pada  Level 3 mampu memberikan pemahaman kepada perusahaan/penyelenggara training mengenai  apakah materi  yang diberikan dapat diterapkan atau diimplementasikan dengan baik dalam pekerjaan  sehari‐hari dan  jika  ternyata  tidak, kendala‐kendala apa yang perlu diatasi. Hal yang lebih penting lagi, evaluasi pada tahap ini dapat memberikan feedback yang berharga bagi penyempurnaan pelaksanaan  training  secara  keseluruhan dihubungkan dengan kenyataan yang ada sehingga pada akhirnya dapat memberikan kontribusi yang nyata terhadap peningkatan kinerja karyawan. 

Sementara  itu,  evaluasi  pada  Level  4  akan memberikan  jawaban  akhir mengenai  apakah tujuan penyelenggaraan suatu training telah tercapai atau belum. Umumnya, suatu training diselenggarakan  dengan  tujuan  memberikan  dampak  yang  positif  terhadap  kinerja perusahaan, misalnya  peningkatan  hasil  penjualan,  peningkatan  hasil  produksi,  penurunan biaya  produksi,  peningkatan  pelayanan  nasabah,  dan  sebagainya, meski  ada  pula  training yang  tidak  berdampak  langsung  terhadap  kinerja  perusahaan,  seperti  training  mengenai kepemimpinan, kerjasama antarpegawai, dan sebagainya. 

Mencermati hal  tersebut, maka dapat dipahami bahwa evaluasi hingga Level 3 dan  Level 4 sebenarnya merupakan suatu keharusan apabila perusahaan ingin mengetahui apakah hal‐hal yang menjadi tujuan training telah tercapai dan dengan demikian berarti pula bahwa training tersebut  telah  terselenggara  secara  efektif.  Sayangnya,  masih  banyak  perusahaan  yang  menghadapi berbagai masalah dan kendala dalam melakukan evaluasi  training hingga  level tersebut. 

Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan mengapa evaluasi Level 3 dan Level 4  jarang dilakukan, sebagai berikut: 

− Waktu Evaluasi  pada  Level  3  dan  4  membutuhkan  waktu  yang  relatif  cukup  lama  karena dilakukan  setelah  eks‐peserta  training  kembali  ke  tempat  pekerjaannya  semula.  Jika dalam  satu  tahun  suatu  perusahaan  menyelenggarakan  10  jenis  training  saja  setiap bulannya  dengan  jumlah  peserta  rata‐rata  25  orang  dapat  dibayangkan  berapa  lama waktu  yang dibutuhkan untuk mengevaluasi  setiap  training  tersebut. Apalagi,  evaluasi harus dilakukan beberapa waktu setelah training diselesaikan agar terdapat cukup waktu bagi eks‐peserta untuk menerapkan materi training tersebut di lingkungan pekerjaannya sehari‐hari. 

− Biaya 

Page 5: Cara Menghitung Return of Training Investment

5

Lamanya waktu  yang  diperlukan  serta  banyaknya  dan  tersebarnya  jumlah  eks‐peserta yang  perlu  disertakan  dalam  evaluasi  Level  3  dan  4  ini  mengakibatkan  biaya  yang diperlukan  juga  relatif  besar,  apalagi  dibandingkan  dengan  biaya  untuk  melakukan evaluasi Level 1 dan 2. 

− Metode pengukuran Banyak perusahaan belum memahami metode pengukuran yang tepat untuk melakukan evaluasi pada  Level 4.  Salah  satu masalah  yang dihadapi  adalah  cara untuk mengukur seberapa  besar  peran  training  terhadap  perubahan/peningkatan  kinerja  yang  terjadi. Disadari  bahwa  peningkatan  kinerja  seorang  pegawai  tidak  hanya  disebabkan  oleh training  semata,  melainkan  dapat  pula  akibat  faktor‐faktor  lainnya,  seperti  adanya lingkungan  kerja  yang mendukung,  perbaikan  sistem  dan metode  kerja,  peningkatan teknologi  yang  digunakan,  dan  sebagainya.  Terkait  dengan  hal  tersebut  maka  perlu dilakukan  pemilahan/isolasi  atas  peningkatan  kinerja  atau  result  yang  benar‐benar merupakan dampak training dan bukannya disebabkan oleh faktor‐faktor lainnya.  

− Spesifikasi penelitian Berbeda dari evaluasi Level 1 dan Level 2 yang bersifat umum, evaluasi Level 3 dan Level 4 memiliki spesifikasi khusus yang berbeda antara satu training dengan training lainnya. Dengan  demikian,  peneliti/evaluator  harus  memiliki  pengetahuan  yang  mencukupi tentang training itu sendiri, khususnya dikaitkan dengan pekerjaan yang ditangani sehari‐hari oleh eks‐peserta training tersebut. 

Lebih  jauh  lagi,  hasil  evaluasi  pada  Level  4  ini  dapat  digunakan  sebagai  dasar  perhitungan Return  on  Training  Investment  (ROTI)  yang membandingkan  hasil  yang  diperoleh  dengan biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan suatu  training. Perusahaan/penyelenggara training  semakin  menyadari  pentingnya  dilakukan  evaluasi  hingga  Level  4  sekaligus pengukuran  ROTI‐nya  agar  mereka  memiliki  keyakinan  bahwa  training  yang diselenggarakannya  benar‐benar memiliki  dampak  positif  terhadap  kinerja  perusahaannya serta masih memberikan keuntungan  finansial yang  lebih besar dibandingkan dengan biaya yang mereka keluarkan. 

Beberapa  peneliti  juga  menekankan  pentingnya  evaluasi  training  yang  didasarkan  pada perhitungan  finansial  agar  mampu  memberikan  informasi  yang  nyata  dan  tegas  kepada perusahaan  mengenai  kontribusi  training  tersebut  terhadap  kinerja  perusahaan.  Sandra Shelton dan George Alliger  (1993), Donna Goldwasser  (2001),  serta  Jack  J. Phillips dan Ron Drew  Stone  (2002)  adalah  beberapa  peneliti  yang  meyakini  bahwa  perusahaan  harus menghitung secara cermat setiap uang yang dikeluarkan untuk membiayai penyelenggaraan training, dan bahwa perhitungan tersebut haruslah dalam konteks business results dan return on investment. 

Page 6: Cara Menghitung Return of Training Investment

6

Pembahasan  di  atas  menyiratkan  perlunya  dilakukan  evaluasi  training  yang  lengkap  dan komprehensif  untuk  mengetahui  efektivitas  penyelenggaraan  training  tersebut  dalam konteks  perubahan/peningkatan  kinerja  pegawai  yang  pada  gilirannya membawa  dampak positif  bagi  kemajuan  bisnis  perusahaan.  Lebih  jauh  lagi,  pengukuran  efektivitas  training tersebut  haruslah  dilakukan  dalam  hubungannya  dengan  business  results  dan  return  on investment agar dapat memberikan gambaran finansial yang sebenarnya bagi perusahaan.  Teori Evaluasi Training: The Four Levels  Salah satu  teori mengenai evaluasi  training dikemukakan oleh Kirkpatrick pada  tahun 1959, yang  dikenal  dengan  The  Four  Levels  Techniques  for  Evaluating  Training  Programs.  Pada prinsipnya,  teori  ini menyatakan  bahwa  proses  evaluasi  suatu  training  terdiri  dari  empat tingkat/level  yaitu  Level  1  sampai  dengan  Level  4  yang, meskipun  tidak  sekuensial,  saling terkait  satu dengan  lainnya. Teori  ini  sangat  terkenal dan  telah menjadi bahan diskusi dan perdebatan  hingga  saat  ini,  khususnya  evaluasi  pada  Level  4,  sehingga  bahkan  dapat dikatakan  tidak  ada  teori  lain  mengenai  evaluasi  training  yang  demikian  terkenalnya dibandingkan teori Kirkpatrick ini.     Evaluasi Training Level 1: Reaction Kirkpatrick mengatakan bahwa evaluasi atas reaksi peserta mengenai training yang diikutinya merupakan  hal  yang  penting  untuk  dilakukan  karena menurutnya  apabila  seorang  peserta bereaksi  negatif  dan  tidak  menyukai  cara‐cara  penyelenggaraan  training  maka  jangan diharapkan dia mampu mempelajari dan memahami dengan baik materi yang disampaikan dalam  training  tersebut. Hal‐hal yang dievaluasi pada  level  ini antara  lain mengenai materi training,  instruktur/ trainer, fasilitas yang disediakan, waktu penyelenggaraan, serta metode yang digunakan. 

Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dengan melakukan evaluasi Level 1 ini. Pertama, memberikan  umpan  balik  (feedback)  yang  berguna  bagi  penyempurnaan  penyelenggaraan training berikutnya. Kedua, jika peserta tidak ditanya reaksinya maka dengan kata  lain pihak penyelenggara akan merasa paling  tahu dan sudah merasa benar dalam menyelenggarakan training. Ketiga, evaluasi Level 1 akan memberikan  informasi kuantitatif yang dapat menjadi masukan bagi para manajer ataupun pihak‐pihak  lain yang berkepentingan dengan program training  tersebut. Keempat, umpan balik peserta  training akan memberikan  informasi yang sangat  berharga  bagi  para  trainer  dalam meningkatkan  kinerjanya  pada  program‐program training berikutnya. 

Evaluasi Training Level 2: Learning Tiga  domain  kompetensi  (knowledge,  skills,  dan  attitudes) merupakan  hal‐hal  yang  dapat diajarkan  dalam  suatu  training.  Oleh  karenanya,  evaluasi  pada  level  ini  juga menekankan pada  seberapa  jauh  pembelajaran  (learning)  peserta  atas  materi  training  dalam  konteks peningkatan kompetensi mereka. Kirkpatrick menekankan pentingnya dilakukan evaluasi  ini 

Page 7: Cara Menghitung Return of Training Investment

7

karena menurutnya  jika  seorang  peserta  tidak  dapat memahami  dengan  baik materi  yang diberikan,  maka  jangan  berharap  akan  terjadi  perubahan  dalam  behavior‐nya  saat  dia kembali ke tempat kerjanya. 

Untuk mengetahui  apakah  seorang  peserta  telah memahami  dengan  baik materi  training, biasanya dilakukan pengujian sebelum dan sesudah training  (pre‐test dan post‐test) dengan materi  yang  sama  atau  tidak  jauh  berbeda  sehingga  hasilnya  dapat  diperbandingkan.  Jika terdapat peningkatan skor hasil post‐test dibandingkan pre‐test maka diyakini bahwa peserta tersebut telah memiliki pemahaman yang lebih baik sebagai dampak mengikuti training. 

Evaluasi Training Level 3: Behavior Evaluasi Level 3  ini dilakukan untuk mengetahui seberapa  jauh perubahan yang terjadi pada eks‐peserta  pada  saat  dia  kembali  ke  lingkungan  pekerjaannya  setelah mengikuti  training, khususnya  perubahan  atas  behavior  ketiga  domain  kompetensi  (knowledge,  skills,  dan attitudes).  Menurut  Kirkpatrick,  pertanyaan  kritis  pada  evaluasi  ini  adalah:  perubahan‐perubahan  dalam  job  behavior  apa  saja  yang  terjadi  setelah  seorang  pegawai mengikuti training  tertentu? Untuk menjawab pertanyaan  tersebut, menurutnya  ada  tiga hal penting yang  harus  diperhatikan  yaitu  pertama,  eks‐peserta  tidak  dapat  merubah  behavior‐nya sampai  dia  memperoleh  kesempatan  untuk  melakukannya.  Kedua,  sangat  sukar  untuk memperkirakan  kapan  perubahan  itu  akan  terjadi  dan  ketiga,  bisa  jadi  eks‐peserta  tadi menerapkan  pengetahuan  dan  keterampilan  barunya  dalam  pekerjaannya  sehari‐hari sekembalinya dari training, namun kemudian tidak melakukannya lagi di kemudian hari.  

Dengan kata  lain, evaluasi Level 3  ini tidak cukup hanya sekedar mengukur perubahan yang terjadi pada behavior eks‐peserta, namun  lebih  jauh  lagi perlu dievaluasi pula  sejauhmana perubahan  yang  terjadi  tersebut  dapat  diterapkan  dalam  praktek  kerja  sehari‐harinya. Evaluasi ini perlu dilakukan karena bisa saja perubahan yang dialami oleh eks‐peserta training berupa meningkatnya pengetahuan, bertambahnya keterampilan, atau berubahnya perilaku dalam  bekerja  pada  kenyataannya  tidak  membawa  pengaruh  besar  ketika  dicoba  untuk diterapkan dalam pekerjaannya, halmana disebabkan oleh adanya faktor‐faktor non‐training yang menjadi penghambat, misalnya sistem operasional yang kurang handal, lingkungan kerja yang  kurang  kondusif,  dan  sebagainya. Memperhatikan  pentingnya  penerapan  perubahan behavior dalam praktek  kerja  sehari‐hari, Kirkpatrick  juga menyarankan perlunya diberikan bantuan, dorongan, serta penghargaan bagi eks‐peserta training ketika dia kembali ke tempat kerjanya. 

Evaluasi Training Level 4: Results Evaluasi Level 4 diakui oleh Kirkpatrick sebagai evaluasi yang paling penting sekaligus paling sulit untuk dilakukan, yaitu sejauhmana  training yang dilakukan memberikan dampak/ hasil (results)  terhadap  peningkatan  kinerja  eks‐peserta,  unit  kerja, maupun  perusahaan  secara keseluruhan. Kirkpatrick meyakini bahwa dampak training terhadap kinerja tidaklah mungkin 

Page 8: Cara Menghitung Return of Training Investment

8

dievaluasi  dalam  konteks  analisis  keuangan.  Ada  dua  hal  yang  mendasari  keyakinannya tersebut.  Pertama,  tidaklah mungkin mengukur  results  yang  diperoleh  dari  training  dalam satuan  keuangan  untuk  kemudian  dibandingkan  dengan  biaya  yang  dikeluarkan  untuk penyelenggaraan training tersebut. Kedua, jikapun hal pertama tadi dapat dilakukan, analisis yang  diperoleh  tidak  lalu menyimpulkan  bahwa manfaat  yang  diperoleh merupakan  hasil langsung  dari  program  training.  Dengan  kata  lain, masih  ada  faktor‐faktor  lain  yang  juga mempengaruhi  peningkatan  kinerja  yang  terjadi  dan  tidak  semata‐mata merupakan  hasil training.  

Menurut Kirkpatrick,  results yang diperoleh  seringkali merupakan  sesuatu yang  sangat  sulit untuk  dikuantifisir,  misalnya  peningkatan  kualitas  kerja,  produktivitas  yang  semakin meningkat,  peningkatan  kepuasan  kerja,  efektivitas  komunikasi,  penurunan  tingkat kesalahan,  peningkatan  kerjasama  antar  pegawai,  dan  sebagainya.  Di  sisi  lain,  biaya penyelenggaraan program  juga  terlalu sukar untuk ditentukan dan diisolasi dari biaya‐biaya lainnya. Dengan  kata  lain,  terlalu banyak  faktor  yang mempengaruhi  perhitungan manfaat maupun biaya suatu training. 

Kritik Atas Teori The Four Levels Meskipun teori The Four Levels tadi telah memberikan dasar yang kuat dalam hal melakukan evaluasi training, tidak sedikit pula pakar yang mengajukan kritik atas beberapa keterbatasan yang ada dalam teori tersebut. Dalam bukunya, Raymond A. Noe (2005) mengemukakan tiga kritik. Pertama, penelitian yang dilakukan tidak menunjukkan pemahaman bahwa setiap level dipengaruhi  oleh  level  sebelumnya  sebagaimana  yang  dikemukakan  dalam  kerangka Kirkpatrick,  dan  juga  bahwa  tidak  terbukti  adanya  perbedaan  tingkat  kepentingan  dalam setiap level evaluasi.  

Kedua,  pendekatan  yang  digunakan  dalam  teori  The  Four  Levels  tidak mempertimbangkan tujuan  dari  evaluasi  itu  sendiri.  Seharusnya,  menurut  Noe,  hasil  evaluasi  tersebut dihubungkan  dengan  kebutuhan  training  (training  needs),  tujuan  training,  serta pertimbangan‐pertimbangan  stratejik  yang  melatarbelakangi  diselenggarakannya  training tersebut.  

Kritik  ketiga  terkait  dengan  waktu  pelaksanaan  evaluasi. Menurut  teori  The  Four  Levels, evaluasi  harus  dilakukan  secara  bertahap,  level  demi  level,  padahal  dalam  kenyataannya evaluasi Level 1 dan Level 2 harus dilakukan dalam waktu yang hampir bersamaan  ‐yaitu di akhir  program‐  untuk mengukur  apakah memang  telah  terjadi  peningkatan  pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang positif atas para peserta training. 

Berdasarkan kritik‐kritik tersebut, para pakar berpendapat bahwa dalam melakukan evaluasi training perlu dipertimbangkan pula beberapa keluaran training (training outcomes)  lainnya 

Page 9: Cara Menghitung Return of Training Investment

9

agar  mampu  memberikan  kesimpulan  yang  lebih  komprehensif.  Noe  mengelompokkan training outcomes tersebut dalam lima kategori, yaitu: − cognitive outcomes (digunakan untuk mengukur sejauhmana peserta memahami prinsip‐

prinsip, fakta, teknik, prosedur, atau proses kerja yang diberikan dalam training),  − skill‐based outcomes (digunakan untuk mengukur peningkatan keterampilan dan perilaku 

kerja peserta),  − affective  outcomes  (digunakan  untuk  mengukur  reaksi  dan  motivasi  peserta  atas 

penyelenggaraan training), − results  (digunakan  untuk  mengukur  kontribusi  training  kepada  peningkatan  kinerja 

perusahaan), dan  − return  on  investment  (membandingkan  manfaat  yang  diperoleh  dari  hasil 

penyelenggaraan training dengan biaya yang dikeluarkan). 

Memperhatikan  kelima  kategori  training  outcomes  tersebut,  maka  hal  yang  paling membedakannya  dengan  teori  The  Four  Levels  sebenarnya  adalah  pada  kategori  kelima (return on  investment) yang menegaskan perlunya diperbandingkan biaya penyelenggaraan training  dengan  manfaat  yang  diperoleh  dalam  bentuk  analisis  finansial  dengan menggunakan ukuran‐ukuran keuangan. 

 Pendekatan Finansial Dalam Mengukur Dampak Training:                       Return on Training Investment  Sebagaimana  telah dikemukakan di atas,  teori The Four  Levels  telah menjadi bahan diskusi dan  perdebatan  hingga  saat  ini,  khususnya  evaluasi  pada  Level  4. Diskusi  dan  perdebatan terjadi  sehubungan  dengan  mungkin  tidaknya  suatu  training  diukur  dalam  perspektif finansial, khususnya dalam bentuk perhitungan Return on Investment (ROI) atau dalam hal ini Return on Training Investment (ROTI).  

Beberapa pakar, termasuk Kirkpatrick sendiri, berpendapat bahwa Level 4 mengukur seluruh hasil akhir (final result) yang disebabkan oleh training tersebut dan bahwa yang dimaksudkan dengan  pengukuran  pada  Level  4  tersebut  bukanlah  merupakan  suatu  analisis  finansial, termasuk  ROTI  ataupun  training  cost‐benefit  analysis. Menurut  Karie  A. Willyerd  (1997), banyak  orang  yang  salah  menginterpretasikan  Level  4  sebagai  tahap  perhitungan  ROI, padahal  Kirkpatrick  secara  tegas menyebutnya  sebagai  tahap  pengukuran  results,  dimana kedua istilah tadi pada dasarnya memiliki perbedaan yang cukup signifikan sehingga penting untung dipermasalahkan.  

Menurutnya, paling tidak ada tiga keterbatasan metode ROI yang menyebabkannya bukanlah merupakan  alat  diagnostik  yang  baik  untuk  mengevaluasi  suatu  training.  Pertama,  ROI biasanya  tidak mencakup  seluruh  tujuan  stratejik perusahaan. Kedua, ROI  lebih merupakan potret  sesaat  yang  memberikan  informasi  mengenai  apa  yang  telah  dicapai  perusahaan, namun tidak mampu memberikan gambaran mengenai apa yang akan dicapai di masa depan. 

Page 10: Cara Menghitung Return of Training Investment

10

Ketiga, ROI merupakan  sebuah  lagging  indicator. Pendeknya, menurut Karie, ROI bukanlah suatu  metode  yang  mampu  memberikan  gambaran  yang  menyeluruh  mengenai  evaluasi training sebaik yang diberikan oleh pengukuran result sebagaimana yang dimaksudkan oleh Kirkpatrick. 

Sebaliknya, beberapa pakar justru menekankan pentingnya evaluasi training yang didasarkan pada perhitungan finansial agar mampu memberikan informasi yang nyata dan tegas kepada perusahaan  mengenai  kontribusi  training  tersebut  terhadap  kinerja  perusahaan.  Sandra Shelton  dan  George  Alliger  (1993)  menegaskan  bahwa  tidak  dapat  dihindari  lagi  bahwa perusahaan harus menghitung secara cermat setiap uang yang dikeluarkan untuk membiayai penyelenggaraan training, dan bahwa perhitungan tersebut haruslah dalam konteks business results dan return on  investment. Shelton dan Alliger mensinyalir bahwa banyak perusahaan tidak  mau  melakukan  evaluasi  finansial  atas  training  yang  diselenggarakannya  karena masalah pengumpulan data dan interpretasinya yang sulit dan membutuhkan banyak waktu, meski  sebenarnya  mereka  telah  menyadari  bahwa  training  cost‐benefit  analysis  akan memberikan informasi yang jauh lebih baik bagi kepentingan perusahaan dibandingkan data yang diperoleh dari survey mengenai pelaksanaan training itu sendiri. 

Donna  Goldwasser  (2001)  juga  menekankan  perlunya  dilakukan  evaluasi  training  yang didasarkan atas perhitungan manfaat dan biaya secara tegas, bahkan dia mengatakan bahwa evaluasi  pada  ketiga  level  pertama  (Level  1  sampai  dengan  Level  3)  menjadi  berkurang maknanya  apabila  perusahaan  tidak mengevaluasi  training  sesuai  dengan  bottom  line‐nya, yaitu  meningkatkan  kinerja  pegawai  dan  perusahaan  secara  keseluruhan.  Goldwasser mengatakan  bahwa  salah  satu  hambatan  utama  dalam  melakukan  evaluasi  Level  4  dan perhitungan  ROTI  adalah  masalah  metode  pengukuran  (measurement)  yang  tepat  untuk digunakan, termasuk untuk mengisolasi hasil yang diperoleh akibat training dari faktor‐faktor lainnya. 

Jack  J. Phillips dan Ron Drew Stone  (2002) bahkan  lebih  tegas  lagi. Phillips dan Stone  tidak hanya  berpendapat  bahwa  evaluasi  training  harus  dilakukan  dalam  konteks  training  cost‐benefit analysis, namun  lebih  jauh  lagi mereka menyebut perhitungan ROTI sebagai evaluasi Level  5.  Level  5  ini merupakan  evaluasi  terhadap  nilai‐nilai  finansial  dari  pengaruh  bisnis (business  impact)  yang  diakibatkan  oleh  penyelenggaraan  training,  dibandingkan  dengan biaya  training  itu sendiri. Data business  impact dikonversi ke dalam nilai‐nilai  finansial agar dapat dimasukkan dalam perhitungan matematis ROTI. Dengan perhitungan  tersebut maka nilai  training  yang  sesungguhnya  dapat  tergambarkan  dalam  konteks  bisnis  perusahaan secara  keseluruhan.  Secara  tegas,  mereka  menyatakan  bahwa  evaluasi  training  tidaklah lengkap bila tidak dilakukan hingga Level 5. 

Phillips  dan  Stone  juga mengemukakan  perlunya  diperhitungkan manfaat‐manfaat  training lain  yang merupakan  intangible  benefits  yang  tidak  dapat  atau  tidak  boleh  dikonversi  ke 

Page 11: Cara Menghitung Return of Training Investment

11

dalam  nilai‐nilai  finansial.  Beberapa  contoh  intangible  benefits  antara  lain  peningkatan kepuasan  pelanggan/nasabah,  perbaikan  dalam  hal  response  time  kepada pelanggan/nasabah, peningkatan kerjasama, dan sebagainya. 

Berkaitan dengan evaluasi hingga Level 4 sekaligus perhitungan ROTI  ini, Shelton dan Alliger (1993) mengingatkan bahwa tidak semua jenis training perlu dievaluasi hingga level tersebut. Langkah  pertama  yang  harus  dilakukan menurut mereka  adalah meyakini  terlebih  dahulu apakah memang training yang akan dievaluasi memiliki dampak  langsung terhadap business results  perusahaan  dan memang  ditujukan  untuk meningkatkan  kinerja  perusahaan  secara langsung. Jika tidak, maka evaluasi hingga Level 4 dan perhitungan ROTI sesungguhnya tidak diperlukan. Setelah memastikan hal tersebut, harus pula diyakini bahwa evaluasi Level 4 dan perhitungan  ROTI  tersebut memang  dapat  dilakukan  (doable)  terkait  dengan  ketersediaan data, waktu, biaya, dan  terutama metode pengukuran  kinerja usaha dari perusahaan  yang bersangkutan. 

Berdasarkan  penelaahan  terhadap  berbagai  pandangan  para  peneliti  di  atas maka  dapat dipahami  bahwa  pada  dasarnya  dimungkinkan  untuk  melakukan  evaluasi  suatu  training hingga  ke  perhitungan  dampak  finansialnya,  antara  lain  dalam  bentuk  Return  on  Training Investment. Dalam melakukan perhitungan dampak finansial training tersebut, terdapat dua hal penting yang perlu dicermati, yaitu pertama perlunya dilakukan isolasi atas faktor training dari faktor‐faktor lainnya agar perusahaan dapat meyakini seberapa besar kontribusi training terhadap  perubahan/peningkatan  kinerja  seseorang;  dan  kedua  kemampuan  untuk mengkonversi  data  yang  diperoleh  ke  dalam  ukuran‐ukuran  finansial.  Tahap  isolasi  faktor training  dan  tahap  konversi  data  ini  sekaligus  menjawab  keraguan  Kirkpatrick  mengenai mungkin tidaknya perhitungan dampak finansial training dilakukan.  Ilustrasi Penghitungan ROTI Sebagai  ilustrasi  dalam  penghitungan  ROTI  digunakan  training  Selling  Retail  Bank  Services (SRBS)  yang diselenggarakan oleh Bank X. Bank X merupakan  salah  satu bank milik negara terbesar  di  Indonesia  dilihat  dari  sisi  jumlah  aktiva maupun  dana  pihak  ketiganya.  Bank  X melayani lebih dari enam juta nasabah dan memiliki sekitar 18.000 orang pegawai, serta lebih dari 800 kantor cabang dan kantor kas. Jaringan distribusi lainnya adalah ATM sejumlah lebih dari  1.500  unit  serta  jaringan  ATM  Link  hasil  kerja  sama  dengan  bank‐bank milik  negara lainnya, yang memungkinkan nasabah untuk mengakses ke lebih dari 3.000 ATM.  

Pada  awal  pembentukannya,  bank  ini  memiliki  core  competence  sebagai  corporate  bank sebagaimana  halnya  dengan  bank‐bank  milik  negara  lainnya.  Namun  seiring  dengan terjadinya gejolak di segmen corporate bank serta sejalan dengan visi baru perusahaan yang ditetapkan  tahun  2001,  dilakukan  transformasi  core  competence  Bank  X menjadi  universal bank  yang  memiliki  keunggulan  bersaing  di  segmen  consumer/ritel,  commercial,  dan corporate bank. Transformasi  tersebut menuntut Bank X untuk mengejar ketertinggalannya 

Page 12: Cara Menghitung Return of Training Investment

12

dari  bank‐bank  pesaing,  khususnya  di  segmen  ritel,  sementara  segmen  corporate  dan commercial  relatif  tidak  terlalu  menuntut  perhatian  mengingat  pengalaman  bank‐bank bergabung  (legacy  banks)  yang  telah  puluhan  tahun  berkiprah  di  industri  perbankan Indonesia. 

Begitu  pentingnya  untuk  segera mengembangkan  segmen  usaha  ritel,  hingga manajemen Bank X memutuskan untuk melakukan perubahan secara quantum‐leap di segmen tersebut. Berbagai  upaya  perbaikan  telah  dilakukan  bank  tersebut,  antara  lain  menyelenggarakan program kampanye produk deposito dan tabungan secara besar‐besaran, pembukaan Priority Banking  Center  bagi  nasabah  utama,  peningkatan  kredit  kepada  segmen  usaha  kecil  dan menengah,  serta  peluncuran  kartu  kredit.  Untuk  meningkatkan  kemudahan  pencapaian pelayanan nasabah ritel, Bank X  juga terus menyempurnakan  jaringan distribusi baik kantor cabang,  kantor  kas,  maupun  ATM.  Dalam  perkembangannya  di  tahun‐tahun  selanjutnya, upaya Bank X untuk mengembangkan segmen usaha ritel ini semakin gencar untuk mengejar ketertinggalan dari bank‐bank pesaingnya. 

Dalam  kaitannya  dengan  strategi  perusahaan  untuk  mengejar  ketertinggalannya  dalam pengembangan  sektor perbankan  ritel  tersebut,  training Selling Retail Bank Services  (SRBS) merupakan  salah  satu  kegiatan  pendidikan  dan  pelatihan  yang memiliki  nilai  stratejik  bagi pengembangan usaha Bank X. Bahkan, dalam  konteks persaingan  antarbank  yang  semakin meningkat, SRBS telah berkembang menjadi salah satu training yang diandalkan oleh Bank X untuk terus meningkatkan kompetensinya di segmen ritel. Training SRBS ini diselenggarakan sejak  tahun  2001  dan  telah  diikuti  oleh  ribuan  pegawai  Bank  X,  khususnya  yang  terkait dengan pengembangan usaha sektor ritel bank tersebut. Evaluasi Level 1 dan 2 atas training SRBS ini juga telah dilakukan selama ini dengan menunjukkan hasil yang baik.  Sekilas Tentang Training Selling Retail Bank Services Ada  5  (lima)  tujuan  yang  ingin  dicapai melalui  penyelenggaraan  training  SRBS  ini,  sebagai berikut: • Peserta mampu mempelajari proses penjualan produk‐produk perbankan  segmen  ritel 

serta menentukan langkah yang akan dilakukan saat berinteraksi dengan nasabah. • Peserta  mampu  mengamati  situasi  dan  masalah  agar  dapat  menentukan  kebutuhan 

nasabah dengan tepat. • Peserta mengetahui manfaat dan perbedaan  setiap  fitur produk  serta memahami  cara 

penerapannya saat berinteraksi. • Peserta  mengetahui  cara  mengatasi  keluhan  nasabah  serta  menarik  manfaat  dari 

keluhan tersebut. • Peserta  mengetahui  cara  mendapatkan  komitmen  dari  nasabah  terhadap 

produk/layanan yang diberikan. 

Page 13: Cara Menghitung Return of Training Investment

13

Sementara  itu,  peserta  training  adalah  pihak‐pihak  yang  terlibat  langsung  dalam  proses penjualan produk dan jasa, khususnya di segmen ritel, seperti frontliners, dan unit pemasaran baik di bidang dana maupun kredit. Peserta umumnya berasal dari berbagai tingkat  jabatan seperti  Customer  Service  Officer,  Customer  Service  Representative, Marketing  Officer,  dan Assistant Marketing Officer. 

 Profil Responden Responden  adalah  eks‐peserta  training  Selling  Retail  Bank  Services  yang  telah  mengikuti training  tersebut  minimal  satu  bulan  sebelumnya,  untuk  memberi  kesempatan  baginya menerapkan materi training dalam pekerjaannya sehari‐hari. Dari sekitar 300 kuesioner yang disebarkan,  tercatat  120  kuesioner  yang  dikirimkan  kembali  dan  dapat  diolah.  Dengan demikian,  tingkat pengembalian kuesioner mencapai sekitar 40%. Sebagian besar kuesioner yang  kembali  berasal  dari  cabang‐cabang  Bank  X  di wilayah  Jabodetabek  dan  Pulau  Jawa lainnya, sementara sisanya berasal dari cabang‐cabang di Pulau Sumatera, Bali, Kalimantan, dan Nusa Tenggara.  

Dari  120  responden  yang  mengisi  kuesioner,  77%  di  antaranya  merupakan  pegawai perempuan, sementara sebagian besar (64%) memiliki usia antara 25 hingga 35 tahun (lihat Tabel  1).  Profil  pegawai  frontliners  ini  umum  terdapat  di  industri  perbankan  nasional, termasuk  Bank  X,  yang memang  lebih  banyak menempatkan  pegawai  perempuan  berusia muda di posisi jabatan yang berinteraksi langsung dengan nasabah.   

Tabel 1 Usia Responden 

Usia  Jumlah   Persentase 

<25 tahun  4  3% 

25‐35 tahun  77  64% 

36‐45 tahun  27  23% 

>45 tahun  12  10% 

Jumlah  120  100% 

Sumber: Hasil analisis     

Selanjutnya,  68%  responden memiliki  tingkat  pendidikan  S1,  sementara  pengalaman  kerja mereka sebagian besar telah  lebih dari 6 tahun  (lihat Tabel 2 dan 3). Kedua karakteristik  ini mengindikasikan  bahwa  rata‐rata  responden  telah memiliki  tingkat  pendidikan,  wawasan, serta pengalaman kerja yang relatif cukup memadai.  

Page 14: Cara Menghitung Return of Training Investment

14

Tabel 2 Tingkat Pendidikan Responden 

Tingkat Pendidikan  Jumlah   Persentase  

SLTA  16  13% 

D3  20  17% 

S1  82  68% 

S2  2  2% 

Jumlah  120  100% 

Sumber: Hasil analisis 

. Tabel 3 Pengalaman Kerja Responden 

Lama Bekerja  Jumlah   Persentase  

<1 tahun  0  0% 

1‐3 tahun  21  18% 

3‐6 tahun  40  33% 

>6 tahun  59  49% 

Jumlah  120  100% 

Sumber: Hasil analisis 

 Tahapan Penghitungan Untuk mencapai tujuan akhirnya, penghitungan dibagi dalam beberapa tahap proses kegiatan sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Proses kegiatan tersebut pada dasarnya mengacu pada proses  yang  dikemukakan  oleh  Jack  J.  Phillips  (2002),  dengan  dilakukan  beberapa penyederhanaan sesuai lingkup ilustrasi ini.  Tahap Pengumpulan Data Data  yang  digunakan  merupakan  data  yang  dikumpulkan  setelah  program  training  SRBS dilakukan  dan  para  eks‐peserta  telah  kembali  ke  tempat  kerjanya  semula,  agar  terdapat kesempatan yang cukup bagi mereka untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya selama training.  Menurut  Jack  J.  Phillips  (2002),  tahap  pengumpulan  data  ini merupakan  salah  satu  tahap terpenting dari  seluruh  rangkaian proses  karena  apabila  tidak dilakukan dengan baik maka tidak mungkin mencapai  hasil  yang  diharapkan.  Tahap  ini  juga merupakan  kegiatan  yang paling  banyak menyita waktu  dibandingkan  dengan  kegiatan‐kegiatan  lainnya.  Phillips  juga mengatakan  bahwa  pemilihan  metode  yang  tepat  dalam  tahap  pengumpulan  data  ini ditentukan  oleh  beberapa  faktor,  antara  lain  jenis  training,  kesediaan  eks‐peserta  untuk bekerjasama,  kendala‐kendala  yang  ada  dalam  organisasi/  perusahaan,  ketersediaan  data, 

Page 15: Cara Menghitung Return of Training Investment

15

biaya  dan  waktu  yang  dibutuhkan  untuk mengumpulkan  data,  serta  keakuratan  data  itu sendiri. 

 Berkaitan dengan hal tersebut, Phillips menawarkan 10 (sepuluh) metode pengumpulan data yang  dapat  diterapkan  dalam melakukan  evaluasi  training  Level  3  dan  Level  4  ini,  sebagai berikut: • Follow‐up Surveys 

Metode  ini merupakan sarana untuk memperoleh pendapat, keyakinan, serta nilai‐nilai yang  dimiliki  responden  dalam melakukan  operasional  pekerjaannya,  sehingga  hanya dapat digunakan untuk evaluasi Level 3 saja. 

Page 16: Cara Menghitung Return of Training Investment

23

 

 

 

 

Tahap 1: Pengumpulan Data

Tahap 4: Identifikasi Biaya Training

Tahap 5: Perhitungan Return on Training Investment

Evaluasi Training Level 3, Level 4, dan

ROTI

Tahap 6: Identifikasi Intangible Benefits

Tahap 3: Konversi Data Menjadi Monetary

Values

Sumber: Jack J. Phillips, How to Measure Training Results, 2002, dengan penyesuaian.

Tahap 2: Isolasi Pengaruh Training

Gambar 1 Tahapan Kegiatan

Page 17: Cara Menghitung Return of Training Investment

 • Follow‐up Questionnaires 

Metode  ini dapat digunakan untuk evaluasi Level 3 maupun Level 4 karena mencakup isu  yang  lebih  luas  dengan  jenis  pertanyaan  yang  beragam  dibandingkan  metode sebelumnya. Suatu kuesioner bersifat  lebih  fleksibel dan dapat memberikan  informasi yang beragam, mulai dari sikap kerja sampai dengan statistik peningkatan kinerja yang terjadi. 

 • Observations on the Job 

Metode  ini  digunakan  untuk  evaluasi  Level  3  dan  kadangkala  dianggap  kurang menyenangkan karena pada prinsipnya dilakukan dengan cara mengawasi secara diam‐diam  pekerjaan  responden. Metode  ini  hanya  efektif  apabila  pengawas merupakan orang yang tidak dikenal oleh responden. 

 • Follow‐up Interviews 

Secara  umum,  metode  ini  dapat  memberikan  informasi  yang  lebih  lengkap  karena kelengkapan dan  kebenaran data dapat diyakini oleh peneliti. Kekurangannya  adalah bahwa metode  ini relatif  lebih mahal dan membutuhkan waktu yang  lama, di samping kesulitan  dalam  pengolahan  data  karena  sebagian  informasinya  bersifat  subyektif. Metode ini digunakan untuk evaluasi Level 3. 

 • Follow‐up Focus Groups 

Metode  ini sesuai untuk digunakan pada evaluasi Level 3. Keuntungan dari metode  ini adalah pendekatannya yang lebih bersifat ekonomikal dibandingkan metode Follow‐up Interviews  serta  adanya  sinergi  yang muncul  dari  hasil  diskusi  kelompok,  sementara kekurangmampuannya  untuk  memberikan  pembahasan  yang  lebih  detil  menjadi kekurangan metode ini. 

 • Assignment Related to the Program 

Dalam  beberapa  kasus, metode  ini  dapat  digunakan  untuk  evaluasi  Level  3 maupun Level 4. Pada prinsipnya,  responden diminta menyelesaikan  suatu pekerjaan  tertentu dalam waktu  yang  telah  ditentukan  untuk mengamati  penerapan  pengetahuan  dan keterampilan yang diperolehnya selama training dalam pekerjaan sehari‐hari. 

 • Action Planning/Improvement Plans 

Metode ini juga dapat digunakan untuk evaluasi Level 3 dan Level 4. Responden diminta untuk menyusun  rencana aksi/action plan  sebagai bagian dari program  training yang diikutinya. Rencana aksi tersebut berisikan hal‐hal yang harus diselesaikan, oleh siapa, dan kapan waktu penyelesaiannya. 

 

24

• Performance Contracting 

Page 18: Cara Menghitung Return of Training Investment

Metode ini merupakan variasi dari metode Action Planning Process, dimana komitmen yang  dibuat  antara  responden/eks‐peserta,  atasannya,  dan  trainer menjadi  kontrak kinerja yang harus dicapai oleh responden. Sebagaimana halnya dengan metode Action Planning Process, metode ini juga dapat digunakan dalam evaluasi Level 3 dan Level 4. 

 • Program Follow‐up Session 

Metode  ini membagi  suatu  program  training menjadi  beberapa  sesi  dengan  tujuan antara lain untuk memberikan evaluasi yang lebih baik dari program tersebut. Metode ini dapat digunakan dalam evaluasi training Level 3 dan Level 4. 

 • Performance Monitoring 

Metode  ini  memungkinkan  manajemen  mengevaluasi  kinerja  responden  dengan memanfaatkan  pula  laporan  dan  data‐data  historis  perusahaan.  Oleh  karenanya, metode ini lebih sesuai untuk digunakan pada evaluasi Level 4. 

 Dari  sepuluh metode di atas, metode pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner merupakan  salah  satu  metode  yang  paling  sering  dipakai  dan  dapat  diterapkan  dalam evaluasi Level 3 maupun Level 4. 

 Kuesioner  digunakan  untuk  mengumpulkan  data  dari  para  eks‐peserta  training  SRBS, dengan pertimbangan antara lain: − jenis  training  yang memungkinkan untuk dilakukan pengumpulan data menggunakan 

kuesioner, − keterbatasan  waktu  dan  biaya,  khususnya  mengingat  distribusi  eks‐peserta  yang 

berasal dari cabang‐cabang Bank X di hampir seluruh wilayah Indonesia, − dimungkinkan  untuk  mencapai  tingkat  partisipasi  yang  relatif  tinggi  dari  para  eks‐

peserta training dengan memanfaatkan sistem birokrasi yang ada di Bank X.  

Terkait dengan evaluasi training Level 3 dan Level 4, Jack J Phillips (2002) telah memberikan kisi‐kisi  mengenai  isi  kuesioner  dalam  rangka  evaluasi  tersebut.  Jenis  pertanyaan  yang terdapat  dalam  kuesioner  tersebut  merupakan  kombinasi  antara  pertanyaan  tertutup, pertanyaan  terbuka,  kombinasi  pertanyaan  tertutup  dan  terbuka,  serta  pertanyaan  semi terbuka. Dengan melakukan beberapa penyesuaian atas kisi‐kisi tersebut, selanjutnya dapat disusun kuesioner dalam rangka evaluasi training SRBS untuk Level 3 dan Level 4 yang terdiri dari 15 (limabelas) item pertanyaan.   

25

Selanjutnya,  kuesioner  tersebut  dikirimkan  ke  eks‐peserta  training  SRBS  yang  berada  di cabang‐cabang Bank X di wilayah Indonesia. Sesuai dengan masukan dari unit kerja terkait di Bank  X,  eks‐peserta  yang  diminta  untuk  berpartisipasi  dibatasi  pada  eks‐peserta  training tahun  2005  saja  untuk menghindari  terjadinya  bias  dalam menjawab  pertanyaan  terkait dengan materi‐materi  training  lain  yang  juga  diikutinya,  di  samping  diperkirakan mereka 

Page 19: Cara Menghitung Return of Training Investment

masih mengingat materi  training  SRBS  dengan  cukup  baik  sehingga mampu memberikan respon sebagaimana yang diharapkan.  

 Kuesioner dikirimkan kepada eks‐peserta training sebagai sumber data yang dianggap paling berkompeten.  Terkait  dengan  sumber  data  tersebut,  terdapat  beberapa  pendapat  yang dikemukakan  oleh  para  peneliti.  Secara  umum,  para  peneliti  berpendapat  bahwa  untuk memperoleh hasil  yang  lebih obyektif, evaluasi perubahan perilaku  seseorang  setelah dia mengikuti  training  tertentu perlu dilakukan secara 3600 dengan menyertakan pula atasan, rekan  kerja,  bawahan,  atau  pihak  lain  yang  dapat  mengamati  perubahan  perilaku  eks‐peserta tersebut.  

 Dalam hal ini, Jack J. Phillips (2002) mengatakan bahwa participant (eks‐peserta) merupakan sumber data yang paling sering digunakan dan bahwa mereka memang berada pada posisi yang  memungkinkan  untuk  memberikan  data  yang  lengkap.  Menurutnya,  participant merupakan  sumber  data  yang  sangat  credible  karena  pada  dasarnya mereka merupakan orang  yang memang mengalami  sendiri  perubahan  akibat  training  dan  juga merupakan orang yang paling mengetahui proses kerja serta pencapaian kinerja yang dihasilkan setelah mengikuti training tersebut.  Kirkpatrick  (1998)  juga  menegaskan  hal  yang  sama.  Menurutnya,  trainee  (eks‐peserta) adalah  orang  yang  paling mengetahui  perubahan  apa  yang  telah  terjadi  dalam  perilaku kerjanya  serta  sejauhmana  terjadi  peningkatan  kinerja  dalam  pekerjaannya  sehari‐hari. Dalam  petunjuk/guidelines  untuk  melakukan  evaluasi  Level  3  yang  dikemukakannya, Kirkpatrick mengusulkan  agar  penelitian  dapat  dilakukan  terhadap  eks‐peserta  dan/atau terhadap atasan, rekan kerja, bawahan, atau pihak  lain yang dapat mengamati perubahan behavior eks‐peserta.  

 Dengan  kata  lain,  penilaian  3600  bukanlah merupakan  hal  yang mutlak  harus  dilakukan, melainkan  merupakan  sebuah  pilihan  yang  pemutusannya  dilakukan  dengan mempertimbangkan  pula  keberadaan  berbagai  kendala  dan  faktor,  terutama  biaya  dan waktu  yang  dibutuhkan,  relatif  terhadap  hasil  yang  akan  diperoleh. Meskipun  demikian, tidak  pula  dapat  dipungkiri  bahwa  hasil  penelitian  yang  dilakukan  secara  3600  akan memberikan  hasil  yang  lebih  obyektif  dibandingkan  dengan  hanya  menggunakan  satu sumber data tertentu saja. 

 Tahap Isolasi Pengaruh Training 

26

Kenyataan bahwa kegiatan pendidikan dan pelatihan akan memberikan dampak/pengaruh terhadap  perubahan  kinerja  seseorang  merupakan  hal  yang  tidak  terbantahkan. Pertanyaannya adalah: apakah perubahan kinerja yang terjadi pada seseorang melulu hanya disebabkan oleh keikutsertaannya dalam suatu program training tertentu? Lebih  jauh  lagi, apakah dimungkinkan untuk melakukan isolasi dampak training dari faktor‐faktor pengaruh 

Page 20: Cara Menghitung Return of Training Investment

lainnya? Pemikiran  ini  telah menjadi bahan perdebatan panjang di  kalangan para peneliti selama bertahun‐tahun, termasuk Kirkpatrick sendiri.  Menurut Kirkpatrick  (1998), perubahan kinerja seseorang setelah mengikuti  training  (yang merupakan  results  dari  training  tersebut)  tidaklah  secara  tegas  dan  jelas  membuktikan bahwa  hasil  positif  yang  diperoleh  tersebut  merupakan  akibat  langsung  dari  program training  tadi.  Dengan  dasar  pemikiran  tersebut,  Kirkpatrick  sekaligus  menegaskan pendapatnya  bahwa  evaluasi  training  tidak mungkin  dilakukan  dalam  perspektif  finansial yang membutuhkan perhitungan secara eksak.  Berbeda  dengan  Kirkpatrick,  Jack  J.  Phillips  (2002)  sebaliknya  tidak  hanya  berpendapat bahwa  mengisolasi  pengaruh  training  dari  faktor‐faktor  lainnya  merupakan  hal  yang mungkin  untuk  dilakukan,  namun  lebih  jauh  lagi  Phillips  juga menawarkan  10  (sepuluh) strategi  terbaik untuk melakukan hal  tersebut. Kesepuluh strategi  tersebut adalah sebagai berikut: • Control Groups 

Metode  ini sebenarnya merupakan metode  isolasi yang paling akurat, yang dilakukan dengan  cara  membandingkan  kinerja  antara  kelompok  yang  mengikuti  program training dengan kelompok lain (control groups) yang tidak mengikuti program training. Hanya saja, metode  ini  juga memiliki beberapa kelemahan, antara  lain sangat sulitnya untuk mendapatkan  control groups  yang benar‐benar  identik dengan  kelompok  yang mengikuti  program  training  selain  dari  pengaruh  training  itu  sendiri.  Kelemahan lainnnya  adalah  apabila  kelompok‐kelompok  yang  dibandingkan  tersebut  berada  di lokasi yang berbeda, maka terdapat pengaruh lingkungan yang berbeda pula.  

• Trend Line Analysis Metode  ini  pada  prinsipnya  memperkirakan  besarnya  pengaruh  training  dengan menggunakan  data‐data  historis  yang  ada.  Data‐data  sebelum  dan  sesudah  training digambarkan dalam suatu grafik yang menunjukkan adanya kecenderungan/trend yang berbeda  antara  kedua  periode  pengamatan  tersebut.  Keuntungan  dari  metode  ini adalah  sederhana,  murah,  dan  relatif  mudah  digunakan,  sementara  kelemahannya antara  lain hanya  dapat  diterapkan  pada  pekerjaan  yang memiliki  data  historis  yang relatif lengkap dan memadai.  

27

• Forecasting Sebagaimana halnya dengan metode Trend Line Analysis, metode  ini  juga merupakan metode  statistik.  Hanya  saja  pengukuran  besarnya  perbaikan  kinerja  yang  terjadi setelah mengikuti program training tidak digambarkan dalam bentuk grafik, melainkan dihitung dalam bentuk persamaan matematika.  

Page 21: Cara Menghitung Return of Training Investment

• Participant Estimate Metode ini merupakan salah satu metode isolasi yang relatif mudah digunakan dengan cara  meminta  responden/eks‐peserta  untuk  memperkirakan  besarnya  pengaruh training  terhadap pekerjaannya dalam ukuran persentase. Pertimbangan penggunaan metode  ini  antara  lain  adalah  bahwa  eks‐peserta  training  merupakan  pihak  yang terlibat  langsung  dan  oleh  karenanya  paling  mengetahui  perubahan  apa  saja  yang terjadi setelah dia mengikuti program training.  

• Supervisor Estimate Metode ini merupakan pelengkap dari metode Participant Estimate, dimana atasan dari responden  juga diminta untuk memperkirakan persentase dampak  training  terhadap perubahan kinerja responden yang bersangkutan.  

• Management Estimate Dalam  beberapa  kasus,  sebagai  informasi  tambahan,  pihak  manajemen  dapat  pula dimintakan  untuk  memperkirakan  besarnya  pengaruh  training  terhadap  perubahan kinerja yang terjadi.  

• Customer Input Metode  ini  dilakukan  dengan  menanyakan  kepada  nasabah/pelanggan  mengenai perubahan pelayanan  yang diterimanya  setelah pegawai menerapkan materi  training yang  diikutinya. Metode  ini  lebih  sesuai  untuk  difokuskan  pada  perubahan  perilaku yang memang menjadi tujuan dari program training tersebut.  

• Experts Estimate Kadangkala  tenaga  ahli  (experts),  baik  yang  berasal  dari  dalam  maupun  luar perusahaan, dapat dimintakan pendapatnya untuk memperkirakan besarnya pengaruh training.  Kelemahan  metode  ini  antara  lain  adalah  kemungkinan  tidak  akuratnya estimasi  yang  diberikan  oleh  experts  tersebut  terkait  dengan  ketidakterlibatannya dalam proses evaluasi secara keseluruhan.  

• Subordinate Input Metode  ini  dilakukan  dengan  meminta  bawahan  responden  untuk  memperkirakan pengaruh training terhadap kinerja responden. Pendekatan ini sesuai untuk digunakan pada  situasi  dimana  perubahan/peningkatan  kinerja  dicapai  melalui  penggunaan keterampilan bersama pegawai‐pegawai lainnya.  

28

• Other Factors Impact Pada prinsipnya, metode ini mengukur dampak training dengan cara mengukur terlebih dahulu  besarnya  pengaruh  dari  faktor‐faktor  lain.  Dengan  kata  lain,  besarnya perubahan yang terjadi akibat pengaruh training adalah yang tidak dapat digolongkan 

Page 22: Cara Menghitung Return of Training Investment

sebagai pengaruh faktor‐faktor  lain tersebut. Metode  ini  lebih sesuai untuk digunakan ketika faktor‐faktor lain tersebut relatif mudah diidentifikasi dan dihitung.  

Penetapan metode mana yang dipilih  tergantung dari  jenis  training, kendala‐kendala yang ada  dalam  organisasi/perusahaan,  ketersediaan  data,  biaya  dan  waktu  yang  dibutuhkan untuk mengumpulkan data, serta kompetensi sumber data yang dipilih.   Menurut Phillips, salah satu metode yang paling mudah digunakan adalah memperoleh data berdasarkan  perkiraan  dari  participant  (eks‐peserta)  training  itu  sendiri,  yaitu  dengan menggunakan metode Participant Estimate. Efektivitas pendekatan ini terletak pada asumsi bahwa participant memiliki kemampuan untuk menentukan atau memperkirakan seberapa besar  peningkatan  kinerja  yang  dialaminya  itu  terkait  dengan  program  training  yang diikutinya. Participant seharusnya merupakan pihak yang paling mengetahui seberapa besar perubahan  yang  disebabkan  oleh  pengaplikasian  program  training  dalam  pekerjaannya sehari‐hari.   Lebih jauh lagi, Phillips juga berpendapat bahwa meskipun hanya merupakan estimasi, nilai yang diperoleh biasanya memiliki kredibilitas yang  tinggi,  terutama mengingat participant berada  di  tengah‐tengah  perubahan  atau  peningkatan  kinerja  yang  terjadi.  Pemikiran  ini pula, di samping pertimbangan faktor biaya dan waktu, yang mendasari pemilihan metode Participant  Estimate.  Sementara  itu,  terdapat  pula  kelemahan  dari  pendekatan  ini  yaitu adanya  unsur  subyektivitas  responden  dalam memberikan  perkiraan  besarnya  kontribusi masing‐masing  faktor. Hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi pengaruh subyektivitas ini  adalah  dengan  menanyakan  seberapa  jauh  tingkat  keyakinan  (level  of  confidence) responden dalam memberikan perkiraannya tersebut.  Namun,  sebelum  menetapkan  metode  mana  yang  akan  digunakan,  Phillips  juga menekankan  perlunya  terlebih  dahulu  diidentifikasi  faktor‐faktor  apa  saja  yang memiliki kontribusi  terhadap  perubahan  yang  terjadi  setelah  program  training  diselenggarakan. Langevin  Learning  Services  (2001),  sebuah  konsultan  training  internasional,  berpendapat bahwa  hal‐hal  yang  dianggap  memiliki  pengaruh  terhadap  kinerja  seseorang  dapat dikelompokkan dalam 7 (tujuh) faktor pengaruh, sebagai berikut: • Knowledge and Skill 

Faktor  ini  merupakan  pengaruh  dari  program  training  yang  diselenggarakan. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan seorang pegawai pada kenyataannya akan berpengaruh positif terhadap peningkatan kinerjanya. 

 • Capacity 

Faktor  ini merupakan  kemampuan mental  dan  fisik  individu  yang memungkinkannya melakukan pekerjaannya dengan baik. 

29

 

Page 23: Cara Menghitung Return of Training Investment

• Standards Faktor lain yang berpengaruh adalah adanya standar kerja yang jelas sehingga seorang pegawai  dapat  mengetahui  dengan  tepat  apa  yang  harus  dilakukan  dan  kapan melakukannya. 

 • Measurement 

Adanya sistem pengukuran kinerja yang  jelas, transparan, obyektif, serta disusun atas dasar standar kerja yang baku akan berpengaruh pula terhadap kinerja pegawai. 

 • Feedback 

Adanya  informasi  mengenai  penilaian  bagaimana  hasil  kerja  seseorang  juga  akan berpengaruh terhadap kinerjanya. Dalam hal ini, masukan yang diperoleh secara cepat, cukup sering, spesifik, akurat, dan obyektif diyakini memiliki pengaruh yang positif.  

 • Conditions 

Situasi  dan  kondisi  kerja  yang  kondusif,  seperti  sistem  operasional  yang  baik, kelengkapan  fasilitas  kerja,  lay‐out  ruang  yang  baik,  ketersediaan  informasi  yang dibutuhkan,  serta otoritas kerja yang  jelas akan berpengaruh positif  terhadap kinerja seorang pegawai. 

 • Incentives 

Sistem  penggajian  yang  adil,  adanya  insentif  untuk  hasil  pekerjaan  yang  baik,  serta penerapan sistem  reward and punishment merupakan beberapa hal yang memotivasi seorang  pegawai  untuk  bekerja  dengan  lebih  baik  dan menghasilkan  performa  kerja yang tinggi.  

Pengelompokan  faktor sesuai usulan Langevin Learning Services  tersebut digunakan untuk melakukan  isolasi  pengaruh  training  dari  faktor‐faktor  lainnya.  Dalam  prakteknya,  setiap eks‐peserta  diminta  untuk  memperkirakan/memberikan  estimasi  persentase  dari  setiap faktor  tersebut  terhadap  perubahan  atau  peningkatan  kinerja  yang  dialaminya  setelah mengikuti training SRBS.   Tahap Konversi Data Menjadi Monetary Values Mengonversi data business results ‐ yang diperoleh dari evaluasi Level 4 ‐ menjadi monetary values  pada  dasarnya  merupakan  tahap  awal  untuk  mengekspresikan  dampak  training dalam  ukuran  finansial.  Sebagaimana  telah  dikemukakan  sebelumnya,  pengekspresian dalam ukuran finansial ini telah menjadi bahan perdebatan para peneliti mengenai mungkin tidaknya hal tersebut dilakukan, meskipun pada umumnya mereka sepakat bahwa evaluasi tentang  efektivitas  training  memang  akan  memberikan  hasil  yang  lebih  nyata  bagi perusahaan apabila dapat diukur secara finansial. 

30

 

Page 24: Cara Menghitung Return of Training Investment

Jack J. Phillips (2002) membedakan business results dalam dua kategori data, yaitu hard data dan  soft  data. Hard  data merupakan  pengukuran‐pengukuran  kinerja  usaha  yang  umum digunakan  serta  memiliki  obyektivitas  yang  tinggi  dan  relatif  lebih  mudah  diukur. Menurutnya, contoh hard data antara lain output yang dihasilkan, tingkat penjualan, biaya, atau waktu  kerja  yang  digunakan.  Sementara  itu,  soft  data  lebih  subyektif,  sukar  untuk dikuantifisir, dan memiliki tingkat kepercayaan yang lebih rendah dibandingkan dengan hard data.  Contoh  soft  data  antara  lain  tingkat  kepuasan  kerja,  loyalitas  pegawai,  tingkat kehadiran pegawai, complaint nasabah, dan lain‐lain.  Lebih  jauh  lagi,  Phillips  juga  mengemukakan  4  (empat)  langkah  konversi  data,  sebagai berikut: − Langkah 1:  Menentukan ukuran kinerja yang dipengaruhi oleh program training. − Langkah 2:  Menentukan nilai dari setiap unit ukuran tersebut (V). − Langkah 3:  Menentukan peningkatan/perubahan kinerja yang terjadi (ΔP). − Langkah 4:  Menghitung nilai peningkatan kinerja (V x ΔP).  Training SRBS,  sebagaimana  telah dikemukakan di bagian awal, memiliki beberapa  tujuan yang  pada  pokoknya  bermaksud  untuk  meningkatkan  kemampuan  peserta  dalam melakukan  proses  penjualan  produk‐produk  bank,  khususnya  produk  segmen  ritel,  serta mendapatkan  komitmen  dari  nasabah/calon  nasabah.  Oleh  karenanya,  evaluasi  Level  4 training  SRBS  ini  lebih  difokuskan  pada  peningkatan  penjualan  produk‐produk  ritel  bank yang terjadi di cabang‐cabang Bank X.  Produk  ritel  yang  ditawarkan  oleh  Bank  X  relatif  tidak  berbeda  jauh  dari  produk‐produk sejenis yang ada di bank‐bank lain. Produk‐produk utamanya adalah sebagai berikut: − Giro (Current accounts), − Tabungan (Saving accounts), − Simpanan berjangka (Time deposits), − Kartu kredit (Credit cards), − Kredit konsumer (Consumer loans). Selain  produk‐produk  utama  tersebut,  terdapat  pula  produk  ritel  lainnya  namun  tingkat penjualannya tidak terlalu signifikan dibandingkan produk utama tadi.  Dengan  mempertimbangkan  hal  tersebut  di  atas,  maka  penerapan  keempat  langkah konversi yang dikemukakan oleh Phillips (2002) dalam evaluasi training SRBS ini menjadi: − Langkah 1:  Ukuran kinerja: tingkat penjualan produk‐produk utama ritel Bank X. − Langkah 2:  Nilai dari setiap unit penjualan produk (V): menggunakan metode Product 

Profitability Analysis (PPA). 

31

− Langkah 3:   Peningkatan  penjualan  yang  terjadi  (ΔP):  diperoleh  dari  perbandingan antara tingkat penjualan sebelum dan sesudah mengikuti program training SRBS  dengan  menggunakan  metode  participant  estimates.  Dalam 

Page 25: Cara Menghitung Return of Training Investment

kuesioner yang dikirimkan, pertanyaan yang terkait dengan masalah ini ada di item pertanyaan no.8. 

− Langkah 4:  Menghitung nilai peningkatan kinerja (V x ΔP).    Tahap Identifikasi Biaya Training Jack  J.  Phillips  mengidentifikasi  6  (enam)  kategori  biaya  dalam  penyelenggaraan  suatu training, yaitu: − Needs assessment: biaya  ini  tidak  selalu diperhitungkan  karena hanya  timbul  apabila 

memang  program  training  didahului  dengan  kegiatan  needs  assessment  yang membutuhkan biaya yang signifikan. 

− Design  and  development:  biaya  ini  dikeluarkan  dalam  rangka  mendesain  dan membangun  program  training  yang  biasanya  diperhitungkan  secara  prorata  selama satu atau dua tahun, kecuali apabila program training tersebut diperkirakan tidak akan berubah dalam jangka waktu lama. 

− Acquisition:  biaya  ini  dikeluarkan  apabila  program  training  dibeli  dari  pihak  ketiga, meliputi  antara  lain pembelian materi,  lisensi, biaya  sertifikasi,  serta biaya‐biaya  lain yang terkait dengan hak untuk menyelenggarakan training tersebut.  

− Delivery:  komponen  biaya  ini  merupakan  yang  terbesar  dibandingkan  biaya‐biaya lainnya,  meliputi  salaries  of  trainers,  program  materials,  travel  and  meals,  serta facilities yang digunakan. 

− Evaluation: biaya ini dikeluarkan pada saat dilakukan evaluasi training khususnya Level 3 dan Level 4 yang dilakukan setelah eks‐peserta kembali ke tempat kerjanya masing‐masing,  meliputi  biaya  yang  terkait  dengan  penyusunan  dan  pengiriman  kuesioner serta survey yang dilakukan. 

− Overhead:  biaya  ini  sebenarnya  tidak  terkait  langsung  dengan  penyelenggaraan program training tertentu dan relatif sulit untuk diperkirakan secara tepat, di samping nilainya yang  tidak  terlalu  signifikan dalam perhitungan biaya penyelenggaraan  suatu training. 

 Biaya  training yang digunakan antara  lain akan mendasarkan pada hasil perhitungan yang telah dilakukan oleh unit kerja terkait di Bank X, khususnya untuk delivery cost, di samping perhitungan‐perhitungan  yang  didasarkan  pada  rata‐rata  biaya  yang  dikeluarkan  sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bank tersebut.  Tahap Perhitungan Return on Training Investment 

32

Perhitungan Return on Training Investment (ROTI) dilakukan dengan menggunakan formula sebagai berikut: 

Page 26: Cara Menghitung Return of Training Investment

 

 

 

 

dimana Net  Benefits  of  Training merupakan  keuntungan  bersih  yang  diperoleh  dari  hasil penerapan training setelah memperhitungkan faktor isolasi yang telah diperhitungkan pada tahap sebelumnya dikurangi dengan realisasi biaya training yang dikeluarkan.   Tahap Identifikasi Intangible Benefits Jack  J. Phillips  (2002) mengatakan bahwa ada beberapa akibat positif yang dihasilkan oleh suatu  program  training  yang  tidak  dapat  atau  sangat  sulit  untuk  dikonversikan  ke  dalam nilai‐nilai  finansial.  Phillips  menyebut  akibat/hasil  positif  tersebut  sebagai  intangible benefits.  Hasil  positif  tersebut  pada  dasarnya  juga  merupakan  suatu  keuntungan  bagi perusahaan, meskipun hal tersebut tidak dimaksudkan sebagai hasil utama dari pelaksanaan suatu program training.   Beberapa peneliti bahkan beranggapan bahwa intangible benefits merupakan hal yang sama pentingnya dalam hal pengukuran efektivitas suatu training, di samping  indikator‐indikator yang bersifat finansial. Pangarkar (2005) mengatakan bahwa  indikator finansial merupakan hal  yang  penting,  tapi  hendaknya  tidak  digunakan  sebagai  satu‐satunya  alat  dalam mengukur  dampak  training  terhadap  kinerja  perusahaan.  Dalam  hal  ini,  nilai  Return  on Training Investment (ROTI) tidak dapat menggambarkan dampak‐dampak yang terjadi pada standar  ukur  bisnis  (business  measures)  lainnya  seperti  peningkatan  moral  pegawai, komunikasi  antar  pegawai  atau  antara  atasan  dengan  bawahan  yang  membaik,  atau peningkatan kepuasan pelanggan (customer satisfaction).   Philips (2002) bahkan menyebut tahap identifikasi intangible benefits ini sebagai Level 6 dari suatu evaluasi  training. Dia  juga mengatakan bahwa apabila dalam suatu evaluasi  training Level 4 hasil  yang diperoleh  tidak dapat dikonversikan  ke dalam nilai‐nilai  finansial, maka identifikasi intangible benefits merupakan alternatif yang dapat digunakan untuk mengukur efektivitas training tersebut.  Ada  beberapa  sumber  informasi  yang  dapat  digunakan  untuk  memperoleh  intangible benefits  ini,  yaitu  eks‐peserta  training,  atasan  dari  eks‐peserta  training,  rekan  kerja, bawahan dari eks‐peserta training, atau nasabah yang merasakan adanya perubahan yang terjadi.  Penggunaan  eks‐peserta  training  sebagai  sumber  informasi  untuk  memperoleh intangible  benefits  didasarkan  pada  pertimbangan  bahwa  mereka  merupakan  sumber informasi  yang  paling  baik  karena  dapat  merasakan  secara  langsung  serta 

33

ROTI = Net Benefits of Training

Costs of Training x 100%

Page 27: Cara Menghitung Return of Training Investment

mengidentifikasikan  secara  baik  perubahan‐perubahan  yang  terjadi  ketika  mereka menerapkan pengetahuan dan ketrampilan yang diperolehnya dalam training tersebut.  Metode yang digunakan adalah dengan menanyakan kepada eks‐peserta training mengenai perubahan‐perubahan dalam standar ukur bisnis (business measures) yang mereka rasakan setelah menerapkan pengetahuan dan ketrampilan yang diperolehnya dalam training SRBS.   Pertanyaan  disampaikan  dalam  dua  bentuk,  yaitu  pertanyaan  tertutup  dan  pertanyaan terbuka. Pertanyaan  tertutup dimaksudkan untuk  lebih mengarahkan  responden  sehingga tidak  menimbulkan  interpretasi  yang  bermacam‐macam  terhadap  pengertian  business measures  yang  dimaksud.  Sementara  itu,  pertanyaan  terbuka  dimaksudkan  untuk memungkinkan  responden  bebas  dalam memberikan  jawaban  sesuai  dengan  perubahan yang dirasakannya di tempat kerjanya, selain hal‐hal yang diperkirakan sebelumnya.  Temuan Pengujian Reliabilitas dan Validitas Kuesioner Kuesioner dikembangkan dengan didasarkan pada kisi‐kisi yang disusun oleh Jack J. Phillips. Dengan  kata  lain,  kuesioner  tersebut  belum  pernah  teruji  kualitas  ilmiahnya  dalam penelitian‐penelitian  sebelumnya.  Oleh  karenanya,  kuesioner  dimaksud  perlu  terlebih dahulu  diuji  reliabilitas  dan  validitasnya  agar  data‐data  yang  diperoleh  dapat  diyakini kualitasnya.  Dengan  menggunakan  perangkat  lunak  SPSS  (Statistical  Product  and  Service  Solution), diperoleh nilai α (Cronbach’s Alpha) yang mendekati nilai 1 (berkisar antara 0,922 – 0,967). Dengan  demikian  dapat  disimpulkan  bahwa  kuesioner  yang  digunakan  bersifat  reliabel. Selanjutnya,  dilakukan  uji  validitas  dengan  menggunakan  discriminant  validity  untuk meyakini  bahwa  setiap  item  pertanyaan  memang  tergolong  dalam  setiap  faktor  dalam kuesioner  yang  disusun.  Hasil  analisis  menunjukkan  bahwa  terdapat  kesesuaian pengelompokan  faktor  dengan  struktur  kuesioner  yang  diuji.  Hal  tersebut menunjukkan bahwa pertanyaan‐pertanyaan dalam kuesioner tersebut adalah valid dan dapat digunakan dalam analisis selanjutnya.  Evaluasi Level 3: Perubahan Kompetensi dan Implementasi Training  

34

Penelitian yang dilakukan menunjukkan umumnya eks‐peserta training berpendapat bahwa training SRBS memiliki relevansi yang kuat dengan pekerjaannya sehari‐hari. Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa semua elemen  training memiliki rata‐rata nilai yang  tinggi, yaitu minimal 5,00 pada skala penilaian 1,00 – 6,00 (lihat Tabel 4).  

Page 28: Cara Menghitung Return of Training Investment

 

Tabel 4  Relevansi Training Dengan Pekerjaan

No  Elemen Program Training 

Sangat 

Tidak 

Relevan 

Sangat 

Relevan 

Rata‐

rata 

Nilai 1 2 3 4 5 6 

1  Materi training.   0%  3%  5%  12%  36%  45%  5,16 

2 Diskusi kelas yang terjadi selama 

training. 0%  3%  6%  18%  36%  38%  5,01 

3 Diskusi kelompok yang dilakukan 

selama training. 0%  3%  7%  18%  33%  39%  5,00 

4 Role play yang dilakukan selama 

training. 0%  3%  7%  16%  34%  41%  5,04 

5  Pelatihan‐pelatihan yang diberikan.  0%  3%  3%  17%  38%  40%  5,09 

Rata‐rata Relevansi Training Dengan Pekerjaan    5,06 

Sumber: Hasil analisis. 

 

35

Selain  relevan,  training  SRBS  juga  memiliki  kontribusi  yang  cukup  signifikan.  Tabel  5 memperlihatkan pendapat eks‐peserta yang menyatakan bahwa umumnya  tujuan  training telah  tercapai  dengan  adanya  peningkatan  pengetahuan  dan  kemampuan  eks‐peserta dikaitkan  dengan  pekerjaan  sehari‐hari  yang  dihadapinya,  meski  rata‐rata  nilai  yang diperoleh sedikit lebih rendah dibandingkan dengan nilai relevansi training. 

Page 29: Cara Menghitung Return of Training Investment

 

Tabel 5 Keberhasilan Tujuan Training

No  Tujuan Training SRBS 

Sangat 

Tidak 

Berhasil 

Sangat 

Berhasil 

Rata‐

rata 

Nilai 1 2 3 4 5 6 

Mempelajari proses penjualan serta 

menentukan langkah yang akan 

dilakukan saat berinteraksi dengan 

nasabah. 

0%  0%  8%  21%  55%  16%  4,78 

Mengamati situasi dan masalah agar 

dapat menentukan kebutuhan nasabah 

dengan tepat. 

0%  1%  9%  18%  48%  24%  4,86 

Mengetahui manfaat dan perbedaan 

setiap fitur produk serta memahami cara 

penerapannya saat berinteraksi. 

0%  0%  6%  18%  48%  28%  4,98 

Mengetahui cara mengatasi keluhan 

nasabah serta menarik manfaat dari 

keluhan tersebut. 

0%  0%  8%  18%  48%  28%  4,95 

Mengetahui cara mendapatkan 

komitmen dari nasabah terhadap 

produk/layanan yang diberikan. 

0%  1%  8%  23%  41%  28%  4,87 

Rata‐rata Keberhasilan Tujuan Training      4,89

Sumber: Hasil analisis. 

 

Hal  lain  yang menarik  dalam  penelitian  ini  adalah  bahwa  dari  tiga  domain  kompetensi (Knowledge, Skills, dan Attitudes)  ternyata yang paling besar perubahannya adalah dalam hal Attitudes. Tidak dapat dipungkiri bahwa budaya  kerja  yang  selama  ini berkembang di Bank  X,  sebagaimana  umumnya  perusahaan‐perusahaan  BUMN,  tidak  terlepas  dari  citra lama perusahaan yang cenderung birokratis dan  relatif  lamban dibandingkan perusahaan‐perusahaan milik swasta. Kenyataannya, selama ini pegawai di bank milik negara cenderung bersikap menunggu dan pasif terhadap peluang usaha yang ada karena ketika itu situasi dan kondisinya memungkinkan untuk melakukan hal tersebut. Pola kerja seperti ini masih terus terbawa  dan  sedikit  banyaknya  berpengaruh  terhadap  sikap  kerja  pegawai  Bank  X, meskipun manajemen bank tersebut telah melakukan berbagai terobosan untuk mengubah perilaku yang kurang menguntungkan dalam era persaingan yang semakin ketat ini.   

36

Dikaitkan  dengan  hal  tersebut,  maka  training  SRBS  ternyata  mampu  menghasilkan perubahan pola kerja pegawai menuju sikap yang  lebih proaktif untuk menjalin hubungan yang  lebih  erat  dengan  nasabah  serta  adanya  keinginan  untuk mengetahui  lebih  banyak tentang  nasabah.  Perubahan  sikap  seperti  ini  semakin  dirasakan  penting  ketika  disadari 

Page 30: Cara Menghitung Return of Training Investment

bahwa  keinginan  nasabah  untuk  memperoleh  pelayanan  yang  baik  juga  telah  menjadi tuntutan yang tidak dapat dihindari, khususnya dalam pelayanan sektor perbankan ritel.  

37

Sementara  itu,  perubahan  Knowledge  dan  Skills  juga  terjadi  secara  signifikan,  halmana terlihat dari relatif tingginya rata‐rata nilai yang diperoleh, meski tidak setinggi perubahan yang terjadi pada domain Attitudes. Hasil yang diperoleh menunjukkan rata‐rata nilai di atas 5,00, kecuali perubahan dalam kemampuan untuk melakukan sales discussion secara efektif pada domain  Skills  yang memiliki nilai 4,97.  Tingginya nilai  tersebut menunjukkan bahwa peserta  training  SRBS  merasakan  terjadinya  perubahan/peningkatan  kompetensi  yang cukup  signifikan  dan  mendukung  pekerjaannya  sehari‐hari  setelah  mengikuti  training tersebut.  Perubahan/peningkatan  kompetensi  yang  dirasakan  peserta  training  tersebut merupakan  salah  satu  indikasi  kuat  bahwa  pada  evaluasi  Level  3  training  SRBS memiliki performa yang baik. Secara  lengkap, Tabel 6 memperlihatkan perubahan yang terjadi pada ketiga domain kompetensi tersebut. 

Page 31: Cara Menghitung Return of Training Investment

 

Tabel 6 Perubahan Kompetensi Eks‐Peserta Training 

No  Kompetensi Tidak Berubah 

  Sangat Berubah 

Rata‐rata Nilai 

 

  

1 2 3 4 5  6 

1 Pengetahuan tentang prinsip‐prinsip menjual secara profesional. 

0%  0%  1%  18%  51%  31%  5,12 

2 Pengetahuan tentang pentingnya sales & services. 

0%  0%  0%  13%  43%  44%  5,31 

3 Pengetahuan tentang pentingnya penyusunan perencanaan sales & services.  

0%  0%  3%  18%  49%  31%  5,08 

4 Pemahaman mengenai peran seorang Professional Sales.  

0%  0%  3%  17%  46%  35%  5,13 

Rata‐rata Perubahan Dalam Knowledge        5,16

5 Kemampuan untuk mengetahui kebutuhan nasabah. 

0%  0%  2%  18%  52%  28%  5,07 

6 Kemampuan untuk melakukan sales discussion secara efektif. 

0%  0%  4%  22%  48%  27%  4,97 

7 Kemampuan untuk menangani keluhan atau masalah penjualan/ pelayanan.  

0%  0%  3%  11%  58%  29%  5,13 

8 Kemampuan untuk mendapatkan komitmen dari nasabah.  

0%  0%  3%  15%  53%  29%  5,08 

9 Kemampuan untuk membangun loyalitas nasabah.  

0%  0%  2%  15%  45%  38%  5,20 

Rata‐rata Perubahan Dalam Skills        5,09

10 Sikap pada saat mengawali sales discussion. 

0%  0%  1%  15%  51%  33%  5,17 

11 Keinginan untuk mengetahui lebih banyak tentang nasabah. 

0%  0%  2%  11%  48%  40%  5,26 

12 Sikap pada saat melayani nasabah ketika terjadi diskusi.  

0%  0%  1%  11%  51%  38%  5,25 

13 Sikap pada saat mengupayakan untuk mendapatkan komitmen.  

0%  0%  3%  13%  53%  32%  5,14 

14 Keinginan untuk menjalin hubungan erat dengan nasabah.  

0%  0%  1%  10%  45%  44%  5,33 

Rata‐rata Perubahan Dalam Attitudes        5,23

Rata‐rata Perubahan Kompetensi        5,16

Sumber: Hasil analisis. 

38

 

Page 32: Cara Menghitung Return of Training Investment

Hasil penelitian  juga menunjukkan bahwa  kompetensi  yang menurut  eks‐peserta  training paling  sering  digunakan  dalam  pekerjaannya  sehari‐hari  adalah  yang  terkait  dengan keinginan untuk bersikap proaktif dalam melayani nasabah. Empat kompetensi yang paling sering digunakan adalah: − Kemampuan untuk mengetahui kebutuhan nasabah, − Keinginan untuk menjalin hubungan erat dengan nasabah, − Kemampuan untuk membangun loyalitas nasabah, − Keinginan untuk mengetahui lebih banyak tentang nasabah.  

Tabel 7 berikut secara  lengkap memperlihatkan kompetensi‐kompetensi yang paling sering digunakan oleh eks‐peserta dalam pekerjaannya sehari‐hari.  

Tabel 7 Kompetensi yang Paling Sering Digunakan 

No  Kompetensi  % 

1  Kemampuan untuk mengetahui kebutuhan nasabah.  18% 

2  Keinginan untuk menjalin hubungan erat dengan nasabah.   13% 

3  Kemampuan untuk membangun loyalitas nasabah.   11% 

4  Keinginan untuk mengetahui lebih banyak tentang nasabah.  11% 

5  Pengetahuan tentang pentingnya sales & services.  9% 

6 Kemampuan untuk menangani keluhan atau masalah penjualan/pelayanan.  

9% 

7  Sikap pada saat melayani nasabah ketika terjadi diskusi.   7% 

8  Kemampuan untuk melakukan sales discussion secara efektif.  6% 

9  Sikap pada saat mengawali sales discussion.  5% 

10  Sikap pada saat mengupayakan untuk mendapatkan komitmen.   5% 

11  Kemampuan untuk mendapatkan komitmen dari nasabah.   4% 

12  Pengetahuan tentang prinsip‐prinsip menjual secara profesional.  3% 

13 Pengetahuan tentang pentingnya penyusunan perencanaan sales & services.  

1% 

14  Pemahaman mengenai peran seorang Professional Sales.   1% 

Jumlah  100% Sumber: Hasil analisis. 

 

39

Dari tabel di atas terlihat bahwa umumnya kompetensi yang sering digunakan eks‐peserta dalam  pekerjaannya  sehari‐hari  adalah  yang  terkait  dengan  sikap,  kemampuan,  dan keinginan mereka dalam memberikan pelayanan  secara  aktif  kepada pelanggan, halmana 

Page 33: Cara Menghitung Return of Training Investment

semakin memperkuat kontribusi training SRBS dalam era persaingan saat ini yang menuntut sikap proaktif dari para frontliners.   

Selanjutnya, penelitian yang dilakukan juga menunjukkan bahwa materi training diakui oleh eks‐peserta  training  telah diterapkan dalam pekerjaannya  sehari‐hari. Nilai  rata‐rata  yang diperoleh juga tinggi, berkisar antara 4,79 sampai 5,44, menunjukkan bahwa materi training SRBS tersebut hampir selalu diterapkan oleh eks‐peserta training. Waktu penerapannyapun relatif  cepat,  yaitu  hanya  beberapa  hari  setelah  kembali  ke  tempat  kerja  asal  (95% responden  menyatakan  hal  tersebut),  sementara  5%  lainnya  menyatakan  menerapkan materi training beberapa bulan setelah kembali ke tempat kerja asalnya.  

Seringnya materi training diterapkan dalam melaksanakan pekerjaan sehari‐hari seharusnya menghasilkan  tingkat  kepuasan  pelanggan  (customer  satisfaction)  yang  juga  meningkat, namun  tidak  dapat  dipungkiri  bahwa masih  sering  terdapat  keluhan  atas  kurang  baiknya pelayanan yang diberikan Bank X. Beberapa survey yang dilakukan juga menunjukkan relatif rendahnya tingkat kepuasan pelanggan terhadap pelayanan Bank X.   

Di  satu  sisi, hal  tersebut harus diterima  sebagai  suatu kenyataan, namun di  sisi  lain  tidak pula  pada  tempatnya  apabila  hasil  survey  kepuasan  pelanggan  tersebut  langsung diperbandingkan  dengan  hasil  penelitian  ini  mengingat  adanya  perbedaan  materi  dan metode penelitian yang digunakan. Misalnya, ada kemungkinan  seorang Customer Service Officer  telah menerapkan materi  training  SRBS  namun  ternyata  yang  bersangkutan  tidak memiliki pengetahuan yang cukup memadai tentang produk‐produk perbankan yang ada di Bank  X  (halmana  tidak  termasuk  dalam  modul  training  SRBS),  sehingga  pada  akhirnya menimbulkan  kekecewaan  nasabah.  Atau  mungkin  saja  terdapat  kendala‐kendala  yang memang tidak dapat terhindarkan, seperti kurangnya jumlah pegawai dibandingkan jumlah nasabah yang harus dilayani, sistem operasional bank yang terganggu, fasilitas yang kurang memadai, dan sebagainya.  

40

Tabel 8  secara  lengkap memperlihatkan penerapan materi  training SRBS dalam pekerjaan sehari‐hari. 

Page 34: Cara Menghitung Return of Training Investment

 Tabel 8 Penerapan Materi Training Dalam Pekerjaan 

No  Materi Training SRBS Tidak Pernah

           

Selalu  Rata‐rata Nilai 

       

           

1  2  3  4  5  6 

1 Menerapkan prinsip 3C (Candor, Concern, Competence) dalam melakukan penjualan. 

0%  0%  2%  13%  48%  37%  5,20 

Menerapkan sales discussion mengikuti tahapan: Pembukaan, Investigasi, Unjuk Kemampuan, Mendapatkan Komitmen, dan Menutup Penjualan. 

0%  3%  8%  20%  46%  23%  4,79 

3 Menerapkan materi training untuk mengatasi keluhan nasabah. 

0%  3%  6%  20%  38%  33%  4,94 

4 Menerapkan materi training untuk mendapatkan komitmen nasabah. 

0%  1%  8%  24%  33%  35%  4,93 

Mengajukan pertanyaan untuk menggali fakta, memastikan terpenuhinya syarat‐syarat, serta untuk mengetahui lebih banyak tentang nasabah. 

0%  2%  4%  19%  39%  36%  5,03 

6 Berusaha memahami Perilaku Nasabah/ Calon Nasabah. 

0%  0%  2%  15%  39%  44%  5,26 

7 Berusaha mengetahui faktor‐faktor yang mempengaruhi orang untuk membeli. 

0%  2%  4%  18%  40%  37%  5,06 

8 Membina hubungan yang erat dengan nasabah. 

0%  0%  2%  9%  42%  48%  5,35 

9 Mengantisipasi terjadinya masalah dalam penjualan/pelayanan. 

0%  0%  3%  16%  34%  48%  5,27 

10 Berusaha membangun Loyalitas Nasabah. 

0%  0%  1%  9%  35%  55%  5,44 

Rata‐rata Penerapan Materi Training SRBS Dalam Pekerjaan 

            5,13 

Sumber: Hasil analisis. 

41

 

Page 35: Cara Menghitung Return of Training Investment

Selanjutnya,  terdapat  beberapa  hal  yang  dikemukakan  oleh  eks‐peserta  yang  menjadi kendala  bagi mereka  dalam menerapkan materi  training  sebagaimana  yang  diharapkan. Hambatan  terbesar yang dihadapi berkaitan dengan kehandalan  sistem operasional bank. Tidak  dapat  dipungkiri  bahwa  sistem  operasional  yang  baik  mutlak  dibutuhkan  dalam memberikan pelayanan yang memuaskan bagi pelanggan suatu bank. Salah satu gangguan sistem  yang  sering  dihadapi  oleh  suatu  bank  adalah  terjadinya  kondisi  offline  yang mengakibatkan  suatu  outlet  tidak  dapat  terkoneksi  dengan  outlet  lainnya  sehingga berdampak pada terbatasnya pelayanan yang dapat diberikan kepada pelanggan. Hambatan ini merupakan salah satu hal yang sulit diantisipasi karena sangat sulit diprediksi kapan akan terjadi, sementara penyebabnyapun beragam.  Evaluasi Level 4: Dampak Training Terhadap Kinerja Pegawai Sesuai  dengan  tujuan  penyelenggaraannya,  maka  fokus  utama  dampak  training  SRBS terhadap  kinerja  pegawai  adalah  dalam  hal  meningkatkan  kemampuan  peserta  dalam melakukan  proses  penjualan  produk‐produk  bank,  khususnya  produk  segmen  ritel,  baik pada  liabilities  products  (produk  dana)  maupun  assets  products  (produk  kredit).  Oleh karenanya, indikator yang digunakan sebagai alat ukur peningkatan kinerja sebagai dampak training  SRBS  ini  adalah  peningkatan  penjualan  produk‐produk  ritel  bank  yang  terjadi  di cabang‐cabang Bank X, sebagaimana terlihat pada Tabel 9 berikut.  

Tabel 9 Rata‐rata Penjualan Produk Ritel Per Orang Per Bulan (dalam Rekening) 

Produk Ritel Sebelum Training 

Setelah Training  

Δ Penjualan 

Produk Dana:       

       Giro  3  5  2 

       Tabungan  52  65  13 

       Simpanan Berjangka  14  18  4 

Produk Kredit:       

       Kartu Kredit  7  10  3 

       Kredit Konsumer  4  5  1 Sumber: Hasil analisis. 

 

42

Untuk  memberikan  gambaran  yang  lebih  nyata  dalam  konteks  bisnis  perbankan,  maka peningkatan  penjualan  tersebut  haruslah  dinyatakan  dalam  ukuran  volume  usaha  dalam satuan  mata  uang.  Untuk  kepentingan  transformasi  dari  peningkatan  jumlah  rekening (account) menjadi volume usaha tersebut, digunakan asumsi rata‐rata volume usaha Bank X selama 6 (enam) bulan terakhir untuk setiap produk, sebagai berikut: 

Page 36: Cara Menghitung Return of Training Investment

− Rata‐rata saldo rekening Giro: Rp.21.000.000 − Rata‐rata saldo rekening Tabungan: Rp.4.000.000 − Rata‐rata saldo rekening Simpanan Berjangka: Rp.30.000.000 − Rata‐rata baki debet Kartu Kredit: Rp.3.000.000 − Rata‐rata baki debet Kredit Konsumer: Rp.50.000.000  

Dengan  menggunakan  asumsi  tersebut,  maka  peningkatan  volume  usaha  sebelum  dan sesudah mengikuti training SRBS dapat dihitung sebagai berikut:  

Tabel 10 Peningkatan Volume Usaha Per Orang (dalam Jutaan Rupiah) 

Produk Ritel Δ Volume 

Usaha      Per Bulan

Δ Volume Usaha   Per Tahun

Produk Dana:     

       Giro  42 504

       Tabungan  52 624

       Simpanan Berjangka  120 1.440

Sub‐Jumlah  2.568

Produk Kredit: 

       Kartu Kredit  9 108

       Kredit Konsumer  50 600

Sub‐Jumlah  708Sumber: Hasil analisis. 

 

43

Selanjutnya,  penelitian  yang  dilakukan  menunjukkan  bahwa  faktor  training  ternyata memiliki  kontribusi  sebesar  26%  terhadap  peningkatan  penjualan  yang  dialami  oleh  eks‐peserta  training  SRBS,  sementara  kontribusi  faktor‐faktor  lainnya  berturut‐turut  adalah sebagai  berikut:  Capacity  16%,  Standards  13%,  Conditions  13%,  Measurement  13%, Feedback 11%, dan Incentives 10%, dengan tingkat keyakinan yang cukup tinggi, yakni rata‐rata mencapai 87%. Dengan menggunakan  faktor  isolasi  training  (isolation  factor) sebesar 26% dan tingkat keyakinan sebesar 87% tersebut, maka dapat dihitung peningkatan volume usaha yang benar‐benar merupakan dampak dari penyelenggaraan  training SRBS,  sebagai berikut: 

Page 37: Cara Menghitung Return of Training Investment

 

Tabel 11 Peningkatan Volume Usaha Per Orang Akibat Training (dalam Rupiah) 

Produk Ritel Δ Volume Usaha  

Per Tahun 

Faktor Isolasi Training 

Tingkat Keyakinan 

Δ Volume Usaha       

Akibat Training 

(1)  (2)  (3)  (4) (5) = (2) x (3) x 

(4) 

Produk Dana:         

    Giro  504.000.000  26%  87%  114.004.800 

    Tabungan  624.000.000  26%  87%  141.148.800 

    Simpanan Berjangka  1.440.000.000  26%  87%  325.728.000 

Sub‐Jumlah  2.568.000.000      580.881.600 

Produk Kredit:         

    Kartu Kredit  108.000.000  26%  87%  24.429.600 

    Kredit Konsumer  600.000.000  26%  87%  135.720.000 

Sub‐Jumlah  708.000.000      160.149.600 Sumber: Hasil analisis. 

 

Sementara itu, 99% responden menyatakan bahwa training SRBS merupakan investasi yang baik  bagi  Bank  X.  Hal  tersebut  semakin  menegaskan  bahwa  training  tersebut  memang dirasakan  memberikan  manfaat  yang  cukup  signifikan  bagi  eks‐pesertanya  dalam meningkatkan  kinerja  pekerjaannya,  di  samping  terlihat  dari  adanya  peningkatan  volume usaha sebagaimana dikemukakan di atas.  

Evaluasi Level 5: Perhitungan Return on Training Investment 

Pada  prinsipnya,  perhitungan  Return  on  Training  Investment  (ROTI)  membandingkan manfaat yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan dalam menyelenggarakan  training SRBS.  Perhitungan  manfaat  training  secara  finansial  menggunakan  metode  Product Profitability Analysis (PPA). Secara umum, metode PPA digunakan untuk mengukur seberapa besar tingkat keuntungan (profitabilitas) yang diperoleh perusahaan sebagai hasil penjualan suatu produk tertentu. Dalam ilustrasi ini produk yang diukur tingkat keuntungannya adalah produk‐produk  ritel  utama  Bank  X, meliputi  Giro,  Tabungan,  Simpanan  Berjangka,  Kartu Kredit, dan Kredit Konsumer.  

44

Proses  penghitungan  keuntungan  dengan  metode  PPA  dilakukan  dengan  menghitung besarnya  Pendapatan  Bunga  (Gross  Interest  Income/GII)  yang  diperoleh  dari  hasil penempatan/penyaluran  sejumlah dana  tertentu dikurangi Biaya‐biaya  (Cost)  yang  terkait 

Page 38: Cara Menghitung Return of Training Investment

dengan  kegiatan  penjualan  produk  maupun  penempatan/penyaluran  dana.  Pendapatan bunga untuk produk dana  (Giro, Tabungan, dan  Simpanan Berjangka) diperoleh dari hasil penempatan dana melalui pembelian Sertifikat Bank Indonesia (SBI), sementara pendapatan bunga  untuk  produk  kredit  (Kartu  Kredit  dan  Kredit  Konsumer)  diperoleh  dari  hasil penyaluran dana  kepada nasabah. Oleh  karenanya,  asumsi  yang digunakan  sebagai dasar untuk melakukan perhitungan GII adalah sebagai berikut:  • Produk Dana: suku bunga SBI sebesar 10%. • Produk Kredit: suku bunga pinjaman: 

− Kartu Kredit: 36% per tahun. − Kredit Konsumer:  16,5% per tahun. 

 

Sementara  itu,  ada  3  (tiga)  jenis  biaya  yang  timbul,  yaitu  Cost  of  Fund, Direct  Cost,  dan Allocated Cost. Dasar perhitungan besarnya ketiga jenis biaya tersebut menggunakan angka persentase terhadap GII dari setiap produk yang berasal dari data historis Bank X.  

Selanjutnya,  terdapat  dua  hal  yang membedakan  perhitungan manfaat  untuk  penjualan produk dana dengan produk kredit, sebagai berikut: • Adanya Fee yang diperoleh dalam penjualan produk kredit sebesar: 

− Kartu Kredit: iuran tahunan (annual fee) sebesar Rp.100.000 per kartu. − Kredit Konsumer:  fee sebesar 1% dari baki debet pinjaman. 

• Adanya  pencadangan  (Penyisihan  Penghapusan  Aktiva  Produktif/PPAP)  yang  harus dibentuk  sehubungan dengan  kualitas  kredit/pinjaman  yang disalurkan. Perhitungan besarnya  PPAP  yang  harus  dibentuk  menggunakan  angka  rata‐rata  PPAP  Bank  X selama  6  bulan  terakhir  untuk  produk  Kartu  Kredit  dan  Kredit  Konsumer,  sebagai berikut: − Kartu Kredit: 5% dari baki debet pinjaman. − Kredit Konsumer:  3% dari baki debet pinjaman. 

 

Dengan  menggunakan  asumsi‐asumsi  di  atas,  maka  dapat  dihitung  besarnya keuntungan/profit  yang  diperoleh  sebagai  dampak  pelaksanaan  training  sebagaimana terlihat  pada  Tabel  12.  Untuk  memudahkan  pemahaman  tabel  tersebut,  berikut disampaikan  contoh  perhitungan  keuntungan/profit  untuk  produk  Kartu  Kredit,  sebagai berikut: − Kolom 1:  Peningkatan volume penjualan setiap tahunnya yang disebabkan oleh faktor 

training adalah sebesar Rp.24.429.600 (lihat Tabel 3). − Kolom 2:  Pendapatan  bunga  (Gross  Interest  Income)  diperoleh  dengan  mengalikan 

volume penjualan  tersebut dengan  tingkat  suku bunga pinjaman per  tahun sebesar 36% sehingga diperoleh GII sebesar Rp.8.794.656. 

45

− Kolom 3:  Untuk  setiap  kartu  yang  diterbitkan,  Bank  X  menerima  fee  berupa  iuran tahunan sebesar Rp.100.000. Dengan demikian diperoleh annual fee sebesar 

Page 39: Cara Menghitung Return of Training Investment

46

36  kartu  (3  kartu  per  bulan)  dikalikan  Rp.100.000  menghasilkan Rp.3.600.000. 

− Kolom 4:  Berdasarkan data historis Bank X, diperoleh besarnya Cost of Fund  sebesar 23% dari GII. 

− Kolom 5:  Berdasarkan  data  historis  Bank  X,  diperoleh  besarnya  Direct  Cost  sebesar 44% dari GII. 

− Kolom 6:  Berdasarkan data historis Bank X, diperoleh besarnya Allocated Cost sebesar 13% dari GII. 

− Kolom 7:  Net Contribution diperoleh sebesar (100%‐23%‐44%‐13%) = 20% dari GII. − Kolom 8:  Rata‐rata PPAP Bank X  selama  6 bulan  terakhir untuk produk Kartu Kredit 

adalah  sebesar  5%  dari  baki  debet. Dengan  demikian  PPAP  yang  dibentuk adalah sebesar 5% x Rp.24.429.600 = Rp.1.221.480. 

− Kolom 9:  Maka Net Profit Kartu Kredit adalah sebesar Net Contribution ditambah Fee dikurang  PPAP,  sebagai  berikut:  (20%  x  Rp.8.794.656)  +  (3.600.000)  – (1.221.480) = Rp.4.137.451. 

 

Sementara  itu,  biaya  training  dihitung  dengan mempertimbangkan  komponen‐komponen sebagai berikut: − Needs  Assessment  Cost:  komponen  biaya  ini  tidak  diperhitungkan  karena  program 

training SRBS  tidak didahului dengan kegiatan needs assessment yang membutuhkan biaya yang signifikan. 

− Design and Development Cost: komponen biaya ini tidak diperhitungkan karena Bank X tidak mendesain dan membangun sendiri program training SRBS. 

− Acquisition Cost: komponen biaya  ini diperhitungkan karena training SRBS merupakan program  yang  dibeli  dari  pihak  ketiga.  Biaya  pembelian,  termasuk  lisensi penyelenggaraan,  training  SRBS  ini  adalah  sebesar  Rp.  2.960.800.000  yang diperhitungkan secara prorata untuk jangka waktu 10 tahun. 

Page 40: Cara Menghitung Return of Training Investment

 

Tabel 12 Perhitungan Manfaat Training 

Produk Δ Volume Akibat Training  Gross Interest Income  Fee  Cost of Fund  Direct Cost  Allocated Cost 

Net Contribution          (% dari GII) 

PPAP  Net Profit 

(1)  (2) 1)  (3) 2)  (4) 3)  (5) 3)  (6) 3)  (7) = 100% ‐ (4) ‐ (5) ‐ (6)  (8) 4)  (9) = ((7) x (2)) + (3) ‐ (8) 

Dana:                 

Giro  Rp.114.004.800  Rp.11.400.480  ‐    ‐ 

  ‐    ‐ 

  ‐    ‐ 

                      

36%  4%  46%  14% Rp.1.596.067 

Tabungan  Rp.141.148.800  Rp.14.114.880 55%  3%  20%  22% Rp.3.105.274 

Simpanan Berjangka  Rp.325.728.000  Rp.32.572.800 77%  3%  3%  17% Rp.5.537.376 

Jumlah  Rp.580.881.600 Rp.10.238.717 

Kredit:                  

Kartu Kredit  Rp.24.429.600  Rp.8.794.656  Rp.3.600.000  23%  44%  13%  20%  Rp.1.221.480  Rp.4.137.451 

Kredit Konsumer  Rp.135.720.000  Rp.22.393.800  Rp.1.357.200  57%  0%  20%  23%  Rp.4.071.600  Rp.2.436.174 

Jumlah  Rp.160.149.600                       Rp.6.573.625 

Manfaat Training Per Pegawai                      Rp.16.812.342 

Total Manfaat Training (308 peserta)                       Rp.5.178.201.336 

Sumber: Hasil analisis.                1) Perhitungan Gross Interest Income:

53

             

 

                 

             

                   

                  

                 

               

             

               

                 

                 

   

    ‐ Giro/Tabungan/Simpanan Berjangka : suku bunga SBI: 10%     

    ‐ Kartu Kredit: suku bunga pinjaman: 36%

    ‐ Kredit Konsumer: suku bunga pinjaman: 16,5%   2) Perhitungan Fee:

    ‐ Kartu Kredit: iuran tahunan/kartu: Rp.100.000

    ‐ Kredit Konsumer: persentase dari baki debet: 1%3) Perhitungan Cost:   

    ‐ Persentase dari Gross Interest Income   4) Asumsi Pembentukan PPAP  

    ‐ Kartu Kredit: persentase dari baki debet: 5%

    ‐ Kredit Konsumer: persentase dari baki debet: 3%

Page 41: Cara Menghitung Return of Training Investment

− Delivery Cost: yang  termasuk dalam komponen biaya  ini meliputi biaya  trainer, modul training,  dan  biaya  administrasi.  Pehitungan  biaya‐biaya  tersebut menggunakan  hasil perhitungan  Bank  X  sebesar  Rp.527.500.  Selain  itu  diperhitungkan  pula  biaya transportasi  dan  akomodasi  peserta  sesuai  dengan  tempat  kerja  asal mereka.  Biaya transportasi dihitung dari  rata‐rata biaya perjalanan dari  tempat kerja asal ke  Jakarta (pulang  pergi)  dengan menggunakan  pesawat  udara  (kecuali  Bandung menggunakan kereta  api)  dengan  kelas  penerbangan  sesuai  ketentuan  Bank  X,  sementara  biaya akomodasi diperhitungkan selama 5 (lima) malam dengan ketentuan maksimal sebesar Rp.350.000 per malam sesuai ketentuan Bank X. 

− Evaluation  Cost:  komponen  biaya  ini  tidak  diperhitungkan  karena  evaluasi  yang dilakukan  Bank  X  selama  ini  relatif  tidak membutuhkan  biaya  yang  signifikan  karena masih terbatas pada evaluasi Level 1 dan Level 2. 

− Overhead Cost: komponen biaya ini tidak diperhitungkan secara tersendiri karena sudah termasuk dalam Delivery Cost. 

Dengan  menggunakan  asumsi‐asumsi  di  atas,  maka  dapat  dihitung  besarnya  biaya penyelenggaraan training sebagaimana terlihat pada Tabel 13.   Akhirnya, dengan menggunakan hasil‐hasil perhitungan manfaat dan biaya training di atas, maka dapat dihitung besarnya ROTI sebagaimana terlihat pada Tabel 14 berikut.  

Tabel 14 Perhitungan Return on Training Investment 

Manfaat Training 

Biaya             Training 

Manfaat Bersih Training 

ROTI 

(1)  (2)  (3) = (1) ‐ (2)  (4) = (3) / (2) 

       

Rp.5.178.201.336  Rp.956.588.467  Rp.4.221.612.869  441% 

           

Sumber: Hasil Analisis     

 

Evaluasi Level 6: Identifikasi Intangible Benefits Intangible  benefits merupakan  akibat  positif  yang  dihasilkan  oleh  suatu  program  training yang  tidak dapat  atau  sangat  sulit untuk dikonversikan  ke dalam nilai‐nilai  finansial.  Level evaluasi ini juga merupakan bagian dari pandangan Jack J. Phillips (2002).  Analisis  yang  dilakukan  berhasil mengidentifikasi  beberapa  hal  penting  yang  dipengaruhi oleh penerapan training SRBS, yaitu: − Meningkatnya kepuasan nasabah. − Meningkatnya kualitas pekerjaan eks‐peserta. 

54

− Meningkatnya produktivitas kerja eks‐peserta. 

Page 42: Cara Menghitung Return of Training Investment

55

− Menambah wawasan dalam pekerjaan. − Kesempatan untuk melakukan sharing dengan peserta lainnya.  Identifikasi  ini  penting mengingat  tujuan  training  SRBS  yang  pada  prinsipnya  sebenarnya bertujuan  untuk  meningkatkan  volume  penjualan  produk‐produk  ritel  bank.  Pada kenyataannya, penerapan materi training SRBS dalam pekerjaan sehari‐hari juga membawa dampak  yang  positif  pada  tingkat  kepuasan  nasabah  saat  dilayani  di  Bank  X,  meski sebagaimana  telah  diuraikan  pada  bagian  lain  tulisan  ini  tingkat  kepuasan  nasabah  atas pelayanan Bank X relatif masih rendah. Di satu sisi, memang  tidak dapat dipungkiri bahwa banyak  faktor  lain  yang  menentukan  tingkat  kepuasan  nasabah,  bahkan  survey  yang dilakukan  oleh  beberapa  lembaga  memperlihatkan  bahwa  tingkat  kepuasan  nasabah terhadap pelayanan yang diberikan oleh Bank X relatif lebih rendah dibandingkan bank‐bank pesaingnya.

Page 43: Cara Menghitung Return of Training Investment

 

 

 

 

 

Tabel 13 Perhitungan Biaya Training 

Asal Peserta 

Jumlah Peserta 

Jenis Biaya Training Biaya Training 

Delivery  Transportasi  Akomodasi  Total 

(1)  (2) 1)  (3) 2)  (4) 3)  (5) = (2) + (3) + (4)  (6) = (1) x (5) 

Sumatera  43  Rp.527.500  Rp.1.130.100  Rp.1.750.000  Rp.3.407.600  Rp.146.526.800 

Jabodetabek  131  Rp.527.500  Rp.0  Rp.0  Rp.527.500  Rp.69.102.500 

Jawa lainnya  84  Rp.527.500  Rp.716.400  Rp.1.750.000  Rp.2.993.900  Rp.251.487.600 

Bali dan Nusa Tenggara  10  Rp.527.500  Rp.1.478.667  Rp.1.750.000  Rp.3.756.167  Rp.37.561.667 

Kalimantan  18  Rp.527.500  Rp.1.212.800  Rp.1.750.000  Rp.3.490.300  Rp.62.825.400 

Sulawesi  15  Rp.527.500  Rp.1.552.600  Rp.1.750.000  Rp.3.830.100  Rp.57.451.500 

Maluku dan Irian  7  Rp.527.500  Rp.2.801.500  Rp.1.750.000  Rp.5.079.000  Rp.35.553.000 

Jumlah  308              Rp.660.508.467 

Acquisition cost (prorata per tahun)              Rp.296.080.000 

Total Biaya Training (308 peserta)              Rp.956.588.467 

Sumber: Hasil analisis.             1) Meliputi biaya trainer, modul training, dan administrasi. Diperoleh dari katalog Bank X.         

       

         

2) Rata‐rata biaya perjalanan pp.     3) Biaya penginapan selama 5 hari @ Rp.350.000 

56

 

Page 44: Cara Menghitung Return of Training Investment

Namun  di  sisi  lain,  adanya  indikasi  bahwa  training  SRBS  memberikan  dampak  positif terhadap  kepuasan  nasabah  juga  tidak  dapat  diabaikan  begitu  saja.  Dengan  kata  lain, kompetensi  pegawai  dalam melakukan  teknik  penjualan  juga  harus  diperhatikan  dengan cermat  apabila Bank X berupaya meningkatkan  kepuasan nasabahnya, di  samping  faktor‐faktor  lainnya  seperti  pemahaman  yang  baik  mengenai  produk‐produk  yang  dijual, kelengkapan serta pemeliharaan fasilitas pelayanan, sikap melayani, serta hal‐hal lainnya.  Sementara  itu,  adanya  kesempatan  para  peserta  untuk  saling  berbagi  pengalaman  juga merupakan salah satu keuntungan  lain dari training SRBS, dan dapat dilakukan tidak hanya pada saat training berlangsung namun juga dapat terjadi pada saat‐saat lain, misalnya ketika istirahat, makan,  di  penginapan,  dan  sebagainya.  Kesempatan  sharing  ini  sekaligus  dapat memperkaya pengalaman dan pengetahuan teknis peserta yang belum terakomodir dalam training SRBS itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa materi training yang diberikan belum tentu dapat memberikan  jawaban atas  setiap permasalahan yang  terjadi di kantor‐kantor cabang Bank X. Dalam hal  inilah kesempatan bertemu dan saling berbagi pengalaman tadi memberikan  dampak  positif  yang  sangat  dirasakan  manfaatnya  oleh  peserta  training, khususnya dalam menghadapi perilaku nasabah yang berbeda‐beda.  Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan  yang dilakukan, dapat ditarik beberapa  kesimpulan sebagai berikut: 1.  Evaluasi pada Level 3 menghasilkan 3 (tiga) kesimpulan pokok, yaitu: 

− Training Selling Retail Bank Services (SRBS) memiliki relevansi yang kuat dengan pekerjaan yang sehari‐hari dihadapi oleh eks‐peserta training. Hal ini ditunjukkan dengan rata‐rata nilai relevansi sebesar 5,06 pada skala 1,00 – 6,00. 

− Terjadi  perubahan  yang  cukup  signifikan  atas  kompetensi  eks‐peserta  training SRBS setelah mereka mengikuti training tersebut. Hal  ini terlihat dari nilai rata‐rata perubahan kompetensi yang relatif tinggi, yaitu berkisar antara 5,09 sampai dengan 5,23. Dari ketiga domain kompetensi yang diteliti, maka perubahan yang paling besar terjadi adalah pada domain Attitudes. 

− Eks‐peserta  training  juga  hampir  selalu  menerapkan  materi  training  dalam pekerjaannya sehari‐hari, dengan nilai rata‐rata penerapan mencapai 5,13. 

  Secara  keseluruhan,  ketiga  hal  tersebut  menunjukkan  bahwa  training  SRBS menunjukkan performa yang baik pada evaluasi Level 3.  

 2.  Evaluasi pada Level 4 menghasilkan 2 (dua) kesimpulan pokok, yaitu: 

− Terjadi  peningkatan  kinerja  eks‐peserta  training  berupa  peningkatan  hasil penjualan  produk‐produk  ritel  bank.  Peningkatan  tersebut  terjadi  baik  pada produk dana (liabilities products) maupun produk kredit (assets products). 

57

− Dari  7  (tujuh)  faktor  yang  berpengaruh  terhadap  kinerja  eks‐peserta  training, faktor training memiliki nilai kontribusi yang paling besar (26%). 

Page 45: Cara Menghitung Return of Training Investment

  Kesimpulan  di  atas menunjukkan  bahwa  training  SRBS memberikan  kontribusi  yang cukup  signifikan  terhadap  peningkatan  kinerja  pegawai  atau  perusahaan  secara keseluruhan. Dengan kata lain, training tersebut juga menunjukkan performa yang baik pada evaluasi Level 4.  

 3.  Pada  level  selanjutnya,  yaitu  perhitungan  Return  on  Training  Investment  (ROTI), 

diperoleh nilai ROTI  sebesar 441%. Nilai  tersebut menunjukkan bahwa manfaat yang diberikan oleh  training SRBS  jauh  lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan  training  tersebut.  Dengan  demikian,  pada  akhirnya  dapat disimpulkan  bahwa  training  SRBS  cukup  berharga  untuk  dilanjutkan penyelenggaraannya di kemudian hari.  

 4.  Terdapat  keuntungan  lain  yang  diperoleh  dari  penyelenggaraan  training  SRBS  ini 

berupa  intangible  benefits  yang  semakin  memperkuat  kontribusi  training  tersebut terhadap peningkatan kinerja perusahaan secara keseluruhan.  

Berdasarkan  keempat  hal  di  atas maka  secara  umum  dapat  disimpulkan  bahwa  training Selling  Retail  Bank  Services  memiliki  efektivitas  yang  tinggi  dan  perlu  terus  dilanjutkan penyelenggaraannya  karena  terbukti  memberikan  kontribusi  yang  signifikan  bagi perusahaan. 

Saran  Terdapat beberapa saran yang dapat dikemukakan, baik untuk keperluan manajemen Bank X maupun untuk kepentingan penelitian lanjutan.  Saran Untuk Manajemen 1.  Dengan mempertimbangkan kendala waktu dan biaya, pihak manajemen perusahaan 

hendaknya melakukan evaluasi setiap training yang diselenggarakannya secara lengkap dari Level 1 hingga Level 4 bahkan, jika memungkinkan dan diperlukan, sampai dengan perhitungan Return on Training Investment‐nya. Hal ini penting agar perusahaan dapat meyakini  bahwa  training  yang  diselenggarakannya  benar‐benar  terlaksana  secara efektif serta dapat memberikan kontribusi finansial yang positif bagi perusahaan. 

58

2.  Pihak manajemen perlu mengantisipasi hambatan‐hambatan yang banyak dialami eks‐peserta  dalam  menerapkan  materi  training  SRBS  dalam  pekerjaannya  sehari‐hari. Untuk itu, manajemen perlu meyakini terlebih dahulu pemenuhan kondisi‐kondisi yang menjadi prasyarat efektifnya penerapan training tersebut, misalnya sistem operasional bank  yang  handal  dan  tidak  sering  mengalami  gangguan,  lingkungan  kerja  yang kondusif, jumlah pegawai yang seimbang dengan jumlah nasabah yang harus dilayani, dan sebagainya.  

Page 46: Cara Menghitung Return of Training Investment

3.  Sebagaimana  telah  dikemukakan  sebelumnya,  training  bukanlah  satu‐satunya  faktor yang berpengaruh  terhadap peningkatan  kinerja pegawai, melainkan masih  terdapat enam faktor  lainnya (peningkatan kapasitas pegawai, penetapan standar kerja, sistem penilaian  kinerja,  pemberian  feedback,  kondisi  kerja,  serta  sistem  insentif).  Dalam kaitannya  dengan  hal  tersebut,  maka  perusahaan  perlu  memperhatikan  pula perkembangan  faktor‐faktor  lainnya  tersebut    agar  kinerja  perusahaan  dapat meningkat secara signifikan. 

4.  Salah satu masalah yang dihadapi dalam melakukan evaluasi Level 3 dan Level 4 (yang dilakukan  setelah  eks‐peserta  training  kembali  ke  tempat  kerjanya  semula)  adalah efektivitas metode  pengumpulan  data.  Penelitian  ini menggunakan  kuesioner  yang dikirimkan  lewat  jasa  pos  kepada  eks‐peserta  melalui  unit  kerjanya,  namun  pada kenyataannya tingkat pengembalian kuesioner relatif tidak terlalu besar (sekitar 40%). Untuk  selanjutnya, untuk menghemat waktu dan biaya, disarankan  agar perusahaan lebih menggunakan sarana komunikasi secara elektronik (misalnya melalui e‐mail atau web‐site yang dapat diakses oleh eks‐peserta). 

5.  Khusus untuk penyelenggaraan  training SRBS, hasil penelitian menunjukkan perlunya penyempurnaan terhadap beberapa hal. Saran yang paling banyak dikemukakan oleh eks‐peserta  adalah  perlunya  diperbanyak  contoh‐contoh  kasus  sesuai  dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Saran lain yang cukup banyak dikemukakan adalah penyempurnaan materi  training  dan  teknik  penyajiannya, meskipun  tidak  diuraikan secara lebih rinci mengenai bagian mana yang perlu disempurnakan. 

6.  Hasil  evaluasi  training  perlu  dikomunikasikan  secara  baik  kepada  stakeholders  agar dapat bermanfaat secara nyata bagi kemajuan perusahaan. Untuk itu, evaluator perlu mempersiapkan dengan cermat communication process sehingga hasil yang diperoleh, khususnya  Return  on  Training  Investment,  dapat  dipahami  oleh  semua  pihak.  Cara terbaik yang dapat dilakukan dalam hal ini adalah melalui pertemuan tatap muka (face‐to‐face  meeting)  yang  memungkinkan  evaluator  menyampaikan  temuannya  secara langsung sehingga  isu‐isu yang  ingin disampaikan dapat  tereksplorasi secara optimal, sekaligus  memberikan  peluang  untuk  memperoleh  komitmen  manajemen  untuk mengambil kebijakan sesuai dengan yang direkomendasikan dalam evaluasi tersebut. 

 Saran Untuk Penelitian Lanjutan 

59

1.  Salah  satu  kelemahan  dalam  ilustrasi  ini  adalah  bahwa  evaluasi  training  hanya dilakukan  terhadap  eks‐peserta  training  saja.  Meskipun  hal  tersebut  masih  dapat dipertanggungjawabkan  secara  ilmiah, namun  tidak dapat dipungkiri bahwa evaluasi yang dilakukan secara 3600 akan memberikan hasil yang  lebih baik dan obyektif. Oleh 

Page 47: Cara Menghitung Return of Training Investment

karenanya,  perlu  dipertimbangkan  untuk  melakukan  evaluasi  training  secara  3600. Selain itu, dapat pula dilakukan wawancara untuk memperkuat hasil yang diperoleh. 

2.  Penghitungan  sejenis  berikutnya  dapat  dilakukan  terhadap  jenis‐jenis  training  yang tidak  terkait  dengan  operasi  perusahaan  ataupun  core‐business  secara  langsung. Training  dimaksud  dapat  terkait  dengan  peningkatan  kompetensi  yang  bersifat  soft‐skills,  seperti  training  mengenai  kepemimpinan  (leadership)  atau  kerjasama (teamwork), maupun  kompetensi  yang bersifat hard‐skills namun  termasuk  kegiatan penunjang bisnis (support activities), seperti training tentang akuntansi atau audit.  

3.  Penelitian  lanjutan  dapat  dilakukan  dengan menggunakan  pengklasifikasian  tertentu untuk  memperoleh  hasil‐hasil  yang  dapat  diperbandingkan,  sekaligus  memperkaya penelitian  tersebut. Misalnya,  dengan memilah  responden  atas  dasar  lokasi  tempat kerjanya untuk memperoleh gambaran efektivitas training antar daerah, atau dengan melakukan pemilahan atas dasar usia atau pengalaman kerja eks‐peserta. 

60

 

Page 48: Cara Menghitung Return of Training Investment

Daftar Pustaka  Agung, I Gusti Ngurah. (1992). Metode Penelitian Sosial: Pengertian dan Pemakaian Praktis. 

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.   Anonymus. (2005). 5 Creative Ways to Measure Training’s Return on  Investment.  IOMA’s 

Report on Managing Training & Development, 3, 1‐3. Burrow, Jim & Berardinelli, Paula. (2003). Systematic Performance Improvement – Refining 

the Space Between Learning and Results. Journal of Workplace Learning, 15, 6‐13. Cyrs, Thomas E.  (1998). Evaluating Distance Learning Programs and Courses. Educational 

Development Associates, 3, 1‐2. Farrell, Don G. (2005). What’s the ROI of Training Programs? Lodging Hospitality, 61, 46. Freeman, Lisa.  (2003). Measuring Return On Training Dollars  Increasingly Possible, Credit 

Union Journal, 7, 1‐3. Goldwasser, Donna. (2001). Beyond ROI. Training, 38, 82‐90. Honeycutt  Jr, Earl D; Karande, Kiran; Attia, Ashraf; & Maurer, Steven D.  (2001). An Utility 

Based  Framework  for  Evaluating  the  Financial  Impact  of  Sales  Force  Training Programs. The Journal of Personal Selling & Sales Management, 21, 229‐238. 

Kirkpatrick, Donald L. (1998). Evaluating Training Programs. San Francisco: Berrett‐Koehler Publishers, Inc. 

Kirkpatrick, Donald L. (1982). How to Improve Performance Through Appraisal and Coaching. New York: America Management Association. 

Kirkpatrick, Donald L. (1996). Implementation Guidelines for the Four Levels of Evaluation. Training & Development, 1, 1. 

Kirkpatrick,  Donald  L.  (1996).  Techniques  for  Evaluating  Training  Programs.  Training  & Development, 1, 2‐3. 

Lockyer, Sarah E. (2003). Does Training Pay? It’s Hard to Measure. American Banker, 168, 7‐10. 

McNamara,  Carter.  (1998).  Basic  Guide  to  Program  Evaluation. www.authenticityconsulting.com, 

McNamara,  Carter.  (1999).  Checklists  for  Program  Evaluation  Planning.. www.authenticityconsulting.com, 

Miller,  Mike  (1999).  Evaluate  Training  on  These  Four  Levels.  Credit  Union  Magazine Madison, 65, 25‐26. 

Molinaro,  Vince.  (2003).  Training  ROI  Requires  Attention  to  Followup.  Canadian  HR Reporter, 16, 13‐14. 

Morrow, Charley C.; Jarrett M. Quintin; & Rupinski, Melvin T. (1997). An Investigation of the Effect and Economic Utility of Corporate‐wide Training. Personnel Psychology, 50, 91‐120. 

Noe, Raymond A. (2005). Employee Training and Development. New York: McGraw‐Hill. 

61

Pangarkar,  Ajay  &  Kirkwood,  Teresa.  (2005).  Making  Cents  From  Your  Training  ROI. Canadian HR Reporter, 18, 15. 

Page 49: Cara Menghitung Return of Training Investment

62

Phillips, Jack J. Communicating Results to Top Executives. www.clomedia.com. Phillips,  Jack  J. &  Stone, Ron Drew.  (2002). How  to Measure  Training Results. New  York: 

McGraw‐Hill. Phillips, Jack J. (1996). How Much Is the Training Worth? Training & Development, 50, 20‐

24. Phillips, Jack J. (1996). ROI: the Search for Best Practices. Training & Development, 50, 42‐

47. Phillips, Jack J. (1996). Was It the Training? Training & Development, 50, 28‐32. Plant, Roger A. & Ryan, Robert A.  (1992). Training Evaluation: A Procedure  for Validating 

An Organization’s Investment in Training. Journal of European Industrial Training, 16, 22‐38. 

Pratisto, Arif.  (2004). Cara Mudah Mengatasi Masalah Statistik dan Rancangan Percobaan dengan SPSS 12. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. 

Santoso, Singgih & Tjiptono, Fandy  (2001). Konsep dan Aplikasi dengan SPSS.    Jakarta: PT Elex Media Komputindo.  

Shelton, Sandra & Alliger, George. (1993). Who’s Afraid of Level 4 Evaluation? A Practical Approach. Training & Development, 47, 43‐46. 

Singarimbun, Masri & Effendi, Sofian (ed) (1989). Metode Penelitian Survai.  Jakarta: LP3ES.  Warr,  Peter;  Allan,  Catriona;  &  Birdi,  Kamal  (1999).  Predicting  Three  Levels  of  Training 

Outcome.  Journal of Occupational and Organizational Psychology, 72, 351‐375.