ca paru.docx
TRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUAN KANKER PARU
1. Definisi Kanker Paru
Kanker adalah neoplasma pada jaringan yaitu pertumbuhan jaringan baru yang
abnormal. Paru merupakan organ elastis berbentuk kerucut dan letaknya didalam rongga
dada. Jenis tumor paru dibagi untuk tujuan pengobatan, meliputi SCLC ( Small Cell
Lung Cancer ) dan NSLC ( Non Small Cell Lung Cancer / Karsinoma Skuamosa,
adenokarsinoma, karsinoma sel besar )
Kanker paru adalah tumor berbahaya yang tumbuh diparu, sebagian besar kanker
paru berasal dari sel-sel didalam paru tapi dapat juga berasal dari bagian tubuh lain yang
terkena kanker.
2. Etiologi
Seperti umumnya kanker yang lain, penyebab yang pasti dari kanker paru belum
diketahui, tapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat karsinogenik
merupakan faktor penyebab utama disamping adanya faktor lain seperti kekebalan tubuh,
genetik, dan lain-lain (Amin, 2006).
1. Merokok
Tak diragukan lagi merupakan faktor utama. Suatu hubungan statistik yang
defenitif telah ditegakkan antara perokok berat (lebih dari dua puluh batang sehari) dari
kanker paru (karsinoma bronkogenik). Perokok seperti ini mempunyai kecenderung
sepuluh kali lebih besar dari pada perokok ringan. Selanjutnya orang perokok berat
yang sebelumnya dan telah meninggalkan kebiasaannya akan kembali ke pola resiko
bukan perokok dalam waktu sekitar 10 tahun. Hidrokarbon karsinogenik telah
ditemukan dalam ter dari tembakau rokok yang jika dikenakan pada kulit hewan,
menimbulkan tumor.
2. Iradiasi.
Insiden karsinoma paru yang tinggi pada penambang kobalt di Schneeberg dan
penambang radium di Joachimsthal (lebih dari 50 % meninggal akibat kanker paru)
berkaitan dengan adanya bahan radioaktif dalam bentuk radon. Bahan ini diduga
merupakan agen etiologi operatif.
1
3. Kanker paru akibat kerja.
Terdapat insiden yang tinggi dari pekerja yang terpapar dengan karbonil nikel
(pelebur nikel) dan arsenic (pembasmi rumput). Pekerja pemecah hematite (paru – paru
hematite) dan orang – orang yang bekerja dengan asbestos dan dengan kromat juga
mengalami peningkatan insiden.
4. Polusi udara
Mereka yang tinggal di kota mempunyai angka kanker paru yang lebih tinggi dari
pada mereka yang tinggal di desa dan walaupun telah diketahui adanya karsinogen dari
industri dan uap diesel dalam atmosfer di kota.
( Thomson, Catatan Kuliah Patologi,1997).
5. Genetik.
Terdapat perubahan/ mutasi beberapa gen yang berperan dalam kanker paru, yakni :
a. Proton oncogen.
b. Tumor suppressor gene.
c. Gene encoding enzyme.
· Teori Onkogenesis.
Terjadinya kanker paru didasari oleh tampilnya gen suppresor tumor dalam genom
(onkogen). Adanya inisiator mengubah gen supresor tumor dengan cara menghilangkan
(delesi/del) atau penyisipan (insersi/ inS) sebagian susunan pasangan basanya,
tampilnya gen erbB1 dan atau neu/erbB2 berperan dalam anti apoptosis (mekanisme sel
untuk mati secara alamiah- programmed cell death). Perubahan tampilan gen kasus ini
menyebabkan sel sasaran dalam hal ini sel paru berubah menjadi sel kanker dengan
sifat pertumbuhan yang autonom. Dengan demikian kanker merupakan penyakit
genetic yang pada permulaan terbatas pada sel sasaran kemudian menjadi agresif pada
jaringan sekitarnya.
6. Diet
Dilaporkan bahwa rendahnya konsumsi betakaroten, seleniumdan vitamin A
menyebabkan tingginya resiko terkena kanker paru. (Ilmu Penyakit Dalam, 2001).
Faktor Risiko Kanker Paru
1. Laki-laki
2. Usia lebih dari 40 tahun
3. Pengguna tembakau (perokok putih, kretek atau cerutu)
4. Hidup atau kontal erat dengan lingkungan asap tembakau (perokok pasif)
5. Radon dan asbes
2
6. Lingkungan industri tertentu
7. Zat kimia, seperti arsenic
8. Beberapa zat kimia organic
9. Radiasi dari pekerjaan, obat-obatan, lingkungan
10. Polusi udara
11. Kekurangan vitamin A dan C
3. Klasifikasi Kanker Paru
Kanker paru dibagi menjadi kanker paru sel kecil (small cell lung cancer, SCLC) dan
kanker paru sel tidak kecil (non-small lung cancer, NSCLC). Klasifikasi ini digunakan
untuk menentukan terapi. Termasuk didalam golongan kanker paru sel tidak kecil adalah
epidermoid, adenokarsinoma, tipe-tipe sel besar, atau campuran dari ketiganya.
1. Karsinoma sel skuamosa (epidermoid)
Merupakan tipe histologik kanker paru yang paling sering ditemukan, berasal
dari permukaan epitel bronkus. Perubahan epitel termasuk metaplasia, atau displasia
akibat merokok jangka panjang, secara khas mendahului timbulnya tumor. Karsinoma
sel skuamosa biasanya terletak sentral di sekitar hilus, dan menonjol ke dalam bronki
besar. Diameter tumor jarang melampaui beberapa sentimeter dan cenderung
menyebar secara langsung ke kelenjar getah bening hilus, dinding dada, dan
mediastinum. Karsinoma ini lebih sering pada laki-laki daripada perempuan (Wilson,
2005).
2. Adenokarsinoma
Memperlihatkan susunan selular seperti kelenjar bronkus dan dapat
mengandung mukus. Kebanyakan jenis tumor ini timbul di bagian perifer segmen
bronkus dan kadang-kadang dapat dikaitkan dengan jaringan parut lokal pada paru
dan fibrosis interstisial kronik. Lesi sering kali meluas ke pembuluh darah dan limfe
pada stadium dini dan sering bermetastasis jauh sebelum lesi primer menyebabkan
gejala-gejala.
3. Karsinoma bronkoalveolus
Dimasukkan sebagai subtipe adenokarsinoma dalam klasifikasi terbaru tumor paru
dari WHO. Karsinoma ini adalah sel-sel ganas yang besar dan berdiferensiasi sangat
buruk dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti bermacam-macam. Sel-sel ini
3
cenderung timbul pada jaringan paru perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran
ekstensif dan cepat ke tempat-tempat yang jauh.
4. Karsinoma sel kecil
Umumnya tampak sebagai massa abu-abu pucat yang terletak di sentral dengan
perluasan ke dalam parenkim paru dan keterlibatan dini kelenjar getah bening hilus
dan mediastinum. Kanker ini terdiri atas sel tumor dengan bentuk bulat hingga
lonjong, sedikit sitoplasma, dan kromatin granular. Gambaran mitotik sering
ditemukan. Biasanya ditemukan nekrosis dan mungkin luas. Sel tumor sangat rapuh
dan sering memperlihatkan fragmentasi dan “crush artifact” pada sediaan biopsi.
Gambaran lain pada karsinoma sel kecil, yang paling jelas pada pemeriksaan
sitologik, adalah berlipatnya nukleus akibat letak sel tumor dengan sedikit sitoplasma
yang saling berdekatan (Kumar, 2007).
5. Karsinoma sel besar
Adalah sel-sel ganas yang besar dan berdiferensiasi sangat buruk dengan
sitoplasma yang besar dan ukuran inti bermacam-macam. Sel-sel ini cenderung timbul
pada jaringan paru perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran ekstensif dan cepat ke
tempat-tempat yang jauh (Wilson, 2005).
Bentuk lain dari kanker paru primer adalah adenoma, sarkoma, dan mesotelioma
bronkus. Walaupun jarang, tumor-tumor ini penting karena dapat menyerupai karsinoma
bronkogenik dan mengancam jiwa.
4. Gambaran Klinis
Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan gejala-gejala klinis. Bila
sudah menampakkan gejala berarti psien dalam stadium lanjut.
Gejala-gejala dapat bersifat :
1. Lokal (tumor setempat)
a. Batuk baru atau batuk lebih hebat pada batuk kronis
b. Hemoptisis
c. Mengi (wheezing, stridor) karena ada obstruksi saluran napas
d. Kadang terdapat kavitas seperti abses paru
e. Aelektasis
4
2. Invasi local :
a. Nyeri dada
b. Dispnea karena efusi pleura
c. Invasi ke pericardium terjadi temponade atau aritmia
d. Sindrom vena cava superior
e. Sindrom Horner (facial anhidrosis, ptosis, miosis)
f. Suara sesak, karena penekanan pada nervus laryngeal recurrent
g. Syndrome Pancoasta karena invasi pada pleksus brakialis dan saraf simpatis
servikalis
3. Gejala penyakit metastasis :
a. Pada otak, tulang, hati, adrenal
b. Limfadenopati servikal dan supraklavikula (sering menyertai metastasis
c. Sindrom Paraneoplastik : Terdapat pada 10% kanker paru, dengan gejala
d. Sistemik : penurunan berat badan, anoreksia, demam
e. Hematologi : leukositosis, anemia, hiperkoagulasi
f. Hipertrofi : osteoartropati
g. Neurologic : dementia, ataksia, tremor, neuropati perifer
h. Neuromiopati
i. Endokrin : sekresi berlebihan hormone paratiroid (hiperkalsemia)
j. Dermatologi : eritema multiform, hyperkeratosis, jari tabuh
k. Renal : syndrome of inappropriate andiuretic hormone (SIADH)
4. Asimtomatik dengan kelainan radiologist :
a. Sering terdapat pada perokok dengan PPOK/COPD yang terdeteksi secara
radiologis
b. Kelainan berupa nodul soliter
5. Manifestasi Klinis Kanker Paru
Gejala-gejala kanker paru yaitu:
1. Gejala awal. Stridor lokal dan dispnea ringan yang mungkin disebabkan oleh
obstruksi pada bronkus.
2. Gejala umum.
a. Batuk : Kemungkinan akibat iritasi yang disebabkan oleh massa tumor.
Batuk mulai sebagai batuk kering tanpa membentuk sputum, tetapi
5
berkembang sampai titik dimana dibentuk sputum yang kental dan purulen
dalam berespon terhadap infeksi sekunder.
b. Hemoptisis : Sputum bersemu darah karena sputum melalui permukaan
tumor yang mengalami ulserasi.
c. Anoreksia, lelah, berkurangnya berat badan.
6. Patofisiologi
Dari etiologi yang menyerang percabangan segmen/ sub bronkus menyebabkan
cilia hilang dan deskuamasi sehingga terjadi pengendapan karsinogen. Dengan adanya
pengendapan karsinogen maka menyebabkan metaplasia,hyperplasia dan displasia. Bila
lesi perifer yang disebabkan oleh metaplasia, hyperplasia dan displasia menembus ruang
pleura, biasa timbul efusi pleura, dan bisa diikuti invasi langsung pada kosta dan korpus
vertebra.
Lesi yang letaknya sentral berasal dari salah satu cabang bronkus yang terbesar. Lesi ini
menyebabkan obstuksi dan ulserasi bronkus dengan diikuti dengan supurasi di bagian
distal.Gejala – gejala yang timbul dapat berupa batuk, hemoptysis, dispneu, demam, dan
dingin.Wheezing unilateral dapat terdengan pada auskultasi. Pada stadium lanjut,
penurunan berat badan biasanya menunjukkan adanya metastase, khususnya pada hati.
Kanker paru dapat bermetastase ke struktur – struktur terdekat seperti kelenjar limfe,
dinding esofagus, pericardium, otak, tulang rangka.
6
.
7. Stage Kanker Paru
Penderajatan untuk KPKBSK ditentukan menurut International System For Lung
Cancer 1997, berdasarkan sistem TNM. Pengertian T adalah tumor yang dikatagorikan atas
Tx, To s/d T4, N untuk keterlibatan kelenjar getah bening (KGB) yang dikategorikan atas Nx,
No s/d N3, sedangkan M adalah menunjukkan ada atau tidaknya metastasis jauh (WHO 1999
dalam PDPI, 2003).
Penderajatan Internasional Kanker Paru Berdasarkan Sistem TNM
Stage TNM
occult carcinoma : Tx N0 M0
0 : Tis N0 M0
IA : T1 N0 M0
IB : T2 N0 M0
IIA : T1 N1 M0
IIB : T2 N1 M0
IIIA : T3 N0 M0
T3 N2 M0
IIIB : seberang T N3 M0
T4 sebarang N M0
IV : sebarang T sebarang N sebarang T
KETERANGAN
T Tumor Primer
To Tidak ada bukti ada tumor primer. Tumor primer sulit dinilai, atau tumor primer
terbukti dari penemuan sel tumor ganas pada sekret bronkopulmoner tetapi tidak
tampak secara radilogis atau bronkoskopik.
Tx Tumor primer sulit dinilai, atau tumor primer terbukti dari penemuan sel tumor ganas
pada sekret bronkopulmoner tetapi tidak tampak secara radilogis atau bronkoskopik.
Tis Karsinoma in situ T1 Tumor dengan garis Tengah terbesar tidak melebihi 3 cm,
8
dikelilingi oleh jaringan paru atau pleura viseral dan secara bronkoskopik invasi tidak
lebih proksimal dari bronkus lobus (belum sampai ke bronkuslobus (belum sampai ke
bronkus utama). Tumor supervisial sebarang ukuran dengankomponen invasif terbatas
pada dinding bronkus yang meluas ke proksimal bronkus utama.
T2 Setiap tumor dengan ukuran atau perluasan sebagai berikut :
Garis tengah terbesar lebih dari 3 cm
Mengenai bronkus utama sejauh 2 cm atau lebih distal dari karina mengenai
pleura Viseral
Berhubungan dengan atelektasis atau pneumonitis obstruktif yang meluas ke
daerah hilus,tetapi belum mengenai seluruh paru.
T3 Tumor sebarang ukuran, dengan perluasan langsung pada dinding dada (termasuk
tumor sulkus superior), diafragma, pleura mediastinum atau tumor dalam bronkus
utamayang jaraknya kurang dari 2 cm sebelah distal karina atau tumor yang
berhubungan dengan atelektasis atau pneumonitis obstruktif seluruh paru.
T4 Tumor sebarang ukuran yang mengenai mediastinum atau jantung, pembuluh besar,
trakea, esofagus, korpus vertebra, karina, tumor yang disertai dengan efusi pleura
ganas atau satelit tumor nodul ipsilateral pada lobus yang sama dengan tumor primer.
N Kelenjar getah bening regional (KGB)
Nx Kelenjar getah bening tak dapat dinilai
No Tak terbukti keterlibatan kelenjar getah bening
N1 Metastasis pada kelenjar getah bening peribronkial dan/atau hilus ipsilateral,
termasuk perluasan tumor secara langsung
N2 Metastasis pada kelenjar getah bening mediatinum ipsilateral dan/atau KGB
subkarina
N3 Metastasis pada hilus atau mediastinum kontralateral atau KGB skalenus /
supraklavila ipsilateral / kontralateral
M Metastasis (anak sebar) jauh.
Mx Metastasis tak dapat dinilai
Mo Tak ditemukan metastasis jauh
9
M1 Ditemukan metastasis jauh. “Metastastic tumor nodule”(s) ipsilateral di luar lobus
tumor primerm dianggap sebagai M1
(WHO 1999 dalam PDPI, 2003).
8. Pemeriksaan Diagnostik
1. Radiologi.
a. Foto thorax posterior – anterior (PA) dan leteral serta Tomografi dada.
Merupakan pemeriksaan awal sederhana yang dapat mendeteksi adanya kanker
paru. Menggambarkan bentuk, ukuran dan lokasi lesi. Dapat menyatakan massa
udara pada bagian hilus, effuse pleural, atelektasis erosi tulang rusuk atau
vertebra.
b. Bronkhografi.
Untuk melihat tumor di percabangan bronkus.
2. Laboratorium.
a. Sitologi (sputum, pleural, atau nodus limfe).
Dilakukan untuk mengkaji adanya/ tahap karsinoma.
b. Pemeriksaan fungsi paru dan GDA
Dapat dilakukan untuk mengkaji kapasitas untuk memenuhi kebutuhan ventilasi.
c. Tes kulit, jumlah absolute limfosit.
Dapat dilakukan untuk mengevaluasi kompetensi imun (umum pada kanker paru).
3. Histopatologi.
a. Bronkoskopi.
Memungkinkan visualisasi, pencucian bagian,dan pembersihan sitologi lesi (besarnya
karsinoma bronkogenik dapat diketahui).
b. Biopsi Trans Torakal (TTB).
Biopsi dengan TTB terutama untuk lesi yang letaknya perifer dengan ukuran < 2 cm,
sensitivitasnya mencapai 90 – 95 %.
c. Torakoskopi.
Biopsi tumor didaerah pleura memberikan hasil yang lebih baik dengan cara
torakoskopi.
d. Mediastinosopi.
Untuk mendapatkan tumor metastasis atau kelenjar getah bening yang terlibat.
10
e. Torakotomi.
Totakotomi untuk diagnostic kanker paru dikerjakan bila bermacam – macamprosedur
non invasif dan invasif sebelumnya gagal mendapatkan sel tumor.
4. Pencitraan.
a. CT-Scanning, untuk mengevaluasi jaringan parenkim paru dan pleura.
b. MRI
9. Penatalaksanaan Medis Kanker Paru
Tujuan pengobatan kanker dapat berupa :
a. Kuratif
Memperpanjang masa bebas penyakit dan meningkatkan angka harapan hidup klien.
b. Paliatif.
Mengurangi dampak kanker, meningkatkan kualitas hidup.
c. Rawat rumah (Hospice care) pada kasus terminal.
Mengurangi dampak fisis maupun psikologis kanker baik pada pasien maupun
keluarga.
d. Supotif.
Menunjang pengobatan kuratif, paliatif dan terminal sepertia pemberian nutrisi,
tranfusi darah dan komponen darah, obat anti nyeri dan anti infeksi. (Ilmu Penyakit
Dalam, 2001 dan Doenges, rencana Asuhan Keperawatan, 2000)
e. Pembedahan.
Tujuan pada pembedahan kanker paru sama seperti penyakit paru lain, untuk
mengankat semua jaringan yang sakit sementara mempertahankan sebanyak mungkin
fungsi paru –paru yang tidak terkena kanker.
f. Toraktomi eksplorasi.
Untuk mengkomfirmasi diagnosa tersangka penyakit paru atau toraks khususnya
karsinoma, untuk melakukan biopsy.
g. Pneumonektomi (pengangkatan paru).
Karsinoma bronkogenik bilaman dengan lobektomi tidak semua lesi bisa diangkat.
h. Lobektomi (pengangkatan lobus paru).
Karsinoma bronkogenik yang terbatas pada satu lobus, bronkiaktesis bleb atau bula
emfisematosa; abses paru; infeksi jamur; tumor jinak tuberkulois.
11
i. Resesi segmental.
Merupakan pengankatan satau atau lebih segmen paru.
j. Resesi baji.
Tumor jinak dengan batas tegas, tumor metas metik, atau penyakit peradangan yang
terlokalisir. Merupakan pengangkatan dari permukaan paru – paru berbentuk baji
(potongan es).
k. Dekortikasi.
Merupakan pengangkatan bahan – bahan fibrin dari pleura viscelaris)
l. Radiasi
Pada beberapa kasus, radioterapi dilakukan sebagai pengobatan kuratif dan bisa juga
sebagai terapi adjuvant/ paliatif pada tumor dengan komplikasi, seperti mengurangi
efek obstruksi/ penekanan terhadap pembuluh darah/ bronkus.
m. Kemoterapi.
Kemoterapi digunakan untuk mengganggu pola pertumbuhan tumor, untuk
menangani pasien dengan tumor paru sel kecil atau dengan metastasi luas serta untuk
melengkapi bedah atau terapi radiasi.
10. Komplikasi
Komplikasi yang sering dijumpai pada ca paru (Danusantoso, 2000, hal. 298):
a. Efusi pleura
b. Infark vaskuler
c. Metastase pada tulang pinggang/tulang punggung
Prognosis
1. Prognosis buruk, angka bertahan sampai 5 tahun untuk semua jenis kanker
paru hanya 13%.
2. Sebagian jenis kanker paru memiliki prognosis lebih buruk, seperti contoh
pada karsinoma oat cell memiliki angka bertahan hidup kurang dari 5%, yaitu
2 tahun setelah terdiagnosis.
Small Cell Lung Cancer (SCLC):
1. Dengan adanya perubahan terapi dalam 15-20 tahun kemungkinan hidup rata-
rata yang tadinya kurang 3 bulan meningkat menjadi 1 tahun.
2. Pada kelompok limited disease kemungkinan hidup rata-rata menjadi 1-2
tahun, sedangkan 20% diantaranya dapat tetap hidup dalam 2 tahun.
3. 30 % meninggal karena komplikasi lokal dari tumor
12
4. 70 % meninggal karena karsinomatosis
5. 50 % bermetastasis ke otak
Non Small Cell Lung Cancer (NSCLS):
1. Pada karsinoma skuamosa yang telah dilakukan tindakan bedah, kemungkinan
hidupnya 5 tahun setelah operasi sebanyak 30 %.
2. Survial setelah tindakan bedah, 70% pada occur carsinoma;30-40% pada
stadium I; 10-15% pada stadium II dan kurang dari 10% pada stadium III.
3. 75% Karsinomaa torakal, skuamukosa meninggal akibat komplikasi torakal,
25% karena ekstra torakal, 2% di antaranya meninggal karena gangguan
sistem saraf sentral.
4. 40% adenokarsinoma dan karsinoma sel besar meninggal akibat komplikasi
torakal, 55% karena ekstra torakal.
5. 15% adenokarsinoma dan karsinoma sel besar bermetastasis ke otak dan 8-9%
meninggal karena kelainan sistem saraf sentral.
6. Kemungkinan hidup rata-rata pasien tumor metastasis bervariasi, dari 6 bulan
sampai dengan 1 tahun, dimana hal ini sangat tergantung pada :1.Performance
status (skala Karnofsky), 2. Luasnya penyakit, 3. Adanya penurunan berat
badan dalam 6 bulan terakhir.
11. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Kanker Paru
1. Pengkajian
a. Identitas Pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan,
suku bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan dan pekerjaan pasien
(hubunganya dengan tempat kerja pasien missal: terpapar asbes)
b. Keluhan Utama
Sesak nafas
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Batuk yang kadang-kadang disertai sesak nafas dan batuk. Sesak yang dirasa
oleh pasien juga disertai nyeri pada dada sebelah kanan, adanya obstruksi
ditandai dengan suara nafas stridor, suara serak.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit seperti ca paru, pneumoni, efusi pleura, trauma, dan
sebagainya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya faktor
13
predisposisi (merokok, radiasi, akibat kerja, polusi udara, genetic, diet/pola
hidup) .
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Ada anggota keluarga yang menderita penyakit Ca paru seperti efusi pleura,
asma, TB paru dan lain sebagainya.
f. Riwayat Psikososial
cemas, takut, menarik diri
g. Pola-pola Fungsi Kesehatan
1. Pola Nutrisi-Metabolisme
Nafsu makan berkurang karena adanya secret dan terjadi kesulitan menelan ,
penurunan berat badan.
2. Pola minum
Frekuensi minum meningkat.
3. Pola Tidur-Istirahat
Susah tidur karena adanya batuk dan nyeri dada.
4. Pola Aktivitas
Keletihan dan kelemahan.
h. Pemeriksaan Fisik
a. B1: Breathing
Inspeksi: Batuk ringan atau perubahan pola batuk dari biasanya dan atau
produksi sputum, RR meningkat > 20x/menit, nafas pendek, hemoptisis.
Palpasi: peningkatan fremitus taktil menunjukkan konsolidasi.
Perkusi: adanya suara redup menandakan adanya massa
Auskultasi: krekels/mengi pada inspirasi atau ekspirasi (gangguan aliran
udara), krekels/mengi: penyimpangan trakeal (area yang mengalami lesi),
stridor local karena obstruksi bronkus.
b. B2: Blood
JVD (obstruksi vena kava), disritmia, tachikardi, bunyi jantung: gesekan
pericardial (menunjukkan efusi).
c. B3: Brain
Jika sesak semakin berat pasien gelisah, bisa terjadi penurunan kesadaran,
nyeri dada
d. B4: Blader
Pada pasien dengan penurunan kesadaran di pasang kateter
14
e. B5: Bowel
Biasanya terjadinya penurunan nafsu makan
f. B6: Bone
Kelemahan, ketidakmampuan mempertahankan kebiasaan rutin.
2. Diagnosa Keperawatan Dan Rencana Keperawatan
Diagnosa keperawatan pre operasi
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
jumlah/viskositas secret paru ditandai dengan:
a. Perubahan frekuensi/ kedalaman pernafasan
b. Suara nafas tidak normal (rhonki/ whezzing)
c. Batuk tidak efektif
d. Dispnea
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen
(hipoventilasi) ditandai dengan
a. Dispnea
b. Hipoksemia
Diagnosa keparawatan post operasi
1. Kerusakan Pertukaran Gas berhubungan dengan pengangkatan jaringan paru,
gangguan suplai oksigen (hipoventilasi) ditandai dengan:
a. Dispnea
b. Hipoksemia
c. Sianosis
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan
viskositas/ jumlah sekret, keterbatasan gerakan dada/ nyeri, kelelahan/
kelemahan ditandai dengan:
a. Perubahan frekuensi/ kedalaman pernafasan
b. Suara nafas tidak normal (rhonki/ whezzing)
c. Batuk tidak efektif
d. Dispnea
3. Nyeri (akut) berhubungan dengan insisi bedah (trauma jaringan), terpasang
drainase dada ditandai dengan:
a. Laporan verbal ketidaknyamanan/ nyeri pada luka operasi atau selang dada
15
b. Berhati-hati pada area yang nyeri, gelisah
c. TD meningkat, frekuensi jantung dan pernafasan meningkat
4. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
(pembedahan), ditandai dengan:
a. Kondisi luka kering/ basah
b. Tampak kemerahan di sekitar luka insisi
c. Peningkatan suhu tubuh
5. Ketakutan (ansietas) berhubungan dengan krisis situasi, ancaman perubahan
status kesehatan, ancaman kematian, ditandai dengan:
a. Menolak
b. Ketakutan
c. Marah
d. Ekspresi menyangkal, syok, bersalah, insomnia
e. Hipersensitifitas
6. Gangguan intoleransi aktivitas berhubungan dengan anemia pasca kemoterapi
ditandai dengan :
a. Anemia HB < 10 gr%
b. Konjungtiva anemis
c. Semua kebutuhan ADL dibantu
7. Gangguan konsep diri berhubungan dengan alopepsia ditandai dengan :
a. Ekspresi wajah menunduk
b. Rambut rontok
3. Intervensi Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
jumlah/viskositas secret paru
Tujuan: Jalan nafas kembali efektif
Kriteria hasil:
a. Menyatakan/menunjukkan hilangnya dispnea.
b. Mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih
c. Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan.
d. Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki/mempertahankan bersihan
jalan nafas.
16
Intervensi:
1. Catat perubahan upaya dan pola bernafas.
Rasional: Penggunaan otot interkostal/abdominal dan pelebaran nasal
menunjukkan peningkatan upaya bernafas dan jarkan batuk efektif
2. Observasi penurunan ekspensi dinding dada dan adanya.
Rasional: Ekspansi dad terbatas atau tidak sama sehubungan dengan akumulasi
cairan, edema, dan sekret dalam seksi lobus.
3. Catat karakteristik batuk (misalnya, menetap, efektif, tak efektif), juga produksi
dan karakteristik sputum.
Rasional: Karakteristik batuk dapat berubah tergantung pada penyebab/etiologi
gagal perbafasan. Sputum bila ada mungkin banyak, kental, berdarah, adan/atau
purulen.
4. Ajarkan pasien batuk efektif
Rasional: Meningkatkan keefektifan upaya batuk dan pembersihan sekret
5. Pertahankan posisi tubuh/kepala tepat dan gunakan alat jalan nafas sesuai
kebutuhan.
Rasional: Memudahkan memelihara jalan nafas atas paten bila jalan nafas pasein
dipengaruhi.
6. Kolaborasi pemberian bronkodilator, contoh aminofilin, albuterol dll. Awasi
untuk efek samping merugikan dari obat, contoh takikardi, hipertensi, tremor,
insomnia.
Rasional: Obat diberikan untuk menghilangkan spasme bronkus, menurunkan
viskositas sekret, memperbaiki ventilasi, dan memudahkan pembuangan sekret.
Memerlukan perubahan dosis/pilihan obat.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen
(hipoventilasi)
Tujuan: Pertukaran gas jaringan paru optimal
Kriteria hasil:
a. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenisi adekuat dengan GDA
dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan.
b. Berpartisipasi dalam program pengobatan, dalam kemampuan/situasi
17
Intervensi:
1. Kaji status pernafasan dengan sering, catat peningkatan frekuensi atau upaya
pernafasan atau perubahan pola nafas.
Rasional: Dispnea merupakan mekanisme kompensasi adanya tahanan jalan
nafas.
2. Catat ada atau tidak adanya bunyi tambahan dan adanya bunyi tambahan,
misalnya krekels, mengi.
Rasional: Bunyi nafas dapat menurun, tidak sama atau tak ada pada area yang
sakit. Krekels adalah bukti peningkatan cairan dalam area jaringan sebagai
akibat peningkatan permeabilitas membrane alveolar-kapiler. Mengi adalah
bukti adanya tahanan atau penyempitan jalan nafas sehubungan dengan
mukus/edema serta tumor.
3. Kaji adanmya sianosis
Rasional: Penurunan oksigenasi bermakna terjadi sebelum sianosis. Sianosis
sentral dari “organ” hangat contoh, lidah, bibir dan daun telinga adalah paling
indikatif.
4. Kolaborasi pemberian oksigen lembab sesuai indikasi
Rasional: Memaksimalkan sediaan oksigen untuk pertukaran.
5. Awasi atau gambarkan seri GDA.
Rasional: Menunjukkan ventilasi atau oksigenasi. Digunakan sebagai dasar
evaluasi keefktifan terapi atau indikator kebutuhan perubahan terapi.
3. Nyeri (akut) berhubungan dengan Insisi bedah, trauma jaringan, dan gangguan
saraf internal.
Tujuan: Kebutuhan rasa nyaman nyeri terpenuhi
Kriteria hasil:
a. Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.
b. Tampak rileks dan tidur/istirahat dengan baik.
Intervensi:
1. Tanyakan pasien tentang nyeri. Tentukan karakteristik nyeri. Buat rentang
intensitas pada skala 0-10.
Rasional: Membantu dalam evaluasi gejala nyeri karena kanker. Penggunaan skala
rentang membantu pasien dalam mengkaji tingkat nyeri dan memberikan alat
untuk evaluasi keefktifan analgesic, meningkatkan control nyeri.
18
2. Kaji pernyataan verbal dan non-verbal nyeri pasien.
Rasional: Ketidaklsesuaian antar petunjuk verbal/non verbal dapat memberikan
petunjuk derajat nyeri, kebutuhan/keefketifan intervensi.
3. Catat kemungkinan penyebab nyeri patofisologi dan psikologi.
Rasional: Insisi posterolateral lebih tidak nyaman untuk pasien dari pada insisi
anterolateral. Selain itu takut, distress, ansietas dan kehilangan sesuai diagnosa
kanker dapat mengganggu kemampuan mengatasinya.
4. Dorong menyatakan perasaan tentang nyeri.
Rasional: Takut/masalah dapat meningkatkan tegangan otot dan menurunkan
ambang persepsi nyeri.
5. Berikan tindakan kenyamanan. Dorong dan ajarkan penggunaan teknik relaksasi.
Rasional: Meningkatkan relaksasi dan pengalihan perhatian.
6. Kolaborasi pemberian analgetik
Rasional: mengurangi nyeri
4. Implementasi
Pada tahap ini untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas yang telah dicatat dalam
rencana perawatan pasien. Agar implementasi atau pelaksanaan perencanaan ini dapat
tepat waktu dan efektif maka perlu mengidentifikasi prioritas perawatan, memantau dan
mencatat repons pasien terjadap setiap intervensi yang dilaksanakan serta
mendokumentasikan pelaksanaan perawatan. Pada pelaksanaan keperawatan
diprioritaskan pada upaya untuk mempertahankan/memperbaiki fungsi pernapasan,
mengontrol/menghilangkan nyeri, mendukung upaya mengatasi diagnosa/situasi, dan
memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis dan program pengobatan
(Doenges Marilynn E, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan).
5. Evaluasi
1. Pertukaran gas adekuat.
2. Bersihan jalan napas efektif.
3. Skala nyeri pasien berkurang.
4. Pasien tampak rileks.
5. Pasien menyatakan mengerti dengan kondisi, tindakan, prognosis penyakitnya.
19
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaf, Hood. 2006. Dasa-dasar ilmu penyakit paru, Surabaya: Airlangga University
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, edisi revisi. Jakarta: EGC
Doenges, Marilynn E.1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3, Jakarta:
EGC
Elizabeth, J. Corwin.2008. Buku Saku Patofisiologis. Jakarta: ECG
Long, Barbara C. 1996. Perawatan Medikal Bedah: Suatu Pendekatan Proses Holistik.
Bandung: Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran
Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit. Jakarta :
EGC
Somantri, Irman. 2009. Keperawatan Medikal Bedah Asuhan Keperawatan Pada
Pasien Dengan Gangguan Sistem Pernafasan, cetakan kedua. Jakarta:
Salemba Medika
Sudoyo, Aru W, 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi IV, Jakarta:
Balai Penerbit FKUI
Suyono, Slamet, 2001, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi III. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
Underwood, J.C.E, 1999, Patologi Umum dan Sistematik, Edisi 2, Jakarta: EGC
Ward, Jeremy P.T, dkk,2008, Sistem Rispirasi Edisi 2,Jakarta: Erlangga
http://taufanarif1990.blogspot.com/2013/07/askep-ca-paru.html diakses pada 05
Desember 2014, pukul 20.00 WIB
20
TRANSFUSI DARAH
1. Definisi
Transfusi darah adalah memindahkan atau memasukan darah seseorang (donor) kepada
orang lain (pasien yang memerlukannya) melalui vena. Transfusi darah merupakan
proses transfer darah dari donor ke reseptor. Darah dapat diberikan kepada reseptor
hanya ketika mereka memiliki golongan darah yang sama.
2. Tujuan
1. Untuk menggantikan jumlah darah pasien yang hilang melebihi dari jumlah tertentu.
2. Untuk meningkatkan kadar HB dalam tubuh.
3. Untuk menggantikan darah yang tidak cocok pada bayi / neonates.
4. Untuk menggantikan darah pasien yang keracunan.
3. Indikasi
1. Anemia pada perdarahan akut setelah didahului penggantian volume dengan cairan.
2. Anemia kronis jika Hb tidak dapat ditingkatkan dengan cara lain.
3. Gangguan pembekuan darah karena defisiensi komponen.
4. Plasma loss atau hipoalbuminemia jika tidak dapat lagi diberikan plasma subtitute
atau larutan albumin.
4. Kontra Indikasi
1. Pasien yang infeksi.
2. Pasien yang golongan darah berbeda.
5. Macam-macam Transfusi Darah
1. Transfusi dengan darah seluruhya ( Whole Blood )
Indikasi transfuse dengan whole blood :
a. Perdarahan akut dan profile→hypovolemik shock.
b. Exchange transfusion : Haemolitik disease of the new born.
c. Intoxicasi.
d. Kegagalan faal hati akut.
Keuntungan : Mudah didapat dan tehnik lebih mudah.
Kerugian : Lebih sering kemungkinan terjadinya reaksi transfuse.
21
Macam transfusi dengan whole blood :
a. Fresh Blood : yaitu darag setelah pengambilan atau telah disiman pada suhu
derajat celcius selama kurang dari 6 jam.
b. Stored Blood : yaitu darah yang telah disimpan pada suhu 4 derajat celcius
selama lebih dari 6 jam.
c. Trombosit, factor V, VIII, biasanya mudah rusak.
2. Transfusi dengan komponen darah.
1. Komponen darah padat ( sel darah )
a. Transfusi dengan sel darah merah ( SDM ) :
1) SDM diendapkan.
2) SDM dipadatkan ( packed RBC )
3) Lekosit poor RBC.
4) Washed RBC.
b. Transfusi dengan sel darah putih ( SDP )
c. Transfusi dengan Trombosit :
1) Platellet Rich Plasma ( PRS )
2) Platellet Concentrate ( PC )
2. Komponen darah non sel ( Komponen Cair ).
a. Transfusi dengan plasma :
1) Single donor plasma.
2) Pooled plasma
3) Transfusi dengan fraksi plasma : Albumin, Glibulin, Fibrinogen, AHF
( anti hemophilic factor ) dsb.
I. Transfusi dengan Sel Darah Merah ( SDM )
Transfusi dengan memakai sel darah merah yang diendapkan / dipadatkan dikenal
dengan nama : Darah disentrifuse dengan kecepatan 2000rpm, selama 60 meni.
Kemudian plasma nya dipusahkan, sehingga volume darah menjadi 60 - 70% dari
semula.PRC yang telah dibuat harus dipakai dalam waktu kurang dari 4 jam. Dengan
teknologi yang lebih maju, proses pemisahan darah dan plasma itu dilakukan dengan
system tertutup, sehingga PRC yang terbentuk masih bisa dipakai asal tidak melebihi 1
hari.
22
Hal tersebut karena PRC merupakan media yang baik untuk kuman.
Keuntungan Transfusi dengan PRC :
a. Dapat diberikan SDM dalam jumlah yang banyak padda satu kali transfusi.
b. Penambahan volume darah lebih sedikit , sehingga bahaya decom cordis
menurun.
c. Kadar Na, K, NH4, dan citrate lebih sedikit.
d. Plasma nya dapat digunakan pada penderita lain.
e. Kadar anti A dan anti B dalam PRC rendah, sehingga dapat dilakukan subtitusi
bila diperlukan.
f. Kemungkinan terjadinya reaksi transfusi juga lebih kecil.
Kerugian Transfusi dengan PRC :
a. PRC yang terbentuk harus dipakai dalam waktu < 4jam atau 21 hari.
b. PRC tidak mengandung factor pembekuan darah, sehingga tidak dapat
memperbaiki perdarahan bila diperlukan.
Indikasi Transfusi dengan PRC :
a. Anemia tanpa penurunan volume darah, misalnya : perdarahan kronins,
defisiensi Fe.
b. Penderita dengan decom.cordis . ( vol penambahan sedikit ).
c. Penderita sirrhosis hepatic ( kadar NH4 sedikit ).
Transfusi dengan sel darah merah yang lainnya adalah dengan : LEUKOSIT POOR RBC
( LPRBC ), yaitu sel darah merah yang mengandung sedikit sekali sel darah putih ( lekosit ).
Sebagaimana diketahui lekosit adalah penyebab tersering terjadinya reaksi transfusi. Jadi
dengan mengurangi kandungan leukosit dalam darah yanh hendak di transfusikan, diharapkan
kemungkinan terjadinya reaksi transfuse dapat dikurangi.
Indikasi Transfusi dengan LPRBC :
a. Penderita yang memiliki titer antibody lekosit yang tinggi.
b. Penderita yang pernah mengalami reaksi transfusi yang berat.
Kontra indikasi transfuse dengan LPRBC :
Penderita dengan leukopheni yang berat.
Kerugian Transfuse dengan LPRBC ini adalah :
Lekosit tidak dapat dihilangkan 100%.
Jenis transfusi dengan sel darah merah yang lain adalah :
23
Transfusi dengan WASHED RBC ( WRBC ).
Tujuan pencucian sel darah merah ini adalah :
1. Menghilangkan protein plasma.
2. Menghilangkan antibody pada sel darah merah ( Anti A / Anti B ).
3. Menghilangkan / mengurangi sel darah putih ( lekosit ).
Kerugian pada transfusi dengan WRBC adalah : Pencucian yang berulang menjadikan
terilitas darah kurang terjamin .
Indikasi transfusi dengan WRBC adalah : Pada penderita dengan gangguan Auto Immun.
II. Transfusi dengan Sel darah Putih.
Indikasi pemberian transfuse dengan sel darah putih adalah : Bila terjadi leukopheni
yang berat, sehingga khawatir terjadinya suatu infeksi.
Transfusi dengan sel darah putih ini tidak efektif karena :
1. Umur lekosit yang pendek.
2. Jumlah lekosit yang sedikit. Untuk meningkatkan 1500 lekosit diperlukan
sekitar 40 unit darah segar.
3. Transfusi dengan sel darah putih ini jarang sekali dilakukan.
III. Transfusi dengan Trombosit
Indikasi pemberian transfusi dengan trombosit adalah bila terjadi Trombopheni yang
berat, sehingga dikhawatirkan terjadi perdarahan.
Terdapat 2 macam trombosit yang dapat ditransfusikan yaitu :
1. PRP ( Platellet Rich Plasma ).
2. PC ( Platellet Concentrate ).
Cara mendapatkan PRP dan PC adalah : Darah disentrifuse selama 3 menit dengan
kecepatan 2300 rpm, maka sentrifuse nya adalah PRP.
Bila PRP tersebut kita sentrifuse lagi selama 30 menit dengan kecepatan 2300
rpm, maka endapan yang terjadi adalah PC.
Untuk melakukan transfusi dengan trombosit ini tidak perlu dilakukan reaksi
silang terhadap gol darah ABO, sedangkan terhadap Rhesus masih tetap perlu
dilakukan. Pemberian satu unit PC dapat meningkatkan sekitar 15.000 /mm3
trombosit. Setelah suatu transfusi dengan trombosit, maka umur trombosit hanya
24
sekitar 1 – 3 hari, sehingga dapat dilakukan transfusi sebanyak 2 – 3 kali dalam
seminggu.
IV. Transfusi dengan Komponen Cair ( plasma ).
1. Transfusi dengan Plasma.
Indikasi pemberian transfusi dengan plasma adalah :
a. Suatu keadaan dimana banyak plasma yang hilang, misalnya : luka bakar
yang luas, demam berdarah, dsb.
b. Dehidrasi.
c. Perdarahan oleh karena defisiensi factor pembekuan darah.
Transfusi dengan plasma ini ada 2 macam yaitu :
1. Single Donor Plasma :
a. Dibuat dari 1 unit darah.
b. Resiko terkena hepatitis lebih kecil.
c. Titer iso antibody nya tinggi.
2. Pooled Plasma :
a. Dibuat dari beberapa unit darah.
b. Resiko terkena hepatitis tinggi.
c. Titer iso antibody kecil.
d. Volume yang didapat cukup banyak.
Kerugian pemberian transfusi dengan Plasma adalah bahwa transfusi ini tidak dapat
mengatasi anemia.
Keuntungan pemberian transfuse dengan Plasma, dibandingkan dengan transfusi dengan
Whole Blood adalah :
1. Tidak diperlukan reaksi silang.
2. 1 unit darah dapat dipakai untuk beberapa macam transfusi.
3. Kemungkinan reaksi hemolitik kecil
2. Transfusi dengan Plasma spesifik :
1. Albumin.
2. Cryoprecipitate ( Anti Hemophilia Cincentrate ).
3. Transfusi dengan Gamma Globulin : Pemberian Anti Bodi.
4. Transfusi dengan Fibrinogen.
25
6. Proses Transfusi Darah1. Pengisian Formulir Donor Darah
2. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan golongan, tekanan darah dan hemoglobin darah.
3. Pengambilan Darah
Apabila persyaratan pengambilan darah telah dipenuhi barulah dilakukan
pengambilan darah.
4. Pengelolahan Darah
Beberapa usaha pencegahan yang di kerjakan oleh PMI sebelum darah diberikan
kepada penderita adalah penyaringan terhadap penyakit di antaranya :
a. Penyakit Hepatitis B
b. Penyakit HIV/AIDS
c. Penyakit Hipatitis C
d. Penyakit Kelamin (VDRL)
5. Waktu yang di butuhkan pemeriksaan darah selama 1-2 jam
6. Penyimpanan Darah
Darah disimpan dalam Blood Bank pada suhu 26 derajat celcius. Darah ini dapat
dipisahkan menjadi beberapa komponen seperti PRC,Thrombocyt,Plasma,Cryo
precipitat.
7. Efek Samping Transfusi
a. Alergi
Penyebab:
1. Alergen di dalam darah yang didonorkan
2. Darah hipersensitif terhadap obat tertentu
Gejala:
Anaphilaksis (dingin, bengkak pada wajah, edema laring, pruritus, urtikaria,
wheezing), demam, nausea dan vomit, dyspnea, nyeri dada, cardiac arrest, kolaps
sirkulasi
Intervensi:
1. Lambatkan atau hentikan tranfusi
2. Berikkan normal saline
3. Monitor vital sign dan lakukan RJP jika diperlukan
4. Berikan oksigenasi jika diperlukan
26
5. Monitor reaksi anafilaksis dan jika diindikasikan berikan epineprin dan
kortikosteroid
6. Apabila diresepkan, sebelum pemberian tranfusi berikan diphenhidramin
b. Anafilaksis
Penyebab:
Pemberian protein IgA ke resipien penderita defisiensi IgA yang telah membentuk
antibodi IgA
Gejala:
Tidak ada demam, syok, distress pernafasan (mengi, sianosis), mual, hipotensi, kram
abdomen, terjadi dengan cepat setelah pemberian hanya beberapa milliliter darah atau
plasma.
Intervensi:
1. Hentikan tranfusi
2. Lanjutkan pemberian infus normal saline
3. Beritahu dokter dan bank darah
4. Ukur tanda vital tiap 15 menit
5. Berikan ephineprine jika diprogramkan
6. Lakukan resusitasi jantung paru (RJP) jika diperlukan
Pencegahan:
Tranfusikan sel darah merah (SDM) yang sudah diproses dengan memisahkan plasma
dari SDM tersebut, gunakan darah dari donor yang menderita defesiensi IgA.
c. Sepsis
Penyebab:
Komponen darah yang terkontaminasi oleh bakteri atau endotoksin.
Gejala:
Menggigil, demam, muntah, diare, penurunan tekanan darah yang mencolok, syok
Intervensi:
1. Hentikan tranfusi
2. Ambil kultur darah pasien
3. Pantau tanda vital setiap 15 menit
4. Berikan antibiotik, cairan IV, vasoreseptor dan steroid sesuai program
27
Pencegahan:
Jaga darah sejak dari donasi sampai pemberian
d. Urtikaria
Penyebab:
Alergi terhadap produk yang dapat larut dalam plasma donor
Gejala:
Eritema lokal, gatal dan berbintik-bintik, biasanya tanpa demam
Intervensi:
1. Hentikan tranfusi
2. Ukur vital sign tiap 15 menit
3. Berikan antihistamin sesuai program
4. Tranfusi bisa dimulai lagi jika demam dan gejala pulmonal tidak ada lagi
Pencegahan:
Berikan antihistamin sebelum dan selama pemberian tranfusi
e. Kelebihan sirkulasi
Penyebab:
Volume darah atau komponen darah yang berlebihan atau diberikan terlalu cepat
Gejala:
Dyspnea, dada seperti tertekan, batuk kering, gelisah, sakit kepala hebat, nadi, tekanan
darah dan pernafasan meningkat, tekanan vena sentral dan vena jugularis meningkat
Intervensi:
1. Tinggikan kepala klien
2. Monitor vital sign
3. Perlambat atau hentikan aliran tranfusi sesuai program
4. Berikan morfin, diuretik, dan oksigen sesuai program
Pencegahan:
Kecepatan pemberian darah atau komponen darah disesuaikan dengan kondisi klien,
berikan komponen SDM bukan darah lengkap, apabila diprogramkan minimalkan
pemberian normal saline yang dipergunakan untuk menjaga kepatenan IV
28
f. Hemolitik
Penyebab:
Antibody dalam plasma resipien bereaksi dengan antigen dalam SDM donor, resipien
menjadi tersensitisasi terhadap antigen SDM asing yang bukan dalam system ABO
Gejala:
Cemas, nadi, pernafasan dan suhu meningkat, tekanan darah menurun, dyspnea, mual
dan muntah, menggigil, hemoglobinemia, hemoglobinuria, perdarahan abnormal,
oliguria, nyeri punggung, syok, ikterus ringan. Hemolitik akut terjadi bila sedikitnya
10-15 ml darah yang tidak kompatibel telah diinfuskan, sedangkan reaksi hemolitik
lambat dapat terjadi 2 hari atau lebih setelah tranfusi.
Intervensi:
1. Monitor tekanan darah dan pantau adanya syok
2. Hentikan tranfusi
3. Lanjutkan infus normal saline
4. Pantau keluaran urine untuk melihat adanya oliguria
5. Ambil sample darah dan urine
6. Untuk hemolitik lambat, karena terjadi setelah tranfusi, pantau pemeriksaan darah
untuk anemia yang berlanjut
Pencegahan:
Identifikasi klien dengan teliti saat sample darah diambil untuk ditetapkan
golongannya dan saat darah diberikan untuk tranfusi (penyebab paling sering karena
salah mengidentifikasi).
g. Demam Non-Hemolitik
Penyebab:
Antibody anti-HLA resipien bereaksi dengan antigen leukosit dan trombosit yang
ditranfusikan.
Gejala:
Demam, flushing, menggigil, tidak ada hemolisis SDM, nyeri lumbal, malaise, sakit
kepala
Intervensi:
1. Hentikan tranfusi
2. Lanjutkan pemberian normal saline
3. Berikan antipiretik sesuai program
29
4. Pantau suhu tiap 4 jam
Pencegahan:
Gunakan darah yang mengandung sedikit leukosit (sudah difiltrasi)
h. Hiperkalemia
Penyebab:
Penyimpanan darah yang lama melepaskan kalium ke dalam plasma sel
Gejala:
Serangan dalam beberapa menit, EKG berubah, gelombang T meninggi dan QRS
melebar, kelemahan ekstremitas, nyeri abdominal
i. Hipokalemia
Penyebab:
Berhubungan dengan alkalosis metabolik yang diindikasi oleh sitrat tetapi dapat
dipengaruhi oleh alkalosis respiratorik
Gejala:
Serangan bertahap, EKG berubah, gelombang T mendatar, segmen ST depresi,
poliuria, kelemahan otot, bising usus menurun
j. Hipotermia
Penyebab:
Pemberian komponen darah yang dingin dengan cepat atau bila darah dingin
diberikan melalui kateter vena sentral.
Gejala:
Menggigil, hipotensi, aritmia jantung, henti jantung/cardiac arrest
Intervensi:
1. Hentikan tranfusi
2. Hangatkan pasien dengan selimut
3. Ciptakan lingkungan yang hangat untuk pasien
4. Hangatkan darah sebelum ditranfusikan
5. Periksa EKG
30
Infeksi yang ditularkan melalui tranfusi
1. AIDS
Penyebab:
Darah donor HIV seropositif
Gejala:
Demam, keringat malam, letih, berat badan menurun, adenopati, lesi kulit seropositif
terhadap virus HIV
2. Kontaminasi bakteri
Penyebab:
Kontaminasi pada saat penyumbangan atau persiapan, bakteri endotoksin melepaskan
endotoksin.
Gejala:
Serangan dalam 2 jam tranfusi (menggigil, demam, nyeri abdomen, syok, hipotensi
yang nyata
3. Cytomegalovirus (CMV)
Virus CMV dapat berada pada orang dewasa yang sehat. Pasien-pasien dengan
imunosupresi berisiko tinggi tertular CMV
Gejala:
Letih, lemah, adenopati, demam derajat rendah
4. Hepatitis
Hepatitis A dan hepatitis B jarang, penyakit hati kronik lebih umum dengan Hepatitis
C daripada hepatitis B
Gejala:
Terjadi dalam dalam beberapa minggu sampai bulan setelah tranfusi, mual, muntah,
ikterus, malaise, kadar enzim hati tinggi
31
5. GVHD (Graft versus host desease)
Penyebab:
Limfosit donor yang normal bereproduksi di dalam tubuh resipien yang mengalami
gangguan kekebalan, limfosit menyerang jaringan resipien karena dianggap sebagai
protein asing.
Gejala:
Demam, ruam kulit, diare, infeksi, gangguan fungsi hati (jaundice, supresi sumsum
tulang)
Intervensi:
Berikan metotresat dan kortikosteroid jika diprogramkan
Pencegahan;
Berikan darah yang tidak diradiasi jika diprogramkan, berikan darah yang telah dicuci
dengan saline jika diprogramkan
8. Manajemen efek transfusi
Pedoman untuk mengatasi reaksi tranfusi yang dibuat oleh American
Assotiation of Blood Banks adalah:
1. Hentikan tranfusi untuk membatasi jumlah darah yang diinfuskan
2. Beritahu dokter
3. Pertahankan jalur IV tetap terbuka dengan infus normal saline.
4. Periksa semua label, formulir, dan identifikasi pasien untuk menentukan apakah
pasien menerima darah atau komponen darah yang benar
5. Segera laporkan reaksi tranfusi yang dicurigai pada petugas bank darah
6. Kirimkan sample darah yang diperlukan ke bank darah sesegera mungkin, bersama-
sama dengan kantong darah yang telah dihentikan, set pemberian, larutan IV yang
diberikan, dan semua formulir dan label yang berhubungan.
7. Kirim sampel lainnya (misal urin)
8. Lengkapi laporan institusi atau formulir “reaksi tranfusi yang dicurigai”
9. Peralatan yang harus disiapkan (obat-obatan seperti: aminophilin, difenhidramin,
hidroklorida, dopamine, epinefrin, heparin, hidrokortison, furosemid, asetaminofen,
aspirin; set oksigenasi; kit kateter foley; botol kultur darah; cairan IV; selang IV)
32
9. Hal-hal yang perlu diperhatikan
1. Kondisi pasien sebelum ditranfusi
2. Kecocokan darah yang akan dimasukkan
3. Label darah yang akan dimasukkan
4. Golongan darah klien
5. Periksa warna darah (terjadi gumpalan atau tidak)
6. Homogenitas (darah bercampur semua atau tidak).
10. Persiapan Pasien
1. Jelaskan prosedur dan tujuan tranfusi yang akan dilakukan
2. Jelaskan kemungkinan reaksi tranfusi darah yang keungkinan terjadi dan pentingnya
melaporkan reaksi dengan cepat kepada perawat atau dokter
3. Jelaskan kemungkinan reaksi lambat yang mungkin terjadi, anjurkan untuk segera
melapor apabila reaksi terjadi
4. Apabila klien sudah dipasang infus, cek apakah set infusnya bisa digunakan untuk
pemberian tranfusi
5. Apabila klien belum dipasang infus, lakukan pemasangan dan berikan normal saline
terlebih dahulu
6. Pastikan golongan darah pasien sudah teridentifikasi
11. Persiapan Alat
1. Set pemberian darah
2. Kateter besar (18 G atau 19 G)
3. Cairan IV normal saline (NaCl 0,9 %)
4. Set infus darah dengan filter
5. Produk darah yang tepat
6. Sarung tangan sekali pakai
7. Kapas alkohol
8. Plester dan gunting
9. Manset tekanan darah
10. Stetoskop
11. Termometer
12. Format persetujuan pemberian tranfusi yang ditandatangani
33
13. Bengkok
14. Penghangat darah (jika diperlukan)
12. Prosedur Kerja
1. Baca status dan data klien untuk memastikan program tranfusi darah
2. Pastikan bahwa klien telah menandatangi surat persetujuan dilakukannya tindakan.
3. Cek alat-alat yang akan digunakan
4. Cuci tangan
5. Beri salam dan panggil klien sesuai dengan namanya
6. Perkenalkan nama perawat
7. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan pada klien
8. Jelaskan tujuan tindakan yang dilakukan
9. Kaji pernah tidaknya klien menerima tranfusi sebelumnya dan catat reaksi yang
timbul, apabila ada.
10. Minta klien untuk melaporkan apabila menggigil, sakit kepala, gatal-gatal, atau ruam
dengan segera.
11. Beri kesempatan pada klien untuk bertanya
12. Tanyakan keluhan klien saat ini
13. Jaga privasi klien
14. Dekatkan alat-alat ke sisi tempat tidur klien
15. Periksa tanda vital klien sebelum memulai tranfusi
16. Kenakan sarung tangan sekali pakai
17. Lakukan pemasangan infuse, apabila belum terpasang dengan menggunakan kateter
berukuran besar ( 18 atau 19 G), apabila sudah terpasang cek apakah set yang ada
bisa digunakan untuk pemberian tranfusi dan cek kepatenan vena
18. Gunakan selang infus yang memiliki filter di dalam selang (apabila selang infus
masih menggunakan selang infuse yang kecil, ganti dengan selang infus untuk
tranfusi yang ukurannya lebih besar)
19. Gantungkan botol normal saline untuk diberikan setelah pemberian darah selesai
20. Ikuti protokol lembaga dalam mendapatkan produk darah dari bank darah. Minta
darah pada saat Anda siap menggunakannya.
21. Bersama seorang perawat lainnya yang telah memiliki lisensi, identifikasi produk
darah yang akan dimasukkan (periksa etiket kompabilitas yang menempel pada
kantong darah dan informasi pada kantong tersebut; untuk darah lengkap, periksa
34
golongan darah ABO dan tipe Rh yang terdapat pada catatan klien; periksa kembali
kesesuaian produk darah yang akan diberikan dengan resep dokter; periksa data
kadaluarsa pada kantong darah; inspeksi darah untuk melihat adanya bekuan darah;
tanyakan nama klien dan periksa tanda pengenal yang dimiliki klien)
22. Mulai pemberian tranfusi darah (sebelum darah diberikan, berikan dahulu larutan
normal saline; mulai berikan tranfusi secara perlahan diawali dengan pengisian filter
di dalam selang; atur kecepatan sampai 2 ml/menit untuk 15 menit pertama dan
tetaplah bersama klien. Apabila perawat menjumpai adanya reaksi, segera hentikan
tranfusi, bilas selang dengan normal saline, laporkan pada dokter dan beritahu bank
darah)
23. Monitor tanda vital (ukur setiap 5 menit pada 15 menit pertama, selanjutnya
disesuaikan dengan kebijakan lembaga)
24. Observasi klien untuk melihat adanya reaksi tranfusi
25. Pertahankan kecepatan infus yang diprogramkan dengan menggunakanpompa, jika
perlu
26. Apabila tranfusi sudah selesai, bilas dengan normal saline
27. Bereskan alat, lepas sarung tangan
28. Cuci tangan
29. Kaji respon klien setelah tranfusi diberikan
30. Berikan reinforceament positif pada klien
31. Buat kontrak untuk pertemuan selanjutnya
32. Observasi timbulnya reaksi yang merugikan secara berkelanjutan
33. Catat pemberian darah atau produk darah yang diberikan dan respon klien terhadap
terapi darah pada status kesehatan klien
34. Setelah tranfusi selesai, kembalikan kantong darah serta selang ke bank darah
35
DAFTAR PUSTAKA
Handayani, Wiwik.2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Hematologi. Jakarta : Salemba Medika.
Price,Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Smith-Temple, jean, dkk.2010. Buku Saku Prosedur Klinis Keperawatan Edisi 5. Jakarta:
EGC.
Weinstein,Sharon M. 2001. Buku Saku Terapi Intravena Edisi 2. Jakarta: EGC.
http://ekkyfajarfranasaputra.wordpress.com/2010/01/26/pemberian-transfusi-darah/ diakses
pada 05 Desember 2014, pukul 20.30 WIB.
http://ibrahimalirsyad.blogspot.com/2012/04/transfusi-darah-1.html
diakses pada 05 Desember 2014, pukul 20.40 WIB.
http://putyblogmateri.blogspot.com/2011/06/tranfusi-darah.html diakses pada 05 Desember
2014, pukul 21.00 WIB.
http://referensiartikelkedokteran.blogspot.com/2011/09/transfusi-darah.html diakses pada 05
Desember 2014, pukul 21.15 WIB
36