budaya bali okee

85
BUDAYA NUSANTARA KEBUDAYAAN B A L I Disusun oleh: I Gede Yudi Paramartha (18) I Made Adi Primanta (19) I Wayan Primadyantara (20) Nur Aini (30) SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA PROGRAM DIPLOMA III KEUANGAN AKUNTANSI PEMERINTAHAN

Upload: aini-nohr

Post on 29-Jun-2015

2.552 views

Category:

Documents


19 download

TRANSCRIPT

BUDAYA NUSANTARA

KEBUDAYAAN

B A L I

Disusun oleh:

I Gede Yudi Paramartha (18)

I Made Adi Primanta (19)

I Wayan Primadyantara (20)

Nur Aini (30)

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA

PROGRAM DIPLOMA III KEUANGAN

AKUNTANSI PEMERINTAHAN

IDENTIFIKASI GEOGRAFIS

Bali dikenal sebagai Pulau Dewata (island God/island Paradise) merupakan salah satu tempat wisata terbaik di Indonesia bahkan dunia. Kuta, Sanur, Nusa Dua, Bedugul, Ubud, Sukawati, Lovina, dan lain lain merupakan tempat wisata yang terkenal di Bali.

Bali adalah sebuah pulau di Indonesia, sekaligus menjadi salah satu provinsi Indonesia. Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Ibukota provinsinya ialah Denpasar, yang terletak di bagian selatan pulau ini. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya, khususnya bagi para wisatawan Jepang dan Australia.

Suku bangsa Bali merupakan suatu kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan budayanya, sedangkan kesadaran itu diperkuat oleh adanya bahasa yang sama. Walaupun ada kesadaran yang demikian, tetapi kebudayaan Bali mewujudkan banyak variasi dan perbedaan setempat. Selain itu, kebudayaan Hindu yang sudah lama terintegrasikan ke dalam kebudayaan Bali dirasakan pula sebagai suatu unsur yang memperkuat adanya kesadaran akan kesatuan itu.

Pulau Bali adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153 km dan selebar 112 km sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa. Secara geografis Provinsi Bali terletak pada 8°3'40" - 8°50'48" Lintang Selatan dan 114°25'53" - 115°42'40" Bujur Timur yang mebuatnya beriklim tropis seperti bagian Indonesia yang lain. Relief dan topografi Pulau Bali di tengah-tengah terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke timur.

Provinsi Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Batas fisiknya adalah sebagai berikut:

Utara : Laut Bali

Timur : Selat Lombok (Provinsi Nusa Tenggara Barat)

Selatan : Samudera Indonesia

Barat : Selat Bali (Propinsi Jawa Timur)

Secara administrasi, Provinsi Bali terbagi menjadi delapan kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Karangasem, Klungkung, Bangli, Buleleng, dan Kota Denpasar yang juga merupakan ibukota provinsi. Selain Pulau Bali Provinsi Bali juga terdiri dari pulau-pulau kecil lainnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan di wilayah Kabupaten Klungkung, Pulau Serangan di wilayah Kota Denpasar, dan Pulau Menjangan di Kabupaten Buleleng. Luas total wilayah Provinsi Bali adalah 5.634,40 ha dengan panjang pantai mencapai 529 km.

Tabel Luas Wilayah Tiap Kabupaten di Provinsi Bali

Kabupaten/Kota IbukotaLuas(km²)

Persentase(%)

Jembrana Negara 841,80 14,94

Tabanan Tabanan 839,30 14,90

Badung Badung 420,09 7,43

Denpasar Denpasar 123,98 2,20

Gianyar Gianyar 368,00 6,53

Klungkung Semarapura 315,00 5,59

Bangli Bangli 520,81 9,25

Karangasem Amlapura 839,54 14,90

Buleleng Singaraja 1.365,88 24,25

Jumlah 5.634,40 100,00

Sumber: Master Plan Penunjang Investasi Provinsi Bali Tahun 2006-2010

Ibu kota Bali adalah Denpasar. Tempat-tempat penting lainnya adalah Ubud sebagai pusat seni terletak di Kabupaten Gianyar; sedangkan Kuta, Sanur, Seminyak, Jimbaran dan Nusa Dua adalah beberapa tempat yang menjadi tujuan pariwisata, baik wisata pantai maupun tempat peristirahatan.

Gunung Agung adalah titik tertinggi di Bali setinggi 3.148 m. Gunung berapi ini terakhir meletus pada Maret 1963. Gunung Batur juga salah satu gunung yang ada di Bali. Sekitar 30.000 tahun yang lalu, Gunung Batur meletus dan menghasilkan bencana yang dahsyat di bumi. Berbeda dengan di bagian utara, bagian selatan Bali adalah dataran rendah yang dialiri sungai-sungai.

Berdasarkan relief dan topografi, di tengah-tengah Pulau Bali terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke timur dan diantara pegunungan tersebut terdapat gugusan gunung berapi yaitu Gunung Batur dan Gunung Agung serta gunung yang tidak berapi yaitu Gunung Merbuk, Gunung Patas, dan Gunung Seraya.

Adanya pegunungan tersebut menyebabkan Daerah Bali secara Geografis terbagi menjadi 2 (dua) bagian yang tidak sama yaitu Bali Utara dengan dataran rendah yang sempit dan kurang landai, dan Bali Selatan dengan dataran rendah yang luas dan landai. Kemiringan lahan Pulau Bali terdiri dari lahan datar (0-2%) seluas 122.652 ha, lahan bergelombang (2-15%) seluas 118.339 ha, lahan curam (15-40%) seluas 190.486 ha, dan lahan sangat curam (>40%) seluas 132.189 ha. Pegunungan tersebut mempunyai arti penting dalam pandangan hidup dan kepercayaan penduduk. Di pegunungan tersebut terletak puri-puri (pura) yang dianggap suci oleh orang Bali seperti Pura Pulaki, Pura Batukau, dan terutama Pura Besakih yang terletak di kaki Gunung Agung. Arah membujur dari pegunungan tersebut

menyebabkan penunjukan arah yang berbeda untuk orang di Bali Utara dan Bali Selatan. Provinsi Bali memiliki 4 (empat) buah danau yang berlokasi di daerah pegunungan yaitu : Danau Beratan, Buyan, Tamblingan dan Danau Batur.

Dalam bahasa Bali kaja berarti ke gunung dan kelod berarti ke laut. Berarti untuk orang Bali Utara kaja berarti selatan dan kelod berarti utara. Hal ini berlaku sebaliknya untuk orang di daerah selatan. Perbedaan ini tidak hanya tampak pada penunjukan arah dalam bahasa Bali, tetapi juga dalam beberapa aspek kesenian dan sedikit bahasa. Orang Bali menyebut daerah di bagian utara itu daerah Den Bukit dan daerah-daerah di bagian selatan Bali Tengah (kabupaten Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung). Besarnya arti dari konsep kaja-kelod dalam masyarakat Bali tampak pula dalam kehidupan sehari-hari, dalam upacara agama, letak susunan rumah kuil, dsb. Adapun mengenai arah timur (kangin) sifatnya disamakan dengan arah kaja dan barat (kauh) disamakan dengan kelod. Kedua arah tersebut sama baik di Bali Utara maupun Bali Selatan.

SEJARAH

Suku bangsa Bali merupakan suatu kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan kebudayaannya, sedangkan kesadaran itu diperkuat oleh adanya bahasa yang sama. Walaupun ada kesadaran yang demikian namun kebudayaan Bali mewujudkan banyak variasi dan perbedaan setempat. Di samping itu agama Hindu yang telah lama terintegrasikan ke dalam kebudayaan Bali dirasakan pula sebagai suatu unsur yang memperkuat adanya kesadaran akan kesatuan itu.

Penduduk Bali asli adalah sebagian besar suku Bali menganut agama Hindu Dharma yang sangat terikat pada segi-segi kehidupan sosial, yaitu:

1. Pada kewajiban melakukan pemujaan terhadap pura tertentu

2. Pada satu tempat tinggal bersama atau komunitas

3. Pada pemilikan tanah pertanian dalam subak tertentu

4. Pada satu status sosial atas dasar warna

5. Pada ikatan kekerabatan menurut prinsip patrilineal

6. Pada keanggotaan terhadap sekehe tertentu

7. Pada satu kesatuan administrasi desa dinas tertentu

Perbedaan pengaruh dari kebudayaan Jawa-Hindu di berbagai daerah di Bali dalam zaman Majapahit dahulu menyebabkan adanya dua bentuk masyarakat di Bali, yaitu Masyarakat Bali-Aga dan Bali-Majapahit (wong Majapahit). Masyarakat Bali-Aga kurang sekali mendapat pengaruh dari kebudayaan Jawa-Hindu dari Majapahit dan mempunyai struktur tersendiri. Orang Bali-Aga umumnya mendiami desa-desa di daerah pegunungan seperti Sembiran, Cempaga Sidatapa, Pedawa, Tigawasa di Kabupaten Buleleng dan desa Tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem. Sekarang ini komunikasi modern, pendidikan, serta proses modernisasi telah membawa banyak perubahan-perubahan juga dalam masyarakat dan kebudayaan di desa-desa tersebut. Orang Bali-Majapahit yang pada umumnya diam di daerah-daerah dataran merupakan bagian yang paling besar dari penduduk Bali. Kecuali di pulau Bali, ada juga orang Bali di bagian barat dari Pulau Lombok, sedangkan usaha

transmigrasi oleh pemerintah telah menyebarkan mereka ke daerah-daerah lain seperti Sumatra Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi dan Nusa Tenggara.

Leluhur orang Bali masuk ke Bali dalam tiga periode: gelombang pertama adalah suku proto-Melayu yang datang dari Jawa dan Kalimantan pada zaman prasejarah; gelombang kedua adalah migrasi sedikit demi sedikit dari Jawa pada zaman Hindu; gelombang ketiga dan terakhir juga datang dari Jawa sekitar abad ke-15 dan 16, masa konversi Islam di Pulau Jawa, para aristrokrat Jawa terutama dari Kerajaan Majapahit melarikan diri dari ke Bali untuk menghindari pengkonversion Islam, merekalah yang akhirnya membentuk kultur Bali yang merupakan suatu bentuk sinkretisasi dari kultur Jawa klasik dengan banyak tambahan elemen Bali. Kenyataannya memang leluhur suku Bali kebanyakan berasal dari Pulau Jawa.

1. Masa Prasejarah

Zaman prasejarah Bali merupakan awal dari sejarah masyarakat Bali, yang ditandai oleh kehidupan masyarakat pada masa itu yang belum mengenal tulisan. Walaupun pada zaman prasejarah ini belum dikenal tulisan untuk menuliskan riwayat kehidupannya, tetapi berbagai bukti tentang kehidupan pada masyarakat pada masa itu dapat pula menuturkan kembali keadaanya. Zaman prasejarah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang, maka bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang sudah tentu tidak dapat memenuhi segala harapan kita.

Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang di Bali, kehidupan masyarakat ataupun penduduk Bali pada zaman prasejarah Bali dapat dibagi menjadi:

1. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana

2. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut

3. Masa bercocok tanam

4. Masa perundagian

Sisa-sisa dari kebudayaan paling awal diketahui dengan penelitian-penelitian yang dilakukan sejak tahun 1960 dengan ditemukan di desa Sambiran (Buleleng Timur), dan di tepi timur dan tenggara Danau Batur (Kintamani) alat-alat batu yang digolongkan kapak genggam, kapak berimbas, serut dan sebagainya. Alat-alat batu yang dijumpai di kedua daerah tersebut kini disimpan di museum Gedung Arca di Bedahulu Gianyar.

Bukti-bukti mengenai kehidupan manusia pada masa mesolithik berhasil ditemukan pada tahun 1961 di Gua Selonding, Pecatu (Badung). Goa ini terletak di pegunungan gamping di semenanjung Benoa. Di daerah ini terdapat goa yang lebih besar yaitu goa Karang Boma, tetapi goa ini tidak memberikan suatu bukti tentang kehidupan yang pernah berlangsung disana. Dalam penggalian goa Selonding ditemukan alat-alat terdiri dari alat serpih dan serut dari batu dan sejumlah alat-alat dari tulang. Di antara alat-alat tulang terdapat beberapa lencipan muduk yaitu sebuah alat sepanjang 5 cm yang kedua ujungnya diruncingkan. Sisa-sisa kehidupan dari masa bercocok tanam di Bali antara lain berupa kapak batu persegi dalam berbagai ukuran, belincung dan panarah batang pohon.

Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan dapat diketahui bahwa dalam masyarakat Bali pada masa perundagian telah berkembang tradisi penguburan dengan cara-cara tertentu. Adapun cara penguburan yang pertama ialah dengan mempergunakan peti mayat atau sarkofagus yang dibuat dari batu padas yang lunak atau yang keras. Cara penguburannya ialah dengan mempergunakan tempayan yang dibuat dari tanah liat seperti ditemukan di tepi pantai Gilimanuk (Jembrana).

Manusia Bali keturunan Austronesia pada masa itu hidup berkelompok dan dipimpin secara kolektif oleh 16 Jro yang umumnya disebut dengan Sahing 16, dan kepala suku atau pimpinannya disebut dengan nama Jro Gede yang penunjukannya dilakukan dengan sistem hulu apad yaitu sistem giliran menurut usia tertua anggota persekutuan. Persekutuan kepemimpinan tersebut masih ada sekarang dan tetap dipertahankan di desa-desa Bali Aga, terutama dalam hal adat. Persekutuan hukum inilah yang diperkirakan menjadi cikal bakal desa-desa di Bali.

Manusia Austronesia inilah yang menjadi leluhur sebagian orang Bali Mula, yang kemudian membaur pada masa berikutnya dengan orang-orang yang datang dari luar Bali. Kebudayaan Bali Mula masih melanjutkan tradisi bangsa Austronesia, walaupun kedatangan kebudayaan agama Hindu, tetapi mereka hanya menerima upacara dan upakaranya saja, misalnya ngaben mereka terima tapi membakar mayat tidak, lalu muncullah istilah beya tanem. Dan saat ngaben, mereka tidak berani menghias wadahnya dengan kertas, parasbaan, kapas dan lain-lainnya, mereka hanya menggunakan bahan-bahan lokal seperti ambu, padang-padang, plawa dan sebagainya.

Mereka yang dikelompokkan sebagai warga Bali Mula, dengan ketua kelompok yang kemudian disebut dengan Pasek Bali, diantaranya adalah Pasek Taro.

2. Memasuki Masa Sejarah

1. Masuknya Agama Hindu

Berakhirnya zaman prasejarah di Indonesia ditandai dengan datangnya bangsa dan pengaruh Hindu. Pada abad-abad pertama Masehi sampai dengan lebih kurang tahun 1500, yakni dengan lenyapnya kerajaan Majapahit merupakan masa-masa pengaruh Hindu. Dengan adanya pengaruh-pengaruh dari India itu berakhirlah zaman prasejarah Indonesia karena didapatkannya keterangan tertulis yang memasukkan bangsa Indonesia ke dalam zaman sejarah. Berdasarkan keterangan-keterangan yang ditemukan pada prasasti abad ke-8 Masehi dapatlah dikatakan bahwa periode sejarah Bali Kuno meliputi kurun waktu antara abad ke-8 Masehi sampai dengan abad ke-14 Masehi dengan datangnya ekspedisi Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit yang dapat mengalahkan Bali. Nama Balidwipa tidaklah merupakan nama baru, namun telah ada sejak zaman dahulu. Hal ini dapat diketahui dari beberapa prasasti, di antaranya dari prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada tahun 913 Masehi yang menyebutkan kata Walidwipa. Demikian pula dari prasasti-prasasti Raja Jayapangus, seperti prasasti Buwahan D dan prasasti Cempaga A yang berangka tahun 1181 Masehi.

Di antara raja-raja Bali, yang banyak meninggalkan keterangan tertulis yang juga menyinggung gambaran tentang susunan pemerintahan pada masa itu adalah Udayana, Jayapangus, Jayasakti, dan Anak Wungsu. Dalam mengendalikan pemerintahan, raja dibantu oleh suatu Badan Penasihat Pusat. Dalam prasasti tertua 882-914 Masehi badan ini disebut dengan istilah panglapuan. Sejak zaman

Udayana, Badan Penasihat Pusat disebut dengan istilah pakiran-kiran i jro makabaihan. Badan ini beranggotakan beberapa orang senapati dan pendeta Siwa dan Budha.

Di dalam prasasti-prasasti sebelum Raja Anak Wungsu disebut-sebut beberapa jenis seni yang ada pada waktu itu. Akan tetapi, baru pada zaman Raja Anak Wungsu, kita dapat membedakan jenis seni menjadi dua kelompok yang besar, yaitu seni keraton dan seni rakyat. Tentu saja istilah seni keraton ini tidak berarti bahwa seni itu tertutup sama sekali bagi rakyat. Kadang-kadang seni ini dipertunjukkan kepada masyarakat di desa-desa atau dengan kata lain seni keraton ini bukanlah monopoli raja-raja.

Dalam bidang agama, pengaruh zaman prasejarah, terutama dari zaman megalitikum masih terasa kuat. Kepercayaan pada zaman itu dititikberatkan kepada pemujaan roh nenek moyang yang disimboliskan dalam wujud bangunan pemujaan yang disebut teras piramid atau bangunan berundak-undak. Kadang-kadang di atas bangunan ditempatkan menhir, yaitu tiang batu monolit sebagai simbol roh nenek moyang mereka. Pada zaman Hindu hal ini terlihat pada bangunan pura yang mirip dengan pundan berundak-undak. Kepercayaan pada dewa-dewa gunung, laut, dan lainnya yang berasal dari zaman sebelum masuknya Hindu tetap tercermin dalam kehidupan masyarakat pada zaman setelah masuknya agama Hindu. Pada masa permulaan hingga masa pemerintahan Raja Sri Wijaya Mahadewi tidak diketahui dengan pasti agama yang dianut pada masa itu. Hanya dapat diketahui dari nama-nama biksu yang memakai unsur nama Siwa, sebagai contoh biksu Piwakangsita Siwa, biksu Siwanirmala, dan biksu Siwaprajna. Berdasarkan hal ini, kemungkinan agama yang berkembang pada saat itu adalah agama Siwa. Baru pada masa pemerintahan Raja Udayana dan permaisurinya, ada dua aliran agama besar yang dipeluk oleh penduduk, yaitu agama Siwa dan agama Budha. Keterangan ini diperoleh dari prasasti-prasastinya yang menyebutkan adanya mpungku Sewasogata (Siwa-Buddha) sebagai pembantu raja.

2. Ekspedisi Gajah Mada

Ekspedisi Gajah Mada ke Bali dilakukan pada saat Bali diperintah oleh kerajaan Bedahulu dengan Raja Astasura Ratna Bumi Banten dan Patih Kebo Iwa. Dengan terlebih dahulu membunuh Kebo Iwa, Gajah Mada memimpin ekspedisi bersama Panglima Arya Damar dengan dibantu oleh beberapa orang Arya. Penyerangan ini mengakibatkan terjadinya pertempuran antara pasukan Gajah Mada dengan kerajaan Bedahulu. Pertempuran ini mengakibatkan raja Bedahulu dan putranya wafat. Setelah Pasung Grigis menyerah terjadi kekosongan pemerintahan di Bali. Untuk itu, Majapahit menunjuk Sri Kresna Kepakisan untuk memimpin pemerintahan di Bali dengan pertimbangan bahwa Sri Kresna Kepakisan memiliki hubungan darah dengan penduduk Bali Aga.

3. Zaman Gelgel

Karena ketidakcakapan Raden Agra Samprangan menjadi raja, Raden Samprangan digantikan oleh Dalem Ketut Ngulesir. Oleh Dalem Ketut Ngulesir, pusat pemerintahan dipindahkan ke Gelgel. Pada saat inilah dimulai zaman Gelgel dan Raja Dalem Ketut Ngulesir merupakan raja pertama. Raja yang kedua adalah Dalem Watu Renggong (1460-1550). Dalem Watu Renggong menaiki singgasana dengan warisan kerajaan yang stabil sehingga beliau dapat mengembangkan kecakapan dan kewibawaannya untuk memakmurkan kerajaan Gelgel. Di bawah pemerintahan Watu Renggong, Bali (Gelgel) mencapai

puncak kejayaannya. Setelah Dalem Watu Renggong wafat beliau digantikan oleh Dalem Bekung (1550-1580), sedangkan raja terakhir dari zaman Gelgel adalah Dalem Di Made (1605-1686).

4. Zaman Kerajaan Klungkung

Kerajaan Klungkung sebenarnya merupakan kelanjutan dari Dinasti Gelgel. Pemberontakan I Gusti Agung Maruti ternyata telah mengakhiri periode Gelgel. Hal itu terjadi karena setelah putra Dalem Di Made dewasa dan dapat mengalahkan I Gusti Agung Maruti, istana Gelgel tidak dipulihkan kembali. Gusti Agung Jambe sebagai putra yang berhak atas takhta kerajaan, ternyata tidak mau bertakhta di Gelgel, tetapi memilih tempat baru sebagai pusat pemerintahan, yaitu bekas tempat persembunyiannya di Semarapura.

Dengan demikian, Dewa Agung Jambe (1710-1775) merupakan raja pertama zaman Klungkung. Raja kedua adalah Dewa Agung Di Made I, sedangkan raja Klungkung yang terakhir adalah Dewa Agung Di Made II. Pada zaman Klungkung ini wilayah kerajaan terbelah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan-kerajaan kecil ini selanjutnya menjadi Swapraja (berjumlah delapan buah) yang pada zaman kemerdekaan dikenal sebagai kabupaten.

FILOSOFI MASYARAKAT

Panca Sradha

Panca Sradha merupakan kepercayaan pokok masayarakat Hindu di Bali yang terdiri atas lima bagian, yaitu :

1. Brahman, percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa

2. Atma, percaya kepada roh atau jiwa pada setiap makhluk hidup yang berasal dari percikan suci Tuhan

3. Karma Phala, percaya akan adanya hukum sebab akibat. Setiap perbuatan(karma) pasti akan mendatangkan akibat (pahala)

4. Samsara atau reinkarnasi, percaya akan adanya kehidupan/lahir kembali yang disebabkan karena adanya karma.

5. Moksa, tujuan akhir makhluk hidup yaitu bersatunya kembali atma dengan brahman.

Berdasarkan kepercayaan pokok inilah lahir ajaran-ajaran/filosofi lain sebagai implementasi dalam kehidupan, antara lain

1. Tri Kaya Parisudha

Tri Kaya Parisudha berarti tiga macam tingkah laku yang patut disucikan, yaitu:

a. Pikiran yang baik(Manachika Parisudha)

b. Perkataan yang baik (Wachika Parisudha)

c. Pebuatan yang baik (Kayika Parisudha)

2. Tri Hita Karana

Tri Hita Karana secara harfiah berarti tiga penyebab kebahagiaan. Orang Bali percaya bahwa kebahagiaan dalam kehidupan ini bisa terwujud apabila tercipta keselarasan dan keharmonisan antara manusia dengan tiga penyebab berikut ini

a. Parahyangan (Tuhan Yang Maha Esa)

b. Pawongan (sesama manusia0

c. Palemahan (alam lingkungan)

Selain itu ada juga filosofi-filosfi lain yang mendasari setiap aspek kehidupan masarakat Bali, seperti konsep Skala-Niskala, Rwa Bhineda, Bhuana Agung-Bhuana Alit, dan Tat twam asi.

Konsep skala-niskala menunjukkan bahwa orang Bali percaya akan adanya alam nyata (skala) dan alam tak nyata/tak kasat mata (niskala). Jadi, setiap perbuatan atau kegiatan yang dilaksanakan harus memperhatikan keselarasan antara alam nyata dengan tidak nyata. Jangan sampai perbuatan yang dilakukan manusia mengganggu atau merusak alam yang tidak nyata karena bila terjadi dapat menyebabkan hal-hal yang tidak baik.

Konsep Rwa Bhineda mungkin mirip dengan konsep Yin dan Yang. Orang Bali percaya bahwa positf dan negatif itu selalu berjalan berdampingan. Baik dan buruk, hitam dan putih, suka dan duka adalah hal-hal yang selalu terjadi di dunia. Tinggal bagaimana manusia menyikapi hal-hal tersebut.

Bhuana Agung berarti bumi atau alam semesta, sedangkan bhuana alit adalah manusia. Orang Bali percaya bahwa manusia dan alam semesta ini tersusun atas unsur-unsur yang sama. Oleh karena itu, sudah sepatutnya manusia dan alam bekerja sama untuk saling menjaga kelangsungan kehidupan.

Keseluruhan konsep di atas diwujudkan melalui pelaksanaan Yadnya. Yadnya berarti korban suci yang tulus ikhlas. Pengorbanan itu bisa berupa materi maupun berupa hal-hal imaterial. Pembahasan mengenai yadnya akan ada pada bab berikutnya yang berkaitan dengan sistem adat dan religi.

Mata Pencharian

Sebanyak kira-kira 70% orang Bali menggantungkan hidupnya pada dunia pertanian. Sedangkan sisanya terdiri dari pedagang, buruh bangunan, pengrajin, karyawan atau PNS, peternak, dan nelayan. Akan tetapi, memasuki zaman global ini semakin banyak orang yang meninggalkan profes sebagai petani dan mulai beralih kepada profesi lainnya.

Pertanian di Bali cukup bervariatif sesuai dengan keadaan geografis Bali yang beragam. Kawasan Bali Utara merupakan daerah dataran tinggi dengan hawa yang dingin sehingga merupakan tempat yang cocok untuk perkebunan sayur, buah, bunga dan hasil hutan seperti cengkih. Kawasan Bali bagian selatan merupakan dataran rendah yang cocok untuk sawah padi, kacang-kacangan, jagung, dan sejenisnya. Bali terkenal dengan Subak sebagai organisasi untuk mengatur masalah pertanian, seperti irigasi dan hal-hal lainnya.

Orang Bali juga terkenal akan keahliannya dalam bidang seni sehingga ada banyak orang yang berprofesi sebagai pengrajian. Hasil dari kerajinan ini antara lain patung, ukiran, lukisan, perhiasan, dan lain sebagainya. Profesi ini banyak digeluti oleh masyakat yang terutama tinggal di daerah Gianyar dan Klungkung.

Selain itu, Bali terkenal dengan pariwisatanya. Daya tarik pariwisata terutama berasal dari kebudayaan unik masyarakat sendiri yang ditunjang dengan alam yang indah. Sehingga cukup banyak orang yang menggantungkan hidupnya dalam dunia pariwisata, mulai dari perhotelan, restauran, guider, dan penjual cendramata.

Kegiatan beternak umumnya merupakan kegiatan sampingan. Hasil ternak yang banyak dijumpai adalah babi, ayam, bebek, sapi, dan kerbau. Hasil ternak ini umumnya untuk memenuhi kebutuhan dalam melaksanakan upacara keagamaan.

SISTEM KEKERABATAN

Perkawinan merupakan suatu saat yang amat penting dalam kehidupan orang Bali, karena dengan itu barulah ia dianggap sebagai warga penuh dari masyarakat, dan baru sesudah itu ia memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban seorang warga komuniti dan warga kelompok kerabat.

Menurut anggapan adat lama yang amat dipengaruhi oleh sistem klen-klen (dadia) dan sistem kasta (wangsa), maka perkawinan itu sedapat mungkin dilakukan di antara warga se-klen, atau setidak-tidaknya antara orang-orang yang dianggap sederajat dalam kasta. Demikian, perkawinan adat di Bali itu bersifat endogami klen, sedangkan perkawinan yang dicita-citakan oleh orang Bali yang masih kolot adalah perkawinan antara anak-anak dari dua orang saudara laki-laki. Keadaan ini memang agak menyimpang dari lain-lain masyarakat yang berklen, yang umumnya bersifat exogam.

Orang-orang se-klen (tunggal kawitan, tunggal dadia, tunggal sanggah) di Bali itu adalah orang-orang yang setingkat kedudukannya dalam adat dan agama, dan demikian juga dalam kasta, sehingga dengan berusaha untuk kawin dalam batas klen-nya terjagalah kemungkinan-kemungkinan akan ketegangan-ketegangan dan noda-noda keluarga yang akan terjadi akibat perkawinan antar-kasta yang berbeda derajatnya. Dalam hal ini terutama harus dijaga agar anak wanita dari kasta yang tinggi jangan sampai kawin dengan pria yang lebih rendah derajat kastanya, karena suatu perkawinan serupa itu akan membawa malu pada keluarga, serta menjatuhkan gengsi seluruh kasta dari anak wanita tersebut. Dahulu apabila terjadi perkawinan campuran yang demikian, maka wanita itu akan dinyatakan keluar dari dadia-nya, dan secara fisik suami-isteri akan dihukum buang (maselong) untuk beberapa lama, ke tempat yang jauh dari tempat asalnya. Semenjak tahun 1951, hukum semacam itu tidak pernah dijalankan lagi, dan pada waktu ini perkawinan campuran antar-kasta sudah relatif lebih banyak dilaksanakan.

Lain bentuk perkawinan yang dianggap pantang adalah perkawinan bertukar antara saudara perempuan suami dengan saudara laki-laki isteri (makedengan ngad), karena perkawinan yang demikian itu dianggap mendatangkan bencana (panes). Perkawinan pantang yang dianggap melanggar norma kesusilaan sehingga merupakan sumbang yang besar (agamiagemana) adalah perkawinan antara seorang dengan anaknya, antara seorang dengan saudara sekandung atau tirinya, dan antara seorang dengan anak dari saudara perempuan maupun laki-lakinya (keponakannya).

Pada umumnya, seorang pemuda Bali itu dapat memperoleh seorang isteri dengan dua cara, yaitu dengan cara meminang (memadik, ngidih) kepada keluarga seorang gadis, atau dengan cara melarikan seorang gadis (mrangkat, ngrorod). Kedua cara itu berdasarkan adat.

Adat perkawinan Bali meliputi suatu rangkaian peristiwa-peristiwa seperti kunjungan resmi dari keluarga si laki-laki kepada keluarga si gadis untuk meminang si gadis atau memberitahukan kepada mereka bahwa si gadis telah dibawa lari untuk dikawini; upacara perkawinan (masakapan); dan akhirnya lagi suatu kunjungan resmi dari keluarga si pemuda ke rumah orang tua si gadis untuk minta diri kepada ruh leluhurnya. Di beberapa daerah di Bali (tidak di semua daerah), berlaku pula adat penyerahan mas kawin (patuku luh), tetapi rupa-rupanya adat ini terutama di antara keluarga-keluarga orang-orang terpelajar, sudah menghilang.

Sesudah pernikahan, suami isteri baru biasanya menetap secara virilokal di kompleks perumahan (uma) dari orang tua si suami, walaupun tidak sedikit juga suami isteri baru yang menetap secara neolokal dan mencari atau membangun rumah baru. Sebaliknya, ada pula suatu adat perkawinan di mana suami isteri baru itu menetap secara uxorilokal di kompleks perumahan lari si isteri (nyeburin). Tempat di mana suami isteri itu menetap, menentukan perhitungan garis keturunan dan hak waris dari anak-anak dan keturunan mereka selanjutnya. Kalau suami isteri tinggal secara virilokal, maka anak-anak mereka dan keturunan mereka selanjutnya akan diperhitungkan secara patrilineal (purusa), dan menjadi warga dari dadia si suami dan mewarisi harta pusaka dari klen itu. Demikian pula anak-anak dan keturunan mereka yang menetap secara uxorilokal akan diperhitungkan secara matrilineal menjadi warga dadia si isteri, dan mewarisi harta pusaka dari klen itu. Dalam hal ini kedudukan si isteri adalah sebagai sentana (pelanjut keturunan).

Keluarga Batih, Keluarga Luas, dan Rumah Tangga

Akibat dari perkawinan adalah terbentuknya suatu keluarga batih, dan bentuk keluarga batih ini tergantung pula dari macam perkawinan itu. Karena poligini diijinkan, maka ada juga keluarga-keluarga batih yang sifatnya poligini. Walaupun demikian, keluarga-keluarga yang bersifat poligini ini hanya terbatas dalam lingkungan-lingkungan tertentu saja yang jumlahnya tidak banyak.

Suatu rumah tangga di Bali biasanya terdiri dari suatu keluarga batih yang bersifat monogami, sering ditambah dengan anak-anak laki-laki yang sudah kawin bersama keluarga batih mereka masing-masing dan dengan lain-lain orang yang menumpang, baik orang yang masih kerabat maupun yang bukan kerabat (pembantu rumah tangga dan lain-lain). Sesudah beberapa, kalau seorang anak laki-laki sudah maju dalam masyarakat sehingga ia merasa mempu untuk berdiri sendiri, ia memisahkan diri dari rumah tangga orang tua dan mendirikan rumah dan rumah tangga sendiri yang baru (ngarangin). Salah satu dari anak laki-laki biasanya tetap tinggal di kompleks perumahan orang tua (ngerobin) untuk nanti dapat membantu orang tua kalau mereka sudah tidak berdaya lagi dan untuk menggantikan dan melanjutkan rumah tangga orang tua. Dengan demikian, sebenarnya suatu rumah tangga yang sudah tua terdiri dari suatu keluarga luas virilokal yang terdiri dari suatu keluarga batih senior dengan beberapa keluarga batih yunior yang hidup bersama dalam satu kompleks perumahan (uma) sebagai kesatuan yang formil.

Klen Kecil dan Klen Besar

Tiap-tiap keluarga batih maupun keluarga luas dalam sebuah desa di Bali harus memelihara hubungan dengan kelompok kerabatnya yang lebih luas yaitu klen (tunggal dadia). Struktur dari tunggal dadia ini berbeda-beda dipelbagai tempat di Bali. Di desa-desa di pegunungan, orang-orang dari tunggal dadia yang telah memencar karena hidup neolokal, tidak usah lagi mendirikan tempat pemujaan leluhur di masing-masing tempat kediamannya. Di desa-desa di tanah datar, orang-orang dari tunggal dadia yang hidup neolokal wajib mendirikan tempat pemujaan di masing-masing kediamannya, yang disebut kemulan taksu. Di samping itu, keluarga batih yang hidup neolokal seperti juga masih terikat oleh dan masih mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap pura asal (dadia atau sanggah) di rumah orang tua mereka. Suatu pura ditingkat dadia merayakan upacara-upacara sekitar lingkaran hidup dari semua

warganya, dan dengan demikian suatu pura serupa itu mempersatukan dan mengintensifkan rasa solidaritas anggota-anggota dari suatu klen kecil.

Di samping itu ada lagi kelompok kerabat yang lebih besar yang melengkapi beberapa kerabat tunggal dadia (sanggah) yang memuja pura leluhur yang sama disebut pura paibon atau panti. Kelompok kerabat yang demikian dapat disebut klen besar.

Dalam praktek, suatu tempat pemujaan di tingkat paibon juga hanya mempersatukan suatu lingkaran terbatas dari kaum kerabat yang masih dikenal hubungannya saja. Klen-klen besar sering juga mempunyai suatu sejarah asal usul yang ditulis dalam bentuk babad dan yang disimpan sebagai pusaka oleh salah satu dari keluarga-keluarganya yang merasakan dirinya senior, yaitu keturunan langsung dan salah satu cabang yang tua dalam klen.

SISTEM KEMASYARAKATAN

Sistem Pelapisan

Sistem pelapisan masyarakat di Bali didasarkan atas keturunan; karena itu tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai kelompok-kelompok kerabat yang bersifat patrilineal. Ada pelbagai klen yang mempunyai sejarah keturunan (babad, pamancangah, pretasti) sendiri-sendiri yang masing-masing kembali sampai pada sejarah penaklukan oleh Majapahit dalam abad ke-14. Orang-orang bangga apabila dapat menyusur keturunan mereka sampai pada raja-raja atau bangsawan-bangsawan dari zaman Majapahit itu. Pelbagai keturunan inilah yang memberikan susunan yang lebih kompleks kepada klen-klen patrileneal yang terdapat di Bali daratan. Karena proses sejarah yang kembali ke zaman Majapahit, maka klen-klen di Bali daerah dataran, tersusun dalam suatu susunan berlapis tinggi rendah berdasarkan jarak hubungan kekerabatan dari leluhur-leluhur dari klen-klen itu dengan seorang tokoh raja atau bangsawan dari Majapahit. Di Bali daerah pegunungan, susunan klen berlapis tinggi rendah serupa itu tidak ada; bahkan batas-batas antara klen-klen dalam kehidupan masyarakat tidak tampak begitu nyata.

Susunan tinggi rendah dari klen-klen di daerah dataran tampak pada gelar-gelar yang dipakai oleh warganya di depan nama mereka. Gelar-gelar itu dapat digolongkan menjadi tiga golongan berdasarkan atas sistem pelapisan wangsa. Sistem ini terpengaruhi oleh sistem kasta yang termaktub dalam kitab-kitab suci Hindu Kuno, yaitu sistem keempat kasta: Brahmana, Ksatrya, Vaisya, dan Sudra. Di Bali wangsa-wangsa dalam sistem pelapisan mempunyai sebutan yang sama, yaitu Brahmana, Satria, Waisya, dan Sudra, sedangkan ketiga lapisan yang pertama sebagai kesatuan disebut Triwangsa, dan lapisan yang keempat disebut Jaba. Hanya sebagian kecil dari rakyat Bali, kurang dari 15% yang termasuk anya sebagian kecil dari rakyat Bali, kurang dari 15% yang termasuk Triwangsa, lagipula warga klen-klen besar yang termasuk Triwangsa biasanya tersebar luas di seluruh Bali. Sebaliknya, lebih dari 85% dari rakyat Bali termasuk warga Jaba, dan warga klen-klen yang termasuk Jaba tinggalnya lebih terpusat pada daerah-daerah terbatas.

Gelar-gelar bagi warga klen-klen Brahmana adalah Ida Bagus untuk laki-laki dan Ida Ayu untuk wanita; gelar bagi warga klen-klen Satria adalah Cokorda, dan bagi warga klen-klen Wesia adalah Gusti.

Selain itu banyak gelar-gelar lain yang diturunkan oleh klen-klen tertentu tetapi yang kurang terang mengenai kedudukannya dalam wangsa. Pemegang gelar-gelar serupa itu tentu akan mengakuinya sebagai gelar wangsa tinggi, lainnya berpendapat bahwa gelar-gelar serupa itu termasuk wangsa-wangsa yang rendah dan demikian selalu memang ada perselisihan mengenai kedudukan dari orang-orang yang mempunyai gelar-gelar tadi dalam upacara adat dan dalam sopan santun pergaulan Bali.

Zaman modern dengan pendidikannya telah banya membawa perubahan dalam sistem pelapisan wangsa ini. Misalnya undang-undang (awig-awig) yang menghukum adanya perkawinan antara gadis yang lebih tinggi dengan laki-laki yang wangsa-nya lebih rendah telah dihapuskan. Pendeta-pendeta tidak usah lagi berasal dari wangsa Brahmana, dan akhir-akhir ini mereka malahan sudah dianggap sederajat dengan pendeta-pendeta dari wangsa Brahmana.

Lembaga Tradisional

Jenis-jenis lembaga tradisional dalam masyarakat Bali adalah desa, banjar, subak dan seka/sekaha. Bentuk lembaga tradisional atas dasar kesatuan wilayah disebut desa. Konsep desa memiliki dua pengertian, yaitu desa adat dan desa dinas. Desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di daerah Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu yang secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga yang memiliki wilayah tertentu dan harta kekayaan tersendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Landasan dasar desa adat di Bali adalah konsep Tri Hita Karana. Desa dinas adalah satu kesatuan wilayah administratif di bawah kecamatan.

1. Desa

Desa di Bali didasarkan atas kesatuan tempat. Sebagian dari tanah wilayahnya adalah milik para warga desa sebagai individu, tetapi sebagian lagi adalah tanah yang ada di bawah hak pengawasan desa, atau secara konkret dibawah pengawasan pimpinan desa. Pada umumnya tampak beberapa perbedaan antara desa-desa adat di pegunungan dan desa-desa adat di daerah datar. Desa-desa adat di pegunungan biasanya sifatnya lebih kecil dan keanggotaannya terbatas pada orang asli yang lahir di desa itu juga. Sesudah kawin, orang itu langsung menjadi warga desa adat (krama desa), mendapat tempat duduk yang khas di balai desa yang disebut balai agung, dan berhak mengikuti rapat-rapat desa yang diadakan secara teratur pada hari-hari yang tetap. Desa-desa di daerah datar biasanya sifatnya besar dan meliputi daerah yang tersebar luas.

Pada komplek bangunan (bale) yang ditempati keluarga inti maupun keluarga luas, dibangun diatas suatu pekarangan yang bisanya dikelilingi oleh dinding dengan gapura sempit. Di antara komplek bangunan itu terdapat bangunan untuk tidur, satu atau beberapa dapur, lumbung, tempat untuk menerima tamu, dan pura untuk keluarga (sanggah). Seluruh komplek sebagai suatu kesatuan disebut uma. Mengenai letak dari bale, sanggah, dan sebagainya pada umumnya menuruti pola susunan tertentu. Pura keluarga yang dianggap suci terletak di bagian kaja. Sedang tempat kediaman berada pada arah kelod. Bale (bangunan) masing-masing mempunyai nama tersendiri menurut fungsinya dalam adat maupun dalam kebutuhan sehari-hari.

Catatan: Dalam bahasa Bali, kaja berarti ke (arah) gunung dan kelod berarti ke (arah) laut. Dengan demikian untuk orang Bali Utara, kaja berarti selatan, sebaliknya untuk orang Bali Selatan, kaja

berarti utara. Begitu juga kelod bagi orang Bali Utara berarti utara dan untuk orang Bali Selatan berarti selatan. Perbedaan ini tidak saja tampak dalam penunjukan arah dalam bahasa Bali, tetapi juga dalam beberapa aspek kesenian dan juga sedikit bahasa. Orang Bali menyebut daerah di bagian utara itu sebagai Den Bukit (kabupaten Buleleng sekarang) dan daerah-daerah di bagian selatan sebagai Bali Tengah (kabupaten Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung). Adapun mengenai arah timur (kangin) sifatnya disamakan dengan arah kaja dan barat (kauh) disamakan dengan kelod. Arah-arah ini sama baik di Bali Utara maupun Selatan.

Di samping kesatuan wilayah maka sebuah desa merupakan pula suatu kesatuan keagamaan yang ditentukan oleh suatu kompleks pura desa yang disebut Kahyangan Tiga. Dimana Kahyangan Tiga ini adalah Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem. Pura Desa merupakan tempat berstananya Dewa Brahma yang dimanifestasikan sebagai pencipta. Pura Puseh sebagai tempat pemujaan Dewa Wisnu yang dimanisfetasikan sebagai pemelihara dan Pura Dalem yang merupakan berstananya Dewa Çiwa yang dimanifestasikan sebagai pelebur. Biasanya ketiga Pura Kahyangan Tiga tersebut tempatnya dipisahkan satu sama lain. Ada kalanya juga Pura Puseh dan Pura Desa dijadikan satu. Seperti telah diterangkan sebelumnya, konsep mengenai arah adalah amat penting artinya dalam agama orang Bali. Hal yang keramat diletakkan pada arah kaja, dan hal-hal biasa yang tidak keramat diletakkan pada arah kelod. Klasifikasi dualistis ini tercermin pula pada letak susunan rumah dan bangunan-bangunan pusat dari desa. Sedapat mungkin bangunan-bangunan dari desa disesuaikan dengan konsep mengenai arah tadi. Misalnya saja pada arah kaja diletakkan Pura Desa, dan pada arah kelod diletakkan Pura Dalem (pura yang ada hubungannya dengan kuburan dan kematian).

2. Banjar

Banjar merupakan bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang didasarkan oleh kesatuan wilayah. Kesatuan wilayah ini diperkuat oleh kesatuan adat dan budaya. Anggota banjar tidak mutlak dari orang asli di daerah tersebut, tetapi juga orang dari wilayah lain yang kebetulan menetap sementara/seterusnya di wilayah banjar tersebut. Masyarakat tersebut dipersilahkan menjadi anggota banjar jika orang tersebut menghendaki.

Banjar dipimpin oleh seorang kelian banjar dan dibantu oleh beberapa orang sebagai wakil kelian, sinoman dan penyarikan. Adapun tugas dari kelian ini adalah mengurus segala urusan sosial kemasyarakatan. Selain itu kelian juga mengurus urusan agama, adat dan urusan yang bersifat administratif. Bahkan seringkali harus juga memecahkan soal-soal yang menyangkut hukum adat tanah dan dianggap ahli dalam adat banjar pada umumnya. Kelian banjar sebagai tetua banjar dipilih langsung oleh para krama (warga) banjar dalam suatu sangkep (pertemuan). Untuk lama masa jabatan tertentu sesuai dengan awig-awig (undang-undang) banjar bersangkutan. Dalam hal ini tiap-tiap banjar memiliki awig-awig yang berbeda sesuai dengan daerah masing-masing banjar.

Untuk mengakomodasikan kegiatannya maka dibangunlah sebuah bangunan yang terbuka yang dikenal dengan nama bale banjar. Bale banjar ini merupakan pusat dari banjar tersebut. Karena fungsinya sebagai pusat maka bale banjar ini biasanya didirikan di tengah-tengah wilayah tersebut. Hal ini dimaksud untuk memudahkan krama banjar. Bale banjar ini biasanya dilengkapi dengan Pura Banjar dan Bale Kukul sebagai tempat untuk menaruh kukul (kentongan). Bale banjar ini juga sebagai bangunan serbaguna untuk menunjang kegiatan umum masyarakat banjar. Seperti olahraga, kesenian hingga agama. Di bale banjar inilah diadakan pertemuan (sangkep) setiap bulan mengevaluasi kegiatan banjar selama sebulan.

3. Subak

Subak di Bali berdiri seolah-olah lepas dari banjar dan mempunyai seorang kepala sendiri. Hal ini disebabkan karena orang-orang yang menjadi warga suatu subak itu tidak semuanya sama dengan orang-orang yang menjadi warga suatu banjar. Warga subak adalah para pemilik atau penggarp sawah-sawah yang menerima air irigasinya dari bendungan-bendungan yang diurus oleh suatu subak. Sudah tentu tidak semua pemilik atau penggarap tadi hidup dalam satu banjar, tetapi di dalam beberapa banjar. Sebaliknya, ada pula warga suatu banjar yang mempunyai banyak sawah yang terpencar dan yang mendapat airnya dari bendungan-bendungan yang diurus oleh beberapa subak. Dengan demikian warga banjar tadi itu akan menggabungkan diri dengan semua subak di mana ia mempunyai sebidang sawah.

4. Seka/Sekaha

Dalam kehidupan kemasyarakatan desa di Bali ada organisasi-organisasi yang bergerak dalam lapangan hidup yang khusus, yaitu organisasi seka. Seka ini bisa didirikan untuk waktu yang lama, bahkan untuk waktu yang meliputi angkatan-angkatan yang turun temurun, tetapi ada pula yang bersifat sementara. Ada seka-seka yang fungsinya adalah menyelenggarakan hal-hal atau upacara yang berkenaan dengan desa misalnya seka baris (perkumpulan tari baris), seka truna (perkumpulan para pemuda), seka daha (perkumpulan gadis-gadis). Seka dalam arti ini tentu sifatnya permanen, tetapi ada juga seka-seka yang bersifat sementara, yaitu seka-seka yang didirikan berdasarkan suatu kebutuhan tertentu, seperti misalnya seka mamula (perkumpulan menanam), seka manyi (perkumpulan menuai), seka gong (perkumpulan gamelan) dan lain-lain. Seka-seka seperti ini biasanya juga merupakan perkumpulan-perkumpulan yang terlepas dari organisasi desa dan banjar.

5. Gotong Royong

Dalam kehidupan berkomuniti dalam masyarakat desa di Bali, ada beberapa macam cara dan sistem gotong royong; antara individu dan individu atau antara keluarga dan keluarga. Gotong royong semacam itu disebut nguopin (membantu) dan meliputi berbagai aktivitas di sawah (seperti menanam, menyiangi, panen, dan sebagainya), sekitar rumah tangga (memperbaiki atap rumah, dinding rumah, menggali sumur, dan sebagainya), dalam perayaan-perayaan atau upacara-upacara yang diadakan oleh suatu keluarga, atau dalam peristiwa kecelakaan dan kematian. Di dalam hal itu ada seorang atau suatu keluarga minta bantuan dari tetangganya atau keluarga lain, dengan suatu sopan santun yang telah digariskan oleh adat dan dengan pengertian bahwa ia wajib untuk membalas bantuan tenaga yang disumbangkan kepadanya itu dengan bantuan tenaga juga.

Nguopin dalam aktivitas sekitar rumah tangga di kota dan di banyak desa sudah mulai hilang dan mulai diganti dengan sistem menyewa tenaga upahan karena sistem menyewa sekarang dianggap lebih praktis dan seringkali lebih murah (karena tidak perlu menyediakan jamuan dan sebagainya). Hanya dalam perayaan dan upacara, atau dalam peristiwa kecelakaan dan kematian cara gotong royong nguopin masih banyak diterapkan.

Selain nguopin masih ada cara gotong royong antara seka dengan seka. Cara semacam ini di sebut ngedeng (menarik). Dalam hal ini suatu seka tertentu, misalnya suatu perkumpulan gamelan ‘ditarik’ untuk ikut serta dangan suatu seka lain dalam hal menyelenggarakan suatu tarian dalam rangka suatu upacara odalan.

Terakhir ada suatu sistem gotong royong yang lebih menyerupai sifat kerja bakti untuk keperluan masyarakat atau pemerintah. Hanya di dalam hal ini khusus kerja bakti untuk keperluan agama, seperti misalnya ikut membantu membangun pura atau memperbaiki sebuah pura yang sudah ada. Sistem kerja bakti semacam ini disebut ngayah atau ngayang, bisa merupakan suatu aktivitas yang ramai dan penuh kemeriahan.

SISTEM ADAT DAN RELIGI

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Hindu di Bali merupakan sebuah sinergi antara unsur-unsur adat dan budaya lokal yang telah dianut masyarakat dari zaman dulu dengan kebudayaan Hindu yang masuk dari India. Sinergi itu dapat terjadi karena pada dasarnya terdapat kesamaan di antara keduanya. Persamaan-persamaan tersebut dapat kita lihat pada tabel berikut.

No. Religi Prasejarah Religi Hindu

1 Sebutan untuk Tuhan adalah Sang Emabang/ Sang Hyang Tuduh

Sebutan untuk Tuhan adalah Sang Hyang Widhi Wasa

2 Dewa yang bersemayam di Puncak Gunung Agung disebut To Langkir

Dewa yang besemayam di puncak Gunung Agung disebut Bhatara Giripati atau Mahadewa

3 Gunung, sungai, dan Laut merupakan tempat yang suci

Tempat yang dipandang suci adalah gunung, sungai, dan laut

4 Percaya terhadap kekuatan alam yang disebut Hyang

kekuatan alam disebut dengan nama Dewa

5 Percaya terhadap roh suci leluhur dengan perawatan jenazah dan roh suci dianggap brsemayam di puncak gunung.

percaya terhadap roh suci leluhur yang disebut atma dan atma yang suci bersemayam di pincak-puncak gunung

6 Membuat tiruan gunung berupa punden berundak, menhir dan tahta batu

mambuat tiruan kahyangan dan gunung berupa pura, prasada, candi, dan meru

7 Tinggalan situs Gilimanuk ditemukan gigi manusia telah dipanggur

tradisi panggur disebut upacara mepandes atau metatah

8 Tinggalan sikap jenazah pada sakofagus dalam menyerupai bayi dalam kandungan menunjukkan adanya kepercayaan akan kelahiran kembali

kepercayaan terhadap kelahiran kembali yang disebut samsara atau punarbhawa

9 Adanya arah orientasi yang dipandang suci, yakni timur dan utara

adanya orientasi yang dipandang suci, yakni utarea dan timur yang disebut Uttara dan Purva

10 Adanya persembahan dan bekal kubur adanya persembahan dan bekal kubur berupa upaca yajna

Sumber: PHDI Pusat

Kegiatan religi yang dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali itu diwujudkan dengan melakukan Yadnya yang sumber-sumbernya berasal dari kitab suci dan tata cara pelaksanaannya disesuaikan dengan adat masyarakat setempat. Perlu diingat bahwa setiap banjar ataupun desa bisa memiliki adat yang berbeda-beda. Yadnya itu terbagi atas lima bagian yang disebut Panca Yadnya, yaitu:

1. Dewa Yadnya

Dewa Yadnya adalah persembahan suci yang tulus ikhlas kepada Ida Sang Hyang Widhi Waça dan seluruh manifestasi-Nya yang terdiri dari Dewa Brahma selaku Maha Pencipta, Dewa Wisnu selaku Maha Pemelihara dan Dewa Siwa selaku Maha Pralina (pengembali kepada asalnya) dengan mengadakan serta melaksanakan persembahyangan Tri Sandhya (bersembahyang tiga kali dalam sehari) serta muspa (kebaktian dan pemujaan di tempat-tempat suci).

Contoh Dewa Yadnya: menyelenggarakan upacara piodalan dimasing-masing Desa Adat yang ada di Bali. Melaksanakan persembahyangan di pura dan melaksanakan upacara melasti (pembersihan patung dewa-dewa ke pantai) yang biasanya dilakukan sebelum perayaan hari raya Nyepi. Upacara keagamaan di Bali disesuaikan dengan masing-masing Desa Adat (desa kala patra) masing-masing daerah.

2. Pitra Yadnya

Pitra Yadnya adalah persembahan suci yang tulus ikhlas kepada roh-roh suci dan leluhur (pitra) dengan menghormati dan mengenang jasanya dengan menyelenggarakan upacara jenazah (Sawa Wedana) sejak tahap permulaan sampai tahap terakhir yang disebut Atma Wedana.

Adapun tujuan dari pelaksanaan Pitra Yadnya ini adalah demi pengabdian dan bakti yang tulus ikhlas, mengangkat serta menyempurnakan kedudukan arwah leluhur di alam surga. Memperhatikan kepentingan orang tua dengan jalan mewujudkan rasa bakti, memberikan sesuatu yang baik dan layak, menghormati serta merawat hidup di hari tuanya juga termasuk pelaksanaan Yadnya. Hal tersebut dilaksanakan atas kesadaran bahwa sebagai keturunannya ia telah berhutang kepada orangtuanya (leluhur) seperti:

- Berhutang badan yang disebut dengan istilah Sarirakrit.

- Berhutang budi yang disebut dengan istilah Anadatha.

- Berhutang jiwa yang disebut dengan istilah Pranadatha.

Contoh Pitra Yadnya adalah upacara ngaben.

Ngaben

Kematian, bagi masyarakat Bali tak bisa lepas dari upacara adat ngaben. Kematian bagi orang Bali adalah kembalinya manusia kepada asalnya yaitu Panca Maha Bhuta: pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas), bayu (angin), dan akasa (ruang hampa) sesuai dengan ajaran Hindu Bali. Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia dan digerakan oleh atman (roh). Ketika manusia meninggal yang mati adalah badan kasar saja, atman-nya tidak. Ngaben adalah upacara penyucian atman (roh), fase pertama sebagai kewajiban suci umat Hindu Bali terhadap leluhurnya dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah. Ngaben adalah proses penyucian atma/roh saat meninggalkan badan kasar.

Ada beberapa pendapat tentang asal kata ngaben. Ada yang mengatakan ngaben dari kata beya yang artinya bekal, ada juga yang mengatakan dari kata ngabu (menjadi abu), dll. Namun cenderung disetujui pendapat bahwa ngaben berasal dari kata ngapen (ng + api + an = ngapian > ngapen > ngaben). Dalam Hindu diyakini bahwa Dewa Brahma disamping sebagai dewa pencipta juga adalah dewa api. Jadi ngaben adalah proses penyucian roh dengan menggunakan sarana api sehingga bisa kembali ke sang pencipta yaitu Brahma. Api yang digunakan adalah api konkrit untuk membakar jenazah, dan api abstrak berupa mantra pendeta untuk mem-pralina yaitu membakar kekotoran yang melekat pada atman/roh.

Prosesi ngaben dilakukan dengan berbagai proses upacara dan sarana upakara berupa sajen dan kelengkapannya sebagai simbol-simbol seperti halnya ritual lain yang sering dilakukan umat Hindu Bali. Ngaben dilakukan untuk manusia yang meninggal dan masih ada jenazahnya, juga manusia meninggal yang tidak ada jenazahnya seperti orang tewas terseret arus laut dan jenazah tidak diketemukan, kecelakaan pesawat yang jenazahnya sudah hangus terbakar, atau seperti saat Peristiwa Bom Bali I dimana beberapa jenazah tidak bisa dikenali karena sudah terpotong-potong atau jadi abu akibat ledakan. Untuk prosesi ngaben yang jenazahnya tidak ada dilakukan dengan membuat simbol dengan mengambil sekepal tanah di lokasi meninggalnya kemudian dibakar.

Banyak tahap yang dilakukan dalam ngaben. Dimulai dari memandikan jenazah, ngajum, pembakaran dan nyekah. Setiap tahap ini memakai sarana banten (sesajen) yang berbeda-beda.

Ketika ada yang meninggal, keluarganya akan menghadap ke pendeta untuk menanyakan kapan ada hari baik (dewasa) untuk melaksanakan ngaben. Biasanya akan diberikan waktu yang tidak lebih dari 7 hari sejak hari meninggalnya. Setelah didapat hari H (pembakaran jenazah), maka pihak keluarga akan menyiapkan ritual pertama yaitu nyiramin layon (memandikan jenazah). Jenazah akan dimandikan oleh kalangan brahmana sebagai kelompok yang karena status sosialnya mempunyai kewajiban untuk itu. Selesai memandikan, jenazah akan dikenakan pakaian adat Bali lengkap.

Selanjutnya adalah prosesi ngajum, yaitu prosesi melepaskan roh dengan membuat simbol-simbol menggunakan kain bergambar unsur-unsur penyucian roh. Pada hari H-nya, dilakukan prosesi ngaben di kuburan (setra) desa setempat. Jenazah akan dibawa menggunakan wadah, yaitu tempat jenazah yang akan diusung ke kuburan. Wadah biasanya berbentuk padma sebagai simbol rumah Tuhan.

Sesampainya di kuburan, jenazah dipindahkan dari wadah tadi ke pemalungan, yaitu tempat membakar jenazah yang terbuat dari batang pohon pisang ditumpuk berbentuk lembu. Di sini kembali dilakukan upacara penyucian roh berupa pralina oleh pendeta atau orang yang dianggap mampu untuk itu (biasanya dari klan brahmana). Pralina adalah pembakaran dengan api abstrak berupa mantra

peleburan kekotoran atma yang melekat ditubuh. Kemudian baru dilakukan pembakaran dengan menggunakan api kongkrit. Zaman sekarang sudah tidak menggunakan kayu bakar lagi, tapi memakai api dari kompor minyak tanah yang menggunakan angin. Umumnya proses pembakaran dari jenazah yang utuh menjadi abu memerlukan waktu 1 jam.

Abu ini kemudian dikumpulkan dalam buah kelapa gading untuk dirangkai menjadi sekah. Sekah ini yang dilarung ke laut (atau sungai), karena laut adalah simbol dari alam semesta dan sekaligus pintu menuju ke rumah Tuhan. Demikian secara singkat rangkaian prosesi ngaben di Bali. Ada catatan lain yaitu untuk bayi yang berumur dibawah 42 hari dan atau belum tanggal gigi, jenazahnya harus dikubur. Ngaben-nya dilakukan mengikuti ngaben yang akan ada jika ada keluarganya meninggal.

Sebenarnya ada bermacam-macam cara melaksanakan upacara ngaben di Bali. Masing-masing desa adat di Bali memiliki awig-awig (undang-undang) tersendiri tentang tata cara melaksanakan upacara ngaben. Umumnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Ngaben Niri

2. Ngaben Ngamasa

Ngaben Niri artinya melaksanakan upacara ngaben sendiri (Niri = diri = sendiri). Dalam hal ini berarti bahwa keluarga duka dapat melaksanakan upacara ngaben pada waktu tertentu, sesuai dengan keinginannya. Banjar adat tidak mencampuri waktu pelaksanaannya, tetapi hanya memberi bantuan tenaga dan materi (dikenal dengan sebutan patus banjar), sesuai ketentuan awig-awig yang berlaku. Patus banjar, baik berupa tenaga maupun materi, jumlahnya tidak seberapa, dibandingkan dengan jumlah tenaga dan materi yang harus dikeluarkan untuk menyelesaikan rangkaian upacara ngaben. Bahkan ada kalanya sama sekali tidak mendapatkan bantuan banjar. Oleh karena itu, ngaben niri juga dilaksanakan oleh keluarga keturunan bangsawan. Terlepas dari ini, lahir sebagai seorang bangsawan, terbilang relatif berat.

Ngaben Ngamasa berarti melaksanakan upacara ngaben secara terjadwal, sesuai situasi dan kondisi yang dianggap baik bagi mereka yang akan melaksanakan upacara ngaben. Istilah lain ngaben ngamasa adalah ngaben ngerit, ngaben massal, atau ngaben bersama. Upacara ngaben ngamasa dilaksanakan dengan maksud menghemat biaya dan waktu, tanpa mengurangi makna pelaksanaan upacara ngaben. Cara pelaksanaan ngaben ngamasa ada dua.

Pertama, ngaben ngemasa dilaksanakan dengan cara yang persis sama dengan ngaben niri. Cuma waktunya bersamaan. Keuntungannya, pelaksanaan upacara ngaben dengan mudah dapat diketahui, jauh hari sebelum puncak acara, sehingga segala aktivitas yang terkait dengan upacara tersebut dapat dijadwalkan. Kelemahannya, warga banjar yang diharapkan memberi bantuan menjadi bingung dan kacau. Mereka dituntut harus pintar membagi waktu agar dapat memberi bantuan kepada sebanyak mungkin warga yang kebetulan melaksanakan upacara ngaben. Untuk memudahkan, biasanya anggota banjar dibagi sesuai dengan jumlah warga yang melaksanakan upacara ngaben. Konsekuensinya, kalau jumlah warga yang melaksanakan upacara ngaben sedikit dan anggota anggota banjar lumayan banyak, maka masing-masing warga yang ngaben mendapatkan bantuan banjar yang lumayan banyak juga. Sebaliknya kalau warga yang ngaben banyak sedangkan jumlah warga banjar sedikit, maka masing-masing akan mendapatkan bantuan banjar dalam jumlah terbatas. Kesulitan

lainnya, ada hubungan dengan bantuan materi (patus) kepada warga yang melaksanakan upacara ngaben. Masing-masing warga akan mengeluarkan patus sesuai dengan jumlah warga yang ngaben. Kalau kewajiban patus senilai Rp 25.000, dan jumlah warga yang ngaben 30 orang, maka masing-masing warga banjar akan mengeluarkan patus sekitar 750.000. Jumlah ini tidak dapat dianggap enteng.

Kedua, ngaben ngamasa dilaksanakan dengan cara ‘satu untuk semua’. Artinya, upacara ngaben dilaksanakan pada waktu, tempat, cara dan oleh panitia yang sama. Sarana dan prasarana upacaranya dibuat sedemikian rupa sehingga mencerminkan semangat satu untuk semua. Unsur tertentu dari upacara yang sama sekali tidak mungkin untuk disatukan, barulah dibuat oleh masing-masing anggota. Pelaksanaan upacara ngaben seperti ini dikenal dengan sebutan ngaben bersama. Di Desa Pakraman Celuk, Sukawati, ngaben ngamasa dengan cara ‘satu untuk semua’ ini dikenal dengan istilah ngaben kinembulan.

Ada yang berpendapat bahwa ngaben kinembulan ini akan menjadi pilihan terbaik untuk pelaksanaan upacara ngaben masa depan. Sebabnya, antara lain:

1. Biaya yang disiapkan oleh warga yang akan melaksanakan upacara ngaben relatif lebih kecil, karena sebagian besar sarana dan prasarana ngaben dibuat satu untuk semua.

2. Biaya bagi warga masyarakat yang lainnya (patus) juga kecil, karena kewajiban mengeluarkan (patus) juga dirancang hanya satu untuk semua.

3. Dapat menghemat waktu dan tenaga, karena segala bantuan tenaga diatur oleh panitia banjar dengan pola satu untuk semua.

4. Tidak menganggu warga yang bekerja di instansi pemerintah atau swasta, karena lebih mudah mengatur waktu, termasuk memohon cuti.

5. Upacara ngaben memerlukan sarana tumbuh-tumbuhan (kelapa, pisang, bambu, dan lainnya) yang lumayan banyak. Dengan ngaben ngamasa atau kinembulan, lebih memungkinkan bagi tumbuh-tumbuhan untuk hidup dan berkembang secara wajar dan sehat, sebelum mereka harus turut ‘berkorban’ demi kepentingan upacara ngaben.

Ngaben kinembulan mengandung beberapa kelemahan, antara lain: Pertama, sulit dilaksanakan di desa adat yang termasuk desa pakraman nyatur (terdiri dari empat kasta), dan belum ada persepsi yang sama mengenai perbedaan kasta, sehingga satu golongan merasa sebagai golongan bangsawan yang berkedudukan tinggi dan harus dihormati dan golongan lainnya dianggap sebagai rakyat biasa (panjak), berkedudukan rendah dan harus menghormati golongan bangsawan. Oleh karena itu maka kasta tertentu yang merasa berkedudukan lebih tinggi dari kasta yang lainnya, tidak rela bergerak seiring dan sejalan, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi atas dasar semangat ‘satu untuk semua’ pada waktu melaksanakan upacara ngaben. Kedua, masih ada anggapan bahwa melaksanakan upacara ngaben merupakan satu-satunya cara untuk melaksanakan Pitra Yadnya dalam arti ‘membayar hutang’ kepada leluhur. Anggapan ini menyebabkan banyak orang yang rela melaksanakan upacara ngaben secara besar-besaran, dengan cara menjual harta warisan yang berupa tanah. Mereka yang masih yakin akan hal ini menganggap melaksanakan upacara ngaben dengan cara kinembulan atau ‘satu untuk semua’, sebagai sesuatu yang lebih rendah maknanya dibandingkan dengan ngaben niri.

2. Manusa Yadnya

Manusa Yadnya adalah suatu persembahan suci yang tulus ikhlas demi kesempurnaan hidup manusia. Di dalam pelaksanaan upacara Manusa Yadnya masalah desa kala patra (tempat-waktu-keadaan) sangat penting. Secara umum upacara itu dilaksanakan pada saat anak mengalami masa peralihan. Sebab ada anggapan bahwa pada saat-saat itulah anak dalam keadaan kritis, sehingga perlu diupacarai atau diselamati. Dalam menyelenggarakan segala usaha serta kegiatan spiritual tersebut masih ada lagi kegiatan dalam bentuk yang lebih nyata demi kemajuan pendidikan, kesehatan dan lain-lain guna persiapan menempuh kehidupan bermasyarakat.

Jenis-jenis Manusa Yadnya berdasarkan urutan pelaksanaannya:

1. Magedong-gedongan

2. Upacara kelahiran

3. Upacara kepus puser

4. Upacara nglepas hawon

5. Upacara kambuhan

6. Upacara nelu bulanin

7. Upacara otonan

8. Upacara ngempugin

9. Upacara makupak

10. Upacara rajaswala

11. Upacara mepandes

12. Upacara pawiwahan

Magedong-gedongan

Upacara ini dilaksanakan pada saat kandungan berusia 210 hari, tidak harus persis karena dapat disesuaikan dengan hari baik (dewasa). Upacara magedong-gedongan dilaksanakan di dalam rumah, pekarangan, halaman rumah, di tempat permandian darurat yang khusus dibuat untuk itu, dan dilanjutkan di depan sanggah (semacam pura kecil yang ada pada setiap rumah). Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:

1. lstri yang sedang hamil terlebih dahulu dimandikan (siraman) di parisuda, dilanjutkan dengan mabyakala dan prayascita.

2. Sang istri menjunjung tempat rempah-rempah, tangan kanan menjinjing daun talas berisi air dan ikan yang masih hidup.

3. Tangan kiri suami memegang benang, tangan kanannya memegang bambu runcing.

4. Sang suami sambil menggeser benang langsung menusuk daun talas yang dijinjing sang istri sampai air dan ikannya tumpah.

5. Selanjutnya melakukan persembahyangan memohon keselamatan.

6. Ditutup dengan panglukatan dan terakhir natab.

Upacara Kelahiran

Upacara ini dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan dan telah mendapat perawatan pertama. Upacara ini adalah sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si bayi di dunia. Upacara kelahiran dilaksanakan di dalam dan di depan pintu rumah dan dilaksanakan atau dipimpin oleh salah seorang keluarga yang tertua atau dituakan, demikian juga untuk menanam (mendem) ari-arinya. Dalam hal tidak ada keluarga tertua, sang ayah dapat melaksanakan upacara ini. Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:

1. Bayi yang baru lahir diupacarai dengan banten dapetan, canang sari, canang genten, sampiyan dan penyeneng. Tujuannya agar atman/roh yang menjelma pada si bayi mendapatkan keselamatan.

2. Setelah ari-ari dibersihkan, selanjutnya dimasukkan ke dalam kendil lalu ditutup. Apabila mempergunakan kelapa, kelapa itu terlebih dahulu dibelah menjadi dua bagian, selanjutnya ditutup kernbali. Perlu diingat sebelum kendil atau kelapa itu digunakan, pada bagian tutup kendil atau belahan kelapa bagian atas ditulisi dengan aksara OM KARA dan pada dasar alas kendil atau bagian bawah kelapa ditulisi aksara AH KARA.

3. Kendil atau kelapa selanjutnya dibungkus dengan kain putih dan di dalamnya diberi bunga.

4. Proses selanjutnya kendil atau kelapa ditanam di halaman rumah, tepatnya pada bagian kanan pintu ruangan rumah untuk anak Iaki-laki, dan bagian kiri untuk wanita bila dilihat dari dalam rumah.

Upacara Kepus Puser

Upacara ini dilakukan pada saat puser bayi lepas, umumnya pada saat bayi berumur tiga hari. Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:

1. Puser bayi yang telah lepas dibungkus dengan kain putih lalu dimasukkan ke dalam ketupat kukur (ketupat yang berbentuk burung tekukur) disertai dengan rempah-rempah seperti cengkeh, pala, lada dan lain-lain, digantung pada bagian kaki dari tempat tidur si bayi.

2. Dibuatkan kumara (pelangkiran) untuk si bayi, tempat menaruh sesajian.

3. Di tempat menanam ari-ari dibuat sanggah cucuk, di bawahnya ditaruh sajen segehan nasi empat warna, dan di sanggah cucuk diisi dengan banten kumara.

Upacara Nglepas Hawon

Setelah bayi berumur 12 hari dibuatkan suatu upacara yang disebut upacara ngelepas hawon. Si bayi biasanya baru diberi nama demikian pula sang catur sanak (saudara keempat yang dipercaya ikut menemani kelahiran si bayi) setelah dilukat berganti nama di antaranya: Banaspati Raja, Sang Anggapati, Banaspati dan Mrajapati. Pelaksanaan upacara ini ditujukan kepada si ibu dan si bayi.

Upacaranya dilakukan di dapur, di permandian dan di kemulan berfungsi memohon pengelukatan ke hadapan Bhatara Brahma, Wisnu dan Siwa.

Upacara Kambuhan

Upacara ini dilakukan setelah bayi berusia 42 hari. Tujuannya untuk pembersihan lahir batin si bayi dan ibunya, di samping juga untuk membebaskan si bayi dari pengaruh-pengaruh negatif (mala). Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:

1. Untuk upacara yang lebih besar si bayi terlebih dahulu di-lukat di dapur, di permandian, dan terakhir di sanggah kamulan.

2. Kedua orang tua si bayi mabyakala dan maprayascita.

3. Si bayi beserta kedua orangtuanya natab di sanggah kamulan.

Upacara Nelu Bulanin

Upacara yang dilakukan pada saat bayi berumur 105 hari, atau tiga bulan dalam hitungan pawukon (1 bulan = 35 hari). Bila keadaan tidak memungkinkan, misalnya keluarga itu tinggal di rantauan dan ingin upacaranya dilangsungkan bersama keluarga besar sementara si anak terlalu kecil untuk dibawa pergi jauh, upacara bisa ditunda. Biasanya digabungkan dengan upacara otonan (210 hari kelahiran bayi). Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:

1. Pendeta memohon tirta panglukatan.

2. Pendeta melakukan pemujaan, memerciki tirta (air suci) pada sajen dan pada si bayi.

3. Bila si bayi akan memakai perhiasan-perhiasan seperti gelang, kalung dan lain-lain, terlebih dahulu benda tersebut di-parisudha dengan diperciki tirta.

4. Doa dan persembahyangan untuk si bayi, dilakukan oleh orangtuanya.

5. Si bayi diberikan tirta pengening (tirta amertha) kemudian ngayab jejanganan.

6. Terakhir si bayi diberi natab sajen ayaban, yang berarti memohon keselamatan.

Upacara Otonan

Upacara ini dilakukan setelah bayi berumur 210 hari atau enam bulan pawukon. Upacara ini bertujuan untuk menebus kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan yang terdahulu, sehingga dalam kehidupan sekarang mencapai kehidupan yang lebih sempurna. Selanjutnya dilaksanakan setiap 210 hari, semacam memperingati hari ulang tahun. Semakin dewasa, semakin sederhana pula sarana upacaranya. Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:

1. Pendeta sebagai pimpinan upacara melakukan pemujaan untuk memohon persaksian terhadap Ida Sang Hyang Widhi Waça dengan segala manifestasinya.

2. Pemujaan terhadap Siwa Raditya dan penghormatan terhadap leluhur.

3. Pemujaan saat pengguntingan rambut (potong rambut). Ini dilakukan pada otonan pertama kali, untuk otonan selanjutnya tidak dilakukan.

4. Pemujaan saat pawetonan dan persembahyangan.

Upacara Ngempugin

Upacara yang dilakukan pada saat anak tumbuh gigi yang pertama dan sedapat mungkin tepat pada waktu matahari terbit. Upacara ini bertujuan untuk memohon agar gigi si anak tumbuh dengan baik. Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:

1. Pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Waça dengan mempersembahkan segala sesajen yang tersedia.

2. Si bayi natab mohon keselamatan.

3. Selesai upacara si bayi diberikan sesajen tadi untuk dinikmatinya dan selanjutnya gusinya digosok-gosok dengan daging dari sesajen.

Upacara Mekupak

Upacara ini dilakukan pada saat si anak untuk pertama kalinya mengalami tanggal gigi. Upacara ini bertujuan mempersiapkan si anak untuk mempelajari ilmu pengetahuan. Upacara ini dapat pula disatukan dengan otonan berikutnya.

Upacara Rajaswala

Upacara ini dilaksanakan pada saat anak menginjak dewasa. Peristiwa ini akan terlihat melalui perubahan-perubahan yang nampak pada putra-putri. Misalnya pada anak Iaki-laki perubahan yang menonjol dapat kita saksikan dari sikap dan suaranya. Pada anak putri mulai ditandai dengan datang bulan (menstruasi) pertama. Orang tua wajib melaksanakan upacara meningkat dewasa (munggah daha) ini. Upacara ini bertujuan untuk memohon kehadapan Sang Hyang Samara Ratih agar diberikan jalan yang baik dan tidak menyesatkan bagi si anak.

Upacara Mepandes

Upacara mepandes atau potong gigi ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Sad Ripu (enam musuh yang ada dalam diri manusia) yang ada pada diri si anak. Upacara ini dilaksanakan setelah anak meningkat dewasa, namun sebaiknya sebelum anak itu kawin. Dalam keadaan tertentu dapat pula dilaksanakan setelah berumah tangga. Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:

1. Yang diupacarai terlebih dahulu mabhyakala dan maprayascita.

2. Setelah itu dilanjutkan dengan muspa ke hadapan Siwa Raditya memohon kesaksian.

3. Selanjutnya naik ke tempat upacara menghadap ke hulu. Pelaksana upacara mengambil cincin yang dipakai ngerajah pada bagian-bagian seperti: dahi, taring, gigi atas, gigi bawah, lidah, dada, pusar, paha barulah diperciki tirta pesangihan.

4. Upacara dilanjutkan oieh sangging (yang bertugas memotong gigi) dengan menyucikan peralatannya.

5. Orang yang diupacari diberi pengganjal dari tebu dan giginya mulai diasah, bila sudah dianggap cukup diberi pengurip-urip.

6. Setelah diberi pengurip-urip dilanjutkan dengan natab banten peras kemudian sembahyang ke hadapan Surya Chandra dan Mejaya-jaya.

Upacara Pawiwahan

Yang dimaksud upacara pawiwahan adalah upacara pernikahan. Perkawinan pada hakikatnya adalah suatu yadnya guna memberikan kesempatan kepada leluhur untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya. Perkawinan umat Hindu merupakan suatu yang suci dan sakral, oleh sebab itu pada jaman Weda, perkawinan ditentukan oleh seorang Resi, yang mampu melihat secara jelas, melebihi penglihatan rohani, pasangan yang akan dikawinkan. Dengan pandangan seorang Resi ahli atau Brahmana Sista, cocok atau tidak cocoknya suatu pasangan pengantin akan dapat dilihat dengan jelas.

Pasangan yang tidak cocok (secara rohani) dianjurkan untuk membatalkan rencana perkawinannya, karena dapat dipastikan akan berakibat fatal bagi kedua mempelai bersangkutan. Setelah jaman Dharma Sastra, pasangan pengantin tidak lagi dipertemukan oleh Resi, namun oleh raja atau orang tua mempelai, dengan mempertimbangkan duniawi, seperti menjaga martabat keluarga, pertimbangan kekayaan, kecantikan, kegantengan dan lain-lain. Saat inilah mulai merosotnya nilai-nilai rohani sebagai dasar pertimbangan.

Pada jaman modern dan era globalisasi seperti sekarang ini, peran orang tua barangkali sudah tidak begitu dominan dalam menentukan jodoh putra-putranya. Anak-anak muda sekarang ini lebih banyak menentukan jodohnya sendiri. Penentuan jodoh oleh diri sendiri itu amat tergantuang pada kadar kemampuan mereka yang melakukan perkawinan. Tapi nampaknya lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan duniawi, seperti kecantikan fisik, derajat keluarga dan ukuran sosial ekonomi dan bukan derajat rohani.

Menurut UU Perkawinan no 1 th 1974, sahnya suatu perkawinan adalah sesuai hukum agama masing-masing. Jadi bagi umat Hindu, melalui proses upacara agama yang disebut mekala-kalaan (natab banten), biasanya di-puput oleh seorang pinandita. Upacara ini dilaksanakan di halaman rumah karena merupakan titik sentral kekuatan Kala Bhucari sebagai penguasa wilayah madyaning mandala perumahan. Makala-kalaan berasal dari kata kala yang berarti energi. Kala merupakan manifestasi kekuatan kama yang memiliki mutu keraksasaan (asuri sampad), sehingga dapat memberi pengaruh kepada pasangan pengantin yang biasa disebut dalam sebel kandel.

Dengan upacara mekala-kalaan sebagai sarana penetralisir (nyomia) kekuatan kala yang bersifat negatif agar menjadi kala hita atau untuk merubah menjadi mutu kedewataan (daiwi sampad). Jadi dengan mohon panugrahan dari Sang Hyang Kala Bhucari, nyomia Sang Hyang Kala Nareswari menjadi Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih. Jadi makna upacara mekala-kalaan sebagai pengesahan perkawinan kedua mempelai melalui proses penyucian, sekaligus menyucikan benih yang dikandung kedua mempelai, berupa sukla (spermatozoa) dari pengantin laki dan wanita (ovum) dari pengantin wanita.

Peralatan upacara mekala-kalaan:

Sanggah Surya

Di sebelah kanan digantungkan biyu lalung dan di sebelah kiri sanggah digantungkan sebuah kulkul berisi berem. Sanggah Surya merupakan niyasa (simbol) stana Ida Sang Hyang Widhi Waça, dalam hal ini merupakan stananya Dewa Surya dan Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih. Biyu lalung adalah simbol kekuatan purusa dari Ida Sang Hyang Widhi Waça dan Sang Hyang Purusa ini bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Jaya, sebagai dewa kebajikan, ketampanan, kebijaksanaan simbol pengantin pria. Kulkul berisi berem simbol kekuatan prakertinya Ida Sang Hyang Widhi Waça dan bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Ratih, dewa kecantikan serta kebijaksanaan simbol pengantin wanita.

Kelabang Kala Nareswari (Kala Badeg)

Simbol calon pengantin, yang diletakkan sebagai alas upakara mekala-kalaan serta diduduki oleh kedua calon pengantin.

Tikeh Dadakan (tikar kecil)

Tikeh dadakan diduduki oleh pengantin wanita sebagai simbol selaput dara (hymen) dari wanita. Kalau dipandang dari sudut spiritual, tikeh dadakan adalah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Prakerti (kekuatan yoni).

Keris

Keris sebagai kekuatan Sang Hyang Purusa (kekuatan lingga) calon pengantin pria. Biasanya nyungklit keris, dipandang dari sisi spritualnya sebagai lambang kepurusan dari pengantin pria.

Benang Putih

Dalam mekala-kalaan dibuatkan benang putih sepanjang setengah meter, terdiri dari 12 bilahan benang menjadi satu, serta pada kedua ujung benang masing-masing dikaitkan pada cabang pohon dapdap setinggi 30 cm. Angka 12 berarti simbol dari sebel 12 hari, yang diambil dari cerita dihukumnya Pandawa oleh Kurawa selama 12 tahun. Dengan upacara mekala-kalaan otomatis sebel pengantin yang disebut sebel kandalan menjadi sirna dengan upacara penyucian tersebut. Dari segi spiritual benang ini sebagai simbol dari lapisan kehidupan, berarti sang pengantin telah siap untuk meningkatkan alam kehidupannya dari Brahmacari Asrama menuju alam Grhasta Asrama.

Tegen-tegenan

Makna tegen-tegenan merupakan simbol dari pengambil-alihan tanggung jawab sekala dan niskala. Perangkat tegen-tegenan:

- Batang tebu berarti hidup pengantin artinya bisa hidup bertahap seperti hal tebu ruas demi ruas, secara manis.

- Cangkul sebagai simbol Ardha Candra. Cangkul sebagai alat bekerja, berkarma berdasarkan dharma.

- Periuk simbol windhu.

- Buah kelapa simbol brahman (Sang Hyang Widhi).

- Seekor yuyu simbol bahasa isyarat memohon keturunan dan kerahayuan.

Suwun-suwunan (sarana jinjingan)

Berupa bakul yang dijinjing mempelai wanita, yang berisi talas, kunir, beras dan bumbu-bumbuan melambangkan tugas wanita atau istri mengembangkan benih yang diberikan suami, diharapkan seperti pohon kunir dan talas berasal dari bibit yang kecil berkembang menjadi besar.

Dagang-dagangan

Melambangkan kesepakatan dari suami istri untuk membangun rumah tangga dan siap menanggung segala Resiko yang timbul akibat perkawinan tersebut seperti kesepakatan antar penjual dan pembeli dalam transaksi dagang.

Sapu Lidi (3 tangkai)

Simbol Tri Kaya Parisudha. Pengantin pria dan wanita saling mencermati satu sama lain, isyarat saling memperingatkan serta saling memacu agar selalu ingat dengan kewajiban melaksanakan Tri Rna, berdasarkan ucapan baik, prilaku yang baik dan pikiran yang baik, disamping itu memperingatkan agar tabah menghadapi cobaan dan kehidupan rumah tangga.

Sambuk Kupakan (serabut kelapa)

Serabut kelapa dibelah tiga, di dalamnya diisi sebutir telor bebek, kemudian dicakup kembali di luarnya diikat dengan benang berwarna tiga (tri datu). Serabut kelapa berbelah tiga simbol dari Triguna (satwam, rajas, tamas). Benang Tridatu simbol dari Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) mengisyaratkan kesucian. Telor bebek merupakan simbol manik. Mempelai saling tendang serabut kelapa (metanjung sambuk) sebanyak tiga kali, setelah itu secara simbolis diduduki oleh pengantin wanita. Apabila mengalami perselisihan agar bisa saling mengalah, serta secara cepat di masing-masing individu menyadari langsung. Selalu ingat dengan penyucian diri, agar kekuatan triguna dapat terkendali. Selesai upacara serabut kalapa ini diletakkan di bawah tempat tidur mempelai.

Tetimpug

Bambu tiga batang yang dibakar dengan api dayuh yang bertujuan memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma. Setelah upacara mekala-kalaan selesai dilanjutkan dengan cara membersihkan diri (mandi) hal itu disebut dengan angelus wimoha yang berarti melaksanakan perubahan nyomia kekuatan asuri sampad menjadi daiwi sampad atau nyomia bhuta kala Nareswari agar menjadi Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih agar harapan dari perkawinan ini bisa lahir anak yang suputra. Setelah mandi pengantin dihias busana agung karena akan natab di bale yang berarti bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Waça. Selanjutnya pada hari baik yang selanjutnya akan dilaksanakan upacara Widhi Widana (aturan serta bersyukur kepada Hyang Widhi). Terakhir diadakan upacara pepamitan ke rumah mempelai wanita.

4. Resi Yadnya

Resi Yadnya adalah suatu upacara yadnya berupa karya suci keagamaan yang ditujukan kepada para Maha Resi, orang-orang suci, Resi, Pinandita, Guru yang di dalam pelaksanaannya dapat diwujudkan dalam bentuk:

1. Penobatan calon sulinggih menjadi sulinggih yang disebut Upacara Diksa.

2. Membangun tempat- tempat pemujaan untuk Sulinggih.

3. Menghaturkan/memberikan punia pada saat- saat tertentu kepada Sulinggih.

4. Mentaati, menghayati, dan mengamalkan ajaran- ajaran para Sulinggih.

5. Membantu pendidikan agama di dalam menggiatkan pendidikan budi pekerti luhur, membina, dan mengembangkan ajaran agama.

Mawinten

Mawinten asal katanya dalam Bahasa Kawi, mawa artinya bersinar-sinar dan inten artinya intan (permata). Jadi orang yang sudah mawinten diibaratkan sebagai permata yang kemilau karena lahir bathinnya sudah disucikan. Pada dasarnya semua orang terutama yang akan mengakhiri masa Grahasta (pensiun) perlu mawinten dengan tujuan mensucikan diri menjelang pulang ke sunia-loka. Pada akhirnya manusia Hindu setelah meninggal dunia dan di-aben, diwinten dengan upacara Askara. Mereka yang wajib mawinten karena profesinya antara lain: pemangku, dalang, undagi, tukang banten, sangging, dll.

Tingkat pawintenan ada tiga menurut besar/kecilnya upacara pawintenan yaitu:

1. Pawintenan dengan ayaban saraswati termasuk yang paling sederhana.

2. Pawintenan dengan ayaban bebangkit untuk yang medium, dan

3. Pawintenan dengan ayaban catur yang paling utama.

Pawintenan dengan ayaban saraswati adalah pensucian diri dengan memuja Dewi Saraswati sebagai sakti Brahma yang mencipta ilmu pengetahuan; pawintenan tingkat ini untuk para brahmacari misalnya yang belajar agama, yang senang gegitaan, pegawai kantor agama, dll.

Pawintenan dengan ayaban bebangkit adalah pensucian diri dengan memuja Dewi Saraswati dan Bathara Gana sebagai putra Siwa yang berfungsi sebagai pelindung manusia; pawintenan tingkat ini untuk para undagi, sangging, tukang banten, dll.

Pawintenan dengan ayaban catur adalah pensucian diri dengan memuja para Dewa: Iswara, Brahma, Mahadewa, dan Wisnu sebagai manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa; pawintenan tingkat ini untuk para pemangku, dalang, pinandita, dll.

Mereka yang sudah mawinten wajib menggelar brata, tapa, yoga, samadi. Makin tinggi tingkat pawintenan-nya makin ketat pelaksanaan brata, tapa, yoga, samadi-nya. Brata adalah pengekangan hawa nafsu panca indra; Tapa adalah pengendalian diri agar selalu dalam jalur Dharma. Yoga adalah senantiasa memuja kebesaran dan kemuliaan Ida Sanghyang Widhi Waça. Samadi adalah mengosongkan pikiran dan penyerahan diri secara total pada kemahakuasaan Ida Sanghyang Widhi Waça.

5. Bhuta Yadnya

Bhuta Yadnya adalah suatu korban suci kepada sarwa bhuta yaitu makhluk-makhluk rendahan, baik yang terlihat (sekala) ataupun yang tak terlihat (niskala), hewan (binatang), tumbuh- tumbuhan,

dan berbagai jenis makhluk lain yang merupakan ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Waça. Adapun pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya ini dapat berupa: Upacara yadnya (korban suci) yang ditujukan kepada makhluk yang kelihatan/alam semesta, yang disebut dengan istilah Mecaru atau Tawur Agung, dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan, kelestarian antara jagat raya ini dengan diri kita yaitu keseimbangan antara makrokosmos dengan mikrokosmos. Contoh lain dari Bhuta Yadnya adalah segehan.

Segehan

Tak hanya vertikal ke atas persembahan manusia Hindu ditujukan. Ke bawah pun dilakukan dalam wujud segehan. Satu di antara sekian jenis segehan itu ada diwujudkan seperti manusia. Manusia dalam upayanya mengucap syukur selalu melakukan persembahan. Dalam persembahan tersebut, nasi menjadi satu komponen penting. Ia hadir dalam berbagai bentuk dan nama pada bebantenan Bali.

Selain berwujud tumpeng, nasi juga dipakai untuk membuat berbagai segehan yang dihaturkan di pertiwi. Pada umumnya dihaturkan pada kala bucara-bucari supaya tidak mengganggu. Persembahan itu dihaturkan di bawah yaitu di natar Merajan, rumah serta lebuh. Yang di halaman (natar) rumah ditujukan kepada Sang Kala Bucari. Selain itu, karena di natar rumah ditanam I Catur Sanak yaitu Ari-ari, Lamas, Getih, Yeh Nyom, sebagai tanda manusia memberikan perhatian pada saudara empat-nya karena telah memberikan perlindungan, baik secara sekala maupun niskala.

Selanjutnya di natar sanggah pamerajan ditujukan kepada Sang Bhuta Bucari. Lantas yang terakhir di depan pintu keluar (lebuh) ditujukan kepada Sang Durgha Bucari. Karena tempat masegeh ada tiga, maka jenis segehan itu pun ada tiga. Jenis segeh itu yaitu segehan pat (4) dihaturkan di natar rumah, segehan lima (5) di natar merajan dan segehan sia (9) di lebuh. Ketiga jenis segehan tersebut termasuk segehan umum yang dihaturkan oleh umat Hindu. Sedangkan segehan wong-wongan (ada juga yang menyebut nasi wong-wongan) hanya dihaturkan orang yang nyungsung ataupun memiliki sakit tertentu. Jenis segehan ini dibentuk menyerupai wujud manusia, lengkap dengan kepala, leher, badan, tangan, dan kaki. Tapi, ada juga hanya mengambil bentuk bagian tubuh manusia saja, seperti dada dan rusuk (nasi tangkah-iga).

Hari Raya Terkenal di Bali

Galungan dan Kuningan

Hari Raya Galungan jatuh pada hari Budha (Rabu) Kliwon Dungulan, kemudian disusul oleh Hari Raya Kuningan setelah sepuluh hari.

Sejarah Hari Raya Galungan masih merupakan misteri. Dengan mempelajari pustaka-pustaka, di antaranya Panji Amalat Rasmi (Zaman Jenggala) pada abad ke-11 di Jawa Timur, Galungan itu sudah dirayakan. Dalam pararaton zaman akhir kerajaan Majapahit pada abad ke-16, perayaan semacam ini juga sudah diadakan. Menurut arti bahasa, Galungan itu berarti peperangan. Dalam bahasa Sunda terdapat kata Galungan yang berarti berperang. Parisadha Hindu Dharma menyimpulkan, bahwa upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi. Namun tidak berarti bahwa dunia ini lahir pada hari Budha Kliwon Dungulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar umat Hindu di

Bali menghaturkan rasa syukur atas karunia Tuhan Yang Maha Esa yang telah berkenan menciptakan segala-galanya di dunia ini.

Pada hakekatnya Galungan adalah perayaan bagi kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kebatilan). Tuhan sebagai pencipta dipuji dan dipuja, termasuk leluhur dan nenek moyang keluarga diundang turun ke dunia untuk sementara kembali berada di tengah-tengah anggota keluarga yang masih hidup. Sesajen menyambut kedatangan leluhur itu disajikan pada sebuah tugu di merajan/sanggah keluarga. Penjor selamat datang dibuat dari bambu melengkung, dihiasi janur dan bunga kemudian digantungkan pula hasil-hasil pertanian seperti: padi, jagung, kelapa, jajanan dan lain-lain, juga barang-barang sandang (secarik kain) dan uang. Terakhir diisi sanggah di bagian bawahnya serta hiasan lamak di pancang di depan pintu masuk rumah masing-masing.

Disebutkan dalam pustaka-pustaka Hindu bahwa dalam rangkaian peringatan Galungan, sejak hari Minggu (tiga hari sebelum Galungan) umat Hindu didatangi oleh Kala-tiganing Galungan. Mereka adalah simbol angkara. Jadi dalam hal ini umat Hindu berperang, bukanlah melawan musuh berbentuk fisik, tetapi simbol keletehan dan adharma. Berjuang, berperang antara dharma untuk mengalahkan adharma.

Kemudian pada hari Saniscara (Sabtu) Keliwon Wuku Kuningan, adalah Hari Raya Kuningan. Ini adalah hari raya khusus, dimana para leluhur yang setelah beberapa saat berada dengan keluarga sekali lagi disuguhkan sesajen dalam upacara perpisahan untuk kembali ke stananya masing-masing. Pada hari itu dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terima kasih umat Hindu menerima anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa berupa bahan-bahan sandang dan pangan. Sedangkan di pedesaan biasanya ada beberapa Barong ngelawang diikuti sekolompok anak-anak dengan tetabuhan.

Siwaratri

Siwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan ke hadapan Sang Hyang Widhi Waça dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa. Hari Siwaratri mempunyai makna khusus bagi umat Hindu, karena pada hari tersebut Sang Hyang Siwa beryoga. Sehubungan dengan itu umat Hindu melaksanakan kegiatan yang mengarah pada usaha penyucian diri, pembuatan pikiran ke hadapan Sang Hyang Siwa, dalam usaha menimbulkan kesadaran diri. Hal itu diwujudkan dengan pelaksanaan brata berupa jagra (tidak tidur), upawasa (puasa makan/minum) dan monabrata (tidak berbicara). Siwaratri juga disebut hari suci pajagran.

Di Bali, Siwaratri selalu dikaitkan dengan cerita Lubdaka. Konon, pada malam Siwaratri, Bhatara Siwa sebagai manifestasi Tuhan melakukan yoga. Saat yang bersamaan, dikisahkan seorang pemburu bernama Lubdaka kemalaman di hutan. Agar tidak dimakan binatang buas, si Lubdaka naik ke pohon. Agar tetap terjaga, sebagai pengusir kantuk, si Lubdaka memetik dan menjatuhkan daun-daun pohon yang dipanjatnya dan kebetulan di bawah pohon tersebut ada sebuah lingga Bhatara Siwa, jadi secara tidak langsung Lubdaka melakukan pemujaan kepada Bhatara Siwa tepat di saat beliau beryoga.

Bhatara Siwa konon sangat senang karena Lubdaka terjaga dan ‘menemani’ Bhatara Siwa melakukan yoga. Maka ketika Lubdaka meninggal, saat Bhatara Yama melakukan pengadilan, datanglah satu batalyon tentara surga yang dikirim oleh Bhatara Siwa, dan membawa Lubdaka ke sorga. Padahal,

Bhatara Yama hendak mengirimnya ke neraka karena profesi Lubdaka sebagai pemburu adalah dosa, membunuhi binatang-binatang tak berdosa demi kesenangan. Sementara, Bhatara Siwa sudah terlanjur ’sayang’ dengan Lubdaka yang menemaninya satu malam beryoga, melakukan intervensi pada keputusan Bhatara Yama.

Nyepi

Hari Raya Nyepi adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap Tahun Baru Çaka. Hari ini jatuh pada hitungan Tilem Kesanga (bulan mati kesembilan) yang dipercayai merupakan hari penyucian dewa-dewa yang berada di pusat samudera yang membawa intisari amerta (air kehidupan). Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap mereka. Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Mahaesa, untuk menyucikan Buana Alit (diri manusia) dan Buana Agung (alam semesta). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan bagian dari rangkaian perayaan yang lebih besar. Berikut perinciannya:

Tawur (Pecaruan), Pengrupukan, dan Melasti

Sehari sebelum Nyepi, umat Hindu melaksanakan upacara Bhuta Yadnya di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis caru (semacam sesajian) menurut kemampuannya. Bhuta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian Bhuta Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi lima warna berjumlah 9 paket beserta lauk pauknya, seperti ayam berbulu brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Bhuta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Bhuta Raja, Bhuta Kala dan Bhatara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu manusia.

Mecaru diikuti oleh upacara pengerupukan, yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Khusus di Bali, pengrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Bhuta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Bhuta Kala dari lingkungan sekitar.

Tahap terakhir adalah melasti, yaitu menghanyutkan segala leteh (kotoran) ke laut, serta menyucikan pratima. Upacara ini dilakukan di laut, karena laut dianggap sebagai sumber amerta. Selambat-lambatnya pada tilem sore, melasti harus selesai.

Nyepi

Keesokan harinya, yaitu pada Tilem Kesanga, tibalah Hari Raya Nyepi sesungguhnya. Pada hari ini dilakukan puasa Nyepi yang disebut Catur Brata Penyepian dan terdiri dari:

- Amati Geni (tidak menggunakan dan/atau menghidupkan api)

- Amati Karya (tidak bekerja)

- Amati Lelungan (tidak bepergian/keluar rumah)

- Amati Lelanguan (tidak bersenang-senang)

Brata ini dilakukan sejak sebelum matahari terbit. Menurut umat Hindu, segala hal yang bersifat peralihan, selalu didahului dengan perlambang gelap. Misalnya seorang bayi yang akan beralih menjadi anak-anak diwujudkan dengan matekep guwungan (ditutup sangkar ayam). Wanita yang beralih dari masa kanak-kanak ke dewasa, upacaranya didahului dengan ngekep (dipingit). Demikianlah untuk masa baru, ditempuh secara baru lahir, yaitu benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam tahun baru pun, dasar ini dipergunakan, sehingga ada masa amati geni.

Ngembak Geni

Rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Çaka adalah hari Ngembak Geni yang jatuh pada tanggal ping pisan (satu) sasih kedasa (kesepuluh). Pada hari inilah Tahun Baru Çaka tersebut dimulai. Umat Hindu seling mengunjungi keluarga besar dan tetangga, saling maaf memaafkan satu sama lain.

Saraswati

Hari Raya Saraswati diperingati sebagai hari Pawedalan Sang Hyang Aji Saraswati (ilmu pengetahuan). Hari raya ini diperingati setiap hari Saniscara (Sabtu) Umanis Wuku Watugunung.

Dewi Saraswati merupakan sakti (istri) dari Dewa Brahma. Dewi Saraswati adalah Dewi Ilmu Pengetahuan yang merupakan pelindung/pelimpah pengetahuan, kesadaran (widya), dan sastra. Berkat anugerah Dewi Saraswati, manusia menjadi beradab dan berkebudayaan. Dewi Saraswati digambarkan sebagai seorang wanita cantik bertangan empat, biasanya tangan-tangan tersebut memegang Genitri (tasbih) dan Kropak (lontar). Tangan yang lain memegang Wina (alat musik sejenis rebab) dan sekuntum bunga teratai. Di dekatnya biasanya terdapat burung merak dan undan yaitu burung besar serupa angsa, tetapi dapat terbang tinggi.

Pada hari raya Saraswati, semua pustaka-pustaka, lontar-lontar, buku-buku dan alat-alat tulis menulis yang mengandung ajaran atau berguna untuk ajaran-ajaran agama, kesusilaan dan sebagainya, dibersihkan, dikumpulkan dan diatur pada suatu tempat, di pura, di pemerajan atau di dalam bilik untuk diupacarai. Upacara ini biasanya dilakukan pada pagi hari dan tidak boleh melewati tengah hari. Selain itu dilakukan juga persembahyangan pada hari raya Saraswati untuk memuja Dewi Saraswati sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Waça (Tuhan Yang Maha Esa).

Di Bali, persembahyangan Saraswati biasanya didominasi oleh para penuntut ilmu yaitu siswa, mahasiswa dan instansi pendidikan serta instansi pemerintahan. Khusus untuk daerah Denpasar, pura yang biasanya paling ramai adalah dijadikan tempat bersembahyang adalah Pura Jagatnata yang terletak di pusat kota Denpasar. Di pagi hari para generasi muda terutama siswa akan berbondong-bondong menuju sekolah masing-masing untuk bersembahyang bersama kemudian dilanjutkan Pura Jagatnata. Dari pagi hari sampai malam harinya tetap saja masih ada yang datang ke Pura Jagatnata, bahkan di malam harinya biasanya sampai terjadi antrian dan berdesak-desakan untuk masuk ke pura.

Perayaan Saraswati juga dilakukan dengan Mesambang Semadhi, yaitu semadhi ditempat yang suci di malam hari atau melakukan pembacaan lontar-lontar semalam suntuk dengan tujuan menemukan pencerahan Ida Hyang Saraswati. Banyak kelompok Dharma Gita atau Pesantian yang

biasanya melakukan semadhi, membaca pustaka-pustaka, atau melakukan Dharma Gita atau kekawin di tempat-tempat suci, pura atau merajan. Untuk generasi muda, banyak yang begadang di pantai, bersama teman-temannya. Mereka begadang sampai pagi. Namun muncul kesan negatif dari hal ini yaitu generasi muda terutama para siswa yang masih duduk di bangku sekolah menggunakan kesempatan ini untuk berpacaran.

Keesokan harinya, dilaksanakan Banyu Pinaruh, yakni di pagi buta membasuh muka dengan air kumkuman (air kembang). Setelah melakukan upacara dan semadhi di malam hari, masyarakat akan beramai-ramai menuju pantai dan melakukan Banyu Pinaruh serta mandi di pantai. Pantai yang paling ramai dikunjungi biasanya pantai Sanur.

KARAKTERISTIK ORANG BALI SECARA UMUM

1. Percaya kepada hal-hal mistik

2. overtoleran

3. menganggap semua orang adalah keluarga yang distilahkan dengan Nyama

4. apresiasi terhadap kesenian sangat tinggi

5. sangat menghormati pemimpin

6. senang berjudi atau taruhan

7. cenderung santai

8. hormat kepada leluhur dan orang yang lebih tua

9. ramah dan sopan

10. menyukai keindahan

11. menjunjung tinggi adat yang telah ditetapkan dan disepakati (demokrasi)

PRODUK BUDAYA

SENI SUARAa. Seni Tembang

Di Bali terdapat berbagai jenis tembang yang mempunyai struktur dan fungsi yang berbeda-beda. Masyarakat Bali membedakan seni tembang ini menjadi empat (4) kelompok:1. Gegendingan

Gegendingan adalah sekumpulan kalimat bebas yang dinyanyikan. Isinya pada umumnya pendek, dan sederhana. Dikatakan bebas karena benar-benar tidak ada ikatannya. Antara tiap kalimat tidak harus mempunyai arti yang membentuk cerita atau pengertian, dan kadang-kadang kalimat yang terbentuk dari kata-kata itu juga tidak mempunyai arti yang jelas.

2. Sekar alitBerbeda dengan Sekar Rare (lagu anak-anak maupun lagu rakyat), kelompok Sekar Alit, yang biasa disebut tembang macapat, gaguritan atau pupuh, terikat oleh hukum Padalingsa yang terdiri dari guru wilang dan guru dingdong. Guru wilang adalah ketentuan yang mengikat jumlah baris pada setiap satu macam pupuh (lagu) serta banyaknya bilangan suku kata pada setiap barisnya. Bila terjadi pelanggaran atas guru wilang ini maka kesalahan ini disebut elung. Selanjutnya guru dingdong adalah uger-uger yang mengatur jatuhnya huruf vokal pada tiap-tiap akhir suku kata. Pelanggaran atas guru dingdong ini disebut ngandang. Tentang istilah macapat yang dipakai untuk menyebut jenis tembang ini adalah sebuah istilah dari bahasa Jawa. Kelompok tembang ini disebut tembang macapat karena pada umumnya dibaca dengan sistem membaca empat-empat suku kata (ketukan).

3. Sekar MadyaSekar Madya yang meliputi jenis-jenis lagu pemujaan, umumnya dinyanyikan dalam kaitan upacara, baik upacara adat maupun agama. Kelompok tembang yang tergolong sekar madya pada umumnya mempergunakan bahasa Jawa tengahan, yaitu seperti bahasa yang dipergunakan di dalam lontar/ cerita Panji atau Malat, dan tidak terikat oleh Guru Lagu maupun Padalingsa. Yang ada di dalamnya adalah pembagian-pembagian seperti :

Pangawit Pembuka

Pamawak bagian yang pendek

Panama bagian yang panjang

Pangawak bagian utama dari tembang

4. Sekar Agung Sekar Agung atau Tembang Gede meliputi lagu-lagu berbahasa Kawi yang diikat oleh hukum guru lagu, pada umumnya dinyanyikan dalam kaitan upacara, baik upacara adat maupun agama. Jenis tembang Bali yang termasuk dalam kelompok Sekar Agung ini adalah Kakawin. Kakawin adalah puisi Bali klasik yang berdasarkan puisi dari bahasa Jawa Kuna. Dilihat dari segi penggunaan

bahasanya, Kakawin banyak mengambil dasar dari puisi Sanskerta yang kemudian diterjemahkan dan disesuaikan, sehingga mempunyai kekhasan tersendiri.

Ada dugaan bahwa Kakawin ini diciptakan di Jawa pada abad IX sampai XVI. Di dalam Kakawin terdapat bagian-bagian sebagai berikut:

Pengawit (penyemak) pembukaan

Panampi ( pangisep)

Pangumbang

Pamalet Kakawin dilakukan dengan diselingi terjemahannya.

Masyarakat Bali mengenal banyak jenis Kekawin seperti: Aswalalita Wasantatilaka Tanukerti Sardulawikradita Watapatia Wangeasta Wirat Çekarini Girisa Prtiwitala Puspitagra

b. SENI DRAMA DAN TARIDrama dan tari tidak dapat dipisahkan. Keduanya seperti dua warna permukaan daun sirih, sama-sama mengandung rasa dan aroma yang tidak berbeda. Budaya Bali memiliki banyak sekali ragam kesenian Drama dan Tari. Ini menunjukkan bahwa budaya kita sangat beradab. Drama dan tari penuh dengan simbol-simbol. Baik simbol dari kehidupan nyata maupun simbol kehidupan alam lain dan mimpi-mimpi. Hanya peradaban manusia yang mengerti arti simbol. Simbolisme yang digambarkan oleh para seniman drama dan tari di Bali sangat komunikatif. Tidak hanya menghibur hati, tetapi dapat memberikan pedoman yang mudah dicerna tentang benar dan salah, tentang baik dan buruk. Drama dan tari tidak hanya menghubungkan nalar dan rasa antar manusia, tetapi juga menghubungkan alam sekala dan niskala manusia secara harmonis dan estetis. Mengalir terus dipenuhi dengan inovasi baru yang tak pernah terbendung. Jenis dan macam-macam drama dan tari antara lain :1. Abuang

Abuang atau Mabuang merupakan tari hiburan dalam upacara penyimpanan Bhatara Bagus Selonding atau disebut upacara ngalemekin, yang ditampilkan sehari setelah upacara tersebut dan tari ini terdapat di desa Tenganan

2. ArjaNama Arja di duga berasal dari kata Reja (bahasa sansekerta) yang berarti keindahan. Arja adalah semacam opera khas Bali, merupakan sebuah dramatari yang dialognya ditembangkan

secara macapat. Dramatari Arja ini adalah salah satu kesenian yang sangat digemari di kalangan masyarakat.Arja diperkirakan muncul pada tahun 1820an, pada masa pemerintahan raja Klungkung I Dewa Agung Sakti. Tiga fase penting dalam perkembangan Arja adalah:

munculnya Arja Doyong (Arja tanpa iringan gamelan, dimainkan oleh satu orang). Arja Gaguntangan (yang memakai gamelan Gaguntangan dengan jumlah pelaku lebih

dari satu orang). Arja Gede ( yang dibawakan oleh antara 10 sampai 15 pelaku dengan struktur pertunjukan yang

sudah baku seperti yang ada sekarang).Gamelan yang biasa dipakai mengiringi Arja disebut Gaguntangan yang bersuara lirih dan merdu sehingga dapat menambah keindahan tembang yang dilantunkan oleh para penari. Sumber lakon Arja yang utama adalah cerita Panji (Malat), kemudian lahirlah sejumlah cerita seperti Bandasura, Pakang Raras, Linggar Petak, I Godogan, Cipta Kelangen, Made Umbara, Cilinaya dan Dempu Awang yang dikenal secara luas oleh masyarakat.Arja juga menampilkan lakon-lakon dari cerita rakyat seperti Jayaprana, Sampik Ingtai, Basur dan Cupak Grantang serta beberapa lakon yang diangkat dari cerita Mahabharata dan Ramayana. Lakon apapun yang dibawakan Arja selalu menampilkan tokoh-tokoh utama yang meliputi Inya, Galuh, Desak (Desak Rai), Limbur, Liku, Panasar, Mantri Manis, Mantri Buduh dan

dua pasang punakawan atau Panasar kakak beradik yang masing - masing terdiri dari Punta dan Kartala. Hampir semua daerah di Bali masih memiliki grup-grup Arja yang masih aktif. Menjelang berakhirnya abad XX lahir Arja Muani, pemainnya semua pria, sebagian memerankan wanita. Arja ini disambut dengan sangat antusias oleh masyarakat karena, menghadirkan komedi segar.

3. Barong dan Rangda Barong dipercaya sebagai pelindung desa masyarakat Bali.Barong Ket atau Barong Keket adalah tari Barong yang paling banyak terdapat di Bali dan paling sering dipentaskan serta memiliki pebendaharaan gerak tari yang lengkap. Dari wujudnya, Barong Ket ini merupakan perpaduan antara singa, macan, sapi atau boma. Badan Barong ini dihiasi dengan ukiran-ukiran dibuat dari kulit, ditempel kaca cermin yang berkilauan dan bulunya dibuat dari perasok (serat dari daun sejenis tanaman mirip pandan), ijuk atau ada pula dari bulu burung gagak.

Untuk menarikannya Barong ini diusung oleh dua orang penari yang disebut Juru Saluk / Juru Bapang, satu penari di bagian kepala dan yang lainnya di bagian pantat dan ekornya. Tari Barong Keket ini melukiskan tentang pertarungan kebajikan (dharma) dan keburukan (adharma) yang merupakan paduan yang selalu berlawanan (rwa bhineda). Tari Barong Ket diiringi

dengan gamelan Semar Pagulingan.

4. GongDrama Gong adalah sebuah bentuk seni pertunjukan Bali yang masih relatif muda usianya yang diciptakan dengan jalan memadukan unsur-unsur drama modern (non tradisional Bali) dengan unsur-unsur kesenian tradisional Bali. Dalam banyak hal Drama Gong merupakan pencampuran dari unsur-unsur teater modern (Barat) dengan teater tradisional (Bali). Nama Drama Gong diberikan kepada kesenian ini oleh karena dalam pementasannya setiap gerak pemain serta peralihan suasana dramatik diiringi oleh gamelan Gong (Gong Kebyar). Drama Gong diciptakan sekitar tahun 1966 oleh Anak Agung Gede Raka Payadnya dari desa Abianbase (Gianyar). Diakui oleh penciptanya bahwa Drama Gong yang diciptakan dengan memadukan unsur-unsur drama tari tradisional Bali seperti Sendratari, Arja, Prembon dan Sandiwara dimaksudkan sebagai sebuah prembon (seni campuran) modern.Para pemain mengenakan busana tradisional Bali, sesuai dengan tingkat status sosial dari peran yang dibawakan dan setiap gerak pemain, begitu pula perubahan suasana dramatik dalam lakon diiringi dengan perubahan irama gamelan Gong Kebyar. Masyarakat Bali mementaskan

Drama Gong untuk keperluan yang kaitannya dengan upacara adat dan agama maupun kepentingan kegiatan sosial. Walaupun demikian, Drama Gong termasuk kesenian sekuler yang dapat dipentaskan di mana dan kapan saja sesuai dengan keperluan. Kesenian Drama Gong inilah yang memulai tradisi pertunjukan "berkarcis" di Bali karena sebelumnya pertunjukan kesenian bagi masyarakat setempat tidak pernah berbentuk komersial.

Drama Gong mulai berkembang di Bali sekitar tahun 1967 dan puncak kejayaannya adalah tahun1970. Pada masa itu kesenian tradisional Bali seperti Arja, Topeng dan lain-lainnya ditinggalkan oleh penontonnya yang mulai kegandrungan Drama Gong. Panggung-panggung besar yang tadinya menjadi langganan Arja tiba-tiba diambil alih oleh Drama Gong. Namun semenjak pertengahan tahun 1980 kesenian ini mulai menurun

4. Tari BarisSebagai tarian upacara, sesuai dengan namanya "Baris" yang berasal dari kata bebaris yang dapat diartikan pasukan maka tarian ini menggambarkan ketangkasan pasukan prajurit. Tari ini merupakan tarian kelompok yang dibawakan oleh pria, umumnya ditarikan oleh 8 sampai lebih dari 40 penari dengan gerakan yang lincah cukup kokoh, lugas dan dinamis, dengan diiringi Gong Kebyar

dan Gong Gede. Setiap jenis, kelompok penarinya membawa senjata, perlengkapan upacara dan kostum dengan warna yang berbeda, yang kemudian menjadi nama dari jenis- jenis tari Baris yang ada. Tari-tarian Baris yang masih ada di Bali antara lain :

1. Baris Katekok Jago 2. Baris Tumbak

3. Baris Dadap 4. Baris Presi

5. Baris Pendet 6. Baris Bajra

7. Baris Tamiang 8. Baris Kupu-Kupu

9. Baris Bedil 10. Baris Cina

11. Baris Cendekan 12. Baris Panah

13. Baris Jangkang 14. Baris Gayung

15. Baris Demang 16. Baris Cerekuak

17. Baris Mamedi 18. Baris Ketujeng

19. Baris Gowak 20. Baris Omang

21. Baris Jojor 22. Baris Kuning

23. Baris Tengklong 24. Baris Kelemet

6. Kecak

Bila mendengar nama Bali, apa yang terlintas pertama kali di benak kita? Selain Pantai Kuta tentunya. Ya! Tari Kecak, tarian yang sangat terkenal di kalangan turis-turis mancanegara dan domestik. Tarian kecak mengisahkan tentang dongeng Ramayana, yaitu cerita klasik masyarakat Hindu dengan tokoh Rama, Sita dan Hanoman. Selain Tari Kecak, juga ada Tari Barong dan Legong.

Tarian ini merupakan jenis tari Bali yang paling unik. Kenapa unik? Karena tarian ini tidak diiringi alat musik atau gamelan seperti layaknya sebuah seni tari. Tarian hanya diiringi paduan suara dari 100 orang pria.Tari Kecak berasal dari jenis tari sakral “Sang Hyang”. Pada tari Sang Hyang, seseorang yang sedang kerasukan roh berkomunikasi dengan para dewa atau leluhur yang sudah disucikan. Dengan menggunakan si penari sebagai media penghubung para dewa atau leluhur dapat menyampaikan sabdanya. Pada tahun 1930-an mulailah disisipkan cerita Ramayana ke dalam tari tersebut.Pentas tarian sakral itu sendiri biasaya berlangsung di Pura Shandi Swara “Kecak and Fire Dance” yang berada di daerah Ubud tepatnya di Jl Hanoman, Padang Tegal Kelod, Ubud, Bali. Namun pagelaran tidak setiap hari atau hanya berlangsung tiga kali seminggu. Yakni setiap Selasa, Kamis dan Jumat pada pukul 19.00 Wita. Untuk menikmati tarian sendiri, tiap pengunjung diwajibkan membeli tiket seharga Rp50 ribu. Nantinya, selain tiket, pengunjung juga akan mendapatkan selembar kertas panduan cerita dalam tarian. Namun, untuk tempat duduk, pengunjung dibebaskan memilih. Apabila sempat menikmati tarian ini secara langsung. Sesaat sebelum kita memasuki pelataran pura, kita akan melihat serombongan laki-laki yang mengenakan sarung kotak-kotak putih hitam berjalan memasuki pelataran pura. Mereka adalah rombongan penari kecak. Sekitar lima menit kemudian, acara pun dimulai dengan masuknya serombongan penari ke halaman pura. Mereka masuk dengan melantunkan irama yang digunakan sebagai iringan tarian.Suara mereka sangat merdu, tidak terdengar sumbang sedikit pun. Dan mereka melakukannya dengan penuh semangat, sambil melemparkan pandangan ke arah penonton, tak jarang mereka memberikan senyum kepada para penonton, yang

kebanyakan turis dari luar negeri. Tarian itu menceritakan tentang Epos Ramayana, yang terbagi menjadi lima babak. Di masing-masing babak menyuguhkan adegan yang sangat ringan dan mudah dimengerti oleh siapa saja. Setelah tarian tentang Epos Ramayana selesai, acara dilanjutkan lagi dengan Tarian Sang Hyang Dedari, di mana tarian itu merupakan tarian untuk mengusir roh-roh jahat. Sanghyang Dedari adalah jenis tarian ritual dengan kepercayaan bahwa ada saat-saat turut untuk menemui umatnya dan ia memasuki tubuh si penari. Sang Hyang adalah sebutan “yang berarti suci” Dedari artinya Malaekat. Tarian ini dipentaskan oleh dua gadis mungil di bawah umur yang masih perawan. Kenapa harus perawan, karena keperawanannya berarti kesucian.Dan rangkaian tarian yang terakhir adalah Tari Sang Hyang Jaran. Tarian dini dibawakan oleh seorang lelaki kesurupan yang berjingkrak-jingkrak seperti tingkah laku seekor kuda . Ia menari di atas bara api yang terbuat dari sabut kelapa. Jika kidung Sang Hyang menuntunnya ke api, maka ia pun akan menari di atasnya.Sebelum tarian Sang Hyang Jaran ini dimulai, kita akan melihat dua orang mengeluarkan satu karung sabut kelapa dan menyiramnya dengan minyak tanah, lalu membakarnya. Setelah itu barulah seorang lelaki keluar dengan menunggang kuda-kudaan. Ia bertingkah dengan sangat liar, dan beberapa kali ia menginjakkan kaki telanjangnya pada bara api tersebut. Dan beberapa kali ia menendangnya, hampir saja mengenai penonton yang duduk di bagian depan. Ini salah satu alasan memilih bangku belakang, yaitu agar aman dari bara api yang melayang akibat tendangan si penari.Datang ke Bali tanpa menyaksikan Tari Kecak, rasanya kurang lengkap. Anda akan terpesona dengan tarian yang paling diminati oleh wisatasan asing maupun domestik ini.

7.Calonarang

Dramatari ritual magis yang melakonkan kisah-kisah yang berkaitan dengan ilmu sihir, ilmu hitam maupun ilmu putih, dikenal dengan Pangiwa / Pangleyakan dan Panengen. Lakon-lakon yang ditampilkan pada umumnya berakar dari cerita Calonarang, sebuah cerita semi sejarah dari zaman pemerintahan raja Airlangga di Kahuripan (Jawa timur) pada abad ke IX. Cerita lain yang juga sering ditampilkan dalam drama tari ini adalah cerita Basur, sebuah cerita rakyat yang amat populer dikalangan

masyarakat Bali. Karena pada beberapa bagian dari pertunjukannya menampilkan adegan adu kekuatan dan kekebalan (memperagakan adegan kematian bangke-bangkean, menusuk rangda dengan senjata tajam secara bebas) maka Calonarang sering dianggap sebagai pertunjukan adu kekebalan (batin).Dramatari ini pada intinya merupakan perpaduan dari tiga unsur penting, yakni Babarongan diwakili oleh Barong Ket, Rangda dan Celuluk, Unsur Pagambuhan diwakili oleh Condong, Putri, Patih Manis (Panji) dan Patih Keras (Pandung) dan Palegongan diwakili oleh Sisiya-sisiya (murid-murid). Tokoh penting lainnya dari dramatari ini adalah Matah Gede dan Bondres. Karena pagelaran dramatari ini selalu melibatkan Barong Ket maka Calonarang sering disamakan dengan Barong Ket. Pertunjukan Calonarang bisa diiringi dengan Gamelan Semar Pagulingan, Bebarongan, maupun Gong Kebyar. Dari segi tempat pementasan, pertunjukan Calonarang biasanya dilakukan dekat kuburan (Pura Dalem) dan arena pementasannya selalu dilengkapi dengan sebuah balai tinggi (trajangan atau tingga) dan pohon papaya.

8. JaukTarian bertopeng yang menggambarkan seorang raja raksasa yang sedang berkelana. Penarinya adalah pria, mengenakan busana yang terdiri dari awiran yang berlapis-lapis, ditambah dengan gelungan jauk dan kaos tangan yang berkuku panjang. Tarian ini lebih bersifat improvisasi dengan struktur koreografi yang fleksible. Jenis tari Jauk ini antara lain

Jauk Keras (Jauk Enggang), Jauk Manis (Jauk longgor).

9.

9. JangerMerupakan jenis tarian pergaulan, terutama bagi muda mudi, yang sangat populer di Bali yang dilakukan oleh sekitar 10 pasang muda-mudi. Selama tarian berlangsung kelompok penari wanita (Janger) dan kelompok penari pria (Kecak) menari dan bernyanyi bersahut-sahutan. Pada umumnya lagu-lagunya bersifat gembira sesuai dengan alam kehidupan mereka. Gamelan yang biasa dipakai mengiringi tari Janger disebut Batel (Tetamburan) yang dilengkapi dengan sepasang gender wayang. Munculnya Janger di Bali diduga sekitar abad ke XX, merupakan perkembangan dari tari sanghyang. Jika kecak merupakan perkembangan dari paduan suara pria, sedangkan jangernya merupakan perkembangan dari paduan suara wanita.Lakon yang dibawakan dalam Janger antara lain: Arjuna Wiwaha, Sunda Upasunda dan lain sebagainya. Tari Janger dapat dijumpai hampir di seluruh daerah Bali, masing-masing daerah mempunyai variasi tersendiri sesuai dengan selera masyarakat setempat.

Di daerah Tabanan tari Janger biasa dilengkapi dengan penampilan peran Dag (seorang berpakaian seperti jenderal tentara Belanda dengan gerak-gerak improvisasi yang kadang-kadang memberi komando kepada penari Janger maupun Kecak).

Di desa Metra (Bangli) terdapat tari Janger yang pada akhir pertunjukannya para penarinya selalu kerauhan

Di desa Sibang (Badung) terdapat tari Janger yang diiringi dengan Gamelan Gong Kebyar yang oleh masyarakat setempat menamakannya Janger Gong.

Sekaa Janger yang kini masih aktif antara lain Janger Kedaton (Denpasar) dan Janger Singapadu (Gianyar).

10.TopengTopeng berarti penutup muka yang terbuat dari kayu, kertas, kain dan bahan lainnya dengan bentuk yang berbeda-beda. Dari yang berbentuk wajah dewa-dewi, manusia, binatang, setan dan lain-lainnya. Di Bali topeng juga adalah suatu bentuk dramatari

yang semua pelakunya mengenakan topeng dengan cerita yang bersumber pada cerita sejarah yang lebih dikenal dengan Babad.

Dalam membawakan peran-peran yang dimainkan, para penari memakai topeng bungkulan (yang menutup seluruh muka penari), topeng sibakan (yang menutup hanya sebagian muka dari dahi hingga rahang atas termasuk yang hanya menutup bagian dahi dan hidung). Semua tokoh yang mengenakan topeng bungkulan tidak perlu berdialog langsung, sedangkan semua tokoh yang memakai topeng sibakan memakai dialog berbahasa kawi dan Bali.

Tokoh-tokoh utama yang terdapat dalam dramatari Topeng terdiri dari Pangelembar (topeng Keras dan topeng tua), Panasar (Kelihan - yang lebih tua, dan Cenikan yang lebih kecil), Ratu (Dalem dan Patih) dan Bondres (rakyat). Jenis-jenis dramatari topeng yang ada di Bali adalah:

Topeng Pajegan yang ditarikan oleh seorang aktor dengan memborong semua tugas-tugas yang terdapat didalam lakon yang dibawakan. Di dalam topeng Pajegan ada topeng yang mutlak harus ada, yakni topeng Sidakarya. Oleh karena demikian eratnya hubungan topeng Pajegan dengan upacara keagamaan, maka topeng ini pun disebut Topeng Wali. Dramatari Topeng hingga kini masih ada hampir diseluruh Bali.

Topeng Panca yang dimainkan oleh empat atau lima orang penari yang memainkan peranan yang berbeda-beda sesuai tuntutan lakon,

Topeng Prembon yang menampilkan tokoh-tokoh campuran yang diambil dari Dramatari Topeng Panca dan beberapa dari dramatari Arja dan Topeng Bondres, seni pertunjukan topeng yang masih relatif muda yang lebih mengutamakan penampilan tokoh-tokoh lucu untuk menyajikan humor-humor yang segar.

11.Tari Kontemporer

Salah satu tarian kreasi baru yang mempunyai ungkapan artistik yang bebas, muncul sejak makin maraknya pertumbuhan tari-tarian Bali kreasi baru di awal tahun 1970. Di dalam tarian baru ini elemen-elemen seni klasik/ tradisional Bali dipergunakan secara bebas dan kreatif, sesuai rasa estetik individu penatanya.

Kreativitas seperti ini melahirkan garapan tari baru yang inovatif yang menawarkan gagasan atau nafas-nafas baru yang dapat dikelompokkan sebagai tari Bali modern.

Cak Rina Cak Subali - Sugriwa

Setan Bercanda Barong-Barongan

Ngelawang

c. Seni karawitanSeni Karawitan adalah seni mengolah bunyi benda atau alat bunyi-bunyian (instrumen) tradisional. Di Bali, kaprahnya, alat bunyi-bunyian tradisional disebut gamelan atau gambelan. Dalam gamelan ada alat musik tabuh, gesek, tiup, petik dan sebagainya.

Menurut jamannya, Gamelan Bali dibagi menjadi 3 bagian besar: Gamelan Wayah Gamelan Madya Gamelan Anyar

Gamelan wayah atau gamelan tua diperkirakan telah ada sebelum abad XV. Umumnya didominir oleh alat-alat berbentuk bilahan dan tidak mempergunakan kendang. Kalaupun ada kendang, dapat dipastikan bahwa peranan instrumen ini tidak begitu menonjol.

Beberapa gamelan golongan tua antara lain : Angklung Balaganjur Bebonangan Caruk

Gambang Gender Wayang Genggong Gong Beri Gong Luwang Selonding

Barungan madya, yang berasal dari sekitar abad XVI-XIX, merupakan barungan gamelan yang sudah memakai kendang dan instrumen-instrumen bermoncol (berpencon). Dalam barungan ini, kendang sudah mulai memainkan peranan penting. Beberapa barungan madya antara lain :

Batel Barong Bebarongan Gamelan Joged Pingitan Gamelan Penggambuhan Gong Gede Pelegongan Semar Pagulingan

Gamelan Anyar adalah gamelan golongan baru, yang meliputi jenis-jenis barungan gamelan yang muncul pada abad XX. Barungan gamelan ini nampak pada ciri-ciri yang menonjolkan permainan kendang. Beberapa gamelan anyar antara lain :

Adi Merdangga Bumbung Gebyog Gamelan Bumbang Gamelan Geguntangan Gamelan Genta Pinara Pitu Gamelan Gong Kebyar Gamelan Janger Gamelan Joged Bumbung Gamelan Manikasanti Gamelan Semaradana Gong Suling Jegog Kendang Mabarung Okokan / Grumbungan Tektekan

Instrumen-instrumen gamelan tersebut adalah:

12. Wayang

Wayang Kulit

Wayang Kulit, seni pertunjukan yang sudah cukup tua umurnya, adalah salah satu bagian dari seni pertunjukan Bali yang hingga kini masih tetap digemari oleh masyarakat setempat. Di desa-desa maupun di kota, masyarakat masih sering mempergelarkan Wayang Kulit dalam kaitan dengan upacara agama Hindu, upacara adat Bali, maupun sebagai hiburan semata. Wayang Kulit Bali terdiri dari dua jenis, yaitu:

Wayang Lemah ( Wayan Gedog)

Wayang Peteng

Asal-usul Wayang Kulit di Indonesia hingga kini masih diperdebatkan oleh para ahli dan masih belum ada kesepakatan apakah Wayang Kulit memang asli Indonesia, dari India ataupun dari negara lain. Di lingkungan budaya Bali, pertunjukan Wayang Kulit diperkirakan sudah ada sejak sekitar abad ke IX. Dalam prasasti Bebetin yang berangka tahun Çaka 818 ( 896 M), dari zaman pemerintahan raja Ugrasena di Bali, ditemukan sejumlah istilah seni pertunjukan yang diyakini berarti wayang atau pertunjukan wayang (baca : Serba Neka Wayang Kulit Bali, 1975).

Sejak masa lampau pertunjukan Wayang Kulit menjadi salah satu media pendidikan informal bagi warga masyarakat. Betapa tidak, pertunjukan Wayang Kulit yang memadukan berbagai unsur seni rupa, sastra, gerak dan suara, dalam pementasannya tidak saja menampilkan lakon-lakon literer yang diambil dari karya-karya sastra klasik terutama Mahabrata dan Ramayana, kesenian ini juga menyajikan petuah-petuah mengenai nilai-nilai moral, spiritual dan sosial sehingga masyarakat yang buta huruf akan memperoleh ajaran-ajaran tatwa, yadnya, etika dan lain-lain. Oleh masyarakat penonton semuanya ini dijadikan pedoman dan tuntunan bagi kehidupan mereka sehari-hari.

Sementara para dalang secara kreatif melakukan penyegaran kesenian mereka, wayang-wayang kreasi baru sudah banyak diciptakan sehingga menambah perbendaharaan seni perwayangan di pulau ini. Yang tidak kalah pentingnya adalah munculnya dalang-dalang wanita berbakat yang siap bersaing dengan para dalang pria.

Di Bali, pertunjukan Wayang Kulit melibatkan antara 3 orang sampai 15 orang yang meliputi : dalang, pengiring dan jika diperlukan sepasang pembantu dalang (tututan). Komando tertinggi dalam pertunjukan Wayang Kulit ada pada si dalang. Untuk mementaskan wayang para dalang Bali memerlukan sekitar 125 - 130

lembar wayang yang disimpan dalam kotak wayang (kropak).

Kiranya belumlah lengkap jika pembahasan mengenai seni pewayangan Bali tidak dilengkapi dengan adanya beberapa usaha inovasi dan kreatif dari para seniman dalang di pulau ini, atau memalui kerja patungan atau kolaborasi dengan seniman luar atau asing. Dalam usahanya memberikan nafas baru dalam wayang Parwa, dalang I Made Sidja atau Ida Bagus Ngurah (Buduk) memasukan gamelan Suling atau Pegambuhan. Belakangan ini dalang muda berbakat, Ida Bagus Sudiksa berkali-kali mementaskan wayang kulit Parwa dengan iringan gamelan Angklung lengkap, bahkan pernah dengan gamelan Balaganjur. Sebagai sajian tugas akhir, baik untuk menyelesaikan program Seniman (setingkat Sarjana) pada jurusan Seni Pedalangan di STSI Denpasar, para mahasiswa juga telah melakukan berbagai percobaan. Misalnya:

Penggunaan layar lebar berganda. penggunaan tata-lampu modern, seperti lampu strobo, spot-lights, dan

sebagainya. pemakaian overhead-projector untuk menciptakan citra-citra realistis

sebagai latar belakang. pemakaian pemain wayang dalam jumlah yang banyak dengan satu orang

dalang sebagai narator. pemakaian wayang golek besar. dan lain sebagainya.

Kesemuanya merupakan wujud nyata dari usaha para seniman dalang muda untuk terus menyegarkan kehidupan seni Pewayangan di Bali.

Dalam hal iringan, gamelan Selonding dan Selukat juga telah dicoba untuk mengiringi pertunjukan wayang Bali. Masih merupakan bagian dari perkembangan wayang kulit Bali adalah wayang Listrik yang merupakan hasil kerja patungan antara seniman (I Made Sidja, I Nyoman Catra, Desak Suarthi Laksmi) dengan seniman dalang Larry Reed dari San Francisco, Amerika Serikat, yang didukung oleh Gamelan Sekar Jaya di bawah asuhan komposer muda, I Dewa Bratha. Nama ini diberikan berdasarkan kenyataan bahwa dalam pertunjukannya terdapat perpaduan dua unsur penting yaitu : pemain wayang kulit Bali dengan permainan atau proyeksi cahaya lampu listrik.

Pertunjukan pertama wayang listrik ini dilakukan di San Fransisco dan pada tahun 1996 yang lalu juga dipentaskan di Bali dalam rangka Festival Wayang Walter Spies.

Wayang Orang