bronkiolitis-tinjauan pustaka

52
TINJAUAN PUSTAKA BRONKIOLITIS Dokter Pembimbing : dr. I Wayan Gde Sugiharta, Sp.A Disusun oleh : Anggun Safariantiningrum (H1A006003) Arief Heri Kurniawan (H1A006004) L. Zulhirsan (H1A006024) Laili Khairani (H1A007033) DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA 1

Upload: laili-khairani

Post on 14-Dec-2014

110 views

Category:

Documents


22 download

TRANSCRIPT

Page 1: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA

BRONKIOLITIS

Dokter Pembimbing :

dr. I Wayan Gde Sugiharta, Sp.A

Disusun oleh :

Anggun Safariantiningrum (H1A006003)

Arief Heri Kurniawan (H1A006004)

L. Zulhirsan (H1A006024)

Laili Khairani (H1A007033)

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYADI BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM/RSUD PRAYAMATARAM

20131

Page 2: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ialah infeksi akut yang dapat terjadi di setiap

tempat di sepanjang saluran pernapasan dan adneksanya (telinga tengah, kavum pleura dan sinus

paranasalis). Secara anatomic ISPA dikelompokkan menjadi ISPA-atas misalnya batuk-pilek,

faringitis, tonsillitis, dan ISPA-bawah seperti bronchitis, bronkiolitis dan pneumonia. ISPA-atas

jarang menimbulkan kematian walaupun insidennnya jauh lebih tinggi dibandingkan ISPA-

bawah.

Pneumonia dan bronkiolitis yang merupakan bagian dari ISPA-bawah yang banyak

menimbulkan kematian, sehingga berperan besar dalam tingginya angka kematian bayi. Setiap

tahun diperkirakan 4 juta anak balita meninggal akibat ISPA (terutama akibat pneumonia dan

bronkiolitis) di negara berkembang. Bronkiolitis sendiri merupakan suatu penyakit infeksi akut

tersering pada usia kurang dari 2 tahun yang menimbulkan obstruksi inflamasi pada saluran

napas kecil (bronkiolus). Penyebab tersering dari bronkiolitis adalah virus Respiratory Syncytical

(RSV). Secara klinis bronkiolitis akut sukar dibedakan dengan pneumonia bakteri. Dan karena

mempunyai gejala obstruksi saluran napas, secara klinis sukar dibedakan dengan serangan asma.

Bronkiolitis pada masa bayi dapat menimbulkan dampak pada saluran napas berupa batuk,

wheezing dan hiperreaktivitas sampai beberapa tahun kemudian.

2

Page 3: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

BAB II

BRONKIOLITIS

A. DEFINISI1,4

Bronkiolitis adalah penyakit infeksi respiratorik akut-bawah yang ditandai dengan

adanya inflamasi pada bronkiolus. Umumnya infeksi disebabkan oleh virus. Penyakit ini terjadi

selama usia 2 tahun pertama dengan insidensi puncaknya pada sekitar usia 6 bulan. Secara klinis

ditandai dengan episode wheezing, nafas cepat dan retraksi dada.

B. EPIDEMIOLOGI1,4,6

Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratori tersering pada bayi. Paling sering

terjadi pada usia 2-24 bulan, puncaknya terjadi pada usia 2-8 bulan. Sembilan puluh lima persen

kasus terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun dan 75 % diantaranya terjadi pada anak berusia

di bawah 1 tahun.

Orenstein menyatakan bahwa bronkiolitis paling sering terjadi pada bayi laki-laki berusia

3-6 bulan yang tidak mendapat ASI dan hidup di lingkungan padat penduduk. Selain Orenstein,

Louden menyatakan bahwa bronkiolitis terjadi 1,25 kali lebih banyak pada anak laki-laki

daripada anak perempuan. Dominasi pada anak laki-laki yang dirawat juga disebutkan oleh Shay,

yaitu 1,6 kali lebih banyak daripada anak perempuan, sedangkan Fjaerli menyebutkan 63 %

kasus bronkiolitis adalah laki-laki.

Sebanyak 11,4% anak berusia di bawah 1 tahun dan 6% anak berusia 1-2 tahun di AS

pernah mengalami bronkiolitis. Penyakit ini menyebabkan 90.000 kasus perawatan di RS dan

menyebabkan 4500 kematian setiap tahunnya. Bronkiolitis merupakan 17 % dari semua kasus

perawatan di RS pada bayi. Frekuensi bronkiolitis di Negara-negara berkembang hampir sama

dengan di AS. Insidensi terbanyak terjadi pada musim dingin atau musim hujan di Negara-negara

tropis. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2002 dan tahun

2003, bronkiolitis banyak didapatkan pada bulan Januari sampai bulan Mei .

3

Page 4: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di Negara-negara berkembang daripada di

Negara-negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya status gizi dan ekonomi,

kurangnya tunjangan medis, serta kepadatan penduduk di Negara berkembang. Angka mortalitas

di negara berkembang pada anak-anak yang dirawat adalah 1-3 %.

C. ETIOLOGI2,4

Penyebab utama dari bronkiolitis adalah infeksi repiratory syncytical virus (RSV) yang

memilki morbiditas dan mortalitas tinggi, terutama pada anak dengan risiko tinggi dan

imnunokompromise. Sekitar 95 % dari kasus-kasus tersebut secara serologis terbukti disebabkan

oleh invasi RSV. Orenstein menyebutkan pula beberapa penyebab lain seperti Adenovirus, virus

influenza, virus parainfluenza, Rhinovirus dan mikoplasma. Tidak ada bukti yang kuat bahwa

bakteri menyebabkan bronkiolitis.

Virus RSV lebih virulen daripada virus lain dan menghasilkan imunitas yang tidak

bertahan lama. Infeksi ini pada orang dewasa tidak menimbulkan gejala klinis. RSV adalah

golongan paramiksovirus dengan bungkus lipid serupa dengan virus parainfluenza, tetapi hanya

mempunyai satu antigen permukaan berupa glikoprotein dan nukleokapsid RNA helik linear.

Tidak adanya genom yang bersegmen dan hanya mempunyai satu antigen bungkus berarti bahwa

komposisi antigen RSV relatif stabil dari tahun ke tahun.

D. FAKTOR RISIKO1,4

Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan insiden tertinggi pada

bayi usia 6 bulan. Makin muda usia bayi menderita bronkiolitis biasanya akan makin berat

penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat mungkin oleh karena kadar antibodi

maternal (maternal neutralizing antibody) yang rendah. Selain usia, bayi dan anak dengan

penyakit jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia, prematuritas, kelainan neurologis dan

immunocompromized mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya penyakit yang lebih

berat. Insiden infeksi RSV sama pada laki-laki dan wanita, namun bronkiolitis berat lebih sering

terjadi pada laki-Iaki. Selain itu, faktor resiko terjadinya bronkiolitis adalah status sosial ekonomi

yang rendah, jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif, dan berada pada tempat

penitipan anak atau tempat dengan lingkungan yang padat penduduk.

4

Page 5: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

E. PATOFISIOLOGI1,4,5

Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus menyebabkan respons inflamasi akut,

ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mukus, timbunan debris selular/ sel-

sel mati yang terkelupas, kemudian diikuti dengan infiltrasi limfosit peribronkial dan edema

submukosa. Karena tahanan aliran udara berbanding terbalik dengan diameter penampang

saluran respiratori, maka sedikit saja penebalan mukosa akan memberikan hambatan aliran udara

yang besar, terutama pada bayi yang memilki penampang saluran respiratori yang kecil.

Resistensi pada bronkiolus meningkat selama fase inspirasi dan ekspirasi, akan tetapi karena

radius saluran respiratori lebih kecil selama ekspirasi, maka akan menyebabkan air tapping dan

hiperinflasi. Ateletaksis dapat terjadi pada saat terjadi obstruksi total dan udara yang terjebak

diabsorbsi.

Gambar 1. Pembengkakan Bronkioli pada Baronkiolitis

Proses patologis ini akan mengganggu pertukaran gas normal di paru. Penurunan kerja

ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi perfusi yang berikutnya akan

menyebabkan terjadinya hipoksemia dan kemudian terjadi hipoksia jaringan. Retensi

karbondioksida (hiperkapnea) tidak selalu terjadi. Semakin tinggi laju respiratori, maka semakin

rendah tekanan oksigen arteri. Kerja pernapasan akan meningkat selama end expiratory lung

volume meningkat dan compliance paru menurun. Hiperkapnea biasanya baru terjadi bila

respirasi 60x/menit.

5

Page 6: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

Pemulihan sel epitel paru tampak setelah 3-4 hari, tetapi silia akan diganti setelah dua

minggu. Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh makrofag.

Berbeda dengan bayi, anak besar dan orang dewasa dapat mentolerir edema saluran

napas lebih baik, oleh karena itu pada anak besar dan dewasa jarang terjadi bronkiolitis bila

terserang infeksi virus saluran napas.

F. MANIFESTASI KLINIS3,4,6

Mula-mula menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer dan bersin. Gejala

ini kadang disertai demam dan nafsu makan berkurang. Kemudian satu atau dua hari kemudian

timbul distres nafas yang ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing dan sesak napas. Bayi-bayi

akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan minum.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan distres nafas dengan frekuensi nafas diatas 50- 60 kali

per menit (takipnea), kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat (takikardi). Suhu

badan bisa normal atau meningkat tinggi sampai 41 ºC. Terdapat nafas cuping hidung,

6

Page 7: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi interkostal, subkostal dan suprasternal. Retraksi

biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru).

Terdapat ekspirasi yang memanjang , wheezing yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa

stetoskop, serta terdapat crackles. Pada auskultasi dapat didapatkan rhonki basah halus nyaring

pada akhir atau awal ekspirasi. Suara perkusi paru hipersonor. Hepar dan lien dapat teraba

dibawah tepi kosta akibat pendorongan diafragma karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi.

Sering terjadi hipoksia dengan saturasi oksigen <92% pada udara kamar. Pada beberapa pasien

dengan bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan, otitis media serta faringitis.

G. KLASIFIKASI7,13

Tabel 1. Klasifikasi bronkiolitis berdasarkan gejala klinis

Keparahan Tanda

Ringan Anak sadar, warna kulit merah muda

Dapat makan dengan baik

Saturasi oksigen > 90%. Saturasi oksigen diketahui dengan alat

sederhana di kantor dokter atau RS

Sedang Salah satu di antara:

Kesulitan makan

Lemah

Kesulitan bernapas, digunakannya otot-otot bantu pernapasan

Adanya kelainan jantung atau saluran napas

Saturasi oksigen < 90%

Usia kurang dari enam bulan

Berat Seperti kriteria untuk kategori sedang, namun:

mungkin tidak membaik dengan pemberian oksigen

menunjukkan episode terhentinya napas

menunjukkan tanda kelelahan otot pernapasan atau terkumpulnya

terlalu banyak karbon dioksida dalam tubuh.

7

Page 8: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG1,2,,4,5

- Pemeriksaan darah tepi tidak khas, jumlah leukosit berkisar antara 5000-24000 sel/μl. Pada

keadaan leukositosis, batand dan PMN banyak ditemukan.

- Analisis Gas Darah : hiperkapnia sebagai tanda dari air tapping, asidosis metabolik atau

respiratorik.

Analisa gas darah (AGD) diperlukan untuk anak dengan gangguan pernafasan berat,

khususnya yang membutuhkan ventilator mekanik, gejala kelelahan dan hipoksia.

- Foto Thorak diindikasikan pada :

o Pasien yang diperkirakan memerlukan perawatan lebih

o Pasien dengan pemburukan klinis yang tidak terduga

o Pasien dengan penyakit jantung dan paru yang mendasari.

Rontgen thoraks AP dan lateral dapat terlihat gambaran hiperinflasi paru dengan diameter

anteroposterior membesar pada foto lateral disertai dengan diafragma datar, penonjolan ruang

retrosternal dan penonjolan ruang interkostal. Dapat terlihat bercak konsolidasi yang tersebar

pada sekitar 30 % penderita dan disebabkan oleh ateletaksis akibat obstruksi atau karena radang

alveolus.

8

Gambar 2. Tampak gambaran hyperaerated, patchy infiltrates, diafragma mendatar.

Page 9: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

- Identifikasi virus dengan memeriksa sekresi nasal dengan menggunakan tekhnik

imunofluoresens atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA)

- Histopatologi: hipertrofi dan timbunan infiltrat meluas ke peribronkial, destruksi dan

deorganisasi jaringan otot dan elastis dinding mukosa. Terminal bronkiolus tersumbat dan

dilatasi. Alveoli overdistensi, atelektasis dan fibrosis. Sensifitas pemeriksaan ini adalah 80-

90%.

9

Gambar 3. Hyperexpanded lung fields, bilateral interstitial densities, and atelectasis of the right upper lobe.

Gambar 4. Hyperaerated Lung, Infiltrate at the upper part of right hemithorax

Page 10: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

I. DIAGNOSIS1,2,4,9

Dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan

pemeriksaan penunjang lainnya.

1. Anamnesis

Gejala awal berupa gejala respiatori atas akibat virus, seperti pilek ringan, batuk dan demam.

Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk yang disertai dengan sesak napas. Selanjutnya dapat

ditemukan wheezing, sianosis, merintih (grunting), napas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel

dan penurunan nafsu makan.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang mengarah ke diagnosis bronkhiolitis adalah adanya takipnea,

takikardia, dan peningkatan suhu di atas 38,5 C. selain itu, dapat juga ditemukan konjungtivitis

ringan dan faringitis.

Obstruksi saluran respiratori bawah akibat respons inflamasi akut akan menimbulkan gejala

ekspirasi memanjang hingga wheezing. Usaha-usaha pernapasan yang dilakukan anak untuk

mengatasi obstruksi akan menimbulkan napas cuping hidung dan retraksi interkostal. Selain itu,

dapat juga ditemukan ronki dari pemeriksaan auskultasi paru. Sianosis dapat terjadi, dan bila

gejala menghebat, dapat terjadi apnea, terutama pada bayi berusia < 6 bulan.

3. Pemeriksaan Laboratorium dan Pemeriksaan Penunjang

Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung lekosit biasanya normal. Pada pasien dengan

peningkatan lekosit biasanya didominasi oleh PMN dan bentuk batang. Analisa gas darah dapat

menunjukkan adanya hipoksia akibat V/Q mismatch dan asidosis metabolik jika terdapat

dehidrasi.

Gambaran radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan. Umumnya terlihat

paru-paru mengembang (hyperaerated). Bisa juga didapatkan bercak-bercak yang tersebar,

mungkin atelektasis (patchy atelectasis ) atau pneumonia (patchy infiltrates). Pada x-foto lateral,

didapatkan diameter AP yang bertambah dan diafragma tertekan ke bawah. Pada pemeriksaan x-

foto dada, dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan: siluet jantung yang menyempit,

10

Page 11: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

jantung terangkat, diafragma lebih rendah dan mendatar, diameter anteroposterior dada

bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga horisontal, pembuluh darah paru tampak tersebar.

Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi atau bilasan

nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi memerlukan waktu yang lama, dan

hanya memberikan hasil positif pada 50% kasus. Ada cara lain yaitu dengan melakukan

pemeriksaan antigen RSV dengan menggunakan cara imunofluoresen atau ELISA. Sensitifitas

pemeriksaan ini adalah 80-90%.

Beratnya penyakit ditentukan berdasarkan skala klinis. Digunakan berbagai skala klinis,

misalnya Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI) atau modifikasinya yang

mengukur laju pernapasan/respiratory rate (RR), usaha napas, beratnya wheezing dan oksigenasi.

Skala klinis yang digunakan Abul-Ainie dan Luyt, adalah:

a. Respiratory rate (RR): dihitung manual, baik dengan palpasi dan melihat gerakan dada,

dilakukan selama 1 menit penuh, dua kali penghitungan dan diambil rata-ratanya.

b. Heart rate (HR): diambil dari pulse oxymetry yang dibaca lima kali selama 1 menit, diambil

rata-ratanya.

c. Saturari O2: diambil dari pulse oxymetry yang dibaca lima kali selama pengamatan 1 menit

dan diambil rata-ratanya.

d. Respiratory clinical status yang dinilai menggunakan RDAI menurut Lowell dkk.

e. Status aktivitas bayi (empat tingkat: tidur, tenang, rewel, dan menangis)

Sedangkan Shuh, yang diadaptasi oleh Dobson, menilai skor klinis sebagai berikut:

1. Keadaan umum: diberik skor 0 (tidur) hingga 4 (sangat rewel).

2. Penggunaan otot bantu napas: skor 0 (tidak ada retraksi) hingga 3 (retraksi berat).

3. Wheezing: skor 0 (tidak ada) hingga 3 (wheezing hebat inspiratorik dan ekspiratorik).

11

Page 12: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

Tabel 2. Skor Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI)

J. DIAGNOSIS BANDING1,4,5

¨ Asma bronchial

Terdapat riwayat keluarga asma, episode berulang pada bayi yang sama, mulainya

mendadak tanpa infeksi yang mendahului, ekspirasi sangat memanjang, eosinofilia dan

respons perbaikan segera pada pemberian satu dosis albuterol aerosol.

¨ Pneumonia

Terdapat gejala batuk dengan napas cepat, tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam,

adanya demam, crackels/ronkhi, pernapasan cuping hidung dan grunting/merintih.

¨ Aspirasi benda asing

Adanya gejala dengan riwayat tersedak atau wheezing tiba-tiba, wheezing umumnya

umumnya unilateral, adanya Air trapping dengan hipersonor dan pergeseran mediastinum,

dan tanda kolaps paru.

¨ Miokarditis

K. KOMPLIKASI11

Komplikasi dari bronkiolitis sangat minimal dan tergantung dari penatalaksanaan penyakit

sebelumnya.  Pada beberapa kasus didapatkan adanya gangguan fungsi paru yang menetap,

dimana timbulnya whezing berulang dan hiperaktifitas bronkial. Beberapa

12

Page 13: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

studi kohort menghubungkan infeksi bronkiolitis akut berat pada bayi akan berkembang

menjadi asma. Suau studi kohort prospektif menemukan bahwa 23 % bayi dengan

riwayat bronkhiolitis berkembang menjadi asma pada usia 3 tahun, dibandingkan

dengan 1 % pada kelompok kontrol.(4)

L. PENATALAKSANAAN1,16,17

Infeksi virus RSV biasanya sembuh sendiri (self limited) sehingga sebagian

besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu pemberian

oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena dan kecukupan cairan,

penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan respirasi bila perlu, dan

nutrisi. Setelah itu barulah digunakan bronkodilator, antiinflamasi seperti kortikosteroid, antiviral

seperti ribavirin, dan pencegahan dengan vaksin RSV, RSV immunoglobuline(polyclnal) atau

humanized RSV monoclonal antibody (palvizumad).

Bronkiolitis ringan biasanya bisa rawat jalan dan perlu diberikan cairan peroral yang

adekuat. Bayi dengan bronkiolitis sedang sampai berat harus dirawat inap.

Penderita resiko tinggi harus dirawat inap, diantaranya: berusia kurang dari 3

bulan, prematur, kelainan jantung, kelainan neurologi, penyakit paru kronis,

defisiensi imun dan distres napas.

Manajemen dasar pengobatan bronkiolitis adalah meyakinkan pasien secara klinis stabil,

oksigenasi baik dan hidrasi baik.

Manfaat utama dari rawat inap bagi pasien dengan akut bronkiolitis adalah :

-     Dapat melakukan pengawasan terhadap status klinis

-     Dapat melakukan pemantauan saluran nafas (melalui penempatan posisi, pengisapan

dan pembersihan cairan).

-      Dapat melakukan pemantauan hidrasi cairan tubuh yang adekuat

-      Dapat memberikan edukasi kepada orang tua.

-      Mendeteksi dan mengobati komplikasi yang mungkin timbul

-      Mencegah penyebaran infeksi terhadap pasien lain dan pegawai

-     Melakukan pengobatan menggunakan antivirus yang spesifik jika terdapat indikasi.

Indikasi-indikasi untuk perawatan di rumah sakit :

13

Page 14: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

-    Tanda klinis gangguan pernafasan atau tanda kelelahan

-    Apnoe

-    Ketidakmampuan untuk makan

-    Hypoksemia

-    Pasien dengan kondisi dasar medis.

Pengobatan Suportif

A.    Pengawasan

Untuk pasien yang dirawat inap penting dilakukan pengawasan sistem jantung paru

dan jika ada indikasi dilakukan pemasanag pulse oxymetri.

B.     Oksigenasi

Oksigenasi sangat penting untuk menjaga jangan sampai terjadi hipoksia, sehingga

memperberat penyakitnya. Hipoksia terjadi akibat gangguan perfusi ventilasi paru-

paru. Pemberian oksigen tambahan direkomendasikan ketika saturasi oksigen

menetap dibawah 91% dan dihentikan ketika saturasi oksigen menetap diatas 94%.

Oksigenasi dengan kadar oksigen 30 – 40 % sering digunakan untuk mengoreksi

hipoksia, gunakan nasal kanul (dengan kecepatan maksimun 2L/m);

masker muka atau kotak kepala. Jika mungkin gunakan oksigen yang

dilembabkan. Jika hipoksemia menetap dengan atau tanpa distress berat, meskipun

sudah diberikan oksigen dengan kecepatan tinggi, maka segera lakukan permintaan

untuk penangan ICU anak dengan pemasangan ventilator.

C.     Pengaturan Cairan

Pemberian cairan sangat penting untuk mencegah dehidrasi akibat keluarnya cairan

lewat evaporasi, karena pernafasan yang cepat dan kesulitan minum. Jika tidak

terjadi dehidrasi diberikan cairan rumatan. Berikan tambahan cairan 20 % dari

kebutuhan rumatan jika didapatkan demam yang naik turun atau menetap (suhu >

38,5  0C). Cara pemberian cairan ini bisa secara intravena atau pemasangan selang

nasogastrik. Akan tetapi harus hati-hati pemberian cairan lewat lambung karena

dapat terjadi aspirasi dan menambah sesak nafas, akibat lambung yang terisi cairan

dan menekan diafragma ke paru-paru. Selain itu harus dicegah terjadinya overload

14

Page 15: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

cairan.

Lakukan pemeriksaan serum elektrolit dan jika mendapatkan nilai yang tidak

normal lakukan penggantian dengan cairan elektrolit.

Bayi > 1 bulan : infus dekstrose 10% : NaCL 0,9% = 3:1 + KCl 10 mEq/500 ml

cairan

Neonatus : infus dekstrose 10 % : NaCl 0,9 % = 4:1 + KCl 10 mEq/500 ml

Pengobatan Medikamentosa

A.  Antivirus (Ribavirin)

Bronkiolitis paling banyak disebabkan oleh virus sehingga ada pendapat untuk

mengurangi beratnya penyakit dapat diberikan antivirus.

Ribavirin adalah obat antivirusyang bersifat virus statik. The American of Pediatric

merekomendasikan penggunaan ribavirin pada keadaan diperkirakan penyakitnya

menjadi lebih berat seperti pada penderita bronkiolitis dengan kelainan

jantung, fibrosis kistik, penyakit paru-paru kronik, immunodefisiensi, dan pada

bayi-bayi premature. Ada beberapa penelitian prospektif tentang penggunaan

ribavirin pada penderita bronkiolitis dengan penyakit jantung dapat menurunkan

angka kesakitan dan kematian jika diberikan pada saat awal.

Penggunaan ribavirin biasanya dengan cara nebulizer aerosol 12-18 jam per hari atau

dosis kecil dengan 2 jam 3 x/hari.

B.  Bronkodilator

Secara umum jangan gunakan bronkodilator pada pasien anak dengan usia dibawah 6

bulan. Bronkodilator juga tidak dianjurkan dan sebetulnya merupakan kontra indikasi

karena dapat memperberat keadaan anak. Penderita dapat menjadi lebih gelisah dan

keperluan oksigen akan meningkat.

Wohl dan Chernick menyatakan bahwa penyebab obstruksi saluran respiratory adalah

inflamasi dan penyempitan akibat edema mukosa dan sumbatan mukosa, serta

kolapsnya saluran respiratori kecil pada bayi dengan bronkiolitis, sehingga

pendekatan logis terapi adalah kombinasi α-adrenergik dan agonis β-adrenergik.

15

Page 16: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

Kelebihan epinefrin dibandingkan dengan bronkodilator β-adrenergik selektif adalah :

-     Kerja konstriktor α-adrenergik yang merupakan dekongestan mukosa, membatasi

absorbsinya dan mengatur aliran darah pulmoner, dengan sedikit efek pada

ventilation perfusing matching.

-     Relaksasi otot bronkus karena efek β-adrenergik

-     Kerja β-adrenergik menekan pelepasan mediator kimiawi

-     Efek fisiologik antihistamin yang melawan efek histamin seperti edema

-    Mengurangi sekresi kataral.

Beta–agonis masih sering digunakan dengan alasan 15 – 25 % pasien bronkiolitis

nantinya akan menjadi asma. Inhalasi β2-agonis diberikan satu kali sebagai trial dose.

Karena efek akan tampak dalam 1 jam, maka dosis ulangan akan diberikan bila pasien

menunjukkan perbaikan klinis fungsi paru yang jelas dan menetap.

C.  Kortikosteroid

Untuk pasien rawat jalan dengan akut bronkiolitis pemberian steroid sistemik

mungkin dapat dipertimbangkan tetapi total pemberian tidak lebih dari 5 hari. Dapat

diberikan deksametason 0,5 mg/kgBB dilanjutkan 0,5 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis.

Untuk pasien rawat inap steroid sistemik tidak rutin diberikan. Sedangkan

untuk penanganan pasien pada intensive care unit dengan bronkiolitis berat

pemberian steroid sistemik dapat dipertimbangkan. Sedangkan pemberian steroid

inhalasi (budesonide & Fluticasone) sangat sedikit evidence based yang

merekomendasikan.

D.  Antibiotik

Pemberian antibiotik biasanya tidak diperlukan pada penderita bronkiolitis, karena

sebagian besar disebabkan oleh virus, kecuali jika ada tanda-tanda infeksi sekunder

dapat diberikan antibiotik spektrum luas.

Pemberian antibiotik justru akan meningkatkan infeksi sekunder oleh kuman yang

resisten terhadap antibiotik tersebut.

Antibiotik bila dicurigai adanya infeksi bakteri dapat digunakan ampisilin 100-200

mg/kgBB/hr secara intravena dibagi 4 dosis. Bila ada konjungtivitis dan bayi berusia

1 – 4 bulan kemungkinan sekunder oleh Chlamidia trachomatis.

16

Page 17: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

Pengobatan Intensive Care Unit

Dilakukan konsultasi untuk perawatan pada ICU anak jika :

-    Terjadi progresivitas untuk gangguan pernafasan berat terutama pada kelompok yang

beresiko.

-    Terdapat episode apnoe yang signifikan dengan gangguan saturasi atau adanya

frekuensi pernafasan pendek lebih dari 15 detik.

-    Saturasi oksigen rendah yang menetap

-    Ketika pemeriksaan analisa gas darah telah selesai dan menggambarkan gangguan

pernafasan dimana pada darah arteri didapatkan : pO2 > 50 mmHg; pH 5,12

Tabel 3.

Penatalaksanaan Bronkiolitis Berdasarkan Berat Ringannya Gejala

Bronkiolitis

Ringan Sedang Berat

-     Tidak memerlukan

penilaian lebih lanjut

-      Perawatan dirumah,

jika orang tua pasien

mampu dan sudah

dijelaskan keadaannya

-      Berobat ulang ke

dokter setelah 2 – 3 hari

kemudian

 

-     Perawatan di rumah sakit

-      Berikan oksigen

sehingga saturasi oksigen

> 93 %

-     Pertimbangkan

pemberian cairan

intravena

-     Pengamatan seksama

terhadap perburukan

kondisi

-     Foto thorak

-    Aspirasi nasopharyngeal

untuk virus

imunoflurorecency

dan kultur

-    Perawatan di rumah sakit

-     Pemberian oksigen sampai

saturasi oksigen > 95 %

-     Pengamatan seksama untuk

antisipasi kemungkinan

memerlukan intubasi dan

pemakaian ventilator

-     Berikan cairan intravena

-     Monitor system

cardiorespiratori

-    Foto thorak

-    Aspirasi nasopharyngeal

untuk virus

imunoflurorecency

dan kultur

-   Pertimbangkan pengawasan

gas pembuluh darah arteri

17

Page 18: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

-    Pertimbangkan untuk

konsultasi perawatan ICU

anak.

Kriteria Pulang

Pasien direkomendasikan pulang dengan kriteria :

-    Status pernafasan

o  Laju pernafasan kurang dari 70 kali dalam 1 menit dan tidak didapatkan tanda

klinis usaha pernafasan lebih

o  Orang tua dapat membersihkan saluran pernafasan anak dengan menggunakan alat

sedot gelembung.

o  Pasien dapat berada dalam ruang dengan udara bebas dengan oksigen terapi yang

stabil.

o  Saturasi oksigen harus lebih dari 90% tanpa pemberian oksigen tambahan kecuali

anak dengan penyakit paru kronis, penyakit jantung atau mempunyai faktor resiko

lain harus dilakukan diskusi terlebih dahulu dengan konsultan.

-   Status nutrisi

o Pasien dapat makan melalui mulut pada tingkatan dapat mencegah dehidrasi

-    Sosial

o  Peralatan dirumah mampu untuk digunakan dalam perawatan dirumah

o  Orang tua atau penjaga anak mampu untuk melakukan perawatan dirumah

o  Dilakukan edukasi keluarga yang lengkap

-     Peninjauan lebih lanjut

o  Ketika ada indikasi, perawat rumah dan penyedia alat medis harus melakukan visit

terakhir.

o Pemberi pertolongan utama harus memberikan persetujuan untuk pemulangan

o Kontrol untuk peninjauan lebih lanjut harus dilakukan.

Edukasi Keluarga

Dilakukan pada saat pasien akan dipulangkan. Yaitu dengan memberitahukan :

18

Page 19: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

-    Informasi mengenai penyakit bronkiolitis

-    Bagaimana cara membersihkan jalan nafas dengan menggunakan penghisap

gelembung.

-    Segera memanggil bantuan atau membawa pasien ke rumah sakit kembali jika

didapatkan gangguan pernafasan

-    Cara pencegahan penyakit dan penyebarannya dengan menghindari anak dari paparan

asap rokok ataupun zat yang mengiritasi lainnya, melakukan cuci tangan, dll.

19

Page 20: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 5. Algoritma tatalaksana Bronkiolitis Berdasarkan scoring RDAI

M. PENCEGAHAN1,4

Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok dan polusi

udara, membatasi penularan terutama dirumah sakit misalnya dengan membiasakan cuci tangan 20

Page 21: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

dan penggunaan sarung tangan dan masker, isolasi penderita, menghindarkan bayi/anak kecil

dari tempat keramaian umum, pemberian ASI, menghindarkan bayi/anak kecil dari kontak

dengan penderita ISPA.

Langkah preventif yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian imunisasi aktif

(Vaksinasi) dan pasif (Immunoglobulin).

Immunoglobulin

Imunisasi pasif dapat dilakukan dengan pemberian gammaglobulin yang

mengandung titer antibodi protektif tinggi (respigram). Respigram adalah human

polyclonal hyperimmune globilin. Dosis yang dianjurkan 750 mg/KgBB setiap bulan,

diberikan secara intravena pada anak dibawah umur 24 bulan. Indikasi lain adalah bayi

yang lahir dengan umur kehamilan kurang dari 35 minggu.

Pendekatan profilaksis pada populasi resiko tinggi adalah meningkatkan

(augmentation) antibodi yang menetralisasi protein F dan G dengan cara pemberian dari

luar dan imunisasi dari ibu. Pada manusia, efek imunoglobulin yang mengandung

neutralizing antibody titer tinggi atau monoklonal terhadap protein F akan mengurangi

beratnya penyakit. Bila pada bayi premature atau bayi dengan penyakit paru kronis

diberikan RSV hyperimmune globulin atau antibodi monoklonal terhadap protein F yang

disebut dengan Palivizumab setiap bulan, diberikan secara intramuskular setiap hari, lama

perawatan RSV akan berkurang secara bermakna. Palivizumab adalah humanized murine

monoclonal anti-F glycuprotein antibody, yang mencegah masuknya RSV kedalam sel

host. Akan tetapi resiko efek samping kemungkinan meningkat pada bayi dengan

penyakit jantung sianotik. AAP merekomendasikan profilaksis boleh diberikan hanya

pada bayi dengan resiko tinggi yang tidak menderita penyakit jantung sianotik.

Vaksinasi

Sesudah penelitian dengan vaksin inaktif, dikembangkan vaksin live attenuated.

Vaksin RSV pertama, yang terdiri dari cold – passaged mutan, efektif untuk

orang dewasa, tetapi pada anak terlalu virulen dan tidak stabil karena dapat berubah

menjadi virus biasa kembali. Kemudian dari permukaan glikoprotein murni,

dikembangkan DNA dan peptik sintetik. Vaksin live – attenuated mempunyai

21

Page 22: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

kelebihan, yaitu dapat diberikan intranasal dan menginduksi imunitas mukosa dan

sistemik.

Dianjurkan pemberian live attentuated RSV dan PIV3 (Parainfluenza virus

serotipe 3) sebagai vaksin kombinasi sebanyak dua atau tiga kali dengan dosis pertama

sebelum atau pada usia 1 bulan diikuti dengan vaksin bivalen PIV1 dan PIV2 pada usia

4-6 bulan.

H. PROGNOSIS

Prognosis tergantung berat ringannya penyakit, cepatnya penanganan, dan penyakit latar

belakang (penyakit jantung, defisiensi imun, prematuritas). Anak biasanya dapat mengatasi

serangan tersebut sesudah 48 – 72 jam. Mortalitas kurang dari 1 %.

Anak biasanya meninggal karena jatuh ke dalam apneu yang lama, asidosis respiratorik

yang tidak terkoreksi atau karena dehidrasi yang disebabkan oleh takipneu dan kurang

makan-minum.

Penelitian di Norwegia menunjukkan bahwa bayi yang dirawat dengan bronkhiolitis

mempunyai kecendrungan menderita asma dan penurunan fungsi paru pada usia 7 tahun

dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan adanya hipereaktifitas bronkhial yang

menetap selama beberapa tahun setelah menderita bronkiolitis pada bayi muda, baik para RSV

positif, maupun RSV negatif. Tidak dapat dibuktikan secara jelas bahwa

bronkiolitis terjadi pada anak dengan kecendrungan asma, keberhasilan

pengobatan dengan kortikosteroid mungkin dapat mengurangi prevalens asma pada

anak dari kelompok pengobatan.

22

Page 23: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

BAB III

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien:

Nama lengkap : By. Martina

Tempat dan tanggal lahir : Praya, 3 Agustus 2011

Umur : 1 tahun 6 bulan

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Praya, Lombok Tengah

Identitas keluarga : Anak kandung

Ibu Ayah

Nama Ny. N Tn. R

Umur 25 tahun 34 tahun

Pendidikan/Berapa tahun SMP SMP

Pekerjaan IRT Tani

Masuk RS tanggal : 29-01-2013

Diagnosis Masuk : bronkhiolitis

23

Page 24: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

I. ANAMNESIS (tanggal 28-01-2013, diberi tahu oleh pasien dan orangtua pasien)

Keluhan Utama : sesak

1. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke Rumah Sakit Umum Praya dengan dikeluhkan mengalami sesak nafas

sejak ± 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak yang dikeluhkan semakin hari semakin

memberat. Sebelum timbulnya sesak pasien juga dikeluhkan mengalami batuk-batuk

sejak ± 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk dikeluhkan disertai dengan dahak

namun sulit keluar. Pasien juga dikeluhkan mengalami pilek yang timbulnya bersamaan

dengan keluhan batuk. Selain itu pasien juga dikeluhkan mengalami demam sejak ± 4

hari yang lalu (timbulnya bersamaan dengan timbulnya batuk), demam dikeluhkan naik

turun. Apabila pasien diberikan minum obat, demam turun dan beberapa jam setelahnya

demam naik kembali.

Makan dan minum masih kuat, namun saat timbul sesak makan minum mulai berkurang

dan nafsu makan mulai menurun. Riwayat BAB (+), namun dikeluhkan BAB keras

dikarenakan sejak timbulnya sesak napas pasien hanya BAB 1 kali saat di Rumah Sakit.

BAK (+) normal dengan frekuensi 4-5 kali per hari berwarna kuning jernih, darah (-).

2. Riwayat Penyakit Sebelumnya :

Riwayat sesak sebelumnya disangkal, jika mengalami batuk-pilek pasien hanya

mengalami keluhan tersebut selama beberapa hari dan tanpa minum obat pasien dapat

sembuh.

Riwayat alergi makanan/obat disangkal

3. Riwayat penyakit keluarga dan sosial

Riwayat sesak napas pada keluarga yang tinggal serumah, keluarga lain, tetangga

sekitar dan teman-teman pasien disangkal

Riwayat asma didalam keluarga pasien (-).

Riwayat sesak napas, sering bersin pagi hari pada keluarga disangkal

Riwayat alergi obat/makanan disangkal

24

Page 25: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

4. Riwayat keluarga (ikhtisar)

Pasien adalah anak kedua dari dua bersaudara.

5. Riwayat Pengobatan

Di rumah pasien diberikan obat penurun panas dan obat batuk yang dibelinya di

apotik, namun keluhan pasien tidak membaik.

Riwayat Pribadi

1. Riwayat kehamilan dan persalinan

- Ibu pasien rutin ANC di Puskesmas, frekuensi >4 x.

- Riwayat sakit berat selama hamil (-). Riwayat minum obat-obatan selama hamil: ibu

lupa

- Riwayat konsumsi obat penambah darah dari Puskesmas (+) sejak bulan pertama

kehamilan sampai menjelang persalinan

- Selama ANC, tidak ditemukan kelainan pada janin atau ibu (riwayat perdarahan,

muntah berlebihan, demam selama kehamilan disangkal; bidan juga mengatakan letak

dan perkembangan janin normal)

- Pasien lahir spontan di Puskesmas, ditolong Bidan, Lahir cukup bulan dengan berat

lahir 2.800 gram. Lahir langsung menangis, riwayat biru setelah lahir (-), kuning

setelah lahir (-).

2. Riwayat nutrisi

ASI ekslusif (+) sampai usia 6 bulan dan > 6 bulan pasien sudah diberikan PASI.

Saat ini pasien sudah mulai berikan makan nasi biasa oleh orang tuanya.

Makan minum menurun sejak keluhan sesak datang. Makan yang biasanya 3 kali

dalam sehari, saat ini menjadi hanya sampai 2 kali dalam sehari dengan jumlah

yang sedikit.

25

Page 26: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

3. Perkembangan dan kepandaian

Saat ini pasien sudah bias berjalan dan berlari, dan perkembangannya normal seperti

teman-teman seusianya.

4. Vaksinasi :

A. Dasar B. Ulangan

BCG : (+) pada umur: ibu lupa

Hepatitis : 2x pada umur: ibu lupa

Polio : 3x, pada umur: lupa Pada umur :

DPT : (+) pada umur: lupa Pada umur :

Campak : 9 bulan

o Orangtua mengaku pasien telah mendapatkan imunisasi dasar lengkap

o Riwayat imunisasi ulangan/lainnya disangkal

5. Sosial ekonomi dan lingkungan

Keluarga pasien termasuk Sosial-ekonomi rendah, bapak pasien bekerja sebagai petani

dengan penghasilan perbulan tidak tentu sekitar Rp. 500.000-800.000 perbulan.

Pasien tinggal berempat bersama orang tuanya.

Ayah pasien adalah perokok aktif (4-5 batang perhari) dan sering merokok di dekat

pasien.

Pasien tinggal di daerah perkampungan yang jarak antar rumah saling berdekatan

(halaman sempit). Rumah pasien berdinding tembok, beratap genteng, lantai semen,

jumlah kamar 3 dengan ukuran 3x3 m, ventilasi ruangan sedikit, sirkulasi udara kurang,

pencahayaan kurang. Dapur dan kamar mandi terpisah dari rumah, memasak

26

Page 27: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

menggunakan kompor minyak, asap kompor sampai ke dalam rumah. Sumber air untuk

MCK dari air sumur. Air minum dari air PAM, diakui dimasak dulu.

27

Page 28: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

II. PEMERIKSAAN FISIK (tanggal 29-01-2013)

Status Present

KU : Lemah

Kes : Compos Mentis

RR : 60 x/menit, tipe : torakoabdominal

Nadi : 160 x/menit, isi dan tegangan cukup, teratur.

T ax : 37,1 oC.

CRT : <2 detik.

Status Gizi

Berat badan : 10 kg, Panjang badan : 76 cm

BB/TB : -2 SD s/d +2 SD Gizi baik

BB/U : -2 SD s/d +2 SD BB Normal

TB/U : -2 SD s/d +2 SD TB Normal

Edema: (-)

Kesimpulan status gizi : Gizi Baik

Status General :

o Kepala dan Leher :

Kepala : Bentuk : normosefali

UUB : datar, belum menutup

UUK : datar, belum menutup

Rambut : Warna : hitam

Tebal/tipis : tebal

Jarang/tidak (distribusi) : tidak jarang28

Page 29: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

Alopesia : tidak ada

Mata : Palpebra : tidak edema

Alis & bulu mata : tidak mudah dicabut

Konjungtiva : tidak anemis

Sklera : tidak ikterik

Produksi air mata : cukup

Pupil : Diameter : 3 mm/3 mm

Simetris : isokor, normal

Reflek cahaya : +/+

Kornea : jernih

Telinga : Bentuk : simetris

Sekret : tidak ada

Serumen : minimal

Nyeri : tidak ada

Hidung : Bentuk : simetris

Pernafasan cuping hidung : Ada

Epistaksis : tidak ada

Sekret : tidak ada

Mulut : Bentuk : normal

Bibir : mukosa bibir kering, sianosis tidak ada

Gusi : - tidak mudah berdarah

29

Page 30: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

- pembengkakan tidak ada

Lidah : Bentuk: normal

Pucat/tidak : tidak pucat

Tremor/tidak : tidak tremor

Kotor/tidak : tidak kotor

Warna : kemerahan

Faring : Hiperemi : tidak Ada

Edema : tidak ada

Membran/pseudomembran : (-)

Tonsil : Pembesaran : tidak ada

Abses/tidak : tidak ada

Membran/pseudomembran : (-)

Leher :

Vena Jugularis : Pulsasi : tidak terlihat

Tekanan : tidak meningkat

Pembesaran kelenjar leher : tidak Ada

Kaku kuduk : tidak ada

Massa : tidak ada

Tortikolis : tidak ada

o Thorak :

30

Page 31: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

Dinding dada/paru :

Inspeksi : Bentuk : simetris

Retraksi : Ada

Dispnea : Ada

Pernafasan : Abdomino-thorakal

Palpasi : kesan simetris, massa (-)

Perkusi : sonor/sonor

Auskultasi : Suara Napas Dasar : Suara napas vesikuler

Suara Napas Tambahan : Rhonki (±/±), Wheezing (+/+) hampir

pada seluruh kedua lapang paru.

Jantung :

Inspeksi : Iktus : tidak terlihat

Palpasi : Apeks : tidak teraba

Thrill : tidak ada

Perkusi : Batas kanan : ICS IV LPS dextra

Batas kiri : ICS V LMK sinistra

Batas atas : ICS II LPS dextra

Auskultasi :

Frekuensi : 110 x/menit

Suara dasar : S1 dan S2 tunggal

Bising : tidak ada

o Abdomen

31

Page 32: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

Inspeksi : Bentuk : datar,

tampak depan : proporsi perut lebih besar daripada pinggul dan paha

tampak samping : bantalan bokong tebal

tampak belakang : baggy pants (-)

Palpasi : Hati : tidak teraba

Lien : tidak teraba

Ginjal : tidak teraba

Massa : tidak ada

Perkusi : Timpani/pekak : timpani

Asites : tidak ada

Auskultasi : bising usus (+) normal

o Anggota Gerak:

Tungkai Atas Tungkai Bawah

Kanan Kiri Kanan Kiri

Akral hangat + + + +

Edema - - - -

Pucat - - - -

Kelainan bentuk - - - -

Pembengkakan

Sendi

- - - -

32

Page 33: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

Pembesaran KGB

Leher

Axilla

Inguinal

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

o Kulit : Ikterus (-), pustula (-), peteki (-), sklofuloderma (-)

o Urogenital : Laki-laki dan tidak tampak kelainan

o Vertebrae : tidak tampak kelainan

III. RESUME

Pasien anak perempuan usia 1 tahun 6 bulan datang ke Rumah Sakit Umum Praya dengan

keluhan sesak nafas sejak ± 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak yang dikeluhkan semakin

hari semakin memberat. Sebelum timbulnya sesak pasien juga dikeluhkan mengalami batuk-

batuk sejak ± 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk dikeluhkan disertai dengan dahak namun

sulit keluar. Pasien juga dikeluhkan mengalami pilek yang timbulnya bersamaan dengan keluhan

batuk. Selain itu pasien juga dikeluhkan mengalami demam sejak ± 4 hari yang lalu (timbulnya

bersamaan dengan timbulnya batuk), demam dikeluhkan naik turun. Apabila pasien diberikan

minum obat, demam turun dan beberapa jam setelahnya demam naik kembali.

Makan dan minum masih kuat, namun saat timbul sesak makan minum mulai berkurang

dan nafsu makan mulai menurun. Riwayat BAB (+), namun dikeluhkan BAB keras dikarenakan

sejak timbulnya sesak napas pasien hanya BAB 1 kali saat di Rumah Sakit. BAK (+) normal

dengan frekuensi 4-5 kali per hari berwarna kuning jernih, darah (-). Dan didalam keluarga

pasien tidak ada yang mengalami keluhan sesak seperti pasien saat ini.

Didapatkan keadaan umum dalam keadaan sedang, kesadaran kompos mentis, N :110

x/menit, RR: 60x/menit, T: 37,1 ºC, CRT <2 detik, status gizi : gizi baik. Pada pemeriksaan fisik

pernapasan cuping hidung, adanya retraksi, rhonki (+), wheezing (+) pada hampir seluruh

lapang paru.

33

Page 34: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tanggal 28/01/2013

o Darah Lengkap

WBC : 10,7 x103/ᵤL N = 4x103 – 11x103/ᵤL

RBC : 3,27 x106/ᵤL N = 3,5x106 – 5,0x106/ᵤL

HGB : 10 g/dl N = 12 – 16 g/dl

HCT : 30,1 % N = 37 – 48%

MCV : 64,2 fL N = 82 – 95 fL

MCH : 19,3 pg N = 27 - 31 pg

MCHC : 30,1 % N = 32-36 %

PLT : 480 x103/ᵤL N = 150x103 – 400x103/ᵤL

V. DIAGNOSIS KERJA

Bronkiolitis

o DD : Pneumonia Berat

Anemia ringan hipokromik mikrositik ec Anemia def. Fe

VII. RENCANA AWAL

Rencana terapi :

o O2 2 lt/mnt

o Infus D5 ¼ NS 1000 cc/hari = 40 tpm micro

o Inj. Ampicilin 500 mg/8 jam

o Inj. Dexametasone 2 mg/12 jam

o Paracetamol syr. 100 mg/4 jam, jika suhu > 37,5 C

o Nebulisasi dengan Ventolin /6 jam

BAB IV

KESIMPULAN

34

Page 35: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

     

Bronkhiolitis adalah penyakit IRA – bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada

bronkiolus. yang sering di derita bayi dan anak kecil yang berumur kurang dari 2 tahun.

Bronkiolitis sebagian besar disebabkan oleh Respiratory syncytial virus(RSV), penyebab lainnya

adalah parainfluenza virus, Eaton agent (mycoplasma pneumoniae), adenovirus dan beberapa

virus lainnya. Tetapi belum ada bukti kuat bahwa bronkhiolitis disebabkan oleh bakteri.

Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratory tersering pada bayi. Paling sering

terjadi pada usia 2 – 24 bulan, puncaknya pada usia 2 – 8 bulan. Sebanyak 11,4

% anak berusia dibawah 1 tahun dan 6 % anak berusia 1 – 2 tahun di AS pernah

mengalami bronkhiolitis. Penyakit ini menyebabkan 90.000 kasus perawatan di

rumah sakit dan menyebabkan 4500 kematian setiap tahunnya.

Faktor resiko terjadinya bronkiolitis adalah jenis kelamin laki-laki, status sosial ekonomi

rendah, jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif, berada pada tempat penitipan anak

atau ke tempat-tempat umum yang ramai, rendahnya antibodi maternal terhadap RSV, dan bayi

yang tidak mendapatkan air susu ibu.

Bronkiolitis secara klinis ditandai dengan pernafasan cepat, retraksi dinding dada dan

whezing. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan

laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya, berdasarkan gambaran klinis, umur penderita

dan adanya epidemi RSV di masyarakat

Diagnosis banding sebaiknya dipikirkan, misalnya asma bronkiale serangan pertama,

pneumonia, aspirasi benda asing, refluks gastroesophageal, sistik fibrosis, miokarditis.

Infeksi virus RSV biasanya sembuh sendiri (self limited) sehingga sebagian besar

tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu pemberian oksigen, minimal handling

pada bayi, cairan intravena dan kecukupan cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi

oksigen minimal, tunjangan respirasi bila perlu, dan nutrisi. Setelah itu baru pemberian

medikamentosa

Komplikasi dari bronkiolitis sangat minimal dan tergantung dari penatalaksanaan penyaki

sebelumnya.  Pada beberapa kasus didapatkan adanya gangguan fungsi paru yang menetap,

dimana timbulnya whezing berulang dan hiperaktifitas bronkial. Pencegahan dengan imunisasi

aktif dan pasif serta menghindari penyebaran virus RSV. Prognosis tergantung berat ringannya

35

Page 36: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

penyakit, cepatnya penanganan, dan penyakit latar belakang (penyakit jantung,defisiensi imun,

prematuritas).

Dari kasus yang didapatkan kami menyimpulkan bahwa pasien didiagnosis dengan

bronkiolitis, dikarenakan dengan adanya onset gejala ISPA akut yang mendahului sesak napas

yang timbul yaitu batuk, pilek dan demam yang timbulnya 2 hari sebelum timbulnya sesak.

Dikatakan terjadinya bronkiolitis tersebut didahului oleh gejala ISPA seperti batuk dan pilek

yang kemudian disusul dengan adanya sesak napas.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan jumalh Respiratory rate 60 kali, adanya napas cuping

hidung, dari pemeriksaan thorak didapatkan adanya retraksi dan adanya wheezing yang jelas dari

kedua lapang paru. Namun dari pemeriksaan penunjang tidak tampak kelainan khas, dikarenakan

hanya pada pemeriksaan awal hanya dapat dilakukan pemeriksaan darah lengkap yang bernilai

tidak terlalu spesifik untuk mendiagnosis bronkiolitis. Sehingga dapat dilakukan pemeriksaan

lanjut untuk menegakkan diagnosis pasti bronkiolitis dengan uji serologi. Namun, berdasarkan

pemeriksaan tersebut dapat memperkuat diagnosis kearah bronkiolitis.

Tatalaksana yang diberikan berupa terapii oksigen 2 liter permenit dengan nasal canule

untuk membantu pemberian oksigen yang optimal, terapi cairan dengan menggunakan D5% ¼

NS 40 tetes per menit micro, terapi antibiotic ampicilin dengan dosis 500 mg/8 jam, pemberian

dexametason dengan dosis 2 mg/12 jam untuk mengurangi inflamasi yang terjadi pada saluran

nafas, pemberian paracetamol syrup dengan dosis 100 mg/4 jam atau setara dengan 1 sendok

takar, diberikan apabila suhu badan pasien > 37,5 C. Serta ditambahkan nebulisasi dengan

ventolin setiap 6 jam untuk mengencerkan dahak yang sulit keluar.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

36

Page 37: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

1. Rahajoe Nastiti N, Bambang Supriyatno, Darmawan Budi Setyanto. Buku Ajar

Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2010. Hal : 333-347.

2. Pusponegoro Hardiono D, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi

Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI.2005. Hal : 348-350..

3. Mereinstein Gerald B, David W Kaplan, Adam A Rosenberg. Buku Pegangan Pediatri.

Edisi 17. Jakarta : Penerbit Widya Medika. 2002. Hal :506-507.

4. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Nelson Textbook of Pediatric. Edisi ke-16.

Philadelphia : WB Saunders, 2000.Hal : 1112-1114; 1484-1486.

5. Garna H Herry. Pedoman Diagnosis Ilmu Kesehatan Anak. Bandung : Penerbit FK

Unpad. 2005. Hal : 400-402.

6. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD.Rudolph's Pediatrics. Edisi ke-20. California :

Prentice Hall International Inc. 1996. Page : 671-676; 1636-1638.

7. Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Pedoman Pelayanan Medis RSCM. Jakarta : Penerbit

FKUI. 2004. Hal : 465-466.

8. ”Bronkiolitis ” : overview. Didapat dari http://images.google.co.id/imgres?imgurl=.

Diakses tanggal 28 Januari 2013.

9. Bronkiolitis ” : overview. Didapat dari http://www.medicastore.com//. Diakses tanggal

28 Januari 2013.

10. “Bronchiolitis”: overview. Didapat dari http://www.rch.org.au/kidsinfo/factsheets.

Diakses tanggal 28 Januari 2013.

11. “Bronkiolitis”: overview. Didapat dari http://www.cpddokter.com/home. Diakses tanggal

28 Januari 2013.

12. “Bronchiolitis Guideline”: overview. Didapat dari http://www.rch.org.au/clinicalguide//.

Diakses tanggal 30 Januari 2013.

13. “Bronkiolitis Guideline”: overview. Didapat dari

http://www.yayasanorangtuapeduli.com// Diakses tanggal 30 Januari 2013.

14. “Bronchiolitis”: overview. Didapat dari http://www.emedicine.com// Diakses tanggal 30

Januari 2013.

15. “Bronchiolitis”: overview. Didapat dari http://www.wikipedia.com.// Diakses tanggal 30

Januari 2013.

37

Page 38: BRONKIOLITIS-TINJAUAN PUSTAKA

16. “Bronkiolitis”: overview. Didapat dari http://www.informasikesehatan.com. Diakses

tanggal 30 Januari 2013.

17. “Bronkiolitis”: overview. Didapat dari http://www.indonesiaindonesia.com. Diakses

tanggal 30 Januari 2013.

38