blighted ovum pa

32
I. PENDAHULUAN Blighted ovum (kehamilan kosong) merupakan salah satu jenis keguguran yang terjadi pada awal kehamilan. Disebut juga anembryonic pregnancy, blighted ovum terjadi ketika telur yang dibuahi berhasil melekat pada dinding rahim, tetapi tidak berisi embrio, hanya terbentuk plasenta dan kulit ketuban yang ditandai dengan adanya kantung gestasi. Kegagalan telur biasanya terjadi saat usia 6 minggu, sehingga dapat diabsorbsi kembali oleh uterus. Kasus ini terjadi ditandai dengan ancaman keguguran atau abortus sebelumnya. 1,2,3 Abortus merupakan suatu keadaan dimana terjadinya pengeluaran hasil konsepsi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat hasil konsepsi kurang dari 500 gram. Abortus merupakan komplikasi paling sering dari kehamilan dan dapat menjadi stress emosional bagi pasangan yang mengharapkan anak. Pada kehamilan yang secara klinis diketahui, angka gagalnya kehamilan sebesar 15% untuk usia gestasi 20 minggu dihitung dari haid pertama haid terakhir. Blighted ovum dianggap merupakan kejadian kromosomal random yang terjadi pada sekitar 1:5 hingga 1:10 kasus abortus. 1,2

Upload: fonda-shariff

Post on 25-Jul-2015

1.201 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Blighted Ovum PA

I. PENDAHULUAN

Blighted ovum (kehamilan kosong) merupakan salah satu jenis keguguran yang

terjadi pada awal kehamilan. Disebut juga anembryonic pregnancy, blighted

ovum terjadi ketika telur yang dibuahi berhasil melekat pada dinding rahim,

tetapi tidak berisi embrio, hanya terbentuk plasenta dan kulit ketuban yang

ditandai dengan adanya kantung gestasi. Kegagalan telur biasanya terjadi saat

usia 6 minggu, sehingga dapat diabsorbsi kembali oleh uterus. Kasus ini terjadi

ditandai dengan ancaman keguguran atau abortus sebelumnya.1,2,3

Abortus merupakan suatu keadaan dimana terjadinya pengeluaran hasil

konsepsi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat hasil konsepsi

kurang dari 500 gram. Abortus merupakan komplikasi paling sering dari

kehamilan dan dapat menjadi stress emosional bagi pasangan yang

mengharapkan anak. Pada kehamilan yang secara klinis diketahui, angka

gagalnya kehamilan sebesar 15% untuk usia gestasi 20 minggu dihitung dari

haid pertama haid terakhir. Blighted ovum dianggap merupakan kejadian

kromosomal random yang terjadi pada sekitar 1:5 hingga 1:10 kasus abortus. 1,2

Pada saat konsepsi, sel telur (ovum) yang matang bertemu sperma.

Perkembangan kehamilan dimulai dengan tumbuhnya villi korionik pada

permukaan luar blastokist dan berimplantasi ke dinding rahim. Villi

memproduksi gonadotropin yang merangsang pituitary melepaskan lutenizing

hormone (LH), yang berperan memicu corpus luteum di ovarium membentuk

progesterone dalam jumlah banyak. Normalnya, pada tingkat ini, massa inner

cell mulai membelah dan berdiferensiasi menjadi organ-organ. Sekitar usia 6

minggu, fetus mulai mengembangkan sirkulasinya, dan setelah 8 minggu villi

chorialis mengatur sirkulasi dan membentuk plasenta. Namun pada blighted

ovum, kantung amnion tidak berisi fetus yang disebabkan berbagai faktor maka

sel telur yang telah dibuahi sperma tidak dapat berkembang sempurna, dan

hanya terbentuk plasenta yang berisi cairan. Meskipun demikian plasenta

tersebut tetap tertanam di dalam rahim.5,6,7 Plasenta menghasilkan hormon hCG

Page 2: Blighted Ovum PA

2

(human chorionic gonadotropin) dimana hormon ini akan memberikan sinyal

pada indung telur (ovarium) dan otak sebagai pemberitahuan bahwa sudah

terdapat hasil konsepsi di dalam rahim. Hormon hCG yang menyebabkan

munculnya gejala-gejala kehamilan seperti mual, muntah, dan menyebabkan tes

kehamilan menjadi positif.2,3

II. ETIOLOGI

Sekitar 60% blighted ovum disebabkan kelainan kromosom dalam proses

pembuahan sel telur dan sperma. Infeksi TORCH, rubella dan streptokokus,

penyakit kencing manis (diabetes mellitus) yang tidak terkontrol, rendahnya

kadar beta-hCG serta faktor imunologis seperti adanya antibodi terhadap janin

juga dapat menyebabkan blighted ovum. Risiko juga meningkat bila usia suami

atau istri semakin tua karena kualitas sperma atau ovum menjadi turun. Teori

lain menunjukkan bahwa blighted ovum disebabkan sel telur yang normal

dibuahi sperma yang abnormal. Penyebab terjadinya blighted ovum ini sulit

dipisahkan dengan penyebab abortus pada umumnya, karena faktor-faktor

penyebab gagalnya perkembangan hasil konsepsi ini dapat mengarah ke

gagalnya mempertahankan kehamilan.3,4

A. Faktor Genetik

Abnormalitas kromosom orang tua dan beberapa faktor imunologi

berhubungan dengan blighted ovum dan abortus secara umum telah diteliti.

Pada tahun 1981 Granat dkk mendeskripsikan adanya translokasi 22/22

pada pria yang istrinya mengalami 6 kali abortus secara berurutan,. Pada

tahun 1990, Smith dan Gaha menemukan insiden yang cukup besar dari

carrier translokasi kromosom pada suatu penelitian terhadap keluarga

abortus habitualis dan didapatkan 15 balanced reciprocal translocations

dan 9 fusi robertsonian pada populasi ini. Kelainan kromosom yang paling

banyak menyebabkan abortus habitualis adalah balanced translocation

Page 3: Blighted Ovum PA

3

yang menyebabkan konsepsi trisomi. Kelainan struktural kromosom yang

lain adalah mosaicism, single gene disorder dan inverse dapat

menyebabkan abortus habitualis. Single gene disorder dapat diketahui

dengan melakukan pemeriksaan yang seksama terhadap riwayat keluarga

atau dengan mengidentifikasi pola dari kelainan yang dikenal dengan pola

keturunan.2,3,4,7,8

B. Kelainan Anatomi

Kelainan anatomi mungkin berupa kelainan kongenital atau kelainan yang

didapat. Kelainan kongenital termasuk fusi duktus Mulleri yang inkomplit

atau defek resorpsi septum, paparan diethylstilbestrol (DES) dan kelainan

servik uterus. Wanita–wanita dengan septum intrauterin memiliki risiko

abortus spontan sebesar 60%, kebanyakan abortus pada trimester dua,

tetapi dapat juga terjadi pada trimester pertama. Apabila embrio

berimplantasi pada septum karena endometrium pada septum berkembang

buruk dapat menyebabkan kelainan plasenta. Pada paparan

diethylstilbestrol (DES) intra uterine dapat menyebabkan kelainan uterus,

yang paling sering adalah hipoplasia yang dapat menyebabkan abortus

pada trimester pertama dan kedua, serviks inkompeten dan persalinan

prematurus. Kelainan anatomi didapat yang potensial menyebabkan

abortus seperti adhesi intra uterine (Sindroma Asherman) yang disebabkan

oleh kuretase endometrium atau evakuasi hasil konsepsi yang terperangkap

terlalu dalam dan berulang, leiomioma yang mempengaruhi arah dari

kavum uteri dan endometriosis. Hubungan keadaan ini dengan adanya

keguguran berulang secara teori ialah bahwa pada kasus adesi dan

leiomioma terjadi adanya gangguan suplai darah, sementara pada

endometriosis berhubungan dengan faktor imunologi.2,5

C. Kelainan Hormonal

Page 4: Blighted Ovum PA

4

Faktor–faktor endokrinologi yang berhubungan dengan abortus dan

blighted ovum termasuk insufisiensi fase luteal dengan atau tanpa kelainan

dimana luteinizing hormone (LH) hipersekresi, diabetes mellitus, dan

penyakit tiroid. Perkembangan pada kehamilan awal tergantung pada

produksi estrogen yang dihasilkan oleh korpus luteum sampai

kecukupannya terpenuhi diproduksi oleh perkembangan trofoblast, yang

terjadi pada usia kehamilan 7–9 minggu. Abortus spontan terjadi pada

kehamilan kurang dari 10 minggu jika korpus luteum gagal untuk

memproduksi progesteron yang cukup, adanya gangguan distribusi

progesteron ke uterus, atau bila pemakaian hormon progesteron pada

endometrium dan desidua terganggu. Keguguran juga dapat terjadi apabila

trofoblas tidak dapat menghasilkan progesteron yang seharusnya

menggantikan progesteron dari korpus luteum ketika korpus luteum

menghilang.2,9

Sekresi LH yang abnormal juga memiliki akibat langsung pada

perkembangan oosit, menyebabkan penuaan yang prematur, dan pada

endometrium menyebabkan maturasi yang tidak sinkron. Dipihak lain,

sekresi luteinizing hormone yang abnormal dapat menimbulkan keguguran

secara tidak langsung dengan cara meningkatkan kadar hormon testosteron.

Keadaan gangguan sekresi luteinizing hormone biasanya berhubungan

dengan adanya polikistik ovarium.4

Mekanisme yang mungkin menyebabkan terjadinya keguguran pada

penderita diabetes mellitus ialah gangguan aliran darah pada uterus

terutama sekali pada kasus-kasus dengan diabetes mellitus tahap lanjut. 4

Hipotiroid merupakan gangguan endokrin lain yang dihubungkan

dengan adanya abortus berulang, terutama sekali sebagai akibat disfungsi

korpus luteum dan ovulasi yang sering menyertai penyakit tiroid.

Antitiroid antibodi juga dihubungkan dengan abortus berulang. Karena

pada awal kehamilan tubuh membutuhkan kadar hormon tiroid yang lebih

Page 5: Blighted Ovum PA

5

tinggi, adanya antitiroid antibodi dapat menjadi suatu petanda bagi

seseorang untuk terjadi peningkatan risiko terjadinya abnormalitas tiroid

yang dapat berakhir pada keguguran. Kelainan-kelainan regulasi hormonal

tersebut juga mampu menyebabkan kegagalan perkembangan atau

pembentukan janin.2,4

D. Infeksi Saluran Reproduksi

Walaupun keguguran telah dihubungkan dengan organisme seperti

Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma hominis, Chlamydia trachomatis,

dan Toxoplasma gondii, namun tidak ada hubungan yang meyakinkan

dengan abortus berulang. Adanya organisme tersebut pada saat terjadinya

keguguran tidak dapat dianggap sebagai bukti organisme tersebut sebagai

penyebab dari keguguran. Organisme-organisme tersebut dapat menjadi

penyebab keguguran apabila4:

Telah ada dalam waktu yang lama tanpa menimbulkan gejala pada ibu

secara nyata sehingga keadaan ini menjadi tidak terdiagnosis dan tidak

diobati

Memiliki jalur untuk masuk ke lingkungan intrauteri sehingga

menginfeksi jaringan fetus dan/atau menstimulasi terjadinya proses

radang.

Terdapat bukti bahwa vaginosis bakterialis berhubungan dengan keguguran

dan juga menjadi faktor risiko terjadinya persalinan preterm. Bakterial

vaginosis disebabkan karena terganggunya flora normal dari vagina.

Terjadi pertumbuhan berlebih dari bakteri anaerob dan lactobacilli yang

normal tidak ada atau tidak banyak terdapat. Tidak didapatkan adanya

hubungan yang nyata dengan keguguran dan hubungan ini masih perlu

dibuktikan. Terdapat teori yang menyatakan bahwa keguguran merupakan

akibat dari aktifasi imunologi sebagai respon dari adanya organisme

patologis.4

Page 6: Blighted Ovum PA

6

E. Imunologik

Respon imunologi diatur oleh gen-gen dari major histocompability complex

(MHC) yang berlokasi pada kromosom G. Antigen MHC golongan I

(human leucocyte antigens (HLA)-A, HLA-B dan HLA-C) dan antigen

MHC golongan II (HLA-DF, HLA-DP dan HLA-DQ) menentukan

kompatibilitas imunologik jaringan. Golongan I antigen MHC penting

utnuk mengenali struktur dalam menolak respon mediator dengan limposit

T sitotoksik.3,4

Golongan II antigen MHC menunjukkan antigen untuk limposit T dan

memulai imunitas. Golongan II gen-gen MHC desebut gen-gen respon

imun, secara genetik diatur dan dipercaya untuk menyebabkan penyakit.

Akhir-akhir ini, antigen golongan I MHC nonclassical truncated yang

dikenal HLA-G telah dipaparkan dalam sitotrofoblas manusia dan sel

trofoblas JEG-3, tatapi kemaknaan HLA-G masih spekulasi karena ia

merupakan trofoblas yang unik dan ada hipotasis yang mengatakan bahwa

HLA-G penting untuk gestasi yang berhasil dan respon terhadap HLA-G

yang menyimpang akan mengakibatkan abortus. Faktor-faktor imunologi

terbagi dua, yaitu:2,4

1. Kelainan imunitas seluler

Endometrium dan desisua manusia penuh dengan sel-sel imun dan

inflamasi yang mampu mensekresi sitokin. Respon imun seluler T

helper 1 yang abnormal melibatkan sitokin interferon- (IFN-) dan

tumor nekrosis factor (TNF) merupakan hipotesis yang paling sering

dikemukakan untuk kegagalan imunologi reproduksi. Hipotesis ini

menyatakan bahwa konseptur merupakan target local dan respon cell

mediate imun yang akan menyebabkan abortus. Pada wanita-wanita

yang mengalami abortus, antigen trofoblas mengaktivasi makrofag dan

limfosit, mengakibatkan respon imun seluler oleh sitokin T helper 1,

Page 7: Blighted Ovum PA

7

IFN- dan TNF yang ditunjukkan dengan menghambat pertumbuhan

embrio in vitro dan perkembangan serta fungsi dari trofoblast. Kadar

TNF dan interleukin 2 yang tinggi didapatkan di serum perifer pada

wanita-wanita yang mengalami abortus dibandingkan dengan wanita

hamil normal, tetapi mekanisme dari hubungan ini belum dapat

dijelaskan.2,4

Mekanisme imun seluler lain yang berperan dalam abortus seperti

defisiensi sel supresor dan aktivasi makrofag berhubungan dengan

kematian janin, meskipun mekanismenya belum bisa dipaparkan.

Ekspresi antigen golongan II MHC yang abnormal atau ekspresi

Golingan I MHC yang tinggi pada sitotrofoblas menimbulkan respon

dari IFN- yang mengakibatkan abortus melalui serangan sitotoksik sel

T yang tinggi.2,4

2. Kelainan imunitas humoral

Antifosfolipid antibodi adalah autoantibodi yang ditujukan melawan

fosfolipid yang bermuatan negatif, yang merupakan komponen esensial

dari membran sel yang memiliki peranan penting dalam fusi sel-

membran sel. Antifosfolipid antibodi termasuk juga lupus antikoagulan

(walaupun tidak terdapat sistemik lupus eritematosus) dan antibodi

terhadap kardiolipin dan phospatydilgliserin. Secara klinis antifosfolipid

antibodi dihubungkan dengan trombositopenia, trombosis dan

keguguran berulang. Juga dihubungkan sebagai penyebab dari

komplikasi kehamilan yang lain apabila kehamilan berlanjut hingga

trimester ketiga, seperti persalinan prematur, ketuban pecah sebelum

waktunya, kematian janin dalam rahim, pertumbuhan janin terhambat

dan juga preeklampsia. Uteroplasental trombosis dianggap sebagai

penyebab utama dari berakhirnya kehamilan.4,7

Lupus antikoagulan menyebabkan tes koagulasi yang bergantung

dengan phospholipid seperti activated partial thromboplastin time

Page 8: Blighted Ovum PA

8

(APTT) menjadi memanjang dan dan tetap demikian walaupun telah

ditambah dengan plasma yang normal. Anti kardiolipin IgG atau IgM

dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan ELISA. Hasil pemeriksaan

yang positif sebaiknya dulangi kembali setelah beberapa minggu untuk

memastikan kebenaran hasil positif ini. 4

Prevalensi dari antifosfolipid antibodi ini pada populasi antenatal

secara umum adalah sekitar 2% dibandingkan dengan ibu-ibu yang

mengalami keguguran berulang yaitu sekitar 15%. Tingkat keberhasilan

kehamilan pada keadaan yang tidak diobati ialah sekitar 10-15% dan

keguguran berulang seringkali merupakan manifestasi awal penyakit.

Mekanisme untuk terjadinya keguguran akibat dari antifosfolipid

antibodi adalah peningkatan tromboksan dan penurunan sintesis

prostasiklin sehingga menimbulkan adesi platelet pada pembuluh darah

di plasenta.4,7

Keadaan immunologik lain yang mungkin juga menyebabkan

terjadinya keguguran ialah antibodi antisperma, antibodi antitrofoblas,

dan defisiensi blocking antibody. Namun keadaan ini masih belum

dapat dibuktikan. 2

F. Faktor Lain

Faktor lain yang berhubungan dengan keguguran berulang termasuk juga zat-

zat racun pada lingkungan, terutama logam berat dan paparan yang lama

terhadap pelarut organik, obat-obatan seperti antiprogestogen, obat

antineoplasma, anestesi, nikotin dan alkohol, demikian juga radiasi. Latihan

yang berat juga belum dapat dibuktikan secara pasti menyebabkan terjadinya

keguguran berulang. Koitus dihubungkan dengan adanya persalinan preterm

tetapi untuk terjadinya keguguran belum dapat dipastikan.2,7,10

III. GEJALA KLINIK

Page 9: Blighted Ovum PA

9

Blighted ovum adalah keadaan dimana seorang wanita merasa hamil tetapi tidak

ada bayi di dalam kandungan. Seorang wanita yang mengalaminya juga

merasakan gejala-gejala kehamilan seperti terlambat menstruasi, mual dan

muntah pada awal kehamilan (morning sickness), payudara mengeras, serta

terjadi pembesaran perut, bahkan saat dilakukan tes kehamilan baik planotest

maupun laboratorium hasilnya pun positif.

Gejala penderita dengan blighted ovum menyerupai keguguran pada

umumnya. Keluhan antara lain berupa keluar bercak darah akibat berkurangya

kadar hormon, dan keluhan kehamilan akan berkurang. Jika mulai terjadi proses

keguguran atau sirkulasi fetus dan villi korialis mulai tidak stabil, sekitar usia

10 minggu, dapat terjadi perdarahan intermiten atau kontinu, yang diikuti nyeri

dan abortus komplit. Pada pemeriksaan dengan inspekulo, ostium uteri bias

tertutup (yang didiagnosis dengan abortus imminens) atau terbuka (abortus

inkomplit). 5

Pada beberapa kasus, dapat terjadi resorpsi kehamilan kosong, sehingga

tanda-tanda hamil dapat menghilang dan akhirnya pada pemeriksaan, pasien

dianggap tidak hamil. Hal ini dapat membingungkan bagi penderita karena

terjadi perubahan dari kondisi hamil menjadi tidak hamil.5,6

IV. DIAGNOSIS

Blighted ovum dapat segera terdeteksi segera pada pemeriksaan ultrasonografi

pada minggu 6, karena tidak tampaknya fetus. Pada usia 7 minggu dipastikan

tidak ada fetus. Pencitraan USG dapat dilakukan transabdominal maupun

transvaginal, namun cara yang kedua lebih akurat pada usia kehamilan yang

sangat dini.

Pada usia 8 dan 9 minggu, jika perhitungan HPHT tepat, detak jantung bayi atau

pulsasi sudah dapat terdeteksi. Kantung gestasi mulai tampak pada pertengahan

minggu ke 4, dan yolk sac normalnya tampak pada minggu 5. Sehingga, embrio

Page 10: Blighted Ovum PA

10

dapat terlihat jelas mulai pertengahan minggu 5 pada pemeriksaan USG

tranvaginal.

Gambar 1. Gambaran USG Blighted Ovum Dibandingkan dengan Kehamilan

Normal

Tidak ditemukan fetal pole, dengan kantung gestasi (ges sac) diameter lebih dari 10 mm tanpa

yolk sac, diameter 15 mm tanpa mudigah pada USG transvaginal atau lebih dari 25 mm pada

USG transabdominal. Sedangkan pada gambar di sebelah kanan tampak gambaran hiperechoic

berupa fetal pole di dalam ges sac.

Dikutip dari William’s Gynecology

Gambar 2. Blighted ovum pada uterus bicornu unicolis

Pemeriksaan kadar hormon pada kehamilan dapat juga membantu pemeriksaan

dimana beta-hCG dibentuk oleh plasenta. Normalnya, pada pemeriksaan darah

hormon ini dapat dideteksi pada hari 11 setelah konsepsi, dan pada tes urin pada

Page 11: Blighted Ovum PA

11

hari ke 12-14 hari. Produksi hormone ini akan menjadi 2 kali lipat tiap 72 jam.

Kadarnya akan mencapai jumlah tertinggi pada kehamilan usia 8-11 minggu

lalu menurun. Jika penurunan kadar beta-hCG ini terjadi lebih dini, dapat

dicurigai terjadinya blighted ovum.

V. PENATALAKSANAAN

Jika telah didiagnosis blighted ovum, maka tindakan selanjutnya adalah

mengeluarkan hasil konsepsi dari rahim (kuretase). Hasil kuretase akan

dianalisis untuk memastikan apa penyebab blighted ovum lalu mengatasi

penyebabnya. Jika karena infeksi maka dapat diobati sehingga kejadian ini tidak

berulang. Jika penyebabnya antibodi maka dapat dilakukan program

imunoterapi sehingga kelak dapat hamil sungguhan.

Untuk mencegah terjadinya blighted ovum, maka dapat dilakukan beberapa

tindakan pencegahan seperti pemeriksaan TORCH, imunisasi rubella pada

wanita yang hendak hamil, bila menderita penyakit disembuhkan dulu,

dikontrol gula darahnya, melakukan pemeriksaan kromosom terutama bila usia

di atas 35 tahun, menghentikan kebiasaan merokok agar kualitas sperma/ovum

baik, memeriksakan kehamilan yang rutin dan membiasakan pola hidup sehat.

Penderita keguguran akan memiliki pertanyaan menyangkut risiko berulangnya

keguguran atau blighted ovum.

Beberapa peneliti menyatakan riwayat blighted ovum tidak memberikan

risiko keguguran selanjutnya, dan 80-85% kehamilan selanjutnya pada

berlangsung hingga aterm. Namun, berbagai penelitian menggambarkan 25-

50% wanita dengan riwayat keguguran dapat mengalami keguguran ulang. Hal

ini sangat berhubungan dengan etiologi dari keguguran, sehingga deteksi

penyebab dan penatalaksanaan yang tepat perlu dilakukan.

Apabila, tindakan evakuasi dilakukan untuk mengeluarkan sisa hasil

konsepsi, penting untuk untuk diperiksa apakah terdapat kelainan pada uterus

seperti uterus bikornus, adanya septum uterus. Pada terhentinya kehamilan

Page 12: Blighted Ovum PA

12

pada trimester pertama, hasil konsepsi sebaiknya dikirim ke bagian histologi

untuk konfirmasi diagnosis dan untuk kariotiping. Pada keguguran dimana

fetus telah terbentuk maka kariotipe fetus harus diperiksa dan pasangan tersebut

disarankan agar bersedia dilakukan pemeriksaan autopsi. Kemudian harus

dilakukan follow up dan konseling pada pasien.4

Pemeriksaan yang sebaiknya dilakukan rutin apabila menemukan adanya

abortus dan blighted ovum ialah sebagai berikut. 2,4

Periksa kariotipe kedua pasangan

Lakukan histerosalfingografi atau apabila terdapat ahlinya lakukan

ultrasonografi transvaginal atau histeroskopi untuk melihat kelainan bentuk

uterus, panjang serviks, ataupun adanya adhesi intrauterus

Pemeriksaan luteinizing hormon pada hari 3-6 siklus, pemeriksaan Follicle

Stimulating hormone serta testosteron untuk memeriks adanya hipersekresi

Luteinizing hormone atau adanya sindroma polikistik ovarium. Selain itu

ultrasonografi transvaginal juga berperan dalam menentukan adanya

polikistik ovarium selain untuk memeriksa kelainan pada uterus atau rongga

uterus.

Pemeriksaan Glycosylated hemoglobin (HbA1c) apabila pasien diketahui

mengidap diabetes mellitus atau memiliki riwayat keluarga dengan diabetes

mellitus

Penapisan antifosfolipid antibodi untuk Lupus antikoagulan, IgG dan IgM

anticardiolipin antibodi dan antinuclear faktor. Hal ini juga berarti

dilakukannya pemeriksaan VDRL dan APTT

Uji fungsi tiroid, termasuk hormone stimulasi tiroid dan antibodi antitiroid

Pemeriksaan platelet

Pemeriksaan sperma

Hal-hal yang perlu diperiksa pada sediaan sperma antara lain volume, waktu

mencairnya, jumlah sel sperma per mililiter, gerakan sperma, PH, jumlah sel

darah putih dan kadar fruktosanya. Sebelum dilakukan pengambilan sampel

Page 13: Blighted Ovum PA

13

sperma (semen) harus melakukan abstinen/tidak mengeluarkan sperma/

ejakulasi 2 - 5 hari sebelumnya. Hal ini bertujuan agar sperma dalam kondisi

paling baik.

Tabel 1. Komponen Analisis Sperma

Volume Normal : minimal 2 mL - 6,5 mL per ejakulasiAbnormal : Volume yang rendah atau bahkan yang berlebih dapat menyebabkan masalah kesuburan

Waktu mencair

Normal : Kurang dari 60 menitAbnormal: Masa mencair yang lama bisa merupakan tanda infeksi

Jumlah sperma

Normal : 20–150 juta per mLAbnormal : Jumlah yang rendah kadang masih bisa menghasilkan keturunan secara normal.

Bentuk sperma

Normal : Minimal 70% memiliki bentuk dan struktur normal.Abnormal : Sperma yang abnormal bentuknya kurang dari 15 % disebut teratozoopsermia.

Gerakan sperma

Normal : Minimal 60% sperma bergerak maju ke depan atau minimal 8 juta sperma per-mL bergerak normal maju ke depan.Abnormal : Jika sebagian besar geraknya tidak normal akan menyebabkan masalah fertilitas.

pH Normal : pH of 7.1–8.0Abnormal : pH yang tinggi atau lebih rendah dapat mengganggu penetrasi

Sel darah putih

Normal : Tidak ada sel darah putih atau bakteri.Abnormal : Bakteri dan sel darah putih yg banyak menunjukkan adanya infeksi.

Kadar fruktosa

Normal : 300 mg per 100 mL ejakulatAbnormal :Tidak adanya fruktosa memperlihatkan tidak adanya vesikula seminalis atau blokade pada organ ini.

Jika ditemukan jumlah sperma yang rendah atau tingginya abnormalitas, perlu

dilakukan pemeriksaan lanjutan seperti pengukuran kadar hormon: testosteron,

luteinizing hormone (LH), follicle-stimulating hormone (FSH), atau hormon

Page 14: Blighted Ovum PA

14

prolaktin. Juga dilakukan biopsi testis (zakar) dalam kondisi yang sangat

ekstrim (steril misalnya).

Kultur serviks untuk mikoplasma, ureaplasma dan klamidia.

Pemeriksaan lain dilakukan setelah pemeriksaan rutin ini didapatkan penemuan

yang positif, yaitu :

A. Faktor Genetik

Bila ditemukan adanya tanda-tanda abnormalitas dari genetik maka perlu

dilakukan konsultasi terhadap ahli genetik. Perlu dilakukan konseling terhadap

pasangan karena pemeriksaan dari keadaan ini memerlukan biaya yang besar,

selain itu kemungkinan untuk terjadinya kehamilan yang normal kecil. 7

B. Kelainan Anatomi

Bentuk dari kavum uteri harus diperiksa pada setiap wanita yang mengalami

keguguran tiga kali atau lebih secara berturut-turut untuk mengeluarkan

kemungkinan penyebab berupa kelainan bentuk dari uterus.

Metode pemeriksaan yang dapat digunakan ialah histerosalfingografi,

tetapi dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi transvaginal atau

histeroskopi untuk memeriksa kelainan tersebut .4,7

Defek yang kecil tidak berarti harus dilakukan operasi. Tindakan

metroplasti abdominal dilakukan pada keadaan terdapatnya septum uterus,

tetapi tindakan ini belum pernah dilakukan evaluasi prospektif secara baik dan

dikatakan memiliki hubungan dengan keadaan infertilitas postperatif.

Tindakan operatif untuk menghilangkan septum uterus ataupun perlengketan

dapat dilakukan dengan cara reseksi transervikal histeroskopi, dikatakan bahwa

tindakan ini memiliki hasil yang cukup memuaskan, namun tindakan operatif

ini hanya dapat dilakukan oleh klinisi yang telah mendapatkan pelatihan yang

memadai serta memiliki pengalaman dalam tindakan operatif dengan

histeroskopi. 4

Ada peningkatan risiko terjadinya persalinan preterm dan juga abortus

pada wanita dengan kelainan uterus walaupun telah dilakukan perawatan

Page 15: Blighted Ovum PA

15

antenatal yang intensif. Hal ini sering dihubungkan dengan adanya

inkompeten serviks. Pemberian tokolitik oral sebagai profilaksis tidak

disarankan, tetapi evaluasi rutin mengenai pendataran dan dilatasi serviks perlu

dilakukan setiap kunjungan antenatal, dan lebih baik bila dilakukan

pemeriksaan ultrasonografi transvaginal.

Pada keadaan adhesi intrauterin (Sindroma Asherman), diagnosis

didapatkan dari histerosalfingografi atau dari histeroskopi. Perlengketan dapat

dilepaskan dengan menggunakan histeroskopi kemudian dialkukan

pemasangan IUD selama 6 minggu untuk mencegah terjadinya perlengketan

kembali. Antibiotik berspektrum luas perlu diberikan sampai 1 minggu

postoperasi. Perkembangan janin pada kehamilan setelah tindakan harus

diawasi secara hati-hati karena adanya kemungkinan implantasi pada tempat

yang kurang ideal.2,4

Mengenai leiomyoma maka perlu dilakukan tindakan operatif bila mioma

tersebut berupa mioma submukosa. Tindakan operatif tersebut berupa

miomektomi. Pemberian GnRH selama tiga bulan juga dapat mengurangi

ukuran dari mioma tersebut.2,4

C. Abnormalitas Hormonal

Gangguan fase luteal ditegakkan dengan cara pemeriksaan suhu basal dimana

fase luteal berlangsung selama kurang dari 10 hari, atau kadar progesteron

serum kurang dari 15 nmol/L selama lima siklus berturut-turut. Namun pada

penelitian ternyata didapatkan bahwa tidak adanya bukti yang mendukung

secara nyata bahwa pemberian hormon progesteron tidak mengurangi risiko

terjadinya keguguran .4

Hipersekresi luteinizing hormon ditegakkan apabila kadar hormon tersebut

pada pemeriksaan darah meningkat 10 IU/L atau lebih, sehingga perlu

dilakukan pemeriksaan darah secara serial. Sebagai alternatif dapat dilakukan

pemeriksaan kadar luteinizing hormon pada urine dimana hipersekresi

Page 16: Blighted Ovum PA

16

lutinizing hormon ditegakkan bila konsentrasi dala urin sebesar 100IU/L atau

lebih. Pengobatan keadaan ini dadalah dengan pemberian GNRH analog yang

akan menekan luteinizing hormone.2,4

Pemeriksaan bagi wanita tanpa adanya gejala atau riwayat diabetes

mellitus tidak perlu dilakukan. Pengendalian kadar gula darah yang optimal

sebelum kehamilan merupakan cara untuk keberhasilan kehamilan.

Pemeriksaan tiroid secara rutin juga belum dapat mendeteksi gangguan fungsi

tiroid. Biasanya pemeriksaan ini dilakukan apabila telah ditemukan adanya

gejala gangguan tiroid.4

D. Infeksi Saluran Reproduksi

Mengenai penatalaksanaan infeksi saluran reproduksi ini tentusaja disesuaikan

dengan jenis organisme yang menginfeksi. Belum ditemukan perlunya

dilakukan imunisasi kecuali pada kasus penyakit rubella.7

E. Imunologik

Pemeriksaan anticardiolipin harus dilakukan pada semua wanita dengan

riwayat abortus berulang. Tanpa pengobatan hanya didapatkan 10-15%

kehamilan yang berhasil. Pengobatan dengan aspirin dosis rendah (75

mg/hari) atau heparin dosis rendah (5000-10000 unit tiap 12 jam) telah

dilakukan dan menunjukkan adanya perbaikan pada kehamilan baik itu

dipergunakan sebagai obat tunggal atau kombinasi. Tetapi pemakaian obat-

obatan ini memiliki risiko. Heparin jangka panjang diketahui dapat

menyebabkan osteoporosis, dan aspirin dapat menimbulkan perdarahan

gastrointestinal.4,7

VI. GAMBARAN HISTOPATOLOGI

Pada penelitian awal didapatkan adanya gambaran infark yang luas dan nekrosis

pada plasenta wanita yang mengalami abortus yang disebabkan antifosfolipid

antibodi. Berdasarkan dari penelitian ini dan adanya hubungan antara

antifosfolipid antibodi (aPL) dengan adanya trombosis plasenta pada abortus

Page 17: Blighted Ovum PA

17

habitualis, para penemu sepakat mengatakan bahwa adanya trombosis pada

plasenta menyebabkan infark dan menimbulkan kematian fetus. Pada penelitian

De Wolf dkk, didapatkan adanya gambaran vaskulopati desidua yang nekrotik

pada pasien dengan aPL. Ciri-cirinya adalah nekrosis fibrinoid, atherosis

pembuluh desidua (infiltrasi dinding pembuluh darah oleh sel-sel dengan

sitoplasma yang jernih atau foamy cytoplasm) dan inti yang menebal. Ia juga

menemukan bukti adanya vaskulopati desidua pada suatu model murine dengan

kehamilan antifosfolipid. Pada penelitian ini didapatkan administrasi sistemik

pada fraksi IgG pada wanita dengan aPL menyebabkan abortus. Pada

pemeriksaan histologik didapatkan deposit IgG dan fibrin di dalam atau

disekeliling desidua.5-8

Pada penelitian kasus-kontrol yang lain didapatkan mengenai hubungan

antara patologi plasenta dan aPL dan didapatkan bahwa 47 kehamilan

menghasilkan janin mati. Plasenta dari wanita yang menderita aPL memiliki

plasenta yang lebih fibrosis, villi hipovaskular, trombosis dan membran yang

infark dan sedikit memiliki vaskulosinsitial dibandingkan dengan wanita tanpa

aPL. Kenyataannya pada wanita dengan aPL didapatkan plasentanya trombosis

atau infark. Penelitian ini memberikan bukti yang kuat untuk penyebab

trombosis pada janin mati pada wanita dengan aPL.5-8

Penelitian lain menyebutkan adanya hubungan antara peningkatan kadar

MSAFP dan keguguran dengan wanita dengan aPL. Peningkatan kadar ini tidak

bias dijelaskan dan ditemukan pada 13 dari 60 kehamilan dengan aPL. Pada

penelitian ini juga didapatkan bahwa dengan peningkatan kadar MSAFP

menyebabka peningkatan insiden kematian janin (63% berbanding6%) dan

kematian perinatal (77% berbanding 15%) dibandingkan dengan kadar yang

normal. Pada aPL peningkatan kadar MSAFP pada trimester dua bisa

merupakan marker untuk kerusakan palsenta pada trimester dua.3-5

Plasenta dari embrio dengan kromosom trisomi jarang memiliki gambaran

yang bervariasi bila dilihat dengan mata telanjang meskipun ada yang tampak

Page 18: Blighted Ovum PA

18

mikrositik, perubahan vesikuler yang fokal tetapi hampir 50% secara

makroskopik normal. Pada pemeriksaan histologi sebagaian dari plasenta ini

menunjukkan perubahan fokal villi-villi yang hidrofili dan difus, tampak villi

trofoblas hipoplastik dan tampak sel sitotrofoblastik dalams troma villi, sel-sel

ini ditemukan oleh Phillippe dan Bouė pada tahun 1969 dan 1970, Cohen pada

tahun 1972 dan Honorė, Dill dan Poland pada tahun 1976. Adanya sel-sel

tersebut merupakan gambaran khas dari plasenta trisomi dan adanya

deskuamasi dari lapisan trofoblastik.

Phillippe dan Bouė pada tahun 1969 menyatakan bahwa banyak sel-sel

tampak pada kasus-kasus trisomi C, D atau E, tetapi Honorė. Dill dan Poland

pada tahun 1976 menyatakan bahwa sel-sel tersebut dapat tampak pada seluruh

jenis sindroma trisomi. Adanya intra stroma bukan merupakan gambaran yang

spesifik pada plasenta trisomi karena mungkin sel-sel ini didapatkan pada

kromosom normal. Hampir 50% pada plasenta trisomi, villinya tidak

menunjukkan perubahan villi tetapi ada juga yang menunjukkan sel-sel stroma

immatur yang persisten dari sel-sel sitotrofoblastik intra stroma.4-8

Gambar 3. Perbandingan Gambaran Histologi Kehamilan Normal dengan

Abnormal

Page 19: Blighted Ovum PA

19

Pada gambar A tampak ovum normal berimplantasi pada usia 11-12 hari, sedangkan

pada gambar B tampak konsepsi abnormal, dengan tropoblas defektif dengan lacuna

yang membesar dan kantung korion yang kosong, dan akan meluruh

Dikutip dari William’s Gynecology

VII. RINGKASAN

Penyebab dari abortus ialah masalah genetik, abnormalitas anatomis,

masalah endokrinologis, infeksi dan faktor imunologik. Serta dihubungkan

dengan permasalahan lain yang beragam atau gabungan berbagai factor.

Blighted ovum juga diperkirakan terjadi akibat pembuahan ovum oleh

sperma yang abnormal.

Gambaran plasenta pada blighted ovum adalah villi yang hipovaskular,

fibrosis, trombosis, infark, membrane yang sedikit vakulosinsitial.

Penting untuk didapatkan informasi mengenai keadaan pasien yang dapat

membantu dalam perawatan untuk kehamilan berikutnya.

VII. RUJUKAN

1. Wibowo B, Wiknjosastro H: Kelainan dalam lamanya kehamilan. Dalam:

Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T: Ilmu kebidanan. Edisi ketiga.

Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1994; 302-312

2. Hill JA: Recurrent spontaneous early pregnancy loss. In: Berekj JS, Adashi EY,

Hillard PA: Novak’s gynecology 12th edition. Pennsylvania: Williams & Wilkins

Co, 1996;963-979

3. Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD, Cunningham

FG. First trimester abortion. In: Williams Gynecology 22nd ed. New York: McGraw-

Hill; 2008:298-325

4. Porter FT, Branch DW, Scott JR. Early pregnancy loss. In: Danforth’s Obstetric and

Gynecology 10th ed. New York. Lippincott Williams & Wilkins; 2009:61-70

Page 20: Blighted Ovum PA

20

5. Prawirohardjo S, Wiknjosastro H: Gangguan bersangkutan dengan konsepsi. Dalam:

Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T: Ilmu kandungan. Edisi kedua.

Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1997; 246-250

6. Hatasaka HH: Recurrent miscarriage: epidemiologic factors, definitions and

incidence. In: Clin obstet gynecol 37; 1994; 625-634

7. Byrne JLB, Ward K: Genetic factors in recurrent abortion. In: Clin obstet gynecol 37;

1994; 693-704

8. Hunt JS, Roby KF: Implantation factors. In: Clin obstet gynecol 37; 1994; 635-645

9. Brent RL, Beckman DA: The contributional of environmental teratogens to

embryonic and fetal loss. In: Clin obstet gynecol 37; 1994; 646-664