biografi shalahudin

Upload: fajarul-falah

Post on 13-Jul-2015

1.438 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Biografi Salahudin Al-Ayubi (1138 - 1193 M)

Shalahuddin Al-Ayubi terlahir dari keluarga Kurdish di kota Tikrit (140km barat laut kota Baghdad) dekat sungai Tigris pada tahun 1137M. Masa kecilnya selama sepuluh tahun dihabiskan belajar di Damaskus di lingkungan anggota dinasti Zangid yang memerintah Syria, yaitu Nur Ad-Din atau Nuruddin Zangi.

Salahudin Al-Ayubi atau tepatnya Sholahuddin Yusuf bin Ayyub, Salah Ad-Din Ibn Ayyub atau Saladin/salahadin (menurut lafal orang Barat) adalah salah satu pahlawan besar dalam tharikh (sejarah) Islam. Satu konsep dan budaya dari pahlawan perang ini adalah perayaan hari lahir Nabi Muhammad SAW yang kita kenal dengan sebutan maulud atau maulid, berasal dari kata milad yang artinya tahun, bermakna seperti pada istilah ulang tahun. Berbagai perayaan ulang tahun di kalangan/organisasi muslim sering disebut sebagai milad atau miladiyah, meskipun maksudnya adalah ulang tahun menurut penanggalan kalender Masehi. Selain belajar Islam, Shalahuddin pun mendapat pelajaran kemiliteran dari pamannya Asaddin Shirkuh, seorang panglima perang Turki Seljuk. Kekhalifahan. Bersama dengan pamannya Shalahuddin menguasai Mesir, dan mendeposisikan sultan terakhir dari kekhalifahan Fatimid (turunan dari Fatimah Az-Zahra, putri Nabi Muhammad SAW). Dinobatkannya Shalahuddin menjadi sultan Mesir membuat kejanggalan bagi anaknya Nuruddin, Shalih Ismail. Hingga setelah tahun 1174 Nuruddin meninggal dunia, Shalih Ismail bersengketa soal garis keturunan terhadap hak kekhalifahan di Mesir. Akhirnya Shalih Ismail dan Shalahuddin berperang dan Damaskus berhasil dikuasai Sholahuddin. Shalih Ismail terpaksa menyingkir dan terus melawan kekuatan dinasti baru hingga terbunuh pada tahun 1181. Shalahuddin memimpin Syria sekaligus Mesir serta mengembalikan Islam di Mesir kembali kepada jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dalam menumbuhkan wilayah kekuasaannya Shalahuddin selalu berhasil mengalahkan serbuan para Crusader dari Eropa, terkecuali satu hal yang tercatat adalah Shalahuddin sempat mundur dari peperangan Battle of Montgisard melawan Kingdom of Jerusalem (kerajaan singkat di Jerusalem selama Perang Salib). Namun mundurnya Sholahuddin tersebut mengakibatkan Raynald of Chtillon pimpinan perang dari The Holy Land Jerusalem memrovokasi muslim dengan mengganggu perdagangan dan jalur Laut Merah yang digunakan sebagai jalur jamaah haji ke Makkah dan Madinah. Lebih buruk lagi Raynald mengancam menyerang dua kota suci tersebut, hingga akhirnya Shalahuddin menyerang kembali Kingdom of Jerusalem di tahun 1187 pada perang Battle of Hattin, sekaligus

mengeksekusi hukuman mati kepada Raynald dan menangkap rajanya, Guy of Lusignan. Akhirnya seluruh Jerusalem kembali ke tangan muslim dan Kingdom of Jerusalem pun runtuh. Selain Jerusalem kota-kota lainnya pun ditaklukkan kecuali Tyres/Tyrus. Jatuhnya Jerusalem ini menjadi pemicu Kristen Eropa menggerakkan Perang Salib Ketiga atau Third Crusade. Perang Salib Ketiga ini menurunkan Richard I of England ke medan perang di Battle of Arsuf. Shalahuddin pun terpaksa mundur, dan untuk pertama kalinya Crusader merasa bisa menjungkalkan invincibilty Sholahuddin. Dalam kemiliteran Sholahuddin dikagumi ketika Richard cedera, Shalahuddin menawarkan pengobatan di saat perang di mana pada saat itu ilmu kedokteran kaum Muslim sudah maju dan dipercaya.

Salahuddin Al-Ayyubi dan Perang SalibPosted by seva November 1, 2007 Tinggalkan sebuah Komentar

Hingga akhirnya Shalahuddin memancung raja besar tersebut sambil berkata, Aku adalah duta Rasulullah SAW untuk menolong umatnya. Kepala Bernas dikirim ke setiap tenda tawanan musuh dan dikatakan pada mereka, Ini sebab karena dulu ia melecehkan Rasulullah SAW. Sebelumnya, saat mencegat dan menganiaya rombongan haji, Bernas pernah berkata, Suruh Nabi kalian datang ke sini agar menolong kalian!. Sultan Salahuddin Al-Ayyubi, namanya telah terpateri di hati sanubari pejuang Muslim yang memiliki jiwa patriotik dan heroik, telah terlanjur terpahat dalam sejarah perjuangan umat Islam karena telah mampu menyapu bersih, menghancurleburkan tentara salib yang merupakan gabungan pilihan dari seluruh benua Eropa.

Konon guna membangkitkan kembali ruh jihad atau semangat di kalangan Islam yang saat itu telah tidur nyenyak dan telah lupa akan tongkat estafet yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad saw., maka Salahuddinlah yang mencetuskan ide dirayakannya kelahiran Nabi Muhammad saw. Melalui media peringatan itu dibeberkanlah sikap ksatria dan kepahlawanan pantang menyerah yang ditunjukkan melalui Siratun Nabawiyah. Hingga kini peringatan itu menjadi tradisi dan membudaya di kalangan umat Islam. Jarang sekali dunia menyaksikan sikap patriotik dan heroik bergabung menyatu dengan sifat perikemanusian seperti yang terdapat dalam diri pejuang besar itu. Rasa tanggung jawab terhadap agama (Islam) telah ia baktikan dan buktikan dalam menghadapi serbuan tentara ke tanah suci Palestina selama dua puluh tahun, dan akhirnya dengan kegigihan, keampuhan dan kemampuannya dapat memukul mundur tentara Eropa di bawah pimpinan Richard Lionheart dari Inggris. Hendaklah diingat, bahwa Perang Salib adalah peperangan yang paling panjang dan dahsyat penuh kekejaman dan kebuasan dalam sejarah umat manusia, memakan korban ratusan ribu jiwa, di mana topan kefanatikan membabi buta dari Kristen Eropa menyerbu secara menggebu-gebu ke daerah Asia Barat yang Islam. Seorang penulis Barat berkata, Perang Salib merupakan salah satu bagian sejarah yang paling gila dalam riwayat kemanusiaan. Umat Nasrani menyerbu kaum Muslimin dalam ekspedisi bergelombang selama hampir tiga ratus tahun sehingga akhirnya berkat kegigihan umat Islam mereka mengalami kegagalan, berakibat kelelahan dan keputusasaan. Seluruh Eropa sering kehabisan manusia, daya dan dana serta mengalami kebangkrutan sosial, bila bukan kehancuran total. Berjuta-juta manusia yang tewas dalam medan perang, sedangkan bahaya kelaparan, penyakit dan segala bentuk malapetaka yang dapat dibayangkan berkecamuk sebagai noda yang melekat pada muka tentara Salib. Dunia Nasrani Barat saat itu memang dirangsang ke arah rasa fanatik agama yang membabi buta oleh Peter The Hermit dan para pengikutnya guna membebaskan tanah suci Palestina dari tangan kaum Muslimin. Setiap cara dan jalan ditempuh, kata Hallam guna membangkitkan kefanatikan itu. Selagi seorang tentara Salib masih menyandang lambang Salib, mereka berada di bawah lindungan gereja serta dibebaskan dari segala macam pajak dan juga untuk berbuat dosa. Peter The Hermit sendiri memimpin gelombang serbuan yang kedua terdiri dari empat puluh ribu orang. Setelah mereka sampai ke kota Malleville mereka menebus kekalahan gelombang serbuan pertama dengan menghancurkan kota itu, membunuh tujuh ribu orang penduduknya yang tak bersalah, dan melampiaskan nafsu angkaranya dengan segala macam kekejaman yang tak terkendali. Gerombolan manusia fanatik yang menamakan dirinya tentara Salib itu mengubah tanah Hongaria dan Bulgaria menjadi daerah-daerah yang tandus. Bilamana mereka telah sampai ke Asia Kecil, mereka melakukan kejahatan-kejahatan dan kebuasan-kebuasan yang membuat alam semesta menggeletar demikian tulis pengarang Perancis Michaud. Gelombang serbuan tentara Salib ketiga yang dipimpin oeh seorang Rahib Jerman, menurut pengarang Gibbon terdiri dari sampah masyarakat Eropa yang paling rendah dan paling dungu. Bercampur dengan kefanatikan dan kedunguan mereka itu izin diberikan guna melakukan perampokan, perzinaan dan bermabuk-mabukan. Mereka melupakan Konstantin dan Darussalam dalam kemeriahan pesta cara gila-gilaan dan perampokan, pengrusakan dan

pembunuhan yang merupakan peninggalan jelek dari mereka atas setiap daerah yang mereka lalui kata Marbaid. Gelombang serbuan tentara Salib keempat yang diambil dari Eropa Barat, menurut keterangan penulis Mill terdiri dari gerombolan yang nekat dan ganas. Massa yang membabi buta itu menyerbu dengan segala keganasannya menjalankan pekerjaan rutinnya merampok dan membunuh. Tetapi akhirnya mereka dapat dihancurkan oleh tentara Hongaria yang naik pitam dan telah mengenal kegila-gilaan tentara Salib sebelumnya. Tentara Salib telah mendapat sukses sementara dengan menguasai sebagian besar daerah Syria dan Palestina termasuk kota suci Yerusalem. Tetapi Kemenangan-kemenangan mereka ini telah disusul dengan keganasan dan pembunuhan terhadap kaum Muslimin yang tak bersalah yang melebihi kekejaman Jengis Khan dan Hulagu Khan. John Stuart Mill ahli sejarah Inggris kenamaan, mengakui pembunuhan-pembunuhan massal penduduk Muslim ini pada waktu jatuhnya kota Antioch. Mill menulis: Keluruhan usia lanjut, ketidakberdayaan anak-anak dan kelemahan kaum wanita tidak dihiraukan sama sekali oleh tentara Latin yang fanatik itu. Rumah kediaman tidak diakui sebagai tempat berlindung dan pandangan sebuah masjid merupakan pembangkit nafsu angkara untuk melakukan kekejaman. Tentara Salib menghancurleburkan kota-kota Syria, membunuh penduduknya dengan tangan dingin, dan membakar habis perbendaharaan kesenian dan ilmu pengetahuan yang sangat berharga, termasuk Kutub Khanah (Perpustakaan) Tripolis yang termasyhur itu. Jalan raya penuh aliran darah, sehingga keganasan itu kehabisan tenaga, kata Stuart Mill. Mereka yang cantik rupawan disisihkan untuk pasaran budak belian di Antioch. Tetapi yang tua dan yang lemah dikorbankan di atas panggung pembunuhan. Lewat pertengahan abad ke-12 Masehi ketika tentara Salib mencapai puncak kemenangannya dan Kaisar Jerman, Perancis serta Richard Lionheart Raja Inggris telah turun ke medan pertempuran untuk turut merebut tanah suci Baitul Maqdis, gabungan tentara Salib ini disambut oleh Sultan Shalahuddin al Ayyubi (biasa disebut Saladin), seorang Panglima Besar Muslim yang menghalau kembali gelombang serbuan umat Nasrani yang datang untuk maksud menguasai tanah suci. Dia tidak saja sanggup untuk menghalau serbuan tentara Salib itu, akan tetapi yang dihadapi mereka sekarang ialah seorang yang berkemauan baja serta keberanian yang luar biasa yang sanggup menerima tantangan dari Nasrani Eropa. Siapakah Shalahuddin? Bagaimana latar belakang kehidupannya? Shalahuddin dilahirkan pada tahun 1137 Masehi. Pendidikan pertama diterimanya dari ayahnya sendiri yang namanya cukup tersohor, yakni Najamuddin al-Ayyubi. Di samping itu pamannya yang terkenal gagah berani juga memberi andil yang tidak kecil dalam membentuk kepribadian Shalahuddin, yakni Asaduddin Sherkoh. Kedua-duanya adalah pembantu dekat Raja Syria Nuruddin Mahmud. Asaduddin Sherkoh, seorang jenderal yang gagah berani, adalah komandan Angkatan Perang Syria yang telah memukul mundur tentara Salib baik di Syria maupun di Mesir. Sherkoh memasuki Mesir dalam bulan Februari 1167 Masehi untuk menghadapi perlawanan Shawer seorang menteri khalifah Fathimiyah yang menggabungkan diri dengan tentara Perancis. Serbuan Sherkoh yang gagah berani itu serta kemenangan akhir yang direbutnya dari Babain atas gabungan tentara Perancis dan Mesir itu menurut Michaud memperlihatkan kehebatan strategi tentara yang bernilai tinggi.

Ibnu Aziz Al Athir menulis tentang serbuan panglima Sherkoh ini sebagai berikut: Belum pernah sejarah mencatat suatu peristiwa yang lebih dahsyat dari penghancuran tentara gabungan Mesir dan Perancis dari pantai Mesir, oleh hanya seribu pasukan berkuda. Pada tanggal 8 Januari 1169 M Sherkoh sampai di Kairo dan diangkat oleh Khalifah Fathimiyah sebagai Menteri dan Panglima Angkatan Perang Mesir. Tetapi sayang, Sherkoh tidak ditakdirkan untuk lama menikmati hasil perjuangannya. Dua bulan setelah pengangkatannya itu, dia berpulang ke rahmatullah. Sepeninggal Sherkoh, keponakannya Shalahuddin al-Ayyubi diangkat jadi Perdana Menteri Mesir. Tak seberapa lama ia telah disenangi oleh rakyat Mesir karena sifat-sifatnya yang pemurah dan adil bijaksana itu. Pada saat khalifah berpulang ke rahmatullah, Shalahuddin telah menjadi penguasa yang sesungguhnya di Mesir. Di Syria, Nuruddin Mahmud yang termasyhur itu meninggal dunia pada tahun 1174 Masehi dan digantikan oleh putranya yang berumur 11 tahun bernama Malikus Saleh. Sultan muda ini diperalat oleh pejabat tinggi yang mengelilinginya terutama (khususnya) Gumushtagin. Shalahuddin mengirimkan utusan kepada Malikus Saleh dengan menawarkan jasa baktinya dan ketaatannya. Shalahuddin bahkan melanjutkan untuk menyebutkan nama raja itu dalam khotbah-khotbah Jumatnya dan mata uangnya. Tetapi segala macam bentuk perhatian ini tidak mendapat tanggapan dari raja muda itu berserta segenap pejabat di sekelilingnya yang penuh ambisi itu. Suasana yang meliputi kerajaan ini sekali lagi memberi angin kepada tentara Salib, yang selama ini dapat ditahan oleh Nuruddin Mahmud dan panglimanya yang gagah berani, Jenderal Sherkoh. Atas nasihat Gumushtagin, Malikus Saleh mengundurkan diri ke kota Aleppo, dengan meninggalkan Damaskus diserbu oleh tentara Perancis. Tentara Salib dengan segera menduduki ibukota kerajaan itu, dan hanya bersedia untuk menghancurkan kota itu setelah menerima uang tebusan yang sangat besar. Peristiwa itu menimbulkan amarah Shalahuddin al-Ayyubi yang segera ke Damaskus dengan suatu pasukan yang kecil dan merebut kembali kota itu. Sultan Shalahuddin memanjatkan syukur yang dalam atas kegemilangan tersebut. Ia merebut salib yang mereka klaim sebagai salib Nabi Isa. Salib besar itu berhias emas, mutiara, dan permata. Dia bangun tenda besar dan dipasang di dalamnya singgasana raja berhias bunga-bunga di kedua sisinya. Shalahuddin mendudukkan para raja terbesar Salibis disamping kanan kirinya sesuai nomor urut mereka. Ia memberikan air es sebagai minum raja-raja tersebut. Namun saat raja Perancis Bernas merebut air itu dan hendak meminumnya, Shalahuddin naik darah dan berteriak lantang, Aku tidak memberi minum kepadanya!! Karena aku tidak punya perjanjian dengannya!! Karena kelaliman Bernas selama ini, Shalahuddin tidak memberi grasi kepadanya. Ditawarkannya untuk masuk Islam agar terhindar dari hukuman, namun Bernas menolaknya. Hingga akhirnya Shalahuddin memancung raja besar tersebut sambil berkata, Aku adalah duta Rasulullah SAW untuk menolong umatnya. Kepala Bernas dikirim ke setiap tenda tawanan musuh dan dikatakan pada mereka, Ini sebab karena dulu ia melecehkan Rasulullah SAW. Sebelumnya, saat mencegat dan menganiaya rombongan haji, Bernas pernah berkata, Suruh Nabi kalian datang ke sini agar menolong kalian! Setelah ia berhasil menduduki Damaskus dia tidak terus memasuki istana rajanya Nuruddin Mahmud, melainkan bertempat di rumah orang tuanya. Umat Islam sebaliknya sangat kecewa akan tingkah laku Malikus Saleh dan mengajukan tuntutan kepada Shalahuddin untuk

memerintah daerah mereka. Tetapi Shalahuddin hanya mau memerintah atas nama raja muda Malikus Saleh. Ketika Malikus Saleh meninggal dunia pada tahun 1182 Masehi, kekuasaan Shalahuddin telah diakui oleh semua raja-raja di Asia Barat. Diadakanlah gencatan senjata antara Sultan Shalahuddin dan tentara Perancis di Palestina, tetapi menurut ahli sejarah Perancis Michaud: Kaum Muslimin memegang teguh perjanjiannya, sedangkan golongan Nasrani memberi isyarat untuk memulai lagi peperangan. Berlawanan dengan syarat-syarat gencatan senjata, penguasa Nasrani Renanud atau Reginald dari Castillon menyerang suatu kafilah Muslim yang lewat di dekat istananya, membunuh sejumlah anggotanya dan merampas harta bendanya. Lantaran peristiwa itu Sultan sekarang bebas untuk bertindak. Dengan siasat perang yang tangkas Sultan Shalahuddin mengurung pasukan musuh yang kuat itu di dekat bukit Hittin pada tahun 1187 M serta menghancurkannya dengan kerugian yang amat besar. Sultan tidak memberikan kesempatan lagi kepada tentara Nasrani untuk menyusun kekuatan kembali dan melanjutkan serangannya setelah kemenangan di bukit Hittin. Dalam waktu yang sangat singkat dia telah dapat merebut kembali sejumlah kota yang diduduki kaum Nasrani, termasuk kota-kota Naplus, Jericho, Ramlah, Caosorea, Arsuf, Jaffa dan Beirut. Demikian juga Ascalon telah dapat diduduki Shalahuddin sehabis pertempuran yang singkat yang diselesaikan dengan syarat-syarat yang sangat ringan oleh Sultan yang berhati mulia itu. Sekarang Shalahuddin menghadapkan perhatian sepenuhnya terhadap kota Jerusalem yang diduduki tentara Salib dengan kekuatan melebihi enam puluh ribu prajurit. Ternyata tentara salib ini tidak sanggup menahan serbuan pasukan Sultan dan menyerah pada tahun 1193. Sikap penuh perikemanusiaan Sultan Shalahuddin dalam memperlakukan tentara Nasrani itu merupakan suatu gambaran yang berbeda seperti langit dan bumi, dengan perlakuan dan pembunuhan secara besar-besaran yang dialami kaum Muslimin ketika dikalahkan oleh tentara Salib sekitar satu abad sebelumnya. Menurut penuturan ahli sejarah Michaud, pada waktu Jerusalem direbut oleh tentara Salib pada tahun 1099 Masehi, kaum Muslimin dibunuh secara besar-besaran di jalan-jalan raya dan di rumah-rumah kediaman. Jerusalem tidak memiliki tempat berlindung bagi umat Islam yang menderita kekalahan itu. Ada yang melarikan diri dari cengkeraman musuh dengan menjatuhkan diri dari tembok-tembok yang tinggi, ada yang lari masuk istana, menaramenara, dan tak kurang pula yang masuk masjid. Tetapi mereka tidak terlepas dari kejaran tentara Salib. Tentara Salib yang menduduki masjid Umar di mana kaum Muslimin dapat bertahan untuk waktu yang singkat, mengulangl lagi tindakan-tindakan yang penuh kekejaman. Pasukan infanteri dan kavaleri menyerbu kaum pengungsi yang lari tunggang langgang. Di tengah-tengah kekacaubalauan kaum penyerbu itu yang terdengar hanyalah erangan dan teriakan maut. Pahlawan Salib yang berjasa itu berjalan menginjak-injak tumpukan mayat Muslimin, mengejar mereka yang masih berusaha dengan sia-sia melarikan diri. Raymond d Angiles yang menyaksikan peristiwa itu mengatakan bahwa di serambi masjid mengalir darah sampai setinggi lutut, dan sampai ke tali tukang kuda prajurit. Penyembelihan manusia biadab ini berhenti sejenak, ketika tentara Salib berkumpul untuk melakukan misa syukur atas kemenangan yang telah mereka peroleh. Tetapi setelah beribadah itu, mereka melanjutkan kebiadaban dengan keganasan. Semua tawanan kata Michaud, yang tertolong nasibnya karena kelelahan tentara Salib yang semula tertolong karena mengharapkan diganti dengan uang tebusan yang besar, semua dibunuh dengan tanpa ampun. Kaum Muslimin terpaksa menjatuhkan diri mereka dari menara dan rumah kediaman;

mereka dibakar hidup-hidup, mereka diseret dari tempat persembunyiannya di bawah tanah; mereka dipancing dari tempat perlindungannya agar keluar untuk dibunuh di atas timbunan mayat. Cucuran air mata kaum wanita, pekikan anak-anak yang tak bersalah, bahkan juga kenangan dari tempat di mana Nabi lsa memaafkan algojo-algojonya, tidak dapat meredakan nafsu angkara tentara yang menang itu. Penyembelihan kejam itu berlangsung selama seminggu. Dan sejumlah kecil yang dapat melarikan diri dari pembunuhan jatuh menjadi budak yang hina dina. Seorang ahli sejarah Barat, Mill menambahkan pula: Telah diputuskan, bahwa kaum Muslimin tidak boleh diberi ampun. Rakyat yang ditaklukkan oleh karena itu harus diseret ke tempat-tempat umum untuk dibunuh hidup-hidup. Ibu-ibu dengan anak yang melengket pada buah dadanya, anak-anak laki-laki dan perempuan, seluruhnya disembelih. Lapanganlapangan kota, jalan-jalan raya, bahkan pelosok-pelosok Jerusalem yang sepi telah dipenuhi oleh bangkai-bangkai mayat laki-laki dan perempuan, dan anggota tubuh anak-anak. Tiada hati yang menaruh belas kasih atau teringat untuk berbuat kebajikan. Demikianlah rangkaian riwayat pembantaian secara masal kaum Muslimin di Jerusalem sekira satu abad sebelum Sultan Shalahuddin merebut kembali kota suci, di mana lebih dari tujuh puluh ribu umat Islam yang tewas. Sebaliknya, ketika Sultan Shalahuddin merebut kembali kota Jerusalem pada tahun 1193 M, dia memberi pengampunan umum kepada penduduk Nasrani untuk tinggal di kota itu. Hanya para prajurit Salib yang diharuskan meninggalkan kota dengan pembayaran uang tebusan yang ringan. Bahkan sering terjadi bahwa Sultan Shalahuddin yang mengeluarkan uang tebusan itu dari kantongnya sendiri dan diberikannya pula kemudian alat pengangkutan. Sejumlah kaum wanita Nasrani dengan mendukung anak-anak mereka datang menjumpai Sultan dengan penuh tangis seraya berkata: Tuan saksikan kami berjalan kaki, para istri serta anak-anak perempuan para prajurit yang telah menjadi tawanan Tuan, kami ingin meninggalkan negeri ini untuk selama-lamanya. Para prajurit itu adalah tumpuan hidup kami. Bila kami kehilangan mereka akan hilang pulalah harapan kami. Bilamana Tuan serahkan mereka kepada kami mereka akan dapat meringankan penderitaan kami dan kami akan mempunyai sandaran hidup. Sultan Shalahuddin sangat tergerak hatinya dengan permohonan mereka itu dan dibebaskannya para suami kaum wanita Nasrani itu. Mereka yang berangkat meninggalkan kota, diperkenankan membawa seluruh harta bendanya. Sikap dan tindakan Sultan Shalahuddin yang penuh kemanusiaan serta dari jiwa yang mulia ini memperlihatkan suasana kontras yang sangat mencolok dengan penyembelihan kaum Muslimin di kota Jerusalem dalam tangan tentara Salib satu abad sebe1umnya. Para komandan pasukan tentara Shalahuddin saling berlomba dalam memberikan pertolongan kepada tentara Salib yang telah dikalahkan itu. Para pelarian Nasrani dari kota Jerusalem itu tidaklah mendapat perlindungan oleh kota-kota yang dikuasai kaum Nasrani. Banyak kaum Nasrani yang meninggalkan Jerusalem, kata Mill, pergi menuju Antioch, tetapi panglima Nasrani Bohcmond tidak saja menolak memberikan perlindungan kepada mereka, bahkan merampasi harta benda mereka. Maka pergilah mereka menuju ke tanah kaum Muslimin dan diterima di sana dengan baik. Michaud mcmberikan keterangan yang panjang lebar tentang sikap kaum Nasrani yang tak berperikemanusiaan ini

terhadap para pelarian Nasrani dari Jerusalem. Tripoli menutup pintu kotanya dari pengungsi ini, kata Michaud. Seorang wanita karena putus asa melemparkan anak bayinya ke dalam laut sambil menyumpahi kaum Nasrani yang menolak untuk memberikan pertolongan kepadanya, kata Michaud. Sebaliknya Sultan Shalahuddin bersikap penuh timbang rasa terhadap kaum Nasrani yang ditaklukkan itu. Sebagai pertimbangan terhadap perasaan mereka, dia tidak memasuki Jerusalem sebelum mereka meninggalkannya. Dari Jerusalem Sultan Shalahuddin mengarahkan pasukannya ke kota Tyre, di mana tentara Salib yang tidak tahu berterima kasih terhadap Sultan Shalahuddin yang telah mengampuninya di Jerusalem, menyusun kekuatan kembali untuk melawan Sultan. Sultan Shalahuddin menaklukkan sejumlah kota yang diduduki oleh tentara Salib di pinggir pantai, termasuk kota Laodicea, Jabala, Saihun, Becas, dan Debersak. Sultan telah melepas hulu balang Perancis bernama Guy de Lusignan dengan perjanjian, bahwa dia harus segera pulang ke Eropa. Tetapi tidak lama setelah pangeran Nasrani yang tak tahu berterima kasih ini mendapatkan kebebasannya, dia mengingkari janjinya dan mengumpulkan suatu pasukan yang cukup besar dan mengepung kota Ptolemais. Jatuhnya Jerusalem ke tangan kaum Muslimin menimbulkan kegusaran besar di kalangan dunia Nasrani. Sehingga mereka segera mengirimkan bala bantuan dari seluruh pelosok Eropa. Kaisar Jerman dan Perancis serta raja Inggris Richard Lion Heart segera berangkat dengan pasukan yang besar untuk merebut tanah suci dari tangan kaum Muslimin. Mereka mengepung kota Akkra yang tidak dapat direbut selama berapa bulan. Dalam sejumlah pertempuran terbuka, tentara Salib mengalami kekalahan dengan meninggalkan korban yang cukup besar. Sekarang yang harus dihadapi Sultan Shalahuddin ialah berupa pasukan gabungan dari Eropa. Bala bantuan tentara Salib mengalir ke arah kota suci tanpa putus-putusnya, dan sungguh pun kekalahan dialami mereka secara bertubi-tubi, namun demikian tentara Salib ini jumlah semakin besar juga. Kota Akkra yang dibela tentara Islam berbulan-bulan lamanya menghadapi tentara pilihan dari Eropa, akhirnya karena kehabisan bahan makanan terpaksa menyerah kepada musuh dengan syarat yang disetujui bersama secara khidmat, bahwa tidak akan dilakukan pembunuhan-pembunuhan dan bahwa mereka diharuskan membayar uang tebusan sejumlah 200.000 emas kepada pimpinan pasukan Salib. Karena kelambatan dalam suatu penyelesaian uang tebusan ini, Raja Richard Lionheart menyuruh membunuh kaum Muslimin yang tak berdaya itu dengan dan hati yang dingin di hadapan pandangan mata saudara sesama kaum Muslimin. Perilaku Raja Inggris ini tentu saja sangat menusuk perasaan hati Sultan Shalahuddin. Dia bernadzar untuk menuntut bela atas darah kaum Muslimin yang tak bersalah itu. Dalam pertempuran yang berkecamuk sepanjang 150 mil garis pantai, Sultan Shalahuddin memberikan pukulan-pukulan yang berat terhadap tentara Salib. Akhirnya Richard Raja Inggris yang berhati singa itu mengajukan permintaan damai di Ramla yang diterima oleh Sultan, di mana Jerusalem tetap dikuasai Muslim dan terbuka kepada para peziarah Kristen. Raja itu merasakan bahwa yang dihadapinya adalah seorang yang berkemauan baja dan tenaga yang tak terbatas serta menyadari betapa sia-sianya melanjutkan perjuangan terhadap orang yang demikian itu. Dalam bulan September 1192 Masehi dibuatlah perjanjian perdamaian. Tentara Salib itu meninggalkan tanah suci dengan ransel dengan barang-barangnya kembali menuju Eropa.

Berakhirlah dengan demikian serbuan tentara Salib itu tulis Michaud di mana gabungan pasukan pilihan dari Barat merebut kemenangan tidak lebih daripada kejatuhan kota Akkra dan kehancuran kota Askalon. Dalam pertempuran itu Jerman kehilangan seorang kaisarnya yang besar beserta kehancuran tentara pilihannya. Lebih dari enam ratus ribu orang pasukan Salib mendarat di depan kota Akkra dan yang kembali pulang ke negerinya tidak lebih dari seratus ribu orang. Dapatlah dipahami mengapa Eropa dengan penuh kesedihan menerima hasil perjuangan tentara Salib itu, oleh karena yang turut dalam pertempuran terakhir adalah tentara pilihan. Bunga kesatria Barat yang menjadi kebanggaan Eropa telah turut dalam pertempuran ini. Sultan Shalahuddin mengakhiri sisa-sisa hidupnya dengan kegiatan-kegiatan bagi kesejahteraan masyarakat dengan membangun rumah sakit, sekolah-sekolah, perguruanperguruan tinggi serta masjid-masjid di seluruh daerah yang diperintahnya. Dalam kemiliteran Sholahuddin dikagumi ketika Richard cedera, Shalahuddin menawarkan pengobatan di saat perang di mana pada saat itu ilmu kedokteran kaum Muslim sudah maju dan dipercaya. Tetapi sayang, dia tidaklah ditakdirkan untuk lama merasakan nikmat perdamaian. Beberapa bulan kemudian dia pulang ke rahmatullah pada tanggal 4 Maret tahun 1193. Hari itu merupakan hari musibah besar, yang belum pernah dirasakan oleh dunia Islam dan kaum Muslimin, semenjak mereka kehilangan Khulafa Ar-Rasyidin demikian tulis seorang penulis Islam. Kalangan Istana seluruh daerah kerajaan berikut seluruh umat Islam tenggelam dalam lautan duka nestapa. Seluruh isi kota mengikuti usungan jenazahnya ke kuburan dengan penuh kesedihan dan tangisan. Demikianlah berakhirnya kehidupan Sultan Shalahuddin, seorang raja yang sangat dalam perikemanusiaannya dan tak ada tolok bandingannya, jiwa kepahlawanan yang dimilikinya dalam sejarah kemanusiaan. Dalam pribadinya, Allah telah melimpahkan hati seorang Muslim yang penuh kasih sayang terhadap kemanusiaan dicampur dengan sangat harmonis dengan keperkasaan seorang genius dalam medan pertempuran. Utusan yang menyampaikan berita kematiannnya itu ke Baghdad membawa serta baju perangnya, kudanya, uang sebanyak satu dinar dan 36 dirham sebagai milik pribadinya yang masih ketinggalan. Orang yang hidup satu zaman dengannya, serta segenap ahli sejarah sama sependapat bahwa Sultan Shalahuddin adalah seorang yang sangat lemah lembut hatinya, ramah tamah, sabar, seorang sahabat yang baik dari kaum cendekiawan dan golongan ulama yang diperlakukannya dengan rasa hormat yang mendalam serta dengan penuh kebajikan. Di Eropa tulis Philip K Hitti, dia telah menyentuh alam khayalan para penyanyi maupun para penulis novel zaman sekarang, dan masih tetap dinilai sebagai suri teladan kaum kesatria. Semoga Allah melapangkan kuburnya. Disarikan dari: 1. Shalahuddin al-Ayyubi, oleh Kwaja Jamil Ahmad (Lihat: Suara Masjid No. 91, Jumadil Akhir-Rajab 1402 H/April 1982 M) 2. The Preaching of Islam, oleh Thomas W. Arnold. NB:

- Shalahuddin, kadang ditulis dengan ejaan: Saladin (biasanya oleh Barat), Sholahuddin, atau Salahuddin. - Saat ini, sineas Barat sedang membuat film berjudul Kingdom of Heaven. Film tersebut, terlepas benar atau tidaknya isi cerita, berkaitan dengan tokoh Shalahuddin ini. Diambil dari situs HudzaifahBAB IV PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM PADA MASA PEMERINTAHAN DINASTI AL-AYYUBIYAH A. Pembentukan dan Perkembangan Dinasti al-Ayyubiyah.. Al-Ayyubiyah adalah sebuah dinasti yang berkuasa di Mesir, Suriah, Dyarbakr, dan Yaman. Berdirinya Daulah al-Ayyubiyah ini memiliki kaitan erat dengan kekuasaan Imaduddin Zangi, seorang atabeg (panglima) Tutusy, penguasa Dinasti Seljuk di Aleppo (Halab). Setelah Tutusy meninggal, Imaduddin diangkat sebagai penguasa Aleppo, Mosul, al-Jazirah, dan Harran, selama kurang lebih sepuluh tahun (512H/ 1118M-522H/1128M). Dalam catatan sejarah, Imaduddin dikenal sebagai salah seorang panglima yang mengerahkan kekuatan umat Islam untuk menghadapi tentara Salib. Setelah ia meninggal, kekuasaan Imaduddin terbagi di antara dua putranya, Nuruddin, yang menguasai utara syam dan menjadi penerus ayahnya dalam menghadapi tentara Salib, dan Saifuddin Gazi yang menguasai Mosul dan daerah lain di Irak. Dalam perkem-bangan selanjutnya, Nuruddin berhasil memperluas kekuasaannya, yang membentang dari Damaskus ke Mesir. Sepeninggalnya, kepemimpinan keluarga Imaduddin Zangi jatuh ketangan anaknya, Ismail. Tercatat dalam sejarah bahwa pada masa pemerintahan Zangi, terdapat seorang bernama Bahruz yang hidup di sebuah kota di Azerbaijan, dan kemudian berpindah ke Irak untuk bekerja kepada Sultan Seljuk, Mas ud bin Giyatuddin. Bahruz diberikan kekuasaan sebagai gubernur di wilayah Baghdad, dan diberikan iqta di kota Takrit. Dalam mengelola iqta di kota itu, ia di bantu oleh seorang Kurdi yang bernama Syadi dan dua anaknya, Najmuddin Ayyub dan Asaduddin Syirkuh. Ketika meninggal, Syadi digantikan oleh Najmuddin sebagai gubernur di Takrit. Di kota inilah Salahuddin lahir dari ayahnya, Najmuddin. Pengaruh Najmuddin dilatarbelakangi oleh kekuasaan Imaduddin Zangi, yang membantu Sultan Mas ud dalam mengahadapi khalifah Abbasiyah, al-Mustarsid. Ketika perlawanan itu gagal, Imaduddin mundur ke Tarkit. Di kota inilah ia mendapat dukungan dari Najmuddin. Dalam aliansinya dengan kekuasaan Imaduddin, Najmuddin berhasil memperluas pengaruhnya. Ia ditunjuk menjadi penguasa Baala-bek. Ketika Imaduddin terbunuh, terjadi pertentangan dikalangan keluarganya untuk merebut puncak kekuasaan. Akhirnya Nuruddin, salah seorang putra Imaduddin, bersekutu dengan Syirkuh, yang kemudian berhasil menguasai Aleppo dan Damaskus. Di samping itu, ia berpandangan bahwa Mesir sangat penting untuk menghadapi tentara Salib. Karena itu, di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin, pasukan Nuruddin menyerang Mesir pada tahun 559H/1163M. serangan ini berakhir dengan kegagalan akibat campur tangan tentara Salib. Serangan kedua kemudian dilancarkan pada tahun 562 H/1166 M. Dalam pertempuran ini, Nuruddin mengalahkan tentara Salib, akan tetapi akhirnya kedua pihak sepakat untuk membebaskan Mesir. Meskipun demikian, serangan ke tiga dilaksanakan pada atahun 564H/1168M sebagai jawaban atas

permintaan khalifah al-Adid untuk melawan tentara Salib. Kemenangan atas entara Salib dalam pertempuran itu melapangkan jalan bagi tampilnya Salahuddin sebagai wazir bagi khalifah Fatimiyah. Salahuddin sebenarnya mulai menguasai Mesir pada tahun 564H/1169M, akan tetapi baru dapat menghapuskan kekuasaan Daulah Fatimiyah pada tahun 567H/1171M. Dalam masa tiga tahun itu, ia telah menjadi penguasa penuh, namun tetap tunduk kepada Nuruddin Zangi dan tetap mengakui kekhalifahan Daulah Fatimiyah. Jatuhnya Daulah Fatimiyah ditandai dengan penagkuan Salahuddin atas khalifah Abbasiyah, al-Mustadi, dan penggantian Qadi Syi ah dengan Sunni. Bahkan pada bulan Mei 1175, Salahuddin mendapat pengakuan dari Khilafah Abbasiyah sebagai penguasa Mesir, Afrika Utara, Nubia, Hejaz dan Suriah. Kemudian ia menyebut dirinya sebagai Sultan. Sepeluh tahun kemudian ia menaklukan Mesopotamia dan menjadikan para penguasa setempat sebagai pemimpinnya. Selain memperluas daerah kekuasaannya, sebagian besar usaianya juga dihabiskan untuk melawan kekuatan tentara Salib. Dalam kaitan itu, maka pada tahun 1170 M Salahuddin telah berhasil menaklukan wilayah Masyhad dari tangan Rasyidin Sinan. Kemudian pada bulan Juli 1187 M ia juga berhasil merebut Tiberias, dan melancarkan perang Hattin untuk menangkis serangan tentara Salib. Dalam peperangan ini, pasukan Perancis dapat dikalakan, Yerussalem sendiri kemudian menyerah tiga bulan berikutnya, tepatnya pada bulan Oktber 1187 M, pada saat itulah suara azan menggema kembali di Mesjid Yerussalem. Jatunya pusat kerajaan Haatin ini memberi peluang bagi Salahuddin al-Ayyubi untuk menakkan kotakota lainya di Palestina dan Suriah. Kota-kota di sini dapat ditaklukkan pada taun 1189 M, sementara kota-kota lainnya, seperti Tripol, Anthakiyah,Tyre an beberapa kota kecil lainnya masih berada di bawah kekuasaan tentara Salib. Setelah perang besar memperebutkan kota Acre yang berlangsung dari 1189-1191 M, kedua pasukan hidup dalam keadaan damai. Untuk itu, kedua belah pihak mengadakan perjanjian damai secara penuh pada bulan 2 November 1192 M. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa daerah pesisir dikuasai tentara Salib, sedangkan daerah pedalaman dikuasai oleh kaum muslim. Dengan demikian, tidak ada lagi gangguan terhadap umat Kristen yang akan berziarah ke Yerussalem. Keadaan ini benar-benar membawa kedamaian dan dapat dinikmati oleh Salahuddin al-Ayyubi hingga menjelang akhir hayatnya, karena pada 19 Februari 1193 ia jatuh sakit di Damaskus dan wafat dua belas hari kemudian dalam usia 55 tahun. Dalam catatan sejarah, Salahuddin tidak hanya dikenal sebagai panglima perang yang ditakuti, akan tetapi lebih dari itu, ia adalah seorang yang angat memperhatikan kemajuan pendidikan, mendorong studi keagamaan, membangun bendungan, menggali terusan, seta mendirikan seklah dan masjid. Salah satu karya yang sangat monmetal adalah Qal ah al-Jabal, sebuah benteng yang dibangun di Kairo pada tahun 1183. Secara umum, para Wazirnya adalah orang-orang terdidik, seperti al-Qadi al-Fadl dan al-Katib alIsfahani. Sementara itu, sekretaris pribadinya bernama Bahruddin ibn Syaddad kemudian juga dikenal sebagai penulis biografinya. Setelah Salahuddin al-Ayyubi meninggal, daerah kekuaannya yang terben-tang dari sungai Tigris hingga sunagi Nil itu kemdian dibagi-bagikan kepada keturunannya. Al- Malik al-Afdhal Ali, putera Salahuddin memperoleh kekuasaan untuk memerintah di Damaskus, al-Aziz berkuasa di Kairo, alMalik al-Jahir berkuasa di Aleppo (Halab) , dan al-Adil, adik Salahuddin, memperoleh kekuasaan di alKarak dan asy-Syaubak. Antara tahun 1196 dan 1199, al- Adil berhasil menguasai beberapa daerah lainnya, sehingga ia menjadi penguasa tunggal untuk Mesir dan sebagian besar Suriah. Al- Adil yeng

bergelar Saifuddin itu mengutamakan politik perdamaian dan mmajukan perdagangan dengan koloni Perancis. Setelah ia wafat pada 1218 M, beberapa cabang Bani Ayyub menegakkan kekuasaan sendiri di Mesir, Damaskus, Mesopotamia, Hims, Hamah, dan Yaman. Sejak itu, sering terjadi konflik internal di anara keluarga Ayyubiyah di Mesir dengan Ayubiyah di Damaskus untuk memperebutkan Suriah. Kemuaian al-Kamil Muhammad, putera al Adil, yang menguasai Mesir ( 615 635 H/ 1218 1238 M) termasuk tokoh Bani Ayub yang paling menonjol. Ia bangkit untuk melindungi daerah kekuasaannya dari rongrongan tentara Salib yang telah menaklukkan Dimyat, tepi sungai Nil, utara Kairo pada masa pemerintahan ayahnya. Tentara Salib memang ampaknya terus berusaha menaklukan Mesir dengan bantuan Italia.penaklukan Mesir menjadi sangat penting, karena dari negeri itulah mereka akan dapat menguaai jalur peragangan Samudera Hindia melalui Laut Merah. Setelah hampir dua tahun ( November 1219 hingga Agustus 1221 M) terjadi konflik antara tentara salib dengan pasukan Mesir, tetapi al-Kamil dapat memaksa tentara Sali untuk meningalkan Dimyati. Di samping memberikan perhatian seius pada dalam bidang politikdan mliter, al-Kamil juga dikenal sebagai seorang penguasa yang memberikan perhatian terhadap pembangunan dalam negeri. Program pemerintahannya ang cukup menonjol ialah membangun saluran irigasi dan membuka lahan-lahan pertanian serta menjalin hubungan perdagangan dengan Erpa. Selain itu, ia juga dapat menjaga kerukunan hidup beragama antra umat Islam dengan Kristen Koptik, dan bahkan sering mengadakan diskusi keagamaan dengan para pemimpin Koptik. Pada masa it kota Yerussalem masih tetap berada di bawah kekuasaan tentara Salib sampai 1244 M. Ketika al- Malik al-Saleh, putera Malik al- Kamil, memerintah ada tahun 1240 1249 , pasukan Turki dari Khawarizm mengembalikan kota itu ke tangan Islam. Pada 6 Juni 1249 M pelabuhan Dimyati di tepi sungai Nl ditaklukan kembali oleh tentara alib ang dipimpin oleh Raja Louis IX ari Perancis. Ketika pasukan Salib hendak menuju Kairo, sungai Nil dalam keadaan pasang, sehingga mereka menghadapi kesulitan dan akhirnya dapat dikalakan oleh pasukan Ayyubiyah pada April 1250. Raja Louis IX dan beberapa bangsawan Perancis ditawan, tetapi kemudian mereka dibebaskan kembali setelah Dimyati dikembalikan ke tangan tentara muslim, disertai dengan sejumlah bahan makanan sebagai bahan tebusan. Kemudian pada bulan November 1249 M, Malik al-Saleh meninggal dunia. Semula ia akan digantikan oleh putera mahkota, Turansyah. Untuk itu, Turansyah dipanggil pulang dari Mesopotamia ( Sutiah) untuk menerima tampuk kekuasaan ini. Untuk menghidari kevakuman kekuasaan, sebelum Turansyah tiba di Mesir, ibu tirinya yaitu Sajaratuddur. Akan tetapi, ketika Turansyah akan mengambil alih kekuasan ia mendapat tantangan dai para Mamluk, amba sahaya yang dimiliki tuannya, yan tidak menyenanginya. Belum genap satu tahun uransyah berkuasa, ia kemudian dibunuh oleh para mamluk tersebut atas perintah ibu tirinya, Sajaratuddur. Sejak saat itu, Sajaratddur menyatakan dirinya sebagai Sultanah pertama di Mesir. Pada saat yang bersamaan, seorang pemimpin Ayubiyah bernama al-Asyraf Musa dari Damaskus juga menyataka dirinya sebagai sultan Ayyubiyah meskipun hanya sebatas lambang saja tanpa kedauoatan atau kekuasaan yang riel. Kekuasaan yang sebenarnya justeru berada di tangan seorang mamluk bernama Izzuddin Aybak, pendiri dinasti Mamluk (1250-1257 ) . Akan tetapi, sejak al-Asyraf Musa meninggal pada 1252 M, beakhirlah masa pemerintahan dinasti al-Ayubiyah, dan kekuasaan beralih ke pmerintahan Dinasti Mamluk ( 1250-121517 M) B. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan al-Azhar

Al-Azhar didirikan oleh seorang panglima dinasti Fatimiyah bernama Jauhar al-Katib al-Siqili pada tahun 970 M. atas perintah khalifah al-Muiz Lidin illah, sebagai tempat ibadah (masjid) yang sekaligus tempat melakukan propaganda ajaran Syi ah dan lambang kepemimpinan spiritual umat Islam. Sebelumnya, masjid al-Azhar bernama masjid al-Qahirah atau al-Jami al Qahirah, yang di zaman modern ini dikenal dengan al-Azhar. Pembangunan masjid ini di mulai pada tanggal 4 April 970M/24 Jumadi al-Ula tahun 359 H dan selesai pada tanggal 7 Ramadhan 361H/22 Juni 972 M. dan pada tanggal itu pula diresmikan sebagai masjid yang dapat dipergunakan sebagai tempat peribadatan. Bentuk peresmian itu ditandai dengan pelaksanaan shalat Jum at bersama. Luas bangunan masjid ini menurut perkiraan para sejarawan sekitar 6356 kaki. Tidak dapat diketahui secara pasti mengapa masjid al-Qahirah dalam perjalanan sejarahnya berubah nama menjadi masjid al-Azhar. Menurut sebahagian para ahli, seperti Saniyah Qura ah mengatakan bahwa penamaan tersebut berawal dari usulan Ya kub Ibn Killis, seorang wazir khalifah al-Aziz billah, untuk merubah nama masjid tersebut. Penamaan yang diusulkan itu dinisbatkan dengan nama istana khalifah, al-Qhusur al-Zahirah, atau dikaitkan dengan nama putri Nabi Muhammad Fatimah alZahrah. Namun, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa penamaan tersebut dikait-kan dengan nama sebuah planet (Venus) yang memiliki cahaya cemerlang. Penamaan tersebut jelas mempunyai maksud tertentu yang diingini para pendiri dan pelindung masjid al-Azhar. Diharapkan masjid ini membawa sinar terang dan kejayaan umat Islam yang dapat menyinari dunia. Harapan itu dapat disaksikan dalam perjalaana sejarah masjid ini saat fungsinya digandakan, tidak lagi hanya sebagai tempat ibadah dan propaganda ajaran Syi ah, tetapi berfungsi pula sebagai Madrasah Tinggi di Kairo, Mesir. Setelah al-Azhar resmi menjadi masjid negara, kegiatan ilmiah pertama kali dilakukan ketika para ilmuan yang terdiri dari para Fuqoha terkenal dan pejabat pemerintahan Fatimiyah berkumpul di alAzhar untuk mendengarkan ceramah umum (Studium Generalle) yang disampaikan oleh Abu alHasan Nu man Ibn Muhammad al-Qirawaniy yang bergelar Hakim Agung (Qadi al-Qudat) dinasti Fatimiyah. Peristiwa itu terjadi pada bulan Oktober 975M/Shafar 365H. Dalam acara stadium generalle itu, al-Qirawaniy menguraikan tentang prinsip-prinsip fiqh Syi ah yang terdapat di dalam kitab al-Ikhtishar. Kitab ini berisikan propaganda Syi ah, tujuan dan sasarannya. Kegiatan kuliah umum ini merupakan awal proses terbentuknya Kuttab (tempat belajar) dan Halaqah (lingkaran study) di al-Azhar. Dalam perjalanan sejarah berikutnya, al-Azhar terus difungsikan sebagai pusat kegiatan belajar, baik di Halaqah atau di Kuttab yang berada di al-Azhar itu. Para pengajarnya berasal dari Bani Nu man yang mengajar di tempat tersebut sampai tahun 369M/979M, saat Halaqah itu berubah menjadi sebuah lembaga Tinggi yang memiliki sistem pendidikan tinggi, ketika Ya kub ibn Killis menjadi wazir dan memimpin lembaga tersebut. Hal itu terjadi setelah Ibn Killis memberikan ceramah umum yang dihadiri oleh para ulama dan umara. Dalam kesempatan itu Ibn Killis melihat ada keseriusan mereka untuk terus mengkaji bidangbidang ilmu seperti fiqh, sastra dan sebagainya. Untuk itu, Ibn Killis tahun 988 M/378H, memohon kepada khalifah al-Aziz bi Allah untuk memperhatikan 37 orang faqih yang melakukan kajian ilmiah di al-Azhar setelah shalat jum at hingga datang waktu ashar. Atas permintaan itu, al-Aziz membuatkan mereka tempat tinggal dekat al-Azhar. Untuk memenuhi kebutuhan mereka seharihari, Ya kub Ibn Killis memberikan sebagian uangnya untuk mereka. Para fuqoha ini merupakan guru-guru pertama yang mengajar di al-Azhar. Sejak saat itulah al-Azhar

tampak kelihatan karakteristikya sebagai sebuah lembaga ilmiah sebenarnya, yang memiliki cirri akademis. Hal itu semua terjadi karena perhatian serius dari khalifah al-Aziz dan wazirnya Ibn Killis, yang selalu memperhatikan kehidupan ilmu dan ilmuan. Peristiwa ini dinilai Hasan Langgulung sebagai suatu tindakan yang tepat dan bijaksana, karena tindakan itu merupakan bukti kepedulian penguasa terhadap perkembangan al-Azhar untuk menemukan ciri-ciri akademik dan ilmiah dengan sistem belajar klasikal secara umum dan metode diskusi, dan ini merupakan awal dari timbulnya sistem pendidikan tinggi di al-Azhar. Dengan demikian, al-Azhar dalam perjalanan sejarahnya mengalami perubah-an-perubahan sangat penting bagi pertumbuhan ilmu dan kemajuan hasil yang dicapainya, saat masjid itu mengalami penambahan fungsi, dari hanya sekedar tempat ibadah dan pusat propaganda ajaran Syi ah, menjadi sebuah lembaga atau madrasah tinggi dengan sistem baru. Peristiwa itu terjadi pada masa kepemimpinan khalifah al-Aziz billah dan wazir Ya kub Ibn Killis tahun 988M/399H. Kedatangan para ulama dan pencari ilmu untuk belajar di al-Azhar, karena tertarik dengan sistem yang digunakan Ibn Killis. Literatur yang dijadikan bahan kajian adalah kitab al-Iktishar, karya Abu Nu man, yang berisi tentang doktrin dan propaganda Syi ah. Kitab Da aim al-Islam fi al-Hakak wa alHaram, karya Abu Nu man dan Kitab al-Risalah al- Waziriah, karya Ibn Killis. Dua kitab yang disebut belakangan merupakan kitab yang menjadi bahan rujukan utama pada masa khalifah al-Zahir. Mereka yang memperlajari dan mengahapal kitab tersebut, di jamin biaya hidupnya oleh Khalifah. Kelompok-kelompok studi yang terdapat di al-Azhar pada masa dinasti Fatimiyah, menurut Dodge ada tiga kelompok. Pertama, kelompok yang terdiri dari murid yang semata-mata mendengar, membaca dan menjelaskan al-Qur an. Kedua, mereka yang duduk melingkar mengelilingi guru, dan guru duduk di lantai. Guru itu mendiktekan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan murid-murid (al-Mujawirin) mengenai pelajaran yang diberikan. Ketiga, kelompok yang sudah dianggap mampu untuk menjadi tenaga pengajar dan menjadi propagandis-propagandis. Hubungan antara guru dengan murid, terjalin begitu akrab. Guru sangat dihormati dan dimuliakan, tidak hanya oleh para murid, juga dihormati penguasa, karena kedudukan dan peranannya sebagai ilmuan. Oleh karena itu mereka sering disebut sebagai al-Janib al Syarif, al-Imami, al- Alimi, Umdat al-Muhaqqiqien, dan Facr al-Mudarrisin. Sebagai penghargaan khalifah Fatimiyah kepada para guru al-Azhar, mereka mendapat tunjangan rutin dari pemerintah, begitu juga para murid yang belajar di sana. Sistem ini berlangsung hingga pada masa al-Hafidz. Pada masa kekuasaan khalifah al-Hafidz li Dinillah (1130-1149M), al-Azhar mengalami pengembangan fisik. Pada masanya di bangun Maqsurat Fatimah (Serambi Fatimah). Akan tetapi, pada waktu al-Adid berkuasa (1160-1171 M), terjadi konflik intern. Syirkuh, salah seorang menteri yang ambisius yang bekerjasama dengan Salahuddin al-Ayyubi, bersama-sama berusaha mengendalikan keadaan pemerintahan. Akan tetapi setelah al-Adid meninggal dunia, terjadi masa kekosongan kekuasaan (Vacum of Power). Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Salahuddin al-Ayyubi untuk mengambil kekuasaan. C. Al-Azhar Pada Masa Pemerintahan Dinasti al-Ayyubiyah. Segera setelah dinasti Fatimiyah runtuh (1171M) Salahuddin al-Ayyubi meng-hapuskan dinasti tersebut dan secara jelas ia menyatakan dirinya sebagai penguasa baru atas Mesir, dengan nama dinasti Ayyubiyah. Dinasti ini lebih berorientasi ke Baghdad, yang Sunni. Nasib al-Azhar pada masa pemerintahan dinasti Ayyubiyah, sebenarnya tidak lebih baik dari masa pemerintahan dinasti Fatimiyah. Sebab, setelah Salahuddin berkuas, ia mengeluarkan beberapa kebijaksanaan baru mengenai al-Azhar. Kebijakan itu antara lain, penutupan al-Azhar. Al-Azhar

tidak boleh lagi dipergunakan untuk shalat Jum at dan Madrasah, juga dilarang dijadikan sebagai tempat belajar dan mengkaji ilmu-ilmu, baik agama, maupun ilmu umum. Alasannya, menurut Hasan Langgulung, penutupan itu diberlakukan karena al-Azhar pada masa dinasti Fatimiyah dijadikan sebagai alat atau wadah untuk mempropaganda ajaran Syi ah. Hal itu amat berlawanan dengan mazhab resmi yang dianut dinasti Ayyubiyah, yaitu mazhab Sunni. Kebijakan lain yang diambilnya adalah menunjuk seorang Qadi, Sadr al Din Abd al-Malik ibn Darabas untuk menjadi Qadi tertinggi, yang nantinya berhak mengeluarkan fatwa-fatwa tentang hukumhukum mazhab Syafi i. Di antaran fatwa yang dikeluarkan adalah melarang umat Islam saat itu untuk melakukan shalat Jum at di masjid al-Azhar, dan hanya boleh melakukannya di masjid al-Hakim. Alasannya, masjid al-Hakim lebih luas. Selain itu, dalam mazhab Syafi i tidak boleh ada dua khutbah Jum at dalam satu kota yang sama. Masjid al-Azhar tidak dipakai untuk shalat Jum at dan kegiatan pendidikan selama lebih kurang seratus tahun, yaitu sejak Salahuddin berkuasa sampai khutbah Jum at dihidupkan kembali pada zaman pemerintahan Sultan Malik al-Zahir Baybars dari Dinasti Mamluk yang berkuasa atas Mesir. Meskipun begitu, pentupan al-Azhar sebagai masjid dan perguruan tinggi pada masa dinasti Ayyubiyah, bukanlah berarti dinasti ini tidak memperhatikan bidang-bidang agama dan pendidikan. Bahkan pendidikan mendapat perhatian serius dari para penguasa dinasti ini. Indikasinya adalah pembangunan madrasah-madrasah di hampir setiap wilayah kekuasaan, mengadakan pengajian tinggi (kulliyat) dan universitas pun digalakkan. Oleh karena itu, tidak kurang dari 25 kulliyat didirikan oleh kerajaan Ayyubiyah. Diantara kulliyat-kuliyyat yang terkenal adalah Manazil al- Iz, al-Kulliyat alAdiliyah, al-Kulliyat al-Arsufiyah, al-Kulliyat al- Fadiliyah, al-Kulliyat al-Azkasyiayah, dan al-kulliyat alAsuriyah. Semua nama-nama itu dinisbatkan kepada nama-nama pendirinya, yang biasanya sekaligus pemberi wakaf bagi murid-murid dan guru-gurunya. Meskipun ada semacam larangan untuk tidak mengunakan al-Azhar sebagai pusat kegiatan, masjid itu tidak begitu saja ditinggalkan oleh murid-murid dan guru-guru, karena hanya sebagian mereka yang pergi meninggalkan tempat itu. Itu pun karena al-Azhar tidak mendapat subsidi (wakaf dari pemerintah). Dengan demikian, al-Azhar praktis mengalami masa-masa surut. Keadaan demikain tidak selamanya terjadi, sebab pada masa pemerintahan Sultan al-Malik al-Aziz Imaduddin Usman, putra Salahuddin al Ayyubi datang seorang alim ke tempat ini (al-Azhar), ia bernama Abd al-Latif al-Baghdadi yang datang ke Mesir tahun 1193M/589H. Beliau mengajar di alAzhar selama Sultan al-Malik al-Aziz berkuasa. Materi yang diajarkannya meliputi mantiq dan Bayan. Kedatangan al- Baghdadi menambah semangat beberapa ulama yang masih menetap di al-Azhar, di antara merka adalah Ibn al-Farid, ahli sufi terkenal, Syeikh Abu al-Qosim al-Manfaluti, Syeikh Jama al-Din al- Asyuti, Syeikh Shahabu al-Din al-Sahruri, dan Syams al-Din Ibn Khalikan, seorang ahli sejarah yang mengarang kitab wafiyyat al- Ayan. Selain mengajar mantiq dan bayan, al- Baghdadi juga mengajar hadits dan fiqh. Materi itu diajarkan kapada para muridnya pada pagi hari. Tengah hingga sore hari ia mengajar kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya. Selain itu, al- Baghdadi juga memberi kelas-kelas privat di tempat-tempat lain. Ini merupakan upaya al- Baghdadi untuk memberikan informasi dan sekaligus mensosialisasikan mazhab Sunni kepada masyarakat Mesir Selama masa pemerintahan dinasti Ayyubiyah di Mesir (1171-1250M), perkembangan aliran atau mazhab Sunni begitu pesat, pola dan sistem pendidikan yang dikembangkan tidak bisa lepas dari kontrol penguasa yang beraliran Sunni, sehingga al-Azhar dan masa-masa berikutnya merupakan lembaga tinggi yang sekaligus menjadi wadah pertahanan ajaran Sunni. Para penguasa dinasti Ayyubiyah yang sunni masih tetap menaruh hormat setia kepada pemerintahan khalifah Abbasiyah

di Baghdad. Oleh karena itu, di bawah payung khalifah Abbasiyah mereka berusaha sungguhsungguh menjalankan kebijaksanaan untuk kembali kepada ajaran Sunni. Salah satu lembaga strategis yang dapat diandalkan sebagai tempat pembelajaran dan penyebaran ajaran mazhab Suni adalah al-Azhar. Diposkan oleh odiemha di 21:47

Rangkuman materi: 1.1 Sejarah Pembentukan Dinasti Al-ayyubuyah (569-650/ 1174-1252 M) 1.1.1 Berdirinya dinasti Al-ayyubiyah Bani Ayyubiyah merupakan keturunan Ayyub suku Kurdi. Pendiri dinasti ini adalah Salahuddin Yusuf al-Ayyubi putra dari Najamuddin bin Ayyub. Pada masa Nuruddin Zanki (Gubernur Suriah dari bani Abbasiyah), Salahuddin diangkat sebagai kepala garnisum di Balbek. Kehidupan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi penuh dengan perjuangan dan peperangan. Semua itu dilakukan dalam rangka menunaikan tugas negara untuk memadamkan sebuah pemberontakan dan juga dalam menghadapi tentara salib. Perang yang dilakukannya dalam rangka untuk mempertahankan dan membela agama. Selain itu Salahuddin Yusuf al-Ayyubi juga seorang yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap umat agama lain, hal ini terbukti: a. b. Ketika beliau menguasai Iskandariyah ia tetap mengunjungi orang-orang kristen Ketika perdamaian tercapai dengan tentara salib, ia mengijinkan orang-orang kristen berziarah ke Baitul Makdis. Keberhasilan beliau sebagai tentara mulai terlihat ketika ia mendampingi pamannya Asaduddin Syirkuh yang mendapat tugas dari Nuruddin Zanki untuk membantu Bani Fatimiyah di Mesir yang perdana menterinya diserang oleh Dirgam. Salahuddin Yusuf alAyyubi berhasil mengalahkan Dirgam, sehingga beliau dan pamannya mendapat hadiah dari Perdana Menteri berupa sepertiga pajak tanah Mesir. Akhirnya Perdana Menteri Syawar berhasil menduduki kembali jabatannya pada tahun 1164 M. Tiga tahun kemudian, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi kembali menyertai pamannya ke Mesir. Hal ini dilakukan karena Perdana Menteri Syawar bersekutu/ bekerjasama dengan Amauri yaitu seorang panglima perang tentara salib yang dulu pernah membantu Dirgam. Maka terjadilah peperangan yang sangat sengit antara pasukan Salahuddin dan pasukan Syawar yang dibantu oleh Amauri. Dalam. Dalam peperangan tersebut pasukan Salahuddin berhasil menduduki Iskandariyah, tetapi ia dikepunt dari darat dan laut oleh tentara salib yang

dipimpin oleh Amauri. Akhirnya peperangan ini berakhir dengan perjanjian damai pada bulah Agustus 1167 M, yang isinya adalah sebagai berikut: a. Pertukaran tawanan perang

b. Salahuddin Yusuf al-Ayyubi harus kembali ke Suriah c. Amauri harus kembali ke Yerusalem

d. Kota Iskandariyah diserahkan kembali kepada Syawar. Pada tahun 1169, tentara salib yang dipimpin oleh Amauri melanggar perjanjian damai yang disepakati dahulu yaitu Dia menyerang Mesir dan bermaksud untuk menguasainya. Hal itu tentu saja sangat membahayakan keadaan umat islam di Mesir, karena: a. Mereka banyak membunuh rakyat di Mesir

b. Mereka berusaha menurunkan Khalifah al-Adid dari jabatannya Khalifah al-Addid mengangkat Asaduddin Syirkuh sebagai Perdana Menteri Mesir pada tahun 1169 M. ini merupakan pertama kalinya keluarga al-Ayyubi menjadi Perdana Menteri, tetapi sayang beliau menjadi Perdana Menteri hanya dua bulan karena meninggal dunia. Khalifal al-Adid akhirnya mengangkat Salahuddin Yusuf al-Ayyubi menjadi Perdana Menteri menggantikan pamannya Asaduddin Syirkuh dalam usia 32 tahun. Sebagai Perdana Menteri beliau mendapati gelah al-Malik an-Nasir artinya penguasa yang bijaksana. Setelah Khalifah al-Adid (Khalifah Dinasti Fatimah) yang terakhir wafat pada tahun 1171 M, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi berkuasa penyh untuk menjalankan peran keagamaan dan politik. Maka sejak saat itulah Dinasti Ayyubiyah mulai berkuasa hingga sekitar 75 tahun lamanya. 1.1.2 Penguasa-penguasa Dinasti Al-Ayyubiah

Selama lebih kurang 75 tahun dinasti Al-Ayyubiyah berkuasa, terdapat 9 orang penguasa yakni sebagai berikut: 1. Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi (1171-1193 M) 2. Malik Al-Aziz Imaduddin (1193-1198 M) 3. Malik Al-Mansur Nasiruddin (1198-1200 M) 4. Malik Al-Adil Saifuddin, pemerintahan I (1200-1218 M) 5. Malik Al-Kamil Muhammad (1218-1238 M) 6. Malik Al-Adil Sifuddin, pemerintahan II (1238-1240 M) 7. Malik As-Saleh Najmuddin (1240-1249 M) 8. Malik Al-Muazzam Turansyah (1249-1250 M) 9. Malik Al-Asyraf Muzaffaruddin (1250-1252 M) Dalam uraian berikut akan dibahas mengenai penguasa-penguasa yang menonjol, yaitu:

1. Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi (1171-1193 M) 2. Malik Al-Adil Saifuddin, pemerintahan I (1200-1218 M) 3. Malik Al-Kamil Muhammad (1218-1238 M)

1. Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi (1171-1193 M) Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi tidak hanya dikenal sebagai seorang panglima perang yang gagah berani dan ditakuti, akan tetapi lebih dari itu, beliau adalah seorang yang sangat memperhatikan kemajuan pendidikan. Salah satu karya monumental yang disumbangkannya selama beliau menjabat sebagai sultan adalah bangunan sebuah benteng pertahanan yang diberi nama Qalatul Jabal yang dibangun di Kairo pada tahun 1183 M. Selain itu beliau juga merupakan salah seorang Sultan dari dinasti Ayyubiyah yang memiliki kemampuan memimpin. Hal ini diketahui dari cara Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi dalam mengangkat para pembantunya (Wazir) yang terdiri dari orang-orang cerdas dan terdidik. Mereka antara lain seperti Al-Qadhi Al-Fadhil dan Al-Katib Al-Isfahani. Sementara itu sekretaris pribadinya bernama Bahruddin bin Syadad, yang kemudian dikenal sebagai penulis Biografinya. Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi tidak membuat suatu kekuasaan yang terpusat di Mesir. Beliau justru membagi wilayak kekuasaannya kepada saudara-saudara dan keturunannya. Hal ini mengakibatkan munculnya beberapa cabang dinast Ayyubiyah berikut ini: a. Kesultanan Ayyubiyah di Mesir

b. Kesultanan Ayyubiyah di Damaskus c. Keamiran Ayyubiyah di Aleppo

d. Kesultanan Ayyubiyah di Hamah e. f. Kesultanan Ayyubiyah di Homs Kesultanan Ayyubiyah di Mayyafaiqin

g. Kesultanan Ayyubiyah di Sinjar h. Kesultanan Ayyubiyah di Hisn Kayfa i. j. Kesultanan Ayyubiyah di Yaman Keamiran Ayyubiyah di Kerak

Salahuddin Yusuf al-Ayyubi dianggap sebagai pembaharu di Mesir karena dapat mengembalikan mazhab sunni. Melihat keberhasilannya itu Khlaifah al-Mustadi dari Bani Abbasiyah memberi gelar kepadanya al-Muizz li Amiiril muminiin (penguasa yang mulia). Khalifah al-Mustadi juga memberikan Mesir, an-Naubah, Yaman, Tripoli, Suriah dan

Maghrib sebagai wilayah kekuasaan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi pada tahun 1175 M. sejak saat itulah Salahuddin dianggap sebagai Sultanul Islam Wal Muslimiin (Pemimpin umat ilam dan kaum muslimin). Di antara orang-orang yang iri dan melakukan pemberontakan terhadap Salahuddi Yusuf al-Ayyubi adalah sebagai berikut: a. Pemberontakan yang dilakukan Nuruddin Zanki, ia memberontak karena kebesaran namanya tersaingi oleh Salahuddin Yusuf al-Ayyubi b. Pemberontakan yang dilakukan Hijab (Kepala rumah tangga Khalifah al-Adid), ia memberontak karena merasa hak-haknya banyak dikurangi. c. Pemberontakan yang dilakukan oleh kaum Asassin yang dipimpin oleh Syakh Sinan karena merasa tersaingi. d. Pemberontakan yang dilakukan Zanki, kelompok ini merupakan permbela Al-Malik as-Salih yang bersekongkol dengan al-Gazi (penguasa Mosul dan paman Malik as-Salih Ismail) yang beusaha menjatuhkan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi karena merasa tersaingi. Perang melawan tentara salib yang pertama adalah melawan Amalric 1, taja Yerusalem, yang kedua melawan Baldwin IV (putra Amalric 1), yang ketiga melawan Raynald de Chatillon (penguasa benteng Karak di sebelah tidur laut mati), yang keempat melawan Raja Baldwin V sehingga kota-kota seperti Teberias, Nasirah, Samaria, Suweida, Beirut, Batrun, Akra, Ramalah, Gaza Hebron dan Baitul Maqdis berhasil dikuasai oleh Salahuddin Yusuf alAyyubi. Selain Clement III, para penguasa Eropa yang membantu dalam perang melawan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi adalah: a. Philip II, Raja Prancis

b. Rivhard I, The Lion Heart (Hati Singa), Raja Inggris c. William, raja Sisilia

d. Frederick Barbafossa, Kaisar Jerman Setelah perang melawan tentara salib selesai, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi memindahkan pusat pemerintahannya dari Mesir ke Damaskus, dan dia meninggal di sana pada tahun 1193 M dalam usia 57 tahun.

2. Malik Al-Adil Saifuddin, pemerintahan I (1200-1218 M) Sering dipanggil Al-Adil nama lengkapnya adalah al-Malik al-Adil saifuddin Abu Bakar bin Ayyub. Dari nama Sifuddin inilah tentara salib memberi julukan Saphadin. Beliau putra Najmuddin Ayyub yang merupakan saudara muda Salahuddin Yusuf al-Ayyubi.

Setelah kematian Salahuddin, Ia menghadapi pemberontakan dari Izzuddin di Mosul. Ia juga menentukan siapa yang berhak menjadi penguasa ketika terjadi perselisihan diantara anak-anak Salahuddin Yusuf al-Ayyubi yaitu al-Aziz dan al-Afdal. Setelah kematian alAziz. al-Afdal berusaha meduduki jabatan Sultan, akan tetapi al-Adil beranggapan al-Afdal tidak pantas menjadi Sulatan. Akhirnya terjadilah peperangan antara keduanya, al-Adil nberhasil mengalahkan al-Afdal dan beliau menjadi Sultan di Damaskus. Al-Adil merupakan seorang pemimpin pemerintahan danpengatur strategi yang berbakat dan efektif.

3. Malik Al-Kamil Muhammad (1218-1238 M) Nama lengkap al-Kamil adalah al-Malik al-Kamil Nasruddin Abu al-Maali Muhammad. Selain dipuja karena mengalahkan dua kali pasukan salib ia juga dicaci maki karena menyerahkan kembali kota Yerusalem kepada orang Kristen. Al-Kamil adalah putra dari al-Adil. Pada tahun 1218 al-Kamil memimpin pertahanan menghdapi pasukan salib yang mengepung kota Dimyat (Damietta) dan kemudian menjadi Sulatan sepeninggal ayahnya. Pada tahun 1219, Ia hampir kehilangan takhtanya karena konserpasi kaum kristen koptik. Al-Kamil kemudian pergi ke Yaman untuk menghindari konspirasi itu, akhirnya konspirasi itu berhasil dipadamkan oleh saudaranya bernama alMuazzam yang menjabat sebagai gubernur Suriah. Pada bulan Februari tahun 1229 M, al-Kamil menyepakati perdamaian selama 10 tahun denga Federick II, yang berisi antara lain: a. Ia mngembalikan Yerusalem dan kota-kota suci lainnya kepada pasukan salib

b. Kaum muslimin dan yahudi dilarang memalsuki kota itu kecuali disekitar Masjidil Aqsa dan Majid Umar. Al-Kamil meninggal dunia pada tahun 1238 M. Kedudukannya sebagai Sultan digantikan oleh Salih al-Ayyubi.

1.1.3

Berakhirnya dinasti Ayyubiyah

Runtuhnya Dinasti Ayyubiyah dimulai pada masa pemerintahan Sultan As-Salih. Setelah As-Salih meniggal pada tahun 1249 M, kaum Mamluk mengangkati estri As-Salih, Syajaratud Durr sebagai Sultanah. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Dinasti Ayyubiah di Mesir. Medkipun demikian dinasti Ayyubiyah masih berkuasa di Suriah. Pada tahun 1260 M. tentara Mongol hendak menyerbu Mesir. Komando tentara Islam dipegang oleh Qutuz, panglima perang Mamluk. Dalam pertempuran di Ain Jalut, Qutuz berhasil

mengalahkan tentara Mongol dengan gemilang. Selanjutnya, Qutuz mengambil alih Kekuasaan Dinasti Ayyubiyah. Sejak itu, berakhirlah kekuasaan Dinasti Ayyubiyah. Diposkan oleh Iwan Subhan's Blog di07:28