biografi sastrawan

Upload: hamdanillah

Post on 17-Jul-2015

520 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Biografi Taufiq Ismail

Taufiq Ismail lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935. Masa kanak-kanak sebelum sekolah dilalui di Pekalongan. Ia pertama masuk sekolah rakyat di Solo. Selanjutnya, ia berpindah ke Semarang, Salatiga, dan menamatkan sekolah rakyat di Yogya. Ia masuk SMP di Bukittinggi, SMA di Bogor, dan kembali ke Pekalongan. Pada tahun 19561957 ia memenangkan beasiswa American Field Service Interntional School guna mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Wisconsin, AS, angkatan pertama dari Indonesia. Ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia (sekarang IPB), dan tamat pada tahun1963. Pada tahun 19711972 dan 19911992 ia mengikuti International Writing Program, University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat. Ia juga belajar pada Faculty of Languange and Literature, American University in Cairo, Mesir, pada tahun 1993. Karena pecah Perang Teluk, Taufiq pulang ke Indonesia sebelum selesai studi bahasanya. Semasa mahasiswa Taufiq Ismail aktif dalam berbagai kegiatan. Tercatat, ia pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa FKHP UI (19601961) dan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa (19601962). Ia pernah mengajar sebagai guru bahasa di SMA Regina Pacis, Bogor (1963-1965), guru Ilmu Pengantar Peternakan di Pesantren Darul Fallah, Ciampea (1962), dan asisten dosen Manajemen Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas Indonesia Bogor dan IPB (19611964). Karena menandatangani Manifes Kebudayaan, yang dinyatakan terlarang oleh Presiden Soekarno, ia batal dikirim untuk studi lanjutan ke Universitas Kentucky dan Florida. Ia kemudian dipecat sebagai pegawai negeri pada tahun 1964. Taufiq menjadi kolumnis Harian KAMI pada tahun 1966-1970. Kemudian, Taufiq bersama Mochtar Lubis, P.K. Oyong, Zaini, dan Arief Budiman mendirikan Yayasan Indonesia, yang kemudian juga melahirkan majalah sastra Horison (1966). Sampai sekarang ini ia memimpin majalah itu. Taufiq merupakan salah seorang pendiri Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman Ismail Marzuki (TIM), dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) (1968). Di ketiga lembaga itu Taufiq mendapat berbagai tugas, yaitu Sekretaris Pelaksana DKJ, Pj. Direktur

TIM, dan Rektor LPKJ (19681978). Setelah berhenti dari tugas itu, Taufiq bekerja di perusahaan swasta, sebagai Manajer Hubungan Luar PT Unilever Indonesia (1978-1990). Pada tahun 1993 Taufiq diundang menjadi pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Malaysia. Sebagai penyair, Taufiq telah membacakan puisinya di berbagai tempat, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Dalam setiap peristiwa yang bersejarah di Indonesia Taufiq selalu tampil dengan membacakan puisi-puisinya, seperti jatuhnya Rezim Soeharto, peristiwa Trisakti, dan peristiwa Pengeboman Bali. Hasil karya: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Tirani, Birpen KAMI Pusat (1966) Benteng, Litera ( 1966) Buku Tamu Musium Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta (buklet baca puisi) (1972) Sajak Ladang Jagung, Pustaka Jaya (1974) Kenalkan, Saya Hewan (sajak anak-anak), Aries Lima (1976) Puisi-puisi Langit, Yayasan Ananda (buklet baca puisi) (1990) Tirani dan Benteng, Yayasan Ananda (cetak ulang gabungan) (1993) Prahara Budaya (bersama D.S. Moeljanto), Mizan (1995) Ketika Kata Ketika Warna (editor bersama Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, Amri Yahya, dan Agus Dermawan, antologi puisi 50 penyair dan repoduksi lukisan 50 pelukis, dua bahasa, memperingati ulangtahun ke-50 RI), Yayasan Ananda (1995) 10. Seulawah Antologi Sastra Aceh (editor bersama L.K. Ara dan Hasyim K.S.), Yayasan Nusantara bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Khusus Istimewa Aceh (1995) 11. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Yayasan Ananda (1998) 12. Dari Fansuri ke Handayani (editor bersama Hamid Jabbar, Herry Dim, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, Jamal D. Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan Anwar, antologi sastra Indonesia dalam program SBSB 2001), Horison-Kakilangit-Ford Foundation (2001) 13. Horison Sastra Indonesia, empat jilid meliputi Kitab Puisi (1), Kitab Cerita Pendek (2), Kitab Nukilan Novel (3), dan Kitab Drama (4) (editor bersama Hamid Jabbar, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, Herry Dim, Jamal D. Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan Anwar, antologi sastra Indonesia dalam program SBSB 2000-2001, HorisonKakilangit-Ford Foundation (2002) Karya terjemahan: 1. Banjour Tristesse (terjemahan novel karya Francoise Sagan, 1960) 2. Cerita tentang Atom (terjemahan karya Mau Freeman, 1962) 3. Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam (dari buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam, M. Iqbal (bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad), Tintamas (1964) Atas kerja sama dengan musisi sejak 1974, terutama dengan Himpunan Musik Bimbo (Hardjakusumah bersaudara), Chrisye, Ian Antono, dan Ucok Harahap, Taufiq telah menghasilkan sebanyak 75 lagu.

Ia pernah mewakili Indonesia baca puisi dan festival sastra di 24 kota di Asia, Amerika, Australia, Eropa, dan Afrika sejak 1970. Puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, Sunda, Bali, Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, dan Cina. Kegiatan kemasyarakatan yang dilakukannnya, antara lain menjadi pengurus perpustakaan PII, Pekalongan (1954-56), bersama S.N. Ratmana merangkap sekretaris PII Cabang Pekalongan, Ketua Lembaga Kesenian Alam Minangkabau (1984-86), Pendiri Badan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya (1985) dan kini menjadi ketuanya, serta bekerja sama dengan badan beasiswa American Field Service, AS menyelenggarakan pertukaran pelajar. Pada tahun 19741976 ia terpilih sebagai anggota Dewan Penyantun Board of Trustees AFS International, New York. Ia juga membantu LSM Geram (Gerakan Antimadat, pimpinan Sofyan Ali). Dalam kampanye antinarkoba ia menulis puisi dan lirik lagu Genderang Perang Melawan Narkoba dan Himne Anak Muda Keluar dari Neraka dan digubah Ian Antono). Dalam kegiatan itu, bersama empat tokoh masyarakat lain, Taufiq mendapat penghargaan dari Presiden Megawati (2002). Kini Taufiq menjadi anggota Badan Pertimbangan Bahasa, Pusat Bahasa dan konsultan Balai Pustaka, di samping aktif sebagai redaktur senior majalah Horison. Anugerah yang diterima: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1970) Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia (1977) South East Asia (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand (1994) Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994) Sastrawan Nusantara dari Negeri Johor, Malaysia (1999) Doctor honoris causa dari Universitas Negeri Yogyakarta (2003)

Taufiq Ismail menikah dengan Esiyati Yatim pada tahun 1971 dan dikaruniai seorang anak laki-laki, Bram Ismail. Bersama keluarga ia tinggal di Jalan Utan Kayu Raya 66-E, Jakarta 13120.

Biografi Chairil Anwar

Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya berkahwin lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta. Semasa kecil di Medan, Chairil sangat rapat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih: Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya. Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam. Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis. Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid,

Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya. Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda. Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis. Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, Saya minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar.

Biografi Essais Goenawan Muhammad

Goenawan Soesatyo Mohamad (lahir di Karangasem, Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941; umur 69 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia terkemuka. Ia juga salah seorang pendiri Majalah Tempo. Goenawan Mohamad adalah seorang intelektual yang punya wawasan yang begitu luas, mulai pemain sepak bola, politik, ekonomi, seni dan budaya, dunia perfilman, dan musik. Pandangannya sangat liberal dan terbuka. Seperti kata Romo Magniz-Suseno, salah seorang koleganya, lawan utama Goenawan Mohamad adalah pemikiran monodimensional. Masa Muda Pendiri dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Berita Tempo, ini pada masa mudanya lebih dikenal sebagai seorang penyair. Ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan 1964 yang mengakibatkannya dilarang menulis di berbagai media umum. Ia menulis sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson. Sejak di kelas 6 SD, ia mengaku menyenangi acara puisi siaran RRI. Kemudian kakaknya yang dokter, ketika itu berlangganan majalah Kisah, asuhan H.B Jassin. Goenawan yang biasanya dipanggil Goen, belajar psikologi di Universitas Indonesia, ilmu politik di Belgia, dan menjadi Nieman Fellow di Harvard University, Amerika Serikat. Goenawan menikah dengan Widarti Djajadisastra dan memiliki dua anak. Dunia Jurnalistik Pada 1971, Goenawan bersama rekan-rekannya mendirikan majalah Mingguan Tempo, sebuah majalah yang mengusung karakter jurnalisme majalah Time. Disana ia banyak menulis kolom tentang agenda-agenda politik di Indonesia. Jiwa kritisnya membawanya untuk mengkritik rezim Soeharto yang pada waktu itu menekan pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Tempo dianggap sebagai oposisi yang merugikan kepentingan pemerintah sehingga dihentikan penerbitannya pada 1994. Goenawan Mohammad kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), asosiasi jurnalis independen pertama di Indonesia. Ia juga turut mendirikan Institusi Studi Arus Informasi (ISAI) yang bekerja mendokumentasikan kekerasan terhadap dunia pers Indonesia. Ketika Majalah Tempo kembali terbit setelah Soeharto diturunkan pada tahun 1998, berbagai perubahan dilakukan seperti perubahan jumlah halaman namun tetap mempertahankan mutunya. Tidak lama kemudian, Tempo memperluas usahanya dengan menerbitkan surat kabar harian bernama Koran Tempo. Setelah terbit beberapa tahun, Koran Tempo menuai masalah. Pertengahan bulan Mei 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Timur menghukum Goenawan Mohammad dan Koran Tempo untuk

meminta maaf kepada Tommy Winata. Pernyataan Goenawan Mohammad pada tanggal 12-13 Maret 2003 dinilai telah melakukan pencemaran nama baik bos Artha Graha itu. Selepas jadi pemimpin redaksi majalah Tempo dua periode (1971-1993 dan 1998-1999), Goenawan praktis berhenti sebagai wartawan. Bersama musisi Tony Prabowo dan Jarrad Powel ia membuat libretto untuk opera Kali (dimulai 1996, tapi dalam revisi sampai 2003) dan dengan Tony, The Kings Witch (1997-2000). Yang pertama dipentaskan di Seattle (2000), yang kedua di New York.. Di tahun 2006, Pastoral, sebuah konser Tony Prabowo dengan puisi Goenawan, dimainkan di Tokyo, 2006. Di tahun ini juga ia mengerjakan teks untuk drama-tari Kali-Yuga bersama koreografer Wayan Dibya dan penari Ketut beserta Gamelan Sekar Jaya di Berkeley, California. Dia juga ikut dalam seni pertunjukan di dalam negeri. Dalam bahasa Indonesia dan Jawa, Goenawan menulis teks untuk wayang kulit yang dimainkan Dalang Sudjiwo Tedjo, Wisanggeni, (1995) dan Dalang Slamet Gundono, Alap-alapan Surtikanti (2002), dan drama-tari Panji Sepuh koreografi Sulistio Tirtosudarmo. Karya Sastra Selama kurang lebih 30 tahun menekuni dunia pers, Goenawan menghasilkan berbagai karya yang sudah diterbitkan, diantaranya kumpulan puisi dalam Parikesit (1969) dan Interlude (1971), yang diterjemahkan ke bahasa Belanda, Inggris, Jepang, dan Prancis. Sebagian eseinya terhimpun dalam Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980). Tetapi lebih dari itu, tulisannya yang paling terkenal dan populer adalah Catatan Pinggir, sebuah artikel pendek yang dimuat secara mingguan di halaman paling belakang dari Majalah Tempo. Konsep dari Catatan Pinggir adalah sekedar sebagai sebuah komentar ataupun kritik terhadap batang tubuh yang utama. Artinya, Catatan Pinggir mengambil posisi di tepi, bukan posisi sentral. Sejak kemunculannya di akhir tahun 1970-an, Catatan Pinggir telah menjadi ekspresi oposisi terhadap pemikiran yang picik, fanatik, dan kolot. Catatan Pinggir, esei pendeknya tiap minggu untuk Majalah Tempo, (kini terbit jilid ke-6 dan ke-7) di antaranya terbit dalam terjemahan Inggris oleh Jennifer Lindsay, dalam Sidelines (19..) dan Conversations with Difference (19.). . Kritiknya diwarnai keyakinan Goenawan bahwa tak pernah ada yang final dalam manusia. Kritik yang, meminjam satu bait dalam sajaknya, dengan raung yang tak terserap karang. Kumpulan esainya berturut turut: Potret Seorang Peyair Muda Sebagai Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, Kita (1980), Kesusastraan dan Kekuasaan (1993), Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001), Kata, Waktu (2001), Eksotopi (2002). Sajak-sajaknya dibukukan dalam Parikesit (1971), Interlude (1973), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998), dan Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 (2001). Terjemahan sajak-sajak pilihannya ke dalam bahasa Inggris, oleh Laksmi Pamuntjak, terbit dengan judul Goenawan Mohamad: Selected Poems (2004). Setelah pembredelan Tempo pada 1994, ia mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi), sebuah organisasi yang dibentuk bersama rekan-rekan dari Tempo dan Aliansi Jurnalis Independen, serta sejumlah cendekiawan yang memperjuangkan kebebasan ekspresi. Secara sembunyi-sembunyi, antara lain di Jalan Utan Kayu 68H, ISAI menerbitkan serangkaian media dan buku perlawanan terhadap Orde Baru. Sebab itu di Utan Kayu 68H bertemu banyak elemen: aktivis pro-demokrasi, seniman, dan cendekiawan, yang bekerja bahu membahu dalam perlawanan itu. Dari ikatan inilah lahir Teater Utan Kayu, Radio 68H, Galeri Lontar, Kedai Tempo, Jaringan Islam Liberal, dan terakhir Sekolah Jurnalisme Penyiaran, yang meskipun tak tergabung dalam satu badan, bersama-sama disebut Komunitas Utan Kayu. Semuanya meneruskan cita-cita yang tumbuh dalam perlawanan terhadap pemberangusan ekspresi. Goenawan Mohamad juga punya andil dalam pendirian Jaringan Islam Liberal. Tahun 2006, Goenawan dapat anugerah sastra Dan David Prize, bersama antara lain eseis & pejuang kemerdekaan Polandia, .Adam Michnik, dan musikus Amerika, Yo-yo-Ma. Tahun 2005 ia

bersama wartawan Joesoef Ishak dapat Wertheim Award. Karya terbaru Goenawan Mohamad adalah buku berjudul Tuhan dan Hal Hal yang Tak Selesai (2007), berisi 99 esai liris pendek. Yang edisi bahasa Inggrisnya berjudul On God and Other Unfinished Things diterjemahkan oleh Laksmi Pamuntjak.

Biografi Bloomffield

Leonard Bloomfield, 1887-1949. Leonard Bloomfield lahir di Chicago untuk imigran ke Amerika Serikat dari Austria-Hongaria. He entered Harvard in 1903, finishing his degree in 3 years. Dia masuk Harvard pada tahun 1903, menyelesaikan gelar dalam 3 tahun. At 19, with his Harvard AB in hand, he began graduate work in German studies at the University of Wisconsin in Madison, where he served as a teaching assistant. Pada 19, dengan Harvard-nya AB di tangan, dia mulai bekerja studi pascasarjana di Jerman di University of Wisconsin di Madison, di mana ia menjabat sebagai asisten mengajar. Here he met the linguist Eduard Prokosch, then a young instructor, and almost immediately determined to become a linguist. Di sini ia bertemu dengan ahli linguistik Eduard Prokosch, maka instruktur muda, dan segera bertekad untuk menjadi ahli bahasa. After two years of work at Wisconsin, he went to the University of Chicago to continue his studies in comparative-historical linguistics and Germanics. Setelah dua tahun bekerja di Wisconsin, ia pergi ke Universitas Chicago untuk melanjutkan studi di komparatif sejarah linguistik dan Germanics. He also studied Sanskrit; his uncle was Maurice Bloomfield, a well-known professor of Sanskrit and comparative linguistics, from whom he possibly derived some of his interest. Dia juga belajar bahasa Sansekerta; pamannya Maurice Bloomfield, seorang profesor terkenal Sansekerta dan linguistik komparatif, dari siapa ia mungkin berasal beberapa minatnya. After obtaining his Ph.D. Setelah mendapatkan gelar Ph.D. in 1909 at the age of 22, Bloomfield taught German at the University of Cincinnati and then the University of Illinois. pada tahun 1909 pada usia 22, Bloomfield diajarkan Jerman di Universitas Cincinnati dan kemudian University of Illinois. In 1913 he was appointed Assistant Professor of Comparative Philology and German at the University of Illinois, and taught there until 1921. Pada tahun 1913 ia diangkat sebagai Asisten Profesor Filologi Perbandingan dan Jerman di University of Illinois, dan mengajar di sana sampai 1921. At that point he accepted a professorship at Ohio State, where he taught until 1927. Pada saat itu ia menerima jabatan profesor di Ohio State, di mana ia mengajar sampai 1927. In the summer of 1925, he became an Assistant Ethnologist in the Canadian Department of Mines in Ottawa, a position that allowed him to carry out fieldwork on native American languages. Pada musim panas 1925, ia menjadi seorang etnolog Asisten di Departemen Pertambangan Kanada di Ottawa, posisi yang memungkinkan dia untuk melakukan penelitian lapangan pada bahasa-bahasa pribumi Amerika. In 1927 he took a prestigious position as Professor of Germanic Philology at the University of Chicago. Pada 1927 ia mengambil posisi bergengsi sebagai Profesor Filologi Jerman di University of Chicago. In summers 1938-40 he taught budding linguists at the Linguistic Society of America Linguistic Institute at the University of Michigan in Ann

Arbor. Pada musim panas 1938-40 ia mengajar ahli bahasa pemula di Masyarakat Linguistik Lembaga Linguistik Amerika di University of Michigan di Ann Arbor. In 1940 he accepted an endowed Sterling Professorship of Linguistics at Yale University, where he remained until his death in 1949. Pada tahun 1940 ia menerima profesor Sterling diberkahi dari Linguistik di Universitas Yale, di mana dia tetap sampai kematiannya pada tahun 1949. In 1914, while a young instructor in Urbana-Champaign, Bloomfield published An Introduction to the Study of Language, a scholarly yet popular book that went through many reprints. Pada tahun 1914, sementara instruktur muda di Urbana-Champaign, Bloomfield diterbitkan Sebuah Pengantar Studi Bahasa, sebuah buku ilmiah populer yang belum mengalami cetak ulang banyak. This book laid out his basic ideas about the nature of language, following on basic Boasian lines, which were becoming characteristic of Linguistics in the US: a focus on spoken language as primary, written language as secondary; observation of language as a present-day reality to speakers, rather than from an external, historical point of view; and an interest in the variety of linguistic systems in the world and in drawing generalizations about human language in the process of observing them. Buku ini meletakkan ide-ide dasar tentang sifat bahasa, berikut pada baris Boasian dasar, yang menjadi karakteristik dari Linguistik di AS: fokus pada bahasa lisan sebagai primer, bahasa ditulis sebagai sekunder; pengamatan bahasa sebagai hadiah hari realitas speaker, bukan dari titik, eksternal pandang sejarah, dan minat dalam berbagai sistem linguistik di dunia dan dalam menggambar generalisasi tentang bahasa manusia dalam proses mengamati mereka. In addition he included two chapters on language change, illustrated with examples from many languages. Selain itu ia termasuk dua bab tentang mengubah bahasa, diilustrasikan dengan contoh-contoh dari banyak bahasa. The book ended with a chapter on the relation of Linguistics to other sciences, a topic that would increasingly concern him. Buku ini diakhiri dengan bab tentang hubungan Linguistik untuk ilmu-ilmu lainnya, sebuah topik yang akan semakin perhatiannya. His next major publication was Tagalog Texts with Grammatical Analysis in 1917, which showed how much he was extending his interests beyond the traditional Indo-European orbit. Publikasi berikutnya utama-Nya adalah Teks Bahasa Tagalog dengan Analisis gramatikal pada tahun 1917, yang menunjukkan betapa ia adalah memperluas kepentingannya di luar orbit Indo-Eropa tradisional. In 1922 he reviewed Sapir's book Language approvingly, finding it to be in accord with the theoretical principles of Ferdinand de Saussure, whose posthumous book he referred to in the review (and finally reviewed himself a few years later). Pada tahun 1922 dia terakhir buku Bahasa Sapir yang menyetujui, menemukan hal itu terjadi sesuai dengan prinsip-prinsip teoritis dari Ferdinand de Saussure, yang anumerta buku yang dimaksud dalam meninjau (dan akhirnya terakhir dirinya beberapa tahun kemudian). It is clear that Bloomfield saw a new kind of Linguistics emerging, distinct from the comparative-historical tradition in which he was trained; a Linguistics which had a strong empirical focus, particularly on hitherto undescribed languages. Hal ini jelas bahwa Bloomfield melihat jenis baru Linguistik muncul, berbeda dari tradisi komparatif-historis di mana ia dilatih, sebuah Linguistik yang memiliki fokus empiris yang kuat, terutama pada bahasa yang belum dideskripsikan sampai sekarang. We think of this field now as the field of modern descriptive Linguistics, which would come into its heyday under Bloomfield and his disciples. Kami pikir bidang ini sekarang sebagai bidang Linguistik deskriptif modern, yang akan datang ke masa kejayaannya di bawah Bloomfield dan murid-muridnya. b b Bloomfield worked to develop the new field in various ways. Bloomfield bekerja untuk mengembangkan bidang baru dalam berbagai cara. He was instrumental in the founding of the Linguistic Society of America, writing the "Call for the Organization Meeting" for the

organizing committee which called the LSA into being, which was published in revised form as "Why a Linguistic Society?" Dia berperan dalam pendirian Masyarakat Linguistik Amerika, menulis "Panggilan untuk Rapat Organisasi" bagi panitia penyelenggara yang disebut LSA menjadi ada, yang diterbitkan dalam bentuk direvisi sebagai "Masyarakat Linguistik Mengapa?" in the first issue of the LSA's new journal, Language (Bloomfield 1925). dalam edisi pertama jurnal LSA yang baru, Bahasa (Bloomfield 1925). Second, he began systematizing axioms or postulates for Linguistics as a science, publishing "A Set of Postulates for the Science of Language" (in Language 2, 153-164, 1926). Kedua, ia mulai sistematisasi aksioma atau postulat untuk Linguistik sebagai ilmu, penerbitan "Sebuah Set Postulat untuk Ilmu Pengetahuan Bahasa" (dalam Bahasa 2, 153-164 1926). In this work he sought to place Linguistics on a scientific footing as firm as those of the natural sciences. Dalam karya ini ia berusaha untuk menempatkan Linguistik pada pijakan ilmiah sebagai perusahaan seperti pada ilmu alam. In his years at Ohio State in particular, Bloomfield came more and more under the influence of logical positivism and of its allied psychological movement, behaviorism, both directly in the main current of 20th century materialism. Dalam tahun-tahun di Ohio State pada khususnya, Bloomfield datang lebih dan lebih di bawah pengaruh positivisme logis dan gerakan sekutu psikologis, behaviorisme, baik secara langsung dalam arus utama materialisme abad ke-20. In the process, he cast off the earlier influence of the 19th century pioneer of psychology Wilhelm Wundt which was prominent in his 1914 book, because of its incompatibility with the new paradigm. Dalam prosesnya, ia membuang pengaruh awal abad ke-19 pelopor psikologi Wilhelm Wundt yang menonjol pada tahun 1914 bukunya, karena ketidakcocokan dengan paradigma baru. In the early 1930s he decided to completely revamp his book and to incorporate behaviorist ideas centrally into it, particularly in the chapters on language use and meaning. Pada awal 1930-an ia memutuskan untuk benar-benar merubah bukunya dan untuk menggabungkan ide-ide behavioris terpusat ke dalamnya, terutama dalam bab tentang penggunaan bahasa dan makna. The result, appearing in 1933 under the simplified title Language , became a classic in its own right and was used for a generation as a textbook in Linguistics. Hasilnya, muncul pada tahun 1933 di bawah judul Bahasa disederhanakan, menjadi klasik dalam dirinya sendiri dan digunakan untuk generasi sebagai buku teks di Linguistik. Bloomfield was deeply concerned with the advancement of Linguistics as a science. Bloomfield sangat prihatin dengan kemajuan Linguistik sebagai ilmu. He further developed in his fieldwork the methodologies of linguistic data collection and analysis pioneered by Boas. Dia lebih jauh dikembangkan dalam studi lapangan metodologi pengumpulan data dan analisis linguistik dipelopori oleh Boas. He used each of the language families he studied as a source of material for the development of linguistic theory, taking it in a rather different direction from Sapir, who assumed the possibility of analyzing semantics and conceptual structure generally. Dia menggunakan setiap keluarga bahasa yang dipelajari sebagai sumber bahan untuk pengembangan teori linguistik, mengambil dalam arah yang agak berbeda dari Sapir, yang diasumsikan kemungkinan menganalisis struktur semantik dan konseptual pada umumnya. It was Bloomfield who took the new generation of linguists with him, becoming in effect the leader of the field. Itu adalah Bloomfield yang mengambil generasi baru ahli bahasa dengan dia, menjadi berlaku pemimpin lapangan. In the course of his career, Bloomfield made important empirical contributions to three major subfields of Linguistics: Indo-European comparative-historical linguistics (including work on Sanskrit as well as Germanic); the study of the Malayo-Polynesian languages, principally Tagalog; and descriptive and comparative Algonquian linguistics. Dalam

perjalanan karirnya, Bloomfield membuat kontribusi empiris penting untuk tiga subbidang utama dari Linguistik: Indo-Eropa linguistik historis komparatif (termasuk bekerja pada bahasa Sansekerta serta Jerman), studi tentang bahasa Melayu-Polinesia, terutama Tagalog, dan deskriptif dan komparatif Algonquian linguistik. His monumental body of work on Algonquian languages forms the largest portion of the descriptive work that he produced, and is considered the starting point for any modern work on the Algonquian language family. Tubuh monumental bekerja pada bahasa Algonquian membentuk bagian terbesar dari pekerjaan deskriptif yang ia menghasilkan, dan dianggap sebagai titik awal untuk setiap pekerjaan modern pada keluarga bahasa Algonquian. But Bloomfield's most significant influence in the field came from his ideas on the theory of Linguistics, which were carried on in basic respects by a new generation of American structuralists in the 1950s. Tetapi pengaruh paling signifikan Bloomfield di lapangan berasal dari ide-idenya pada teori Linguistik, yang dilakukan di dalam hal dasar oleh generasi baru strukturalis Amerika di tahun 1950-an.

Biografi Novelis Idrus

Lahir di Padang, tanggal 21 September 1921, meninggal tahun 1979. Meskipun tidak pernah terlibat dalam gerakan Angkatan '45, namun karya-karyanya jelas mempunyai ciri yang berbeda dengan sastra Pujangga Baru. Dengan demikian dia dapat disebut sebagai angkatan pelopor sastra Angkatan '45 juga, di bidang prosa, terutama cerita pendek. Cerita pendek Idrus mendasarkan pada konsep mengandung makna. Pemborosan kata-kata tidak perlu dibuang jauh-jauh. Persoalan yang digarapnya bersifat pengamatan sosial. Keadaan yang buruk dan kacau di sekitar revolusi diejek sampai ke inti manusianya. Sikapnya sinis terhadap lingkungannya. Kelemahan-kelemahan manusia ditonjolkan. Gaya sastranya disebut "kesederhanaan baru" itu dia pelajari dari para Ekspresionis Belanda tahun 1930-an, terutama Willem Elsschot. Idrus sudah menulis cerita-cerita pendeknya sejak jaman Jepang, seperti halnya Chairil Anwar. Karya-karya berupa cerpen dapat dibukukan tahun 1948 (Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma). Kemudian menyusul karya-karya lainnya: Keluarga Surono (drama, 1948), Dokter Bisma (drama, 1945), Jibaku Aceh (drama, 1945), Aki (novel, 1950), Perempuan dan Kebangsaan (novel, 1950). Pada tahun 1950-an, nama Idrus masih muncul sebagai redaktur atau penulis cerita pendek serta esai di majalah-majalah. Tahun 1961, ia menerbitkan kumpulan cerita pendeknya di Kuala Lumpur, Dengan Mata Terbuka, kemudian menyusul novelnya Hati Nurani Manusia (1976, Kuala Lumpur), dan terakhir menerbitkan novel berjudul Puteri Penelope (1973, Balai Pustaka). Meskipun karya-karya Idrus cukup banyak, berupa cerpen, drama dan novel, namun sedikit sekali yang mencapai nilai sastra abadi. Tokoh Idrus seperti juga Rivai Apin dan Asrul Sani adalah tokoh-tokoh pembuka jalan. Para pengikutnyalah yang kemudian meneruskan dan mengembangkan penemuan mereka. Ini berbeda dengan ketokohan Chairil Anwar yang di samping sebagai perintis juga membuktikan dirinya sebagai penyait penting Indonesia sampai kapan pun, karena banyak karya-karya puisinya bernilai abadi.

Jejak Idrus kemudian berkembang pada Pramoedya Ananta Toer, dan yang terakhir ini boleh dikatakan sama abadinya dengan Chairil Anwar. Beberapa karya Idrus yang dapat dikatakan abadi adalah cerpennya (Kisah Sebuah Celana Pendek, Kota Harmoni, Sanyo, Surabaya) dan novelnya Aki.

Biografi Ajip Rosidi

Nama: Ajip Rosidi, anak sulung, ayah Dayim Sutawiria (1917-1990) dan ibu Hj. Sitti Konaah (1921-2000). Lahir: 31 Januari 1938 di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, Indonesia. Pendidikan: Sekolah Rakyat 6 tahun di Jatiwangi (1950), Sekolah Menengah Pertama Negeri VIII Jakarta (1953), Taman Madya, Taman Siswa Jakarta (1956, tidak tamat). Selanjutnya otodidak. Menikah (1955) dengan Fatimah Surti Wirjadibrata, mempunyai anak Hj. Nunun Nuki Aminten (1956), Hj. Titi Sembada (1963) dan Hj. Titis Nitiswari (1965). AJIP ROSIDI (dibaca: Ayip Rosidi) mula-mula menulis karya kreatif dalam bahasa Indonesia, kemudian telaah dan komentar tentang sastera, bahasa dan budaya, baik berupa artikel, buku atau makalah dalam berbagai pertemuan di tingkat regional, nasional, maupun internasional. Ia banyak melacak jejak dan tonggak alur sejarah sastera Indonesia dan Sunda, menyampaikan pandangan tentang masalah sosial politik, baik berupa artikel dalam majalah, berupa ceramah atau makalah. Dia juga menulis biografi seniman dan tokoh politik. Pendidikan formalnya SD di Jatiwangi (1950), SMP di Jakarta (1953) dan Tainan Madya di Jakarta (tidak tamat, 1956), selanjutnya otodidak. Pendidikan Ajib Rosidi mulai menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat Jatiwangi (1950), lalu melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri VIII Jakarta (1953) dan terakhir, Taman Madya Taman Siswa Jakarta (1956). Meski tidak tamat sekolah menengah, namun dia dipercaya mengajar sebagai dosen di perguruan tinggi Indonesia, dan sejak

Nastiti (1957), H. Uga Percka (1959), H. Nundang Rundagi (1961), H. Rangin

1967, juga mengajar di Jepang . Pada 31 Januari 2011, ia menerima gelar Doktor honoris causa bidang Ilmu Budaya dari Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.

Proses kreatif Ajip mula-mula menulis karya kreatif dalam bahasa Indonesia, kemudian telaah dan komentar tentang sastera, bahasa dan budaya, baik berupa artikel, buku atau makalah dalam berbagai pertemuan di tingkat regional, nasional, maupun internasional. Ia banyak melacak jejak dan tonggak alur sejarah sastra Indonesia dan Sunda, menyampaikan pandangan tentang masalah sosial politik, baik berupa artikel dalam majalah, berupa ceramah atau makalah. Dia juga menulis biografi seniman dan tokoh politik. Ia mulai mengumumkan karya sastera tahun 1952, dimuat dalam majalah-majalah terkemuka pada waktu itu seperti Mimbar Indonesia, Gelanggang/Siasat, Indonesia,

Zenith, Kisah, dll. Menurut penelitian Dr. Ulrich Kratz (1988), sampai dengan tahun1983, Ajip adalah pengarang sajak dan cerita pendek yang paling produktif (326 judul karya dimuat dalam 22 majalah). Bukunya yang pertama, Tahun-tahun Kematian terbit ketika usianya 17 tahun (1955), diikuti oleh kumpulan sajak, kumpulan cerita pendek, roman, drama, kumpulan esai dan kritik, hasil penelitian, dll., baik dalam bahasa Indonesia maupun Sunda, yang jumlahnya sekitar seratus judul. Karyanya banyak yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, dimuat dalam bunga rampai atau terbit sebagai buku, a.l. dalam bahasa Belanda, Cina, Inggris, Jepang, Perands, Kroatia, Rusia, dll. Pada umur 12 tahun, saat masih duduk di bangku kelas VI Sekolah Rakyat, tulisan Ajip telah dimuat dalam ruang anak-anak di harian Indonesia Raya. Sejak SMP Ajip sudah menekuni dunia penulisan dan penerbitan. Ia menerbitkan dan menjadi editor serta pemimpin majalah Suluh Pelajar (1953-1955). Pada tahun 1965-1967 ia menjadi Pemimpin redaksi Mingguan Sunda; Pemimpin redaksi majalah kebudayaan Budaya Jaya (1968-1979); Pendiri penerbit Pustaka Jaya (1971). Mendirikan dan memimpin Proyek Penelitian Pantun dan Folklor Sunda (PPP-FS)

yang banyak merekam Carita Pantun dan mempublikasikannya (1970-1973). Menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1972-1981). Bersama kawan-kawannya, Ajip mendirikan penerbit Kiwari di Bandung (1962), penerbit Cupumanik (Tjupumanik) di Jatiwangi (1964), Duta Rakyat (1965) di Bandung, Pustaka Jaya (kemudian Dunia Pustaka Jaya) di Jakarta (1971), Girimukti Pasaka di Jakarta (1980), dan Kiblat Buku Utama di Bandung (2000). Terpilih menjadi Ketua IKAPI dalam dua kali kongres (1973-1976 dan 1976-1979). Menjadi anggota DKJ sejak awal (1968), kemudian menjadi Ketua DKJ beberapa masaja batan (1972-1981). Menjadi anggota BMKN 1954, dan menjadi anggota pengurus pleno (terpilih dalam Kongres 1960). Menjadi anggota LBSS dan menjadi anggota pengurus pleno (1956-1958) dan anggota Dewan Pembina (terpilih dalam Kongres 1993), tapi mengundurkan diri (1996). Salah seorang pendiri dan salah seorang Ketua PP-SS yang pertama (1968-1975), kemudian menjadi salah seorang pendiri dan Ketua Dewan Pendiri Yayasan PP-SS (1996). Salah seorang pendiri Yayasan PDS H.B. Jassin (1977). Sejak 1981 diangkat menjadi guru besar tamu di Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas Bahasa Asing Osaka), sambil mengajar di Kyoto Sangyo Daigaku (1982-1996) dan Tenri Daignku (1982-1994), tetapi terus aktif memperhatikan kehidupan sasterabudaya dan sosial-politik di tanah air dan terus menulis. Tahun 1989 secara pribadi memberikan Hadiah Sastera Rancag setiap yang kemudian dilanjutkan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage yang didirikannya. Setelah pensiun ia menetap di desa Pabelan, Kecamatan Mungkid, Magelang, Jawa Tengah. Meskipun begitu, ia masih aktif mengelola beberapa lembaga nonprofit seperti Yayasan Kebudayaan Rancag dan Pusat Studi Sunda. Beberapa penghargaan yang pernah diperoleh Ajip Rosidi, di antararanya:

Hadiah Sastera Nasional 1955-1956 untuk puisi (diberikan tahun 1957) dan1957-1958 untuk prosa (diberikan tahun 1960).

Hadiah Seni dari Pemerintah RI 1993. Kun Santo Zui Ho Sho ("Bintang Jasa Khazanah Suci, Sinar Emas denganSelempang Leher") dari pemerintah Jepang sebagai penghargaan atas jasajasanya yang dinilai sangat bermanfaat bagi hubungan Indonesia-Jepang 1999

Anugerah Hamengku Buwono IX 2008 untuk berbagai sumbangan positifnyabagi masyarakat Indonesia di bidang sastera dan budaya.