bier jannah-fuh.pdf

78
PANDANGAN AL-TÛSÎ TERHADAP AYAT-AYAT HUKUM DALAM TAFSIR AL-TIBYÂN Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) Oleh: BIER JANNAH 105034001236 PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M

Upload: lamtu

Post on 30-Dec-2016

242 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BIER JANNAH-FUH.pdf

PANDANGAN AL-TÛSÎ TERHADAP AYAT-AYAT HUKUM

DALAM TAFSIR AL-TIBYÂN

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)

Oleh:

BIER JANNAH

105034001236

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1431 H/2010 M

Page 2: BIER JANNAH-FUH.pdf

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi ini berjudul “Pandangan AL-TÛSÎ Terhadap Ayat-ayat Hukum Dalam Tafsir

AL-TIBYÂN” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta pada 17 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) pada Program Studi Tafsir Hadis.

Ciputat,17 Juni 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Dr. M. Suryadinata, M.Ag Rifqi Muhammad Fathi, M.A (19600908 198903 1 005) (1977012 200312 1 003)

Anggota

Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.Ag Drs. A. Rifqi Mukhtar, MA (19711003 199903 2 001) (19690822 199703 1 002)

Page 3: BIER JANNAH-FUH.pdf
Page 4: BIER JANNAH-FUH.pdf

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah swt. atas segala rahmat dan

hidayah-Nya, serta tidak lupa shalawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi

Muhammad saw. sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang

berjudul“PANDANGAN AL-TÛSÎ TERHADAP AYAT-AYAT HUKUM DALAM

TAFSIR AL-TIBYÂN.”

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini, tidak

akan bisa tuntas tanpa bantuan, bimbingan, arahan, dukungan, dan kontribusi dari

banyak pihak. Ucapan terima kasih yang tulus dan tak terhingga, penulis haturkan

kepada yang teristimewa Papi dan Mami tersayang. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan

setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan

Prof. Dr. Zainun Kamal, M.A, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.

2. Dr. Bustamin, M.Si., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis yang telah banyak

memberikan ilmu kepada penulis khususnya dalam bidang hadis.

3. Rifqi Muhammad Fathi, M.A., selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis.

4. Dr. Suryadinata, M.A., selaku dosen pembimbing yang dengan sabar telah

membimbing penulis dan memberikan banyak masukan dalam penulisan

skripsi ini.

5. Seluruh dosen dan staf pengajar pada Program Studi Tafsir Hadis (TH) atas

segala motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan, dan pengalaman

ii

Page 5: BIER JANNAH-FUH.pdf

yang mendorong penulis selama menempuh studi. Seluruh staf dan karyawan

Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif

Hidayatullah, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, dan Perpustakaan Umum

Islam Iman Jama.

7. Papi dan Mami tercinta yang selalu menjadi Inspirasi dan mendampingi

penulis lewat doa-doanya, yang telah merawat penulis dengan kelembutan dan

cinta kasihnya, serta selalu memberikan dukungan dan semangat kepada

penulis untuk segera menyelesaikan skripsi.

8. Untuk Keluargaku, dr Anas, dr Erna, Erni, Alfi, Atul, Habibie, Raya yang

selalu memberi support. Keceriaan dan keusilan kalian yang membuat

semangat. Makasih ya…

9. Keponakanku Juan, Radja, Daffa, Sultan, Jela, Ghia, Azka, Ihkam yang selalu

bikin semangat dan Bahagia. Cinta sayang kalian…

10. Laode Muhammad Aswin yang telah memberikan dukungan, semangat, dan

selalu sabar dalam menghadapi penulis.

11. Seluruh teman-teman Tafsir Hadis angkatan 2005. (Ulfah, Sasha, Nophy,

Ziah, Sri, Amar, Zulkarnain, Muhsin, Ummi, Nouval, Day, Afif, Hadi, Hafid,

Irfan, Lukman, Sahid, Suryadi, Syamsul, Wasih, Tezar, dan Yasir…). Makasih

untuk kebersamaannya selama 4 tahun.

12. Dan pihak-pihak yang telah membantu penulis, tetapi tidak dapat disebutkan

satu persatu, semoga Allah swt. membalasnya.

iii

Page 6: BIER JANNAH-FUH.pdf

iv

Akhirnya penulis pun menyadari dengan wawasan keilmuan penulis yang

masih sedikit, referensi, dan rujukan-rujukan lain yang belum terbaca, menjadikan

penulisan skripsi ini jauh dari sempurna. Namun, penulis telah berusaha

menyelesaikan skripsi ini dengan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan

penulis sebagai manusia. Oleh karena itu, mohon saran dan kritik yang

membangun dari pembaca sebagai bahan perbaikan penulisan ini. Penulis

berharap semoga Allah swt. memberikan balasan yang lebih baik kepada semua

pihak pada umumnya.

Dengan segala kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan harapan

yang begitu besar, semoga skripsi ini bermanfaat untuk para pembaca, dan

semoga setiap bantuan yang diberikan kepada penulis mendapat imbalan dari

Allah swt.. Hanya kepada Allah penulis memohon, semoga jasa baik yang kalian

sumbangkan menjadi amal shaleh dan mendapat balasan yang lebih baik dari

Allah swt.. Amin…

Ciputat, 17 Juni 2010

Page 7: BIER JANNAH-FUH.pdf

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI................................................................................................... i

KATA PENGANTAR.................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................... v

PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah...................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ............................................................ 6

C. Pembatasan Masalah ........................................................... 7

D. Perumusan Masalah............................................................. 7

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................ 7

F. Metodologi Penelitian.......................................................... 8

G. Sistematika Penulisan.......................................................... 11

BAB II RIWAYAT HIDUP AL-TÛSÎ ............................................... 13

A. Latar Belakang Keluarga, Pendidikan, dan Karirnya ......... 13

B. Karya Ilmiah al-Tûsî............................................................ 15

1. Kitab al-Tahdzîb .............................................................. 15

2. Kitab al-Istibsâr ............................................................... 16

3. Kitab al-abwâb................................................................. 16

4. Al-Tibyân fî Tafsîr al-Qur’an ......................................... 16

C. Profil Tafsir al- Tibyân........................................................ 17

1. Latar Belakang dan Tujuan Penulisan ............................. 17

v

Page 8: BIER JANNAH-FUH.pdf

2. Metode Penafsirannya ..................................................... 18

3. Pandangan al-Tûsî dalam Tafsir al-Tibyân...................... 19

D. Al- Tûsî dan Fiqh Syi’ah..................................................... 23

BAB III METODE DAN PRINSIP AL-TÛSÎ DALAM

MENAFSIRKAN AL-QUR’AN............................................ 26

A. Metode Penafsiran Al-Tûsî ................................................. 26

B. Prinsip Penafsiran Al-Tûsî .................................................. 29

1. Al-Qur’an mempunyai makna zahir dan makna batin..... 29

2. Hakikat Muhkamat dan Mutasyabihat............................. 33

3. Ta’wil yang Hakiki dalam al-Qur’an............................... 37

4. Al-Qur’an dan Nasikh - Mansukh .................................. 42

BAB IV PANDANGAN AL-TÛSÎ TERHADAP AYAT-AYAT HUKUM

DALAM TAFSIR AL-TIBYÂN ........................................... 45

A. Hukum Ibadah..................................................................... 45

1. Shalat Qasar ................................................................... 45

2. Shalat Jama’ ................................................................... 46

3. Shalat Jum’at.................................................................. 47

4. Puasa .............................................................................. 48

5. Wudhu’........................................................................... 49

6. Zakat dan Khûmus ......................................................... 50

B. Hukum Mu’amalah.............................................................. 52

1. Nikah Mut’ah ................................................................. 52

2. Riba’............................................................................... 55

vi

Page 9: BIER JANNAH-FUH.pdf

3. Pernikahan dengan Perempuan Ahli Kitab .................... 55

4. Thalaq............................................................................. 57

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................ 61

B. Saran-saran......................................................................... 63

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 64

vii

Page 10: BIER JANNAH-FUH.pdf

PEDOMAN TRANSLITERASI

Aksara Arab dan Padanannya dalam Aksara Latin

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

tidak dilambangkan ا

B Be ب

T Te ت

Ts te dan s ث

J Je ج

H ح ha dengan garis di bawah

Kh ka dan ha خ

D De د

Dz de dan zet ذ

R Er ر

Z Zet ز

S Es س

Sy es dan ye ش

S ص es dengan garis di bawah

D ض de dengan garis di bawah

T te dengan garis di bawah ط

Z ظ zet dengan garis di bawah

koma terbalik ke atas dengan menghadap ke ‘ ع

kanan

viii

Page 11: BIER JANNAH-FUH.pdf

G Ge غ

F Ef ف

Q Ki ق

K Ka ك

L El ل

M Em م

N En ن

W We و

ـه H Ha

Apostrof ’ ء

Y Ye ي

Vokal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

A Fathah أ

I Kasrah إ

U ḏammah أ

Vokal Rangkap

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

أي Ai a dan i

أ و Au a dan u

ix

Page 12: BIER JANNAH-FUH.pdf

x

Vokal Panjang (Mad)

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

اأ Â a dengan topi di atas

يإ Î i dengan topi di atas

وأ Û u dengan topi di atas

Ta Marbūtah

No Kata Arab Alih Bahasa

ةقيرط 1 Tarîqah

ةيمالسإلا ةعماجلا 2 al-jâmi’ah al-islâmiyyah

دوجولا ةدحو 3 wahdat al-wujûd

Page 13: BIER JANNAH-FUH.pdf

BAB I

PENDAHULUAN

PANDANGAN AL-TÛSÎ TERHADAP AYAT-AYAT HUKUM

DALAM TAFSIR AL-TIBYÂN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah firman Allah yang dibawa oleh malaikat Jibril kepada

Nabi Muhammad saw untuk menjadi petunjuk bagi seluruh manusia. Secara

istilah, Al-Qur’an adalah firman Allah yang menjadi mukjizat, diturunkan kepada

Nabi Muhammad saw., ditulis dalam mushaf, disampaikan secara mutawatir dan

dinilai ibadah ketika membacanya.1 Ia merupakan salah satu sumber hukum Islam

yang menduduki peringkat teratas, serta seluruh ayat-ayatnya berstatus qat‘iy al-

wurûd yang diyakini eksistensinya sebagai wahyu dari Allah swt.2 Dengan

demikian, autentisitas serta orisinalitas Al-Qur’an benar-benar dapat

dipertanggungjawabkan. Hal ini disebabkan karena ia merupakan wahyu Allah

swt, baik dari segi lafaz maupun dari segi maknanya.3

Dalam tradisi pemikiran Islam, Al-Qur’an telah melahirkan sederatan teks

turunan yang demikian luas dan mengagumkan. Teks-teks turunan tersebut

merupakan teks kedua yang menjadi pengungkap dan penjelas makna-makna yang

terkandung di dalamnya. Teks kedua ini dikenal sebagai literatur tafsir Al-Qur’an

1Amir ‘Abd al-‘Aziz, Dirâsât fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Furqân, 1983), h. 10.

Lihat juga Abdul Azis Teo, Perbandingan Penafsiran Antara Tafsir Sunni dan Tafsir Syi‘i Terhadap Lafaz-Lafaz Musytarak Lafdzi Dalam Al-Qur’an, selanjutnya dinamai Perbandingan Penafsiran, (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 1.

2‘Abd al-Wahâb Khallâf, ‘Ilm Usûl al-Fiqh, (Mesir: Maktabah al-Da‘wah al-Islâmiyyah, 1968), cet. ke- 8, h. 21.

3‘Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Usûl al-Fiqh, h. 23.

1

Page 14: BIER JANNAH-FUH.pdf

2

yang ditulis oleh para ulama dengan kecenderungan dan karateristik

masing-masing.

Al-Qur’an mempunyai gaya bahasa yang khas yang tidak dapat ditiru oleh

para sastrawan Arab. Hal ini disebabkan karena Al-Qur’an memiliki susunan

indah yang berlainan dengan setiap susunan yang diketahui oleh sastrawan Arab.

Mereka melihat, bahwa Al-Qur’an memakai bahasa dan lafaz Arab, akan tetapi ia

bukan puisi, prosa, atau sya’ir. Bahasa atau kalimat-kalimat Al-Qur’an merupakan

kalimat-kalimat yang menakjubkan yang berbeda dengan kalimat-kalimat selain

Al-Qur’an. Ia mampu mengeluarkan sesuatu yang abstrak kepada fenomena yang

nyata. Ia merupakan wahyu Allah yang mempergunakan berbagai macam bentuk

redaksi. Redaksi yang dipergunakan tersebut merupakan salah satu kemukjizatan

yang dimilikinya.4

Sehubungan dengan hal itu, manusia dituntut agar berusaha mencurahkan

segala potensi insaninya untuk menggali isi kandungan Al-Qur’an melalui

penafsiran terhadap lafaz-lafaznya. Hasil usaha manusia dalam memahami dan

menjelaskan makna serta maksud firman Allah swt tersebut dikenal dengan istilah

tafsir.

Tafsir merupakan ilmu syari’at yang paling agung dan tinggi

kedudukannya. Ia merupakan ilmu yang paling mulia obyek pembahasan dan

tujuannya, serta sangat dibutuhkan sepanjang zaman. Tanpa tafsir, seorang

muslim tidak dapat menangkap mutiara-mutiara berharga dari ajaran Allah swt

yang terkandung dalam Al-Qur’an.

4 Mutawalli Sya‘rawi, Mu‘jizât al-Qur’an, (Kairo: Dâr al-Salâm, 1998), h. 54.

Page 15: BIER JANNAH-FUH.pdf

3

Upaya penafsiran Al-Qur’an telah berjalan sejak kitab suci ini masih

diturunkan kepada Rasulullah saw. Dialah orang pertama yang menjelaskan

maksud-maksud Al-Qur’an kepada umatnya. Setelah Rasulullah saw wafat, maka

usaha penafsiran Al-Qur’an dilanjutkan oleh para sahabat, kalangan ulama tabi’in

dan seterusnya hingga generasi umat Islam berikutnya.5

Tafsir merupakan suatu kajian ilmiah yang sangat luas. Ia memiliki

berbagai macam segi dan makna. Seorang mufasir hanya mampu menafsirkan Al-

Qur’an sesuai dengan kemampuan dan hak otoritas keilmuannya. Dengan

keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh seorang mufasir tersebut, maka

lahirlah suatu tafsir yang mempunyai kecenderungan terhadap bidang-bidang

tertentu sebagai indikator adanya spesialisasi para mufasir itu sendiri. Berdasarkan

kondisi seperti ini, maka aliran teologi, mazhab dalam fiqh dan aliran tasawuf

yang dianut oleh mufasir, sangat berpengaruh terhadap cara penafsiran mereka.

Dengan demikian, lahirlah tafsir-tafsir yang bercorak teologi, hukum, tasawuf,

dan lain-lain.6

Sejalan dengan minat dan semangat kaum muslimin untuk mengetahui

seluruh segi kandungan Al-Qur’an, maka upaya penafsirannya terus berkembang,

baik pada masa ulama salaf maupun khalaf pada masa sekarang. Pada masa awal

pertumbuhan dan perkembangan Islam, pemahaman dan penafsiran terhadap Al-

Qur’an, tidaklah mendapat suatu kesulitan. Hal ini disebabkan karena segala

persoalan dapat ditanyakan langsung kepada Rasulullah saw. Dalam

5 Abdul Azis Teo, Perbandingan Penafsiran, h. 6. 6 Lihat Abdul Azis Teo, Perbandingan Penafsiran, h. 6.

Page 16: BIER JANNAH-FUH.pdf

4

perkembangan selanjutnya, ketika Islam semakin menyebar dan meluas, maka

semakin banyak pula tantangan dan permasalahan yang timbul.

Salah satu di antara permasalahan yang timbul pada masa perluasan dan

penyebaran Islam adalah tragedi suksesi kekhalifaan ‘Usman r.a kepada ‘Ali r.a

yang diwarnai dengan persaingan politik. Peristiwa tersebut mengakibatkan

munculnya berbagai aliran dalam Islam serta menimbulkan penafsiran Al-Qur’an

sesuai dengan corak dan warna serta latar belakang doktrin aliran masing-masing.

Setiap kelompok mengklaim bahwa pendapat dan keyakinannyalah yang Qur’ani,

walaupun pendapatnya tersebut hanya berdasarkan beberapa ayat Al-Qur’an saja.

Di antara corak dan warna penafsiran Al-Qur’an yang muncul sebagai

akibat dari peristiwa tersebut adalah penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan oleh

ulama Syi’i dan ulama Sunni. Ulama Syi’i berusaha menafsirkan Al-Qur’an sesuai

dengan kapasitas mereka sebagai ahlul bait. Di antara mereka banyak muncul

ulama dan mufasir yang terbagi dalam beberapa kelompok. Kelompok tersebut

antara lain, Syi’i Zaidiyah, Ismailiyah, Bathiniyyah, Nizariyah, Musta’liyah,

Duquqiyah, Muqanna’ah, Isnâ ‘Asyariyah, dan lain-lain.7

7 Syi’ah adalah golongan atau pengikut Ali bin abi Thalib. Aliran yang dianut oleh Al-

Tûsî adalah Isnâ ‘Asyariyyah. Syi‘i tidak mengalami timbulnya sesuatu golongan selama masa keimaman ketiga imam, yaitu Ali, Hasan, dan Husain. Setelah kesyahidan Husain, aliran Syi‘i terbagi ke dalam beberapa kelompok. Hal ini disebabkan karena perbedaan pandangan terhadap keimaman (kepemimpinan). Mayoritas Syi‘i (Isnâ ‘Asyariyyah) menerima keimaman Ali bin Husain al-Sajjâd sebagai imam keempat, sedangkan sekelompok minoritas berpandangan bahwa yang berhak menjadi imam adalah Muhammad bin Hanafiyah (putra khalifah Ali yang ketiga). Kelompok ini disebut dengan Syi‘i Kisâniyyah. Selain itu, mayoritas Syi‘i (Isnâ ‘Asyariyyah) menerima Muhammad al-Bâqir sebagai imam yang kelima, sedangkan minoritas Syi‘i berkeyakinan bahwa yang harus menjadi imam yang kelima adalah Zaid al-Syâhid. Kelompok ini disebut dengan Syi‘i Zaidiyah. Semenatara itu, perpecahan kelompok Syi‘i semakin bertambah setelah sampai pada pengangkatan imam yang ketujuh. Mayoritas Syi‘i (Isnâ ‘Asyariyyah) berpandangan bahwa yang berhak menjadi imam yang ketujuh adalah Musa al-Kâzim, sedangkan minoritas Syi‘i lainnya berkeyakinan bahwa yang harus menjadi imam yang ketujuh adalah Isma’il (putra imam keenam yang tertua). Kedua kelompok Syi‘i ini, baik minoritas (Zaidiyah dan

Page 17: BIER JANNAH-FUH.pdf

5

Sementara itu, ulama Sunni juga berusaha menafsirkan Al-Qur’an sesuai

dengan keyakinan dan pemahaman mereka. Mereka berpedoman pada

keyakinannya dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan kapasitas

ilmu yang dimilikinya. Dalam menafsirkan Al-Qur’an, kedua aliran mufasir

(Sunni-Syi’i) tersebut memiliki banyak perbedaan dan persamaan, baik dalam

masalah aqidah, hukum, mu‘amalah, dan lain-lain. Kedua aliran mufasir ini

berusaha menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan pemahamannya masing-masing.

Al-Tûsî merupakan salah seorang mufasir Syi’i yang pertama kali

menafsirkan Al-Qur’an di kalangan Syi’i secara menyeluruh. Ia juga merupakan

mufasir Syi’i yang mempelopori penolakan pandangan akan penambahan dan

pengurangan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang dianut oleh sebahagian mufasir

Syi’i sebelumnya. Dalam menafsirkan Al-Qur’an, al-Tûsî bersumber pada Al-

Qur’an itu sendiri, penafsiran Nabi saw, pandangan imam ahlul bait, serta hadis-

hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan lainnya.

Tafsir al-Tibyân merupakan tafsir yang paling monumental dan

berpengaruh di kalangan Syi’i. Banyak mufasir Syi’i yang menjadikan tafsir al-

Tibyân ini sebagai rujukan utama dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, di

antaranya adalah al-Tabarsî dengan tafsirnya Majma‘ al-Bayân, al-Taba’tabai

dengan tafsirnya al-Mîzân, dan lain-lain. Selain itu, mereka juga banyak

mencontoh metode dan sistematika al-Tûsî dalam menafsirkan ayat-ayat Al-

Qur’an. Ismailiyah), maupun mayoritas (Isna ‘Asyariyyah) masih ada hingga sekarang. Adapun Syi’ah minoritas selain Zaidiyah dan Isma’ilyah semuanya telah lebur dalam waktu yang singkat. Lihat Islam Syi’ah; Asal-usul dan Perkembangannya, terjemahan dari al-Tabâtabâi, Shi’te Islam, (Jakarta: Grafiti Pers, 1989), cet. ke-1, h. 79-91. Lihat Juga Abdul Azis Teo, Perbandingan Penafsiran, h. 7.

Page 18: BIER JANNAH-FUH.pdf

6

Tafsir al-Tibyân yang disusun oleh al-Tûsî merupakan tafsir Syi’i pertama

yang moderat. Hal ini disebabkan karena al-Tûsî dalam menafsirkan Al-Qur’an,

selain mengambil riwayat-riwayat dari imam ahlulbait, ia juga mengambil riwayat

para sahabat yang bukan Syi’i. Tafsir ini memiliki kesamaan dengan jumhur ahli

tafsir, kecuali dalam masalah riwayat imam yang disejajarkan dengan nabi. Dalam

tafsir ini pula, al-Tûsî menempatkan riwayat-riwayat imam di atas periwayatan

para sahabat. Adapun di antara alasannya adalah karena para imam mendapatkan

riwayat dari Ali r.a dan Ali mendapatkannya langsung dari Rasulullah saw.

Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, al-Tûsî juga tetap menempatkan

riwayat imam ahlulbait di atas periwayatan para sahabat lainnya, dan apabila

riwayat-riwayat para sahabat yang bukan Syi’i tersebut bertentangan dengan

riwayat imam ahlulbait, maka riwayat tersebut tidak dipakai oleh al-Tûsî.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis merasa terpanggil

guna berperan aktif mencoba meneliti “Pandangan al-Tûsî Terhadap Ayat-

Ayat Hukum Dalam Tafsir Al-Tibyân”.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka

identifikasi masalah yang penulis teliti dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimana penafsiran al-Tûsî terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan

dengan hukum ibadah;

2. Bagaimana penafsiran al-Tûsî terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan

dengan hukum mu‘amalah;

Page 19: BIER JANNAH-FUH.pdf

7

3. Bagaimana prinsip al-Tûsî dalam menafsirkan Al-Qur'an;

4. Bagaimana metode al-Tûsî dalam menafsirkan Al-Qur'an;

5. Apa yang menjadi sumber al-Tûsî dalam menafsirkan Al-Qur’an;

6. Bagaimana pendapat al-Tûsî terhadap para sahabat selain ahlul bait yang

menafsirkan Al-Qur’an.

1. Pembatasan Masalah

Dari identifikasi masalah di atas, maka penulis membatasi masalaha pada

hukum ibadah, hukum mu‘amalah, dan Bagaimana prinsip dan metode al-Tûsî

dalam menafsirkan Al-Qur'an.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan pokok yang akan

diteliti dalam skripsi ini adalah bagaimana metodologi penfsiran al-Tûsî dan

bagaimana pandangannya terhadap ayat-ayat ahkam dalam tafsir Al-Tibyân.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Dari serangkaian penelitian dan penulisan skripsi ini, maka tujuan

penelitian yang ingin dicapai oleh penulis adalah sebagai berikut:

1. Untuk menganalisa secara mendalam tentang penafsiran al-Tûsî terhadap

ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an.

2. Untuk mengkaji prinsip-prinsip al-Tûsî dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Page 20: BIER JANNAH-FUH.pdf

8

3. Untuk mengkaji metode al-Tûsî dalam menafsirkan Al-Qur’an.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun yang menjadi kegunaan dari penelitian skripsi ini adalah sebagai

berikut:

1. Untuk pengembangan ilmu lebih lanjut dan lebih mendalam.

2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi umat

Islam dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan

dengan ayat-ayat hukum.

3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan bagi

umat Islam dalam memahami penafsiran al-Tûsî sebagai mufasir Syi’i.

4. Penulis dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai dorongan dalam

mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an secara keseluruhan.

D. Metodologi Penelitian

Ada dua aspek metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan

skripsi ini, yaitu:

1) Metode Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, penulis melakukan penelitian kepustakaan

(library research), yaitu mengumpulkan berbagai literatur yang relevan

dengan pokok masalah, penulis juga meneliti dengan menggunakan sumber

tertulis, baik primer maupun sekunder. Adapun sumber primer, yaitu: kitab

suci Al-Qur’an. Mushaf yang penulis gunakan sebagai pegangan adalah

Page 21: BIER JANNAH-FUH.pdf

9

mushaf al-Qur’ân al-Karîm yang diterbitkan oleh Dâr al-Salâm, (Kairo: cet.

ke-1, 1994). Dan kitab tafsir al-Tibyân fî Tafsîr al-Qur'an oleh al-Tûsî (w. 460

H).8.

Sedangkan sumber sekunder, yaitu: kitab ‘ulûm al-Qur’an, baik dari Sunni

maupun Syi’i yang dianggap representatif mewakilinya. Adapun di antara kitab

yang penulis pergunakan dalam membahas tentang metode dan prinsip penafsiran

al-Tûsî adalah sebagai berikut:

a. Al-Qur'an fi al-Islâm oleh al-Taba’tabai.

b. Shi'te Islam oleh al-Tabâ’tabâi.

c. A‘yân al-Syi‘ah oleh Sayyid Muhsin al-Amin.

d. Haqîqah al-Syî‘ah oleh Abdullah bin Abdullah al-Musuli.

e. Al-Tafsîr wa Manâhijuh oleh Mahmud Basuni Auda' (Sunni).

f. Ma‘a al-Syi‘ah al-Isnâ ‘Asyariyyah fî al-Usûl wa al-Furû‘ Dirâsah

Muqâranah fî al-‘Aqâ‘id wa al-Tafsîr oleh ‘Ali Ahmad al-Salus (Sunni).

g. Al-Syi‘ah al-Isnâ al-‘Asyariyyah wa Manhajuhum fî Tafsîr al-Qur'an al-

Karîm oleh Muhammad Muhammad Ibrahim al-‘Assal.

h. The Shiites: Ritual and Populer Piety in a Muslim Community oleh David.

2. Metode Pembahasan

Dalam penulisan pembahasan skripsi ini, penulis mempergunakan

pendekatan ilmu tafsir. Hal ini disebabkan karena obyek studinya adalah ayat-ayat

Al-Qur’an. Dalam ilmu tafsir dikenal empat metode penafsiran Al-Qur’an, yaitu:

8Untuk mengetahui alasan penulis terhadap pemilihan akan kitab tafsir tersebut dapat

dilihat pada halaman 25.

Page 22: BIER JANNAH-FUH.pdf

10

tahlili,9 metode ijmâli,10 metode muqârin,11 dan metode maudu’i.12 Keempat

metode ini diterapkan oleh para mufasir Sunni dan mufasir Syi’i. Adapun dalam

kajian ini, penulis menggunakan metode ijmâli dan maudu’i. Hal ini disebabkan

karena kajian skripsi ini menyangkut penafsiran al-Tûsî tentang ayat-ayat hukum.

Kemudian, penulis juga menggunakan metode deskriptif-analisis, yaitu

suatu penelitian yang menggambarkan atau memaparkan secara umum mengenai

penafsiran al-Tûsî terhadap ayat-ayat hukum dan menganalisanya dengan cara

mengumpulkan dan menginterpretasikan data yang berkaitan dengan penelitian

ini. Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman Penulisan

Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tahun 2005/2006.

9Tafsir metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur’an dengan

memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di dalam Al-Qur’an Mushaf ‘Ustmani. Lihat Zahir ibn Awad al-Alma‘i, Dirâsât fi Tafsir al-Maudhu‘i li Al-Qur’ân al-Karim, (Riyadh: tp, 1984), h. 18.

10Tafsir metode ijmâli adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Melalui metode ini, mufasir menjelaskan makna-makna ayat-ayat Al-Qur’an secara garis besar. Sistematikanya mengikuti urutan surat-surat Al-Qur’an. Lihat ‘Abd al-Hay al-Farmawi, selanjutnya disebut al-Farmawi, al-Bidâyah fi Tafsir al-Maudhu‘i: Dirâsât Manhajiyyah Maudhû‘iyyah, selanjutnya disebut al-Bidâyah, (t.tp: tp, 1977), h. 23.

11Tafsir muqârin adalah tafsir yang menggunakan cara perbandingan (komparasi). Objek kajiannya terdiri dari tiga macam, yaitu: pertama, perbandingan ayat Al-Qur’an dengan ayat yang lain; kedua, perbandingan ayat Al-Qur’an dengan hadis; ketiga, perbandingan mufasir dengan mufasir lainnya. Lihat al-Farmawi, al-Bidâyah, h. 45.

12Secara semantik, tafsir maudhu‘i berarti tafsir tematis. Metode ini mempunyai dua bentuk, yaitu: pertama, tafsir yang membahas satu surat Al-Qur’an secara menyeluruh, memperkenalkan dan menjelaskan maksud-maksud umum dan khususnya secara garis besar dengan menghubungkan ayat yang satu dengan ayat yang lain; kedua, tafsir yang menghimpun dan menyusun ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki kesamaan arah dan tema, kemudian memberikan penjelasan dan mengambil kesimpulan di bawah satu bahasan tema tertentu. Lihat al-Farmawi, al-Bidâyah, h. 52.

Page 23: BIER JANNAH-FUH.pdf

11

E. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran yang global tentang isi skripsi ini, maka

berikut dikemukakan isi dari skripsi dalam garis-garis besarnya. Skripsi ini terbagi

dalam lima bab yang masing-masing utuh dan integral sekaligus mendukung

kesimpulan yang diketengahkan.

Bab I berupa pendahuluan. Bab ini harus diletakkan pada awal skripsi,

karena ia berisi tentang hal-hal yang akan memberikan gambaran umum dari

penelitian ini. Bab ini dibagi dalam sub-sub bagian yang menjelaskan tentang latar

belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah,

tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penelitian, serta sistematika

penulisan.

Pada bab II, penulis akan membahas tentang latar belakang al-Tûsî.

Pembahasan ini mutlak dimasukkan untuk mengemukakan perjalanan ilmiah dari

penulis tafsir al-Tibyân. Dalam bab ini, penulis membaginya dalam sub-sub

bagian yang menjelaskan tentang latar belakang keluarga, latar belakang

pendidikan dan karirnya, karya ilmiah al-Tûsî, serta profil tafsir al-Tibyân.

Pada bab III, penulis akan menguraikan tentang metode dan prinsip

penafsiran al-Tûsî terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Pembahasan ini mutlak

dimasukkan untuk mengetahui cara penafsiran al-Tûsî terhadap Al-Qur’an. Pada

bab ini, penulis menguraikan tentang metode dan prinsip al-Tûsî terhadap

penafsiran Al-Qur’an dalam hal muhkam dan mutasyabih, zahir dan batin, ta'wil,

serta nasikh dan mansukh.

Pada bab IV, penulis membahas tentang penafsiran al-Tûsî terhadap ayat-

Page 24: BIER JANNAH-FUH.pdf

12

ayat hukum. Pembahasan ini merupakan inti penelitian dari skripsi ini. Dalam bab

ini, penulis mengklasivikasikan penafsiran al-Tûsî tersebut ke dalam sub-sub

bagian yang meliputi penafsiran bidang hukum ibadah dan hukum mu‘amalah.

Dalam bab V, penulis mengakhirinya dengan penutup. Bab ini berisikan

kesimpulan dari hasil penelitian serta saran-saran penulis kepada para pembaca

pada khususnya dan kaum muslimin pada umumnya.

Page 25: BIER JANNAH-FUH.pdf

BAB II

RIWAYAT HIDUP AL-TÛSÎ

A. Latar Belakang Keluarga, Pendidikan, dan Karirnya

Nama lengkap al-Tûsî adalah Syaikh Abu Ja‘far Muhammad bin al-Hasan

bin ‘Ali al-Tûsî dan dalam perjalanan hidupnya dikenal dengan sebutan Syekh al-

Tûsî. Ia dilahirkan di Tus (Khurasan) pada bulan Ramadhan tahun 385 H. Syekh

al-Tûsî pertama kali menerima pendidikannya di Iran. Ketika berumur 23 tahun

(408 H), ia pergi ke Irak dan menetap di Baghdad. Pada masa itu, Baghdad di

bawah pemerintahan dinasti Abbasyiah dan menjadi pusat ilmu pengetahuan

dunia. Baghdad adalah pusat peradaban dan para sarjana serta kaum intelektual

dunia berdatangan ke kota itu untuk menuntut ilmu.

Sosok terkemuka yang hidup di Baghdad ketika al-Tûsî berada di kota

tersebut adalah Syekh Mufîd yang tinggal di lingkungan kaum Syi’ah di Karkah

sebuah tempat elit dan kaya raya. Syekh Mufîd merupakan sosok yang memiliki

pengaruh dan terhormat di masyarakat. Ia seorang intelektual yang

berpengetahuan luas dan mendalam tentang segala bidang kehidupan. Dia juga

seorang penyair dan kritikus kesusastraan. Pada syekh Mufîd inilah, al-Tûsî

memulai pelajarannya. Al-Tûsî masuk dan belajar pada kelas yang

diselenggarakan oleh Syekh Mufîd.1

Syekh al-Tûsî belajar di bawah bimbingan Syekh Mufîd selama lima

tahun. Selama itu, ia tidak pernah mengabaikan pelajaran gurunya walaupun

1Muhammad Ja‘far, Al-Ishtibshâr, (Teheran: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 390 HQ), h. 45-

48.

13

Page 26: BIER JANNAH-FUH.pdf

14

sesaat. Dia juga mengikuti pelajaran yang diberikan para sarjana lainnya, seperti

Ibnu Abu Junaid al-Baghdadi, Ibn Sultan Ahwazi, Abdullah Ghazairi, dan Ibnu

Abduh. Al-Tûsî belajar dari para sarjana tersebut tentang ilmu hukum Islam dan

ilmu periwayatan hadis.

Pada usia 25 tahun, Syekh al-Tûsî menulis sebuah uraian tentang karya

Syekh Mufîd yang berjudul al-Muqnâ. Al-Muqnâ adalah sebuah buku tentang

ilmu hukum agama. Kitab ini berisikan kumpulan hadis-hadis Syi’ah. Kitab ini

pula yang banyak memberikan inspirasi kepada al-Tûsî dalam menyusun karya-

karyanya.

Syekh al-Tûsî merupakan sosok yang cerdas dan sangat mengagumkan. Ia

memiliki prestasi yang sangat luar biasa. Gelar yang dianugerahkan kepadanya

adalah gelar yang layak didapatkan oleh seorang pakar yang usianya sudah tua. Ia

belajar pada berbagai syekh yang ternama ketika itu, terutama Syekh Mufîd.

Setelah Syekh Mufîd meninggal dunia, al-Tûsî belajar di bawah bimbingan

seorang fâqih Syi’i (Muhammad bin Nu‘man) yang terkenal dengan sebutan

Sayyid al-Murtadhâ. Ia hidup bersama Syaikh Muhammad bin Nu‘man selama 13

tahun. Dari Sayyid Murtadâ ini, al-Tûsî belajar dan mengembangkan ilmu

pengetahuan Syi’ah dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya.

Pada tahun 468 H, al-Tûsî meninggalkan Baghdad dan menetap di Najaf

Asyraf yang ketika itu Najaf merupakan sebuah dusun kecil. Setelah al-Tûsî

berada di Najaf, lambat laun Najaf menjadi pusat pembelajaran bagi orang Syi’ah

serta banyak kalangan yang dari segala penjuru dunia yang berdatangan ke Najaf

Page 27: BIER JANNAH-FUH.pdf

15

untuk menimba ilmu agama. Syekh al-Tûsî juga mendirikan perguruan tinggi

agama pertama di Najaf.

Di kalangan Syi’i, al-Tûsî termasuk ulama besar yang paripurna dan

mujtahidnya kaum muslimin. Hampir semua rujukan Syi’i berujung padanya dan

dalam masa yang lama, kaum Syi’i memandang bahwa hadis-hadis yang

diriwayatkannya dijadikan sebagai prinsip-prinsip yang mereka terima secara

utuh.2 Ia adalah seorang yang jujur, faqîh, berpengatahuan luas, ahli dibidang

usûl, ilmu kalam, ilmu hadis, dan lain-lain. Ia terkenal dengan sebutan Syaikh al-

Tâifah yang terus menerus memberikan pelajaran dan menulis sampai akhir

hayatnya. Ia wafat pada tahun 460 H dalam usia 75 tahun.

B. Karya Ilmiyah Al-Tûsî

Imam al-Tûsî merupakan mufasir yang produktif. Ia banyak melahirkan

karya-karya yang sangat bermanfaat, diantaranya:

1. Kitab al-Tahdzîb

Kitab ini berisikan kumpulan dari 13.590 hadis. Pada permulaan buku ini,

al-Tûsî menuliskan tentang hadis-hadis menurut riwayat Syi’ah kemudian

menguraikan tentang penolakan-penolakan golongan Ahli Sunnah terhadap

hadis tersebut. Penjelasan hadis-hadis tersebut juga sekaligus merupakan

penjelasan kritikan terhadap riwayat-riwayat dalam kitab-kitab golongan Ahli

Sunnah yang dianggap bertentangan.

2Lihat Mahmûd Bashûni Faudâ', al-Tafsir wa Manâhijuh, (Kairo: Matba‘ah al-Amânah,

1397 H), h. 147-145.

Page 28: BIER JANNAH-FUH.pdf

16

Dalam kitab ini pula, al-Tûsî menjawab penolakan-penolakan golongan

Ahli Sunnah terhadap hadis-hadis Syi’ah. Dalam penolakannya, al-Tûsî

menjelaskan bahwa keragu-raguan dari golongan Ahli Sunnah hanyalah

membuai mereka yang kurang sempurna pengetahuannya dan mereka yang

tidak mampu memahami arti kalimat-kalimat hadis dari berbagai sudut. Maka

dari itu, mereka tidak mampu untuk memahami jenis perbedaan-perbedaan.

2. Kitab al-Istibsâr.

Kitab ini membahas sebanyak 5511 hadis. Kitab ini merupakan kumpulan

dari hadis-hadis Syi’ah. Kita ini merupakan kitab yang dijadikan sebagai salah

satu rujukan utama dari kalangan Syi’ah. Kualitas kitab ini berada satu tingkat

di bawah kitab al-tahdzîb. Kedua kitab ini dipandang sebagai sumber-sumber

yang tidak tertandingi dalam masalah fiqh dan termasuk dalam empat kitab

fiqih yang menjadi tumpuan kajian kaum Syi’i Isnâ ‘Asyariyyah.

3. Kitab al-abwâb

Dinamakan dengan al-abwâb karena kitab tersebut tersusun dari urutan-

urutan bab sebanyak bilangan sahabat Nabi Muhammad saw dan sahabat dari

tiap-tiap dari para imam yang dua belas. Kitab ini juga membahas tentang

prinsip-prinsip akidah, membahas masalah tauhid, dan masalah keadilan.

4. Al-Tibyân fî Tafsîr al-Qur’an, dan lain-lain.

Kitab ini merupakan penafsiran seluruh ayat Al-Qur’an mulai dari al-

Fâtihah sampai dengan al-Nâs. Kitab-kitabnya tersebut memenuhi

perpustakaan-perpustakaan Syi’i, sehingga nama beliau menjulang tinggi.

Page 29: BIER JANNAH-FUH.pdf

17

C. Profil Tafsir al-Tibyân

1. Latar Belakang dan Tujuan Penulisan

Tafsir al-Tibyân merupakan kitab tafsir lengkap paling awal di kalangan

kaum Syi’i Isnâ ‘Asyariyyah. Hal ini diisyaratkan sendiri oleh al-Tûsî dalam

muqaddimah al-Tibyân. Kitab tafsir ini pertama kali dicetak di kota Najaf al-

Asyraf dan saat ini telah beredar di beberapa negara. Dalam penulisan kitab

tafsirnya ini, al-Tûsî selain mengambil riwayat dari imam-imam Syi’i, juga

mengambil riwayat-riwayat dari imam Bukhari dan Muslim. Dalam tafsir

ma’tsûr-nya, terdapat riwayat dari jalur ‘Aisyah dan Abu Hurairah.

Adapun tujuan penulisan tafsir al-Tibyân adalah seperti yang dikemukakan

oleh al-Tûsî dalam muqaddimah al-Tibyân-nya:

“Tujuan kitab ini adalah untuk mengetahui makna-makna Al-Qur’an dan ilmu-ilmu pengetahuan yang terkandung di dalamnya. Adapun pembicaraan tentang adanya penambahan dan pengurangan di dalamnya, maka tidaklah patut untuk dikemukakan. Hal ini disebabkan karena telah terdapat kesepakatan ( ijmâ‘ ), bahwa isu tentang adanya penambahan atau kekurangan dalam Al-Qur’an adalah isu yang batil serta jelas ditentang oleh semua mazhab kaum muslimin. Isu tersebut juga tidak sejalan dengan pandangan yang sahih dari mazhab Syi’i. Seandainyapun isu tentang adanya pengurangan dalam ayat-ayat Al-Qur’an itu memang ada, ia tidaklah dapat menggoyahkan kandungan Al-Qur’an”.3

Selain itu, al-Tûsî juga mengatakan: “Ketahuilah telah jelas dari khabar-

khabar sahabat kita bahwa penafsiran Al-Qur’an tidak boleh dilakukan kecuali

dengan atsar yang sahih dari Rasulullah saw dan juga dari para imam r.a.

Perkataan imam adalah hujjah bagaikan perkataan nabi saw, dan bahwa penafsiran

yang berdasarkan akal itu tidaklah boleh”. Menurut ia, bahwa dalam firman Allah

swt. dan sabda Rasul-Nya tidak akan ada perselisihan dan pertentangan. Hal ini

3Al-Tûsî, al-Tibyân, Jilid I, h. 8.

Page 30: BIER JANNAH-FUH.pdf

18

didasarkan pada firman Allah swt yang terdapat dalam surat Ibrâhîm/14: 4:

وما أرسلنا من رسول إال بلسان قومه ليبين لهم

“Kami tidak mengutus rasul seorangpun melainkan dengan bahasa

kaumnya supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada

mereka”.

2. Metode Penafsirannya

Dalam tafsir al-Tibyân, al-Tûsî menempuh metode tahlili dengan membagi

pembahasannya dalam tujuh bahagian. Setiap bahagian dimulai dengan sebuah

ayat Al-Qur’an atau lebih kemudian dilanjutkan dengan pembahasan beberapa

topik masalah satu demi satu. Pembahasan topiknya dimulai dengan pembahasaan

qira’at, lalu dilanjutkan dengan argumentasi ( hujjah ), bahasa, nuzum (urutan),

nuzûl, i‘râb, lalu diakhiri dengan makna ayat. Al-Tûsî sangat ahli dalam setiap

bahagian tersebut. Dalam membahas makna-makna lughawi dari setiap kata,

pembahasannya sangat mendalam, keterangannya sangat jelas dalam menjelaskan

ayat-ayat yang mujmal, serta apabila ia membahas tentang asbab nuzul

keterangan-keterangan yang diberikannya sangat jelas dan mencapai sasaran.

Dalam tafsir ini pula, al-Tûsî menghimpun riwayat-riwayat dan

pandangan-pandangan dalam beragam masalah kemudian menghubungkan

masalah-masalah tersebut dengan cabang ilmu pengetahuan yang menunjang

penafsiran tentang Al-Qur’an.

Page 31: BIER JANNAH-FUH.pdf

19

3. Pandangan al-Tûsî dalam Tafsir al-Tibyân

Dalam muqaddimah tafsirnya, al-Tûsî menjelaskan bahwa makna-makna

Al-Qur’an itu mempunyai empat bahagian, yaitu:4

a. Bagian yang hanya Allah swt saja yang mengetahui akan makna-maknanya.

Di antara contoh ayat yang termasuk dalam bahagian ini adalah surat al-

A‘râf/7: 187:

يسألونك عن الساعة أيان مرسها قل إنما علمها عند ربي اليجليهالوقتها إالهو

“Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: Bilakah terjadinya ?

Katakanlah: sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada

sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu

kedatangannya selain Dia”.

b. Ayat yang Zahir-nya sesuai dengan maknanya.

Pada bagian ini, setiap orang yang mengerti dan menguasai bahasa Arab

serta dapat berdialog dengan bahasa tersebut, maka ia akan mengetahui makna Al-

Qur’an. Di antara contohnya adalah surat al-An‘âm/6: 151:

رم اهللا إال بالحقوال تقتلوا النفس التي ح

“Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah

(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu sebab yang benar”.

c. Bagian yang global yang Zahir-nya tidak menunjukkan rinciannya.

Di antara contohnya adalah surat al-Baqarah/2: 43:

وأقيموا الصلوة وءاتوا الزآوة وارآعوا مع الراآعين

4Al-Tûsî, al-Tibyân, Jilid I, h. 4-7.

Page 32: BIER JANNAH-FUH.pdf

20

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-

orang yang ruku’.

Ayat tersebut hanyalah menerangkan tentang perintah melaksanakan

shalat, dan zakat. Adapun tentang rincian jumlah shalat dan jumlah rakaatnya,

rincian syarat-syarat dan ukuran nisab zakat tidak mungkin untuk diketahui

kecuali melalui keterangan dari Rasulullah saw.

d. Lafaz Al-Qur’an memiliki makna ganda atau lebih.

Pada bahagian ini, setiap satu makna dari sebuah lafaz memiliki

kemungkinan benar dan makna yang dimaksud. Pada bahagian ini pula, seseorang

tidak boleh untuk mengedepankan salah satu kemungkinan dari makna suatu

lafaz, kecuali apabila hal tersebut dikatakan oleh nabi atau imam yang ma‘sum.

Pada saat demikian, seseorang harus mengambil sikap bahwa dari zahir-nya, suatu

lafaz mengandung beberapa kemungkinan, dan setiap dari kemungkinan tersebut

terbuka untuk menjadi makna yang dimaksud secara terperinci.

Apabila sebuah lafaz memiliki makna ganda atau lebih kemudian di

dukung dengan sebuah dalil yang menegaskan bahwa makna yang dimaksud

adalah hal tersebut, maka pada saat itu boleh dikatakan bahwa itulah makna yang

dimaksud.

Selain itu, pandangan lain dari al-Tûsî yang menarik untuk dijelaskan dalam tafsir

al-Tibyân ini adalah sebagai berikut:

a. Ali bin Abi Thalib adalah khalifah pertama setelah Rasulullah

Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an pada tafsir al-Tibyân, al- Tûsî

selain mengambil riwayat-riwayat dari para imam, ia juga mengambil riwayat-

Page 33: BIER JANNAH-FUH.pdf

21

إنما وليكم اهللا ورسوله والذين ءامنوا والذين يقيمون الصلوة ويؤتون الزآوة وهم راآعون “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-

orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat,

seraya mereka tunduk (kepada Allah)”.

Dalam menafsirkan kata والذين ءامنوا tersebut, al-Tûsî mengerahkan segala

kemampuannya untuk menjadikan ayat di atas sebagai dasar bagi ke-imam-an Ali

r.a. Dalam tafsir al-Tibyân, al- Tûsî menjelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan

berkenaan dengan perbuatan Ali r.a yang ketika itu beliau menyedekahkan

cincinnya sementara beliau sedang ruku’. Al- Tûsî mengatakan bahwa:

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya ayat ini merupakan salah satu dalil yang

jelas mengenai ke-imam-an Ali bin Abi Thalib a.s sesudah nabi

Muhammad saw secara langsung tanpa terputus. Adapun pendalilan (wajh

dalâlah) nya adalah bahwa pengertian وليكم dalam ayat tersebut adalah “

yang lebih utama ” atau “yang paling berhak”. Adapun yang dimaksud

dengan firman Allah SWT: والذين ءامنوا tersebut adalah Amirul Mukminin

Ali Bin Abi Thalib. Apabila dua pokok persoalan tersebut telah ditetapkan

Page 34: BIER JANNAH-FUH.pdf

22

b. Semua imam Syi‘i adalah ma’sûm.

Di antara prinsip pokok kaum Syi‘i adalah pendapat mereka tentang

‘ismah para imam. Mereka memandang bahwa para imam Syi‘i yang dua belas itu

seperti para nabi Allah SWT yang tidak mungkin mereka terjatuh dalam

kesalahan. Al- Tûsî dalam tafsir al-Tibyân berupaya menguatkan pendapat tentang

‘ismah ini dengan jalan pen-ta’wil-an ayat-ayat Allah SWT sesuai dengan

riwayat-riwayat para imam dengan menundukkan ayat-ayat tersebut agar sesuai

denga keyakinan mazhabnya. Demikianlah mengenai firman Allah SWT dalam

surat al-Baqarah/2: 124:

قال ومن ذريتى قال ال ينال هن قال إنى جاعلك للناس إماماوإذابتلى إبراهيم ربه بكلمت فأتم

عهدى الظلمين“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat

(perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:

"Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia".

5Al-Tûsî, al-Tibyân, Juz III, h. 558-564.

Page 35: BIER JANNAH-FUH.pdf

23

Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah

berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim".

Setelah menjelaskan ayat ini dari segi bahasa dan gramatikanya, al- Tûsî

menjelaskan bahwa berdasarkan ayat-ayat tersebut, sahabat-sahabat kita berdalil

bahwa imam itu mestilah ma‘sûm dari keburukan-keburukan. Hal ini disebabkan

karena Allah SWT tidak memberlakukan janji-Nya ( imamah ) bagi orang yang

zalim. Seseorang yang tidak ma‘sûm pastilah seorang yang zalim yang dapat

terjadi pada dirinya sendiri maupun zalim terhadap orang lain. Al- Tûsî juga

menjelaskan bahwa ayat tersebut tidaklah berarti bahwa janji Allah SWT itu tidak

berlaku bagi seseorang yang sedang berada dalam keadaan zalim saja atau berlaku

apabila ia telah bertaubat saja. Ayat tersebut menurutnya wajib dipahami sebagai

sesuatu yang menyangkut keumuman waktu dan bahwa janji Allah SWT itu tetap

tidak berlaku bagi seseorang yang pernah melakukan kezaliman sekalipun ia telah

bertaubat. Selain itu, al-Tûsî juga beragumentasi bahwa jabatan imamah itu

bertalian dengan jabatan kenabian. Hal ini disebabkan karena Allah SWT

berbicara kepada nabi Ibrahim a.s tentang masalah imamah tersebut dalam

kedudukan beliau sebagai seorang nabi.6

D. Al- Tûsî dan Fiqh Syi’ah

Kaum Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah mempunyai fiqh tersendiri yang dinamai

dengan fiqh Ja‘fari. Dalam beberapa masalah, fiqh ini berbeda dari mazhab-

mazhab fiqh yang besar. Perbedaan antara fiqh Syi’ah dengan mazhab-mazhab

6 Al-Tûsî, al-Tibyân, Juz I, h. 445-446.

Page 36: BIER JANNAH-FUH.pdf

24

fiqh di lingkungan Ahlu Sunnah tidaklah besar. Perbedaan tersebut serupa

besarnya dengan perbedaan antara mazhab fiqh Hanafi dengan fiqh Maliki atau

Syafi’i. Atau seperti perbedaan antara mereka yang beramal dengan ketentuan-

ketentuan lahiriyah nas dengan mereka yang mengambil apa yang tersirat di

dalamnya.

Apabila seseorang memperhatikan kandungan kitab-kitab fiqh mereka, ia

akan menjumpai pandangan-pandangan fiqh Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah yang sejalan

dengan pendapat jumhur ulama fiqh. Seseorang tidak dapat menyatakan bahwa

terdapat pendapat-pendapat dalam fiqh Ja’fari yang menyebabkannya keluar dari

lingkungan Islam. Perbedaan pendapat antara fiqh Ja’fari dengan fiqh Ahlu

Sunnah menunjukkan suburnya kemerdekaan berpikir dalam Islam dalam

kerangka Al-Qur’an dan Sunnah.

Dalam fiqh mazhab Ja’fari terdapat pendapat-pendapat lurus yang sahih

untuk diambil. Dalam kenyataannya, Undang-undang ( qânûn ) Mesir telah

mengambil pendapat-pendapat Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah. Di antaranya adalah

menjatuhkan talak tiga sekaligus hanya berarti talak satu. Dalam pandangan ini,

Majelis Muzâkarah Tafsir Mesir menyatakan bahwa pendapat tersebut diambil

dari Ibnu Taimiyah, tetapi Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa pendapat tersebut

diambilnya dari pendapat-pendapat para imam ahl al-bait. Dalam masalah fiqh,

Syi’ah bersandar pada empat sumber, yaitu Al-Qur’an, sunnah, akal, dan ijma’.7

Al-Tûsî termasuk salah seorang fuqahâ’ kenamaan kaum Syi’ah, bahkan ia

termasuk pendiri mazhab Ja’fari. Ia telah berupaya membela pendapat-pendapat

7 Ahmad Bashûni Faudâi, Nasy’ah al-Tafsir wa Manâhijuh, h. 162-163.

Page 37: BIER JANNAH-FUH.pdf

25

mazhabnya dalam masalah fiqh. Dalam masalah fiqh, ia mengemukakan dalil-

dalil yang menunjukkan kuatnya akal beliau, keluasan pikirannya, dan luasnya

bacaannya.

Page 38: BIER JANNAH-FUH.pdf

BAB III

METODE DAN PRINSIP PENAFSIRAN AL-TÛSÎ

DALAM MENAFSIRKAN AL-QUR’AN

A. Metode Penafsiran Al-Tûsî

Berdasarkan dalil Al-Qur’an, al-Tûsî berkeyakinan bahwa sabda nabi

Muhammad saw merupakan dasar yang tepat dalam menafsirkan Al-Qur’an. Al-

Tûsî juga berkeyakinan bahwa sabda (pendapat) para ulama ahlulbait merupakan

suatu dasar yang dapat dijadikan hujjah dalam menafsirkan Al-Qur’an. Hal ini

disebabkan karena sabda para ulama ahlulbait mengikuti sabda nabi Muhammad

saw.

Adapun prinsip al-Tûsî terhadap pendapat para sahabat dan tabi’in, ia

berpandangan bahwa pendapat para sahabat dan tabi’in tidak dapat dijadikan

hujjah kecuali pendapatnya tersebut memiliki dukungan dari hadis nabi

Muhammad saw. Hal ini disebabkan karena menurut al-Tûsî, kedudukan para

sahabat1 dan tabi’in adalah sama seperti kaum muslim lainnya. Dengan demikian,

1Syi‘i termasuk Al-Tûsî membagi sahabat menjadi tiga golongan, yaitu: pertama,

golongan sahabat yang beriman kepada Allah swt, nabi Muhammad saw, serta mengorbankan diri mereka demi kepentingan Islam. Mereka adalah golongan yang paling utama. Golongan sahabat ini selalu membantu dan senantiasa bersama-sama nabi. Mereka tidak pernah melanggar perintahnya dalam setiap hal dan tidak pula mengatakan bahwa nabi berdusta. Di antara para sahabat yang termasuk dalam golongan ini adalah ‘Ali bin Abi Thalib, Abû Zar al-Ghiffâri, Salmân al-Fârisi, Miqdâd, Ammar bin Yasir, dan Jâbir bin ‘Abd Allâh; kedua, golongan orang-orang yang mengingkari Islam, tetapi perbuatan mereka tidak sungguh-sungguh. Di antara sahabat yang termasuk dalam golongan sahabat ini adalah Ab- Bakr dan ‘Umar bin al-Khattâb; ketiga, golongan orang-orang yang mengingkari Islam setelah nabi Muhammad saw wafat sebagaimana yang dicatat oleh al-Bukhâri. Mereka ini adalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah swt, tidak mengutamakan nabi Muhammad saw, dan berusaha menyusup ke dalam Islam agar dimasukkan ke dalam golongan kaum muslimin. Mereka adalah orang-orang munafik, seperti Ab- Sufyân, Mu’âwiyyah bin Abi Sufyân, dan Yazid bin Mu’âwiyah. Lihat Rofik Suhud, dll, Antologi

26

Page 39: BIER JANNAH-FUH.pdf

27

dalam menafsirkan Al-Qur’an, al-Tûsî menggunakan metode periwayatan dari

hadis-hadis nabi Muhammad saw, hadis imam ahlulbaitnya, dan dari hadis-hadis

sahabat.

Menurut al-Tûsî, mufassir Syi’i dalam menafsirkan Al-Qur’an terbagi

dalam beberapa kelompok, yaitu:2

Kelompok pertama adalah mufasir yang menafsirkan Al-Qur’an

berdasarkan penafsiran Rasulullah saw dan para imam ahlulbait. Dalam hal ini,

para mufasir Syi’i menempuh metode dengan memasukkan hadis-hadis

Rasulullah dan hadis-hadis para imam ahlulbait ke dalam karangan-karangan

mereka. Di antara mufasir yang termasuk dalam kelompok ini adalah Zurarah,

Muhammad bin Muslim, Ma‘ruf, Jarir, dan lain-lain3.

Kelompok kedua adalah ulama yang mula-mula menulis kitab tafsir,

seperti Furat bin Ibrahim, Abu Hamzah al-Samali al-‘Iyasyi (w. 320 H), ‘Ali bin

Ibrahim al-Qummi (w. 329 H), dan al-Nu‘man.4 Metode yang mereka pergunakan

Islam: Sebuah Risalah Tematis dari Keluarga Nabi terjemahan dari Encyclopedia of Shia, (Jakarta: Al-Huda, 2005), h. 345.

2Al-Tabâtabâi, al-Qur’ân fi al-Islâm, h. 70-72. Lihat juga Sâlim al-Safâr al-Baghdâdi, selanjutnya dinamai al-Baghdâdi, Naqd Manhaj al-Tafsir wa al-Mufassirin al-Muqâran selanjutnya disebut Naqd Manhaj, (Beirût: Dâr al-Hâdi, 2000), h. 348-350. Abdul Azis Teo, Perbandingan Penafsiran, h. 227.

3Zurârah bin A‘yun adalah seorang ulama ahli fiqh Sy‘i. Ia merupakan pilihan dari dua imam, yaitu imam Muhammad bin ‘Ali al-Bâqir dan imam Ja‘far bin Muhammad al-Shâdiq. Ma‘rûf bin Khurbûz dan Jarir merupakan murid pilihan imam Ja‘far bin Muhammad al-Shâdiq. Lihat Al-Tabâtabâi, al-Qur’ân fi al-Islâm, h. 70. Lihat juga al-Baghdâdi, Naqd Manhaj, h. 348.

4Furât bin Ibrâhim adalah pengarang kitab tafsir yang terkenal ( ريحانة األدب ). Ia merupakan guru dari ‘Al bin Ibrâhim al-Qummi. Ia berasal dari Kufah. Ab- Hamzah al-samâli adalah ahli fiqh Syi‘i dan murid pilihan imâm ‘Ali al-Sajjâd dan imam Muhammad bin ‘Ali al-Bâqir. Al-‘Iyâsyi adalah mufasir Syi‘i abad ketiga dan keempat Hijriyah. Ia wafat pada tahun 320 H. ‘Ali bin Ibrâhim al-Qummi adalah salah seorang guru hadis mazhab Syi‘i. Ia hidup pada akhir abad ketiga Hijriyah dan permulaan abad keempat Hijriyah. Al-Nu‘mân Muhammad bin Ibrâhim adalah salah seorang tokoh dan ulama Syi‘i. Ia adalah murid kepercayaan al-Kulaini. Ia hidup pada

Page 40: BIER JANNAH-FUH.pdf

28

dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah meriwayatkan hadis-hadis dari Rasulullah

saw dan hadis-hadis dari para imam ahlulbait dengan menyebut dan meringkas

sanadnya. Selain itu, mereka juga dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak

mengemukakan pendapat dan pandangannya terhadap suatu masalah yang

dibahas.

Kelompok ketiga adalah ulama yang memiliki berbagai cabang ilmu

pengetahuan. Mereka menulis kitab tafsir menurut spesialisasinya dan sesuai

dengan ilmu yang dikuasainya., seperti al-Syarif al-Rida (w. 404 H) dengan

tafsirnya yang bercorak sastra ( nahj al-balâghah). Al-Tûsî (w. 460 H) dengan

tafsirnya yang bercorak teologi masuk dalam kelompok ini. Selain itu, mufasir

yang termasuk dalam kelompok ini adalah al-Mubaidi al-Kunabadi dan ‘Abd al-

Razzaq al-Kasyani (w. 730 H) dengan tafsirnya yang bercorak tasawuf, Syaikh

‘Abd ‘Ali al-Huwaizi (w. 1112 H) dengan tafsirnya Nur Saqalain, Sayyid Hasyim

al-Bahrani (w. 1107 H) dengan tafsirnya al-Burhan, al-Faid al-Kasyyani (w. 1091

H) dengan tafsirnya al-Safi, dan lain-lain.5

Adapun metode yang mereka tempuh dalam menafsirkan Al-Qur’an

adalah meriwayatkan hadis-hadis dari Rasulullah saw dan hadis-hadis dari para

5Al-Syârif al-Ridhâ Muhammad bin Husain al-Musâwi adalah salah seorang ahli hukum Syi‘i imâmiyah yang terkemuka. Pada masanya, ia menjadi orang yang paling ahli dalam bidang sya’ir dan sastra. Di antara karangan-karangannya adalah kitab al-Nahj al-Balâghah. Ia wafat pada tahun 404 Hijriyah. shadr al-Din Muhammad bin Ibrâhim al-Syirâzi adalah seorang filosof yang terkenal. Ia adalah pengarang kitab Majma‘ al-Tafâsir. Ia wafat pada tahun 1050 Hijriyah. ‘Abd al-Razzâq al-Kâsyâni adalah mufasir Syi‘i yang wafat pada tahun 730 H. Di antara karanganya adalah tafsir Ta'wilât al-Qur'ân. Sayyid Hasyim al-Bahrâni adalah salah seorang mufasir Syi‘i yang berpengaruh pada masanya. Ia wafat pada tahun 1107 Hijriyah. Al-Fâidh al-Kâsyâni Maulânâ Muhammad Muhsin bin al-Murtadhâ adalah mufasir Syi‘i yang wafat pada tahun 1112 Hijriyah. Lihat Al-Tabâtabâi, al-Qur’ân fi al-Islâm, h. 72.

Page 41: BIER JANNAH-FUH.pdf

29

imam ahlulbait dengan menyebutkan sanadnya. Mereka juga mengemukakan

pendapat dan pandangannya dalam menafsirkan Al-Qur’an terhadap suatu

masalah yang dibahas.

Kelompok keempat adalah para mufasir yang mengemukakan berbagai

ilmu pengetahuan dalam kitab tafsir mereka, seperti bahasa, gramatika, qira’ah,

teknologi, dan lain-lain. Di antara mufasir yang termasuk dalam kelompok ini

adalah al-Tabarsi (w. 552 H) dengan tafsirnya Majma‘ al-Bayân, dan lain-lain.

B. Prinsip Penafsiran Al-Tûsî

Adapun prinsip-prinsip penafsiran al-Tûsî terhadap penafsiran Al-Qur’an

adalah sebagai berikut:

1) Al-Qur’an mempunyai makna zahir dan makna batin

Dalam menjelaskan tujuan-tujuan agama dan memberikan perintah-

perintah kepada manusia terhadap masalah doktrin dan tindakan, Al-Qur’an telah

menjelaskannya melalui kata-katanya yang zahir. Selain itu, Al-Qur’an juga telah

menerangkan akan masalah tersebut melalui makna-maknanya yang batin. Imam

al-Tûsî (w. 460 H) menjelaskan bahwa makna-makna batin Al-Qur’an tersebut

hanya dapat dipahami oleh kaum khawwadz (elite spiritual) yang mempunyai

kebersihan hati.6 Dalil yang menjelaskan tentang adanya makna batin Al-Qur’an

adalah tercermin dalam sabda Rasulullah saw:

6DJohan Efendi, Islam Syi’ah; Asal Usul dan Perkembangannya selanjutnya disebut

Islam Syi'ah terjemahan dari Muhammad Husain Tabâtabâi, Shi’te Islam, (Jakarta: Grafiti Pers, 1989), h. 104. Lihat juga al-Tabâtabâi, al-Qur’ân fi al-Islâm, h. 34-35.

Page 42: BIER JANNAH-FUH.pdf

30

إن للقرآن ظهرا وبطنا ولبطنه بطنا إلي سبعة أبطن

“Sesungguhnya Al-Qur’an itu mempunyai arti lahir dan batin (dimensi

kedalaman). Dan dimensi kedalaman itu masih mempunyai dimensi

kedalaman lagi hingga sampai tujuh dimensi kedalaman”.

Selain dari hadis tersebut, dalil yang menjadi penunjang utama akan

makna batin Al-Qur’an adalah suatu bahasa kiasan yang disebutkan oleh Allah

swt dalam surat al-Ra‘d/13: 17:

انزل من السمآء مآء فسالت أوديةبقدرها فاحتمل السيل زبدارابيا ومما يوقدون عليه في النار

الباطل فأما الزبد فيذهب جفاء وأما ما ابتغاء حلية أو متاع زبد مثله آذلك يضرب اهللا الحق و

ينفع الناس فيمكث فى األرض آذلك يضرب اهللا األمثال

“Allah swt telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah

air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih

yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api

untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada pula buihnya seperti buah

arus itu. Demikianlah Allah swt membuat perumpamaan (bagi) yang

benar dan yang batil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang

tidak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia,

maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah swt membuat perumpamaan-

perumpamaan”.

Dalam ayat tersebut, karunia Allah swt dilambangkan (dikiaskan) dengan

hujan yang turun dari langit dan dari hujan itulah tergantung kehidupan bumi dan

penduduknya. Dengan turunnya hujan, airpun mengalir, dan setiap sungai

menerima air hujan tersebut menurut kemampuannya. Selain itu, sekalipun air

Page 43: BIER JANNAH-FUH.pdf

31

mengalir dan menutupi permukaan sungai, namun di bawahnya tetap mengalir air

yang sama yang dapat memberikan kehidupan dan manfaat pada umat manusia.

Seperti telah diisyaratkan oleh cerita kiasan di atas, kemampuan untuk

memahami pengetahuan ketuhanan yang menjadi sumber kehidupan batin

manusia sangatlah berbeda-beda. Di antara manusia ada yang hanya menerima

pengetahuan ketuhanan pada tingkat percaya secara sederhana, dan ada pula di

antara manusia yang karena kesucian fitrahnya, ia mampu memahami lambang-

lambang ciptaan yang tersembunyi. Dengan kesucian jiwa yang dimilikinya, ia

mengamati dalam suatu penglihatan rohani cahaya yang tidak terhingga dari

Keagungan dan Kebesaran Allah swt. Hati mereka sepenuhnya tertambat dengan

penuh kerinduan untuk mencapai hakekat pesan-pesan Allah swt yang

sesungguhnya.7 Allah swt berfirman dalam surat al-Nisâ’/4: 36:

واعبدوا اهللا وال تشرآوا به شيئا

“Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan

sesuatupun”.

Secara zahir-nya, ayat ini menunjukkan bahwa ia melarang akan

penyembahan berhala, seperti dijelaskan dalam surat al-Hajj/22: 30:

فاجتنبوا الرجس من األوثان

“Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu”.

Adapun secara batinnya, ayat وا اهللا وال تشرآوا به شيئاواعبد menunjukkan

bahwa manusia tidak boleh mentaati siapapun selain Allah swt. Hal ini

disebabkan karena taat berarti sujud di hadapan seseorang dan mengabdi

7DJohan Efendi, Islam Syi'ah, h. 105.

Page 44: BIER JANNAH-FUH.pdf

32

Begitu pula dengan firman Allah swt, surat al-‘Ankabût/29: 45:

وأقم الصلوة إن الصلوة تنهى عن الفحشآء والمنكر

“Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari

(perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar”.

Secara zahir-nya, ayat tersebut memerintahkan manusia untuk mendirikan

shalat dengan melakukan gerakan-gerakan tertentu. Adapun secara batinnya, ayat

tersebut memerintahkan kepada manusia untuk memuja dan mentaati Allah swt

dengan seluruh hati dan jiwanya. Di balik itu, ayat tersebut secara batin

mengisyaratkan bahwa di hadapan Allah swt, manusia harus menganggap dirinya

tidak bernilai sama sekali dan harus selalu mengingat kepada-Nya.9

Dari kedua contoh tersebut, jelaslah bahwa Al-Qur’an memiliki aspek-

aspek lahir (zahir) dan aspek-aspek batin (tersirat). Aspek batin dari Al-Qur’an

tidak menghilangkan atau mengurangi nilai arti zahir-nya. Bahkan ia bagaikan

nyawa yang menghidupi badan. Makna zahir tidak menafikan maksud makna

8DJohan Efendi, Islam Syi'ah, h. 106. Lihat juga al-Tabâtabâi, al-Qur’ân fi al-Islâm, h.

34-35. 9DJohan Efendi, Islam Syi'ah, h. 107.

Page 45: BIER JANNAH-FUH.pdf

33

batin, dan maksud makna batin tidak menafikan maksud makna zahir, serta makna

batin mempunyai berbagai tingkatan pengertian.10

2) Hakikat muhkamat dan mutasyâbihat

Pembahasan Al-Qur’an yang berhubungan dengan ayat muhkamat dan

mutasyâbihat tercantum dalam tiga surat, yaitu:

1. Surat Hûd/11: 1:

آتاب أحكمت ءايته ثم فصلت من لدن حكيم خبير

“Inilah suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta

dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi Allah Yang Maha

Bijaksana lagi Maha Tahu”.

2. Surat al-Zumar/39: 23:

تقشعر منه جلود الذين يخشون ربهماهللا نزل أحسن الحديث آتابا متشابهامثانى

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an

yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya

kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya”.

3. Surat Âli ‘Imrân/3: 7:

هو الذى أنزل عليك الكتب منه ءايت محكمت هن أم الكتب وأخر متشبهت فأما الذين فى

قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه

“Dialah yang menurunkan al-kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara

isinya ada ayat-ayat muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan

yang lain ayat-ayat mutasyâbihat. Adapun orang-orang yang dalam

10DJohan Efendi, Islam Syi'ah, h. 108.

Page 46: BIER JANNAH-FUH.pdf

34

hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat

yang mutasyâbihat”.

Ayat pertama (surat Hûd/11:1) menegaskan bahwa seluruh kandungan Al-

Qur’an adalah muhkam. Adapun maksud ke-muhkam-annya adalah bahwa

keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an itu adalah kuat, kokoh, rapih, indah susunannya,

dan sama sekali tidak mengandung kelemahan dan kebatilan, baik dalam lafaz-

lafaznya, rangkaian kalimatnya, maupun maknanya.

Ayat kedua (surat al-Zumar/39: 23) menegaskan bahwa seluruh

kandungan ayat-ayat Al-Qur’an adalah mutasyâbih. Maksudnya adalah bahwa

ayat-ayatnya berada dalam satu ragam keindahan gaya bahasa, i‘jaz, dan memiliki

daya ungkap yang luar biasa.

Ayat ketiga (surat Âli ‘Imrân/3: 7) menjelaskan bahwa ayat-ayat Al-

Qur’an terbagi kepada dua bahagian, yaitu sebagian ayat yang bisa dipahami

secara mandiri yang dikenal dengan muhkamat dan sebagaian ayat yang

memerlukan penjelasan ayat lain dalam cara memahaminya yang dikenal dengan

mutasyâbihat.11

Adapun prinsip penafsiran al-Tûsî terhadap ayat-ayat muhkamat dan

mutasyâbihat adalah sebagai berikut:

Pertama, ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang maksud petunjuknya

jelas, tegas, dan tidak rancu, serta tidak menimbulkan kekeliruan pemahaman.

Ayat-ayat seperti ini wajib diimani dan diamalkan isinya.

11Al-Tabâtabâi, al-Qur'ân fi al-Islâm, h. 42.

Page 47: BIER JANNAH-FUH.pdf

35

Kedua, ayat-ayat mutasyâbih adalah ayat-ayat yang makna lahirnya

bukanlah yang dimaksudkannya, tetapi makna hakikinya dijelaskan dengan pen-

ta’wil-an. Ayat-ayat seperti ini wajib diimani tetapi tidak wajib untuk diamalkan.

Al-Tûsî berpandangan bahwa nabi Muhammad saw dan para imam ahlulbaitnya

mengetahui ta’wil ayat-ayat mutasyâbih tersebut. Ia berpendapat bahwa ayat-ayat

muhkam dalam Al-Qur’an merupakan um al-kitab (pokok-pokok isi Al-Qur’an).

Hal ini berarti bahwa untuk mengetahui ayat-ayat mutasyâbih harus merujuk

kepada ayat-ayat muhkam. Ayat-ayat mutasyâbih harus dirujuk kepada ayat-ayat

muhkam guna mengetahui maknanya yang hakiki.

Berdasarkan hal tersebut, al-Tûsî berpendapat bahwa tidak ada satu

ayatpun dalam Al-Qur’an yang tidak mungkin tidak diketahui maknanya. Selain

itu, ia juga berpendapat bahwa seluruh ayat-ayat mutasyâbih dapat diketahui

makna-makna hakikinya dengan perantara ayat-ayat lain. Inilah yang dimaksud

dengan ketergantungan ayat muhkam kepada ayat mutasyâbih.12 Di antara

contohnya adalah firman Allah swt yang terdapat dalam surat Tâhâ/20:5:

الرحمن على العرش استوى

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah Yang bersemayam di atas ‘Arasy”,

dan ayat lain yang terdapat dalam surat al-Fajr/89:22:

وجآء ربك

“Dan datanglah Tuhanmu”.

12Al-Tabâtabâi, al-Qur'ân fi al-Islâm, h. 43-46. Lihat juga Andrew Rippin selanjutnya

disebut Rippin (Ed), Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’ân, selanjutnya disebut Aproaches, (London: Clarendon Press, 1988), h. 189.

Page 48: BIER JANNAH-FUH.pdf

36

Secara zahir-nya, kedua ayat tersebut menunjukkan jismiyyah (memiliki

jasad) dan menggambarkan seakan-akan Allah swt itu adalah benda. Kedua ayat

tersebut apabila dihubungkan dengan firman Allah swt yang terdapat dalam surat

al-Syûrâ/42: 11:

ليس آمثله شىء وهو السميع البصير

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha

Mendengar lagi Maha Melihat”, maka jelaslah bahwa “bersemayam” itu bukan

berarti menetap, dan “datang” itu bukan berarti pindah dari suatu tempat ke

tempat lain. Inilah makna batin yang terkandung dalam ayat وجآء ربك dan ayat

. الرحمن على العرش استوى

Untuk menguatkan pandangan al-Tûsî tentang makna batin Al-Qur’an, ia

menyandarkan keyakinannya pada dalil-dalil sebagai berikut:13

1. Sabda Rasulullah saw:

وإن القرآن لم ينزل ليكذب بعضه بعضا ولكن نزل ليصدق بعضه بعضا فما عرفتم فاعملوا

به وما تشابه عليكم فآمنوا به

“Sesungguhnya Al-Qur’an itu tidaklah diturunkan agar sebagiannya

mendustakan sebagian yang lain. Akan tetapi ia diturunkan agar

sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Maka apa yang kalian

ketahui, amalkanlah; dan apa yang samar bagi kalian, maka imanilah”.

13Al-Tabâtabâi, al-Qur'ân fi al-Islâm, h. 47-48.

Page 49: BIER JANNAH-FUH.pdf

37

2. Perkataan imam ‘Ali karram Allah wajhah:

ينطق بعضه بعضا ويشهد بعضه علي بعض

“Beberapa ayat Al-Qur’an saling mengisi dengan bagian-bagian yang

lain yang mengungkapkan maknanya kepada kita. Beberapa bagian

mengokohkan makna bagian yang lain”.

3. Perkataan imam Rida a.s:

ممن رد متشابه القرآن إلي محكمه هدي إلى صراط مستقي

“Barang siapa mengembalikan ayat-ayat mutasyabih kepada ayat-

ayat muhkam, maka dia telah ditunjukkan kepada jalan yang lurus”.

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, mufasir Syi’i menjelaskan bahwa ayat-

ayat mutasyâbih adalah ayat-ayat yang tidak mandiri dalam madlul-nya. Oleh

karena itu, untuk mengetahui hakikat makna ayat-ayat mutasyâbih harus

dikembalikan kepada ayat-ayat muhkam. Dengan demikian, dalam ayat-ayat Al-

Qur’an tidak ada satu ayatpun yang tidak diketahui maksudnya.

3) Ta’wil yang hakiki dalam Al-Qur’an

Kata ta’wil dalam Al-Qur’an tercantum pada tiga ayat, yaitu:

a. Surat Âli ‘Imrân/3: 7:

له إال فأما الذين فى قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغآء الفتنة وابتغآء تأويله وما يعلم تأوي

اهللا والراسخون فى العلم يقولون ءامنا به آل من عند ربنا

“Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,

maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyâbihat daripadanya untuk

menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wil-nya, padahal tidak ada

Page 50: BIER JANNAH-FUH.pdf

38

b. Surat al-A‘râf/7: 53:

هل ينظرون إال تأويله يوم يأتى تأويله يقول الذين نسوه من قبل قد جآءت رسل ربنا بالحق

“Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali ta’w³lnya. Pada hari

datangnya ta’wilnya itu berkatalah orang-orang yang melupakannya

sebelum itu: “sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami dengan

haq".

c. Surat Yûnus/10: 39:

بل آذبوا بما لم يحيطوا بعلمه ولما يأتهم تأويله

“Yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum

mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka

ta’wilnya”.

Dari beberapa ayat tersebut, mufasir Syi’i berpandangan bahwa

keseluruhan ayat dalam Al-Qur’an adalah mempunyai ta’wil dan tidak hanya

terbatas pada ayat-ayat mutasyâbihat saja. Menurut mereka, ta’wil (makna

tersirat) yang terdapat dalam Al-Qur’an hanya diketahui oleh Allah swt, para nabi,

dan orang-orang suci14 di antara wali-wali Allah yang bebas dari kotoran

ketidaksempurnaan manusia. Para wali ini dapat merenungi makna-makna Al-

14Orang-orang suci yang dimaksudkan oleh mufasir Syi‘i tersebut adalah para imam Syi‘i

dan ahlulbait lainnya. Pandangan Syi‘i tersebut berdasarkan ayat yang terdapat dalam surat al-Ahzâb(Md) /33: 33: إنما يريد اهللا ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهرآم تطهيرا (sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian hai ahlulbait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya).

Page 51: BIER JANNAH-FUH.pdf

39

Qur’an sekalipun hidup dalam kenyataan masa kini. Mereka juga beranggapan

bahwa pada hari kebangkitan, ta’wil Al-Qur’an akan diungkapkan.

Pendapat tersebut berdasarkan pada pandangan bahwa pendalaman yang

memadai tentang ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis dari ahlulbait menunjukkan

dengan jelas bahwa kitab suci Al-Qur’an dengan bahasa yang menarik serta

pengungkapannya yang fasih dan terang, tidak pernah mempergunakan cara

pengemukaan yang penuh teka-teki. Ia selalu memaparkan setiap persoalan

dengan bahasa yang serasi dengan persoalannya. Menurut mufasir Syi’i, ta’wil

atau penafsiran Al-Qur’an, tidaklah sekedar pengertian kata-kata secara harfiah,

melainkan ia berkaitan dengan kebenaran-kebenaran dan kenyataan-kenyataaan

tertentu yang berada di luar batas pemahaman manusia biasa. Dari kebenaran dan

kenyataan ini, ia melahirkan prinsip-prinsip ajaran dan perintah-perintah amaliah

dari Al-Qur’an.15

Para mufasir Syi’i menolak pendapat ulama yang mengatakan bahwa

ta’wil adalah sama dengan tafsir. Mereka juga menolak pendapat ulama yang

mengatakan bahwa ta’wil mempunyai makna yang berbeda dengan makna lahir

suatu ayat. Selain itu, para mufasir Syi’i juga menolak pendapat ulama yang

mengatakan bahwa tidak semua ayat Al-Qur’an mempunyai ta’wil dan ta’wil

ayat-ayat Al-Qur’an hanya diketahui oleh Allah swt. Adapun alasan penolakan

mufasir Syi’i terhadap pandangan ini adalah sebagai berikut:16

Pertama, pendapat para ulama tersebut bertentangan dengan surat

Yûnus/10: 39:

15Djohan Effendi, Islam Syi'ah, h. 109. 16Al-Tabâtabâi, al-Qur'ân fi al-Islâm, h. 51-53.

Page 52: BIER JANNAH-FUH.pdf

40

بل آذبوا بما لم يحيطوا بعلمه ولما يأتهم تأويله آذلك آذب الذين من قبلهم فانظر آيف آان

عقبة الظلمين

“Yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum

mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka

ta’wil-nya. Demikianlah orang-orang yang sebelum mereka telah

mendustakan (rasul). Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang

yang zalim itu”.

Menurut mufasir Syi’i, ayat ini sangat jelas menunjukkan bahwa

keseluruhan ayat di dalam Al-Qur’an itu mempunyai ta’wil, dan tidak hanya

terbatas pada ayat mutasyâbihat.

Kedua, pendapat para ulama Sunni tersebut mengakibatkan pada

ketidakjelasan makna hakiki secara keseluruhan dalam Al-Qur’an, apabila yang

mengetahuinya hanya Allah swt. Pandangan seperti ini sangatlah tidak jelas

maksudnya dan bukanlah merupakan perkataan yang fasih dalam suatu ilmu

balaghah.

Ketiga, berdasarkan pendapat para ulama Sunni tersebut, maka

argumentasi Al-Qur’an menjadi kurang sempurna. Hal ini bertentangan dengan

firman Allah swt yang tercermin dalam surat al-Nisâ’/4: 82:

أفال يتدبرون القرآن ولوآان من عند غير اهللا لوجدوا فيه اختالفا آثيرا

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau kiranya

Al-Qur’an itu bukanlah dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat

pertentangan yang banyak di dalamnya”.

Page 53: BIER JANNAH-FUH.pdf

41

Berdasarkan ayat ini, mufasir Syi’i berpandangan bahwa seandainya

diasumsikan bahwa ayat-ayat mutasyâbih berbeda dengan ayat-ayat muhkam, lalu

perbedaan tersebut dihilangkan dengan mengatakan bahwa arti lahirnya bukanlah

yang dimaksud, dan yang dimaksudkannya adalah arti lain yang hanya diketahui

oleh Allah swt, maka menghilangkan perbedaan dengan cara seperti ini tidak

menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu bukan perkataan manusia.

Keempat, tidak ada bukti sama sekali bahwa yang dimaksud dengan ta’wil

dalam ayat muhkam dan mutasyâbih adalah makna yang berbeda dengan arti

zahir. Di antara contoh Al-Qur’an yang menjelaskan pandangan ini adalah sebagai

berikut:

Dalam kisah nabi Yusuf a.s sangatlah jelas bahwa ta’wil mimpi bukanlah

sesuatu yang berbeda dengan makna lahiriah mimpi itu, akan tetapi ta’wil atas

mimpi tersebut merupakan kenyataan lahiriah yang dilihat ketika tidur dalam

bentuk tertentu.

Dalam kisah nabi Musa a.s dan nabi Khidir a.s, yaitu ketika nabi Khidir

merusak perahu, membunuh bocah, dan memperbaiki dinding yang roboh. Pada

kisah ini, setiap kali nabi Khidir a.s melakukan perbuatan tersebut, maka saat

itupula dikritik oleh nabi Musa a.s. Kritikan yang dilakukan oleh nabi Musa a.s

disebabkan karena ia belum mengetahui hakikat dan makna perbuatan yang

dilakukan oleh nabi Khidir a.s. Dengan keadaan seperti ini, akhirnya nabi Khidir

a.s menjelaskan kepada nabi Musa a.s tentang rahasia yang tersembunyi di balik

perbuatan-perbuatannya tersebut. Penjelasan seperti ini dinamakan dengan ta’wil.

Page 54: BIER JANNAH-FUH.pdf

42

Dalam masalah timbangan dan ukuran, Allah swt berfirman dalam surat

al-Isrâ’/17:35:

وأوفوا الكيل إذاآلتم وزنوا بالقسطاس المستقيم ذلك خير وأحسن تأويال

“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah

dengan timbangan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama dan lebih

baik ta’wilnya”.

Dari ayat ini jelaslah bahwa ta’wil yang dikehendaki Allah dalam masalah

timbangan dan ukuran adalah posisi ekonomi, terutama perekonomian yang

terjadi di pasar-pasar dengan perantaraan jual-beli. Ta’wil dengan makna ini tidak

bertentangan dengan makna zahir-nya dari ukuran dan timbangan tersebut. Selain

itu, ta’wil dengan makna ini merupakan hakikat luar dan jiwanya yang terdapat

dalam ukuran dan timbangan dengan perantaraan jujur dan adil dalam mu‘amalah.

4) Al-Qur’an dan nasikh-mansukh

Dalam ayat-ayat hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an, terdapat

beberapa ayat yang menggantikan kedudukan ayat-ayat hukum yang turun

sebelumnya. Ayat yang turun terdahulu disebut mansukh (yang dihapus), dan ayat

yang turun kemudian disebut nasikh (yang menghapus). Ayat-ayat nasikh

berfungsi untuk mengakhiri berlakunya hukum sebelumnya. Di antara contohnya

adalah antara surat al-Baqarah/2: 109:

فاعفوا واصفحوا حتى يأتى اهللا بأمره

“Maka maafkan dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan

perintah-Nya”, dengan surat al-Taubah/9: 29:

Page 55: BIER JANNAH-FUH.pdf

43

قتلوا الذين اليؤمنون باهللا والباليوم األخر واليحرمون ماحرم اهللا ورسوله واليدينون دين

وتوا الكتبالحق من الذين أ

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak

(pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengaharamkan apa yang

telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan

agama yang benar (agama Allah) yaitu orang-orang yang diberikan Al-

Kitab kepada mereka”.

Pada surat al-Baqarah ayat 109, terdapat hukum yang memerintahkan

kaum muslimin untuk bersikap lunak kepada golongan ahlul kitab, namun setelah

beberapa hari kemudian, hukum tersebut dicabut. Sebagai penggantinya, Allah

swt. memerintahkan kepada kaum muslimin untuk memerangi mereka (surat al-

Taubah ayat 29). Penetapan hukum ini disebabkan karena ahlul kitab tidak

beriman kepada Allah swt, serta tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan

oleh Allah swt dan Rasul-Nya.

Mufassir Syi’i isnâ ‘asyariyyah berpendapat bahwa nasakh dalam Al-

Qur’an adalah berakhirnya waktu berlakunya hukum yang di-nasakh (mansukh)

tersebut. Mufasir Syi’i juga berpendapat bahwa hukum yang pertama (mansukh)

memiliki suatu kemaslahatan dan pengaruh sementara yang terbatas, dan hukum

yang pertama ini berakhir apabila ada ayat hukum yang datang kemudian

(nasikh). Mereka berpandangan bahwa menetapkan hukum sementara sebelum

ada tuntutan-tuntutan untuk menetapkan hukum yang abadi, kemudian

menetapkan hukum yang abadi dan mengganti hukum yang sementara merupakan

Page 56: BIER JANNAH-FUH.pdf

44

sesuatu yang bisa diterima dan tidak mengandung kemusyrikan.17 Hal ini

berdasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas masalah falsafah nasakh,

di antaranya adalah surat al-Nahl/16: 101-102:

) 101(اليعلمون وإذا بدلنا ءاية مكان ءاية واهللا أعلم بما ينزل قالوا إنما أنت مفتر بل أآثرهم

)102(قل نزله روح القدس من ربك بالحق ليثبت الذين ءامنوا وهدى وبشرى للمسلمين

“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai

penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya,

mereka berkata: ”Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang

mengada-ada saja”, bahkan kebanyakan mereka tidak mengetahui” (101).

Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al-Qur’an itu dari

Tuhanmu dengan benar, untuk menguhkan hati orang-orang yang telah

beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang

yang berserah diri (kepada Allah)” (102).

Al-Tûsî (w. 460 H) menjelaskan bahwa nasakh dalam Al-Qur'an terbagi

tiga bahagian, yaitu: pertama, di-nasakh hukumnya tanpa di-nasakh lafaznya. Di

antara contohnya adalah surat al-Baqarah ayat 240, surat al-Mujâdalah ayat 21,

dan surat al-Anfâl ayat 65. Kedua, di-nasakh lafaznya tanpa di-nasakh hukumnya,

seperti ayat rajam; dan ketiga, di-nasakh lafaz dan hukumnya, seperti surat al-

Qasas ayat 12.18

17Al-Tabâabâi, al-Qur’ân fi al-Islâm, h. 61. Lihat juga Rippin (Ed), Aproaches, h. 188. 18Al- Tûsî, al-Tibyân, Juz I, h. 13.

Page 57: BIER JANNAH-FUH.pdf

BAB IV

PANDANGAN AL-TÛSÎ TERHADAP AYAT-AYAT HUKUM

DALAM TAFSIR AL-TIBYÂN

A. Hukum Ibadah

1. Shalat Qasar

- Surat al-Nisâ’/4: 101:

وإذا ضربتم في األرض فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلوة إن خفتم أن يفتنكم الذين

وا لكم عدوا مبينا آفروا إن الكفرين آان

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa

kamu menqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang

kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata

bagimu”.

Dalam menafsirkan ayat ini, al-Tûsî menjelaskan bahwa seseorang boleh

dan tidak berdosa untuk menqashar shalatnya. Menurutnya, shalat qasar wajib

dilakukan apabila seseorang sedang bepergian dan dalam keadaan takut. Jarak

yang dipersyaratkan oleh al-Tûsî adalah delapan farâsakh1. Apabila tidak dalam

keadaan takut, maka ia tidak wajib qasar shalat. Ia hanya diwajibkan mengerjakan

1 Farâsakh adalah jarak yang ditempuh seseorang dalam melakukan perjalanan. Satu

farâsakh sama dengan satu mil. Lihat al-Munawir, Kamus al-Munawir, (Jogjakarta: Pustaka Peantren, 2004), h. 125.

45

Page 58: BIER JANNAH-FUH.pdf

46

shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat dan itu tidak dinamai dengan shalat

qasar.2

Selain itu, al-Tûsî juga menjelaskan pandangan beberapa ahli tafsir atau

ta’wil tentang menqasar shalat sebagai berikut:

a. Shalat qasar hanya diperbolehkan dalam keadaan bepergian sekalipun tidak

dalam keadaan takut. Pendapat ini disponsori oleh Yu‘la bin Umayyah dan

Umar bin Khattab.

b. Shalat qasar hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang berpergian dan dalam

keadaan takut. Pendapat ini dianut oleh al-Sadi, Abdulllah bin Umar, Jabir bin

Abdullah, dan Ka‘ab.

2. Shalat Jama’

- Surat al-Isrâ’/17: 78:

أقم الصلوة لدلوك الشمس إلى غسق الليل وقران الفجر إن قران الفجر آان مشهودا

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam

dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu

disaksikan (oleh malaikat)”.

Al-Tûsî menjelaskan bahwa makna ayat لدلوك الشمس adalah shalat zuhur

dan shalat asar. Adapun makna غسق الليل adalah shalat maghrib dan isya’,

sedangkan makna ayat وقران الفجر adalah shalat subuh. Melalui ayat ini, al-Tûsî

menjelaskan bahwa shalat zhuhur dan ashar pelaksanaannya dilakukan secara

2 Syaikh al-Tâifah Abû Ja‘far Muhammad bin al-Hasan al-Tûsî, al-Tibyân fi Tafsir al-

Qur’ân, (Teheran: Maktab al-A‘lâm al-Islâmi, 1409 HQ), Jilid III, h. 307-310.

Page 59: BIER JANNAH-FUH.pdf

47

Al-Tûsî juga menjelaskan bahwa pelaksanaan shalat jama’ tersebut

dikerjakan pada saat muqim, dan apabila dalam keadaan musafir, maka seseorang

harus shalat jama’ qasar.

3. Shalat Jum’at

يأيهاالذين ءامنوا إذا نودى للصلوة من يوم الجمعة فاسعوا إلى ذآراهللا“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum`at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah”. Al-Tûsî dan Syi’ah Isnâ ‘Asyariyyah menjelaskan bahwa shalat jum’at

harus dilaksanakan oleh sultan (penguasa) yang adil atau penggantinya. Sultan

yang dimaksud di sini adalah Rasulullah saw atau salah satu dari dua belas imam

yang ma’sûm. Adapun yang dimaksud dengan pengganti sultan, al-Tûsî

mensyaratkan harus orang mukmin yang mengakui imâmah dua belas.

Selanjutnya al-Tûsî menjelaskan bahwa shalat jum’at diwajibkan kepada seluruh

mukallaf, kecuali yang mempunyai uzur, seperti musafir, sakit, buta, tuli, pincang,

dan semacamnya. Ia juga menguraikan bahwa syarat pelaksanaan shalat jum’at

adalah minimal tujuh orang.4

Dari penjelasan al-Tûsî tersebut nampaklah bahwa terdapat perbedaan

antara pelaksanaan shalat jum’at oleh Syi‘i dengan mayoritas Sunni kecuali

mazhab Hanafi. Dalam mazhab Hanafi dijelaskan bahwa shalat jum’at harus

dipimpin oleh seorang sultan, baik adil maupun zalim. Dalam mazhab ini juga

dijelaskan bahwa ada empat hal yang menjadi hak para penguasa, di antaranya

adalah shalat jum’at. Apabila dalam shalat jum’at tidak disyaratkan harus

3Al-Tûsî, al-Tibyân, Jilid VI, h. 508-510. 4Al-Tûsî, al-Tibyân, Juz X, h. 8-9.

Page 60: BIER JANNAH-FUH.pdf

48

dipimpin sultan, maka pelaksanaannya akan mengarah pada kekacauan. Hal ini

disebabkan karena manusia akan saling berlomba datang lebih dahulu ke masjid

lalu melaksanakan shalat jum’at untuk tujuan mereka. Dengan demikian, orang-

orang selain mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk mengkoordinir

kegiatan shalat jum’at. Dalam keadaan seperti ini pasti terjadi kekacauan. Oleh

karena itu, menurut mazhab Hanafi, pelaksanaan shalat jum’at harus diserahkan

kepada sultan yang kepadanya diserahkan berbagai urusan manusia dan berlaku

adil di antara mereka.5

4. Puasa

Surat al-Baqarah/2: 183-184:

أياما ) 183(أيهاالذين ءامنوا آتب عليكم الصيام آما آتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون ي

)184(معدودات فمن آان منكم مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa

sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu

bertakwa (183). (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang

siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia

berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang

ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain (184)”.

Al-Tûsî menafsirkan bahwa kata الصيام yang tercantum dalam ayat tersebut

bermakna puasa Ramadhan. Selanjutnya al-Tûsî menjelaskan bahwa bagi orang

musafir dan bagi orang sakit, maka wajib hukumnya untuk tidak berpuasa dan

menggantinya pada hari-hari lain di luar bulan puasa. Apabila seseorang berpuasa

5‘Ali Ahmad al-Sâlûs, Ma‘a al-Isnâ ‘Asyariyyah fi al-shûl wa al-Furû‘, (Qatar: Dâr al-

Tsaqâfah, 2002), h. 992-1002.

Page 61: BIER JANNAH-FUH.pdf

49

5. Wudhu’

Surat al-Mâidah/5: 6:

لى المرافق وامسحوا يأيهاالذين ءامنوا إذا قمتم إلى الصلوة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إ

برءوسكم وارجلكم إلى الكعبين

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan

shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan

sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”.

Al-Tûsî menafsirkan ayat فاغسلوا وجوهكم dalam ayat tersebut adalah

membasuh muka mulai dari batas rambut kepala sampai dengan dagu. Ia juga

menjelaskan bahwa bahagian dalam dari mulut, hidung, dan mata bukan

merupakan bahagian dari wajah. Oleh karena itu, hal-hal tersebut tidak wajib

dibasuh. Ayat وأيديكم إلى المرافق ia tafsirkan dengan makna membasuh tangan mulai

dari siku sampai dengan ujung jari-jari tangan. Al-Tûsî menjelaskan bahwa dalam

membasuh tangan tidak boleh dimulai dari ujung jari sampai ke siku, karena harf

Pandangan ini berbeda dengan mazhab .مع dalam ayat tersebut bermakna إلى

Sunni.7

6Al-Tûsî, al-Tibyân, Jilid II, h. 115-117. 7Al-Tûsî, al-Tibyân, Jilid III, h. 447-450.

Page 62: BIER JANNAH-FUH.pdf

50

Ayat رءوسكموامسحوا ب ia tafsirkan dengan makna mengusap bahagian depan

kepala dan tidak mengusap secara keseluruhan. Dalam membahas ayat وارجلكم إلى

Oleh karena itu, kata . برءوسكم ataf pada‘ وارجلكم menjelaskan bahwa kata الكعبين

tersebut harus dibaca kasrah ( وارجلكم ). Al- Tûsî menjelaskan bahwa makna ayat

mengusap (bukan membasuh) kaki yang dimulai dari ujung jari وارجلكم إلى الكعبين

kaki sampai dengan mata kaki. Ia juga menjelaskan bahwa aturan mengusap

kepala berlaku juga dalam mengusap kaki. Aturan tersebut adalah bahwa kaki

yang diusap adalah sebahagiannya saja (tidak mesti telapak kaki).8

6. Zakat dan Khumûs

Pada prinsipnya tidak ada perbedaan antara al-Tûsî sebagai mufasir dan

fuqahâ’ Syi‘i dengan mazhab Sunni dalam hal kewajiban dan kadar zakat. Yang

membedakan menurut al- Tûsî dan fuqahâ’ Syi‘i lainnya adalah di samping zakat

dan sedekah, masih ada kewajiban terhadap harta, yaitu khumûs (seperlima).

Menurut al-Tûsî, khumûs merupakan kewajiban bagi yang memperoleh hal-hal

sebagai berikut:

a. Harta rampasan perang terhadap non muslim

b. Barang tambang (emas, perak, besi, minyak, dan semacamnya)

c. Harta tersembunyi yang ditemukan di bawah tanah (apa saja)

d. Yang ditemukan di laut atau sungai selain ikan

e. Keuntungan usaha, apabila melebihi kebutuhan seseorang dan keluarganya

selama satu tahun

f. Harta yang bercampur dan tidak terpisahkan antara yang halal dan yang haram

8Al-Tûsî, al-Tibyân, Jilid III, h. 452-453.

Page 63: BIER JANNAH-FUH.pdf

51

g. Tanah yang dibeli oleh seorang zimmî dari seorang muslim. Hal ini terjadi

apabila setelah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu

h. Khumûs (seperlima) dari pendapatan atau harta-harta tersebut dibagi kepada

enam bahagian, yaitu mereka yang tersebut dalam surat al-Anfâl/8: 8:

هللا خمسه وللرسول ولذى القرب ى واليتمى والمسكين وابن واعلموا أنما غنمتم من شيء فأن

السبيل“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil”.

Al-Tûsî menjelaskan bahwa fayi’ itu diperuntukkan kepada Allah SWT,

Rasul-Nya Muhammad saw, imam ahlul bait dan kerabatnya, anak-anak yatim,

orang-orang miskin dan ibnu sabil yang semuanya berasal dari ahli bait Rasulullah

saw dari Bani Hasyim dan bukan untuk secara umum. Selanjutnya al-Tûsî

menjelaskan bahwa hak Allah SWT dan hak Rasul saw setelah wafatnya Nabi

Muhammad saw diserahkan kepada imam. Apabila imam belum muncul – dalam

hal ini imam ke-12 atau imam Mahdi , maka hak-hak Allah SWT dan Rasulullah

saw itu diserahkan pada para mujtahid9 yang adil untuk digunakan bagi kebutuhan

agama dan bantuan kepada fakir miskin. Separuh dari pajak keagamaan yang

diserahkan kepada otoritas agama yang diakui itu, dewasa ini digunakan pada hal-

hal yang dianggap perlu dan bermanfaat oleh otoritas yang diakui tersebut. Ia

bertindak sebagai wakil imam yang belum lagi hadir dan separuh lainnya

dibayarkan kepada keturunan nabi Muhammad saw, terutama yang membutuhkan.

Hal ini dimaksudkan untuk melindungi kehormatan mereka dari kehinaan akibat

kesulitan keuangan dan sekaligus sebagai ungkapan cinta dan penghargaan kepada

mereka.10

9Para Mujtahid yang dimaksud tersebut adalah para Mujtahid yang berada di Iran, seperti

Khomeini, Syari’at Madari, Ali Khamanei, dan sebagainya. 10Al-Tûsî, al-Tibyân, Juz V, h. 122-125.

Page 64: BIER JANNAH-FUH.pdf

52

B. Hukum Mu‘amalah;

1. Nikah Mut’ah

Surat al-Nisâ’/4: 24:

فمااستمتعتم به منهن فأتوهن أجورهن فريضة

“Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka,

berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu

kewajiban”.

Sebelum penulis menguraikan pandangan al-Tûsî terhadap nikah mut’ah,

terlebih dahulu penulis akan menjelaskan tentang pengetian nikah mut’ah. Dalam

paham Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah mengenal dua macam perkawinan, yaitu: (1)

perkawinan mutlak tanpa batas waktu yang ditetapkan. Model ini sama dengan

paham Ahlu Sunnah. (2) perkawinan mut’ah. Perkawinan mut’ah adalah

perkawinan yang bersifat sementara dan temporer.

Perkawinan mut’ah tidak dibenarkan oleh Ahlu Sunnah sekalipun mereka

mengakui bahwa Rasulullah saw pernah mengizinkannya dan sahabat-sahabatnya

banyak yang melakukannya. Menurut Ahlu Sunnah, izin tersebut telah dibatalkan

sekalipun mereka berbeda pendapat tentang kapan dan siapa yang

membatalkannya.

Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah tidak mengakui adanya pembatalan dari Nabi

Muhammad saw., sehingga mereka masih membolehkannya sampai saat ini.

Dalam hal mut’ah, Syi’ah berpandangan bahwa ijma’ kaum muslimin menyatakan

Page 65: BIER JANNAH-FUH.pdf

53

bahwa kawin mut’ah itu pernah disyari’atkan dan telah dilakukan. Alasan lain

yang dikemukakan oleh ulama dan mufasir-mufasir Syi’ah adalah bahwa

menetapkan bolehnya perkawinan mut’ah akan membantu kaum muslim yang

dalam perjalanan panjang, baik pelajar-pelajar maupun tentara yang masih muda

belia supaya tidak terjerumus pada perzinahan.11

Perkawinan mut’ah mempunyai empat rukun, yaitu:12

Pertama, shighat, yaitu akad nikah dengan menggunakan salah dari tiga

lafaz, seperti zawwajtuka (saya kawainkan kamu), ankahtuka (saya nikahkan

engkau), dan matta‘tuka (saya mut’ahkan engkau).

Kedua, al-zaujah (mempelai perempuan). Perempuan disayaratkan harus

seorang muslimah atau ahli kitab dan tidak sah mut’ah dengan perempuan

musyrik.

Ketiga, mahar. Dalam hal mahar, mempelai laki-laki harus menyebutkan

jumlah mahar yang akan diberikan. Mahar tersebut ditentukan atas dasar kerelaan

kedua belah pihak walaupun hanya segenggam gandum.

Keempat, jangka waktu. Rukun ini merupakan syarat utama dalam akad

yang ditentukan atas dasar suka sama suka, seperti sehari, sebulan, atau setahun.

Jangka waktu ini harus ditetapkan dengan pasti.

11Muhammad Kâzim al-Tabâtabâi, al-Urwah al-Wutsqâ, (Teheran: Dâr al-Kutub al-

Islâmiyyah, 1388 H), h. 632. Lihat juga al-Tûsî, al-Tibyân, Jilid III, h. 166-167. 12Mahmûd Bashûni Faudâi, Nasy’ah Tafsir wa Manâhijuh, (Kairo: Mathba‘ah al-

Amânah, 1997), h. 192-193.

Page 66: BIER JANNAH-FUH.pdf

54

Dalam hukum perkawinan mut’ah akan muncul beberapa masalah, di

antaranya:13

1. Perkawinan akan rusak atau batal apabila memisahkan antara penyebutan

mahar dengan penyebutan jangka waktu yang ditentukan. Selanjutnya,

menyebutkan mas kawin tanpa menentukan jangka waktu akan merubah status

perkawinan menjadi perkawinan permanent (nikah da’im).

2. Secara ijma’, tidak ada talak dalam perkawinan mut’ah.

3. Dalam perkawinan mut’ah tidak waris mewarisi antara suami-isteri.

4. Tidak sah memperbaharui akad sebelum berakhir jangka waktu yang telah

ditentukan.

5. Apabila telah habis jangka waktu yang telah ditentukan, maka ‘iddah

perempuan adalah dua kali haid. Apabila suami meninggal, maka ‘iddahnya

adalah 4 bulan sepuluh hari.

Al-Tûsî berpegang teguh pada pendapatnya bahwa firman Allah swt.

dalam surat al-Nisâ’ ayat 24 tersebut diturunkan sehubungan dengan masalah

perkawinan mut’ah. Ia menjelaskan bahwa makna ayat فمااستمتعتم به منهن adalah

nikah mut’ah.

13Mahmûd Bashuni Faudâ’, Nasy’ah Tafsir, h. 193-194.

Page 67: BIER JANNAH-FUH.pdf

55

2. Riba

Surat Âli ‘Imrân/3: 130:

يأيهاالذين ءامنوا ال تأآلوا الربو أضعافا مضاعفة

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan

berlipat ganda”.

Al-Tûsî menjelaskan bahwa segala macam riba adalah haram, baik riba

nasi’ah, riba fadli, maupun riba yad. Menurutnya segala tambahan dalam hal

pinjam meminjam perhutangan, maka hukumnya adalah haram.

3. Pernikahan dengan perempuan Ahli Kitab

Baik Syi‘i maupun Sunni menyepakati bahwa perkawinan seorang muslim

dengan seorang perempuan musyrik adalah tidak sah. Dalam perkawinan dengan

perempuan bersama Ahlu Kitab, para fuqahâ’ mazhab Sunni14 berpendapat bahwa

hukumnya adalah sah. Adapun pendapat di kalangan Syi‘i Isnâ ‘Asyariyyah, maka

mereka terbagi dua, yaitu: pertama, ada yang membolehkan, dan kedua, tidak

membolehkan.

Pendapat-pendapat yang membolehkan kawin dengan perempuan Ahlu

Kitab menguraikan bahwa ayat yang melarang perkawinan dengan perempuan-

perempuan musyrik itu tidaklah meliputi perempuan-perempuan Ahlu Kitab.

Adapun mengenai firman Allah SWT yang tercantum dalam surat al-Mumtahanah

ayat 10: وافر والتمسكوا بعصم الك ( dan janganlah kalian tetap mempertahankan

ikatan perkawinan dengan wanita-wanita kafir ) telah di-nasakh oleh surat al-

Mâidah ayat 5 yang menyatakan kebolehan mengawini perempuan-perempuan

14Para fuqahâ’ yang dimaksud adalah Syâfi‘i, Mâliki, Hanbal, Hanafi.

Page 68: BIER JANNAH-FUH.pdf

56

Di kalangan Syi‘i, mayoritas fuqahâ’-nya berpandangan bahwa kaum

muslimin dilarang untuk mempertahankan perkawinan yang langgeng dengan

perempuan Ahlu Kitab.

Al-Tûsî telah mengemukakan masalah ini dan menyatakan

ketidakbolehannya. Berkenaan dengan firman Allah SWT dalam surat al-

Mumtahanah ayat 10, beliau menyatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah

“janganlah berpegang erat-erat pada ikatan perkawinan dengan perempuan-

perempuan kafir”, sedangkan arti semula pada ‘ismah adalah mencegah.

Pernikahan dalam ayat tersebut dinamai ‘ismah karena perempuan yang dikawini

tersebut berada dalam ikatan suami dan pemeliharaannya. Menurut al-Tûsî, pada

ayat ini terdapat indikasi akan tidak diperbolehkan akad nikah dengan seorang

perempuan kafir, baik kafir Harbi maupun kafir Dzimmi dan dalam segala situasi.

Al-Tûsî menjelaskan bahwa nas tersebut bersifat umum bagi semua perempuan

kafir, dan seseorang tidak bisa mengkhususkan nas tersebut dengan penyembahan

kepada berhala saja, tetapi juga pada hal-hal lain yang berhubungan dengan

kemusyrikan dan kekafiran. Hal ini disebabkan karena asbâb al-nuzûl dari ayat

tersebut berkenaan dengan kaum perempuan.

4. Talak

Apabila seseorang menyimak fiqh Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah, maka jelaslah

bahwa terdapat pendapat-pendapat fiqh Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah yang berharga dan

dapat diterima kebenarannya menurut Ahlu Sunnah. Di antara pendapat tersebut

Page 69: BIER JANNAH-FUH.pdf

57

adalah pendapat mengenai talak. Jumhur kaum muslimin sangat menghargai

pendapat fiqh Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah dalam masalah ini. Ustaz Musa Jarullah

sebagai seorang tokoh besar yang dikenal sebagai musuh bebuyutan fiqh Syi’ah

Isnâ ‘Asyariyah menyatakan bahwa banyak orang sangat menghargai pendapat

Syi’ah dalam masalah adab talak dan aturannya.15

Undang-undang Mesir telah mengadopsi pendapat-pendapat fiqh Syi’ah

Isnâ ‘Asyariyah dalam masalah talak. Dalam fiqh fiqh Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah

dijelaskan bahwa talak tiga yang diucapkan sekaligus, maka ia berarti hanya jatuh

talak satu. Dalam tafsir al-Tibyân, al-Tûsî menafsirkan surat al-alâq/96 1:

يأيها النبي إذا طلقتم النساء فطلقوهن لعدتهن“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)”.

Al-Tûsî menjelaskan bahwa pada masa iddah mereka hendaklah suami

menceraikan isterinya itu dalam keadaan suci yang tidak digaulinya. Inilah yang

disebut talak pada iddah, karena masa suci, isteri ditalak itu dihitung sebagai

termasuk iddahnya yang terjadi sebagai akibat talak. Oleh karena itu, ayat tersebut

bermakna “hendaknya suami mentalak mereka pada masa sucinya yang dihitung

sebagai termasuk iddahnya, dan suami tidak diperbolehkan untuk menceraikan

mereka pada waktu haid mereka, yang tidak akan dihitung sebagai qurû‘ mereka”.

Atas dasar inilah, saat mulainya iddah itu adalah masa suci mereka. Inilah

menurut pendapat para sahabat kami.

Zâhir ayat tersebut menuntut bahwa apabila suami mentalak isterinya pada

masa haid atau pada masa suci yang digaulinya, maka tidaklah jatuh talak. Hal ini

disebabkan karena perintah dalam ayat tersebut menuntut pelaksanaan. Pendapat

ini dipegang juga oleh Sa‘id bin al-Musayyib dan kaum Syi’ah Isnâ ‘Asyariyyah.

15 Mûsâ Jâr Allâh, al-Wasyi‘ah fi Naqd ‘Aqâid al-Syi‘ah, (Teheran: al-Maktabah al-

Islâmiyyah, 1987), h. 52.

Page 70: BIER JANNAH-FUH.pdf

58

Sebahagian fuqahâ’ berpendapat bahwa telah jatuh talak sekalipun hal itu

merupakan bid’ah menyalahi apa yang diperintahkan. Demikian pula menyatukan

talak tiga itu dalam satu waktu adalah bid’ah, meskipun hal tersebut banyak

dilakukan orang. Talak dalam syari’at adalah ibarat melepaskan perempuan dari

tali ikatan nikah, terkadang perpisahan suami-isteri dapat terjadi tanpa adanya

talak, seperti dalam kasus irtidâd, li‘ân, dan khulû‘. Ketiga hal ini tidak dinamai

talak.

Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut terdapat

petunjuk bahwa hal yang wajib dalam pernyataan talak adalah menjatuhkannya

secara terpisah (satu demi satu) dan tidak diperbolehkan mengumpulkan antara

tiga talak. Hal ini disebabkan karena Allah SWT telah mengukuhkan firman-Nya

dalam ayat surat al-alâq ayat satu tersebut. Ia juga menjelaskan bahwa ayat

tersebut mengukuhkan akan garis-garis ketentuan Allah SWT mengenai talak dan

sebagai pemberitahuan bahwa hak ruju’ tidaklah hilang dengan disekaliguskannya

talak yang tiga. Melalui ayat ini menurutnya seakan-akan Allah berkata: “Jadilah

kalian orang-orang yang mengharapkan manfaat ruju’ itu, karena terkadang

memperbaharui rasa cinta suami setelah ia menjatuhkan talak”. Apabila mereka

berkata bahwa dalam ayat tersebut Allah SWT telah memerintahkan talak iddah,

maka talak sunnah itu adalah talak iddah. Al-Tûsî menjelaskan bahwa para

sahabat Ahlu Bait mengistilahkan talak yang tidak ditambah lagi sesudah ruju’ itu

disebut dengan talak sunnah, sedangkan talak yang ditambah dengan syarat

terjadinya ruju’ (sesudah talak yang pertama) disebut dengan talak iddah.

Dalam menjelaskan ayat tersebut, al-Tûsî juga mengutip riwayat dari Abû

Ja‘far. Abû Ja‘far menjelaskan bahwa yang dinamakan talak adalah menceraikan

isteri pada masa suci yang tidak dilakukan persetubuhan di dalamnya. Talak

disaksikan oleh dua orang laki-laki yang adil. Selanjutnya, suami masih berhak

Page 71: BIER JANNAH-FUH.pdf

59

untuk merujuki isterinya selama belum melampaui tiga qurû’. Inilah talak yang

sesuai dengan perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an dan aturan Rasulullah saw

dalam sunnahnya. Adapun talak tanpa iddah tidaklah dapat dikatakan talak.

Dalam jalur riwayat yang lain, al-Tûsî juga mengutip penjelasan Zarârah.

Zarârah menjelaskan: Suatu saat dia bertanya kepada Abu Ja‘far: terangkanlah

kepadaku tentang talak sunnah dan talak iddah. Ia menjawab: Talak sunnah adalah

apabila seorang laki-laki menghendaki untuk menceraikan isterinya, maka ia

menanti sampai isterinya haid dan suci kembali. Apabila haidnya telah berhenti,

maka ia lalu metalaknya satu kali dan tidak mengadakan persetubuhan serta

disaksikan oleh dua orang laki-laki yang adil dan dibiarkannya isterinya tersebut

sampai habis masa iddahnya, maka berarti ia telah menceraikan isterinya tersebut.

Apabila ada seorang laki-laki yang melamarnya, maka bolehlah perempuan yang

diceraikan itu kawin dengannya apabila ia mau. Selama perempuan tersebut masih

dalam iddahnya, maka suami berkewajiban memberikan nafkah dan tempat

tinggal kepadanya. Selain itu, keduanya juga tetap boleh saling waris-mewarisi

sehingga berakhir masa iddahnya.

Adapun talak iddah adalah apabila seorang laki-laki ingin menceraikan

isterinya, maka ia menunggunya sampai datang haid dan kemudian suci kembali,

lalu ia mentalaknya dengan talak satu dengan tidak mengadakan persetubuhan,

serta dengan mendatangkan dua saksi yang adil. Setelah itu apabila suami ingin

damai, maka ia boleh ruju’ kembali kepadanya pada hari berikutnya atau setelah

beberapa hari. Apabila perempuan itu haid lagi dan kemudian habis haidnya, lalu

suami tersebut mentalaknya lagi dengan talak satu dengan tidak melakukan

persetubuhan serta disaksikan oleh dua orang saksi, lalu ia ruju’ kepadanya

dengan dipersaksikan, maka bolehlah suami menyetubuhinya dan tinggal

bersamanya sampai haid yang ketiga. Apabila perempuan tersebut telah selesai

Page 72: BIER JANNAH-FUH.pdf

60

dari haidnya yang ketiga, lalu suaminya tersebut mentalaknya lagi untuk ketiga

kalinya dengan dipersaksikan dan tidak melakukan persetubuhan, maka berarti

perempuan tersebut telah cerai darinya dan tidak halal lagi baginya untuk

mengawininya kembali sampai perempuan tersebut kawin dengan laki-laki lain.

Selanjutnya al-Tûsî dalam tafsir al-Tibyân menjelaskan bahwa mengenai

firman Allah SWT: وأشهدوا ذوي عدل منكم (dan persaksikanlah ruju’ itu dengan dua

orang saksi yang adil di antara kalian), para mufasir menjelaskan bahwa suami

isteri diperintahkan untuk mempersaksikan talak dan ruju’ dengan dua saksi yang

adil sehingga tidak terjadi penyangkalan dari perempuan yang dirujuki tersebut

setelah selesai masa iddahnya. Selain itu, hal ini juga dimaksudkan agar laki-laki

atau suaminya tidak bisa menyangkal talaknya. Selanjutnya al-Tûsî menjelaskan

bahwa maksud ayat tersebut adalah “dan persaksikanlah pelaksanaan talak itu

oleh kalian sebagai penjagaan bagi agama yang dianutnya. Penjelasan maksud ini

adalah yang diriwayatkan para imam ahlul bait. Penjelasan ini menurutnya lebih

cocok dengan Zâhir ayat tersebut. Hal ini disebabkan karena apabila dikaitkan

dengan talak, maka ayat tersebut merupakan sebuah perintah yang menuntut

pelaksanaan dan merupakan salah satu syarat bagi sahnya talak.16

Inilah pendapat kaum Syi’ah Isnâ ‘Asyariyyah dalam masalah talak, dan

ini pulalah pendirian al-Tûsî dan penyelesaian terhadap masalah-masalah yang

berkaitan dengan talak berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan sunnah.

16Al-Tûsî, al-Tibyân, Juz X, h. 28-34.

Page 73: BIER JANNAH-FUH.pdf

64

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim

‘Abd al-‘Aziz, Amir , Dirâsât fi ‘Ulûm al-Qur’an, Beirût: Dâr al-Furqân, 1983.

Al-‘Ak, Khâlid ‘Abd al-Rahmân, UUsûl Tafsir wa Qawâ‘iduh, Beirût: Dâr al-

Nafâis, 2003.

Ali Ja‘far, Musâ’id ‘Abd Allâh, Asar al-Tatawwur al-Fikri fi al-Tafsir fi al-‘Asr

al-‘Abbâsi, Beirût: Muassah al-Risâlah, 1984.

Al-‘Arabiyyah, Majma‘ al-Lughah, Mu‘jam al-Fâzh al-Qur’ân al-Karim, Kairo:

al-Hayi’ah al-Misriyyah, t.th., jilid I.

Al-‘Assâl, Muhammad Muhammad Ibrâhim, al-Syi‘ah al-Itsnâ al-‘Asyariyyah wa

Manhajuhum fi Tafsir al-Qur'ân al-Karim, Kairo: Dâr al-Salâm, 1427 H.

Al-Asfahâni, al-Râghib, Mu‘jam Mufradât al-Fâzh al-Qur’an, Beirût:

Dâr al-Fikr, t.th.

‘Awwâd, Muhammad Hasan, Dirâsât fi Lughah al-Qur’ân, Tanâwub Hurûf al-

Jar fi Lughah al-Qur’ân, Yordania: Dâr al-Furqân, 1982.

Al-Baghdâdi, Sâlim al-Tsafâr, Naqd Manhaj al-Tafsir wa al-Mufassirin al-

Muqâran, Beirût: Dâr al-Hâdi, 2000.

Al-Bannâ, Kamal, Tafsir al-Qur’ân al-Karim baina al-Qudamâ’ wa al-

Muhaddisîn: Kairo, Dâr al-Fikr, 2003.

Al-Bâqî, Muhammad Fuâd ‘Abd, al-Mu‘jam al-Mufahras li al-Fâz al-Qur’ân al-

64

Page 74: BIER JANNAH-FUH.pdf

65

Karim, Kairo: Dâr al-Hadis, 2001.

Al-Bûti, Muhammad Sa‘id Ramadân, Mabâhis al-Kitâb wa al-Sunnah min ‘Ilm

al-Usûl, Damaskus: tp, 1975.

Faudâ', Mahmûd Basuni, al-Tafsir wa Manâhijuh, Kairo: Mathba‘ah al-Amânah,

1977.

Golziher, Ignaz, Mazhâhib al-Tafsir al-Islâmi, Bierût: Dâr al-Iqrâ', 1983.

Al-Haidari, Kamâl, Ta'wil al-Qur'ân; al-Nazariyyah wa al-Mu‘tiyât, Iran: Dâr

Farâqid, 2005.

_________, al-‘Ismah; Bahs Tahlili fi al-Dau' al-Manhaj al-Qur'ân, Iran: t.p,

1997.

Hakim, Muhammad Bâqir, ‘Ulûm al-Qur'ân, Qom: Majma‘ al-Fikr al-Islâmi,

1427 H.

Hasan, ‘Usmân ‘Ali, Manhaj al-Istidlâl ‘alâ Masâ’il al-I‘tiqâd ‘inda Ahl al-

Sunnah wa al-Jamâ‘ah, Riyâd: Maktabah al-Rusyd, 1418 H.

Al-Hasyimi, Ahmad, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma‘âni wa al-Bayân wa al-Badi‘,

Mesir: al-Maktabah al-Tijâriyyah al-Kubrâ, 1960.

Al-Hasyimi, Muhammad Kâmil, ‘Aqâ‘id al-Syi‘ah fi al-Mizân, Beirût: Dâr al-

Fikr, 1979.

Hawting, G. R. dan A. Shareef, ‘Abdul Kader, Approaches to the Qur’ân: London

dan New York: Routledge, 1993.

Kassâr, Jawwâd ‘Ali, Buhûst Haul al-Imâmah, Iran: Dâr Farâqid, t.th.

Page 75: BIER JANNAH-FUH.pdf

66

Mahdi, ‘Abd al-Nabi, al-Manhaj al-Sahih fi Tafsir al-Qur'ân, Teheran: Markaz

Munir, 1385 .

Ma‘rifah, Muhammad Hâdi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Qom: al-Jâmi‘ah al-

Ridawiyahli al-‘Ulûm al-Islâmiyyah, 1383 HS.

_________, Târîkh al-Qur'ân, Qom: tp, t.th.

Al-Mushuli, ‘Abdullah bin ‘Abdullah, Haqîqah al-Syî‘ah, Beirût: Dâr al-Kutub

al-‘Ilmiyyah, 1990.

Al-Najafî, ‘Alî al-Fâdhil al-Qâiyanî, ‘Ilm al-ûsul; Târîkhan wa Tatawwuran, Iran:

Maktab al-I‘lâm al-Islâmî, 1376 HS.

Al-Najâr, ‘Amir, fi Mazâhib al-Islâmiyyîn, Kairo: al-Haiah al-Misriyyah al-

‘Âmmah li al-Kuttâb, 2005.

Al-Nahwi, Abî al-Hasan ‘Alî bin ‘Îsâ al-Rumânî, Kitâb Ma‘ânî al-Hurûf, Mesir:

Dâr al-Syurûq, t.th.

Al-Namlah, ‘Abd al-Karîm ibn ‘Ali ibn Muhammad, al-Muhazzab fî ‘Ilm Usûl al-

Fiqh al-Muqâran, Riyâd: Maktabah al-Rusyd, 2004, Jilid III.

Nasab, Ridâ Husainî, al-Syî‘ah Tujîb, Iran: Muassasah Imâm ‘Alî, 1426 H.

Al-Qattân, Mannâ’ Khalîl, Mabâhis fî ‘Ulûm al-Qur’ân, tt: Mansyûrât al-‘Asr al-

Hadîs, 1973.

Al-Qurtubî, Abû ‘Abd Allâh, ibn Ahmad al-Ansârî, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân,

Beirût: Dâr al-Sya‘b, t.th., jilid VII.

Ibn Qutaibah, Ta'wîl Musykil al-Qur'ân, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1981.

Page 76: BIER JANNAH-FUH.pdf

67

Qutub, Sayyid, fî Zilâl al-Qur'ân, Kairo: Dâr al-Syurûq, 2005.

Rippin, Andrew, Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’ân,

New York: Clarendon Press, 1988.

Al-Sabt, Khâlid bin ‘Usmân, Qawâ‘id al-Tafsîr, Jam‘an wa Dirâsah, Kairo: Dâr

Ibn Ghiffân, 1421 H.

Al-Sâbûnî, Muhammad ‘Alî, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Damaskus: Maktabah

al-Ghazalî, 1991.

Al-Sâif, Muhammad ‘Abd al-Rahmân, al-Syî‘ah wa Tahrîf al-Qur'ân,

Iskandariyyah: Dâr al-´mân, t.th.

Sâlih, ‘Abd al-Qâdir Muhammad, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘Asr al-Hadîs,

Beirût: Dâr al-Ma‘rifah, 2003.

Al-Sâlus, ‘Ali Ahmad, Ma‘a al-Isnâ al-‘Asyariyyah fî al-Usûl wa al-Furû‘;

Dirâsah Muqâranah fi al-‘Aqâid wa al-Tafsîr wa al-Hadîs wa al-

Fiqh Usûlih, Kairo: Maktabah Dâr al-Qur'ân, 2006.

Saqar, al-Sayyid Ahmad, Syarah Ta’wîl Musykil al-Qur’ân li ibn Qutaibah,

Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1981.

Shihab, Muhammad Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996.

Al-Subhânî, Ja‘far, UUsûl, al-Fiqh al-Muqâran; fîmâ lâ Nâss fîh, Qom: Muassasah

al-Imâm al-sâdiq, 1425 H.

_________, al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah‘alâ Dau' Madrasah Ahl al-Bait, Qom:

Muassasah al-Imâm al-sâdiq, 1425 H.

Page 77: BIER JANNAH-FUH.pdf

68

_________, al-Insâf fî Masâil Dâm fîhâ al-Khilâf, Qom: Muassasah al-Imâm al-

sâdiq, 1423 H.

_________, Târîkh al-Fiqh al-Islâmî wa Dawâruh, Qom: Muassasah al-Imâm al-

sâdiq, 1427 H.

Surachmad, Winarno, Dasar, Metode dan Teknik Pengantar Penelitian Ilmiah,

Bandung: Tarsito. 1995.

Al-Suyûtî, Jalâl al-Dîn Muhammad dan Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân ibn Abî

Bakr, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Kairo: Dâr al-Hadîs, 2004.

Syâhîn, ‘Abd al-Sabûr, al-Minhaj al-Sautî li al-Bunyah al-‘Arabiyyah, Ru’ya

Jadîdah fi al-Sarf al-‘Arabî, Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1980.

Al-Syintanawî, Ahmad, Dâirah al-Ma‘ârif al-Islâmiyyah, Beirût: Dâr al-

Fikr,1977, Jilid VII.

Al-Tabâtabâî, Sayyid Muhammad Husain, Shi’te Islam, Houston: Free Islamic

Literature, 1979.

___________, al-Qur’ân fî al-Islâm, Beirût: Jâmi‘iyyah al-Saqafah al-

Ijtimâ‘iyyah, 1973.

___________, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur'ân, Qom: Mansyûrât Jâmi‘ah al-

Mudarrisîn fî al-Hauzah al-‘Ilmiyyah, t.th.

___________, fî Rihâb al-‘Aqîdah, Iran: Dâr al-Hilâl, 2004.

Al-Tawâb, Ramadân ‘Abd, Fusûl fî Fiqh al-‘Arabiyyah, Kairo: al-Nâsyir

Maktabah al-Khânajî, 1987.

Page 78: BIER JANNAH-FUH.pdf

69

Al-Ta’lîf Muassasah al-Balâgh, Lajnah, Ahl al-Bait: Maqâmuhum wa

Manhajuhum wa Masâruhum, Iran: Râbi¯ah al-Sâqâfah wa al-

‘Alaqah al-Islâmiyyah Mudîriyyah al-Tarjumah wa al-Nasyr, 1996.

Al-Tûsî, Abû Ja‘far Muhammad ibn al-Hasan, al-Tibyân fî Tafsîr al-Qur'ân, Qom:

Maktabah al-A‘lâm al-Islâmî, 1409 HQ.

‘Umar, Muhammad al-Râzî Fakhr al-Dîn ibn Diyâ’ al-Dîn, al-Tafsîr al-Kabîr wa

Mafâtîh al-Ghaib, Beirût: Dâr al-Fikr, 1985, Jlid XV.

________, al-Mahsl: Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1997, Juz I.

Yusuf Ali, Abdullah, The Holy Qur’an, Translation and Commentary,

Brentwood, Maryland: Amana Corporation, 1989.

Al-Zahabî, Muhammad Husain, al-Ittijâhât al-Munharifah fî Tafsîr al-Qur’ân al-

Karîm, Dawâfi’uhâ wa Daf’uhâ, Mesir: Mustafâ al-Bâb al-Halabî,

t.th.

________, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Kairo: Maktabah Wahbah, 2000.

Zahiri, Ihsân Ilahi, al-Syî‘ah wa al-Sunnah, Lahore: tp, 1974.

Ibn Zakariyâ’, Abû Husain Ahmad ibn Fâris, Mu‘jam Maqâyis al-Lughah, Mesir:

Mustafâ al-Bâb al-Halabî, 1972, jilid II.