bencana alam surga mikroba

14
Bencana Alam – Surga bagi Mikroba Andrea J. Linscott, Ph.D., D(ABMM), Louisiana State University Health Science Center — Shreveport, Department of Pathology, Shreveport, Louisiana Clinical Microbiology Newsletter Vol. 29 No. 8 Abstrak Bencana alam dapat berfungsi sebagai surga bagi mikroba. Berbagai penyakit menular telah dilaporkan sebagai akibat dari banjir, angin topan, gempa bumi, tsunami, tornado, dan kekeringan. Kondisi hidup yang penuh sesak, gangguan dalam pasokan air, dan tidak adanya layanan listrik akibat bencana dapat berkontribusi pada penyebaran agen infeksius. Artikel ini akan berfokus pada terjadinya penyakit infeksi yang terkait dengan bencana alam. Badai, banjir, gempa bumi, tornado, tsunami, dan kekeringan adalah jenis bencana alam yang dapat berkontribusi untuk transmisi beberapa agen infeksius. World Health Organisation (WHO) menyatakan bahwa diare, infeksi pernapasan, campak, malnutrisi, dan malaria di daerah endemisitas sebagai penyebab paling umum kematian paska bencana (1). Karena penyakit menular adalah empat dari lima penyebab penyakit paska bencana alam, kemungkinan sebuah wabah atau infeksi terkait bencana tertinggi pada hari-hari dan minggu-minggu paska bencana alam (2). Dampak penyakit menular tergantung pada jenis bencana, infrastruktur kesehatan, dan surveilans penyakit (3). Agen infeksi dapat menular hanya jika agen tersebut ada di lingkungan tempat terjadinya bencana. Beberapa faktor dapat memfasilitasi penyebaran mikroorganisme selama bencana alam. Salah satu faktor tersebut adalah gangguan suplai air publik dan sistem pembuangan limbah. Dalam beberapa kasus, suplai air publik dapat menjadi terkontaminasi dengan limbah, sehingga air dan makanan mengandung patogen penyakit. Kondisi tempat tinggal yang ramai dan berdesak-desakan sebagai hasil dari banyaknya jumlah pengungsi yang ditempatkan di tempat penampungan sementara juga berkontribusi terhadap penyebaran penyakit menular. Meskipun langkah-langkah pencegahan, seperti penempatan ranjang, dapat digunakan untuk

Upload: darkknighthere

Post on 11-Dec-2015

216 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

journal reading bencana alam surga mikrobaadaptasi dari judul 'a microbe's paradise'ringkasan jurnal 2014ditulis sebagai prasyarat bagian ilmu penyakit dalam; subbagian infeksi tropikterjemahan dari jurnal bahasa inggris

TRANSCRIPT

Page 1: Bencana Alam Surga Mikroba

Bencana Alam – Surga bagi Mikroba

Andrea J. Linscott, Ph.D., D(ABMM), Louisiana State University Health Science Center — Shreveport, Department of Pathology, Shreveport, LouisianaClinical Microbiology Newsletter Vol. 29 No. 8

AbstrakBencana alam dapat berfungsi sebagai surga bagi mikroba. Berbagai penyakit menular telah dilaporkan sebagai akibat dari banjir, angin topan, gempa bumi, tsunami, tornado, dan kekeringan. Kondisi hidup yang penuh sesak, gangguan dalam pasokan air, dan tidak adanya layanan listrik akibat bencana dapat berkontribusi pada penyebaran agen infeksius. Artikel ini akan berfokus pada terjadinya penyakit infeksi yang terkait dengan bencana alam.

Badai, banjir, gempa bumi, tornado, tsunami, dan kekeringan adalah jenis bencana alam yang dapat berkontribusiuntuk transmisi beberapa agen infeksius. World Health Organisation (WHO) menyatakan bahwa diare, infeksi pernapasan, campak, malnutrisi, dan malaria di daerah endemisitas sebagai penyebab paling umum kematian paska bencana (1). Karena penyakit menular adalah empat dari lima penyebab penyakit paska bencana alam, kemungkinan sebuah wabah atau infeksi terkait bencana tertinggi pada hari-hari dan minggu-minggu paska bencana alam (2). Dampak penyakit menular tergantung pada jenis bencana, infrastruktur kesehatan, dan surveilans penyakit (3). Agen infeksi dapat menular hanya jika agen tersebut ada di lingkungan tempat terjadinya bencana. Beberapa faktor dapat memfasilitasi penyebaran mikroorganisme selama bencana alam. Salah satu faktor tersebut adalah gangguan suplai air publik dan sistem pembuangan limbah. Dalam beberapa kasus, suplai air publik dapat menjadi terkontaminasi dengan limbah, sehingga air dan makanan mengandung patogen penyakit. Kondisi tempat tinggal yang ramai dan berdesak-desakan sebagai hasil dari banyaknya jumlah pengungsi yang ditempatkan di tempat penampungan sementara juga berkontribusi terhadap penyebaran penyakit menular. Meskipun langkah-langkah pencegahan, seperti

penempatan ranjang, dapat digunakan untuk mengurangi risiko transmisi udara dari penyakit tertentu, seringkali sulit untuk menjaga pengungsi dari berkumpul, yang memungkinkan transmisi udara terjadi. Kehadiran populasi naif atau kurangnya imunisasi yang memadai mungkin berkontribusi pada penyebaran penyakit. Kebersihan pribadi bisa menjadi terabaikan sebagai akibat dari kondisi hidup yang penuh sesak dan / atau adanya kontaminasi persediaan air. Ada juga kemungkin terjadinya infeksi luka yang berhubungan sebagai akibat dari paparan puing-puing badai. Program kesehatan masyarakat, seperti kontrol tuberkulosis, program imunisasi, dan perawatan prenatal, dapat terganggu paska bencana. Faktor-faktor ini memungkinkan bencana menjadi surga bagi para mikroba, dimana bisa terdapat peningkatan terjadinya penyakit menular.

Artikel ini akan fokus pada pelaporan penyakit infeksi yang berhubungan dengan bencana alam dan langkah-langkah pencegahan dan laboratorium diagnostik untuk mendeteksi agen infeksius. Strategi untuk evakuasi rumah sakit dan mengoperasikan laboratorium dan / atau rumah sakit selamabencana alam merupakan topic yang terlalu luas untuk dibahas dalam artikel ini.

KekeringanAda beberapa contoh amplifikasi dari Saint

Page 2: Bencana Alam Surga Mikroba

Louis ensefalitis virus dan West Nile virus, yang terjadi di Florida akibat kekeringan (4,5). Selama kondisi kekeringan, nyamukvektor dan populasi burung terpaksa berdiam di daerah tempat air masih dapat ditemukan. Karena daerah dengan air ini sangat terbatas, maka amplifikasi virus terjadi sebagai akibat dari adanya vector yang berdiam di suatu daerah tebatas. Setelah kondisi kekeringan berakhir, baik nyamuk yang terinfeksi dan burung bermigrasi ke daerah lain, dimana virus-virus ini dapat menyebar ke pejamu burung yang lain ataupun pejamu dari spesies lain seperti kuda dan manusia.

Kondisi kekeringan yang berkaitan dengan fenomena El Niño mengakibatkan lebih dari 550 kematian akibat malaria di Irian Jaya, Indonesia (6). Kondisi kekeringan disebabkan banyak kolam sementara air di sungai tidak mengalir. Hali ini menyebabkan terjadinya genangan air dan memfasilitasi peningkatan pada populasi yang terinfeksi nyamuk, memberikan kesempatan meningkat untuk transmisi Plasmodium spp. pada manusia.Gempa BumiInfeksi yang berhubungan dengan gempa bumi dapat terjadi dari berbagai cara, sepertijatuhnya puing-puing, trauma inokulasi olehpuing-puing, atau dari gangguan tanah sebagai akibat gempa. Pada tahun 1994, wabah coccidioidomycosis di Northridge, California, dengan besaran gempa 6.7 (7). Arthroconidia dari Coccidioides immitis yang menular tersebar melalui awan debu besar dihasilkan oleh tanah longsor yang dipicu oleh gempa. Kasus infeksi C. immitisdi Simi Valley memuncak 2 minggu setelah gempa. Schneider et. al (7) melaporkan bahwa kontak dengan awan debu dan durasi paparan untuk awan debu meningkat secara signifikan memungkinkan trerjadinya coccidioidomycosis akut (7).

Di wilayah Marmara dari Turki,Gempa berkekuatan 7,4 terjadi pada tahun

1997. Sebuah pengalaman medis dari rumah sakit universitas dilaporkan bahwa tingkat infeksi 25,8% (76 pasien dari 295 orang) terlihat di rawat inap terkait gempa (8). Jenis yang paling umum dari infeksi adalah infeksi luka operasi mendalam dan bakteremia, 33% dan 20% pada masing-masing penyebab (8). Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter baumanii, methicillinresistant Staphylococcus aureus, dan Candida spp. adalah organisme paling sering ditemukan (8). para penulis mencatat bahwa frekuensi menular komplikasi mengikuti tertinggi minggu pertama setelah gempa bumi (8).

Kazancioglu et al. (9) menyelidiki gempa Marmara. Sebanyak 112 sampel bakteriologis dikumpulkan, dengan 45,5% (51/112) dari isolat pulih dari luka (9). Organisme luka paling umum adalah Acinetobacter spp. dan P. aeruginosa, pada 45% dan 22%, masing-masing (9).

Dalam artikel lain yang terkait dengan gempa Marmara dan gempa 3 bulan kemudian, juga di wilayah barat laut Turki, penulis memandang tingkat infeksi parasitterkait dengan kondisi hidup pasca-gempa. Öztürk et al. (10), melaporkan bahwa tingkat Giardia lamblia dan infeksi Enterobius vermicularis yang secara signifikan lebih tinggi pada anak-anak yang tinggal dan bersekolah di perumahan sementara pascagempa. Faktor risiko yang terkait dengan transmisi ini termasuk jumlah komunal toilet per anak di sekolah, kondisi sosial ekonomi, ukuran kelas, dan frekuensi cuci tangan (10).

Sebuah surveilans penyakit infeksi yang dilakukan setelah gempa 1999 di Kocaeli, Turki, yang menewaskan lebih dari 16.000 orang dan meninggalkan 500.000 tunawisma, melihat peningkatan penyakit diare. Hanya 8% dari tinja sampel kultur positif untuk bakteri patogen, dengan Shigella spp. Organisme yang paling sering diisolasi (4,9%) (11). Tidak ada kultur atau tes untuk deteksi virus dilakukan.

Page 3: Bencana Alam Surga Mikroba

BanjirBanjir adalah penyebab paling umum bencana alam dan diperkirakan 40% dari bencana alam adalah banjir (12). Penyakit yang terbawa air (tifus demam, kolera, leptospirosis, dan hepatitis A) dan vektor penyakit (malaria, demam kuning, demam West Nile, dengue dan demam berdarah dengue) adalah penyakit menular yang semua ditransmisikan selama banjir (13). Ada peningkatan risiko infeksi ketika seorang individu memiliki kontak langsungdengan air yang terkontaminasi. Individu tersebut seringkali terkena diare, dermatitis, konjungtivitis, atau infeksi luka, telinga, atau tenggorokan, tergantung pada jenis, infeksi. Leptospirosis, penyakit zoonosis, telah sering dilaporkan selama banjir. Beberapa wabah dilaporkan leptospirosis yang berkaitan dengan banjir yang terletak di Hawaii, Puerto Rico, Nikaragua, dan India (14-17). Leptospira ada dalam urin hewan, dan leptospirosis adalah dianggap zoonosis yang paling umum (14). Binatang paling sering terinfeksi organisme termasuk tikus, anjing, babi, dan sapi. Akibat banjir, ada peningkatan populasi hewan pengerat, yang mengeluarkan jumlah besar leptospiradalam urin mereka. Organismekemudian dapat menular ke manusia saatkulit atau selaput lendir kontak dengan air yang terkontaminasi dengan urin hewan. Orang-orang ini mungkin mengalami gejala demam, menggigil, mialgia, mual, diare, batuk, dan / atau konjungtivitis. Jaundice, gagal ginjal, perdarahan, dan pneumonia bias dilihat pada kasus yang berat. Temuan yang tidak biasa dalam wabah Nikaragua adalah presentasi klinis hemoragik pneumonia, menyebabkan 15 kematian (16). Selama periode banjir, leptospirosis harus menjadi bagian dari diferensial yang diagnosis pasien dengan penyakit demam ketika organisme adalah endemik ke daerah banjir.

Standar emas laboratorium untuk diagnosis adalah tes mikroaglutinasi untuk konversi antibodi, yang hanya tersedia melalui laboratorium rujukan atau laboratorium kesehatan masyarakat. Pemeriksaan urin Dark-field untuk leptospira dan IgM immunoassay yang digunakan 14 sampai 21 hari setelah gejala ini. Tes ini paling berguna selama diduga situasi wabah di negara-negara dimana leptospirosis adalah endemik (17).

Sebuah pipa saluran pembuangan rusak selama banjir dan terkontaminasi pasokan air public di Utah, yang mengakibatkan munculnya kasus infeksi giardia (18). Demikian pula, wabah giardiasis dikaitkan dengan limpasan air berat karena cuaca dan hujan abu vulkanik di Montana (19). Dalam kedua laporan, Giardia lamblia adalah patogen diidentifikasi dari individu yang mengalami diare, kram, nyeri perut, mual, demam, dan muntah.

Infeksi Vibrio cholerae adalah yang paling sering pada diare yang terkait dengan banjir seperti terlihat di Bangladesh (20,21). The O1 serogrup dan El Tor biotipe dari V. cholera adalah isolat yang paling sering ditemukan pada banjir dan kejadian diare di Dhaka, Bangladesh, tahun 1988, 1998, dan 2004 (20). Qadri et al. (21) melaporkan terjadinya kedua enterotoksigenik Escherichia coli (ETEC) dan V. cholerae diare di Bangladesh pada banjir 2004. ETEC tercatat menjadi yang paling umum diisolasi dari pasien anak <2 tahun, dan ETEC dapat menyebabkan diare begitu parah sehingga rehidrasi intravena diperlukan (21). Agar MacConkey dan diperkaya air pepton alkali digunakan untuk memulihkan patogen enterik bakteriologi. ETEC terdeteksi oleh gen amplifikasi E. coli koloni (20) atau dengan enzyme-linked immunosorbent assay untuk panas-labil atau panas-stabil enterotoksin dari E. coli koloni (21).

Page 4: Bencana Alam Surga Mikroba

Peningkatan arbovirus, khususnya western equine encephalitis (WEE) virus, eastern equine encephalitis virus, and St. Louis encephalitis (SLE) virus, dan St. Louis ensefalitis virus (SLE) paska banjir telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Amerika Serikat. Sepuluh peristiwa banjir di benua AS sejak tahun 1975 dievaluasi untuk menentukan jika ada kenaikan ensefalitis arboviral yang terjadi. Hanya satu dari 10 insiden banjir, yang terjadi di NorthDakota dan Minnesota pada tahun 1975, adalah dikaitkan dengan peningkatan laju ensefalitis (22). Nasci dan Moore (22) melaporkan 55 kasus manusia WEE dan 12 kasus manusia dari SLE (22). Tambahan lagi, diperkirakan ada 281 hewan kasus WEE. Wabah ensefalitis arboviral di AS karena bencana alam telah langka, terutamakarena pengurangan nyamuk. Metode diagnostik pilihan biasanya identifikasi antibodi terhadap tertentu arbovirus. Serum atau cerebrospinal Cairan dapat diajukan untuk arboviral uji panel antibodi melalui laboratorium kesehatan.

Wabah lain yang terkait dengan banjir termasuk malaria di Mozambik, kriptosporidiosis di Indonesia, poliomyelitis di Afrika Selatan, hepatitis A di Sudan, tifoid dan paratifoid demam di Indonesia, dan rotovirus di Bangledesh (23-28).BadaiCedera terkait dengan badai biasanya luka potong, laserasi , dan tusukan yang disebabkan oleh pecahan kaca dan sampah lainnya ( 29 ). Banjir sebagai akibat dari badai juga dapat membantu dalam transmisiagen infeksius. Air yang tergenang dan keadaan lembab dapat mempromosikanpertumbuhan jamur di rumah dan tempat usaha ( 30,31 ) .Lebih dari 75.000 kasus Plasmodiummalaria falciparum dikaitkan dengan Badai Flora , yang melanda Haiti pada tahun 1966 ( 32,33 ). Peningkatan jumlah orang dengan malaria, demam berdarah, leptospirosis, dan penyakit

gastrointestinal terlihat di Nikaragua dan Honduras paska Badai Mitch pada tahun 1998 ( 34 ).Beberapa jenis infeksi didapatkan saat Badai Katrina pada tahun 2005. Infeksi yang berhubungan dengan Badai Katrina dapat dikaitkan dengan kontaminasi dari banjir atau kondisi tempat tinggaal yang penuh sesak untuk pengungsi. Di Louisiana dan Mississippi, 82% dari penyakit terkait luka dan tiga kematian disebabkan oleh Vibrio vulnificus. Vibrio haemolyticus menyumbang 18% dari infeksi dan dua kematian (35). Di sebagian besar infeksi akibat Vibrio, terdapat faktor risiko, seperti penyakit jantung, diabetes, penyakit ginjal, dan alkoholisme (35). Sekelompok 30 kasus infeksi kulit karena methicillin-resistant S. aureus. Infeksi terlihat pada pengungsi anak yang diungsikan ke ke Dallas, TX (36). Sebuah wabah Norovirus juga dilaporkan antara pengungsi bertempat di Reliant Park di Houston, TX (37). Sekitar 6.500 dari 24.000 pengungsi mengunjungi klinik di Reliant Park. Sejumlah 18% memiliki gejala gastroenteritis akut. Sampel tinja dikumpulkan dari pasien dengan penyakit gastrointestinal dievaluasi untuk bakteri, parasit, dan virus patogen. Lima puluh persen dari tinja sampel yang diuji positif untuk norovirus oleh reverse transcriptase polymerase chain reaction. Meskipun telah diambil langkah-langkah pengendalian dan edukasi masyarakat, wabah tetap terus berlangsung selama lebih dari 1 minggu.

Potensi terjadinya bahaya kesehatan dari Badai Katrina dan banjir lainnya menjadi perhatian dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit/Center for Disease Control ( CDC ) ( 30,31 ) . Sebuah studi dari rumah yang rusak karena air di New Orleans dan lingkungan sekitarnya setelah Badai Katrina diperkirakan 46 % dari rumah terkontaminasi sedang dan 17 % rumah terkontaminasi berat ( 31 ) . Paparan dapat terjadi melalui kontak kulit , inhalasi ,

Page 5: Bencana Alam Surga Mikroba

atau tertelan ( 30 ) . Saat orang-orang tersebut kembali ke rumah yang terkontaminasi, mereka bisa berpotensi beresiko untuk alergi reaksi yang berhubungan dengan paparan atau infeksi pernapasan, dengan potensi penyebaran kepada orang sekitarnya.TornadoKorban luka dari tornado yang biasanya mendapatkan cedera atau “tertimpa”. Beberapa objek paling sering mendarat di daerah dada, perut, atau panggul korban. Terbangnya puing-puing dapat menyebabkan luka dan cedera jaringan sehingga menjadi rentan terhadap kontaminasi dengan organisme tanah. Puingjuga dapat menyebabkan tusukan - jenis lukayang sering didapatkan saat membersihkan. Millie et al .( 38 ) melaporkan bahwa korban tornado di rumah sakit memiliki beberapa bentuk cedera jaringan lunak, dan manajemen bedah diperlukan. Tiga pasien menjadi sindrom sepsis selama empat hari pertama pasca - trauma. Organisme diisolasi dari sampel darah, luka , dan pernapasan adalah Serratia marcescens, P. aeruginosa,Alcaligenes spp ., dan/atau Enterococcus spp .TsunamiTsunami bukanlah salah satu bencana yang sering terlintas di pikiran, sampai gempa berkekuatan 9,0 terjadi di dekat Pulau Sumatera Indonesia pada tahun 2004. Dengan gangguan dari dasar laut , tsunami besar, atau gelombang pasang, menyapu daerah pesisir Indonesia, Thailand, Sri Lanka, India, Bangladesh, Myanmar, dan Malaysia, menewaskan lebih dari 100.000 orang dan melukai orang banyak hingga tak terhitung. Infeksi yang terkait dengan gelombang pasang termasuk luka traumatisinfeksi dan pneumonia aspirasi akibat menghirup tanah terkontaminasi air garam.

Sebuah laporan infeksi pada kulit dan jaringan lunak di antara korban tsunami di Thailand Selatan menyatakan bahwa 70%

dari infeksi luka bersifat polymicrobial (39). Dalam 41% kasus, dua organisme itu ditemukan per spesimen, dan 24% dari spesimen memiliki tiga organisme (39). Hanya 28% dari infeksi luka tumbuh organisme tunggal (39). Dari 641 organisme diidentifikasi, yang paling menonjol adalah Aeromonas spp. (23%), Escherichia coli (18%), Klebsiella pneumoniae (15%) dan P. aeruginosa (12%) (39). Kallman et al. (40) melaporkan bahwa dari laboratorium mikrobiologi klinik diamati bahwa lebih banyak didapatka isolate gram negatif pada korban tsunami yang kembali ke Stockholm dari apa yang biasanya terlihat dalam populasi umum mereka. Para penulis juga mencatat bahwa beberapa organisme resisten terhadap semua antibiotik berlisensi. Gram negatif sering lebih dari satu jenis, yang didapatkan dari 98 dari 209 pasien, dengan P. aeruginosa, Proteus spp., E. coli,Klebsiella spp., Dan Aeromonas spp. yang paling umum terisolasi (40).Burkholderia pseudomallei, sebuah organisme endemik di Asia Tenggara, Amerika Tengah dan Selatan, dan Australia utara, juga dilaporkan dalam hubungan dengan tsunami. Presentasi klinis dengan B. pseudomallei mungkin berkisar dari infeksi kulit melioidomelioidosis, di mana sepsis, pneumonia, dan abses sekunder mungkin ada. B. pseudomallei itu didapatkan dari tiga Wisatawan Finlandia mengunjungi pantai di Thailand, dua di antaranya pulih dari luka dikumpulkan setelah mereka kembali ke Finlandia (41).Seorang pria 47 tahun yangdirawat karena luka menjadi demam dan dirawat karena dicurigai pneumonia aspirasi. B. pseudomallei diisolasi dari darah dan luka budaya. Enam kasus lain dari melioidosis dilaporkan pada korban tsunami Thailand Selatan, daerah dimana B. pseudomallei tidak endemic (42). Semua enam pasien pneumonia, dan tiga dari enam memiliki infeksi luka (42). Sebuah studi serologi dilakukan dimana terjadi

Page 6: Bencana Alam Surga Mikroba

peningkatan insiden B. pseudomallei antibody di korban tsunami dan warga (43). Para penulis menyimpulkan bahwa kewaspadaan klinis untuk kasus baru akan diperlukan untuk mendeteksi kasus melioidosis yang terjadi (43).Infeksi yang tidak biasa lainnya yang dilaporkan pada wisatawan yang kembali ke rumah setelah tsunami adalah oleh Apophysomyces elegans. Organisme ini didapatkan dari dinding dada danabrasi deltoid dari Pria Australia 56 tahun yang sebelumnya sehat, dan saat tsunami harus mendorong melalui puing-puing untuk melarikan diri (44). Aeromonas hydrophila, P. aeruginosa, Achromobacter spp., dan methicillinresistant S. aureus juga didapatkan dari luka pria itu (44). Dua wisatawan Swiss dirawat karena infeksi atipikal. Satu turis didapatkan dengan polymicrobial pneumonia aspirasi; pasienkemudian didapatkan apiospermum Scedosporium dari spesimen paravertebral (45). Kedua turis Swiss itu mendapatkan luka kulit yang dalam pada kaki dan beberapa patah tulang panggul. Luka-luka dicirikan sebagai polymicrobial. Nocardia africanum didapatkan dari abses paha 2 minggu setelah masuk. Delapan minggu kemudian, S. apiospermum diisolasi dari intracerebral abses, dan 3 bulan kemudian, Mycobacterium chelonae diisolasi dari luka terbuka dari kaki (45). Cladophialophora bantiana dan Mycobacterium isolat abscessus yang pulih dari infeksi jaringan lunak dalam dua turis Swedia tambahan (46). Respon cepat dan aktif surveilans penyakit adalah bagian penting dari setiap upaya pemulihan bencana dan memiliki potensi untuk mengurangi secara signifikantingkat kematian. Sisa artikel ini didedikasikan untuk diskusi langkah-langkah pencegahan dan intervensi penting untuk revitalisasi masyarakat dan negara-negara rentan terjadi bencana alam.Tindakan preventif

Langkah-langkah pencegahan terhadap transmisi agen infeksi terkait bencana alam yang paling sering ditularkan melalui air atau makanan . WHO telah terdaftar lima kunci petunjuk untuk meningkatkan keamanan pangan di daerah terkena bencana (47): (i) Mencuci tangan dengan sabun dan air, hindari menyiapkan makanan secara langsung di daerah yang dikelilingi oleh air banjir, bersihkan permukaan sebelum persiapan makanan, menjaga orang dengan gejala gastrointestinal jauh dari daerah persiapan makanan, menjaga daerah dapur dan toilet terpisah, dan menghindari makan makanan mentah; (Ii) memisahkan makanan mentah dan matang; (Iii) masak makananSampai benar-benar matang; (Iv) menjaga makanan pada suhu aman dengan segera makan makanan yang dimasak dan tidak meninggalkan makanan yang dimasak pada suhu kamar selama lebih dari 2 jam, menjaga makanan panas (lebih dari 60 ° C), dan hindari makanan yang mudah basi yang tidak bisa didinginkan; dan (v) menggunakan air bersih. Pakaian pelindung yang sesuai harus dipakai selama penyelamatan dan/ atau fase bersih-bersih. Sarung tangan, sepatu bot, kemeja lengan panjang, dan celana harus dipakai. Luka harus dibersihkan dengan sabun dan air. Perhatian medis harus dicari untuk luka yang serius. Orang terlibat dengan upaya penyelamatan atau mereka yang tinggal di tempat penampungan pengungsi mungkin memerlukan imunisasi. Sebuah sumber yang sangat baik dari informasi tentang rekomendasi kesehatan interim untuk pekerja bantuan dapat ditemukan di situs web CDC (48).

Pemberantasan nyamuk mungkin diperlukanuntuk mencegah penyebaran berbagaipenyakit sebagai akibat dari peningkatan populasi nyamuk paska bencana alam. Tindakan ini akan tergantung pada lokasi bencana dan infrastruktur

Page 7: Bencana Alam Surga Mikroba

kesehatan publik yang tersedia. Catatan Penulis. Saya disajikan berbicara tentang"Bencana alam - surga mikroba ini" di Hyatt di New Orleans 4hari sebelum Badai Katrina menghantam. Saya tidak menyadari betapa tepat waktu pembicaraan ini akan menjadi ketika saya memberikannya. Transmisi dari infeksi dapat terjadi hanya jika organisme yang adalah endemik ke daerah di manaterjadi bencana. Namun, klinis laboratorium mikrobiologi mendapatkan organisme jarang atau tidak pernah ditemui pada populasi pasien mereka sebagai pekerja bantuan / pertolongan setelah mereka telah kembalike negara asalnya. Dokter akan perlu mendapatkan riwayat perjalanan yang memadai. Adalah penting bahwa ilmuwan laboratorium klinis ingat bahwa banyak dari spesimen pasien akan memiliki beberapa macam organisme. Dialog terbuka dengan korban bencana ini diperlukan untuk mengevaluasi spesimen pasien dengan benar.Hal ini penting untuk mendeteksi penyakit yang ditularkan melalui air ataupun makanan sedini mungkin untuk meminta penyelidikan dan menentukan penyebab dan agen infeksi, serta untuk mengkoordinasikan upaya-upaya untuk menghentikan penyebaran agen infeksi. Pengawasan orang mengunjungi klinik atau fasilitas medis , laporan dari apoteker dari peningkatan permintaan untuk antidiare, atau insiden yang lebih tinggi dari ketidakhadiran dari pekerjaan atau sekolah adalah faktor-faktor yang dapat mengindikasikan mewabahnya beberapa agen infeksi.

Badai Katrina mengingatkan kita bahwa bencana alam dapat mengambil dan menempatkan di mana saja dan infeksi penyakit dapat terjadi setelah bencana alambahkan di negara-negara industri. Sebagai klinis mikrobiologi , kita harus mendidik masyarakat umum mengenai mekanisme dimana infeksi terjadi dan apa yang harus dilakukan untuk mencegah dan melindungi

diri dari berbagai penyakit menular yang mungkin hadir paska bencana alam.ReferensiReferences1. WHO. 2002. Environmental health in emergencies and disasters: a practical guide. B. Widner and J. Adams (ed.). http://whqlibdoc.who.int/publications/ 9241545410.pdf.2. Waring, S.C. and B.J. Brown. 2005. The threat of communicable diseases following natural disasters: a public health response. Disaster Manage. Response 3:41-47.3. Ivers, L.C. and E.T. Ryan. 2006. Infectious diseases of severe weather-related and flood-related natural disasters. Curr. Opin. Infect. Dis. 19:408-414.4. Shaman, J., J. F. Day, and M. Stieglitz. 2002. Drought-induced amplification of Saint Louis encephalitis virus, Florida. Emerg. Infect. Dis. 8:575-580. 5. Shaman, J., J.F. Day, and M. Stieglitz. 2005. Drought-induced amplification and epidemic transmission of West Nile virus in southern Florida. J. Med. Entomol. 42:134-141.6. Anonymous. 1999. El Niño and associated outbreaks of severe malaria in highland populations in Irian Jaya, Indonesia: a review and epidemiologic perspective. Southeast Asian J. Trop. Med. Pub. Health 30:608-619.7. Schneider, E. et al. 1997. A coccidioidomycosis outbreak following the Northridge, Calif. earthquake. J. Am. Med. Assoc. 277:904-908.8. Bulut, M. et al. 2005. Medical experience of a university hospital in Turkey after the 1999 Marmara earthquake. Emerg. Med. J. 22:494-498.9. Kazancioglu, R. et al. 2002. The characteristics of infections in crush syndrome. Clin. Microbiol. Infect. 8:202-206.10. Öztürk, C.E. et al. 2004. Intestinal parasitic infection in children in postdisaster situations years after earthquake. Pediatr. Int. 46:656-662.11. Vahaboglu, H. et al. 2001. Transient increase in diarrheal disease after the devastating earthquake in Kocaeli, Turkey: results of an infectious disease surveillance study. Clin. Infect. Dis. 31:1386-1389.12. French, J.G. and K.W. Holt. 1989 Floods, p. 69-78. In M.B. Gregg (ed.), The public health consequences of disasters: 1989. Centers for DiseaseControl, Atlanta, GA.13. http:/www.who.int/hac/techguidance/ ems/flood_cds/en/print.html. 14. Anonymous. 2006. Brief report: leptospirosis after flooding of a university campus —Hawaii, 2004. Morb. Mortal.Wkly. Rep. 55:125-127.15. Sanders, E. et al. 1999. Increase of leptospirosis in Dengue-negative patients after a hurricane in

Page 8: Bencana Alam Surga Mikroba

Puerto Rico in 1966. Am. J. Trop. Med. Hyg. 61:399-404.16. Trevejo, R. et al. 1998. Epidemic leptospirosis associated with pulmonary hemorrhage — Nicaragua. J. Infect.Dis.178:1457-1463.17. Karande, S., M. Bhatt, M. Kulkarni, et al. 2003. An observation study to detect leptospirosis in Mumbai, India, 2000. Arch. Dis. Child. 88:1070-1075.18. Anonymous. 1983. Outbreak of diarrheal illness associated with a natural disaster — Utah. Morb. Mortal. Wkly. Rep. 32:662-664.19. Weniger B.G. et al. 1983. An outbreak of waterborne giardiasis associated with heavy water runoff due to warm weather and volcanic ash. Am. J. Public Health 73:868-872.20. Schwartz, B.S. et al. 2006. Diarrheal epidemics in Dhaka, Bangladesh, during three consecutive floods: 1988, 1998, and 2004. Am. J. Trop. Med. Hyg.74:1067-1073.21. Qadri, F. et al. 2005. Enterotoxigenic Escherichia coli and Vibrio cholera diarrhea, Bangladesh, 2004. Emerg. Infect. Dis. 11:1104-1107.22. Nasci, R.S. and C.G. Moore. 1998. Vector-borne disease surveillance and natural disasters. Emerg. Infect. Dis. 4:333-334.23. Kondo, H. et al. 2002. Post-flood — infectious diseases in Mozambique. Prehospital Disaster Med. 17:126-133.24. Katsumata, T. et al. 1998. Cryptosporidiosis in Indonesia: a hospital-based study and community-based survey. Am. J. Trop. Med. Hyg. 59:628-632.25. van Middlekoop, A. et al. 1992. Poliomyelitis outbreak in Natal/KwaZulu, South Africa, 1987-1988. 1. Epidemiol. Trans. R. Soc. Trop. Med. Hyg. 86:80-82.26. Anonymous. 1989. Health assessment of the population affected by flood conditions— Khartoum, Sudan Morb. Mortal. Wkly. Rep. 37:785-788.27. Vollaard, A. et al. 2004. Risk factors for typhoid and paratyphoid fever in Jakarta, Indonesia. J. Am. Med. Assoc. 291:2607-2615.28. Fun, B.N. et al. 1991. Rotavirusassociated diarrhea in rural Bangledesh: two-year study of incidence and serotype distribution. J. Clin. Microbiol. 29:1359-1363.29. http://www.bt.cdc.gov/disasters/ hurricanes.30. Brandt, M. et. al., 2006. Mold preventionstrategies and possible health effects in the aftermath of hurricanes and major floods. Morb. Mortal. Wkly. Rep. 55:1-27. 62 0196-4399/00 (see frontmatter) © 2007 Elsevier Clinical Microbiology Newsletter 29:8,200731. Anonymous. 2006. Health concerns associated with mold in water-damaged homes after Hurricane

Katrina and Rita — New Orleans, Louisiana, October 2005. Morb. Mortal. Wkly. Rep. 55:41-45.32. Bissell, R.A. 1983. Delayed-impact infectious disease after a natural disaster. J. Emerg. Med. 1:59 6633. Mason, J. and P. Cavalie. 1965. Malaria epidemic in Haiti following a hurricane. Am. J. Trop. Med. Hyg. 14:533-53934. Pan American Health Organization. 1998. Impact of Hurricane Mitch on Central America. Epidemiol. Bull. 19:1-14.35. Anonymous. 2005. Vibrio illnesses after Hurricane Katrina — multiple states, August — September 2005. Morb. Mortal. Wkly. Rep. 54:928-931.36. Annonymous. 2005. Infectious disease and dermatologic conditions in evacuee and rescue workers after Hurricane Katrina — multiple states, August- September, 2005. Morb. Mortal. Wkly.Rep. 54:961-964.37. Anonymous. 2005. Norovirus out-break among evacuees from Hurricane Katrina — Houston, TX, September 2005. Morb. Mortal. Wkly. Rep.54:1016-1018.38. Millie, M. et al. 2000. Tornado disaster in rural Georgia: triage response, injury patterns, lessons learned. Am. Surg. 66:223-228.39. Hiransuthikul, N. et al. 2005. Skin and soft-tissue infections among tsunami survivors in Southern Thailand. Clin. Infect. Dis. 41:e93-e96.40. Kallman, O. et al. 2006. Gram-negative bacteria from patients seeking medical advice in Stockholm after the tsunami catastrophe. Scand. J. Infect. Dis.38:448-450.41. Nieminen, T. and M. Vaara. 2005. Burkholderia pseudomallei infectionsin Finnish tourists injured by the December 2004 tsunami in Thailand. http://www.eurosurveillance.org/ew/ 2005/050303.asp.42. Chierakul, W. et al. 2005. Melioidosis in 6 tsunami survivors in Southern Thailand. Clin. Infect. Dis. 41:982-990.43. Wuthiekanun, V. et al. 2006. Serological evidence for increased human exposure to Burkholderia pseudomallei following the tsunami in Southern Thailand. J. Clin. Microbiol. 44:239-240.44. Andersen, D.A. et al. 2005. Multifocal cutaneous mucormysosis complicating polymicrobial wound infections in a tsunami survivor from Sri Lanka.Lancet 365:876-878.45. Garzoni, C. et al. 2005. Atypical infections in tsunami survivors. Emerg. Infect. Dis. 11:1591-1593.46. Petrini, B. et al. 2006. Concomitant late soft tissue infections by Cladophialophora bantiana and Mycobacterium abscessus following tsunamiinjuries. Med. Mycol. 44:189-192.

Page 9: Bencana Alam Surga Mikroba

47. http://www.who.int/foodsafety/ publications/consumer/5keys.48. http://www.cdc.gov/travel/relief_ workers.htm.